ٌا َ ْل َعادَة ُ ُم َح َّك َمة
“Adat Kebiasaan adalah Hakim (dapat dibenarkan hukumnya)”
Tugas Kelompok Diajukan sebagai Tugas Akhir Kaidah Fiqh Untuk Manajemen dan Bisnis Dosen : DR. Erwandi Tarmizi, MA
Disiapkan oleh: Ahmad Sapudin Ginanjar Lukmantoro Fajar Adi Sutomo
1.
Pendahuluan Kaidah fiqh merupakan bagian dari studi fiqh. Bagi peminat hukum Islam,
mempelajari seluruh hal yang berkaitan dengan hukum Islam yaitu Al-Qur‟an dan Sunah sebagai sumber hukum, sejarah hukum Islam, ushul al-fiqh, kaidah ushul fiqh dan filsafat hukum Islam merupakan satu keharusan karena antara yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi (Mubarok, 2002). Atas dasar pemikiran tersebut, mendalami kaidah fiqh memiliki arti penting, karena ia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari studi hukum Islam secara keseluruhan. Tanpa memahami kaidah fiqh, pemahaman seseorang terhadap hukum Islam menjadi tidak komprehensif. Salah satu induk dari kaidah-kaidah fiqh adalah tentang adat atau kebiasaan, yaitu kaidah “Al „aadah Muhakkamah” (Adat itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan suatu hukum), yang diambil dari kebiasaan-kebiasaan baik yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat, dapat dijadikan dasar dalam menetapkan suatu hukum dengan melihat sifat dari hukum itu sendiri yang senantiasa mengalami perubahan sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat.
2.
Definisi Etimologi (lughotan):
Kata “adat” berasal dari bahasa Arab ٌ ; عَادَةakar katanya: „ada, ya„udu (َعَاد-ُ )يَعُ ْودmengandung arti perulangan.
Sedangkan “muhakkamah” berasal dari kata hakkama yuhakkimu yang artinya menjadi hukum.
Kata „Urf berasal dari kata „arafa, ya„rifu sering diartikan dengan al-ma„ruf (وف ُ )اَ ْل َم ْع ُرdengan arti sesuatu yang dikenal.
Page | 1
Terminologi (istilahan)
Ibnu Nuzaim mendifinisikan al-„aadah dengan “sesuatu ungkapan dari apa yang terpendam dalam diri,perkara yang berulang-ulang yang biasa diterima oleh tabi‟at (perangai) yang sehat.”
Menurut al-Jurjani: “Al-„aadah ialah sesuatu (perbuatan/perkataan) yang terus menerus dilakukan oleh manusia, karena dapat diterima oleh akal, dan manusia mengulang-ulanginya terus menerus”.
Menurut para ulama ushul fiqh •
“Adat adalah sesuatu yang dikerjakan secara berulangulang tanpa adanya hubungan rasional”
•
“„urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-ulangnya dalam ucapannya dan perbuatannya sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku umum.””.
Para ulama mengartikan al-„aadah dalam pengertian yang sama dengan al-urf, karena substansinya sama, meskipun dengan ungkapan yang berbeda.
Tabel 1. Tabel perbandingan antara ’Urf dengan ’Adah ’Urf Adat memiliki makna yang lebih sempit
’Adah Adat memiliki cakupan makna yang lebih luas
Terdiri dari „urf shahih dan fasid
Adat tanpa melihat apakah baik atau buruk
„Urf merupakan kebiasaan orang
Adat mencakup kebiasaan pribadi
banyak Adat juga muncul dari sebab alami Adat juga bisa muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak
Page | 2
Syarat adat (‘urf) menjadi hukum: 1. Tidak bertentangan dengan syari'at (Al-Quran dan Al-hadits) 2. Tidak
menyebabkan
kemafsadatan
(keburukan)
dan
tidak
menghilangkan kemashlahatan (kebaikan). 3. Telah berlaku pada umumnya orang muslim. 4. Tidak berlaku dalam ibadah mahdlah. 5. „Urf tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya. 6. Tidak bertentangan dengan yang diungkapkan dengan jelas. Macam-macam ‘urf :
Ditinjau dari segi diterima atau tidaknya 'urf, terbagi atas: a. 'Urf shahih : ialah 'urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara'. Seperti mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan akad nikah, dipandang baik, telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara'. b. 'Urf fasid : ialah 'urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena
bertentangan
dengan
syara'.
Seperti
kebiasaan
mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam.
Ditinjau dari segi objeknya 'urf, terbagi atas: a. Al-„urf al lafzi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal atau ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat b. Al-„urf al amali (kebiasaan yang berbentuk perbuatan) adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa
Page | 3
atau muamalah keperdataan. Yang dimaksud “perbuatan biasa‟ adalah perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu minggu, kebiasaan masyarakat tertentu memakan makanan khusus atau meminum minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian tertentu dalam acara-acara khusus. Adapun yang
berkaitan
dengan
muamalah
keperdataan
adalah
kebiasaan masyarakat dalam melakukan akad atau transaksi dengan cara tertentu. Misalnya kebiasaan masyarakat dalam jual beli, bahwa barang-barang yang dibeli itu diantarkan ke rumah pembeli oleh penjualnya, apabila barang yang dibeli itu berat dan besar, seperti lemari atau peralatan rumah tangga lainnya.
Ditinjau dari segi cakupannya 'urf, terbagi atas: a. Al-„urf al-„am : adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan diselurh daerah, misalnya dalam jual
beli
mobil,
seluruh
alat
yang
diperlukan
untuk
memperbaiki mobil seperti kumci, tang, dongkrak dan ban serep, termasuk dalam harga jual, tanpa akad terpisah dan biaya tambahan. b. Al-„urf al-khash : adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan dimasyarakat tertentu, misalnya di kalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk cacat lainnya dalam barang itu, konsumen tidak dapat mengembalikan barang tersebut atau juga kebiasaan mengenai penentuan masa garansi terhadap barang tertentu
Page | 4
3.
Dasar Hukum Kaidah Al-Qur’an Surat Al-A’raf [7] ayat 199
Artinya: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang untuk mengerjakan yang ma‟ruf (al-„urf), serta berpalinglah dari orang-orang bodoh” Hadist
س ٌه َ سنًا فَ ُه َو ِع ْندَ هللاِ َح َ َما َر َءاهُ اْل ُم ْس ِل ُم ْو َن َح َ َما َر َءاهُ ال ُم ْس ِل ُم ْو َن َ ْ ًا فَ ُه َو ِع ْندَهللاِ َ ْ ٌء Artinya: "Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk" (HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud).
4.
Aplikasi Kaidah pada Muamalah Kontemporer Jual beli dengan uang muka (‘arbun).
Merupakan suatu transaksi dimana seseorang membeli suatu barang dan membayar sejumlah uang dimuka kepada penjual, dengan syarat jika transaksi selesai, maka uang muka tadi akan diperhitungkan ke dalam total harga. Dan jika pembeli tidak membayar sisanya, maka penjual tidak akan mengembalikan uang muka tersebut.
Page | 5
Pendapat ulama: a. Jumhur ulama (kecuali Imam Ahmad) : Transaksi tersebut tidak sah dengan alasan pengambilan uang muka tersebut tidak adil dan mengandung unsur gharar. Dasar hukum adalah hadits Rosulullah SAW (dilaporkan oleh Imam Malik dalam kitabnya Al-Muwattha serta An-Nasai, Abu Daud dan Ibnu Majah) yang melarang penjualan „urbun. Meskipun hadits ini dianggap hadits lemah. b. Ulama Mazhab Hambali: Membolehkan transaksi „urbun berdasarkan Hadits Rosulullah yang diriwayatkan oleh Abdul Razzaq bahwa Rosulullah SAW ditanya mengenai tentang jual beli „urbun dan beliau membolehkannya. c. Ulama
kontemporer
(Zarqa,
Qardawi
dan
Zuhayli):
Membolehkan memihak pendapat ulama mazhab Hambali. Alasannya adalah uang muka untuk menguatkan komitmen bahwa si pembeli tidak akan merubah akad jual beli yang disepakati. d. The Islamic Fiqh of Jeddah: Membolehkan transaksi „arbun dengan alasan untuk menjamin hak penjual dan kestabilan transaksi. e. Sebagian besar ulama kontemporer menyatakan Call option dan Put option yaitu hak untuk membeli atau menjual komoditi dengan harga yang telah ditentukan dengan periode waktu yang ditentukan pula termasuk transaksi „arbun. Syarat-syarat yang tidak sah
Syarat-syarat yang tidak sah merupakan syarat-syarat yang memberikan
keuntungan
kepada
satu
pihak
yang
dapat
menimbulkan perselisihan dan menyebabkan kontrak itu rusak. Syarat-syarat yang tidak sah menjadi sah apabila syarat yang tidak sah tersebut menjadi kebiasaan atau tradisi di masyarakat yang tidak menimbulkan perselisihan.
Page | 6
Contoh: Garansi produk untuk peralatan elektronik, komputer, peralatan rumah tangga dll. Klausul denda dalam kontrak
Klausul denda dalam kontrak berisi jika kontraktor atau orang yang berhutang tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam periode tertentu, maka dia bertanggungjawab untuk mengganti kerugian yang disebabkannya kepada orang yang mengutangkan.
Pendapat ulama Ulama kontemporer dan Dewan Ulama Besar Saudi Arabia membolehkan memasukkan klausul denda dalam kontrak dengan syarat harus adil, logis atau proporsional sesuai kerugian yang ditimbulkannya agar keamanan dan kestabilan kontrak tetap terjaga.
Waqaf harta tak bergerak
Waqaf dalam hukum islam hanya terkait dengan harga yang tak bergerak saja. Sumbangan harta barang bergerak tidak termasuk dalam waqaf karena cenderung rusak dan hilang.
Pendapat Ulama Sebagian ulama seperti ulama mazhab Hanafi, Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad Ibn Hasan Syaibani mensahkan waqaf untuk buku, peralatan atau senjata karena kebiasaan sekarang menerimanya.
Jual beli hak pengusiran (Pugree atau Badal al-khulww)
Hal ini terjadi untuk kasus sewa menyewa dimana Pemberi sewa selain menerima uang sewa juga menerima uang muka dari penyewa sebagai pengganti yang membuatnya kehilangan hak untuk mengusir penyewa dari objek yang disewakannya.
Jika pemilik objek sewa berniat untuk mengambil objek sewa sebelum masa sewa berakhir maka dia harus membeli hak
Page | 7
pengusiran dari penyewa sesuai dengan harga yang disepakati kedua belah pihak. Hak pengusiran ini dapat juga ditransfer kepada pihak ketiga dengan kesepakatan yang saling menguntungkan antara ketiga pihak.
Contoh ilustratif: A menyewa toko kepada B dengan harga sewa per bulan 750.000 selama 30 tahun dengan total sewa 27.000.000. Sesuai akad A setuju untuk membayar uang muka sebesar 16.200.000. Uang muka
tersebut
diperhitungkan
sebagai
pengurang
dalam
pembayaran sewa bulanan sebesar 300.000, jadi A setiap bulannya membayar sewa 450.000 setelah dikurangi uang muka. Pada awal tahun sewa ke 16, A berniat mengambil objek sewa tersebut dari B. Sesuai kesepakatan A membeli hak pengusiran dari B sebesar 10.000.000. Jadi B memperoleh keuntungan dari penjualan hak pengusiran sebesar 1.900.000 (10.000.000 – 8.100.000).
Pendapat ulama: Mayoritas ulama membolehkan transaksi ini (Ibn Nujaym, Qasmi, Mufti India Habibur Rahman Khayr Abadi, Wahbah Zuhayli, dan Islamic Fiqh Academy India).
5.
Sub Kaidah Artinya : “Sesuatu hal yang dibenarkan oleh kebiasaan (adat/ urf) sama halnya dengan sesuatu yang dibenarkan dalam syarat perjanjian” Maksudnya sesuatu yang diakui oleh kebiasaan akan dianggap seolah-olah menjadi kesepakatan sebuah kontrak.
Page | 8
Contoh aplikasi:
Jika menurut kebiasaan umum seorang penjual AC bertanggung jawab terhadap pemasangannya, maka pemasangan itu dianggap sebagai syarat dalam kontrak jual beli itu, meskipun secara eksplisit tidak dicantumkan dalam kontrak.
Jika kebiasaan umum dalam sewa menyewa rumah adalah sewa itu dibayar di awal bulan, maka itu dianggap seolah-olah suatu syara kontrak.
Jika seseorang telah memberi kuasa kepada orang lain untuk menyewa sebuah rumah untuknya, maka orang yang diberi kuasa itu diharapkan menyewa rumah sesuai dengan syarat yang biasanya berlaku di pasar.
Artinya: “Sesuatu penetapan hukum berdasarkan „urf adalah sama kedudukannya dengan penetapan hukum yang didasarkan oleh nash”. Penerapan Sub-kaidah ini: a. Penerapan untuk penggunaan yang lazim dan upah yang wajar pada umumnya:
Jika seseorang telah menyewa kendaraan atau hewan pengangkut beban, maka dia dapat menggunakannya secara normal. Namun, jika dia ingin menggunakannya untuk tujuan yang tidak normal, maka dia hanya dapat melakukannya apabila pemilik kendaraan atau hewan tersebut mengijinkannya secara eksplisit.
Jika seseorang menggunakan rumah atau bangunan
seseorang
tanpa melakukan persetujuan sewa menyewa formal, maka dia akan membayar ongkos sewa yang biasa berlaku kepada pemiliknya.
Page | 9
Jika seseorang mengupah jasa orang lain tanpa menentukan dan menetapkan berapa besar upahnya, maka dia berhak atas upah yang berlaku di pasaran.
b. Penerapan untuk Qabd (kepemilikan) baik kepemilikan fisik (aktual) maupun manfaat.
Kepemilikan aktual dari harta di atas tanah adalah dengan melepaskan
(segala
ikatan)
dan
membuat
pemilik
bebas
mentraksasikannya.
Kepemilikan aktual dari harta bergerak adalah melalui penyerahan secara fisik.
Kepemilikan manfaat terjadi dengan melepaskan segala ikatan agar pemilik yang sebenarnya mampu mengambil haknya tanpa suatu masalah walaupun tidak ada transfer dan penyerahan yang nyata.
Kepemilikan manfaat lewat registrasi keuangan.
Kepemilikan dokumen-dokumen atas nama pemilik atau atas kepentingan pemilik adalah kepemilikan manfaat jika aset-asetnya dapat dipastikan dan pemilik mampu mentransaksikannya.
Kepemilikan sebelumnya dari aset-aset yang berwujud dianggap menjadi
kepemilikan
manfaat
dengan
tak
mengindahkan
kepercayaan atau kewajiban dalam semangatnya. c. Penerapan untuk Jual Beli dengan tindakan: transaksi jual beli tanpa mengucapkan ijab kabul yang merupakan penyempurnaan dalam transaksi tersebut.
Misalnya A memasuki sebuah toko dimana harga barang langsung dicantumkan pada barang-barang yang akan dijual. Jika A membayar harga suatu barang dan mengambil barang tersebut maka akad tersebut sempurna dengan tindakan ini atas dasar penerimaannya dalam tradisi dagang.
Page | 10
Para ulama fiqih membolehkan bentuk akad seperti ini dengan syarat-syarat sebagai berikut: i.
Tindakan tersebut harus berasal dari kedua belah pihak.
ii.
Tindakan harus didasarkan atas persetujuan pihak-pihak yang terlibat sampai pada level tertentu, dimana tidak ada dalil yang meniadakan keberadaan kesepakatan itu.
iii.
Barang tersebut harus bernilai kecil.
Wallahu a‟lam bisshawab.
Page | 11