BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Propinsi DIY
telah menempati urutan ke-17 provinsi dengan penderita
penyakit HIV/AIDS terbesar1. Program-program pencegahan, seperti promosi kesehatan dan informasi bahaya HIV/AIDS menjadi sangat penting. Penderita HIV/AIDS terbanyak adalah pada kelompok usia 20-29 tahun yang termasuk usia produktif. Ini ironis karena justru kasus terbanyak adalah pada kelompok produktif. Kemungkinan mereka sudah tertular HIV sejak masa remaja dan baru menyadari setelah keadaan lebih kronis dan berubah menjadi HIV/AIDS di usia kelompok produktif, karena fakta medis menunjukkan bahwa untuk menuju keadaan kronis itu jenjang waktunya lama sekitar 5-10 tahun. Ini merupakan salah satu urgensi penulis memfokuskan penelitian ini terhadap remaja. Menurut data laporan program P2M ( Dinas Kesehatan Provinsi DIY) menunjukkan bahwa penemuan kasus HIV/AIDS masih rendah yaitu dari target semula sebesar 2000 kasus, ternyata hanya mampu dicapai 1288 kasus dengan jumlah angka kematian karena AIDS sebanyak 14 jiwa di tahun 20102. Keabsahan data mengenai jumlah pengidap HIV/AIDS yang ada juga sangat diragukan oleh banyak
1
Wawancara dengan saudari Shinta selaku Pengelola Program P2M Dinas Kesehatan Propinsi DIY pada hari Senin 7 Mei 2012 pukul 09.00 2 Dinas Kesehatan, 2010, Profil Kesehatan Kabupaten/Kota, DIY.
1
pihak. Disinyalir permasalahan HIV/AIDS di Indonesia lebih menyerupai fenomena gunung es dimana jumlah yang terdeteksi hanya sebagian kecil saja yang terlihat di permukaan daripada jumlah penderita yang sesungguhnya sedangkan permasalahan yang sesungguhnya jauh tersembunyi di dalamnya. Sejak tahun 2000, Indonesia termasuk negara dengan epidemik terkonsentrasi untuk penyakit HIV, karena prevalensi HIV pada subpopulasi tertentu telah melebihi 5 persen. Sejumlah data yang berhasil di himpun menunjukkan meningkatnya jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia, pada tahun 2007 tercatat 11.140 kasus, tahun 2008 terdapat 16.140 kasus, akhir tahun 2009 meningkat menjadi 19.973 kasus, dan semakin meningkat pada tahun 2010 menjadi 22.726 kasus3. Peningkatan jumlah kasus HIV tersebut menunjukkan bahwa hingga kini pemerintah belum berhasil untuk mengatasi masalah penyebaran HIV/AIDS di Indonesia. Tabel 1.1 Distribusi Frekuensi Kasus HIV&AIDS menurut golongan umur Provinsi DIY Tahun 1993-2011 (sampai dengan bulan Juni 2011) NO GOLONGAN UMUR 1 15-19 2 20-29 3 30-39 4 40-49 5 50-59 6 60 KEATAS 7 LAIN-LAIN TOTAL
AIDS 7 196 183 69 37 2 51 545
HIV 10 355 236 102 24 4 114 845
JUMLAH 17 551 419 171 61 6 165 1390
Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Yogyakarta 2011( diolah tahun 2013)
3
Pratiwi, Laras dan Jimmy Hipitipeuw, 2011, Jumlah Penderita HIV/AIDS Terus Meningkat, Kompas 18 Januari 2011 diakses dari http://health.kompas.com/read/2011/01/18/13054847/Jumlah.Penderita.HIVAIDS.Terus.Meningkat. tanggal 20 mei 2012 pukul 17.23
2
Dari tabel diatas, data umur 15-19 tahun (range usia remaja) jumlahnya adalah 17 kasus yang meningkat tiap tahunnya. Lonjakan signifikan terdapat pada golongan usia produktif yaitu usia 20-29 tahun sebesar 551 kasus, maka sebenarnya faktanya mereka positif HIV dari usia remaja karena faktor masa inkubasi penyakit HIV 5-10 tahun. Dapat diasumsikan peningkatan kasus positif HIV juga banyak terjadi pada kaum remaja. Gejala awal HIV juga tidak terlalu mencolok seperti terlihat masih sehat sehingga terkadang tidak sadar kalau sebenarnya dirinya sudah positif HIV, kemudian berlalu hingga tahunan dan keadaan kronis baru disadari ketika terkena HIV/AIDS pada saat umur produktif (20-29 tahun). Penemuan data kasus remaja yang sedikit, kemungkinan karena minimnya kesadaran untuk tes VCT oleh siswa dan jarang dilakukan pemeriksaan darah di sekolah-sekolah oleh Dinas Kesehatan serta minimnya pengetahuan penyebab HIV/AIDS oleh siswa.
Tabel 1.2 3
Prevalensi HIV dan AIDS di Provinsi DIY 4.5 4
3.5 3
2.5
prevalensi DIY
2
Target MDG's
1.5 1 0.5 0 2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi DIY Tahun 2010 (diolah tahun 2013) *Ket: Prevalensi ODHA dihitung dari jumlah HIV positif dibanding dengan jumlah populasi beresiko dikali 100%. Sejak tahun 2009 populasi beresiko menurun menjadi sebesar 6.809 sehingga prevalensi meningkat.
Berdasarkan gambar grafik di atas menunjukkan bahwa prevalensi pengidap HIV/AIDS terlihat terus meningkat dari tahun ke tahun terjadi di Provinsi Yogyakarta. Selama ini pemerintah dan LSM telah menjalankan program penanggulangan HIV/AIDS. Dengan melakukan upaya pecegahan, yaitu pada populasi rentan dan populasi kunci . Peningkatan prevalensi juga menunjukkan semakin mudanya usia rentan tertular HIV/AIDS yaitu pada remaja. Para penderita memiliki kecenderungan seringkali baru menyadari bahwa ia mengidap HIV setelah penyakit berubah menjadi HIV/AIDS dan menunjukkan gejala yang sangat kronis. Lamanya masa inkubasi, sehingga sulit untuk diketahui secara 4
lebih dini. Data tersebut juga mengindikasikan bahwa banyak penderita HIV/AIDS yang tertular pada usia remaja. Banyak remaja yang terjangkit virus HIV pada usia muda dan tidak menyadarinya, mereka yang telah terjangkit umumnya berada pada pergaulan yang juga sangat rentan terhadap penularan kepada lebih banyak remaja lainnya. Populasi beresiko yang menjadi sasaran kebijakan pemerintah hanya terbatas pada LGBT, waria, penjaja seks dan lainnya. Trend yang terjadi adalah justru ternyata trend malah semakin muda. Mengisyaratkan justru yang rentan adalah remaja dengan perilaku seks bebas dan narkotik suntik. Budaya seks bebas di kalangan remaja/mahasiswa juga sudah mulai mengkhawatirkan dan perangkap jeratan narkoba di kalangan anak muda masih sulit dikontrol. Tabel 1.3 Distribusi Frekuensi Kasus HIV/AIDS menurut alamat tinggal pada Provinsi DIY tahun 1993-2011 (sampai dengan Juni 2011) NO ASAL PENDERITA 1 KOTA YOGYA 2 KAB. BANTUL 3 KAB. KULONPROGO 4 KAB. GUNUNG KIDUL 5 KAB. SLEMAN 6 LUAR DIY 7 TIDAK DIKETAHUI TOTAL
AIDS 134 81 37 24 149 98 22 545
HIV 324 115 38 15 177 109 67 845
JUMLAH 458 196 75 39 326 207 809 1390
Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi DIY Tahun 2011 (diolah tahun 2013)
Dari tabel diatas, menunjukkan bahwa jumlah kasus penderita HIV/AIDS yang paling banyak adalah kota Yogyakarta (458) dari total kasus dan paling sedikit kabupaten Kulon progo (75). Dari keterangan di atas maka penulis menentukan lokus berada di kota Yogyakarta. Notabene sekolah-sekolah yang pernah diberikan sosialisasi maupun bentuk kampanye mengenai HIV/AIDS, serta lingkup lokasi 5
sekolahnya berada di kota Yogyakarta. Tentunya ada beberapa hambatan dalam menurunkan jumlah kasus dengan penanggulangan HIV/AIDS, karena fakta di lapangan kasus justru terus meningkat. Arah kebijakan pemerintah atau payung hukum sebenarnya sudah jelas melalui peraturan daerah DIY No.12 Tahun 2010 tentang penanggulangan HIV/AIDS. Pada UU tersebut cukup jelas disebutkan dalam pasal 6 dan pasal 7 Bab III Bagian kesatu tentang hak dan kewajiban4: Setiap orang berhak: a. memperoleh informasi yang benar mengenai HIV dan AIDS; dan b. mendapat perlindungan dari penularan HIV dan AIDS Setiap orang wajib: a. menghindari perilaku beresiko tertular atau menularkan HIV; b. menghargai hak asasi manusia ODHA dan OHIDHA; dan c. menghormati kerahasiaan status HIV seseorang untuk menghindari terjadinya perlakuan tidak menyenangkan, diskriminasi, atau stigmatisasi, kecuali ada izin secara lisan atau tertulis dari ODHA untuk membuka status HIV Berdasarkan peraturan yang mengatur hak dan kewajiban diatas, pemerintah mulai concern terhadap penanggulangan HIV/AIDS untuk lebih dilakukan lebih dini, yaitu pada remaja. Inilah yang mendorong pemerintah kemudian melakukan sosialisasi terhadap remaja untuk memperkecil resiko dan sebagai salah satu upaya penanggulangan HIV/AIDS. Masa remaja dari sisi sosial psikologis menurut Csikszentimihalyi dan Larson menyatakan bahwa remaja adalah “restrukturisasi” kesadaran5. Restrukturisasi adalah penyusunan kesadaran manusia yang masih belum tersusun rapi pada masa kanak-kanak sehingga dapat tersusun dengan rapi. Pada masa remaja seseorang sedang dalam tahapan untuk mencari dan membentuk jati dirinya. 4 5
Peraturan Daerah DIY No 12 Tahun 2010.pdf. diakses 20 Mei 2012 pukul 18.10 Sarwono, Sarlit Wirawan, 1991, Psikologi Remaja, Jakarta: Rajawali. hal 10
6
Seorang remaja tersesebut akan berusaha untuk sebanyak mungkin mencari tahu dan mulai mengembangkan dirinya. Selain itu, masa remaja juga merupakan tahapan dimana rasa ingin tahu dan penasaran sedang tinggi-tingginya sehingga remaja sering terpancing untuk mencoba berbagai hal baru yang ada di lingkungan mereka. Pergaulan bebas yang semakin marak di kalangan remaja disinyalir memiliki andil yang besar terhadap penularan penyakit HIV. Menurut data distribusi frekuensi kasus HIV/AIDS menurut golongan profesi provinsi DIY dari tahun 1993-2011( hingga bulan Juni 2011) menerangkan bahwa untuk profesi professional non medis yang terkena HIV berjumlah 142 orang ( 0,24% dari total 585 orang), yang terkena AIDS 87 orang (0,10% dari 845 orang) sehingga jumlah total terkena HIV/AIDS adalah 189 orang(0,13% dari total 1390 orang), profesi ini menjadi peringkat 1 jumlah terbesar. Wiraswasta yang terkena HIV berjumlah 85 orang (0,14% persen dari total 585 orang), terkena AIDS sejumlah 62 orang (0,07% persen dari total 845 orang), sehingga jumlah total terkena HIV/AIDS adalah 147 orang (0,10% dari total 1390 orang). Siswa/mahasiswa yang terkena HIV sejumlah 33 orang (0.05% dari total 545 orang), dan yang terkena AIDS sejumlah 32 orang (0,03% persen dari total 845 orang). Total siswa/mahasiswa yang terkena HIV/AIDS adalah 65 orang (0,04% dari total 1390 orang)6. Dari keterangan di atas untuk jumlah siswa/ mahasiswa yang terjangkit HIV sebanyak 33 orang dan AIDS sebanyak 32 orang sehingga total adalah sebanyak 65 orang, Angka kasus tersebut menduduki peringkat ke-7 teratas. Ini bukan jumlah 6
Dinas Kesehatan, 2010, Profil Kesehatan Kabupaten/Kota, DIY.
7
yang sedikit apalagi golongan siswa/mahasiswa juga termasuk kelompok usia remaja. Disinyalir dari profesi professional non medis dan wiraswasta yang memiliki nominal kasus positif HIV/AIDS yang cukup lumayan tinggi karena perilaku pergaulan mereka ketika waktu muda atau remaja . Program sosialisasi memang mayoritas terfokus pada dunia pendidikan yaitu di sekolah dan kampus. Program pendampingan dan pelayanan kesehatan terdapat pada kelompok beresiko seperti LGBT, waria, penjaja seks dan lainya. Dari hasil penelitian AYARR ( Asian Young Adult Reproduction Risk) yang dilakukan beberapa negara seperti di Indonesia, Hongkong, Nepal, Fhilipina, Taiwan serta Thailand dan beberapa negara Asia lainya, menyatakan bahwa remaja di dunia sedang dalam resiko yang tinggi berkaitan dengan perilaku seksualnya, yaitu hubungan seksual sebelum menikah atau seks bebas dan berpotensi terkena HIV/AIDS7. Menurut penelitian Sahabat Remaja tentang perilaku sosial di empat kota menunjukkan 3.6% remaja di kota Medan, 8,5% remaja di Yogyakarta, 3,4% remaja di kota Surabaya, serta 31.1% remaja di kota Kupang telah terlibat hubungan seks secara aktif, yang relatif rentan terkena HIV/AIDS 8. Yogyakarta adalah kota dengan jumlah angka terbesar kedua. Fakta ini semakin mengkhawatirkan karena perilaku seks bebas beresiko tinggi terhadap penularan HIV/AIDS bila tidak hati-hati. Dalam hal pencegahan HIV/AIDS terhadap remaja SMP-SMA di kota Yogyakarta, Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta belum memiliki peran yang cukup 7
Ratnasari, Yuni, 2011, Penyakit Menular Seksual Sebagai Dampak dari Perilaku Seksual Bebas, dalam Jurnal Sosiologi,Vol.3, No.2, hal.163-177. 8 Ibid
8
signifikan. Sejauh ini melalui sekolah-sekolah baru dilakukan upaya memberikan pemahaman kepada siswa mengenai bahaya HIV/AIDS serta pengenalan alat reproduksi perempuan dan laki-laki melalui beberapa mata pelajaran seperti pelajaran biologi, untuk penguatan moral para siswa dapat melalui pelajaran agama, pendidikan kewarganegaraan dan bimbingan konseling (BK)9. Salah satu kebijakan penanggulangan HIV/AIDS Pemerintah Pusat sebagai langkah memberikan kebutuhan informasi remaja sekolah adalah pendidikan kesehatan reproduksi dan penyakit menular seksual. Salah satuya adalah informasi pencegahan dan penularan HIV/AIDS. Penerapan penanggulangan HIV/AIDS di lapangan merupakan kerjasama antar stakeholder, baik dari intansi pemerintah maupun LSM . Salah satunya adalah Dinas Pendidikan, maka penulis berupaya menggali informasi di Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta karena lokus sekolah terletak pada wilayah tersebut. Pencegahan dan penularan penyakit menular HIV/AIDS menjadi salah satu bahasan di dalamnya. Wacana ini merupakan bentukan Departemen Pendidikan Nasional yang kemudian telah mengembangkan modul pembelajaran pencegahan HIV/AIDS bagi siswa SMP dan SMA. 10 Maka penulis telah memperoleh data informasi mengenai kelangsungan wacana penerapan mata pelajaran kesehatan reproduksi menjadi mata pelajaran mulok di sekolah SMP maupun SMA di kota Yogyakarta.
9
Wawancara Wakil Dikdasmen Dinas Pendidikan pada hari Rabu tanggal 18 April 2012 pukul 09.00 Kebijakan dan Program Nasional terhadap pencegahan HIV/AIDS, http://kalyanamitra.or.id/newsdetail.php?id=0&iddata=77, diakses pada Selasa, 29 Mei 2012, pukul 20:44 WIB 10
9
Ternyata wacana tersebut tidak diterapkan di sekolah, karena dari Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta beranggapan bahwa konten mengenai kesehatan reproduksi maupun bahaya penyakit HIV/AIDS telah diajarkan pada mata pelajaran biologi, agama, kewarganegaraan serta penjaskes11. Sangat sulit penerapan wacana tersebut bila benar-benar akan diterapkan, karena sikap penolakan yang kuat dari Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta terhadap wacana ini. Alasan di balik sikap penolakan tersebut terdapat aspek yang melatarbelakanginya. Dari pernyataan penjelasan Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta bahwa materi kesehatan reproduksi yang diinformasikan ke siswa adalah seperti mengajari bagaimana berhubungan seks dengan aman12. Siswa dianggap oleh Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta bila menerima informasi tersebut maka siswa menjadi semakin paham untuk menyiasati cara berhubungan seks yang aman apalagi mereka dianggap memiliki hasrat yang tinggi. Menurut pandangan Dinas Pendidikan bila materi di informasikan, maka angka kehamilan tidak diinginkan/kehamilan di luar nikah, angka pernikahan dini, kehamilan dini, angka kasus HIV/AIDS itu dapat di tekan angkanya, namun siswa nantinya akan tetap melakukan hubungan seks 13. Dalam artian bahwa makna pendidikan reproduksi belum dipahami dengan benar oleh instansi tersebut. Persepsi bahwa pendidikan reproduksi hanya mengajarkan seks menjadi alasan utama. Padahal pendidikan reproduksi konteksnya tidak mengajari 11
Wawancara Wakil Dikdasmen Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta tanggal 12 November 2013 pukul 09.00 12 Ibid 13 Wawancara Wakil Dikdasmen Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta tanggal 12 November 2013 pukul 09.00
10
berhubungan seks, tetapi lebih kepada informasi cara pencegahan dan penularan HIV/AIDS, konteks kehamilan dini dan resiko bagi kesehatan. Pengetahuan mengenai resiko tersebut dapat menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan dan berperilaku yang lebih bertanggung jawab. Ini juga sebagai bentuk memberdayakan siswa agar lebih bijaksana dalam berperilaku maupun mengambil keputusan berkaitan dengan kesehatan reproduksi dan seksual. Konteks penularan HIV/AIDS juga tidak hanya karena berhubungan seks namun juga penyalahgunaan narkoba suntik, pengetahuan penggunaan jarum suntik yang harus steril dan tidak bergantian pemakaiannya. Jarum suntik konteksnya bukan hanya merupakan alat suntik narkoba. Jarum suntik merupakan alat medis yang kemungkinan juga dapat tidak steril dan bekas namun digunakan lagi. Hal tersebut juga beresiko berbahaya. Siswa harus lebih pro aktif menanyakan perihal kesterilan jarum suntik sebagai bentuk peduli terhadap kesehatan dirinya. Contohnya adalah ketika berniat melakukan donor darah/transfusi darah, jarum ketika menato tubuh, tindakan medis penyuntikan oleh dokter, kalau perlu ditanyakan terlebih dahulu untuk mengkroscek apakah jarum suntiknya baru atau tidak. Kasus seperti penyuntikan medis memakai jarum bekas memang belum pernah ada, namun langkah proaktif bertanya menjadi salah satu bentuk preventif penanggulangan penyakit menular yang bermanfaat bagi siswa.
11
Pola pikir Dinas Pendidikan yang penulis tangkap dari penjelasan penyataan Dinas bahwa mereka sebagai institusi pendidikan berkeinginan agar perilaku seks bebas itu bagaimana supaya tidak terjadi atau tidak dilakukan oleh siswa. Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta menganggap kalau himbauan KPA, Dinas maupun Kementrian Kesehatan seolah mempersilahkan berhubungan seks asalkan memakai kondom sebagai langkah pencegahan penularan penyakit menular maupun mencegah kehamilan. Istilah kondom, kesehatan reproduksi dan seksual, menjadi isu pembicaraan sensitif dan tabu14. Maka pandangan Dinas Pendidikan pun beranggapan bahwa materi kesehatan reproduksi sudah terwadahi dan sudah diwakilkan pada mata pelajaran seperti biologi, agama, pendidikan kewarganegaraan, penjaskes. Paradigma mengenai kesehatan reproduksi yang dianggap hanya berkaitan dengan menjari berhubungan seks memang harus pelan-pelas diluruskan. Penjelasan mumpuni dan pendekatan oleh LSM sebagai stakeholder yang bertugas melakukan pelaksanaan sosialisasi di lapangaan memang harus bersabar dan menemukan titik temu untuk hal pendidikan kesehatan reproduksi. Perkembangan sekarang kini ditengahi dengan kerjasama KPA Kota maupun LSM untuk memberikan pelatihan mengenai kesehatan reproduksi yang biasanya sekolah diwakilkan atau mengirimkan guru penjaskes atau guru BK untuk mengikuti latihan tersebut.
14
Wawancara Wakil Dikdasmen Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta tanggal 12 November 2013 pukul 09.00
12
Adapun program-program penanggulangan HIV/AIDS di kalangan remaja yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Propinsi Yogyakarta adalah program promotif yaitu berupa sosialisasi dan survey. Sasarannya adalah remaja maka program ini dilakukan di sekolah-sekolah atau universitas. Disini Dinas Kesehatan bekerja sama dengan Dinas Pendidikan. Sosialisasi biasanya dilakukan dengan melakukan seminar, pemasangan poster, pamphlet yang berkaitan dengan informasi tentang HIV/AIDS. Dengan adanya sosialisasi diharapkan remaja dapat memahami penularan penyakit dan penanganannya dengan benar15. Selain stakeholder dari pemerintah maka turut serta juga lembaga non pemerintah yaitu NGO/LSM yang juga membantu tugas pemerintah dalam hal penanggulangan HIV/AIDS pada remaja. NGO/LSM merupakan garda terdepan dalam memberikan penyuluhan atau sosialisasi bahaya HIV/AIDS pada remaja sekolah. Terdapat dua LSM yang memberikan sosialisasi pada remaja yaitu PKBI dan Victory Plus. Peran dari LSM Victory Plus juga memberikan kontribusi terhadap penanggulangan HIV/AIDS terhadap remaja. LSM Victory Plus juga mendampingi ODHA yang juga ada beberapa yang termasuk masih usia remaja. Walaupun sebenarnya fokus dari LSM ini adalah penanganan pendampingan ODHA. Penulis memaparkan fokus dan peran LSM Victory Plus untuk memberikan gambaran LSM yang turut peduli pada remaja sekolah menggunakan media yang dimilikinya. LSM 15
Wawancara dengan saudari Shinta selaku Pengelola Program P2M Dinas Kesehatan Provinsi Yogyakarta, pada tanggal 11 Mei 2012 pukul 09.00
13
Victory Plus dapat memberikan sosialisasi informasi HIV/AIDS pada remaja sekolah atau mahasiswa dengan mekanisme by request dari sekolah atau kampus16. Victory Plus baru bergerak untuk memberikan penyuluhan apabila ada permintaan. Penyuluhan di sekolah tidak bisa leluasa dilakukan karena sifatnya memang insidental atau bergantung pada permintaaan sekolah saja. Program khusus untuk segmen remaja memang tidak ada pada LSM ini. Selain kontribusi melakukan kerjasama penyuluhan informasi HIV/AIDS dengan pihak sekolah/kampus, Victory Plus memiliki channel radio bernama Love Jogja dengan frekuensi radio FM 107.7 Mhz sebagai media informasi17. Program khusus segmen informasi HIV/AIDS terdapat pada program talk show yang berlangsung selama satu jam. Program tersebut selalu hadir setiap hari senin pukul empat sore18. Wadah media informasi berupa siaran radio khusus informasi HIV/AIDS
tentunya
sangat
membantu
upaya
tersebar
luasnya
informasi
penanggulangan HIV/AIDS yang dapat dilakukan. Radio adalah salah satu media komunikasi yang cukup efektif karena merupakan salah satu media yang digandrungi oleh berbagai segmen masyarakat. Segmen pada program talk show tersebut sebenarnya memang untuk kalangan secara umum, namun terkadang juga menghadirkan narasumber pada kalangan remaja. Konsepnya adalah si narasumber bercerita pada pendengar untuk 16
Wawancara dengan Ketua Lsm Victory Plus Saudara Samuel pada 13 Oktober 2012 pukul 13.00 Wawacara terhadap saudara anton selaku penyiar serta pimpinan siaran dan kreatif program radio Love Jogja pada Selasa, 29 oktober 2013 pukul 14.00 18 Wawacara terhadap saudara anton selaku penyiar serta pimpinan siaran dan kreatif program radio Love Jogja pada Selasa, 29 oktober 2013 pukul 14.00 17
14
memberikan informasi dan inspirasi. Narasumber akan bercerita sesuai pengalaman mereka19. Cerita pengalaman maupun informasi tentunya berhubungan dengan HIV/AIDS. Contohnya adalah apabila ada narasumber dari kalangan remaja yang menjadi aktivis, mereka akan bercerita banyak hal mengenai HIV/AIDS di kalangan remaja, begitupun sebaliknya dengan kalangan lainnya. Tujuan dari program tersebut menurut penulis sangat baik untuk menggerakkan hati, membuka pikiran para pedengarnya karena curahan hati dan cerita pengalaman dari narasumber yang inspiratif. Respon dari pendengar radio Love Jogja untuk sesi program talk show tersebut juga ternyata cukup baik diterima20. Biasanya terdapat sesi mengajukan pertanyaan bagi para pendengar. Pada saat sesi pertanyaan dibuka, responnya cukup bagus. Alasan porsi waktu program talk show hanya satu hari dan satu jam saja karena dari LSM Victory Plus memang hanya mampu mengelola pada jam tersebut21. Hal itu disebabkan karena anggota LSM juga lebih banyak bekerja di lapangan untuk melaksanakan pendampingan ODHA. Segmen radio Love Jogja juga telah dibagi-bagi sesuai segmen tema dan segmen pendengar. Apalagi segmen untuk remaja yang lebih digandrungi adalah program musik22. Segmen tema dibagi berbagai macam yaitu tema pendidikan, informasi berita, kesehatan, hiburan. Segmen berdasarkan kategori pendengar adalah segmen remaja, 19
Ibid Ibid 21 Wawacara terhadap saudara anton selaku penyiar serta pimpinan siaran dan kreatif program radio Love Jogja pada Selasa, 29 oktober 2013 pukul 14.00 22 Ibid 20
15
dewasa, anak-anak dan orang tua23. Share serta respon pendengar juga merupakan capaian yang ingin diraih oleh sebuah radio agar tetap eksis. Melihat respon yang cukup baik pada program talk show di radio tersebut membuktikan bahwa penggunaan media sebagai salah satu alat komunikasi dalam menyebarkan informasi tentu sangat membantu dan efektif. Lentera Sahaja adalah salah satu program PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) DIY yang memiliki tiga divisi, 1). Divisi pengorganisasian remaja sekolah; 2). Divisi pengorganisasian remaja perkotaan dan remaja desa; 3). Divisi konseling;24. Pengorganisasian remaja di sekolah di lakukan pada tingkat SMA dan SMP. Organisasi tersebut sebagai wadah untuk siswa yang konsen dan ingin aktif menjadi peer educator maupun aktif terlibat event mengenai HIV/AIDS, infeksi menular seksual (IMS), dan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). PKBI juga dapat dengan mudah menjangkau siswa melalui organisasi ini. Siswa yang tergabung dalam organisasi disebut youth forum dan seringkali bertemu dengan anak youth forum dari sekolah lain untuk berdiskusi bersama atau melaksanakan salah satu program PKBI seperti program dance4life. Program dance4life adalah program khusus remaja sekolah dengan memberikan penyuluhan informasi HIV/AIDS serta menggunakan metode musik dan tari. Saat ini telah terdapat 54 SMA dan 7 SMP yang bekerjasama dengan PKBI untuk memberikan pendidikan kesehatan reproduksi, kehamilan yang tidak diinginkan, infeksi menular 23
Ibid Wawancara dengan saudari Putri selaku Penanggung jawab Program Lentera Sahaja PKBI DIY pada tanggal 8 Mei 2012 pukul 10.00 24
16
seksual, kepada siswa yang terkadang merupakan by request dari sekolah maupun kesepakatan kerjasama kedua belah pihak tersebut25. Dari berbagai stakeholder yaitu intansi pemerintah maupun LSM, terdapat satu induk yang berperan mengkoordinir berbagai stakeholder tersebut. Terkait pengawasan tergantung keberadaan wilayah, semisal untuk KPA Provinsi Yogyakarta itu dibawah Gubernur langsung, sedangkan untuk wilayah kota itu dibawah walikota. Dari wawancara dengan KPA Kota Yogyakarta , penulis mendapatkan data informasi berupa jumlah LSM yang berkecimpung dalam penanggulangan HIV/AIDS terutama remaja serta peran KPA dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS terhadap remaja. Jumlah LSM yang aktif serta fokus spesifik pada penanggulangan HIV/AIDS remaja hanyalah LSM Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia saja. Total LSM di Yogyakarta yang mempunyai fokus pada penanggulangan HIV/AIDS terdapat 5 LSM yaitu Yayasan Kembang, LSM Fiesta yang peduli pada populasi guy (populasi laki-laki melakukan seks dengan laki-laki) serta populasi laki-laki beresiko tinggi terhadap penyakit menular seksual, LSM PKBI mempunyai program untuk remaja, LSM Victory Plus fokus pada pendampingan ODHA, serta LSM Kebaya. Terdapat juga jejaring penanggulangan yang berisikan kelompok mahasiswa kampus yaitu Jari Mulya, namun bentuknya bukanlah sebuah LSM 26. Dari uraian di atas ternyata di cukup banyak LSM yang berkecimpung pada penanggulangan HIV/AIDS, namun yang berfokus pada remaja hanya terdapat satu 25
Ibid Wawancara terhadap saudari Ganis selaku pelaksana kegiatan program KPA Kota Yogyakarta pada 23 Oktober 2013 pukul 09.00 26
17
LSM. Semakin menguatkan alasan peneliti menggunakan LSM PKBI untuk meneliti penanggulangan HIV/AIDS pada remaja di kota Yogyakarta. Kewenangan KPA memang hanya sebatas dalam mengkoordinir stakeholder saja, yaitu menyediakan forum bagi stakeholder untuk berdiskusi dan bekerjasama melaksanakan program penanggulangan HIV/AIDS. Lingkup pelaksanaan program menjadi urusan sepenuhnya tiap stakeholder sesuai tupoksi dan kewenangannya masing-masing. Contoh program kegiatan bersama yaitu pada puncak hari perayaan Hari AIDS sedunia dan malam renungan AIDS nusantara27. Tentu untuk kegiatan di atas memerlukan kerjasama berbagai stakeholder terkait seperti Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, LSM dan sekolah-sekolah. Bentuk kegiatannya sangat positif seperti lomba desain poster yang melibatkan sekolah sehingga siswa dapat langsung berperan serta28. Upaya yang telah dilakukan KPA Kota Yogyakarta selama ini sudah banyak memberikan informasi penanggulangan HIV/AIDS. Isu mengenai kesehatan reproduksi untuk remaja telah dilakukan pada 12 sekolah yang dibantu oleh LSM. Ini membuktikan bagaimana kerjasama dilakukan untuk kelancaran program. Bentuknya berupa napza crisis center, jejaring jari mulya dan biasanya dibantu oleh mahasiswa kedokteran UMY yang dilakukan secara rutin29. Kegiatan ini sifatnya sama seperti yang dilakukan PKBI dengan memberikan informasi mengenai kesehatan reproduksi
27
Wawancara terhadap saudari Ganis selaku pelaksana kegiatan program KPA Kota Yogyakarta pada 23 Oktober 2013 pukul 09.00 28 Ibid 29 Ibid
18
untuk remaja. Kegiatan ini ternyata berawal dari rencana strategis (RENSTRA) tahun 2013-2015 mengenai HIV/AIDS untuk lingkup remaja30. Adanya RENSTRA tersebut memang untuk mengejar target MDG’s 2015 mengenai kesehatan. Kegiatan pemberian informasi sudah terdapat ada pada RENSTRA dan kemudian salah satu upaya yang dilakukan KPA Kota Yogyakarta adalah mengajak instansi lain untuk bekerja sama demi kelancaran pelaksanaan kegiatan tersebut. Selain hal itu, terdapat juga upaya kegiatan lainnya yaitu mengadakan workshop atau seminar. Seminar atau workshop tersebut dilaksanakan terhadap 10 sekolah yaitu SMA maupun SMK selama 2 hari31. Kontennya adalah mengenai bahan ajar, dan pelatihan guru penjaskes dan BK32. Tujuannya adalah agar para guru penjaskes atau BK tersebut dapat mengajarkan informasi kesehatan reproduksi serta HIV/AIDS pada siswanya. Seperti yang penulis paparkan sebelumnya bahwa tidak semua sekolah bersedia bekerjasama dengan LSM untuk memberikan infomasi HIV/AIDS. Maka diupayakan juga cara lainnya yaitu dengan memberikan informasi kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS guru untuk diinformasikan lagi pada siswa. KPA Kota Yogyakarta juga dibantu oleh LSM Fiesta. Bentuk bantuannya adalah kontribusi sebagai pembicara pada workshop/seminar yang diselenggarakan. Terkait teknis pelaksanaan seperti pembicara, KPA memang selalu bekerjasama dengan LSM. KPA Kota Yogyakarta bertugas untuk mengkoordinir, mengecek
30
Ibid Wawancara terhadap saudari Ganis selaku pelaksana kegiatan program KPA Kota Yogyakarta pada 23 Oktober 2013 pukul 09.00 32 Ibid 31
19
perkembangan pelaksanaan kegiatan, dan pengawasan. Konten acaranya adalah berupa penyusunan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), role play ketika mengajar dan disaksikan secara berkelompok33. Role play dilaksanakan dengan maksud agar dapat dinilai langsung bagaimana si guru tersebut menyampaikan informasi setelah diberikan bekal informasi oleh LSM. Penyusunan RPP sudah termasuk meliputi tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar34. Dengan penyusunan RPP tersebut maka pembelajaran atau pemberian informasi HIV/AIDS dapat berjalan maksimal karena sudah disusun seluruh detailnya dalam perencanaan tersebut. Ketiga, KPA Kota Yogyakarta juga melakukan koordinasi kerjasama dengan beberapa dinas. Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, Kementrian Kesehatan ikut bekerjasama dengan KPA untuk mengadakan event35. Kegiatan kerjasamanya adalah seperti kampanye “aku bangga aku tahu” yang diterapkan pada kepada sekolah, karang taruna, masyarakat, maupun sekolah muhammadiyah 36. Kampanye “aku bangga aku tahu’ kontennya meliputi sosialisasi berupa pemutaran film, melakukan pre-test mengenai informasi HIV/AIDS, diskusi kelompok, dan pembahasan posttest37. Hal tersebut kurang lebih pelaksanaan sosialisasinya sama dengan PKBI,
33
Ibid Ibid 35 Wawancara terhadap saudari Ganis selaku pelaksana kegiatan program KPA Kota Yogyakarta pada 23 Oktober 2013 pukul 09.00 36 Wawancara terhadap saudari Ganis selaku pelaksana kegiatan program KPA Kota Yogyakarta pada 23 Oktober 2013 pukul 09.00 37 Ibid 34
20
namun perbedaanya tidak menggunakan pemutaran film dan sistem pre-test dan posttest, karena hanya dilakukan jikalau waktunya memadai saja bila di PKBI. Terakhir adalah upaya mengadakan pertemuan rutin orang tua dan murid dan membentuk organisasi di sekolah untuk memberikan intervensi berupa informasi bagi remaja38. Terutama bagi remaja berusia 15-24 tahun yaitu remaja sekolah hingga mahasiswa. Hal ini sama dengan program dari PKBI berupa pengorgasasian komunitas yaitu Youth Forum, organisasi yang dibentuk di sekolah juga. Pengadaan pertemuan orang tua dan murid juga kegiatan yang bagus sehingga tidak terjadi kesalahfahaman atau asimetrik informasi mengenai HIV/AIDS.
Orang tua pun
diharapkan dapat memberikan informasi di lingkungan keluarga. KPA pun melaksanakan pengadaan penganggaran disimenasasi yaitu sosialisasi pemberian informasi HIV/AIDS bagi remaja sekolah mengenai HIV/AIDS 39. Hal tersebut dilakukan secara terus menerus serta berulang jangkanya namun dilaksanakan di sekolah lainnya atau beda sekolah40. Hal ini tentu sangat mendukung meluasnya informasi HIV/AIDS terhadap remaja sekolah, selain LSM yang turut membantu ataupun mempunyai program serupa. Penulis memillih LSM di Yogyakarta yang mempunyai konsen terhadap remaja dalam hal penanggulangan HIV/AIDS yaitu Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). LSM ini mempunyai misi untuk memberdayakan anak 38
Wawancara terhadap saudari Ganis selaku pelaksana kegiatan program KPA Kota Yogyakarta pada 23 Oktober 2013 pukul 09.00 39 Wawancara terhadap saudari Ganis selaku pelaksana kegiatan program KPA Kota Yogyakarta pada 23 Oktober 2013 pukul 09.00 40 Ibid
21
dan remaja agar mampu mengambil keputusan dan berperilaku yang bertanggung jawab dalam hal kesehatan reproduksi dan seksual serta hak-hak kesehatan reproduksi dan seksual. PKBI memiliki program tersendiri untuk remaja dalam hal penanggulangan HIV/AIDS. Penggunaan narkoba dengan jarum suntik secara bergantian hingga seks bebas di kalangan remaja telah menyumbang jumlah penderita HIV terbesar di kalangan remaja. Berdasarkan penelitian dunia, sepertiga penderita AIDS adalah kaum remaja yang masa depannya diharapkan masih panjang. 41 Kenyataannya hingga saat ini belum ditemukan vaksin pencegah maupun obat untuk mengobati HIV/AIDS merupakan fakta yang menyedihkan ketika mengingat bagaimana nasib remajaremaja yang telah terinfeksi. Selain dari segi kesehatan yaitu belum ditemukannya metode untuk menyembuhkan HIV/AIDS, dari sisi sosial para pengidap HIV/AIDS seringkali mengalami diskriminasi dari masyarakat karena ketidaksempurnaan informasi yang beredar di masyarakat. Akibatnya selain mengidap penyakit yang mematikan penderita juga terpojok secara sosial yang mana sangat menyulitkannya untuk mengakses pelayanan negara seperti pendidikan formal. Berikut penulis paparkan data distribusi frekuensi kasus HIV/AIDS berdasarkan faktor resiko. Jumlah kasus faktor resiko yang tinggi tersebut terdapat kaitannya dengan pengaruh rentannya remaja terhadap HIV/AIDS. 41
Sepertiga Penderita AIDS Kaum Remaja, Majalah Gemari, BKKBN September 2002 di akses dari http://ceria.bkkbn.go.id/referensi/substansi/detail/206, tanggal 21 mei 2012 pukul 14:55
22
Data empirik tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 1.4 Distribusi Frekuensi Kasus HIV&AIDS menurut faktor resiko Provinsi DIY Tahun 1993-2011 (sampai dengan bulan Juni) NO 1 2 3 4 5 6 7 8 TOTAL
FAKTOR RESIKO BISEKSUAL HETEROSEKSUAL HOMOSEKSUAL NARKOTIK SUNTIK PERINATAL TRANSFUSI DARAH NEONATAL TAK DIKETAHUI
AIDS 3 297 17 140 16 2 0 70 545
HIV 10 270 46 96 30 9 1 383 845
JUMLAH 13 567 63 236 46 11 1 453 1390
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi DIY Tahun 2011
Dari tabel diatas memang faktor resiko yang paling banyak adalah pada faktor heteroseksual yaitu sejumlah 567 orang terkena HIV/AIDS, namun yang harus dicermati adalah faktor resiko karena narkotik suntik maupun faktor heteroseksual yang juga menjadi faktor tertinggi terjadi di kalangan remaja dan usia produktif. Remaja yang tidak mengerti mengenai pencegahan dan penularan HIV/AIDS serta memiliki hasrat coba-coba tentu akan mengkhawatirkan, bila kemudian kasus berkembang pada tertularnya HIV/AIDS ke remaja. Faktor penyebabnya adalah pendidikan kesehatan reproduksi yang kurang dimengerti, pembicaraan seks yang masih tabu di kalangan masyarakat, sebagian pihak masih kurang terbuka dan akses informasi semakin mudah dan faktor lemahnya kontrol orang tua. Seiring dengan perkembangan jaman, apa yang sebelumnya dianggap sebagai pelanggaran norma-norma (hukum, sosial, agama) maupun perbuatan tabu kini oleh sebagian remaja justru dianggap sebagai hal yang mereka katakan “keren”. Namun fakta tersebut tidak lantas menjadi justifikasi untuk menyatakan terjadinya 23
kemerosotan moral remaja. Menurut Dr. Yanto, pertambahan jumlah remaja yang terkena HIV/AIDS tidak ada hubungannya dengan penurunan moral remaja. Penyebab pertambahan tersebut adalah kemajuan teknologi yang tidak diimbangi dengan pengawasan dan pendampingan kepada para remaja42. Perkembangan teknologi yang semakin pesat telah membawa perubahan terhadap pola komunikasi dan hubungan di kalangan remaja, apalagi kalangan remaja merupakan konsumen yang sangat besar untuk sejumlah teknologi terkini. Penggunaan internet terutama pada remaja yang notabene masih mencari jati diri memiliki dampak yang sangat besar. Remaja berkenalan dan bergaul dengan orang-orang baru di media sosial, serta mudah mengakses informasi-informasi baru yang mungkin belum dapat dicerna secara utuh dan benar. Minimnya keikutsertaan orang tua untuk mendampingi atau mengontrol penggunaan internet putra-putrinya secara langsung melemahkan kontrol terhadap pergaulan remaja. Dari dunia maya, remaja juga memiliki kesempatan untuk berkenalan dengan lebih banyak orang yang sebelumnya tidak mereka kenal di dunia nyata, hal ini membawa mereka kepada pergaulan baru yang tidak jarang dapat membawa terjerat narkotika, seks bebas, bahkan menjadikan mereka korban kejahatan. Penulis telah melakukan survai terhadap 108 siswa dengan rincian 72 siswa SMA dan 36 siswa SMP untuk mengetahui sikap persepsi kognitif siswa terhadap penanggulangan HIV/AIDS pasca sosialisasi dance4life PKBI periode tahun 42
Remaja Rentan HIV/AIDS, Kompas 12 September 2009 diakses dari http://kesehatan.kompas.com/read/2009/09/12/18333320/remaja.rentan.hiv/aids, Tanggal 20 mei 2012 pukul 19.10
24
2013/2014. Survai tersebut menggunakan skala sikap yaitu aspek persepsi kognitif. Total sampel sejumlah 108 didapat dari hasil perhitungan sample calculator dengan jumlah populasi 150 menggunakan confidence level atau tingkat kepercayaan sebesar 95% dengan margin of error sebesar 5% atau confidence intervalnya yaitu 0.05%. Survai tersebut menggunakan purposive sampling, dan jumlah populasi 150 orang adalah sesuai dengan jumlah siswa yang telah mendapatkan informasi HIV/AIDS dari sesi educate dance4life PKBI. Penulis menyebarkan kuesioner bagi siswa SMA N 2 Yogyakarta, SMA N 9 Yogyakarta dan SMP Joanes Bosco. Sesuai data PKBI sekolah tersebut yang pada periode 2013/2014 diberikan sesi educate dance4life. Kuesioner terdiri dari 35 pernyataan tentang pengetahuan penanggulangan HIV/AIDS dan disesuaikan dengan materi dari PKBI serta menggunakan skala ordinal. Hasil dari survai tersebut menyebutkan bahwa sebanyak 57 siswa atau 52.8% memiliki sikap persepsi kognitif mendukung penanggulangan HIV/AIDS. Sebanyak 51 siswa atau 47..2% memiliki sikap persepsi kognitif tidak mendukung penanggulangan HIV/AIDS. Dari hasil tersebut selisihnya hanya 6 siswa, maka di sinyalir terdapat kendala dalam penyampaian sosialisasinya. Penulis kemudian menduga salah satu kendalanya adalah sistem komunikasi pada program dance4life. Berikut bagan yang menjelaskan paparan di atas:
25
Bagan 1.5. Sikap Persepsi Kognitif Siswa Terhadap Penanggulangan HIV/AIDS
Sumber: diolah oleh peneliti(2014)
Dengan melihat betapa rentannya usia remaja terhadap penularan HIV/AIDS dan betapa beratnya kehidupan penderita HIV/AIDS, menjadi sangat penting untuk melakukan pencegahan penularan penyakit HIV/AIDS di kalangan remaja agar tidak semakin banyak yang tertular. Demi melakukan upaya pencegahan penularan HIV/AIDS di kalangan remaja diperlukan upaya yang terintegrasi dan menyeluruh dari berbagai pihak baik pemerintah, masyarakat, maupun Non Government Organization (NGO). Sayangnya dari data diatas masih menunjukkan peningkatan kasus HIV/AIDS pada remaja. Dari survai yang dilakukan peneliti juga hanya terdapat selisih 6 orang saja, siswa yang memiliki sikap persepsi kognitif tidak mendukung dan yang mendukung penanggulangan HIV/AIDS. Oleh karena itu penelitian ini akan mencoba untuk mengetahui proses sistem komunikasi/sosialisasi penyelenggaraan program dance4life Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia. 26
Fokus penelitian ini ditujukan untuk mengetahui bagaimana proses sistem komunikasi/sosialisasi program dance4life Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia. Lokus penelitian berada di PKBI kota Yogyakarta karena dari data Dinas Kesehatan bahwa data yang paling tinggi kasus HIV/AIDS berada di kota Yogyakarta. Dari keempat stakeholder yang disebutkan di atas yang jadi fokus utama penelitian adalah PKBI karena yang berperan utama atau berhadapan langsung memberikan sosialisasi pada siswa dan ada perhatian ke remaja. PKBI juga merupakan
LSM
yang
memiliki
program
khusus
untuk
remaja
terkait
penanggulangan HIV/AIDS. Tiga stakeholder lainnya adalah Dinas Pendidikan, LSM Victory Plus dan KPA tetap menjadi sumber informasi tambahan data pendukung. Lokus penelitian terletak di kota Yogyakarta, selain karena jumlah kasus paling banyak ditemukan berada di kota Yogyakarta, kota Yogyakarta juga dikenal sebagai kota pelajar yang memiliki banyak sekolah swasta, negeri dan universitas. Serta image kota Yogyakarta sebagai kota budaya dan kota pariwisata yang memiliki tingkat lalu lintas manusia yang sangat tinggi yaitu berupa banyaknya pendatang baru. Pendatang baru membawa berbagai kebudayaan dan sangat memungkinkan terjadinya berbagai perilaku beresiko tertular dan menularkan HIV/AIDS. Kota Yogyakarta juga banyak ditemukan LSM yang mempunyai interest terhadap isu HIV/AIDS. Selama ini NGO yang berpartisipasi diantaranya adalah PKBI dan LSM Victory Plus.
27
Uraian di atas menjadi alasan urgensi penanggulangan HIV/AIDS pada remaja itu penting. Urgensinya adalah karena kini usia rentan terhadap penyakit HIV/AIDS menunjukkan tahun yang semakin muda yakni pada usia 13-15 tahun43. Melindungi remaja dari penularan HIV/AIDS adalah berupa pencegahan dengan memenuhi
kebutuhan
informasi
yang
benar
mengenai
HIV/AIDS
serta
memahaminya. Salah satu cara memenuhi kebutuhan informasi tersebut adalah sosialisasi. Sebuah sosialisasi sebagai salah satu bentuk proses sistem komunikasi bisa dikatakan efektif bila komponen di dalamnya terkelola dengan baik. Dengan kata lain, penyampaian sosialisasi bisa diterima dengan baik oleh penerimanya. Pemahaman informasi yang baik mengenai penanggulangan HIV/AIDS ini penting untuk usia 13 hingga 19 tahun karena penting untuk pembekalan mereka mengenai kesehatan reproduksi dan pengetahuan penyakit menular ini secara eksplisit baik itu bahayanya maupun penularannya. Informasi mengenai penanggulangan HIV/AIDS dapat menjadi bahan pertimbangan mereka dalam berperilaku maupun pengambilan keputusan yang lebih bijaksana terhadap masa depan mereka setelah mengetahui informasi mengenai HIV/AIDS dan siswa dapat terhindar dari penularan HIV/AIDS. Dari hasil survai yang dilakukan di sekolah pasca sosialisasi dance4life selisih siswa yang memiliki sikap persepsi kognitif mendukung dan tidak mendukung penanggulangan
HIV/AIDS
hanya
sedikit.
43
LSM
yang
konsen
progam
Remaja Rentan HIV/AIDS, Kompas 12 September 2009 diakses dari http://kesehatan.kompas.com/read/2009/09/12/18333320/remaja.rentan.hivaids, tanggal 20 mei 2012 pukul 19.10
28
penanggulangan HIV/AIDS khusus remaja hanyalah PKBI yaitu melalui dance4life. Maka
penulis
meneliti
mengenai
bagaimana
proses
sistem
komunikasi
penyelenggaraan program dance4life PKBI Kota Yogyakarta. Program sosialisasi adalah salah satu bentuk komunikasi massa karena sosialiasi merupakan bagian dari proses komunikasi. Dalam rangka memberikan input positif yaitu perubahan pada si penerima. Perubahan terhadap remaja yang disesuaikan dengan PKBI selaku penyampai pesan. Perubahannya adalah berupa remaja yang awam dapat memiliki pengetahuan dan informasi yang benar mengenai penanggulangan HIV/AIDS. Remaja yang sudah mengerti informasi dengan benar pun dapat menambah pengetahuan lebih mendalam. Siswa remaja dapat menjadi agen perubahan serta melindungi dirinya dan lingkungannya dari penularan HIV/AIDS. Di atas sudah dijelaskan kenapa penelitian ini penting untuk diteliti. Pertama, urgensi pengetahuan HIV/AIDS yang harus disampaikan pada siswa SMP dan SMA sebagai bentuk perlindungan, tindakan preventif dan memenuhi kebutuhan informasi siswa. Siswa dapat mengambil manfaaat informasi penanggulangan HIV/AIDS, begitupula dengan
orang tua dan sekolah. Isu penanggulangan HIV/AIDS bagi
sekolah berkenaan langsung dengan anak didik mereka untuk mengawal perkembangan dan sebagai wawasan siswa. Program dance4life adalah program yang memenuhi kebutuhan informasi remaja dengan konsep yang menarik, namun dari hasil survai sebelumnya selisih siswa yang mendukung dan tidak mendukung penanggulangan HIV/AIDS hanya sedikit padahal sudah diberikan informasi. 29
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka disusun rumusan masalah
Bagaimana proses sistem komunikasi penyelenggaraan program
dance4life
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Kota Yogyakarta? 1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang dibuat, tujuan yang
ingin dicapai oleh peneliti dari penelitian ini yaitu: Untuk mengetahui proses sistem komunikasi/sosialisasi penyelenggaraan program dance4life Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Kota Yogyakarta 1.4
Manfaat Penelitian Manfaat yang peneliti harapkan dari penelitian ini antara lain:
1. Bagi Civitas Akademika Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik Berkontribusi untuk memberikan tambahan referensi bagi civitas akademika di jurusan manajemen dan kebijakan publik terkait kebijakan penanggulangan HIV/AIDS utamanya pada remaja. 2. Bagi Pembaca Menambah informasi bermanfaat
bagi
pembaca untuk peduli terhadap
perkembangan isu HIV/AIDS. 3. Bagi Peneliti Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bekal dan tambahan pengetahuan baru yang belum pernah penulis dapatkan dari bangku perkuliahan 30
untuk melaksanakan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang, serta untuk memberikan solusi-solusi mengenai pencegahan penularan HIV/AIDS. 4. Bagi Masyarakat Penulis berpartisipasi memberikan gambaran kepada masyarakat mengenai bahaya HIV/AIDS yang mengancam remaja. Diharapkan masyarakat tidak bersikap apatis dan ikut berkontribusi dalam penanggulangan HIV/AIDS dengan menyebarkan informasi secara benar dan tepat penanggulangan HIV/AIDS. 5. Bagi para stakeholders Sebagai stakeholders diharapkan dapat sebagai refleksi implementasi kebijakan dan memberikan tambahan rekomendasi bahan masukan bagi perumus kebijakan pencegahan penularan di kalangan remaja yang saat ini masih sangat minim. Penelitian ini juga dapat menjadi bahan referensi mengenai para remaja sehingga dapat memberikan perlindungan dengan penanggulangan HIV/AIDS yang juga concern terhadap remaja.
31