Agribisnis dalam Perspektif Pendidikan Tinggi Dr. Nunung Kusnadi Pendahuluan Munculnya pendidikan agribisnis di Indonesia seringkali dikaitkan dengan maraknya pendidikan bisnis di berbagai universitas, swasta dan negeri, di dalam dan di luar negeri. Pendidikan bisnis masih banyak menimbulkan perdebatan, terkait dengan dasar keilmuan, metode pengajaran, minat yang berlebihan dari masyarakat (mahasiswa), relevansi dengan dunia kerja, dan lain-lain. Adanya kata “bisnis” dalam pendidikan agribisnis secara apriori dianggap sebagai upaya untuk meningkatkan minat mahasiswa terhadap pendidikan pertanian yang cenderung menurun. Penyebab turunnya minat masyarakat terhadap pendidikan pertanian disebabkan sektor pertanian sudah tidak menarik lagi karena berbagai alasan. Pertanian sering kali diartikan secara sempit sebagai kegiatan bercocok tanam yang pelakunya adalah petani dengan ciri kumuh, kotor, miskin, dan hidup di perdesaan. Sektor pertanian kerap kali dicitrakan sebagai sektor marginal yang serba kekurangan, serba ketinggalan dibandingkan dengan sektor nonpertanian yang dicitrakan sebagai sektor modern. Citra yang buruk dan ketidak-pastian karir di bidang pertanian menyebabkan minat mahasiswa terhadap program pendidikan pertanian cenderung menurun. Terkait dengan citra pertanian tersebut di atas, maka logis ada opini bahwa beberapa perguruan tinggi di dalam dan di luar negeri berusaha mendongkrak minat mahasiswa masuk pendidikan pertanian dengan menawarkan bidang pendidikan agribisnis. Mengapa pendidikan agribisnis dianggap dapat meningkatkan minat masyarakat terhadap pendidikan pertanian? Selama ini jawaban terhadap pertanyaan ini masih sangat subjektif dan emosional, yaitu bahwa setiap program pendidikan yang mengandung bisnis selalu mendapat peminat tinggi. Karena itu, setiap perguruan tinggi seolah-olah berlomba mencantumkan kata ’bisnis’ di program yang relatif dekat dengan bisnis, seperti ekonomi dan manajemen. Dalam konteks ini, agribisnis diartikan sebagai menambahkan kata bisnis pada pertanian (agri). Mencantumkan agribisnis dalam pendidikan pertanian memang efektif meningkatkan minat masyarakat.
R1_Refleksi AGB.indd 165
07/04/2010 19:04:27
166
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
Pengalaman di Insititut Pertanian Bogor (IPB), minat terhadap program pendidikan agribisnis selalu menempati urutan pertama, baik di level sarjana maupun di level pascasarjana, bahkan di level diploma. Tingginya minat masyarakat terhadap pendidikan agribisnis di Indonesia, mendorong setiap perguruan tinggi berlomba menawarkan program pendidikan agribisnis, yang menjadi persoalan yaitu kualitas pendidikan agribisnis sangat ditentukan oleh fasilitas, pengalaman, ketersediaan staf pengajar, dan ketersediaan perusahaan tempat praktek. Semangat mendirikan pendidikan agribisnis tanpa disertai dengan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai akan menurunkan mutu lulusan. Konsekuensinya adalah apresiasi masyarakat terhadap lulusan juga menurun. Minat yang tinggi terhadap pendidikan agribisnis di satu sisi merupakan penghargaan, di sisi lain merupakan tantangan. Pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah apakah trend minat terhadap pendidikan agribisnis merupakan trend sesaat ataukah memang tuntutan objektif masyarakat menghendaki adanya pendidikan agribisnis. Perlu juga dipertanyakan, jika memang demikian kemana arah pendidikan agribisnis dimasa mendatang? Apa alasan yang paling mendasar perlunya pendidikan agribisnis? Jawaban terhadap pertanyaan tersebut sangat penting dalam mempersiapkan pendidikan agribisnis yang bermutu. Secara pragmatis, pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang bermanfaat untuk menyejahterakan umat manusia. Paper ini mencoba memaparkan pemikiran logis tentang paradigma agribisns dalam perspektif pendidikan agribisnis dan arah pengembangannya di masa mendatang dengan memperhatikan perkembangan pemikiran dan pengalaman pendidikan agribisnis yang berkembang saat ini.
Perubahan di Sektor Pertanian Jika diperhatikan secara seksama, terdapat dua alasan mendasar mengapa agribisnis menjadi menarik perhatian masyarakat diseluruh belahan dunia, seperti di Amerika, Australia, Eropa, Afrika, dan kawasan Asia. Alasan pertama adalah adanya trend negatif sektor pertanian dalam konteks perkembangan teknologi, ketersediaan dan kualitas sumberdaya pertanian (lahan dan air), dampak terhadap kualitas lingkungan, dan rendahnya kesejahteraan petani. Fenomena ini terjadi pada negara-negara sedang berkembang seperti Afrika dan Asia, termasuk didalamnya Indonesia. Agribisnis juga muncul karena adanya tuntutan positif dari sisi konsumen, terutama terhadap sektor pangan (food sector). Sejalan dengan perkembangan teknologi, kesejahteraan masyarakat, tuntutan konsumen pangan terhadap produk pertanian
R1_Refleksi AGB.indd 166
07/04/2010 19:04:27
Dr. Nunung Kusnadi
167
mengalami perubahan yang nyata. Konsumen pangan bukan hanya menuntut jumlah, tetapi menuntut kualitas, keamanan, kesehatan, dan kenyamanan. Perubahan ini menuntut perubahan mendasar dalam praktek pertanian, dari kegiatan yang berorientasi produksi menjadi orientasi pasar untuk memenuhi kebutuhan atau kepuasan konsumen (utility). Perubahan positif ini banyak di inisiasi oleh atau dari negara-negara maju yang masyarakatnya relatif lebih sejahtera seperti Amerika, Eropa, dan Australia. Perkembangan pendidikan agribisnis seharusnya didasari oleh tuntutan perubahan positif dan negatif tersebut di atas. Jika perubahan-perubahan yang terjadi tersebut merupakan konsekuensi logis dari perkembangan peradaban manusia, maka tuntutan terhadap pendidikan agribisnis bukan fenomena sesaat. Sektor pertanian, seperti juga sektor non-pertanian, telah dan akan terus mengalami perubahan dalam segala aspeknya. Pada awalnya, sampai dengan tahun 80-an, sektor pertanian merupakan sektor yang banyak menarik perhatian karena sampai dengan masa itu kita dihadapkan pada usaha untuk memenuhi kebutuhan pangan. Pendidikan dan penelitian di bidang pertanian difokuskan untuk menjawab tantangan bagaimana menghasilkan komoditas pertanian sebanyak dan se-efisien mungkin. Secara mendasar, sektor pertanian pada masa itu dihadapkan pada tantangan untuk menciptakan terobosan teknologi baru yang bisa meningkatkan kapasitas produksi. Hasil yang sering dianggap spektakuler sebagai terobosan teknologi bidang pertanian di masa kekurangan produksi adalah revolusi hijau (green revolution). Di bidang konsep pembangunan, terobosan juga terjadi dengan adanya paradigma baru tentang pentingnya peranan petani tradisional di perdesaan dalam pembangunan pertanian. Paradigma baru tersebut didengungkan oleh Schultz (1964) yang berpendapat bahwa pada dasarnya kesempatan untuk mengubah pertanian tradisional ke pertanian modern dan produktif terbuka lebar. Pertanian tradisional tidak ditempatkan sebagai sektor marginal yang akan menjadi beban pembangunan dan tidak menarik bagi para investor, tetapi merupakan sektor produktif dan menjadi bagian dari objek dan subjek pembangunan ekonomi bangsa. Dengan adanya revolusi hijau di bidang teknologi produksi, dan paradigma baru dalam membangun sektor pertanian tradisional, mendongkrak popularitas pendidikan pertanian di masa itu. Lulusan pendidikan pertanian sangat diperlukan, baik dalam penemuan teknologi baru maupun rekayasa sosial ekonomi untuk penerapan teknologi tersebut di masyarakat, khususnya masyarakat petani di perdesaan. Sambutan yang baik dari masyarakat dan
R1_Refleksi AGB.indd 167
07/04/2010 19:04:27
168
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
pemerintah semakin mendorong popularitas pendidikan pertanian di masyarakat. Di Indonesia, adanya program Bimbingan Massal (Bimas) dan Intensifikasi Massal (Inmas) pada tahun 60-an, demikian seterusnya dengan Insus dan Suprainsus, walaupun terbatas pada komoditas padi, akan tetapi ikut membuka peluang karir bagi lulusan pendidikan pertanian. Pendidikan pertanian tidak hanya menghasilkan lulusan sarjana dan pascasarjana bergelar akademik, tetapi juga marak dibuka pendidikan pertanian yang menghasilkan lulusan non-gelar. Profesi Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) pada masa itu merupakan salah satu profesi yang banyak menarik minat masyarakat. Demikian halnya pendidikan di tingkat sekolah menengah pertama dan lanjutan, berkembang sekolah-sekolah kejuruan pertanian. Bidang ini pun menarik minat masyarakat karena janji karir bagi lulusan ini pun masih terbuka lebar. Tuntutan perubahan di sektor pertanian terus bergulir dengan faktor pendorong seperti pertumbuhan penduduk yang tidak mungkin berhenti, berkurangnya lahan pertanian produktif, berkurangnya sumbersumber pengairan, migrasi tenaga kerja dari desa ke kota, kemiskinan, dan menurunnya kualitas sumberdaya sektor pertanian (Maguire 1999). Sektor pertanian sampai saat ini masih berperan penting dalam menghasilkan pangan dan serat, penghasil karbohidrat, lemak, dan protein. Bahan pangan ini hanya dapat dihasilkan oleh sektor pertanian. Usaha untuk mensubstitusi bahan pangan dengan pangan sintetik sampai saat ini belum bisa meyakinkan konsumen. Malah sebaliknya, kesadaran masyarakat akan kesehatan dan tuntutan kualitas hidup menghendaki pangan yang aman. Slogan ”back to nature” pada pola konsumsi pada dasarnya adalah ”back to agriculture”. Kesadaran akan pentingnya pertanian sebagai satu-satunya sektor penghasil pangan dan serat rupanya tidak diikuti oleh manajemen yang baik. Sektor pertanian menjadi sangat akrab dengan kerusakan lingkungan, kebakaran hutan, banjir di waktu musim hujan, kekeringan di musim kemarau, dan pendangkalan sumber-sumber air. Sektor pertanian juga menjadi akrab kembali dengan persoalan kemiskinan, terutama di daerah pedesaan dan pesisir pantai. Perkembangan industri di sektor non-pertanian yang sangat pesat menyebabkan terjadinya konversi lahan pertanian produktif ke lahan untuk kepentingan industri non-pertanian. Konversi lahan ini berlangsung terus dengan kecepatan yang semakin menghawatirkan. Konversi lahan ini terjadi juga karena semakin menyempitnya luas penguasaan lahan rumah
R1_Refleksi AGB.indd 168
07/04/2010 19:04:27
Dr. Nunung Kusnadi
169
tangga petani di perdesaan. Luas lahan usahatani yang semakin menyempit menyebabkan kegiatan usahatani menjadi tidak efisien, tidak akses pada pasar, permodalan, teknologi, dan informasi. Migrasi tenaga kerja dari desa ke kota merupakan indikasi gagalnya sektor pertanian di perdesaan dalam menyediakan lapangan kerja. Luas lahan usahatani keluarga yang semakin menyempit dan dengan segala konsekuensinya, sangat sulit diharapkan dapat menyerap tenaga kerja di perdesaan. Di sisi lain, adanya lapangan kerja sektor non-pertanian yang jauh lebih modern, produktif, dan terkonsentrasi di perkotaan menjadi faktor penarik migrasi tenaga kerja dari desa ke kota. Adanya perubahan-perubahan tersebut di atas rupanya menyebabkan pendidikan pertanian menjadi kurang menarik. Perubahan di atas menyebabkan citra sektor pertanian kembali menjadi sektor yang digambarkan serba kekurangan dan serba ketinggalan. Sektor pertanian identik dengan sektor perdesaan yang jauh dari keramaian dan jangkauan fasilitas modern. Investasi sumberdaya manusia di sektor pertanian menjadi kurang menarik. Sejalan dengan citra sektor pertanian yang kurang menarik seperti tersebut di atas, di sisi lain terjadi perubahan yang signifikan terkait dengan sektor pertanian ini. Tuntutan perubahan bukan datang dari sisi produksi tetapi dari sisi konsumsi. Perubahan terjadi dari pertanian penghasil komoditas ke penghasil produk jadi yang terbakukan, dari orientasi produksi ke orientasi pasar dan mutu. Secara global saat ini sektor pertanian memang sedang mengalami perubahan struktural secara substansial. Perubahan dalam karakteristik produk, hubungan produksi dan konsumsi, teknologi, skala operasi, lokasi geografik, lingkungan ekonomi dan politik. Perubahan yang terjadi tampaknya dari waktu ke waktu terjadi dengan kecepatan yang semakin meningkat (Gow 2001). Dalam sistem produksi terjadi perubahan pada produksi yang dihasilkan oleh petani kecil secara individual dan di jual di pasar spot yang menarik banyak pelaku pasar (thick spot market) ke sistem kontrak antara produsen dan distributor mulai dari grosir sampai pengecer, berbasis pada rantai nilai yang dijalankan dalam suatu sistem aliansi yang ketat dan terorganisir dengan baik. Perubahan yang signifikan ini sering disebut sebagai industrialisasi pertanian atau secara khusus disebut rantai penawaran (supply chain). Perubahan struktural tersebut di atas terjadi karena adanya tuntutan konsumen yang semakin kritis. Sejalan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, konsumen semakin menuntut komoditas pertanian menjadi
R1_Refleksi AGB.indd 169
07/04/2010 19:04:27
170
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
produk-produk bermutu tinggi, aman, dan nyaman untuk dikonsumsi. Konsekuensi tuntutan konsumen ini menghendaki hubungan yang dekat antara produsen dan konsumen, dari usahatani sampai ke meja makan. Kontrol konsumen terhadap produk pertanian tidak hanya terhenti pada produk yang terhidang di meja makan, tetapi lebih jauh lagi ke proses produksi dan sistem pengadaan input. Makanan produk pertanian yang terhidang di meja makan yang berkualitas dan aman hanya mungkin dilakukan dengan proses produksi yang terkontrol dengan baik. Proses proksi pertanian memerlukan seperangkat input, seperti pupuk, bibit, benih, obat-obatan, dan lain-lain. Produk yang berkualitas dan aman juga ditentukan oleh kualitas input. Tuntutan ini menghendaki kedekatan antara konsumen dengan proses produksi. Industrialisasi pertanian tersebut di atas mengubah cara pandang pertanian dari hanya kegiatan bercocok tanam dan memelihara ternak dan ikan di tingkat usahatani (on-farm), menjadi kegiatan yang kompleks terkait dengan kegiatan di luar usahatani (off-farm). Perubahan inilah yang disebut sebagai suatu paradigma baru di bidang pertanian, perubahan dalam cara pandang ke sektor pertanian (Saragih 1998; Pambudy 2006). Menurut paradigma ini, sektor pertanian tidak hanya dipandang sebagai kegiatan produksi primer di tingkat usahatani tetapi merupakan kegiatan yang lebih luas cakupannya mulai dari sistem pengadaan dan distribusi input, sistem produksi primer, sistem pengolahan hasil pertanian, sistem pemasaran, dan sistem kelembagaan layanan pendukung. Keseluruhan aktivitas yang terkait dengan sistem tersebut dinamakan agribisnis (Downey dan Erickson 1998; Downey dan Trocke 1981 ; Davis dan Goldberg 1957). Agribisnis sebagai paradigma baru sektor pertanian saat ini sudah mulai dikenal baik di Indonesia. Di pemerintah pusat, paradigma agribisnis pernah dimunculkan sebagai suatu grand strategy pembangunan pertanian di Departemen Pertanian Republik Indonesia. Di tingkat pemerintahan daerah, provinsi dan kabupaten, paradigma agribisnis akhir-akhir ini mulai masuk dalam strategi pembangunan daerah. Pendekatan pembangunan pertanian dengan agribisnis dianggap pendekatan yang tepat dan strategik. Pembangunan pertanian dengan konsep sistem agribisnis mempunyai dimensi yang luas dan dapat menimbulkan efek pengganda (multiplier effect) yang besar bagi perekonomian daerah. Agribisnis di perdesaan mempunyai fungsi mengubah pertanian tradisional ke pertanian modern, dari pertanian subsistem ke pertanian komersial, dari orientasi jumlah ke orientasi kualitas, dari kegiatan bisnis
R1_Refleksi AGB.indd 170
07/04/2010 19:04:27
Dr. Nunung Kusnadi
171
ekslusif pada sistem yang terbatas ke kegiatan bisnis inklusif terbuka terhadap variabel-variabel bisnis pada umumnya. Proses transformasi tersebut memerlukan sejumlah perubahan yang komprehensif di berbagai bidang, terutama ditujukan kepada usaha berskala kecil dan menengah di perdesaan. Dimensi perubahan yang perlu dilakukan meliputi modernisasi sistem produksi, sistem pendukung ekonomi perdesaan, penataan iklim politik petani, penataan dan pengembangan organisasi produksi dan sistem kolaborasi, sistem managemen dan kepemimpinan, kompetensi sumberdaya manusia, dan faktor pendukung lainnya. Proses transformasi tersebut, dalam prakteknya memerlukan strategi pengembangan agribisnis. Di perdesaan, agribisnis pada hakekatnya sudah ada dengan berbagai permasalahan yang dihadapi, sehingga kinerjanya belum maksimal. Proses transformasi di perdesaan lebih menunjukkan perubahan aspek sosial ekonomi budaya sebagai pengaruh masyarakat perkotaan yang berimplikasi pada meningkatnya tuntutan persyaratan-persyaratan hidup yang juga mendorong perubahan struktural agribisnis di perdesaan. Agribisnis di perdesaan selama ini berkembang secara natural dan berkompetisi dengan sektor-sektor lain yang seringkali tidak seimbang. Karena itu, proses transformasi agribisnis harus berangkat dari potensi, permasalahan dan prospek pengembangan agribisnis menurut spesifik masing-masing. Pengembangan agribisnis diarahkan pada reposisi dan revitalisasi perannya dalam perekonomian perdesaan. Target pengembangan agribisnis ini bukan hanya terhenti sebagai agenda pembangunan, tetapi menjadi proses yang berkelanjutan untuk menghasilkan sektor agribisnis yang berdaya saing, sumberdaya manusia berkualitas, dan menyentuh peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pendidikan Agribisnis Saat Ini dan yang Akan Datang Adanya perubahan dari pertanian dalam arti sempit menjadi agribisnis sebagai suatu sistem menghendaki adanya dukungan sumberdaya manusia yang berkualitas. Pendidikan agribisnis mutlak diperlukan untuk mengimbangi perubahan yang terjadi secara global yang menuntut penguasaan teknologi produksi, distribusi, dan informasi. Paradigma agribisnis mengubah sektor pertanian dari yang relatif terisolir dari dunia bisnis menjadi sangat terbuka dengan dinamika bisnis seperti umumnya. Konsekuensinya adalah bahwa agribisnis bukan lagi didominasi oleh ciri produksi sektor pertanian primer (usahatani) tetapi lebih dicirikan oleh dunia bisnis pada umumnya. Para pelaku di bidang ini adalah orang-orang yang mempunyai kemampuan
R1_Refleksi AGB.indd 171
07/04/2010 19:04:27
172
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
berbisnis, kemampuan manajerial, kepemimpinan, dan mempunyai jiwa kewirausahaan (entrepreneurship). Tuntutan menghasilkan lulusan yang mempunyai kemampuan seperti di atas, menghendaki sistem pendidikan yang mampu mengajarkan peserta didiknya dalam bidang bisnis dan kewirausahaan. Dua bidang tersebut dari segi keilmuan relatif masih muda dan belum mapan. Untuk dapat menjadi bidang keilmuan yang khas, diperlukan proses yang panjang dan perlu pemikiran, pengalaman, dan penelitian yang memadai. Sebagai ilustrasi, di bagian ini akan dipaparkan secara singkat pengalaman penyelenggaraan pendidikan agribisnis di IPB. Tentu pengalaman yang ada bukan merupakan panduan yang baku. Pengalaman pendidikan agribisnis di IPB terjadi sebagai konsekuensi dari perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan IPB. Pemikiran tentang pendidikan di masa yang akan datang perlu didasari pada antisipasi perubahan agribisnis. Agar pendidikan agribisnis tetap relevan dengan kondisi rill di masyarakat, diperlukan sistem pendidikan agribisnis yang antisipatif. Hal ini memerlukan pemikiran yang mendalam dari semua pihak yang berkepentingan dengan pengembangan agribisnis.
1. Arah Perkembangan Riset Agribisnis Arah pendidikan agribisnis tidak bisa dipisahkan dari arah perkembangan riset agribisnis-agribisnis sebagai cerminan perkembangan agribisnis sebagai sains (sciences). Riset agribisnis yang selama ini dilakukan masih berorientasi pada aspek-aspek teknis pengelolaan perusahaan yang lebih banyak menggunakan ilmu manajemen terapan. Dalam perkembangannya, penelitian agribisnis dapat dikembangkan sebagai sains yang utuh melalui dua pendekatan riset, yaitu pendekatan Ekonomi Agribisnis (Agribusiness Economics) dan Manajemen Agribisnis (Agribusiness Management). Riset ekonomi agribisnis menelaah tentang koordinasi antar lembaga, sedangkan riset manajemen agribisnis menelaah koordinasi intra lembaga (Cook and Chaddad 2000). Agribisnis dengan demikian merupakan suatu transactional ilmu ekonomi dan manajemen. Namun demikian, pengembangan agribisnis sebagai suatu disiplin ilmu tetap berangkat dari objek, dari lapangan ke laboratorium, dari industri ke kampus. Pada tahapan yang lebih maju, disiplin ilmu agribisnis bisa berdiri di depan sebagai ilmu dan teknologi yang justru memberi arahan pengembangan agribisnis secara praktis. Pendekatan tersebut keduanya tetap dapat memberi manfaat yang maksimal dalam memenuhi kebutuhan
R1_Refleksi AGB.indd 172
07/04/2010 19:04:27
Dr. Nunung Kusnadi
173
ilmu dan teknologi di masyarakat. Pendidikan dan penelitian merupakan dua hal yang saling melengkapi dalam pengembangan sumberdaya manusia melalui perguruan tinggi. Penelitian berfungsi untuk memahami perubahan, memahami fenomena sumberdaya, kelembagaan, sosial, ekonomi, dan budaya. Pendidikan berfungsi memberi arahan dan mempersiapkan individu untuk mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi. Dari dua arahan riset di atas, dalam jangka panjang arah pendidikan agribisnis perlu mengakomodasikan semua riset dan pendidikan yang berbasis pada ekonomi agribisnis (pertanian) dan manajemen agribisnis. Hasil departemenisasi di IPB antara disiplin ilmu ekonomi (pertanian) dikelompokkan terpisah dari agribisnis.
2. Pendidikan Agribisnis di IPB Lahirnya Institut Pertanian Bogor (IPB) 1 September 1963 menjadi ciri yang baik sebagai tonggak perkembangan pendidikan pertanian di Indonesia. IPB berasal dari salah satu fakultas di Unitversitas Indonesia (UI). Pada saat berdiri, di IPB hanya ada dua fakultas, yaitu Fakultas Pertanian dan Fakultas Kedokteran Hewan. Fakultas pertanian di dalamnya mencakup seluruh komoditi tanaman, ternak, dan ikan. Namun secara umum dapat dipilah menjadi dua bidang utama, yaitu bidang keteknikan dan bidang sosial ekonomi. Bidang sosial ekonomi ada dibawah Fakultas Pertanian dengan nama Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian (SOSEK). Bidang keteknikan berkembang menjadi fakultas sendiri seperti (1) Fakultas Perikanan, (2) Fakultas Peternakan, (3) Fakultas Mekanisasi Pertanian, (4) Fakultas Kehutanan. Sebagai departemen, bidang sosial ekonomi pertanian lama tidak mengalami perubahan berarti sampai dengan 2004 masih berada di bawah Fakultas Pertanian. Secara akademik, ilmu-ilmu sosial ekonomi pertanian di dalam hal ini sangat kental dengan ciri Fakultas Pertanian dalam arti sempit, yaitu tanaman. Karena itu maka di luar Fakultas Pertanian muncul SOSEKSOSEK lain, seperti SOSEK perikanan, SOSEK peternakan, dan SOSEK kehutanan. Munculnya SOSEK di luar Fakultas Pertanian mungkin karena desakan kebutuhan pengembangan ilmu SOSEK di bidang atau komoditas non-tanaman. Walaupun dibawah Fakultas Pertanian, SOSEK pertanian dalam kegiatan penelitiannya menempatkan diri sebagai bidang sosial ekonomi pertanian dalam arti luas. Di dalamnya dilakukan kajian-kajian yang menyangkut
R1_Refleksi AGB.indd 173
07/04/2010 19:04:27
174
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
tanaman, ternak, ikan, kehutanan, dan kegiatan sosial ekonomi lainnya. Namun dari ramuan kurikulum memang ciri Fakultas Pertanian masih tetap dominan. Di dalam aspek teknis budidaya, misalnya, yang diajarkan di SOSEK pertanian saat itu hanya terbatas pada budidaya tanaman (padi, palawija, hortikultura, dan tanaman perkebunan utama). Di dalam tubuh SOSEK pertanian ini sebenarnya terjadi perkembangan yang menarik. Pada awalnya, SOSEK pertanian tersebut dibedakan dalam dua bidang, yaitu bidang SOS yang dikenal dengan penyuluhan pertanian dan bidang EK yang dikenal dengan Jurusan Perusahaan Pertanian. Nama agribisnis mulai melekat dalam tanda kurung yang ditulis dengan perusahaan pertanian (agribisnis). Nama jurusan pada saat itu merupakan pembagian bidang studi di bawah Departemen SOSEK. Perlu diketahui bahwa nama jurusan dan departemen di IPB, dan mungkin juga di seluruh Indonesia, selalu berubah sesuai dengan kebijakan di ”atas”. Di IPB sendiri sudah lebih dari satu kali berubah antara nama departemen dan jurusan. Pada saat nama departemen berubah menjadi jurusan, penamaan Jurusan Penyuluhan dan Jurusan Perusahaan Pertanian (Agribisnis) berubah menjadi Program Studi (PS). Saat ini, nama jurusan sudah berubah kembali menjadi Departemen. Perkembangan selanjutnya, di dalam Jurusan SOSEK muncul programprogram baru yaitu PS Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya (EPS), di samping PS Agribisnis (AGB), dan Penyuluhan. PS Penyuluhan mengganti nama menjadi PS Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian (PKP). Hal menarik dari munculnya PS EPS adalah bahwa PS Agribisnis harus mereposisi dan meramu ulang kurikulum yang selama ini diajarkan. EPS memposisikan diri sebagai PS dengan bobot lebih besar pada teori ekonomi murni. PS AGB dituntut untuk memposisikan diri sebagai PS dengan bobot lebih besar pada bisnis dan manajemen. PS AGB perlu meramu ulang kurikulumnya karena ada sejumlah matakuliah yang diajarkan di PS AGB harus rela dipindah menjadi ramuan kurikulum PS EPS. Tanpa mengkaji ulang ramuan kurikulum tersebut, antara PS AGB dan PS EPS menjadi tidak berbeda nyata. Dalam prosesnya, untuk menghasilkan kurikulum yang berbeda antara PS AGB dan PS EPS memang tidak mudah. Hal ini menunjukkan bahwa spesialisasi di bidang ilmu-ilmu sosial ekonomi memang tidak mudah. Pada perjalanan waktu selanjutnya, tiga program ini (AGB, EPS, dan PKP), pada akhirnya mengalami perkembangan menjadi departemen, sejalan dengan adanya departemenisasi di IPB. PS Agribisnis berubah menjadi Departemen Agribisnis, PS EPS berubah menjadi Departemen Ekonomi dan Sumberdaya Lingkungan (ESL) dan PS PKP berubah menjadi Departemen
R1_Refleksi AGB.indd 174
07/04/2010 19:04:27
Dr. Nunung Kusnadi
175
Komunikasi dan Pembangunan Masyarakat (KPM). SOSEK pada perjalanan sejarahnya berupaya untuk menjadi fakultas tersendiri. Alasan pembentukan fakultas karena dilihat dari jumlah staf dan jumlah mahasiswa, serta bidang ilmu yang dikaji, merasa sudah setara dengan fakultas. Namun dalam prosesnya tidak lancar karena banyak yang mempertanyakan tentang konsorsium keilmuan yang menggabung antara sosial dan ekonomi. Namun demikian, pada perjalanannya terbentuk juga Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) pada tahun 2001. Walaupun terbentuk FEM, namun di saat yang sama SOSEK Faperta masih berjalan. Di dalam FEM pada mulanya terdapat dua departemen, yaitu departemen Ilmu Ekonomi (IE) dan Departemen Manajemen (MAN). Pada proses departemenisasi IPB seluruh fakultas perlu mereposisi dengan membuat kelompok-kelompok departemen yang sejenis. Hasilnya adalah bergabungnya empat departemen, yaitu Agribisnis, ESL, IE, dan MAN menjadi Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM). Kesamaan nama ini sering diterjemahkan sebagai FEM lama ditambah AGB dan ESL. Dari perjalanan sejarah singkat IPB, khsususnya SOSEK Faperta, menunjukkan bahwa perubahan di bidang pendidikan sosial ekomomi pertanian relatif lebih lambat dibandingkan dengan perubahan pendidikan di bidang keteknikan. Barangkali hal ini disebabkan karena di bidang keteknikan, perkembangan keilmuannya lebih lugas, tegas, dan distinct. Dengan demikian, perubahan ke arah spesialisasi menjadi lebih mudah. Sebaliknya, bidang sosial ekonomi pertanian, perubahan ke arah bidang ilmu yang lebih terspesialisasi sulit dilakukan karena pada prakteknya persoalan sosial-ekonomi seringkali saling terkait. Dari sejarahnya, pendidikan agribisnis di IPB bukan merupakan program baru. Agribisnis di IPB sama tuanya dengan Fakultas Pertanian, namun dengan nama Perusahaan Pertanian.Walaupun telah lama berada di IPB, program pendidikan agribisnis tersebut masih sering dipertanyakan. Kehadiran program pendidikan agribisnis di IPB tidak lepas dari perdebatan, terutama yang memegang prinsip pada akar keilmuan. Kritik ditujukan juga terhadap bidang kajian yang terlalu luas. Disiplin ilmu yang relevan dengan agribisnis mencakup ilmu pertanian dan pangan, ilmu ekonomi, dan perilaku manusia. Batas kajian agribisnis sangat terkait erat dengan kajian bisnis secara umum. Dilihat dari rantai komoditas pada sistem agribisnis, semakin jauh perubahan bentuk dan komposisi produk dari ciri dan komposisi produk primer pertanian, bidang kajian semakin dekat ke kajian bisnis secara umum.
R1_Refleksi AGB.indd 175
07/04/2010 19:04:27
176
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
Sebaliknya, produk akhir yang masih mendekati produk pertanian primer semakin mendekati agribisnis. Terlepas dari adanya perdebatan di atas, agribisnis sebagai disiplin ilmu pada saat ini menempatkan diri sebagai bidang ilmu yang multidisiplin dan transdisiplin (Krisnamurti 2006, Walcom and Davidson 1998). Ini berarti dari sisi keilmuan agribisnis sedang berproses menjadi ilmu tersendiri. Seperti halnya ilmu-ilmu lain, proses kristalisasi agribisnis menjadi ilmu yang berbeda dari ilmu lain masih perlu proses panjang dan penuh tantangan untuk meyakinkan publik bahwa disiplin ilmu agribisnis diperlukan. Dilihat dari minat masyarakat terhadap program pendidikan agribisnis, menurut pengalaman di IPB mengindikasikan bahwa secara empirik memang bidang agribisnis mempunyai prospek yang baik. Masyarakat tertarik belajar di bidang agribisnis tentunya karena melihat kenyataan dan prospek karir di bidang agribisnis selama ini. Lulusan agribisnis tergolong mudah mendapat kesempatan kerja karena lapangan kerja bidang agribisnis yang cukup tersedia dan juga kualitas lulusan yang sesuai dengan kebutuhan. Di tingkat nasional (Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi-Dikti) melakukan pengelompokkan ulang program-program studi jenjang S1 yang ada di perguruan tinggi melalui Surat Keputusan (SK) No. 163/DIKTI/ Kep/2007. Hal yang menarik dari SK tersebut adalah bahwa di Fakultas Pertanian hanya ada dua program studi yaitu Program Studi Agroteknologi dan Program Studi Agribisnis. Program Studi Agroteknologi mewadahi program-program studi keteknisan pertanian seperti Agronomi, Hortikultura, Pemuliaan Tanaman, Arsitektur Lanskap, Budidaya Pertanian, Ilmu Tanah, Hama dan Penyakit Tanaman. Program Studi Agribisnis mencakup program sosial ekonomi pertanian seperti Sosek Pertanian, Agribisnis, Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Keluarnya SK DIKTI secara khusus memperkuat program pendidikan agribisnis di jenjang S1. Namun demikian program agribisnis yang didefinisikan oleh Dikti lebih sempit dibandingkan dengan program pendidikan agribisnis di IPB. Dikti menempatkan agribisnis di Fakultas Pertanian, yang berarti komoditas yang menjadi lingkup agribisnis hanya pertanian tanaman. Di IPB, agribisnis ada di bawah FEM. Kajian agribisnis di IPB meliputi seluruh jenis produk pertanian, termasuk peternakan, perikanan, dan kehutanan. Di tengah perubahan yang terjadi di tubuh IPB, pendidikan agribisnis terus berjalan dalam beberapa strata pendidikan, dimulai dari pendidikan diploma, pendidikan sarjana (S1), dan pendidikan pascasarjana Magister
R1_Refleksi AGB.indd 176
07/04/2010 19:04:28
Dr. Nunung Kusnadi
177
Manajemen Agribisnis (MMA). Di samping itu, di tingkat sarjana juga terdapat program ekstensi, yaitu program yang melayani pendidikan bagi yang sudah bekerja, dilakukan di malam hari. Sampai saat ini, trend peminat masuk ke program pendidikan agribisnis di semua strata cukup tinggi, bahkan selalu paling tinggi. Pada proses pemilihan departemen oleh mahasiswa IPB tingkat persiapan bersama (TPB), Departemen Agribisnis menempati urutan pertama sebagai departemen yang diminati mahasiswa. Demikian juga pengalaman di Diploma III Manajemen Agribinis (MAB), minat terhadap program ini selalu menempati urutan pertama. Tantangan terbesar dari penyelenggaraan pendidikan agribisnis di IPB adalah dalam mengembangkan agribisnis sebagai bidang keilmuan. Pada awalnya, bidang bisnis dalam ramuan kurikulum PS Agribisnis masih relatif kecil. Bobot terbesar dan yang menjadi keunggulan dalam PS Agribisnis pada saat itu adalah ekonomi pertanian yang diperkuat dengan bidang teknis pertanian. Ketika muncul PS EPS sebagai program yang berciri ekonomi pertanian, bobot bisnis menjadi ciri utama PS AGB. Tuntutan ciri bisnis semakin besar pada saat PS AGB berubah menjadi Departemen Agribisnis. Tuntutan pengembangan keilmuan khusus di bidang agribisnis semakin besar. Mempelajari perkembangan pendidikan agribisnis di negara maju seperti Australia dan Amerika, perkembangan pendidikan agribisnis sangat pesat karena didukung oleh kegiatan riset di bidang agribisnis yang sangat kuat (Heiman et al. 2002, Beierlein, Balor, and Starbird 1998). Penelitian bidang agribisnis sangat diperlukan untuk mengembangkan penerapan teori ekonomi, pemasaran, organisasi, perilaku manusia dalam kegiatan agribisnis. Kegiatan penelitian seperti ini diperlukan dukungan alokasi dana yang cukup. Saat ini, kegiatan penelitian di perguruan tinggi masih terkendala oleh dana, sehingga penelitian yang dilakukan tidak mengikuti atau ditujukan untuk mengembangkan bidang keilmuan tertentu. Perubahan yang terjadi tentu tidak hanya dalam ramuan kurikulum, tetapi juga menyangkut metode belajar mengajar. Ini berarti juga menuntut kualifikasi staf pengajar yang berlatar belakang bisnis pula. Sebagian besar staf pengajar di Agribisnis mempunyai latar belakang ekonomi pertanian. Dengan adanya departemenisasi di IPB, Departemen Agribisnis juga diperkuat oleh tenaga pengajar bidang teknis perikanan dan peternakan. Namun jumlah staf yang berlatar belakang bidang bisnis diakui masih kurang. Mengubah ramuan kurikulum mungkin relatif mudah dibandingkan
R1_Refleksi AGB.indd 177
07/04/2010 19:04:28
178
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
dengan harus mengubah kualifikasi pengajar. Mengubah kualifikasi staf pengajar memerlukan waktu yang lama dan dana yang cukup besar. Di Departemen Agribisnis, untuk mengatasi kekurangan tersebut, dilakukan upaya membekali staf pengajar dengan pengetahuan lapangan, terutama di bidang agribisnis. Kerjasama dengan industri agribisnis dalam hal ini sangat diperlukan. Dalam jangka panjang, kebutuhan staf pengajar bidang bisnis dipenuhi melalui studi lanjutan di bidang agribisnis (S2 dan S3), terutama studi lanjutan di luar negeri. Dalam jangka menengah, sejumlah staf telah diprogramkan untuk mengikuti training jangka pendek bidang agribisnis, di dalam dan di luar negeri. Dalam jangka pendek, kebutuhan tenaga pengajar yang berlatar belakang bisnis dipenuhi dengan mengundang dosen tamu dari kalangan praktisi bisnis. Dosen tamu sangat berguna dalam membuka wawasan mahasiswa dengan pengalaman-pengalaman praktis para praktisi bisnis. Strategi outsourcing staf pengajar dimaksudkan untuk mengisi bidang profesi seperti bisnis pada program pendidikan agribisnis. Ini akan sangat efisien jika diisi oleh tenaga ahli dari luar universitas, para praktisi bisnis atau pengajar yang berpengalaman di bidang bisnis. Staf pengajar internal (tetap) akan efisien jika dikonsentrasikan untuk menguasai dan mengembangkan bidang ilmu dan teknik-teknik pengajaran. Pengembangan bidang ilmu dan teknik pengajaran dapat dicapai dengan penelitian dan berbagai kegiatan ilmiah lainnya. Hal ini akan sulit diharapkan dapat dilakukan oleh tenaga dari luar universitas. Penguatan muatan bisnis juga diberikan dalam bentuk praktek lapangan pada penyelesaian tugas akhir. Praktek lapangan di perusahaan memang sangat diperlukan agar mahasiswa mengenal dunia kerja sedini mungkin. Kerjasama kelembagaan antara perguruan tinggi dengan industri sangat diperlukan. Pengalaman selama ini menunjukkan tidak mudah bagi perusahaan untuk dijadikan tempat praktek kerja. Alasan utamanya adalah bahwa praktek kerja di perusahaan selama ini lebih banyak menguntungkan mahasiswa dan perguruan tinggi. Bagi perusahaan manfaat menerima praktek mahasiswa masih belum banyak dirasakan. Ke depan, kegiatan praktek kerja tersebut perlu dirancang sedemikian rupa supaya semua pihak yang terlibat, termasuk perusahaan, memperoleh manfaat maksimal. Untuk keperluan pengembangan keilmuan, di Departemen Agribisnis dibentuk dua Bagian (dulu disebut Laboratorium), yaitu Bagian Bisnis dan Kewirausahaan, dan Bagian Kebijakan Agribisnis. Dua bagian tersebut bertugas untuk mengembangkan bidang keilmuan, mengembangkan metode
R1_Refleksi AGB.indd 178
07/04/2010 19:04:28
Dr. Nunung Kusnadi
179
pengajaran, menyediakan buku-buku ajar, melakukan penelitian sesuai dengan bidangnya, dan mempersiapkan pengembangan staf pengajar dalam pendidikan, penelitian dan pemberdayaan masyarakat. Dengan adanya dua bagian tersebut, diharapkan pendidikan agribisnis di IPB mampu merespons dan mengatisipasi perubahan di bidang agribisnis.
3. Arah Pendidikan Agribisnis Arah pendidikan agribisnis perlu dibedakan menurut pendekatan substansi kajian agribisnis dan penyelenggaraan pendidikan agribisnis. Kajian substansi ditekankan pada pendekatan vertikal dan horisontal. Pendekatan vertikal berupa arah kajian pada tingkat kedalaman agribisnis yang berimplikasi pada jenjang atau tingkatan akademik, mulai dari pendidikan sarjana sampai dengan pascasarjana. Pendekatan horizontal didekati dari penguasaan pengayaan aspek-aspek profesional dalam pengelolaan agribisnis dan meluasnya peluang lapangan kerja. Arah pendidikan agribisnis tingkat sarjana, selain diarahkan untuk menanamkan landasan pada jenjang pendidikan di level yang lebih tinggi (magister dan doktor), juga secara khusus mempersiapkan lulusan untuk memasuki lapangan kerja. Bagi lulusan pendidikan agribisnis lapangan kerja utama adalah sebagai manajer, wirausahawan dan pengambil keputusan/ kebijakan pengembangan agribisnis. Hal ini didasarkan pada perkembangan sains dan tuntutan perkembangan agribisnis di lapangan. Kompleksitas perkembangan agribisnis, terutama adanya proses industrialisasi pertanian, memerlukan antisipasi terhadap kompetensi lulusan pendidikan agribisnis di masa yang akan datang. Sebagai gambaran, Departemen Agribisnis FEM IPB telah merumuskan tiga kompetensi utama yang diyakini akan diperlukan di dalam pengembangan agribisnis di masa yang akan datang. Ketiga kompetensi tersebut adalah sebagai berikut: 1) Sebagai Manajer. Lulusan agribisnis diharapkan dapat menjadi manajer untuk mengelola usaha di bidang agribisnis tanaman, ternak, ikan, kehutanan, dan bidang penunjang lain yang relevan dengan bidang agribisnis. Kompetensi lulusan agribisnis ini adalah kemampuan bersaing untuk menduduki posisi manajer di perusahaan yang sedang berjalan. 2) Sebagai Wirausaha. Lulusan agribisnis diharapkan dapat menjadi inisiator kegiatan usaha agribisnis. Sebagai inisiator, lulusan agribisnis mempunyai kemampuan untuk menangkap peluang-peluang usaha di bidang agribisnis, dan mempunyai keberanian mengambil risiko dalam
R1_Refleksi AGB.indd 179
07/04/2010 19:04:28
180
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
membuka dan menjalankan bisnis baru. 3) Sebagai Aparat Pembangunan. Lulusan agribisnis diharapkan dapat mengisi kekosongan tenaga perencana pembangunan di pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sebagai perencana pembangunan, lulusan agribisnis diharapkan mampu melihat potensi wilayah, tataruang, dan kelembagaan di masyarakat untuk membangun agribisnis sebagai bagian dari pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Di masa yang akan datang, arah pengembangan agribisnis akan menuntut tiga kompetensi lulusan tersebut di atas. Alasan rasional terhadap kebutuhan kompetensi lulusan tersebut adalah agribisnis bukan merupakan usaha baru, agribisnis perlu tumbuh dan berkembang, dan agribisnis perlu menjadi agenda pembangunan pemerintah pusat dan daerah. Sebagai sektor yang telah berkembang, agribisnis memerlukan tenaga-tenaga yang bisa menempati posisi manajer pada bisnis yang sudah jalan. Agribisnis juga perlu membuka bisnis-bisnis baru yang digerakkan oleh para wirausahawan baru. Baik bisnis yang sudah jalan maupun bisnis yang akan ditumbuhkan, keduanya memerlukan kolaborasi yang baik dengan pemerintah pusat dan daerah. Agribisnis perlu diwadahi dalam satu perencanaan pembangunan ekonomi secara makro. Untuk menghasilkan lulusan dengan kompensi utama seperti di atas diperlukan ramuan kurikulum yang relevan dengan kondisi aktual agribisnis. Kondisi aktual hanya bisa dicapai apabila dalam penyusunan kurikulum tersebut melibatkan pihak-pihak terkait, terutama pihak industri pengguna lulusan. Di dalam proses penyusunan ini, sering terjadi perdebatan kepentingan antara kebutuhan khusus pihak perusahaan dengan kaidahkaidah pendidikan tinggi. Ramuan kurikulum perlu ditunjang dengan sistem pembelajaran yang tepat untuk mentransfer ilmu dan pengetahuan kepada peserta didik. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah bahwa peserta didik pada dasarnya tidak homogin. Gow (2001) membedakan perserta didik menurut gaya belajar, gaya belajar fragmatis, gaya belajar aktif, gaya belajar refletori, dan gaya belajar teoritis. Gaya belajar yang cocok untuk pendidikan bisnis adalah gaya belajar pragmatis dan aktif. Metode belajar dalam pendidikan agribisnis perlu membuka peluang untuk mahasiswa secara aktif mencari permasalahan dan mencari solusi masalah yang dihadapi. Untuk itu, metode kasus merupakan contoh yang baik untuk metode belajar aktif dan pragmatis. Pendidikan agribisnis akan menghasilkan lulusan yang tertarik
R1_Refleksi AGB.indd 180
07/04/2010 19:04:28
Dr. Nunung Kusnadi
181
dengan bisnis, baik sebagai manajer, sebagai wirausaha, atau sebagai aparat pembangunan agribisnis. Untuk menghasilkan lulusan tersebut juga perlu dipertimbangkan sistem seleksi mahasiswa. Pendidikan agribisnis akan berhasil dengan baik jika mahasiswa yang dididik mempunyai motivasi kuat untuk berbisnis. Sistem yang berlaku di Indonesia belum mengakomodasi model seleksi tersebut. Selanjutnya, perlu dipikirkan proses penyelenggaraan sistem akademik dengan meramu keterkaitan antara pendidikan, penelitian dan pemberdayaan masyarakat yang dijabarkan dalam proses pembelajaran yang interaktif dari ketiga darma tersebut. Subtansi kajian dalam proses pembelajaran harus selalu terkait dengan kemajuan hasil-hasil penelitian. Kemajuan hasil penelitian juga perlu diterjemahkan dalam program-program pemberdayaan masyarakat yang melibatkan dosen, mahasiswa, dan praktisi bisnis. Di sisi lain, hasil dari pendidikan harus melahirkan peneliti yang handal dan praktisi yang siap melakukan pemberdayaan masyarakat. Dalam pendidikan agribisnis, sinergitas ketiga aspek tridarma tersebut sangat vital. Secara keseluruhan, untuk menghasilkan pendidikan agribisnis yang bermutu, tanggung jawab pendidikan tidak semata dibebankan pada perguruan tinggi, tetapi menjadi tanggungjawab bersama dan melibatkan pemerintah, industri, masyarakat, dan lembaga-lembaga lainnya yang terkait dengan pengembangan agribisnis. Perlu dirancang sinergitas sistem pendidikan yang memungkinkan output perguruan tinggi berkontribusi terhadap pengembangan agribisnis dan menghasilkan umpan balik (feed back) bagi pengembangan perguruan tinggi itu sendiri.
Penutup Pengembangan pendidikan agribisnis dalam mendukung pembangunan agribisnis mengacu kepada (1) arah perkembangan sektor pertanian secara global, (2) komitmen politik, (3) transformasi agribisnis di pedesaan, dan (4) dinamika penyelenggaran pendidikan agribisnis yang berjalan selama ini. Konsekuensinya dirumuskan arah pendidikan agribisnis yang meliputi aspek: (1) penguatan substansi kajian disiplin ilmu, (2) penyelenggaraan pendidikan secara vertikal dan horizontal, dan (3) sinergitas antara pendidikan, penelitian, dan pemberdayaan masyarakat, dan (4) adanya proses pembelajaran yang melibatkan secara maksimal berbagai pihak yang berkepentingan.
R1_Refleksi AGB.indd 181
07/04/2010 19:04:28
R1_Refleksi AGB.indd 182
07/04/2010 19:04:29