adio tepat waktu untuk mendengarkan berita petang: "Para senator dan anggota Kongres berebut mikrofon untuk memastikan kepada para pemilih mereka bahwa setelah mendengar pidato Presiden Zerimski, mereka tidak akan mendukung RUU Pengurangan Senjata Nuklir, Biologis, Kimia, dan Konvensional." Di Ruang Oval, Tom Lawrence sedang menonton reporter CNN yang melapor dari galeri pers Senat. "Tak a'da pernyataan dari Gedung Putih," demikian katanya ."Dan Presiden..." "Dan jangan berkeliaran menunggu Presiden," kata Lawrence marah sambil mematikan televisi. Ia berpaling ke Kepala Staf. "Andy, aku bahkan tak yakin bisa duduk di samping orang itu selama empat jam besok siang, apalagi menjawab pidato perpisahannya malam hari." Lloyd tidak berkomentar "Aku sudah tak sabar lagi duduk bersebelahan dengan sahabat karibku, Tom, dan melihatnya menggeliat di depan jutaan hadirin," kata Zerimski sementara limusin memasuki wilayah Kedubes Rusia. Dmitri Titov tetap tenang "Kupikir aku akan bersorak untuk Redskins. Akan 394 merupakan bonus tambahan bila tim Lawrence kalah." Zerimski tersenyum dibuatbuat. "Suatu permainan permulaan menjelang penghinaan yang telah kurencanakan untuknya malam hari. Pastikan menyusun pidato yang begitu menyanjung hingga akan tampak semakin tragis bila dipikirkan kembali." Ia tersenyum lagi. "Aku telah memerintahkan supaya daging panggang disajikan dingin. Dan bahkan kau pun akan kaget dengan apa yang kubayangkan sebagai makanan pencuci mulut." Selama beberapa jam malam itu, Connor berpikir-pikir apakah ia dapat melanggar peraturan seumur hidup. Ia menelepon Romanov beberapa memt selewat tengah malam. Orang Rusia itu tampaknya senang bahwa mereka berdua sampai pada satu kesimpulan yang sama.
"Akan kuusahakan seorang pengemudi menjemputmu pukul setengah empat, sehingga kau dapat berada di Kedubes pukul empat." Connor meletakkan pesawat telepon. Jika segalanya sesuai rencana, Presiden akan mati menjelang pukul empat. "Bangunkan dia." "Tapi ini baru pukul empat pagi," kata Sekretaris Pertama. "Jika kau menghargai hidupmu, bangunkan dia." Sekretaris Pertama mengenakan jubah tidur, berlari keluar kamar, dan menyusuri koridor. Ia mengetuk pintu. Tak ada jawaban, maka ia mengetuk lagi. Beberapa saat kemudian tampak cahaya di celah bawah pintu. 395 "Masuk," kata sebuah suara mengantuk. Sekretaris Pertama memutar pegangan pintu dan memasuki kamar Duta Besar. "Yang Mulia, maaf saya mengganggu Anda, tapi ada telepon dari seorang bernama Mr. Stefan Ivanitsky dari St. Petersburg. Ia mendesak supaya kita rriembangunkan Presiden. Katanya ia mempunyai berita mendesak untuknya." "Aku akan menerima telepon itu di ruang kerjaku," kata Pietrovski. Ia menyingkap selimut tanpa memedulikan erangan istrinya, berlari turun ke lantai dasar, dan menyuruh penjaga pintu malam mentransfer tele-•pon ke ruang kerjanya. Telepon berdering beberapa kali sebelum akhirnya diangkat oleh Duta Besar yang terengah-engah. "Pietrovski di sini." "Selamat pagi, Yang Mulia," kata Ivanitsky. "Saya minta disambungkan dengan Presiden, bukan dengan Anda." "Tapi ini baru pukul empat pagi. Apa tak bisa menunggu?" "Duta Besar, kau tak kubayar untuk memberitahukan waktu. Suara berikut yang ingin kudengar ialah suara Presiden. Sudah jelas?"
Duta Besar meletakkan pesawat telepon di mejanya, berjalan pelan menaiki tangga lebar ke lantai satu, dan berusaha memutuskan mana dari antara dua orang itu yang lebih ditakutinya. Ia berdiri di luar pintu suite Presiden beberapa lama, tetapi ketika melihat Sekretaris Pertama memandangnya dari tangga, ia membatalkan keputusannya. Diketuknya pintu pelan-pelan, tapi tak 396 ada jawaban. Ia mengetuk lebih keras lagi, dan mencoba membuka pintu. Dengan cahaya dari pintu lift, Duta Besar dan Sekretaris Pertama dapat melihat Zerimski bergerak-gerak di ranjang. Yang tak mereka lihat ialah bahwa tangan Presiden diselipkan di bawah bantal tempat pistol disembunyikan. "Mr. President," bisik Duta Besar ketika Zerimski menyalakan lampu di samping ranjang "Ini harus berita penting," kata Zerimski. "Kecuali kalian ingin menghabiskan sisa hidup kalian sebagai pengawas mesin pendingin di Siberia." "Ada telepon untuk Anda dari St. Petersburg," kata Duta Besar nyaris berbisik. "Mr. Stefan Ivanitsky. Katanya mendesak." "Keluar dari kamarku," kata Zerimski sambil mengangkat telepon di samping ranjang. Kedua orang itu melangkah mundur ke koridor dan Duta Besar menutup pintu pelanpelan. "Stefan," kata Zerimski. "Kenapa menelepon pada jam sepagi ini? Apa Borodin mempersiapkan kudeta selama aku pergi?" "Tidak, Mr. Presiden. Tsar meninggal," jawab Ivanitsky tanpa emosi. "Kapan? Di mana? Dan bagaimana?" "Sekitar sejam yang lalu. Di Istana Musim Dingin. Cairan tak berwarna itu akhirnya menghabisinya." Ivanitsky berhenti sejenak. "Aku telah membayar kepala pelayannya selama hampir setahun." Beberapa saat Presiden diam saja. Akhirnya ia berkata, "Bagus. Tak bisa lebih bagus lagi buat kita." "Saya setuju, Mr. President, seandainya putranya
397 sekarang ini tidak berada di Washington. Saya tak dapat berbuat banyak dari sini hingga ia kembali." "Masalah itu akan terpecahkan sendiri malam ini," kata Zerimski. "Mengapa? Apakah mereka teperdaya oleh jebakan kita?" "Ya," sahut Zerimski. "Menjelang malam ini aku akan menghilangkan mereka berdua." "Mereka berdua?" "Ya," sahut Presiden. "Aku sudah mengenal ungkapan yang cocok sejak aku ada di sini: "membunuh dua burung dengan satu batu". Kalau dipikir-pikir, berapa kali orang mendapat kesempatan melihat orang yang sama mati dua kali?" "Saya ingin berada di sana menyaksikannya." "Aku akan lebih menikmatinya daripada ketika melihat sahabatnya bergantungan pada seutas tali. Bila mempertimbangkan segalanya, Stefan, ini adalah perjalanan yang paling sukses, khususnya jika..." "Semuanya sudah diurus, Mr. President," kata Ivanitsky. "Kemarin saya membereskan pemasukan dari kontrak-kontrak minyak dan uranium Yeltsin dan Chernopov ke rekening Anda di Zurich. Itu bila Alexei tidak mengeluarkan perintah yang berlawanan dengan perintah-perintah saya bila ia sudah kembali." "Kalau dia tak kembali, dia takkan bisa, ya kan?" Zerimski meletakkan telepon, mematikan lampu, dan tertidur lagi beberapa saat kemudian. Pukul lima pagi itu Connor terbaring tak bergerak di ranjangnya, berpakaian lengkap. Ia sedang akan merunut rute yang ia lalui dalam meloloskan diri, ke-398 tika telepon bangun pagi berdering pukul enam. Ia bangkit, menarik sudut tirai, dan memeriksa apakah mereka masih ada di sana. Ternyata masih ada: dua BMW putih diparkir di seberang jalan sejak tengah malam. Saat ini para penumpangnya pasti mengantuk. Ia tahu mereka
berganti giliran jaga pukul delapan, maka ia merencanakan pergi sepuluh menit sebelum jam itu. Selama setengah jam berikutnya ia melakukan peregangan ringan supaya badannya tidak kaku. Kemudian ia melepas pakaian, membiarkan pancaran air shower menusuki tubuhnya. Tak lama kemudian ia mematikan keran, mengambil handuk, lalu mengenakan kemeja biru, pantalon jins, sweter tebal, dasi biru, kaus kaki hitam, dan sepatu Nike hitam lengkap dengan logonya. Ia pergi ke dapur mini, menuang segelas jus jeruk serta semangkuk cornflakes dan susu. Ia selalu menyantap makanan yang sama pada hari operasi. Ia menyukai rutinitas, karena membuatnya percaya bahwa segalanya berjalan lancar. Sementara makan, ia membaca tujuh halaman catatan yang ia buat sesudah pertemuannya dengan Pug, dan sekali lagi mempelajari dengan cermat denah stadion dari arsitek. Ia mengukur balok penopang dengan penggaris, dan memperkirakan jaraknya ke pintu jebakan 12,5 meter. Ia tak boleh melihat ke bawah. Ia merasakan ketenangan yang dialami atlet yang telah terlatih dengan baik saat dipanggil menuju garis start. Ia melihat jam dan kembali ke kamar. Mereka harus berada di persimpangan antara Twenty-First Street dan Bundaran DuPont ketika lalu lintas baru mulai ramai. Ia menunggu beberapa menit lagi, lalu memasukkan 399 uang tiga ratus dolar, sekeping 25 sen, dan sebuah pit.i kaset setengah jam ke saku belakang jinsnya. Kemudian ia meninggalkan apartemen tak bernama itu untuk tei akhir kalinya. Rekeningnya telah dibereskan. 400
BAB TIGA PULUH
ZERIMSKI duduk sendirian di ruang makan Kedubes sambil membaca Washington Post sementara kepala pelayan melayaninya sarapan. Ia tersenyum melihat judul berita utama yang terpampang: KEMBALINYA PERANG DINGIN? Sambil menyesap kopinya, ia merenung sesaat apa yang akan dijadikan berita utama di P&st pagi berikutnya. USAHA PEMBUNUHAN ATAS PRESIDEN RUSIA GAGAL Mantan Agen CIA Ditembak di Wilayah Kedubes Ia tersenyum lagi dan membaca tajuk yang meng-konfirmasikan bahwa RUU Lawrence tentang Pe401 ngurangan Senjata Nuklir, Biologis, Kimia, dan Konvensional kini dipandang oleh para komentator terkemuka sebagai "mati sebelum lahir". Sebuah ungkapan yang baru saja ia kenal. Pukul tujuh lewat beberapa menit ia membunyikan bel perak di sampingnya dan meminta kepala pelayan menjemput Duta Besar dan Sekretaris Pertama. Kepala pelayan bergegas pergi. Zerimski tahu bahwa kedua pria itu telah berdiri di luar pintu dengan cemas. Duta Besar dan Sekretaris Pertama berpendapat mereka harus menunggu satu-dua menit sebelum bergabung dengan Presiden. Mereka masih merasa tidak pasti apakah ia senang dibangunkan pagi-pagi pukul empat. Tetapi karena mereka belum juga dipecat, keduanya mengasumsikan telah membuat kepu-tusan yang tepat. "Selamat pagi, Mr. President," kata Pietrovski seraya memasuki ruang makan. Zerimski mengangguk, melipat koran, dan meletakkannya di meja di depannya. "Apakah Romanov telah datang?" tanyanya. "Ya, Mr. President," kata Sekretaris Pertama. "Ia telah berada di dapur sejak pukul enam pagi. Ia memeriksa sendiri makanan yang akan disajikan untuk jamuan makan nanti malam." "Bagus. Saudara Duta Besar, mintalah padanya untuk bergabung dengan kita di ruang kerjamu. Aku segera menyusul."
"Ya, Sir," kata Pietrovski sambil melangkah mundur keluar ruangan. Zerimski mengusap mulut dengan serbet. Ia me-i mutuskan membuat mereka bertiga menunggu bebe-i 402 rapa menit lebih lama lagi. Itu akan membuat mereka lebih gugup lagi. Ia kembali membaca Washington Post dan tersenyum ketika membaca kesimpulan tajuk untuk kedua kalinya: "Zerimski adalah pengganti alami Stalin dan Brezhnev, bukannya pengganti Gorbachev atau Yeltsin." Ia tak berkeberatan mengenai hal itu. Sebenarnya ia berharap sebelum hari berganti malam ia akan memperkuat citra tersebut. Ia bangkit dari kursi dan berjalan keluar ruangan. Ketika ia berjalan di koridor menuju ruang kerja Duta Besar, seorang muda yang datang dari arah berlawanan berhenti melangkah dan buru-buru membuka pintu untuknya. Jam kuno berdentang saat ia memasuki mangan. Mengikuti naluri ia melihat jamnya. Tepat pukul 07.45. Pukul 07.50 Connor muncul di pintu gedung apartemen dan pelan-pelan menyeberangi jalan menuju ke BMW yang paling depan di antara dua BMW itu. Ia naik di samping pengemudi yang agak kaget melihat ia datang begitu pagi. Ia telah diberitahu bahwa Fitzgerald baru diharapkan berada di Kedubes pukul 16.00. "Aku perlu pergi ke kota untuk mengambil beberapa barang," kata Connor. Orang yang duduk di jok belakang mengangguk. Maka pengemudi memasukkan persneling satu dan bergabung dengan lalu lintas di Wisconsin Avenue. Mobil kedua mengikuti mereka dari dekat, sementara mereka membelok ke kiri ke P Street yang sangat padat sebagai akibat pekerjaan konstruksi yang mengganggu Georgetown. Sementara hari berganti hari, Connor melihat bahwa 403 para pengawas telah menjadi semakin santai. Pada waktu yang kira-kira sama tiap pagi, ia keluar
dan BMW di tikungan antara Twenty-First Street dan Bundaran DuPont. Ia membeli satu eksemplar Post dari penjaja koran dan kembali ke mobil. Kemarin orang yang duduk di jok belakang bahkan tak berupaya menemaninya. Mereka menyeberangi Twenty-Third Street, dan| dari kejauhan Connor dapat melihat Bundarani DuPont. Mobil-mobil kini merapat, dan hampir masuk akal untuk berhenti. Di sisi seberang jalan, lalu lin-( tas menuju ke barat bergerak jauh lebih lancar. Ia perlu menilai dengan tepat kapan harus bertindak. Connor tahu lampu lalu lintas di P Street mendekati Bundaran berubah setiap tiga puluh detik, dan j rata-rata ada dua belas mobil yang dapat melintas selama waktu itu. Paling banyak yang dapat ia' hitung selama minggu itu ialah enam belas mobil. Ketika lampu berganti merah, Connor menghitungi ada tujuh belas mobil di depannya. Ia tetap tenang. Lampu berganti hijau dan si pengemudi memasukkan persneling satu. Tetapi lalu lintas begitu padat, hingga butuh beberapa lama untuk bisa maju. Hanya delapan mobil dapat lolos melintasi lampu. Ia punya waktu tiga puluh detik. Ia berpaling, tersenyum kepada pengawasnya di jok belakang, dan menunjuk ke penjaja koran. Orang itu mengangguk. Connor turun ke trotoar, dan mulai" berjalan pelan menuju ke orang tua yang mengenakan rompi oranye manyala. Ia tak menoleh ke belakang sekali pun, jadi tak tahu apakah ada seseorang dari mobil kedua yang mengikutinya. Ia berkonsentrasi 404 pada lalu lintas yang berlawanan arah di seberang jalan, seraya mencoba memperkirakan berapa panjang deretan mobil itu - bila lampu berubah merah lagi. Ketika sampai di penjaja koran, ia telah menggenggam 25 sen. Keping uang itu ia berikan kepada orang tua yang memberinya satu eksemplar Post. Ketika ia membalik dan berjalan kembali ke BMW pertama, lampu berganti merah
dan lalu lintas berhenti. Connor melihat kendaraan yang diperlukannya. Tiba-tiba ia berganti arah dan berlari cepat, berkelok-kelok di antara lalu lintas yang bergeming di sisi barat jalan hingga menemukan taksi kosong berjarak enam mobil dari lampu lalu lintas. Dua orang dalam BMW kedua melompat keluar mengejarnya, tepat pada saat itu lampu di Bundaran DuPont berganti hijau. Connor membuka pintu belakang taksi itu dan melompat masuk. "Jalan terus," teriaknya. "Kubayar $100 jika kaulanggar lampu itu." Si sopir taksi menekan klaksonnya terus-menerus sambil melesat menerobos lampu merah. Dua BMW putih itu berbalik dengan berdecit-decit, tapi lampu telah berganti lagi, dan mereka terhalang oleh tiga mobil yang berhenti. Sejauh itu segalanya berjalan menurut rencana Taksi berbelok kiri masuk ke Twenty-Third Street. Connor menyuruh si sopir menyeberang. Ketika mobil itu berhenti, ia memberikan lembaran $100 dan berkata, "Tolong jalan terus ke Bandara Dulles. Jika melihat BMW putih di belakang, jangan biarkan menyalib. Begitu sampai di bandara, berhentilah tiga puluh detik di luar area Keberangkatan, lalu jalankan mobil pelan-pelan kembali ke kota " 405 "Oke, man, apa pun katamu," kata si pengemudi sambil memasukkan lembaran seratus dolar itu ke sakunya. Connor menyelinap keluar taksi, berkelok kelok melintasi Twenty-Third Street, dan menghenti kan taksi lain yang menuju ke arah berlawanan. Ia menutup pintu taksi dengan bantingan ketika dua BMW melejit melewatinya mengejar taksi pertama. "Mau ke mana pada pagi yang cerah ini?" "Stadion Cooke." "Semoga kau punya karcis, man, jika tidak, akan langsung kuantar kembali."
Ketiga orang itu berdiri ketika Zerimski memasuki ruangan. Ia melambai menyuruh mereka duduk seolah mereka massa besar, dan ia duduk di kursi di balik meja Duta Besar. Ia kaget melihat senapan di tempat biasanya terdapat pengering tinta, tetapi ia tak memedulikannya dan berpaling kepada Alexei Romanov yang tampaknya agak puas diri. "Ada berita duka buatmu, Alexei," kata Presiden. Ekspresi wajah Romanov berganti menjadi takut kemudian cemas selama keheningan yang lama yang dibiarkan saja oleh Zerimski. "Pagi-pagi tadi aku menerima telepon dari Stefan sepupumu. Ternyata kemarin malam ayahmu terkena serangan jantung, dan meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit." Romanov menunduk. Duta Besar dan Sekretaris Pertama memandang Presiden untuk mengetahui bagaimana harus bereaksi. Zerimski bangkit, pelan-pelan menghampiri Romanov, dan memegang bahunya untuk menghibur-406 nya. Duta Besar dan Sekretaris Pertama menyesuaikan diri dan mengungkapkan ikut berbelasungkawa. "Aku berkabung untuknya," kata Zerimski. "Ia orang besar." Dua diplomat itu mengangguk tanda setuju, sementara Romanov membungkuk berterima kasih atas kata-kata ramah Presiden. "Kini jubah kebesaran telah berpindah padamu, Alexei. Kaulah pengganti yang paling pantas." Duta Besar dan Sekretaris Pertama melanjutkan anggukan mereka. "Dan sebentar lagi," kata Zerimski, "kau akan diberi kesempatan menunjukkan otoritasmu sehingga tak seorang pun di Rusia akan meragukan tsar baru ini." Romanov mengangkat muka dan tersenyum. Masa berkabung yang singkat telah selesai. "Itu semua," tambah Zerimski, "dengan mengandaikan bahwa tak ada yang tak beres malam ini." "Tak ada yang tak beres," kata Romanov dengan penekanan. "Aku telah bicara dengan Fitzgerald tepat selewat tengah malam. Ia menyetujui rencanaku. Ia akan muncul di Kedubes pukul empat sore, sementara kau sedang nonton bola dengan Lawrence." "Kenapa begitu awal?"'4
"Biar semua orang mengira ia salah satu anggota tim katering, sehingga bila ia menyelinap keluar dapur enam jam kemudian, tak ada yang memikirkannya. Ia akan tetap di dapur di bawaH* pengawasanku hingga beberapa menit sebelum kau berdiri menyampaikan pidato perpisahan." "Luar biasa," kata Zerimski. "Lalu apa yang akan terjadi?" 407 "Aku akan menemaninya menuju ruangan ini. tempat ia akan mengambil senapan. Ia lalu akan naik lift pribadi menuju galeri yang punya pandangan dari atas ruang dansa." Zerimski mengangguk. "Begitu ada di sana, ia akan mengambil posisi di belakang patung besar Lenin, dan tetap di sana hingga kau sampai ke bagian pidato di mana kau berterima kasih kepada bangsa Amerika atas kemurahan hati dan sambutan hangat yang kauterima di mana-mana, dan sebagainya dan sebagainya, dan khususnya dari pihak Presiden Lawrence. Di bagian itu aku telah mengatur supaya ada tepuk tangan berkepanjangan. Selama itu kau harus tetap tenang sepenuhnya." "Kenapa?" tanya Zerimski. "Sebab Fitzgerald takkan menarik picu bila menurutnya kau akan membuat gerakan tiba-tiba." "Aku mengerti." "Begitu menembak ia akan memanjat keluar ke langkan dekat pohon cedar di kebun belakang. Kemarin sore ia telah menyuruh kami mengulang-ulang gerakan ini. Tapi malam ini ia akan menemukan ada perbedaan kecil." "Perbedaan apa itu?" tanya Zerimski. "Enam dari tukang pukul pribadiku akan menunggu di bawah pohon," sahut Romanov. "Mereka akan menembaknya lairp sebelum kakinya menyentuh tanah." Zerimski terdiam beberapa saat, akhirnya berkata, "Tapi rencanamu punya kelemahan kecil." Romanov tampak bingung. "Bagaimana aku diharapkan selamat dari tembakan 408
jago tembak dengan reputasi Fitzgerald dalam jarak . begitu dekat?" Romanov bangkit dari kursi dan mengambil senapan itu. Ia mengeluarkan sepotong kecd metal dan menyerahkannya kepada Presiden. "Apa ini?" tanya Zerimski "Pasak tembak," jawab Romanov. 409
BAB TIGA PULUH SATU KEDUA BMW putih melaju ke barat pada Rute 66, mengejar taksi kosong yang sepanjang jalan ke Bandara Dulles melewati batas kecepatan. Taksi lainnya menuju ke timur dengan laju yang lebih santai ke arah Stadion Cooke di Maryland. Connor kembali memikirkan keputusannya untuk memilih stadion dengan segala risikonya, dan bukannya Kedubes. Ia telah diizinkan keluar-masuk gedung itu dengan terlalu mudah: tak seorang pun begitu kendor terhadap keamanan, khususnya bila presiden mereka berada di kota itu. Ketika diturunkan di stadion, Connor tahu persis akan ke mana. Ia menapak di jalur lebar berkerikil menuju pintu masuk utara serta dua baris antrean panjang orang-orang yang berada di situ sebelum tiap pertandingan di kandang dengan harapan akan mendapatkan pekerjaan sehari. Beberapa di antara mereka sekadar memerlukan uang tunai, sementara yang lain, 410 menurut keterangan Pug, adalah penggemar Skins yang fanatik sehingga mereka memilih jalan apa pun, termasuk suap, untuk dapat masuk ke stadion "Suap?" tanya Connor polos. "Oh, ya. Seseorang harus melayani di suite para eksekutif," kata Pug sambil berkedip. "Dan mereka akhirnya memperoleh pemandangan terbaik atas pertandingan itu." "Bahan yang sangat menarik bagi artikelku," demikian Connor meyakinkannya.
Antrean pertama adalah bagi mereka yang menghendaki pekerjaan di luar stadion untuk mengatur parkir 23.000 mobil dan bus ataupun menjual jadwal acara, bantal, dan tanda mata pada para penggemar yang berjumlah 78.000 orang. Antrean yang lain ialah untuk mereka yang mengharapkan pekerjaan di dalam stadion. Connor bergabung dengan antrean ini. Kebanyakan terdiri atas orang muda, para pengangguran, dan mereka yang digambarkan Pug sebagai orang-orang tak bermutu yang memasuki pensiun dini, yang senang menikmati bepergian keluar. Pug bahkan telah melukiskan pakaian orang-orang ini, hingga tak ada yang merancukan mereka dengan para pengangguran. Pada hari khusus itu sekelompok orang Dinas Rahasia sedang memperhatikan para pelamar yang penuh harapan. Connor tetap membaca Washington Post sementara antrean bergerak maju pelan-pelan. Sebagian besar halaman depan mengulas pidato Zerimski kepada sesi gabungan Kongres. Secara keseluruhan para anggota bersikap memusuhi sebagai reaksinya. Sambil beralih ke tajuk rencana, ia menduga Zerimski senang dengan sikap itu. 411 Ia beralih ke bagian Metro, dan tersenyum kecut ketika membaca berita kematian mendadak seorang akademisi terkenal yang berasal dari kotanya. "Hai," sapa sebuah suara. Connor menoleh ke belakang, pada seorang pria muda berpakaian rapi yang antre di belakangnya. "Hai," balasnya singkat, lalu kembali ke korannya. Ia tidak ingin terlibat dalam pembicaraan yang tak perlu dengan seseorang yang kelak mungkin dapat dipanggil sebagai saksi. "Namaku Brad," kata orang muda itu sambil mengulurkan tangan kanannya. Connor menjabat tangannya tapi tak mengatakan sepatah kata pun. "Aku berharap mendapat pekerjaan di salah satu menara lampu," tambahnya. "Kalau kau bagaimana?" "Kenapa menara lampu?" tanya Connor, menghindari pertanyaan itu. "Sebab di situlah Agen Khusus Dinas Rahasia yang bertugas akan ditempatkan, dan aku ingin tahu bagaimana pekerjaan itu sebenarnya."
"Kenapa?" tanya Connor, sambil melipat koran. Ini jelas percakapan yang tak dapat ia potong begitu saja. "Aku ingin bergabung dengan mereka bila sel*ai kuliah. Aku telah mengambil kursus pelatihan tingkat sarjana, tapi aku ingin melihat lebih dekat bagaimana mereka bekerja. Seorang agen mengatakan padaku bahwa pekerjaan yang tak disukai orang ialah membawakan makanan pada orang-orang yang bertugas di panggung lampu di zona garis akhir. Tangga itu membuat mereka takut." Anak tangganya berjumlah 172, pikir Connor. Ia 412 telah membuang gagasan menara lampu lebih awal, bukan karena tangga, melainkan karena tak ada jalan untuk lolos. Brad mulai menceritakan kisah hidupnya. Dan menjelang saat sampai di depan, Connor telah tahu di mana anak muda itu bersekolah. Sekarang ia mahasiswa senior kriminologi di Georgetown—membuat Connor teringat pada Maggie—dan itulah sebabnya ia masih belum dapat memutuskan apakah akan bergabung dengan Dinas Rahasia atau menjadi pengacara. "Berikutnya," kata sebuah suara. Connor berpaling kepada orang yang duduk di belakang meja yang ditopang kuda-kuda. "Apa yang masih tersisa?" tanya Connor. "Tak banyak," kata orang itu sambil melihat ke daftar penuh dengan tanda. "Ada pekerjaan dalam katering?" tanya Connor. Seperti Brad ia tahu persis mau berada di mana. "Yang tersisa hanya cuci piring atau menyajikan makanan pada para karyawan di seputar stadion." "Itu cocok." "Nama?" "Pave Krinkle," sahut Connor. "Tanda identitas?" Connor menyerahkan SIM. Orang itu mengisi kartu pas keamanan dan seorang fotografer maju untuk mengambil foto Connor dengan Polaroid yang beberapa detik kemudian
dilaminasi ke dalam kartu pas. "Oke, Dave," kata orang itu sambil menyerahkan kartu pas. "Kartu pas ini membolehkanmu ke mana saja dalam stadion, kecuali area keamanan ketat, yang mencakup suite para eksekutif, boks-boks klub, dan 413 bagian VIP. Kau tak perlu ke sana, kan." Connor mengangguk dan memasang kartu pas pada sweternya. "Melaporlah ke Ruang 47, tepat di bawah Blok H." Connor berjalan ke kiri. Ia tahu persis di mana Ruang 47 itu. "Berikutnya." Melintasi tiga pemeriksaan keamanan, Termasuk magnetometer, memerlukan waktu jauh lebih lama daripada hari sebelumnya. Karena sekarang dijaga personel Dinas Rahasia dan bukannya para polisi sewaan seperti biasa. Begitu Connor berada dalam stadion, ia berjalan pelan menyusuri gang, melewati museum dan panji-panji merah bertuliskan "SALAM KEMENANGAN", hingga tiba di tangga dengan tanda panah menunjuk ke bawah ke "Ruang 47, Katering Pribadi". Di dalam ruangan kecil di kaki tangga, ia menjumpai selusin orang sedang bermalasmalasan. Mereka semua tampak seolah sudah akrab dengan rutinitas. Ia mengenali satu-dua orang yang antre berdiri di depannya. Tak ada orang di ruangan itu yang tampak seolah tak memerlukan uang. Ia duduk di sudut dan kembali ke Post, mengulang membaca tinjauan tentang pertandingan sore itu. Tony Kornheiser berpendapat bahwa akan merupakan mukjizat jika Redskins mengalahkan Packers—tim terbaik di seluruh negeri. Sebenarnya ia meramalkan kemenangan dengan selisih angka 21. Connor mengharapkan hasil yang berbeda sama sekali. "Oke," kata sebuah suara, "tolong perhatikan." Connor mengangkat muka dan melihat seorang laki-laki kekar berseragam koki berdiri di depan mereka. Ia berusia sekitar lima puluh dengan dagu besar menggelambir. Beratnya kira-kira 125 kilogram. 414
"Aku manajer katering," katanya, "dan seperti yang bisa kalian lihat, aku mewakili akhir kegemilangan dunia usaha." Satu-dua pembantu lama tertawa sopan. "Aku bisa menawarkan dua pilihan pada kalian. Mencuci piring atau melayani para karyawan stadion dan orang-orang keamanan yang ditempatkan di seputar stadion. Ada yang berminat cuci piring?" Kebanyakan orang di ruangan itu mengacungkan tangan. Pug telah menjelaskan bahwa cuci piring selalu populer, sebab para pencuci piring tak hanya menerima upah penuh $10 per jam, bagi beberapa dari mereka, sisa-sisa dari boks-boks eksekutif merupakan makanan terbaik mereka sepanjang minggu. "Baik," kata orang itu seraya memilih lima dari mereka serta menulis nama mereka. Ketika daftar itu telah selesai, ia berkata, "Sekarang, pelayanan. Kalian dapat melayani staf senior atau personel keamanan. Staf senior?" tanyanya sambil mengangkat muka dari clipboard. Hampir semua tangan yang tersisa diacungkan. Lagi-lagi si manajer katering menulis lima nama. Setelah selesai ia menepuk clipboard dan berkata, "Oke. Tiap orang yang terdaftar sekarang dapat melapor kerja." Para profesional lama bangkit dari kursi dan menyeret kaki melewatinya. Mereka melalui pintu yang setahu Connor menuju ke dapur. Hanya dia dan Brad yang masih di ruangan itu. "Aku masih punya dua pekerjaan tersisa di Keamanan," kata si manajer katering. "Satu bagus, satunya jelek. Siapa di antara kalian yang beruntung?" Ia memandang penuh harap kepada Connor, yang mengangguk dan memasukkan tangan ke saku belakang. Manajer katering itu menghampirinya, tanpa me415 mandang Brad sedikit pun, dan berkata, "Aku punya firasat kau lebih suka kenyamanan JumboTron." "Baru pertama kalinya," kata Connor, sambil menyelipkan lembaran seratus dolar.
"Seperti dugaanku," kata si manajer katering sambil membalas senyumnya. Connor tak mengatakan sepatah kata pun ketika orang tua itu mengantongi uang tunai darinya. Tepat seperti yang telah diperkirakan Pug. Orang itu memang layak mendapatkan tiap sen dari imbalannya. "Pertama-tama seharusnya aku tak pernah mengundangnya," gerutu Tom Lawrence sambil naik ke Marine One yang akan mengangkutnya dari Gedung Putih ke stadion Redskins. "Dan menurut firasatku masalah kita belum selesai," kata Andy sambil mengikat dirinya pada tempat duduk. "Mengapa? Apa lagi yang bisa kacau?" tanya Lawrence ketika baling-baling helikopter mulai berputar. "Masih ada dua peristiwa publik sebelum Zerimski pulang ke Rusia. Dan aku bertaruh Fitzgerald pasti menunggu kita pada salah satu peristiwa itu." "Malam ini tak ada masalah," kata Lawrence. "Duta Besar Pietrovski telah memberitahu Dinas Rahasia berkali-kali bahwa orang-orangnya mampu melindungi Presiden mereka sendiri. Bagaimanapun, siapa berani mengambil risiko macam itu dengan penjagaan keamanan yang sangat ketat?" "Aturan biasa tak dapat diterapkan pada Fitzgerald," kata Lloyd. "Kerjanya tak menurut buku." 416 Presiden memandang ke bawah ke Kedubes Rusia. "Sudah cukup sulit masuk ke gedung itu," katanya, "tanpa harus mencemaskan bagaimana keluarnya." "Fitzgerald takkan menemui kesulitan yang sama sore ini, di suatu stadion yang memuat hampir 80.000 penonton," jawab Andy. "Itu suatu tempat yang ia anggap mudah untuk keluar-masuk." "Jangan lupa, Andy, hanya ada waktu jeda tiga belas menit bila terjadi masalah. Itu pun setiap orang di stadion harus melalui magnetometer lebih dulu, jadi tak mungkin orang memasukkan pisau lipat, apalagi senapan."
"Apa menurutmu Fitzgerald tak tahu itu?" kata Andy sementara helikopter membelok ke timur. "Belum terlambat untuk membatalkan bagian acara itu." 'Tidak," sahut Lawrence tegas. "Jika Clinton dapat berdiri tegak di tengah stadion Olympiade di Atlanta untuk menghadiri upacara pembukaan, aku juga dapat melakukannya di Washington untuk menghadiri pertandingan bola. Persetan, Andy! Kita hidup di negara demokratis dan aku takkan mengizinkan hidup kita didikte dengan cara demikian itu. Dan jangan lupa, aku akan berada di sana dengan risiko yang tepat sama seperti Zerimski." "Aku setuju, Sir," kata Lloyd. "Tapi bila Zerimski harus dibunuh, tak seorang pun akan memujimu karena berdiri di sampingnya, apalagi Helen Dexter. Dialah orang pertama yang akan menegaskan..." "Siapa yang akan menang sore ini, Andy?" tanya Presiden. Lloyd tersenyum atas kiat bosnya yang sering digunakannya jika tak menghendaki diskusi lebih lanjut 417 tentang hal yang tidak mengenakkan. "Aku tak tahu, Sir," jawab Andy. "Tapi hingga tadi pagi aku melih,» betapa banyak stafku yang mencoba berjejal-jejal dalam mobil yang berangkat lebih dulu, aku benar-benar tak punya gambaran bahwa kita punya begitu banyak penggemar Redskins yang bekerja di Gedung Putih." "Beberapa di antara mereka mungkin juga peng gemar Packers," kata Lawrence. Ia membuka berkas di pangkuannya dan mulai mempelajari profil singkat para tamu yang akan ia jumpai di stadion. "Oke, tolong perhatikan," kata si manajer katering. Connor memberi kesan sedang mendengarkan dengan cermat. "Hal pertama yang kaulakukan ialah mengambil jas putih dan topi Redskins, untuk menunjukkan bahwa kau termasuk staf. Kemudian kau naik lift ke lantai tujuh dan tunggu aku memasukkan
makanan ke lift pelayanan. Agen Dinas Rahasia mendapat makanan kecil pukul sepuluh, dan makan siang— Coke, sandwich, dan apa pun yang mereka kehendaki—pada permulaan pertandingan. Kautekan tombol di kiri," lanjutnya seolah sedang menjelaskan kepada bocah sepuluh tahun, "dan makanan akan tiba dalam waktu kira-kira satu menit." Connor sebenarnya bisa memberitahu orang itu bahwa lift memerlukan waktu 47 detik tepat dari basement ke lantai tujuh. Tetapi karena ada dua lantai—lantai dua (kursi klub) dan lantai lima (suite para eksekutif)—yang juga punya akses ke lift pelayanan, mungkin ia harus menunggu hingga pesanan 418 mereka dipenuhi sebelum lift tiba di tempatnya. Dalam hal ini dibutuhkan waktu tiga menit. "Begitu pesanan tiba, kaubawa nampan ke petugas yang ditempatkan di JumboTron di ujung timur lapangan. Kau akan menemukan pintu bertulisan "Pribadi" di gang sebelah kiri." Tiga puluh tujuh langkah, seingat Connor. "Ini kuncinya. Kau masuk lewat situ menuju ke gang beratap hingga tiba di pintu belakang JumboTron." 70 meter, batin Connor. Di masa ia masih main football, jarak itu bisa ditempuhnya selama sekitar tujuh detik. Sementara si manajer memberitahukan hal-hal yang telah diketahuinya, Connor mempelajari lift pelayanan. 65 senti kali 77,5 senti. Dan di dalamnya jelas-jelas tertulis: "Berat maksimum yang diizinkan 75 kilogram". Connor berbobot 105 kilo, maka ia berharap perancang lift memberikan sedikit kelonggaran. Masih ada dua masalah lagi: ia tak akan bisa mengetesnya, dan ia tak bisa berbuat apa-apa bila dalam perjalanan turun ia dihentikan di lantai lima dan lantai dua. "Bila telah sampai di pintu belakang JumboTron, ketuklah. Agen yang bertugas akan membuka gerendel dan membiarkanmu masuk. Bila telah menyerahkan nampan, kau bisa ke bagian belakang
stadion dan nonton pertandingan perempat pertama. Waktu istirahat, ambil nampan itu dan bawa ke lift pelayanan. Tekan tombol hijau, dan lift akan turun kembali ke basement. Lalu kau bisa nonton seluruh sisa pertandingan selanjutnya. Paham semuanya itu, Dave?" Connor tergoda untuk mengatakan, Tidak, Sir. Bisa diulangi sekali lagi, tapi pelan-pelan? "Ya, Sir" 419 "Ada pertanyaan?" "Tidak, Sir." "Oke. Jika petugas itu memperlakukanmu dengan baik, aku akan mengirimkan daging panggang setelah pertandingan usai. Bila ia telah selesai memakannya, lapor padaku dan ambil gajimu. Lima puluh dolar." la berkedip. Pug telah menjelaskan bahwa para penggemar yang serius tidak akan mengambil upah itu, jika ingin ditawari pekerjaan lagi. "Ingat," katanya, "jika si manajer menyebut kata 'upah', kedipkan saja matamu." Connor tak berniat mengambil uang $50 itu, atau kembali ke stadion itu lagi. Ia berkedip. 420
BAB TIGA PULUH DUA "MENGAPA Lawrence nonton pertandingan dengan naik helikopter sementara aku terduduk di jok belakang mobil ini?" tanya Zerimski ketika iring-iringan mobil sembilan limusin meluncur keluar gerbang Kedubes. "Ia harus memastikan berada di sana sebelum Anda," sahut Titov. "Ia ingin diperkenalkan pada semua tamu, sehingga saat Anda tiba, ia dapat memberi kesan telah mengenal mereka semua seumur hidup." "Cara yang sulit sekali untuk mengelola negeri," kata Zerimski. "Padahal sore ini tak begitu
penting." Sesaat ia diam. "Tahukah kau, aku telah melihat senapan yang direncanakan Fitzgerald untuk membunuhku," katanya akhirnya. Titov tampak terkejut. "Ia menggunakan model yang sama dengan yang disediakan CIA untuknya di St. Petersburg, tapi lebih canggih." Ia memasukkan tangan ke saku jas. "Menuiutmu 421 ini apa?" tanyanya sambil menunjukkan sesuatu yang mirip paku bengkok. Titov menggeleng. "Saya tak tahu." "Ini adalah pasak tembak Remington 700," jawab Zerimski. "Jadi kita bahkan bisa membiarkannya menarik picu sebelum para tukang pukul menyemburkan peluru padanya." Ia mengamatinya dengan lebih teliti. "Ini akan kupajang sebagai hiasan di mejaku di Kremlin." Ia memasukkannya kembali ke saku. "Apakah pidato yang akan kusampaikan malam ini sudah disebarkan pada pers?" "Sudah, Mr. President," jawab Titov. "Penuh dengan kata-kata hampa seperti biasa. Dapat Anda pastikan tak sepatah kata pun akan dicetak pers." "Lalu bagaimana dengan reaksi spontanku setelah Fitzgerald terbunuh?" "Ada di sini, Mr. President." "Bagus. Coba bacakan, aku ingin mendengarkannya," kata Zerimski sambil bersandar di kursi. Titov mengambil berkas dari tas di sampingnya dan mulai membaca naskah tulisan tangan: "Pada hari pemilihan saya, Presiden Lawrence menelepon saya di Kremlin dan memberi saya undangan pribadi untuk mengunjungi negerinya. Saya menerima undangan itu dengan iktikad baik. Apa yang terjadi ketika saya melaksanakannya? Uluran tangan saya bukannya disambut dengan tangkai zaitun, tetapi dengan senapan terbi-dikkan langsung pada saya. Dan di mana? Di kedutaan besar saya sendiri. Dan siapa yang menarik picunya? Seorang perwira CIA. Bila saja saya tak begitu beruntung..." "Mantan perwira," Zerimski menginterupsi.
422 "Saya kira bijaksana," kata Titov, sambil mengangkat muka dari catatannya, "bila Anda kadang-kadang membuat kesalahan, bahkan mengulang-ulangnya. Dengan begitu tak ada orang yang akan mengira Anda selalu telah tahu apa yang akan terjadi. Di Amerika semua orang ingin percaya bahwa semuanya itu komplotan." "Aku senang sekali bisa menambah ketakutan mereka," kata Zerimski. "Lama sesudah Lawrence dipecat, aku berharap orang-orang Amerika akan menulis berjilid-jilid buku tentang bagaimana aku bertanggung jawab atas kerusakan total dalam hubungan antara dua negara ini. Pemerintahan Lawrence akan berakhir sebagai tak lebih dari catatan kaki dalam sejarah kebangkitan imperium Rusia selama masa kepresidenanku." Ia memandang Titov dengan berseri-seri. "Dan setelah itu kucapai, takkan ada lagi pembicaraan tentang pemilihan. Sebab aku akan tetap berkuasa hingga hari aku meninggal dunia." Connor melihat jamnya. Pukul 09.56. Ia menekan tombol di samping lift pelayanan. Ia langsung mendengar deru mesin ketika pelan-pelan naik ke lantai tujuh. Masih ada waktu 34 menit sebelum stadion dibuka untuk umum. Walaupun tahu massa masih memerlukan waktu beberapa lama lagi untuk melalui tiga puluh magnetometer dan pemeriksaan keamanan pribadi. Connor menepati jadwal waktu jauh lebih ketat daripada siapa saja di stadion itu. 47 detik kemudian ia mengambil nampan dan menekan tombol untuk memberitahu staf bahwa ia telah menerima pesanannya. 423 Ia berjalan cepat melintasi tempat pertemuan di lantai tujuh, melalui stand bisnis, menuju pintu yang bertulisan "Pribadi". Ia membawa nampan di tangan satu dan dengan tangan yang lain ia memutar anak kunci, lalu menyelinap ke dalam. Kemudian ia menyalakan lampu dan menyusuri
lorong beratap di belakang JumboTron. Ia melihat jamnya lagi—83 detik. Terlalu lama. Tetapi karena dalam lari yang terakhir kalinya ia tak membawa nampan, seharusnya mungkin menyelesaikan seluruh kegiatan itu, dari atap hingga ke basement, dalam waktu kurang dan dua menit. Jika semuanya sesuai dengan rencana, ia. akan keluar dari stadion dan dalam perjalanan ke bandara sebelum mereka sempat memasang rintangan di jalan. Connor menjaga keseimbangan nampan di satu tangan dan mengetuk pintu dengan tangan lainnya; Beberapa detik kemudian pintu dibuka seorang laki* laki tinggi kekar yang berdiri dengan bayangan me^j manjang ditimpa cahaya. "Kau kubawakan makanan kecil," kata Connon dengan senyum hangat. "Bagus," kata jago tembak itu. "Mengapa tak masuk saja dan menemaniku?" Ia mengambil sandich pastrami dari nampan. Connor mengikutinya^ menyusuri podium baja berlapis seng di balik layan sangat besar yang terdiri atas 786 pesawat televisi.i Orang Dinas Rahasia itu duduk dan melahap sandich-* nya. Connor diam-diam mengamati senapannya. JumboTron berada di tiga lantai, satu di atas podium dan satu di bawahnya. Connor meletakkan i nampan di samping petugas yang duduk di tengah 424 deretan tangga yang menuju ke jalur yang melandai lebih rendah. Ia lebih memperhatikan Diet Coke daripada melihat mata Connor yang jelalatan. "Omong-omong," katanya di sela-sela tegukannya, "aku Arnie Cooper." "Dave Krinkle," jawab Connor. "Nah, berapa yang harus kaubayar untuk memperoleh hak istimewa bergabung denganku siang ini?" tanya Arnie sambil menyeringai. Marine One mendarat di landasan heli di sebelah timur laut stadion, dan sebuah limusin menderu maju sebelum kaki heli menyentuh tanah. Sesaat kemudian Lawrence dan Lloyd muncul. Presiden berpaling untuk melambai kepada kerumunan para penyambut yang cukup banyak, baru kemudian
masuk ke jok belakang mobil yang telah menunggu. Mereka menempuh jarak 400 meter ke stadion dalam waktu kurang dari satu menit. Setiap kali melewati pemeriksaan keamanan tanpa rintangan sama sekali. John Kent Cooke, pemilik Redskins, yang sedang menunggu di pintu masuk, menyambut mereka. "Ini merupakan kehormatan besar, Sir," katanya ketika Lawrence keluar dari limusin. "Sungguh menyenangkan bertemu denganmu John," balas Presiden. Ia berjabat tangan dengan orang kurus yang berambut keperakan itu. Cooke mengajak tamunya menuju ke lift pribadi. "Apa kau benar-benar percaya Skins akan menang, John?" tanya Lawrence sambil menyeringai. "Nah, itulah pertanyaan berbobot yang bisa diharapkan dari seorang politisi, Mr. President," jawab 425 Cooke, saat mereka masuk ke lift. "Semua orang tahu Andalah penggemar Packers nomor satu. Tapi saya terpaksa menjawab pertanyaan Anda dengan 'Ya, Sir.' Berjuanglah bagi DC. Skins akan menang." "Tapi Washington Post tak setuju dengan pendapat itu," kata Presiden ketika pintu terbuka di lantai pers. "Saya yakin Andalah orang terakhir yang percaya pada yang Anda baca di Post, Mr. President," kata Cooke. Kedua orang itu tertawa sementara Lawrence dipersilakan masuk ke boks, ruangan luas dan nyaman terletak di atas garis lima puluh yard, dengan pemandangan sempurna atas seluruh lapangan. "Mr. President, saya ingin memperkenalkan satu-dua orang yang telah membuat Redskins menjadi tim football terbesar di Amerika. Saya mulai dengan istri saya, Rita." "Senang berjumpa denganmu, Rita," kata Lawrence sambil berjabatan tangan. "Dan selamat atas
kesuk-sesanmu di National Symphony Bali. Kabarnya mereka mengumpulkan dana yang terbesar di bawah kepemimpinanmu." Mrs. Cooke berseri-seri dengan bangga. Lawrence dapaj^ mengingat fakta ataupun anekdot yang sesuai untuk setiap orang yang diperkenalkan kepadanya, tak terkecuali pria tua kecil yang mengenakan jaket Redskins yang tak mungkin mantan pemain itu. "Ini Pug Washer," kata John Kent Cooke sambil memegang bahu pria tua itu. "Nah, dia ini..." "...satu-satunya orang dalam sejarah yang masuk Redskins Hall of Fame tanpa memainkan satu pertandingan pun untuk tim," potong Presiden. Senyum lebar menghias wajah Pug. 426 "Dan aku juga diberitahu bahwa Pug mengetahui sejarah tim itu melebihi siapa pun yang masih hidup." Pug berjanji tidak akan mendukung Partai Republik lagi. "Jadi, katakan padaku, Pug, dalam pertandingan-pertandingan Packers lawan Skins, bagaimana poin musiman ketika Vince Lombardi melatih Packers, dibandingkan dengan tahun ketika ia bersama Skins?" "Packers 459, Skins 435," jawab Pug dengan senyum menyesal. 'Tepat seperti yang kuduga—pertama-tama seha-I rusnya ia tak meninggalkan Packers," kata Presiden sambil menepuk punggung Pug. "Tahukah Anda, Mr. President," kata Cooke, "saya belum pernah dapat mengajukan pertanyaan mengenai Redskins yang tak dapat dijawab Pug." "Apakah pernah ada orang yang membungkammu, Pug?" tanya Presiden sambil berpaling kepada ensiklopedi berjalan itu lagi. "Mereka selalu mencoba, Mr. President," jawab Pug, "baru kemarin saja ada orang..." Sebelum Pug menyelesaikan kalimatnya, Andy Lloyd menyentuh siku Lawrence.
"Maaf saya harus menyela, Sir, tapi baru saja kami diberitahu bahwa Presiden Zerimski kini tinggal lima menit lagi dari stadion. Anda dan Mr. Cooke harus menuju ke pintu gerbang timur laut sekarang juga agar tepat waktu untuk menyambutnya." "Ya, tentu saja," kata Lawrence. Ia berpaling pada Pug dan berkata, "Kita teruskan pembicaraan kita begitu aku kembali." 427 Pug mengangguk. Presiden dan rombongan mw ninggalkan ruangan itu dan menyambut Zerimski. "Agak terasa sedikit kaku di dalam sini," terial Connor mengatasi deru fan ventilasi pada langit-langill "Ya, memang," kata Arnie sambil meneguk hab» Diet Coke-nya. "Tapi kupikir itu sesuai dengan pen kerjaan." "Apa kau mengharapkan ada masalah hari ini?" "Tidak, sungguh tidak. Tentu saja kita semua waspada saat kedua presiden berjalan menuju lapangan, tapi itu hanya berlangsung sekitar delapan menit. Walau bila mengikuti cara Agen KhusuS Braithwaite, kedua presiden takkan diperbolehkan keluar dari boks pemilik hingga pulang." Connor mengangguk dan mengajukan beberapa^ pertanyaan lagi yang tak berbahaya. Dengan cermat', ia mendengarkan logat Brooklyn Arnie, dan berkonsentrasi pada ungkapanungkapan yang secara teraturi digunakannya. Sementara Arnie menggigit seiris kue cokelat, Connor mengintip melalui lubang pada papan iklanf yang berputar. Kebanyakan para petugas Dinas Ra-j hasia di stadion juga sedang beristirahat menyantap makanan kecil. Perhatiannya terpusat pada menara lampu di belakang zona akhir barat. Brad sedang di sana, mendengarkan dengan cermat seorang petugas yang menunjuk ke arah boks pemilik. Jenis orang muda yang perlu direkrut Dinas Rahasia, pikir. Connor. Ia menoleh lagi ke Arnie. "Aku akan kenvl bali ke sini di awal pertandingan. Kau suka sepiring!
sandwich, seiris kue, dan Coke lagi?" 428 "Ya, asyik. Tapi jangan banyak-banyak kuenya. Aku tak peduli kata istriku aku tambah gemuk, tapi akhir-akhir ini SAIC mulai mengomentari kegemukan-ku." Gaung sirene memberitahu seluruh staf di stadion bahwa waktu telah menunjuk pukul 10.30 dan gerbang-gerbang segera akan dibuka. Para penggemar segera membanjiri tribuntribun; kebanyakan dari mereka langsung menuju tempat duduk biasanya. Connor mengumpulkan kaleng Coke kosong serta wadah plastik dan meletakkannya di atas nampan. "Aka akan kembali membawa makan siangmu bila pertandingan dimulai," katanya. "Ya," jawab Arnie. Kini ia memfokuskan teropongnya pada massa di bawah. "Tapi jangan masuk sebelum kedua presiden kembali ke boks pemilik. Tak ada orang lain yang diizinkan berada di dalam JumboTron sementara mereka berdua di lapangan." "Oke. Aku mengerti," kata Connor sambil memandang terakhir kalinya ke senapan Arnie. Ketika berbalik hendak pergi ia mendengar suara masuk melalui radio dua arah. "Hercules 3." Arnie melepaskan radio dari belakang sabuknya, menekan tombol, dan berkata, "Hercules 3, teruskan." Connor ragu-ragu di pintu. "Tak ada yang perlu dilaporkan, Sir. Aku baru saja memeriksa tribun barat" "Bagus. Segera lapor bila melihat sesuatu yang mencurigakan." "Siap, Sir," kata Arnie. Dan ia menyangkutkan kembali pesawat radionya di sabuknya. 429 Dengan tenang Connor keluar ke lorong beratap, menutup pintu di belakangnya, dan meletakkan kaleng Coke di atas tangga. Ia memeriksa jamnya, kemudian cepat-cepat berj.i lan menyusuri lorong itu. Ia membuka pintu dan mo matikan lampu. Tempat pertemuan itu penuh dengan para penggemar yang menuju
kursi masing-masing. Ketika tiba di lubang lift, ia memeriksa jamnya lagi. 54 detik. Saat lari terakhir kali haruslah kurang dari 35 detik. Ia menekan tombol. 47 detik kemudian lift pelayanan muncul kembali. Jelas tak ada yang memanggilnya di lantai dua atau lima. Ia meletakkan nampan di dalam lift dan menekan tombol lagi. Lift langsung mulai turun pelan-pelan menuju basement. Tak ada yang tertarik memperhatikannya ketika Connor dengan jas panjang putih katering dan topi Redskins berjalan santai melewati tribun bisnis menuju pintu bertulisan "Pribadi". Ia menyelinap masuk dan mengunci pintunya. Dalam kegelapan ia berjalan kembali tanpa suara melalui lorong sempit beratap hingga beberapa meter saja dari pintu masuk JumboTron. Ia berdiri memandang ke bawah ke penopang baja yang sangat besar yang menahan layar luas di tempatnya. Sesaat Connor mencengkeram susuran tangga, kemudian berlutut. Ia membungkuk ke depan, memegang penopang dengan kedua tangannya, dan keluar dari lorong. Ia menatap layar di depannya, yang menurut denah arsitek berukuran 12,5 meter. Tampaknya lebih mirip 1,5 kilometer. Ia dapat melihat sebuah pegangan kecil, tapi masih juga belum tahu apakah pintu jebak yang jelas di430 tandai pada denah arsitek benar-benar ada. Ia mulai merangkak pelan-pelan menyusuri penopang, inci demi inci, tak pernah memandang ke bawah yang berjarak 51 meter. Terasa seperti 3 kilometer. Ketika akhirnya tiba di ujung penopang, ia meng-angkangkan kedua kakinya dan berpegangan kuat-kuat, seakan menunggang kuda. Layar beralih dari tayangan ulang sebuah gol dalam pertandingan Skins sebelumnya ke iklan toko peralatan olahraga Modell. Connor menarik napas dalam-dalam, mencengkeram pegangan pintu, dan menariknya. Pintu jebak terbuka, menyingkapkan lubang seluas 55 sentimeter persegi. Pelan-pelan Connor menarik masuk dirinya ke
lubang itu dan menutup kembali pintunya. Tertekan baja dari segala sisi, Connor mulai berharap seandainya ia mengenakan kaus tangan tebal. Rasanya seperti berada di dalam kulkas. Namun dengan berlalunya menit demi menit, ia mulai lebih yakin bahwa apabila harus kembali ke rencana daruratnya, tak ada yang tahu di mana ia bersembunyi. Ia berbaring kaku di dalam lubang penopang baja 51 meter di atas tanah selama satu setengah jam lebih, nyaris tak bisa membalikkan pergelangan tangan untuk melihat jam. Tetapi dulu di Vietnam, ia pernah dikurung tersendiri selama sepuluh hari, berdiri tegak dalam kurungan bambu yang digenangi air hingga dagunya. Sesuatu yang ia duga belum pernah dialami Arnie. 431
BAB TIGA PULUH TIGA ZERIMSKI berjabatan tangan hangat dengan siapa saja yang diperkenalkan kepadanya, dan bahkan tertawa mendengar lelucon John Kent Cooke. Ia mengingat nama semua tamu itu dan menjawab semua pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan tersenyum. "Itu yang oleh orangorang Amerika dinamakan serangan pesona," kata Titov padanya: hanya akan menambah kengerian yang telah direncanakannya untuk mereka malam itu. la telah dapat mendengar para tamu berkata kepada pers, "Ia santai dan gembira, khususnya saat bersama Presiden yang tetap disebutnya sebagai 'sahabatku yang baik Tom'." Seingat para tamu, Lawrence tak menunjukkan kehangatan yang sama, dan agak dingin terhadap tamu dari Rusia itu. Setelah perkenalan selesai, John Kent Cooke me432 ngetuk meja dengan sendok. "Maaf terpaksa menyela kesempatan yang begitu
menyenangkan ini," ia memulai, "tapi waktu berjalan terus, dan kemungkinan besar ini menjadi satusatunya kesempatan bagi saya untuk menjelaskan kepada kedua presiden sekaligus." Terdengar tawa kecil. "Nah, ini dia." la memakai kacamatanya dan mulai membaca selembar kertas yang diserahkan kepadanya oleh asisten urusan umum. "Pukul 11.20 saya akan menemani kedua presiden menuju pintu selatan stadion, dan pukul 11.36 saya akan mengantarkan keduanya keluar menuju lapangan." Ia mendongak. "Saya telah mengatur supaya sambutan ramai sekali." katanya sambil tersenyum. Rita tertawa agak terlalu keras. "Bila kita telah tiba di tengah lapangan, saya akan memperkenalkan kedua presiden dengan para kapten tim, dan mereka ganti memperkenalkan kedua presiden dengan para ko-kapten dan para pelatih. Kemudian kedua presiden akan diperkenalkan dengan para petugas pertandingan. "Pukul 11.40 semuanya akan berbalik dan menghadap ke tribun barat, tempat band Redskins akan memainkan lagu kebangsaan Rusia, disusul dengan lagu kebangsaan Amerika 77? Star-Spangled Banner" "Pukul 11.48 tepat, tamu terhormat kita Presiden Zerimski melontarkan dolar perak. Lalu saya akan mengawal kedua presiden meninggalkan lapangan dan kembali ke sini. Saya harap semuanya dapat menikmati menonton Redskins mengalahkan Packers di sini." Kedua presiden tertawa. Cooke memandang kedua tamunya, tersenyum lega 433 karena bagian pertama tugas berat telah selesai, dan bertanya, "Ada pertanyaan?" "Ya, John, aku ingin bertanya," kata Zerimski. "Tak kaujelaskan mengapa aku harus melontarkan koin."
"Untuk mengundi sisi kepala atau ekor yang meng* hadap ke atas, agar kapten dapat menentukan tim mana yang mulai menendang." "Ide yang menyenangkan," kata Zerimski. Sementara menit-menit berlalu, Connor semakin lebih sering memeriksa jamnya. Ia tak mau berada di da* lam JumboTron lebih lama dari seperlunya, tetapi ia membutuhkan waktu untuk membiasakan diri dengan senapan yang telah beberapa tahun tak digunakannya*.' Ia melihat jamnya lagi. Pukul 11.10. Ia harus menanti 7 menit lagi. Walau sudah tak sabar lagi;J jangan terburu-buru—hanya menambah risiko. Pukul 11.12. Ia memikirkan Chris Jackson, dan, pengorbanannya hanya untuk memberinya satu ke-j sempatan ini. Pukul 11.14. Ia mengenang Joan, serta kematian kejam dan tak perlu yang diperintahkan Gutenburg hanya karena wanita itu telah menjadi sekretarisnya. Pukul 11.15. Ia memikirkan Maggie dan Tara. Jika berhasil melaksanakan ini, mungkin ia dapat memberi mereka kesempatan hidup tenteram. Bila tidak, ia ragu apakah akan pernah melihat mereka lagi. Pukul 11.17. Connor membuka pintu jebakan dan pelan-pelan mengeluarkan diri dari ruangan sempit itu. Sesaat ia mengerahkan seluruh kekuatannya sebelum mengayunkan kakinya ke atas penopang dan pahanya menjepit erat-erat. Lagi-lagi ia tidak melihat 434 ke bawah sambil pelan-pelan merayap kembali sejauh 12,5 meter menuju lorong. Begitu tiba di langkau yang aman, ia mengangkat diri ke lorong. Beberapa saat ia memegangi jeruji, menenangkan diri, dan mulai melakukan beberapa gerakan peregangan. Pukul 11.27. Ia bernapas dalain-dalain sambil merunut rencananya untuk terakhir kali. Kemudian ia berjalan cepat-cepat ke JumboTron, hanya berhenti sebentar untuk mengambil kaleng Coke kosong yang ditinggalkannya di tangga. Ia menggedor pintu keras-keras. Tanpa menunggu jawaban ia membukanya, menerobos ke dalam, dan berteriak mengatasi kebisingan unit ventilasi, "Ini cuma aku."
Arnie memandang ke bawah dari langkan, tangan kanannya bergerak menuju picu senapan Armalit. "Pergi!" katanya. "Sudah kubilang jangan kembali sebelum kedua presiden keluar dari lapangan. Beruntung kau tak kutembak." "Maaf," kata Connor. "Hanya karena merasa betapa panas di dalam sini, aku membawakanmu Coke lagi." Ia menyerahkan kaleng kosong, dan Arnie membungkuk untuk mengambilnya dengan tangannya yang bebas. Begitu jari-jarinya menyentuh pinggir kaleng, Connor melepasnya, menyambar pergelangan Arnie, dan dengan sepenuh kekuatan yang dapat ia kerahkan menariknya dari langkan. Arnie menjerit mengerikan ketika terjatuh dengan kepala mendarat lebih dulu di atas lorong yang berlapiskan seng. Senapannya terpental menjauh. Connor mengayunkan badan berputar dan melompat 435 ke atas lawan sebelum Arnie sempat berdiri. Saat Arnie mengangkat kepala, tangan kiri Connor langsung menghantam dagunya dan membuatnya tuli sesaat, lalu Connor menyambar borgol yang tergantung di sabuk Arnie. Ia hanya melihat sekelebat lutut yang melayang ke selangkangannya, tapi dengan tangkas ia mengelak ke kiri dan terhindar dari serangan itu. Ketika Arnie mencoba berdiri, Connor meninjunya lagi, kali ini tepai mengenai hidungnya. Connor mendengar tulang retak. Darah mengucur membasahi wajah Arnie, kakinya tertekuk, dan ia roboh ke tanah. Connor melompat lagi ke atasnya. Begitu Arnie berusaha bangkit lagi, Connor menghajar bahu kanannya, akibatnya ia mengejat-ngejat. Kali ini ia ambruk tanpa bergerak lagi. Connor melepaskan jas putih panjang, kemeja, dasi, pantalon, kaus kaki, dan topinya. Semuanya ia onggokkan di sudut. Kemudian ia membuka borgol Arnie dan segera mencopot seragamnya. Ketika mengenakannya, ternyata sepatu terlalu kecil setidaknya dua nomor, dan pantalonnya terlalu
pendek beberapa inci. Ia tak punya pilihan lain kecuali mengenakan kaus kakinya dan sepatu olahraganya yang setidaknya juga berwarna hitam. Ia berpendapat bahwa dalam penyiksaan yang akan dilaksanakannya tak ada orang yang akan ingat pernah melihat seorang agen Dinas Rahasia yang mengenakan sepatu tidak sesuai aturan. Connor mengambil dasinya dari onggokan pakaian di sudut dan mengikat kedua mata kaki Arnie erat-erat. Kemudian orang pingsan itu diangkatnya dan disandarkannya pada dinding, dilingkarkannya kedua lengannya pada tiang logam yang melintasi lebar JumboTron, dan diborgolnya pergelangannya. Akhir436 nya ia mengeluarkan saputangan dari saku, menggulungnya menjadi sebuah bola, dan menyumbatkannya ke mulut Arnie. Orang malang itu akan merasakan sakit beberapa hari, bukan merupakan kompensasi yang cukup bila ia kehilangan berat badan beberapa kilo lebih banyak daripada yang ditegur SAIC. "Tak ada antipati pribadi," kata Connor. Ia meletakkan topi dan kacamata hitam Arnie dekat pintu, lalu mengambil senapannya. Tepat seperti yang diduganya: M-16. Memang bukan pilihan pertamanya, tapi bisa menyelesaikan tugas. Cepat-cepat ia naik tangga menuju ke platform lantai dua di mana Arnie tadi duduk. Ia mengambil teropong, melalui lubang di antara papan iklan dan layar video ia mulai mengamati massa di bawah. Pukul 11.32. Sudah berlangsung 3 menit dan 38 detik sejak Connor memasuki JumboTron. Ia memberi waktu empat menit untuk pengambilalihan. Ia mulai bernapas dalam-dalam dan teratur. Tiba-tiba ia mendengar suara di belakangnya. "Hercules 3." Mula-mula ia tak dapat mengetahui dari mana datangnya suara itu. Tapi kemudian ia ingat pesawat radio dua arah yang terpasang pada sabuk Arnie. la menyambarnya. "Hercules 3, silakan masuk" "Kukira sesaat kami kehilangan kau, Arnie," kata si SAIC. "Apakah semuanya
beres?" "Ya," kata Connor. "Hanya perlu buang air kecil sebentar. Dan rasanya tak baik melakukannya di atas kerumunan itu." "Sudah jelas," kata Braithwaite, sambil meledak tertawa. "Amati terus bagianmu. Tak lama lagi Red Light dan Waterfall akan turun ke lapangan." 437 "Siap," kata Connor dengan logat yang pasti menu buatnya dihukum ibunya waktu ia kecil. Radio lalu mati. Pukul 11.34. Ia memandang sekeliling stadion. Hanya sedikit saja tempat duduk merah dan kuning yang tidak diduduki orang. Ia mencoba konsentrasinya tak dibuyarkan para penggembira Redskinettes yang berpakaian minim dan menendang tinggi-tinggi tepat di bawahnya. Gemuruh menggema dari tribun ketika dua tim muncul dari terowongan di ujung selatan stadion. Mereka lari-lari kecil pelan menuju tengah lapangan, sementara massa mulai menyanyi Hail to the Redskins. Connor memasang teropong di depan mata dan memfokuskannya pada menara lampu jauh di atas stadion. Hampir semua agen kini sedang mengamati massa di bawah, mencari-cari bila ada tanda-tanda masalah. Tak seorang pun menaruh perhatian pada satu tempat yang sebenarnya akan jadi sumber masalah. Pengamatan Connor terpaku pada Brad muda, yang sedang mengintai tribun utara, memeriksanya deret demi deret. Anak muda itu tampak seakan berada paling dekat dengan surga. Connor mengedarkan pandang dan mengarahkan teropong pada garis lima puluh meter. Kedua kapten itu kini berhadap-hadapan. Pukul 11.36. Suara gemuruh meningkat lagi ketika John Kent Cooke dengan bangga mengiringi kedua presiden memasuki lapangan, dikawal oleh selusin agen yang hampir sebesar para pemain. Dengan sekali pandang Connor langsung tahu bahwa Zerimski dan Lawrence
mengenakan rompi antipeluru. 438 Ia ingin mengarahkan senapannya ke Zerimski dan memfokuskan titik-titik mil pada kepalanya di sana dan saat itu, tapi ia tak dapat mengambil risiko dilihat salah satu jago tembak di menara lampu, yang semuanya menyangga senapan pada lekuk lengan masing-masing. Ia tahu mereka telah dilatih membidik dan menembak dalam waktu kurang dari tiga detik. Ketika kedua presiden diperkenalkan kepada para pemain, Connor memperhatikan bendera Redskins yang berkibar diembus angin sepoi di atas ujung barat stadion. Ia membuka senapan, ternyata senjata itu dalam keadaan siap tembak—terisi penuh, tidak terkunci, tidak terkokang— sesuai dengan yang diharapkannya. Ia memasukkan peluru pertama ke dalam bilik peluru dan menutup kembali gagang senapan. Bunyi itu bagi Connor seperti letusan pistol start dan tiba-tiba degup jantungnya serasa hampir dua kali lebih cepat. Pukul 11.41. Kedua presiden kini berbincang-bincang dengan para petugas pertandingan. Melalui teropongnya Connor dapat melihat bahwa John Kent Cooke dengan gugup memeriksa jam tangannya. Ia membungkuk dan berbisik di telinga Lawrence. Presiden Amerika mengangguk, menyentuh siku Zerimski, dan menernaninya menuju tempat di antara dua tim. Di rumput ada dua lingkaran putih dengan gambar seekor beruang di dalam salah satunya dan gambar seekor rajawali di dalam yang lainnya. Dengan demikian kedua pemimpin tahu harus berdiri di mana. "Ladies and gentlemen," kata sebuah suara dari loudspeaker. "Silakan berdiri untuk menghormati lagu kebangsaan Republik Rusia." 439 Terdengar bunyi kursi berderak-derak ketika mass bangkit berdiri, banyak di antara mereka yang mele. paskan topi Redskins sementara mereka berpaling menghadap band dan paduan suara di
ujung barat Ia pangan. Dirigen mengangkat tongkatnya, berhenti sel jenak, kemudian menurunkannya dengan penuh semangat. Dengan gelisah massa mendengarkan yang su dah pernah didengar oleh sebagian kecil dari mereka. Walau telah beberapa kali berdiri menghormati lagu kebangsaan Rusia di masa silam, Connor berpendapat bahwa hanya sedikit band di luar negeri yang tahu persis tempo dimainkannya lagu itu dan lagu itu mencakup berapa bait. Maka ia memutuskan menunggu lagu The StarSpangled Banner sebelum mengambil satu-satunya kesempatannya. Begitu lagu kebangsaan Rusia usai, para pemain mulai melakukan peregangan dan lari di tempat dalam usaha untuk menenangkan saraf mereka. Connor menunggu hingga dirigen mengangkat tongkatnya sekali lagi. yang merupakan isyarat baginya untuk membidik Zerimski. la memandang ke tiang bendera di sisi seberang: panji Redskins kini terkulai, tanda bahwa praktis tidak ada angin. Dirigen mengangkat tongkat untuk kedua kalinya. Connor meletakkan senapan melalui sela antara papan iklan segitiga dan layar video, menggunakan bingkai kayu sebagai dudukan, la menyapukan pandangan teleskopis melintasi lapangan, kemudian memfokus-kannya pada belakang kepala Zerimski sambil mengatur titik-titik mil hingga benar-benar memenuhi pusat alat bidik senapan. Nada-nada pembukaan lagu kebangsaan Amerika 440 dimainkan, dan kedua presiden dengan jelas berdiri tegak. Connor mengembuskan napas. Tiga... dua... satu. Dengan lembut ia menarik picu tepat pada saat tangan kanan Lawrence melintasi dada dan berhenti di jantung. Tertarik oleh gerakan tiba-tiba ini, Zerimski menoleh ke kiri, dan peluru melesat melewati telinga kanan tak mengenai apa-apa. Suara 78.000 orang yang tak serasi memastikan bahwa tak ada yang mendengar gedebuk pelan saat logam satu inci itu mendarat di rumput di luar garis lima puluh meter. Brad, yang menelungkup di platform pencahayaan tinggi di atas suite eksekutif,
memandangi dengan cermat massa di bawah melalui teropongnya. Matanya tertuju pada JumboTron. Layar raksasa itu dipenuhi gambar Presiden Lawrence yang lebih besar daripada ukuran sesungguhnya, tangan di atas jantung, dengan penuh semangat menyanyikan lagu kebangsaan. Teropong Brad terus menyapu. Tiba-tiba ia ter-enyak kembali. Ia menduga telah melihat sesuatu di sela antara papan iklan segitiga dan layar. Ia memeriksa kembali... ternyata laras senapan, yang terarah ke tengah lapangan dari lubang di mana sebelumnya ia melihat Arnie memeriksa dengan teropongnya. Ia menggunakan fokus halus dan menatap wajah yang pernah dilihatnya hari itu. Ia tidak ragu-ragu. "Lindungi dan singkirkan. Senapan." Brad bicara dengan mendesak dan penuh otoritas, hingga Braithwaite dan kedua penembak jitu tandingan langsung mengarahkan teropong ke JumboTron. Beberapa saat kemudian mereka telah terfokus pada Connor yang sedang membidikkan tembakan kedua. "Santai." gumam Connor pada diri sendiri. "Jangan buru-buru. Waktumu banyak." Kepala Zerimski lagi-lagi memenuhi lingkup alat bidik. Connor kembali mengatur titik-titik mil dan mengembuskan napas. Tiga... dua... Peluru Braithwaite menerjang bahu kiri Connor hingga ia terjungkal. Peluru kedua melesat melalui lubang tempat kepalanya sesaat yang lalu berada. Lagu kebangsaan telah selesai. Latihan selama 28 tahun telah menyiapkan Connor untuk saat ini. Segalanya dalam tubuhnya menjerit-jerit kepadanya untuk lolos dengan selamat. Ia langsung melaksanakan rencana A, mencoba tak memedulikan rasa nyeri di bahunya. Ia berjuang menuju ke pintu, memadamkan lampu, dan merangkak naik ke lorong. Ia mencoba lari ke pintu yang menuju ke tempat pertemuan, tetapi ternyata ia harus mengerahkan seluruh tenaganya hanya untuk bergerak. Empat puluh detik kemudian, tepat ketika kedua presiden dikawal keluar lapangan, ia mencapai pintu. Ia mendengar
suara gemuruh massa ketika Redskins bersiap-siap memulai pertandingan. Connor membuka pintu itu, terhuyung-huyung ke lift pelayanan, dan memencet tombol beberapa kali Ia dapat mendengar deru pelan mesin lift yang bergerak pelan menuju ke lantai tujuh. Matanya jelalatan ke kiri-kanan, mencari tanda bahaya seberapa kecil pun juga. Bahunya semakin nyeri, tapi ia tahu ia tak bisa berbuat apa-apa. Tempat-tempat pertama yang diperiksa para penegak hukum ialah rumah-rumah sakit setempat. Ia melongok ke lubang lift, dan mengamati bagian atas lift menuju kepadanya. Kira-kira kurang dari lima belas detik lagi. Tapi tiba-tiba lift berhenti. 442 Seseorang pasti sedang memasukkan atau mengeluarkan barang di lantai eksekutif. Reaksi naluriah Connor ialah kembali ke rencana darurat. Sesuatu yang tak pernah terpaksa dilakukannya di masa silam. Ia tahu ia tak dapat lagi berada di situ. Jika ia menunggu beberapa detik lagi, pasti ada yang memergokinya. Ia bergerak secepat mungkin kembali ke pintu yang menuju ke JumboTron. Lift pelayanan kembali bergerak lagi. Sebuah nampan berisi sandwich, seiris Black Forest, dan sekaleng Coke yang telah ditunggu-tunggu Arnie muncul beberapa detik lagi. Connor menyelinap kembali melalui pintu bertulisan "Pribadi", membiarkannya tak terkunci. Ia harus mengerahkan seluruh tenaga untuk menyusuri lorong sepanjang tujuh puluh meter, tapi ia tahu para agen Divisi Intelijen Perlindungan akan menyerbu masuk melalui pintu itu beberapa saat lagi. Dua puluh empat detik kemudian, Connor tiba di penopang besar yang menyangga layar video. Ia memegang jeruji dengan tangan kanan dan pelan-pelan mengangkat diri melalui pinggir lorong dan menuju ke langkan, tepat ketika pintu lorong terbentang lebar. Ia menyelinap ke bawah lorong dan mendengar dua pasang kaki lari menuju ke arahnya. Mereka melintas di atasnya, dan berhenti di luar pintu ke JumboTron. Melalui sela di lorong, ia dapat melihat seorang
perwira menggenggam pistol, mendorong pintu hingga terbuka. Tanpa masuk, ia meraba-raba sakelar lampu. Connor menunggu hingga lampu menyala dan dua perwira itu menghilang ke dalam JumboTron, 443 bui ulah kemudian ia mulai merangkak di sepanjang penopang 12,5 meter untuk ketiga kalinya hari itu. Tapi sekarang ia hanya bisa berpegangan dengan tangan kanannya, yang berarti ia maju lebih lamban lagi. Pada saat yang sama ia harus memastikan bahwa darah yang menetes dari bahu kirinya jatuh sejauh 51 meter ke tanah dan tidak ke penopang sehingga dapat dilihat semua orang. Ketika pemimpin agen Dinas Rahasia memasuki JumboTron, yang pertama dilihatnya ialah Arnie yang diborgol pada tiang baja. Pelan-pelan ia menghampiri, sambil memeriksa segala penjuru hingga tiba di samping Arnie. Partnernya melindunginya sementara ia membuka borgol Arnie dan pelan-pelan menurunkannya. Kemudian ia mengeluarkan saputangan dari mulutnya dan memeriksa nadinya. Ia masih hidup. Arnie membuka mata ke langit-langit, tapi tidak bicara. Agen pertama Dinas Rahasia segera naik tangga ke lantai dua. Sementara agen lain melindunginya. Dengan hati-hati si agen pertama menelusuri sepanjang langkan di belakang layar besar. Sorak bergemuruh membubung dari stadion ketika Redskins mencetak gol, tapi ia tidak memedulikannya. Begitu tiba di dinding paling ujung, ia berpaling dan mengangguk. Agen kedua mulai naik ke lantai teratas, di sana ia memberi isyarat yang sama. Kedua agen itu kembali ke lantai bawah, sambil memeriksa ulang setiap tempat persembunyian yang mungkin. Saat itu ada berita masuk melalui radio agen pertama. "Hercules 7." "Hercules 7, silakan masuk." 444
"Ada tanda-tanda orang itu?" tanya Braithwaite. 'Tak ada siapa-siapa di sini kecuali Arnie, yang diborgol pada tiang dengan hanya memakai celana dalam. Kedua pintu tak terkunci, dan ada tetes-tetes darah sepanjang jalan menuju tempat pertemuan, jadi jelas kau sudah mengenainya. Ia pasti di suatu tempat di luar sana. Ia mengenakan seragam Arnie, jadi tak terlalu sulit menemukannya." "Jangan mengandalkan itu," kata Braithwaite. "Jika dia orang yang saya perkirakan, dia bisa saja ada di depan matamu." 445
BAB TIGA PULUH EMPAT TIGA pria duduk di Ruang Oval sedang mendengar kan tape. Dua di antaranya mengenakan setelan resmi, sedangkan yang ketiga mengenakan seragam. "Bagaimana kau dapat menemukannya?" tanya Lawrence. "Di antara onggokan pakaian yang ditinggalkan Fitzgerald di JumboTron. Di saku belakang jinsnya," kata Agen Khusus yang Sedang Bertugas, Braithwaite "Berapa banyak orang yang telah mendengarnya?" tanya Llyod, berusaha tidak terdengar terlalu cemas. "Hanya kita bertiga di ruangan ini, Sir," jawab Braithwaite. "Begitu mendengarnya, saya langsung menghubungi Anda. Saya bahkan belum memberitahu bos saya" "Aku berterima kasih atas itu, Bill," kata Presiden. 'Tapi bagaimana dengan orang-orang yang menyaksikan insiden itu di stadion?" 446 "Selain saya, hanya ada lima orang yang menyadari telah terjadi sesuatu. Dan Anda boleh yakin akan kemampuan mereka menjaga rahasia," kata Braithwaite. "Empat di antaranya telah bertugas jadi anggota staf saya selama sepuluh tahun lebih. Dan di antara mereka, mereka telah cukup tahu
rahasia yang harus diendapkan selama masa empat presiden terakhir, belum termasuk setengah anggota Kongres." "Apakah ada yang sungguh-sungguh melihat Fitzgerald?" tanya Lloyd. "Tidak, Sir. Dua agen yang langsung menyelidiki JumboTron sesudah insiden tak melihat dia kecuali seonggok pakaian, banyak darah, dan salah satu anak buah saya diborgol pada tiang. Setelah mendengarkan rekaman ini, saya memerintahkan supaya tak ada laporan tertulis maupun lisan mengenai insiden itu." "Bagaimana dengan agen yang tergantung di tiang baja?" tanya Presiden. "Ia kehilangan tempat berpijak dan terpeleset dari langkan. Saya memberinya cuti sakit sebulan." "Tadi kau sebutkan orang kelima," kata Lloyd. "Ya, Sir, seorang peserta pelatihan yang berada di atas di menara pencahayaan bersama kami." "Bagaimana bisa dipastikan ia takkan bicara?" tanya Lloyd. "Lamarannya untuk bergabung dengan Dinas Rahasia terletak di meja saya," jawab Braithwaite. "Saya kira dia mengharapkan ditugaskan di divisi saya begitu selesai dengan pelatihan." Presiden tersenyum. "Dan peluru itu?" "Setelah stadion dikosongkan, saya mengaduk-aduk seluruh lapangan hingga menemukan ini," kata 447 Braithwaite sambil menyerahkan sekeping logam pipih kepada Presiden. Lawrence bangkit dari meja, membalikkan badan, dan memandang ke luar jendela yang menjorok. Senja telah meliputi Capitol. Pandangannya melintasi halaman rumput sementara ia memikirkan apa yang akan dikatakannya. "Penting bahwa kau menyadari satu hal, Bill," katanya akhirnya. "Memang suara dalam pita rekaman itu kedengarannya seperti suaraku, tapi aku tak pernah meminta siapa pun, kapan pun, untuk membunuh Zerimski atau orang lain mana pun." "Saya menerimanya tanpa mempertanyakannya, Mr. President. Bila tidak, saya pasti tak ada di sini
sekarang ini. Tapi saya juga harus sama-sama jujur dengan Anda. Bila siapa pun dalam Dinas Rahasia menyadari Fitzgerald yang ada di JumboTron, kemungkinan besar mereka akan menolongnya lolos." "Orang macam apa yang dapat menumbuhkan kesetiaan yang begitu besar?" tanya Lawrence. "Di dunia Anda, saya pikir itu Abraham Lincoln," jawab Braithwaite. "Di dunia kami, itu Connor Fitzgerald.