ABSTRAK Syafa’ati, Sri. 2016. Konsep Tujuan Pendidikan Islam Menurut Ibnu Khaldun Dalam Perspektif Aliran Filsafat Pendidikan Rekonstruksionalisme. Skripsi. Program Studi Pendidikan Agama Islam Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Ponorogo. Pembimbing: Dr. H. M. Miftahul Ulum, M. Ag. Kata Kunci : Tujuan Pendidikan Islam, Ibnu Khaldun, Rekonstruksionalisme. Pendidikan agama Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan manusia dalam meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan agama Islam. Tokoh pendidikan Islam, Ibnu Khaldun menyatakan dalam pendidikan mencakup tiga tujuan yaitu, peningkatan pemikiran, kemasyarakatan dan kerohanian. Penulis dalam penelitian ini akan memandang tujuan pendidikan Islam menurut Ibnu Khaldun dengan filsafat rekonstruksionalisme karena aliran ini memandang tujuan pendidikan haruslah menumbuhkan kesadaran terdidik sekaligus mampu memecahkan persoalan kehidupan yang dihadapi manusia dalam skala global, sehingga searah dengan tujuan pendidikan Ibnu Khaldun tersebut. Untuk mendeskripsikan masalah di atas, peneliti merumuskan masalah sebagai berikut: (1) Bagaimana hakekat tujuan pendidikan Islam menurut Ibnu Khaldun dalam perspektif aliran filsafat pendidikan rekonstruksionalisme? (2) Bagaimana epistemologi tujuan pendidikan Islam menurut Ibnu Khaldun dalam perspektif aliran filsafat pendidikan rekonstruksionalisme?. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis, menggunakan metode analisis data, yaitu dengan menggunakan content analisis (analisis isi). Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan untuk memecahkan suatu masalah yang pada dasarnya bertumpu pada penelitian kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan pustaka yang relevan. Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa: (1) Dalam perspektif aliran filsafat pendidikan rekonstruksionalisme, hakekat tujuan pendidikan Islam menurut Ibnu Khaldun yaitu tujuan peningkatan pemikiran, kemasyarakatan dan kerohanian, yang mana manusia diarahkan untuk memampukan subjek-subjek didik membangun dunia bagi masyarakat melalui pendayagunaan kemampuan akal, indra dan intuisi. (2) Dalam perspektif aliran filsafat rekonstruksionalisme tujuan pendidikan Islam menurut Ibnu Khaldun tersebut berusaha untuk mencari jawaban dan sekaligus memperkirakan perkembangan ke depan atas situasi dan kondisi serta permasalahan yang ada dengan menuntut ilmu dan memperoleh keterampilan sehingga meningkatlah akal pikirannya dan kehidupannya dalam masyarakat maupun akhirat. Tujuannya pun sama-sama berorientasi bagi kesejahteraan masyarakat, bersifat proaktif dan antisiptif dalam menghadapi tantangan dunia yang semakin global untuk menuju kehidupan yang sejahtera sesuai dengan tujuan pendidikan Islam menurut Ibnu Khaldun tersebut.
1
2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk Allah yang bertugas sebagai khalifah di bumi. Disamping sebagai khalifah, manusia juga termasuk makhluk paedagogik yaitu makhluk Allah yang dilahirkan membawa potensi dapat dididik dan dapat mendidik.1 Karena manusia lahir tidak mengetahui sesuatu apapun, tetapi ia dianugerahi oleh Allah Swt pancaindera, pikiran dan rasa sebagai modal untuk menerima ilmu pengetahuan, memiliki keterampilan dan mendapatkan sikap tertentu melalui proses kematangan dan belajar terlebih dahulu.2 Maka dari itu, diperlukanlah proses pendidikan dan pengajaran. Dengan pendidikan dan pengajaran potensi itu dapat dikembangkan manusia, namun perkembangan itu tidak akan maju kalau tidak melalui proses tertentu, yakni proses pendidikan. Salah satunya dengan pendidikan Islam ini penting untuk membentuk pribadi muslim menuju pada manusia yang bertaqwa.3 Sedangkan pendidikan agama Islam itu sendiri adalah usaha sadar untuk menyiapkan manusia dalam meyakini, memahami, menghayati dan
1
Sudiyono, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: PT RENIKA CIPTA, 2009), 1. Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), 137. 3 Zakiyah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi aksara, 1996), 17-18. 2
3
mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.4 Dan tujuannya adalah membantu terbinanya sarjana muslim yang beriman, berilmu dan beramal sesuai dengan ajaran Islam.5 Tujuan pendidikan Islam ini didasarkan pada sistem nilai yang istimewa yang berasaskan pada alQur‟an dan Hadits, yaitu keyakinan kepada Tuhan, kepatuhan dan penyerahan kepada segala perintah-Nya, sebagaimana yang dipraktekkan oleh Rasulullah Saw. Pendidikan Islam juga bertujuan untuk mendorong timbulnya kesadaran moral para peserta didik dengan membawa hubungan organik pendidikan Islam dengan sistem etika Islam. Dengan demikian tujuan pendidikan adalah untuk melahirkan kesalehan keagamaan dan sosial sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Qur‟an dan hadits Nabi Saw. Aspek lainnya dari pendidikan Islam adalah menyiapkan anak didik agar melaksanakan kewajiban-kewajiban keagamaan sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur‟an dan Hadits. Namun pada kenyataannya, bangsa Indonesia ini tengah dilanda krisis dalam berbagai aspek kehidupan. Seperti maraknya tawuran pelajar, merebaknya narkoba dan beberapa perilaku yang menyimpang dari norma-
4 5
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), 75-76. Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), 6-7.
4
norma agama dan budaya.6 Realitas ini diakibatkan karena bangsa Indonesia berhadapan dengan kemajuan iptek, era globalisasi serta percepatan arus perubahan sosial, sehingga rentan akan timbulnya berbagai konflik. 7 Selain itu, karena pemerataan ekonomi tidak merata, maka banyaklah masyarakat yang krisis ekonomi, sehingga banyak masyarakat yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya. Hal ini juga diakibatkan karena tingkat pendidikan yang rendah. Karena pendidikan adalah bekal bagi manusia untuk dapat hidup sejahtera. Perkembangan masyarakat dunia dari waktu ke waktu terus berubah. Kita sebagai bagian dari masyarakat dunia tersebut dipaksa untuk ikut dalam perubahan itu. Era ini ditandai dengan kemampuan menguasai dan mendayagunakan arus informasi, bersaing secara terus-menerus dalam belajar dan menguasai kemampuan menggunakan berbagai teknologi. Itulah gambaran era global yang terjadi di depan mata, di mana umat manusia harus menghadapinya. Kondisi ini tentunya akan mempengaruhi dunia pendidikan.8 Maka pendidikan Islam pun mau tidak mau terlibat untuk mengatasi dan menyelesaikan masalah-masalah tersebut.9
6
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), 175. 7 Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam: di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi (Jakarta: PT Jara Grafindo Persada, 2012), 101. 8 Toto Suharto, et al, Rekonstruksi dan Modernisasi Lembaga Pendidikan Islam (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2005), 101. 9 Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam (Jakarta: PT RAJA GRAFINDO PERSADA, 2009), 15-17.
5
Oleh
karena
rekonstruksionalisme
itu, yang
seperti
halnya
memandang
dengan
tujuan
aliran
pendidikan
filsafat haruslah
menumbuhkan kesadaran terdidik yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi manusia dalam skala global, dan memberi
keterampilan
kepada
mereka
agar
memiliki
kemampuan
memecahkan masalah –masalah tersebut.10 Dengan aliran filsafat pendidikan rekonstruksionalisme ini diharapkan mampu menjawab masalah-masalah yang dihadapi masyarakat di atas. Sekolah sebagai lembaga utama untuk melakukan perubahan sosial, ekonomi dan politik dalam masyarakat. Dan aliran ini menghendaki untuk membangkitkan kesadaran peserta didik tentang masalah-masalah tersebut dan mengajarkan kepada keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut.11 Selain itu, salah satu tokoh pendidikan Islam yang banyak berbicara mengenai pendidikan ialah Ibnu Khaldun.12 Beliau adalah sarjana ilmu pengetahuan Islam terbesar yang juga menguasai berbagai ilmu pengetahuan lainnya seperti sejarah, geografi, politik dan pendidikan. Ia adalah pendiri filsafat sejarah dan pelopor bidang sosiologis. Ibnu Khaldun membahas proses
10
Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung: CV Alfabeta, 2003) 171. Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-dasar Pendidikan Pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), 156. 12 Secara gramatikal, penulisan nama Ibnu Khaldun adalah Ibn Khaldu>n, namun masyarakat Indonesia sudah populer menyebut Ibn Khaldu>n dengan Ibnu Khaldun, maka penulisan skripsi ini menggunakan nama Ibnu Khaldun. 11
6
pendidikan dalam perspektif perkembangan masyarakat. Ia mengembangkaan teori pendidikannya dalam bingkai masyarakat Islam dan memfokuskan perhatiannya pada pendidikan, pada bidang pemahaman etika dan sikap keagamaan, namun pada saat yang bersamaan ia memberikan nuansa pandangan sosiologisnya pada pendidikan tersebut.13 Salah satu pemikiran Ibnu Khaldun dalam pendidikan yang akan dijelaskan oleh penulis ialah mengenai tujuan pendidikan. Dari segi peningkatan kemasyarakatan, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa ilmu dan pengajaran adalah lumrah bagi manusia. Ilmu dan pengajaran sangat diperlukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat ke arah lebih baik. Semakin dinamis suatu budaya masyarakat, semakin bermutu dan dinamis pula keterampilan di masyarakat tersebut. Untuk itu seyogyanya senantiasa berusaha memperoleh ilmu dan keterampilan sebanyak mungkin sebagai salah satu cara membantunya untuk dapat hidup dengan baik dalam masyarakat yang dinamis dan berbudaya.14 Penulis akan memandang pemikiran Ibnu Khaldun ini dengan pemikiran aliran filsafat rekonstruksionalisme. Dari pemikiran Ibnu Khaldun di atas diharapkan akan mampu membentuk manusia atau masyarakat yang dinamis dan berbudaya selalu mengikuti perubahan perkembangan zaman namun tetap bermutu ke arah lebih baik, sehingga pendidikan mampu 13
Ibid., 69. Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahruz, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013) 104. 14
7
merubah dan menyembuhkan moral bangsa yang sudah semakin rusak dan beralih kembali pada moral-moral agama dan negara. Dan juga dengan adanya pendidikan inilah manusia akan mampu memenuhi kebutuhannya dan saling tolong menolong dalam hal kebaikan. Sehingga, manusia tahu dan bahkan mampu mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya saat ini. Berangkat dari pemaparan tersebut di atas, penulis ingin mengangkat sebuah judul “Konsep Tujuan Pendidikan Islam Menurut Ibnu Khaldun Dalam Perspektif Aliran Filsafat Pendidikan Rekonstruksionalisme”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana hakekat tujuan pendidikan Islam menurut Ibnu Khaldun dalam perspektif aliran filsafat pendidikan rekonstruksionalisme ? 2. Bagaimana epistemologi tujuan pendidikan Islam menurut Ibnu Khaldun dalam perspektif aliran filsafat pendidikan rekonstruksionalisme ?
C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dirumuskan, maka dapat ditentukan tujuan penelitian ini, antara lain: 1. Untuk mendiskripsikan hakekat tujuan pendidikan Islam menurut Ibnu Khaldun dalam perspektif aliran filsafat pendidikan rekonstruksionalisme.
8
2. Untuk mendiskripsikan epistemologi tujuan pendidikan Islam menurut Ibnu
Khaldun
dalam
perspektif
aliran
filsafat
pendidikan
rekonstruksionalisme.
D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang akan dikembangkan dalam penelitian ini adalah: 1. Memberi pengetahuan tambahan dalam bidang filsafat pendidikan, khususnya
aliran filsafat
rekonstruksionalisme. Dan juga tokoh
pendidikan khususnya Ibnu Khaldun. 2. Bagi kalangan akademis, penelitian ini akan memberikan masukan awal untuk penelitian lebih lanjut dalam masalah yang sama atau masalahmasalah yang bersinggungan dengan obyek penelitian lain. 3. Pengetahuan bagi penulis khususnya dan pembaca bagi umumnya tentang tokoh pendidikan Ibnu Khaldun dan aliran filsafat pendidikan rekonstruksionalisme. 4. Sebagai sumbangan pemikiran yang memperluas wawasan bagi siapa saja yang terkait di dalam dunia pendidikan.
E. Telaaah Hasil Penelitian Terdahulu Disamping memanfaatkan teori yang relevan untuk menjelaskan pada situasi, peneliti kualitatif juga melakukan telaah hasil penelitian terdahulu
9
yang ada relevansinya dengan fokus penelitian, untuk bahan telaah pustaka pada penelitian ini penulis mengangkat judul skripsi: Pertama : Annas Ma‟ruf, tahun 2007 berjudul : Relevansi Aliran Filsafat Pendidikan Rekonstruksionlisme Dengan Pengembangan Sistem Pendidikan Islam. Adapun penelitian ini untuk menjawab bagaimana konsep
aliran filsafat pendidikan rekonstruksionalisme, bagaimana konsep pendidikan Islam, dan bagaimana relevansi konsep pendidikan Islam menurut aliran filsafat pendidikan rekonstruksionalisme dengan pengembangan sistem pendidikan Islam. Sedangkan metode yang digunakan yaitu dengan pendekatan filosofis. Jenis penelitiannya pun menggunakan data-data kepustakaan (library research). Kesimpulan dari penelitian tersebut ialah aliran filsafat pendidikan rekonstruksionalisme merupakan aliran filsafat pendidikan yang menghendaki perubahan
secara
menyeluruh.
Peserta
didiknya
dapat
dibangkitkan
kemampuannya untuk secara konstruktif dan antisipatif menyesuaikan diri dengan dengan tuntutan perubahan dan perkembangan mayarakat sebagai akibat adanya pengaruh dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan Islam juga tidak hanya bersifat teoritis atau ilmu pengetahuan saja, melainkan bersifat praktek yaitu membentuk pribadi dan martabat manusia yang memiliki sikap mental dan perilaku, karsa dan rasa yang bersumber atas dasar dan nilai-nilai Islam tidak dapat diragukan lagi. Terdapat relevansi antara
10
aliran filsafat pendidikan rekonstruksionalisme dengan sistem pendidikan Islam. Kedua, Masrifatul Munawaraoh, tahun 2004 berjudul: Komparasi Pemikiran Pendidikan Islam Antara Imam Ghazali dengan Ibnu Khaldun.
Penelitian ini dilaksanakan untuk mencari jawaban atas bagaimana tujuan dan metode pendidikan Islam menurut Imam Ghazali dan Ibnu Khaldun, bagaimana persamaan dan perbedaan tujuan dan metode pendidikan Islam menurut Imam Ghazali dan Ibnu Khaldun dan bagaimana relevansi tujuan dan metode pendidikan Islam menurut Imam Ghazali dan Ibnu Khaldun dengan masa sekarang ini. Metode yang digunakan adalah metode library research. Sedangkan metode analisis data menggunakan 3 metode, yaitu metode komparasi, contens analysis dan metode historis. Dengan hasil penelitiannya berkesimpulan bahwa Imam Ghazali mengembangkan tujuan pendidikan Islam untuk membentuk manusia yang sholeh guna pendekatan diri kepada Allah dan mewujudkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Metodenya menekankan pendidikan agama dan akhlak. Sedangkan Ibnu Khaldun mengembangkan tujuan pendidikan Islam untuk membentuk diri pribadi manusia secara utuh guna memperoleh kemahiran dan keahlian. Metodenya dengan malakah, tadrij dan rih}lah. Persamaan pemikiran pendidikan Islam terletak pada metode pendidikan Islam, yaitu metode
malakah dan tadrij. Perbedaan pemikiran kedua tokoh terletak pada tujuan
11
akhir yaitu untuk menjadi manusia yang shalih sedang Ibnu Khaldun untuk memperoleh kemahiran dan keahlian. Relevansi tujuan dan metode pendidikan Islam Imam Ghazali dan Ibnu Khaldun dengan masa sekarang ini bisa dikatakan masih relevan. Dari kedua penelitian tersebut memiliki perbedaan dengan penelitian sekarang. Perbedaan dari penelitian pertama ialah, untuk penelitian sekarang peneliti hanya memfokuskan pada satu sistem pendidikan saja yaitu tujuan pendidikan Islam yang akan di pandang melalui filsafat pendidikan Rekonstruksionalisme. Sedangkan pada penelitian kedua peneliti juga hanya mengambil satu pemikiran saja dari tokoh Ibnu Khaldun tentang pemikirannya mengenai tujuan pendidikan Islam. Dari keduanya, yaitu aliran filsafat pendidikan rekonstruksionalisme dan tokoh Ibnu Khaldun ini akan dihasilkan sebuah penelitian tentang pemikiran Ibnu Khaldun mengenai tujuan pendidikan Islam namun akan di pandang dari sudut pandang filsafat pendidikan rekonstruksionalisme. Dari segi jenis penelitian ini juga sama-sama menggunakan library research, dengan menggunakan metode yaitu, deduktif dan induktif.
F. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian dan Jenis Penelitian Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan filosofis, yaitu berupaya menjelaskan inti, hakikat atau hikmah mengenai sesuatu yang
12
berada di balik obyek formalnya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas dan inti yang terdapat dibalik yang bersifat lahiriyah.15 Dan menggunakan pendekatan sejarah atau historis, yaitu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang dan pelaku dari peristiwa tersebut. Sehingga melalui pendekatan ini seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia.16 Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah: penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan untuk memecahkan suatu masalah yang pada dasarnya bertumpu pada penelitian kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan pustaka yang relevan.17 2. Sumber Data Sumber data yang dijadikan bahan-bahan dalam kajian ini merupakan sumber data yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan yang dikategorikan sebagai berikut: a. Sumber data primer Sumber data primer merupakan bahan utama atau rujukan utama dalam mengadakan suatu penelitian untuk mengungkapkan dan
15
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), 42-43. Ibid., 46-47. 17 Haidar Nawawi, Penelitian Terapan (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1994),
16
73.
13
menganalisis penelitian tersebut. Adapun sumber data yang digunakan adalah: 1) Abdurrahman ibnu Khaldun. Muqaddimah Ibnu Khaldun. Beirut: Dar Al-Kitab Al‟Arabi, 2001. b. Sumber data sekunder Sumber data sekunder ini digunakan untuk menunjang penelaahan data-data yang dihimpun dan sebagai pembanding dari data primer, sumber-sumber tersebut diantaranya adalah: 1) Abd. Rachman Assegaf. Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru
Pendidikan
Hadhari
Berbasis
Integratif-Interkonektif.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014. 2) Abdul Rahman. Pendidikan Integralistik: Menggagas Konsep Manusia Dalam Pemikiran Ibn Khaldun (Semarang: Walisongo
Press, 2009), 51. 3) Al-Allamah
Abdurrahman
bin
Muhammad
bin
Khaldun.
Mukaddimah Ibnu Khaldun. Terj. Masturi Irham. Jakarta Timur:
Pustaka Al-Kautsar, 2015. 4) Basuki As‟adi
dan Miftahul Ulum. Pengantar Filsafat
Pendidikan. Ponorogo: Stain Po Press, 2010.
5) Hafidz Hasyim. Watak Peradaban dalam Epistemologi Ibnu Khaldun (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012).
14
6) Heri Gunawan,. Pendidikan Islam: Kajian Teoretis dan Pemikiran Tokoh. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014.
7) Muhaimin. Rekonstruksi Pendidikan Islam. Jakarta: PT RAJA GRAFINDO PERSADA, 2009. 8) Muhammad
Muntahibin
Nafis.
Ilmu
Pendidikan
Islam.
Yogyakarta: Teras, 2011.
3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam skripsi ini adalah: a.
Editing
Pemeriksaan kembali data yang diperoleh terutama dari segi kelengkapannya, kejelasan makna, dan keselarasan makna antara satu dengan yang lainnya. b.
Organizing
Menyusun secara sistematis data-data yang diperoleh dari pustaka, baik sumber primer maupun sekunder.18 c.
Penemuan hasil, yaitu melakukan analisa lanjutan terhadap hasil pengorganisasian sehingga diperoleh kesimpulan tertentu yang merupakan jawaban dari rumusan masalah.
18
Mahmud, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 104.
15
4. Teknik Analisis Data Materi pembahasan didasarkan pada kajian pustaka atas karyakarya kepustakaan, baik berupa buku-buku atau bacaan-bacaan lainnya yang berkaitan dengan penulisan ini. Dari data-data yang terkumpul, maka selanjutnya data tersebut dianalisis dengan menggunakan metode content analysis, yaitu analisis ilmiah tentang isi pesan atau komunikasi.19 Metode ini digunakan untuk menganalisis isi dan berusaha menjelaskan bangunan pemikiran tentang masalah yang dibahas dengan menggunakan proses berfikir induktifdeduktuf dalam penarikan-penarikan kesimpulannya. Induktif yaitu proses berfikir yang berangkat dari fakta-fakta khusus, peristiwa-peristiwa yang konkrit, kemudian dari fakta-fakta atau pristiwa khusus itu ditarik generalisasi yang bersifat umum.20 Sedangkan deduktif yaitu suatu metode berpikir dimana suatu kesimpulan ditarik dari prinsip-prinsip umum kemudian diterapkan kepada suatu yang bersifat khusus.21
19
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Bayu Indra Grafika, 1998),
20
Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Allfabet, 2005), 91-99. Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika (Jakarta: Prenada Media, 2003), 19.
49. 21
16
G. Sistematika Pembahasan Sistematika penyusunan laporan hasil penelitian kualitatif (library research) ini nantinya akan dibagi menjadi tiga bagian utama, yaitu awal, inti,
dan akhir. Untuk memudahkan dalam penulisan, maka pembahasan dalam laporan penelitian penulis kelompokkan menjadi lima bab yang masingmasing bab terdiri sub bab yang berkaitan. Sistematika pembahasan ini adalah: Bab pertama, adalah pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika pembahasan. Bab kedua yaitu kajian teori, yang berisi mengenai konsep tujuan pendidikan Islam dan konsep aliran filsafat pendidikan rekonstruksionalisme. Yang di dalamnya berisi mengenai pengertian pendidikan Islam dan tujuannya, serta pengertian, sejarah, ciri-ciri, teori dan konsep tujuan pendidikan Islam menurut aliran filsafat pendidikan rekonstruksionalisme. Bab ketiga, yaitu paparan data yang berisi tentang konsep tujuan pendidikan Islam menurut Ibnu Khaldun, yang mengemukakan hasil penelitian literatur mengenai sketsa biografis, karya-karya dan pemikiran Ibnu Khaldun tentang tujuan dalam pendidikan Islam. Bab
keempat,
yaitu
perspektif
aliran
filsafat
pendidikan
rekonstruksionalisme terhadap konsep tujuan pendidikan Islam menurut Ibnu khaldun. Dan dalam bab ini membahas hakekat tujuan pendidikan Islam
17
menurut
Ibnu Khaldun dalam perspektif aliran filsafat pendidikan
rekonstruksionalisme dan epistemologi Ibnu
Khaldun
dalam
perspektif
tujuan pendidikan Islam menurut aliran
filsafat
pendidikan
rekonstruksionalisme. Bab kelima adalah bab terakhir dari tahapan laporan penelitian yang berisi kesimpulan dan saran.
18
BAB II KONSEP TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM DAN KONSEP ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN REKONSTRUKSIONALISME
A. Konsep Tujuan Pendidikan Islam 1. Pengertian Pendidikan Islam Jika dilihat secara etimologis, istilah pendidikan Islam terdiri dari dua kata, yaitu pendidikan dan Islam. Dalam konteks keislaman, definisi pendidikan sering disebut dengan berbagai istilah, yakni al-tarbiyah, al-
ta’li>m, al-ta’di>b dan al-riya>da} . Dari setiap istilah-istilah tersebut memiliki makna yang berbeda-beda pula. Hal ini dikarenakan perbedaan konteks kalimatnya dalam penggunaan istilah tersebut. Akan tetapi, dalam keadaan tertentu, semua istilah tersebut memiliki makna yang sama, yakni pendidikan.22 Berikut adalah paparan mengenai pandangan pengertian pendidikan secara etimologi: a. Al-Tarbiyah Istilah yang sangat populer dalam dunia pendidikan Islam ialah istilah al-Tarbiyah. Walaupun istilah ini secara jelas tidak ditemukan dalam al-Qur‟an maupun al-Hadits, tetapi ada beberapa istilah yang maknanya sama dengan istilah tarbiyah, yaitu kata al-ra>bb, rabbaya>ni,
22
Heri Gunawan, Pendidikan Islam: Kajian Teoretis dan Pemikiran Tokoh (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), 1-2.
19
nurrabbi>, ribbi>yun dan rabba>ni. Sementara itu, Fahru al-Razzi dalam buku pendidikan Islam berpendapat bahwa rabbaya>ni tidak hanya pengajaran bersifat ucapan, tetapi terkait dengan pengajaran tinggah laku. Pendapat lain juga diungkapkan oleh Sayyid Qutb dalam buku yang sama, bahwa kata rabba>niyyi>n bermakna pemeliharaan anak serta menumbuhkan kematangan setiap mentalnya.23 Apabila istilah al-tarbiyah diidentikkan dengan bentuk madlinya rabbaya>ni> sebagaimana yang tertera dalam Qur‟an surat al-Isra>’ ayat 24:
ِ و صغِر ّ اح ال ّذ ّؿ ِم َن الّر َِْْة َوقُ ْل َر ْ َ ْ اخف َ ِب ْارَْْ ُه َما َك َما َربػّيَ ِا َ َض ََُما َج
Artinya: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (Q.S. Al-Isra>’: 24).24 Yaitu kata “kama> rabbaya>ni> s}aghi>ra” dan bentuk mudhari‟nya
nurrabbi dalam Qur‟an surat Ash-Shu’ara>’ ayat 18:
َ
ِ ِ ِ ِ ييا ولَِْ ِيَا ِمن م ِرَؾ َ َ ً قَ َاؿ أَ َْ ػَُربّ َ يَا َول ُُ ْ
Artinya: Firaun menjawab: "Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu. (Q.S. Ash-Syu’ara>: 18).25
23
Ibid., 2-3. Al-Qur‟an, 17: 24. 25 Ibid., 26: 18. 24
20
Dalam kata “alam nurabbika fi>na> wali>da” al-tarbiyah mempunyai
arti
mengembangkan,
mengasuh, memelihara,
menanggung,
memberi
membesarkan,
makan,
menumbuhkan,
memproduksi dan menjinakkan. Hanya saja dalam konteks kalimat dalam Qur‟an surat al-Isra>’ lebih luas, mencakup aspek jasmaniruhani, sedang dalam surat ash-Shu’ara>’ hanya mencakup aspek jasmani. Namun apabila al-tarbiyah diidentikkan dengan ar-ra>bb, para ahli memberikan pengertian yang beragam. Ibn ‘Abdilla>h Muhammad bin Ah}mad al-Ans}ari al-Qurt}ubi> memberikan arti ar-ra>bb dengan Pemilik, Tuan, Yang Maha Memperbaiki, Yang Maha Pengatur, Yang Maha Menambah dan Yang Maha Menunaikan. Pengertian ini merupakan interpretasi dari kata ar-ra>bb dalam surah al-Fa>ti} h}a dan merupakan nama dari nama-nama Allah dalam Asma>ul H{usna.26 Tarbiyah juga diartikan dengan “proses transformasi ilmu pengetahuan dari pendidik (rabba>ni) kepada peserta didik, agar ia memiliki sikap dan semangat yang tinggi dalam memahami dan menyadari kehidupannya, sehingga terbentuk ketaqwaan, budi pekerti dan kepribadian yang luhur”. Sebagai proses, tarbiyah menuntut adanya perjenjangan dalam transformasi ilmu pengetahuan, mulai dari 26
Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), 30.
21
pengetahuan yang mendasar menuju pengetahuan yang lebih tinggi dan sulit. Paradigma ini diambil dari Qur‟an surat ali-‘Imra>n ayat 7927:
ِ ِ ِ ِ وؿ لِل ّاس ُكوُوا َِ ًادا ْ اب َو َ ْم َوالُّػ ّوَة ُُّ يَػ ُق َ ََما َكا َف لَ َش ٍر أَ ْف يػُ ْؤتيَ ُ اللّ ُ الْكت َ اُْك ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ اب َوَِِا ُكْتُ ْم َ َِِ م ْن ُدوف اللّ َولَك ْن ُكوُوا َربّا يّ َ َِا ُكْتُ ْم تُػ َعلّ ُمو َف الْكت تَ ْي ُر ُ و َف
Artinya: “Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembahpenyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya ”. (Q.S. Ali-‘Imra>n: 79).28 Jadi, tarbiyah di sini diartikan sebagai proses pendidikan yang mencakup segala aspek, yaitu jasmani dan rohani. Yang mana bukan hanya akalnya saja yang diajarkan berbagai ilmu pengetahuan, namun jasmaninya ikut diajarkan berbagai hal-hal positif sehingga dalam segala sifatnya peserta didik juga mampu mencerminkan apa saja yang diajarkan pendidiknya. b. Al-Ta‟lim Istilah yang juga sering disebut dalam pendidikan Islam ialah
istilah al-ta’li>m. Para ahli mengatakan bahwa al-ta’li>m diartikan sebagai bagian kecil dari al-tarbiyat al-aqliyah, yang bertujuan memperoleh ilmu pengetahuan dan keahlian berpikir, yang sifatnya 27 28
Muhammad Muntahibin Nafis, Ilmu Pendidikan Islam (Yogyakarta: Teras, 2011), 16. Al-Qur‟an, 3: 79.
22
mengacu pada domain kognitif saja.29 Ta’li>m merupakan kata benda buatan (mas}dar) yang berasal dari akar kata ‘allama. Sebagian para ahli menerjemahkan istilah tarbiyah dengan pendidikan, sedangkan
ta’li>m diterjemahkan dengan pengajaran.30 Muhammad Rasyid Ridha, mengartikan ta’li>m dengan proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu. Pengertian ini didasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 31 tentang „allama Tuhan kepada Nabi Adam as. Proses transmisi itu dilakukan secara bertahap sebagaimana Nabi Adam menyaksikan dan menganalisis asma>’ (nama-nama) yang diajarkan Allah kepadanya.31 Dalam QS. Al-Baqarah ayat 151:
ِ ِ ِ ِ اب َ ََك َما أ َْر َ ْلَا ي ُك ْم َر ُ وا مْ ُك ْم يَػْتػلُو َلَْي ُك ْم آيَاتَا َويػَُزّكي ُك ْم َويػُ َعلّ ُم ُك ُم الْكت ِْ و ْمةَ َويػُ َعلّ ُم ُك ْم َما َْ تَ ُكوُوا تَػ ْعلَ ُمو َف َ َ اْك Artinya:“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui”. (Q.S. al-Baqarah: 151).32 Ayat ini menunjukkan perintah kepada rasul-Nya untuk mengajarkan al-Kitab dan al-Sunnah kepada umatnya. Menurut Muhaimin, pengajaran dalam ayat ini mengandung teoritis dan praktis, 29
Gunawan, Pendidikan Islam, 4. Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), 18. 31 Ibid., 19. 32 AL-Qur‟an, 2: 151.
30
23
sehingga peserta didik memperoleh kebijakan dan kemahiran melaksanakan hal-hal yang mendatangkan manfaat dan menghilangkan kemadharatan. Pengajaran ini juga mencakup ilmu pengetahuan dan
al-h}ikmah (bijaksana). Kata ta’li>m menurut „Abdul Fat}t}ah Jala>l merupakan proses yang terus menerus diusahakan manusia sejak lahir. Sehingga satu segi telah mencakup aspek kognisi, dan pada segi lain tidak mengabaikan aspek afektif dan psikomotorik. Hal ini ia jadikan dasar ketika menafsiri ayat 151 di atas, dengan argumentasi bahwa rasul adalah
Mu’allimin (pendidik).33 Pada akhirnya Fat}t}ah memandang proses ta’li>m lebih universal dari tarbiyah. Sebab ketika mengajarkan “tila>wat al-Qur’a>n” kepada kaum muslimin, Rasul tidak hanya sekedar terbatas pada mengajar mereka membaca, melainkan membaca disertai perenungan tentang pengertian, pemahaman, tanggung jawab dan penanaman amanah.34 Jadi ta’li>m diartikan oleh para tokoh di atas sebagai sebuah pengajaran. Yang mana hanya mencakup segi kognitif saja. Namun tokoh-tokoh lain juga bependapat bahwa ta’li>m tersebut tidak hanya mencakup aspek kognitif saja, melainkan juga mencakup aspek
33 34
Nafis, Ilmu Pendidikan Islam, 11. Ibid., 12.
24
kognitif dan psikomotorik. Hal ini dilandaskan pada ayat-ayat alQur‟an tersebut. c. Al-Ta‟dib Istilah ta’di>b berasal dari akar kata addaba-yuaddibu-ta’di>ban yang mempunyai arti antara lain: membuatkan makanan, melatih akhlak yang baik, sopan santun dan tata cara pelakanaan sesuatu yang baik.35 Ta’di>b lazimnya diterjemahkan dengan pendidikan sopan santun, tata krama, adab, budi pekerti, akhlak, moral dan etika. Ta’di>b yang seakar dengan adab memiliki arti pendidikan peradaban atau kebudayaan, artinya, orang yang berpendidikan adalah orang yang berperadaban, sebaliknya peradaban yang berkualitas dapat diraih melalui pendidikan. Ta’di>b bermakna pengenalan atau pengakuan secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempattempat yang tepat, dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa sehingga, membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan. Pengertian ini berdasarkan pada salah satu Hadits Nabi yang artinya: “Tuhanku telah mendidikku, sehingga menjadikan baik pendidikanku”. 36
35 36
Nafis, Ilmu Pendidikan Islam, 3. Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, 6.
25
Hadits ini memberikan asumsi bahwa kompetensi Nabi Muhammad sebagai seorang Rasul dan misi utamanya adalah pembinaan akhlak. Sehingga, implikasinya terhadap seluruh aktivitas pendidikan Islam seharusnya memiliki relevansi dengan peningkatan kualitas budi pekerti sebagaimana yang diajarkan Rasulullah.37 Apabila pendidikan Islam merupakan ekuivalensi dari term al-
ta’di>b menurut al-At}ta} s, maka term tersebutlah yang paling cocok digunakan sebagai istilah dalam pendidikan Islam. Hal ini karena konsep ta’di>b -lah yang diajarkan Nabi Muhammad Saw kepada umatnya pada waktu terdahulu. Al-At}ta} s mengatakan bahwa orang yang terpelajar adalah orang baik. “Baik” yang dimaksud di sini adalah
ada>b dalam arti menyeluruh, yang meliputi kehidupan material dan spiritual seseorang, yang berusaha menanamkan kualitas kebaikan yang diterimanya. Oleh karena itulah, orang yang benar-benar terpelajar menurut perspektif Islam, di definisikan oleh al-At}ta} s dengan orang yang ber-adab.38 Pendidikan di sini diartikan sebagai ta’di>b yaitu pendidikan yang direlevansikan dengan budi pekerti manusia.
37 38
Nafis, Ilmu Pendidikan Islam, 4. Gunawan, Pendidikan Islam, 6.
26
d. Al-Riyadhah Istilah pendidikan dalam konteks Islam yang keempat digunakan istilah al-riya>d}ah. Tetapi penggunaan istilah al-riyad}ah> ini khusus digunakan oleh al-Ghazali, yang terkenal dengan istilahnya
riya>d}atu al-sibyi>n, yang artinya pelatihan terhadap individu pada fase anak-anak. Pengertian al-riya>d}ah dalam pendidikan Islam adalah mendidik jiwa anak dengan akhlak mulia. Pengertian al-riya>d}ah dalam konteks pendidikan Islam ini tidak dapat disamakan dengan pengertian
al-riya>d}ah dalam pandangan ahli sufi dan ahli olahraga. Para sufi mendefinisikan al-riya>d}ah dengan “menyendiri pada hari-hari tertentu untuk beribadah dan bertafakkur mengenai hak-hak dan kewajiban orang mukmin”. Ahli olah raga mendefinisikan al-riya>d}ah dengan “aktivitas-aktivitas tubuh untuk menguatkan jasad manusia”. Menurut al-Ghazali, dalam mendidik pada fase anak-anak ini lebih menekankan pada domain afektif dan psikomotoriknya, ketimbang kognitifnya. Oleh karena itu, menurutnya apabila anak kecil sudah terbiasa untuk berbuat sesuatu yang positif, maka pada masa remaja atau muda lebih mudah membentuk kepribadian yang shaleh dan secara otomatis pengetahuan yang bersifat kognitif lebih mudah diperolehnya. Tetapi sebaliknya, jika sejak kecil terbiasa melakukan hal-hal yang naif, maka di hari tuanya anak tersebut akan sulit
27
membiasakan aktivitas yang baik, walaupun tingkat keilmuannya sudah memadai. Berdasarkan hal tersebut al-Ghazali memakai istilah
al-riya>d}ah sebagai istilah alternatif dalam pendidikan Islam.39 Sehingga dapat dipahami bahwa pendidikan merupakan proses mendidik, membina, mengendalikan, mengawasi dan mentransmisikan ilmu pengetahuan yang dilaksanakan oleh para pendidik kepada anak didik untuk membebaskan kebodohan, meningkatkan pengetahuan dan membentuk kepribadian yang lebih baik dan bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari. Pendidikan juga merupakan usaha dan upaya para pendidik yang bekerja secara interaktif dengan para peserta didik untuk meningkatkan dan mengembangkan serta memajukan kecerdasan dan keterampilan semua orang yang terlibat dalam pendidikan. Dengan demikian, yang dikembangkan dan ditingkatkan ilmu pengetahuan dan kecerdasannya bukan hanya anak didik, melainkan para pendidik dan semua orang yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam pendidikan.40 Sedangkan menurut ilmu bahasa (etimologi), Islam berasal dari bahasa Arab, yaitu kata salima yang berarti selamat, sentosa, dan damai. Dari asal kata itu dibentuk kata asla>ma, yusli>mu, isla>man, yang berarti
39 40
Ibid., 8-9. Anas Salahuddin, Filsafat Pendidikan (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), 22.
28
memeliharakan dalam keadaan selamat sentosa, dan berarti juga menyerahkan diri, tunduk, patuh, dan taat.41 Secara istilah (terminologi), Islam berarti suatu nama bagi agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul. Atau lebih tegas lagi Islam adalah ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul. Islam adalah rahmat, hidayah dan petunjuk bagi manusia dan merupakan manifestasi dari sifat rahman dan rahim Allah SWT.42 Pengertian pendidikan Islam pun cukup beraneka ragam dan bermacam-macam yang sudah dinyatakan oleh para pakar pendidikan Islam. Misalnya pandangan Muhamma>d At}iyah al-Abrashi, pendidikan Islam adalah sebuah proses untuk mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan berbahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya (akhlaknya), teratur fikirannya, mahir dalam pekerjaannya, manis tutur katanya baik lisan maupun tulisan. Menurut Marimba, pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Dari pengertian ini, pendidikan ditopang dengan adanya tiga unsur; pertama , harus ada usaha
41 42
Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), 91. Ibid., 94-95.
29
berupa bimbingan bagi pengembangan potensi jasmani dan rohani secara berimbang, kedua , adanya usaha yang dilakukan itu harus berdasarkan atas ajaran Islam. Ketiga , usaha itu bertujuan agar peserta didik memiliki kepribadian utama menurut ukuran Islam (kepribadian muslim).43 Pendidikan Islam juga diartikan usaha sadar untuk membimbing manusia menjadi pribadi beriman yang kuat secara fisik, mental dan spiritual serta cerdas, berakhlak mulia, dan memiliki keterampilan yang diperlukan
bagi
kebermanfaatan
dirinya,
masyarakatnya
dan
dilingkungannya.44 Dapat diambil kesimpulan dari beberapa pandangan pendidikan Islam di atas, bahwa pendidikan Islam merupakan proses transinternalisasi pengetahuan dan nilai Islam kepada peserta didik melalui upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan, pengarahan dan pengembangan potensi-potensinya, guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat, jasmani dan ruhani. Bimbingan tersebut dilakukan secara sadar dan terus-menerus dengan disesuaikan fitrah dan kemampuan, baik secara individu, kelompok, sehingga ia mampu menghayati, memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara utuh-menyeluruh dan komperhensif.45
43
Nafis, Ilmu Pendidikan Islam, 23. Sutrisno dan Muhyidin Albarobis, Pendidikan Islam Berbasis Problem Sosial (Jogjakarta: Arr-Ruzz Media, 2012), 22. 45 Nafis, Ilmu Pendidikan Islam, 26. 44
30
2. Tujuan Pendidikan Islam Kata tujuan berakar dari kata dasar “tuju” yang berarti arah atau jurusan. Maka, tujuan berarti maksud atau sasaran, atau dapat juga berarti sesuatu yang hendak dicapai. Sementara pengertian tujuan secara istilah adalah batas akhir yang dicita-citakan seseorang dan dijadikan pusat perhatiannya untuk dicapai melalui usaha. Tujuan menurut Zakiyah Darajat adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau kegiatan selesai. Sementara menurut HM. Arifin, tujuan itu bisa jadi menunjukkan kepada futuritas (masa depan) yang terletak suatu jarak tertentu tidak dapat dicapai kecuali dengan usaha melalui proses tertentu. Meskipun banyak pendapat tentang pengertian tujuan, umumnya pengertian itu berpusat pada usaha atau perbuatan yang dilaksanakan untuk suatu maksud tertentu. Jadi, secara sederhana yang dimaksud dengan tujuan pendidikan adalah batas akhir yang dicita-citakan akan tercapai melalui suatu usaha pendidikan. Pengertian tujuan pendidikan secara lebih luas dikemukakan oleh al-Syaibani, yang dimaksud dengan tujuan pendidikan adalah perbuatan yang diinginkan yang diusahakan oleh proses pendidikan, baik pada tingkah laku individu dan pada kehidupan pribadinya, atau pada kehidupan masyarakat dan alam sekitar tempat individu hidup, atau pada
31
proses pendidikan dan pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi di antara profesi-profesi asasi dalam masyarakat.46 T.S. Eliot menyatakan bahwa pendidikan yang amat penting itu tujuannya haruslah diambil dari pandangan hidup, sehingga jika pendidikan Islam, maka rumusan tujuan pendidikannya haruslah diambil dari Islam pula.47 Dalam realitas para pemikir dan ahli pendidikan Islam, para ahli pendidikan Islam belum ada kesepakatan dalam merumuskan tujuan pendidikan secara bulat. Diantaranya tujuan oleh Imam Ghazali : 1) insan paripurna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah Swt, 2) insan paripurna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat, karena itu berusaha mengajar manusia agar mampu mencapai tujuan yang dimaksudkan tersebut. Al-At}ta} s menghendaki tujuan pendidikan Islam adalah manusia yang baik. Sedangkan Marimba berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya orang yang berkepribadian muslim. Mahmud Yunus dalam bukunya merumuskan tujuan pendidikan: mendidik anakanak, pemuda/pemudi dan orang dewasa, supaya menjadi seorang muslim yang shalih dan berakhlak mulia, sehingga salah seorang anggota masyarakat yang sanggup hidup di atas kaki sendiri, mengabdi kepada
46 47
Salim dan Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam, 114. Nafis, Ilmu Pendidikan Islam, 58.
32
Allah dan berbakti kepada bangsa dan tanah airnya, bahkan semua umat manusia.48 Dari seluruh formulasi tujuan pendidikan Islam di atas, dapatlah diambil sebuah benang merah tujuan pendidikan Islam adalah bahwa terbentuknya insan kamil yang di dalamnya memiliki wawasan kaffah agar mampu menjelaskan tugas-tugas kehambaan, kekhalifahan dan pewaris Nabi. Dalam versi lain, Muhammad Iqbal yang dikutip Dawam Raharjo, memberikan kriteria insan kamil dengan insan yang beriman yang di dalam dirinya terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan dan kebijaksanaan dan mempunyai sifat-sifat yang tercermin dalam pribadi Nabi berupa karimah, tahapan untuk mencapai insan kamil itu diperoleh melalui ketaatan terhadap hukum-hukum Allah, penguasaan ini sebagai bentuk tertinggi kesadaran diri tentang pribadi dan kekhalifahan Ilahi.49 Namun, di dalam pendidikan Islam tujuan pendidikan itu dikelompokkan dalam 4 macam, yaitu: a. Tujuan Umum Tujuan umum, adalah tujuan yang hendak dicapai dari seluruh kegiatan pendidikan, baik dengan pengajaran dan yang lainnya. Tujuan ini meliputi seluruh aspek kemanusiaan yang meliputi sikap, tingkah laku, penampilan, kebiasaan dan pandangan. Tujuan umum
48 49
Ibid., 61. Ibid., 66-67.
33
ini berbeda dalam setiap tingkat umur, kecerdasan, situasi dan kondisi, dengan kerangka yang sama. Bentuk insan kamil dengan pola takwa harus dapat tergambar pada pribadi seseorang yang sudah dididik, walaupun dalam ukuran kecil dan mutu yang rendah, sesuai dengan tingkat-tingkat tersebut.50 Sedangkan cara atau alat yang paling efektif dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikan ialah dengan pengajaran. Karena itu pengajaran sering diidentikkan dengan pendidikan, meskipun istilah ini tidak sama. Pengajaran ialah proses membuat jadi terpelajar (tahu, mengerti, menguasai, ahli, belum tentu menghayati dan meyakini), sedang pendidikan ialah membuat orang jadi terdidik (mempribadi, menjadi adat kebiasaan). Maka pengajaran agama seharusnya mencapai tujuan pendidikan Islam.51 Tujuan umum pendidikan Islam harus dikaitkan pula dengan tujuan pendidika nasional Negara tempat pendidikan Islam itu dilaksanakan serta dikaitkan pula dengan tujuan institusional lembaga yang menyelenggarakan itu. Tujuan umum ini hanya dapat dicapai setelah
melaui
proses
pengajaran,
pengamalan,
pembiasaan,
penghayatan dan keyakinan akan kebenarannya. Tahapan dalam mencapai tujuan itu pada pendidikan formal (sekolah/madrasah),
50 51
Ibid., 69. Zakiyah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi aksara, 1996), 30.
34
dirumuskan dalam bentuk tujuan kurikuler yang selanjutnya dikembangkan dalam tujuan intruksional. b. Tujuan Akhir Pendidikan Islam ini berlangsung selama hidup, maka tujuan akhirnya terdapat pada waktu hidup di dunia ini berakhir. Tujuan umum yang berbentuk insan kamil dengan pola takwa dapat mengalami perubahan naik turun dalam perjalanan hidup seseorang. Karena itulah pendidikan Islam berlaku seumur hidup untuk menumbuhkan,
memupuk,
mengembangkan,
memelihara
dan
mempertahankan tujuan pendidikan yang telah dicapai. Namun bagi orang yang sudah takwa dalam bentuk insan kamil, masih perlu mendapatkan
pendidikan
dalam
rangka
pengembangan
dan
penyempurnaan, sekurang-kurangnya pemeliharaan supaya tidak luntur dan berkurang, meskipun pendidikan oleh diri sendiri dan bukan dalam pendidikan formal.52 Tujuan akhir pendidikan Islam itu dapat dipahami dari firman Allah SWT :
ِّ ين َآمُوا اتّػ ُقوا اللّ َ َ ّ تُػ َقاتِِ َوا َُوتُ ّن ِا َوأَْػتُ ْم ُم ْ لِ ُمو َف َ يَا أَيػّ َها الذ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada Nya dan janganlah sekali-kali kamu mati
52
65-66.
Nur Uhbiyati dan Abu Ahmadi, Ilmu Pendidikan Islam 1 (Bandung: Pustaka Setia, 1998),
35
melainkan dalam keadaan beragama Islam (berserah diri kepada Allah) ”. (Q.S. Ali-‘Imra>n: 102).53
Mati dalam keadaan berserah diri kepada Allah inilah merupakan ujung dan akhir dari proses hidup dan ini merupakan isi kegiatan pendidikan. Inilah akhir dari proses pendidikan yang dapat dianggap sebagai tujuan akhirnya. Insan kamil yang mati dalam keadaan berserah diri kepada Allah inilah merupakan tujuan akhir pendidikan Islam.54 c. Tujuan Sementara Tujuan sementara ialah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu kurikulum pendidikan formal. Tujuan operasional dalam bentuk tujuan instruksional yang dikembangkan menjadi tujuan instruksional umum dan khusus (TIU dan TIK) dapat dianggap tujuan sementara dengan sifat yang agak berbeda. Pada tujuan sementara bentuk insan kamil dengan pola takwa sudah kelihatan meskipun dalam ukuran beberapa ciri pokok yang sudah kelihatan pada pribadi anak didik. Tujuan pendidikan Islam seolah-olah merupakan suatu lingkaran yang pada tingkat paling rendah merupakan suatu lingkaran kecil. Semakin tinggi tingkatan pendidikannya, lingkaran tersebut semakin besar. Tetapi sejak tingkat 53 54
Al-Qur‟an, 3: 102. Uhbiyati dan Ahmadi, Ilmu Pendidikan Islam 1, 66-67.
36
pendidikan permulaan bentuk lingkarannya sudah harus kelihatan. Bentuk lingkaran inilah yang menggambarkan insan kamil itu. Di sinilah barangkali
perbedaan
yang mendasar bentuk
tujuan
pendidikan Islam dibandingkan dengan tujuan pendidikan yang lainnya. Karena itulah maka setiap lembaga pendidikan Islam harus dapat merumuskan tujuannya sesuai dengan tingkatan dan jenis pendidikannya. Meskipun demikian polanya sama dan yang berbeda hanyalah bobot dan mutunya saja.55 d. Tujuan Operasional Tujuan oprasional, yaitu tujuan praktis yang akan dicapai dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertentu. Satu unit kegiatan pendidikan dengan bahan-bahan yang sudah dipersiapkan dan diperkirakan akan mencapai tujuan tertentu disebut operasional. Dalam pendidikan formal, tujuan operasional ini disebut intruksional yang selanjutnya dikembangkan menjadi tujuan intruksional umum (TIU) dan tujuan intraksional khusus (TIK). Tujuan intruksional ini merupakan tujuan pengajaran yang direncanakan dalam unit-unit pengajaran. Dalam tujuan operasional ini lebih ditekankan kemampuan dan keterampilan anak didik dari pada sifat penghayatan dan kepribadian, misalnya dapat berbuat,
55
Ibid., 67-68.
37
terampil
melakukan,
lancar
mengucapkan
dan
sebagainya.56
Kemampuan dan keterampilan yang dituntut pada anak didik, merupakan sebagai kemampuan dan keterampilan insan kamil dalam ukuran anak, yang menuju yang semakin sempurna (meningkat). Anak harus terampil melakukan ibadat (sekurang-kurangnya ibadat wajib), meskipun belum memahami dan menghayati ibadat itu.57
B. Aliran Filsafat Pendidikan Rekonstruksionalisme 1. Pengertian
dan
Sejarah
Lahirnya
Aliran
Filsafat
Pendidikan
Rekonstruksionalisme Kata rekonstruksionalisme dalam bahasa Inggris “reconstruct” yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionalisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.58 Rekonstruksionalisme sebagai aliran pendidikan sejak awal sejarahnya di tahun 1920 dengan lahirnya sebuah karya John Dewey yang berjudul “Reconstruction in Philosophy” yang kemudian digerakkan secara nyata oleh George Counts dan Harold Rugg di tahun 1930-an
56
Nafis, Ilmu Pendidikan Islam, 70-71. Uhbiyati dan Ahmadi, Ilmu Pendidikan Islam 1, 68. 58 Basuki As‟adi dan Miftahul Ulum, Pengantar Filsafat Pendidikan (Ponorogo: Stain Po Press, 2010), 30. 57
38
selalu ingin menjadikan lembaga pendidikan sebagai wahana rekonstruksi masyarakat.59 Hal ini dilatar belakangi karena keadaan masyarakat yang dilanda oleh kesulitan ekonomi dan masalah-masalah sosial yang sangat besar, pendidikan ditantang untuk lebih memberikan pelayanan sebagai sebuah agen perubahan dari rekonstruksi sosial dari pada mempertahankan status quo dengan ketidaksamaan-ketidaksamaan dan masalah-masalah yang
terpendam di dalamnya. Ia mendorong sekolah-sekolah untuk bersekutu dengan kekuatan-kekuatan progresif dan buruh, wanita, petani dan kelompok-kelompok minoritas, menuju pada perubahan yang diperlukan. Counts
mengecam
pendidikan
progresif
karena
telah
gagal
mengembangkan suatu teori kesejahteraan sosial, dan ia menegaskan bahwa pendekatan pendidikan berpusat pada anak (the child centered approach) tidak memadai untuk menjamin keterampilan-keterampilan
dan pengetahuan yang diperlukan dalam menghadapi abad 20, dapat dihasilkan oleh pendidikan.60 Rekonstruksionisme ini pun telah pula diformulasikan oleh George S. Counts dalam sebuah karya klasiknya “Dare the Schools Build a New Socil Order? ” Yang diterbitkan pada tahun 1932.61
59
Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), 206. 60 As‟adi dan Ulum, Pengantar Filsafat Pendidikan, 33-34. 61 Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan (Bandung: PT Refika Aditama, 2011), 172.
39
Counts juga menulis bahwa dewasa ini terdapat jurang pemisah yang besar di antara banyak kenyataan yang sulit dihilangkan, antar peradaban industri kita dengan adat istiadat, kesetiaan-kesetiaan, pemahaman-pemahaman dan pandangan-pandangan kita. Tugas yang membawa pikiran dari usaha-usaha kita tertuju pada mencapai keselamatan dengan kondisi-kondisi fisik abad baru adalah suatu upaya pendidikan yang bersifat raksasa dan sangat penting. Sebenarnya kita tidak mengenal perdamaian dan ketentraman sampai daya upaya tersebut selesai (The Prospect of American Democracy, 1938). Pada tahun 1932, Counts menerbitkan “The Selective Character of America Secondary Education”. Ia menyatakan bahwa sekolah-sekolah karena mengabdikan
ketidaksamaan yang mencolok berdasarkan garis ras, kelas dan etnik. Ia menegaskan bahwa sekarang ini sekolah-sekolah menengah umum sebagian besar dimasuki oleh anak-anak dari kelas-kelas sosial yang lebih baik kemampuan keluarganya. Hal ini memberikan tontonan kepada kita tentang sesuatu hak istimewa yang sedang dipamerkan atas biaya masyarakat,
yang
memperlihatkan
bahwa
kelas-kelas
yang
berkemampuan lebih baik telah memperoleh kedudukan yang istimewa dalam masyarakat modern.62 Di sisi lain, aliran ini pada prinsipnya pun sependapat dengan aliran perenialisme dalam mengungkap krisis kebudayaan modern. Kedua 62
As‟adi dan Ulum, Pengantar Filsafat Pendidikan , 32-33.
40
aliran tersebut memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang kebudayaannya terganggu oleh kehancuran, kebingungan dan kesimpangsiuran. Aliran perenialisme ini memilih cara dan jalan pemecahan masalah dengan kembali kepada budaya abad pertengahan, maka rekonstruksionalisme berupaya membina suatu konsensus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan pertama dan tertinggi dalam kehidupan manusia.63 Untuk mencapai tujuan tersebut, rekonstruksionalisme berupaya mencari kesepakatan antar sesama manusia atau orang, yakni agar dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan dan seluruh lingkungannya. Maka proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan rekonstruksionalisme perlu merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang baru, untuk mencapai tujuan utama tersebut memerlukan kerjasama antar umat manusia.64 Rekonstruksionalisme
yang
seringkali
diartikan
sebagai
rekonstruksi sosial merupakan perkembangan dari gerakan filsafat pendidikan
progresivisme.65
Kaum
konstruksionalisme
umumnya
berpendapat bahwa kaum progresif tidaklah cukup jauh dalam usahausaha mereka memperbaiki masyarakat. Mereka percaya bahwa kaum progresivis hanya berkenaan dengan masalah-masalah masyarakat seperti 63
Ibid., 173. As‟adi dan Ulum, Pengantar Filsafat Pendidikan , 31. 65 Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, 206.
64
41
yang ada sekarang, padahal apa yang diperlukan dalam abad kemajuan teknologi yang cepat adalah rekonstruksi masyarakat dan penciptaan tatanan dunia baru. Ia menyatakan bahwa sekolah-sekolah tidak akan betul-betul melaksanakan peranannya, sampai sekolah-sekolah menjadi pusat-pusat bagi pengembangan dari sebuah mayarakat baru secara keseluruhan yang terikat pada upaya menghilangkan kemiskinan, perang rasialisme. Ia menyatakan bahwa apabila sekolah-sekolah diharapkan menjadi lembaga-lembaga yang betul-betul efektif, maka mereka harus menjadi pusat-pusat pembangunan, dan tidak hanya untuk perenungan peradaban kita. Hal ini tidaklah berarti kita akan berusaha memperkenalkan pembaharuan-pembaharauan khusus melalui lembaga sistem pendidikan. Bagaimana pun kita akan memberi kepada anak-anak kita suatu wawasan tentang kemungkinan-kemungkinan yang terletak di depan dan berusaha memperoleh
kesetiaan-kesetiaan
dan
entusiasme
mereka
dalam
mewujudkan wawasan. Lembaga-lembaga dan praktek-praktek sosial pun, semuanya hendaknya diuji secara kritis ditinjau dari wawancara tersebut.66 Selanjutnya perkembangan rekonstruksionalisme sosial segera disambut oleh beberapa tokoh lainnya, antara lain Brameld yang berpendapat bahwa meskipun kita bergerak dari sebuah masyarakat 66
Ibid., 34
42
agraris, masyarakat pedesaan menuju suatu masyarkat yang berteknologi tinggi, masyarakat kota, ada kesenjangan serius dalam kemampuan kita untuk menyesuaikan diri pada sebuah masyarakat teknologis. Edwin O. Reischaur, seorang sejarahwan dari Universitas Harvrad, seorang mantan Duta Besar USA Jepang, menyatakan bahwa perlu suatu pembangunan kembali yang laur biasa dari pendidikan, apabila umat manusia ingin terus dapat hidup dalam wajah dunia yang berkembang cepat. Apabila kita tidak bergerak cepat menuju pembangunan kembali pendidikan, maka kita akan sangat terlambat. Tidak lama lagi manusia akan menghadapi banyak kesulitan yang gawat, yang hanya dapat diatasi pada skala global. Karena itu harus ada suatu tingkat pemahaman yang lebih tinggi dan suatu kemampuan yang jauh lebih besar untuk bekerja sama antar orangorang dan bangsa yang berbeda-beda yang ada sekarang ini.67 Bagaimana
pun
pendidikan,
seperti
yang
sekarang
diselenggarakan di negara-negara ini dan di setiap negara lainnya di dunia, untuk kepentingan tersebut tidak bergerak cukup cepat dalam arah yang benar untuk menghasilkan pengetahuan tentang dunia luar dan sikap-sikap
terhadap
orang
lain
yang
mungkin
penting
untuk
mempertahankan hidup manusia dalam satu atau dua generasi.68
67
Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-dasar Pendidikan Pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), 158. 68 Ibid., 159.
43
2. Ciri-ciri Aliran Filsafat Pendidikan Rekonstruksionalisme Setelah memahami pengertian dan juga sejarah aliran filsafat rekonstruksionalisme, maka di bawah ini adalah ciri-ciri dari aliran filsafat pendidikan rekonstruksionalisme : a. Berakar pada perspektif (sudut pandang) sosiologi pendidikan yang digagas oleh Karl Marx dan Karl Mennheim. b. Sasaran pendidikan ialah menciptakan tatanan demokratis yang universal. c. Nilai bersifat persetujuan/komitmen yang berkaitan dengan latar belakang sosial dalam era kesejahteraan (welfare state). d. Bersifat revolusioner yang akan menuju kehidupan yang sejahtera pada kurun waktu tertentu.69 Sehingga dapat dipahami bahwa aliran ini menginginkan pada perubahan yang berorientasi pada masa depan dan tatanan kehidupan baru menuju kehidupan yang sejahtera. 3. Teori Aliran Filsafat Pendidikan Rekonstruksionalisme Selain ciri-ciri yang disebutkan di atas, dikemukakan pula oleh Brameld mengenai teori pendidikan rekonstruksionalisme, yaitu sebagai berikut: a. Pendidikan harus dilaksanakan di sini dan sekarang dalam rangka menciptakan tata sosial baru yang akan mengisi nilai-nilai dasar 69
Oong Komar, Filsafat Pendidikan Nonformal (Bandung: CV Pustaka Setia, 2006), 159.
44
budaya kita, dan selaras dengan mendasari kekuatan-kekuatan ekonomi dan sosial masyarakat modern. Sekarang peradaban menghadapi kemungkinan penghancuran diri. Pendidikan harus mensponsori perubahan yang benar dalam nurani manusia. Oleh karena itu, kekuatan teknologi yang sangat hebat harus dimanfaatkan untuk membangun umat manusia, bukan untuk menghancurkannya. Masyarakat harus diubah bukan melalui tindakan politik, melainkan dengan cara yang sangat mendasar, yaitu melalui pendidikan bagi para warganya, menuju suatu pandangan baru tentang hidup dan kehidupan mereka bersama. b. Masyarakat baru harus berada dalam kehidupan demokrasi sejati, di mana sumber dan lembaga utama dalam masyarakat dikontrol oleh warganya sendiri. Semua yang mempengaruhi harapan dan hajat masyarakat, semuanya akan menjadi tanggung jawab rakyat melalui wakil-wakil yang dipilih. Masyarakat ideal adalah masyarakat demokratis, dan harus direalisasikan secara demokrasi. Struktur, tujuan dan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan tata aturan baru harus diakui merupakan bagian dari pendapat masyarakat. c. Anak, sekolah dan pendidikan itu sendiri dikondisikan oleh kekuatan budaya dan sosial, menurut Brameld, kaum progresif terlalu sangat menekankan bahwa kita semua dikondisikan secara sosial. Perhatian kaum progresif hanya untuk mencari cara di mana individu dapat
45
merealisasikan dalam masyarakat, dan mengabaikan derajat di mana masyarakat telah menjadikan dirinya. Menurut rekonstruksionalisme, hidup beradab adalah hidup berkelompok, sehingga kelompok akan memainkan peran yang penting di sekolah. Pendidikan merupakan realisasi dari sosial (social self realization). Melalui pendidikan, individu tidak hanya mengembangkan aspek-aspek sifat sosialnya melainkan
juga
belajar
bagaimana
keterlibatannya
dalam
perencanaan sosial. d. Guru harus meyakini terhadap validitas dan urgensi dirinya dengan cara bijaksana dengan memperhatikan prosedur yang demokratis. Guru harus melaksanakan pengujian secara terbuka terhadap faktafakta, walaupun bertentangan dengan pandangan-pandangannya. Guru menghadirkan beberapa pemecahan alternatif dengan jelas dan ia
memperkenankan
siswa-siswanya
untuk
mempertahankan
pandangan-pandangan mereka sendiri.70 e. Cara dan tujuan pendidikan harus diubah kembali seluruhnya dengan tujuan untuk menemukan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan krisis budaya dewasa ini, dan untuk menyesuaikan kebutuhan dengan sains sosial. Yang penting dari sains social adalah mendorong kita untuk menemukan nilai-nilai, di mana manusia percaya atau tidak bahwa nilai-nilai itu bersifat universal. 70
Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung: IKAPI, 2003), 169-170.
46
f. Kita harus meninjau kembali penyusunan kurikulum, isi pelajaran, metode yang dipakai, struktur administrasi dan cara bagaimana guru dilatih. Semua itu harus dibangun kembali bersesuaian dengan teori kebutuhan tentang sifat dasar manusia secara rasional dan ilmiah. Kita harus menyusun kurikulum di mana pokok-pokok dan bagiannya dihubungkan secara integral, tidak disajikan sebagai suatu sekuensi komponen pengetahuan.71 4. Konsep
Tujuan
Pendidikan
menurut
Aliran
Filsafat
Pendidikan
Rekonstruksionalisme Aliran ini yakin bahwa pendidikan tidak lain adalah tanggung jawab sosial. Hal ini mengingat bahwa eksistensi pendidikan dalam keseluruhan realitasnya diarahkan untuk pengembangan atau perubahan masyarakat. Hal ini dikarenakan tidak hanya berkonsentrasi tentang halhal yang berkenaan dengan hakekat manusia, tetapi juga terhadap teori belajar yang dikaitkan dengan pembentukan kepribadian subjek didik yang berorientasi pada masa depan. Oleh karena itu pula, maka identitasnya terletak pada filsafat pendidikannya. Bahkan penetapan tujuan dalam hal ini merupakan sesuatu yang penting dalam aliran ini. Segala sesuatu yang diidamkan untuk masa depan suatu masyarakat mesti ditentukan secara jelas oleh pendidikan.72
71 72
Ibid., 171. Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, 177.
47
Aliran
filsafat
rekonstruksionalisme
memandang
tujuan
pendidikan haruslah menumbuhkan kesadaran terdidik yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi manusia dalam skala global, dan memberi keterampilan kepada mereka agar memiliki kemampuan memecahkan masalah –masalah tersebut.73 Rekonstruksionalisme menghendaki agar peserta didik dapat dibangkitkan kemampunnya untuk secara konstruktif menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan dan perkembangan masyarakat sebagai akibat adanya pengaruh dari ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik tetap berada dalam suasana aman dan bebas.74 Dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam, aliran ini lebih bersifat proaktif dan antisipatif. Dikatakan proaktif, karena ia berusaha untuk mencari jawaban dan sekaligus memperkirakan perkembangan ke depan atas situasi dan kondisi serta permasalahan yang ada. Dikatapan antisipatif, karena ia berusaha untuk mengondisikan situasi, kondisi dan
faktor menjadi lebih ideal, sehingga permasalahan yang ada akan dipecahkan ke perubahan yang lebih ideal. Tugas pendidikan Islam jika dilihat dari filsafat pendidikan rekonstruksionalisme yaitu membantu peserta didik agar menjadi cakap dan selanjutnya mampu ikut bertanggung jawab terhadap pengembangan masyarakatnya melalui
73 74
Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, 171. Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam (Surabaya: PSAPM, 2003), 41.
48
upaya amar ma‟ruf nahi munkar. Jadi, diperlukan aktivitas pendidikan yang
berkomitmen
terhadap
pengembangan
kreativitas
secara
berkelanjutan, sehingga khazanah budaya bisa diperkaya, nilai-nilai insani dan Illahi tidak hanya dilestarikan begitu saja tetapi juga diperkaya isinya, serta produktif, baik dari segi ekonomik, aestetik, sosial, kulltural dan sebagainya.75 Rekonstruksionalisme percaya, bahwa pengembangan watak manusia
mesti
selalu
berinteraksi
dengan
kondisi-kondisi
yang
mengelilinginya. Suatu kebudayaan lahir berdasarkan pola adaptasi yang dilakukan
oleh
individu
atau
kelompok
dengan
lingkungan
masyarakatnya. Mengingat manusia adalah bagian terpenting dalam sebuah masyarakat, maka apa pun yang ia lakukan selalu berkenaan dengan pembentukan kebudayaannya. Pembentukan kebudayaan ini sangat tergantung pada aspek kebebasan yang memang merupakan hak esensial manusia. Untuk itu, demokrasi mestilah menjadi asas penting dalam kehidupan sosial dalam skala apa pun. Mengingat manusia adalah bagian masyarakat, maka pendidikan secara
efisiensi
mesti
mengacu
pada
kepentingan
rekonstruksi
masyarakat. Pendidikan bagi rekonstruksionalisme mesti diarahkan untuk memampukan subjek-subjek didik membangun dunia bagi masyarakat
75
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam: di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi (Jakarta: PT Jara Grafindo Persada, 2012), 101.
49
melalui pendayagunaan kemampuan akal, indra dan intuisi, sehingga pendidikan harus menjadikan subjek didiknya mampu menggunakan ilmu pengetahuan yang diperolehnya sebagai wahana bagi perealisasian nilainilai spiritual. Untuk itu perlu adanya upaya integrasi intelektual dan cinta, sebab hidup bukanlah rutinitas, tetapi seni kreatif, konstruktif dan inovatif. Rekonstruksionalisme percaya bahwa pendidikan sebagai suatu lembaga masyarakat tentulah diarahkan pada upaya rekayasa sosial, sehingga segala aktivitasnya pun senantiasa merupakan solusi bagi berbagai problematika kehidupan dalam masyarakat. Sekolah dalam hal ini menjadi agen perubahan sosial, politik dan ekonomi yang primer. Oleh karena itu, lembaga pendidikan mesti memiliki komitmen untuk menciptakan masyarakat baru yang sarat dengan nilai-nilai dasar budaya dan sosial ekonomi yang akan membentuk harmonisasi masyarakat. Pendidikan dalam hal ini mesti diarahkan pada perubahan pola pikir masyarakat, sehingga teknologi-teknologi yang begitu besar lebih dijadikan sebagai sumber kreativitas dari pada untuk menghancurkan. Transformasi sosial merupakan suatu keniscayaan dan ini hanya dapat dilakukan melalui pendidikan. Sebagai sebuah lembaga yang bebas pendidikan tidak mungkin tanpa mekanisme.76 Hal ini dikarenakan tujuan pendidikan, kurikulum, metode, peranan guru dan sekolah sebagai 76
Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, 181-182.
50
lembaga pendidikan itu hendaknya searah dengan situasi dan kebutuhan masyarakat.
Peserta
didik
dalam
sekolah
yang
bercorak
rekonstruksionalisme ini diarahkan supaya mampu beradaptasi dan berinteraksi dengan masyarakat di mana ia tinggal. Jadi, orientasi pendidikannya adalah masyarakat.77 Maka dari itu, rekonstruksionalisme sosial ini mendorong berkembangnya sekolah-sekolah masyarakat atau community school dengan lebih menekankan pada masyarakat daripada individu, sekolah masyarakat merupakan sekolah yang berpusat pada masyarakat, atau social-centered school, yang menggunakan sekolah untuk memperbaiki
kehidupan masyarakat. Sekolah hendaknya berhubungan dengan masalahmasalah nyata dan praktis yang ditemukan dalam masyarakat kita, masalah sehari-hari yang dihadapi oleh setiap orang.78 Dari pemaparan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwasannya tujuan pendidikan menurut aliran rekonstruksionalisme ini ialah: 1. Sekolah-sekolah rekonstruksionis berfungsi sebagai lembaga utama untuk melakukan perubahan sosial, ekonomi dan politik dalam masyarakat.
77 78
Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, 206. Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan, 159.
51
2. Tugas sekolah-sekolah rekonstruksionis adalah mengembangkan insinyur-insinyur sosial, warga-warga negara yang mempunyai tujuan mengubah secara radikal wajah masyarakat masa kini. 3. Tujuan
pendidikan
rekonstruksionis
adalah
membangkitkan
kesadaran para peserta didik tentang masalah sosial, ekonomi dan politik, dan mengajarkan kepada mereka keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut.79
79
Ibid., 156.
52
BAB III KONSEP TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT IBNU KHALDUN
A. Biografi Ibnu Khaldun 1. Riwayat Kelahiran dan Latar Belakang Keluarga Nama lengkap Ibnu Khaldun adalah `Abd Alla>h al-Rah}ma>n Abu> Zayd Ibn Muh}ammad Ibn Muh}ammad Ibn Muh}ammad Ibn al-H{asan Ibn Jabir Ibn Muh}ammad Ibn Ibra>hi>m Ibn ‘Abd al-Rah}ma>n Ibn Khaldu>n. Namanya sendiri adalah ‘Abd al-Rah}ma>n, nama keluarganya Abu> Zaid, gelarnya Waliuddin dan terkenal dengan nama Ibnu Khaldu>n. Ibnu Khaldun berlatar belakang keluarga politisi, intelektual dan aristokrat sekaligus. Keluarganya, sebelum menyebrang ke Afrika adalah pemimpin politik Moorish, spanyol berabad-abad. Keluarga beliau berasal dari Hadhramaut, Yaman. Ibnu Khaldun lahir pada tanggal 27 Mei 1332 M bertepatan dengan awal Ramadhan 732 H di Tunisia.80 Dari garis keturunannya berasal dari Wa>il bin H{ujr, seorang sahabat Nabi yang terkenal dari kabilah Kindah.81 Disebutkan pula nasab Ibnu Khaldun berakhir pada nama Khaldu>n, sehingga ia dikenal orang dengan sebutan Ibnu Khaldun. Diriwayatkan bahwa Khaldu>n (kakek
80
Abdul Rahman, Pendidikan Integralistik: Menggagas Konsep Manusia Dalam Pemikiran Ibn Khaldun (Semarang: Walisongo Press, 2009), 51. 81 Zaprulkhan, Filsafat Pendidikan Sebuah Kajian Tematik (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), 234.
53
`Abd-Rah}ma>n) adalah salah seorang tokoh Arab yang berhasil memasuki Spanyol pada awal dinasti Abbasiyah. Sejarah menyebutkan bahwa tokoh utama Arab Islam yang berhasil menyebrangi Laut Tengah dan memasuki daratan Andalusia adalah seorang keturunan Arab dari Dinasti Umayyah, yaitu ‘Abd al-Rah}ma>n al-Da>khil.82 Jika ‘Abd al-Rah}ma>n (Ibnu Khaldun) dikatakan berasal dari Sisilia atau Sevilla (Isybilia ibu kota pertama Andalusia) yang secara geografis bukan bagian dari Arab, maka ketokohan diri Khaldu>n yang dikenal sebagai tokoh Arab semata-mata karena ia sebagai imigran Arab yang berbaur dengan masyarakat baru, dan jadilah ia seorang warga Spanyol dari Arab.83 Keluarga Khaldu>n pada sekitar tahun 700-an berhijrah kembali dari Andalusia ke Arab (Afrika Utara). Situasi sosial politik di Andalusia pada waktu itu kurang menguntungkan bagi kaum muslim, khususnya imigran Arab, sehingga mereka berpikir untuk kembali ke tanah arab lagi. Dinasti Islam Arab di Andalusia dan keluarganya pun mengalami keruntuhan total, sehingga penguasa Andalusia mengharuskan mereka untuk angkat kaki dari tanah Spanyol. Keluarga Khaldu>n berhijrah ke Afrika karena mengikuti keadaan sosial dan politik pada waktu itu. Gelar al-Da>khil bagi „Abd al-Rah}ma>n adalah karena ia berhasil memasuki Spanyol (Andalusia) Eropa kemudian menguasai, mengislamkan dan mendirikan dinasti Umayyah di sana. Dinasti al-Da>khil di Spanyol akhirnya lebih dikenal dengan nama Dinasti Umayyah II di Andalusia. Sebagai seorang Arab keturunan Mu‟a>wiyah pendiri Dinasti Umayyah yang telah berhasil memasuki Andalusia, `Abd al-Rah}ma>n diberi gelar al-Da>khil, yang artinya “yang masuk”. 83 Moh. Pribadi, Pemikiran Sosiologi Islam Ibn Khaldu> n (Yogyakarta: SUKA Press, 2014), 23. 82
54
Meskipun tidak semuanya hijrah ke Afrika, orang tua dan sebagian besar keluarga Khaldu>n pindah ke Afrika termasuk orang tua Ibnu Khaldun. Akhirnya, tokoh ‘Abd al-Rah}ma>n ini pun lahir di Tunis, ibu kota Tunisia Afrika dalam keluarga Arab Hadramaut yang masih murni. Buku Rih}lah Ibn Khaldu>n menyebutkan bahwa nasab Ibnu Khaldun, sebagaimana diakuinya sendiri, berasal dari Hadramaut di Arab Yaman. Nasab inilah yang menyambung garis keturunannya sampai Wa>il ibn H{ujr sebagaimana telah disinggung di atas. Kakeknya ini, Wa>il bin H{ujr dikenal sebagai salah satu nama keluarga terhormat, pemuka Arab yang masyhur dan memiliki pamor sosial. Ibnu Khaldun di usia mudanya sudah terjun dalam kegiatan politik praktis. Ia diangkat sebagai sekretaris Sultan Abu ‘Inan dari Fez Maroko dan pada waktu itu ia baru berusia 20 tahun. Dunia politik bagi dirinya adalah pilihan hidupnya sehingga dia senantiasa siap ketika diberi jabatan penting oleh pemerintah pada masanya. Namun, pilihan jabatan politik kenegaraan tampaknya tidak ia pegang selamanya, karena setelah itu ia justru meninggalkan jabatan politiknya dan memusatkan perhatian pada kegiatan mengajar dan menulis. Di antara hasil pemikirannya tentang sejarah, ia berpendapat bahwa sejarah pada hakekatnya adalah catatan tentang peristiwa-peristiwa
55
yang terjadi dalam peradaban manusia, peristiwa sekarang adalah kelanjutan dari peristiwa lampau.84 2. Riwayat Pendidikan dan Politik Al-Wa>fi menulis masa berguru dan mencari ilmu adalah periode kehidupan belajar Ibnu Khaldun yang pertama. Periode ini berlangsung sejak tahun kelahirannya 732 sampai 751 H. Ia menghabiskan waktu selama 20 tahun di tanah kelahirannya Tunisi dan 15 tahun di antaranya untuk belajar menghafal al-Qur‟an, ilmu tajwid, ilmu qiraah dan ilmu lainnya di hadapan para gurunya85. Pendidikannya dimulai dari ayahnya sendiri sebagai guru pertamanya. Kemudian belajar pada sejumlah guru,86 yakni : (1) ahli alQur‟an: Abu ‘Abd Alla>h Muh}ammad ibn Sa’ad ibn Burra>l; (2) ahli ilmu qiraah: Abu al-‘Abba>s Ah}mad ibn Muh}ammad al-Batarni>; (3) ahli nah}w: al-Syekh Abu ‘Abd Alla>h ibn al-‘Ara>bi, Abu ‘Abd Alla>h Muh}ammad ibn al-Syawa>sy al-Zarza>li> dan Abu al-‘Abba>s Ah}mad ibn al-Qas}sa} r> ; (4) ahli sastra dan budaya Arab: Abu ‘Abd Alla>h Muhammad ibn Bah}r; (5) ahli Hadits: Syams al-Di>n Abi> ‘Abd Alla>h Muh}ammad ibn Ja>bir ibn Sulaima>n al-Qaisi> al-Wa>diyasi>; (6) ahli fikih: Abu ‘Abd Alla>h Muh}ammad ibn ‘Abd Alla>h al-Jayya>ni> dan Abu al-Qa>sim Muh}ammad al-Qas}i>r, Abu ‘Abd Alla>h
84
Ibid., 24-26. Ibid., 37. 86 Rahman, Pendidikan Integralistik, 51. 85
56
Muh}ammad ibn ‘Abd al-Sala>m; (7) ahli logika: Abu ‘Abd Alla>h Muh}ammad ibn Ibra>hi>m al-A
serta Abi Mu>sa> ‘I<sa> ibn al-ima>m. Tidak banyak ditemukan referensi tentang riwayat pendidikannya, selain bukunya Rih}lah Ibn Khaldu>n. Dalam buku itu disebutkan bahwa pada usia 17 tahun, yaitu usia saat seorang anak muda beranjak remaja, ia sudah dapat menempati jenjang pendidikan setara dengan pendidikan sekolah menengah seperti fenomena pendidikan masa kini. Yang tampak dari sekian banyak gurunya dengan berbagai keahliannya, ia belajar secara khusus dengan mendatangi mereka. Dengan kecerdasan otaknya inilah, ia mampu menyerap ilmu yang diajarkan oleh para gurunya ditambah dengan usaha belajar mandirinya. Dengan pola seperti ini, ia secara cepat menjadi seorang sarjana („a>lim) yang menjadikannya mulai tampak secara signifikan di mata masyarakat sebagai cendekiawan muda yang cerdas. Melalui pola berguru (mendatangi para guru untuk menjadi siswanya dan belajar ilmu) yang didukung oleh kecerdasan otaknya, ia berhasil menjadi pemuda terpelajar yang terus berkembang sampai masa dewasa dan menjadi mahaguru di masa tuanya.87 Hal inilah yang membuat Ibnu Khaldun terus dapat menduduki posisi-posisi penting di istana kerajaan. Karena kecerdasan dan keuletan beliaulah ia dipercaya untuk mengemban tugas kerajaan.
87
Pribadi, Pemikiran Sosiologi Islam Ibn Khaldu> n , 37-38.
57
Dan begitu sebaliknya indikator penting yang mendukung keberhasilan belajar Ibnu Khaldun tersebut adalah kedekatan keluarganya dengan lingkungan elit penguasa atau pada saat tertentu ia menjalani kehidupannya di lingkungan istana kesultanan. Lingkungan elit kerajaan merupakan lembaga nonformal yang dapat menjadi wahananya yang penting untuk mengakses perkembangan ilmu pengetahuan masyarakat sejak dini dan secara luas. Istana juga merupakan lembaga yang semakin terbuka bagi dirinya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan karena ia menjadi bagian dari anggota keluarga istana. Ibnu Khaldun di usia yang masih relatif muda sudah mulai dikenal masyarakat sebagai remaja yang pandai dan menguasai sejumlah ilmu pengetahuan. Syafi‟i Ma‟arif menulis penelitiannya bahwa Ibnu Khaldun pada usia 17 tahun sudah mulai ikut kegiatan intelektual di kota kelahirannya. Disamping itu, ia juga ikut mengamati kehidupan politik dari dekat karena memang ia hidup di lingkungan pusat kekuasaan. Dan beliau pun sudah menguasai beberapa disiplin ilmu, terutama ilmu keislaman. Selain ilmu keislaman Ibnu Khaldun juga tertarik pada sejumlah ilmu, yaitu ilmu politik, sejarah, ekonomi, geografi, hukum, fikih dan ilmu-ilmu lainnya. Terdorong oleh ketertarikannya terhadap fikih
58
yang kental dengan alirannya, ia pun memutuskan untuk menjadi pengikut Madzhab Fikih Ma>liki.88 Sehingga Ibnu Khaldun tidak hanya dikenal masyarakat sebagai ilmuwan agama namun juga dikenal sebagai ilmuwan yang ahli dalam berbagai bidang, misalnya ilmu sosial, alam dan politik yang mampu memberikan banyak sekali warisan ilmu pengetahuan kepada generasi penerusnya. Tidak mengherankan kalau di usia muda Ia sudah mampu dalam berbagai bidang keilmuwan, karena dari kecil sudah diajarkan berbagai ilmu. Ia pun menimba ilmu pengetahuan dan pada saatnya ia bersikap realistis. Paradigma ilmu pengetahuannya senantiasa ditopang oleh semua data positif dan fakta yang didapat melalui metode pengamatannya. Dalam konteks ini, Ibnu Khaldun dinilai sebagai sosiolog yang berpandangan rasional objektif dan jauh dari khayalan. Metode pengamatan dan akses nyata pada kenyataannya sosial yang ada pada waktu itu adalah pilihan data sosiologinya. Sementara itu, lingkungan hidupnya di istana menuntut dirinya untuk tidak boleh lemah karena berada di sisi para politikus dan sultan. Kenyataan ini adalah tantangan serius dan memerlukan otak dan pikiran yang kuat. Di sisi lain, kualitas keilmuannya secara otomatis juga dinikmati oleh lingkungan istana. Istana menikmati nama besarnya, dan
88
Ibid., 38-39.
59
sebaliknya, ia dinilai sangat berperan dalam menjaga nama besar lingkungan terhormat, yaitu istana dan kerajaan.89 Akan tetapi, studinya secara tiba-tiba terhenti akibat terjangkitnya penyakit pes pada tahun 749 H di sebagian besar belahan dunia bagian timur. Wabah itu merenggut ribuan nyawa. Akibatnya lebih jauh, penguasa dan ulama hijrah ke Maghrib jauh (Maroko) pada tahun 750 H. oleh karena itu, ia berusaha mendapatkan pekerjaan dan mencoba mengikuti jejak kakeknya di dunia politik. Komunikasi yang dijalinnya dengan ulama dan tokoh-tokoh terkenal banyak membantunya mencapai jabatan-jabatan tinggi.90 Pada waktu berusia 20 tahun Ibnu Khaldun dipanggil oleh Abu Muh}ammad ibn Tarafkin penguasa Tunisia untuk memangku jabatan sekretaris Sultan Abu Ish}aq> ibn Yah}ya> al-H{afsi>. Ia menerima tawaran tersebut dan untuk pertama kali pada tahun 751 H memangku jabatan pemerintahan. Sejak itu Ibnu Khaldun mulai mengikuti jejak dan tradisi keluarga dan nenek moyangnya yang bekerja pada jabatan-jabatan tertinggi negara. Adapun yang mendorong Ibnu Khaldun menerima jabatan tersebut karena ia merasa tidak lagi mempunyai kesempatan untuk melanjutkan pelajarannya di Tunisia karena akibat wabah penyakit tersebut. Sehingga
89 90
Ibid., 40. Zaprulkhan, Filsafat Pendidikan Sebuah Kajian Tematik, 235.
60
Ia sedih dan tidak dapat melanjutkan pelajarannya. Ibnu Khaldun tetap memangku jabatan sekretaris sampai ia hijrah ke kota Fez Maroko, pada tahun 755 H/134 M. Pada tahun 752 H Sultan al-Maghri>b al-Aqs}a Abu al- H{asa>n meninggal, ia digantikan oleh anaknya Abu ‘Inan. Ibnu Khaldun dipanggil oleh Abu ‘Inan ke kota Fez pada tahun 755 H dan pada tahun inilah Ia diangkat sebagai seorang anggota majelis ilmu, lalu diangkat sebagai salah seorang sekretaris sultan.91 Keberadannya di kota Fez ini dipergunakan untuk melanjutkan pelajarannya yang pernah terhenti dengan para ulama dan sastrawan kenamaan di kota tersebut, sebagaimana dimanfaatkan untuk mengunjungi perpustakaan-perpustakaan Fez yang pada waktu itu merupakan salah satu perpustakaan Islam terlengkap. Pada tahun 758 H, Ibnu Khaldun ditangkap oleh Sultan Abu ‘Inan dengan tuduhan melakukan sabotase terhadap sultan. Ia dipenjara selama dua tahun dan setelah Abu Sali>m ibn Abu al-H{asa>n menjadi Sultan alMaghri>b al-Aqs}a> pada bulan Sya‟ban 760 H Ibnu Khaldun diangkat menjadi sekretaris pribadi sultan. Dengan demikian Ibnu Khaldun berada di al-Maghri>b al-Aqs}a> sebelum kunjungannya ke Andalusia selama delapan tahun. Dua tahun ditahan di penjara Fez (7588-760 H) dan selama lebih kurang enam tahun bekerja sebagai seorang pejabat di kota Fez 91
Al-Allamah Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Mukaddimah Ibnu Khaldun , terj. Masturi Irham (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2015), 1083.
61
dengan tiga sultan dan dua orang putra mahkota: masing-masing Sultan Abu ‘Inan pada tahun 755-758 H, putra mahkota al-H{asa>n ibn ‘Umar pada tahun 760 H, Sultan Mansur Sulaima>n pada tahun 760 H, Sultan Abu Sali>m pada tahun 760-762 H dan putra mahkota „Umar ibn ‘Abdilla>h pada tahun 763-764 H. Setelah memperhatikan bahwa situasi politik di Afrika Utara tidak menguntungkan, Ibnu Khalun berangkat menuju Andalus dan memilih kota Granada sebagai tempat tinggal, karena antara Ibnu Khaldun dan sultan Granada Abu ‘Abdulla>h Raja III Banu al-Ah}ma>r dan menterinya Lisa>n ad-Di>n al-Khati>b telah terjalin persahabatan yang erat, sejak keduanya mengungsi di istana Sultan Abu Sali>m di Fez. Pada waktu itu Ibnu Khaludun menjadi sekretaris pribadi dan pejabat protokol sultan. Sejak Ibnu Khaldun menginjakkan kakinya di Granada, Sultan Abu ‘Abdulla>h dan menterinya Lisan al-Khati>b menyambutnya dengan hangat dan menyediakan tempat tinggal yang megah untuk Ibnu Khaldun sebagai balasan atas pelayanan atau bantuan yang diberikan oleh Ibnu Khaldun kepada keduanya pada waktu mereka berada di istana Abu Sali>m di Fez. Pada tahun 765 H, sultan Abu ‘Abdilla>h menugaskan Ibnu Khaldun sebagai duta negaranya untuk menghadap raja Castilia. Raja Castilia pada waktu itu adalah Petrus yang berkuasa sekitar tahun 1350 M.
62
Ia terkenal sebagai raja yang bengis. Ia bertugas menyelesaikan perjanjian perdamaian dan mengatur hubungan diplomatik antara Granada dan Castilia. Ibnu Khaldun mengemban tugas ini dengan penuh keberhasilan. Akan tetapi keberhasilannya menjadikan musuh-musuh dan pembuat fitnah tidak tinggal diam, mereka menghasut Perdana Menteri Lisan alKhati>b bahwa Ibnu Khaldun telah mendekati Sultan. Maka situasi pun menjadi genting dan Ibnu khaldun menyadari hal itu. Sebelum situsi memburuk antara Ibnu Khaldun dan Lisan alKhati>b, maka ia memohon kepada sultan agar diizinkan untuk meninggalkan Andalus. Pada tahun 776 H Ibnu Khaldun meningglkan Andalus menuju Baougie (Bejaya)92. Karena ibnu Khaldun selalu mendapatkan kedudukan yang baik dalam pemerintahan kerajaan, akibatnya beliau banyak musuh yang selalu berusaha menyingkirkannya. Oleh karena itu dia memutuskan untuk meninggalkan dunia politik dan memusatkan perhatian dan tenaganya ke dalam ilmu pengetahuan. Beliau pergi ke Jazirah Arabbia, tinggal di pinggiran padang Sahara bersama kabilah-kabilah Arab Badui selama empat tahun. Dari sinilah dia mulai menulis kitab dan memberi pelajaran dari Jami’ al-Azh}ar> . Dia mempunyai hubungan yang baik dengan Sultan Mesir, karena itu beliau dihormati dan diberi jabatan pengadilan Makiyyah tahun 1786 H. Ketika dia merasa punya kedudukan yang lebih 92
Ibid., 1084-1085.
63
baik di kairo timbullah kerinduannya pada anak istrinya yang berada di Maghribi. Mereka pun dimintanya agar pindah ke Mesir hidup bersamanya. Tapi malang bagi mereka sewaktu mereka berlayar dari Maghribi ke Mesir kapal yang membawa mereka tenggelam di tengah lautan, karena duka cita yang mendalam atas kematian keluarganya itu, dia hidup mengasingkan diri dari dunia ramai. Dia meninggalkan jabatannya dan hanya hidup tekun mengajar dan mengarang. Setelah kitab Tarikhnya selesai ditulis diapun meninggal dunia pada tahun 808 H dalam usia 74 tahun93. Melalui terjun langsung di dunia politik dan berhubungan langsung dengan kehidupan sosial masyarakat pada saat itulah yang memberikan kesempatan kepada Ibnu Khaldun untuk dapat mengeluarkan buah pikirannya berupa teori-teorinya yang dirangkum dalam beberapa karya-karyanya yang fenomenal, yang sampai pada saat ini dapat kita pelajari dan kita jadikan sebuah penelitian yang pada akhirnya akan tercipta karya-karya baru dari pengembangan karya-karya Ibnu Khaldun tersebut. Walaupun begitu banyak tantangan dan rintangan dalam mengemban tugasnya tersebut Ibnu Khaldun tetap fokus dan bersemangat menyempatkan dirinya untuk terus menimba ilmu dan menuliskan segala
93
Busyairi Madjidi, Konsep Pendidikan Para Filosof Muslim (Yogyakarta: Al-Amin Press, 1997), 128-129.
64
pengalaman dan ilmu yang diperolehnya sehingga ia mampu mewariskan karya-karya yang luar biasa untuk dunia pendidikan.
B. Karya-karya Ibnu Khaldun Ibnu Khaldun terkenal sebagai ilmuwan besar adalah karena karyanya “Muqaddimah”.
Rasanya
memang
aneh
ia
terkenal
justru
karena
muqaddimahnya bukan karya karena karyanya yang pokok (al-„Ibar), namun pengantar al-„Ibar-nyalah yang telah membuat namanya diagung-agungkan dalam sejarah intelektualisme. Karya monumentalnya itu telah membuat para sarjana baik di Barat maupun di Timur begitu mengaguminya. Sampai-sampai Windellband dalam filsafat sejarahnya menyebutnya sebagai “tokoh ajaib yang sama sekali lepas, baik dari masa lampau maupun masa yang akan datang”. Sebenarnya Ibnu Khaldun sudah memulai karirnya dalam bidang tulismenulis sejak masa mudanya, tatkala ia masih menuntut ilmu pengetahuan, dan kemudian dilanjutkan ia aktif dalam dunia politik dan pemerintahan.94 Al-T{anji>,
dalam
muqaddimah
buku
Rih}lah
Ibn
Khaldu>n
(pengembaraan ibn Khaldun) yang ditulisnya, menyebutkan bahwa Ha>ji> Khali>fah dalam buku Kasyf al-Zunu>n menyebutkan ada sepuluh karangan Ibnu Khaldun. Dilihat dari aspek riwayat kehidupannya yang padat dengan tugas dan banyaknya episode perjalanan, sebenarnya cukup sulit bagi orang 94
Muhammad bin Khaldun, Mukaddimah Ibnu Khaldun , terj. Masturi Irham, 1085.
65
untuk membayangkan bahwa dirinya dapat meluangkan waktu untuk meulis buku, apalagi sejumlah dan sebesar Kita>b al-‘Ibar itu. Namun bagi Ibnu Khaldun, padatnya tugas dan banyaknya perjalanan justru membawa inspirasi dan tantangan tersendiri baginya, sehingga ia mampu menulis buku-bukunya. Sepuluh karyanya itu ialah:
1. Talkhi>s} al-Muhas}sa} l li Fakh al-Di>n 2. Al-Ra>zi 3. Rih}lah 4. Syarh al-Rajz li ibn al-Kha>tib fi al-Us}ul> 5. Syarh Qasidah ibn ‘Abdun 6. Syarh Qasidah al-Ba>ru>di> 7. T{abi’ah al-‘Umra>n 8. Kita>b al-‘Ibar wa Di>wa>n al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayya>m al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa Man ‘A<s}aruhum min Dhawi al-Sult}ani alAkbar 9. Rih}lah Ibn Khaldu>n ‘Abd al-Rah}ma>n ibn Muh}ammad al-H{ad}rami> alIshbili> 10. Al-sult}an al-Akbar: Muqaddimah Ibn Khaldu>n Karya Ibnu Khaldun yang berjudul Rih}lah, T{abi’ah al-‘Umra>n, Rih}lah
Ibn Khaldu>n ‘Abd al-Rah}man ibn Muh}ammad al-H{ad}rami} al-Ishbili> dan alsult}an al-Akbar: Muqaddimah Ibn Khaldu>n tetap disebutkan secara
66
keseluruhan meskipun keempat karyanya ini tampaknya berasal dari bagian buku besarnya, yaitu Kitab al-‘Ibar wa Di>wa>n al-Mubtada’ wa al-Khabar, maka dari itu perlu ditelusuri lebih lanjut.95 Namun dari kesepuluh karya Ibnu Khaldun, di sini penulis hanya akan memaparkan karya-karya yang terkenal, diantaranya adalah: 1. Kitab Muqaddimah, yang merupakan buku pertama dari kitab al-‘Ibar, yang terdiri dari bagian muqaddimah (pengantar). Buku pengantar yang panjang inilah yang merupakan inti dari seluruh persoalan dan buku tersebut pulalah yang mengangkat nama Ibnu Khaldun menjadi harum. Adapun tema Muqaddimah ini adalah gejala-gejala sosial dan sejarahnya. 2. Kita>b al-‘Ibar wa Di>wa>n al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayya>m al-‘Arab
wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa Man ‘A<s}aruhum min Dzawi al-S{ult}ani alAkbar. (Kitab pelajaran dan sejarah zaman permulaan dan zaman akhir yang mencakup peristiwa politik mengenai orang-orang Arab, Non-Arab dan Barbar, serta raja-raja besar yang semasa dengan mereka).96 Kitab ini lebih dikenal dengan nama kitab al-‘Ibar. Pemakain kata ‘Ibar ini makna asalnya adalah hikmah, pepatah atau suri tauladan menurut Muhsin Mahdi, karena di balik kata itu terdapat hikmah yang dapat dipahami atau dilaksanakan. Bahkan dalam pandangan Mahdi, Khaldun memberi judul karyanya dengan ‘Ibar karena dalam hatinya terbersit suatu makna umum 95 96
Pribadi, Pemikiran Sosiologi Islam Ibn Khaldu> n, 54-55. Muhammad bin Khaldun, Mukaddimah Ibnu Khaldun , terj. Masturi Irham, 1085.
67
dan makna yang terdapat dalam al-Qur‟an dan Hadits serta makna sejarah yang diberikan para sejarawan.97 Kitab ini terdiri dari tiga buku: Buku pertama, adalah sebagai kitab Muqaddimah, atau jilid pertama yang berisis tentang; Masyarakat dan ciri-cirinya yang hakiki, yaitu pemerintahan, kekuasaan, pencaharian, penghidupan, keahlian-keahlian dan ilmu pengetahuan dengan segala sebab dan alasan-alasannya. Buku kedua terdiri dari empat jilid, yaitu jilid kedua, ketiga, keempat dan kelima, yang menguraikan tentang sejarah bangsa Arab, generasi-generasi mereka serta dinasti-dinasti mereka. Disamping itu juga mengandung ulasan tentang bangsa-bangsa terkenal dan negara yang sezaman dengan mereka, seperti bangsa syiria, Persia, Israel, Yunani, Romawi, Turki dan Franka (orang-orang Eropa). Kemudian Buku Ketiga terdiri dari dua jilid yaitu jilid keenam dan ketujuah, yang berisi tentang sejarah bahasa Barbar Zanata yang merupakan bagian dari mereka, khususnya kerajaan dan negara-negara Maghribi (Afrika Utara). 3. Kita>b at-Ta’ri>f bi Ibn Khaldu>n wa Rih}latuhu> Sharqan wa Gharban atau disebut secara ringkas dengan istilah at-Ta’ri>f, dan oleh orang-orang Barat disebut dengan otobiografi, merupakan bagian terakhir dari kitab al-„Ibar yang berisi tentang beberapa bab mengenai kehidupan Ibnu
Khaldun. Dia menulis autobiografinya secara sistematis dengan
97
Rahman, Pendidikan Integralistik, 57-58.
68
menggunakan metode ilmiah, karena terpisah dalam bab-bab, tapi saling berhubungan antara satu sama lain.98
C. Pemikiran Ibnu Khaldun Tentang Tujuan Dalam Pendidikan Islam Seperti yang telah dijelaskan di bab sebelumnya, bahwa manusia adalah makhluk paedagodik yang dianugerahi oleh Allah swt potensi untuk dapat dididik dan mendidik. Karena potensinya itulah manusia perlu bimbingan pendidikan untuk mengembangkan keterampilan yang dimiliki manusia. Ibnu Khaldun juga berpendapat mengenai manusia adalah makhluk berakal yang membedakannya dengan makhluk lainnya, misalnya dengan hewan. Manusia dalam segala hal kebutuhannya sama dengan semua makhluk, namun yang membedakannya adalah ia mampu berfikir dengan akalnya untuk memperoleh pengetahuan. Dalam hal ini, secara fisik manusia dinilai sama dengan makhluk lainnya, namun karena ilmu pengetahuan dan proses berfikirnya tersebut manusia berbeda dengan hewan. Seperti yang telah dijelaskan Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimahnya mengenai hakekat manusia:
ِ ِ ْ َيع ِْ َات ِِ يػوا ِيّتِ ِ ِم ِ اََْرَك ِة ْ س َو ّ ْا ُ ْ َ ُ َو َذل َ أَ ّف ِإ ْ َ ا َف قَ ْي َش َارَكْت َ َ َ ْ َ اَْيَػ َوا ِِ وََِّا ََيّػز ْػها بِالْ ِف ْك ِر الّ ِذى يػهتَ ِيي ب. َ ِوالْغِ َذ ِاء والْ ِك ّن و َغ ِر ذَل ْ َ ََ َ ْ َْ َ َ َ 98
Muhammad bin Khaldun, Mukaddimah Ibnu Khaldun , terj. Masturi Irham, 1085-1086.
69
ِِِ ِ ِ ِ لِتَح َ صْي ِل َم َعا ِش ِ َواتػ َّع ُاو ِف َلَْي ِ بِأَبْػَاء جْ ِ ِ َو ِإ ْجتِ َم ِاع الْ ُم َه ّيء ل َذل ْ ِ ِ ِ ِ ْ التػّعاو ِف وقَػ ػوِؿ ما جاء صاَ ِح َ ت بِ أَِْيَاءُ َ ِن اه تَػ َعا ََ َوالْ َع َم َل بِ َواتّػَاء َ َ َ ُْ َ ُ َ ِ ِ ِ كر ِ ِْ ذَل َ ُكلّ ِ َدائِ ًما اَ يَػ ْفتُػ ُر َ ِن الْف ْك ِر ْي ِ طَْرَتةَ َ ْ ِ بَ ِل ْ ٌ ْ َػ ُه َو ُم. ُ أخَرا ِ ِ ِ .ص ِر ْ َ َْاختاَ ُ الْف ْك ِر أَ ْ َرعُ م ْن لَ ْم ِ ال 99
Hal ini disebabkan bahwa manusia mempunyai kesamaan dengan semua makhluk hidup dalam sifat kemakhlukannya, seperti perasaan, bergerak, makan, bertempat tinggal dan lainnya. Namun manusia berbeda dengan makhluk hidup lainnya karena kemampuannya berpikir yang memberikan petunjuk kepadanya, mendapatkan mata pencaharian, bekerjasama dengan antarsesamanya, berkumpul dalam rangka untuk bekerja sama, menerima dan menjalankan apa ajaran yang dibawa para Nabi dari Allah Swt serta mengikuti jalan kebaikan yang membawanya menuju alam akhirat. Manusia selalu berpikir dalam semua ini, dan tidak pernah terlepas dari berpikir 100 sama sekali. Bahkan getaran pemikiran lebih cepat dibandingkan kedipan mata.
Lebih lanjut Ibnu Khaldun menjelaskan lagi sebagai berikut:
ِ ْ صَا ئع والْعلُوـ ََّا ِ ي ل ِإ ث ِك ُْرُ الّ ِذي يَػتَ َميّػ ُز بِِ َ ِن ُ اف ِم ْن َ ْي َ ْ ُ َ َ ّ ُُّ ِ ّف ال َ َ ِ ْ .ُاَْيَػ َوا ِيّةُ َوالْغِ َذائِيّة ْ ث ُ ت لَ ُ ِم ْن َ ْي ُ اَْيَػ َوا َات َوالْ ُق ْو 101
Selain itu, Keahlian-keahlian dan ilmu pengetahuan hanya untuk manusia. Karena manusia mempunyai pemikiran yang merupakan karakter yang membedakannya dari binatang, sedangkan keinginan atau kebutuhan manusia akan makanan adalah sisi 102 kebinatangan dan kebutuhannya mendapatkan gizi.
Pandangan Khaldun tentang pendidikan Islam berpijak pada konsep dan pendekatan filosofis-empiris. Melalui pendekatan ini, memberikan arah terhadap visi tujuan pendidikan Islam secara ideal dan praktis. Meski ia tidak mengkhususkan sebuah bab atau pembahasan mengenai tujuan pendidikan
Abdurrahman ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun (Beirut: Dar Al-Kitab Al‟Arabi, 2001), 542-543. 100 Muhammad bin Khaldun, Mukaddimah Ibnu Khaldun , terj. Masturi Irham, 792. 101 Abdurrahman ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun , 502. 102 Muhammad bin Khaldun, Mukaddimah Ibnu Khaldun , terj. Masturi Irham, 726. 99
70
Islam, namun dari uraiannya memberikan kesimpulan terhadap arah tujuan pendidikan yang diinginkan.103 Tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun beraneka ragam dan bersifat universal. Diantara tujuan pendidikan tersebut adalah : 1. Tujuan peningkatan pemikiran Ibnu Khaldun memandang bahwa salah satu tujuan pendidikan adalah peningkatan pemikiran. Dengan melakukan akitivitas menuntut ilmu manusia akan memperoleh banyak warisan pengetahuan dari pendahulunya, yaitu guru, sehingga dengan proses menuntut ilmu tersebut potensi akal manusia akan meningkat sehingga menghasilkan ilmu pengetahuan yang akan terus berkembang. Ibnu Khaldun menjelaskan tentang peningkatan pemikiran tersebut sebagai berikut:
َػ ُه َو ُمْ ِكٌر ِ ِْ َذلِ َ ُكلّ ِ َدائِ ًما اَ يَػ ْفتُػ ُر َ ِن الْ ِف ْك ِر ِْي ِ طَْرَةَ َ ْ ِ بَ ِل ِ ِ ِ َو َ ْن َ َذا الْ ِف ْك ِر تَػْ َشأَ الْعُلُ ْوُـ. ص ِر ْ َ َْاختاَ ُ الْف ْك ِر أَ ْ َرعُ م ْن لَ ْم ِ ال ُُّ اّ ْج ِل َ َذا الْ ِف ْك ِر َوَما ُجِ َل َلَْي ِ ا ِإ ْ َ ا ُف. صَا ئ ِع ّ َوَما قَي ّْمَا ُ ِم َن ال ِ صي ِل ماتَ تَ ْي ِي ِ الطّ اع َػي ُكو ُف الْ ِفكْر ر ِ ْ بل ِ ِْ ِ اغًا َ ْ َ ُ َ ْ ْ َ ْ ََْ اَْيَػ َوا ُف م ْن َُ ِ اإ ْدرا َك ِ ِ صي ِل ما لَي ِ ات َػيَػ ْرِج ُع ِ ََ َم ْن َ َػ َق ُ بِعِْل ٍم أ َْو َز َاد َ ِْ س ْ َي ُ م َن َ ْ َ ْ ََْ ِ لَي ِ ِِع ِرَِة أَوِدر ٍاؾ أَوأ ّم ُ ِم َن اأَِْيَ ِاء الّ ِذيْ َن يػَُػلّغُ ْوَ ُ لِ َم ْن َ ْ َ ْ ْ َْ ْ َ َ َخ َذ ُ ِ ّْن تَػ َقي ِ ِ ِ ِ ِ تَػلَقّا َػيػلَقّن َذلِ َ ْػهم وََرص لَى أ َ َ ُُّ ِ ّف كَْرُ َو. َخذ َو ْل ِم ْ َ ُ َْ َ ْ ُ َ ُضَر ُ ُ ُ ِ ْ يػتَػو ّج ِ ََ وا ِ ٍي وا ِ ٍي ِمن ض لَ ُ لِ َذاتِِ َوا ِ ًيا بَػ ْع َي ُ ْاََْقائ ِ َويَػ ُ ض ُرَما يَػ ْع ِر َ َ ُ ََ َ 103
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), 93.
71
ِ آخر ويػتَمّر ُف لَى َذلِ َ َّ ي ِ اؽ الْ َع َوا ِر ْ َ ض بِتِْل ُ َْْ ِ صْيػَر ًاَِْقْيػ َق ِة َملَ َكة َ َ ََ ََ َ َ ِ ِ ِ ْ َ لَ َػي ُكو ُف ِ يػَئِ ٍي ِ ْلم َِِا يػع ِرض لِتِْل . صا ُ َْ ً ُ ْ ْ َ ُ ً ص ْو ُ ََْ اَْقْيػ َقة ْل ًما ِ ؼ ػُ ُفوس أَ ِل ِْْي ِل ال ِ ََْ ََ ِ ّاشىء ََ ِ صْي ِل ذَلِ َ َػيَػ ْغَز ُ ْو َف ْ ْ ُ ْ ُ َوتَػتَ َش ّو أَ ْ لِ َم ْع ِرَتِ ِ َوََِ ْيءُالتػ ّْعلِْي ُم ِم ْن َ َذا َػ َق ْي تَػَػ ّ َ بِ َذلِ َ أَ ّف الْعِْل َم َواتػ ّْعلِْي َم 104 ِ . شر َ َْطَِْيعِ ٌي ِ ال Manusia selalu berpikir dalam semua ini, dan tidak pernah terlepas dari berpikir sama sekali. Bahkan getaran pemikiran lebih cepat dibandingkan kedipan mata. Lewat kegiatan berpikir inilah akan tumbuh berbagai ilmu pengetahuan dan keahlian sebagaimana yang telah kami kemukakan. Mengenai pemikiran dan insting yang dianugerahkan Allah Swt kepada manusia dan makhluk hidup untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan, maka pemikiran selalu berkeinginan memperoleh wawasan-wawasan yang tidak diketahuinya. Akibatnya, manusia harus belajar dari pendahulunya yang memiliki pengetahuan yang belum diketahuinya, menambah pengetahuan dan wawasan, atau belajar dari orang yang pernah mendapatkan pengajaran dari para Nabi dan rasul, yang menyampaikan ajaran tersebut kepada orang yang ditemuinya. Dengan begitu, ia mendapatkan pengajaran tersebut dari mereka dan berusaha untuk memahami dan mengetahuinya. Di samping itu, satu demi satu pemikiran manusia dan teorinya akan menuju hakikat kebenaran, dan melihat apa yang diisyaratkan kepada dirinya. Manusia akan melakukan hal ini secara terus menerus hingga penggabungan hal-hal yang bukan inti dan pada hakikatnya menjadi instingnya. Dengan begitu, ilmu yang dimilikinya yang mampu mencapai hakikat merupakan ilmu khusus. Jiwa -jiwa generasi muda akan memperhatikan dan berusaha untuk mendapatkannya dengan serius, sehingga mereka akan segera menghadap kepada ahli makrifat dan berguru padanya. Dari kenyataan ini, jelaslah bahwa ilmu pengetahuan dan pengajarannya 105 merupakan sesuatu yang natural bagi manusia .
Dari hasil berfikirnya tadi manusia memperoleh ilmu dan juga pengetahuan yang didapat dari para gurunya atau pendahulunya. Sebuah ilmu atau keterampilan tersebut dicapai dengan jalan pengajaran yang terus ditingkatkan sehingga menjadi sebuah kebiasaan yang disebut sebagai malakah, dari sebuah kebiasaan menuntut ilmu itulah
104 105
Abdurrahman ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun , 543. Muhammad bin Khaldun, Mukaddimah Ibnu Khaldun , terj. Masturi Irham, 792-793.
72
keterampilan atau keahlian seseorang akan sempurna. Dan proses pendidikan tersebut adalah sebuah hal yang alami dalam peradaban manusia. Karena hal inilah yang membedakan manusia dengan hewan. Dari pernyataan Ibnu Khaldun di atas, jelaslah bahwa manusia itu memang diciptakan oleh Allah Swt sebagai makhluk yang istimewa, yang secara fisik sama dengan binatang, namun berbeda karena dianugerahi akal. Akal ini yang menjadikan manusia mampu berfikir, dan dapat mengembangkan pemikirannya dengan menuntut ilmu. Dalam Islam menuntut ilmu adalah perintah Allah Swt yang pertama kali ditugaskan pada manusia, yaitu pada Qur‟an surat al-Baqarah ayat 1-5. Sehingga perkembangan ilmu pengetahuan akan semakin meningkat dan maju berkembang. 2. Tujuan peningkatan kemasyarakatan Manusia pada umumnya selalu dan pasti membutuhkan segala sesuatu yang dapat menunjang kehidupannya di dunia ini. Manusia pun diserahi tugas sebagai khalifah di muka bumi ini untuk mengatur dan memanfaatkan segala yang ada di bumi untuk kesejahteraannya dan sekaligus melestarikannya.
Untuk mendapatkan segala kebutuhan
hidupnya manusia juga harus mau berusaha mencarinya, yaitu dengan bekerja. Dengan bekerja ia memperoleh uang untuk membeli segala keperluannya. Ibnu Khaldun menyatakan bahwa hasil usaha adalah nilai dari pekerjaan manusia:
73
ِ ِاإ ْ ا َف ُم ْفتَ ِقر بِاالطّْ ِع ِ ََ َمايَػ ُق ْوتُ ُ وََُْوُ ُ ِِ َ ااَتِِ وأَطْوا ِر ِ ْ ٌ َ َ َ َ ْ ْ لَ ْم أَ ّف ِ . ََِِ َِش ّي ِ ِ ََ ك ُ ِم ْن لَ ُي ْف ُ ْش َوء ِ ِ ََ أ
ِ ْ اإ ِ اف َمْ ُ ْوطَةٌ َلَى الْ َعا َِ َوَما ِْي ِ َِِا َج َع َل اهُ لَ ُ ِم َن َ ْ َويَ ُي ِ ِ ِ ِ ِ ِ ص َل َ َ َوَما. َ َوأَيْي ْي الَْ َش ِر ُمْتَشَرةٌ َ ِه َي ُم ْش ََِكةٌ ِ ِْ َذ ل.ْاا ْ ت ْ اَؼ ِ لَي ِ ي ُي َذا امتَػَع ِن ٍ آخ ِرِاّ بِعِ َو َا ِإ ْ َ ا ُف َم ََ اقْػتَ َي َر َلَى. ض َ َ ْ َ َ َْ ِ ِ ِ ِ ف عى ِِ اقْتِ ِاءالْم َكا ِ ّ َػ ْف ِ ِ وَََاوَز طُورا ُب ليُػْف َ َما آتَا ُ اه َ َ َ َ َ ْ َ َ ض ْع ِِ ِ ِ ِ ض ُرْوَراتِِ بِ َي ْ ِع ْاأُ ْ َو .اض َْػ َها َ اجات َو َ َ مْػ َها ِ ِْ ََْصْي ِل 106
Secara naluriah manusia membutuhkan apa yang dapat menghasilkan makanan pokok dan memberikan ongkos dalam berbagai keadaan dan tahapannya, sejak awal pertumbuhannya sampai ketika dewasa hingga tua. Tangan manusia terbuka di alam ini dan apa yang ada di dalamnya karena oleh Allah mereka dijadikan sebagai khalifah. Dan tangan-tangan manusia itu tersebar. Mereka bersekutu dalam hal itu. Apa yang telah dihasilkan oleh tangan seseorang, maka terlarang bagi yang lain untuk mendapatkannya kecuali dengan menggunakan alat tukar. Maka apabila manusia telah mampu atas dirinya sendiri dan telah melewati masa berdaya, maka dia akan bertindak mencari usaha, lalu membelanjakan hasil usaha yang telah diberikan oleh Allah untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan dan kebutuhan-kebutuhan 107 pokoknya dengan menyerahkan gantinya.
Dari segi peningkatan kemasyarakatan, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa dengan ilmu pengetahuan, manusia dari segi kualitas keahlian makin sempurna seiring sempurnanya bangunan peradaban di suatu kota atau negeri. Ibnu Khaldun menjelaskan sebagai berikut:
ِ ِ ّ وال ي َوتَػتَ َم ّي ُف ْ ؼ الْعُ ْمَرا ُف ّ ص ِر َ ّاس َما َْ يُ ْ تَػ ْو ْ َْا َُ َ َ ب ِْ ذَل َ أَ ّف ال ِ صيل اأَقْػو ِ ِ ي ِم َن الْ َم َع اِْْطَِة ْ ات ِم َن ّ الْ َم ِييْػَةُ ََِّا ََّ ُه ْم ِض ُّرْوِر َ ُ ْ ََْاش َوُ َو 106 107
Abdurrahman ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun , 476-477. Muhammad bin Khaldun, Mukaddimah Ibnu Khaldun , terj. Masturi Irham, 684.
74
ِ ي ُ ت ِْيػ َها اأَ ْ َم ّ اؿ َوَوَ ْ بِض ُّرْوِر ْ َِإ َذا ََ ّي َ ِ الْ َمييْػَةُ َوتَػَزايَ َي. َو َغ ِْرَ ا ِ َؼ الّزائِ ِي ِ يػَئِ ٍي ِ ََ الْ َكماا ِ ْ وزاد ِ ت ِم َن الْ َم َع ُُّ ِ ّف. اش َ ص ْر َ ََ ْ ُ ت َلَْي َ ِ ْ صَا ئِع والْعلُوـ ََّا ِ ي ل ِإ ث ِك ُْرُ الّ ِذي يَػتَ َميّػ ُز بِِ َ ِن ُ اف ِم ْن َ ْي َ ْ ُ َ َ ّ ال َ َ ِ ْ ِ ِاْيػوا ِيّةُ والْغِ َذائِيّةُ َػهم م َقيّـ لِضروِريّت ُ ت لَ ُ ِم ْن َ ْي ُ اَْيَػ َوا َات َوالْ ُق ْو ُْ َ ٌ ُ ْ ُ َ َ ََْ ث َو َلَى ِم ْق َيا ِر ُ ْمَر ِاف. ي ّ َلَى الْعُلُ ْوِـ َوال ّ صَائِ ِع َوِ َي ُمتَأَ ّخَرةٌ َِضَّرْوِر ِ ِ ٍ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ّ الْ ػلَ ِي تَ ُكو ُف جودةُ ال ب ِمْػ َها َُْ ْ َ ُ َصَائ ِع لتّأَّ ْيػ َها ْيػَئي َوا ْ ت َج َادة َما يُطْل ِ ِِيث تَػتػوّػر دوا ِي التػّر . ِؼ َواثػّْرَوة َ ْ َ َ ُ َ َ ُ َْ 108
Hal ini disebabkan bahwa selama manusia tidak dapat mencapai kemakmuran peradaban dan membangun kota, maka yang menjadi fokus utama pemikiran mereka adalah kebutuhan primer, yaitu mendapatkan bahan-bahan makanan seperti gandum dan lainnya. Apabila suatu kota telah mencapai kemajuan dan berbagai aktivitas semakin bertambah, mampu memenuhi kebutuhan pokok mereka dan bahkan lebih cukup, maka surplus tersebut akan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan kemewahan. Selain itu, keahlian-keahlian dan ilmu pengetahuan hanyalah untuk manusia. Karena manusia mempunyai pemikiran yang merupakan karakter yang membedakannya dari binatang, sedangkan keinginan atau kebutuhan manusia akan makanan adalah karena sisi kebinatangan dan kebutuhan mendapatkan gizi. Makanan pokok yang merupakan kebutuhan mendasar harus diutamakan daripada keahlian-keahlian dan ilmu pengetahuan. Sebab keduanya merupakan kebutuhan sampingan dan baru dipenuhi setela h kebutuhan mendasar terpenuhi. Kualitas keahlian yang indah dan elok ditentukan berdasarkan kemajuan peradaban dan konstruksi bangunan di suatu kerajaan dan permintaan dengan kualitas yang baik, karena terpenuhinya faktor -faktor yang 109 mendorong tercapainya kemakmuran dan kekayaan.
Selanjutnya Ibnu Khaldun menjelaskan lagi sebagai berikut:
ِِ ِ ِ ِْ ِ ُ ُّت َكا َف ِم ْن َُْلَتِ َها التّأ ُ ََوِذَا َز َخَر َِْ ُرالْعُ ْمَراف َوطُلَ ْ ْي الْ َك َماا ِ ِ ِ ِ ِ ّ ال ِ ت َخَرى ْ صَائ ُع أ ْ صَائ ِع َوا ْ ت َج َادَِا َ َك ُملَْتِج َ ْ مي ِع ُمتَ ّم َماَِا َوتَػَزايَ َي ِ ِ ِ ِ ِ صائ ٍع َ َم َع َها ِّا تَ ْي ُ ْو ِلَْي َ َوائ ُي التػَّرؼ َوأَ ْ َوالُ ُ م ْن َجّزا ِر َوَدبّ ٍاغ َو َخّرا ٍز َو ِ ِِ اؼ ِ َذ ْ تَْ َحَر الْعُ ْمَرا ُف ِ ََ أَ ْف ُ ََص ْ َوقَ ْي تَػْتَ ِه ْي َ ذ ْاأ. َ َوأ َْمَ ِاؿ َذل 108 109
Abdurrahman ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun , 502. Muhammad bin Khaldun, Mukaddimah Ibnu Khaldun , terj. Masturi Irham, 726.
75
ِت واتّأَّ ِيػها ِِ الْغَاي ِة وتَ ُكو ُف ِمن وجو ِ ِ ِ ِ َ ْ ُ َ َيػُ ْو َج َي ْيػ َها َك ْيػٌر م َن الْ َك َماا ُْ ُ ْ ْ َ َ ِ ِ الْ َم َع بَ ْل تَ ُك ْو ُف َائِ َيتُػ َها ِم ْن أَ ْ ظَ ِم َػ َوائِ ِي. ص ِر لِ ُمْتَ ِحلِ َها ْ اش ِِ الْم ِ ؼ ِِ الْم ِييػَ ِة ِم ْل ال ّي صفّا ِر ّ اف وال ُ اأَ ْ َم ِاؿ لِ َما يَ ْي ُ ْو ِلَْي ِ التػَّر َ َ ْ َ ِ ْاس َوُم َعلّ ِم الْغَِ ِاء والّرق ِ اخ َو َّّ ِاع َوا ََّْر ص َوقَػ ْر ِطُّػ ْوِؿ َلَى ِ ّّاَْ ّم ِام ّي َوالط ْ َو ِ ُ وِم ْل الْوّراقِ ْ َ الّ ِذيْن يػُ َعا ػُ ْو َف ِصَا َةَ ا ْتِس ا ِخ الْ ُكت. التػ ّْو ْقي ِع ب َوِ َْلِْي ِي َ ا َ َ َ َ َ ؼ ِِ الْ َم ِييْػَ ِة ِم َن ّ ص ِحْي ِح َها َِإ ْف َ ِذ ِ ال ُ صَا َ ِة ََِّا يَ ْي ُ ْو ِلَْيػ َها التػَّر ْ ََوت ِْ اَْ ّي ِذَا َكا َف ْ َوقَ ْي ََُْر ُ َ ِن. َ ِاإ ْشتِغَ ِاؿ بِاأ ُُم ْوِر الْ ِف ْك ِريِّة َوأ َْمَ ِاؿ ذَل . اَْ ّي ْ الْعُ ْمَرا ُف َخا ِر ًجا َ ِن 110
Ketika konstruksi bangunan peradaban telah melengkapi diri dengan hiasan dan harus memenuhi tuntutan kemewahan, maka secara otomatis menuntut keanggunan keahlian, peningkatan kualitas dan kebaikannya. Dengan demikian, maka bangunan peradaban dengan segala perlengkapan yang menyertainya menjadi sempurna dan menumbuhkan keahlian-keahlian yang lain seiring dengan kemajuannya. Sehingga hal ini memberikan manfaat bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Kelompok-kelompok keahlian ini akan mencapai puncaknya seiring kemajuan bangunan peradaban dan kesempurnaannya hingga ditemukan berbagai barang kemewahan yang indah, sehingga dapat dijadikan sebagai mata pencaharian bagi masyarakat yang menekuninya sebagai profesi. Bahkan hasil keahlian ini memberikan manfaat terbesar bagi umat manusia dibandingkan aktivitasnya yang lain karena mengantarkan masyarakat menuju kemakmuran dan kesejahteraan. Seperti permernisan, peniup peluit, pemandian, koki, penjual lilin, penjual ayakan, komponis, penari, penabuh gendang, dan juga pembuatan kertas yang banyak membantu keahlian pentraskipan buku-buku, penjilidan dan koreksi. Keahliankeahlian ini merupakan kebutuhan-kebutuhan kemewahan dalam masyarakat kota yang banyak bersentuhan dengan dunia pemikiran dan lain sebagainya. Dan bahkan ada yang melebihi batas jika masyarakatnya telah mencapai 111 peradaban yang melebihi batas pula.
Ibnu Khaldun menjelaskan lagi mengenai keahlian akan berkembang pesat sesuai dengan peradaban yang maju sebagai berikut:
110 111
Abdurrahman ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun , 502-503. Muhammad bin Khaldun, Mukaddimah Ibnu Khaldun , terj. Masturi Irham, 727.
76
َوقَ ْي. صَ ِاع ّ ب ِ ِْ َذلِ َ أَ ّف تَػ ْعلِْي َم الْعِْل ِم َك َما قَي ّْمَا ُ ِم ْن َُْلَ ِة ال ُ َ ّ َوال ِ ّ ُكّا قَيّمَا أَ ّف ال َِ َو َلَى ِ ْ َ ِة ُ ْمَرا َِِا. صا ِر ْ َ صَا ئ َع ََِّا تَ ْك ُػ ُر ِِ ْاأ َْم ِ اِْضارةِ واتػّر ِ ّالْ َك ْػرةِ والْ ِقل ِ ؼ تَ ُكو ُف ِ صَائِ ِع ِاُْْوَدةِ والْ َك ْػرة و ة ال ة ْ ْ ّ ُ َ َ ْ ْ َ َ َ َ َ َ َ َ ِ ِأَّ ُ أ َْمٌر َزائِ ٌي َلَى الْ َم َع اؿ أَ ْ ِل الْعُ ْمَر ِاف َ ْن َم َعا ُ ضلَ ْ أَ ْ َم َ َ ََ َ َم. اش ِ اش ِمن الت ِ ِ ْ صيّ ِة ا ِإ ِ ؼ ِِ خ اف َ ْ ّصّر َ َ ِ صَرَ ْ ِ ََ َما َوَراءَ الْ َم َع َ ْ ش ِه ِم ا َ ِْ ِ َؼ بِِفطَْرتِِ ِ ََ الْعِْل ِم ِِ ّْن َ َشأ ّ َوِ َي الْعُلُ ْوُـ َوا َ َوَم ْن تَ َش ّو. صَا ئِ ُع صا ِر َغ ِْرالْ ُمتَ َم ّي َِة َاَ ََِ ُي ِْيػ َها التػ ّْعلِْي َم الّ ِذي ُ َو ِصَا ِ ٌي َ الْ ُقَرى َو ْاأ َْم ِْ ِ َك َما قَي ّْمَا ُ َواَ بُ ّيلَ ُ ِم َن الّر ْ لَة. صَا ئ ِع ِِ أَ ْ ِل الَْ ْي ِو ّ لُِف ْق َي ِاف ال ِ .112 صَائِ ِع ُكلّ َها ّ صا ِر الْ ُم ْ تَْ ِحَرةِ َشأَ َف ال َ طَلَِ ِ ََ اأ َْم Hal ini disebabkan bahwa pengajaran ilmu pengetahuan merupakan sebuah keahlian. Kami juga telah menjelaskan bahwa keahlian akan berkembang dan meningkat di daerah perkotaan, dan seiring dengan banyak sedikitnya perkembangan bangunan peradaban, kemakmuran, dan kemajuannya, maka kualitas keahlian dan variasinya selalu mengikuti. Sebab keahlian merupakan tambahan bagi mata pencaharian. Ketika pekerjaan dan penghailan komunitas masyarakat dalam suatu peradaban melebihi kebutuhan, maka kelebihan tersebut akan difungsikan untuk pembiayaan di luar mata pencaharian, yang sifatnya khusus bagi manusia, yaitu ilmu pengetahuan dan keahlian. Orang yang secara nalar gemar berhias dengan ilmu pengetahuan, yang hidup di desa dan kota-kota yang belum maju dan berbudaya, maka ia tidak akan mendapatkan pengajaran yang baik, yang merupakan bagian dari keahlian. Sebab keahlian tidak ditemukan dalam masyarakat Badui, sebagaimana telah kami kemukakan di depan. Akibatnya, ia harus merantau ke kota -kota dan wilayah yang penuh dengan samudera peradaban untuk mencari ilmu, 113 layaknya keahlian-keahlian pada umumnya.
Hal ini bermaksud bahwa sebuah keahlian yang dimiliki oleh masyarakat akan membawa mereka pada sebuah pekerjaan yang sesuai dengan 112 113
keahlian
masing-masing
masyarakatnya,
sehingga
Abdurrahman ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun , 548. Muhammad bin Khaldun, Mukaddimah Ibnu Khaldun , terj. Masturi Irham, 802.
dari
77
pekerjaannya tersebut manusia memperoleh gaji yang dapat digunakan untuk kelangsungan hidupnya. Dan jika suatu negara atau kota yang lapangan pekerjaannya sedikit dari jumlah penduduk yang membutuhkan lapangan pekerjaan maka ekonomi suatu masyarakat akan merosot. Sehingga kesejahteraan masyarakatnya menurun. Ini membuktikan bahwa jika negara atau suatu kota peradabannya tinggi maka kesejahteraan masyarakatnya pun juga tinggi. Begitu sebaliknya jika suatu peradaban negara atau kota rendah maka taraf kesejahteraan masyarakatnya pun juga ikut rendah. Hal ini disebabkan karena walaupun tingkat keahlian atau ilmu masyarakatnya tinggi namun jika tidak dibarengi dengan lapangan pekerjaan yang memadai maka manusia tidak dapat menyalurkan keahlian di masing-masing bidangnya. Sehingga banyak masyarakat merantau ke luar daerah untuk mencari ilmu. 3.
Tujuan pendidikan dari segi kerohanian
Tujuan pendidikan dari segi kerohanian adalah dengan meningkatkan keroh nian manusia, karena
a
seperti yang telah dijelaskan di awal, manusia mempunyai akal untuk berpikir. Dari kegiatan berfikirnya tadi
manusia
selain mendapat pengetahuan umum juga
mendapat ajaran
agama
yang
dibawa Nabi Saw
, sehingga tujuan akhir dari kehidupan manusia adalah
mendapatkan kehidupan yang baik di dunia maupun di akhirat. Ibnu Khaldun menyatakan tentang tujuan pendidikan kerohanian:
78
ِ ِ ِ صي ِل معا ِش ِ واتػّعاو ِف لَي ِ ِِ ِ َْ َُ َ َ َ ْ َوََِّا ََيّػَز َْػ َها بِالْف ْك ِر الّذى يَػ ْهتَي ْي بِ لتَ ْح ِِِ ِِت ب ِ ِِ ِ ِ ْ َّع ُاو ِف َوقَػُػ ْوِؿ َما َجاء َ بِأَبْػَاء جْ َو ِإ ْجت َم ِاع الْ ُم َه ّيء ل َذل َ التػ ِ ِ ِ .ُ َخَرا ْ صاَ ِح أ َ أَِْيَاءُ َ ِن اه تَػ َعا ََ َوالْ َع َم َل بِ َواتّػَاء 114
Namun manusia berbeda dengan makhluk hidup lainnya karena kemampuannya berpikir yang memberikan petunjuk kepadanya, mendapatkan mata pencaharian, bekerjasama dengan antarsesamanya, berkumpul dalam rangka untuk bekerja sama, menerima dan menjalankan apa ajaran yang dibawa para Nabi dari Allah Swt serta mengikuti jalan kebaikan yang 115 membawanya menuju alam akhirat.
Untuk mencapai tujuan kerohanian tersebut, manusia memerlukan proses dengan cara berdzikir, berkhalwat, puasa dan lain sebagainya, seperti yang dinyatakan Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimahnya:
ِ اضتُػهم ِديِيّةٌ و ِريّةٌ ن ِذ ِ الْم َق ض ُم ْوَم ِة َوََِّا ْ اص ِي الْ َم َ ََوأَّماالْ ُمت َ َ ْ َ َ َ ْ ْ ُ َ َص ّوَةُ َ ِري ِِ ِ ِِ اؽ أَ ْ ِل ُ ص َل َُ ْم أَ ْذ َو ُ يَػ ْق ُ ص ُي ْو َف ََْ َع ا َْ ّمة َوا ِإقْػَ َاؿ َلَى اه بِاالْ ُكلّيّة ليَ ْح ِ ِ ِ َالْعِر اَْ ْم ِع التّػ ْغ ِييَةَ بِاذّ ْك ِر َِ َها تَتِ ّم ْ ََ ِ اضتِ ِه ْم َ َاف َوالتػ ّْو ْيي َويَِزيْ ُي ْو َف ِ ِْ ِري ْ ِ ِ ِ ِ َ ِو ْج َهتُػ ُهم ِِ َ ِذ ِ الّري ْ َ س َلَى ال ّذ ْك ِر َكا َ ْ ْ ُ اضة أَّ ُ َذا َ َشأَت الّػ ْف 116 ِ َأَقْػرب ِ ََ الْعِر . َشْيطَا ِيّة َ ْ َ اف بِااهِ َوِ َذا ُّريَ ْ َ ِن ال ّذ ْك ِر َكا ََ ْ Adapun orang-orang tasawuf melakukan tirakat berdasarkan agama dan terlepas dari tujuan-tujuan tercela tersebut. Mereka hanya menginginkan konsentrasi diri secara total dalam menghadap Allah Swt agar mereka merasakan apa yang dirasakan oleh ahli makrifat dan tauhid. Disamping konsentrasi dan lapar, mereka menambahnya dengan dzikir agar tujuan mereka dapat tercapai secara sempurna. Hal itu terjadi karena ketika jiwa tumbuh di atas dzikir, maka ia akan lebih dekat untuk makrifat kepada Allah. Sebaliknya, jika jiwa dikosongkan dari dzikir kepada Allah, maka ia akan 117 menjadi jiwa syetan.
Selanjutnya Ibnu Khaldun menjelaskan lagi sebagai berikut: 114
Abdurrahman ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun , 542-543. Muhammad bin Khaldun, Mukaddimah Ibnu Khaldun , terj. Masturi Irham, 792. 116 Abdurrahman ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun , 136-137. 117 Muhammad bin Khaldun, Mukaddimah Ibnu Khaldun , terj. Masturi Irham, 166. 115
79
ِ ِ ِِِ ِ ص ُي ْو ِف ُ قَ َاؿ بَػ ْع ُ " َم ْن آثَػَر الْع ْرَاف ل ْلع ْرَاف َػ َق ْي قَ َاؿ بِّاف " َػ ُه ْم يَػ ْق: ض ُه ْم ِ ِ ِ ٍ ِ ِ ص ُل َْ ص َل ِ ِْ أَثْػَاء َذل َ َم ُ َا َ َ بِ ِو ْج َهت ِه ِم الْ َم ْعُػ ْوَد اَل َش ْيء َوا ُ َوِ َذا َِِِاالْعر ِضو َغيػرم ْقصوِد َم وَكِيػر ِمْػهم ي ِفّر ِمْ ِذَا رض لَ واَ ََ َفل ب ُ ْ َ ُ َ َ َ ُ َ ْ ُ ٌ ْ َ ْ ُ ْ ُ َُ ْ َ َ َ . ِض اهُ لِ َذاتِِ اَلِغَ ِْر ُ َْو ََّا يُِري 118
Sebagian mereka mengatakan, “ barangsiapa yang memilih makrifat untuk makrifat, maka sesungguhnya ia telah berkata dengan yang kedua”. dengan demikian, tujuan mereka hanyalah Allah, tidak ada tujuan lain-Nya. Namun, ketika dalam perjalanan ia diberi ilmu ghaib, maka itu bukanlah sesuatu yang mereka inginkan. Bahkan, banyak dari mereka berusaha menghindar dan tidak terlalu bergembira ketika mendapatkannya. Mereka hanya menginginkan Allah 119 semata.
Jadi dari segi peningkatan kerohanian ini, pendidikan dijadikan sebuah alat untuk bagaimana caranya agar manusia dapat dekat dengan sang penciptanya yaitu Allah Swt. Para sufi zaman dahulu melakukannya dengan cara tirakat, berdzikir maupun berkhalwat hanya dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Namun sebagian manusia pada saat itu menggunakan cara-cara ini malah dengan niat untuk mendapatkan pengetahuan gaib. Sehingga perlu diluruskan lagi dalam beribadah kepada Allah haruslah ikhlas karena Allah Ta‟ala.
118 119
Abdurrahman ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun , 137. Muhammad bin Khaldun, Mukaddimah Ibnu Khaldun , terj. Masturi Irham, 167.
80
BAB IV PERSPEKTIF KONSEP ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN REKONSTRUKSIONALISME TERHADAP KONSEP TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT IBNU KHALDUN
A. Hakekat Tujuan Pendidikan Islam Menurut Ibnu Khaldun Dalam Perspektif Aliran Filsafat Pendidikan Rekonstruksionalisme Pendidikan Islam pada hakikatnya berusaha melahirkan manusiamanusia yang berilmu dan beriman sekaligus. Pandangan ini bertitik tolak dari landasan ontologi-metafisis ajaran Islam yang bersumber pada ajaran tauhid. Tauhid di sini tidak hanya dipahami secara teologis sebagai keesaan Allah, melainkan juga dipahami sebagai kesatuan fungsi manusia sebagai khali>fah fi> al-ardl sekaligus sebagai hamba-Nya (‘abd). Dalam posisinya inilah manusia berkewajiban mengembangkan ilmu pengetahuan, sebab ilmulah yang merupakan faktor yang membuat manusia diberi amanah sebagai khalifah di muka bumi ini.120 Sehingga pada akhirnya, hal ini menimbulkan pertanyaan siapa manusia, apa yang dituju manusia dan untuk apa manusia hidup di dunia ini. Dalam penelitian ini, penulis mengambil salah satu tokoh pendidikan Islam yaitu Ibnu Khaldun, beliau menerangkan tentang hakekat manusia sebagai berikut:
120
Ilyas Supena, Rekonstruksi Epistemologi Ilmu-Ilmu Keislaman (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014), 123.
81
ِ ِ ْ َيع ِْ َات ِِ يػوا ِيّتِ ِ ِم ِ اََْرَك ِة ْ س َو ّ ْا ُ ْ َ ُ َو َذل َ أَ ّف ِإ ْ َ ا َف قَ ْي َش َارَكْت َ َ َ ْ َ اَْيَػ َوا ِِ وََِّا ََيّػز ْػها بِالْ ِف ْك ِر الّ ِذى يػهتَ ِيي ب. َ ِوالْغِ َذ ِاء والْ ِك ّن و َغ ِر َذل ْ َ ََ َ ْ َْ َ َ َ ِصي ِل معا ِش ِ واتػّعاو ِف لَي ِ بِأَبػ ِاء ِجْ ِ ِ و ِإجتِم ِاع الْمهي ِء لِ َذل ِ ِ َْ ْ َ ُ َ َ َ ّ َُ َ ْ َ َ َ ْ لتَ ْح ِ ِ ِ ِ ْ التػّعاو ِف وقَػ ػوِؿ ما جاء صاَ ِح َ ت بِ أَِْيَاءُ َ ِن اه تَػ َعا ََ َوالْ َع َم َل بِ َواتّػَاء َ َ َ ُْ َ ُ َ كر ِ ِْ َذلِ َ ُكلّ ِ َدائِ ًما اَ يَػ ْفتُػ ُر َ ِن الْ ِف ْك ِر ِْي ِ طَْرَتةَ َ ْ ِ بَ ِل ْ ٌ ْ َػ ُه َو ُم. ُ أخَرا ِ ِ ِ .ص ِر ْ َ َْاختاَ ُ الْف ْك ِر أَ ْ َرعُ م ْن لَ ْم ِ ال 121
Hal ini disebabkan bahwa manusia mempunyai kesamaan dengan semua makhluk hidup dalam sifat kemakhlukannya, seperti perasaan, bergerak, makan, bertempat tinggal dan lainnya. Namun manusia berbeda dengan makhluk hidup lainnya karena kemampuannya berpikir yang memberikan petunjuk kepadanya, mendapatkan mata pencaharian, bekerjasama dengan antarsesamanya, berkumpul dalam rangka untuk bekerja sama, menerima dan menjalankan apa ajaran yang dibawa para Nabi dari Allah Swt serta mengikuti jalan kebaikan yang membawanya menuju alam akhirat. Manusia selalu berpikir dalam semua ini, dan tidak pernah terlepas dari berpikir 122 sama sekali.
Sehingga jelaslah Ibnu Khaldun menyatakan bahwa salah satu tujuan pendidikan adalah dari segi kerohanian. mendapat pengetahuan umum juga
Dari kegiatan berfikirnya tadi manusia
mendapat ajaran
agama
selain
yang dibawa Nabi Saw
,
sehingga tujuan akhir dari kehidupan manusia adalah mendapatkan kehidupan yang baik di dunia maupun di akhirat. Mati dalam keadaan berserah diri kepada Allah inilah merupakan ujung dan akhir dari proses hidup dan ini merupakan isi kegiatan pendidikan. Inilah akhir dari proses pendidikan yang
Abdurrahman ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun (Beirut: Dar Al-Kitab Al‟Arabi, 2001), 542-543. 122 Al-Allamah Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Mukaddimah Ibnu Khaldun , terj. Masturi Irham (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2015), 792. 121
82
dapat dianggap sebagai tujuan akhirnya. Insan kamil yang mati dalam keadaan berserah diri kepada Allah inilah merupakan tujuan akhir pendidikan Islam.123 Dalam hal ini pula, filsafat pendidikan rekonstruksionalisme memandang
pendidikan
harus
menjadikan
subjek
didiknya
mampu
menggunakan ilmu pengetahuan yang diperolehnya sebagai wahana bagi perealisasian nilai-nilai spiritual.124 Jadi dengan adanya pendidikan, akan mengarahkan manusia kepada tujuan kerohanian seperti yang dinyatakan oleh Ibnu Khaldun tersebut kepada tujuan akhir yaitu insan kamil yang akan mendapatkan kebaikan di dunia maupun di akhirat. Filsafat pendidikan rekosntruksionalisme juga memandang pendidikan Islam di sini diartikan bukan hanya mengajarkan teori belaka, namun untuk mengantarkan
para
peserta
didiknya
mampu
mengidentifikasi
dan
memecahkan masalah-masalahnya untuk dipecahkan dengan berlandaskan ajaran-ajaran Islam. Sehingga dengan adanya perubahan sosial peserta didik atau manusia ini mampu merencanakan dan mengarahkan perubahan sosial. Sehingga manusia hendaknya dinamis dan konstruktif dalam melakukan perubahan-perubahan yang jelas arah dan tujuannya. Karena semua perubahan itu harus dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Swt maka perubahan yang dilakukan dilandasi oleh nilai-nilai agama Islam.
123
Nur Uhbiyati dan Abu Ahmadi, Ilmu Pendidikan Islam 1 (Bandung: Pustaka Setia, 1998),
124
Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung: IKAPI, 2003), 171.
66-67.
83
Manusia
juga
merupakan
makhluk
paedagogik
yang
dalam
kehidupannya selalu ada proses dididik dan mendidik. Menurut Ibnu Khaldun dengan adanya proses pendidikan inilah manusia akan meningkat dari segi pemikirannya. Dengan melakukan akitivitas menuntut ilmu manusia akan memperoleh banyak warisan pengetahuan dari pendahulunya, yaitu guru, sehingga dengan proses menuntut ilmu tersebut potensi akal manusia akan meningkat maka menghasilkan ilmu pengetahuan yang akan terus berkembang. Sehingga potensi yang diberikan Allah Swt pada makhluknya yaitu manusia berupa akal mampu ia kembangkan dan melahirkan para sarjana-sarjana pendidikan yang berkualitas. Sehingga mampu bersaing di masa sekarang ini. Dalam pandangan filsafat rekonstruksionalisme, pendidikan ini mesti diarahkan untuk memampukan subjek-subjek didik membangun dunia bagi masyarakat melalui pendayagunaan kemampuan akal, indra dan intuisi, sehingga pendidikan harus menjadikan subjek didiknya mampu menggunakan ilmu pengetahuan yang diperolehnya sebagai wahana bagi perealisasian nilainilai spiritual.125 Tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun selanjutnya ialah tujuan peningkatan kemasyarakatan. Dari peningkatan kemasyarakatan ini kembali lagi pada tujuan peningkatan pemikiran yang mampu memberikan ilmu maupun keahlian pada manusia. Hal ini bermaksud bahwa sebuah keahlian 125
Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan (Bandung: PT Refika Aditama, 2011), 181
84
yang dimiliki oleh masyarakat akan membawa mereka pada sebuah pekerjaan yang sesuai dengan keahlian masing-masing masyarakatnya, sehingga dari pekerjaannya tersebut manusia memperoleh gaji yang dapat digunakan untuk kelangsungan hidupnya. Dan jika suatu negara atau kota yang lapangan pekerjaannya sedikit dari jumlah penduduk yang membutuhkan lapangan pekerjaan maka ekonomi suatu masyarakat akan merosot. Sehingga kesejahteraan masyarakatnya menurun. Ini membuktikan bahwa jika negara atau suatu kota peradabannya tinggi maka kesejahteraan masyarakatnya pun juga tinggi. Begitupun sebaliknya jika suatu peradaban negara atau kota rendah maka taraf kesejahteraan masyarakatnya pun juga ikut rendah. Hal ini disebabkan karena walaupun tingkat keahlian atau ilmu masyarakatnya tinggi namun jika tidak dibarengi dengan lapangan pekerjaan yang memadai maka manusia tidak dapat menyalurkan keahlian di masing-masing bidangnya. Karena memang pada era modern ini menurut filsafat pendidikan rekonstruksionalisme tujuan pendidikan haruslah menumbuhkan kesadaran pada manusia maupun peserta didik yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik. Selain itu, manusia mempunyai keterampilan atau pun keahliannya masing-masing untuk memecahkan masalah-masalah tersebut. Sehingga tujuan akhirnya adalah terciptanya masyarakat baru, yaitu masyarakat global yang saling ketergantungan. Selain itu, rekonstruksionalisme percaya bahwa pendidikan sebagai suatu lembaga masyarakat tentulah diarahkan pada upaya rekayasa sosial,
85
sehingga segala aktivitasnya pun senantiasa merupakan solusi bagi berbagai problematika kehidupan dalam masyarakat. Sekolah dalam hal ini menjadi agen perubahan sosial, politik dan ekonomi yang primer. Oleh karena itu, lembaga pendidikan mesti memiliki komitmen untuk menciptakan masyarakat baru yang sarat dengan nilai-nilai dasar budaya dan sosial ekonomi yang akan membentuk harmonisasi masyarakat. Pendidikan dalam hal ini mesti diarahkan pada perubahan pola pikir masyarakat, sehingga teknologiteknologi yang begitu besar lebih dijadikan sebagai sumber kreativitas dari pada untuk menghancurkan. Jadi, yang diungkapkan oleh Ibnu Khaldun mengenai ilmu dan pengajaran adalah lumrah bagi peradaban manusia karena sangat diperlukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat ke arah yang lebih baik dan sekaligus menunjukkan dinamisnya suatu budaya masyarakat maka otomatis semakin bermutu dan dinamis pula keterampilan di masyarakat tersebut. Sehingga kesejahteraan masyarakatnya pun meningkat. Maka dari itu, pada era globalisasi ini yang sanggup bertahan hanyalah mereka yang berorientasi ke depan, yang mampu mengubah pengetahuan menjadi
kebijakan.
Seperti
halnya
aliran
filsafat
pendidikan
rekonstruksionalisme, karena tantangan yang cukup berat inilah, untuk mengantisipasinya diperlukan upaya-upaya strategis. Tujuan pendidikan di masa sekarang tidak cukup hanya dengan memberikan bekal pengetahuan, keterampilan, keimanan dan ketakwaan saja, tetapi juga harus diarahkan pada
86
upaya melahirkan manusia yang kreatif, inovatif, mandiri dan produktif, mengingat dunia yang akan datang adalah dunia yang kompetitif, penuh persaingan.126
B. Epistemologi Tujuan Pendidikan Islam Menurut Ibnu Khaldun Dalam Perspektif Aliran Filsafat Pendidikan Rekonstruksionalisme Dalam dunia pendidikan selama ini, pendidikan dipahami dalam dua hal; transformasi ilmu pengetahuan (transformation of knowledge) dan transformasi nilai-nilai (transformation of values). Dari kedua istilah ini, pendidikan memiliki tanggung jawab memberdayakan manusia dari sisi kognisi, membekali dengan seperangkat ilmu pengetahuan dan keahlian, sedangkan di sisi lain pendidikan mewariskan seperangkat aturan, nilai, etika, pegangan hidup kepada generasi berikutnya. Dari proses transformasi ini tujuan akhirnya adalah kemampuan manusia untuk survival dalam realitas kehidupan sosialnya. Namun pengertian transformasi tidak sesederhana yang selama ini dipahami, lalu dipraktekkan dalam dunia pendidikan dengan memberikan seperangkat mata pelajaran dan pendidikan moral, melainkan harus bisa dipahami lewat suatu pemikiran filosofis yang mendalam tentang manusia sebagai subjek pendidikan.
126
Toto Suharto et al., Rekonstruksi dan Modernisasi Lembaga Pendidikan Islam (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2005), 109.
87
Peradaban, Ibnu Khaldun menjelaskan sebagai sarana manusia untuk mewujudkan dirinya sebagai manusia. Dengan demikian, eksistensi manusia bukanlah barang yang statis, tetapi suatu proses dinamis dan diwujudkan terus menerus. Ibnu Khaldun memang mengakui bahwa dalam diri manusia sudah ada kodratnya yang tetap, seperti benda-benda alam semesta, yang telah dibangun ilmu pengetahuan dan suatu teori universal, tetapi kodrat manusia itu bergantung pada perjalanan sejarah. Maka yang bisa dirumuskan dari manusia itu adalah fenomenanya; kecenderungan-kecenderungan, motifmotofnya yang melekat pada situasi historis.127 Jadi, dalam memperoleh ilmu pengetahuan, manusia tidak hanya belajar dari guru, orang tua maupun sesepuh, tetapi manusia dapat belajar dari pengalaman hidup yang ia dijalani. Selain itu, apa sebenarnya yang dicari manusia dalam hidup ini, dan bagaimana manusia dapat menuju apa yang dicari manusia tersebut. Hal inilah yang menjadi hal terpenting dalam memahami epistemologi tujuan pendidikan Islam menurut Ibnu Khaldun dalam perspektif aliran filsafat pendidikan rekonstruksionalisme. Selain itu, seperti yang telah dijelaskan di atas, manusia adalah khalifah di bumi. Apa dan mengapa yang menyebabkan manusia diserahi tugas untuk menjadi khalifah di bumi ini. Hal ini disebabkan manusia adalah
127
Hafidz Hasyim, Watak Peradaban dalam Epistemologi Ibnu Khaldun (Jember: Pustaka Pelajar, 2012), 191-192.
88
makhluk paedagogik dan juga makhluk yang lebih baik dibandingkan makhluk lainnya. Maka dari itu, Ibnu Khaldun memandang bahwa salah satu tujuan pendidikan adalah peningkatan pemikiran. Dengan melakukan akitivitas menuntut ilmu manusia akan memperoleh banyak warisan pengetahuan dari pendahulunya, yaitu guru, sehingga dengan proses menuntut ilmu tersebut potensi akal manusia akan meningkat maka menghasilkan ilmu pengetahuan yang akan terus berkembang. Dan cara manusia untuk memperoleh ilmu ini menurut Ibnu Khaldun adalah:
ِ ِ ِ ََْ اْيػوا ُف ِمن صْي ِل َماتَ ْ تَ ْي ْ َ ََْ ُُّ اّ ْج ِل َ َذا الْف ْك ِر َوَما ُجِ َل َلَْي ا ِإ ْ َ ا ُف بَل ِ ِ اإ ْدرا َك ِ ِ صي ِل ما لَي ِ ِ ِ ّ ِِ ات َ ِْ س ْ َي ُ م َن َ ْ َ ْ ََْ ِْ ْي الطَاعُ َػيَ ُك ْو ُف الْفك ُْر َراغًا ِ َػيػرِجع ِ ََ من ػق بِعِْل ٍم أَو زاد لَي ِ ِِع ِرَِة أَوِدر ٍاؾ أَوأ ّم ُ ِم َن َ ْ َ ْ ْ َْ ْ َ َ َ ْ ُ َ ََ ْ َ ُ َْ َ َخ َذ ُ ِ ّْن تَػ َقي ِ اأَِْي ِاء الّ ِذين يػ ػلّغُوَ لِمن تَػلَقّا َػيػلَقّن ذَلِ ْػهم وََرص لَى أَخ ِذ ْ َ ُ َْ َ ْ ُ َ َ ُ ُ ُ ْ َ ُ ْ َُ َ ْ َ .ِ َو ِ ْل ِم 128
Kemudian, untuk pikiran serta semua yang sudah dianugerahkan sebagai watak bagi manusia, bahkan hewan, misalnya, diusahakan untuk mencapai segala yang menjadi tuntutan watak, maka memanglah pikiran itu dalam memperoleh persepsi-persepsi yang dimilikinya. Lalu ia pun berpulang pada orang yang lebih dahulu memiliki ilmu, atau yang punya kelebihan dalam suatu pengetahuan. Orang itu kemudian menerimanya dari mereka dan memberikan perhatian penuh guna memperoleh serta mengetahuinya.129
Jadi dengan mendatangi para guru atau disebut berguru ini manusia memperoleh pengetahuan. Namun tidak hanya berhenti di sini, manusia melakukan pengajaran ini terus-menerus atau menurut Ibnu Khaldun disebut 128 129
Abdurrahman ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun , 543. Muhammad bin Khaldun, Mukaddimah Ibnu Khaldun , terj. Masturi Irham, 534.
89
malakah. Sehingga pengetahuan yang diperoleh manusia akan terus
berkembang. Dalam pandangan filsafat rekonstruksionalisme, masyarakat harus diubah bukan melalui tindakan politik, melainkan dengan cara yang sangat mendasar, yaitu melalui pendidikan bagi para warganya, menuju suatu pandangan baru tentang hidup dan kehidupan mereka bersama. Sehingga dengan pendidikan haruslah menumbuhkan kesadaran terdidik yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi manusia dalam skala global, dan memberi keterampilan kepada mereka agar memiliki kemampuan memecahkan masalah –masalah tersebut.130 Hal tersebut akhirnya mengarahkan manusia untuk menuju tujuan pendidikan dalam peningkatan kemasyarakatan seperti yang diungkapkan Ibnu Khaldun. Tujuan ini didasarkan atas manusia pada umumnya selalu dan pasti membutuhkan segala sesuatu yang dapat menunjang kehidupannya di dunia ini. Manusia pun diserahi tugas sebagai khalifah di muka bumi ini untuk mengatur dan memanfaatkan segala yang ada di bumi untuk kesejahteraannya dan sekaligus melestarikannya.
Untuk mendapatkan segala kebutuhan
hidupnya manusia juga harus mau berusaha mencarinya, yaitu dengan bekerja. Dengan bekerja ia memperoleh uang untuk membeli segala keperluannya. Dalam mencari pekerjaan tentunya manusia dibekali
dengan ilmu
pengetahuan, sehingga memberikan keterampilan pada manusia.
130
Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, 171.
90
Dalam perspektif filsafat pendidikan rekonstruksionalisme, pendidikan lebih menekankan pada masyarakat daripada individu, sekolah masyarakat merupakan sekolah yang berpusat pada masyarakat, atau social-centered school,
yang
menggunakan
sekolah
untuk
memperbaiki
kehidupan
masyarakat. Sekolah hendaknya berhubungan dengan masalah-masalah nyata dan praktis yang ditemukan dalam masyarakat kita, masalah sehari-hari yang dihadapi oleh setiap orang.131 Lebih
lanjut
lagi,
tujuan
pendidikan
rekonstruksionis
adalah
membangkitkan kesadaran para peserta didik tentang masalah sosial, ekonomi dan politik, dan mengajarkan kepada mereka keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut.132 Maka, jelaslah bahwa dari tujuan peningkatan kemasyarakatan yang dinyatakan
oleh
Ibnu
Khaldun
sesuai
dengan
pandangan
filsafat
rekonstruksionalisme yang memandang dengan ilmu pengetahuan manusia dapat mengetahui sekaligus memecahkan persoalan dalam kehidupannya. Dan bersifat revolusioner yang akan menuju kehidupan yang sejahtera pada kurun waktu tertentu.133 Tujuan yang ketiga menurut Ibnu Khaldun dalam pendidikan adalah tujuan kerohanian. Tujuan akhir dari kehidupan manusia adalah mendapatkan 131
Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-dasar Pendidikan Pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), 159. 132 Ibid., 156. 133 Oong Komar, Filsafat Pendidikan Nonformal (Bandung: CV Pustaka Setia, 2006), 159.
91
kehidupan yang baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini didasarkan atas perintah Allah Swt kepada manusia untuk beribadah kepada-Nya. Untuk mencapai tujuan kerohanian tersebut, manusia memerlukan proses dengan cara berdzikir, berkhalwat, puasa dan lain sebagainya, seperti yang dinyatakan Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimahnya:
ِ ِ ِ َاؽ أَ ْ ِل الْعِر اَْ ْم ِع التّػ ْغ ِييَةَ بِاذّ ْك ِر ْ ََ ِ اضتِ ِه ْم ُ أَ ْذ َو َ َاف َوالتػ ّْو ْيي َويَِزيْ ُي ْو َف ِ ِْ ِري ْ ِ َِها تَتِ ّم ِوجهتػهم ِِ ِذ ِ الّرياض ِة ِأَّ ِذَا َ َشأ ف ػ ّ ال َت ْ ْ َ س َلَى ال ّذ ْك ِر َكا َ ْ ْ ُ َُ ْ ُ َ َ َ ُ 134 ِ َأَقْػرب ِ ََ الْعِر . َشْيطَا ِيّة َ ْ َ اف بِااهِ َوِ َذا ُّريَ ْ َ ِن ال ّذ ْك ِر َكا ََ ْ
Adapun orang-orang tasawuf melakukan tirakat berdasarkan agama dan terlepas dari tujuan-tujuan tercela tersebut. Mereka hanya menginginkan konsentrasi diri secara total dalam menghadap Allah Swt agar mereka merasakan apa yang dirasakan oleh ahli makrifat dan tauhid. Di samping konsentrasi dan lapar, mereka menambahnya dengan dzikir agar tujuan mereka dapat tercapai secara sempurna. Hal itu terjadi karena ketika jiwa tumbuh di atas dzikir, maka ia akan lebih dekat untuk makrifat kepada Allah. Sebaliknya, jika jiwa dikosongkan dari dzikir kepada 135 Allah, maka ia akan menjadi jiwa syetan.
Pandangan filsafat rekontruksionalisme dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam, aliran ini lebih bersifat proaktif dan antisipatif. Dikatakan proaktif, karena ia berusaha untuk mencari jawaban dan sekaligus
memperkirakan perkembangan ke depan atas situasi dan kondisi serta permasalahan yang ada. Dikatakan antisipatif, karena ia berusaha untuk mengondisikan situasi, kondisi dan faktor menjadi lebih ideal, sehingga permasalahan yang ada akan dipecahkan ke perubahan yang lebih ideal. Tugas pendidikan yaitu membantu peserta didik agar menjadi cakap dan selanjutnya
134 135
Abdurrahman ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun , 136-137. Muhammad bin Khaldun, Mukaddimah Ibnu Khaldun, terj. Masturi Irham, 166.
92
mampu ikut bertanggung jawab terhadap pengembangan masyarakatnya melalui upaya amar ma‟ruf nahi munkar. Jadi, diperlukan aktivitas pendidikan yang berkomitmen terhadap pengembangan kreativitas secara berkelanjutan, sehingga khazanah budaya bisa diperkaya, nilai-nilai insani dan Illahi tidak hanya dilestarikan begitu saja tetapi juga diperkaya isinya, serta produktif, baik dari segi ekonomik, aestetik, sosial, kulltural dan sebagainya.136
136
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam: di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), 101.
93
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian tentang konsep tujuan pendidikan Islam menurut
Ibnu Khaldun dalam perspektif aliran filsafat pendidikan
rekonstruksionalisme, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai jawaban atas rumusan masalah dari penelitian ini, yaitu: 1.
Dalam perspektif aliran filsafat pendidikan rekonstruksionalisme, hakekat tujuan pendidikan Islam menurut Ibnu Khaldun yaitu tujuan peningkatan pemikiran, kemasyarakatan dan kerohanian, yang mana manusia diarahkan untuk memampukan subjek-subjek didik membangun dunia bagi masyarakat melalui pendayagunaan kemampuan akal, indra dan intuisi, seperti yang diungkapakan Ibnu Khaldun tersebut, sehingga menumbuhkan kesadaran manusia yang berkaitan dengan masalah sosial, ekonomi maupun politik yang dihadapi manusia sekaligus memberi keterampilan memecahkan masalah-masalah tersebut.
2.
Dalam aliran filsafat pendidikan rekonstruksionalisme yang memandang tujuan pendidikan Islam menurut Ibnu Khaldun yaitu tujuan peningkatan pemikiran, kemasyarakatan dan kerohanian, sehingga berusaha untuk mencari jawaban dan sekaligus memperkirakan perkembangan ke depan atas situasi dan kondisi serta permasalahan yang ada dengan menuntut
94
ilmu dan memperoleh keterampilan maka meningkatlah akal pikirannya dan kehidupannya dalam masyarakat maupun akhirat. Tujuannya pun sama-sama berorientasi bagi kesejahteraan masyarakat, bersifat proaktif dan antisiptif dalam menghadapi tantangan dunia yang semakin global untuk menuju kehidupan yang sejahtera sesuai dengan tujuan pendidikan Islam menurut Ibnu Khaldun tersebut.
B. Saran Dari kesimpulan di atas, penulis memberikan saran yang di harapkan dapat menjadi salah satu upaya dalam menerapkan tujuan pendidikan Islam. Saran yang penulis sampaikan yaitu; hendaknya pendidikan di Indonesia bukan hanya mengajarkan teori belaka, namun lebih kepada praktek nilai-nilai pendidikan Islam yang mengarahkan pada tujuan peningkatan pemikiran, masyarakat dan kerohanian sesuai dengan tuntutan zaman ini dan mampu mengantisipasinya di zaman yang akan datang, serta sekolah menjalankan perannya sebagai agen pembaharu dan rekonstruksi sosial, daripada hanya mempertahankan satus quo.
95
DAFTAR PUSTAKA
Alim, Muhammad. Pendidikan Agama Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006. As‟adi, Basuki dan Ulum, Miftahul. Pengantar Filsafat Pendidikan. Ponorogo: Stain Po Press, 2010. Assegaf, Abd. Rachman. Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2014. Darajat, Zakiyah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi aksara, 1996. Gunawan, Heri. Pendidikan Islam: Kajian Teoretis dan Pemikiran Tokoh. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014. Hasyim, Hafidz. Watak Peradaban dalam Epistemologi Ibnu Khaldun. Jember: Pustaka Pelajar, 2012. Khaldun, Abdurrahman ibnu. Muqaddimah Ibnu Khaldun. Beirut: Dar Al-Kitab Al‟Arabi, 2001. Komar, Oong. Filsafat Pendidikan Nonformal. Bandung: CV Pustaka Setia, 2006. Kurniawan, Syamsul dan Mahruz, Erwin. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013. Madjidi, Busyairi. Konsep Pendidikan Para Filosof Muslim. Yogyakarta: Al-Amin Press, 1997. Mahmud. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia, 2011.
96
Majid, Abdul dan Andayani, Dian. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006. Mudyahardjo, Redja. Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal Tentang Dasardasar Pendidikan Pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2001. Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Bayu Indra Grafika, 1998. Muhaimin. Paradigma Pendidikan Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008. ---------. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam: di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi. Jakarta: PT Jara Grafindo Persada, 2012.
---------. Rekonstruksi Pendidikan Islam. Jakarta: PT RAJA GRAFINDO PERSADA, 2009. ---------. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Surabaya: PSAPM, 2003. Muhammad bin Khaldun, Al-Allamah Abdurrahman bin. Mukaddimah Ibnu Khaldun, terj. Masturi Irham. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2015. Muhmidayeli. Filsafat Pendidikan. Bandung: PT Refika Aditama, 2011. Mujib, Abdul. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006. Nafis, Muhammad Muntahibin. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: Teras, 2011. Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003. Nawawi, Haidar. Penelitian Terapan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1994.
97
Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta: Ciputat Pers, 2002. Praja, Juhaya S. Aliran-aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Prenada Media, 2003. Pribadi, Moh. Pemikiran Sosiologi Islam Ibn Khaldu>n. Yogyakarta: SUKA Press, 2014. Rahman, Abdul. Pendidikan Integralistik: Menggagas Konsep Manusia Dalam Pemikiran Ibn Khaldun. Semarang: Walisongo Press, 2009.
Sadulloh, Uyoh. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: CV Alfabeta, 2003. ---------. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: IKAPI, 2003. Salahuddin, Anas. Filsafat Pendidikan. Bandung: CV Pustaka Setia, 2011. Salim, Haitami dan Kurniawan, Syamsul. Studi Ilmu Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012. Sudiyono. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT RENIKA CIPTA, 2009. Sugiono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Allfabet, 2005. Suharto, Toto et al.
Rekonstruksi dan Modernisasi Lembaga Pendidikan Islam.
Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2005. Supena, Ilyas. Rekonstruksi Epistemologi Ilmu-Ilmu Keislaman. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014. Sutrisno dan Albarobis, Muhyidin. Pendidikan Islam Berbasis Problem Sosial. Jogjakarta: Arr-Ruzz Media, 2012.
98
Uhbiyati, Nur dan Ahmadi, Abu. Ilmu Pendidikan Islam 1. Bandung: Pustaka Setia, 1998. Zaprulkhan, Filsafat Pendidikan Sebuah Kajian Tematik. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014.