. BAB II PEMBAHASAN A.
Biografi Hassan Hanafi 1.
Latar belakang keluarga
Hassan Hanafi lahir di Kairo, ibu kota Republik Arab Mesir (Jumhûriyyat Mishr al-‘Arabiyah), pada tanggal 13 Pebruari 1935. Keluarganya berasal dari Banû Swaif, salah satu propinsi di Mesir bagian selatan. Namun kemudian mereka pindah ke Kairo. Kakek Hanafi berasal dari
al-Maghrib (Maroko), sedangkan neneknya berasal dari kabilah Bani> Mur. Gamal Abdel Nasser, presiden Mesir sebelum Anwar Sadat, berasal dari kabilah itu. Kakek Hanafi yang orang Maroko itu memutuskan untuk menetap di “negeri seribu menara” (Mesir) ketika ia singgah di negeri itu sepulang menunaikan ibadah haji. Pada persinggahan itu pula ia menikah dengan seseorang yang kemudian menjadi nenek Hanafi (Badruzaman, 2005: 41) Hanafi berasal dari keluarga pemusik, ia pun mempunyai hobi musik. Ia sempat dihadapkan pada dua pilihan antara musik atau filsafat. Ia memilih filsafat karena baginya ide-ide filsafat bagaikan musik yang selalu menghiasi telinganya. Sedangkan musik ibarat nada-nada kosong tanpa makna. Hanafi mengalami kebingungan ketika dihadapkan pada dua pilihan ini. Estetika minus piker atau piker minus estetika. Sampai kemudian ia temukan perpaduan antara keduanya dalam filsafat romantisme Hegel, Fichte, Schelling, Kierkegard dan terkhusus Henry Bergson. Sesekali datang penyesalan ketika ia
22
23
menyimak Beethoven atau menghadiri orkes Arab atau klasik. Namun ia menghibur dirinya dengan mengatakan, “mengapa harus bersedih, saya kan masih bisa bernyanyi dengan filsafat” (Idam, 2009:18). Selain ilmu eksak dan filsafat, seni lukis juga ia gemari. Dalam suatu lomba melukis, Hanafi keluar sebagai juara. Beethoven, Muhammad „Abduh dan Raja Farouk adalah tokoh-tokoh yang pernah ia lukis. Lukisan-lukisannya dipajang di sekolahnya. Dalam diri Hanafi ternyata berpadu minat dan bakat dalam seni lukis, musik, logika dan filsafat (Badruzaman, 2005: 48). Banyaknya hobi yang diminati Hanafi diwaktu kecil membuatnya menjadi agak kebingungan dalam memilih minat selanjutnya yang akan dijalaninya dikemudian hari. 2. Masa Pendidikan Pendidikannya diawali di pendidikan dasar di Madrasah Sulayman Ghawish, tamat tahun 1948. Setamat dari pendidikan dasar, Hanafi kecil masuk sekolah pendidikan guru, al-mu’allimi>n. Kemudian melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Khalil Agha, Kairo, selesai pada tahun 1952. Selama belajar di tsanawiyah ini, Hanafi aktif mengikuti diskusi-diskusi yang diadakan oleh al-Ikhwa>n al-Muslimi>n. Kegiatan ini membuat Hanafi berkembang. Bahkan ia juga mempelajari pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilan sosial dan keIslaman (Hefni, 2011: 168). Sejak SMP, Hassan Hanafi sudah aktif berpartisipasi dalam kegiatan demonstransi. Muncul kesadaran nasionalisme dalam dirinya. Bersama sahabat-sahabatnya, Hanafi sempat pergi ke Asosiasi Pemuda Muslim untuk
24
mendaftarkan diri sebagai sukarelawan perang. Namun keinginannya itu tidak disambut positif oleh mereka. Bahkan Hanafi dan sahabat-sahabatnya diminta untuk bergabung Batalion Ahmad Husin. Peristiwa ini membangkitkan kesadaran mendalam bagi Hassan Hanafi tentang realitas politik yang dihadapinya. Ia menjadi sadar, bahwa ternyata friksi kepartaian lebih dominan daripada persoalan kebangsaan yang menyangkut kepentingan orang banyak (Hanafi, 2003: 7). Pada tahun 1951, ketika Hassan Hanafi masih duduk di bangku SMA, terlibat dalam perang urat syaraf dengan Inggris di terusan Suez, dan di sana ia menyaksikan
para
syuhada.
Bersama-sama
dengan
mahasiswa
dia
mengabdikan diri untuk membantu gerakan revolusi yang telah dimulai pada akhir tahun 40-an hingga revolusi itu meletus pada tahun 1952. Atas saran anggota pemuda muslimin, pada tahun ini pula ia tertarik untuk mengikuti gerakan Ikhwan al-Muslimin. Akan tetapi, ditubuh Ikhwan-pun terjadi perdebatan yang sama dengan apa yang terjadi di pemuda muslimin. Kemudian, Hanafi disarankan oleh para anggota Ikhwan untuk bergabung dalam organisasi Mesir muda. Ternyata di dalam keadaan Mesir muda sama dengan kedua organisasi tersebut. Hal ini mengakibatkan ketidakpuasan Hanafi atas cara berpikir kalangan muda Islam yang terkotak-kotak. Kekecewaan ini yang menyebabakan ia lebih tertarik pada pemikiran-pemikiran keagamaan, revolusi dan perubahan sosial. ini juga yang menyebabkan ia beralih tertarik pada pemikiran Sayyid Qutb, seperti tentang prinsip-prinsip keadilan sosial dalam Islam (Kusnadiningrat, 1999 : 45).
25
Hanafi pun kemudian menjadi anggota Ikhwa>n, dan di bawah payung organisasi ini ia mengkoordinir Persatuan Pelajar Mesir. Ikhwa>n dikenal semakin kental dengan gerakan revolusi. Ketika terjadi perundingan antara Inggris dan Mesir tentang terusan Suez pada bulan Maret 1954-dimana diantara salah satu butir perundingan dinilai sangat merugikan bangsa Mesir karena memberi peluang bagi Inggris untuk kembali menguasai Terusan Suez, Ikhwa>n mengkritik sangat tajam atas hasil perundingan itu. Hanafi bertugas mengedarkan selebaran kritik Ikhwa>n itu (Badruzaman, 2005: 49-50). Hassan Hanafi selama menjadi mahasiswa di Jurusan Filsafat Fakultas Adab Universitas Kairo Mesir punya prestasi akademik yang baik. Keterlibatannya dalam banyak aktivitas Ikhwa>nul Muslimi>n, tidak menjadikan Hanafi lupa diri terhadap tugas akademiknya. Hampir semua makalah-makalah yang ia tulis mendapatkan nilai summa cum laude. Salah satunya tulisan tentang “Teori Pengetahuan dan Kebahagiaan menurut Al-Ghazali. Tetapi tidak sedikit pula pengalaman kurang baik ia terima, lantaran sikap dosennya yang kurang terbuka, karena dalam setiap makalah atau jawabannya ketika ujian, Hanafi sering menyantumkan pemikiran-pemikiran pribadinya mengenai beberapa masalah yang dibahas atau diujikan (Hanafi, 2003:23) Gelar kesarjanaannya ia raih pada tanggal 11 oktober 1956 dari Kulliyat
al-Adab (Fakultas Sastra) Jurusan Filsafat Universitas Kairo. Setelah itu Hanafi pergi ke Perancis untuk memperdalam filsafat di Universitas Sorbonne, dengan spesialisasi Filsafat Barat Modern dan Pra-Modern. Selama kurang lebih sepuluh tahun Hanafi tinggal di Perancis, salah satu negara tempat para
26
orientalis berada. Dalam rentang waktu tersebut, tradisi, pemikiran, dan keilmuan barat dikuasainya. Ia sempat pula mengajar Bahasa Arab di Ecole des Langues Orientales di Paris (Badruzaman, 2005: 42). Pada tahun 1966, ia berhasil menyelesaikan program master dan doktornya di Universitas Sorbone, dengan mengشjukan tesis “Les Methodes d’Esegeses: Essei sur La Science des Fondaments de la Comprehension Ilmu Ushul Fiqih” dan desertasinya “Phenomenologie, L’etat actuel de la Methode Phenomenologie et son Application au Phenomene Religiux.” Desertasi setebal lebih dari 900 halaman itu mendapat penghargaan bagi penulisan karya ilmiah terbaik di Mesir (Ridwan, 1998 : 220). Semangat Hanafi untuk mengembangkan tulisan-tulisannya tentang pembaharuan pemikiran Islam semakin tinggi, sejak Hanafi pulang dari Perancis pada tahun 1966. Akan tetapi kekalahan Mesir dalam perang melawan Israel tahun 1967 telah mengubah niatnya itu. Hanafi kemudian ikut serta dengan rakyat, berjuang dan membangun kembali semangat nasionalisme mereka pada sisi lain, untuk menunjang perjuangannya itu Hanafi juga mulai memanfaatkan pengetahuan akademis yang telah ia peroleh dengan memanfaatkan media massa sebagai corong perjuangannya. Hanafi menulis artikel-artikel untuk menaggapi masalah-aktual untuk melacak faktor kelemahan umat Islam. Di sini terlihat Hanafi ingin menggabungkan antara semangat akademik dengan semangat kerakyatan. Artinya, sebagai seseorang pemikir dan cendekiawan, Hanafi sangat peka terhadap persoalan yang sedang
27
dihadapi masyarakat (Gufron, teologi antroposentris Hassan Hanafi diakses tanggal 15 oktober 2015. Pukul 23.20). Sebagai seorang pendidik, Hanafi sehari-hari meluangkan waktunya untuk mengajar di Universitas Kairo dan beberapa Universitas di luar negeri. Pada tahun 1969, Hanafi menjadi Professor tamu di Perancis dan di Belgia pada tahun 1970. tahun yang terakhir ini, Hanafi terkena masalah dengan pemerintah sehingga ia di minta untuk memilih antara berhenti dari aktivitasnya di Mesir atau pergi ke Amerika. Akhirnya, ia memilih yang kedua dan disana ia mengajar. Hanafi mengajar di Universitas Temple (1971-1975) dan di tempat inilah Hanafi menggunakan waktunya untuk menulis tentang dialog agama-agama dan revolusi (Luthfi, 2004 : 55). Sepulangnya dari Amerika Hanafi berusaha memulai tulisannya tentang pembaharuan pemikiran Islam yang telah lama tertunda. Pertama, Hanafi merintis penulisan buku al-Tura>ts wa al-Tajdi>d, namun akhirnya belum terwujud pula karena ia dihadapkan pada pergerakan anti-pemerintah Sadat yang pro-Barat dan melindungi Israel. Antara 1976-1981, terpaksa Hanafi membantu menjernihkan situasi melalui tulisan-tulisannya yang kemudian menjadi al-Din wa al-Tsawrah (8 Jilid) tahun 1980-1983, Hanafi menjadi Professor tamu di Universitas Tokyo, tahun 1985 serta di Emirat Arab dan Maroko pada tahun 1983-1984 (Nur Hakim, 2001 : 12) 3. Karya-karya Hassan Hanafi Keterlibatan Hanafi pada gerakan-gerakan anti-pemerintahan Presiden Anwar Sadat, menjadikannya dipecat dari Universitas Kairo dengan tuduhan
28
menentang penguasa. Hanafi pun kemudian banyak menulis di berbagai surat kabar dan majalah. Tulisan-tulisannya merupakan refleksi Hanafi atas sejumlah persoalan agama, sosial dan politik di Mesir. Ia kemudian mengumpulkan tulisan-tulisannya tersebut dan menerbitkannya dalam bentuk buku berjudul al-
di>n wa al-tsaurah fi> Mishr 1952-1981 (Agama dan Revolusi di Mesir 19521981). Buku itu dikemas dalam delapan volume1) Vol. I: Agama dan Kebudayaan Bangsa; 2) Vol. II:Agama dan Pembebasan Kebudayaan; 3) Vol. III: Agama dan Perjuangan Nasional; 4) Vol. IV: Agama dan Pembangunan Bangsa; 5) Vol. V: Gerakan-gerakan Keagamaan Kontemporer; 6) Vol. VI: Fundamentalisme Islam; 7) Vol. VII: Kanan dan Kiri dalam Pemikiran Islam; 8) Vol. VIII: Kiri Islam dan Kesatuan Nasioanal (Badruzaman, 2005: 46). Pada periode yang terakhir (tahun 80-an sampai 90-an), karya-karya Hanafi memiliki latar belakang politik yang relatif lebih stabil dibanding masamasa sebelumnya. Pada periode tersebut Hanafi menulis al-Tura>ts wa al-
Tajdi>d, yang memuat landasan teoritis bagi dasar-dasar pembaharuan dan langkah-langkahnya. Al-Yassa>r al-Isla>mi> merupakan manifesto Hanafi yang paling utuh, karena embrio gagasannya telah disemaikan sejak pergumulan Hanafi dengan suasana sosial-politik yang penuh gejolak selama hampir 35 tahun, yaitu sejak tahun 1946 hingga tahun 1981 (Badruzaman, 2005: 56).
29
Berikut ini adalah karya-karya Hanafi dari buku terjemahan, : 1)
اإلميان باحثا عن العقل,مناذج من الفلسفة املسيحية (املعلم ألوغسطني , دار الكتاب اجلامعية. املوجود املاهية لتوما األكويين) الطبعة األوىل,ألنسليم الطبعة,٨٦٩١ , القاهرة, اإلجنلو املصرية, الطبعة الثانية,٨٦٩١ اإلسكندرية .٨٦١٨ , بريوت, دار التنوير,الثالث (Nama>dzij minal falsafah al-masi>chiyyah al-mu’alim liagustin,
al-iman ba>chitsan ‘anil ‘aql liunsali>m, al-mauju>d al-ma>hiyah litu>ma> lakwi>ni> at-thab’ah al-ula. Da>rul kita>b al-ja>mi’iyah aliskandariyah 1968, at-thab’ah al-tsa>niyah al-inglo> al-mishriyah, al-qa>hirah, 1968, at-thab’ah al-tsa>lits, da>rut tanwi>r, bairu>t, 1981) 2)
, اهليئة العامة الكتاب, الطبعة األوىل, رسالة يف الالهوت والسياسة:اسبينوزا , الطبعة الثالثة,٨٦٩١ القاهرة, األجنلو املصرية, الطبعة الثاين,٨٦٩١ القاهرة .٨٦١٨ , بريوت,دار الطليعة (Ispi>no>za>; risa>latu fil lah>ut> was siya>sah, at-thab’ah al-u>la, al-
hai’atul ‘ammah al-kita>b, al-qa>hirah 1973, at-thab’ah al-tsa>ni, alanglo al-mishriyah, al-qa>hirah 1978, at-thab’ah al-tsa>litsah, da>ru at-thab’ah , bairu>t, 1981).
30
3)
, دار الثقافة اجلديدة, الطبعة األول, تربية اجلنس البشري وأعمال أخرى:لسنج .٨٦١٨ بريوت, دار التنوير, الطبعة الثانية,٨٦٩٩ القاهرة (Lising; tarbiyatul jinsi al-busyro> wa a’ma>lu ukhro>, at-thab’ah
al-awwal, da>ru al-tsaqo>fatul jadi>dah, al-qa>hiroh 1977, at-thab’ah al-tsa>niyah, da>ru al-tanwi>r, bairu>t 1981) 4)
القاهرة, دار الثقافة اجلديدة, الطبعة األوىل, تعاىل األنا موجود:جان بول سارتر .٨٦١١ دار التنوير بريوت, الطبعة الثانية,٨٦٩٩ (Jan paul Sartre; ta’alal ana> mauju>d, at-thab’ah al-ula>, da>ru al-
tsaqo>fatul jadi>dah, al-qa>hirah 1977, at-thab’ah al-tsa>niyah, da>ru al-tanwi>r bairu>t 1982). (Hanafi, 1988 : 532) Selain menerjemahkan buku-buku dari tokoh Barat, tentunya Hanafi juga memiliki Karya dalam bahasa Arab : 1)
, دار الفكر العريب, الطبعة األىل, يف فكرنا املعاصر, اجلزء األول,قضايا معاصرة دار, الطبعة الثالثة,۶۷۹۶ بريوت, دار التنوير, الطبعة الثاين۶۷۹۱ القاهرة ۶۷۹۹ القاهرة,الفكر العريب (Qadha>ya Mu’a>shirah, al-juz-u al-awwal, fi fikrina> al-Mu’a>shir,
al-Thob’atu al-ula>, da>ru al-fikr al-‘Arabiy, al-Qa>hirah 1976 at-
31
thab’ah al-tsa>niy da>ru al-tanwi>r, Beirut 1981, at-thab’ah altsa>litsatu da>ru al-fikr al-‘Arabiy, al-Qa>hirah 1987). 2)
دار الفكر, الطبعة األوىل, يف الفكر الغريب املعاصر, اجلزء الثاين,قضايا معاصرة الطبعة,۶۷۹۱ بريوت, دار التنوير, الطبعة الثانية,۶۷۹۹ , القاهرة,العريب ۶۷۹۹ , القاهرة, دار الفكر العريب,الثالثة (Qadha>ya Mu’a>shirah, al-juz-u al-tsa>niy fi al-fikr al-Ghorbiy al-
Mu’a>shir, at-thab’ah al-u>la>, da>ru al-fikr al-‘Arabiy, al-Qa>hirah 1977, at-thab’ah al-tsa>niyah da>ru al-tanwi>r, Beirut 1982, atthab’ah al-tsa>litsah da>ru al-fikr al-‘Arabiy, al-Qa>hirah 1988) 3)
الطبعة األوىل املركز العريب للبحث, موقفنا من الرتاث القدمي,الرتاث والتجديد الطبعة,۶۷۹۶ , بريوت, الطبعة الثانية دار التنوير,۶۷۹۱ , القاهرة,والنشر .۶۷۹۹ القاهرة, األجنلو املصرية,الثالثة (al-tura>ts wa al-tajdi>d, mawqifuna> min al-tura>ts al-qadi>m, at-
thab’ah al-u>la> al-markazu al-‘arabiy li al-bahhts wa al-nashru, alQa>hirah 1980, at-thab’ah al-tsa>niyah da>ru al-tanwi>r, Beirut 1981, at-thab’ah al-tsa>litsah, al-anglu al-Mishriyah, al-Qa>hirah 1987) 4)
الطبعة,۶۷۹۶ القاهرة, االجنلو املصرية, الطبعة األوىل,دراسات إسالمية .۶۷۹۱ بريوت, دار التنوير,الثانية
32
(Dira>satu Isla>miyah, at-thab’ah al-u>la>, al-anglu al-Mishriyah, al-
Qa>hirah 1981, at-thab’ah al-tsa>niyah da>ru al-tanwi>r, Beirut 1982) 5)
) (مخسة جملدات, حماولة إلعادة بناء علم اصول الدين,من العقيدة إىل الثورة ۶۷۹۹ , الطبعة الثانية دار التنوير,۶۷۹۹ القاهرة, مدبويل,الطبعة األول (Min al-‘aqi>dah ila> al-tsawrah, mucha>walah li-i’a>dati bina>u ‘ilmu
ushu>lu al-di>n, (Khomsatu mujalada>tu) at-thab’ah al-u>la>, madbu>li>, al-Qa>hirah 1988, at-thab’ah al-tsa>niyah da>ru al-tanwi>r, 1988) 6)
, ۶۷۹۹ مثانية اجزاء مدبويل القاهرة,۶۷۹۶-۶۷۹۱ الدين و الثورة يف مصر ۶۷۹۹ القاهرة,دراسات فلسفية األجنلو املصرية (al-di>n wa al-tsawrah fi> Mishra 1952-1981, tsama>niyatu ajza>u
madbu>li> al-Qa>hirah 1988, dira>sat falsafiyah al-anglu alMishriyah, al-Qa>hirah 1988) (Hanafi, 1988 : 534) Karya Hassan Hanafi berbahasa Inggris dan Perancis antara lain : 1) Les Methodes d‟EXegese essai sur la science des fondements de la Comprehension, ilm usul al-Fiqh, Le Caire, 1965. 2) L‟exegese de la phenomenologique, I‟Etat actuel de la method Phenomenologique et son application au phenomene religieux (Paris, 1965) ;e Caire 1980.
33
3) La Phenomenologie de I‟Exegese, essai d‟une hermeneutique existentielle a partie du Nouveau Testament, (Paris, 1966) Le Caire, 1988 (sous-press) 4) Religious
Dialouge
and
Revolution
essays
on
Judaism,
Christianity and Islam, Anglo-Egyption Bookshop, Cairo, 1977. 5) Dialouge Religieux et Revolution Vol. II, Anglo-Egyptian Bookshop, Le Caire, 1989 (sous presse) 6) Religion, Ideology and Development, Anglo-Egyptian Bookshop, Cairo 1989 (in print) (Hanafi, 1988 : 535) B.
Kondisi masyarakat Mesir 1.
Keadaan masyarakat Mesir
Negara Mesir menjadi jajahan Inggris setelah gagalnya Revolusi Arab pada tahun 1882 M. Tentara Inggris mulai menyebar di seluruh penjuru negeri untuk menjaga segala kepentingan Inggris di sana dan sejak saat itu mereka menjadi penguasa yang harus ditaati. Sementara Sultan penguasa Mesir hanyalah seperti boneka yang mudah dipermainkan oleh Inggris. Pada perempat abad pertama abad 20 terjadilah beberapa peristiwa penting yang berpengaruh kepada masyarakat Mesir, salah satunya Revolusi Bangsa Mesir tahun 1919 M (Amin, 2005:34). Selama pemerintahan Kerajaan Turki Utsmani atas Mesir (1517-1918), kebudayaan
Islam
disana
mengalami
kemunduran,
karena
penguasa
berkeyakinan bahwa menuntut ilmu filsafat, ilmu bumi, ilmu pasti dan ilmu-
34
ilmu yang bertalian dengan itu menyebabkan kemurtadan. Perubahan ke arah kebudayaan dan pendidikan hingga Mesir menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia Islam tidak lepas dari jasa Jamaluddin Al-Afghani (1837-1897) dan muridnya Muhammad Abduh (1849-1905). Gema gagasan beliau beserta murid-muridnya menggetarkan dunia Islam secara keseluruhan (Chirzin, 2001: 24). Sepanjang dua tahun berlangsungnya perundingan, manuver-manuver dan tipu daya-tipu daya pihak Inggris, maka pada akhirnya pihak Inggris mengumumkan bahwa bangsa Mesir akan mendapatkan kebebasan dan kemerdekaannya.
Kemudian
Inggris
mengumumkan
secara
sepihak
berakhirnya perlindungan Inggris terhadap Mesir dan menyatakan bahwa Mesir telah merdeka dan itu dikenal sebagai deklarasi 28 Februari 1922 M (Amin, 2005:37). Hanafi lahir dibesarkan dalam kondisi masyarakat Mesir yang penuh pergolakan dan pertentangan. Dari sisi sosial politik, saat itu terdapat dua kelompok ekstern yang saling berebut pengaruh. Pada sayap kiri ada partai komunis yang semakin kuat atas pengaruh Soviet di seluruh dunia. Kemenangan Soviet selama perang dan dikukuhkannya perwakilan Soviet di Kairo (1942) ini semakin meningkatkan minat mahasiswa untuk belajar Komunisme. Sementara di sayap kanan, ada Ikhwanul Muslimin, didirikan Hasan al-Banna tahun 1929 di Ismailiah yang pro-Islam dan anti barat. Kelompok ini memiliki sejumlah besar pengikut, termasuk Hanafi sendiri pada
35
awalnya (Rohmi, http://monitaadvanturestudy.blogspot.co.id.diakses 15 oktober 2015 pukul 23.20 WIB 2015). Bukunya Hassan Hanafi yang berjudul Al-turats wa al-tajdid menjelaskan ada 3 kelompok pemikiran yang tersebar di masyarakat yaitu yang pertama, kelompok yang beranggapan bahwa warisan masa lalu meliputi segala sesuatu dan menyediakan jawaban atas persoalan masa lalu dan masa sekarang. Kelompok pertama ini ingin mengajak umat Islam kembali memahami ajarannya secara totalitas yang diwakili oleh al-Banna dan Ikhwanul Musliminnya. Kedua, kelompok yang beranggapan bahwa hanya dengan hal-hal baru saja segala persoalan umat sekarang dapat di selesaikan. Kelompok kedua cenderung kepada pemikiran bebas dan rasional, dengan berkiblat pada peradaban barat dengan segala presentasinya. Ketiga, kelompok yang bermaksud mengintegrasikan kedua kelompok tersebut, kelompok yang berusaha memadukan Islam dan Barat yang diwakili oleh „Ali „Adul Raziq (Amrullah,1997: 43). Dalam menghadapi tantangan mordenitas dan liberalism politik, kelompok pertama dan kebanyakan ulama konservatif menganggap bahwa politik Barat tidak bisa diterapkan di Mesir, bid‟ah. Pengadopsian sistem politik Barat oleh pemerintah Mesir berarti pengingkaran terhadap nilai-nilai Islam. Sebaliknya, kelompok kedua yang kebanyakan para sarjana didikan barat menganggap bahwa, jika ingin maju maka harus menerapkan sistem Barat. Mereka menganggap bahwa para ulama adalah kendala mordenisasi, bahkan penyebab keterbelakangan Mesir dalam sosial politik dan ekonomi.
36
Pemikiran dan gerakan kelompok kedua ini, banyak mendapat dukungan dari pemerintah, sehingga dalam hal tertentu mereka dapat menjalankan programprogramnya (Rohmi, http://monitaadvanturestudy.blogspot.co.id.diakses 15 oktober 2015 pukul 23.20 WIB 2015) 2.
Tokoh yang berpengaruh dalam pemikiran Hassan Hanafi a)
Jamaluddin al-Afghani (1838 M – 1897 M)
Sayyid Muhammad bin Safdar al Husayn (1838-1897) umunmnya dikenal sebagai Sayyid Jamal-al-Din al-Afghani lahir di desa Asadabad dekat Hamadan, daerah Kuran, Afghanistan. Al-Afghani merupakan aktivis politik, nasionalis Islam, pencetus, perintis Islamisme dan Pan Islamisme. Ia digambarkan sebagai pribadi yang lebih memperjuangkan kaum muslim terhadap dominasi politik Barat dibandingkan masalah teologi (Bahar, 2013: 24). Afghani melanjutkan belajar ke India selama satu tahun. Di India Afghani menekuni sejumlah ilmu pengetahuan melalui metode modern. Kemudian ia meneruskan perjalanannya menuju ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Perjalanannya ini menghabiskan waktu selama setahun. Ia singgah dari satu kota ke kota lain, sambil mengamati adat istiadat masyarakat yang dilewati. Ia sampai Mekkah pada tahun 1857 (Edward, 1982 : 109). Saat berada di India ia melihat umat Islam dalam kemunduran. Ia melihat kemunduran umat Islam bukan karena Islam tidak sesuai dengan perubahan zaman, melainkan disebabkan umat Islam telah dipengaruhi oleh sifat statis, fatalis, meninggalkan akhlak yang tinggi, dan melupakan ilmu pengetahuan.
37
Kemudian factor lain yang ikut memundurkan umat Islam adalah lemahnya persaudaraan, perpecahan umat Islam serta kesalahan dalam memahami qadha dan qadar. Mereka tidak berbuat dan menggantungkan harapan pada nasib (Mohammad, 2006:214). Al-Afghani meletakkan titik balik saat ia berkelana dari India ke Mesir dalam usahanya untuk membangkitkan umat Islam dan membela diri dari tindakan-tindakan imperialism dengan cara menyatukan kekuatan mereka sebagai bangsa yang berdiri sendiri atau sebagai bangsa muslim dalam rangka memperoleh kembali kekuasaan dan harga diri mereka yang hilang (Chirzin, 2001: 25). Saat di Kairo ia mempunyai beberapa murid salah satu muridnya adalah Muhammad Abduh. Al-Afghani dimata Inggris adalah sosok yang berbahaya yang mampu membangkitkan kembali semangat juang umat Islam. Sedangkan Inggris adalah penyebab kemunduran umat Islam dan tidak ingin melihat umat Islam bersatu. Akhirnya al-Afghani diusir dari Mesir oleh Inggris pada tahun 1879. Kemudian ia berhijrah ke Eropa, ia antara lain berhijrah ke Paris, London, dan Rusia. Ia di Rusia memberi pengaruh pada cendekiawan Rusia dan menjadi orang kepercayaan Tsar. Karena pengaruhnya itu, Rusia memperbolehkan orang Islam mencetak al-Qur‟an dan buku-buku agama Islam, yang sebelumnya dilarang. Al-Afghani membuat jurnal Al-Urwat- Al-
Wuthqa yang mengecam keras Barat. Tapi jurnal ini dilarang diedarkan di
38
negara-negara
muslim
oleh
penguasa
Barat
karena
dikhawatirkan
menimbulkan semangat persatuan Islam (Mohammad.dkk, 2006:215). Istambul, Turki adalah tempat terakhir perjuangan seorang al-Afghani. Ia wafat pada 9 Maret 1897 dalam usia 59 tahun. Ide Jamaluddin al-Afghani adalah “Pan-Islamisme”, sebuah gagasan untuk membangkitkan dan menyatukan dunia Arab khususnya dan dunia Islam umumnya untuk melawan kolonialisme Barat. Persatuan umat Islam harus diwujudkan kembali. Inti PanIslamisme terletak pada ide bahwa Islam adalah satu-satunya ikatan kesatuan kaum muslimin. Jika kekuatan itu diperkokoh, jika dia menjadi sumber kehidupan dan pusat loyalitas mereka, maka kekuatan solidaritas yang luar biasa akan memungkinkan pembentukan dan pemeliharaan negara Islam yang kuat dan stabil (Mohammad.dkk, 2006: 217). b) Muhammad Abduh (1849 M – 1905 M) Nama lengkapnya adalah Muhammad Abduh bin Hassan Khair Ullah (lahir di Desa Mahallat Nashr, Provinsi Ghorbiyah, Mesir pada 1265 H/1849 M) dan wafat pada tahun 1905. Ayahnya bernama Abduh Khair-Allah, warga Mesir keturunan Turki. Sedangkan ibunya adalah perempuan yang berasal dari suku Arab yang nasabnya sampai pada Umar Ibnul Khattab, sahabat nabi Muhammad saw (Amri, 2013: 15). Sejak kecil Abduh sudah dididik ayahnya dengan al-Qur‟an. Ayahnya mengajarkan baca tulis dan menghafal al-Qur‟an. Hanya dengan belajar kurang lebih tiga tahun saja ia sudah mampu menghafal seluruh isi al-Quran. Pada usia 14 tahun Abduh dikirim ke Thanta, untuk menimba ilmu al-qur‟an,
39
bahasa arab dan fikih di sebuah lembaga pendidikan Masjid Al-Ahmad milik al-Azhar. Ia hanya bertahan disana selama dua tahun saja karena dia sudah merasa bosan belajar. Hal itu disebabkan karena, menurut Abduh system pendidikannya hanya dengan menggunakan metode hafalan dan tidak memberi kebebasan para muridnya untuk mengembangkan pikirannya (Mohammad, 2006:226). Menurut peneliti, dengan dasar kurangnya kebebasan dalam mengembangkan pikiran yang dialami Abduh tersebut yang menginspirasi pemikiran Hanafi yang ingin mengoptimalkan fungsi dari akal. Abduh kemudian bertemu dengan al-Afghani dan belajar bersama lalu bekerjasama melakukan reformasi di Mesir. Konsep yang sering diikuti oleh para reformis seperti al-Afghani dan Abduh adalah bahwa Islam tidak bisa menghadapi tantangan modernitas (dan Barat), kecuali muslim menerima pendidikan modern, termasuk ilmu pengetahuan dan pengetahuan “rasional” lainnya. Abduh menerima pelajaran tentang pemikiran Islam yang rasional pertama kali dari al-Afghani yang tentu saja tidak pernah diajarkan oleh alAzhar dan institusi lainnya (Woodward, 2002: 240). Muhammad Abduh bekerjasama dengan gurunya, Jamaluddin alAfghani. Kemudian mereka berdua mengelola majalah al-Urwah al-Wutsqa yang terbit dari Paris. Abduh adalah ulama yang menganjurkan dan membuka pintu ijtihad yang telah lama dikunci. Walaupun ide-ide pembaruan Abduh banyak menuai kritik, ulama ini tetap konsisten menyebarkan pemikiranpemikiran pembaruan Islam. Abduh sangat tidak menyukai adanya ahli fikih dan ulama yang hanya menyibukkan diri dengan masalah-masalah furu’iyah
40
dan meninggalkan masalah utama umat. Abduh juga dikenal sebagai tokoh yang gigih memerangi segala bentuk khurafat, ia mengajak umat agar memurnikan aqidah mereka (Mohammad, 2006:227). Muhammad Abduh memandang akal berperan penting dalam mencapai pengetahuan yang hakiki tentang iman. Akal dalam sitem teologi Abduh bahkan memiliki kekuatan yang sangat tinggi. Berkat akal, orang dapat mengetahui adanya Tuhan dan sifat-sifat-Nya, mengetahui adanya hidup di akhirat, mengetahui kewajiban terhadap Tuhan, mengetahui kebaikan dan kejahatan, serta mengetahui kewajiban membuat hokum-hukum. Namun menurutnya, akal masih membutuhkan wahyu sebagai petunjuk hidup mereka. Sebab wahyu sesungguhnya memiliki dua fungsi utama, yakni menolong akal untuk mengetahui secara rinci mengenai kehidupan akhirat, dan menguatkan akal agar mampu mendidik manusia untuk hidup secara damai dalam lingkungan sosialnya (Mohammad, 2006:228). Abduh menegaskan rasionalisme Islam yang inheren dan cocok dalam mengantisipasi ilmu pengetahuan modern. Mirip dengan apa yang dilakukan oleh mutakallim Mu‟tazilah dulu, dan juga tidak terlalu berbeda dengan kelompok Islamisis sekarang, syekh Abduh bekerja untuk memperlengkapi muslim dengan argument yang akan efektif di dunia modern dalam mempertahankan Islam dari serangan luar (Eropa dan Kristen). Seperti Islamiyun sekarang, beliau menegaskan bahwa Islam yang benar tidak mengenal batasan Negara atau politik (Woodward, 2002: 247).
41
C.
Pemikiran Kiri Islam Hassan Hanafi Sejak ajaran Islam yang dibawa Adam hingga Islam pamungkas yang
dibawa Muhammad adalah “Ajaran Kiri”, dalam artian Islam adalah ajaran praksis selalu memberontak terhadap tatanan-tatanan social yang menindas dan diskriminatif. Para nabi pembawa Islam adalah hamba-hamba kebenaran yang berjuang dengan sepenuh jiwa demi membela kesetaraan social (Badruzaman, 2005 : 1-2). Arti „Kiri‟ disini adalah gerakan melawan penindasan. Islam yang dibawa nabi Muhammad pun juga memberontak dari tatanan social, yaitu memberontak dari penindasan kaum kafir Quraisy untuk meraih kebebasan dan keadilan. Ajaran Islam mengenai tauhid dan pengabdian kepada Tuhan bukan suatu seruan religious seperti seruan konvensional yang biasa dikenal. Ia adalah seruan untuk melaksanakan revolusi social. Seruan tersebut secara langsung menyerang system kelas yang memperbudak manusia dengan tujuan mengakhiri dominasi system-sistem yang tidak Islami, baik dalam bidang akidah, tata pergaulan dalam bidang politik, social, ekonomi dsb (Chirzin, 2001: 59). Jadi, yang dimaksud dengan Kiri Islam adalah kiri dalam pemikiran Islam berikut produk-produknya, termasuk produk pemikiran klasik yang biasa disebut turats, dan dalam perilaku umat Islam yaitu para penguasa, rakyat dan kaum intelektualnya sepanjang sejarah mereka (Badruzaman, 2005 : 3-4). Jurnal Kiri Islam adalah kelanjutan Al-Urwah al-Wutsqa dan AlManar dilihat dari keterikatannya dengan agenda Islam al-Afghani; yaitu
42
melawan kolonialisme dan keterbelakangan, menyerukan kebebasan dan keadilan sosial, serta mempersatukan kaum muslimin ke dalam blok Islam atau blok Timur dalam suatu kesatuan yang dinamai dengan Al-Jami’ah alIslamiyah
atau
Pan
Islamisme
(Khoerotunnisa,
http://pringtutul-
kalisabuk.blogspot.co.id diakses tanggal 15 Oktober 2015 pukul 23.20 WIB).
Mengenai penamaan Kiri Islam sendiri, ini menggambarkan arus yang berkembang dalam esai-esai di dalamnya. Ia adalah nama ilmiah, sebuah istilah ilmu politik yang berarti resistesi dan kritisisme dan menjelaskan jarak antara realitas dan idealitas tapi bukan dalam pengertian menarik khalayak untuk memilih satu partai memobilisasi massa. Ia juga terminologi ilmu-ilmu kemanusiaan secara umum. Namun hanya merupakan ungkapan paling jujur tentang realita kaum muslimin yang kehidupannya terpecah (Khoerotunnisa, http://pringtutul-kalisabuk.blogspot.co.id diakses tanggal 15 Oktober 2015 pukul
23.20 WIB). Pada bidang filsafat hukum Islam, Kiri Islam bukanlah aliran baru, karena tetap bersandar pada aliran pemikiran fikih klasik, namun secara selektif. Kiri Islam tidak mengikuti mazhab Hanafi, Syafi‟I atau Hanbali, tanpa mendiskriminasikan anatara mazhab satu dengan yang lainnya (Badruzaman, 2005 : 71). Hassan Hanafi sendiri menyadari, walaupun dengan nama Kiri Islam akan menyebabkan perlawanan datang dari dua arah. Pertama Kelompok “Persaudaraan Allah” akan berkata: tidak ada Kiri dan Kanan dalam Islam. Islam adalah satu, umat Islam satu dan Tuhan satu. Sementara perlawanan
43
kedua dari kalangan pembela status quo (politik, ekonomi dan status sosial) yang menolak perubahan akan mengatakan bahwa Kiri dan Kanan itu adalah permainan kata-kata, untuk memecah belah umat, menyebar intrik dan fitnah. Kiri adalah pengkhianat, pembangkang, penghasut dan tidak senang pada kebaikan manusia (Khoerotunnisa: http://pringtutul-kalisabuk.blogspot.co.id diakses tgl 15 Oktober 2015 pukul 23.20 WIB). Secara singkat dapat dikatakan, Kiri Islam bertopang pada tiga pilar dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam (revolusi Tauhid), dan kesatuan umat. Ketiga pilar tersebut adalah sebagai berikut: 1. Revitalisasi Tradisi Islam Tradisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online mempunyai dua arti; yang pertama adalah tradisi merupakan adat kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat; yang kedua adalah tradisi merupakan penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar (KBBI daring, 2016). Jadi yang dimaksud tradisi adalah hal-hal yang berupa adat kebiasaaan atau cara-cara yang masih dilakukan di masyarakat dan dianggap menjadi yang paling baik dan benar. Tradisi tersebut dapat berupa peninggalan lisan atau tulis para pendahulu. Tradisi adalah sesuatu yang sampai kepada bangsa yang ditinggalkan oleh para pendahulu, diwarisi dari generasi ke generasi, terjadi untuk gelombang-gelombang
umum,
orientasi-orientasi
dan
sekolah-sekolah
pemikiran dan berpengaruh dalam perjalanan kehidupan manusia (Hanafi,
44
2015 : 66). Menurut Peneliti, tradisi merupakan peninggalan yang diwariskan oleh para pendahulu kepada generasi bangsa kemudian mampu memproteksi diri dari gelombang-gelombang yang menjadi sebuah tuntutan sejarah. Sedangkan tuntutan sejarah tidak bisa dihindarkan dari kehidupan manusia karena hal itu adalah kelaziman yang terjadi di setiap zaman. Tugas generasi bangsa dalam mewujudkan tuntutan sejarah berupa intervensi budaya sehingga nantinya akan ada ketersambungan sejarah atau generasi-generasi zaman itu mengabaikan tuntutan historis sehingga akar-akar historisnya terputus. Kata “tradisi” (al-tura>ts) berasal dari penggunaan orang-orang modern di bawah pengaruh pemikiran Barat, sebagai terjemahan tidak sadar dan tidak langsung terhadap kata-kata seperti legacy, heritage, Uberlieferung sebagai sesuatu yang menunjukkan akhir sebuah periode dan permulaan periode yang lain (Hanafi, 2015: 118). Tradisi menurut Hanafi dapat ditentukan dalam berbagai level. Pertama, tradisi itu dapat kita tentukan dalam berbagai bentuk tulisan, buku, manuskrip, atau lainnya yang tersimpan di perpustakaan atau tempat-tempat lain. Kedua, Tradisi itu dapat ditemukan juga dalam rupa konsep-konsep, pemikiran, dan ide-ide yang masih hidup dan hadir ditengah realitas. Kategori pertama lebih bersifat matrialistik sedangkan yang kedua lebih bersifat abstrak. Setiap tradisi mengusung semangat zamannya, mencerminkan tahap perjalanan sejarah, ia bisa berubah-ubah dan berganti-ganti, dan terbentuk sesuai generasi dan
tantangan
yang
ada
pada
zamannnya
(Hidayat:
45
http://cahayaakhirat.blogspot.co.id diakses tanggal 15 Oktober 2015 pukul 23.20 WIB). Edward Shils merinci lebih jauh bahwa tradisi itu adalah sesuatu yang ditransmisikan secara lisan maupun melalui tulisan; meliputi keyakinan agama maupun persoalan yang terkait dengan keduniaan; mencakup keyakinan yang dihasilkan dari logika, yang secara teori mengontrol prosedur intelektual maupun keyakinan yang diterima tanpa renungan yang dalam. Tradisi mencakup pemikiran keyakinan yang diwahyukan oleh Tuhan maupun interpretasi terhadap keyakinan tersebut. Tradisi mencakup keyakinan yang dibentuk melalui pengalaman maupun keyakinan yang diperoleh dari kesimpulan logika. Dalam Islam, tradisi meliputi nilai ajaran yang termuat dalam sumber pokok ajaran, al-Qur‟an dan Hadits, serta produk pemikiran para ulama salaf dalam memahami dan menafsirkan sumber pokok ajaran tersebut (Jainuri, 2014: 1). Turats dalam pandangan Hassan Hanafi dianggap sebagai starting point (nuqthah al-bida>yah) dalam melajukan upaya tajdi>d. Sedangkan nilai
tura>ts itu sendiri diukur dengan kredibilitasnya dalam menawarkan teori praktis (nazhriyah ‘amaliyah) yang menafsirkan serta menyikapi suatu realitas dan sekaligus mengembangkan teori tersebut (Badruzaman, 2005 : 79). Jadi, dalam upaya pembaharuan yang dicetuskan Hanafi dimulai dari tradisi itu sendiri, tidak dari „yang lain‟. Konsentrasi Hanafi dalam pembaharuan terletak pada tradisi umat Islam.
46
Kiri Islam berupaya merekonstruksi khazanah klasik Islam. Tujuannya adalah untuk membangun kembali paradigma ilmu pengetahuan Islam setelah sekian waktu terlupakan dari agenda kehidupan umat Islam. Studi khazanah Islam
klasik
bukan
untuk
mempertahankannya,
melainkan
untuk
menghilangkan aspeknya yang negative dan memilih unsur-unsur positif di dalamnya guna kemajuan umat (Badruzaman, 2005 : 80). Kebangkitan menuntut pula perubahan orientasi peradaban dari Allah (theocentrism) kepada manusia (antrophocentrism), dari vertikal ke horizontal, dari bahasa peradaban yang dogmatis-religius-ideologis-sufistik dan eksklusif menjadi bahasa kemanusiaan universal dan rasional serta terbuka terhadap dialog. Reformasi gagal karena sikap membela tradisi dipertahankan di tengah perubahan zaman dan mendesaknya kebutuhan untuk bersikap kritis. Warisan tradisi dianggap bagian fundamental dalam kebudayaan yang tidak bisa diganggu gugat, dan ini digunakan status quo untuk menjustifikasi diri (Hanafi, 2015 :244). Unsur utama kebangkitan ada pada sikap kritis umat Islam. Setiap individu, tiap muslim wajib hukumnya untuk bersikap kritis, apabila semua muslim menginginkan kemajuan dalam kehidupan social, politik, ekonomi dan bernegara maka perlu adanya perubahan paradigma dari metafisik ke rasional sosialis. Turats bukanlah museum pemikiran yang dapat kita banggakan. Bukan pula sesuatu yang berada dihadapan tempat kita berdiri dan dengan rasa bangga kita mengajak dunia untuk bersama-sama melihat dan mengembara dalam pemikiran. Akan tetapi turats merupakan suatu teori untuk aksi dan
47
membimbing moral, serta merupakan asset bangsa yang dapat disingkap dan dieksploitasi
serta dikembangkan
guna merekonstruksi manusia
dan
hubungannya dengan alam sekitar (Badruzaman, 2005 : 79). Jadi tradisi itu bukan semata-mata warisan yang bersejarah layaknya benda dalam museum. Akan tetapi tradisi menjadi pandangan hidup bangsa yang mampu menjadikan manusia
mengembangkan
dirinya
lebih
baik
lagi.
Beserta
mampu
memanfaatkan alam seperti dijelaskan dalam al-Qur‟an bahwa tugas manusia di bumi adalah sebagai khali>fah yang mampu mengelola alam dengan baik. Banyak ahli tafsir melakukan tafsir historis, seolah-olah al-Qur‟an hanya berbicara untuk realitas, ruang dan waktu tertentu karena hanya menampilkan membangun
peristiwa-peristiwa tafsir
perseptif
masa
(al-tafsir
lalu.
Sedangkan
al-syu’uri)
bahwa
Kiri
Islam
al-Qur‟an
mendeskripsikan manusia, hubungannya dengan manusia lain, tugasnya di dunia, kedudukannya dalam sejarah, membangun system social dan politik (Badruzaman, 2005 : 87). Menurut penulis, metode tafsir tradisi secara perseptif yang ditawarkan Hanafi melalui Kiri Islam kurang tepat, karena setiap pembacaan teks pasti ada metodenya tesendiri. Apalagi Al-Qur‟an yang merupakan kitab suci umat Islam, kitab sakral dan orisinil tentunya punya metode khusus untuk menafsirkannya yaitu dari ilmu-ilmu qur‟an yang sudah ada yang dicetuskan oleh para ulama terdahulu. Memang, ahli tafsir menafsirkan secara historis juga memiliki tujuan untuk mengingatkan manusia. Jadi tidak bisa al-Qur‟an ditafsirkan secara perseptif yang bisa
48
dilakukan oleh setiap manusia tanpa menggunakan metode penafsiran khusus al-Qur‟an. 2. Oksidentalisme: Menantang Peradaban Barat Pilar kedua adalah perlu adanya menantang peradaban Barat. Hanafi memperingatkan pembacanya akan bahaya imperialisme kultural Barat yang cenderung membasmi kebudayaan bangsa-bangsa yang secara kesejarahan kaya. Hanafi mengusulkan “Oksidentalisme” sebagai jawaban “Orientalisme” dalam rangka mengakhiri mitos peradaban Barat. Oksidentalisme sangat penting untuk membangun sikap kritis setiap muslim dalam menghadapi setiap kemajuan dan serangan kebudayaan yang mayoritas berasal dari Barat. Imperialisme
kebudayaan
dilakukan
dengan
cara
menyerang
kebudayaan dari dalam, dan melepas afiliasi umat atas kebudayaannya sendiri, sehingga umat tercerabut dari akarnya. Kiri Islam memperkuat umat Islam dari dalam dan tradisinya sendiri berdiri melawan pembaratan yang pada dasarnya bertujuan melenyapkan kebudayaan nasional dan memperkokoh hegemoni kebudayaan Barat (Badruzaman, 2005 : 91). Menurut peneliti, umat Islam kini harus menyadari bahwa realitas zaman sekarang sudah berubah dan semakin berkembang. Kemudian kemajuan (modernitas) tak mungkin terhindarkan. Maka umat Islam seharusnya segera sadar akan kondisi ini jika tidak mau terus tertinggal dengan peradaban yang lain. Demi mewujudkan cita-cita kembalinya kejayaan Islam maka umat Islam harus bangkit melawan Barat dengan segala pembaratan, imperialism dsb.
49
Terlepas dari serangan gerakan reformasi terhadap kaum materialis, yang direpresentasikan oleh kaum sosialis, komunis dan nihilis, baik di India atau di Barat; dan terlepas dari penolakan kita terhadap frame berpikir dan budaya
Barat
dengan
segenap aspeknya,
gerakan
reformasi
agama
menganggap Barat sebagai acuan pembaharuan dalam hal pencapaian pembangunan dan kemajuan ilmu pengetahuan (Hanafi, 2015:246). Walaupun, memang para reformis tetap melihat Barat sebagai acuan pembaharuan dalam hal keberhasilannya di bidang ilmu pengetahuan dan pembangunan. Akan tetapi menurut peneliti, kaum reformis dengan segala bentuk usahanya untuk membangkitkan semangat reformasi adalah dengan menyeru lagi pada umat Islam untuk kembali memperkuat akidah dan pemahaman sesuai apa yang sudah dimilikinya (tradisi). Seruan untuk menantang dan menggantikan peradaban Barat kemudian ditindaklanjuti oleh Hanafi dengan mengemukakan bahwa umat Islam harus mengembangkan Oksidentalisme (al-istighra>b) yang merupakan tandingan (lawan) bagi Orientalisme (al-istisyra>q). Maka dari itu, Hanafi menerbitkan sebuah buku yang cukup tebal yaitu Pengantar Ilmu Oksidentalisme-Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab (Badruzaman, 2005 : 92). Bagi Hanafi, Oksidentalisme merupakan wacana yang muncul untuk memberikan kemampuan kepada muslim dan lainnya untuk kembali menangkap pengetahuan rasional umat manusia dan dunia yang telah dikaji oleh Eropa dan Amerika sejak abad ke-16 (Woodward, 2002: 378)
50
Anggapan Barat sebagai guru abadi dan non-Barat adalah murid abadi. Adapun hubungan diantara keduanya merupakan hubungan satu arah (monologis). Penggunaan senantiasa oleh yang kedua (murid) dan pemberian oleh yang pertama (guru). Destruksi dari yang kedua dan konstruksi-inovatif dari yang pertama (Hanafi, 2015:39). Anggapan kebudayaan Barat lebih maju menjadi alasan penerimaan secara terbuka terhadap „yang lain‟. Penerimaan tersebut akan menjadikan negara-negara Islam mengikuti „yang lain‟ secara utuh jika tidak diimbangi dengan penyesuaian dari budaya sendiri. Penyesuaian perlu dilakukan karena setiap bangsa memiliki kebudayaan sendiri yang harus diwujudkan dalam peradabannya menjadi ciri khas dan jati diri bangsa. Ajakan Hanafi untuk mempelajari dan mengembangkan ilmu Oksidentalisme seperti itu merupakan ajakan untuk menyikapi Barat sebagai objek studi, ajakan untuk mengubah sikap dan kedudukan dari objek pasif menjadi subjek aktif. Ajakan untuk menghilangkan mental penakut dan “pantas dijajah” (qa>bil li al-isti’mar) untuk diganti dengan mental pemberani, percaya diri dan selanjutnya perasaan punya harga diri. Ajakan untuk memperkecil dan mempersempit lahan dominasi Barat, untuk selanjutnya menghilangkan sama sekali. Ajakan-ajakan tersebut merupakan ajakan pembebasan dari hegemoni kultural dan superioritas Barat (Badruzaman, 2005 : 92). Munculnya fenomena westernisasi dan tidak ada seorang pun yang mengkritisinya kecuali gerakan salafiyah yang reaksioner, yang di kalangan
51
kita dituduh sebagai gerakan „kembali ke masa lalu‟. Generasi kelima tidak berupaya mengubah nilai lama, yakni Barat sebagai acuan pembaharuan, menjadi “mengurangi pengaruh Barat” dan mengembalikannya pada batasbatas yang wajar untuk membuka ruang dan kemungkinan berinovasi seluasluasnya bagi bangsa-bangsa sesuai dengan pengalaman mereka masing-masing (Hanafi, 2015:247). Menurut peneliti, dalam upaya pembaharuan para generasi bangsa dihadapkan pada masalah social, politik, ekonomi dan budaya yang kompleks. Sehingga perlu adanya solusi dalam menghadapi permasalahan tersebut. Maka, tugas generasi bangsa adalah mengubah nilai lama yaitu Barat sebagai acuan menjadi mengurangi pengaruh Barat dan mengembalikannya pada batas yang wajar. Sehingga nanti akan terwujud inovasi dari sebuah gagasan dan ide yang diciptakan untuk bangsanya yang akan mampu mewujudkan peradabannya sendiri. Semua itu tidak berarti seruan eksklusivitas, kembali kepada kegilaan subjek diri atau penolakan untuk mengetahui yang lain dan inklusif terhadap yang lain. Hal yang demikian itu bukanlah watak orang-orang terdahulu yang terbuka terhadap kebudayaan atau peradaban yang berdampingan, terutama kebudayaan Yunani. Belajar kepada yang lain adalah medium artifisial, bukan tujuan akhir. Ia adalah tahapan dan bukan merupakan sejarah. Ia adalah semata-mata motivator dan penggerak, bukan sebagai alternative pengganti sesuatu secara esensial (Hanafi, 2015:38). Jadi, untuk mewujudkan kemajuan bangsa, perlu adanya sikap terbuka terhadap kemapanan yang sudah ditunjukan oleh „yang lain‟. Seperti yang ditunjukan oleh orang-orang
52
terdahulu sehingga Islam mampu memiliki sikap rasional karena kemauan untuk belajar keilmuan terhadap „yang lain‟. Bukan berarti dengan belajar itu mengurangi kadar martabat sebuah bangsa, karena sesungguhnya belajar itu hanya sarana bukan tujuan akhir. Ketika kesadaran kultural yang diproduksi tradisi diri (autonomous) menjadi kesadaran inklusif terhadap peradaban-peradaban lain, maka dengan cepat ia akan merepresentasikan „tradisi yang lain‟ menguasai dan memakai bahasanya, memakai frase-frasenya, mempergunakan metode-metodenya dan menyempurnakan kekurangan-kekurangannya. Kemudian, melalui afiliasi dengan tradisi “yang lain” itu direkayasalah inovasi penciptaan sendiri (Hanafi, 2015: 85). Apabila kesadaran dari tradisi mampu menjadi sikap terbuka terhadap „yang lain‟ maka akan mudah mengadaptasikan tradisi diri dengan „yang lain‟. Sehingga mampu menstubtitusi hal-hal yang negative dengan hal yang lebih positif demi kemajuan bangsanya. Jadi ada afiliasi antara dua peradaban yang mampu menciptakan inovasi baru. Perasaan inferior generasi sekarang terhadap barat. Mulai dari bahasa, budaya, intelektual, aliran-aliran pemikiran, teori-teori maupun pandanganpandangan merupakan hal yang membentuk perasaan nihilistik di kalangan mereka yang kadang-kadang berbalik pada prasangka kemuliaan sebagaimana yang terjadi komunitas-komunitas Islam kontemporer dan yang terjadi di dalam Revolusi Islam Iran (2015:41). Ketidakmampuan umat Islam menyaingi peradaban Barat yang sudah maju dikarenakan mulai lunturnya kepercayaan diri. Para generasi bangsa tidak terlihat begitu antusias menggunakan budaya
53
sendiri, lebih suka meniru budaya Barat. Begitu juga dengan penggunaan bahasa yang lebih mengidolakan bahasa Perancis dan tidak terlalu suka dengan bahasa persatuan Arab Islam. Oksidentalisme
Hanafi
adalah
penyadaran
dan
penegasan
bahwasannya Barat, termasuk sejarah dan peradabannya bukanlah peradaban dunia. Tidak ada alasan untuk menyatakan hal itu, apalagi memaksakan nilainilai peradaban Barat. Oksidentalisme merupakan penyadadaran bahwa Barat tidak lain hanyalah fenomena khusus, dalam kondisi khusus dan cakupan wilayah yang khusus pula. Peradaban Barat adalah peradaban regional Eropa yang secara gencar dan pongah menyatakan diri sebagai peradaban mondial (Badruzaman, 2005: 92). 3. Sikap terhadap realitas dunia Islam Kiri Islam mencurahkan segala potensi untuk menghadapi puncak problematika zaman ini yakni imperialism, zionisme dan kapitalisme yang merupakan
ancaman
eksternal,
serta
kemiskinan,
ketertindasan
dan
keterbelakangan yang merupakan ancaman internal (Shimogaki, 1993: 155). Sampai saat ini, imperialisme tetap merupakan isu terpenting yang dihadapi oleh dunia Islam. Dalam bidang ekonomi, imperialisme saat ini muncul dalam korporasi multinasional. Sementara di sector budaya, munculnya dalam bentuk pembaratan yang merupakan upaya pembunuhan terhadap semangat kreatifitas bangsa dan mencabut mereka dari akar-akar kesejarahan. Secara militer, imperialism mewujudkan diri dalam bentuk pangkalan militer asing yang hadir di seluruh dunia Arab, dari Maroko sampai
54
tanah Arab timur. Tugas Kiri Islam adalah memberi peringatan secara terus menerus dan membongkar model-model imperialism baru, rasisme Barat dan salibisme historis yang terselubung (Badruzaman, 2005 : 102-103). Gerakan salafiyah telah memindahkan percikan masa kini ke dalam masa lampau karena kurang mampu menganalisis realitas, keterbatasan saranasarana praksis dan jauhnya penggerak-penggerak realitas. Pada akhirnya, menciptakan selubung dan tirai serta pembenaran pendapat, sehingga tertutup upaya kritisisme terhadap tradisi lalu. Mereka maju ke belakang dengan fanatisme dan membentuk organisasi-organisasi eksklusif yang terpisah dari kebanyakan orang, di padang pasir ataupun di bawah bumi dan sangat cepat berbenturan dengan otoritas negara (Hanafi, 2015: 112). Keinginan untuk kemajuan dan kebangkitan juga ditunjukan oleh kelompok salafi. Akan tetapi cara yang digunakan kelompok ini kurang signifikan, karena mereka hanya mengajak kembali mengikuti tradisi secara penuh serta mengikuti penguasa (selalu berbaik sangka pada penguasa) bukan mengajak mengkritisi realitas dunia Islam terkini. Sehingga gerakan ini pun terlalu „mengikuti‟ pendapat ulama terdahulu dan membanggakan tradisi diri. Salah satu penyebab adanya ketidakseimbangan antara tradisi dan filsafat dalam kesadaran kebangsaan umat muslim adalah bahwa tradisi merupakan pengetahuan identitas. Tradisi disini adalah tradisi klasik kita yang mengekspresikan identitas “diri”. Pada sisi lain filsafat yang kadang-kadang maksudnya adalah filsafat Barat kontemporer kurang menjelaskan ekspresi identitas (Hanafi, 2015: 124). Jadi menurut peneliti, ada sebuah jarak yang
55
membedakan tradisi dan filsafat dalam kesadaran kebangsaan umat muslim. Tradisi dalam pandangan umat muslim adalah sebagai „pengetahuan historis‟, sesuatu pengetahuan yang menjelaskan asal mula identitas diri. Sedangkan filsafat sudah dipandang sebagai produk Barat yang harus dihindari karena kekhawatiran akan memberikan dampak negatif bagi kaum muslim terutama ideologinya yang mengusung kebebasan. Zionisme juga masih menjadi ancaman laten bagi Islam dan kaum muslimin. Ambisinya bukan saja penaklukan bumi Palestina, tetapi telah merambah ke negeri-negeri sekitarnya: Suriah, Libanon, Mesir dan bahkan lebih luas lagi sehingga hampir menguasai seluruh bumi. Lebih dari itu, zionisme juga berupaya menyebarkan pemikiran-pemikirannya kepada intelektual Arab Islam hingga terlena (Badruzaman, 2005 : 103). Ancaman terhadap dunia Islam lainnya adalah kapitalisme yang dibangun diatas landasan perilaku ekonomi bebas dan diikuti dengan persaingan bebas, laba, rente dan riba. Kapitalisme, selain mendatangkan dampak penindasan juga turut andil dalam menumbuhkan nilai-nilai destruktif dan hedonism utilitarian. Hal itu berujung pada penciptaan kelas-kelas social dan kesenjangan kesempatan, yang pada gilirannya mengakibatan pemusatan otoritas di tangan pemilik modal. Padahal Islam secara objektif menolak pemusatan modal di kalangan minoritas elit (QS. Al-Hasyr, 59:7) hak milik istimewa , kelas social, penindasan, riba (Shimogaki, 1993 : 158). Adapun misi Kiri Islam dalam masa-masa awal abad XV ini menurut Hanafi (Badruzaman, 2005: 105-106) dapat didefinisikan sebagai berikut :
56
1. Memanifestasikan keadilan social di kalangan umat Islam dan menciptakan masyarakat tanpa kelas, agar jurang yang menganga antara kaum miskin dengan orang kaya dapat terhapus, sesuai dengan nash al-Qur‟an. 2. Menegakkan masyarakat yang bebas dan demokratis, dimana setiap
individu
berhak
mengungkapkan
pendapat,
menyuarakan kritik dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar. 3. Membebaskan tanah-tanah kaum muslim dari kolonialisme di Palestina, menghapus pakta-pakta militer di dunia Islam dan mengembalikan kekayaan kaum muslimin setelah sekian lama sumber daya alam yang dimiliknya dihisap oleh imperialism. 4. Membangun Pan-Islamisme, dimulai dari kesatuan umat di Mesir, kemudian Lembah Nil, Suriah, Maroko, Arab dan akhirnya kesatuan umat Islam 5. Merumuskan system politik nasional yang bebas dari pengaruh super power, yaitu kebijakan “bukan Barat dan bukan Timur (La> Syarqiyah wa la> Gharbiyah), sealur dengan nas al-Qur‟an, serta mempererat jalinan persahabatan dengan bangsa-bangsa Asia-Afrika yang merupakan bangsa-bangsa Islam dan Dunia Ketiga. 6. Mendukung gerakan revolusioner kaum terjajah dan tertindas karena sesungguhnya Islam hadir untuk mereka. Revolusi mereka identic dengan revolusi Islam.
57
Anggapan bahwa kemajuan (modernitas) adalah mengimpor produkproduk luar beserta kemampuan mengoperasikan alat-alat teknologi modern bukan merekayasa secara inovatif dan kreatif sarana-sarana bagi penguasaan alam sehingga bangsa-bangsa non-Eropa harus menunggu “spare parts” sarana-sarana yang belum diciptakan. Ketika produksi mengalami surplus niscaya komunitas social kita menjadi komunitas social yang hancur karena produk Barat. Dengan begitu Barat akan memunculkan produk-produk lamanya yang senantiasa diafiliasikan kepada kita yang merepresentasikan ordinasi kemajuan ilmiah dan teknologi (Hanafi, 2015: 90). Sementara itu, bangsa-bangsa Islam merupakan bangsa-bangsa termiskin di dunia sehingga kemiskinan dan keterbelakangan menjadi ancaman internal. Kemiskinan adalah buruknya mutu gizi, makanan dan perumahan. Sementara bangsa-bangsa yang kaya hidup dengan melimpahruahnya harta benda, kemewahan, gedung-gedung istana dan bahkan jual beli pulau dan pantai-pantai.
Kiri Islam menuntut hak-hak kaum miskin di dalam harta
orang-orang kaya, lalu melakukan pengembangan masyarakat berdasarkan nilai-nilai persamaan dan keadilan social. Bagi Hanafi, sosialisme merupakan prinsip universal dan abadi, bukan sebagai system social yang mudah berubah oleh perubahan rezim. Dalam dakwah-dakwah dan khutbah-khutbah tentang Islam, kita selalu lantang mengutip ayat bahwa di dalam harta orang kaya terdapat hak yang jelas untuk para peminta-minta dan kaum yang terlemahkan (al-mahrum) (QS. Al-Ma‟arij, 70: 24-25). Dan bahwa harta benda adalah milik Allah yang diamanatkan kepada kita hanya mempunyai hak memanfaatkan
58
dan membelanjakan, tetapi tidak berhak memonopoli dan menumpuknya (Shimogaki, 1993 : 159-160). Hanafi mengingatkan bahwa umat muslim jangan berharap dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan mendambakan kemajuan jika belum memliki sikap rasional, karena ilmu merupakan kelanjutan dari akal. Menurut Hanafi, akal merupakan petunjuk bagi hidup ijtihad umat muslim. Ijtihad, yang perangkat utamanya adalah akal merupakan jalan menuju kemajuan atau seperti dikatakan Iqbal, merupakan dasar kebangkitan Islam. Kebebasan dan demokrasi di negara-negara muslim merupakan syarat utama bagi proses modernisasi (tahdits), dan modernisasi merupakan syarat utama bagi perubahan dan rekonstruksi struktur social (Badruzaman, 2005 : 142). D.
Kritik Tradisi Islam Pemikiran Hassan Hanafi (1935M-…) Tradisi dalam agama Islam terbagi menjadi, pertama adalah bentuk
ajaran yang tidak bisa berubah, contohnya ibadah mahdhoh yang diwariskan secara terus menerus dari satu generasi ke generasi berikutnya yang bentuk dan tata cara pengamalannya tetap seperti yang dicontohkan generasi awal. Kedua, cara dan hasil pikiran yang diwariskan generasi masa lalu terkait dengan pemahaman prinsip pokok ajaran yang terkait dengan masalah-masalah social, budaya, ekonomi dan politik yang aplikasinya dalam kehidupan seharihari selalu mengalami perubahan dari zaman ke zaman (Jainuri, 2014: 2). Kata “tradisi” (al-turats) berasal dari penggunaan orang-orang modern di bawah pengaruh pemikiran Barat, sebagai terjemahan tidak sadar dan tidak langsung terhadap kata-kata seperti legacy, heritage, Uberlieferung sebagai
59
sesuatu yang menunjukkan akhir sebuah periode dan permulaan periode yang lain (Hanafi, 2015: 118). Menurut peneliti, dari pengertian inilah yang coba diwujudkan oleh Hanafi pembaharuan Islam melalui pemikiran Kiri Islam nya. Hanafi menganggap tradisi kini sudah kurang relevan dengan realitas zaman, maka masyarakat harus bersikap kritis terhadap peninggalan para ulama tersebut. Hanafi mengajak umat Islam kembali menggunakan pola berpikir kaum mu’tazilah karena sifat rasionalnya. Sistem mu’tazilah, dipandang sebagai refleksi gerakan rasionalisme, naturalisme, dan kebebasan manusia. Sebaliknya, beliau melihat sistem asy’ariyah yang menurutnya telah mapan selama berabad-abad di dunia Islam harus dibongkar, karena dianggap bertanggung jawab atas kemandegan pemikiran umat (Asmuni, 2003: 130). Menurut peneliti, ajakan Hanafi ini merupakan ajakan yang baik, ajakan agar umat Islam kritis terhadap realitas zaman. Kondisi realitas zaman yang berubah secara signifikan mewajibkan manusia untuk beradaptasi dengan zaman. Jadi ijtihad harus terus diupayakan demi kemaslahatan umat, bukan berarti harus mengubah semua tatanan dan hukum yang ada di masyarakat secara keseluruhan. Akan tetapi perlunya melakukan ijtihad adalah agar mampu menyelesaikan masalah-masalah yang ada dalam realitas zaman sekarang, yang tidak terjadi di masa lampau. Pemikiran keagamaan yang telah dihasilkan oleh ulama salaf terutama dalam bidang hukum Islam, menjadi pedoman yang sangat penting bagi pelaksanaan
ibadah,
muamalah
serta
untuk
menjawab
tantangan
60
perkembangan yang dialami umat.
Keyakinan ini selanjutnya meniadakan
kemungkinan lain akan munculnya kejayaan yang sama dan membentuk sikap “menerima” dan “tidak mencari” sesuatu yang diyakini benar (Jainuri, 2014: 3). Menurut peneliti, dengan keyakinan yang berlebih terhadap tradisi diri dan menafikan kemungkinan munculnya kejayaan tradisi lain, maka akan terjadinya kejumudan berpikir umat Islam. Sehingga umat Islam enggan mencari kebenaran yang dihadapi oleh realitas zaman sekarang. Tradisi memberi pandangan historis kepada bangsa, dimana pandangan historis itu akan menjadikan bangsa membuat bagian kenyataan zaman secara total dalam satu kesempatan. Setelah memahami dalam kesempatan itu, ia akan sampai pada memandang dunia sebagai tolok ukur abstrak yang tanpa waktu dan ruang (Hanafi, 2015 :67). Jadi, menurut peneliti, tradisi memberikan paradigma yang menggiring suatu bangsa untuk membentuk peradabannya dengan pengalaman sejarah dari tradisi tersebut. Sehingga dalam memandang perkembangan dunia, tradisi akan selalu dipegang dengan erat oleh setiap warga negaranya karena paradigma tradisi yang mengakar didalam jiwa. Teks-teks agama secara literal, menurutnya, sudah tak mampu lagi membendung tuntutan zaman yang mengglobal dan kompleks. Maka dari itu, diperlukan interpretasi yang non-literal, inklusif dan jauh dari postulat-postulat teologis. Dalam hal ini, para ilmuan menemukan bahwa maqâshid asysyarî’ah (kemaslahatan) dipandang sebagai salah satu harapan untuk menyelesaikannya (Hefni, 2011: 175).
61
Kemudian, dalam bukunya Hassan Hanafi yang berjudul Al-turats wa al-tajdid menjelaskan ada 3 pendapat yang tersebar di masyarakat dalam menghadapi realitas zaman yaitu yang pertama kelompok yang beranggapan bahwa warisan masa lalu meliputi segala sesuatu dan menyediakan jawaban atas persoalan masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang. Kedua, kelompok yang beranggapan bahwa hanya dengan hal-hal baru saja persoalan umat dapat di selesaikan. Ketiga, kelompok yang bermaksud mengintegrasikan kedua kelompok tersebut (Amrullah,1997: 43). Hanafi termasuk kelompok ketiga, yang memiliki cita-cita untuk melawan kolonialisme dengan cara menggabungkan antara tradisi Islam dan pemikiran Barat. 1.
Reinterpretasi Tradisi Klasik
Basis metodologis yang digunakan oleh Hanafi adalah merevitalisasi turâts klasik dan merekonstruksinya supaya bias berdialog dengan, dan bermanfaat untuk kondisi kontemporer. Ini merupakan jawaban atas mawqifunâ min al-turâts al-qadîm (sikap kita atas khazanah klasik). Rekonstruksi, menurut Hanafi adalah pembangunan kembali warisan-warisan Islam berdasarkan semangat modernitas dan kebutuhan Muslim kontemporer (Hefni, 2011: 175). Hanafi dalam upayanya menghadapi realitas cenderung dengan kelompok yang ketiga yaitu beliau ingin mengintegrasikan antara tradisi dan pembaruan. Pendekatan yang dilakukan Hanafi menawarkan dua cara dalam menafsirkan kembali khazanah Islam klasik. Pertama, reformasi bahasa (linguistik). Bahasa adalah alat untuk mengekspresikan ide- ide sehingga perlu
62
direformasi agar tetap memenuhi fungsinya sebagai media ekspresi dan komunikasi (Hefni, 2011: 176). Jadi, menurut peneliti reformasi bahasa sangat dibutuhkan karena mampu memberikan perspektif yang lebih luas bagi wawasan keIslaman bangsa Arab. Sehingga dalam istilah-istilah dapat dikembangkan demi kemaslahatan bersama kaum muslimin dan mampu dipahami di setiap kalangan. Dengan demikian, makna yang dipegang adalah makna tradisi, sedang bahasanya adalah bahasa yang telah direformasi. Misalnya, istilah “Islam” yang biasanya secara umum diartikan sebagai sebuah agama tertentu, diganti dengan makna “pembebasan”. Asumsi dasar dari pandangan teologi semacam ini adalah bahwa Islam, menurut Hanafi, adalah protes, oposisi dan revolusi. Baginya, Islam memiliki makna ganda. Jika untuk mempertahankan status-quo suatu rezim politik, Islam ditafsirkan sebagai tunduk. Sedang jika untuk memulai suatu perubahan sosial politik melawan status-quo, maka harus menafsirkan Islam sebagai pergolakan (Hefni, 2011: 176-177). Seluruh bangsa harus mengikuti barat dan berjalan berdasarkan ketentuan-ketentuannya. Hal ini berimplikasi pada dekonstruksi karakterkarakter atau identitas bangsa-bangsa dan pengalaman empiric mereka yang independen, dan monopoli barat terhadap hak inovasi pengalaman-pengalaman baru dan symbol-simbol modernitas yang lain (Hanafi, 2015:39). Bangsa nonBarat sampai kini masih menjadikan Barat sebagai kiblatnya kemajuan teknologi dan kedigdayaan budaya bangsa. Seolah-olah apa yang dilakukan oleh Barat harus juga ditiru oleh bangsa non-Eropa. Padahal, tidak semua yang
63
diciptakan oleh Barat harus ditiru oleh non-Barat karena hal itu akan mengikis identitas bangsa sendiri dan akhirnya nanti yang akan terjadi adalah hilangnya identitas diri bangsa. Kedua, pembaruan khazanah klasik dengan mengganti obyek kajian dari ilmu-ilmu keIslaman tradisional yang sarat dengan latar belakang kemunculannya (budaya lingkungan pada situasi dan kondisi tertentu). Hassan Hanafi memberi contoh pada teologi (ilmu kalam). Pendekatan tradisional mendefinisikan objek dari ilmu ini adalah keesaan Tuhan. Menurut Hassan Hanafi, objek tersebut harus diganti dengan manusia, yakni kesatuan manusia. Pergantian ini akan menggiring kita untuk mengakui persamaan manusia. Dapat disimpulkan penafsiran yang bercorak transformatif sebagai hasil akhir dari rumusan praktis metodologi ini. Ilmu Kalam/Teologi, misalnya dengan konsepnya seperti Imâmah, Naql-Aql, Khalq al-Af‟al dan Tawhid, secara berurutan menjadi Ilmu Politik, Metodologi Penelitian, Psikologi, dan Psikilogi Sosial (Hefni, 2011: 177). Pemahaman terhadap tradisi domestic dan tradisi Barat hanya mungkin dengan pertama-tama memahami realitas kekinian, berdasarkan atas realitas itu akan menjadikan sempurna proses rekonstruksi yang pertama dan alternative yang kedua. Maka dari itu, harus ada klasifikasi yang detail bagi persoalan-persoalan, tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan realitas yang mungkin sebagai neraca analogis bagi pemahaman terhadap konstruksi tradisi klasik dan alternative terhadap tradisi Barat atau teoritisasi langsung terhadap realitas selama dua tradisi yang terdahulu „tradisi diri‟ dan „tradisi yang lain‟
64
semata-mata merupakan sarana-sarana kreasi dan pembelajaran atas inovasiinovasi. Proyek pembaharuan Hanafi memfungsikan agama sebagai spirit gerak menuju pembebasan manusia. Ia bergerak dari seperangkat aturan normatif (Akidah) menuju praksis. Bahkan agama memberikan semangat revolusioner, dalam menangkap semangat ini Hanafi memahami kembali teksteks untuk lebih mendapatkan legitimasi bagi proyek pembaharuannya, karena bila tidak demikian maka kita akan terserabut dari akar dan identitas diri sendiri. Ia pun melakukan kritik internal dan dari sinilah kita dapat mengatakan kalau Hanafi menggunakan hermeneutika sebagai pisau bedah untuk merealisasikan semua itu (Hidayat: http://cahayaakhirat.blogspot.co.id diakses tgl 15 Oktober 2015 pukul 23.20 WIB). Krisis “Filsafat dan Tradisi” direpresentasikan dalam dualisme pemikiran filsafat kontemporer kita yaitu: filsafat yang biasanya diartikan sebagai filsafat Barat modern dan kontemporer, tradisi yang biasanya diartikan sebagai tradisi filsafat klasik. Maka dari itu, “yang lain” (al-akhar) adalah modern dan kontemporer, sedangkan “diri” (al-ana) adalah sejarah klasik (Hanafi, 2015: 122). Krisis muncul dalam interaksi dialektis dengan tradisi klasik mengenai penerjemahan
keseluruhan
ilmu
pengetahuan
tanpa
seleksi
ataupun
perkembangan sama sekali. Biasanya, kita melakukan penerjemahan filsafat, kalam dan tasawuf tanpa ushul al-fiqh padahal ilmu ini, sebagaiman yang telah diingatkan oleh para pelopor wacana filosofis pada zaman kita merupakan
65
lokasi inovasi yang paling krusial dalam pemikiran filososfis kita yang bersifat logis dan metodologis (Hanafi, 2015: 126). Beliau memiliki sebagian agenda kaum tradisionalis, yaitu Hanafi mencoba mempertahankan tradisi tekstual Islam dan struktur isinya sekarang dengan menyerahkan kembali teologi kalam Islam dalam konteks modern. Bagi Hanafi, kalam lebih dari sekedar simbol rasionalisme. Kalam adalah tradisi tekstual yang harus dibaca ulang mengingat situasi Islam saat ini di dunia Islam yang diharapkan kemudian dapat memberikan makna yang relevan
dan
sesuai
dengan
keadaan
yang
ada
(Hidayat:
http://cahayaakhirat.blogspot.co.id diakses tanggal 15 oktober 2015 pukul 23.20 WIB). 2.
Hermeneutika al-Qur’an
Al-Quran adalah wahyu yang diturunkan Allah kepada segenap manusia khususnya yang beragama Islam. Ayat-ayat al-Qur‟an memiliki struktur kata dan kalimat yang indah, sehingga di masa awal tak sedikit masyarakat jahiliah (kafir Quraisy) yang mengidentikkan al-Qur‟an dengan kumpulan syair. Jadi tidak heran jika nabi Muhammad Saw dianggap sebagai penyair. Al-Qur‟an merupakan bagian dari keindahan wahyu Allah dalam bentuk kata, kalimat, dan yang lebih mafhum disebut ayat (Mahatma, 2015: 68). Masuknya beberapa gagasan dan metode ilmiah kedalam wacana penafsiran al-Quran bukan tanpa masalah. Terutama jika mengaitkan beberapa unsur asing kedalam al-Quran, seperti yang sering dicurigai oleh Fazlur
66
Rahman. Sehingga tidak aneh bila ada tuduhan bahwa mayoritas modernis muslim
menafsirkan al-Quran bukan untuk memahami makna sejati,
melainkan untuk mencapai tujuan ekstra qurani untuk menghilangkan kesenjangan intelektual antara komunitas muslim dan penemuan-penemuan Barat (Hidayat: http://cahayaakhirat.blogspot.co.id diakses tanggal 15 Oktober 2015. pukul 23.20). Permasalalan tersebut menjadi dilema tersendiri bagi para pemikir muslim, karena di satu sisi, mereka berkewajiban menafsirkan al-Quran sesuai dengan tuntutan ilmiah dan objektif. Sementara disisi lain, terdapat kepentingan moral untuk menjelaskan al-Quran sejalan dengan kebutuhan umat Islam saat ini. Dua hal tersebut seperti dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Karena kesadaran para pemikir muslim terhadap realitas kekinian dan pemenuhan standar ilmiah dalam penafsiran al-Quran sehingga menghasilkan tulisan-tulisan yang dikembangkan oleh para pemikir muslim kontemporer (Hidayat: http://cahayaakhirat.blogspot.co.id diakses tanggal 15 Oktober 2015 pukul 23.20). Sikap muslim yang mengagungkan kejayaan masa lampau tercermin dalam penghargaannya yang begitu tinggi terhadap kemajuan yang dicapai oleh para ilmuwan muslim dalam segala bidang ilmu pengetahuan dan keagamaan. Penghargaan tersebut adalah sikap yang wajar, tetapi kemudian menjadi tidak wajar apabila sikap ini membentuk keyakinan bahwa kejayaan masa lalu ini merupakan satu-satunya yang pernah dicapai umat Islam yang nilai dan kebenarannya sangat mutlak (Jainuri, 2014: 3).
67
Hanafi berusaha menyajikan sebuah cara baru dalam menafsirkan teks (Al-Quran dan tradisi) dalam hubungannya dengan realitas, dengan mencoba menarik kembali teks kepada pendasarannya yaitu realitas. Sebagaimana alQuran misalnya yang tidak akan turun tanpa kaitan yang jelas dengan kepentingan
masyarakat
masa
nabi.
Masalahnya
adalah
bagaimana
mengembalikan teks al-Quran tersebut kepada referensinya pada realitas. Sementara teks tidaklagi memadai sekedar dirujuk dengan masa lalu yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut. Sebagai teks, al-Quran kini berhadapan dengan realitas umat Islam kontemporer yang penuh persoalan sosial dan kemanusiaan. Maka dari itu, perlu dilakukan penafsiran hermeneutika yang melampaui penafsiran-penafsiran klasik terhadap teks al-Quran. Karena diyakini penafsiran kontemporer lebih mampu menampilkan dimensi-dimensi humanistik dari al-Quran yang selama ini bersembunyi dibalik kekakuan teksteks yang bernuansa teologis (Hidayat: http://cahayaakhirat.blogspot.co.id diakses tanggal 15 Oktober 2015 pukul 23.20). Sesungguhnya sikap terhadap tradisi klasik dan sikap terhadap tradisi Barat merupakan dua introduksi peradaban yang mengekspresikan sikap peradaban umat Islam pada saat ini, yang merupakan manifestasi dari tradisi klasik dan kontemporer. Kedua peradaban itu pada hakikatnya merupakan salah satu sumber pengetahuan yaitu al-naql yang berpaling dari sumbernya, memindah dari masa lampau atau dari masa kini, dari „diri‟ atau dari „yang lain‟. Oleh karena itu, sikap terhadap tradisi klasik di dalam salah satu aspeknya adalah mengembalikan tradisi ke dalam realitas pertama dimana ia
68
tumbuh dan berasal secara tertentu, kemudian menghadapkan tradisi itu ke dalam relitas aktual (Hanafi, 2015: 51). Ketika membicarakan masalah akal dan naql, Hassan Hanafi memberikan prioritas lebih pada akal daripada naql. Pentingnya akal adalah untuk membangun pengetahuan keagamaan dan menegakkan keadilan. Naql tanpa akal, menjadi pandangan semata, karena akal adalah basis naql. Bagi Hanafi, pertimbangan merupakan suatu keniscayaan bagi kesejahteraan muslim (Badruzaman, 2005 : 130).