ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan sikap terhadap adat pela antara orang Maluku yang bertempat tinggal di Maluku dan yang bertempat tinggal di luar Maluku (kota Salatiga). Sampel dalam penelitian ini adalah 100 orang Maluku yang terdiri dari 50 orang mahasiswa asal Maluku yang bertempat tinggal di Maluku (Kota Ambon) dan 50 orang mahasiswa asal Maluku yang bertempat tinggal di luar Maluku (Kota Salatiga). Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode skala yaitu skala sikap terhadap adat pela. Teknik analisa data yang dipakai adalah teknik ujit. Dari hasil uji beda diperoleh nilai t sebesar 1,107 dengan signifikansi = 0,271 (p>0,05) yang berarti tidak ada perbedaan sikap terhadap adat pela antara orang Maluku yang bertempat tinggal di Maluku dan yang bertempat tinggal di luar Maluku (kota Salatiga). Kata Kunci : Sikap terhadap Adat Pela, Orang Maluku, Tempat Tinggal
i
ABSTRACT
This study was conducted to determine different attitudes toward “pela” tradition between Moluccan who lives and resides in Moluccas and the ones who don’t (a Mollucan who resides in Salatiga). The sample in this study was 100 Moluccan consist of 50 participants who reside in the Moluccas (Ambon) and the rest 50 participants was Moluccan students who resides in Salatiga. Data collection in this research is a scale method using scale attitudes towards indigenous “pela”. To analyze the data, the researcher used t-test techniques. Based on the test, there were 1.107 with a significance = 0.271 (p> 0.05), which means there is no different attitudes toward “pela” between the subjects of the study. Keywords: Attitudes toward Indigenous “Pela”, Moluccan, Resides
ii
PENDAHULUAN Daerah Maluku merupakan daerah yang adat istiadatnya masih dipegang teguh dan dipercayai oleh sebagian besar masyarakatnya. Adat yang sangat terkenal di Maluku adalah adat Pela, dimana adat ini memiliki aturan-aturan beserta sanksi bagi mereka yang melanggar adat tersebut. Adat Pela telah ada sejak dulu yang diturunkan dari para leluhur dan harus terus dijaga kelestariannya. Adapun bukti-bukti hukuman yang dipercaya oleh beberapa orang yang pernah melanggar aturan-aturan yang ada pada Pela yakni hancurnya keluarga, anak-anak akan mengalami cacat fisik maupun psikis, atau bahkan kematian dari anggota keluarga (Bartels, 2000). Dalam Lasamahu (2009), kata Pela berasal dari kata Pila yang berarti buatlah sesuatu untuk kita bersama, dan kadang-kadang kata pila diberi akhiran „tu‟ sehingga menjadi „pilatu‟ yang memiliki arti menguatkan, menanamkan atau mengusahakan sesuatu benda tidak mudah rusak atau pecah. Kini kata ‟pila‟ telah berubah menjadi „Pela‟. Tanamal (1985) mengungkapkan istilah Pela dalam kenyataannya menunjuk pada ikatan kesatuan dan persaudaraan antara dua atau lebih negeri (desa) baik itu antar negeri-negeri (desa-desa) Kristen atau negeri-negeri (desa-desa) Islam maupun antar negeri-negeri (desa-desa) Islam dan Kristen. Bartels (2000) mengungkapkan bahwa terdapat tiga jenis Pela yaitu, Pela karas (keras), Pela gandong (kandung) atau bongso (bungsu) dan Pela tampa siri (tempat sirih). Pela keras bermula karena adanya peristiwa besar tertentu, biasanya berkaitan dengan perang, seperti pertumpahan darah, pertempuran yang tidak berakhir, atau bantuan luar yang biasa diberikan oleh satu desa kepada desa yang lain. Jenis Pela kedua didasarkan pada ikatan keturunan keluarga; yaitu, satu atau beberapa suku/marga di desa-desa yang berbeda mengklaim memiliki leluhur yang sama. Jenis Pela yang
1
ketiga dihasilkan setelah peristiwa kecil, seperti untuk memulihkan kedamaian setelah ada pertikaian kecil atau setelah satu desa memberi bantuan kepada desa lain. Pela ini juga dibuat untuk mendukung hubungan perdagangan. Pada umumnya Pela di Maluku mempunyai aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar oleh kedua negeri atau desa. Dalam Bartels (2000), pela didasari atas empat ketentuan yakni; (a) Negeri-negeri (desa-desa) yang ber-pela itu diwajibkan untuk saling membantu pada masa genting (bencana alam, peperangan dan lain-lain); (b) Jika diminta, maka negeri (desa) yang satu wajib memberi bantuan kepada negeri (desa) yang lain yang hendak melaksanakan proyek-proyek demi kepentingan kesejahteraan umum, seperti: pembangunan rumah-rumah ibadah atau bangunan-bangunan umum; (c) Ketika seseorang mengunjungi negeri (desa) yang memiliki hubungan Pela dengan negeri-nya (desanya), maka orang-orang negeri (desa) itu wajib untuk memberi makanan kepadanya; tamu yang se-pela itu tidak perlu meminta izin untuk membawa pulang apa-apa dari hasil tanah atau buah-buahan menurut kesukaannya; (d) Semua penduduk negeri-negeri (desa-desa) yang berhubungan Pela itu dianggap sedarah; sebab itu dua orang yang se-pela itu tidak boleh kawin karena dipandang sumbang. Tiap pelanggaran terhadap aturan itu akan dihukum keras oleh nenek moyang yang mengikrarkan Pela itu. Contoh-contoh penghukuman yaitu sakit, mati dan kesusahankesusahan lainnya. Penghukuman ini akan dialami baik oleh orang yang melanggar sendiri atau pada anak-anaknya. Biasanya mereka yang melanggar pantangan kawin itu akan ditangkap kemudian mereka disuruh berjalan mengelilingi negeri-negeri-nya (desa-desanya), dengan hanya berpakaian daun-daunan kelapa sedangkan penghuni negeri (desa) mencaci makinya.
2
Untuk menjaga agar Pela tetap hidup, dan untuk membuat kaum muda peduli tentang tanggungjawab mereka, dilakukan pembaharuan secara berkala melalui upacara panas Pela. Pada saat itu, semua penduduk desa anggota Pela berkumpul menjadi satu selama satu minggu untuk merayakan kesatuan mereka dan memperbaharui aturan sumpah mereka, yang disertai dengan pesta makan, bernyanyi, dan menari (Bartels, 2000). Panas Pela juga merupakan suatu kegiatan ritual masyarakat dan pada saat tertentu hal ini selalu dilaksanakan. Melalui panas Pela, masyarakat dari kedua desa atau negeri (desa) menemukan jati dirinya untuk selalu memelihara dan menjaga ketertiban dan keamanan dalam masyarakat (Makaruku, 2012). Pela memiliki karakteristik alami, menjadi alat komunikasi budaya sekaligus sebagai alat mediasi membentuk pengetahuan bersama atau pemikiran kolektif (collegtive mine). Pela merupakan budaya perekat hidup antarumat beragama yang rukun (Thomas, 2010). Kenyataannya, banyak orang Maluku yang telah keluar dari Maluku. Mereka tersebar di berbagai pulau di Indonesia, salah satunya adalah di Jawa tengah. Terdapat 4.000 warga Maluku yang merantau disana, baik itu untuk belajar maupun bekerja (Prihadi, 2012). Kota Salatiga merupakan salah satu kota di Jawa Tengah yang didatangi oleh banyak orang Maluku. Mereka datang dengan berbagai alasan, salah satu alasannya karena tuntutan pendidikan. Hal yang cukup menarik di Salatiga adalah banyak ditemukan orang Maluku, yang bukan hanya dilahirkan dan dibesarkan di Maluku namun juga mereka yang dilahirkan dan dibesarkan di berbagai daerah di luar Maluku. Berdasarkan hasil wawancara penulis yang dilaksanakan pada tanggal 10 Juli 2013, bertempat di SC (Student Centre) di Universitas Satya Wacana Salatiga pukul 15:00-19:00, dengan 4 narasumber yang merupakan mahasiswa Maluku yang dilahirkan dan dibesarkan di luar Maluku, mengenai adat Pela, ditemukan berbagai macam
3
jawaban. Ada satu narasumber yang sama sekali tidak tahu mengenai adat Pela. Orang tuanya tidak pernah menjelaskan mengenai adat tersebut kepada dirinya. Lingkungan tempat tinggal dan budaya yang berbeda dari
daerah asalnya Maluku, juga ikut
mempengaruhi perilaku sehari-harinya. Hal yang berbeda ditemukan pada dua narasumber lainnya. Pengetahuan tentang Pela dan segala larangannya telah diketahuinya dari orang tuanya. Namun karena ia dibesarkan dilingkungan yang berbeda serta tidak adanya bukti-bukti yang kuat mengenai kutukan yang akan mereka terima ketika melanggar adat Pela itu, membuat dirinya berani melanggar aturan Pela. Pada narasumber berikutnya, ditemukan bahwa ia tidak mengetahui tentang Pela karena tidak dijelaskan oleh orang tuanya. Ketika ia telah melanggar salah satu aturan, orang tuanya pun menjelaskan kepada dirinya tentang larangan Pela dan menyuruhnya untuk tidak melanggar aturan tersebut. Sehingga dari hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa kurangnya informasi serta lingkungan tempat tinggal yang memiliki budaya yang berbeda dari daerah asalnya cukup mempengaruhi sikap mereka terhadap Pela, dimana sikap yang dimunculkan adalah sikap negatif terhadap pela. Pela tidak lagi dianggap sebagai suatu tradisi atau adat yang perlu dijalankan dan dilestarikan. Melihat pada fenomena yang terjadi di atas dan berdasarkan kesimpulan yang diambil bahwa lingkungan tempat tinggal yang memiliki budaya yang berbeda dari daerah asal sesorang dapat mempengaruhi sikap orang tersebut terhadap budaya aslinya maka hal ini sejalan dengan teori yang diungkapkan oleh (Mesoudi, 2009) yang mengatakan bahwa budaya di mana kita hidup mempengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku melalui pengajaran, imitasi, dan bentuk lain dari transmisi sosial. Fiske, Kitayama, Markus, & Nisbett (1998) & Matsumoto (2001) juga mengungkapkan bahwa suatu budaya mewakili sekelompok orang, biasanya hidup dalam suatu wilayah
4
geografis tertentu, yang berbagi seperangkat norma-norma sosial, termasuk nilai-nilai agama dan nilai-nilai keluarga serta keyakinan moral. Dalam Ember & Ember (2011) disebutkan pula bahwa sesuatu dapat dikatakan budaya jika itu adalah perilaku yang dipelajari atau ide (kepercayaan, sikap, nilai, ideal) yang dibagikan oleh anggota masyarakat atau kelompok sosial lainnya. Sebuah kelompok sosial tidak dapat dipisahkan dari adanya pengaruh sosial dari sesama anggota kelompok. Konformitas adalah salah satu jenis pengaruh sosial dimana individu mengubah sikap dan tingkah lakunya agar sesuai dengan norma kelompok atau sosial yang ada (Baron & Byrne, 2005). Setiap kelompok mengaplikasikan berbagai macam sanksi kepada anggota yang tidak menerima norma kelompok (Shiraev & Levy, 2012). Lebih lanjut Baron & Byrne (2005) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang memainkan peran penting dalam konformitas, yaitu kohesivitas (derajat ketertarikan yang dirasa oleh individu terhadap suatu kelompok), ukuran kelompok (semakin besar kelompok, semakin besar pula kecenderungan untuk mengikuti kelompok), jenis norma sosial (norma himbauan dan norma perintah). Individu cenderung untuk bertingkah laku secara konsisten dengan norma kelompok ketika norma-norma tersebut relevan dengan dirinya pada saat individu dapat memilih antara mengikuti atau mengabaikannya. Dalam Baron & Byrne (2005) dijelaskan bahwa terdapat dua motif yang mendasari kecenderungan seseorang untuk melakukan konformitas, yaitu keinginan untuk disukai orang lain dan keinginan untuk merasa benar atau tepat. Meskipun banyak individu yang melakukan konformitas namun tak jarang juga ditemukan sebagian masyarakat yang tetap pada pendapat mereka dan tidak melakukan konformitas. Ada 2 motif yang mendasari
seseorang
tidak
melakukan
5
konformitas,
yakni
keinginan
untuk
mempertahankan individualitas diri dan keinginan untuk memiliki kontrol atas kehidupan diri sendiri. Selain itu, pengaruh sosial dapat juga terjadi diantara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas, dimana kedua kelompok tersebut saling mempengaruhi sehingga dapat menimbulkan perubahan dari salah satu kelompok. Hal ini dapat dilihat pada penelitian yang dilakukan oleh Riecanska (1998) yang menyatakan bahwa adanya tekanan dan diskriminasi pada generasi pertama membuat generasi kedua Etnis Slovakia yang berimigrasi ke Amerika (Pennsylvania Barat) melakukan pengadaptasian dan penyesuaian penuh terhadap nilai-nilai sosial budaya yang dimiliki Amerika yang merupakan kelompok mayoritas, yang kemudian mengakibatkan melemahnya normanorma sosial terkait dengan etnisitas dan tradisi etnis mereka. Dalam penelitian ini dijelaskan pula bahwa telah terjadinya proses akulturasi dan asimilasi yang begitu cepat pada imigran Etnis Slovakia generasi kedua. Kemudian disebutkan bahwa keluarga dan kerabat seorang individu memainkan peran penting dalam pemeliharaan kontinuitas tradisi budaya suatu etnis yang kemudian dapat menciptakan pondasi emosional yang positif individu terhadap etnisnya. Seperti yang dikemukakan oleh Yusuf (1991), bahwa Indonesia yang memiliki keragaman suku bangsa dengan dukungan sistem budayanya memungkinkan terjadinya kontak antarbudaya, terutama bagi yang berada di Pulau Jawa yang merupakan pusat pertemuan suku-suku bangsa di Indonesia. Dalam kontak tersebut terjadi keteganganketegangan atau proses asimilasi, baik pada tingkat individu maupun pada tingkat kelompok. Menurut Dayakisni dan Yuniardi (2008), pada tingkat individual, kehilangan identitas budaya bisa terjadi karena adanya kontak antar budaya. Seseorang boleh jadi menolak tradisinya sendiri dan menelan mentah-mentah tradisi dari kebudayaan lain.
6
Hal ini mengindikasikan bahwa seseorang dapat meninggalkan dan tidak menjalankan tradisi pada kebudayaannya ketika ia berada pada lingkungan tempat tinggal yang di dalamnya terdapat berbagai macam budaya lain. Hal diatas sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Widyarto (2007) mengenai dinamika interaksi dalam kehidupan masyarakat keturunan Madura yang tinggal di Dusun Pijetan, Desa Blayu, Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang Tahun 1950-2012. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa adanya interaksi antara masyarakat Madura dengan masyarakat Jawa melalui sarana-sarana pembauran berupa lahan pertanian sebagai tempat bekerja dan tempat memperoleh pendidikan yang mayoritas teman sekolah dan guru adalah Suku Jawa mengakibatkan semakin capatnya pembauran budaya dan mempengaruhi pemudaran identitas etnik Madura. Pemudaran juga disebabkan oleh melemahnya interaksi antara Suku Madura dengan masyarakat keturunan Madura. Pengaruh pemudaran identitas etnik ini dapat dilihat dari pergeseran bahasa dan masuknya aliran agama Islam yang berbeda dengan yang telah umum dianut masyarakat Madura. Terdapat juga penelittian yang dilakukan oleh Yudha (2014) mengenai perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan yang menyatakan bahwa, perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan terlihat pada perubahan identitas agama dan kepercayaan (terjadi secara bertahap), perubahan identitas bahasa (terjadi lintas generasi) dan juga perubahan nama. Terdapat juga beberapa faktor yang menyebabkan perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Faktor tersebut adalah adanya kesamaan pandangan antara etnis Bali dan etnis Tionghoa, adanya faktor sosial ekonomi, dan adanya perubahan politik pemerintah.
7
Mulyana (2001) mengemukakan bahwa terdapat model-model perubahan identitas etnis, yakni model akulturasi, model asimilasi dan model pluralisme. Model akulturasi adalah fenomena yang timbul ketika kelompok-kelompok individu yang berbeda budaya berhubungan langsung dan bersinambungan, dan perubahan terjadi pada budaya asli salah satu atau dua kelompok. Model asimilasi merujuk kepada sejauh mana suatu kelompok yang semula khas telah kehilangan identitas subjektifnya dan telah terserap ke dalam struktur social suatu kelompok lain. Sedangkan model pluralisme merujuk kepada pemeliharaan lembaga-lembaga budaya secara terpisah oleh kelompokkelompok budaya yang berlainan dalam suatu entitas politik. Sebagai salah satu bentuk kearifan budaya lokal masyarakat Maluku yang hingga kini masih terpelihara, pela menjadi entitas anak negeri (desa) yang harus diaktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat Maluku yang bermartabat (“Persatuan Pemuda Pela Gandong Gelar Deklarasi Damai”, 2011). Hal ini mengindikasikan bahwa pela masih dijalankan dan dilestarikan oleh masyarakat yang bertempat tinggal di Maluku. Berbeda dengan masyarakat yang bertempat tinggal di luar Maluku yang telah mengalami percampuran budaya yang dapat menyebabkan mereka memiliki sikap yang tidak sepositif sebelumnya terhadap adat pela sehingga adat pela tidak lagi dijalankan seperti yang dijalankan oleh masyarakat yang bertempat tinggal di Maluku. Sebenarnya peneliti belum menemukan adanya penelitian mengenai sikap orang Maluku yang bertempat tinggal di Maluku dan yang tinggal di luar Maluku terhadap adat pela. Namun peneliti menemukan adanya penelitian-penelitian lain mengenai sikap orang Tana Toraja yang tinggal di Tana Toraja dan yang tinggal di luar Tana Toraja terhadap adat mereka yakni, Upacara Rambu Solo’. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Baan (2007) mengenai Upacara adat Rambu Solo‟, yang menyatakan bahwa ada
8
beberapa aspek yang ada dalam kepercayaan upacara Rambu Solo’ sudah tidak dipercayai oleh mahasiswa Tana Toraja berada di luar Kabupaten Tana Toraja. Aspekaspek tersebut adalah aspek pembersihan, penyucian, penyesalan, pembangunan kembali, aspek kesejahteraan dan aspek nilai jasa. Hal ini mengindikasikan bahwa individu-individu yang pergi merantau dan meninggalkan kota asalanya secara perlahan-lahan tidak menjalankan bahkan melupakan adat istiadat yang terdapat pada kota asalnya. Terdapat juga juga penelitian yang dilakukan oleh Ribeca dkk (dalam Kombong, 2010) mengenai Upacara adat Rambu Solo‟ pada orang Tana Toraja yang bertempat tinggal di luar Kabupaten Tana Toraja (Salatiga). Hasil dari penelitian ini diperoleh bahwa persepsi responden terhahap upacara Rambu Solo’ antara lain, upacara tersebut identik dengan kemeriahan dan berdampak negatif terhadap perekonomian masyarakat Tana Toraja karena pemborosan secara financial. Diketahui juga bahwa 6 dari 8 responden yang hadir tidak menyetujui pelaksanaan Rambu Solo’ yang identik dengan kemeriahan tersebut. Artinya bahwa sebagian dari individu-individu yang berasal dari suatu daerah yang telah bertempat tinggal di daerah lain akan memiliki sikap yang berbeda dalam hal ini sikap negatif tentang adat yang dimiliki oleh daerah asalnya. Namun hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Kombong (2010) mengenai perbedan sikap antara orang Tana Tora yang tinggal di Toraja dan yang tinggal di Salatiga terhadap Upacara Rambu Solo’, ditemukan bahwa tidak adanya perbedaan sikap terhadap Upacara Rambu Solo’ antara orang Tana Toraja yang bertempat tinggal Salatiga dan yang bertempat tinggal di Tana Toraja. Dalam Dayakisni dan Yuniardi (2008), dikatakan pula bahwa terdapat perbedaan kecenderungan dalam hal mempertahankan tradisi atau adat pada generasi tua dan
9
generasi muda. Generasi yang lebih tua akan cenderung mempertahankan tradisi dan nilai-nilai masa lampau dalam kaitan dengan kecenderuangan untuk tinggal atau hidup dekat dengan orang-orang yang memiliki kesamaan bahasa, tradisi dan kebiasaan atau adat istiadat. Melalui pendidikan yang diterima di sekolah dan adanya kecenderungan (atau suatu kebutuhan) untuk mengadopsi nilai-nilai modern, generasi muda memiliki kencederungan untuk menerima nilai-nilai yang berbeda dari yang lebih tua. Jadi dapat disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh generasi muda di bangku sekolah dapat mempengaruhi pola pikir mereka menjadi lebih rasional dari pada generasi tua yang masih berpikir sesuai dengan tradisi pada masa lampau yang dipercayai dan diyakini. Berdasarkan uraian dan penelitian-penliitian yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Perbedaan Sikap Terhadap Adat Pela antara Orang Maluku yang Bertempat Tinggal di Maluku dan yang Bertempat Tinggal di luar Maluku (Kota Salatiga). Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah adanya perbedaan sikap yang signifikan terhadap Pela antara Orang Maluku yang bertempat tinggal di Maluku dan yang bertempat tinggal di luar Maluku (Salatiga). Sikap orang Maluku yang bertempat tinggal di Maluku lebih positif terhadap Pela, daripada sikap orang Maluku yang bertempat tinggal di luar Maluku (Kota Salatiga).
METODE PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan kuantitatif. Variabel dependen pada penelitian ini adalah Sikap terhadap adat pela, sedangkan variabel
10
independen pada penelitian ini adalah tempat tinggal, yaitu Maluku dan daerah di luar Maluku (Kota Salatiga). Partisipan Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa asal Maluku yang bertempat tinggal di Maluku (Kota Ambon) dan mahasiswa asal Maluku yang bertempat tinggal di luar Maluku (Kota Salatiga). Sampel dalam penelitian ini adalah 50 orang mahasiswa asal Maluku yang bertempat tinggal di Maluku (Kota Ambon) dan 50 orang mahasiswa asal Maluku yang bertempat tinggal di luar Maluku (Kota Salatiga). Karakteristik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (a) Subjek adalah mahasiswa yang termasuk dalam kategori dewasa awal yang berusia 18 tahun - 27 tahun; (b) Mahasiswa asal Maluku yang tinggal di Maluku; (c) Mahasiswa asal Maluku yang tinggal di luar Maluku (Kota Salatiga). Prosedur Sampling Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah accidental sampling. Instrumen Alat Ukur Penelitian ini menggunakan satu skala, yaitu skala sikap terhadap adat Pela yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan pada aspek Pela menurut aturan Pela yang dikemukakan oleh Bartels (2000). Skala sikap terhadap adat pela terdiri atas 4 aspek, yakni: 1) sesama pela wajib untuk saling membantu pada masa genting, “Saya merasa dirugikan dengan adanya aturan pela untuk selalu membantu sesama pela yang mengalami bencana alam”; 2) sesama pela wajib memberi bantuan jika diminta untuk melaksanakan proyek-proyek demi kepentingan kesejahteraan umum, “Saya pikir, saya
11
akan mengalami kesusahan bila saya tidak bersedia membantu merenovasi rumah adat di desa yang se-pela dengan desa saya”; 3) orang yang memiliki hubungan pela wajib berbagi makanan saat mendapat kunjungan dari sesama pela-nya, “Saya percaya bahwa saya tidak akan mendapatkan rezeki ketika saya tidak membagikan makanan kepada sesama pela”; 4) sesama pela tidak diizinkan menikah dan jika dilanggar maka akan mendapat sanksi, “Menurut saya, jika sesama Pela menikah maka akan mendapat hukuman dari ilah berupa cacat fisik pada keturunannya”. Berdasarkan pada perhitungan uji seleksi item, skala sikap terhadap pela yang terdiri dari 35 item, diperoleh item yang gugur sebanyak 7 item dengan koefisien korelasi item totalnya bergerak antara 0,303-0,691, sehingga tersisa 28 item. Penentuanpenentuan uji lolos diskriminasi item menggunakan ketentuan dari Azwar (2012) yang menyatakan bahwa item pada skala pengukuran dapat dikatakan lolos apabila nilai item total korelasi ≥0,30. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan try out terpakai. Try out terpakai yaitu subjek yang digunakan untuk try out sekaligus digunakan untuk penelitian. Subjek dalam penelitian ini adalah orang Maluku yang bertempat tinggal di Maluku dan orang Maluku yang bertempat tinggal di luar luar Maluku (Kota Salatiga). Sedangkan teknik pengukuran untuk menguji reliabilitas adalah menggunakan teknik koefisien Alpha Cronbach, sehingga dihasilkan koefisien Alpha pada skala sikap terhadap adat pela sebesar 0,888. Hal ini berarti skala sikap terhadap adat pela reliable. Prosedur Pengambilan Data Pengambilan data dilaksanakan setelah penulis mendapatkan surat ijin penelitian dari fakultas pada tanggal 14 November 2014. Penelitian ini di lakukan didua tempat yakni di luar Maluku (Kota Salatiga) yang berlangsung dari tanggal 15 November s/d 21
12
November dan di luar Maluku (Kota Ambon) yang dimulai pada tanggal 24 November s/d 29 November 2014. Pembagian skala psikologis di luar Maluku di lakukan di lingkungan sekitar kampus UKSW, Salatiga dan di Maluku pembagiannya dilakukan di beberapa kampus yang ada di Kota Ambon. Penulis membagikan 100 skala psikologis (50 di Maluku dan 50 di luar Maluku), yang mana skala yang dikembalikan pun berjumlah sama dengan yang dibagikan. HASIL PENELITIAN Uji Asumsi Uji asumsi yang dilakukan terdiri dari uji normalitas dan uji homogenitas. Uji normalitas dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 2: Uji Normalitas One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Ambon N a Normal Parameters
50 85.08 11.389 .108 .108 -.102 .385 .998
Most Extreme Differences
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)
Salatiga 50 82.60 11.014 .055 .036 -.055 .761 .609
Pada Skala sikap terhadap adat pela pada orang Maluku yang tinggal di Maluku diperoleh nilai K-S-Z sebesar 0,385 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,998 (p>0,05). Sedangkan pada skor sikap terhadap adat pela pada orang Maluku yang tinggal di luar Maluku (Kota Salatiga) memiliki nilai K-S-Z sebesar 0,761 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,609. Dengan demikian kedua jenis sampel berdistribusi normal.
13
Sementara dari hasil uji homogenitas dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 3: Uji Homogenitas Test of Homogeneity of Variances Sikap terhadap adat pela Levene Statistic
df1
.039
df2 1
Sig. 98
.844
Dari tabel di atas dapat dilihat nilai signifikansi dari uji homogenitas dari sampel orang Maluku yang tinggal di Maluku dan orang Maluku yang tinggal di luar Maluku (Kota Salatiga) sebesar 0.844. Karena signifikansi 0,844 > 0,05, maka dapat dikatakan bahwa sampel penelitian ini bersifat homogen atau memiliki varians yang sama. Hasil Analisis Deskriptif Berikut adalah hasil perhitungan nilai rata-rata, minimal, maksimal, dan standar deviasi sebagai hasil pengukuran skala sikap terhadap adat pela antara orang Maluku yang bertempat tinggal di Maluku dan orang Maluku yang bertempat tinggal di luar Maluku, dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 1: statistik deskriptif hasil pengukuran sikap terhadap pela Jenis Orang yang tinggal di Maluku Orang yang tinggal di luar Maluku
Interval 91 ≤ x ≤ 112 70 ≤ x < 91 49 ≤ x < 70 28 ≤ x < 49 Jumlah 91 ≤ x ≤ 112 70 ≤ x < 91 49 ≤ x < 70 28 ≤ x < 49 Jumlah
Kategori Sangat Positif Positif Negatif Sangat Negatif
f 10 33 7 0
% 20% 66% 14% 0%
Sangat Positif Positif Negatif Sangat Negatif
50 14 31 4 1
100 28% 62% 8% 2%
50
Mean
SD
Max
Min
11,014
107
56
11,389
108
46
82,60
85,08
100
Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa sebagian besar orang Maluku yang tinggal di Maluku memiliki sikap yang positif terhadap adat pela yaitu 33 orang atau sebesar 66%,
14
yang dimana skor paling rendah adalah 56 dan skor paling tinggi adalah 107, rataratanya sebesar 82,60 dengan standar deviasi 11,014. Begitu juga dengan orang Maluku yang tinggal di luar Maluku (Kota Salatiga) yang memiliki sikap yang positif terhadap adat pela yaitu 31 orang atau sebesar 62%, yang dimana skor paling rendah adalah 46 dan skor paling tinggi adalah 108, rata-ratanya sebesar 85,08 dengan standar deviasi 11,389. Uji-t Dari perhitungan uji-t, dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4: Hasil Uji-t orang Maluku yang bertempat tinggal di Maluku dan orang Maluku yang bertempat tinggal di luar Maluku (Kota Salatiga) Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Difference
F Sikap terhadap adat pela
Equal variances .039 assumed Equal variances not assumed
Sig.
t
Df
Sig. (2Mean Std. Error tailed) Difference Difference Lower
Upper
.844 1.107
98
.271
2.480
2.241
-1.966
6.926
1.107
97.89 0
.271
2.480
2.241
-1.966
6.926
Hasil perhitungan uji beda (uji-t) di atas, menunjukkan bahwa nilai signifikansi untuk perbedaan sikap terhadap adat pela antara orang Maluku yang bertempat tinggal di Maluku dan orang Maluku yang bertempat tinggal di luar Maluku memiliki nilai thitung sebesar 1,107 dengan signifikansi = 0,271 (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara sikap terhadap adat pela antara orang Maluku yang bertempat tinggal di Maluku dan orang Maluku yang bertempat tinggal di luar Maluku.
15
PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisa data penelitian tentang perbedaan sikap terhadap adat pela antara orang Maluku yang bertempat tinggal di Maluku dan yang bertempat tinggal di luar Maluku (Kota Salatiga) dengan menggunakan program Statistical Product and Service Solution (SPPS) versi 17.0, diperoleh nilai t-hitung adalah sebesar 1,107 dengan signifikansi 0,271 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis penelitian ini ditolak yang berarti tidak ada perbedaan sikap terhadap adat pela, antara orang Maluku yang bertempat tinggal di Maluku dan yang bertempat tinggal di luar Maluku (Salatiga). Penulis mencoba menjelaskan penyebab terjadinya hipotesis penelitian yang ditolak. Salah satu alasan yang mendasar adalah digunakanya aturan-aturan pela oleh penulis sebagai aspek dalam pembuatan alat ukur, yang mana sebagian besar dari aturan-aturan pela tersebut lebih bersifat umum atau tergolong dalam perilaku sosial sehingga tanpa adanya ikatan pela pun seseorang dapat melakukannya. Salah satu contoh pernyataan dalam skala psikologi pada penelitian ini yang tergolong dalam perilaku sosial ialah “Saya bersedia memberikan bantuan dalam bentuk apa pun kepada para korban peperanagn di desa yang se-pela dengan desa saya” Jika dilihat dari penggolongan kategori sikap terhadap adat pela antara mahasiswa Maluku yang bertempat tinggal di Maluku (Kota Ambon) dan mahasiswa Maluku yang bertempat tinggal di luar Maluku (Kota Salatiga), keduanya sama-sama berada pada kategori sikap yang positif, walaupun memiliki mean yang berbeda-beda. Orang Maluku yang bertempat tinggal di Maluku (Kota Ambon) memiliki mean sebesar 82,60, sedangkan orang Maluku yang bertempat tinggal di luar Maluku (Kota Salatiga) memiliki mean sebesar 85,08.
16
Hal di atas menunjukkan bahwa orang Maluku yang tinggal di Maluku maupun yang tinggal di luar Maluku memiliki sikap yang positif terhadap adat pela. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi hingga terbentuknya sikap positif tersebut. Salah satunya yaitu adanya upacara panas pela yang sering dilakukan di Maluku. Pada saat upacara panas pela ini, banyak orang Maluku yang telah merantau ke luar Maluku kembali ke kampung halaman mereka. Upacara panas pela atau biking panas pela bertujuan untuk menjaga hubungan persaudaraan sebagai nilai dasar pela, memperkokoh solidaritas kehidupan kolektif dan mempertahankan keharmonisan sebagai suatu totalitas adat dengan leluhur serta mengingatkan dan menyadarkan masyarakat akan hubungan persaudaraan (Ralahallo, 2009). Faktor keluarga juga memiliki peran penting dalam pembentukan sikap yang positif terhadap adat pela. Menurut Azwar (2012), salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah adanya pengaruh orang lain yang dianggap penting, yang dalam hal ini adalah keluarga. Hal senada juga diungkapkan oleh Riecenska (1998) yang menjelaskan bahwa keluarga dan kerabat seorang individu memainkan peran penting dalam pemeliharaan kontinuitas tradisi budaya suatu etnis yang kemudian dapat menciptakan pondasi emosional yang positif individu terhadap etnisnya. Selain itu, dari pantauan penulis, orang Maluku yang telah lama merantau membentuk kelompok-kelompok sosial di tempat rantauan mereka, seperti yang ada di Riau (Ikatan Keluarga Besar Maluku Riau), di Jawa Tengah (Ikatan Keluarga Maluku) dan diberbagai daerah lainnya. Di Salatiga juga terdapat IKM (Kerukunan Keluarga Maluku) bahkan dikalangan Mahasiswa Maluku pun terdapat HIPMMA (Himpunan Pelajar Mahasiswa Maluku). Dalam kelompok-kelompok tersebut sering diadakannya kegiatan-kegiatan yang mensosialisasikan akan pentingnya menjaga nilai-nilat adat
17
Maluku. Dengan adanya kegiatan-kegiatan itulah maka dapat dibuktikan bahwa masih terdapat ikatan yang kuat antara orang Maluku yang telah merantau dengan daerah asal mereka, sehingga nilai-nilai adat mereka masih tetap terjaga meskipun mereka berada jauh dari Maluku. Hal ini jugalah yang dapat menjadi salah satu faktor terbentuknya sikap yang positif terhadap adat pela oleh orang Maluku yang bertempat tinggal diluar Maluku.
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai perbedaan sikap terhadap adat pela antara orang Maluku yang bertempat tinggal di Maluku dan yang bertempat tinggal di luar Maluku (Kota Salatiga), diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1.
Tidak ada perbedaan perbedaan sikap terhadap adat pela antara orang Maluku yang bertempat tinggal di Maluku dan yang bertempat tinggal di luar Maluku (Kota Salatiga).
2.
Sebagian besar orang Maluku yang tinggal di Maluku memiliki sikap yang positif terhadap adat pela yaitu 33 orang atau sebesar 66%. Begitu juga dengan orang Maluku yang tinggal di luar Maluku (Kota Salatiga) memiliki sikap yang positif terhadap adat pela yaitu 31 orang atau sebesar 62%.
18
Saran Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas, maka penulis menyarankan hal-hal sebagai berikut: 1.
Bagi orang Maluku yang bertempat tinggal di Maluku Diharapkan untuk tetap mempertahankan sikap yang positif terhadap adat pela. Serta dapat menjaga dan melestarikan budaya adat pela sebagai identitas etnis Maluku yang telah ada dari dulu.
2.
Bagi orang Maluku yang bertempat tinggal di luar Maluku. Diharapkan juga untuk tetap mempertahankan sikap yang positif terhadap adat pela dan lebih waspada terhadap pengaruh yang berasal dari lingkungan tempat tinggal yang berbeda dari daereh Maluku yang sewaktu-waktu dapat mengubah sikap terhadap adat pela.
3.
Bagi orang Maluku yang bertempat tinggal di Maluku dan di luar Maluku Lebih meningkatkan kesadaran terkhususnya generasi muda bahwa dalam menjalankan adat pela sebaiknya lebih dipenuhi dengan rasa sukacita dan sukarela untuk melakukan kewajiban-kewajiban yang terdapat pada aturan-aturan pela baik secara umum maupun pada masing-masing desa yang ber-pela sehingga pada pelaksanaannya pun tidak ditemukan pelanggaran dan rasa takut yang timbul terhadap sanksi yang berlaku ketika melanggar aturan pela tersebut.
4.
Bagi pemerintah daerah. Lebih meningkatkan kesadaran warga Maluku terkhusunya terhadap pentingnya menjaga dan melestarikan budaya adat pela dengan mengadakan kegiatan-kegiatan daerah yang berhubungan dengan adat pela tersebut sehingga orang Maluku baik
19
yang bertempat tinggal di Maluku maupun di luar Maluku dapat terus memiliki sikap yang positif terhadap adat pela. 5.
Bagi peneliti selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dari penelitian ini, sebaiknya lebih membahas mengenai mengapa orang Maluku yang telah beertempat tinggal di luar Maluku masih memiliki sikap yang positif terhadap adat pela dengan menggunakan pendekatan kualitatif pada penelitiannya.
20
DAFTAR PUSTAKA Azwar, S. (2011). Sikap manusia teori dan pengukurannya. Edisi kedua. Cetakan XVI. Yogyakarta: Pustaka pelajar _______. (2012). Penyusunan skala psikologi. Edisi kedua. Yogyakarta: Pustaka pelajar Baan, E. (2007). Perbedaan kepercayaan terhadap upacara rambu solo‟ antara mahasiswa toraja yang tinggal di Kabupaten Tana Toraja dan di luar Kabupaten Tana Toraja. Skripsi (Tidak diterbitkan). Salatiga: Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana Baron, R.A., & Byrne, D. (2004). Psikologi sosial. Edisi kesepuluh (Jilid 1). Ciracas, Jakarta: Erlangga _____________________. (2005). Psikologi sosial. Edisi kesepuluh (Jilid 2). Ciracas, Jakarta: Erlangga Bartels, D. (2000). Tuhanmu bukan lagi Tuhanku: perang saudara muslim-kristen di Maluku Tengah (Indonesia) setelah hidup berdampingan dengan toleransi dan kesatuan etnis yang berlangsung selama setengah millennium. Arizona: Yavapai College. Diunduh pada tanggal, 12 Juli 2013, dari http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/07/27/0012.html Dayakisni, T., & Yuniardi, S. (2008). Psikologi lintas budaya. Edisi revisi. Malang: UMM Press Ember, C.R., & Ember, M. (2011). Cultural anthropology. Thirteenth edition. Pearson Higher Education. Retrieved from http://www.pearsonhighered.com/bookseller/product/CulturalAnthropology/9780205711208.page Fiske, A., Kitayama, S., Markus, H., & Nisbett, R. (1998). The cultural matrix of social psychology. In D. Gilbert, S. Fiske, & G. Lindzey (Eds.), The handbook of social psychology (4th ed., pp. 915–981). New York, NY: McGraw-Hill; Matsumoto, D. (Ed.). (2001). The handbook of culture and psychology. New York, NY: Oxford University Press. Kombong, E. (2010). Perbedaan sikap terhadap rambu solo‟ antara orang Tana Toraja yang bertempat tinggal di Salatiga dan yang bertempat tinggal di Tana Toraja. Skripsi (Tidak diterbitkan). Salatiga: Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana. Lasamahu, P. (2009). Gereja dan pela (suatu kajian sosio-teologis mengenai sikap jemaat GPM Amahai-Soahuku terhadap larangan pernikahan adat sebelum dan sesudah konflik Maluku. Skripsi (Tidak diterbitkan). Salatiga: Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana.
21
Makaruku, S. (2012). Pela sebagai sarana penyelesaian konflik antara suku alone dan wemale di kabupaten seram bagian barat propinsi Maluku (suatu kajian hukum adat). Jurnal Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Undayana Denpasar. Diunduh pada tanggal, 18 Februari 2013, dari http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu/article/download/4442/3362 Mercer, J., & Clayton, D. (2012). Psikologi sosial. Ciracas, Jakarta: Erlangga Mesoudi, A. (2009) How cultural evolutionary theory can inform social psychology, and vice versa. Psychological Review, 116, 929–952. Diunduh pada tanggal, 29 Agustus 2014, dari http://www.saylor.org/site/textbooks/Principles%20of%20Social%20Psychology. pdf Mulyana, D. (2001). Komunikasi antarbudaya. Bandung: Rosdakarya Myers, D.G. (2012). Psikologi sosial. Edisi kesepuluh (buku 1). Jakarta: Salemba Humanika Persatuan Pemuda Pela Gandong Gelar Deklarasi Damai. (2011, 29 November). Siwalima. Diunduh pada tanggal 2 November 2013, dari http://www.siwalimanews.com/post/persatuan_pemuda_pela_gandong_gelar_dekl arasi_damai Prihadi, H. (2012, 16 November). Malam budaya untuk spirit Maluku. Situs Resmi Pemerintah Kota Semarang. Diunduh pada tanggal 25 April 2014, dari http://semarangkota.go.id/portal/index.php/article/details/malam-budaya-untukspirit-maluku Ralahallo, R.N. (2009). Kultur damai berbasis tradisi pela dalam perspektif psikologi sosial. Jurnal psikologi, Vol. 36 No. 2, desember 2009: 177-188. Diunduh pada tanggal 13 Juni 2013, dari http://jurnal.psikologi.ugm.ac.id/index.php/fpsi/article/view/50 Riecanska, E. (1998). Contemporary Ethnicity, Maintenance Of Ethnic Culture And Ethnic Change: The Case Of The Slovak Americans In Western Pennsylvania. Human affairs, 8, 1998, 1, 68-84. Retrieved August 4, 2014, from https://www.sav.sk/journals/hum/full/hum198f.pdf Shiraev, E.B., & Levy, D.A. (2005). Psikologi lintas kultural. Edisi Keempat. Jakarta: Kencana Tanamal, P. (1985). Pengabdian dan perjuangan. Ambon: Yayasan Kapatta Thomas, F. (2010). Wacana Tradisi Pela dalam Masyarakat Ambon. Bahasa dan Seni FKIP Universitas Pattimura Ambon, 2, 166-180. Diunduh pada tanggal, 14 Juni 2013, dari http://sastra.um.ac.id/wp-content/uploads/2012/01/4-Frans-Thomas.pdf
22
Widyarto, Q. (2007). Dinamika Interaksi dalam Kehidupan Masyarakat Keturunan Madura yang Tinggal di Dusun Pijetan, Desa Blayu, Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang Tahun 1950-2012. Jurnal Ilmu Sosial Universitas Negeri Diunduh pada tanggal, 13 Agustus 2014, dari Malang. https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0 CBsQFjAA&url=http%3A%2F%2Fjurnalonline.um.ac.id%2Fdata%2Fartikel%2FartikelB38614CDC98CB9B852EE5B1C0 7C94790.pdf&ei=NThHVLyyHcrkuQSRoYKIAQ&usg=AFQjCNFcA3e7mxobR Zw8twQtSWoYzmDbg&sig2=htcAaPuG9GRFeTlBob7Udw&bvm=bv.77880786,d.c2E&cad= rja Yudha, I.P.P.K. (2014). Perubahan Identitas Budaya Etnis Tionghoa di Desa Pupuan Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan. (Tesis). Denpasar: Program Studi Kajian Budaya Universitas Udayana. Diunduh pada tanggal, 13 Agustus 2014, dari http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-940-1709744861-thesis.pdf Yusuf, Y. (1991). Psikologi antarbudaya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
23