National Conference on Meningkatkan Ketahanan Nasional dalam Menghadapi Era Globalisasi, FH Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, 28 Juni 2011, ISBN no: 978-602-918825-7, pp: 122-132.
AKTUALISASI BUDAYA PENDALUNGAN UNTUK KESINAMBUNGAN PERUSAHAAN KELUARGA DALAM RANGKA MEMPERKUAT KETAHANAN NASIONAL Sentot Imam Wahjono Universitas Muhammadiyah Surabaya
[email protected]
Abstract To strengthen the resilience of the national economy, the Indonesian nation must strengthen its competitiveness, especially in the field of export, import, investment and labor. Strengthening competitiveness is addressed so that we can catch up comparatively with other countries, requiring not just breeding entrepreneurs withconsiderable amounts but at the same time there quired maintenance of existing entrepreneurs and maintain it by keeping the succession of leadership in family owned business which is very large in Indonesia. Pendalungan culture that developed in several cities in the "horseshoe" in the provinces of East Java is uniquely and later became the basis for developing local business culture turned out to have values that canstrengthen national defense. The development of spatial-value that has been entrenched in these areas can be developed Pendalungan grain business culture that allows to be applied in everyday business practices. Beads of these guidelines at least include: Acting proactively, avoiding moral hazard, Avoiding attitude ajadumeh, No keblinger, Maintaining the trust and not treason, Titis which means an effective and efficient, Temen in the sense of real, Tatag in a sense ready to accept whatever the outcome and the risk of an action.
Keywords: National economic resilience, Pendalungan,business culture. Abstrak Untuk memperkuat ketahanan ekonomi nasional, bangsa Indonesia harus memperkuat daya saing khususnya dalam bidang ekspor, impor, investasi dan tenaga kerja. Penguatan daya saing itu ditujukan agar kita dapat mengejar ketertinggalan secara komparatif dengan negara-negara lain, sehingga diperlukan bukan hanya pembiakan wirausaha dengan jumlah yang cukup banyak namun pada saat yang sama diperlukan pemeliharaan wirausaha yang telah ada dan mempertahankannya dengan menjaga terjadinya suksesi kepemimpinan di perusahaan-perusahaan keluarga yang jumlahnya sangat banyak di Indonesia. Budaya Pendalungan yang berkembang di beberapa kota di “tapal kuda” di propinsi Jawa Timur secara unik dan kemudian menjadi basis pengembangan budaya bisnis lokal ternyata mempunyai nilai-nilai yang dapat menguatkan ketahanan nasional. Pengembangan tata-nilai yang telah berurat akar di daerah-daerah Pendalungan dapat dikembangkan menjadi butir-butir budaya bisnis yang memungkinkan dapat diterapkan dalam praktek bisnis sehari hari. Butir-butir pedoman tersebut paling tidak mencakup: Bertindak proaktif, Menghindari aji mumpung, Menghindari sikap aja dumeh, Tidak keblinger, Menjaga amanah dan tidak berkhianat, Titis yang berarti efektif dan efisien, Temen dalam arti sungguh-sungguh, Tatag dalam arti siap menerima apapun hasil dan risiko suatu tindakan.
Kata-kata kunci: Ketahanan ekonomi nasional, Pendalungan, budaya bisnis.
122
LATAR BELAKANG Globalisasi esensinya adalah proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia ini berada dalam ikatan yang semakin kuat untuk mewujudkan sebuah tatanan kehidupan baru yang nantinya akan menghapus batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat. Hal ini akan berimplikasi pada terbukanya wilayah suatu negara dimana suatu wilayah akan memiliki perbedaan karakteristik pasar akibat adanya halangan (barrier) berupa tarif dan kuota. Globalisasi ekonomi akan menghapus barrier itu. Pengertian globalisasi seperti di atas, disadari atau tidak akan berdampak pada penerapan sistem ekonomi liberal, setidaknya akan mempengaruhi empat hal yaitu: ekspor, impor, investasi dan tenaga kerja. Negara mana yang akan menjadi produsen dan sebaliknya yang menjadi konsumen akan ditentukan pada kesiapan negara dalam menyiapkan empat hal tersebut diatas sehingga mempunyai keunggulan komparatif dalam hal kualitas, kuantitas, dan produktivitas. Ketahanan nasional suatu negara sangat dipengaruhi oleh kekuatan daya saing suatu negara. Keempat jenis dampak tersebut secara bersamaan akan menciptakan suatu efek yang sangat besar dari globalisasi ekonomi dunia terhadap perekonomian dan kehidupan sosial di setiap negara yang ikut berpartisipasi di dalam prosesnya, termasuk Indonesia. Lebih banyak pihak yang berpendapat bahwa globalisasi ekonomi akan lebih merugikan daripada menguntungkan negara sedang berkembang (NSB) seperti Indonesia. Seperti misalnya pendapat yang pesimis mengenai globalisasi dari Khor (2002) sebagai berikut: Globalisasi adalah suatu proses yang sangat tidak adil dengan distribusi keuntungan maupun kerugian yang juga tidak adil. Ketidakseimbangan ini tentu saja akan menyebabkan pengkutuban antara segelintir negara dan kelompok yang memperoleh keuntungan, dan negara-negara maupun kelompok yang kalah atau termajinalisasi. Dengan demikian, globalisasi, pengkutuban, pemusatan kesejahteraan dan marjinalisasi merupakan rentetan peristiwa menjadi saling terkait melalui proses yang sama. Dalam proses ini, sumber-sumber investasi, pertumbuhan dan teknologi modern terpusat pada sebagian kecil (terutama negara-negara Amerika Utara, Eropa, Jepang dan negara-negara industri baru (NICs) di Asia Timur). Mayoritas NSB tidak tercakup dalam proses globalisasi atau ikut berpartisipasi namun dalam porsi yang sangat kecil dan acapkali berlawanan dengan kepentingannya, misalnya liberalisasi impor dapat menjadi ancaman bagi produsen-produsen domestik mereka dan liberalisasi moneter dapat menyebabkan instabilitas moneter dalam negeri (hal.18). Masih menurut Khor, Manfaat dan biaya liberalisasi perdagangan bagi NSB menimbulkan persoalan yang kian kontroversial. Pandangan kontroversial bahwa liberalisasi perdagangan merupakan sesuatu yang penting dan secara otomatif atau pada umumnya memiliki dampak-dampak positif bagi pembangunan dipertanyakan kembali secara empiris maupun analitis. Katahanan ekonomi nasional Indonesia menghadapi tantangan baru sejak bergabungnya Cina dalam perdagangan bebas Asean atau Asean Free Trade Area atau AFTA mulai 1 Januari 2010. Masuknya Cina dalam perdagangan bebas Asean ini meresahkan kalangan produsen dalam negeri, karena bisa dipastikan semua produk Cina bebas masuk ke pasar Asean, termasuk Indonesia. Para produsen pesimistis produk mereka akan mampu bersaing dengan produk Cina yang harganya jauh lebih murah. Selain produk dari luar negeri, Indonesia juga dibanjiri oleh para pekerja atau tenaga profesional dari luar negeri. Berbagai perusahaan besar di Jakarta, banyak yang menggunakan pekerja asing termasuk Cina. Selama ini daya saing industri domestik sangat lemah, karena beberapa faktor. Pertama, tingginya suku bunga komersial yang mencapai 14 %, padahal di Cina hanya 6 %. Kedua, krisis energi yang sampai kini masih berlangsung di Indonesia, berdampak langsung 123
pada mahalnya harga listrik. Ketiga masih rendahnya produktifitas ketenagakerjaan yang ada, Badan Tenaga Kerja PBB-ILO mencatat bahwa produktifitas kerja Indonesia berada di peringkat ke-59 dunia, sedangkan Cina di posisi ke-31. Ke-empat, tingginya biaya pelabuhan di Indonesia dan masih menggunakan mata uang dollar Amerika, padahal di negara pesaing, dapat menggunakan mata uang setempat. Ke lima, rata-rata upah buruh di China USD 2,250 per tahun sedang di Indonesia USD 1,050 per tahun (Kontan, edisi 11 April 2011), ini berarti rata-rata upah buruh di China dua kali rata-rata upah buruh di Indonesia. Dibalik kelemahan komparatif Indonesia-Cina tersebut, Indonesia masih punya peluang untuk bersaing dengan Cina. Kinerja perdagangan Indonesia dengan 10 negara Asean selama ini menunjukkan, Indonesia masih memiliki kekuatan daya saing. Karena itu masuknya Cina dalam perdagangan bebas ini, harus dilihat dari dua sisi, ancaman juga sebagai peluang. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2009 mencapai 4,4 %, yang merupakan peringkat ketiga dunia, dan meningkat lagi menjadi 6,1% di tahun 2010 (Badan Pusat Statistik, 2011). Demikian juga dengan inflasi, di mana pada Desember 2009 dapat dikendalikan pada angka 2,78% yang merupakan inflasi terendah dalam 10 tahun terakhir, meskipun angka itu merambat sampai pada angka 6,96% pada Desember 2010. Bursa Efek Indonesia, saat ini menjadi yang terbaik di antara negara-negara yang tergabung dalam G-20, bahkan yang terbaik se Asia Tengara, dan nomor dua se Asia Pasifik. Seperti kita ketahui bersama kesepakatan AC-FTA ini mulai dirundingkan pada tahun 2003, pengesahan kesepakatan AC-FTA untuk perdagangan barang 29 November 2004 dan diamandemen 8 Desember 2006, pengesahan kesepakatan AC-FTA untuk perdagangan jasa 14 Januari 2007 serta pengesahan kesepakatan AC-FTA untuk investasi 15 Oktober 2009. Tujuan AC-FTA sendiri adalah penguatan dan peningkatan kerjasama ekonomi, perdagangan dan investasi, mendorong liberalisasi dan promosi pertukaran barang dan jasa serta menciptakan iklim investasi yang transparan dan bebas serta kondusif. Agar kita dapat mengejar ketertinggalan secara komparatif dengan negara-negara lain maka diperlukan bukan hanya pembiakan wirausaha dengan jumlah yang cukup banyak namun pada saat yang sama diperlukan pemeliharaan wirausaha yang telah ada dan mempertahankannya dengan menjaga terjadinya suksesi kepemimpinan di perusahaanperusahaan keluarga yang jumlahnya sangat banyak di Indonesia. Budaya lokal yang berkembang di beberapa daerah secara unik dan kemudian menjadi basis pengembangan budaya bisnis lokal ternyata mempunyai nilai-nilai yang dapat menguatkan ketahanan nasional. Budaya Jawa dan Melayu dapat dikembangkan menjadi budaya bisnis yang memiliki beberapa keunggulan bila dibanding dengan budaya Barat. Demikian pula budaya Pendalungan yang secara unik menjadi basis budaya bisnis di banyak perusahaan keluarga di beberapa kota di sepanjang kota di “tapal kuda” di propinsi Jawa Timur layak untuk dipertimbangkan untuk dikaji secara lebih mendalam.
PENTINGNYA BUDAYA DALAM PENINGKATAN KINERJA PERUSAHAAN KELUARGA. Majalah Swa sembada, No. 20/XXVI/23 September-3 Oktober 2010, melaporkan bahwa beberapa pengusaha asli Bali telah berhasil meningkatkan kinerja perusahaan yang kebanyakan berbasis keluarga dengan mengawinkan Tradisi dan Kearifan Lokal dengan Manajemen dan Nilai-nilai Universal yang dibawa kaum Bule. Seperti yang dilakukan oleh CV Dana’s company yang berhasil menjual banyak desain arsitektur bergaya etnik Bali ke seluruh penjuru dunia. Nyoman Dana pemilik usaha yang juga aristek itu telah mendesain resor milik beberapa tokoh dunia terkenal seperti; penyanyi kondang Julio Iglesias dengan
124
nilai proyek USD 20juta, rumah keluarga pengusaha Louis Vuitton, rumah keluarga Raja Fadh di Arab Saudi, rumah keluarga kerajaan Maroko, dan lain-lain para pemuka dunia. Majalah Swa edisi no 20/2010 itu juga melaporkan banyak pengusaha yang menggunakan basis budaya Bali ternyata sangat sukses mengembangkan bisnisnya dengan kinerja yang sangat baik. Pengusaha I Gde Wiratha dan Kadek Wiranatha yang sukses mengelola Gde & Kadek Brothers. Mereka mengembangkan bisnis pariwisata yang terintegrasi. Usaha yang mereka kelola adalah Bounty Hotel, The Breeze Hotel (Contiki), Villa Rumah Manis, Barong Hotel, Dewi Sri Hotel, Double Six Club, Paddy’s Club (salah satu situs bom Bali I), Bali Safari Rafting, Unipara Cargo, Bounty Cruises, Stussy Garment Industry, Paparazzi Lounge, Gili Rengit Water Resort Recreation Island Resort, Montessori International School, Rumah Cuci Laundry, Hotel Food Supplier, Agrobusiness Strawberry, Gado-gado Restaurant, Tepi Pantai Restaurant dan Ku De Ta Restaurant. Ku De Ta Restaurant adalah restoran mewah bergaya Bali yang terletak di pinggir pantai dengan tambahan pemandangan matahari terbenam (sun-set) dan sofa kasur. Soga kasur inilah yang membuat Ku De Ta terkenal dan disukai banyak wisatawan. Soedibyo (2007) menemukan bukti bahwa penanaman nilai-nilai yang membudaya dalam keluarga yang diterapkan dalam suatu usaha yang dibangun secara bersama sangat penting. Dan agar terhindar dari konflik sehingga mampu memelihara kinerja tinggi, sebaiknya sejak awal ditetapkan tanggung jawab dan wewenang masing-masing anggota keluarga, serta harus ditekankan perbedaan antara kepentingan perusahaan dan pribadi. Budaya dapat mempengaruhi harapan setiap anggota keluarga dalam perusahaan keluarga (Sharma, 1997). Oleh karena itu dalam proses manajemen perusahaan keluarga dapat berjalan lancar dan baik maka perlu memperhatikan faktor-faktor budaya yang tumbuh dan berkembang dalam perusahaan keluarga itu. Lebih lanjut Wong (1993) menemukan dalam penelitiannya bahwa ada perbedaan filosofi dasar dan asumsi yang mendasari anggota keluarga dan latar belakang etnis yang berbeda sehubungan dengan tata-cara pergantian kepemimpinan (suksesi) yang ditangani. Sebagai contoh, perusahaan keluarga Cina membagi aset keluarga dalam jumlah yang sama diantara anggota keluarga laki-laki, perusahaan keluarga Jepang sering memiliki satu ahli waris laki-laki yang merupakan penerus dan penerima semua aset. Di Jepang, suksesi dipandang sebagai dasar bagi pembentukan profesionalisme anakanak dan bukan merupakan prioritas. Isu suksesi yang lain dibidang budaya adalah pola komunikasi (face-saving/confrontation), cara-cara penyelesaian konflik (misalnya langsung/tidak langsung), nilai yang diberikan untuk pendidikan, dan posisi perempuan dalam budaya. Di Cina, suksesi dipandang sebagai warisan keluarga dan menjadi prioritas utama. Sebagai tambahan, di Jepang, peran wanita telah ditolak dalam bisnis keluarga (Kaslow, 2006). Pola-pola budaya dalam perusahaan keluarga biasanya dibentuk berdasar pemahaman terhadap beberapa aspek pada pemimpin dan anggota keluarga dalam perusahaan keluarga itu. Aspek-aspek itu adalah: sifat hubungan antara pemimpin dan anggota keluarga, cara pandang terhadap orang lain, orientasi lingkungan, dan orientasi waktu (Dyer, 2002, dalam Susanto dkk., 2008). Derajat pemahaman beberapa aspek itulah yang akan membentuk pola budaya perusahaan keluarga, apakah berpola paternalistik, Laisez-Faiire, Partisipatif, atau Profesional. Susanto et al. (2008) mencatat bahwa keberhasilan melaksanakan suksesi bagi perusahaan keluarga akan membentuk budaya perusahaan dalam bentuk sikap egaliter yang tidak hierarkis namun tidak individualis. Beberapa budaya yang terbentuk karena keberhasilan suksesi itu akan menjalar menjadi terbentuknya budaya baru diantaranya melihat orang lain secara positif, baik, tidak jahat dan dapat dipercaya. Zulfikar (2004) menemukan dalam penelitiannya bahwa keberhasilan suksesi sampai dengan generasi ke-tiga pada pabrik rokok 125
Sampoerna telah menciptakan budaya perusahaan berupa sikap proaktif, menjaga harmoni keluarga dan lingkungan, mempunyai pemikiran dengan perspektif kedepan namun masih mempertimbangkan sejarah masa lalu. Di PT Sritex, Solo, Iwan Setiawan Lukminto setelah ditetapkan sebagai suksesor oleh ayahnya, segera melakukan banyak perubahan diantaranya dengan merubah budaya organisasi. Iwan yang lahir di Solo dan besar di lingkungan budaya Cina dan Jawa berhasil menyatukan pokok-pokok budaya positif kedua budaya tersebut. Melalui akulturisasi budaya, Iwan berhasil membangun budaya perusahaan menjadi budaya kebersamaan dengan slogan “bersama kita sukses”. Slogan ini ternyata mengantarkan PT Sritex pada cara pandang yang kondusif untuk perubahan ke arah yang lebih baik. Karyawan dan manajemen Sritex bergerak ke arah budaya baru yaitu: sifat hubungan antar manusia yang egaliter tidak hieraarkis tapi juga tidak individualis, cara pandang kepada orang lain yang lebih baik karena memandang orang lain adalah baik dan dapat dipercaya, orientasi lingkungan yang proaktif dan harmoni, serta orientasi waktu yang memandang masa depan tanpa meninggalkan masa lalu. Menerapkan sikap egaliter dalam budaya Jawa dan Cina adalah sulit, apalagi di Solo yang merupakan jantung budaya Jawa selain Yogyakarta. (Jawa Pos, 6 Oktober 2010, hal. 6). Pengertian kultural atau budaya (yang dapat digunakan bergantian, dengan arti yang sama) mengacu pada perilaku yang dipelajari yang menjadi karakter cara hidup secara total dari anggota suatu masyarakat tertentu. Kultur atau budaya terdiri dari nilai-nilai umum yang dipegang dalam suatu kelompok manusia; merupakan satu set norma, kebiasaan, nilai dan asumsi-asumsi yang mengarahkan perilaku kelompok tersebut. Kultur juga mempengaruhi nilai dan keyakinan (belief) serta mempengaruhi gaya kepemimpinan dan hubungan interpersonal seseorang (Nahavandi, 2000). Chung dan Yuen (2003) menemukan bukti bahwa budaya Cina yang mempengaruhi proses suksesi mampu mengantarkan perusahaan dengan latar budaya Cina pada kinerja yang baik sehingga perusahaan-perusahaan milik keluarga yang ditelitinya mampu bertahan hidup (survival). Sementara itu Purwadi (2005) memaparkan penerapan budaya Jawa dapat membuat seseorang menjadi kaya dimanapun. Budaya Jawa yang dimaksud adalah Pekerti, Pakerti, dan Pakarti. Yang dimaksud dengan pekerti adalah sopan santun, unggah ungguh, tata krama, etika dan moral. Pekerti merupakan aturan seseorang dalam menentukan tingkah lakunya secara pribadi. Pekerti ingkang becik berarti tabiat yang baik. ukurannya yaitu sejauh mana tindakan yang diputuskan itu bermanfaat bagi orang lain, dan tidak merugikan orang lain. Sementara itu pakerti berkaitan dengan orang yang tekun bekerja sehingga memiliki kepuasan bathin tinggi dan memelihara harga dirinya. Pekerjaan yang dilakukan dengan istiqomah dan profesional akan mendapat penghargaan dari masyarakat. Apapun pekerjaan kalau dilakukan dengan ajeg terus menerus dengan baik dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas, maka akan mendapatkan penghargaan yang tinggi. Pakarti berhubungan dengan hasil kerja. Karya akan diperoleh melalui kerja dan perjuangan yang gigih dan tak kenal menyerah dengan durasi waktu yang panjang. Oleh karena itu kalau seseorang menerapkan konsep pekerti, pakerti dan pakarti dengan baik maka bisa diharapkan orang tersebut akan menjadi kaya, apakah dia mandhep ngalor maupun madhep ngidul. Danisworo (2010) meneruskan konsep 7 T yang bersumber dari ajaran Jawa yang diperoleh dari kakek nya almarhum KRMTA Poornomo Hadiningrat, yaitu: Toto, Titi, Titis, Temen, Tetep, Tatag, dan Tatas. 3 T pertama (Toto, Titi, dan Titis) merupakan suatu skill atau ketrampilan. 4 T berikutnya (Temen, Tetep, Tatag, dan Tatas). merupakan suatu sikap, tekad yang diwujudkan dalam bentuk perilaku, dilaksanakan dalam bentuk kegiatan. Sementara itu, Guang (2009) memaparkan setidaknya ada delapan rahasia sukses dan kaya orang Cina dalam berbisnis, yaitu: kerja keras dan penuh semangat, memiliki motivasi yang kuat, cepat bertindak, dapat dipercaya dan jujur, kekeluargaan dan persaudaraan, cinta kasih, pikiran yang positif, dan belajar terus menerus. Dalam hal kerja keras, para pebisnis 126
Cina mempunyai prinsip bahwa bekerja itu suatu keinginan bukan keharusan, pada umumnya mereka sudah terbiasa dengan jam kerja yang lebih panjang. Mereka lebih suka menghabiskan waktunya di tempat kerja, seringkali mereka justru gunakan hari libur untuk membuka tokonya agar bisa berjualan. Mereka tidak akan pernah puas kalau hasilnya hanya untuk hari ini saja, mereka akan terus mencarinya untuk bekal di kemudian hari. Mereka tidak akan malu untuk mengerjakan pekerjaan apa saja, mereka tidak pernah merasa gengsi atau rendah diri, asal pekerjaan itu halal, baik, dan dilakukan dengan jujur. Mereka bekerja dengan disiplin dan teratur. Ciri pebisnis Cina yang lain adalah jujur. Kejujuran bagi pengusaha Cina merupakan cikal bakal pembentuk jejaring. Manakala seseorang tidak jujur maka akan sulit baginya untuk mempunyai jejaring. Oleh karena itu kejujuran atau trust atau xinyong adalah fondasi bagi terbentuknya jejaring atau networking atau guanxi. Dalam peribahasa dikatakan “Jiali kan fumu, chumen kao pengyou” artinya “dirumah orang bersandar pada orangtua, di luar rumah orang menggantungkan diri pada para sahabat”. Derajat pertemanan orang Cina tercermin dari pemakaian kata untuk menyebut teman, bila sekedar teman biasanya akan disebut pengyou, namun bila teman baik akan disebut lao pengyou. Oleh karenanya pebisnis Cina pada umumnya selalu menepati janji, mereka mengibaratkan, kalau menepati janji ibarat air hujan yang turun dari langit dan menyirami tanaman di ladang, maka dengan menepati janji akan memupuk kepercayaan orang lain. Kekeluargaan dan persaudaraan bagi orang Cina adalah dominan. Nepotisme dalam bahasa lain, bagi pebisnis Cina justru merupakan suatu keharusan, dengan nepotisme ini mereka digerakkan untuk saling menolong saudaranya terlebih dahulu. Mereka akan saling tolong misalnya untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Mereka pada umumnya akan mengatakan kepada pembeli yang sudah masuk ke tokonya dengan kata “ada”. Kalau toh barang tersebut tidak ada di tokonya maka dia akan mencarikan ke toko jejaringnya. Dengan demikian pelanggan merasa senang karena tak perlu bersusah payah dengan berpindah-pindah toko untuk mencari barang tersebut. Mereka juga menjamin bahwa barang tersebut tidak lebih mahal dari toko yang mempunyai persediaan barang itu. Terdapat beberapa kata dalam bahasa Cina yang sering digunakan untuk memelihara kekeluargaan ini, yaitu: terimakasih (xie-xie), maaf (dui bu qi), pujian dan ungkapan luar biasa (hen bao), tolong, dan kata halo/apa kabar (ni hao ma). Sebagai wujud dari cinta kasih, maka pebisnis Cina harus menunjukkan sikap berbakti dengan cara: menghormati, mematuhi, mendahulukan orang tua dan orang lain. Rasa cinta kasih inilah yang menjadi dasar untuk melakukan bisnis. Dengan rasa cinta kasih para pebisnis Cina akan memelihara pelanggan nya untuk jangka waktu yang panjang. Rahasia sukses orang Cina yang lain adalah pikiran positif. Mereka seringkali mempercayai kata-kata yang bermakna baik dengan harapan baik. oleh karena itu mereka sering menghindari kata-kata dengan makna yang jelek. Misalnya: mereka sering menghindari penggunaan angka 4 karena bunyi ucapan nya yaitu “si” terdengar kurang baik seperti melafalkan kata yang bermakna mati. Tak heran mereka sering mengganti lantai 4 gedunggedung bertingkat miliknya dengan lantai 3B, demikian juga dengan nomor rumah. Demikian pula mereka menghindari angka 13, sehingga nomor urut dari 12 seringkali loncat ke nomor 15 karena menghindari angka 13 dan 4. Tetapi mereka sangat suka dengan angka 8 yang kalau diucapkan berbunyi “pak” yang sama artinya dengan kata makmur. Karena terlalu percaya dengan pikiran ini maka mereka seringkali berebut dengan angka 8. Mereka anggap sebagai nomor cantik, dan untuk memperolehnya mereka bersedia untuk membayar dengan harga tinggi. Dalam hal warna, mereka sangat menyukai warna merah karena mempunyai arti keberuntungan, kebahagiaan, kemakmuran dan suka cita. Warna merah sering mereka pakai untuk hari-hari penting seperti pernikahan, ulang tahun. Sampai-sampai telur pun mereka warnai merah. Mereka yakin bahwa dengan pikiran positif akan dapat meningkatkan 127
semangat dan antusiasme. Ada beberapa tips untuk selalu berpikir positif ala pebisnis Tionghoa (Guang, 2009: 156) yaitu: selalu ambil segi positifnya, selalu siap untuk menerima keadaan, bergaul dengan orang-orang positif, dan bersyukur. Menurut Dyer (2002) dalam Susanto et al. (2008) budaya yang berhubungan dengan suksesi internal dalam perusahaan keluarga meliputi seperangkat cara pandang, sikap dan perilaku manusia. Misalnya cara pandang terhadap orang lain yang menempatkan orang lain sebagai orang yang baik dan dapat dipercaya. Cara pandang seperti ini akan mendorong setiap manusia akan berperilaku positif. Orang akan mudah untuk berhubungan dengan siapapun. Kemudahan berhubungan ini akan membuka pintu-pintu jejaring bisnis yang lebih luas. Orang yang mempunyai cara pandang positif akan mudah berbisnis dengan siapapun dengan latar budaya apapun sehingga memudahkan orang untuk mencapai kinerja positif. Apalagi kalau seorang pebisnis juga mempunyai pandangan bahwa orang lain tidak jahat, maka orang tersebut akan dengan mudah dan tanpa hambatan yang berati untuk menjalin hubungan bisnis. Orang tersebut tidak akan was was, takut kalau penjualan kreditnya tidak bisa ditagihkan. Takut kalau persediaan barang jadinya di gudang akan dicuri karyawan gudangnya sendiri. Takut kalau uang kas dan/atau saldo di bank nya akan digelapkan oleh kasir atau manajer keuangannya. Sejalan dengan hasil penelitian Sharma (1997) dan (Wong, 1993) yang mengatakan bahwa perbedaan latar belakang budaya dan/atau etnis dapat mempengaruhi kinerja perusahaan keluarga, bahwa ada perbedaan filosofi dasar dan asumsi yang mendasari anggota keluarga dan latar belakang etnis yang berbeda sehubungan dengan kinerja perusahaan keluarga terutama dalam mempertahankan dan mengembangkan bisnis perusahaan keluarga (Wahjono, 2011). Sebagai contoh, perusahaan keluarga Cina membagi aset keluarga dalam jumlah yang sama diantara anggota keluarga laki-laki, perusahaan keluarga Jepang sering memiliki satu ahli waris laki-laki yang merupakan penerus dan penerima semua aset. Di perusahaan keluarga dengan latar budaya Jawa dan Pendalungan yang dipengaruhi ajaran Islam, pembagian aset keluarga sesuai dengan hukum waris Islam yaitu, anak lelaki mendapat dua bagian sedang anak perempuan mendapat satu bagian.
NILAI-NILAI LUHUR BUDAYA PENDALUNGAN. Pendalungan dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai sekumpulan orang atau masyarakat dengan latar budaya campuran Jawa-Madura atau biasa disebut orang Jawara. Kaum Pendalungan sebagian besar bermukim di bagian timur Jawa Timur. Pusat daerah kaum Pendalungan adalah kota Jember, dan tersebar mulai dari pinggiran timur pantai Surabaya terus ke selatan dan menyusur pantai utara Jawa yang berhadapan dengan pulau Madura melewati kota-kota Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, dan sampai Banyuwangi (kota pelabuhan yang menghadap ke pulau Bali). Wilayah sebaran Pendalungan juga masuk ke pedalaman kota-kota itu dan berkembang di kota-kota Lumajang dan Bondowoso. Kaum Pendalungan terdiri dari dua kelompok yaitu: 1) Orang Jawa yang telah dibesarkan di desa-desa di pulau Madura, 2) Keturunan dari perkawinan Jawa-Madura, 3) Orang Madura yang bermigrasi ke Jawa dengan menyeberangi selat Madura. Kelompok pertama berbicara dengan menggunakan bahasa Madura dan bahasa Jawa secara bergantian yang pada akhirnya secara tidak sengaja melahirkan bentuk bahasa baru hasil asimilasi kedua bahasa tersebut. Sementara itu kelompok kedua terbentuk secara historis sejak 1671 ketika Pangeran Madura, Trunojoyo memberikan Madura kepada prajurit Jawa yang bersatu dengan dia untuk melawan Raja Mataran Jawa Mangkurat I. Praktek asimilasi (penggabungan) budaya dan bahasa Pendalungan ini berjalan dengan cepat dan semakin cepat ketika Gubernur Inggris Raffles mentransmigrasikan ribuan orang-orang Jawa untuk bekerja dan 128
membuka perkebunan baru di tengah-tengah Gunung Semeru, Argopura, dan Ijen. Dan karena jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan disana tidak mencukupi maka pejabat Belanda, setelah Raffles, meresponnya dengan menambahkan orang-orang Madura. Kelompok ketiga adalah orang Madura yang sekarang ini tinggal di kota-kota tapal kuda. Kaum Pendalungan Pasuruan pada umumnya adalah orang Madura Bangkalan, sedang Pendalungan Probolinggo pada umumnya berasal dari Sampang dan Pamekasan, dan kaum Pendalungan Situbondo biasanya berasal dari kaum Madura migran Sumenep. Bahasa yang digunakan oleh kaum Pendalungan sebagian besar menggunakan kosa kata dari bahasa Madura namun mereka lebih senang menggunakan dialek Surabaya. Hal ini dikarena orang Surabaya berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa dengan pilihan tingkatan bahasa terendah (ngoko) yang bersifat egaliter dan dipandang cocok dengan kebiasaan kaum Pendalungan. Masyarakat Pendalungan di Pasuruan, Probolinggo, Lumajang dan Jember umumnya bisa dua bahasa, yakni bahasa Madura dan Jawa (yang kadang berlogat Madura). Namun masyarakat Pendalungan di Situbondo dan Bondowoso hanya bisa bahasa Madura, bahkan di pedalaman-pedalaman mereka malah sama sekali tidak mengerti bahasa Indonesia ataupun Jawa. Bahasa Jawa kasar (ngoko) lazim dipakai di Pasuruan, Probolinggo kota , Lumajang dan Jember. Meskipun demikian banyak diantara kaum Pendalungan yang tidak suka disebut orang Madura, padahal bahasa mereka jelas-jelas berbahasa Madura. Mereka lebih suka disebut pendalungan saja. Perekonomian kaum Pendalungan berpusat pada pertanian dan memelihara ternak. Tanaman utama mereka adalah padi, yang ditanam di sawah beririgasi. Mereka biasanya membudidayakan buah-buahan, sayuran, dan tanaman lainnya di pekarangan rumahnya. Di musim kemarau saat air tidak mencukupi untuk irigasi, sawahnya ditanami palawija hal ini biasanya terjadi selama musim kemarau. Mereka juga bekerja sebagai pedagang, pengrajin kayu dan batik, dan berbagai profesi lainnya. Pada umumnya, orang Pendalungan tinggal di pedesaan di rumah-rumah anyaman bambu dengan lantai tanah, sementara mereka yang di kota-kota memiliki rumah yang lebih modern dengan dinding batu bata. Orang Pendalungan dikenal karena makanan khas mereka, seperti suwar-suwir (tepung beras terfermentasi manis), sup pindang koyong, rujak cingur (salad dengan irisan daging moncong sapi), semanggi Surabaya (sayuran semanggi dikukus dengan bumbu ketela rambat dan petis), lontong Balap (nasi putih dimasak di dalam daun pisang dengan tauge dimasak berkuah) dan sate laler (tusukan daging kambing atau ayam diiris kecil-kecil dipanggang di atas api kecil). Mayoritas orang Pendalungan adalah penganut agama Islam (muslim). Namun, dalam kehidupan sehari-hari, mereka masih sangat bergantung pada dukun dan orang pintar lainnya untuk mengobati penyakit serta untuk menyelesaikan masalah-masalah psikis dan kepercayaan. Pengelompokan (stratifikasi) kaum Pendalungan pada umumnya terbagi dalam tiga kelompok yaitu: sekitar 30% adalah Muslim Abangan (identitas secara resmi tercatat memeluk agama Islam namun dalam praktek sehari-hari tidak mengamalkan ajaran Islam dengan sesungguhnya); 30% lagi adalah pengikut Tarekat (kaum muslim yang dalam praktek ibadahnya sering mengikutsertakan beberapa ajaran lain yang bukan berasal dari Nabi Muhammad), 25% nya lagi adalah kaum Ha'kikat Muslim konservatif (kaum muslim yang hanya menjalankan ibadah sesuai dengan yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad), sekitar 10% adalah penganut Ha'kikat muslim moderat yang lebih toleran terhadap kaum nasionalis, dan sisanya sekitar 5% adalah kaum Ma'rifat Muslim mistik yang masih mempercayai kekuatan gaib yang ada disekitarnya seperti kekuatan yang ada di pohon-pohon besar, di persimpangan jalan, dan tempat-tempat tertentu. Dari segi watak, sebagian besar memiliki sifat khas Madura, yakni keras, mudah naik darah, tangguh, pekerja keras, namun juga setia. Sifat-sifat Jawa juga masuk dalam diri masyarakat Pendalungan seperti: titis, temen, dan tatag. Sementara itu, kaum Pendalungan 129
pada umumnya tidak memiliki 4 sifat Jawa yang lain yaitu: toto, titi, tetep, dan tatas (Danisworo, 2010). Titis adalah ketrampilan yang mengarahkan seseorang untuk menepati target yang dituju. Untuk dapat tepat pada sasaran yang dituju maka seseorang harus berkonsentrasi. Titis juga diartikan fokus, dalam manajemen modern titis diartikan sebagai segregation of duties. Titis juga berarti efektif dan efisien. Dengan mempunyai ketrampilan titis, seseorang bisa menghindari pemborosan, kemubadhiran. Temen adalah sikap, tekad yang diwujudkan dalam bentuk perilaku, dilaksanakan dalam bentuk kegiatan dengan bersungguh-sungguh, jujur, tulus ikhlas, dan tekun. Temen adalah salah satu sikap hidup orang Jawa yang dijadikan dasar dari seluruh tindakan, karena temen itu fitrah (sikap asli manusia bawaan dari Tuhan). Memang temen adalah soal hati, sehingga agak sulit untuk diketahui. Namun demikian ada banyak cara untuk akhirnya mengetahui apakah seseorang itu temen atau tidak. Karena kepercayaan tentang temen inilah maka banyak orang Jawa yang menggunakan pendekatan kejujuran ini untuk memandang orang lain. Berangkat dari anggapan bahwa semua orang baik, jujur, temen dan fitrah maka orang Jawa pada umumnya bermula dari rasa percaya, sementara itu dengan berjalannya waktu maka dapat diketahui siapa saja yang memang benar-benar temen dan tidak. Konsep temen ini tidaklah terlepas dari konsep keluarga. Sehingga barang siapa yang tidak jujur terhadap dan/atau di dalam keluarganya maka bisa ditarik kesimpulan di tempat lain pun orang tersebut tidak jujur, tidak temen. Termasuk dalam kehidupan beragama, puasa misalnya, yang merupakan domain privat, bukan berarti tidak bisa dijadikan dasar untuk menilai seseorang. Bila seseorang telah tidak jujur dalam puasa, misalnya tidak puasa tetapi mengaku berpuasa, maka orang tersebut bisa dipastikan tidak bisa menerapkan konsep temen dengan sebaik-baiknya. Danisworo (2010: 160) menyatakan bahwa kita harus temen pada waktu mengucapkan basmallah, kita harus temen saat sholat. Temen tidak sama dengan pasrah. Meski dalam konsep temen terdapat keikhlasan, berserah diri pada Yang Maha Kuasa, tidak berarti pasrah tanpa melakukan usaha yang mencukupi. Tatag berarti tabah ketika harus memutus perkara sulit. Tabah meskipun kita merasa iba, kasihan dan ingin menolong. Tatag juga berarti sikap bathin yang mantap dalam menerima apapun hasil dan risiko suatu tindakan. Tatag bukan hanya diperlukan saat menghadapi masalah tetapi juga pada saat menyelesaikan masalah. Tatag juga berarti berani menghadapi masalah meski tanpa teman, dalam bahasa Jawa “ngelurug tanpa bala” sehingga kemenangan bisa kita dapatkan tanpa menginakan orang lain atau “menang tanpa ngasorake”. Salah satu sikap dan perilaku yang diwarnai budaya Pendalungan adalah cara kerja yang pro aktif, segera melakukan pekerjaan meskipun belum waktunya. Budaya Pendalungan juga mendorong manusia untuk perhatian pada perlengkapan dan peralatan kerja agar manusia dapat memanfaatkannya secara optimal. Orang Pendalungan juga dilarang untuk aji mumpung dengan memanfaatkan segala kesempatan untuk kepentingan diri pribadi. Beberapa pendapat, sikap dan tindakan para informan tentang makna budaya dalam proses suksesi di perusahaan keluarga terangkum dalam tabel 1 berikut:
130
Tabel 1 Praktek Bisnis dalam Budaya Pendalungan. Nilai-nilai Sikap dan tindakan Bertindak proaktif itu penting dan merupakan bagian dari budaya yang Sifat hubungan melingkupi praktek bisnis keluarga Kita juga dilarang untuk aji mumpung dengan memanfaatkan segala kesempatan untuk kepentingan diri pribadi.
Orientasi lingkungan
Sebagai pebisnis Aja dumeh kuwasa, tumindake daksura lan daksiya marang sakpadha-padha; Aja dumeh pinter, banjur tumindak keblinger; Aja dumeh sugih, banjur tumindak lali marang wong ringkih; Aja dumeh menang, tumindake sak wenang-wenang; Aja dumeh bagus, banjur gumagus; Aja dumeh ayu, banjur kemayu, lan sakpiturute. Dilarang keblinger yang akhirnya berkhianat.
Sumber: Wahjono, 2011.
REKOMENDASI Dari paparan di atas maka saya merekomendasikan pengembangan tata-nilai yang telah berurat akar di daerah-daerah Pendalungan menjadi butir-butir pedoman bisnis yang memungkinkan dapat diterapkan dalam praktek bisnis sehari hari. Butir-butir pedoman tersebut paling tidak mencakup hal-hal sebagai berikut: a) Bertindak proaktif, b) Menghindari aji mumpung, c) Menghindari sikap aja dumeh, d) Tidak keblinger, e) Menjaga amanah dan tidak berkhianat, f) Titis yang berarti efektif dan efisien, g) Temen dalam arti sungguh-sungguh, h) Tatag dalam arti siap menerima apapun hasil dan risiko suatu tindakan.
DAFTAR PUSTAKA ----------, Badan Pusat Statistik, 2011. http://www.datastatistikindonesia.com/component/option,com_tabel/kat,1/idtabel,111/Itemid,165/, diunduh tanggal 6 Juni 2011. ----------, Jawa Pos, 6 Oktober 2010. ----------, Kontan, edisi 42/XI. 11 April 2011. ----------, Swa sembada, No. 20/XXVI/23 September-3 Oktober 2010. Sucess Story Entrepreneur Eksotis Bali, Bagaimana Mereka Mengawinkan Tradisi dan Kearifan Lokal dengan Manajemen dan Nilai-nilai Universal yang dibawa kaum Bule. Chung, Walter W.C, Yuen, Karina P.K. 2003. Management Succession: a case for Chinese family-owned business. Management Decision. 41/7. Pp. 643-655. htpp://www.emeraldinsight.com/0025-1747.htm. 131
Danisworo, Suryo. 2010. Warisan Kepemimpinan Jawa untuk Bisnis, Memimpin Perusahaan dan Menyiapkan Calon Pengganti. Penerbit PPM. Jakarta. Guang, Lie Shi. 2009. Rahasia Kaya dan Sukses Pebisnis Tionghoa, Penerbit Andi. Yogyakarta. Kaslow, Florence Whiteman. 2006. Handbook of Family Business and Family Business Consultation: a Global Perspective. Birmingham: International Business Press. Khor, Martin. 2002. Globalisasi & krisis Pembangunan Berkelanjutan, Seri Kajian Global, Yogyakarta, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. Nahavandi, A. 2000. The art and science of leadership (2nd Ed). New Jersey: Prentice Hall. Purwadi. 2005. Kiat Bisnis Orang Jawa, Madhep Ngalor Sugih, Madhep Ngidul Sugih, ebook. BudayaJawa.com. Sharma, Pramodita, Chrisman, J. J., and Chua, J. H. 1997. Strategic Management of The Family Business: Past Research and Future Chalenge. Family Business Review. Vol. 10 No. 1 pp. 1-35 Soedibyo, Moorjati. 2007. Kajian terhadap Suksesi Kepemimpinan Puncak (CEO) Perusahaan Keluarga Indonesia - menurut Perspektif Penerus. Disertasi. Program Pasca Sarjana, Universitas Indonesia, Jakarta. Susanto, AB, Sujanto, F.X., Himawan Wijanarko, Patricia Susanto, Suwajuhadi Mertosono, Wagiono Ismangil. 2008, A Strategic Management Approach Corporate Culture & Organization Culture, Divisi Penerbitan The Jakarta Consulting Group, Jakarta. Wahjono, Sentot Imam. 2011. Pola Suksesi Internal pada Perusahaan Keluarga, studi pada tiga perusahaan keluarga etnis Jawa, Cina dan Pendalungan di Jawa Timur. Disertasi, Progran Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Wong, Siu-lun. 1993. The Chinese Family Firm: A Model. Family Business Review. Vol. 6 Issue 3 pp. 327-340 Zulfikar, Mochammad Reza. 2004. Analisis Pengaruh Faktor Nilai-nilai Utama Karyawan terhadap Budaya Perusahaan PT. HM. Sampoerna, Tbk. Tesis. Program Pasca Sarjana. Universitas Airlangga. Surabaya.
132