ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN TATA CARA PEMBUATAN DAN PELAPORAN FAKTUR PAJAK BERBENTUK ELEKTRONIK (Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-136/PJ/2014) Muhammad Imam Akbar1 dan Wisamodro Jati2 1. Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia 2. Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
[email protected] [email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi Kebijakan Tata Cara Pembuatan dan Pelaporan Faktur Pajak Berbentuk Elektronik berdasarkan KEP-136/PJ/2014. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa, ditinjau dari Content of Policy implementasi Kebijakan Tata Cara Pembuatan dan Pelaporan Faktur Pajak Berbentuk Elektronik telah berjalan cukup baik. Kebijakan ini diterapkan sesuai roadmap yang sebelumnya dirancang dalam rangka pembenahan sistem administrasi PPN, terutama dalam pengawasan penerbitan Faktur Pajak dan melindungi PKP dari kasus Faktur Pajak fiktif. Efisiensi dan efektifitas yang dihasilkan dengan adanya kebijakan ini telah dirasakan oleh PKP yang telah diwajibkan membuat Faktur Pajak berbentuk elektronik, antara lain mengurangi compliance costs dan pengajuan permohonan nomor seri Faktur Pajak secara online. Sedangkan, ditinjau dari Context of Implementation, implementasi kebijakan ini masih memiliki beberapa permasalahan, antara lain penyampaian pemberitahuan sosialisasi dan penetapan dilakukan dalam kurun waktu yang berdekatan, kendala terkait teknis aplikasi membutuhkan perbaikan dari DJP, serta respon Contact Center DJP masih dinilai kurang menanggapi pertanyaan yang diajukan oleh PKP. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tujuan penelitian deskriptif. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan dan wawancara mendalam yang dilakukan dengan berbagai narasumber yakni pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, Kantor Pelayanan Pajak Madya Jakarta Barat, Pengusaha Kena Pajak, serta akademisi. Kata kunci: Pajak Pertambahan Nilai, Faktur Pajak elektronik, Implementasi Kebijakan ABSTRACT This research was conducted to provide an overview of the implementation of issuance and reporting procedure of electronic tax invoice based on the KEP-136/PJ/2014. The results of this study show that, from the view of Content of Policy, implementation of Issuance and
Analisis implementasi..., Muhammad Imam Akbar, FISIP, 2014
Reporting Procedure of Electronic Tax Invoice has been going pretty well. This policy is applied according to the roadmap previously designed in order to reform the administration of VAT system, particularly in monitoring the issuance of Tax Invoice and protecting PKP from fake tax invoice cases. Efficiency and effectiveness are produced in the presence of this policy has been felt by PKP has been required making a Tax Invoice in electronic form, such as reducing compliance costs and filing a Tax Invoice serial number online. Meanwhile, from the view of Context of Implementation, the implementation of this policy still has some problems, such as the delivery of a notice of socialization and determination made within the adjacent, technical problems related to applications requiring repair from DGT, as well as the response of the Contact Center DGT is still considered less respond to questions submitted by PKP. This research used a qualitative approach with descriptive research purposes. Data collected through the study of literature and in-depth interviews with various speakers, such as the officials of Directorate General of Taxes, West Jakarta Tax Office, Taxable Entrepreneur, and Academic. Key words: Value Added Tax, Electronic Tax Invoice, Implementation of policy
Pendahuluan Metode pemungutan PPN yang dianut Indonesia adalah Indirect Substraction Method, yakni pajak dihitung dengan cara mengurangkan selisih pajak yang dipungut pada waktu penjualan (output tax) dengan jumlah pajak yang telah dibayar pada waktu pembelian (input tax). Metode ini dikenal juga sebagai metode kredit pajak yang menggunakan Faktur Pajak sebagai bukti pembayaran pajak dan untuk mengkreditkan Pajak Masukan dan Pajak Keluarannya (Waluyo, 2011, h. 10). Oleh karena itu, untuk mengetahui besarnya PPN yang telah dibayar atau dipungut diperlukan bukti fisik berupa faktur pajak. Faktur pajak yang berfungsi sebagai sarana dan bukti telah dilakukannya pemungutan PPN dalam praktiknya masih sering menimbulkan masalah. Permasalahan tersebut biasanya timbul dari Wajib Pajak itu sendiri yang antara lain berupa penerbitan faktur pajak ganda, penyalahgunaan faktur pajak sederhana, dan penerbitan faktur pajak fiktif. Selain itu, Fisik faktur pajak yang masih berupa kertas ini menimbulkan masalah dalam proses administrasi. Faktur pajak yang menggunakan media kertas menyebabkan proses administrasi faktur pajak tersebut menjadi lebih sulit dan beresiko. Penyimpanan faktur-faktur pajak yang merupakan bukti penting memerlukan ruangan penyimpanan dan menimbulkan biaya (cost) pada PKP. Selain itu, juga menyulitkan pencarian apabila faktur pajak dibutuhkan, baik oleh PKP atau oleh fiskus dalam kasus Pemeriksaan. Dikatakan beresiko karena faktur pajak yang masih paper-based ini rentan keadaannya, mudah hilang atau rusak (misalnya kebakaran, banjir,
Analisis implementasi..., Muhammad Imam Akbar, FISIP, 2014
atau robek) dan besar pula peluang terjadinya kesalahan pengisian yang beresiko faktur pajak tersebut cacat atau tidak lengkap, sehingga pajak yang tertera tidak dapat dilakukan pengkreditan. Melihat urgensi faktur pajak dalam mekanisme PPN di Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak terus berupaya memperbaiki dan menyempurnakan reformasi perpajakan khususnya di bidang PPN, baik dalam menyempurnakan peraturan kebijakan pajak (tax policies) maupun reformasi administrasi perpajakan. Dalam upaya reformasi administrasi perpajakan di bidang PPN ini, Direktorat Jenderal Pajak manfaatkan kemajuan teknologi untuk mempermudah Wajib Pajak dalam melakukan kewajibannya serta mempermudah otoritas pajak dalam melakukan pengawasan terhadap PKP. Pemanfaatan kemajuan teknologi informasi ini ditujukan untuk mencapai sistem administrasi perpajakan modern yang mengikuti perkembangan dunia bisnis yang saat ini mengarah pada dunia digital dan efisiensi. Direktorat Jenderal Pajak telah memberlakukan Peraturan Direktorat Jenderal Pajak nomor PER-16/PJ/2014 tentang Pembuatan dan Pelaporan Faktur Pajak Berbentuk Elektronik sejak 1 Juli 2014 lalu. Peraturan tersebut menunjukan upaya peningkatan pelayanan DJP dalam proses administrasi faktur pajak yang bertujuan untuk menuju sistem administrasi pajak modern. Dengan berlakunya peraturan tersebut, maka faktur pajak manual yang bersifat paper-based ini secara bertahap berubah dan beralih menjadi faktur pajak elektronik (e-tax invoice). Kebijakan pembuatan Faktur Pajak berbentuk elektronik sebagaimana diatur dalam PER-16/PJ/2014 ini dilakukan secara bertahap. Hal tersebut diatur lebih lanjut dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-136/PJ/2014 tentang Penetapan Pengusaha Kena Pajak yang Diwajibkan Membuat Faktur Pajak Berbentuk Elektronik. Dalam Keputusan tersebut dijelaskan bahwa untuk tahap pertama, kewajiban membuat faktur pajak berbentuk elektronik ditetapkan hanya untuk 45 PKP tertentu yang mulai berlaku sejak 1 Juli 2014. Selanjutnya, untuk tahap kedua yang mulai berlaku 1 Juli 2015 bagi PKP yang terdaftar di KPP di wilayah Pulau Jawa dan Bali. Tahap terakhir ditetapkan bagi seluruh PKP yang terdaftar di KPP di Indonesia. Berdasarkan KEP-136/PJ/2014, kebijakan pembuatan dan pelaporan faktur pajak berbentuk elektronik telah mulai berjalan atas 45 PKP tertentu, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak menggunakan istilah tahap piloting project. Hal demikian menunjukkan bahwa 45 PKP tertentu tersebut telah menerbitkan dan menggunakan aplikasi Faktur Pajak elektronik sejak Juli 2014. Oleh karena itu, diperlukan suatu studi untuk menganalisis implementasi aplikasi Faktur Pajak berbentuk elektronik.
Analisis implementasi..., Muhammad Imam Akbar, FISIP, 2014
Sehubungan dengan hal tersebut, fokus penelitian ini adalah: 1) Untuk menganalisis implementasi Kebijakan Tata Cara Pembuatan dan Pelaporan Faktur Pajak Berbentuk Elektronik berdasarkan KEP-136/PJ/2014; dan 2) Untuk menganalisis faktor penghambat dan faktor pendukung implementasi Kebijakan Tata Cara Pembuatan dan Pelaporan Faktur Pajak Berbentuk Elektronik berdasarkan KEP-136/PJ/2014.
Tinjauan Teoritis 1.
Teori Kebijakan Publik dan Implementasi Kebijakan Kebijakan Publik menurut Dye (2008, h. 1) pada umumnya mengandung pengertian
“public policy is whatever government choose to do or not to do.” Yang dalam terjemahan bebasnya memiliki arti kebijakan publik adalah apapun yang pemerintah putuskan untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Dye mendefinisikan kebijakan publik sebagai segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil berbeda. Selanjutnya, implementasi kebijakan menurut Grindle sebagaimana dikutip oleh Wahab (1991, h. 45) menyatakan “the execution of policies is as important if not nor important than policy-making. Policies will remain dreams or blue prints in file jackets unless they’re implemented”, yang bermakna bahwa pelaksanaan kebijakan merupakan hal yang sangat penting, atau bahkan lebih penting dari sekedar proses pembuatan kebijakan, dan kebijakan hanya akan menjadi sepuah mimpi atau rencana yang hanya tersimpan dengan rapih di dalam arsip bila tidak diimplementasikan. Grindle sebagaimana dikutip oleh Nugroho (2011, h. 634) mengemukakan bahwa implementasi kebijakan dipengaruhi oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan, barulah implementasi kebijakan dilakukan. Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. Isi kebijakan tersebut mencakup hal-hal berikut: 1) Kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan 2) Jenis manfaat yang akan dihasilkan 3) Derajat perubahan yang diinginkan 4) Kedudukan pembuat kebijakan 5) (siapa) pelaksana program 6) sumber daya yang dikerahkan
Analisis implementasi..., Muhammad Imam Akbar, FISIP, 2014
sementara itu, konteks implementasinya adalah: 1) Kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat 2) Karakteristik lembaga dan penguasa 3) Kepatuhan dan daya tanggap
2.
Teori Kebijakan Pajak dan Pajak Pertambahan Nilai Kebijakan pajak menurut Mansury dalam Rosdiana dan Irianto (2012, h. 84), adalah
kebijakan fiskal dalam arti sempit, yakni kebijakan yang berhubungan dengan penentuan apa yang akan dijadikan sebagai tax base, siapa-siapa yang dikenakan pajak dan dikecualikan, apa-apa yang dijadikan sebagai objek pajak dan yang dikecualikan, bagaimana menentukan besarnya pajak yang terutang dan prosedur pelaksanaan kewajibannya. Selanjutnya, Pajak Pertambahan Nilai menurut Ebrill sebagaimana dikutip Rosdiana, Irianto, dan Putranti (2011, h. 66) pada dasarnya merupakan Pajak Penjualan yang dipungut beberapa kali (multiple stage levies) atas dasar nilai tambah yang timbul pada semua jalur produksi dan distribusi. Jadi, PPN ini dapat dipungut beberapa kali pada berbagai mata rantai jalur produksi dan distribusi, namun hanya pada pertambahan nilai yang timbul pada setiap jalur yang dilalui barang dan jasa. Pemungutan pada setiap mata rantai ini tidak menimbulkan cascading effect atau efek ganda karena adanya umur kredit pajak. Oleh karena itu, beban pajak oleh konsumen besarnya tetap sama, tidak terpengaruh oleh panjang atau pendeknya jalur produksi atau jalur distribusi. Berikut beberapa metode pemungutan PPN: 1) Addition Method Pajak Pertambahan Nilai dihitung dari tarif kali seluruh penjumlahan nilai tambah. Pada metode ini diisyaratkan bahwa setiap Pengusaha Kena Pajak harus mempunyai pembukuan yang tertib dan rinci atas biaya yang dikeluarkan. 2) Direct substraction method. Dalam direct substraction method, PPN dihitung berdasarkan tarif dikali selisih antara harga penjualan dengan harga pembelian (pertambahan nilai). 3) Credit method/invoice method/indirect subtraction method. Dalam credit method/invoice method/indirect subtraction method, PPN dihitung dengan cara mengurangkan selisih pajak yang dipungut pada waktu penjualan (output tax) dengan jumlah pajak yang telah dibayar pada waktu pembelian (input tax). Jadi dalam metode ini yang dikurangkan adalah pajaknya. (Waluyo, 2011, h. 10)
Analisis implementasi..., Muhammad Imam Akbar, FISIP, 2014
3.
Teori Faktur Pajak dan Faktur Pajak Berbentuk Elektronik Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana
untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak harus dibuat satu Faktur Pajak. Oleh karena itu, salah satu syarat pengkreditan Pajak Masukan adalah tersedianya faktur pajak uang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Menurut Thuronyi sebagaimana dikutip dalam Rosdiana dan Iridianto (2011, h. 239), Faktur Pajak pada umumnya memuat informasi terkait dengan transaksi yang terjadi antara lain adalah nama, alamat, dan NPWP pihak penjual dan pembeli, jenis barang atau jasa yang diserahkan, waktu penyerahan barang atau jasa, jumlah pembayaran, jumlah PPN yang terutang, waktu pembuatan Faktur Pajak, dan nomor seri Faktur Pajak. Selanjutnya, Faktur pajak elektronik (electronic tax invoice) merupakan faktur pajak yang secara bertahap telah dikembangkan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi berbentuk elektronik. Faktur pajak bentuk ini tidak lagi menggunakan kertas (paper-based), sehingga lebih efisiensi dalam hal pembuatan dan penyimpanannya. Selain itu, sistem faktur pajak berbasis elektronik ini diharapkan mampu mengurangi biaya-biaya yang terkait dengan pemenuhan kewajiban pajak (compliance costs).
Metode Penelitian Dalam penelitian ini, pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif sebagaimana dikemukakan oleh Creswell (1994, h. 15) merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah indvidu atau sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Berdasarkan tujuannya, penelitian yang dilakukan peneliti bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif memberikan suatu gambaran atau penjelasan secara detail mengenai suatu gejala atau fenomena. Menurut Neuman (2012, h. 44), penelitian deskriptif menyajikan gambaran yang spesifik mengenai situasi, penataan sosial atau hubungan. Penelitian deskriptif diawali dengan persoalan atau pertanyaan yang telah ditetapkan dengan baik dan mencoba untuk menjelaskannya secara akurat. Hasil dari penelitian tersebut berupa gambaran secara detail mengenai persoalan atau jawaban atas pertanyaan penelitian. Berdasarkan manfaatnya, penelitian ini merupakan penelitian murni. Neuman (2012, h. 30) mengemukakan bahwa penelitian murni mengemukakan pengetahuan mendasar mengenai dunia sosial. Para peneliti menggunakan penelitian murni untuk mendukung atau menolak teori mengenai cara beroperasinya dunia sosial dan perubahannya, penyebab
Analisis implementasi..., Muhammad Imam Akbar, FISIP, 2014
terjadinya berbagai hal, dan alasan hubungan atau peristiwa sosial yang terjadi dalam cara tertentu. Berdasarkan dimensi waktu, penelitian ini tergolong penelitian cross-sectional. Prasetyo dan Jannah (2005, h. 25) menambahkan, penelitian cross-sectional adalah penelitian yang hanya digunakan dalam waktu tertentu dan tidak dilakukan penelitian lain di waktu yang berbeda untuk diperbandingkan. Terdapat beberapa teknik pengumpulan data yang akan dilakukan dalam penelitian ini yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data yang diperlukan yang dapat digunakan untuk menjelaskan atau menggambarkan permasalahan penelitian ini secara objektif, yaitu studi pustaka dan studi lapangan. Data yang diperoleh dari berbagai sumber dalam penelitian ini akan diolah menggunakan teknik analisis data kualitatif. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik analisis data kualitatif. Penelitian ini menekankan pada makna dan deskripsi sehingga proporsi analisis terhadap data yang telah dikumpulkan akan lebih banyak disuguhkan dengan menggunakan kata-kata.
Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Analisis Implementasi Kebijakan Tata Cara Pembuatan dan Pelaporan Faktur Pajak Berbentuk Elektronik berdasarkan KEP-136/PJ/2014 Dalam menganalisis implementasi Kebijakan Tata Cara Pembuatan dan Pelaporan Faktur Pajak Berbentuk Elektronik berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-136/PJ/2014, peneliti menggunakan model implementasi kebijakan oleh Merilee S. Grindle. Menurut Grindle, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh Content of Policy dan Context of Implementation. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan, barulah implementasi kebijakan dilakukan. Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut.
1. 1 Content of Policy Indikator dalam Content of Policy ini terdiri dari Interest Affected atau kepentingankepentingan yang terpengaruhi, Type of Benefits atau manfaat yang diberikan, Extent of Change Envision atau derajat perubahan yang diinginkan, Site of Decision Making atau letak pengambilang keputusan, Program Implementor atau pelaksana program, dan Resources Committed atau sumber daya yang digunakan. Interest Affected. Ditetapkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER16/PJ/2014 mengenai Tata Cara Pembuatan dan Pelaporan Faktur Pajak Berbentuk
Analisis implementasi..., Muhammad Imam Akbar, FISIP, 2014
Elektronik ini juga merupakan serangkaian tahapan pembenahan sistem administrasi PPN yang dimulai dari tahun 2011, yakni dengan evaluasi bentuk pelaporan SPT dan pemberlakuan e-SPT. Kemudian tahun 2012 diberlakukannya registrasi ulang PKP dan kebijakan pengukuhan PKP. Registrasi ulang ini dibarengi dengan perluasan dari penyampaian SPT, sekaligus menentukan PKP segmen tertentu yang diwajibkan menggunakan e-SPT. Selanjutnya, di tahun 2013 diwajibkannya seluruh PKP Badan dan PKP Orang Pribadi yang melakukan transaksi lebih dari 25 kali dalam satu bulan memasukkan laporan SPT-nya dengan menggunakan sistem elektronik atau e-SPT. Masih di tahun 2013, diperkenalkan segmentasi PKP yang dibedakan berdasarkan omsetnya, dimana PKP dengan omset di bawah Rp 4,8 miliar setahun dikategorikan sebagai PKP beromset kecil. Tujuan dari segmentasi PKP ini adalah agar para PKP yang beromset kecil tidak lagi dibebani dengan administrasi PPN yang terlalu sulit untuk ukuran mereka. Tahap yang terakhir adalah eFaktur yang sudah mulai diperkenalkan dan dilakukan tahap simulasi (piloting) dari tahun 2013, dan mulai diberlakukan pada pertengahan 2014 meskipun dalam pemberlakuannya masih dilakukan secara bertahap. Selain itu, melalui kebijakan ini juga DJP berupaya meminimalisir penyalahgunaan Faktur Pajak terutama penerbitan Faktur Pajak fiktif, sehingga target penerimaan dapat tercapai dan penerimaan negara dari pajak dapat meningkat. Dalam Pasal 11 PER-16/PJ/2014 diatur bahwa PKP diwajibkan melaporkan e-Faktur yang dibuatnya dengan cara mengunggah (upload) ke DJP untuk mendapat persetujuan atau approval agar menjadi Faktur Pajak yang sah (valid). Melalui pemberian approval pada e-Faktur ini dapat memberikan fungsi pengawasan terhadap penerbitan Faktur Pajak, mengingat pentingnya dokumen ini sebagai bukti pemungutan PPN dan sebagai sarana pengkreditan Pajak Masukan. Dengan adanya persetujuan dari DJP, kesalahan atau kurangnya informasi karena kesalahan manusia (human error) dalam pembuatan Faktur Pajak dapat diminimalisir, sehingga tidak ada lagi istilah Faktur Pajak tidak lengkap atau Faktur Pajak cacat. Selain itu, dengan adanya approval tersebut dapat mengurangi upaya-upaya penghindaran pajak (tax evasion) yang dilakukan oleh PKP melalui penyalahgunaan Faktur Pajak terutama penerbitan Faktur Pajak fiktif sehingga penerimaan negara yang bersumber dari pajak dalam hal ini PPN dapat diamankan dan ditingkatkan. Type of Benefits. Dengan ditetapkannya PER-16/PJ/2014 ini, pembuatan Faktur Pajak manual secara bertahap akan digantikan dengan sistem elektronik. Pemanfaatan teknlogi informasi dalam modernisasi sistem administrasi ini tentunya dapat memberikan kemudahankemudahan, baik bagi fiskus maupun Wajib Pajak. Manfaat yang pertama adalah
Analisis implementasi..., Muhammad Imam Akbar, FISIP, 2014
digantikannya tanda tangan basah dengan tanda tangan elektronik. Tidak seperti halnya Faktur Pajak kertas, Faktur Pajak elektronik menggunakan QR Code sebagai tanda pengesahan Faktur Pajak oleh PKP Penjual. Tanda QR Code ini diperoleh dari adanya sertifikat elektronik atau Digital Certificate yang dimiliki oleh masing-masing PKP apabila mereka sudah mengajukan permohonan ke KPP. Dengan adanya QR Code ini, maka tanda tangan basah tidak diperlukan lagi dalam pembuatan Faktur Pajak elektronik, maupun setelah Faktur Pajak elektronik ini dicetak. QR Code menjadi alat yang bertindak sebagai bukti pengesahan oleh PKP yang didalamnya. Dengan menggunakan QR Code Reader, PKP Pembeli atau pihak lain yang memiliki kepentingan dapat melakukan validasi mengenai Faktur Pajak elektronik karena didalamnya terkandung identitas si Penerbit Faktur Pajak. Manfaat yang kedua adalah mengurangi biaya pemenuhan (compliance cost) seperti biaya mencetak, biaya kirim, dan biaya penyimpanan dari Faktur Pajak tersebut. Hasil (output) dari aplikasi e-Faktur adalah Faktur Pajak berupa dokumen elektronik. Lain halnya dengan Faktur Pajak kertas, Faktur Pajak elektronik ini tidak diwajibkan untuk dicetak, sehingga biaya pembuatan dan penyimpanan dapat berkurang. Penyimpanan data Faktur Pajak elektronik dapat dilakukan dengan menyimpan file tersebut di komputer PKP, sehingga tidak memerlukan lagi ruangan atau tempat penyimpanan Faktur Pajak seperti halnya Faktur Pajak kertas. Selanjutnya, e-Faktur dilengkapi menu-menu yang dapat mempermudah PKP dalam pembuatan Faktur Pajak. Yang pertama adalah e-Faktur dilengkapi dengan menu pembuatan e-SPT PPN. Dengan adanya menu ini, setelah PKP membuat Faktur Pajak elektronik dan telah mendapat approval dari DJP, PKP pada akhir Masa dapat langsung membuat SPT PPN melalui aplikasi e-Faktur. Manfaat yang dapat dirasakan adalah kemudahan dan adanya integrasi dari sistem administrasi terutama pada saat pelaporan. Oleh karena itu, PKP yang telah menggunakan e-Faktur tidak lagi harus menggunakan e-SPT PPN 1111. Saat ini permohonan nomor seri Faktur Pajak masih dilakukan secara manual dengan mendatangi KPP tempat PKP terdaftar. Namun dengan adanya kebijakan ini, pembuatan Faktur Pajak terutama saat permohonan nomor seri akan menjadi lebih mudah. Hal ini dikarenakan permohonan nomor seri Faktur Pajak bisa dilakukan secara online melalui website DJP atau melalui aplikasi e-Faktur, sehingga PKP tidak perlu lagi mendatangi KPP untuk mengajukan permohonan. Extent of Change Envision. Dengan dimanfaatkannya sistem elektronik dalam pembuatan Faktur Pajak ini dapat mempermudah perhitungan kredit pajak PKP. Hal ini dikarenakan dalam pembuatan e-Faktur harus mendapat persetujuan (approval) dari DJP,
Analisis implementasi..., Muhammad Imam Akbar, FISIP, 2014
sehingga terdapat record di sistem DJP mengenai Faktur Pajak tersebut beserta PPN yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, proses pemeriksaan dan permohonan restitusi nantinya akan menjadi lebih mudah dan cepat. Selanjutnya, selain mempermudah pelayanan dan meningkatkan pengawasan terhadap penerbitan Faktur Pajak, kebijakan ini juga diharapkan mampu memberikan keamanan bagi para PKP terutama Pembeli dalam transaksinya. Faktur Pajak dibuat oleh Penjual dan didalamnya terkandung PPN yang bagi Pembeli merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Namun demikian, jika Faktur Pajak tersebut dibuat oleh Penjual yang bukan merupakan PKP atau Penjual yang tidak diperbolehkan menerbitkan Faktur Pajak, maka Faktur Pajak tersebut tidak sah. Hal ini menyebabkan Pajak Masukan si Pembeli yang terkandung didalamnya tidak dapat dijadikan kredit Pajak. Dengan adanya QR Code dalam Faktur Pajak elektronik, PKP Pembeli dapat mengecek keabsahan Faktur Pajak yang diterimanya, sehingga memastikan Pajak Masukan yang diperolehnya dapat dijadikan sebagai kredit pajak. Site of Decision Making. Kebijakan pembuatan Faktur Pajak berbentuk elektronik sebagaimana diatur dalam PER-16/PJ/2014 dilakukan secara bertahap. Hal ini diatur lebih lanjut dalam KEP-136/PJ/2014 tentang Penetapan Pengusaha Kena Pajak yang Diwajibkan Membuat Faktur Pajak Berbentuk Elektronik. Alasan mengapa kebijakan ini dilakukan secara bertahap berdasarkan regional atau daerah adalah dikarenakannya perbedaaan letak secara geografis, perbedaan budaya, dan faktor-faktor eksternal lainnya. Kemampuan teknologi informasi tiap-tiap daerah juga dinilai berbeda-beda, ditambah pula dengan banyaknya jumlah PKP yang terdaftar di Indonesia. Selanjutnya, alasan lain mengapa kebijakan ini dilaksanakan secara bertahap adalah agar DJP dapat melakukan pengawasan atas kinerja aplikasi e-Faktur tersebut. Lingkup kebijakan yang dilakukan secara bertahap dapat memberikan control atas kinerja suatu sistem. Apabila dalam penerapannya terjadi suatu kekurangan atau kelemahan, maka hal tersebut dapat terlihat lebih cepat. Dengan begitu DJP dalam hal ini mampu melakukan evaluasi, pembetulan atau perbaikan mengenai aplikasi e-Faktur tersebut. Selain itu, DJP juga dapat mengidentifikasikan kebutuhan-kebutuhan apa saja yang diperlukan oleh PKP yang menggunakan e-Faktur sehingga perbaikan selanjutnya dapat memberikan kemudahan bagi mereka. Program Implementor. Dalam pelaksanaan kebijakan Faktur Pajak elektronik ini, Direktorat Jenderal Pajak membentuk tim yang khusus menangani kebijakan e-Faktur tersebut. DJP mengerahkan 4 direktorat terkait implementasi kebijakan ini. Keempat
Analisis implementasi..., Muhammad Imam Akbar, FISIP, 2014
direktorat ini merupakan suatu kesatuan dalam menerapkan kebijakan e-Faktur ini, tetapi dalam fungsinya memiliki peranan yang berbeda. Direktorat Peraturan Perpajakan I memiliki peranan dalam perumusan kebijakan mengenai e-Faktur ini dan segala peraturan terkait regulasi dirancang dan diformulasikan oleh direktorat ini. Direktorat Transformasi Proses Bisnis berperan dalam mendesain alur, prosedur, serta tata cara pelaksanaan kebijakan ini. Berikutnya, Direktorat Teknologi Infomasi Perpajakan berperan dalam penyediaan infrastruktur yang dibutuhkan dalam menunjang pelaksanaan kebijakan ini. Segala infrastruktur seperti server, database, dan sistem jaringan, serta pengolahan data yang masuk ke DJP dilakukan dan di-maintain di DTIP ini. Hal-hal yang berkaitan dengan teknis dan pengembangan aplikasi e-Faktur ditangani oleh Direktorat Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi. Selain tim e-Faktur, KPP juga memiliki fungsi dalam pelaksanaan kebijakan e-Faktur. Dalam hal ini KPP memiliki peranan dalam pelayanannya kepada para PKP terutama dalam hal sosialisasi dan administrasi, misalnya pelayanan permohonan permintaan Sertifikat Elektronik, aktivasi Akun PKP, dan sebagainya. Resources Committed. Direktorat Jenderal Pajak mengerahkan tim khusus e-Faktur yang terdiri dari 4 direktorat. Keempat Direktorat tersebut memiliki peranan dan fungsinya masing-masing, meskipun mereka merupakan suatu kesatuan dalam pelaksanaannya. Kebijakan Faktur Pajak elektronik ini nantinya akan berlaku secara nasional bagi seluruh PKP di Indonesia. Sumber Daya Manusia yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak adalah seluruh Account Representative serta pegawai yang ada di KPP seluruh Indonesia. Oleh karena itu, kebijakan ini merupakan kebijakan yang membutuhkan keterlibatan seluruh fiskus secara nasional.
1. 2 Context of Implementation Beberapa indikator dalam konteks implementasi ini terdiri dari kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat (Power, Interest, and Strategy of Actor Involved), karakteristik lembaga yang berkuasa (Institution and Regime Characteristic), dan tingkat kepatuhan dan daya tanggap (Compliance and Responsiveness). Power, Interest, and Strategy of Actors Involved. Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) PER16/PJ/2014 diatur bahwa PKP yang diwajibkan membuat e-Faktur adalah PKP yang telah ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Pasal tersebut menunjukan bahwa DJP memiliki kekuasaan untuk menentukan siapa-siapa saja (dalam hal ini PKP) yang diwajibkan membuat e-Faktur. Namun demikian, DJP tidak secara sepihak menentukan PKP tersebut
Analisis implementasi..., Muhammad Imam Akbar, FISIP, 2014
tetapi DJP juga melihat kesiapan dari PKP itu sendiri. Kesiapan yang dinilai adalah berdasarkan kesiapan secara sistem dan kesanggupan PKP. Hal ini dikarenakan masingmasing PKP memiliki sistem elektronik perusahaan yang berbeda-beda, sehingga memerlukan penyesuaian terlebih dahulu. Selanjutnya, dalam pelaksanaan kebijakan Faktur Pajak elektronik ini, Direktorat Jenderal Pajak mengikuti aturan-aturan dari Kementerian Komunikasi dan Informasi. Peraturan-peraturan yang terkait dengan transaksi elektronik harus mengikuti UndangUndang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sertifikat Elektronik ini merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kebijakan pembuatan Faktur Pajak elektronik. Hal ini dikarenakan didalam Sertifikat Elektronik terkandung informasi mengenai identitas PKP yang memilikinya. Sertifikat Elektronik dimiliki oleh masing-masing PKP, sehingga setiap PKP memiliki Sertifikat Elektronik yang berbeda-beda. Oleh karena itu, DJP dalam hal ini melakukan kerjasama dengan Lembaga Sandi Negara selaku pihak yang berwenang membuat Sertifikat Elektronik. Kebijakan Faktur Pajak elektronik dilaksanakan kedalam tiga tahap yang mana pada tahap akhir akan dilaksanakan secara nasional. Dengan dilaksanakan secara bertahap ini, maka Direktorat Jenderal Pajak memiliki banyak waktu untuk melakukan sosialisasi ke para PKP. Namun, hal ini tidak secara langsung dilakukan kepada para PKP tetapi dengan melakukan pelatihan kepada KPP yang tersedia. Strategi demikian dilakukan DJP agar KPP juga berperan serta dalam melaksanakan kebijakan ini. Dalam penetapan 45 PKP yang diwajibkan menggunakan e-Faktur di tahap pertama, proses sosialisasi dan piloting dilakukan langsung oleh tim e-Faktur dari Direktorat Jenderal Pajak. Selain melakukan sosialisasi langsung ke para PKP tertentu tersebut, pihak DJP juga melakukan sosialisasi dan ToT (Training of Trainer) ke para perwakilan KPP se-Jawa dan Bali untuk tahap kedua yakni 1 Juli 2015. Pihak Direktorat Jenderal Pajak juga memiliki strategi lain dalam penerapan e-Faktur ini. Strategi yang dimaksud adalah dengan melakukan segmentasi penggunaan e-Faktur, yakni dengan melakukan pembagian channeling. Strategi channeling ini dilakukan untuk mempermudah pelaksanaan e-Faktur. Terdapat 3 (tiga) channeling dalam pelaksanaan eFaktur, yakni web-based, desktop client, dan host-to-host. Ketiga jalur atau channel ini memiliki fungsi atau fitur yang berbeda beda, namun memiliki satu kemampuan yang sama yakni membuat e-Faktur. Jalur web-based merupakan jalur yang secara online terhubung dengan server DJP melalui website yang disediakan oleh DJP. Jalur desktop client merupakan aplikasi portable yang harus tertanam di komputer PKP. Berbeda dengan web-based, desktop
Analisis implementasi..., Muhammad Imam Akbar, FISIP, 2014
client dalam membuat e-Faktur tidak memerlukan adanya koneksi online ke internet. Namun pada saat melakukan approval dan pelaporan e-SPT, PKP tetap harus memiliki koneksi online agar dapat tersambung dengan server DJP. Selanjutnya, host-to-host merupakan koneksi jaringan yang sengaja dibuat secara langsung berdasarkan kesepakatan antara DJP dan PKP itu sendiri. Dengan host-to-host ini maka akan tersedia jaringan yang tersambung seperti LAN (Local Area Network) antara kedua belah pihak. Namun jalur host-to-host ini hanya tersedia untuk PKP Besar, yakni yang menerbitkan lebih dari 10 ribu Faktur Pajak dalam sebulan. Hal demikian ditujukan agar memberikan kemudahan kepada PKP Besar dalam membuat Faktur Pajak elektronik. Institution and Regime Characteristic. Direktorat Jenderal Pajak selaku pihak yang memiliki kewenangan untuk menentukan PKP yang diwajibkan membuat Faktur Pajak elektronik dalam prosesnya melihat kesiapan dan kesanggupan PKP itu sendiri. Direktorat Jenderal Pajak tidak secara sepihak menentukan dan menetapkan tanpa melihat keadaan PKP tersebut. Namun, DJP melakukannya dengan mengundang dan melakukan sosialisasi dan piloting. PKP akan dipanggil melalui surat undangan untuk menghadiri sosialisasi dan simulasi. Dalam tahap penentuan PKP tersebut, Direktorat Jenderal Pajak mengundang PKP untuk dilakukan sosialisasi dan tahap uji coba. Hal ini bertujuan untuk memastikan adanya penyesuaian antara sistem elektronik PKP dengan aplikasi tersebut. Selanjutnya setelah PKP menyatakan kesanggupannya, maka ditetapkanlah para PKP tersebut dalam KEP136/PJ/2014 tentang Penetapan PKP yang diwajibkan membuat Faktur Pajak elektronik. Meskipun DJP terlebih dahulu memastikan kesanggupan PKP dalam menggunakan e-Faktur melalui Surat Pemberitahuan, penyampaian Surat Pemberitahuan tersebut dinilai terlalu berdekatan dengan tanggal mulai ditetapkannya kebijakan e-Faktur ini, yakni 1 Juli 2014. Dengan kata lain, penyampaian-penyampaian tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang berdekatan. Hal ini tentunya membuat ketidaknyamanan bagi PKP yang bersangkutan, karena tentunya PKP memerlukan waktu untuk mempersiapkan diri secara administrasi meskipun secara sistem elektronik sudah siap. Compliance and Responsiveness. Pelayanan Contact Center tersebut disediakan untuk para PKP yang telah diwajibkan menggunakan e-Faktur, sehingga semua masukan dan saran terkait regulasi maupun teknis aplikasi dapat disampaikan disini. Namun, pelayanan Contact Center ini dibuat secara khusus untuk 45 PKP tersebut dikarenakan mulai tahap kedua lingkup implementasi ini mulai meluas, sehingga diperlukan pemusatan. Oleh karena itu, tim e-Faktur selaku satuan yang berkaitan langsung dalam pembuatan dan pelaksanaan
Analisis implementasi..., Muhammad Imam Akbar, FISIP, 2014
kebijakan ini telah melakukan sosialisasi dan training terhadap Call Center Direktorat Jenderal Pajak. Hal ini dilakukan agar apabila nantinya Contact Center khusus e-Faktur telah dinonaktifkan, maka Call Center yang menangani pertanyaan-pertanyaan atau permasalah yang terjadi terkait e-Faktur tersebut. Dalam hal perbaikan dan pengembangan tersebut, DJP juga melihat kebutuhankebutuhan apa saja yang diperlukan oleh PKP. Tentunya dalam melakukan perbaikan tersebut DJP mengusahakannya dengan waktu yang singkat. Selain itu, aplikasi e-Faktur juga dilengkapi dengan fitur auto-update, yakni fitur yang memungkinkan aplikasi e-Faktur mengunduh pembaharuan terbaru secara otomatis setiap PKP menjalankan aplikasi tersebut. Ini ditujukan agar aplikasi e-Faktur selalu dalam keadaan yang terbaharui, sehingga perbaikan dan pembaharuan dari DJP tersebut dapat terintegrasi dalam sistem PKP.
2. Faktor Penghambat dan Faktor Pendukung Implementasi Kebijakan Tata Cara Pembuatan dan Pelaporan Faktur Pajak Berbentuk Elektronik berdasarkan KEP-136/PJ/2014 Dalam proses implementasi kebijakan e-Faktur terdapat beberapa faktor pendukung dan faktor penghambat yang dapat mempengaruhi kelancaran kebijakan ini. Faktor-faktor tersebut timbul baik dari pihak pelaksana kebijakan dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak dan KPP maupun kelompok sasaran yakni para PKP. Kedua faktor ini dapat mempengaruhi kelancaran implementasi kebijakan, sehingga memerlukan perhatian lebih lanjut. Faktor pendukung. Dalam hal ini, faktor yang menjadi pendukung secara garis besar adalah peran Direktorat Jenderal Pajak beserta KPP dalam melaksanakan sosialisasi. Sosialisasi merupakan hal yang sangat krusial dalam pelaksanaan kebijakan. Dengan adanya sosialisasi, pihak pelaksana kebijakan dapat memberitahukan latar belakang, tujuan, prosedur, serta hasil yang ingin dicapai melalui kebijakan tersebut kepada pihak kelompok sasaran. Pelaksanaan sosialisasi juga dapat mengukur sejauh mana respon dan daya tanggap dari pihak kelompok sasaran, dalam hal ini PKP. Sosialisasi yang dilakukan jauh sebelum diimplementasikan atau diterapkan ke kelompok-kelompok sasaran memungkinkan adanya persiapan oleh mereka. Selain sosialisasi, kesiapan pihak pelaksana kebijakan yakni Direktorat Jenderal Pajak turut mempengaruhi lancarnya kebijakan ini. Dengan memperhitungkan jumlah PKP yang terdaftar serta Faktur Pajak yang diterbitkan, DJP telah mempersiapkan infrastuktur yang dinilai cukup memadai hingga tahap akhir kebijakan ini akan dilaksanakan yakni pada 1 Juli 2016. Pihak DJP juga telah mempersiapkan infrastruktur lain yakni sebuah sistem DRC
Analisis implementasi..., Muhammad Imam Akbar, FISIP, 2014
(Dissaster Recovery Center). Sistem DRC ini bekerja bersamaan dengan sistem utama server dan berfungsi sebagai sistem alternatif. Apabila sistem utama DJP mengalami gangguan atau gagal secara sistem (sistem failure), DRC dapat langsung menggantikan sistem utama. Dengan adanya sistem DRC ini, kondisi di luar kendali yang dapat menyebabkan server DJP mati sehingga mengganggu jalannya pelaksanaan kebijakan dapat diatasi. Keinginan PKP untuk turut serta dalam melaksanakan semua prosedur ini dapat menjadi faktor penunjang jalannya kebijakan. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, tahap sosialisasi merupakan proses pengenalan dan transfer nilai-nilai yang ingin dicapai. Melalui proses sosialisasi PKP diharapkan mampu menyerap tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh DJP yang tentunya untuk mencari alternatif yang bertujuan baik bagi kedua belah pihak. Oleh karena itu, partisipasi aktif dari PKP sangat diperlukan dalam memperlancar jalannya kebijakan. Faktor penghambat. Daya tanggap dari pihak pelaksana kebijakan dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak dan KPP menjadi salah satu faktor yang dapat menghambat proses implementasi kebijakan e-Faktur ini. Layanan Contact Center yang disediakan oleh DJP dinilai kurang tanggap dalam menghadapi pertanyaan dan permasalahan yang diajukan oleh PKP. Kurangnya daya tanggap dalam melayani pertanyaan dan permasalahan dari PKP dapat memungkinkan terjadinya hambatan dalam upaya pemenuhan kewajiban PKP. Selain sosialisasi dan infrastruktur yang memadai, pelayanan terhadap pelanggan seharusnya juga ditunjang dengan baik. Apabila hal ini terus berlanjut, pelanggan dalam hal ini PKP akan menghadapi kesulitan dan pada akhirnya tidak mampu memenuhi kewajiban perpajakannya yang tentunya akan menjadi masalah cukup serius dalam pelaksanaan kebijakan. Dalam tahap sosialisasi dan piloting yang sebelumnya pernah dilakukan sering menemui hambatan, yakni pihak PKP yang datang menghadiri sosialisasi dan uji coba adalah karyawan bagian pajak (Tax staff) kurang memahami teknis aplikasi e-Faktur. Hal demikian tergolong masalah yang lumrah dikarenakan kurangnya pengetahuan karyawan tersebut tentang penggunaan teknis aplikasi yang baru. Namun setelah pihak DJP bertemu dan mengadakan konsultasi dengan karyawan bagian IT pihak PKP, permasalahan tersebut dapat dipahami. Keadaan ini menunjukan bahwa dari sisi user pun harus mempelajari dengan baik sistem aplikasi e-Faktur. Selain dari sisi user atau pengguna, sistem elektronik yang dimiliki perusahaan juga dapat menjadi faktor penghambat. Biasanya setiap perusahaan atau badan memiliki sistem elektronik yang disebut SAP (System Analysis and Program Development) yang berbedabeda. Keadaan demikian dikarenakan adanya kebijakan-kebijakan yang berbeda pula dalam
Analisis implementasi..., Muhammad Imam Akbar, FISIP, 2014
menentukan SAP masing-masing perusahaan. Namun permasalahan dalam penyesuaian sistem SAP pihak PKP dengan aplikasi e-Faktur bukan merupakan sesuatu yang menjadi penghalang pelaksanaan kebijakan ini. PKP diharapkan mampu melakukan penyesuaiannya sendiri, sehingga kewajiban perpajakannya dapat dipenuhi. Berkenaan dengan hal tersebut, pihak Direktorat Jenderal Pajak pun dalam merancang aplikasi e-Faktur ini menyediakan fitur-fitur yang diharapkan dapat membantu pihak PKP dalam membuat Faktur Pajak elektronik. Aplikasi e-Faktur ini dilengkapi dengan fitur exportimport. Dengan adanya fitur ini, PKP tidak lagi direpotkan dengan membuat Faktur Pajak satu persatu sehingga dapat melakukan efisiensi. Namun seperti yang dijelaskan sebelumnya, sistem SAP yang berbeda-beda dari tiap PKP dapat mempengaruhi jalannya kebijakan ini. Meskipun aplikasi e-Faktur telah dilengkapi dengan fitur yang dapat mempermudah PKP, tetapi jika sistem PKP tidak dapat menyesuaikan hal tersebut dapat menyebabkan hambatan.
Simpulan Berdasarkan hasil pembahasan, maka simpulan yang diperoleh sebagai jawaban penelitian adalah ditinjau dari Content of Policy implementasi Kebijakan Tata Cara Pembuatan dan Pelaporan Faktur Pajak Berbentuk Elektronik telah berjalan cukup baik. Kebijakan ini diterapkan sesuai dengan roadmap yang sebelumnya telah dirancang, dalam rangka pembenahan sistem administrasi PPN, terutama dalam pengawasan penerbitan Faktur Pajak dan melindungi PKP dari kasus Faktur Pajak fiktif. Efisiensi dan efektifitas yang dihasilkan dengan adanya kebijakan ini telah dirasakan oleh PKP yang telah diwajibkan membuat Faktur Pajak berbentuk elektronik, antara lain dalam hal pembuatannya, terdapatnya QR Code pada Faktur Pajak berbentuk elektronik sebagai pengganti tanda tangan basah dan PKP dapat mengajukan permohonan nomor seri Faktur Pajak secara online melalui website DJP atau melalui aplikasi e-Faktur. Selanjutnya dalam hal pelaporan, dengan dimanfaatkannya sistem elektronik, DJP memiliki record atas Faktur Pajak berbentuk elektronik beserta PPN yang terkandung di dalamnya, sehingga dapat mempermudah dan mempercepat proses pemeriksaan maupun permohonan restitusi oleh PKP. Sedangkan ditinjau dari Context of Implementation, implementasi Kebijakan Tata Cara Pembuatan dan Pelaporan Faktur Pajak Berbentuk Elektronik masih memiliki beberapa permasalahan. Dalam menetapkan PKP yang diwajibkan membuat Faktur Pajak berbentuk elektronik, DJP juga memperhatikan keadaan PKP terutama kesiapan dan kesanggupan secara sistem. Namun yang menjadi permasalahan adalah dalam pemberitahuan sosialisasi dan penetapan, PKP merasakan penyampaian-penyampaian tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang
Analisis implementasi..., Muhammad Imam Akbar, FISIP, 2014
berdekatan, sehingga hal demikian membuat ketidaknyamanan bagi PKP yang bersangkutan. Selanjutnya dalam hal pelaporan, DJP menyediakan Contact Center untuk para PKP yang telah diwajibkan menggunakan e-Faktur dan menyediakan fitur-fitur yang mempermudah PKP dalam pembuatan dan pelaporan Faktur Pajak berbentuk elektronik. Permasalahan yang timbul adalah masih banyaknya kendala terkait teknis aplikasi membutuhkan perbaikan dari pihak DJP. Selain itu, respon dari pihak DJP pun yang menyediakan Contact Center masih dinilai kurang menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh PKP. Faktor yang dapat menunjang kelancaran dalam pembuatan Faktur Pajak berbentuk elektronik antara lain adalah sosialisasi yang dilaksanakan lebih awal, persiapan infrastruktur, dan sistem elektronik DJP yang memadai. Dalam hal pelaporan, respon positif berupa dukungan dan keikutsertaan serta kerjasama dari PKP turut menjadi faktor pendukung kebijakan ini. Sedangkan, faktor yang dapat menghambat dalam pembuatan Faktur Pajak berbentuk elektronik adalah kesiapan PKP secara sistem elektronik yang memerlukan penyesuaian, sedangkan dalam hal pelaporan adalah daya tanggap DJP dalam melayani saran dan pertanyaan PKP yang kurang responsif.
Saran Berdasarkan simpulan yang telah disebutkan di atas, maka saran yang dapat diajukan penulis adalah sebagai berikut: 1. Saran terkait implementasi kebijakan tata cara pembuatan dan pelaporan Faktur Pajak berbentuk elektronik berdasarkan KEP-136/PJ/2014: a) Kebijakan Tata Cara Pembuatan dan Pelaporan Faktur Pajak Berbentuk Elektronik ini sebaiknya dilaksanakan berdasarkan segmentasi PKP yang sebelumnya telah dilakukan. Hal tersebut dikarenakan penetapan PKP berdasarkan segmentasi akan lebih berpengaruh terhadap penerimaan dari PPN. Bila penetapan PKP dilakukan berdasarkan regional seperti saat ini, belum tentu PKP yang diwajibkan menggunakan e-Faktur memiliki kontribusi yang tinggi terhadap penerimaan PPN secara nasional. Lain halnya bila dilakukan berdasarkan segmentasi PKP. PKP Besar yang tinggi kontribusinya terhadap penerimaan PPN tentunya akan merasakan kemudahan dengan Faktur Pajak elektronik ini, sehingga tujuan untuk mengamankan dan mengoptimalkan penerimaan PPN dapat lebih efektif. b) Sosialisasi dan ToT (Training of Trainer) kepada para Account Representative di KPP sebaiknya dilakukan dengan mengadakan simulasi dan pengenalan terhadap aplikasi e-Faktur bukan sekedar memberikan materi sosialisasi. Hal ini ditujukan
Analisis implementasi..., Muhammad Imam Akbar, FISIP, 2014
agar KPP dapat melaksanakan sosialisasi ke PKP yang terdaftar di wilayahnya dengan baik. 2. Saran terkait faktor penghambat implementasi kebijakan tata cara pembuatan dan pelaporan Faktur Pajak berbentuk elektronik berdasarkan KEP-136/PJ/2014: a) Dalam hal pemberitahuan dalam rangka sosialisasi dan penetapan PKP sebaiknya dilakukan jauh-jauh hari agar PKP yang bersangkutan dapat mempersiapkan diri. b) Dalam memasuki tahap kedua implementasi kebijakan ini, Direktorat Jenderal Pajak beserta KPP Jawa-Bali sebaiknya terus melakukan sosialisasi terhadap PKP di wilayahnya karena manfaat (benefits) dari kebijakan ini sesungguhnya dapat dirasakan apabila seluruh PKP telah menggunakan e-Faktur tanpa terkecuali.
Daftar Referensi Creswell, John W. (1994). Research Design: Qualitative & Quantitative Approaches. California: SAGE Publications Inc. Dye, Thomas R. (2008). Understanding Public Policy (11th Ed.). New Jersey: Pearson Education Inc. Mansury, R. (1999). Kebijakan Fiskal. Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan Perpajakan. Neuman, W. Lawrence. (2012). Metode Penelitian Sosial: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif (Edisi 7). Terjemahan Edina T. Sofia. Jakarta: PT Indeks. Nurmantu, Safri. (2003). Pengantar Perpajakan. Jakarta: Granit. Prasetyo, Bambang dan Lina Miftahul Jannah. (2005). Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Rosdiana, Haula dan Edi Slamet Irianto. (2012). Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Rosdiana, Haula dan Edi Slamet Irianto dan Titi Muswati Putranti. (2011). Teori Pajak Pertambahan Nilai ‘Kebijakan dan implementasinya di Indonesia’. Jakarta: Ghalia Wahab, Solichin Abdul. (1991). Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara. Jakarta: Bumi Aksara. Waluyo. (2011). Perpajakan Indonesia Edisi 10 Buku 2. Jakarta: Salemba Empat.
Analisis implementasi..., Muhammad Imam Akbar, FISIP, 2014