ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU SEKS BERISIKO HIV/AIDS PADA KELOMPOK PEKERJA ANAK BUAH KAPAL DI KAWASAN PELABUHAN CILEGON BANTEN Cynthia Kurnia Sari; Izhar M. Fihir Abstrak Latar belakang: Kelompok anak buah kapal merupakan salah satu kelompok pekerja yang memiliki risiko tinggi terinfeksi HIV/AIDS karena terdapat 46% anak buah kapal membeli seks dalam satu tahun terakhir, 51% mempunyai pasangan lebih dari satu, namun hanya 13% yang konsisten menggunakan kondom dengan WPS. Tujuan penelitian: Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seks berisiko HIV/AIDS pada kelompok pekerja anak buah kapal di Kawasan Pelabuhan Cilegon Banten. Desain penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif dengan jenis penelitian studi kasus. Hasil: perilaku seks berisiko dipengaruhi oleh faktor niat atau intensi sedangkan niat antau intensi itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor sikap, pengaruh sosial, dan kemampuan mengontrol perilaku. Faktor sikap dan pengaruh sosial tidak mempengaruhi niat mereka untuk mengubah perilaku seks berisiko menjadi perilaku seks yang lebih aman. Sedangkan faktor persepsi kemampuan mengontrol perilaku mempengaruhi niat untuk berperilaku seks berisiko. Kesimpulan: Lemahnya kemampuan mengontrol perilaku berhubungan erat dengan niat individu untuk melakukan perilaku seks berisiko. Kata kunci: Anak Buah Kapal, HIV/AIDS Perilaku Pendahuluan Kelompok pekerja anak buah kapal merupakan salah satu kelompok pria potensial berisiko tinggi terinfeksi HIV selain tenaga kerja bongkar muat/TKBM, supir truk, dan tukang ojek. Kelompok pria potensial berisiko tinggi adalah kelompok pekerja yang diduga menjadi pelanggan wanita penjaja seks (WPS). Kelompok pria tersebut dapat berperan sebagai jembatan utama penularan antara WPS dan masayarakat umum. Seperti diketahui, WPS adalah salah satu kelompok yang tingkat epidemi HIV/AIDSnya terkonsentrasi di Indonesia (STBP, 2007). UNAIDS mengestimasikan sampai akhir tahun 2011, terdapat 34 juta penduduk dunia yang hidup dengan HIV atau
mengalami peningkatan
sebesar 17% dari tahun 2001. Diperkirakan dari tahun 2001 sampai dengan 2010 rata-rata kejadian infeksi baru HIV meningkat 25% setiap tahunnya dan pada akhir tahun 2011 terdapat 2,5 juta kejadian infeksi baru di dunia. Sedangngkan di regional Asia Selatan dan Asia Tenggara, diperkirakan
Analisis faktor..., Cynthia Kurnia Sar, FKM UI, 2013
kejadian infeksi baru HIV sebesar 280.000 kasus pada tahun 2011 (UNAIDS, 2012) Di Indonesia, kasus individu pertama dengan HIV dilaporkan pada tahun 1987. Kemudian sekitar 26 tahun kemudian, yaitu tahun 2013 Kementrian Kesehatan RI melaporkan terdapat 43.347 orang positif HIV dan AIDS (Kemenkes RI, 2013). Gambaran ini diduga tidak menampilkan masalah HIV/AIDS yang sesungguhnya di Indonesia, karena ada keterbatasan untuk menampilkan kasus yang sebenarnya dan adanya dugaan kasus yang tidak dilaporkan. Kelompok wanita penjaja seks (WPS) dan pelanggannya merupakan salah satu kelompok yang berisiko tinggi dalam penularan HIV karena WPS adalah
kelompok
di
Indonesia
yang
tingkat
epidemi
HIV/AIDS-nya
terkonsentrasi. Saat ini prevalensi pengidap HIV meningkat dan diperkirakan pekerja pria yang diduga menjadi pelanggan WPS mempunyai risiko tinggi terinfeksi HIV (STBP, 2007). Kelonpok pria tersebut dapat sebagai jembatan utama antara WPS dan masyarakat umum. Kelompok pekerja anak buah kapal termasuk dalam pelanggan WPS (Aprianto, 1996). Hasil studi kualitatif melaporkan bahwa agak sulit menganjurkan pria dewasa yang sering bepergian jauh untuk tidak mencari WPS mengingat mereka
sering
meninggalkan
keluarga,
mengalami
ketegangan
dan
kejenuhan selama perjalanan, dan disamping itu, sangat mudahnya menemukan WPS di dalam perjalanan (Muhaimin, Mamdy, & S, 1995). Studi kualitatif hanya menunjukkan kebiasaan pelaut seperti mabuk, berjudi, dan melacur dianggap merupakan hal yang wajar karena hal itu memang satusatunya pelarian yang dapat dilakukan ketika jauh dari istri dan anak (Patriani & Jaya, 1998). Berdasarkan latar belakang di atas, perhatian penelitian ini adalah pengkajian faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku seks berisiko terinfeksi HIV. Dengan mengetahui faktor yang berperan, maka dapat diketahui pula bentuk intervensi yang cocok perusahaan tetapkan demi membantu melindungi pekerja dari risiko HIV/AIDS. Tinjauan Teoritis Perilaku manusia adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan,
Analisis faktor..., Cynthia Kurnia Sar, FKM UI, 2013
berbicara, bekerja, menulis, membaca, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2007). Menurut Sarwono (1993), perilaku adalah segala bentuk pengalaman dan interaksi
individu
dengan
lingkungan,
khususnya
yang
menyangkut
pengetahuan dan sikap tentang kesehatan. Walgito (1994) mendefinisikan perilaku atau aktivitas ke dalam pengertian yang luas yaitu perilaku yang tampak (overt behavior) dan perilaku yang tidak tampak (Innert behavior), demikian pula aktivitas-aktivitas tersebut disamping aktivitas motoris juga termasuk aktivitas emosional dan kognitif. Chaplin (1999) memberikan pengertian perilaku dalam dua arti. Pertama, perilaku dalam arti luas didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dialami seseorang. Penegertian yang kedua, perilaku didefinisikan dalam arti sempit yaitu segala sesuatu yang mencakup reaksi yang dapat diamati. Theory of Reasoned Action Theory of Reasoned Action (TRA) pertama kali dicetuskan oleh Ajzen pada tahun 1980. Teori ini disusun menggunakan asumsi dasar bahwa manusia berperilaku dengan cara yang sadar dan mempertimbangkan segala informasi yang tersedia. Dalam TRA, Ajzen (1980) yang menyatakan bahwa seseorang dapat melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku tergantung dari niat yang dimiliki oleh orang tersebut. Lebih lanjut, Ajzen (1980) mengemukakan bahwa niat melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu dipengaruhi oleh dua penentu dasar, yang pertama berhubungan dengan sikap (attitude towards behavior) dan yang lain berhubungan dengan pengaruh sosial yaitu norma subjektif (subjective norms). Dalam upaya mengungkapkan pengaruh sikap dan norma subjektif terhadap niat untuk dilakukan atau tidak dilakukannya perilaku, Ajzen melengkapi TRA ini dengan keyakinan (beliefs). Dikemukakannya bahwa sikap berasal dari keyakinan terhadap perilaku (behavioral beliefs), sedangkan norma subjektif berasal dari keyakinan normatif (normative beliefs). Teori Planned Behavior Theory of Planned Behavior (TPB) merupakan pengembangan lebih lanjut dari TRA. Ajzen (1988) menambahkan konstruk yang belum ada dalam TRA, yaitu kontrol perilaku yang dipersepsi (perceived behavioral control). Konstruk ini ditambahkan dalam upaya memahami keterbatasan yang dimiliki individu dalam rangka melakukan perilaku tertentu (Hu, Chau, Sheng, & Tam,
Analisis faktor..., Cynthia Kurnia Sar, FKM UI, 2013
1999). Dengan kata lain, dilakukan atau tidak dilakukannya suatu perilaku tidak hanya ditentukan oleh sikap dan norma subjektif semata, tetapi juga persepsi individu terhadap kontrol yang dapat dilakukannya yang bersumber pada keyakinannya terhadap kontrol tersebut (control beliefs). Secara lebih lengkap Ajzen (2005) menambahkan faktor latar belakang individu ke dalam perceived behavioral control. Model teoritik dari Teori Planned Behavior (Perilaku yang direncanakan) mengandung berbagai variabel yaitu : 1. Latar belakang (background factors) Seperti usia , jenis kelamin, suku, status sosial ekonomi, suasana hati, sifat kepribadian, dan pengetahuan) mempengaruhi sikap dan perilaku individu terhadap sesuatu hal. Faktor latar belakang pada dasarnya adalah sifat yang hadir di dalam diri seseorang, yang dalam model Kurt Lewin dikategorikan ke dalam aspek O (organism). Dalam kategori ini Ajzen (2005), memasukkan tiga faktor latar belakang, yakni personal, sosial, dan informasi. Faktor personal adalah sikap umum seseorang terhadap sesuatu, sifat kepribadian (personality traits), nilai hidup (values), emosi, dan kecerdasan yang dimilikinya. Faktor sosial antara lain adalah usia, jenis kelamin (gender), etnis, pendidikan, penghasilan, dan agama. Faktor informasi adalah pengalaman, pengetahuan, dan paparan terhadap media. 2. Keyakinan perilaku (behavioral belief) Hal-hal yang diyakini oleh individu mengenai sebuah perilaku dari segi positif dan negatif, sikap terhadap perilaku atau kecenderungan untuk bereaksi secara afektif terhadap suatu perilaku, dalam bentuk suka atau tidak suka pada perilaku tersebut. 3. Keyakinan normatif (normative beliefs) Berkaitan langsung dengan pengaruh lingkungan yang secara tegas dikemukakan oleh Lewin dalam Field Theory. Pendapat Lewin ini digaris bawahi juga oleh Ajzen melalui perceived behavioral control. Menurut Ajzen (2005), faktor lingkungan sosial khususnya orang-orang yang berpengaruh bagi kehidupan individu (significant others) dapat mempengaruhi keputusan individu. 4. Norma subjektif (subjective norm)
Analisis faktor..., Cynthia Kurnia Sar, FKM UI, 2013
Sejauh mana seseorang memiliki motivasi untuk mengikuti pandangan orang terhadap perilaku yang akan dilakukannya (Normative Belief). Kalau individu merasa itu adalah hak pribadinya untuk menentukan apa yang akan dia lakukan, bukan ditentukan oleh orang lain disekitarnya, maka dia akan mengabaikan pandangan orang tentang perilaku yang akan dilakukannya. Fishbein dan Ajzen (1975), menggunakan istilah ”motivation to comply” untuk menggambarkan fenomena ini, yaitu apakah individu mematuhi pandangan orang lain yang berpengaruh dalam hidupnya atau tidak. 5. Keyakinan dari dalam diri individu bahwa suatu perilaku yang dilaksanakan (control beliefs) Control beliefs dapat diperoleh dari berbagai hal. Pertama adalah pengalaman melakukan perilaku yang sama sebelumnya atau pengalaman yang diperoleh karena melihat orang lain misalnya, teman, keluarga dekat dalam melaksanakan perilaku itu sehingga ia memiliki keyakinan bahwa ia pun akan dapat melaksanakannya. Selain pengetahuan, ketrampilan, dan pengalaman, keyakinan individu mengenai suatu perilaku akan dapat dilaksanakan ditentukan juga oleh ketersediaan waktu untuk melaksanakan perilaku tersebut, tersedianya fasilitas untuk melaksanakannya, dan memiliki kemampuan
untuk
mengatasi
setiap
kesulitan
yang
menghambat
pelaksanaan perilaku. 6. Persepsi kemampuan mengontrol tingkah laku (perceived behavioral control) Keyakinan (beliefs) bahwa individu pernah melaksanakan atau tidak pernah melaksanakan perilaku tertentu, individu memiliki fasilitas dan waktu untuk melakukan perilaku itu, kemudian individu melakukan estimasi atas kemampuan dirinya apakah dia punya kemampuan atau tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan perilaku tersebut. Ajzen (2005) menamakan kondisi ini dengan “persepsi kemampuan mengontrol” (perceived behavioral control). Niat untuk melakukan perilaku (intention) adalah kecenderungan seseorang untuk memilih melakukan atau tidak melakukan sesuatu pekerjaan. Niat ini ditentukan oleh sejauh mana individu memiliki sikap positif pada perilaku tertentu, dan sejauh mana kalau dia memilih untuk melakukan perilaku tertentu itu dia mendapat dukungan dari orang-orang lain yang berpengaruh dalam kehidupannya.
Analisis faktor..., Cynthia Kurnia Sar, FKM UI, 2013
Pengukuran intensi ini dapat digolongkan ke dalam pengukuran belief. Sebagaimana pengukuran belief, pengukuran intensi terdiri dari 2 hal, yaitu pengukuran isi (content) dan kekuatannya (strength). Isi dari intensi diwakili oleh jenis tingkah laku yang akan diukur, sedangkan kekuatan responnya dilhat dari rating jawaban yang diberikan responden pada pilihan skala yang tersedia. Contoh pilihan skalanya adalah mungkin-tidak mungkin dan setujutidak setuju. Fiscbein dan Ajzen (1975) menyatakan pengukuran intensi harus mengandung 4 elemen, yaitu: tingkah laku, obyek target, situasi, dan waktu. Hal penting lain yang harus diperhatikan dalam pengukuran intensi adalah tingkat spesifikasi target. Jika sikap dan intensi diukur dalam level spesifikasi yang berbeda, akan sulit didapatkan hubungan yang tinggi antara keduanya. Metode Penelitian Kerangka konsep ini diturunkan dari kerangka Theory Planned Behavior dengan menyederhanakan variabel yang diteliti yaitu hanya berupa sikap, pengaruh sosial, dan persepsi kemampuan mengontrol perilaku terhadap niat untuk melakukan perilaku seks berisiko pada kelompok pekerja anak buah kapal. Karakteristik informan berupa umur, pendidikan, lama bekerja, dan status pernikahan merupakan faktor eksternal yang artinya tidak langsung mempengaruhi terhadap niat untuk melakukan perilaku seks berisiko. Selain itu, pengukuran intensi dalam Theory Planned Behavior biasanya dihitung dengan
cara
kuantitatif,
namun
peneliti
mengadaptasinya
dengan
menggunakan pengukuran kualitatif. Kerangka konsep ini sesuai dengan gambar berikut.
Analisis faktor..., Cynthia Kurnia Sar, FKM UI, 2013
Sikap
Karakteristik Informan
-‐ -‐ -‐ -‐
Umur Pendidikan Lama Bekerja Status Pernikahan
Pengaruh Sosial
Niat
Perilaku
Persepsi Kemampuan Mengontrol Tingkah Laku
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Jenis penelitian yang digunakan yaitu studi kasus dengan teknik wawancara mendalam. Tujuan dipilihnya penelitian ini adalah untuk memahami pandangan subjek penelitian yang diungkapkan dalam bahasanya sendiri dan juga untuk menggali informasi yang melatarbelakangi perilaku tertentu. Metode ini dapat digunakan untuk melihat gambaran perilaku seks berisiko pada kelompok pekerja anak buah kapal terkait dengan masalah HIV/AIDS. Penelitian ini dilakukan di kawasan pelabuhan sekitar Cilegon yaitu pelabuhan Cigading dan Merak dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2013 dan dilakukaN dengan cara wawancara dan observasi anak buah kapal yang diteliti. Populasi informan dalam penelitian ini adalah anak buah kapal di kawasan pelabuhan yang berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan sampel dari penelitian ini adalah anak buah kapal di kawasan pelabuhan berjenis kelamin laki-laki yang pernah melakukan hubungan seksual dalam kurun waktu satu tahun terakhir ini. Terdapat 8 informan anak buah kapal dan 3 informan kunci yang diwawancara dalam penelitian ini. Data yang dikumpulkan yaitu berbentuk data primer yang diperoleh dengan wawancara mendalam dengan informan yang dipilih. Untuk pemilihan informan, peneliti meminta bantuan seorang pendamping dari klinik VCT Puskesmas Pulomerak sebagai informan kunci untuk menghubungkan dengan informan-informan yang sesuai dengan kriteria penelitian.
Analisis faktor..., Cynthia Kurnia Sar, FKM UI, 2013
Setelah hasil wawancara diperoleh, selanjutnya data diolah dan dianalisis dengan tahap-tahap sebagai berikut: -
Membuat transkrip dari hasil wawancara secara manual.
-
Memasukkan data dalam bentuk matriks data kualitatif ke dalam komputer.
-
Menarik kesimpulan secara content analysis yaitu teknik yang dilakukan dengan usaha untuk menemukan karakteristik pesan yang dilakukan secara objektif dan sistematis (Moleong, 2002). .
Hasil dan Pembahasan Terdapat 8 orang yang informan yang dapat diwawancarai. Penelitian ini menggunakan triangulasi sumber untuk menjamin validitas data yang diberikan selain itu,terdapat 3 orang informan kunci dalam penelitian ini yaitu 1 kapten kapal, 1 pendamping dari klinik VCT, dan 1 pelaksana program Komisi Perlindungan AIDS Kota Cilegon. Latar belakang informan yang dibahas dalam penelitian ini meliputi usia, pendidikan, dan lama bekerja. Dalam penelitian ini terdapat 8 informan yang diwawancara. Semuanya berjenis kelamin laki-laki dan bekerja sebagai anak buah kapal. Jabatan yang mereka juga berbeda-beda, mulai dari Mualim 2, juru mudi, bagian mesin, bagian logistik, bagian keamanan, dan penjaga kantin. Usia informan rata-rata 39 tahun dengan rentang usia 32 sampai dengan 51 tahun. Semua informan termasuk dalam usia produktif pekerja. Tingkat pendidikan bervariasi dari yang terendah SMP hingga yang tertinggi S1, dengan rincian 1 orang berpendidikan SD, 1 orang SMA,
3
orang lulusan ANT IV atau setingkat dengan D1, 2 orang lulusan ANT III atau setingkat dengan D4, dan 1 orang S1. Semua informan telah menikah. Mereka berasal dari berbagai kota di Indonesia, seperti Jakarta, Ngawi, Medan, Manado, Depok, Makassar, Lampung, dan Bandung. Pengalaman bekerja informan sebagai anak buah kapal cukup bervariasi mulai dari yang termuda 3 tahun sampai dengan yang paling senior yaitu selama 27 tahun. Analisis Perilaku Seks Berisiko Perilaku seks berisiko yang mereka lakukan berupa berganti pasangan, membeli seks, dan tidak konsisten menggunakan kondom. Ketika ditanyakan
Analisis faktor..., Cynthia Kurnia Sar, FKM UI, 2013
mengenai perilaku mempunyai pasangan lebih dari satu, beberapa informan menyatakan bahwa itu hal yang wajar. “..ganti pasangan, ya wajar lah dek, namanya juga kita pindahpindah terus kerjanya....” (informan 4) “Punya pasangan lain gitu di luar negeri? Ya ada lah mbak..” (Informan 6) “...Punya pasangan lain, ya ada mbak.. “ (informan 8) Demikian pula dengan perilaku membeli seks, sebagian besar informan menyatakan bahwa perilaku tersebut sudah biasa mereka lakukan. “...kalo ada abis itu cari perempuan ya wajar..” (informan 5) “...Yang jajan juga ada.. ya cari yang cepet aja jadinya jajan..” (informan 6) :... Kalo main sih,, ada lah sekali-sekali...” (informan 1) Setelah ditanya lebih jauh lagi, alasan informan melakukan perilaku mempunyai pasangan lebih dari satu dan membeli seks, hampir semua informan mengatakan faktor kejenuhan selama bekerja yang monoton serta kurangnya interaksi yang menyebabkan mereka membutuhkan hiburan untuk melepaskan kejenuhan. “...Kalo pelaut itu refreshingnya itu minum-minum sambil nyanyinyanyi karaoke, yaah kalo ada abis itu cari perempuan..” (informan 4) “...Kehidupan pelaut itu emang makan-makan minum-minum, refreshing sambil jajan harus lah mbak...” (informan 3) “...misalnya berlayar jauh keluar negeri 2 tahun, kalau haus, gimana? Ya cari di sana lah, masak mau pulang dulu? Butuh pelampiasan..” (informan 8) Di lain pihak, perilaku seks berisiko yang mereka lakukan dengan berganti pasangan dan membeli seks belum diimbangi dengan perilaku konsisten menggunakan kondom. Masih ada beberapa informan yang belum konsisten menggunakan kondom. “...Yaah, kadang pake, kadang engga. Kalo udah buru-buru sering lupa make..” (informan 7) “...Kalau kondom itu pernah pake sih.. kadang-kadang...” (informan 3) “...Saya pernah nyoba tuh, ah gak enak kalo make...” (informan 1) Masih kurangnya konsistensi dalam menggunakan kondom di kalangan ABK juga diamini oleh petugas VCT Puskesmas kawasan pelabuhan. Dari penuturan narasumber, kurangnya pengetahuan cara menggunakan kondom yang benar menjadi dasar keengganan ABK menggunakan kondom. “Walaupun sudah disediakan kondom, masih ada yang belum mengerti cara pemakaian kondom yang benar sehingga proteksi dari kondom tersebut tidak maksimal, misalnya kondom sobek karena buru-
Analisis faktor..., Cynthia Kurnia Sar, FKM UI, 2013
buru, atau ketika belum ereksi penuh, kondom sudah dipakai sehingga terasa longgar.” (Konselor klinik VCT) Namun, bukan berarti kesadaran memakai kondom secara konsisten tidak dilakukan oleh informan. Sebagian informan telah cukup konsisten menggunakan kondom dan dapat dikatakan mereka mengerti alasan yang mendasari mereka harus menggunakan kondom secara konsisten. “...Seringnya pake, kalo pas jajan, biar aman mbak..” (informan 2) “...Ya kondom itu harus, kita kan gak tau itu cewek dari mana dari mana, harus jaga diri lah, biar aman..” (informan 4) “...Kondom iya mbak, selalu tersedia. Kalo gak kita yang nyiapin, biasanya orang luar itu perempuannya juga udah punya persiapan, mereka juga gak mau kalo gak pake pengaman...” (informan 6) Perilaku seks berisiko terkait HIV/AIDS yaitu perilaku seksual bergantiganti pasangan atau bukan dengan pasangan tetap tanpa disertai penggunaan kondom secara konsisten. Hasil penelitian ini menunjukkan hampir semua informan yang diteliti memiliki perilaku seks berisiko. Survei sentinel perilaku Pusat Penelitian Kesehatan (Puslitkes UI) terhadap perilaku berisiko tinggi terkena PMS/HIV di Bali, Kupang, dan Ujung Pandang tahun 2000 menunjukkan bahwa 44% responden laki-laki (pelaut, pengemudi truk, dan bus antar kota) di Bali, 85% di Kupang, dan 38% di Makassar melaporkan bahwa mereka memakai jasa pekerja seks dengan angka penggunaan kondom secara konsisten di bawah 9%. (Puslitkes UI, 2000). Hasil survei surveilans perilaku (SSP) BPS dan Depkes RI tahun 20042005 pada kelompok pria juga menunjukkan bahwa terdapat 59% sopir/kernet truk dan 55% pelaut/ABK yang membeli seks dalam setahun terkahir. Selain itu, terdapat 52% supir/kernet truk dan 51% pelaut /ABK yang memiliki pasangan seksual lebih dari satu. Di lain pihak, pemakaian kondom di dua kelompok ini masih sangat rendah, hanya 8,1% supir/kernet truk dan 6,4% pelaut/ABK yang menyatakan selalu menggunakan kondom (SSP, 2005). Beberapa studi memperlihatkan bahwa perilaku premarital dan ekstra marital umum terjadi di kalangan laki-laki dewasa di Indonesia, termasuk kelompok pelaut. Umumnya alasan mereka berhubungan seks dengan WPS yaitu antara lain untuk menghilangkan stress, jauh dari istri, atau hanya sekadar mencari hiburan. WPS umumnya mudah didapat di sekitar
Analisis faktor..., Cynthia Kurnia Sar, FKM UI, 2013
pelabuhan, jalanan atau warung remang-remang. Mudahnya WPS diperoleh di berbagai tempat ini memperlihatkan bahwa perilaku premarital dan ekstra marital, selain umum dilakukan di antara laki-laki dewasa, juga dapat ditoleransi oleh masyarakat. (Blowfield, 1992; Fajans et al, 1995, Utomo et al, 1998; Patriani & Jaya, 1998; O’Reilly et al, 1999). Berdasarakan penelitian-penelitian tersebut, dapat dilihat dari tingginya angka perilaku seksual berisko pada pekerja yang masuk ke dalam kategori mobile migrant populations. Mereka biasanya sering berpindah-pindah tempat dan menetap di suatu tempat dalam periode waktu yang tak lama. Perilaku berganti-ganti paangan atau hubungan seks tanpa diiringi penggunaan kondom secara konsisten menjadikan mereka rentan terhadap penularan dan penyebaran HIV/AIDS (Mutia, 2008). Saat ini selain sebagai alat kontrasepsi, kondom diperkenalkan sebagai alat pencegahan khusus bagi kelompok berperilaku seks berisiko tertular penyakit menular seksual. Sebuah penelitian tentang efek perlindungan kondom dalam pencegahan infeksi HIV/AIDS telah dilakukan dengan mengikuti 245 pasangan heteroseksual di mana salah satu diantara pasangan tersebut mengidap HIV. Studi tersebut memperlihatkan bahwa kondom digunakan secara konsisten dalam setiap hubungan seks dan tidak ditemukan adanya penularan HIV kepada pasangannya. Sedangkan pada 121 pasangan hetero seksual lainnya yang tidak menggunakan kondom secara konsisten telah ditemukan terjadinya penularan HIV kepada 12 pasangannya. Penelitian ini memperlihatkan bahwa pemakaian kondom secara konsisten mempunyai daya perlindungan efektif terhadap terjadinya penularan HIV. Sebaliknya, pemakaian kondom yang tidak konsisten akan memungkinkan penularan HIV (Sasongko, 2000) Dari sisi peraturan kebijakan pemerintah, Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah menyatakan kepeduliannya terhadap masalah HIV/AIDS di tempat
kerja.
Kepedulian
tersebut
dituang
dalam
SK
Menakertrans
No.68/Men/IV/2004 yang mewajibkan setiap perusahaan untuk melaksanakan program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja. Akan tetapi, nampaknya pelaksanaan SK tersebut belum berjalan secara maksimal di lapangan. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya perusahaan yang belum menjalankan bahkan mengetahui mengenai SK tersebut.
Analisis faktor..., Cynthia Kurnia Sar, FKM UI, 2013
Analisis Sikap terkait Niat Melakukan Perilaku Seks Berisiko Pada umumnya informan mempunyai sikap yang positif terhadap perilaku berisiko. Hal ini dapat dilihat dari perrnyataan informan mengenai tanggapan dari hal-hal yang mendasari mereka untuk menentukan sikap dari perilaku berisiko. Sikap tersebut merupakan pertimbangan baik dan buruk dampak dari perilaku seks berisiko yang mereka lakukan. Pertimbangan tersebut dilihat dari pengetahuan dasar mengenai HIV/AIDS, keterpaparan sumber informasi, serta dampak dari mengidap HIV/AIDS dan berujung pada keyakinan mereka apakah mereka berisiko terkena HIV/AIDS atau tidak. Ditinjau dari pengetahuan mereka tentang HIV/AIDS, sebagian besar dari mereka telah mengetahui HIV/AIDS, cara penularannya, dan cara pencegahannya. “...Yaa, saya cukup tahu lah mbak, walaupun bukan mendalami langsung tentang HIV ini saya juga cukup mengerti untuk pencegahan, penyebaran, masa inkubasi dari hiv ke aids, juga sudah menegerti...” (informan 5) “...tau, pernah denger mbak, penyakit menular gara-gara hubungan seks sembarangan kan?...” (informan 3) “...Cara nularnya itu lewat jarum suntik, bisa tato, narkoba, lewat hubungan seks juga bisa...” (informan 4) “...bisa nular lewat hubungan seks.. suntik yaa.. apalagi kalo jajan sembarangan...” (informan 6) “...pencegahannya ya gak ngelakuin, gak jajan, atau ya pake kondom lah biar aman..” (informan 3) “...tentu aja ya harus setia sama pasangannya masing-masing mbak, jangan gantian jarum suntik juga...” (informan 5) Secara pragmatis pernyataan semua informan tersebut dapat diterima namun secara ilmiah akurasinya kurang dan mengandung miskonsepsi. HIV adalah virus yang menyebabkan menurunnya sistem kekebalan tubuh sementara AIDS adalah kumpulan gejala penyakit yang di dapat karena turunnya sistem kekebalan tubuh tersebut. HIV penyebab AIDS sedangkan AIDS bukan penyakit. Pada pengetahuan tentang cara penularan HIV, mayoritas informan mengatakan bahwa penularan HIV dapat terjadi karena hubungan seks tidak aman, dan penggunaan jarum suntik secara bergantian. Dari sisi cara penularan HIV masih dapat dicatat beberapa ketidakakuratan informasi dan
Analisis faktor..., Cynthia Kurnia Sar, FKM UI, 2013
miskonsepsi, misalnya pernyataan penularan HIV melalui gigitan nyamuk, air ludah, dan kontak sosial. Pada pengetahuan tentang cara pencegahan informasi yang paling banyak dilontarkan adalah bahwa penularan HIV dapat dicegah dengan menggunakan konom, tidak berganti paangan, dan tidak bergantian jarum suntik. Dari semua pertanyaan yang dilontarkan untuk mengetahui tingkat pengetahuan informan tentang HIV/AIDS dapat dikatakan bahwa hampir semua inforaman memiliki pengetahuan yang memadai tentang HIV/AIDS walaupun masih ada beberapa miskonsepsi. Mereka juga sepakat dan berkeyakinan bahwa HIV/AIDS adalah penyakit yang berbahaya. “...Iya.. bahaya..” (informan 1) “...Bahaya lah dek..” (informan 4) “...iya.. bahaya..” (informan 8) Dari wawancara mendalam, dapat diketahui bahwa pengetahuan tentang HIV/AIDS dan keyakinan bahwa HIV/AIDS merupakan suatu penyakit yang berbahaya tidak serta merta mengubah perilaku mereka yang melakukan perilaku seks berisiko Lawrence W. Green (Gielen & McDonald, 1996) mengungkapkan bahwa secara umum perilaku seseorang dilandasi oleh latar belakang yang dimilikinya, termasuk pengetahuan menegenai HIV/AIDS. Seseorang yang berpengetahuan
HIV/AIDS
lebih
baik
diharapkan
mempunyai
tingkat
pemahaman dan kesadaran tentang HIV/AIDS yang lebih baik, dan akhirnya diharapkan mempunyai perilaku seksual yang aman dan terhindar dari infeksi HIV. Studi Wirawan dan Mulawan (1997) tentang penyuluhan AIDS memperlihatkan bahwa setelah dilakukan penyuluhan, survei post test memperlihatkan kemajuan pada pengetahuan dan perubahan perilaku. Survei post test menunjukkan bahwa penyuluhan mampu menaikkan tingkat pengetahuan secara bermakna, menurunkan proporsi yang mengadakan hubungan seks dengan WPS dan menaikkan proporsi penggunaan kondom. Lebih jauh lagi, peneliti mencari tahu dampak apa yang mereka ketahui dari
HIV/AIDS
sebagai
dasar
pernyataan
mereka
bahwa
HIV/AIDS
merupakan sesuatu penyakit yang berbahaya. Dari pernyataan mereka, sebagian besar informan mengetahui dampak dari HIV/AIDS tidak hanya
Analisis faktor..., Cynthia Kurnia Sar, FKM UI, 2013
dampak kesehatan yang mereka takutkan, namun juga dampak dampak terhadap kehidupan sosial dan ekonomi yang mereka khawatirkan. “...Tanggapannya ya memang menderita sekali orang yang kena HIV apalagi kalau sampai AIDS, sudah dikeluarkan dari tempat kerja, uang habis untuk obatnya itu, tapi emang penyakitnya gak bisa sembuh..” (informan 5) “...kasian aja gitu.. itu kan kaya penyakit kutukan gitu.. pokoknya kalo orang udah kena penyakit kaya gitu serem aja pokoknya..” (informan 1) “...kasian dek, mana belum ada obatnya, gampang sakit garagara imunnya itu yang diserang.. pokoknya ngeri lah...” (informan 4) Pengetahuan atau informasi tentang HIV/AIDS mereka dapatkan dari berbagai sumber. Sumber informasi tersebut berupa sosialisasi atau penyuluhan dari perusahaan tempat mereka bekerja, sosialisasi dari pelabuhan, dan juga media-media promosi berupa poster, leaflet, sticker, dan lain-lain. “...setahun sekali di kantor itu ada pencerahan tentang hiv... .. jadi nanti kita ke sana.. ke kantor pusat.. terus diadain pencerahan..nanti ada dokternya ngasih pencerahan...” (informan 2) “...dulu pernah ada waktu saya kerja di perusahaan sebelum ini. pernah ada dipasang poster di kapal-kapal sama orang kesehatan pelabuhan stiker-stiker tentang info hiv aids. Mereka dateng ke kapal, sambil jelasin....” (informan 3) “...Kadang, kalau kita lagi merapat, kita disuruh untuk ngumpul, dikumpulin di kantor pusat, untuk dikasih penyuluhan HIV/AIDS ini...” (informan 4) Ketika peneliti melakukan triangulasi sumber data ke Komisi Penanggulangan AIDS Kota Cilegon sebagai penyelenggara program pencegahan HIV/AIDS di Kota Cilegon. Berdasarkan informasi dari narasumber, disebutkan bahwa sampai saat ini program khusus pencegahan HIV/AIDS di kalangan Anak Buah Kapal masih belum ada. Namun, KPA Kota Cilegon telah melakukan beberapa program sosialisasi yang ditujukan kepada pekerja di pelabuhan. “Di ASDP sudah ada sosialisasi, sekalian di undang dokter klinik di pelabuhan dan dokter-dokter perusahaan di sekitar pelabuhan” (Pengelola Program KPA Kota Cilegon) Perubahan perilaku seksual sebagian besar tergantung pada kemudahan dalam memperoleh informasi mengenai penyakit menular seksual/HIV/AIDS.
Informasi
mengenai
tingkat
keterpaparan
informan
terhadap informasi HIV/AIDS menjadi indikasi bagi tingkat pengetahuan seks yang diperoleh. Kurangnya tingkat keterpaparan tersebut dapat menjadi
Analisis faktor..., Cynthia Kurnia Sar, FKM UI, 2013
petunjuk bahwa informasi yang diterima pelaut atau pekerja pelabuhan tentang HIV/AIDS masih jauh dari memadai. Hal ini selanjutnya menjadi petunjuk minimnya perubahan perilaku seksual aman yang diharapkan dari pelaut (Dachlia, 2000). Dari semua informasi yang telah mereka dapatkan, informan dapat menimbang, menilai positif dan negatifnya HIV/AIDS ini sehingga mereka dapat memutuskan sikap apa yang mereka pilih. Sikap ini dapat dilihat dari pernyataan mereka apakah mereka merasa memiliki potensi untuk tertular atau terinfeksi HIV/AIDS. Terdapat perbedaan sikap yang terlihat dari penuturan mereka. Sebagian merasa terancam, sebagian lagi merasa tidak memiliki potensi untuk terinfeksi HIV/AIDS. “...Iya sih.. kadang-kadang takut juga kena...” (informan 2) “...Terancam gak terancam sih, biasa aja ah...” (informan 3) “...Ah enggak tuh. saya mah ngerasa baik-baik aja...” (informan 1) “...Sebenernya terancam dek, apalagi kita ini pelaut kan.. sering pindah-pindah, sandar sini, sandar sana, jarang pulang...” (informan 4) Dalam penelitian ini, dapat terlihat bahwa tingginya pengetahuan informan terkait dengan HIV/AIDS tidak selalu mempengaruhi sikapnya dalam menilai perilaku seks berisko yang mereka lakukan. Hal ini sesuai Cognitive Dissonannce Theory dari Festinger (1957) menjelaskan bahwa pengetahuan seseorang tidak selalu berbanding lurus dengan perilakunya. Menurut teori tersebut, seseorang dapat mempunyai kesejajaran dalam pengetahuan, sikap, dan perilaku. Namun demikian, dapat juga seseorang yang mempunyai pengetahuan dan sikap yang positif tetapi negatif di dalam perilakunya. Pengaruh Sosial terkait Niat Melakukan Perilaku Seks Berisiko Pengaruh sosial dianggap sebagai salah salah satu faktor yang mendukung perilaku seseorang. Peneliti mengajukan pertanyaan kepada informan tentang sejauh mana faktor lingkungan dan sosial mempengaruhi mereka dalam memutuskan melakukan suatu perilaku. Sebagian besar dari informan menyatakan bahwa lingkungan mempengaruhi mereka dalam melakukan suatu perilaku. “...Oohh tentu, lingkungan itu pengaruhnya besar mbak.. kalo kita temenan sama lingkungan baik, ya jadi baik. Kalo enggak yang jadi ngawur...” (informan 6)
Analisis faktor..., Cynthia Kurnia Sar, FKM UI, 2013
“...Lingkungan sosial itu penting mbak, mereka kan yang ngeliatin kita kaya apa, perilaku kita kaya apa, harusnya kita kaya gimana ngeliatin ke lingkungan sekitar ...” (informan 2) “...Lingkungan itu pengaruh lah mbak, bisa ngebawa kita jadi nakal, bisa juga jadi baik..” (informan 7) Lebih jauh lagi, peneliti menanyakan siapa yang lebih mempengaruhi mereka dalam memutuskan suatu perilaku. Terdapat beberapa pendapat yang berbeda di sini. Sebagian menyatakan lingkungan keluarga, sebagian lagi menyatakan lingkungan kerja. “...Temen sesama abk, kapten.. soalnya untuk masuk dan tetap di perusahaan ini sulit dek, peraturannya banyak...” (informan 4) “...Ingat istri di rumah aja lah mbak, dia kan udah percaya, taunya kita pergi jauh ya kerja, bukan malah memanfaatkan keadaan...” (informan 5) “...Ya istri, ya anak, ya tetangga, temen kerja juga..” (informan 7) Menurut Atkinson (1996), sikap individu, norma sosial, serta elemenelemen dari health belief model dapat mempengaruhi perilaku seseorang dalam pencegahan HIV/AIDS. Penelitian yang dilakukan Godin dkk (2005), serta Stulhofer dkk. (2007) menyatakan bahwa sikap dan norma sosial yang positif terhadap perilaku pencegahan HIV/AIDS (penggunaan kondom) ditemukan berhubungan dengan perilaku pencegahan tersebut. Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Mariyah (1992) menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi responden untuk mencari pekerja seks diantaranya yaitu karena pengaruh teman dan melemahnya norma-norma yang diyakini. Selain itu, penelitian ini juga menyatakan bahwa agama dan keyakinan yang kuat dapat mencegah terjadinya perilaku seks berisiko seperti menggunakan jasa WPS dan berganti-ganti pasangan seksual. Selain itu, pengaruh sosial juga dapat timbul dari peraturan perusahaan. Perusahaan juga harus turut berperan dalam penanggulangan HIV/AIDS karena tanpa upaya pencegahan yang efektif cepat atau lambat HIV/AIDS juga akan memberikan dampak yang merugikan bagi perusahaan. Ada kalanya sikap tegas perusahaan terhadap pekerja yang berperilaku seks berisiko menjadi alasan pekerja untuk berperilaku seks lebih aman. Ancaman dikeluarkan dari pekerjaan membuat pekerja melakukan perilaku seks berisiko dengan lebih aman. Oleh karena itu, perlu dibuat tidak hanya program tetapi juga kebijakan dan komitmen dari pihak perusahaan yang
Analisis faktor..., Cynthia Kurnia Sar, FKM UI, 2013
dapat mendukung program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja. Persepsi Kemampuan Mengontrol Perilaku terkait Niat Melakukan Perilaku Seks Berisiko Salah satu cara menilai persepsi kemampuan mengontrol perilaku dapat dilihat dari apakah informan memiliki fasilitas dan waktu untuk melakukan perilaku tersebut. Semakin banyak fasilitas dan waktu yang tersedia, semakin lemah kontrol perilaku yang dapat dilakukan oleh informan. Dari penuturan beberapa informan, mereka memang memiliki fasilitas dan waktu untuk melakukan perilaku seks berisiko. Fasilitas tersebut antara lain, penjaja seks yang mudah ditemui, ketersediaan uang yang dimiliki oleh informan, serta ketersediaan waktu untuk melakukan perilaku seks berisiko ketika kapal mereka sedang bersandar. “...Apalagi kapal kaya gitu (tag boat, narik kapal tongkang) itu banyak uangnya mbak, perjalananya juga jauh, bisa berbulan-bulan di laut...” (informan 4) “...Ya emang banyak yang jajan mbak, soalnya banyak yang mau juga sih.. mau nyari juga gampang..” (informan 8) “...mayoritas itu pelaut-pelaut gitu emang suka jajan kalo kapalnya udah sandar, apa lagi di deket pelabuhan, banyak tempat buat jajan gitu, gampang nyarinya, mau nyari istri yang mau buat kawin kontrak juga gampang nyarinya...” (informan 2) Selain itu, konsumsi alkohol juga mempengaruhi lemahnya kontrol perilaku yang dilakukan oleh informan. Berdasarkan hasil wawancara mendalam, informan menyebutkan bahwa untuk menghilangkan kejenuhan, biasanya mereka mengkonsumsi alkohol dan berakhir dengan melakukan seks bebas. “..Yaahh,, namanya juga pelaut mbak.. Mayoritas pelaut itu, karna udah stres tengah laut, minum, joget, ya terus jajan...” (informan 2) “..wajarlah kalo pas sandar minum, joget-joget, cari perempuan..” (informan 4) Untuk triangulasi sumber informasi, peneliti menanyakan pada konselor VCT di Puskesmas wilayah pelabuhan. Narasumber juga menyebutkan bahwa pengaruh alkohol merupakan salah saktu faktor penting melemahnya kemampuan individu khususnya ABK dalam mengkontrol perilaku seks berisiko yang mereka lakukan. “ABK masih erat kaitannya dengan mabuk, ketika mabuk itulah, dia melakukan seks tidak aman tanpa berpikir lebih jauh akibatnya.” (Konselor klinik VCT)
Analisis faktor..., Cynthia Kurnia Sar, FKM UI, 2013
Berdasarkan penuturan informan yang telah disebutkan, kecenderungan perilaku seks berisiko lebih banyak dilakukan oleh mereka yang memliki kemampuan mengontrol perilaku yang lemah. Lemahnya kemampuan mengontrol perilaku ini disebabkan oleh tersedianya fasilitas dan waktu untuk melakukan perilaku seks berisiko. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bachnas dkk. (2002), Godin dkk. (2005), serta Knipper dkk. (2007) yang menyatakan bahwa keyakinan seseorang untuk dapat berhasil dalam melakukan perilaku pencegahan (self efficacy) dan perasaan seseorang bahwa ia dapat mempengaruhi keadaan atau situasi (perceived behavioural control) untuk melakukan perilaku pencegahan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan perilaku tersebut. Kesimpulan Perilaku seseorang khususnya perilaku seks berisiko dipengaruhi oleh faktor niat atau intensi sedangkan niat antau intensi itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain faktor sikap, pengaruh sosial, dan kemampuan mengontrol perilaku. Penelitian ini menunjukkan bahwa faktor sikap tidak mempengaruhi niat mereka untuk mengubah perilaku seks berisiko menjadi perilaku seks yang lebih aman. Begitu pula halnya dengan faktor pengaruh sosial. Penelitian ini menunjukkan bahwa pengaruh lingkungan sosial, keluarga, dan tempat kerja mempengaruhi mereka untuk melakukan perilaku seks yang aman. Namun hal ini tidak mengubah niat mereka untuk melakukan perilaku seks berisiko. Faktor yang terakhir adalah faktor persepsi kemampuan mengontrol perilaku. Penelitian ini menunjukkan lemahnya kemampuan mengontrol perilaku berhubungan erat dengan niat individu untuk melakukan perilaku seks berisiko. Saran Perlu diadakannya sosialisasi dan penyediaan kondom yang lebih intensif dan terintegrasi baik dari pihak pelabuhan, perusahaan tempat ABK bekerja, dan juga pemerintah terkait program pencegahan HIV/AIDS di tempat kerja (kapal), dan wilayah sekitar pelabuhan. Perlunya pendekatan lebih mendalam dan lebih persuasif untuk menjangkau ABK sebagai salah satu kelompok yang berisiko tinggi terinfeksi HIV.
Analisis faktor..., Cynthia Kurnia Sar, FKM UI, 2013
Perlunya ditindaklanjuti penelitian yang lebih jauh pada kelompok pekerja ABK mengenai bagaimana faktor persepsi kemampuan mengontrol perilaku mempengaruhi perilaku seksual berisiko sehingga determinan yang diperoleh dapat diketahui lebih spesifik. Daftar Pustaka Ajzen, I. (2005). Attitudes, Personality, and Behavior. Chicago: Dorsey Press. Aprianto, A. (1996). Studi Perilaku Seks Anak Buah Kapal Niaga Terhadap Penyakit Menular seksual dan AIDs di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang (Studi Kualitatif). Skripsi Universitas Dipenogoro , 1. Atkinson, Rita L., Atkinson, Richard C., Hilgrad, Ernest R., (1996). Pengantar Psikologi. Jakarta: Erlangga. Bachnas, PJ., Morris, M.K., Lewis-Gess, J.K., Sarett-Cuassy, E.J., Sirl, K., Ries, J.K., et al. (2002). Predictors of Risky Sexual Behavior in Africa American Adolescent Girls: Implications for Prevention Interventions. Journal of Pediatric Psychology. 27(6): 519-530. Berliani, Hasbi. (1999). Perilaku seksual Pekerja Migran. Pusat Penelitian Kependududkan UGM: Yogyakarta. Blowfield, M., (1992). The Shipping Industry and Seafarers' Behavior in Jakarta and Surabaya, Indonesia. The US Agency for International Development: Jakarta. Dachlia, D. (2000). Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku seksual berisko terinfeksi HIV pada pelaut/pekerja pelabuhan di jakarta, Manado, dan Surabaya. Depok: FKM UI. Fajans, P., Kathleen, F., & Wirawan, D.N., (1995). AIDS Knowledge and Risk Behaviors Among Domestic Clients of Female Sex Workers in Bali, Indonesia. Social Science and Medicine, Vol.41/No.3/1995. pp.409-417. Festinger, L., (1957). A Theory of Cognitive Dissonance. Evanston: Row Peterson. Fishbein, M & Ajzen, I. (1975). Belief, Attitude, Intention and Behavior. Don Mills, NY: Addison-Wesley, pp. 1-385. Gielen A.C & McDonald E.M., (1996). 'The Precede-Proceed Planning Model' dalam GlanzK, Lewis F.M., Rimer B.K (eds). Health Behavior and Health Education: Theory, Research, and Practice. Jossey-Bass: California. pp.359-383. Giodin, G., Gagnon, H., Lambert, L.D., & Conner, M., (2005). Determinants of Condom Use Among a Random sample of Single Heterosexual Adults. British Journal of Health Psychology, 10, 85-100. Glanz, Rimer, & Viswanath (eds). (2008). Health Behavior and Health Education: Theory, research and Practice 4th Edition. New Jersey: Jossey-Bass A Wiley Imprint. Hu, P. J., Chau, P. H., Sheng, O., & Tam, K. (1999). Examining the technology Acceptance Model Using Physical of Telemedicine Technology. Journal of Management Information System vol 16 no 2 , 91-112. Kemenkes RI. (2013). Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia . Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Knipper, Emily, et al., (2007). Condom Use Among Heterosexual Immigrant Latino Men in The Southeastern United States. AIDS Education and Prevention. New York: Oct 2007 vol. 19 No. 5. pp 436-448.
Analisis faktor..., Cynthia Kurnia Sar, FKM UI, 2013
Mariyah (1992). AIDS dan Perilaku Seksual Berisiko. Jakarta: Jaringan Epidemiologi Nasional. Moleong, L. J. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Muhaimin, Mamdy, & S, G. (1995). Pengetahuan, Sikap, dan Praktek Supir Truk Jarak Jauh terhadap HIV/AIDS di Lima Kota Jawa dan Bali Tahun 1995. Puslit Penyakit Menular Balitbangkes RI dan Kelompok Studi AIDS FKM UI , 77-82. M.W., R., & Rosser, B. (1989). Education and AIDS Risks. Health and Educational Research: Theory and Practice Vol.4 No. 3 , 279-284. Notoatmodjo S, Sarwono S, Hasan A, Sudarti. (1989). 'Prinsip-prinsip Pendidikan Kesehatan' dalam Notoatmodjo S, Poerbanegoro S, Tafal Z, Sarwono S, Sasongko A, Pratomo H, Hasan A, Mamdy Z (eds). 'Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan'. Badan Penerbit Kesehatan Masyarakat, FKM UI : Jakarta. O'Reilly K.R., Islam, M., Sittitai, W., (1999). 'Sexual Behavior and Behavioral Intervention in The Developing World' dalam Holmes K.K., Mardh P.a., Sparling, P.F., Lemon A.M., Stamm, W.E., Piot, P. Wasserheit, J.N., (eds). 1999. Sexually Transmitted disease, Third Edition, International Edition. McGraw-Hill Health Professions Divison. pp-1421-1429. Patriani, & Jaya. (1998). Pengetahuan HIV/AIDS dan Negosiasi Seksual di Kalangan Isteri ABK. Puslit Kependudukan UGM dan Ford Foundation , 22-53. Sasongko, A. (2000, mei-juni 1). Melihat Kondom Dalam Kacamata Positif. Buletin Kita Waspada , hal. 50-62. Simbayi, Leickness C., et.al., (2005). Risk Factors for HIV/AIDS Among Youth in Cape Town, South Africa. Journal AIDS and Behavior,9, 53-61. STBP. (2007). Surveilans Terpadu - Biologis Perilaku pada Kelompok Berisiko Tinggi di Indonesia. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. . Stulhofer, Aleksandar, et.al., (2007). HIV/AIDS Related Knowledge, Attitudes And Sexual Behaviors as Predictors of Condom Use Among Adults in Croatia. International Family Planning Perspectives Vol 33, Iss 2. pp.5866. UNAIDS. (2012). Global report: UNAIDS report on the global AIDS epidemic 2012. Geneva: Joint United Nations Programme on HIV/AIDS. Utomo, B., Dharmaputra, N.G., Hakim, A.V., Mills, S., Moran, J., (1999). Report: STD/HIV Risk Behavioral Surveillance Surveys 1996, 1997, and 1998. Result from Cities of Jakarta, Surabaya, and Manado. Center of Health Research University of Indonesia, Ministry of Health, the HIV/AIDS Prevention Project, Family Health International, USAID, Jakarta. Wirawan, D.N., & Muliawan P., (1997). 'Penyuluhan Penyakit Menular Seksual (PMS), HIV/AIDS, Promosi dan Distribusi Kondom Serta Pelayanan PMS untuk Sopir dan Kenek Truk Jawa-Bali di Gilimanuk, Bali, Indonesia' dibawakan dalam Seminar Issue Sosial dan Perilaku dalam Penanganan HIV/AIDS di Indonesia, 18-19 Februari 1997, Jakarta.
Analisis faktor..., Cynthia Kurnia Sar, FKM UI, 2013