Booklet Da’wah
.: Jumat, 25 Rabiul Awwal 1436 H / 16 Januari 2015
1
Be rilmu Se be lu m Be rk a ta & Be ra ma l
ADAB-ADAB BERTAMU DALAM ISLAM ِ ِ ِاَ ْﳊﻤﺪ ﻋ م ﻼ ﺴ اﻟ و ة ﻼ ﺼ اﻟ و : َوﺑَـ ْﻌ ُﺪ،ُﻠﻰ آﻟِِﻪ َو َﻣ ْﻦ َواﻻَﻩ ﱠ ُ َ ﱠ َ ُ َْ ٰ ﻠﻰ َر ُﺳ ْﻮِل ﷲ َو َﻋ َ ُ َ َ َ
Di antara kelaziman hidup bermasyarakat adalah budaya saling mengunjungi atau bertamu, yang dikenal dengan isitilah silaturrahmi oleh kebanyakan masyarakat. Walaupun sesungguhnya istilah silaturrahmi itu lebih tepat (dalam syari’at) digunakan khusus untuk berkunjung/ bertamu kepada sanak famili dalam rangka mempererat hubungan kekerabatan. Namun, bertamu, baik itu kepada sanak kerabat, tetangga, relasi, atau pihak lainnya, bukanlah sekedar budaya semata melainkan termasuk perkara yang dianjurkan di dalam agama Islam yang mulia ini. Karena berkunjung/bertamu merupakan salah satu sarana untuk saling mengenal dan mempererat tali persaudaraan terhadap sesama muslim. Allah berfirman: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku, supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa.” (QS. Al Hujurat: 13) Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda:
ِ ِﻃﺒ: ﺎل ﷲ ﻟَﻪ ت َ ﺎب ﳑَْ َﺸ َ ْﺎك َوﺗَـﺒَـ ﱠﻮأ َ إِ َذا َﻋ َﺎد اﻟﱠﺮ ُﺟ ُﻞ أ َ ْ ُ ُ َ َ ﻗ، َُﺧﺎﻩُ أ َْو َز َارﻩ َ ﺖ َوﻃ اﳉَﻨ ِﱠﺔ ْ َﻣْﻨ ِﺰﻻً ِﰲ
“Bila seseorang mengunjungi saudaranya, maka Allah berkata kepadanya: “Engkau dan perjalananmu itu adalah baik, dan engkau telah menyiapkan suatu tempat tinggal di al jannah (surga).” (Shahih Al Adabul Mufrad no. 345, dari shahabat Abu Hurairah ) Jangan dibaca saat Adzan berkumandang atau Khatib sedang Khutbah!
2
Booklet Da’wah
Namun yang tidak boleh dilupakan bagi orang yang hendak bertamu adalah mengetahui adab-adab dan tata krama dalam bertamu, dan bagaimana sepantasnya perangai (akhlaq) seorang mukmin dalam bertamu. Karena memiliki dan menjaga perangai (akhlaq) yang baik merupakan tujuan diutusnya Rasulullah, sebagaimana beliau bersabda:
ِ َﺧﻼَ ِق ْ ﺖِ ﻷُ َﲤﱢَﻢ َﻣ َﻜﺎ ِرَم اﻷ ُ ْإِﱠﳕَﺎ ﺑُﻌﺜ
“Sesungguhnya aku diutus dalam rangka menyempurnakan akhlaq (manusia).” Oleh karena itu, pada kajian kali ini, akan kami sebutkan beberapa perkara yang hendaknya diperhatikan dalam bertamu. Di antaranya sebagai berikut: 1. Beri’tikad Yang Baik Di dalam bertamu hendaknya yang paling penting untuk diperhatikan adalah memilki i’tikad dan niat yang baik. Bermula dari i’tikad dan niat yang baik ini akan mendorong kunjungan yang dilakukan itu senantiasa terwarnai dengan rasa kesejukan dan kelembutan kepada pihak yang dikunjungi. Bahkan bila ia bertamu kepada saudaranya karena semata-mata rasa cinta karena Allah dan bukan untuk tujuan yang lainnya, niscaya Allah akan mencintainya sebagaimana ia mencintai saudaranya. Sebagaimana Rasulullah :
ٍ ﺎل َ َ أَﻳْ َﻦ ﺗُِﺮﻳْ ُﺪ ؟ ﻗ: ﻓَـ َﻘ َﺎل، ﺻ َﺪ ﷲُ َﻣﻠَ ًﻜﺎ َﻋﻠَﻰ َﻣ ْﺪ َر َﺣﺘِ ِﻪ ً َز َار َر ُﺟ ٌﻞ أ َ َﺧﺎ ﻟَﻪُ ِﰲ ﻗَـ ْﺮﻳَﺔ ﻟَﻪُ ﻓَﺄ َْر ِ ِِ أ ُِﺣﺒﱡﻪُ ِﰲ: ﻚ ِﻣ ْﻦ ﻧِ ْﻌ َﻤ ٍﺔ ﺗَـ ُﺮﺑـﱡ َﻬﺎ ؟ ﻻَ ﻗَ َﺎل َ َﻫ ْﻞ ﻟَﻪُ َﻋﻠَْﻴ: ﻓَـ َﻘ َﺎل.َﺧﺎ ِﱄ ِﰲ َﻫﺬﻩ اﻟْ َﻘ ْﺮﻳَﺔ ًأ: ِ ُ ﻓَِﺈ ﱢﱐ رﺳ: ﻗَ َﺎل.ِﷲ َ َﺣﺒﱠ َ ﻮل ﷲ إِﻟَْﻴ ْ ﻚ َﻛ َﻤﺎ أ َُﺣﺒَْﺒﺘَﻪ َ أَ ﱠن ﷲَ أ، ﻚ َُ
“Ada seseorang yang berkunjung kepada saudaranya di dalam suatu kampung, maka Allah mengirim malaikat untuk mengawasi arah perjalanannya. Ia (malaikat) bertanya kepadanya: “Mau kemana anda pergi? Ia menjawab: “Kepada saudaraku yang ada di kampung ini. Malaikat berkata: “Apakah dia memiliki nikmat (rizki) yang akan diberikan kepada engkau. Dia menjawab: “Tidak, semata-mata saya mencintainya karena Allah. Malaikat berkata: “Sesungguhnya saya diutus oleh Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah mencintaimu sebagaimana kamu mencintai saudaramu.” (Shahih Al Adabul Mufrad no. 350, Ash Shahihah no. 1044)
Booklet Da’wah
3
2. Tidak Memberatkan Bagi Tuan Rumah Hendaknya bagi seorang tamu berusaha untuk tidak membuat repot atau menyusahkan tuan rumah, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam:
ِ َ ﻳﺎ رﺳ: ﻗَﺎﻟُﻮا.َﺧﻴ ِﻪ ﺣ ﱠﱴ ﻳـﺆِﲦَﻪ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ﻒ َ ﻮل ﷲ َوَﻛْﻴ ُ ْ ُ َ ْ ﻻَ َﳛ ﱡﻞ ﻟ ُﻤ ْﺴﻠ ٍﻢ أَ ْن ﻳُﻘْﻴ َﻢ ﻋْﻨ َﺪ أ َُ َ ﻳُِﻘْﻴ ُﻢ ِﻋْﻨ َﺪﻩُ َوﻻَ َﺷ ْﻲءَ ﻟَﻪُ ﻳَـ ْﻘ ِﺮ ِﻳﻪ ﺑِِﻪ:ﺎل َ َﻳـُ ْﺆِﲦُﻪُ؟ ﻗ
“Tidak halal bagi seorang muslim untuk tinggal di tempat saudaranya yang kemudian saudaranya itu terjatuh ke dalam perbuatan dosa. Para shahabat bertanya: “Bagaimana bisa dia menyebabkan saudaranya terjatuh ke dalam perbuatan dosa?” Beliau menjawab: “Dia tinggal di tempat saudaranya, padahal saudaranya tersebut tidak memiliki sesuatu yang bisa disuguhkan kepadanya.” (HR. Muslim) Al Imam An Nawawi berkata: “Karena keberadaan si tamu yang lebih dari tiga hari itu bisa mengakibatkan tuan rumah terjatuh dalam perbuatan ghibah, atau berniat untuk menyakitinya atau berburuk prasangka (kecuali bila mendapat izin dari tuan rumah).” (Lihat Syarh Shahih Muslim 12/28)
3. Memilih Waktu Berkunjung Hendaknya bagi orang yang ingin bertamu juga memperhatikan dengan cermat waktu yang tepat untuk bertamu. Karena waktu yang kurang tepat terkadang bisa menimbulkan perasaan yang kurang baik dari tuan rumah bahkan tetangganya. Dikatakan oleh shahabat Anas radhiyallahu ‘anhu:
ُ َﻛﺎ َن َر ُﺳ ًﻮل ﷲِ ﻻَ ﻳَﻄُْﺮ ُق أ َْﻫﻠَﻪُ ﻟَْﻴﻼً َوَﻛﺎ َن ﻳَﺄْﺗِْﻴ ِﻬ ْﻢ ﻏُ ْﺪ َوةً أ َْو َﻋ ِﺸﻴﱠﺔ
“Rasulullah tidak pernah mengetuk pintu pada keluarganya pada waktu malam. Beliau biasanya datang kepada mereka pada waktu pagi atau sore.” (Muttafaqun ‘Alaihi) Demikianlah akhlak Nabi shallallahu ‘alahi wasallam, beliau memilih waktu yang tepat untuk mengunjungi keluarganya, lalu bagaimana lagi jika beliau hendak bertamu/mengunjungi orang lain (shahabatnya)? Tentunya kita semua diperintahkan untuk meneladani beliau shallallahu ‘alahi wasallam. 4. Meminta Izin Kepada Tuan Rumah
4
Booklet Da’wah
Hal ini merupakan pengamalan dari perintah Allah di dalam firman-Nya (artinya): “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu agar kamu selalu ingat.” (QS. An Nur: 27) Di dalam ayat tersebut, Allah memberikan bimbingan kepada kaum mukminin untuk tidak memasuki rumah orang lain tanpa seizin penghuninya. Di antara hikmah yang terkandung di dalamnya adalah: Untuk menjaga pandangan mata. Rasulullah bersabda:
ِ ِ ْإِﱠﳕَﺎﺟﻌِﻞ ا ﺼ ِﺮ ْ ﻻﺳﺘْﺌ َﺬا ُن ﻣ ْﻦ أ ْ َ ُ َ ََﺟ ِﻞ اﻟْﺒ
“Meminta izin itu dijadikan suatu kewajiban karena untuk menjaga pandangan mata.” (Muttafaqun ‘Alaihi) Rumah itu seperti penutup aurat bagi segala sesuatu yang ada di dalamnya sebagaimana pakaian itu sebagai penutup aurat bagi tubuh. Jika seorang tamu meminta izin kepada penghuni rumah terlebih dahulu, maka ada kesempatan bagi penghuni rumah untuk mempersiapkan kondisi di dalam rumahnya tersebut. Sehingga tidaklah dibenarkan ia melihat ke dalam rumah melalui suatu celah atau jendela untuk mengetahui ada atau tidaknya tuan rumah sebelum dipersilahkan masuk. Di antara mudharat yang timbul jika seseorang tidak minta izin kepada penghuni rumah adalah bahwa hal itu akan menimbulkan kecurigaan dari tuan rumah, bahkan bisa-bisa dia dituduh sebagai pencuri, perampok, atau yang semisalnya, karena masuk rumah orang lain secara diamdiam merupakan tanda kejelekan. Oleh karena itulah Allah melarang kaum mukminin untuk memasuki rumah orang lain tanpa seizin penghuninya. (Taisirul Karimir Rahman, Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di) Bagaimana Tata Cara Meminta Izin? Para pembaca, dalam masalah meminta izin Rasulullah telah memberikan sekian petunjuk dan bimbingan kepada umatnya, di antaranya adalah: a. Mengucapkan salam
Booklet Da’wah
5
Diperintahkan untuk mengucapkan salam terlebih dahulu, sebagaimana ayat di atas (QS. An Nur: 27). Pernah salah seorang shahabat beliau dari Bani ‘Amir meminta izin kepada Rasulullah yang ketika itu beliau sedang berada di rumahnya. Orang tersebut mengatakan: “Bolehkah saya masuk?” Maka Rasulullah pun memerintahkan pembantunya dengan sabdanya:
اﻟ ﱠﺴﻼَ ُم َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ أَأ َْد ُﺧ ُﻞ ؟:ُ ﻓَـ ُﻘ ْﻞ ﻟَﻪ، اﻻﺳﺘِْﺌ َﺬا َن ْ ْ ُاﺧ ُﺮ ْج إِ َﱃ َﻫ َﺬا ﻓَـ َﻌﻠﱢ ْﻤﻪ
“Keluarlah, ajari orang ini tata cara meminta izin, katakan kepadanya: Assalamu ‘alaikum, bolehklah saya masuk? Sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam tersebut didengar oleh orang tadi, maka dia mengatakan:
اﻟ ﱠﺴﻼَ ُم َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ أَأ َْد ُﺧ ُﻞ؟
Akhirnya Nabi pun mempersilahkannya untuk masuk rumah beliau. (HR. Abu Dawud) Lihatlah wahai pembaca, perkataan “Bolehkah saya masuk” atau yang semisalnya saja belum cukup. Bahkan Nabi memerintahkan untuk mengucapkan salam terlebih dulu. Bahkan mengucapkan salam ketika bertamu juga merupakan adab yang pernah dicontohkan oleh para malaikat (yang menjelma sebagai tamu) yang datang kepada Nabi Ibrahim ‘alahissalam sebagaimana yang disebutkan oleh Allah di dalam firman-Nya (artinya): “Ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan salam.” (QS. Adz Dzariyat: 25) b. Meminta izin sebanyak tiga kali Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda:
ِ ﻚ َوإِﻻﱠ ﻓَ ْﺎرِﺟ ْﻊ ٌ َاﻻﺳﺘِْﺌ َﺬا ُن ﺛَﻼ َ َ ﻓَِﺈ ْن أُذ َن ﻟ،ث ْ
“Meminta izin itu tiga kali, apabila diizinkan, maka masuklah, jika tidak, maka kembalilah.” (Muttafaqun ‘Alaihi) Hadits tersebut memberikan bimbingan kepada kita bahwa batasan akhir meminta izin itu tiga kali. Jika penghuni rumah mempersilahkan masuk maka masuklah, jika tidak maka kembalilah. Dan itu bukan merupakan suatu aib bagi penghuni rumah tersebut atau celaan bagi orang yang hendak bertamu, jika alasan penolakan itu dibenarkan oleh syari’at. Bahkan hal itu merupakan penerapan dari firman Allah (artinya): “Jika kamu tidak menemui seorang pun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu
6
Booklet Da’wah
mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu: “Kembalilah, maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An Nur: 28) 5. Mengenalkan Identitas Diri Ketika Rasulullah menceritakan tentang kisah Isra’ Mi’raj, beliau bersabda: “Kemudian Jibril naik ke langit dunia dan meminta izin untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: “Siapa anda?” Jibril menjawab: “Jibril.” Kemudian ditanya lagi: “Siapa yang bersama anda?” Jibril menjawab: “Muhammad.” Kemudian Jibril naik ke langit kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya di setiap pintu langit, Jibril ditanya: “Siapa anda?” Jibril menjawab: “Jibril.” (Muttafaqun ‘Alaihi) Sehingga Al Imam An Nawawi rahimahullah dalam kitabnya yang terkenal Riyadhush Shalihin membuat bab khusus, “Bab bahwasanya termasuk sunnah jika seorang yang minta izin (bertamu) ditanya namanya: “Siapa anda?” maka harus dijawab dengan nama atau kunyah (panggilan dengan abu fulan/ ummu fulan) yang sudah dikenal, dan makruh jika hanya menjawab: “Saya” atau yang semisalnya.” Ummu Hani’, salah seorang shahabiyah Rasulullah mengatakan: ”Aku mendatangi Nabi ketika beliau sedang mandi dan Fathimah menutupi beliau. Beliau bersabda: “Siapa ini?” Aku katakan: “Saya Ummu Hani’.” (Muttafaqun ‘Alaihi) Demikianlah bimbingan Nabi yang langsung dipraktekkan oleh para shahabatnya, bahkan beliau pernah marah kepada salah seorang shahabatnya ketika kurang memperhatikan adab dan tata cara yang telah beliau bimbingkan ini. Sebagaimana dikatakan oleh Jabir radhiyallahu ‘anhu: ”Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alahi wasallam, kemudian aku mengetuk pintunya, beliau bersabda: “Siapa ini?” Aku menjawab: “Saya.” Maka beliau pun bersabda: “Saya, saya..!!.” Seolah-olah beliau tidak menyukainya.” (Muttafaqun ‘Alaihi) 6. Menyebutkan Keperluannya Di antara adab seorang tamu adalah menyebutkan urusan atau keperluan dia kepada tuan rumah. Supaya tuan rumah lebih perhatian dan menyiapkan diri ke arah tujuan kujungan tersebut, serta dapat mempertimbangkan dengan waktu/
Booklet Da’wah
7
keperluannya sendiri. Hal ini sebagaimana Allah mengisahkan para malaikat yang bertamu kepada Ibrahim ‘alaihissalam di dalam Al Qur’an (artinya): “Ibrahim bertanya: Apakah urusanmu wahai para utusan?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami diutus kepada kaum yang berdosa.” (QS. Adz Dzariyat: 32) 7. Segera Kembali Setelah selesai Urusannya Termasuk pula adab dalam bertamu adalah segera kembali bila keperluannya telah selesai, supaya tidak mengganggu tua rumah. Sebagaimana penerapan dari kandungan firman Allah subhanahu wata’ala: “…tetapi jika kalian diundang maka masuklah, dan bila telah selesai makan kembalilah tanpa memperbanyak percakapan,…” (QS. Al Ahzab: 53) 8. Mendo’akan Tuan Rumah Hendaknya seorang tamu mendoakan atas jamuan yang diberikan oleh tuan rumah, lebih baik lagi berdo’a sesuai dengan do’a yang telah dituntunkan Nabi shallallahu ‘alahi wasallam, yaitu:
ِ ﲪ ُﻬ ْﻢ َْ اﻟﻠﱠ ُﻬ ﱠﻢ ﺑَﺎ ِرْك َﳍُْﻢ ِ ْﰲ َﻣﺎ َرَزﻗْـﺘَـ ُﻬ ْﻢ َو ا ْﻏﻔ ْﺮ َﳍُْﻢ َو ْار
“Ya Allah…, berikanlah barakah untuk mereka pada apa yang telah Engkau berikan rizki kepada mereka, ampunilah mereka, dan rahmatilah mereka.” (HR. Muslim) Demikianlah tata cara bertamu, mudah-mudahan pembahasan ini menjadi bekal bagi kita (kaum muslimin) untuk lebih bersikap sesuai dengan bimbingan Nabi dalam bertamu. Wallahu a’lam bis showab. ***********
***********
SETIAP ORANG YANG BERMAKSIAT ITU BODOH Berkata Al-Imam Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullahu ta’ala:
وﻛﻞ ﻣﻦ أﻃﺎﻋﻪ ﻓﻬﻮ ﻋﺎﱂ,ﻓﺈن ﻛﻞ ﻣﻦ ﻋﺼﻰ ﷲ ﻓﻬﻮ ﺟﺎﻫﻞ
”Semua orang yang bermaksiat kepada Allah ta’ala berarti dia BODOH, dan semua orang yang taat kepada Allah ta’ala berarti dia BERILMU. Penjelasannya dari dua sisi:
8
Booklet Da’wah
1. Orang yang berilmu/mengenal Allah ta’ala, tahu keagungan, kebesaran, dan kemuliaan-Nya, maka dia akan segan dan takut kepada-Nya. Dengan demikian, tidak akan terjadi kemaksiatan darinya selama dia menghadirkan pengetahuan tersebut. Hal ini seperti ucapan sebagian orang yang berilmu, ”Seandainya manusia memikirkan tentang keagungan Allah ta’ala, niscaya mereka tidak akan memaksiati-Nya.” 2. Yang membawa orang untuk mendahulukan maksiat daripada ketaatan adalah kebodohan dan anggapannya bahwa maksiat itu memberinya manfaat dengan segera karena kenikmatannya yang bisa segera dirasakan. Jika ia masih punya iman, diharapkan ia selamat dari akibat buruk maksiat dengan bertobat di akhir umurnya. Ini adalah nyata kebodohan. Karena lebih memilih berbuat dosa dan kehinaan, luputlah darinya kemuliaan takwa dan pahalanya, serta kenikmatan taat. Bisa jadi, setelah itu dia bertobat, namun bisa jadi pula kematian tiba-tiba menjemputnya sebelum sempat bertobat. Ibaratnya, dia seperti orang yang lapar lalu melahap makanan beracun guna menghilangkan rasa lapar yang menyerangnya. Bisa jadi dia selamat dari bahaya racun tersebut dengan meminum penawarnya, dan bisa jadi pula tidak. Tentu hal ini tidak akan dilakukan selain oleh orang yang bodoh. [Lathaif al-Ma’arif fima al- Mawasim al-‘Am minal Wazhaif hlm. 577-584] Sumber: Situs Buletin Al-Ilmu Jember http://buletin-alilmu.net/ Group WhatsApp Al-Ukhuwwah
ِ اﳊﻤ ُﺪِ ِ ر ﱢ ِ وﷲُ ﺗَـﻌ َﺎﱃ أ َْﻋﻠَﻢ ﺑِﺎﻟ ﱠ ﲔ َ ْ ب اْﻟ ٰﻌﻠَﻤ َ َ َ ْ َْ ﺼ َﻮاب َو ُ
Diterbitkan oleh: Pondok Pesantren Minhajus Sunnah Kendari Jl. Kijang (Perumnas Poasia) Kelurahan Rahandouna. Penasihat: Al-Ustadz Hasan bin Rosyid, Lc Kritik dan saran hubungi: 085241855585 Berlangganan hubungi: 0813 3963 3856 Website: www.ahlussunnahkendari.com Harap disimpan di tempat yang layak, karena di dalamnya terdapat ayat Al-Qur’an dan Hadits!!