Adat di Maluku: Nilai Baru atau Eksklusivisme Lama?1 Nicola Frost (Goldsmiths College, University of London)
Abstract The religious-ethnic violence in Maluku has unearthed a complex network of rivalries, inequalities and rhetoric. Opinions as to the causes of the conflict, and possible avenues for reconciliation are extremely diverse, and reflect many of the tensions and challenges faced by Indonesia as a whole, as it moves towards decentralisation. One of the elements of Maluku society that has proved to be controversial in this context is tradition or adat. This paper explores some current perspectives on the role of adat in Maluku, and its potential for social transformation. Does a situation as extreme as that in Maluku itself encourage radical transformation and creative solutions for rebuilding civil society, or does it simply further entrench existing prejudice and power relations? How will regional autonomy influence this? What relation do these questions have to other reconciliation initiatives? The paper does not attempt to draw far-reaching conclusions about the future role of adat in Maluku society, but simply indicates some of the questions to be asked and answered in the years ahead. It provides examples of past activities, current perspectives, and future possibilities. It is hoped that these questions will contribute to an already lively debate at the local level.
Pendahuluan Di bulan Maret tahun 2000 lalu, sebuah pertemuan diadakan di Tual, Maluku Tenggara, untuk menjalin kembali solidaritas antara kelompok Kristen dan Islam dalam konteks konflik yang tengah berlangsung. Pertemuan 1
Tulisan ini merupakan revisi dan terjemahan dari makalah berjudul Adat in Maluku: new value or old exclusions? yang dipresentasikan dalam panel: ’How will Eastern Indonesia Maintain “Unity in Diversity”? Responses to Religious-Ethnic Discord, Refugees and Regional Autonomy in East Indonesia’ , pada Simposium Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke-3:‘Rebuilding Indonesia, a Nation of “Unity in Diversity”: Towards a Multicultural Society’, Kampus Universitas Udayana, Denpasar, Bali, 16–19 Juli 2002.
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
tersebut, yang dihadiri oleh 1.500 perwakilan kedua kelompok, mengeluarkan pernyataan untuk menegakkan kembali kekuasaan pemimpin tradisional (bapak rajas) dengan syarat mereka harus mematuhi undang-undang negara dan menjamin penerimaan para pendatang dalam komunitas lokal (ICG 2002). Pernyataan tersebut adalah potret yang teramat jelas tentang dalamnya jurang antara dua pendapat yang berkembang dalam masyarakat Maluku: di satu sisi, otoritas adat adalah satusatunya cara menuju rekonsiliasi jangka panjang, kohesi sosial, serta pemerintahan daerah yang berhasil, sementara di sisi lain kepemimpinan ‘tradisional’ tidak dapat mengakomodasi kompleksitas dan heterogenitas
1
kehidupan masa kini di provinsi tersebut. Di seluruh Indonesia, peraturan baru mengenai desentralisasi telah memicu perdebatan panas tentang berbagai kemungkinan bentuk baru pemerintahan daerah. Otonomi daerah membuka kesempatan bagi komunitas untuk menyatakan kembali identitas kedaerahan mereka dan menghargai kembali nilai-nilai kebudayaan lokal setelah sebelumnya mengalami penyeragaman yang dipaksakan oleh Orde Baru. Di beberapa daerah, hal ini memunculkan kecenderungan ‘neotradisionalis’ yang berusaha menyelamatkan adat dari taman-taman hiburan dan menegakkan kembali bentuk kepemimpinan tradisional. Walaupun demikian, ada juga pihakpihak lain yang melihat otonomi daerah sebagai kesempatan untuk menghapus pola-pola kekuasaan yang usang dan tak lagi dapat dipercaya. Pihak-pihak ini bertujuan membangun sistem pemerintahan yang bertumpu pada akuntabilitas, demokrasi, dan kesetaraan. Tidak ada daerah lain yang memunculkan perdebatan yang lebih mendesak dan lebih sengit daripada di Maluku. Marjinalisasi selama bertahun-tahun dan keterbelakangan, yang diikuti perubahan sosial yang dramatis dan penuh kekerasan, memunculkan polarisasi pendapat tentang peran otoritas tradisional dalam membangun kembali Maluku. Pada intinya, satu kubu berpendapat bahwa konflik Maluku membuktikan tidak berperannya kepemimpinan dan aliansi tradisional dalam masyarakat Maluku saat ini, sementara kubu lain berpendapat bahwa sistem pemerintahan tradisional sesuai adat merupakan satusatunya cara menyatukan masyarakat Maluku dan mengatasi perpecahan antaragama. Tulisan ini membahas persepsi-persepsi yang ada saat ini mengenai adat di Maluku dan mengkaji implikasi beragam sudut pandang tersebut terhadap visi mengenai masyarakat Maluku paska konflik. Tulisan ini menyarankan
2
bahwa guna menciptakan kedamaian di daerah mereka, masyarakat Maluku harus menemukan cara untuk mengakomodasi perbedaan dan perselisihan pendapat serta hidup di dalamnya.2 Dengan demikian, tulisan ini tidak menawarkan cetak biru untuk masa depan, tetapi mengajukan rangkaian pertanyaan yang berguna bagi debat3 yang konstruktif.
Sebuah masa depan untuk adat Maluku? Seorang cendekiawan terpandang asal Maluku baru-baru ini berkata kepada saya, ‘Tahukah, adat sebenarnya hanyalah orangorang berkumpul untuk membicarakan masalahmasalah mereka dan mencari cara penyelesaiannya.’ Jika sebuah solusi terbukti berhasil, hal itu akan digunakan untuk waktu yang lama dan bahkan mungkin memasuki ranah tradisi. Namun, jika solusi tersebut tidak lagi berhasil, orang akan mencari cara pemecahan baru dan sistem akan mengalami sedikit pergeseran guna mengakomodasi hal baru itu. Ucapan tersebut begitu berkesan, karena kesederhanaan dan kepraktisan definisi yang dikemukakan tersebut tidak ada dalam beragam pengertian ‘adat’ yang dikenal oleh orang Indonesia dan Indonesianis. ‘Adat’ adalah ranah yang disederhanakan dan dengan demikian memiliki signifikansi politis dan simbolis. Sangat disarankan untuk menguraikan beban semantis terlebih dahulu. Salah satu citra adat saat ini adalah sebagai sistem kuasi-legal. Sejak zaman kolonial, pihak yang berkuasa terus-menerus memistifikasi dan mendefinisikan adat sesuai dengan kepentingan 2
Karena observasi ini hanya mendasarkan diri pada pengetahuan tentang Maluku Tengah dan Tenggara, istilah ‘Maluku’dalam tulisan ini mengacu pada batasan provinsi dan tidak mencakup Maluku Utara. 3
Terima kasih kepada Hubertus Samangun, Antonius Silubun, Ot Lawalatta, Sam Kuriake, P.M.Laksono, Sugeng Maskat, dan Remy Leimena yang telah menyumbangkan pemikiran dan pengalaman mereka.
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
mereka dan memisahkannya dari ‘kehidupan normal’. Di bawah pemerintahan Belanda, hukum adat dimasukkan dalam undang-undang sebagai sistem hukum paralel bagi penguasa kolonial (Ter Haar 1948). Charles Zerner menggambarkan bahwa di Maluku sistem tradisional yang mengatur akses pada sumber daya alam, yang disebut sasi, dikooptasi dan dimanipulasi oleh pejabat kolonial (Zerner 1994). Salah satu akibat pengesahan adat adalah tidak merakyatnya pengetahuan tentang adat. Pengetahuan tersebut hanya dimiliki segelintir ‘ahli’ dalam komunitas. Oleh karena telah dikodifikasi dan menjadi pengetahuan tertulis, adat merupakan tanggung jawab segelintir orang yang mewakili seluruh komunitas. Citra lain yang juga dikenal luas adalah konstruksi Orde Baru mengenai adat sebagai cerita rakyat. Seperti yang telah terdokumentasi, retorika Orde Baru, yang berusaha menjadikan praktik dan kepercayaan pada adat sekadar gambaran indah tradisi, menghapus elemen konflik, pertentangan, dan negosiasi dari adat dan menyederhanakan keragaman menjadi detil kosmetis, seperti pakaian dan arsitektur (lihat Howell 2001; Pemberton 1994; Anderson 1990). Di balik hal ini ada asumsi bahwa perbedaan pada dasarnya merupakan sesuatu yang tidak dikehendaki. Munir menulis, ‘Tidak ada ruang bagi perbedaan dan pluralitas, karena pluralitas sendiri dianggap sebagai ancaman’ (Munir 200:18). Salah satu konsekuensi Undang-undang Pemerintah mengenai Desa tahun 1979 yang kurang dikenal adalah hilangnya kemampuan mengakomodasi perbedaan yang sebelumnya ada dalam masyarakat. Kemampuan ini digantikan oleh sebuah sistem yang menekan perbedaan pendapat dengan cara kasar atau bahkan mengabaikannya. Warga desa-desa di Maluku akan mendapatkan parabola dan televisi jika Golkar meraih suara 100% di desa mereka. Jika
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
tentara yang ditempatkan di desa memastikan adanya kerusuhan, dengan latar belakang apa pun, warga yang bersangkutan akan dituduh melakukan subversi. Berbagai hal tersebut menimbulkan penyangkalan adanya perbedaan dan ketidakmampuan untuk mengolah dan mengakomodasi perbedaan sebagai bagian dari kehidupan masyarakat yang sehat. Patricia Spyer pernah mengatakan bahwa ‘bhinneka tunggal ika’ tidak mengacu pada sebuah fait accompli, tetapi lebih ‘bermaksud menjadikan perbedaan dalam masyarakat Indonesia sebagai urusan negara’ (Spyer 1996:25). Pernyataan tersebut penting karena menggarisbawahi kuatnya sifat politis dalam retorika ini dan sekaligus mengindikasikan bahwa manajemen perbedaan tidak lagi boleh dilakukan oleh penduduk lokal. Pemerintahan yang bersifat top-down dan terpusat, serta kooptasi masyarakat madani oleh negara menyisakan sedikit ruang untuk diskusi terbuka dan bersilangnya beragam opini yang berbeda. Ironisnya, disintegrasi negara kesatuan yang saat ini kita saksikan, menurut Munir, adalah akibat langsung dari ‘kegagalan sistem sosial dan politik untuk mengakomodasi perbedaan dalam konsensus yang sesungguhnya’ (Munir 2001:19). Aspek-aspek praktik adat telah dilihat sebagai penanda identitas dalam usaha mengimbangi penyeragaman yang ingin diwujudkan negara. Dalam dekade-dekade awal berdirinya Republik Indonesia, pela (sebuah sistem aliansi tradisional antardesa, biasanya antara desa Kristen dan Muslim) merupakan cara menegaskan identitas Maluku. Pela adalah ciri khas Maluku dalam iklim nasionalisme panIndonesia dan sekaligus cara memberikan dukungan materil bagi desa-desa di luar jangkauan bantuan pemerintah. ‘Ketika politisi di kota sibuk berkelahi memperebutkan berbagai keuntungan yang dihasilkan oleh
3
sistem baru, rakyat di tingkat akar rumput bereaksi pada ancaman hilangnya identitas dan perpecahan sosial dengan memberi kembali penekanan pada pela’ (Bartels 2000). Dalam sebuah artikel yang ditulis pada pertengahan tahun 1990, Tonny Pariela menyatakan bahwa terus dipertahankannya adat di desa Soya di Ambon dapat dilihat sebagai bentuk perlawanan terhadap campur tangan pemerintah dalam urusan daerah (Pariela 1996). Sejak konflik berlangsung, adat menjadi sebuah strategi politis (lihat Bubandt dalam edisi ini) komunitas-komunitas yang berjuang untuk menyatakan diri mereka di tengah-tengah persaingan dengan komunitas lain. Signe Howell, dalam sebuah studi mengenai orang Lio dari Flores, mengatakan bahwa adat hanya dapat berperan jika terpisah dari agama dan pemerintah (Howell 2001). Hemat saya tidaklah demikian. Kembalinya peran adat justru merupakan akibat dari interaksi strategis dengan kedua bidang tersebut. Di bawah Orde Baru, adat menjadi alat pengatur hubungan negara dengan masyarakat dan, hingga tingkat tertentu, merupakan perantara bagi masyarakat tanpa hak suara. Apakah kuatnya dukungan bagi adat saat ini merupakan indikasi penolakan terhadap negara? Memang jelas bahwa kepercayaan pada pemerintah sangatlah rendah. Seorang pegawai pemerintah di Kei mengaku bahwa ketika tetua adat turut campur menangani kekerasan, ‘Tak ada yang mendengarkan kami, kami benar-benar tanpa wewenang.’ Namun semenjak itu, komunitas adat di Kei berusaha, meskipun tak terlalu berhasil, menjalin hubungan dengan pemerintah lokal yang baru terbentuk. Sebagaimana yang akan dijabarkan di bawah ini, meskipun ada yang melihat adat sebagai alternatif lain selain negara, ada juga yang menyadari kemungkinan terciptanya bentuk baru kerja sama adat dan negara.
4
Adat dan pentingnya perbedaan Bagaimana adat dapat menambah kohesi sosial yang diperlukan bagi perdamaian di Maluku?4 Pengamatan struktur masyarakat tradisional dan kosmologi Maluku menunjukkan bahwa perbedaan merupakan elemen fungsional dalam masyarakat Maluku, bukan sesuatu yang harus dihapuskan atau dihindari. Literatur etnografis tradisional dan sejarah menggarisbawahi adanya saling ketergantungan di antara pihak-pihak yang berlawanan. Ikatan antara Tidore dan Ternate, sesuai pengamatan Leonard Andaya, merupakan contoh baik dari saling ketergantungan tersebut. Sepanjang sejarah, kedua kesultanan selalu berada di pihak yang berlawanan. Walaupun demikian, mereka saling membutuhkan untuk menyatakan identitas diri masing-masing (Andaya 1993). Para ahli antropologi strukturalis juga telah mencatat dominasi sistem-sistem dualistik dalam pikiran simbolis dan praktis pada masyarakat tradisional Maluku. Makalah Valerio Valeri dalam MayburyLewis dan Almagor (1989), mengenai sistem SiwaLima di Seram adalah salah satu tulisan yang menyoroti hubungan resiprokal dan sering ambigu yang terdapat dalam pasangan konsepkonsep simbolis. Dalam sebuah studi mengenai orang-orang Pulau Kei, P.M. Laksono juga menekankan kebutuhan, yang terkadang bersifat praktis, untuk memiliki rasa berbeda. Rasa itu justru menjamin adanya saling ketergantungan. Akibat sedikitnya ketersediaan sumber daya lokal di pasar, orang Kei harus bertahan melalui tumpukan hutang mereka dengan cara menjaga kontrak sosial. Untuk itu, orang Kei harus memiliki gagasan mengenai perbedaan di antara mereka 4
Definisi ‘adat’ dalam tulisan ini adalah ‘kerangka kehidupan sosial yang bersifat holistik dan berkesinambungan secara historis’. Termasuk dalam kehidupan sosial adalah pemerintahan, politik, spiritualitas, moralitas, serta rasa mengenai identitas dan kedaerahan. Sebagaimana yang telah dibahas dalam makalah ini, dalam konteks politik sering adat tidak diartikan demikian.
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
dengan cara bertukar hadiah. Jika tidak, kontrak tradisional tersebut akan berakhir (Laksono 1996).
Dengan demikian, kehidupan sosial di Maluku ditopang oleh perbedaan yang merupakan alat esensial untuk menjaga keseimbangan dan menyatakan identitas. Inilah gagasan sentral yang terdapat dalam logika pela, salah satu aspek adat Maluku yang paling sering dibicarakan beberapa tahun terakhir ini. Banyak diskusi tentang keberlangsungan praktik adat di Maluku Tengah menyoroti ‘kegagalan’ ikatan pela dalam mencegah terjadinya konflik antara komunitas Kristen dan Muslim. Kenyataan bahwa konflik tetap timbul meskipun ada ikatan tersebut dianggap membuktikan bahwa ‘adat telah mati’, setidaknya di Ambon. Penarikan kesimpulan macam itu sangatlah disayangkan. Kesimpulan tersebut muncul sebagai akibat kesalahpahaman mengenai asal-usul dan sifat ikatan pela . Sebagaimana yang dijelaskan oleh Bartels, pela adalah ikatan antardesa tertentu, dan bukan jaminan solidaritas antara orang Kristen dan Muslim di tingkat yang lebih tinggi (Bartels 2000). Ikatan tersebut dibentuk sebagai hasil konflik, untuk mengakui bantuan yang pernah diberikan satu desa pada yang lainnya atau sekadar untuk memfasilitasi hubungan ekonomi, terutama di masa kekurangan. Bartels (1977) menyatakan bahwa ikatanpela merupakan hasil konflik hanya jika kedua belah pihak dinyatakan sama kuat. Ikatan tersebut mengandung elemen rasa hormat: pihak yang menang mengakui bahwa kemenangan mereka didasari faktor kebetulan. Dengan demikian, pela bukan strategi untuk mencegah pecahnya konflik antara dua pihak yang anonim, melainkan sebuah mekanisme yang mengakui dan memperkokoh hubungan di antara dua elemen serta mengakomodasi ambiguitas yang merupakan karakteristik hubungan dekat. Penggambaran desa-desa pela sebagai saudara kandung sangatlah tepat; cinta dan kebencian, kesetiaan
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
dan konflik merupakan manifestasi dari hubungan saudara kandung. Intinya sederhana: tanpa kesadaran akan adanya perbedaan tak mungkin terbentuk kesatuan; tanpa keterlibatan dengan pihak lain, tak ada juga identitas diri. Sebagaimana yang umum diketahui ahli antropologi, identitas bergantung pada hubungan diri dengan orang lain. Di masa Orde Baru, Maluku dilihat sebagai contoh toleransi beragama. Baru akhir-akhir ini saja, melalui kuatnya ekspresi kekerasan dalam konflik, terkuak ketegangan dan kebencian yang berhasil dikaburkan oleh retorika tersebut. Akan tetapi, dengan pemahaman mengenai arti perbedaan tersebut, jelas pula bahwa pemisahan berdasarkan agama bukan solusi jangka panjang. Menghapus perbedaan tidaklah mungkin karena hal tersebut esensial bagi identitas. Jika perbedaan yang ditarik tidak berdasarkan agama, tetap akan ada perbedaan berdasarkan kelas, kesejahteraan, etnis, atau apa pun juga. Dari diskusi ini jelas bahwa melihat kegagalan pela dalam mencegah konflik agama sebagai indikasi kesia-siaan adat tidaklah tepat. Telaah literatur yang lebih jeli menambah pemahaman tentang dinamika sosial masyarakat tradisional Maluku. Yang dikemukakan dalam literatur bukanlah bahwa pela benar-benar menguasai kehidupan rakyat—hal ini jauh dari kenyataan—atau bahwa kebijaksanaan nenek moyang merupakan solusi tepat untuk masalah Maluku. Lebih sederhana dari itu semua, yang ingin digarisbawahi adalah bahwa struktur tradisional masyarakat Maluku menunjukkan perlunya pengakuan dari dan keterlibatan orang lain. Pemahaman mengenai hal ini penting, apa pun yang menjadi bentuk baru orientasi politis dan sosial Maluku.
Kembali ke masa depan: merekacipta adat (menciptakan kembali adat?) Seorang pria Tanimbar yang telah lama tinggal di Jakarta pernah berkata, ‘Otonomi
5
daerah harus menjangkau tingkat desa.’ Baginya, ini berarti kebebasan untuk menegakkan kembali sistem pemerintahan desa berdasarkan sistem adat yang selama beberapa generasi tak pernah berfungsi sepenuhnya— jika berfungsi pun hanya sesuai yang ada dalam buku teks. Ia memiliki visi mengenai komunitas yang menghargai senioritas dan dipersatukan oleh mitos yang sama mengenai asal-muasal mereka. Pandangan indah masa lalu, yang dibandingkan dengan penghinaan di masa kini yang tak dapat ditarik kembali, mengandung banyak persamaan dengan pendekatan strukturalis yang digunakan banyak ahli antropologi Maluku di pertengahan abad ke20. Mereka menganggap kehidupan sosial Maluku sebagai wujud kemerosotan sistem yang sebelumnya utuh dan tidak melihat perkembangan sebagai sifat sebuah sistem. Tidak semua pandangan mengenai peran otoritas tradisional di masa depan Maluku memiliki perspektif idealistis dan a historis seperti itu. Tidak dapat dipungkiri bahwa adat dan tradisi telah melemah dan sebuah jalan dibutuhkan untuk mengembalikan masyarakat pada nilai-nilai mereka, terlebih setelah Pancasila mengalami disilusi. Namun, ini tidak berarti harus kembali pada ‘bentuk murni’ yang begitu saja diambil dari masa lampau. Kehancuran yang dialami masyarakat Maluku, seperti yang dikatakan beberapa orang, dapat menjadi katalisator proses reka ulang tradisi. Seorang pria Ambon pernah berkata, ‘Orangorang tengah memikirkan kembali dasar keyakinan-keyakinan tradisional Maluku.’ Bartel menyatakan bahwa ini bukan pertama kalinya perubahan sosial yang dramatis memicu proses refleksi: ‘Sepertinya orang Ambon di Maluku Tengah harus melakukan apa yang dilakukan orang Ambon di Belanda yang berada dalam pengasingan di tahun 1951.’ Mereka harus senantiasa melakukan reka cipta adat
6
sehingga dapat menjawab kenyataan sosiopolitis saat itu (Bartels 2000). Pengalaman di saat konflik telah memberi gambaran sekilas tentang kemungkinan titiktitik pertemuan aliansi tradisional dan proses rekonsiliasi modern. Ot Lawalatta adalah dosen hukum di Universitas Pattimura Ambon. Ia anggota terpandang gereja Protestan Ambon dan ketua cabang organisasi hak asasi Komnas HAM. Ia menggambarkan pengalamannya mengikuti pembicaraan damai Malino II pada Februari 2002 saat ia berhadapan dengan delegasi Muslim dari desa yang memiliki ikatan pela dengan desanya. Saya mengulurkan tangan ke arahnya dan untuk waktu cukup lama ia ragu, sebelum akhirnya menjabatnya. Keesokan harinya, ia menghampiri saya dan berkata bahwa ia tak dapat memejamkan mata semalam karena terus terbayang tindakannya yang nyaris menolak ikatan pela.
Lawalatta mengaku optimis mengenai peran aspek adat dalam membangun kembali komunitas-komunitas Maluku. Ia tak melihat alasan mengapa sisi-sisi positif kehidupan tradisional, seperti hormat pada otoritas, rasa solidaritas dan kesamaan tujuan, serta penghargaan pada budaya lokal tak dapat berpadu dengan gagasan-gagasan modern, seperti halnya kesetaraan gender dan dengan agama, baik sebagai sesuatu yang bersifat institusional maupun spiritual. Yang ingin ditekankan di sini adalah bahwa tradisi bukan satu set aturan yang dikodifikasi, baku, dan statis. Tradisi adalah seperangkat kebiasaan yang memenuhi tujuan sosial tertentu di satu masa tertentu dan terusmenerus mengalami revisi dan pembentukan ulang seiring dengan berubahnya kebutuhankebutuhan sosial. Dalam pemikiran ‘pela telah mati’ terdapat asumsi bahwa penyimpangan dari aturan tingkah laku pela yang baku merupakan indikasi ketidakampuhan ikatan
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
tersebut. Sylvia Huwae telah menegaskan bahwa pela memang memiliki kekuatan normatif, sejauh tingkah laku tersebut terinstitusionalisasi dalam kebiasaan desa, tetapi jika terjadi perubahan sosial, orang dengan mudah menyimpang darinya (Huwae 1995). Ini tidak berarti bahwa ikatan pela selamanya akan terganggu—justru fleksibilitas semacam ini membuatnya lebih dapat bertahan dibandingkan dengan jika ikatan tersebut kaku. Menghapus faktor sejarah dari adat dan kembali pada mitos ‘tradisional’ tidaklah mungkin. Bagaimana pun juga, konsep adat modern mengandung segala pengertian dan manipulasi arti yang terjadi di masa lalu. Apa yang perlu dilakukan saat ini agar adat memiliki signifikansi bagi generasi yang akan datang adalah menghidupkannya kembali setelah dilumpuhkan dalam kodifikasi Belanda dan nyaris dibunuh oleh Orde Baru, dan kemudian membiarkan bentuk baru muncul.
Membangun masyarakat Madani Seorang Tanimbar berkata, ‘Pemerintah pusat perlahan namun sistematis telah membunuh institusi-institusi daerah’ di Maluku—seperti di tempat-tempat lain di Indonesia. Banyak orang berpendapat bahwa setidaknya di Maluku Tengah, salah satu yang dibunuh adalah adat: bahasa upacara (bahasa tanah) yang biasanya digunakan dalam lagulagu kabata telah dilupakan dan upacaraupacara yang dulu terkait dengan isu praktis seperti tanah dan warisan kini bersifat simbolis. Orang-orang muda yang tumbuh besar di kota tidak memahami ataupun menghormati tradisi adat. Pegawai pemerintah lokal di Kei menjelaskan mengapa tetua adat berhasil meredakan konflik di Kei sementara di Ambon kekerasan masih berlangsung, ‘Di sini kita memiliki hukum adat—di Ambon yang ada hanya tradisi.’
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
Apakah ucapan tersebut harus dianggap serius? Banyak orang mengatakan bahwa wewenang adat dibangun atas sistem holistik, di dalamnya terdapat keyakinan spiritual, pengakuan pada hierarki, ritual dan upacara. Tanpa dasar spriritual—dan inilah apa yang menurut pegawai Kei tersebut tidak ada di Ambon—adat tidak jauh berbeda dari versi Taman Mini tentang budaya daerah. Kelompok yang menolak dan menganggap adat sebagai kekuatan di masa lampau yang tidak lagi cocok bagi dunia modern menyoroti sifatnya yang eksklusif dan hierarkis: mengembalikan kebudayaan dapat berarti menciptakan diskriminasi baru, terutama bagi pendatang, wanita, keluarga bukan adat, dan orang muda. Mereka yang tak memiliki kaitan dengan adat kerap menemukan bahwa kelompok agama adalah satu-satunya kesempatan bagi mereka untuk terlibat dalam komunitas—tak mengherankan jika konflik yang terjadi adalah seputar identitas keagamaan. Meskipun dinamika kehidupan sosial, terutama di Maluku Tengah, bersifat urban, desa tetap merupakan titik acuan simbolis bagi orang Maluku. Ini berlaku baik bagi mereka yang menetap di dalam maupun di luar Maluku. Desa tetap merupakan faktor fisik yang signifikan dalam politik daerah dan ikatan kesetiaan. Orang asli Maluku yang hidup di kota Ambon dengan bangga bercerita tentang desa asal mereka dan beberapa desa di Maluku Tengah dikenal karena merupakan daerah asal pemimpin-pemimpin pemerintahan dan keagamaan.
Bentuk-bentuk alternatif Apa kiranya alternatif untuk organisasiorganisasi berlatar belakang etnis dan agama? Dominasi agama maupun sifat kedaerahan dalam masyarakat Maluku menghambat terciptanya masyarakat madani yang tidak
7
berpangkal pada kedua hal tersebut. Pembentukan masyarakat madani yang semata dibangun atas konsep-konsep modern kewarganegaraan kemungkinan tidak akan mendapat dukungan Maluku yang tengah bangkit kembali. Ingatan tentang organisasi sipil yang tak berkaitan dengan sistem lokal dan pemaksaan struktur sebagai wujud campur tangan pemerintahan Orde Baru (organisasi wanita PKK adalah contoh tepat) masih terlalu tajam. Dengan demikian, sebuah keseimbangan harus dicapai antara koersi dan penyeragaman masyarakat madani oleh pemerintahan Orde Baru dengan ikatan eksklusivisme atas dasar agama dan suku, termasuk kemungkinan pecahnya konflik kembali. Walaupun demikian, semangat untuk mengadopsi bentuk organisasi madani tetap ada, kali ini mencerminkan kepentingan eksternal lain, yaitu kepentingan lembaga pembangunan internasional. Membaca tanda-tanda kegagalan teori modernisasi dalam menciptakan kesejahteraan dan kemerdekaan bagi seluruh umat manusia, donor-donor internasional melirik gagasan ‘masyarakat madani’ sebagai cara lain untuk menanamkan demokrasi di dunia berkembang (Edwards dan Gaventa 2001). Konsep masyarakat madani tersebut saat ini tengah digemari institusi-institusi yang terlibat dalam pembentukan kebijakan untuk perkembangan internasional dan demokrasi. Thomas Carothers (1999) mengkritisi konsep masyarakat madani komunitas-komunitas perkembangan. Pemahaman mereka tentang hal tersebut kabur dan cenderung menyesatkan. Di banyak kasus, masyarakat madani dilihat sesuai istilah [orang barat?] ‘keibuan dan kue apel’ dan tanpa pengkajian lebih dalam begitu saja dianggap positif. Semakin lama, senasib dengan ‘partisipasi’ dan ‘komunitas’, masyarakat madani ‘lebih sering menimbulkan pancaran cahaya lembut daripada memercikan debat atau
8
praktik’ (Eade 2000:10). Seperti yang diwakili oleh lembaga-lembaga internasional, yang pada saat bersamaan mempertimbangkan keadaan geopolitik global dan opini publik negaranegara donor, masyarakat madani membutuhkan banyak debat dan praktik. Hal ini ‘tidak melibatkan kekerasan, tetapi memiliki kekuatan, nonpartisan dan sekaligus prodemokrasi dan muncul dari masyarakat-masyarakat lokal tetapi tetap universal’ (Carothers 1999:207). Di sini tampak jelas kecenderungan untuk mengaburkan pluralitas, seperti yang pernah dilakukan negara pada adat dan tradisi. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Mike Edwards, ‘masyarakat madani adalah arena, bukan benda’ (Edwards dan Gaventa 2001) dan dengan demikian mengandung beragam agenda dan kepentingan yang saling berlawanan. Halhal itu diperlukan mengingat peran masyarakat madani sebagai ruang diskusi, perselisihan pendapat, dan mufakat. Fungsi tersebut dan hubungan timbal balik yang kompleks antarelemen dalam masyarakat madani telah dikaburkan dalam gambaran satu dimensi yang diperkenalkan oleh komunitas internasional. Berbagai LSM internasional di Maluku memilih menyokong usaha organisasi-organisasi lokal untuk menciptakan kembali perdamaian di daerah mereka. Hal ini mengakibatkan menjamurnya jumlah lembaga yang dibangun sesuai cetak biru yang menguntungkan mereka dengan memaksimalkan aliran dana yang masuk. Sayangnya, cetak biru tersebut sering tidak memiliki basis dalam atau mandat dari komunitaskomunitas yang diatasnamakan. Strategi demikian mengakui keberadaan pengalaman dan pemahaman lokal, tetapi menyimpang dari niat untuk menjaga ketidakberpihakan. Strategi macam itu melibatkan komunitas pemberi bantuan internasional dalam menciptakan jaringan aliansi dan kepentingan pribadi yang tidak memiliki kaitan dengan tradisi dan struktur politik lokal.
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
Jika pun mereka memberi kontribusi pada proses rekonsiliasi, tindakan-tindakan seperti itu dengan mudah menyulut perpecahan dan ketidakpuasan lebih lanjut. Apakah hal tersebut adalah hasil dari harapan-harapan naif, pengkajian teori yang tidak jeli, atau bahkan niatan buruk dalam membentuk lembaga nonpemerintah di dunia berkembang? Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dibahas dalam makalah lain. Yang ingin disorot dalam tulisan ini adalah pengaruh tingkah laku macam itu pada masyarakat yang tengah dibanjiri dana asing. Dengan ratusan LSM Maluku yang didanai oleh pihak asing, pertanyaan tersebut membutuhkan investigasi yang lebih serius.
Menerima tantangan Seorang pria Ambon saat bertukar pikiran dengan saya mengenai pilihan-pilihan yang dimiliki Maluku berujar, ‘Kami tak boleh naif.’ Ia benar. Walaupun diskusi mengenai sifat tradisi ini esoteris, perdebatannya sungguh nyata dan taruhannya tinggi. Orang Maluku
tidak boleh membuat keputusan yang dapat memicu kekerasan lain di kemudian hari. Sikap proaktif mereka dalam menangani masalah ini dengan jujur dan terbuka serta mengembangkan solusi yang benar-benar dapat dilaksanakan sangat diperlukan. Sebagai contoh, pencapaian tetua adat di Kei Besar dalam menggunakan adat sebagai alat pencipta perdamaian memang mengagumkan dan membanggakan. Namun, jika tidak ada mekanisme untuk menindaklanjuti keberhasilan tersebut di masa depan, sumbangan keputusan tersebut untuk menciptakan masyarakat yang sehat dan stabil diragukan. Meskipun kita dapat memperdebatkan pengaruh provokasi dari pihak luar dan kemungkinan banyaknya Orde Baru menanggung kesalahan, kondisi yang menyebabkan terjadinya konflik Maluku pada dasarnya bersifat lokal. Masyarakat Maluku harus mencapai kompromi antara tradisi dan modernitas dengan cara mereka sendiri. Solusi yang datang dari pihak luar tidak akan berhasil. Akan tetapi, sebelum proses tersebut dimulai, diperlukan situasi yang stabil dan kondusif.
Referensi Andaya, L. 1993 The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period. Honolulu: University of Hawaii Press. Anderson, B. 1990 Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press. Bartels, D. 2002 Your God is No Longer Mine: Moslem-Christian Fratricide in the Central Moluccas After a Half-Milennium of Tolerance. Co-existence and Ethnic Unity. 1977 Guarding the Invisible Mountain: Intervillage Alliances, Religious Syncretism and Ethnic Identity among Ambonese Christians and Moslems in the Moluccas. Ithaca: Cornell University.
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
9
Carothers, T. 1999 Aiding Democracy Abroad: The Learning Curve. Carnegie Endowment for International Peace. Eade, D. (peny.) 2000 Development, NGOs, and Civil Society. Oxford: Oxfam. Edwards, M. dan J. Gaventa (peny.) 2001 Global Citizen Action. London: Earthscan. Howell, S. 2001 ‘Recontextualising Tradition: “Religion”, “State” and “Tradition” as Coexisting Models of Sociality among the Northern Lio of Indonesia’, dalam J. Liep (peny.) Locating Cultural Creativity. London1 : Pluto. Hlm. 144–158. Huwae, S. 1995 ‘Divided Opinions about Adat Pela: A Study of Pela Tamilou-Siri-Sori-Hutumuri’, Cakalele 6:77–92. ICG 2000
Indonesia: Overcoming Murder and Chaos in Maluku. Jakarta/Brussels: International Crisis Group.
Laksono, P. M. 1996 ‘Exchange and Its Other: A Reflection on the Common Ground for the Keiese’, dalam D. Mearns dan C. Healey. Darwin (peny.) Remaking Maluku: Social Transformation in Eastern Indonesia. Centre for Southeast Asian Studies, Northern Territory University. Maybury-Lewis, D. dan U. Almagor (peny.) 1989 The Attraction of Opposites: Thought and Society in the Dualistic Mode. Ann Arbor: The University of Michigan Press. Munir 2001
‘Indonesia, Violence and the Integration Problem’, dalam Wessel dan G. Wimhöfer (peny.) Violence in Indonesia. Hamburg: Abera. Vol.1.
Pariela, T. D. 1996 ‘Social Transformation in Soya Atas Village’, dalam D. Mearns dan C.H. Darwin (peny.) Remaking Maluku: Social Transformation in Eastern Indonesia. Centre for Southeast Asian Studies, Northern Territories University. Pemberton, J. 1994 On the Subject of ‘Java’. Ithaca: Cornell University Press. Spyer, P. 1996 ‘Diversity with a Difference: Adat and the New Order in Aru (Eastern Indonesia)’, Cultural Anthropology 11(1): 25–50. Ter Haar, B. 1948 Adat Law in Indonesia. New York: Institute of Pacific Relations.
10
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
Valeri, V. 1989
‘Reciprocal Centers: the Siwa-Lima System in the Central Moluccas’, dalam D. Maybury-Lewis dan U. Almagor (peny.) The Attraction of Opposites: Thought and Society in the Dualistic Mode. Ann Arbor: University of Michigan Press. Hlm.117– 141.
Zerner, C. 1994 ‘Through a Green Lens: The Construction of Customary Environmental Law and Community in Indonesia’s Maluku Islands’, Law and Society Review 28(5):1079–1122.
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
11