MENGUBAH SIKAP SUPIR TRUK DALAM PENCEGAHAN PENULARAN IMS DAN HIV/AIDS MELALUI PEMBERIAN LEAFLET DAN DISKUSI Heni Hirawati Pranoto Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Ngudi Waluyo Email :
[email protected]
ABSTRACT
Jumlah penderita HIV/AIDS yang terus meningkat prevalensinya dan menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia merupakan masalah serius yang perlu segera ditangani. Supir merupakan kelompok dengan kasus HIV/AIDS yang tinggi, mengingat 8% jumlah kumulatif penderita HIV di Indonesia bekerja sebagai supir. Supir truk rentan untuk melakukan perilaku seksual beresiko mengingat karakteristik dan sifat pekerjaannya. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku seksual beresiko adalah sikap terhadap pencegahan penularan IMS dan HIV/AIDS .Perlu adanya upaya pendidikan kesehatan untuk mengubah sikap supir truk. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisa pengaruh pemberian leaflet dan diskusi terhadap sikap supir truk dalam pencegahan penularan penyakit IMS dan HIV/AIDS. Penelitian ini termasuk penelitian quasi eksperimen dengan rancangan pre-post test with control group design. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 60 supir truk yang diambil dengan metode purposive sampling. Analisa data yang digunakan adalah analisa univariat secara deskriptif, analisa bivariat dengan uji t test dan analisa multivariat dengan ANOVA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pemberian leaflet baik yang disertai diskusi maupun tanpa diskusi, keduanya meningkatkan secara signifikan sikap supir truk. Tidak ada perbedaan yang signifikan peningkatan sikap antara kelompok yang diberikan leaflet disertai diskusi dengan kelompok yang diberikan leaflet tanpa diskusi. Saran bagi Dinas Kesehatan dan KPAD, agar terus mengembangkan metode dan media pendidikan kesehatan pada kelompok pria beresiko. Kata Kunci: Leaflet, Diskusi, Sikap
1.
PENDAHULUAN Salah satu target SDG’s adalah memerangi penularan HIV/AIDS. HIV singkatan dari Human Immunodeficiency Virus (Project Concern International, 1994). HIV adalah virus penyebab AIDS ( Gallant, 2010). Cara kerja HIV adalah dengan menyerang sistem kekebalan tubuh yang fungsinya melindungi tubuh dari serangan berbagai penyakit. AIDS singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome. AIDS didefinisikan sebagai suatu kumpulan gejala penyakit yang disebabkan menurunnya sistem kekebalan tubuh karena infeksi HIV (Subuh, 2012) Data Ditjen PP & PL Kemenkes RI ( 2014) jumlah penderita HIV mencapai 150.296 kasus. Jumlah penderita HIV/AIDS yang terus meningkat prevalensinya dan menyebar ke seluruh provinsi merupakan masalah yang harus segera ditangani. Proporsi
108 | Prosiding
kumulatif faktor resiko AIDS tertinggi adalah hubungan seks yang tidak aman pada heteroseksual, yaitu sebesar 61,5%. Laki-laki sebagai pelanggan pekerja seks komersial (PSK) selain sebagai populasi yang rentan terjangkit HIV/AIDS, kelompok ini juga merupakan populasi penghubung yang menjembatani populasi kunci yang beresiko tinggi terjangkit HIV/AIDS dengan populasi umum. Oleh karena itu, populasi ini memegang peran yang penting dalam penyebaran HIV. Komunitas yang secara umum teridentifikasi dalam kelompok beresiko ini adalah supir truk, nelayan, penjaja, buruh bangunan dan tentara ( KPAN, 2010) Supir merupakan kelompok dengan kasus HIV/AIDS yang tinggi, mengingat 8 % jumlah kumulatif penderita HIV di Indonesia bekerja sebagai supir. Supir truk rentan untuk melakukan perilaku seksual beresiko mengingat
karakteristik dan sifat pekerjaannya, yaitu umumnya dari kelompok umur muda, produktif dan sering meninggalkan keluarga dan istri dalam waktu lama sampai berhari-hari, kadang ada yang lebih dari 1 minggu (Nurtriyasih, 2009). Hasil penelitian Mundiharno (1999) pada supir truk didapatkan 50% menyatakan pernah menderita IMS (Mundiharno, 1999). Penelitian Kusuma (2005) pada istri supir truk di Sumatera Barat didapatkan 78,6 % menderita IMS. Pemakaian kondom merupakan langkah pencegahan utama bagi para supir truk yang aktif melakukan kegiatan seksual beresiko. Pemakaian kondom merupakan cara pencegahan penularan yang efekif bagi kelompok yang aktif secara seksual (Widyastuti,2009). Kondom merupakan selubung/sarung karet yang dapat terbuat dari berbagai bahan, diantaranya lateks (karet), plastic (vinil) atau bahan alami (produksi hewani) yang dipasang di penis pada saat berhubungan seksual (Gallant, 2010). Namun pada kenyataannya, pemakaian kondom masih menjadi sesuatu yang langka bagi para supir truk. Mereka tidak menggunakan kondom ketika melakukan hubungan seksual baik dengan WPS maupun dengan istri di rumah. Berdasarkan survey Lembaga Kalandara pada Januari s.d Februari 2009, dengan mengambil 50 orang dari masingmasing ABK, TKBM, sopir truk dan kernet truk, hasilnya 88% dalam seminggu berhubungan dengan WPS dan sebagian besar ( 74%) dari mereka tidak pernah menggunakan kondom (Kalandara, 2009). Hasil penelitian Hakim ( 2013) menunjukkan bahwa supir truk mempunyai perilaku berisiko tinggi tertular HIV informan adalah berhubungan seks dengan Wanita Tuna Susila (WTS) baik pasangan tetap maupun berganti-ganti, tidak menggunakan kondom, berhubungan seks dengan pacar, melakukan hubungan seks secara vaginal dan oral. Determinan perilaku menurut Green meliputi tiga faktor utama yaitu faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat (Green, 2000) Pengetahuan dan sikap merupakan faktor pendorong yang cukup kuat yang mempengaruhi perilaku seseorang. Hasil penelitian pranoto (2017), sebagian besar supir truk sudah mengetahui bahwa HIV/AIDS adalah penyakit yang menyerang dan dapat menurunkan kekebalan
tubuh. Beberapa pertanyaan tentang cara-cara penularan IMS dan HIV/AIDS dapat dijawab dengan benar. Dan para supir truk tahu bahwa pemakaian kondom merupakan cara yang tepat untuk mencegah penularan IMS dan HIV/AIDS. Namun, pengetahuan tentang pentingnya pemakaian kondom tidak serta merta berdampak pada peningkatan pemakaian kondom pada supir truk. Upaya untuk memperbaiki sikap dapat dilakukan melalui promosi kesehatan. Sikap adalah penilaian (bisa berupa pendapat) seseorang terhadap stimulasi atau objek dalam hal ini adalah masalah kesehatan, termasuk penyakit. Setelah seseorang mengetahui stimulasi atau objek, proses selanjutnya akan menilai atau bersikap terhadap stimulasi atau objek kesehatan tersebut (Azwar, 2012). Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tigkah laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2011). Promosi kesehatan pada hakikatnya adalah suatu kegiatan atau usaha menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok atau individu. Dengan harapan bahwa dengan adanya pesan tersebut, maka masyarakat, kelompok atau individu dapat memperoleh pengetahuan tentang kesehatan yang lebih baik. Pengetahuan tersebut pada akhirnya diharapkan dapat berpengaruh terhadap sikap dan perilaku (Notoatmodjo, 2010). Dalam promosi kesehatan terjadi proses komunikasi antara komunikator dan komunikan. Taylor dalam Yulifah (2009) memaparkan bahwa komunikasi adalah proses pertukaran informasi atau pemberian arti sesuatu. Salah satu efek komunikasi diantaranya adalah efek afektif yang mengacu pada aspek emosional atau perasaan. Efek ini kadarnya lebih tinggi dibandingkan efek kognitif (Winarni, 2003). Media promosi kesehatan adalah semua sarana atau upaya menampilkan pesan atau informasi yang ingin disampaikan oleh komunikator, baik melalui media cetak, elektronika, dan media luar ruang, sehingga pengetahuan sasaran dapat meningkat dan Prosiding |109
akhirnya dapat mengubah perilaku ke arah positif terhadap kesehatan (Notoatmodjo, 2010). Definisi leaflet dalam Kamus Komunikasi adalah lembaran kertas berukuran kecil mengandung pesan tercetak untuk disebarakan kepada umum sebagai informasi mengenai suatu hal atau peristiwa (Mulyana, 2000). Proses penerbitan sebuah leaflet sebaiknya perlu memerhatikan beberapa aspek agar leaflet yang dihasilkan dapat mewujudkan tujuan komunikasi. Penerbit leaflet harus benarbenar berupaya memanfaatkan dan memaksimalkan ruang komunikasi yang tersedia, misalnya bagaimana memilih ukuran, cara penyajian, menyeleksi kata-kata, gambar, foto dan mengolah pesan yang disajikan agar dapat diterima oleh sasaran. Leaflet sering digunakan dalam promosi kesehatan karena sifatnya yang praktis, murah, mudah dibawa dan membantu memahami isi pesan. Diskusi adalah salah satu cara dalam penyuluhan kesehatan dimana kita menerangkan atau menjelaskan sesuatu dengan lisan disertai dengan tanya jawab kepada sekelompok pendengar, serta dibantu oleh beberapa alat peraga yang dianggap perlu. Salah satu metode lainnya dalam promosi kesehatan adalah diskusi kelompok. Dalam diskusi kelompok agar semua anggota kelompok dapat bebas berpartisipasi dalam diskusi, maka formasi duduk para peserta diatur sedemikian rupa sehingga mereka dapt berhadap-hadapan atau saling memandang satu sama lain (Notoatmodjo, 2010) Pada beberapa penelitian, leaflet dan diskusi terbukti efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap. Diskusi terbukti efektif terhadap Peningkatan Pengetahuan Remaja Putri tentang Kebersihan Alat Genetalia (Pranoto, 2014). Pemberian leaflet terbukti efektif terhadap pengetahuan, sikap dan praktik ibu dalam pencegahan DBD pada anak (Kusumawardani, 2012). Kabupaten Semarang merupakan salah satu tempat di Jawa Tengah yang memiliki tempat persinggahan bagi para supir truk, diantaranya adalah Pangkalan Truk Jambu, Gal Panas dan Lemah Abang. Kebijakan pemerintah dalam penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Semarang tertuang dalam Perda no 3 Tahun 2010 tentang penanggulangan HIV/AIDS. KPA Kab. 110 | Prosiding
Semarang bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Semarang, PKBI dan Kalandara serta seluruh elemen masyarakat telah berupaya dalam penanggulangan HIV/AIDS, baik dalam upya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Upaya promosi kesehatan tentang IMS dan HIV/AIDS pada kelompok pria beresiko diantaranya adalah pembagian leaflet, ceramah dan pemasangan poster. Saat ini Pemkab Semarang telah memiliki dua klinik yang berfungsi melakukan tahapan voluntary conseling and testing (VCT) HIV/AIDS. Klinik tersebut berada di RSUD Ungaran dan Ambarawa yang melayani bimbingan dan tes HIV/AIDS (Pemkab Semarang, 2013) PKBI Kabupaten Semarang bekerjasama dengan LSM Kalandara dalam upaya penjangkauan kelompok pria beresiko telah melakukan beberapa program promosi kesehatan diantaranya pembagian leaflet, ceramah dan pemasangan poster. Petugas lapangan dari PKBI Kab. Semarang menceritakan bahwa pembagian leaflet sudah beberapa kali dilakukan, namun banyak leaflet yang akhirnya hanya bertebaran di jalan atau di warung tempat para supir truk beristirahat. Diskusi selama ini jarang dilakukan karena banyak kendala untuk mengumpulkan para supir truk Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pemberian leaflet dan diskusi terhadap sikap supir truk dalam pencegahan IMS dan HIV/AIDS. Hipotesis dalam penelitian ini antara lain : (1) pemberian leaflet dan pemberian leaflet disertai diskusi dapat meningkatkan sikap supir truk dalam pencegahan penularan IMS dan HIV/AIDS, (2) pemberian leaflet disertai diskusi lebih efektif untuk meningkatkan sikap supir truk tentang IMS dan HIV/AIDS dibandingkan dengan pemberian leaflet tanpa diskusi, (3) pemberian leaflet disertai diskusi lebih efektif untuk menekan penurunan sikap supir truk tentang IMS dan HIV/AIDS dibandingkan dengan pemberian leaflet tanpa diskusi. 2.
METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk dalam penelitian eksperimen semu (quasi eksperiment) yang menggunakan rancangan pre-post test with
control group design. Rancangan ini berupaya untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan subyek secara sukarela. Penelitian diawali dengan pre test pada subyek penelitian. Intervensi dilakukan selama 20-35 menit dan kemudian dilakukan pengukuran pengetahuan dan sikap. Pengukuran dilakukan kembali 1 minggu setelah perlakuan. Waktu pengukuran berdasarkan teori David Kolb yang bahwa sesuatu yang dipelajari oleh sesorang akan cenderung menurun secara logaritma dari waktu ke waktu (Depkes RI, 2001). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh supir truk yang pada saat penelitian berada di Kabupaten Semarang. Sampel sejumlah 60 supir truk. Teknik pengambilan sampel menggunakan tehnik purposive sampling yaitu mengambil sampel dengan kriteria sebagai berikut : bertempat tinggal di Propinsi Jawa Tengah, lama bekerja sebagai supir > 1 th, saat bekerja meninggalkan rumah lebih dari 1 hari, umur > 20 tahun, memiliki telepon seluler dan bersedia untuk dihubungi, bisa membaca dan menulis, pernah memperoleh informasi tentang IMS dan HIV/AIDS, bersedia menjadi responden. Instrumen yang digunakan Kuesioner yang digunakan untuk mengetahui sikap responden terhadap pencegahan penularan penyakit IMS dan HIV/AIDS terdiri dari 15 item pertanyaan terdiri dari 5 pilihan jawaban yaitu “ sangat setuju”, “setuju”, “ragu-ragu”, “tidak setuju”, dan “sangat tidak setuju” Hasil uji validitas menunjukkan bahwa dari 15 butir r hitung berkisar antara 0,4510,879 sehingga r hitung > 0,444, yang artinya 15 butir soal dinyatakan valid. Hasil uji reliabilitas menunjukkan bahwa dari 15 butir soal yang valid, r hitung berkisar antara 0,734 – 0,751 (r hitung >0,60). Sehingga disimpulkan bahwa 15 butir soal dinyatakan reliabel. Analisis perbedaan pengetahuan sikap antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol menggunakan unpaired t test. Analisis perbedaan pengetahuan antara kelompok intervensi 1, intervensi 2 dan kelompok kontrol menggunakan uji one way ANOVA. Selanjutnya, untuk mengetahui kelompok manakah yang terdapat perbedaan yang bermakna dilakukan dilakukan analisis Post Hoc.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN Sikap supir truk pada Pre Test sebagian besar baik. Kelompok intervensi maupun kelompok kontrol setuju untuk berhubungan seksual hanya dengan istri di rumah (56%), namun banyak pula yang setuju untuk memiliki beberapa pacar/istri dan memanfaatkan waktu istirahat untuk berkencan dengan WPS. Dalam upaya pencegahan penularan IMS dan HIV/AIDS, hanya sebagian kecil (5%) yang setuju untuk selalu menggunakan kondom saat berhubungan seksual dengan WPS. Banyak supir truk setuju untuk mencegah penularan penyakit IMS dan HIV/AIDS dengan cara minum antibiotik (43%), padahal minum antibiotik bukanlah cara yang tepat untuk mencegah penularan IMS dan HIV/AIDS. Supir truk biasanya meninggalkan rumah dalam waktu yang cukup lama. Untuk memenuhi kebutuhan seksual, biasanya supir truk memiliki pacar atau kencan dengan WPS. Sebagian besar responden telah bekerja sebagai supir truk lebih dari 5 tahun sehingga pengaruh teman dan lingkungan kerja sulit untuk diabaikan. Hal ini didukung oleh pendapat Azwar (2012) bahwa orang lain di sekitar kita merupakan salah satu diantara komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap kita. Hasil pengukuran sikap pada pre test menunjukkan bahwa sebagian besar (80%) supir truk kelompok intervensi 1 memiliki sikap negatif dalam pencegahan penularan IMS dan HIV/AIDS, demikian pula pada kelompok intervensi 2 dan kelompok kontrol yaitu sebesar 70%. Rerata skor sikap pada saat pre test berkisar antara 45,25 46,90. Hasil uji beda ketiga kelompok menggunakan uji one way ANOVA menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara ketiga kelompok tersebut (p=0,995). Hal ini membuktikan bahwa ketiga kelompok tersebut mempunyai kondisi awal yang sama. Menurut Murti (2007), penelitian quasy experimental dengan menggunakan sampel yang diambil secara purposive harus memiliki kesetaraan karakteristik. Sikap pada saat post test 1 pada kelompok intervensi 1 hanya sebagian kecil (25%) yang menjawab setuju untuk memanfaatkan waktu istirahat untuk berkencan dengan WPS, demikian pula dengan kelompok intervensi 2 (20%), sedangkan pada kelompok kontrol masih ada 40 % Prosiding |111
supir truk yang menjawab setuju. Terjadi peningkatan jawaban setuju pada penggunaan kondom saat berhubungan seksual dengan WPS pada kelompok intervensi 1(60%), demikian pula pada kelompok intervensi 2 (70%). Namun pada kelompok kontrol hanya sebagian kecil (35%) yang setuju untuk menggunakan kondom pada saat berhubungan berhubungan seksual pada WPS. Hasil post test 1 menunjukkan bahwa segera setelah diberikan intervensi terjadi perubahan sikap pada supir truk, sehingga pada kelompok intervensi 1 sebagian besar (70%) bersikap positif, demikian pula pada kelompok intervensi 2, sebagian besar (70%) bersikap positif dalam pencegahan penularan IMS dan HIV/AIDS. Sedangkan pada kelompok kontrol, sebagian besar bersikap negatif. Rerata skor sikap tertinggi terdapat pada kelompok intervensi 2 (54,85). Hasil uji beda ketiga kelompok menggunakan uji one way ANOVA yang dilanjutkan analisis post hoc menunjukkan ada perbedaan signifikan rerata skor sikap antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol (p=0,000), namun tidak ada perbedaan sikap antara kelompok intervensi 1 dengan kelompok intervensi 2 (p=0,415) Hasil uji beda ketiga kelompok menggunakan uji one way ANOVA menunjukkan bahwa ada perbedaan skor sikap antar kelompok yang diberikan intervensi dengan kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian leaflet dan diskusi dapat mengubah sikap supir truk dari sikap negatif menjadi positif terhadap pencegahan penularan IMS dan HIV/AIDS. Pemberian leaflet baik yang disertai diskusi maupun tanpa diskusi membantu penyampaian informasi tentang IMS dan HIV/AIDS yang selanjutnya informasi tersebut memberikan landasan kognitif bagi terbentuknya sikap. Setelah diberikan leaflet serta diajak berdiskusi, supir truk memahami tentang bahaya penyakit IMS dan HIV/AIDS dan bagaimana pencegahannya. Keinginan untuk tetap sehat dan terus berkarya mendorong supir truk untuk bersikap positif terhadap upaya pencegahan IMS dan HIV/AIDS. Hal ini didukung oleh pendapat Azwar (2012) bahwa informasi baru yang diperoleh memberikan landasan kognitif bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut.
112 | Prosiding
Sikap pada saat post test 2 paling banyak (40%) setuju untuk memilih beristirahat di tempat yang jauh dari lokalisasi supaya tidak terpengaruh untuk berkencan dengan WPS, namun masih banyak pula yang setuju untuk memiliki pacar/istri. Terjadi penurunan supir truk yang setuju untuk menggunakan kondom baik pada kelompok intervensi 1 maupun kelompok intervensi 2 Hasil post test 2 menunjukkan terjadi penurunan sikap pada beberapa supir truk 1 minggu setelah perlakuan. Pada kelompok Intervensi 1 sebagian besar (60%) memiliki sikap positif, demikian pula pada kelompok intervensi 2 (75%). Sedangkan pada kelompok kontrol hanya sebagian kecil (25%) yang memiliki sikap positif dalam pencegahan penularan penyakit IMS dan HIV/AIDS. Rerata skor sikap pada post test 2 tertinggi pada kelompok intervensi 2 (53,6). Hasil uji beda ketiga kelompok menggunakan uji one way ANOVA menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan sikap antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol (p=0,000) , namun tidak ada perbedaan sikap antara kelompok intervensi 1 dan kelompok intervensi 2 (p=0,465). Perubahan sikap supir truk disebabkan karena dalam waktu 1 minggu telah terjadi interaksi supir truk dengan lingkungan dan teman sekerja. Kondisi pekerjaan yang berat dan jauh dari keluarga, pertemuan dengan WPS atau istri simpanan memungkinkan terjadinya perubahan sikap supir truk terhadap pencegahan IMS dan HIV/AIDS. Pemakaian kondom masih dirasakan sebagai suatu hal yang tidak mudah. Masih ada pendapat yang kurang mendukung dalam pemakaian kondom sehingga membuat supir truk berubah sikap. Pendapat teman yang dianggap penting dan tidak ingin dikecewakan mempengaruhi pembentukan sikap kita terhadap sesuatu (Azwar, 2012) Meskipun terjadi penurunan, sebagian besar supir truk pada kelompok intervensi tetap memiliki sikap yang positif terhadap pencegahan penularan IMS dan HIV/AIDS. Hal ini dikarenakan pada kelompok intervensi terjadi retensi sikap yang baik. Perbedaan Sikap Supir Truk Hasil Post test 1 antara kelompok intervensi 1, intervensi 2 dan kelompok kontrol dengan menggunakan unpaired t test menunjukkan ada perbedaan signifikan rerata
skor sikap hasil post test 1 antara kelompok Intervensi 1 dan kelompok kontrol (p=0,000), demikian pula rerata skor sikap antara kelompok Intervensi 2 dan kelompok kontrol (p=0,000). Namun, tidak ada perbedaan signifikan rerata skor sikap antara kelompok intervensi 1 dan kelompok intervensi 2 (p=0,423). Sedangkan hasil uji statistik menggunakan one way ANOVA, diperoleh nilai p=0,000 yang artinya setidaknya terdapat perbedaan skor sikap yang bermakna pada dua kelompok. Hasil analisis Post Hoc menunjukkan ada perbedaan signifikan rerata skor sikap hasil post test 1 antara kelompok Intervensi 1 dan kelompok kontrol (p=0,000), demikian pula rerata skor sikap antara kelompok Intervensi 2 dan kelompok kontrol (p=0,000). Namun, tidak ada perbedaan signifikan rerata skor sikap antara kelompok intervensi 1 dan kelompok intervensi 2 (p=0,415). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian leaflet tanpa dan disertai diskusi meningkatkan sikap supir truk dalam pencegahan penularan IMS dan HIV/AIDS. Supir truk setuju untuk setia kepada istrinya dan memekai kondom saat berhubungan seksual dengan WPS. Hanya sebagian kecil supi truk yang setuju untuk mencegah penularan penyakit dengan cara minum antibiotic. Keduanya terbukti tidak ada perbedaan yang signifikan. Sikap supir truk menggambarkan perasaan mendukung maupun tidak mendukung terhadap upaya pencegahan penularan IMS dan HIV/AIDS. Dengan adanya informasi tentang IMS dan HIV/AIDS, didukung oleh adanya pengalaman pribadi dan keinginan untuk hidup sehat menjadikan sikap supir truk yang sebelumnya bersikap negatif menjadi positif. Hal ini sesuai dengan pendapat Azwar bahwa sikap dapat dipengaruhi oleh pengalaman pribadi, media massa dan faktor emosional. Pemberian leaflet yang disertai diskusi kelompok tidak memberikan hasil yang berbeda secara signifikan dibandingkan pemberian leaflet tanpa diskusi. Meskipun metode diskusi memberikan kesempatan kepada para peserta untuk menguji, mengubah dan mengembangkan pandangan, nilai dan keputusan, namun metode ini tidak menjamin perubahan sikap seseorang. Hal ini didukung oleh pendapat Modjiono bahwa metode diskusi tidak menjamin penyelesaian, sekalipun
kelompok setuju atau membuat kesepakatan pada akhir pertemuan sebab kesepakatan yang dicapai belum tentu dilaksanakan. Meskipun tidak signifikan, skor sikap kelompok yang diberikan leaflet disertai diksusi lebih tinggi dibandingkan kelompok yang hanya diberikan leaflet. Pada beberapa pertanyaan mengenai pemakaian kondom, kelompok yang diberikan leaflet dan diskusi terlihat lebih banyak yang setuju. Dalam proses diskusi, supir truk selain memperoleh informasi melalui indera penglihatan juga melibatkan indera pendengaran. Hal ini memungkinkan lebih banyak informasi yang diperoleh sehingga menjadi dasar pembentukan sikap. Informasi tentang IMS dan HIV/AIDS bersifat sensitif karena membahas mengenai hubungan seksual di luar pernikahan, pemakaian kondom dan penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual yang bagi sebagian orang menjadi canggung dan malu. Namun, bagi sebagian supir truk hal ini merupakan pembicaraan yang menarik. Mereka dengan antusias menyampaikan pendapat dan saling mengomentari. Hal ini menjadikan informasi mudah dipahami dan selanjutnya tidak mudah dilupakan oleh para supir truk. Perbedaan Sikap Supir Truk Hasil Post test 2 antara kelompok intervensi 1, intervensi 2 dan kelompok kontrol dengan uji statistik unpaired t test menunjukkan ada perbedaan signifikan rerata skor sikap hasil post test 2 antara kelompok Intervensi 1 dan kelompok kontrol (p=0,001), demikian pula rerata skor sikap antara kelompok Intervensi 2 dan kelompok kontrol (p=0,000). Namun, tidak ada perbedaan signifikan rerata skor sikap antara kelompok intervensi 1 dan kelompok intervensi 2 (p=0,433). Sedangkan hasil uji statistik menggunakan one way ANOVA, diperoleh nilai p=0,000 yang artinya setidaknya terdapat perbedaan skor sikap yang bermakna pada dua kelompok. Hasil analisis Post Hoc menunjukkan ada perbedaan signifikan rerata skor sikap hasil post test 2 antara kelompok Intervensi 1 dan kelompok kontrol (p=0,000), demikian pula rerata skor sikap antara kelompok Intervensi 2 dan kelompok kontrol (p=0,000). Namun, tidak ada perbedaan signifikan rerata skor sikap antara kelompok intervensi 1 dan kelompok intervensi 2 (p=0,465) Prosiding |113
Hal ini menunjukkan bahwa pemberian leaflet dengan dan tanpa diskusi sama efektifnya dalam meningkatkan retensi sikap supir truk dalam pencegahan penularan IMS dan HIV/AIDS. Kedua kelompok mendapatkan informasi yang sama tentang IMS dan HIV/AIDS melalui leaflet. Leaflet menjadi semakin efektif jika setelah dibaca leaflet tersebut diletakkan di tempat yang mudah dijangkau oleh supir truk, seperti di dalam kendaraan, warung, rest area, pom bensin, dll. Tidak ada perbedaan signifikan rerata skor sikap antara kelompok intervensi 1 dan kelompok intervensi 2 (p=0,465). Diskusi yang dilakukan dalam penelitian ini berlangsung selama 15 menit untuk masing –masing kelompok. Hal ini menjadikan materi diskusi kurang luas, kesempatan untuk mengutarakan pendapat oleh masing-masing peserta menjadi terbatas. Hal ini menjadi salah satu kendala tersampaikannya informasi secara optimal. Meskipun hasil uji statistik menunjukkan bahwa sikap kelompok yang diberikan leaflet dan diskusi tidak berbeda secara signifikan dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberikan leaflet, namun skor sikap supir truk pada kelompok intervensi 2 lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok intervensi 1. Pada kelompok intervensi 2, setelah diberikan kesempatan untuk membaca isi leaflet, para supir truk diajak untuk berdiskusi dalam kelompok kecil. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh para supir truk untuk menanyakan hal-hal yang belum dipahami. Dalam diskusi terjadi proses komunikasi kelompok. Bungin (2008) memaparkan bahwa dalam komunikasi kelompok terdapat fungsi pendidikan dan persuasi. Dalam pembentukan sikap, proses persuasi sangat diperlukan untuk terbentuknya penilaian seseorang terhadap sesuatu. Pendapat teman sesama supir truk yang diselingi dengan canda tawa dan kadang kala saling mengejek membuat pesan yang dsampaikan mudah diingat, Hal ini memungkinkan retensi pengetahuan menjadi semakin baik dan diikuti pula dengan sikap supir truk yang positif. Sikap supir truk merupakan kesiapan bereaksi terhadap berbagai upaya pencegahan penularan penyakit IMS dan HIV/AIDS. Sikap yang positif diharapkan dapat mempermudah atau mendasari 114 | Prosiding
terbentuknya perilaku yang positif dalam upaya pencegahan penularan penyakit IMS dan HIV/AIDS di kalangan supir truk. Pemberian leaflet dengan dan tanpa diskusi merupakan metode yang terbukti dapat meningkatkan pengetahuan serta sikap supir truk dalam mendukung upaya tersebut. 4.
KESIMPULAN Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa (1) pemberian leaflet tanpa diskusi dan pemberian leaflet disertai diskusi, keduanya meningkatkan secara signifikan sikap supir truk dalam pencegahan penularan IMS dan HIV/AIDS segera setelah intervensi yaitu sebesar 8,45 dan 8,05, (2) pemberian leaflet tanpa diskusi dan pemberian leaflet disertai diskusi, keduanya meningkatkan secara signifikan sikap supir truk dalam pencegahan penularan IMS dan HIV/AIDS segera 1 minggu setelah intervensi yaitu sebesar 7,05 dan 6,8, (3) meskipun tidak ada perbedaan peningkatan sikap yang signifikan antara kelompok yang diberikan leaflet dengan kelompok yang diberikan leaflet disertai diskusi, namun rerata sikap kelompok yang diberikan leaflet disertai diskusi lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberikan leaflet, baik segera setelah intervensi (1,15) maupun 1 minggu setelah intervensi (1,40), (4) pada kelompok pemberian leaflet tanpa diskusi dan pemberian leaflet disertai diskusi, keduanya terjadi penurunan sikap secara signifikan pada 1 minggu setelah intervensi yaitu sebesar 1,4 dan 1,25. 5. REFERENSI 1) Azwar, S. Sikap Manusia; Teori dan Pengukurannya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2012 2) Bungin B. 2008. Sosiologi Komunikasi. Kencana Prenada Media Group. Jakarta 3) Green, L. 2000 Health Education Promotion Planning. Copyright by. Mayfield Publishing Company. Mountain View. 4) Gallant, J. 2010. 100 Tanya Jawab mengenai HIV dan AIDS. PT Indeks. Jakarta.
5) Hakim, M.Z. Hartini, R. Favourita, L.Sutrisna, N. Perilaku Beresiko Tinggi Tertular HIV/AIDS di Kalangan Supir Truk antar Kota Antar Propinsi. Jurnal Pekerja Sosial. Volume 12 Nomor 1. 6) Kementrian Kesehatan. 2011. Surveilens Terpadu Biologis dan Perilaku pada Kelompok Beresiko Tinggi di Indonesia. 7) Jakarta. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan RI. 8) Kementrian Kesehatan. 2014. Laporan Perkembangan HIV/AIDS Triwulan III th 2014. Jakarta. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan RI. 9) Komisi Penanggulangan AIDS. 2010. Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS Th 20102014. Jakarta. Komisi Penanggulangan AIDS. 10) Murti B. 2007. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi, Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 11) Notoatmodjo, S. 2010. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Rineka Cipta. Depok. 12) Notoatmodjo, S. 2011. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta. 2003 13) Nurtriyasih, T. 2009. Perilaku Pemakaian Kondom Pengemudi Truk dalam Upaya Pencegahan HIV/AIDS di Kabupaten Batang Tahun 2009. Tesis. Universitas Diponegoro Semarang.
14) Pemkab. Semarang, 2013, Profil Kabupaten Semarang. 15) Pranoto, H.H. Masruroh. Triwijayanti, O.K. 2014. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Menggunakan Metode Ceramah dan Diskusi Kelompok Terhadap Peningkatan Pengetahuan Remaja Putri tentang Kebersihan Alat Genetalia. Jurnal Keperawatan Maternitas Persatuan Perawat Nasional Indonesia. Volume 2 Nomor 2 Hal. 90-97 16) Pranoto, H.H. 2017. Pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap Pegetahuan Supir Truk tentang Penyakit IMS dan HIV/AIDS. Prosiding Seminar Nasional Kebidanan dan Call Paper Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Ngudi Waluyo. 16 Maret 2017, Kab. Semarang, Indonesia. Hal 176181. 17) Subuh, HM. 2012. Surveilens Terpadu Biologis dan Perilaku 2011. Pengendalian Penyakit Menular. Jakarta. 18) Taufik, 2007.M. Prinsip-prinsip Promosi Kesehatan. CV. Infomedika. Jakarta 19) Yulifah, R. 2009. Komunikasi dan Konseling dalam Kebidanan. Penerbit Salemba Medika. Jakarta. 2009.
Prosiding |115