1
“Nilai dan Makna Kaligrafi Arab pada Masjid Al-„Atiq (Analisis Estetik)” Oleh : Saskia Soraya (180910070021) Program Studi Sastra Arab, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran ABSTRAK Kata kunci : Nilai, Kaligrafi Arab, Masjid Al-„Atiq. Skripsi ini berjudul “Nilai dan Makna Kaligrafi Arab pada Masjid Al„Atiq di Jakarta (Analisis Estetik)”. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kondisi bentuk fisik bangunan masjid Al-'Atiq yang memiliki nilai-nilai sejarah tinggi yang kurang mendapat perhatian pemerintah dan para peneliti terhadap masjid tersebut. Selain itu, unsur kaligrafi yang menjadi elemen estetik interior masjid tersebut, baik secara visual maupun secara substansial mengandung nilai dan makna yang menjadi bagian dari dakwah islamiyah bagi kesejahteraan umat manusia. Tujuan penelitian ini ialah untuk mengungkapkan nilai dan makna kaligrafi tersebut agar dapat menjadi bahan acuan dalam memahami seni kaligrafi Arab. Serta, membantu masyarakat dalam memahami kandungan nilai dan makna yang terdapat pada masjid Al-„Atiq. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif - analitik, dengan langkahlangkah observatif disesuaikan dengan sumber terkait sehingga data yang terdapat pada objek penelitian tersebut dapat dideskripsikan secara tuntas, kemudian dianalisis menggunakan pendekatan estetik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kaligrafi tersebut terdapat unsurunsur visual yang mengandung nilai estetik, antara lain : unsur bahan, bentuk, warna, dan tulisan. Dalam kaligrafi tersebut juga terungkap berbagai macam makna dari berbagai perspektif, antara lain : makna visual (terdiri dari : bahan, warna, dan bentuk), makna tekstual, makna filosofis, makna simbolik, serta makna kontekstual (terdiri dari : seni, budaya, dan religi). Selain itu, di dalam kaligrafi masjid Al-„Atiq juga terkandung nilai-nilai (nilai estetik, seni, religi, dan budaya). Sehingga, kaligrafi tersebut berguna sebagai media dakwah bagi umat, wadah kreativitas khususnya umat muslim, serta mengandung nilai yang memperkaya budaya bangsa. ABSTRACT Keywords : Value, Arabic calligraphy, Al-„Atiq Mosque This script is titled, “Sense and Value of the Arabic calligraphy at Al-„Atiq Mosque, Jakarta (Analysis Aesthetics)”. This research was motivated by Al-„Atiq mosque which has valuables historical, and less attention from government and another researchers to al-atiq mosque. Furthermore, the element of Al-„Atiq‟s
2
calligraphy art has an aesthetics interior elements which contained values and sense in visual and substantial that became a part of spiritual activity for human‟s life. The purpose of this written is to revealed the values and meaning of the calligraphy so it would become the source to understand the contain of values and meaning of Al-„Atiq‟s calligraphy. This research used analytic descriptive method, and observation steps which adapted to connected sources so the data on the research object can be described clearly, then analyzed using aesthethic. The results of this researches is indicated that the calligraphy contents the aesthetics points in visual elements, which are : compositions elements, shapes, colors, and texts. Many kind of meanings from many perspective is revealed in this calligraphy, they are : visual sense (consist of : ingredients, colors, and shapes), textual sense, philosophy sense, symbols sense, contextual sense (consist of : art, culture, and religion). Besides, calligraphy of Al-„Atiq Mosque contained elements : aesthethics, art, spiritual, and culture. So the calligraphy can be used as a place for people‟s spiritual activity, creativity especially moslems, also increase culture‟s wealth. Bab 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Secara umum kaligrafi mengandung pengertian seni menulis indah atau tulisan indah. Kaligrafi Arab atau yang biasa dikenal dengan khaṭ, menurut Aklaman dalam perkembangannya
erat
sekali
dengan
dunia
Islam
(Dalam
http://kaligraficantik.wordpress.com/, diakses pada 23/09/11). Bahkan, khaṭ terkenal sebagai suatu ekspresi estetis dari Alquran. Khaṭ sebagai salah satu seni tidak hanya memiliki nilai estetis (keindahan), tetapi juga mengandung makna-makna khusus serta nilai-nilai yang mencakup kehidupan bermasyarakat. Seiring dengan penyebaran Islam ke Indonesia khaṭ merupakan salah satu budaya Islam diadaptasi. Hal ini dapat ditemui pada masjid Al-„Atiq di Jakarta. Masjid ini memiliki keistimewaan dari sisi historis yang ikut berkontribusi dalam penyebaran Islam di Jakarta pada masa VOC. Tidak heran jika beberapa arsitekturnya memiliki nilai historis cukup tinggi. Bahkan, salah satu kaligrafinya diperkirakan mencapai ratusan tahun (hasil wawancara, pada 30/12/11). Meskipun begitu, masjid ini jauh dari perhatian peneliti dan pemerintah. Padahal jika digali lebih lanjut
3
kaligrafi pada masjid ini yang merupakan sebagai hasil transformasi budaya Arab dan budaya setempat mengandung nilai kehidupan dan makna mendalam. Sehingga, penulis merasa perlu meneliti unsur-unsur, makna-makna, serta nilai-nilai dalam kaligrafi masjid tersebut yang dituangkan dalam penelitian ini, yang berjudul : “Nilai dan Makna Kaligrafi Arab pada Masjid Al-„Atiq (Analisis Estetik)”. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Nilai dan Makna Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia. Menurut Simon, nilai adalah ide, bisa dikatakan konsep dan bisa dikatakan abstraksi (dalam Tim Dosen Kewarganegaraan, 2007: 20). Untuk melacak sebuah nilai harus melalui pemaknaan terhadap kenyataan lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, makna ialah maksud pembicara atau penulis; pengertian yg diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan (2008: 864). Sedangkan menurut Djajasudarma (2009 : 3), makna pengertian disebut juga dengan tema, yang melibatkan ide, atau pesan yang dimaksud. Estetik Estetika berasal dari bahasa Yunani Aesthesis, yang berarti perasaan atau sensitivitas (staff.uny.ac.id/system/PENILAIAN_SUBYEKTIF_pdf, diakses pada 22/03/12). Estetika erat sekali hubungannya dengan selera perasaan atau taste dalam bahasa Inggris (staff.uny.ac.id/system/PENILAIAN_SUBYEKTIF_pdf, diakses pada 22/03/12). Ilmu estetika adalah suatu ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan, mempelajari semua aspek dari apa yang kita sebut keindahan (Djelantik: 1999, 9). Sedangkan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk mengenal keindahan tersebut disebut estetik (2008: 382). Yang dimaksud dengan konsep keindahan adalah jika sesuatu di dalam jiwa kita dapat menimbulkan rasa senang, rasa puas, rasa aman, nyaman, serta bahagia (Djelantik: 1999, 4). Suatu
4
benda dikatakan indah bila memenuhi unsur-unsur estetika yang mendasar, antara lain : wujud atau rupa (Appearance); bobot atau isi (content, subtance); penampilan, penyajian (presentation). Kaligrafi Arab Pengertian kaligrafi secara bahasa ialah, ungkapan dari Bahasa Inggris yang disederhanakan, calligraphy yang berasal dari Bahasa Latin calios yang berarti „indah‟, dan graphos yang berarti „tulisan‟ (Sirojuddin, 2000). Dalam Bahasa Arab disebut juga
„tulisan indah‟. Secara etimologis khaṭ adalah menulis
dengan pena, tulisan, jalan yang memanjang, lorong, garis,
seni tulisan,
kaligrafi (Loekman:1983:10). Definisi kaligrafi lengkap dikemukakan oleh Syamsuddin Al-Akfani di dalam kitabnya, Irsyad Al-Qasid (dalam Sirojuddin, 2000: 3) , sebagai berikut : “Khaṭ adalah suatu ilmu yang memperkenalkan bentuk-bentuk huruf tunggal, letak-letaknya dan cara-cara merangkainya menjadi sebuah tulisan yang tersusun; atau apa-apa yang di atas garis-garis, bagaimana cara menulisnya dan menentukan mana yang tidak perlu ditulis; mengubah ejaan yang perlu digubah dan menentukkan cara bagaimana untuk mengubahnya.” Secara terminologi, Yaqut Al-Musta‟shimi (dalam Sirojuddin, 2000: 4-5), kaligrafer kenamaan Turki Utsmani memandangnya dari sisi keindahan rasa yang dikandungnya, sehingga ia mendefinisikannya sebagai “seni arsitektur rohani, yang lahir melalui perabot kebendaan.”. Jenis tulisan Arab yang telah populer dan baku ada delapan macam, menurut Ali Akbar (1992) adalah sebagai berikut: 1. Naskhī, bentuk Naskhī sendiri cenderung geometris, tanpa macam-macam struktur yang kompleks. 2. ṡuluṡi, lebih bersifat monumental, jenis ini biasa dijadikan sebagai dekorasi berbagai manuskrip dan hiasan dinding pada sebuah bangunan.
5
3. Fārisī (Ta‟liq), ciri utama dari jenis ini adalah hurufnya yang agak condong ke kanan, sedangkan lebar hurufnya terkadang tidak sama. 4. Diwāni, tulisan ini digunakan pada surat-surat resmi di kantor-kantor kerajaan Uṡmani, kini berfungsi sebagai hiasan. 5. Jali Diwāni, jenis ini mewakili corak hias yang berlebihan dan lebih menonjolkan segi dekoratif dibanding segi ejaannya. 6. Riq‟ī atau Riq‟ah, adalah bentuk tulisan yang cepat dan lebih cenderung kearah stenografi. 7. Kufi, Tulisan ini digunakan sebagai hiasan masjid, gedung-gedung pemerintahan Abbasiyah. 8. Rayhani, tulisan ini dilengkapi dengan varisasi hiasan. Perkembangan Kaligrafi di Jakarta Masuknya agama Islam ke nusantara beiringan dengan masuknya seni dan budaya Arab salah satunya yaitu kaligrafi Arab. Kaligrafi Arab merupakan bentuk seni budaya Islam yang pertama kali ditemukan yang menandai masuknua Islam di Indonesia. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya makam Fatimah binti Maimun di Gresik
(wafat
495
H/1082
M)
yang
menggunakan
khat
Kufi
(http://kaligraficantik.wordpress.com/, diakses pada 23/09/11). Sejarah perkembangan kaligrafi Arab di Jakarta tidak dapat dipisahkan dengan penyebaran dan perkembangan Islam di nusantara dan di Jakarta khususnya. Jayakarta (Jakarta) yang saat itu berada di bawah kepemimpinan para penguasa Islam membuat penyebaran agama Islam berkembang pesat. Kegiatan penyebaran agama Islam dilakukan di wilayah Bandar Sunda Kelapa, pada saat itu merupakan pintu gerbang imigran yang hendak melakukan perniagaan. Namun, sejak runtuhnya Jayakarta maka kegiatan penyebaran agama Islam berpindah ke Kampung Melayu dan wilayah Jatinegara sekitarnya (http://merlinasuid.blogspot.com/, diakses pada 25/09/11). Penyebaran agama Islam di Jakarta disebarkan dengan melakukan berbagai cara seperti kegiatan kesenian dan kebudayaan, salah satunya ialah kaligrafi
6
Arab. Adanya berbagai peristiwa yang terjadi di Jayakarta relatif berpengaruh terhadap kegiatan dakwah Islamiyah dan perkembangan budaya Islam di Jakarta pada abad ke-17. Latar Belakang Historis Masjid Al-„Atiq Kata Al-‟Atiq pada nama masjid ini diambil dari Bahasa Arab, pada kamus AlMunawwir Arab-Indonesia berarti „antik‟ (Munawwir, 1997: 893). Masjid ini dinamai Al-‟Atiq, secara lisan diyakini bahwa masjid ini sebagai masjid tertua yang ada di Kampung Melayu Besar dan sekitarnya (Hasil wawancara, 06/10/11). Masjid yang letaknya di Jalan Masjid I, Kampung Melayu Besar, Tebet, Jakarta Selatan ini tergolong masjid tua. Persisnya kapan masjid ini didirikan memang masih simpang
siur,
berdasarkan
arsip
yang
ada
di
masjid
Al-„Atiq
(Arsip
no.09/M.A./1981:1) tertulis bahwa masjid ini didirikan kurang lebih tahun 1670 M, oleh sekelompok kaum muslimin yang hijrah dari daerah yang diduduki VOC Belanda yang merebut Jayakarta pada tahun 1619 M. Pada versi lain menyebutkan bahwa masjid Al-„Atiq dibangun sekitar awal 1500-an yang merupakan peninggalan Sultan Banten I, kesultanan Banten Lama, Sultan Maulana Hasanudin ketika melakukan kunjungan ke Batavia (Sajadah, Juni,2006: 66). Masjid ini diperkirakan dibangun ketika masa Walisongo berkiprah di wilayah Jawa. Diindikasikan, bahwa sejak zaman dahulu, bahwa masjid ini sering digunakan sebagai tempat singgah para pejuang (Sajadah, Juni,2006: 66). Dengan begitu, dalam perjalanannya masjid Al-„Atiq telah menorehkan peranan penting bagi perkembangan agama Islam di Jakarta. Seiring dengan perkembangan waktu masjid Al-„Atiq sudah melakukan berulang kali pemugaran. Di tahun 1975 atas perintah gubernur Jakarta saat itu yaitu Ali Sadikin, masjid ini dipugar dan digantikan dengan beton (hasil wawancara, pada 06/10/11). Namun, masjid ini masih mempertahankan bentuk aslinya yan memiliki kemiripan dengan masjid di daerah Jawa pada zaman Walisongo yaitu pada bagian atap masjid yang memiliki 3 susun.
7
BAB 3 PEMBAHASAN Analisis Unsur dan Makna Kaligrafi Masjid Al-„Atiq
Gambar 3.1. Kaligrafi di sebelah barat segmen satu, kiri. (Sumber : dokumentasi pribadi, 2011) Bunyi teks : Muḥammad
Gambar 3.2. Kaligrafi di sebelah barat segmen satu, kanan (Sumber : dokumentasi pribadi, 2011) Bunyi teks : Allah
Kaligrafi yang berlafaz „Allah bermakna nama yang menunjuk kepada Dzat yang wajib wujud-Nya, yang menguasai seluruh hidup dan kehidupan, serta seharusnya kepada Dia-lah seluruh mahluk mengabdi dan memohon (Shihab, 2006: 22). Kemudian, pada kaligrafi berlafaz „Muḥammad‟ secara bahasa berasal dari kata
ḥamada yang berarti “dia yang terpuji”. Lafaz „Muḥammad‟ dalam kaligrafi tersebut mengacu kepada Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib, yaitu Rasulullah SAW merupakan sosok yang telah mencapai puncak akhlak yang agung. Segala perilaku dan akhlak terpuji dan mulia terdapat dalam sosok beliau, tata krama beliau yang terpuji, perubahan dan revolusi yang beliau cetuskan di seanterao dunia khususnya di Hijaz dan jazirah, serta sabda-sabda beliau yang mulia berkenaan dengan tauhid, sifat-sifat Allah, hukum halal dan haram, dan nasihat-nasihat beliau. Dalam aspek filosofis penempatan kaligrafi yang berlafaz „Allah‟ di sebelah kanan, kemudian lafaz ‟Muhammad‟ pada sebelah kiri bermakna ke-Maha Muliaan serta keutamaan Allah dalam setiap aspek kehidupan. Menurut Luthfi (2011), kaligrafi ini dibuat sekitar tahun 2010. Kaligrafi ini tergolong kaligrafi yang paling baru dibuat diantara kaligrafi lainnya pada masjid Al-
8
„Atiq. Posisinya terletak di sebelah barat bagian bawah, tepat serong kiri dan kanan atas mihrab. Kedua kaligrafi di atas menggunakan jenis khaṭ ṡuluṡi. Kaligrafi ini berbahan dasar marmer dan alumunium cor. Bahan marmer memiliki karakter yang awet, dingin, bersifat monumental, dan mewah. Menurut pengurus masjid (Wawancara, pada 30/12/11), penggunaan marmer bertujuan agar lebih awet dan mudah dibersihkan ketika banjir melanda masjid ini. Selain itu, menggunakan bahan alumunium cor pada bagian hurufnya untuk memberikan kesan mewah pada kaligrafi dan arsitektur masjid tersebut. Kaligrafi di atas didominasi oleh warna hijau pada latarnya, warna perak pada huruf, dan warna kuning pada outline. Warna ialah komunikasi non verbal yang memiliki makna. Makna pada warna dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu makna simbolis, dan makna psikologis (Jeanne, 2004:75 dalam Rastati, 2008 : 99). Warna hijau yang identik dengan Islam makna simbolisnya yaitu tanaman, pohon, dedaunan, dan hutan. Sedangkan, makna psikologis hijau ialah pertumbuhan, pembaharuan, keseimbangan, harmoni, dan lingkungan (http://desktoppub.about.com, diakses pada 9/12/11). Warna psikologisnya yaitu keindahan alam, kesegaran, keabadian, kesucian, dan kehidupan baru (Retno Wulan, 2006 : 134). Warna perak pada huruf kaligrafi bermakna simbolis yaitu logam perak (Rastati, 2008 : 27). Warna ini memiliki makna psikologis yaitu kemewahan, kemuliaan, dan keseriusan (Retno Wulan, 2006 : 135). Warna terakhir ialah warna kuning. Warna ini melambangkan sinar matahari atau matahari. Makna psikologisnya adalah kebahagiaan, bersifat ceria, dan harapan (http://desktoppub.about.com, diakses pada 9/12/11). Kedua kaligrafi di atas menggunakan bentuk lingkaran yang termasuk ke dalam bentuk geometris yang simetris. Lingkaran merupakan lambang dari keabadian. Bentuk ini menunjukkan makna kekuatan, kesempurnaan, kesatuan, keseimbangan, serta sesuatu yang tak berbatas (http://www.vanseodesign.com/, diakses pada 25/12/11). Dalam hal ini, bentuk dan warna merupakan presentasi dari sifat-sifat Allah dan Muhammad yang merupakan kandungan kaligrafi.
9
Gambar 3.3. Kaligrafi di sebelah barat segmen dua (Sumber : dokumentasi pribadi, 2011) Isi teks : Artinya : “Wahai Dzat Pembuka pikiran, bukakanlah bagi kami pintu-pintu kebaikan”. Makna yang terkandung pada kaligrafi di atas (gambar 3.3) ialah tentang permohonan kepada Allah. Pada potongan kalimat : “Wahai Zat Pembuka pikiran…” mengandung makna, bahwa permohonan tersebut ditujukkan kepada Allah SWT. Dia yang membuka segala hal yang tertutup (Shihab, 2006: 110). Kemudian, makna potongan kalimat selanjutnya : “…bukakanlah bagi kami pintu kebaikan”. Makna yang terkandung di dalamnya adalah permohonan yang mengharapkan kepada Dzat yang Maha Pembuka pintu (Allah SWT) agar membukakan segala sesuatu yang tertutup, menyangkut sebab-sebab perolehan yang mereka harapkan, baik material maupun spiritual. Posisi kaligrafi ini terletak di sebelah barat bagian bawah, tepat di atas mihrab masjid. Menurut pengurus dan tokoh agama setempat (2011), tidak diketahui kapan kaligrafi ini dibuat dan oleh siapa, namun diyakini bahwa kaligrafi ini merupakan kaligrafi tertua yang terdapat pada masjid tersebut. Kaligrafi ini menggunakan jenis khaṭ ṡuluṡi. Kaligrafi di atas menggunakan konsep cermin (mirror), sehingga teks tersebut dapat dibaca dari kanan ataupun kiri. Karena kerumitannya menurut tokoh setempat, teks kaligrafi ini baru bisa terbaca sekitar tahun 2007 (Hasil wawancara, pada 06/10/11). Kaligrafi tersebut menggunakan bahan dasar kaca patri yang menyerap sinar secara beragam. Sehingga, keindahan dan keelokan warna-warni kacanya akan
10
memantulkan efek yang indah ke dalam ruang dengan begitu lembut, sejuk, dan terasa nyaman untuk dinikmati. Warna yang mendominasi kaligrafi tersebut ialah warna hijau pada bagian latar, kemudian warna coklat pada huruf, warna emas pada garis huruf, serta warna hijau dan kuning pada bagian lis dan outline. Makna simbolis hijau adalah tanaman, pohon, dedaunan, dan hutan (Retno Wulan, 2006: 134). Sedangkan, makna psikologisnya adalah pertumbuhan, pembaharuan, keseimbangan, harmoni, dan lingkungan (http://desktoppub.about.com, diakses pada 9/12/11). Kemudian, warna coklat melambangkan tanah. Makna psikologis dari warna coklat adalah kesehatan, alam, kesetiaan, keramahan, rasa hangat, dan kepercayaan (http://desktoppub.about.com, diakses pada 9/12/11). Selanjutnya ialah warna kuning yang melambangkan sinar matahari atau matahari. Kuning memiliki makna psikologis yaitu kebahagiaan, bersifat ceria, dan harapan (http://desktoppub.about.com, diakses pada 9/12/11). Warna terakhir ialah warna emas yang memiliki makna psikologis yaitu kekayaan, kemakmuran, kecerahan, keceriaan, serta kemegahan (http://desktoppub.about.com, diakses pada 9/12/11). Kaligrafi di atas berbentuk seperempat lingkaran yang letak satu dengan lainnya berdekatan. Sehingga kaligrafi tersebut membentuk setengah lingkaran. Bentuk setengah lingkaran dalam Islam melambangkan kubah masjid, sehingga bentuk setengah lingkaran identik dengan Islam. Dalam hal ini, warna dan bentuk merupakan salah satu unsur estetis yang merepresentasikan kandungan kaligrafinya. Kaligrafi ini terdapat beberapa kesalahan dalam penulisan ditinjau dari ilmu Imla‟. Teks yang tercantum dalam kaligrafi tersebut :
Kesalahan berada pada kata seharusnya pada huruf „alif‟ menjadi
terdapat kekurangan huruf „hamzah‟ ( ), kedua terdapat „hamzah‟
di atasnya sehingga
. Selanjutnya, kesalahan penulisan terdapat pada kata
seharusnya pada huruf „alif‟ ( pertama terdapat „hamzah‟
,
di atasnya, sehingga
11
menjadi
. Kesalahan berikutnya, terdapat pada kata
„alif-lam‟ ( ), seharusnya di depan kata menjadi
yaitu kurangnya huruf
terdapat huruf „alif-lam‟ ( ), sehingga
. Berikut adalah kalimat kaligrafi yang telah diperbaiki oleh penulis :
Artinya : “Wahai Zat Pembuka pikiran, bukakanlah bagi kami pintu-pintu kebaikan.” Nilai-nilai yang Terkandung dalam Kaligrafi Arab Masjid Al-„Atiq 1.
Nilai Estetik Untuk melakukan penilaian estetik seseorang harus menilai kualitas karya
tersebut secara visual dan abstraksinya, kemudian baru setelah itu ia akan mendapatkan pengalaman estetik tersebut. Nilai estetik selain terdiri dari keindahan sebagai nilai yang positif kini dianggap pula meliputi nilai yang negatif yang meliputi kejelekkan
(ugliness)
(staff.uny.ac.id/system/PENILAIAN_SUBYEKTIF_pdf,
diakses pada 22/03/12). Berdasarkan aspek estetik kaligrafi ini telah memenuhi tahapan pertama penilaian estetik yaitu memiliki unsur-unsur visual berupa bahan, warna, dan bentuk. Jelas kaligrafi pada masjid tersebut memiliki nilai estetik. Namun, tidak semua kualitas unsur di dalam kaligrafi tersebut memiliki nilai positif. Seperti pada unsur bentuk kaligrafi saja hampir keseluruhan bentuk yang digunakan pada kaligrafi tersebut ialah bentuk geometrik yang cendering teratur, sehingga memberi kesan keseimbangan (balance). Bentuk geometris ini memberikan pengalaman yang monoton dan terlihat kaku. Selain itu dalam unsur warna kebanyakan warna yang digunakan
dalam
kaligrafi
masjid
tersebut
tidak
memperhatikan
konsep
keharmonisan. Suatu warna dapat dikatakan memiliki kombinasi yang harmonis, bila menggunakan kombinasi warna yang serumpun. Pada kenyataanya lebih sering kaligrafi pada masjid ini mengkombinasikan warna-warna kontras, seperti warna primer (merah, kuning, dan hijau) ataupun warna yang berbeda jauh intensitasnya sehingga kekontrasan tersebut terkesan berlebihan dan tidak terdapat kesenadaan di
12
dalamnya. Meskipun unsur-unsur yang dimiliki kaligrafi tersebut beragam, tetapi karya tersebut secara keseluruhan memiliki kesatuan (unity), sehingga menjadi suatu karya yang bernilai estetik. Walaupun kaligrafi-kaligrafi tersebut lebih terkesan monoton dan kontras yang berlebihan. Karya kaligrafi tersebut juga memiliki nilai lebih pada aspek makna simbolik dan filosofis mendalam yang saling berkaitan dengan unsur-unsur visual kaligrafi tersebut sehingga kaligrafi ini memiliki nilai tambah tersendiri dalam penilaian ditinjau dari bobot dan isinya. 2.
Nilai Seni Seni adalah hal-hal yang diciptakan dan diwujudkan oleh manusia yang dapat
memberi rasa kesenangan dan kepuasan, dengan penikmatan rasa indah (Djelantik, 1999 : 16). Kaligrafi merupakan buah pemikiran manusia tentang keindahan. Maka, kaligrafi merupakan bagian dari seni. Kaligrafi Islam bagi umat muslim berguna sebagai sarana mengembangkan pikiran dan kreativitas tentang keindahan tanpa harus meninggalkan nilai-nilai keislaman. Kebanyakan kaligrafi Islam, mengekspresikan keindahannya berupa halhal yang masih memiliki sangkut paut dengan Islam. Kaligrafi tersebut dapat dikatakan indah karena memiliki unsur-unsur kerupaan yaitu bahan, warna, tulisan dan bentuk. Unsur-unsur tersebut merupakan bagian dari dekorasi di masjid Al-„Atiq, sehingga memberikan nilai tambah bagi arsitektur masjid tersebut dan memberikan kepuasan dan kesenangan bagi apresiator. 3.
Nilai Religi Pada konteks ini, kaligrafi dan Islam merupakan hal yang saling berkaitan. Hal
tersebut menghapus anggapan bahwa Islam agama yang konservatif. Pada kenyataannya, Islam telah memberikan ruang bagi seni. Islam dengan ke-fleksibelannya membuat seni menjadi keislaman. Pada dasarnya Islam memanfaatkan peran kaligrafi sebagai seni dalam masyarakat untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam.
13
Cara ini memang efektif untuk berdakwah. Melalui kaligrafi, umat muslim bisa berekspresi, namun di sisi lainnya mereka juga masih tetap bisa berdakwah. Hal ini terlihat dari kaligrafi Arab pada masjid Al-„Atiq yang menjadi bukti nyata bahwa seni dan Islam saling berkaitan. Di dalam kaligrafi masjid Al-„Atiq terkandung ajaran-ajaran Islam seperti hal-hal yang mengatur masalah ketauhidan dan kedudukan Allah dan Rasul-Nya. Dari kandungan-kandungan kaligrafi tersebut masyarakat dapat mengambil hikmah, teladan kehidupan, dan tuntunan hidup. Pada dasarnya, bagaimana pun isi dan medianya, tujuan kaligrafi tersebut kembali pada esensi awal yaitu sebagai sarana dakwah bagi umat Islam. 4.
Nilai Budaya Kaligrafi Arab yang telah menjelma sebagai hasil budaya Islam, telah menyebar
ke berbagai negara khusunya Indonesia. Hal tersebut beriringan dengan misi penyebaran agama Islam. Islam telah menularkan budayanya pada Indonesia salah satunya ialah seni kaligrafi Islam. Meskipun di Indonesia sendiri sudah memiliki keanekaragaman budaya. Namun, interaksi antara budaya ini berjalan dengan mulus. Hal tersebut dibuktikan dengan seni kaligrafi Islam di Indonesia yang telah diadaptasi pada kaligrafi masjid Al-„Atiq di Jakarta. Dalam kaligrafi tersebut terlihat jelas hasil penggabungan antara Islam dengan seni kaligrafinya dan budaya Eropa pada saat itu yang dibawa oleh Belanda. Yaitu dengan seni kaca patrinya yang diaplikasikan ke dalam kaligrafi masjid Al-„Atiq. Sehingga, kaligrafi memilliki nilai budaya yang memperkaya budaya bangsa Indonesia. Bab 4 PENUTUP Simpulan Dari hasil analisis data penelitian terungkap beberapa unsur visual yang berada pada kaligrafi masjid Al-„Atiq, yaitu : unsur bahan, unsur bentuk kaligrafi, unsur warna, dan unsur tulisan.
14
1. Makna tekstualnya : kaligrafi-kaligrafi tersebut mengandung makna tentang yang berkaitan dengan keislaman. 2. Makna visual, terdiri dari : makna bahan, makna warna, makna bentuk. Yang setiap unsur visualnya memiliki makna khusus
yang menggambarkan
karakteristiknya masing-masing. 3. Makna filosofis : kaligrafi pada masjid ini memiliki filosofis masing-masing yang berkaitan dengan kandungan kaligrafinya. 4. Makna kontekstual : kaligrafi di bidang seni, religi, dan budaya yang akan membentuk nilai-nilai. Nilai-nilai yang terkandung, yaitu sebagai berikut : a. Nilai religi. Kandungan kaligrafi tersebut berguna sebagai media dakwah umat Islam. b. Nilai seni. Kaligrafi pada masjid Al-„Atiq merupakan sarana mengekspresikan keindahan dan wadah berkreativitas umat muslim. Serta, merupakan dekorasi yang menambah keindahan arsitektur masjid Al-„Atiq. c. Nilai estetik, terdiri dari : Walaupun bila dilihat secara visual karya ini terkesan kurang menarik. Namun, berdasarkan bobotnya karyanya memiliki makna mendalam dan memiliki kesatuan antar unsur visual, maupun antara visual dengan unsur abstraksinya. d. Nilai budaya. Pada kaligrafi masjid Al-„Atiq, kaligrafi Islam telah diadaptasi oleh budaya setempat, Sehingga kaligrafi tersebut mengandung nilai yang memperkaya budaya bangsa. DAFTAR PUSTAKA Akbar, Ali. 1992. Kaidah Menulis dan Karya-Karya Master Kaligrafi Islam. Jakarta : Pustaka Firdaus. Djajasudarma, T. Fatimah. 2009. SEMANTIK 2-Pemahaman Ilmu Makna. Bandung : PT. Refika Aditama. Djelantik, A.A.M. 1999. Teori Estetika. Bandung : Masyarakat Seni Indonesia.
15
Loekman, Wahidin. 1983. Al Khath wal Imla`. Bandung : Jurusan Sastra Arab Unpad. Munawwir, A.W. 1997. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya : Pustaka Progressif. Rastati, Ranny. 2008. Penggunaan Warna Maskulin dan Feminin pada Hadiah Ulang Tahun anak-anak Jepang. Depok : FIB UI. Retno Wulan, Anda Rahayu. 2006. Makna Pembungkusan dalam Budaya Saling Memberi di Jepang. Depok : FIB UI. Shihab, M. Quraish. 2006. “Menyingkap” Tabir Illahi; Al-Asmâ‟ Al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur‟an. Jakarta : Lentera Hati. Sirojuddin A.R., D. 2000. Seni Kaligrafi Islam. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Tim Dosen Kewarganegaraan. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung : UPT Bidang Studi Universitas Padjadjaran. Tim Redaksi. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Sumber lainnya Http://desktoppub.about.com (diakses pada 9/12/11) http://kaligraficantik.wordpress.com/ (diakses pada 23/9/11) Http://merlinasuid.blogspot.com (diakses pada 25/9/11) Http://www.vanseodesign.com (diakses pada 25/12/11) staff.uny.ac.id/system/PENILAIAN_SUBYEKTIF_pdf (diakses pada 22/03/12) Arsip no.09/M.A./1981. Perihal : Sejarah Masjid Al-„Atiq Kampung Melayu Besar. Hasil wawancara dengan tokoh-tokoh setempat, pada 06/10/11. Hasil wawancara dengan Hj. Luthfi selaku ketua DKM masjid Al-„Atiq, pada 30/12/11.