Hj. Hamsidar, Al Daraaru Yuzalu …
AL DARAARU YUZALU (SALAH SATU KAIDAH USHULIYAH) YANG BERKESESUAIAN DENGAN KONDISI MEMBAHAYAKAN DAN MENYULITKAN Oleh: Dra. Hj. Hamsidar, M.HI Abstract Things that are daruri occupy important positions in sharia because their absence bring a consequence of destruction of life codes, rampant chaos among humans, and ignorance of public benefits. Thus, Islamic law prescribed to maintain the daruri things and most entitled to be maintained, if the maintenance of the law of negligence for daruri then obligatory and liability for the mukallaf are not in a state to allow rukhsah despite what is being taklif becomes burdensome ()ﻣﺸﻘﺔ. Because every taklif contains the determination of loads and burdensome, if it were considered by a mukallaf as never mind ()ﻣﺸﻘﺔ, whatever the law of daruri be disregarded either of worship, or other punishment, i.e. mandatory or forbidden it still maintained daruri things that cannot be separated from ﻣﺸﻘﺔ. For the thing like this, اﻟﻀﺮر ﯾﺰالis applied. The difficulty in question here determines the existence of man because if it is not ignored it would threaten religion, life, intellect, honor (nasab) and property of humans. Keywords: al daruriyat, al masyaqqat, taklif, rukhsah
PENDAHULUAN Kaidah ushuliyyah fiqhiyyah mengandung tiga pengertian, yaitu kaidah, ushuliyyah dan fiqhiyyah. Melalui pengertian yang dimaksud sebagaimana yang telah dijelaskan dalam penelitian sebelumnya, terbentuk pemahaman dua kaidah, yakni kaidah ushuliyyah dan kaidah fiqhiyyah. Kaidah-kaidah ushuliyyah disebut juga kaidah istinbathiyah atau kaidah lughawiyah. Disebut kaidah istinbathiyah karena kaidah-kaidah tersebut dipergunakan dalam rangka mengistinbathkan hukum-hukum syara’ dari dalil-dalilnya yang terinci. Disebut kaidah lughawiyah karena kaidah ini merupakan kaidah yang dipakai ulama berdasarkan makna, susunan, gaya bahasa, dan tujuan ungkapan-ungkapan yang telah ditetapkan oleh para ahli
111
Jurnal Ekspose Vol. XXIII, No. 2, Desember 2014:111-125
bahasa arab, setelah diadakan penelitian-penelitian yang bersumber dan kesusastraan arab.1 Kaidah-kaidah ushuliyyah digunakan untuk memahami nash-nash syariah dan hukum-hukum yang terkandung dalam nash-nash tersebut. Dengan kaidah ushuliyyah dapat difahami hukum-hukum yang telah diistinbathkan oleh para imam mujtahidin, pula dipertimbangkan antara mazhab mereka yang berbeda mengenai hukum suatu kejadian. Karena memahami hukum menurut seginya atau mempertimbangkan antara dua hukum yang berbeda tidak bisa terjadi kecuali dengan memakai ilmu ushul fiqh dan kaidah-kaidahnya.2 Selain Kaidah ushuliyyah dikenal pula Kaidah fiqhiyyah yaitu kaidah hukum yang bersifat kulliyah (bersifat umum) yang dipetik dari dalildalil kulli, dan dari maksud-maksud syara’ dalam meletakkan mukallaf di bawah beban dari memahamkan rahasia-rahasia tasyri’ dan hikmahhikmahnya. Rahasia tasyri’ adalah ilmu yang menerangkan bahwa syara’ memperhatikan pelaksanaan hukum bagi mukallaf, kemaslahatan hamba, maka hal yang terpenting mengetahui ruang lingkup maslahat yang menjadi tujuan syara’ dengan mengemukakan bahwa tujuan menetapkan lima aturanaturan terpokok yakni, memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, memelihara harta.3 Kaidah-kaidah fiqhiyyah dijadikan rujukan (tempat kembali) seorang hakim dalam keputusannya, rujukan seorang mufti dalam fatwanya, dan rujukan seorang mukallaf untuk mengetahui hukum syariat dalam ucapan dan perbuatanya. Karena aturan-aturan syara’ itu tidak dimaksudkan kecuali untuk menerapkan materi hukumnya terhadap perbuatan dan ucapan manusia. Selain itu juga kaidah fiqhiyah digunakan untuk membatasi setiap mukallaf terhadap hal-hal yang diwajibkan ataupun yang diharamkan baginya. Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kaidah ushuliyah memuat pedoman penggalian hukum dari sumber aslinya baik AlQuran maupun sunnah dengan menggunakan pendekatan secara kebahasaan. Sedangkan kaidah fiqhiyyah merupakan petunjuk operasional dalam mengistinbathkan hukum Islam, dengan melihat kepada hikmah dan rahasiarahasia tasyri’. Namun kedua kaidah tersebut merupakan patokan dalam mengistinbathkan suatu hukum, satu dengan yang lainnya tidak dapat
1 http://ahmadrajafi.wordpress.com/2011/02/26/qawaid-al-ushuliyyahdan-al-fiqhiyyah/ , 30 Juni 2011 . 2 Ibid. 3 Dr. H. Hamka Haq, MA, Falsafat Ushul Fiqh (Yayasan Al-Akbar Makassar, tahun 2003) h. 268
112
Hj. Hamsidar, Al Daraaru Yuzalu …
dipisahkan, sebab keduanya saling membutuhkan, dalam sasarannya menetapkan hukum Islam terhadap perbuatan mukallaf. Telah jelas dan rinci bahwa kedua kaidah tersebut berbeda, tapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Namun dalam kaidah fiqhiyyah, dijabarkan lagi menjadi beberapa kaidah yang dikenal dengan Panca Kaidah atau lima kaidah-kaidah asasi, dalam penelitian ini akan menjelaskan salah satu kaidah yang dimaksud yaitu al d{araru yuza>lu bahwa kemadaratan harus dihilangkan, atau dalam literatur lain menyebutkan kesulitan harus dihilangkan4. Rumusan Masalah 1. Apa perbedaan antara kesulitan ( )ﻣﺸﻘﺔdengan darurat; 2. Jelaskan beberapa kaidah Madarat dan Musyaqqot! PEMBAHASAN Pengertian Masyaqqot dan Darurat Memahami salah satu panca kaidah asasi dalam kaidah ushuliyyah fiqhiyyah yaitu al d{araru yuza>lu, lebih dahulu harus dipahami perbedaan antara Masyaqqot dengan Darurat, Masyaqqot adalah suatu kesulitan yang menghendaki adanya kebutuhan (hajat) tentang sesuatu, bila tidak dipenuhi tidak akan membahayakan eksistensi manusia.5 Sedangkan, Darurat adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, akal, harta serta kehormatan manusia. Literatur lain menyebutkan bahwa dharurat adalah kekhawatiran akan adanya kesulitan atau kerusakan jiwa atau sebagian anggota badan bila tidak memakan. 6Dengan adanya masyaqqot akan mendatangkan kemudahan atau keringanan. Sedang adanya darurat akan adanya penghapusan hukum. Yang jelas, dengan keringanan masyaqqot dan penghapusan madarat akan mendatangkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia, dan dalam konteks ini keduanya tidak mempunyai perbedaan.7
4 Zayn al-'Abidin Ibn Ibrahim Ibn Nujaim, al-Asybah wa al-Nazha'ir 'ala Madzhab Abi Ha>nifat> al-Nu'man, (Kairo: Mu'assasah al-Halabi wa Syirkah, 1968), h. 6. Lihat juga Jalal al-Din 'Abd al-Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyuthi, alAsybah wa al-nazha'ir, (Beyrut: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1987), h. 36 5 http://noeraliem.blogspot.com/2010/10/ad-dhararu-yuzalu-kemudharatanitu.html, 30 Juni 2011. Lihat juga Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah (Pedoman Dasar dalam Istinbath Hukum Islam), (Ed. 1, Cet. 3, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999), h. 132. 6 Wahbah al-Zuhaili, Nazharriyyah al-Dharurah al-Syar'iyyah Muqaranah ma'a al-Qanun al-Wadh'I, (Damaskus:Maktabah al-Farabi, 1982), h. 221. Lihat pula Ibid., h. 131. 7 Muchlis Usman, op. cit., h. 133.
113
Jurnal Ekspose Vol. XXIII, No. 2, Desember 2014:111-125
Kaidah-kaidah yang berkenaan dengan kondisi Mudharat. Kaidah dalam eliminasi kesulitan bukan hanya mencakup urusan keringanan ()رﺧﺼ ﺔ, tapi memungkinkan memiliki cakupan yang cukup luas yang belum terjadi ketika suatu kaidah dibuat. Beberapa kaidah terkait dengan eliminasi kesulitan diantaranya adalah sebagai berikut: Kaidah Pertama: اﻟﻀﺮورات ﺗﺒﯿﺢ اﻟﻤﺤﻈﻮرات Artinya: “Kemudharatan-kemudharatan itu dapat memperbolehkan keharaman",8 atau dengan redaksi lain "Keterpaksaan membolehkan (seseorang melakukan) hal yang terlarang".9 Disebutkan dalam Alquran, (QS.Al-An’am:119): ُ ﺿ ْ ﻋﻠَ ْﯿ ُﻜ ْﻢ إِ ﱠﻻ َﻣﺎ ا ﻄ ِﺮ ْرﺗ ُ ْﻢ إِﻟَ ْﯿ ِﮫ َ ﺼ َﻞ ﻟَ ُﻜ ْﻢ َﻣﺎ ﺣ ﱠَﺮ َم َوﻗَ ْﺪ ﻓَ ﱠ Terjemahnya: “Dan sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya”. 10 Batasan Kemudharatan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi manusia, yang terkait dengan panca tujuan, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara kehormatan atau harta benda. Dengan demikian darurat itu terkait dengan Dharuriah, bukan hajiah dan tahsaniah. Sedangkan hajat (kebutuhan) terkait dengan hajiah dan tahsaniah. Hal tersebut memungkinkan bahwa tidak semua keterpaksaan itu membolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar tiada jalan lain kecuali hanya melakukan itu, dalam kondisi ini maka semua yang haram dapat diperbolehkan memakainya. Misalkan seorang di hutan tiada makanan sama sekali kecuali ada babi hutan dan bila ia tidak makan menjadi mati, maka babi hutan itu boleh dimakan sebatas keperluannya. Menurut Abdul Qodir Audah, seorang hakim dan pengacara terkenal dari Ikhwan al-Muslimin Mesir berpendapat, bahwa syarat-syarat keadaan darurat yang membolehkan orang melakukan perbuatan yang dilarang (haram) ada empat, ialah
8
Wahbah Al-Zuhaily, Op cit h. 225 'Ali Ahmad al-Nadawi, al-Qawaid al-Fiqhiyyah: Mafhumuha, Nasy'atuha, Tatawwuruha, Dirasat Mu'allifatiha, Adillatuha, Muhimmatuha, Tathbiqatuha, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1994), h. 101, 102,127,147 dan 308. 9
10
Departemen Agama RI,. Alquran dan Terjemahnya . Lubuk Agung, Bandung. H. 207
114
Hj. Hamsidar, Al Daraaru Yuzalu …
1. Dirinya atau orang lain dalam keadaan gawat yang dikhawatirkan dapat membahayakan nyawanya atau anggota-anggota tubuhnya; 2. Keadaan yang sudah serius, sehingga tidak bisa ditunda-tunda penangannya. Misalnya orang kelaparan belum boleh makan bangkai, kecuali ia telah berada dalam keadaan bahaya lapar yang gawat akibatnya; 3. Untuk mengatasi darurat itu tidak ada jalan keluar kecuali melakukan perbuatan pelanggaran / kejahatan. Jika masih bisa diatasi darurat itu dengan menempuh perbuatan yang mubah. Misalnya orang yang kelaparan yang masih bisa membeli makanan yang halal, maka tidak benarkan makan makanan yang tidak halal (haram) tersebut, karena hasil curian; 4. Keadaan darurat itu hanya boleh diatasi dengan mengambil seperlunya saja (seminimal mungkin untuk sekedar mempertahankan hidupnya). Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena darurat adalah untuk memenuhi penolakan terhadap bahaya, bukan selain ini. Sedangkan unsur-unsur darurat meliputi empat hal pula, yaitu kondisi darurat yang dihadapi; perbuatan yang dilakukan untuk mengatasi kondisi darurat; objek darurat, dan orang yang berada dalam kondisi darurat11. Dalam kaitan ini DR. Wahbah az-Zuhaili membagi kepentingan manusia akan sesuatu dengan lima klasifikasi, yaitu :12 a. Darurat, yaitu kepentingan manusia yang diperbolehkan menggunakan sesuatu yang dilarang, karena kepentingan itu menempati puncak kepentingan kehidupan manusia, bila tidak dilaksanakan maka mendatangkan kerusakan. Kondisi semacam ini memperbolehkan segala yang diharamkan atau dilarang, seprti memakai sutra bagi laki-laki yang telanjang, dan sebagainya; b. Hajiah, yaitu kepentingan manusia akan sesuatu yang bila tidak dipenuhi mendatangkan kesulitan atau mendekati kerusakan. Kondisi semacam ini tidak menghalalkan yang haram. Misalnya, seseorang yang tidak mampu berpuasa maka diperbolehkan berbuka dengan makanan halal, bukan makanan haram; c. Manfaat, yaitu kepentingan manusia untuk menciptakan kehidupan yang layak. Maka hukum diterapkan menurut apa 11
Lihat Abdul Azis Dahlan…[et al.], Ensiklopedi Hukum Islam, (Cet. 1, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 261. 12 Wahbah al zuhaily, op cit h 246-2
115
Jurnal Ekspose Vol. XXIII, No. 2, Desember 2014:111-125
adanya karena sesungguhnya hukum itu mendatangkan manfaat. Misalnya, makan makanan pokok seprti beras, ikan, sayurmayur, lauk pauk, dan sebagainya; d. Fudu, yaitu kepentingan manusia hanya sekedar untuk berlebihlebihan, yang memungkinkan mendatangkan kemaksiatan atau keharaman. Kondisi semacam ini dikenakan hukum Saddud Dzariah, yakni menutup segala kemungkinan yang mendatangkan kerusakan. Contoh kaidah diatas adalah bahwa darah para pejuang Islam ketika perang dianggap suci untuk dipakai shalat, tetapi bila mengenai orang lain dianggap najis, dan sebagainya.13 Kaidah Kedua 14: ﻣﺎ أﺑﯿﺢ ﻟﻠﻀﺮورة ﯾﻘﺪر ﺑﻘﺪرھﺎ Artinya: “Sesuatu yang diperbolehkan karena darurat ditetapkan hanya sekedar kedaruratannya”. Kebolehan tersebut hanya sekedar untuk menghilangkan kemudharatan yang sedang menimpa. Maka apabila kemudharatan atau suatu keadaan yang memaksa telah hilang, maka kebolehan terhadap yang didasarkan atas kemudharatan ini menjadi hilang pula, artinya perbuatan itu kembali ke-asal mulanya yakni telah dilarang. Ringkasnya, bahwa darurat itu merupakan suatu keadaan yang dikecualikan. Maka kebolehan yang diberikan itu tentulah tidak mutlak, tetapi harus diukur dengan kadar yang diperlukan saja. Misalnya bila boleh mencuri sepotong roti karena lapar, maka tidaklah boleh dia mencuri sekarung tepung. Oleh karenanya orang yang makan bangkai karena lapar dibolehkan sekedar untuk perlu mempertahankan jiwa. Sedangkan Imam Malik membolehkan si yang lapar itu makan sampai kenyang bahkan boleh dijadikan bekalnya sampai dia menemukan yang lain. Kaidah ketiga : درء اﻟﻤﻔﺎﺳﺪ أوﻟﻰ ﻣﻦ ﺟﻠﺐ اﻟﻤﺼﺎﻟﺢ Artihnya:“Menolak kerusakan harus didahulukan dari pada menarik kemaslahatan”15 Kaidah ini dapat dilihat pada saat menyatakan berkumur-kumur dan beristinyaq di waktu wudhu adalah sunnah, tetapi bagi orang yang sedang berpuasa adalah makruh, sebab dapat merasakan atau membatalkan puasa. Demikian pula apabila terjadi perlawanan antara kerusakan dan kemaslahatan pada perbuatan, dengan kata lain jika suatu perbuatan ditinjau 13
Muchlis Usman, op.cit., h. 135 Jalal al-Din 'Abd al-Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyuthi, op.cit., h. 60 15 Ibid 14
116
Hj. Hamsidar, Al Daraaru Yuzalu …
dari satu segi terlaang karena mengandung kemaslahatan, maka segi larangannya harus didahulukan. Hal ini disebabkan karena perintah meninggalkan larangan lebih kuat dari pada perintah menjalankan kebaikan. Berdasarkan kaidah ini pulalah, Syeikh Muhammad Abduh berpendapat, bahwa poligami dapat dilarang. Manakala dengan poligami itu akan menimbulkan kerusakan. Seperti kehancuran dan berantakannya rumah tangga apabila seorang suami tidak mampu bersifat adil kepada istri-istrinya, yang akhirnya dapat menelantarkan anak-anaknya. Kaidah keempat: إذا ﺗﻌﺎرض ﻣﻔﺴﺪﺗﺎن روﻋﻲ أﻋﻈﻤﮭﺎ ﺿﺮر ﺑﺎرﺗﻜﺎب أﺧﻔﮭﻤﺎ Artinya:“Apabila bertentangan dua mafsadat, maka perhatikan mana yang lebih besar mudharatnya dengan dikerjakan yang lebih ringan kepada mudharatnya".16 Maksud kaidah ini, manakala pada suatu ketika datang bersamaan dua mafsadat atau lebih, maka harus diseleksi, manakala antara mafsadat itu yang lebih kecil atau lebih ringan. Setelah diketahui, maka yang mudharatnya lebih besar atau lebih berat harus ditinggalkan dan kerjakan yang lebih kecil atau lebih ringan mudharatnya. Biarpun sebenarnya kemudharatan itu ringan maupun berat harus dihindarkan. Sesuai dengan firman Tuhan dalam QS. Al-A’raf : 56, sebagai berikut : ض ِ َو َﻻ ﺗ ُ ْﻔ ِ ﺴﺪُوا ﻓِﻲ ْاﻷ َ ْر Terjemahnya: “Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi." 17 Kaidah kelima: إذا ﺿﺎق اﻷﻣﺮ اﺗﺴﻊ وإذا اﺗﺴﻊ اﻷﻣﺮ ﺿﺎق Artinya:“Apabila saling bertentangan ketentuan hukum, maka didahulukanlah yang dilakukan waktunya sempit dari pada yang longgar dan dilakukan yang menghendaki segera daripada yang boleh ditunda”.18 Kaidah ini terletak pada waktu pelaksanaannya terbatas (sempit) dan mana pula yang waktu pelaksanaannya luas, sehingga denga dipilihnya waktu yang sesuai tersebut tidak akan membawa mudharat kepada kita. Contoh, Apabila ada seseorang yang diwaktu bulan ramadhan bernadzar akan puasa, haruslah puasa bulan ramadhan dikerjakan bulan ramadhan tersebut. Kaidah keenam: ﻓﺈذا ﺗﻌﻮرض ﻣﻔﺴﺪة وﻣﺼﻠﺤﺔ ﻗﺪم دفء اﻟﻤﻔﺴﺪة ﻏﺎﻟﺒﺎ
16
Abdul Hamid Hakim, op cit h. 82 Op cit. h.231 18 Al sayuti, opcit h. 62 17
117
Jurnal Ekspose Vol. XXIII, No. 2, Desember 2014:111-125
Artinya;“Apabila terjadi perlawanan antara kerusakan dan kemaslahatan, maka harus diperhatikan mana yang lebih kuat diantara keduanya”.19 Contoh, bahwa bohong itu adalah sifat tercela lagi berdosa. Tetapi apabila bohong tersebut dilakukan bertujuan untuk mendamaikan pertengkaran antar seseorang dengan kawan-kawannya atau antara suami dan istri, maka diperbolehkannya. Kaidah ketujuh : اﻹﺿﻄﺮار ﻻ ﯾﺒﻄﻞ ﺣﻖ اﻟﻐﯿﺮ Artinya: “Keterpaksaan itu tidak dapat membatalkan hak orang lain”20 Misalnya, seseorang yang dalam kelaparan, dan dia akan mati jika ia tidak makan, maka jalan satu-satunya adalah mencuri. Karena tindakannya ini maka ia wajib mengembalikan atau mengganti makanan orang lain yang telah dimakannya. Kaidah kedelapan : Terjemah:“Apabila saling bertentangan ketentuan hukum yang mencegah dengan yang dikehendaki pelaksanaan suatu perbuatan, niscaya didahulukan yang mencegahnya”. Contoh dalam kaidah ini, suatu sengketa yang terjadi karena seorang menjual suatu benda yang disewakan tanpa seizin penyewa yang oleh karenanya jual beli ini hanya berlaku pada pihak penjual dan pembeli saja, tidak dapat berlaku pada pihak penyewa, artinya pembeli tidak boleh minta begitu saja agar penyewa menyerahkan benda tersebut, sebelum habis masa sewanya. Kaidah Kesembilan: اﻟﺤﺎﺟﺔ اﻟﻌﺎﻣﺔ واﻟﺨﺎﺻﺔ ﺗﻨﺰل ﻣﻨﺰﻟﺔ اﻟﻀﺮورة Artinya :“Kebutuhan itu ditempatkan pada tempat darurat baik kebutuhan itu bersifat umum atau khusus.”21 Menurut kaidah ini kejahatan yang mendesak dapat disamakan dengan keadaan darurat. Apalagi kalau kebutuhan tersebut bersifat umum. Kaidah kesepuluh : اﻟﻀﺮر ﻻ ﯾﺰال ﺑﺎﻟﻀﺮر Artinya : “Kemudharatan itu tidak dapat dihilangkan dengan kemudharatan yang lain”22 19
Wahbah al Zuhaily, op cit h. 221 Ibid, h 259 21 A sayuti opcit . h. 61 20
118
Hj. Hamsidar, Al Daraaru Yuzalu …
Kaidah ini menjelaskan bahwa suatu perbuatan yang membawa kemudharatan itu tidak boleh dihilangkan dengan suatu perbuatan yang mendatangkan kemudharatan lain yang sebanding. Sebab apabila demikian halnya, maka perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang sia-sia belaka. Contoh, bahwa tidak boleh bagi seseorang yang sedang dalam kelaparan mengambil makanan orang lain yang juga akan mati kelaparan, apabila makanannya hilang. Begitu pula, bagi seorang dokter dilarang mengobati pasien yang memerlukan darah, dengan mengambil darah orang lain yang apabila diambil darahnya akan mengalami kekurangan darah. Melalui kaidah ini dapat pula diambil sebuah contoh dua orang yang terapung-apung di atas lautan akibat kapal yang ditumpanginyya pecah. Salah satu dari mereka mendapatkan sekeping papan untuk mengapung di atas air sekedar bertahan sampai ada tim penolong datang. Tetapi juga kawanya yang juga ingin sekali menyelamatkan jiwanya dari bahaya maut merebut papan tersebut dan karena papan itu tidak dapat menampung dua orang ia hatrus mengorbanka kawanya yang sudah berada di atas papan. Maka tindakan orang yang merebut karena darurat terhadap sesuatu yang dianggap darurat pula oleh kawan yang direbutnya tidak dibenarkan oleh syariat. Kaidah kesebelas : اﻟﻀﺮر ﯾﺰال 23 Artinya :”Kemudharatan itu harus dihindarkan sedapat mungkin” Maksud dari kaidah ini ialah, kewajiban menghindarkan terjadinya suatu kemudharatan, atau dengan kata lain, kewajiban melakukan usahausaha preventif agar jangan terjadi suatu kemudharatan, dengan segala daya upaya yang mungkin dapat diusahakan. Maksud yang demikian ini sesuai dengan maksud dalil-dalil mashlahah mursalah, yang dikenal dikalangan ulama Ushul dan banyak digunakan fiqh Siyasah. Melalui kaidah ini dapat diambil contoh tindakan-tindakan hukum diantaranya, yaitu tindakan Umar bin Khattab dengan membakar kedai arak, agar jangan sampai terjadi kemudharatan-kemudharatan yang lebih besar. Demikian pula usaha (Ijtihad) Abu Bakar untuk mengadakan penulisan alQuran agar jangan sampai ada yang hilang atau terlupakan. Begitu juga tindakan (Ijtihad)Usman bin Affan dalam usahanya mengumpulkan alQuran untuk dijadikan sebagai sebuah mushaf. Selanjutnya dalam pelayaran dengan kapal laut, di mana kapal demikian olengnya dan kesulitan (musyaqqah) yang menimpanya, 22 23
Ibid h.59 Ibid
119
Jurnal Ekspose Vol. XXIII, No. 2, Desember 2014:111-125
maka besar kemungkinan akan tenggelam apabila semua barang yang ada didalamnya tidak dibuang kelaut. Kondisi semacam itu diperbolehkan membuang barang kelaut meskipun tidak seizin yang empunya demi kemaslahatan penumpang, yaitu menolak bahaya yang mengancam keselamatan jiwa mereka karena adanya Masyaqqah. Kaidah yang Berkenaan dengan Kondisi Menyulitkan 1. Teks Kaidahnya اﻟﻤﺸﻘﺔ ﺗﺠﻠﺐ اﻟﺘﯿﺴﯿﺮ Artinya: “Kesukaran itu dapat menarik kemudahan”24 Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 185 ﯾﺮﯾﺪ ﷲ ﺑﻜﻢ اﻟﯿﺴﺮ وﻻ ﯾﺮﯾﺪ ﺑﻜﻢ اﻟﻌﺴﺮ Terjemah; “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan Allah tidak menghendaki kesulitan bagi kalian”25 Dan dalam surah Al Haj ayat 78, disebutkan وﻣﺎ ﺟﻌﻞ ﻋﻠﯿﻜﻢ ﻓﻰ اﻟﺪﯾﻦ ﻣﻦ ﺣﺮج Terjemah: “Dan dia tidak menjadikan untukmu dalam agama suatu kesulitan”26 Sebagaimana hadis Rasulullah SAW dari Ibnu Abbas : (ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻲ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ إﻧﻤﺎ ﺑﻌﺜﺖ ﺑﺎﻟﺤﻨﯿﻔﯿﺔ اﻟﺴﻤﺤﺔ )رواه أﺣﻤﺪ Artinya : “Aku diutus dengan membawa agama yang benar dan mudah”. 27 Secara rasional bahwa Allah SWT memberikan 5 alternatif bagi perbuatan manusia yaitu positif (wajib), cenderung ke positif (sunnah), netral, cenderung ke negative (makruh), dan negative (haram).28 untuk realisasi ke 5 hal tersebut, Allah memberikan hokum keharusan yang disebut dengan azimah, yakni keharusan untuk melakukan yang positif dan keharusan untuk meninggalkan yang negative. Namun tidak semua keharusan itu dapat dilakukan oleh manusia, mengingat potensi atau kemampuan berbeda-beda. Kondisi semacam ini Allah SWT memberikan hokum Rukhsah yakni keringanan-keringanan tertentu, dalam kondisi tertentu pula. Dapat dikatakan bahwa keharusan untuk melakukan azimah, seimbang dengan kebolehan melakukan Rukhsah.29 2. Sebab-sebab adanya kesulitan (masyaqqah)
24
Ibid, h 55 Departemen Agama, Opcit h. 45 26 Ibid, h 533 27 Al Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Abi bdillah Al Syaibani, Musnadun 28 Muhlis Usman, op cit h 124 29 Wahbah al Zuhaily, opcit h. 40 25
120
Hj. Hamsidar, Al Daraaru Yuzalu …
Abdul Rahman al-sayuti sebagaimana yang dikutip oleh H. Muhlis Usman menyebutkan tujuh macam yaitu:30 a. Karena bepergian (Safar) Kesulitan seperti ini menjadikan delapan macam keringanan (rukhsah), yakni boleh mengqhashar shalat, boleh berbuka puasa, meninggalkan shalat jum’at, memakan bangkai, shalat jamak, dan kebolehan bertayammum. b. Karena sakit(Maridh) Karena sakit membolehkan bertayammum, duduk ketika shalat, dan khutbah yang semula diwajibkan berdiri, menjamak dua rakaat, meninggalkan shalat jum’at, berbuka puasa dengan membayar fidyah, atau memberi makan orang miskin, berobat dengan benda najis, dan kebolehan melihat aurat. c. Karena dipaksa/terpaksa (Ikrah) Keterpaksaan maka dibolehkan memakan bangkai atau makanan haram, mengucapkan kekafiran dengan meneguhkan hatinya. d. Karena lupa (Nisian) Bila seseorang lupa maka ia terbebas dari dosa misalnya makan minum saat puasa ramadhan, lupa mengerjakan shalat lalu ia teringat dan melakukannya diluar waktunya, lupa berbicara dalam shalat padahal belum melakukan salam, sebagaiman sabda nabi SAW. dari Ibnu Umar yang artinya diangkat pena dari penulis dosa pada umatku ketika salah, lupa dan terpaksa. HR Bai Haki’E e. Karena bodoh (Jahl) Karena kebodohan membolehkan memakan bangkai tetapi tidak mengerti bahwa bangkai itu diharamkan. Termasuk juga tergolong orang idiot. f. Karena kesulitan (Usr dan Umumul balwa) Karena Usr membolehkan istinja dengan batu, kebolehan memakai sutera bagi laki-laki yang sakit, jual beli dengan akad salam, adanya khiar, dalam jual beli, dan Shalat dengan najis yang sulit dihilangkan. g. Karena kekurangan (Nuksan) Karena kekurangan maka wanita kadang-kadang haid dalam setiap bulannya sehingga diringankan untuk tidak mengikuti jum’at, karena jum’at membutuhkan waktu lama dan dikhawatirkan dalam kondisi jum’at datang bulan. 3. Kaidah yang berkaitan dengan kondisi menyulitkan (Masyaqqah) Sebagaimana penulis maksudkan antara lain: 30
H. Muhlis, opcit h. 128-130.
121
Jurnal Ekspose Vol. XXIII, No. 2, Desember 2014:111-125
1. Teks kaidahnya اﻟﻤﺸﻘﺔ ﺗﺠﻠﺐ اﻟﺘﯿﺴﯿﺮ Terjemahnya: “kesukaran itu dapat menarik kemudahan”31 Demikian pula berdasarkan nash AlQuran yang disebutkan dalam surah AlBaqarah ayat 185, berbunyi: ﯾﺮﯾﺪ ﷲ ﺑﻜﻢ اﻟﯿﺴﺮ وﻻ ﯾﺮﯾﺪ ﺑﻜﻢ اﻟﻌﺴﺮ Terjemahnya: “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian”32 Sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dari Aisyah (ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻲ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ إﻧﻤﺎ ﺑﻌﺜﺖ ﺑﺎﻟﺤﻨﯿﻔﯿﺔ اﻟﺴﻤﺤﺔ )رواه أﺣﻤﺪ Terjemahnya: “Dari Ibnu Abbas dari Aisyah ra, dari Nabi SAW beliau bersabda, sesungguhnya aku diutus dengan membawa agama yang benar dan mudah”33 Dikuatkan dalam hadis lain yang berbunyi: ﻗﺎل اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻲ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ إن ﷲ ﯾﺤﺐ أن ﯾﺆﺗﻲ رﺧﺼﮫ ﻛﻤﺎ ﯾﺤﺐ: ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ,ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﻤﺮ أن ﯾﺆﺗﻲ ﻋﻈﺎﺋﻤﮫ Terjemahnya: “Dari Ibnu Umar dari Aisyah yang diridhai Allah padanya dia berkata: bahwa Nabi SAW bersabda sesungguhnya Allah suka memberikan keringanan-keringananNya sebagaimana ia senang memberikan keharusankeharusanNya”34 2. Rasionalisasi kemudahan dalam Islam Allah SWT sebagai Musyarri, memiliki kekuasaan yang tiada batas , dengan kekuasaanNya itu mampu menundukkan ketaatan manusia untuk mengabdi kepadaNya. Dalam realisasi penghambaan itu tidak terjadi kekeliruan, maka dibuatlah aturan-aturan khusus yang disebut sebagai syariah demi kemaslahatan manusia sendiri. Syariah itu disesuaiakan dengan tingkat kemampuan dan potensi yang dimiliki seorang hamba, yang pada dasarnya syariah itu bukan untuk kepentingan Tuhan, melainkan untuk kepentingan manusia sendiri. Namun tidak semua keharusan itu dapat dilakukan manusia, mengingat potensi atau kemampuan yang dimiliki manusia berbeda-beda. Dalam kondisi semacam itulah Allah memberikan hukum rukhsah yakni keringanan-keringanan tertentu dalam kondisi tertentu pula.
31
Al Sayuti, Opcit H. 55 Departemen Agama, Opcit H 45 33 Al imam Ahmad bin Hambal Abi Abdillah al syaibani, musnad, Juz 6. Tab’atu Jadidah Mushahhahah. Jilid 3.1994. H 77 34 Ahmad Bin Hambal, Ibid H. 70 32
122
Hj. Hamsidar, Al Daraaru Yuzalu …
Dari pernyataan tersebut diatas penulis kutip dari pendapat Muhlis Usman, sebagaimana yang dikutip dari Al-Syatibi bahwa kesulitan itu dihilangkan bagi orang mukallaf karena dua sebab: pertama,karena khawatir akan terputusnya ibadah, benci terhadap ibadah, serta benci terhadap taklif, dan khawatir akan adanya kerusakan bagi seorang mukallaf baik jasad, akal, harta, maupun kedudukannya, karena pada hakikatnya taklif itu untuk kemaslahatan manusia.35 Kedua, karena takut akan berkurangnya kegiatan-kegiatan sosial yang berhubungan dengan sesama manusia, baik terhadap anak maupun keluarga dan masyarakat sekitar. Karena hubungan dengan orang lain termasuk ibadah pula.36 Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa hukum Islam dihadapkan pada macam-macam manusia selayaknya diperhatikan kemaslahatan masing-masing sesuai dengan kondisi dan kemampuan dengan tidak bertentangan satu sama lain, maka pada masa itu didahulukan maslahat umum atas maslahat khusus dan diharuskan menolak kemudharatan, masyaqqah dan kerusakan, serta mengutamakan keringanan (rukhsah).
PENUTUP Para mujtahid dalam mengistinbathkan hukum-hukum syara’ dari dalil-dalilnya yang terinci adalah melalui kaidah-kaidah ushuliyyah, yang disebut juga kaidah istinbathiyah atau kaidah lughawiyah. Selain Kaidah ushuliyyah dikenal pula Kaidah fiqhiyah yaitu kaidah hukum yang bersifat kulliyah (bersifat umum) yang dipetik dan dalil-dalil kulli, dan dari maksudmaksud syara’ dalam meletakkan mukallaf di bawah beban dan dari memahamkan rahasia-rahasia tasri’ dan hikmah-hikmahnya. Salah satu kaidah fiqhiyyah dari beberapa kaidah yang dikenal dengan panca kaidah yang asasi dalam pengambilan hukum adalah al d{araru yuza>lu, kesulitan yang dihilangkan. Kaidah ini bukan hanya membatasi hal-hal yang ringan atau keringanan dalam hukum, tetapi mencakup beberapa kaidah yang sudah ada dibuat, dan boleh jadi peristiwanya belum terjadi. Pemahaman antara masyaqqah dengan daruriyah, masyaqqah adalah suatu kesulitan yang menghendaki adanya kebutuhan tentang sesuatu bila tidak dipenuhi tidaj akan membahayakan eksistensi manusia, sedangkan daruriyah adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan, maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, 35 36
Muhlis Usman, Opcit H 125 Wahbah al zuhaily, Opcit H 41-42
123
Jurnal Ekspose Vol. XXIII, No. 2, Desember 2014:111-125
harta, dan akal. Adanya masyaqqah akan mendatangkan kemudahan atau keringanan sedang adanya darurat akan ada penghapusan hukum akan mendatangkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia.
DAFTAR PUSTAKA Abdul Azis Dahlan…[et al.], Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. 1, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996. Abdul Hamid Hakim, Al-Sullam, Bukit Tinggi, 1958 'Ali Ahmad al-Nadawi, al-Qawaid al-Fiqhiyyah: Mafhumuha, Nasy'atuha, Tatawwuruha, Dirasat Mu'allifatiha, Adillatuha, Muhimmatuha, Tathbiqatuha, Damaskus: Dar al-Qalam, 1994 Al Imam Ahmad Bin Hambal Abi Abdillah Al Syaibani, Musnad, Juz 6, Cet 3, Bairut. Lebanon. 1994 Al-Zuhaili Wahbah, Nazharriyyah al-Dharurah al-Syar'iyyah Muqaranah ma'a al-Qanun al-Wadh'I, Damaskus:Maktabah al-Farabi, 1982. Departemen Agama Republik Indonesia, Alquran dan terjemahnya, Lubuk Agung. Bandung. 1989 Haq Hamka Dr. MA, Falsafat Ushul Fiqh, yayasan al-ahkam, Makassar, 2003 http://ahmadrajafi.wordpress.com/2011/02/26/qawaid-al-ushuliyyah-dan-alfiqhiyah/ http://noeraliem.blogspot.com/2010/10/ad-dhararu-yuzalu-kemudharatanitu.html. Ibn Ibrahim Ibn Nujaim Zayn al-'Abidin, al-Asybah wa al-Nazha'ir 'ala Madzhab Abi Ha>nifat> al-Nu'man, Kairo: Mu'assasah al-Halabi wa Syirkah, 1968. Ibn Abi Bakr al-Suyuthi Jalal al-Din 'Abd al-Rahman, al-Asybah wa alnazha'ir, Beyrut: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1987. Usman Muchlis, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah:Pedoman Dasar dalam Istinbath Hukum Islam, Ed. 1, Cet. 3, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999.
124