AKTIVITAS KEAGAMAAN DAN KEHIDUPAN KELUARGA PEGAWAI PENCATAT NIKAH (P3N) Mustafa Kamal Rokan Kata Kunci: keagamaan, keluarga, pencatat nikah Pembantu pegawai pencatat nikah (P3N) adalah salah satu komunitas umat Islam yang bertugas membantu proses pencatat pernikahan dalam masyarakat. Seorang pembantu pegawai pencatat nikah bertugas di daerah tugasnya yang meliputi sebuah desa. Pembantu pencatat nikah merupakan perpanjangtanganan pemerintah dalam mencatat pernikahan yang dilaksanakan oleh masyarakat. Pemerintah dalam hal ini Departemen Agama mengambil kebijakan untuk mengangkat pembantu pencatat pernikahan sesuai dengan kebutuhan yang biasanya adalah para tokoh agama atau tokoh masyarakat. Dengan kata lain, salah satu kriteria penting pembantu pegawai pencatat nikah adalah orang yang memahami agama dan melakukan aktivitas keberagamaan yang baik dalam masyarakat. Secara Yuridis pengangkatan pembantu pegawai pencatat nikah berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor: 477 Tahun 2004 Tentang Pencatat Nikah. Proses pengangkatan pembantu pegawai pencatat nikah melalui pengajuan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) dengan persetujuan kepala desa setempat untuk selanjutnya di sahkan oleh Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota. Sebagai pencatat pernikahan yang kebanyakan berasal dari para guru, ustad atau tokoh masyarakat desa, sekaligus orang yang selalu memberikan nasehat atau wejangan perkawinan bagi pengantin baru untuk dapat menjadi pedoman membentuk keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah. Dengan kata lain P3N adalah orang yang selalu menyampaikan pengajian agama dan orang yang mempunyai pengetahuan agama di tengah masyarakat. Sebagai tokoh agama, idealnya mempunyai kondisi keluarga yang sakinah dan harmonis. Untuk itu, kedua variabel ini (aktivitas keagamaan dan kehidupan keluarga) menjadi penting dan menarik dilakukan sebuah penelitian tentang aktivitas agama dan kehidupan keluarga para pembantu pencatat nikah. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka perlulah dirumuskan beberapa masalah yang akan diteliti. Beberapa rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana aktivitas ritual keagamaan dan sosial-masyarakat Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N)? 2. Bagaimana sistem komunikasi di keluaga P3N dan ekonomi Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N)? Tujuan Penelitian 1. Mengetahui aktivitas ritual-agama dan sosial-masyarakat Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N). 2. Mengetahui keharmonisan serta kondisi perekonomian keluarga Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N)
1
Metedologi Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Metode utamanya adalah wawancara di lapangan. Studi dokumentasi juga dilakukan untuk melacak referensi dan dokumen yang terkiat dengan P3N. Penelitian ini mengambil lokasi di lima (5) desa di Kecamatan Percut Sei. Tuan Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara. Pemilihan wilayah daerah Deli Serdang dengan Sampel pada Kecamatan Percut Sei Tuan disebabkan daerah representasi dari wilayah perkotaan sekaligus wilayah pedesaan. Sebab Kecamatan Percut Sei Tuan adalah Daerah yang berbatasan langsung dengan Kota Medan dan juga sangat dekat dengan pedesaan. Adapun desa yang mempunyai pegawai pembantu pencatat nikah adalah desa Desa Bandar Khalifa, Desa Tembung, Desa Medan Estate, Desa Kolam, Desa Sampali. Analisa data dilakukan dengan teknik diplay data, reduksi data dan penarikan kesimpulan. Kajian Teoritis Mengacu pada Charles Y Glock & Rodney Stark bahwa keberagamaan (religious commitment) memiliki lima dimensi.1 Kesatu, dimensi intelektual (religious knowledge), menyangkut tingkat pengetahuan dan pemahaman seseorang mengenai ajaran-ajaran agamanya. Kedua, dimensi ritualistik (religious practice), menyangkut tingkat kepatuhan seseorang dalam menjalankan ritusritus agamanya. Ketiga, dimensi ideologis (religious belief) menyangkut tingkat keyakinan seseorang mengenai kebenaran agamanya, terutama terhadap ajaran-ajaran yang fundamental atau dogmatik. Keempat, dimensi eksperiensial (religious feeling), menyangkut tingkat intensitas perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman religius seseorang. Kelima, dimensi konsekuensial (religious effect), menyangkut seberapa kuat ajaran-ajaran dan nilai-nilai agama seseorang memotivasi dan menjadi sumber inspirasi atas perilaku-perilaku duniawinya. Komponen-komponen keagamaan serta keterkaitan antara satu sama lain dapat dideskripsikan sebagai berikut: 1. Sistem emosi atau pengalaman keagamaan; Seperti dijelaskan oleh Koentjaraningrat, bahwa satu dari 4 (empat) komponen sistem keagamaan --yaitu emosi keagamaan-- tidak termasuk aspek kajian budaya2. Namun demikian karena emosi keagamaan itu berkolerasi dengan keyakinan dan praktek religius, maka emotional attachment yang berwujud persepsi, sikap, dan tindakan adalah fenomena yang dapat diamati. Paling tidak, emosi keagamaan yang R. Stark & C. Y. Glock, “Dimensi-dimensi Komitmen Religius”, dalam Roland Robertson (ed.), Sociology of Religion, edisi Indonesia oleh Paul Rosyani, Sosiologi Agama, (Jakarta: Aksara Persada, 1986), h. 287-289. 2 Koentjaraningrat menulis, komponen sistem kepercayaan, komponen sistem upacara dan kelompok-kelompok religius yang menganut sistem kepercayaan dan menjalankan upacara-upacara religius, jelas merupakan ciptaan dan hasil akal manusia. Adapun komponen pertama, yaitu emosi keagamaan, digetarkan oleh cahaya Tuhan. Religi sebagai suatu sistem merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi cahaya Tuhan yang menjiwainya dan membuatnya keramat tentunya bukan dari kebudayaan. Kontjaraningrat, 2 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta: PT. Gramedia, 1987), hal. 149. 1
2
terbentuk karena keyakinan, seperti perasaan tertentu yang tumbuh pada diri seorang Katolik ketika melihat patung Yesus, kemegahan altar atau salib, atau perasaan tertentu pada diri seorang Muslim ketika tawaf di Ka‟bah, adalah fenomena-fenomena penting yang harus disertakan dalam kajian keberagamaan. Berdasarkan proposisi ini, emosi keagamaan yang dibicarakan dalam penelitian ini bukanlah emosi yang digetarkan cahaya Tuhan, melainkan emosi yang digetarkan oleh iman yang dapat membentuk sikap-sikap dan tindakan-tindakan sosial. Emosi ke-agamaan semacam itu diistilahkan dengan emotional attachment. Banyak unsur keagamaan yang karena keyakinan seseorang-- dinilai dapat menimbulkan emosi keagamaan. Unsur keagamaan itu biasanya menempati posisi penting dalam sistem keagamaan, sehingga ia dihormati, dimuliakan akan ditabukan. Dalam penelitian ini diambil empat kategori unsur keagamaan yang dimuliakan, dihormati atau ditabukan itu, yaitu; doktrin, simbol-simbol, pemimpin agama (ulama, pendeta, pastur), dan organisasi /komunitas keagamaan. 2. Sistem keyakinan; Pada dasarnya keyakinan berkaitan dengan penjelasan teologis mengenai Tuhan dalam hubungannya dengan kosmos, termasuk manusia. Setiap agama mendeskripsikan tentang hakikat Tuhan Yang Maha Agung, serta hubungan antara Dia dengan kosmos, baik dalam proses penciptaan, pengaturan, dan penghancurannya, maupun hal-hal yang terjadi setelah priode dunia berakhir. Doktrin-doktrin teologis semacam itu sangat besar pengaruhnya bagi penganut agama, bukan saja dalam melaksanakan ritual keagamaan tetapi juga dalam kehidupan ekonomi dan sosial. Keyakinan mengenai pengaturan Tuhan terhadap rejeki manusia, misalnya, akan membentuk sikap dan perilaku ekonomi. Demikian juga keyakinan mengenai tugas dan kedudukan manusia di muka bumi akan membentuk sikap dan perilaku sosial tertentu antara satu sama lain. Dengan demikian, sistem keyakinan berkolerasi dengan sistem ritual, tingkah-laku ekonomi, pandangan terhadap dunia, sifat pergaulan dan pengelompokan sosial. 3. Sistem ritual atau praktek religius; Berkaitan dengan sistem ritual yang terdapat pada agama, biasanya dapat diamati dari sistem pelembagaannya. Menurut Anthony F. C. Wallace, ada empat tipe utama pranata ritual (pemujaan); a Peranata ritual individualistik, suatu pemujaan dilakukan perorangan tanpa dipimpin atau dipandu oleh shaman. b Pranata ritual shaman, suatu pemujaan yang dipimpin oleh seorang spesialis agama (shaman) yang dipandang mempunyai kualifikasi dan kekuasaan agama khusus. Dalam pranata pemujaan shaman terdapat pembagian kerja keagamaan antara spesialis agama dengan orang-orang awam. c Pranata ritual komunal, suatu kegiatan pemujaan terjadwal dan rutin oleh kelompok sosial terbatas yang sudah dapat diatur oleh orang awam. Di sini tidak terdapat ahli agama yang bekerja penuh atau hirarki keagamaan yang ekstensif. d Pranata ritual eklesiastikal, suatu pemujaan yang khas yang harus dipimpin oleh juru agama profesional yang terorganisasi secara birokratis. Anggota-anggota ahli agama itu
3
adalah spesialis-spesialis yang bekerja penuh yang dipilih atau diangkat untuk urusanurusan keagamaan3. Berangkat dari penjelasan tersebut, pembahasan mengenai sistem ritual dalam penelitian ini lebih ditekankan pada tipe-tipe pelaksanaannya dilihat dari sistem pelembagaannya. Dari kajian ini diharapkan akan diketahui konfigurasi praktek religius atau kegiatan ritual keagamaan penganut agama-agama, baik pada agama yang sama maupun antar agama yang berlainan. 4. Sistem kesatuan sosial; Berkaitan dengan sistem kesatuan sosial, J. Milton Yinger (1970) membedakannya ke dalam lima tipe dasar kelompok agama; a Eklesia; yaitu suatu organisasi yang besar, sebanding besarnya dengan masyarakat sebagai keseluruhan. Organisasi ini mem-punyai struktur eklesiastikal yang resmi yang diemban oleh ahli agama profesional, dan organisasi ini memberi penekanan besar pada doktrin-doktrin dan dogma-dogma agama. b Denominasi; adalah suatu tipe organisasi agama konvensional dan agak besar, yang selaras dengan kekuasaan sekuler. Denominasi tidak seluas masyarakat sebagai suatu keseluruh-an, malah dibatasi oleh kelas, ras, dan daerah. c & d. Sect dan Established Sect; Sekte adalah suatu kelompok keagamaan berukuran kecil, keanggotaannya terbatas pada sejumlah individu yang terpilih. Anggota sekte memandang diri mereka sebagai berbeda secara agama dari kelompok-kelompok agama lainnya. Sekte tidak mempunyai struktur eklesiastikal yang resmi. Sedangkan established sect (sekte mapan) adalah suatu sekte yang tetap mempertahankan banyak karakteristik sekte, tetapi pada saat yang sama berkembang agak jauh menurut arah konvensional dan respektabilitas. Sekte Mapan terletak di tengah jalan antara denominasi dan sekte. e. Cults; adalah kelompok-kelompok keagamaan yang kecil, hidup tidak lama, dan dibangun sekitar seorang pemimpin kharismatik. Meskipun agak sama dengan sekte, kelompok cults lebih ekstrim dalam doktrin agama, sehingga mayoritas penganut agama yang sama menilai mereka ini „menyimpang dari agama‟ (religious mutants)4. Terbentuknya keluarga adalah karena ikatan perkawinan. Bagi pandangan sekuler, perkawinan hanya sekedar legitimasi sosial bagi bergaulnya seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Padahal keluarga bukan hanya berfungsi sebagai media berproduksi dan pemenuhan kebutuhan biologis, namun keluarga juga mempunyai fungsi ekonomi, sosialisasi, enkulturasi dan psikologi. Dalam perjalananya, terdapat dua macam bentuk keluarga dengan dua tipe ekstrim yaitu keluarga islami dan keuraga sekuler walaupun keduanya sama-sama beragama Islam. Keluarga yang islami punyai indikator menegakkan shalat jama‟ah, musiknya nasyid, korannya republika, jilbabnya besar, partainya partai Islam. Sedangkan keluarga muslim yang sekular punya indikator yang tidak shalat, mabuk, zina, orang tua yang korup, hiburan ke bar, partainya juga sekular. Dewasa ini keluarga sebagai wadah sosialisasi nilai-nilai agama dan budaya setempat teleh dibobol oleh tanyangan televisi, internet dan VCD yang telah mefrusak nilainilai dan budaya agama. Hanya keluarga-keluarga elit (bukan elit ekonomi, tetapi keluarga yang 3
Stephen K. Sanderson, Macrosociology, edisi Indonesia oleh Farid Wajidi & S. Menno, Makro Sosiologi: Sebuah pendekatan Terhadap Realitas Sosial, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), h. 523-524. 4 Ibid., h. 546-547.
4
tetap memberi perhatian kepada agama) sajalah yang mampu menghindar dari serangan media. Karenaya, bukan agama yang tidak berperan di kalangan keluarga sekular, tetapi beragamanya kelaurga yanga da dalam masyarakat itu sendiri yang sudah semakin dangkal, simbolis dan kosong. Penelitian antropologi dengan persfektif Islam bertujuan menunjukkan bukti bahwa tidak tercapainya fungsi keluarga, baik dalam kehidupan sosial budaya maupun sakralisasi religius, karena penganut agama yang makin sekuler, makin jauh dari penghayatan ajaran Islam tentang keluarga. Dengan bukti-bukti tersebut akan jelas pula bahwa Islam adalah grand teory yang paling objektif, yang labih teruji dari teori-teori manusia. Kalau teori Islami ini tidak terbukti objektif, yang salah bukan ajaran Islamnya, tetapi cara mereka memahami dan mengamalkan Islam itu. Salah satu masalah kompleks dalam komunikasi adalah persoalan waktu. Waktu adalah salah satu variabel paling penting walau sering diabaikan. Manusia mempergunakan waktu dan mengkonseptalisasikan waktu dalam cara yang tidak selamanya searah dengan waktu dalam cara yang tidak selamanya searah dengan waktu fisik. Future shock karya Alvin Toffler melukiskan bagaimana manusia dewasa ini mendapatkan waktu yang bergerak begitu cepat bagi mereka dan mendapatkan kesulitan dalam memhami gerak waktu yang terlalu cepat ini. Bagitu juga kita seringkali memdatkan waktu yang ada pada masa lalu. 5 Orang tua adalah guru pertama dan utama serta rumah adalah sekolah yang paling penting bagi anak-anak. Namun sekarang ini tidak ada sekolah untuk menjadi orang tua, bisa jadi hal ini menyebabkan banyak orang tua tidak tahu bagaimana cara yang terbaik untuk tumbuh kembangnya anak. Secara khusus ada tiga hal utama sekaligus mendasar yang harus diketahui untuk dapat menumbuh kembangkan anak, (a) peranan sentral orang tua, (b) potensi intelektual seorang anak, dan (c) bagaimana cara untuk mengoptimalkan potensi tersebut. Sebuah penelitian tentang peranan orang tua di Indonesia diperoleh hasil : a. 85,5 % orang tua tidak mampu mengawasi anak b. 68,1 % orang tua bersikap tidak tegas terhadap anak c. 56 % orang tua tidak mampu memberi bimbingan secara akademis d. 58 % orang tua selalu membela anak yang salah Melihat hasil penelitian di atas, nampak sekali bahwa orang tua di Indonesia belum menjalankan tugasnya terutama untuk perkembangan anak, dimana salah satu faktor yang penting dalam perkembangan anak adalah melalui pendidikan dalam keluarga melalui komunikasi yang tepat. Temuan Penelitian Secara garis besar temuan yang peneliti dapatkan adalah sebagai berikut: a. Semua petugas P3N berperan sebagai muballigh atau penceramah, mininal khutbah jum‟at. b. Sebagian besar petugas P3N aktif menjalankan ritualitas di Masjid. c. Semua petugas P3N ikut dalam kepengurusan masjid (BKM), apakah sebagai ketua umum, ketua bidang, sekretaris dan sebagainya 5
Drs. Jalaluddin rakhmat, M.Sc. Teori-teori Komunikasi, (Bandung, CV. Remadja Karya, 1986), Hal. 118
5
d. Tidak satupun petugas P3N yang mempunyai pola komunikasi yang tersistem, semuanya berkomunikasi secara sporadis dan tidak terjadwal. e. Semua anak-anak petugas P3N bersekolah minimal SMA, namun tidak ada yang berprestasi yang menonjol. f. Dua dari anak-anak petugas P3N belum mencerminkan anak yang menjadi panutan masyarakat. Namun sebagian besar anak-anak petugas P3N berprilaku baik. g. Satu diantara anak petugas P3N dapat menjadi contoh dan panutan masyarakat dan dapat memberikan ceramah dan pencerahan bagi masyarakat. h. Semua keluarga P3N melakukan komunikasi secara terbuka, namun semua P3N tidak menyiapkan waktu khusus untuk berkomunikasi 1. Ritualitas Keagamaan di Masjid Rasulullah Saw. menjadikan masjid sebagai pusat peribadatan dan sosial lainnya. Pada kedua fungsi inilah idealnya seorang P3N diharapkan aktif sekaligus menjadi katalisator di tempat ia ditugaskan dan tinggal. Oleh karena itu, seyogyanya, seorang P3N mampu berperan menjadi pamong masyarakat dalam bidang keagamaan dan sosial kemasyarakatan di masjid di sekitarnya. Tidak hanya aktif ke masjid sebagai “makmum” namun juga sebagai “imam” baik imam dalam pengertian pemimpin shalat dan imam dalam pengertian yang lebih luas sebagai pembimbing, pengide dan penggiat kegiatan-kegiatan keagamaan di masjid tersebut. Lebih dari itu, P3N haruslah dapat menjadi tokoh yang dapat dijadikan panutan masyarakat luas dalam hal keharmonisan kehidupan keluarga. Betapa tidak, kehidupan keluarga merupakan sasaran penyuluhan bagi P3N dalam tugasnya. Sebagai P3N berfungsi sebagai penyuluh bagi masyarakat tentang bagaimana berkeluarga dengan baik, harmonis yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Hampir setiap waktu “corong micropon” diberikan kepada P3N dalam melaksanakan fungsinya dalam mentransformasikan pesan-pesan Tuhan tentang keharmonisan dalam rumah tangga, terutama saat-saat berlangsungnya upacara akad nikah. Tugas perpanjangan KUA di kecamatan terhadap P3N sebenarnya menjadikan P3N berposisi lebih luas sekaligus strategis. Mengapa? Sebab, P3N-lah yang secara langsung berhadapan dengan masyarakat di sekitar tempatnya bedomisili. Ia sangat faham dengan kondisi sosial masyarakat. Ditambah, pengangkatan P3N oleh departeman agama juga berdasarkan atas (salah satunya) kemampuan dan juga ketokohan seseorang dalam masyarakat dalam bidang agama. Dengan demikian, P3N akan langsung dapat melihat realitas yang terjadi dalam masyarakat. Persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat dapat dilihat sekaligus dicermati dan dicarikan solusinya. Oleh karena itu, P3N sangat dituntut memberikan contoh teladan yang baik dalam hal keharmonisan keluarga, ekonomi terutama padahal agama baik secara ritual maupun sosial. Secara sosial, P3N berfungsi sebagai katalisator bagi masyarakat dalam keseharian. Sedangkan dalam bidang keagamaan, P3N harus berada pada titik sentrum kegiatan masjid yang menjadi pusat kegiatan ibadah dan sosial umat Islam. Berbagai fungsi dan peran sesungguhnya dapat dilakukan dalam kegiatan masjid, dari mulai imam shalat rawatib yang menjadi kegiatan ibadah rutin sehari-hari, ibadah shalat jum‟at yang dilaksanakan mingguan, ibadah qiayamullail yang merupakan rutinitas umat Islam yang bersifat tahunan, demikian juga pengajian dan bimbingan keagamaan serta kegiatan perayaan isra‟ mi‟raj Nabi Muhammad Saw., maulid Nabi Muhammad Saw. Nuzul al-Quran, Muharram (tahun baru Islam) dan sejumlah kegiatan keagamaan lainnya.
6
Ditemukan P3N yang tidak terlalu aktif dalam melaksanakan shalat lima (5) waktu. Seperti yang termaktub dalam fungsi P3N pada KMA Nomor 517 Tahun 2001 Pasal 3 disebutkan 3 fungsi KUA yakni mengurus dan membina masjid bahwa peran pokok dari P3N adalah mengurus masjid sebagai tempat ibadah dan pusat kegiatan sosial lainnya. Dari segi struktur organisasi BKM, bahwa semua P3N adalah pengurus masjid. Berbagai posisi dan tugas diemban oleh petugas P3N, ada yang bertugas sebagai ketua umum Badan Kenaziran Masjid, sebagai sekretaris, ketua bidang Peribadatan, Ketua Bidang Bilal Mayyit. Sampai disini, seluruh P3N adalah pengurus Badan Kenaziran Masjid (BKM) di tempat tinggal masing-masing. Bahkan terdapat dua petugas P3N yang juga menjabat pengurus BKM pada masjid lain yang berada disekitarnya, ada yang menjabat sebagai penasehat BKM bahkan terdapat sebagai ketua umum BKM. Namun, dalam temuan lebih lanjut, bahwa tidak semua P3N aktif dalam membina masjid. Pembinaan masjid dalam hal ini, dapat diartikan selalu aktif shalat berjama‟ah, membina dan mengurus majid yang diwujudkan dalam bentuk aktif memberikan kontribusi dalam aktivitas sehari-hari di masjid, apakah sebagai imam, melaksanakan fungsi jabatan yang diemban dan sebagainya. Terdapat beberapa alasan petugas P3N yang tidak aktif ke masjid. Pertama, disebabkan masalah pribadi dengan pengurus masjid, walaupun ia bertempat tinggal persis di samping masjid. Dari hasil wawancara dengan pihak BKM bahwa sikap petugas tersebut tidaklah patut dan sesuai dengan jabatan yang diembannya sebagai petugas P3N ataupun ustad. Bahkan petugas ini “lalai” dalam melakukan tugasnya sebagai ketua bidang peribadatan yang bertugas untuk menyusun daftar khatib dan juga ibadah lainnya. Secara jujur petugas tersebut mengakui ketidakaktifannya untuk selalu ke masjid dan juga membantu kegiatan-kegiatan di masjid. Hal ini diakui sebagai akibat sakit hati yang dialaminya akibat dari cemoohan masyarakat. Bahkan, ketidakaktifannya di masjid juga diikuti oleh anak-anaknya. Sebelumnya, anak-anaknya aktif di masjid mengikuti shalat berjamaah, namun sejalan terjadinya “perseteruan” antara petugas P3N dan pengurus masjid lainnya, anak-anaknya juga ikut untuk tidak aktif di masjid tanpa dipengaruhinya lebih dahulu. Kedua, tidak ditemukan alasan yang jelas atas ketidakaktifannya ke masjid. Namun dari wawancara kepada nazir masjid, petugas P3N tersebut lebih sibuk mengurus kegiatan pribadi terutama mengurus sekolah dan kegiatan lainnya yang tidak diketahui. 2. Peran Sebagai Pencerah Masyarakat Dari penelusuran dan penelitian yang penulis lakukan dengan subjek penelitian dan objek penelitian maka penulis menemukan beberapa hal secara umum sebagai berikut: Pertama, bahwa semua para pegawai pembantu pencatat nikah berperan sebagai muballigh atau penceramah agama, melaksanakan pembinaan kehidupan beragama untuk masyarakat Islam di wilayahnya dan juga di luar desanya. Dalam berbagai kegiatan keagamaan dalam masyarakat, P3N berperan sebagai penceramah, pemberi nasehat. Yang menjadi perbedaan adalah tingkat atau jenis kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh P3N. Dari identifikasi hasil wawancara yang dilakukan, terdapat P3N yang bertindak sebagai penceramah pada kegiatan keagamaan baik yang berskala besar seperti pada perayaan Isra‟ mi‟raj Nabi Muhammad Saw., maulid Nabi Muhammad Saw. dan sebagainya dan juga pada ceramah pada jamaah yang terbatas. Ada juga yang hanya sekedar berceramah pada tingkatan atau lingkup “kecil” seperti pada saat kegiatan wirid yasin, takziah pada saat ada masyarakat yang meninggal dunia, ataupun
7
kegiatan ceramah rumah ke rumah saat ada hajatan. Apakah bapak sering mengisi ceramah pada peringatan hari-hari besar? Oh..tidak saya tak terbiasa berceramah pada skala besar, biasanya pengajian-pengajian dan acara-acara di rumah masyarakat saja. Demikian ungkapan P3N. Minimal, P3N mampu memberikan khutbah pada hari jum‟at. Dengan kata lain, yang menjadi perbedaan adalah tingkat atau cakupan ceramahnya, popularitas dan intensitas ceramah yang diberikan pada masyarakat. Dengan demikian, pada penelitian ini ditemukan bahwa hampir semua P3N dapat disebut dengan tokoh masyarakat yang sering melakukan pencerahan melalui ceramah agama pada masyarakat. Hal ini sejalan dengan fungsi P3N sebagai pembina kegiatan sosial dalam masyarakat dan melaksanakan pembinaan kehidupan beragama untuk masyarakat Islam di wilayahnya. Namun, intensitas dan kapasitas P3N dalam melakukan transformasi agama masih beragam. Terdapat P3N yang melakukan transformasi ajaran agama lebih kepada tingkat formalitas dengan memberikan wejangan keagamaan dalam masyarakat diberbagai masjid, baik masjid yang berada di dekat rumah maupun di masjid lainnya. Tidak hanya pada media masjid, namun juga pada media lainnya seperti wirid yasin, serikat tolong menolong, ketika takziah (pada saat kemalangan) dan sebagainya. Seperti disebutkan di atas, bahwa tingkat intensitas dan kapasitas ceramah yang disampaikan juga berbeda. Lebih dari setengah dari P3N hanya mampu berceramah pada tingkat lokal, seperti pada khatib jum‟at dan pengajian-pengajian rumah ke rumah. Dengan kata lain, hanya sedikit dari P3N yang mampu memberikan ceramah pada acara-acara besar seperti pada peringatan maulid Nabi Saw., Isra; Mi‟raj dan tabligh akbar lainnya. Bahkan terdapat P3N yang sangat jarang memberikan khutbah baik di masjidnya sendiri, maupun masjid lainnya disekitarnya. Walaupun tetap mampu dan melakoninya (baca: berkhutbah) di tengah masyarakat atau masjid. Demikian juga ditemukan P3N yang sangat jarang berceramah atau memberikan katakata takziah dalam acara tahlilan dan sebagainya. Terdapat dua alasan yang disampaikan, pertama, ketika ada perayaan ataupun upacara kematian yang terjadi pada masyarakat masih banyak tokoh masyarakat lainnya yang lebih berperan. Alasan lebih lanjut, disebabkan desa yang menjadi tempat tinggalnya sangat dekat dengan perkotaan yang sangat banyak tokoh agama, pejabat penting dan sesepuh lainnya yang hadir. Dari hasil wawancara dan survey lapangan, peneliti menyimpulkan bahwa ketokohan P3N dalam bidang agama “kalah saing” dengan tokoh yang ada di desa tersebut. Namun juga dapat disimpulkan lain, bahwa masih terdapat P3N yang diragukan ketokohannya, baik di bidang agama maupun dalam hubungan sosial masyarakat. Setelah mendalami lebih lanjut tentang P3N ini, peneliti menemukan terdapat persoalan moral yang menjadi penghalang “kurang diterimanya” P3N ini di tengah masyarakat. Beberapa persoalan moral yang muncul dari “second opinion” adalah disebabkan tidak aktifnya petugas P3N dalam kegiatan keagamaan di masjid ataupun dalam kegiatan masyarakat, seperti upacara kematian, penyelesaian sengketa di masyarakat bahkan saat ramadhanpun jarang bergabung ke masjid. Masih samar alasan yang diberikan mengapa kondisi ini terjadi. Di tambah dengan persoalan “serakah jabatan.” Sebab petugas P3N ini juga merangkap sebagai kepala dusun, kepala sekolah TK/TPA, dan terakhir ikut bersaing dalam pesta demokrasi pemilihan kepala desa, walaupun akhirnya tidak berhasil menjadi kepala desa. Kedua, terkait dengan kemampuan intelektual dan kurang terbiasa memberikan ceramah pada masyarakat dalam acara-acara yang lebih besar. Namun dalam memberikan khutbah juga
8
sering dilakukan, baik di masjid sendiri maupun di masjid sekitar rumahnya (kebetulan, petugas P3N ini, tinggal di masjid sebagai penjaga masjid). Sampai di sini, jika dilihat dari tingkatan pendidikan yang dimiliki oleh P3N adalah sarjana agama (S1). 3. Kehidupan Keluarga Secara umum bahwa kehidupan keluarga P3N adalah baik. Kata “baik” tentu masih belum jelas dan terang. Namun, paling tidak yang dimaksudkan baik oleh peneliti adalah, tidak ditemukan keluarga yang langsung dianggap masyarakat sebagai keluraga yang “tidak baik”, seperti munculnya ungkapan “keluarga bobrok”, “keluarga selingkuh”, “keluarga yang tidak pandai mendidik anak” dan sebagainya. Hal ini penulis temukan pada wawancara kepada tokoh masyarakat tentang kehidupan keluarga P3N yang diteliti. Namun ketika memasuki pada “wilayah” keluarga yang harmonis dan ideal, berhasil, impian tampak hasil peneltian menunjukkan keragaman. Dalam hal kehidupan keluarga, peneliti membaginya dalam beberapa kajian. Pertama, tentang pendidikan anak. Hampir semua kelurga dapat menyekolahkan anaknya pada jenjang pendidikan yang standar. Dengan kata lain, P3N mampu mendidik anak-anaknya untuk bersekolah dari mulai tingkat pendidikan terendah (TK, dan SD) hingga perguruan tinggi. Tempat bersekolah dan perguruan tinggi yang ditempuh oleh anak-anak P3N juga standar, tidak terlalu rendah ataupun tinggi. Perguruan tinggi yang dimasuki oleh anak-anak P3N seperti Institut Agama Islam Negeri (IAIN) sebanyak 2 orang, Universitas Negeri Medan sebanyak 2 orang, Akademi Bidan sebanyak satu orang, dan Universitas Muhammadiyah (UMSU) 1 orang. Sedangkan pada tingkatan SD, SMP, SMA, secara umum, anak-anak P3N bersekolah pada sekolah yang standar baik di negeri maupun swasta. Berikut tingkat pendidikan anak-anak pembantu P3N. Satu petugas P3N Anak pertama di semester 7 UMSU, Anak kedua di semester 5 UMA, Anak ketiga di semester 1 UNIMED (baru masuk). Yang lain, pertama, semester akhir (semester 8) IAIN SU, kedua, semester 3 UNIMED, ketiga, di MAN, keempat, MTSN, kelima, MTS, Keenam, masih kecil. Petugas lainnya, pertama, sudah kelas 2 Aliyah, kedua, SMP kelas 3, ketiga, SMP kelas 1, keempat, SD. Sekolah anan-anak pembantu P3N lainnya bersekolah, pertama, kuliah di IAIN SU semester 7, kedua, kuliah di UISU semester 6, ketiga, Unimed semester 1, keempat, SMU kelas 3 Beberapa temuan lainnya tentang anak, salah satu anak dari P3N yang tidak mau bersekolah. Anak tersebut sudah menikah pada waktu yang masih “relatif muda”. Anak yang hanya tamatan SMA tersebut memang tidak berkeinginan sekolah, bukan masalah pendanaan ataupun lainnya. Sebab, secara ekonomi anak petugas P3N tersebut cukup memadai. Hasil wawancara penulis dengan “second opinion” bahwa anak tersebut kurang mencerminkan sikap yang baik. Seperti masih sangat “ugal-ugalan”, main balapan dan kurang terdidik. Dan hal ini diakui sendiri oleh orang tuanya (petugas P3N). Bahkan anaknya tersebut masih belum mendapat pekerjaan untuk membiayai kehidupan keluarganya dan masih menggantungkan kehidupan keluarganya kepada ayahnya. Pada temuan lainnya, peneliti tidak menemukan anak-anak P3N yang berprestasi menonjol, baik dalam prestasi sekolah maupun aktivitas lainnya. Dengan kata lain, prestasi anak-anak P3N biasa saja. Misalnya, ada beberapa anak-anak P3N tersebut juga menjuarai kelas, juara MTQ tingkat kelurahan, juga menjuarai festival nasyid tingkat sekolah. Kalaupun ada prestasi yang menonjol adalah, salah satu anak P3N yang telah menjadi ustad di kampungnya dan juga daerah lainnya. Anak tersebut berkuliah di IAIN Sumatera Utara pada
9
Fakultas Syariah. Prestasi aktivitas ini menjadi salah satu kebanggaan keluarganya. Bahkan, prestasi ini diakui oleh BKM setempat dan juga petugas KUA di kecamatan. Satu temuan lainnya, satu dari tiga anak P3N diakui sulit untuk dikendalikan oleh orang tuanya. Orang tuanya sulit untuk mempengaruhi dan menuruti keinginan sang ayah. Maklum, dari sejak kecil anak tersebut sudah tinggal dan dididik sang nenek di Kota, tepatnya di Jalan Ngalengko. Hubungan sang anak dan ayah lebih kepada hubungan yang berkaitan dengan uang belanja. Selebihnya, sang anak hanya menuruti keinginan sang nenek. Kondisi sulit ini memang di akui petugas P3N yang disebabkan lebih ke persoalan adat dan faktor segan dengan pihak mertua. Namun, hal ini tentu sesuatu yang tidak baik dalam konsep pendidikan. 4. Komunikasi Keluarga Sasaran penelitian dalam kehidupan keluarga adalah menyangkut sistem komunikasi keluarga, baik antar bapak dengan anak, bapak dengan ibu dan ibu dengan anak. Beberapa temuan adalah sebagai berikut. Pertama, secara umum, komunikasi yang dilakukan dikeluarga adalah baik. Hal ini ditandai dengan tidak terdapat satu keluargapun yang bercerai ataupun bersitri dua atau lebih. Kedua, tidak terdapat waktu khusus yang dipersiapkan oleh kepala keluarga untuk saling berkomunikasi keluraga. Semua keluarga P3N hanya berkonikasi dengan cara sporadis sesuai dengan kepentingan yang “memakasa”. Hal ini terungkap dari setiap wawancara kepada seluruh petugas P3N. Adapun alasan yang disampaikan adalah sama, yakni sulitnya mengatur waktu disebabkan waktu jam kerja yang tidak terjadwal. Maklum saja, semua P3N adalah berprofesi sebagai penceramah ataupun pelayan masyarakat. Tidak mempunyai jam kerja yang terjadwal, semuanya tergantung keinginan dan kepentingan masyarakat. Dan satu diantaranya sangat sibuk mengurusi masjid dan kegiatan sosial di desa tersebut. Ia lah yang menjadi petugas masjid sekaligus tinggal di kawasan masjid. Selain itu, petugas P3N tersebut adalah bilal mayit, sehingga jika pada saat terdapat orang meninggal, petugas tersebut sangat sibuk. Dalam komunikasi dengan anak, semua P3N berkomunikasi berkomunikasi pada saat tertentu saja seperti ketika ada masalah yang ingin dibicarakan, minta uang SPP ataupun hal lainnya, dan biasanya dilakukan setelah makan malam (selesai shalat Isya‟). Satu diantara petugas P3N juga terkadang memanfaatkan waktu berlibur atau bersantai untuk berkomunikasi, seperti makan malam di warung bakso, atau sedang tamasya di pantai. Sedangkan yang petugas lainnya sangat jarang melakukan itu. Selain itu, terdapat temuan lain yakni terdapat dua petugas yang mempunyai anak pertama yang tinggal di rumah nenek. Sat diantaranya, sangat meras kewalahan dalam melakukan komunikasi dengan baik. Sebab, peran kakek-neneknya lebih dominan, sehingga komunikasi ayah agak sulit dilakukan. Adapun penyebab terjadinya hal itu disebabkan permintaan sang nenek yang mengasuh anaknya sejak kecil sehingga kasih sangat dan sistem komunikasi sang ayah menjadi terputus. Komunikasi berlangsung hanya dalam hal-hal terentu saja, terutama hanya menyangkut masalah uang dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Dalam hal sistem komunikasi, hampir semua mengaku melakukannya secara demokratis, dengan memberikan kesempatan bagi anak untuk mengemukakan pendapat dan keinginan dan diambil keputusan bersama. Namun, terdapat juga satu petugas P3N yang tampaknya menggunakan sistem komunikasi satu arah. Artinya, sang ayah lebih berperan dan terkesan otoriter terhadap anak-anaknya. Ia selalu mengungkapkan bagaimana mudahnya anakanak sekarang dengan kondisi dan fasilitas yang sangat lebih mudah dari zaman mereka dahulu,
10
karenanya, makanya anak-anaknya seharusnya lebih mampu dan berhasil dari padanya, dan ia selalu menekankan prinsip itu kepada anak-anaknya. Ketika peneliti mengkonfirmasi bagaimana kondisi keluarganya dengan “secend opinion” memang terdapat seorang anaknya yang pernah “stress” bahkan sampai berurusan dengan pihak kepolisian. Dan saat ini masih dalam kondisi terapi akibat kejadian itu. Ditambah dengan kejadian ketika sang istri sakit parah dan membawanya kepada kematian, petugas P3N dianggap masyarakat kurang tanggap terhadap kondisi istrinya karena sibuk dengan pekerjaan lainnya. Temuan lainnya dapat peneliti ungkap bahwa terdapat satu petugas yang lebih dikuasai oleh pihak istri. Istrinya lebih berperan sekaligus menentukan kebijakan-kebijakan keluarga. Ungkapan yang paling sering ia ucapkan ketika peneliti bertanya adalah “saya sering menasehati anak-anak untuk melakukan ini atau itu, namun ketika istri saya pulang dan tidak sepakat dengan apa yang saya anjurkan maka saya juga tidak bisa bilang apa-apa lagi, ya lebih baik saya diam”. Hal ini terjadi tidak hanya ketika terjadi masalah-masalah yang krusial dalam keluarga, namun juga dalam hal-hal teknis lainnya. Misalnya, dalam hal membeli baju baru lebaran untuk anak-anak, membelikan mainan dan sebagainya, tampak peran istri sangat dominan. Alasan yang diungkapkan oleh petugas tersebut bahwa lebih baik saya mengalah ketimbang jadi berantem dan cekcok, imbuhnya”. 5. Kondisi Ekonomi Secara umum, kondisi ekonomi petugas P3N adalah standart, dengan kata lain, tidak ada yang terlalu kaya, sebaliknya tidak juga terlalu miskin. Hampir kesemuanya telah memiliki rumah (milik sendiri) dan peralatan rumah yang memadai serta mampu menyekolahkan anakanaknya pada jenjang pendidikan yang standar juga. Temuan lainnya yang peneliti dapatkan bahwa terdapat petugas yang belum memiliki rumah sendiri, masih menumpang di perumahan penjaga masjid dengan tingkat penghasilan yang cukup memadai. Peneliti tidak menanyakan secara langsung rata-rata penghasilan mereka, penelitian tentang hal ini lebih peneliti gunakan dengan menggunakan metode observasi langsung di lapangan. Selain itu, terdapat petugas P3N yang memilki penghasilan yang lebih dari yang lain, hal ini dapat dilihat dari aset sekolah yang mereka miliki. Satu diantaranya merupakan karyawan PTP II dan memiliki sekolah pada Yayasan Pendidikan Islam (YPI) Istiqamah, ada MDA, TPA dan Ibtidaiyah yang cukup representatif. Dan satu petugas P3N lainnya, memiliki sekolah TKA dan MDA di Kota yang cukup representatif tepatnya di Ibu Kota Kecamatan Percut Sei. Tuan Desa Tembung. Petugas lainnya mengaku mendapatkan tambahan dari perannya sebagai muballigh yang biasanya diminta oleh masyarakat. Terdapat juga petugas yang juga ditopang oleh istrinya yang juga mengajar dan PNS di lingkungan sekolah. 6. Hubungan Sosial Masyarakat Semua petugas P3N melakukan aktivitas sosial masyarakat dalam berbagai kegiatan rutin dan kegiatan lainnya. Semua petugas P3N mengakui aktif dalam kegiatan keagamaan dan sosial. Aktivitas sosial yang dimaksud antara lain, aktif dalam organisasi Serikat Tolong Menolong (STM) setempat ataupun STM di desa lainnya. Aktif dalam berbagai akegiatan sosial seperti melihat orang meninggal, melihat orang yang sakit, ikut dalam kegiatan gotong royong, mendamaikan suami istri yang bersengketa dan sebagainya.
11
Temuan yang menyangkut hubungan sosial masyarakat antara lain sebagai berikut. Pertama, terdapat petugas P3N yang justru lebih aktif dalam kegiatan keagamaan di luar tempat tinggalnya dari pada di tempat tinggalnya sendiri. Hal ini terkait dengan tugasnya sebagai ketua BKM pada masjid besar punya orang kaya di Sumatera Utara (masjid Al-Mushannif). Walaupun ia tetap berusaha aktif dalam kegiatan di kampung tempat tinggalnya. Kedua, terdapat P3N yang aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan namun dalam hal keaktifan pada serikat tolong menolong (STM) ia tidak merasa cocok dan akhirnya membentuk serikat tolong menolong (STM) sendiri. Temuan ini tergolong unik, sebab petugas P3N tersebut harus membentuk STM sendiri karena tidak merasa cocok dengan masyarakat. Setelah penulis mewawancarai tokoh masyarakat, bahwa petugas P3N tersebut sedikit agak kontroversial. Kontroversial dalam artian petuugas tersebut sangat aktif dan kritis sehingga ada hal-hal yang tidak disukai masyarakat. Ketika peneliti juga mengkonfirmasi dengan petuga P3N di tingkat kecamatan, peneliti juga menemukan bahwa petugas tersebut tergolong petugas yang sangat berani untuk berspekulasi dalam hal menikahkan orang. Sebut saja kasus-kasus orang yang menikahh tanpa persetujuan orang tua, ataupun menikahkan orang yang belum jelas asal usulnya baik domisili dan identitasnya. Tak jarang, ia melakukan overlapping dalam melakukan tugas-tugas pernikahan. Hal ini juga yang terjadi dalam kegiatan memasyarakatan di kampungnya. Namun dalam beberapa hal tertentu, ia tetap aktif melakukan upaya-upaya perdamaian dalam masyarakat. Pernah terjadi sengketa dalam rumah tangga seorang warga yang sempat membawa pertikaian serius, petugas tersebut ikut andil dan proaktif dalam melaksanakan tugasnya. Temuan lain dapat penulis ungkapkan bahwa terdapat juga petugas P3N yang tidak terlalu aktif dalam kehidupan sosial masyarakat, terutama setelah ia tidak menjabat sebagai kepala dusun di daerah itu. Peneliti menyimpulkan bahwa keaktifan sosial masyarakat yang dilakukannya dalam masyarakat selama ini terkait dengan tugasnya sebagai kepala dusun, bukan sebagai pegawai pembantu pencatat nikah (P3N). Hal ini dapat terekam jelas pasca dirinya tidak lagi sebagai kepala dusun di daerah itu, di tambah dengan gagalnya ia bertarung dalam proses demokrasi pemilihan kepala desa. Temuan yang diperoleh darai “second opinion” bahwa petugas tersebut sangat sibuk dengan pergurusn TK/MDA yang dimiliknya di aderah perkotaan Tembung. Hampir setiap waktu ia berada di sana untuk menngelola sekolahnya. Hal ini juga terlihat dalam aktivitas keagamaan di masjid dan di tempat lainnya. Bahkan yang terlihat tersebut adalah anaknya yang pertama. Anaknya sangat aktif baik di remaja masjid, wirid yasin serikat tolong menolong dan tempat bermainnya adalah masjid. Sedangkan temuan lainnya adalah petugas yang sangat aktif dalam kegiatan sosial keagamaan di desa tersebut. Apakah hal ini terkait dengan kondisi tempat tinggalnya yang berada di lingkungan masjid (penjaga masjid sekaligus). Jadi, seluruh kegiatan yang terkait dengan keagamaan dan sosial masyarakat yang berpusat di masjid, secara otomatis akan turut andil. Misalnya, dalam hal terjadi orang yang meninggal di tengah malam, ia tetap menjadi orang yang terdepan untuk membantu hingga proses terakhir di pemakaman. Karena ia juga bertugas sebagai bilal tetap di desa tersebut. Kecuali yang disebutkan terakhir (yang tinggal di masjid) kehadiran para petugas P3N dalam hal kegiatan sosial keagamaan tidaklah terlalu vital dan central. Dengan kata lain, jikapun mereka tidak hadir, tidaklah terlalu menjadi persoalan. Ketergantungan umat terhadapnya tidak terlalu kuat. Kehadiran dan ikut andilnya mereka hanya sebagai tambahan dalam kehidupan
12
masyarakat. Artinya tingkat ketergantungan umat kepada mereka tidak terlalu tinggi. Bahkan salah satunya, umat juga menganggap ada atau tiadanya petugas tersebut dalam kegiatan sosial masyarakat tidaklah berpengaruh. Pembahasan Penguatan Peran P3N Berdasarkan kondisi objektif di lapangan tentang aktivitas keagamaan dan kehidupan keluarga pembantu pegawai pencatat nikah dikaitkan dengan fungsi dan peran P3N, maka kedudukan P3N sebagai tokoh masyarakat sangat penting untuk dilakukan penguatan. Berdasarkan KMA Nomor 517 Tahun 2001 bahwa fungsi P3N sangatlah strategis yang meliputi pelaksanakan nikah dan rukuk, mengurus dan membina masjid, zakat, wakaf baitul maal dan ibadah sosial, kependudukan dan pengembangan keluarga sakinah. Fungsi yang tersebut dua poin terakhir sangat dibutuhkan keteladanan bagi P3N sebagai dakwah bi al-hal bagi masyarakat. Dengan kondisi sosial yang selalu berubah ditambah dengan kondisi arus globalisasi dan informasi yang semakin padat, maka dibutuhkan penguatan fungsi tersebut dengan ketokohan dan keteladanan. Berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini, maka diperlukan perbaikan dalam beberapa hal sebagai berikut: 1. Penguatan pemilihan P3N berdasarkan kompetensi keilmuan dan akhlak al-karimah. Berdasarkan realitas yang peneliti temukan, salah satu kebijakan yang dilakukan oleh departemen agama adalah upaya penguatan dalam sistem rekrutman P3N sebagai pembantu P2N yang berdasarkan kompetensi. Kompetensi yang dimaksudkan adalah kompetensi keilmuan keagamaan dan akhlak. Kompetensi keilmuan menjadi sangat penting untuk dijadikan “alat ukur” melihat demikian kompleksnya persoalan yang terjadi dalam realitas masyarakat yang membutuhkan wawasan yang luas. Lihat saja dalam persoalan pembinaan dan pengurusan masjid yang memerlukan sistem manajerial yang baik. Pengurusan masjid sebagai pusat kegiatan ibadah dan sosial tidak lagi dapat dilakukan tanpa sistem manajemen yang baik. Penguatan fungsi masjid yang ideal memerlukan manajerial yang modern dengan melibatkan partisipasi umat. Sebaliknya, pengurusan masjid tanpa manajemen akan menjauhkan masjid dari fungsinya, sekaligus menjauhkan umat dari masjid itu sendiri. Dalam Islam, masjid merupakan pusat dari kegiatan ritualitas sekaligus sosial. Masjid dalam makna yang paling sederhana sebagai tempat bersujud (sholat). Dalam sejarah awal peradaban islam, ketika rasul hijrah ke Kota Madinah, langkah pertama yang dilakukan rasul adalah membangun masjid kecil yang berlantaikan tanah. Dari sanalah beliau membangun masjid yang besar membangun peradaban Islam sehingga kota tempat beliau membangun benar-benar menjadi madinah (seperti namanya) yang arti harfiahnya tempat peradaban.6 Dalam sejarahnya, Masjid Nabawi pada masa rasul mempunyai fungsi dan peranan yang bersifat multi. Diantara fungsi masjid adalah: a. Tempat ibadah (sholat dan zikir) b. Pusat konsultasi dan komunikasi ummat c. Pusat pendidikan (center of education) d. Pusat pelatihan militer dan alat-alat perang e. Tempat pengobatan perang f. Tempat perdamaian dan pengadilan sengketa 6
Lihat M. Quraisy Shihab, Wawasan Al-Quran, Penerbit Mizan-Bandung 2000, hal. 461
13
g.
Aula dan tempat menerima tamu Demikian pula dalam persoalan pengrusan dan pemberdayaan zakat. Pengelolaan harta dengan instrumen zakat sangat potensial untuk menjadikan umat terlepas dari kemiskinan. Untuk mewujudkannya dibutuhkan skill manajer yang handal yang berkaitan dengan upaya pengumpulan, pendisbusian dan juga pemberdayaan zakat dengan segala jenisnya. Kondisi objektif pengelolaan zakat saat ini masih sangat jauh dari harapan. Bukan hanya pengelola zakat di “kampung-kampung” pengelolaan zakat dibawah lembaga negara juga masih jauh dari harapan. Untuk itulah, P3N sebagai ujung tombak departemen agama dalam pengurusan nikah dan pemberdayaan umat semakin mendesak untuk dilakukan penguatan-penguatan fungsi. Lebih penting dari itu, salah satu kriteria yang paling penting dicantumkan secara objektif adalah integritas moral. Moral tidak hanya “baik” tingkah laku dan tutursapanya, lebih dari itu kemampuannya sebagai tokoh yang dapat memberdayakan potensi masyarakat dalam mengembangkan Islam. Tanpa itu, fungsi berdasarkan kompetensi akhlakul karimah yang standar, yakni orang yang dapat menjadi tauladan bagi masyarakat terutama bagi kehidupan keluarga 2. Pemilihan petugas P3N hendaklah memperhatikan kondisi kehidupan kelurga, bukan pada kemampuan mencatat nikah dan jenjang pendidikan Berdasarkan temuan dan analisa yang peneliti lakukan bahwa keluaga P3N tidak menunjukkan kehidupan pola keluarga yang ideal maka, pra-syarat pemilihan petugas P3N dengan melihat kriteria keharmonisan keluarga menjadi sangat penting, selain tugas pokok sebagai petugas pencatat nikah. Sampai saat ini, pihak Departemen Agama lebih menekankan pada fungsi pencatatan pernikahan dengan mengabaikan fungsi P3N sebagai petugas yang berkewajiban melakukan penguatan kekhidupan keluarga dan fungsi masjid dan sosial lainnya. Peran tokoh yang baik untuk mencontohkan keluarga yang sakinah sangat penting untuk diprioritaskan. 3. Untuk melakukan upaya kontrol, maka masyarakat juga perlu dilibatkan dalam upaya mengevaluasi kinerja P3N. Untuk melakukan perbaikan sistem dalam rangka melakukan revitalisasi peran dan fungsi P3N dalam kehidupan masyarakat, maka perlu adanya upaya kontrol masyarakat melalui sistem teknis lainnya. Hal ini sangat penting untuk mengukur kinerja petugas P3N dalam fungsi selain pencatata. Kontrol masyarakat sangat efektif uuntuk melakukan upaya perbaikan sistem yang digunakan Departemen Agama. 4. P3N hendaknya dibekali dengan pengetahuan tentang penyelesaian sengketa yang biasa terjadi di rumah tangga Selain persoalan input, petugas P3N hendaknya dibelakali dengan pembekalan yang tersistem dengan baik baik berkaitan dnegan materi dan metode yang digunakan. Materi pembekalan disesuaikan dengan kebutuhan yang berkembang dalam masyarakat. Dalam hal ini penyelesaian sengketa menurut peneliti. Penutup Secara umum bahwa fungsi dan peran petugas P3N telah dapat dilakukan dalam berbagai kegiatan masjid, dari mulai imam shalat rawatib yang menjadi kegiatan ibadah rutin sehari-hari. Dalam beberapa temuan disebutkan bahwa sebagian P3N yang tidak terlalu aktif dalam melaksanakan shalat lima (5) waktu.
14
Dalam temuan peneliti bahwa tidak semua P3N merupakan tokoh masyarakat dalam menyahuti kebutuhan keagamaan dan sosial masyarakat. Bahkan, terdapat petugas P3N yang tidak mencerminkan ia sebagai tokoh di kampung tersebut. Sehingga, tingkat ketokohannya dalam kehidupan masyarakat menjadi dipertanyakan. Bahwa semua para pegawai pembantu pencatat nikah berperan sebagai muballigh atau penceramah agama yakni melaksanakan pembinaan kehidupan beragama untuk masyarakat Islam di wilayahnya dan juga di luar desanya. Dalam berbagai kegiatan keagamaan dalam masyarakat, P3N berperan sebagai penceramah, pemberi nasehat. Yang menjadi perbedaan adalah tingkat atau jenis kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh P3N. Tentang pendidikan anak. Hampir semua keluarga dapat menyekolahkan anaknya pada jenjang pendidikan yang standar. Dengan kata lain, P3N mampu mendidik anak-anaknya untuk bersekolah dari mulai tingkat pendidikan terendah (TK, dan SD) hingga perguruan tinggi. Perguruan tinggi yang dimasuki oleh anak-anak P3N juga perguruan yang standar. Selanjutnya, tidak satupun petugas P3N yang mempunyai pola komunikasi yang tersistem, semuanya berkomunikasi secara sporadis dan tidak terjadwal. Semua anak-anak petugas P3N bersekolah minimal SMA, namun tidak ada yang berprestasi yang menonjol. Dua dari anak-anak petugas P3N belum mencerminkan anak yang menjadi panutan masyarakat. Namun sebagian besar anak-anak petugas P3N berprilaku baik. Satu diantara anak petugas P3N dapat menjadi contoh dan panutan masyarakat dan dapat memberikan ceramah dan pencerahan bagi masyarakat. Semua keluarga P3N melakukan komunikasi secara terbuka, namun semua P3N tidak menyiapkan waktu khusus untuk berkomunikasi. Penulis : Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Sumatera Utara, menyelesaikan S.2 di Universitas Indonesia. Pustaka Acuan Al-Quran dan Terjemahan, Departemen Agama RI Al-Zuhaili, Wahbah, Konsep Darurat Dalam Hukum Islam, Terj. Dari Nazhariyah Al-Dharuriyah Al-Syari’ah, oleh Said Aqil Husain Al-Munawar dan Hadri Hasan, Jakarta, Gaya Media Pratama, 1997 Agus, Bustanuddin, “Agama Dalam Kehidupan Manusia (Pengantar Antropologi Agama)”, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005). Abdullah, Amin, “Jurnal Filsafat dan Teologi: Hak Asasi Manusia Tantangan Bagi Agama,” (Yogyakarta: Kanisius, 1998). Effendy, Onong Uchjana, MA., “Ilmu Komunikasi Teori dan Praktik”, (Bandung, CV. Remadja Karya, 1985). Giddens, Anthoni, Konsekwensi-Konsekwensi Modernitas, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005). Gellner, Ernest, Muslim Society, (Cambridge University Press, 1981).
15
Goode, William J, “Sosiologi Keluarga”, Cet. IV, (Jakarta, Bumi Aksara, 2004). Hornby AS, “Oxford Advanced Leaner‟s Dictionary of Current English” (Oxford: Oxford University Press, 1984). Meredith B. McGuire, Religion The Social Context, Fourth Edition, (USA, Wadsworth Publishing Company, 1997). Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta: PT. Gramedia, 1987). R. Stark & C. Y. Glock, “Dimensi-dimensi Komitmen Religius”, dalam Roland Robertson (ed.), Sociology of Religion, edisi Indonesia oleh Paul Rosyani, Sosiologi Agama, (Jakarta: Aksara Persada, 1986). Radhawi, Said Ahtar, “Keluarga Islam”, Terj. Alwiyah Risalah, Bandung, 1985). Rakhmat, Jalaluddin, M.Sc. Teori-teori Komunikasi, (Bandung, CV. Remadja Karya, 1986). Roland Robertrson (ed), Sosiology of Religion, Terjemahan edisi bahasa Indonesia Paul Rosyani, Sosiologi Agama, (Jakarta: PT. Aksara Persada, 1986). Schacht, Joseph, An Introduction to Islamic Law, cet. II (Oxford: Oxford University Press, 1964) S.D. Goitein, "The Birth-Hour of Muslim Law; an Essay in Exegesis" dalam Jurnal The Muslim World, vol. L (Hartdford: The Hartdford Seminary Foundation, 1960) Shihab, M. Quraisy, Wawasan Al-Quran, Penerbit Mizan-Bandung 2000. Sanderson, Stephen K, Macrosociology, edisi Indonesia oleh Farid Wajidi & S. Menno, Makro Sosiologi: Sebuah pendekatan Terhadap Realitas Sosial, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000). Yacob, M, M. Ed, Wanita, Pendidikan dan Kelurga Sakinah, (Medan, Jabal Rahmah, 1996)
16