AKTIVITAS ENZIM LAKTAT DEHIDROGENASE PADA JARINGAN PARU TIKUS YANG DIINDUKSI HIPOKSIA SISTEMIK Naela Himayati Afifah, Ani Retno Prijanti, Mohamad Sadikin Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Abstrak Pada kondisi hipoksia, untuk tetap mencukupi jumlah adenosine trifosfat (ATP), sel akan melakukan adaptasi dengan mengubah metabolisme dari proses aerob menjadi anaerob. Sebagai enzim glikolisis anaerob, jumlah laktat dehidrogenase (LDH) pun akan meningkat di dalam sel. Paru, sebagai organ vital penyedia oksigenasi adekuat bagi tubuh, juga memiliki respon terhadap kondisi hipoksia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran adaptasi metabolisme jaringan paru melalui aktivitas spesifik LDH, pada tikus yang telah diinduksi hipoksia sistemik dibandingkan dengan normoksia (kontrol). Sejumlah tikus ditempatkan pada kandang hipoksia (kandungan O2 10%) selama 1, 3, 7, dan 14 hari. Pada akhir periode, bersama dengan kelompok tikus normoksia, semua tikus percobaan dieuthanasia, dan organ parunya dianalisis untuk pengukuran aktivitas spesifik LDH. Hasil penelitian menunjukkan aktivitas LDH paru menurun pada kondisi hipoksia dibandingkan dengan normoksia. Penurunan glikolisis anaerob pada sel paru menggambarkan kegagalan mekanisme adaptasi sel yang berujung pada apoptosis. Perhitungan One-Way ANOVA menunjukkan perbedaan bermakna antara kelompok normoksia dan kelompok-kelompok hipoksia (p=0,015). Pada Uji Post-Hoc diketahui bahwa aktivits LDH pada kelompok hipoksia 1 hari, 7 hari, dan 14 hari, berbeda bermakna dibandingkan normoksia. Disimpulkan bahwa pada jaringan paru tikus hipoksia sistemik terdapat penurunan bermakna aktivitas spesifik LDH dibandingkan kontrol normoksia. Kata kunci: hipoksia; LDH; paru Abstract In hypoxia, to maintain adenosine triphosphate (ATP) production, cell conducts an adaptation mechanism by shifting metabolism from aerobic into anaerobic. As an anaerobic glycolytic enzyme, the amount of lactate dehydrogenase (LDH) is increasing intracellularly regarding hypoxia condition. Lung, as a vital organ regulating adequate oxygenation to systemic, has a response to hypoxia. This research aims to get a display of metabolism adaptation on lung tissue in systemic hypoxia induced rats compared to normoxia. Some amount of rats are divided into groups and placed inside hypoxic cage (O2 10%) in 1, 3, 7, and 14 days. In the end, together with normoxia group, they were euthanized, and the lung organ was analyzed for specific LDH activity. The result shows a declining on LDH activity in hypoxia compared to normoxia. The decreasing of anaerobic glycolytic process in lung tissue portrays a failure of lung cell adaptation mechanism, and this condicition leads to cell apoptosis. One-way ANOVA test shows significant difference on LDH specific activity between normoxia and hypoxia groups (p=0,015). Post-Hoc test then shows the significant difference is between 1 day, 7 days, and 14 days hypoxia compared to normoxia. In conclusion, there is significant decreasing of specific LDH activity on hypoxia compared to normoxia in lung tissue. Keywords: hypoxia; LDH; lung
1
Aktivitas enzim..., Naela Himayati Afifah, FK-UI, 2013
Pendahuluan Sebagai senyawa penting bagi makhluk hidup, baik makhluk seluler maupun multiseluler, dalam tingkat sel, oksigen berperan penting dalam pembentukan energi. Oksigen dibutuhkan dalam reaksi aerob sebagai akseptor terakhir proses rantai pernapasan. Rangkaian proses ini akan menghasilkan energi dalam bentuk Adenosine Triphosphate (ATP), yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sel tubuh.1-8 Berbeda dengan reaksi ini, pada reaksi anaerobik yang tanpa oksigen, ATP yang dihasilkan jauh lebih sedikit.2 Dalam metabolisme glukosa, yang merupakan sumber energi utama tubuh, proses glikolisis merupakan yang terpenting. Jika oksigen tersedia, glikolisis aerob akan terjadi. Jalur ini akan berlanjut ke siklus asam sitrat, kemudian masuk ke proses rantai respirasi. Jika oksigen tidak tercukupi, glikolisis anaerobiklah yang akan berlangsung.1,2,4 Pada glikolisis anaerob, energi yang dihasilkan delapan belas kali lebih sedikit dibandingkan dengan glikolisis aerob.1,2,4 Hal ini terjadi pada kondisi hipoksia, yaitu berkurangnya suplai oksigen ke sel, jaringan, maupun organ. Pada glikolisis anaerob, piruvat yang dihasilkan akan direduksi menjadi laktat oleh enzim laktat dehidrogenase (LDH), yaitu enzim yang mengkatalisis reaksi bolak-balik piruvat menjadi laktat. Reaksi ini berkaitan erat dengan kondisi hipoksia.1,2,4 Tikus atau mamalia pun memiliki respon terhadap kondisi hipoksia tersebut. Pada jaringan tikus dengan pajanan konsentrasi oksigen rendah, maka dalam jangka pendek akan mengalami inflamasi.9 Aktivitas LDH sebagai cerminan peningkatan glikolisis anaerob di dalam jaringan tikus juga merupakan salah satu cara untuk melihat respon hipoksia tersebut.3 Beberapa organ dengan konsumsi oksigen cukup tinggi adalah otak, jantung, maupun paru. Pada keadaan hipoksia jangka waktu panjang, maka jaringan akan rusak, seperti pada gagal ginjal kronik, kematian sel otak permanen, kematian otot jantung, maupun hipertensi pulmonal pada paru.4,10 Berbeda dengan yang ditemukan pada otot, karena sering dihadapkan pada keadaan hipoksia selama olahraga, jaringan ini mampu melindungi diri dari cedera sel. Pertama, karena otot memiliki mioglobin sebagai cadangan oksigen darurat, kedua, karena glikolisis anaerob yang terjadi. Untuk itu, pada kondisi hipoksia, aktivitas LDH sangat tinggi pada otot yang sudah terlatih beradaptasi. Selain itu, laktat yang diambil juga akan dipakai oleh tubuh untuk glukoneogenesis di hati atau ginjal.1,2,4 Sehingga, penelitian pada organ otot, hati, dan ginjal tentang hipoksia dan aktivitas LDH pun sudah cukup banyak dilakukan. Sebagai organ pertama yang berfungsi pada interaksi tubuh dengan oksigen di lingkungan, paru juga merupakan organ penting, karena organ ini mengatur oksigenasi adekuat suatu organisme. Struktur pada paru telah didesain untuk pertukaran gas yang efektif 2
Aktivitas enzim..., Naela Himayati Afifah, FK-UI, 2013
dan sangat cepat.11,12,13 Bila terjadi hipoksia sistemik, sebelum terjadi respon pada seluruh tubuh, hipoksia alveolar merupakan lokasi pertama yang pertama mengalami hipoksia. Padahal, untuk tetap menjaga oksigenasi yang adekuat, alveolus sebagai struktur paling penting dalam pertukaran gas, tetap membutuhkan oksigenasi yang normal dalam menjalankan proses difusi. Sehingga, respon seluler pada jaringan paru pada kondisi hipoksia dapat langsung bermanifestasi pada kondisi klinis makhluk hidup.11,14 Untuk mengetahui respon organ paru terhadap hipoksia tersebut, peneliti ingin membandingkan aktivitas enzim LDH pada tikus normoksia dan tikus yang diinduksi hipoksia sistemik. Tinjauan Pustaka Hipoksia adalah keadaan dengan defisiensi oksigen. Normalnya, konsentrasi oksigen berkisar 20-21%.11 Keadaan hipoksia ini dapat menyebabkan cedera sel hingga kematian sel, tergantung dari durasi dan lama hipoksia serta mekanisme adaptasi sel.12 Penyebab hipoksia antara lain karena berkurangnya aliran darah ke jaringan, kelainan sistem pernapasan hingga oksigen dalam darah menurun, dan gangguan kardiorespirasi. Selain itu, hipoksia juga dapat menginduksi respon inflamasi. Hypoxia-induced factor 1a (HIF-1a) faktor transkripsi gen yang diproduksi karena oksigen menurun dalam sel, dan dapat mengaktifkan faktor-faktor inflamasi, termasuk VEGF untuk neovaskularisasi. Hipoksia pada akhirnya dapat juga menyebabkan deplesi ATP karena sintesis ATP berkurang. Padahal, ATP digunakan untuk berbagai proses sintesis maupun degradasi dalam sel. Selain itu, perubahan metabolisme energi seluler pada keadaan hipoksia juga akan berubah, dari fosforilasi oksidatif menjadi glikolisis anaerob.12,15 Kondisi perubahan metabolisme menjadi glikolisis anaerob ini merupakan salah satu cara sel untuk beradaptasi.15
Gambar 1. Metabolisme glukosa sebagai respon terhadap hipoksia.16 3
Aktivitas enzim..., Naela Himayati Afifah, FK-UI, 2013
HIF merupakan faktor transkripsi yang inaktif pada keadaan normoksia dan aktif pada keadaan hipoksia. HIF-1 terdiri dari subunit konstitutif HIF-1β dan subunit yang teregulasi oksigen HIF-1α. Pada kondisi aerobik, HIF-1α dihidroksilasi oleh protein prolyl hydroxylase domain (PHDs) yang menggunakan oksigen dan α-ketoglutarat sebagai substrat dan Fe2+ pada pusat katalitik. HIF-1α yang terhidroksilasi berinteraksi dengan protein von Hippel-Lindau (VHL) dan mengalami proses penempelan ubiquitin. Subunit protein ubiquitin ligase akan mengenali substrat dan menargetkan HIF-1α untuk degradasi protein. Pada kondisi hipoksia, hidroksilasi dihambat oleh akumulasi HIF-1α, dan aktivitas transkripsional HIF-1 diregulasi oleh faktor inhibisi HIF-1 (FIH-1), yaitu hidroksilase asparaginil yang memblok interaksi HIF-1α dengan koaktivator protein p300. Sehingga, hidroksilasi HIF-1α menyediakan mekanisme yang mentransduksi perubahan avaibilitas oksigen ke nukleus dengan efek perubahan transkripsi gen. HIF-1 akan mempromosikan metabolisme glikolisis karena aktivasi laktat dehidrogenasi (LDH) A dan piruvat dehidrogenase kinase (PDK) 1. HIF-1 juga akan meningkatkan eritropoiesis melalui peningkatan eritropoietin dan neovaskularisasi melalui peningkatan VEGF.12,16
Gambar 2. Aktivitas HIF pada kondisi hipoksia.16 Paru, sebagai organ penting untuk menjaga oksigenasi adekuat suatu organisme, akan terpengaruh terhadap hipoksia. Pada bentuk akut, paru yang mengalami hipoksia akan mengalami peningkatan tekanan arteri pulmonalis, malfungsi epitel, edema, dan inflamasi. Sementara pada kondisi hipoksia kronik, terjadi proliferasi vaskular, peningkatan reaktivitas vaskuler, hipertensi pulmonal kronik, dan gagal jantung kanan.11 Komponen pada paru yang penting untuk pertukaran gas adalah luasnya permukaan dan tipisnya sawar alveolus-kapiler. Jika terjadi hipoksia vaskular, akan terjadi vasokontriksi yang permanen, dan bila bersifat kronik, akan terjadi perubahan morfologi berupa proses 4
Aktivitas enzim..., Naela Himayati Afifah, FK-UI, 2013
vascular remodeling (proliferasi dan berkurangnya apoptosis sel vaskular paru). Proses ini ditandai dengan peningkatan hambatan kanal kalium sehingga depolarisasi membran terjadi (kontraksi otot polos arteri pulmonal), peningkatan Ca2+, endhotelin-1, NO, erythropoietin, serotonin, VEGF, PDGF, yang berada di bawah kontrol faktor HIF.14 Selain aktivasi HIF, hipoksia juga dapat menyebabkan peningkatan ROS berupa superoksida pada sel endotel, makrofag alveolar, otot polos vaskular, fibroblast, sel epitel bersilia, dan sel alveolar tipe II.11 Sementara glikolisis merupakan jalur utama metabolisme glukosa, yang berfungsi baik dalam keadaan aerob maupun anaerob. Pada kondisi hipoksia, glikolisis ini terjadi secara anaerob sebagai mekanisme adaptasi sel untuk mempertahankan jumlah ATP. Glikolisis terjadi di sitosol.13 Bila pada keadaan aerob piruvat yang dihasilkan masuk ke mitokondria untuk melanjutkan siklus asam trikarboksilat, pada kondisi anaerob, NADH direoksidasi di dalam sitosol oleh enzim laktat dehidrogenase (LDH) yang mereduksi piruvat menjadi laktat. Dalam reaksi ini, ATP tetap terbentuk, dan NAD+ juga terbentuk kembali untuk glikolisis berikutnya. Untuk dapat memenuhi kebutuhan energi yang sama dengan reaksi aerob sempurna, dibutuhkan 15 kali glukosa pada glikolisis anaerob dengan waktu 15 kali lebih cepat.17 Enzim laktat dehidrogenase (LDH) merupakan enzim intraseluler (sitoplasmik) yang berperan dalam proses glikolisis. Enzi mini menyelenggarakan transfer hydrogen untuk mengkatalisis oksidasi laktat menjadi piruvat dengan nicotinamide-adenin dinucleotida (NAD)+ sebagai akseptor hydrogen. Reaksi ini reversibel, dan dipengaruhi oleh kondisi metabolik yaitu substrat, koenzim, dan nilai pH. Peran LDH ditunjang oleh strukturnya. LDH, dengan berat molekul 144 kDa, memiliki bentuk aktif berupa tetramer yaitu terdiri atas empat subunit dalam posisi ekivalen. Setiap subunit disusun oleh rantai peptida yang terdiri atas 334 asam amino (36 kDa).Empat peptide ini menyambung ke dalam dua tipe: M dan H, bergantung pada kontrol genetic. H (heart) merupakan subunit yang banyak terdapat di jantung, dan M (muscle) merupakan subunit yang banyak terdapat di otot.18 Enzim ini esensial terdapat pada semua sistem dan organ major. Kemunculannya secara ekstraselular digunakan untuk mendeteksi kerusakan sel atau kematian sel, yaitu dengan pemeriksaan serum LDH.19 Di paru, aktivitas LDH paling banyak terdapat pada sel epitel bronkus dal sel epitel alveolar tipe II. Peningkatan aktivitas LDH yang ditemukan di serum dapat diakibatkan cedera atau nekrosis sel epitel alveolus atau sel pulmonal lain pada jalan napas. Sel-sel inflamasi juga dapat menghasilkan LDH ini. LDH dari sel yang cedera atau mati ini dapat masuk ke intersisial atau alveolus, dan tampak pada berbagai penyakit paru.19
5
Aktivitas enzim..., Naela Himayati Afifah, FK-UI, 2013
Pada penelitian ini, digunakan hewan coba tikus Sprague-Dawley, yang merupakan tikus strain albino yang telah digunakan secara luas, terutama di dunia medis, karena tenang dan mudah dipegang. Tikus Sprague-Dawley berasal dari Denmark, dan secara umum adalah mamalia sosial yang tinggal berkelompok. Secara biologis, berat tubuh tikus jenis 250-300 g (jantan) atau 280-220 g (betina). Tikus ini dapat hidup selama 2-3 tahun. Kecenderungan untuk kawin tikus ini terjadi pada 8-10 minggu setelah lahir, baik pada betina maupun jantan. Tikus jenis ini memiliki siklus estrus 4-5 hari, dengan durasi 9-20 jam. Jika memiliki masa estrus, tikus betina akan lebih aktif. Untuk pemeliharaannya, karena sensitif terhadap suara, noise level harus dijaga kurang dari 85 db.20,21 Metode Penelitian Penelitian ini bersifat eksperimental yang dilakukan secara in vivo. Tempat penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Indonesia (FKUI) dari Maret 2011 hingga Juni 2013. Sampel pada penelitian ini adalah jaringan paru dari hewan coba tikus Sprague Dawley normoksia dan tikus dengan induksi hipoksia sistemik. Sediaan paru kemudian disimpan dalam suhu -80oC. Tikus dibagi ke dalam dua kelompok besar, kelompok pertama adalah tikus normoksia atau tikus kontrol tanpa induksi hipoksia. Sedangkan kelompok kedua adalah tikus dengan perlakuan hipoksia selama 1 hari, 3 hari, 7 hari, dan 14 hari. Berdasarkan rumus Federer, jumlah sampel minimal untuk setiap perlakuan adalah 5 sampel, sehingga pada penelitian ini digunakan total 25 sampel. Kriteria inklusi sampel adalah jaringan paru tikus dengan berat badan 200-300 g dan berusia 3 bulan, sementara kriteria eksklusi adalah tikus yang berada dalam kondisi sakit atau memiliki kelainan organ, dan kriteria drop out adalah tikus yang keluar dari penelitian jika mati sebelum perlakuan selesai dilakukan. Variabel bebas pada penelitian ini adalah perlakuan hipoksia terhadap tikus (kontrol, hipoksia 1 hari, hipoksia 3 hari, hipoksia 7 hari, dan hipoksia 14 hari), sementara variable terikat adalah aktivitas laktat dehidrogenase (LDH). Alat yang digunakan adalah Peralatan bedah minor, neraca Sartorius, gelas ukur, kaca arloji, sentrifugasi, microtube (tabung) atau test tube, mikropastel, homogenizer, mikropipet, tip, plate 96-well, hypoxia chamber, spektrofotometer, sarung tangan, ice box, rak test tube, dan spidol marker, dan bahan yang digunakan adalah Jaringan paru tikus, es, dapar fosfat istonik (PBS [phosphate buffer isotonic]) 0,1 M pH 7,4 yang telah ditambahkan PMSF (antiprotease), alkohol, aquades, aquabides, larutan standard albumin sapi (BSA [Bovine Standard Albumin]), kit LDH QuantiChrom (DLDH-100). 6
Aktivitas enzim..., Naela Himayati Afifah, FK-UI, 2013
Cara kerja di laboratorium adalah persiapan bahan jaringan paru tikus dengan membagi kelompok tikus menjadi dua kelompok besar: kelompok pertama adalah tikus kontrol (normoksia; tanpa perlakuan hipoksia) yang berjumlah 5 tikus dan kelompok kedua adalah kelompok hipoksia dengan 4 perlakuan, masing-masing 5 tikus. Pada kondisi hipoksia, tikus terpajan oksigen 10% dan nitrogen 90%. Pada akhir masa hipoksia, baik kelompok tikus normoksia maupun hipoksia dieutanasia dengan eter, dibedah, dan diambil organnya untuk analisis aktivitas spesifik LDH. Langkah berikutnya adalah pembuatan supernatant paru tikus. Sebanyak 100 mg jaringan paru tikus ditimbang dengan neraca Saratorius. Jaringan dimasukkan ke dalam mikrotube, dilumatkan dengan mikropestel yang telah terpasang pada homogenizer (mesin hemogenesis), lalu ditambahkan PBS 0,5 mL di dalamnya. Setelah homogenat ini terbentuk, pisahkan antara presipitat dan supernatannya dengan sentrifugasi 500 rpm selama 10 menit. Pasca sentrifugasi, dengan mikrotub lain, supernatan diambil lalu disimpan dalam deepfreezer pada suhu -40oC. Berikutnya, dilakukan pengukuran kadar protein dengan membuat larutan standard BSA (sebanyak 8 larutan): 0,025 mg/mL, 0,05 mg/mL, 0,1 mg/mL, 0,15 mg/mL, 0,2 mg/mL, 0,3 mg/mL, 0,4 mg/mL, dan 0,5 mg/mL. Kemudian, dibuat kurva standard setelah kedelapan larutan standard BSA tersebut terbaca pada panjang gelombang 280 nm. Di sisi lain, siapkan larutan supernatan paru tikus yang telah diencerkan sebanyak 50 kali, baca pula pada panjang gelombang 280 nm. Perhitungan kadar protein dilakukan dengan membaca serapan supernatant yang diencerkan dengan kurva standard lalu memasukkannya pada persamaan garis kurva standar y = ax + b. Setelah mendapatkan kadar protein, langkah berikutnya adalah pengukuran aktivitas LDh dengan menggunakan kit LDH yang telah mengandung larutan NAD, substrate buffer, larutan MTT, larutan PMS, dan kalibrator. Pertama, reagen dibuat untuk pengamatan pada 96well plate dengan mencampurkan 0,014 mL MTT, 0,008 mL larutan NAD, 0,008 larutan PMS, dan 0,17 mL substrate buffer pada suhu ruangan. Sebelum aktivitas diamati, air dan kalibrator diamati terlebih dahulu. Caranya adalah dengan memasukkan 0,2 mL H2O dan 0,2 mL kalibrator pada 96-well plate (dasar jernih). Baru kemudian supernatan dari tiap sampel dimasukkan juga ke dalam 96-well plate sebanyak 0,01 mL, dan pada setiap supernatant tersebut ditambahkan 0,19 mL reagen. Agar larutan pada plate tercampur baik, ketuk perlahan. Pada panjang gelombang 565 nm (ODS0), gelombang dibaca. Pembacaan diulangi 25 menit kemudian (ODS25).
7
Aktivitas enzim..., Naela Himayati Afifah, FK-UI, 2013
Pada kit ini, prinsip pengukurannya adalah reduksi tetrazolium salt MTT dalam reaksi enzimatik NADH, sehingga terbentuklah MTT tereduksi yang menunjukkan serapan maksimum pada 565 nm. Warna ungu dengan intensitas makin tinggi menunjukkan reaksi enzimatik yang terjadi. Dengan menggunakan rumus ini, aktivitas LDH dapat diukur: Aktivitas LDH IU L = 43,68 ×
OD!"# − OD!" ×! OD!"# − OD!"#
Keterangan: •
ODS0 adalah nilai serapan sampel pada 0 menit.
•
ODS25 adalah nilai serapan sampel pada 25 menit.
•
ODCAL adalah nilai serapan kalibrator.
•
ODH2O adalah nilai serapan air.
•
n adalah faktor pengenceran.
•
43,68 adalah faktor yang tertulis pada kit. Kemudian, setelah ditemukan aktivitas LDH dalam IU/L, hasil tersebut dibagi dengan
kadar protein yang diperoleh, sehingga akan didapat aktivitas spesifik LDH dalam IU/mg. Pengolahan data digunakan dengan SPSS for windows 16.00. Untuk melakukan uji hipotesis komparatif dengan variable berupa data numerik yang tidak berpasangan lebih dari dua kelompok, digunakan uji One Way Anova. Pertama, uji Shapiro-Wilk dilakukan untuk jumlah sampel < 50 untuk melihat normalitas, dan test homogeneity of variance dilakukan juga untuk meguji variansi data. Karena data aktivitas spesifik LDH pada penelitian ini terdistribusi normal dan varians data homogen, uji One Way Anova dapat dilakukan. Nilai p dikatakan bermakna jilai nilainya < 0,05. Pada penelitian ini, karena nilai p<0,05, dilanjutkan uji Post-Hoc untuk melihat kelompok-kelompok yang memiliki perbedaan makna. Hasil Penelitian
8
Aktivitas enzim..., Naela Himayati Afifah, FK-UI, 2013
Kurva Standard 0.3 y = 0.0005x + 0.0198 R² = 0.993
Konsentrasi BSA
0.25 0.2 0.15
Kurva Standard
0.1
Linear (Kurva Standard)
0.05 0 0
100
200
300
400
500
600
Nilai Absorbansi BSA
Gambar 3. Kurva Standard BSA.
Kadar protein (mg/mL)
Kadar Protein Jaringan Paru 40000.00
40000
35000.00
35000
30000.00
30000
25000.00
25000
20000.00
20000
15000.00
15000
10000.00
10000
5000.00
5000
0.00
0 Normoksia Hipoksia 1 hari Hipoksia 3 hari Hipoksia 7 hari Hipoksia 14 hari Perlakuan
Gambar 4. Kadar Protein Jaringan Paru. Pada gambar 4, didapatkan bahwa kadar protein paru tikus tidak tmenunjukkan perbedaan signifikan pada masing-masing perlakuan. Dibandingkan dengan normoksia, pada hipoksia, kadar protein cenderung meningkat.
9
Aktivitas enzim..., Naela Himayati Afifah, FK-UI, 2013
Tabel 1. Aktivitas LDH (IU/L) pada Jaringan Paru Tikus Kelompok Normoksia Hipoksia
Hipoksia
Hipoksia
Hipoksia
1 hari
3 hari
7 hari
14 hari
Mean
0,186
0,106
0,157
0,127
0,119
N
5
5
5
5
5
SD
0,022
0,056
0,072
0,062
0,079
Pada tabel 1, didapatkan aktivitas LDH menurun pada hipoksia 1 hari, lalu meningkat lagi pada hipoksia 3 hari, dan menurun lagi pada hipoksia 7 hari dan 14 hari.
Ak>vitas spesifik enzim LDH (IU/mg) 0.014 0.012 0.01 0.008
*
*
*
0.006
akIvitas LDH
0.004 0.002 0 normoksia
1 hari
3 hari
7 hari
14 hari
Gambar 5. Aktivitas Spesifik LDH pada jaringan paru tikus (IU/mg). *nilai p<0,05 pada hipoksia 1 hari, 7 hari, dan 14 hari dibandingkan normoksia. Dan nilai p<0,05ditemukan pada hipoksia 3 hari dan 14 hari. Berdasarkan gambar 5, didapatkan bahwa aktivitas spesifik LDH jaringan paru pada tikus hipoksia lebih rendah dibandingkan pada tikus normoksia. Aktivitas LDH ini akan menurun sejalan dengan lamanya hipoksia. Aktivitas LDH menurun pada hipoksia 1 hari, lalu meningkat lagi pada hipoksia 3 hari, dan turun lagi pada hipoksia 7 hari, hingga akhirnya semakin menurun pada hipoksia 14 hari.
10
Aktivitas enzim..., Naela Himayati Afifah, FK-UI, 2013
Pembahasan Gambar 3 menunjukkan bahwa kadar protein pada jaringan paru dalam kondisi hipoksia mengalami perubahan dibandingkan dengan dengan normoksia. Uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara kadar protein jaringan paru tikus normoksia maupun hipoksia. Terlihat bahwa pada hipoksia 1 dan 3 hari, kenaikan kadar protein jaringan paru tidak sebanyak pada hipoksia 7 hari atau 14 hari. Kadar protein pada jaringan ini terus meningkat seiring dengan durasi hipoksia yang semakin lama. Pada penelitian in vivo sel yang terekspos hipoksia lebih dari 24 jam, terjadi penurunan sintesis protein sebanyak 30%.14 Pada penelitian ini kadar protein jaringan paru meningkat tidak bermakna selama perlakuan hipoksia. Di sisi lain, secara dramatis, ekspresi gen protein fungsional yang berperan dalam adaptasi homeostasis justru meningkat pada kondisi hipoksia. Hal ini berujung pada peningkatan sintesis protein, seperti eritropoietin, transporter glukosa, enzim-enzim glikolisis, VEGF, metaloproteinase pada matriks, yang kesemuanya memediasi adaptasi selular maupun jaringan. Semua ekspresi gen ini dikontrol oleh HIF-1, yang meningkat dan terakumulasi di dalam sel pada kondisi hipoksia.19 Pada penelitian dengan tikus yang diinduksi hipoksia (O2 8-10%) selama 1, 7, 14, dan 21 hari, ditemukan adanya peningkatan mRNA relatif HIF-1α secara bertahap pada organ jantung dan otak. Peningkatan tersebut mencapai puncak pada hipoksia 7 hari dan 14 hari, dan menurun setelahnya. Peningkatan ekspresi gen HIF-1α merupakan respon awal terhadap hipoksia, dan penurunannya menggambarkan kemampuan stabilisasi protein HIF-1α melalui hambatan degradasinya.20 Pada penelitian ini, peningkatan kadar protein yang terjadi pada kondisi hipoksia seiring dengan peningkatan HIF-1 yang terakumulasi di dalam sel. Peningkatan protein pada jaringan paru bahkan terus meningkat seiring dengan durasi hipoksia yang semakin lama. Oleh karena itu, sel paru juga membutuhkan protein fungsional yang berupa faktor-faktor transkripsi maupun enzim-enzim yang penting untuk tetap bertahan hidup pada kondisi hipoksia. Sementara, berdasarkan uji statistik dan kurva LDH (Gambar 5), diperlihatkan bahwa aktivitas spesifik LDH pada hipoksia lebih rendah dibandingkan kondisi normoksia. Penurunan aktivitas LDH yang bermakna terhadap normoksia ditemukan pada hipoksia pada 1, 7, dan 14 hari. Pada hipoksia 1 hari, aktivitas LDH lebih rendah dari normoksia. Pada hipoksia 3 hari, aktivitas LDH meningkat lagi, pada hipoksia 7 hari, aktivitas kembali menurun, dan berlanjut terus hingga hipoksia 14 hari. 11
Aktivitas enzim..., Naela Himayati Afifah, FK-UI, 2013
Untuk tetap bertahan hidup, selain mengurangi penggunaan ATP melalui penurunan translasi protein yang tidak mendesak keperluannya dan aktivitas Na+-K+-ATPase, sel juga mengubah metabolisme energinya dari rantai respirasi menjadi glikolisis anaerob karena aktivasi HIF-1 yang menginduksi piruvat dehidrogenase kinase 1 dan laktat dehidrogenase A.17 Pada sel inflamasi seperti sel neutrofil maupun makrofag, mekanisme adaptasi terhadap kondisi hipoksia sangat tinggi. Penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan proses glikolisis anaerob pada sel hipoksia berbanding lurus dengan produksi ATP pada selsel mieloid tersebut.19 Sementara hasil penelitian lain pada tikus yang terinduksi hipoksia (oksigen 10%) selama 48 jam, menunjukkan tidak adanya perubahan jumlah ATP dibandingkan dengan normoksia.14 Penelitian lain juga menyebutkan bahwa sel yang terekspos hipoksia secara kronis (menit hingga jam), ambilan oksigen oleh sel berkurang namun sifat supresinya masih reversibel, sehingga tidak ditemukan adanya tanda cedera sel. Bahkan, sel yang terpapar ROS selama berhari-hari pada hipoksia kronik, dapat mengembalikan level ROS kembali ke level normoksia.19 Namun, jika durasi hipoksia terlalu lama, atau derajat keparahan hipoksia terlalu besar, defisit energi akan terus terjadi. Sehingga, mekanisme adaptasi sel tersebut tidak akan bertahan lagi. Pemaparan hipoksia yang terus-menerus akan menyebabkan kondisi sel menurun, terjadi cedera sel, dan akhirnya mengalami apoptosis atau nekrosis.3 Aktivitas LDH yang tinggi sebagai mekanisme adaptasi sel dari kondisi hipoksia juga ditemukan pada sel otot. Sel otot rangka, karena sering terpapar oleh keadaan dengan tekanan rendah oksigen, misalnya selama olahraga, akan tahan terhadap kondisi hipoksia. Pertama, oksigen pada otot telah tersimpan dalam mioglobin cadangan darurat. Kedua, karena glikolisis anaerob yang aktif. Pada kondisi ini, aktivitas spesifik LDH justru lebih tinggi pada kondisi hipoksia dibandingkan normoksia, karena glikolisis anaerob terus meningkat. Penelitian ini ditemukan pada tikus yang telah diinduksi hipoksia 1, 7, 14, dan 21 hari, yang menunjukkan bahwa peningkatan aktivitas spesifik LDH pada jaringan otot pada hipoksia 1, 7, dan 14 hari.3 Berbeda dengan yang ditemukan pada jaringan paru di penelitian ini, pada kondisi hipoksia, aktivitas spesifik LDH justru lebih rendah pada kondisi hipoksia dibandingkan normoksia. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme adaptasi pada jaringan paru berupa pengubahan metabolisme energi dari transpor elektron menjadi glikolisis anaerob tidak berjalan sebaik pada sel otot rangka. Deplesi oksigen juga dapat menyebabkan peningkatan ROS, sehingga sel pun semakin rentan terhadap cedera.
12
Aktivitas enzim..., Naela Himayati Afifah, FK-UI, 2013
Pada penelitian dengan tikus yang diinduksi hipoksia selama 1, 3, 7, dan 14 hari di jaringan paru, ditemukan kadar ALT (Alanin Transfaminase) pada hipoksia cenderung meningkat dibandingkan normoksia, walau hasil tidak menunjukkan perbedaan bermakna pada semua kelompok tikus tersebut. Peningkatan enzim ini menunjukkan aktivitas bolakbalik perubahan piruvat ke alanin. Kemudian, alanin yang terbentuk akan ditransfer ke hati untuk glukoneogenesis, dan diubah menjadi glukosa sebagai sumber energi tubuh.21 Dibandingkan dengan enzim LDH pada jaringan paru yang aktivitasnya turun, peningkatan aktivitas ALT yang tidak jauh berbeda dengan normoksia menunjukkan adanya perubahan piruvat menjadi alanin pada kondisi hipoksia. Dalam hal ini, proses glukoneogenesis lebih dominan terlihat dibandingkan glikolisis anaerob pada jaringan paru yang hipoksia. Aktivitas LDH yang rendah dan aktivitas ALT yang meningkat ini menggambarkan kemungkinan piruvat lebih banyak diubah menjadi alanin dibandingkan laktat. Pada kondisi hipoksia 1 hari, penurunan aktivitas LDH karena menurunnya aktivitas glikolisis
anaerob
menunjukkan
ketidakmampuan
sel
untuk
beradaptasi
sehingga
kemungkinan, banyak sel mengalami apoptosis. Namun, pada hipoksia hari ketiga, aktivitas spesifik LDH meningkat kembali walaupun tidak setinggi pada normoksia. Peningkatan ini menunjukkan bahwa sel jaringan paru masih berusaha untuk beradaptasi agar produksi dan konsumsi ATP tetap seimbang, yaitu dengan peningkatan glikolisis anaerob melalui aktivitas LDH. Setelah hipoksia pada hari ketiga, mulai dari hari ketujuh dan keempat belas, aktivitas LDH didapatkan terus menurun. Keadaan ini berarti, proses glikolisis anaerob melalui aktivitas LDH tidak mampu terus dijalankan, sehingga produksi ATP terus berkurang, dan produksi ROS semakin meningkat, maka sel paru pun kemungkinan sudah banyak mengalami apoptosis. Selain apoptosis, kemungkinan lain penurunan aktivitas LDH adalah dominansi proses glukoneogenesis dibandingkan glikolisis anaerob karena adanya peningkatan ALT pada jaringan paru hipoksia ini. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa aktivitas spesifik LDH pada jaringan paru tikus menurun secara signifikan setelah diinduksi hipoksia sistemik. Saran 1. Perlu dicari korelasi antara kadar protein jaringan paru dengan aktivitas enzim laktat dehidrogenase. 13
Aktivitas enzim..., Naela Himayati Afifah, FK-UI, 2013
2. Perlu dilakukan pengukuran aktivitas enzim-enzim yang terlibat pada proses glukoneogenesis di jaringan ekstrahepatik. 3. Perlu dilakukan uji mikroskospis untuk mengetahui apoptosis sel.
14
Aktivitas enzim..., Naela Himayati Afifah, FK-UI, 2013
Daftar Pustaka 1. Marks DB, Marks AD, Smith CM (2002). Biokimia Kedokteran Dasar: Sebuah Penelitian Klinis. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2002. p. 305-319, 268, 335-350, 422423. 2. Murray RK, Granner DK, Rodwell VW (2006). Harper’s Illustrated Biochemistry [ebook]. Edisi 27. United States: The McGraw-Hill Companies. 3. Achyat SR (2010). Perbandingan Konsumsi Glukosa, Aktivitas, dan Pola Elektroforesis Enzim Laktat Dehidrogenase (LDH) pada Otot Tikus Normoksia, Hipoksia, dan Otot Penyu Hijau (Chelonia mydas) [thesis S2]. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 4. Bender DA (2009). Glycolysis & The Oxidation of Pyruvate. Dalam: Murray RK, Bender DA, Botham KM, Kennelly PJ, Rodwell VW, Weil PA, editor. Harper’s Illustrated Biochemistry. Edisi 28. Chicago: The McGraw-Hill Company. p. 150-156. 5. Ganong WF (2003). Review of Medical Physiology [e-book]. Edisi 21. Chicago: Lange Medical Books/McGraw-Hill. 6. Barret KE, Barman SM, Boitano S, Brooks HL (2010). Ganong’s Review of Medical Physiology [e-book]. Edisi 23. Chicago: The McGraw-Hill Company. 7. Sherwood L (2010). Human Physiology: From Cells to Systems. Edisi 7. Canada: Brooks/Cole Cengage Learning. p. 32-33, 39, 460, 497. 8. Tortora GJ, Derrickson BH (2009). Principles of Anatomy and Physiology: Volume 2. Edisi 12. Danvers: John Wiley and Sons, In. p. 56-57. 9. Eltzschig HK, Carmeliet P (2011). Hypoxia and Inflammation. N Engl J Med, 364, 65665. 10. Marieb EN, Hoehn K (2006). Human Anatomy & Physiology [e-book]. Edisi 7. San Fransisco: Benjamin Cummings Company. 11. Arneda OF, Tuesta M (2012). Lung Oxidative Damage by Hypoxia. Dalam Oxidative Medicine and Cellular Longevity. Santiago: Hindawi Publishing Cooperation. 12. Weisman N, Grimminger F, Seeger W (2006). Hypoxia in lung vascular biology and disease. Cardiovascular Research, 71, 618-9. 13. Weissman N (2008). Hypoxia driven mechanisms in lung biology and disease: a new review series of the ERS Lung Science Conference. Eur Respir J, 31, 697-8. 14. Jain M, Sznajder I (2005). Effects of Hypoxia on the Alveolar Epithelium. Proc Am Thorac Soc, volume 2, 202-5. 15
Aktivitas enzim..., Naela Himayati Afifah, FK-UI, 2013
15. Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster JC (2010). Cellular Responses to Stress and Toxic Insults: Adaptation, Injury, and Death. Dalam: Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster JC. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. Philadelphia: Saunders Elsevier. p. 11, 23. 16. Semenza GL. Oxygen Sensing, Homeostasis, and Disease (2011). N Engl J Med, 365, 357-47. 17. Wheaton WW, Chandel NS (2011). Hypoxia regulates cellular metabolism. Am J Physiol Cell Physiol, 300, C385-93. 18. Bender DA, Mayes PA (2009). Glikolisis dan oksidasi piruvat. Dalam: Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW, editor. Biokimia Harper. Edisi .Jakarta: EGC. p. 158-65. 19. Oda T, Hirota K, Nishi K, Takabuchi S, Oda S, Yamanda H, et al (2006). Activation of hypoxia-inducible factor 1 during macrophage differentiation. Am J Physiol Cell Physiol, 291, C104-13. 20. Wanandi SI, Dewi S, Paramita R (2009). Ekspresi Relatif mRNA HIF-1α pada Jantung, Otak, dan Darah Tikus Selama Induksi Hipoksia Sistemik. Makara Sains, Vol 13, 185-8. 21. Kinanthi ELA (2013). Aktivitas Enzim Alanin Transaminase (ALT) pada Jaringan Paru Tikus yang Diinduksi Hipoksia Sistemik [skripsi S1]. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
16
Aktivitas enzim..., Naela Himayati Afifah, FK-UI, 2013