ABSTRAK
Beberapa waktu belakangan ini, kerap terjadi tindak pidana terjadi namun bukan dilakukan oleh personenrecht melainkan oleh pelaksana kewajiban hukum lain yaitu badan hukum. Di Indonesia, kita dapat menyebut beberapa kasus tindak kejahatan yang dilakukan oleh korporasi seperti kasus pencemaran lingkungan hidup yang dilakukan oleh PT. Freeport di Papua, PT. New Mont di Teluk Buyat, Sulawesi dan PT. Minarak Lapindo Jaya dan kebocoran lupur di Sidoarjo. Semuanya menimbulkan kerugian yang tidak sedikit baik berupa materil maupun kerugian social. Dua yang disebut terakhir yang sering terungkap dipermukaan dan menjadi polemik, Beberapa LSM dan Lembaga Bantuan Hukum mengajukan gugatan, namun hanya diwilayah perdata kepada dua perusahaan tersebut. Kekalahan demi kekalahan dialami oleh pengacara dari LSM dan LBH tersebut. Hal itu dapat dikarenakan banyak faktor. Dan tentu kajian untuk menentukan faktor-faktor tersebut haruslah mendalam. Yang menarik dan menjadi perhatidan penulis adalah tidak ada satupun ada gugatan pidana yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini kejakasaan terhadap kasus-kasus tersebut. Padahal kasus tersebut dapat juga diselesaikan lewat jalur pidana, karena kasus-kasus yang terjadi jelas-jelas merugikan rakyat Indonesia. Tentu dengan menggunakan logika pertanggungjawaban pidana korporasi. Namun yang menjadi persoalan kemudian adalah pertanggungjawaban pidana korporasi merupakan sesuatu yang baru yang merupakan perluasan dari perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata yaitu doctrine respondeat superiors. Menurut paham ini bahwa dalam hubungan antara master dengan servan (Dewan Direksi / atasan dengan Pengurus / Bawahan) berlaku postulat atau maxim qui
facit per alium facit per se dengan arti bahwa seseorang yang melakukan perbuatan melalui orang lain dianggap dia sendirilah yang melakukan perbuatan itu. Sehingga pertanggungjawaban pidananya dapat dilekatkan pada orang yang menentukan / menyuruh lakukan perbuatan itu. Dalam korporasi atau perusahaan yang menentukan perbuatan atau segala tindak tanduk adalah mekanisme sistem dan kebijakan yang di tetapkan dewan direksi dan atasan dalam perusahaan. Terlebih dalam pidana ada beberapa konsep pertanggungjawaban pidana korporasi yang dapat dijadikan dasar dalam penghukuman, baik itu strict liability (pertanggungjawaban langsung) maupun vicarious liabity (pertanggungjawaban delegasi) dapat dijadikan dasar untuk melanjutkan kasus diwilayah perdata. Tulisan ini ingin menyajikan seluk beluk pertanggungjawaban pidana korporasi
tersebut
sekaligus
membandingkannya
dengan
konsep
pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam. Spesifikasi permasalahan yang penulis angkat bukan tentang pencemaran lingkungan hidup melainkan tentang dugaan korupsi ketiga mantan direktur Bank Mandiri, Tbk. Karena menurut penulis, selain kasus pencemaran lingkungan belum pernah diajukan dalam wilayah pidana, juga karena –setahu penulis- kasus yang memungkinkan di tarik kepada pemahaman pertanggungjawaban pidana korporasi adalah kasus dugaan korupsi tersebut. Lebih jauh, karena didalamnya putusan tersebut para saksi ahli hukum pidana menyinggung tentang keberadaan di mungkinkannya konsep pertanggungjawaban pidana korporasi bentuk vicarious liability. Karena kasus korporasinya tentang korupsi maka tentu hal tersebut penulis jelaskan berikut kemungkinan diterapkan sanksi jinayah dalam tindak pidana korupsi.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur hanya milik Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan taufiq-Nya yang tidak terhingga. Salam beserta shalawat senantiasa terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad saw, kepada keluarga, sahabat serta umatnya hingga akhir zaman. Alhamdulillah, karya ilmiah ini dapat penulis rampungkan. Setelah hampir setahun lamanya sejak pencarian data awal dan pengajuan judul. Semoga bakti kecil ini dapat menggambarkan kecintaan penulis yang luar biasa besar kepada Ibunda dan Ayahanda tercinta. Pada kesempatan ini izikanlah penulis memberikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah berjasa dalam masa perkuliahan penulis dan penyelesaian karya ilmiah ini, diantara mereka adalah : 1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum, Guru Besar sekaligus pembimbing penulis yang tetap semangat membimbing ditengah kesibukan Beliau yang sedemikian padat. 2. Dr., Yayan Sopyan, M.Ag Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan Fakultas Syari’ah dan Hukum. 3. Asmawi M.Ag., dan Sri Hidayati M.Ag., masing-masing sebagai Ketua prodi dan Sekretaris Jinayah Siyasah yang dengan sabar melayani kebutuhan penulis.
4. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membimbing penulis hingga dapat menyelesaiakan karya ilmiah ini. 5. Segenap pengurus Perpustakaan Syari’ah dan Hukum dan Pengurus Perpustakaan Utama. 6. Indonesian Corruption Watch yang dengan baik hati meminjamkan Putusan Pengadilan dan buku-buku yang berkenaan tema yang penulis angkat. 7. Ira Sahiroh Ma’fufah, S.Sos.i, pejuang feminim sejati yang tengah menyelesaikan studi S-2 UNPAD. Ingat bahwa segala jerih akan membuahkan hasil. 8. Sekretaris
Dekan
yang
selalu
tersenyum
dan
membantu
penulis
menyampaikan hasil tulisan kepada Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. 9. Guru-guru penulis, Kanda Fahmi M. Ahmadi, M.Si, Sang Sosiolog, Kanda M.Ainul Syamsul, Sang Pengacara Muda, Kanda Ihdi Karim Makin Ara, S.Hi, Silly Nursyahid, S.Hi atas segenap nasehat dan tuntunan. 10. Abang-abang penulis di HMI, Kanda Syarifuddin, S.Hi, Calon Hakim dari Medan, Kanda Jalaluddin Noor Harahap, S.Hi, Sarjana terbaik se-UIN, Kanda Iryad Maulana S.Ei,, Sang Enterpreneurship sejati, M.Isnur, S.Hi, pejabat Pengacara Publik LBH Jakarta, Kanda M.Said Lubis dan Ahmad “Elang” Muttaqin dua orang pemikir yang mencintai Kampus. Terima kasih atas dialektika yang luar biasa yang penulis dapatkan. Tak lupa untuk Asep Jubadillah dan Fadlika H.S. Harahap yang dengan kesungguhan hati membangun Komisariat setahun kemarin.
11. Saudara-saudara penulis di Lembaga Kajian dan Bantuan Hukum Mahasiswa Islam Muhamad Hafidz, M. Sidik, Teuku Mahdar A., M. Haris Barkah, Muliarto, 12. Faudzul Adzim, Hary Chandra, dan Sang Bungsu Ridho Akmal Nasution. Semoga silahturahmi ini tetap terjaga dan LKBHMI ini bisa menjadi LBH Ciputat. 13. Kawan-kawan Pidana Islam, Ahmad Zaelani, Sang Presiden Kecil dengan ide besar, Epi Sumantri dengan kekuatan semangat belajar yang tak pernah hilang, Hijrah Haris Fadillah yang telah berkenan menjual printernya dengan harga murah, Devidson “semoga dapat menjadi suami yang handal”, dan segenap angkatan Pidana Islam 2004. Maju terus pantang mundur. 14. Kawan-kawan KOMPAK, Bung Edy, Bakhtiar, cahaya, dkk, tetap semangat membangun ideologi anti kekerasan. Kepada segenap elemen yang pernah mengisi dan membentuk karakter penulis dan tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga hal tersebut tidak mengurangi penghargaan dan kecintaan penulis. Terima kasih.
Ciputat, 12 November 2008 M
Penulis
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ……………………………………………………………. i DAFTAR ISI ………………………………………………………………………iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……………………………………………………….. 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………………………………… 4 C. Tujuan Penelitian …………..………………………………………… 5 D. Tinjauan Pustaka ……………………………………………………… 5 E. Metode Penelitian …………………………………. ……………. …... 6 F. Sistematika Pembahasan ……………………………………………… 8
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI A. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi ………………………………..10 1. Perbuatan Pidana ; Actus Reus ...................................................... ..10 2. Kesalahan ; Mens Rea ………………………………………… .. ..13 3. Pertanggungjawaban Pidana ; Criminal Liability ……………...... 18 4. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi : Corporate Criminal Liability …………….. ……………………………………………26 a. Doctrine Of Strict Liability ………………………………… ..26 b. Doctrine Of Vicarious Liability ………………………………28
B. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Islam ……………………………. 31
1. Pertanggungjawaban Pidana Islam …………………………………31 2. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Islam ……………………. 34
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG TIDAK PIDANA KORUPSI A. Korupsi Dalam Hukum Positif …………………………………………38 1. Unsur Setiap Orang …………………………………………......... 44 2. Unsur Melawan Hukum ………………………………………….. 45 3. Unsur Memperkaya Diri Sendiri Atau Orang Lain ………….. ….. 46 4. Unsur Dapat Merugikan Keuangan Negara …………………. ….. 47 5. Unsur Penyalahgunaan Wewenang, Kesempatan, Atau Sarana Yang Ada Karena Jabatan Atau Kedudukan ……….. 48 B. Sariqah (Pencurian) …………………………………………………… 50 1. Pengambilan Secara Diam-Diam …………………………………. 54 2. Barang Yang Diambil Berupa Harta ………………………………. 55 3. Harta Milik Orang Lain ……………………………………………. 56 4. Adanya Niat Melawan Hukum Atau Kesengajaan …………………. 57 5. Adanya Unsur Khianat yaitu menentang kebenaran dan tidak Amanah ……………………………………………………………. 58
BAB IV ANALISA PUTUSAN A. Posisi Kasus …………………………………………………………… 61 B. Analisa Kasus …………………………………………………………. 66 1. Analisa Perbuatan Korupsi ………………………………….... 66
2. Analisa Putusan Hakim Mengenai Pertanggungjawaban Pidana Korporasi ……………………………………………… 84 3. Analisa Putusan Hakim Mengenai Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Islam ……………………………………….. 91
BAB V KESIMPULAN A. Kesimpulan ……………………………………………………………. 95 B. Saran-saran ……………………………………………………………. 97
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………. 98
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Badan hukum atau korporasi (rechtspersoon) adalah elemen pendukung hak dan kewajiban yaitu segala sesuatu yang menurut hukum dapat mempunyai hak dan kewajiban, sama seperti manusia.1 Aktifitas korporasi sekarang ada yang merugikan manusia dan membuka peluang digolongkan kepada perbuatan melawan hukum..2 Perbuatan pidana korporasi hanya memungkinkan menentukan siapa pengurus yang dimintai pertanggungjawaban pidana. Sering muncul kesulitan dalam menentukan pihak mana yang harus mengganti kerugian diantara pihak korporasi, direksi, pengurus atau bawahan. Terlebih, ketika jumlah kerugian yang muncu mencapai hingga ratusan atau milyaran rupiah.3 Kejahatan Korporasi (Corporate crime) meliputi : kecurangan dalam perdagangan, kejahatan perbankan, kelalaian dalam pembuatan obat dan makanan, penimbunan barang, pemalsuan mata uang dan dokumen, kecurangan dalam pembukuan, kejahatan lingkungan hidup. Termasuk didalamnya juga perbuatan korupsi.4 Kejahatan yang disebut terakhir, yaitu perbuatan pidana korupsi yang dilakukan atas nama korporasi jauh lebih besar nominalnya dibandingkan 1
Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung, Alumni, 1991) Cet. ke II, h. 4
2
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Buku Ketiga, Bab VIII mengatur tentang Perseroan Terbatas dan Bab IX mengatur tentang Badan Hukum. 3
Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafitti Pers, 2006), cet ke-1 h.27 4 Arief Amrullaah, Kejahatan Korporasi –The Hunt For Mega Profits And Attack Democracy- (Jawa Timur, Bayu Media, 2006)
perbuatan pidana korupsi yang dilakukan perorangan. Contoh, kasus penggelapan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dengan salah satunya pelakunya Sjamsul Nursalim (BDNI) yang memanipulasi uang negara sebesar Rp 26.369.524.999.800 dan U$ 96.700.000.5 Penerapan pertanggungjawaban pidana dalam korporasi kerap menemui kesulitan pada asas hukum, terutama menyangkut asas tiada pidana tanpa kesalahan (zeen strap zonder zchuld)6 karena tindak pidana tidak berdiri sendiri, tindak pidana baru bermakna apabila terdapat pertanggung jawaban pidana.7. Pertanggungjawaban
pidana
lahir
karena
adanya
celaan objektif
(vewijtbaarheid) kepada pembuat tindak pidana dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya. 8 Hukum Islam juga mengatur tentang pertanggungjawaban pidana sekalipun dalam penerapannya agak sulit. Namun sekalipun sulit untuk menarik konsep pertanggungjawaban hukum Islam ke dalam bahasan korporasi, hukum Islam
punya
bahasan
pertanggungjawaban
pidana
perorangan.
Pertanggungjawaban Islam perorangan dapat didefinisikan pembebanan seseorang
5 Edi Yunara, Korupsi Dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (tanpa tempat, PT. citra Aditya bakti, 2005) cet ke- 1 h. 84. atau Lihat majalah legal review no. 22/th ii 30 juni – 31 juli 2004. 6
Asas ini juga sering disebut dengan istilah tiada hukuman tanpa kesalahan. Asas ini dimulai lewat uraian an act does not make a person guilty unless the mind is guilty or actus non facit reum nisi mens sit rea. Lihat : Leden Marpaung, Asas Teori-Praktik Hukum Pidana (Jakarta, sinar grafika, 2005) Cet. ke-2 h. 9 atau Lihat : Farid, Hukum Pidana I, h. 42 7
Andi Zaenal Abidin Farid menegaskan bahwa ada beberapa unsur pembentuk pertanggungjawaban pidana. Yaitu kemampuan bertanggungjawab, kesengajaan, jenis kesengajaan, kehilafan kealpaan, kelalaian dan adanya tidak alasan pemaaf atau adanya alasan pembenar. Lihat : Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta, Sinar Grafika, 1995), Cet ke-h. 260-266 8
Celaan obejektif adalah celaan yang pada prinsipnya meliputi adanya sifat melawan hukum, persesuaian dengan delik dan adanya alasan pemaaf. Dikutip dari artikel Muhammad Ainul Syamsu, tentang dualisme tentang delik: sebuah kecenderungan baru dalam hukum pidana Indonesia.
dengan hasil (akibat) perbuatan (atau tidak ada perbuatan) yang dikerjakan dengan kemauan, dimana ia mengetahui maksud-maksud dan akibat-akibat dari perbuatan itu.9 Penelitian ini menyajikan keberadaan konsep pertanggungjawaban langsung atau tanpa kesalahan (strict liability) dan pertanggungjawaban delegasi (vicarious liability) dan pertanggungjawaban pidana hukum Islam yang mirip dengan konsep strict liability. Terkait permasalahan diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pertanggungjawaban korporasi yang menyangkut tentang korupsi. Analisa dilakukan tehadap putusan pengadilan untuk kasus korupsi oleh Direktur PT. Bank Mandiri Tbk. yang diduga merugikan negara senilai Rp. 160 Milyar. Penulis memberikan judul penelitian : Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Korupsi Dalam Hukum Islam Dan Hukum Positif (Studi Putusan Pidana Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No: 2068/Pid.B/2005/PN)
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana konsep pertanggungjawaban pidana korporasi serta bagaimana hukum Islam mengatur tentang pertanggungjawaban korporasi? 2. Bagaimana sesungguhnya tindak pidana korupsi diatur peraturan perundangundangan Indonesia dan bagaimana hukum Islam (Ta’zir) merumuskan tindak pidana korupsi?
9
Pertanggungjawaban pidana tersebut ditegakkan atas tiga hal, yaitu : adanya perbuatan yang dilarang; dikerjakan dengan kemauan sendiri; pembuatnya mengetahui terhadap akibat perbuatan tersebut.
3. Bagaimana sesungguhnya kasus korupsi ketiga mantan Direktur PT. Bank Mandiri sejauh mana dapat dijerat dengan asas pertangggungjawaban pidana korporasi? C. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menjelaskan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi serta bagaimana hukum Islam mengatur tentang pertanggungjawaban korporasi? 2. Menjelaskan tindak pidana korupsi diatur peraturan perundang-undangan Indonesia dan bagaimana hukum Islam (Ta’zir) merumuskan tindak pidana korupsi? 3. Menjelaskan korupsi ketiga mantan Direktur PT. Bank Mandiri sejauh mana dapat dijerat dengan asas pertangggungjawaban pidana korporasi? D. Tinjauan Pustaka Penelitian menelaah tema korupsi dan pertanggungjawaban pidana korporasi. Kekhususannya ada pada analisa putusan pengadilan tingkat pertama tentang dakwaan terhadap Mantan Direktur PT. Bank Mandiri terhadap dugaan penyalahgunaan uang sejumlah 160 Milyar yang sekarang sudah keluar putusan kasasi-nya.
Namun
penulis
memfokuskan
diri
hanya
pada
konsep
pertanggungjawaban pidana korporasi pada putusan Pengadilan Negeri mengingat terbatasnya kemampuan penulis. Berikut adalah daftar penelitian lain tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dan perbuatan korupsi yang penulis ketahui. 1. Penulis Sofwah Urwatil Wusqo dengan judul Kejahatan Korporasi : Tindak Pidana Kejahatan Korporasi Dalam Tinjauan Positif Dan Hukum Islam. Kode
perpustakaan 12.SJJS.2006.91.,
tujuan penelitian memahami kejahatan
korporasi dalam hukum positif dan hukum Islam. 2. Penulis Asep Hadi Tumdi Korupsi dengan judul Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Hukum Islam Dan Hukum Positif. Kode perpustakaan 166.SJAS.2000.61., tujuan penelitian memahami tindak kejahatan korupsi dalam hukum Islam dan positif 3. Penulis Sutrisno Korupsi dengan judul Usaha Pemberantasan Korupsi Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif. Kode perpustakaan 40. SJAS.2005.67., tujuan penelitian mengetahui usaha pemberantasan korupsi 4. Penulis Sulaiman dengan judul Korupsi : Studi Tindak Pidana Korupsi Dana Non-Budgeter Bulog (Analisa Putusan MA.RI. Reg.No.572 K/Pid/2003 Terhadap Ir. Akbar Tanjung). Kode perpustakaan PMH.2006.84., tujuan penelitian menganalisa kasus dakwaan korupsi terhadap Akbar Tanjung. Nilai orisinilitasnya penelitian ini, berdasarkan tinjauan pustaka diatas setidaknya ada pada dua hal. Pertama : pertanggungjawaban pidana korporasi dengan kefokusan pada term strict liability dan vicarious liability. Kedua, putusan pidana Pengadilan Negeri Jaksel No: 2068/Pid.B/2005/PN tentang dugaan kasus korupsi ketiga mantan Direktur PT. Bank Mandiri.
E. Metode Penelitian 1.
Pendekatan Penelitian Penelitian ini terdiri dari penelitian hukum normatif (penelitian hukum
kepustakaan). yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.10 Dalam penulisan penelitian ini ada tiga bab Inti. Yaitu pertama Bab II tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum pidana dan hukum Islam, kedua bab III tentang korupsi dalam hukum pidana dan hukum Islam, ketiga bab IV tentang analisa terhadap putusan hakim dengan menggunakan pisau analisa pertanggungjawaban pidana korporasi, perbuatan pidana korupsi serta hukum Islam.. 2. Sumber Data Dalam hal ini, data primer diperoleh dari Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan putusan pidana No: 2068/Pid.B/2005/PN.Jak.Sel. Sedangkan data sekundernya KUHP, UU No. 31 tahun 1999 korupsi dan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian digunakan juga data-data pendukung seperti tulisan-tulisan yang tersebar dan buku-buku dan jurnal-jurnal yang terkait dengan masalah ini. Data sekunder juga didapat dari media massa (koran, majalah, surat kabar) baik yang cetak maupun yang elektronik. 3. Teknik Dan Instrumen Pengumpul Data
10 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004), Cet. ke-8, h. 13
Data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan alat pengumpul data sebagai berikut : Bahan Hukum, terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. No : 2068/Pid.B/2005/PN.Jak.Sel. Sedangkan bahan hukum sekundernya adalah Peraturan Perundang-undangan yaitu KUHP, UU No. 31 tahun 1999 dan UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hasil penelitian pendapat para pakar bukubuku hukum serta catatan dan tulisan-tulisan lain yang mendukung dan memperjelas bahan hukum primer serta bahan hukum lain yang penulis dapatkan baik melalui penelusuran buku-buku yang berkaitan, surfing internet, artikelartikel, jurnal-jurnal, ataupun dari sumber lainnya. 4 . Metode Pengolahan Dan Analisa Data Data yang diperoleh dari putusan PN. Jaksel, hasil kajian bahan hukum, KUHP dan penelitian para pakar dan tulisan-tulisan yang berkenaan lainnya akan dianalisis dan ditinjau lebih jauh, dengan didukung oleh referensi lain yang memperkuat materi hukum. Sedangkan pengolahan akan menggunakan metode deskriptif analitis. Metode deskriptif analitis yaitu metode yang menggambarkan dan memberikan analisa terhadap kenyataan di lapangan yang diperoleh dari hasil dokumen hukum yang sah yaitu keputusan hakim juga dokumen-dokumen hukum para pakar dan peneliti hukum. Hal tersebut dilakukan dengan cara mengedit data yaitu memeriksa data yang terkumpul dan hal yang terkait dengan pertanggunjawaban korporasi sudah dipaparkan semua kemudian menyajikannya secara sistematis.
F. Sistematika Pembahasan Teknik Penulisan yang digunakan dalam skripsi ini mengacu kepada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2005.11 Adapun sistematika pembahasan sebagai berikut: Bab pertama, merupakan bagian pendahuluan atau berisikan pengantar, yang memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Bab kedua,
membahas tentang gambaran dari pertanggungjawaban
pidana korporasi. Lingkup kewenangannya dan gambaran umum penerapan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi termasuk dalam konsep hukum Islam. Bab ketiga, membahas ini yang di maksud dengan korupsi menurut hukum Islam dan hukum positif. Bahasan ini akan membagi kedalam sub bab : pertama ; membahas definisi, unsur dan sanksi korupsi menurut peraturan perundangundangan, kedua ; membahas definisi, unsur dan sanksi korupsi yang dikaitkan dengan sariqah (pencurian) dalam hukum Islam serta uqubah nya (hukumannya) masuk pada kategori Ta’zir dengan penambahan pada unsur ta/zir yaitu khianat. Bab keempat, merupakan bagian analisa. Diketengahkan posisi kasus, analisa konsep pertanggungjawaban korporasi berdasarkan prinsip strict liability dan vicarious liability termasuk juga pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum Islam. Bab kelima, adalah Penutup, terdiri dari pertama kesimpulan dan kedua saran-saran. 11 Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta, (Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2004). Cet ke-1. h. 1-7.
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
A. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Unsur pertanggungjawaban pidana korporasi meliputi
pertama adalah
adanya perbuatan, kedua adanya pertanggungjawaban pidana, ketiga terpenuhi unsur kesalahan korporasi. 1. Perbuatan Pidana, Actus Reus Perbuatan manusia dalam arti luas dapat diartikan mengenai apa yang dilakukan apa yang diucapkan (act), dan bagaimana sikapnya terhadap suatu kejadian (omission) atau perbuatan negatif.12 Van Hamel menyebutkan bahwa ”tidak melakukan sesuatu” itu pada umumnya tidak bertentangan dengan hukum, akan tetapi perilaku semacam itu akan bersifat melanggar hukum apabila ada suatu ”kewajiban hukum yang bersifat khusus”.13 Larangan itu ditujukan kepada perbuatan, yaitu pada keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang melakukan perbuatan itu.14
12
Leden Marpaung, Asas Teori Dan Praktik Hukum Pidana, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006) Cet. ke-3 h.31 13
Ibid., h.31
14 Contoh act adalah pasal 362 KUHP yang rumusannya antara lain: ”barang siapa mengambil sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebahagian kepunyaan orang lain....”, sedangkan contoh omission adalah pasal 164, 165,166 KUHP yaitu tentang kewajiban lapor jika ada kemungkinan terjadinya tindak kejahatan. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta, Rineka Cipta, 2002) Cet ke-7 h. 54
Perbuatan pidana dinyatakan sebagai yang merugikan masyarakat dan bertentangan dengan tata pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil.15 Namun tidak semua semua perbuatan yang merugikan masyarakat diberi sanksi. Begitu pula, kita tidak dapat menyebutkankan bahwa hanya perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian besar saja yang dapat dijadikan perbuatan pidana.16 Hukum pidana tak melarang adanya orang mati tetapi melarang adanya orang mati karena perbuatan orang lain.17 maka beraku postulat ”Kejadian tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang pun tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya”.18 Istilah ”perbuatan pidana” itu kerap disamakan dengan istilah dalam Belanda ”strafbaar feit”, padahal arti keduanya dalam term hukum pidana adalah berbeda. Simons menerangkan bahwa strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab. Van Hammel merumuskan sebagai berikut : strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan. Simons berkata bahwa strafbaar feit itu sendiri terdiri atas handeling dan gevolg (kelakuan dan akibat). Adapun mengenai yang kedua hal itu berbeda sekali dengan ”perbuatan pidana” sebab disini tidak dihubungkan dengan kesalahan 15
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana –Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana-, (Jakarta, Aksara Baru, 1983), h. 13 atau Lihat: Moeljatno, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Pidato dies natalies Universitas Gajah Mada tahun 1955, h. 9 16
Saleh Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, h. 13
17
Moeljatno, Asas-Asas Hukum, h. 54
18
Ibid., h. 54
yang merupakan pertanggungjawaban pidana bagi orang yang melakukan perbuatan pidana.19 Dalam konteks perbuatan pidana J.M. Van Bemmelen mengatakan bahwa yang pada umumnya harus dipandang sebagai suatu kejahatan adalah segala sesuatu yang merusak dan tidak susila.20 Friedman menyatakan bahwa perubahan nilai menyebabkan sejumlah perbuatan yang tadinya merupakan perbuatan tidak tercela dan tidak dituntut pidana berubah menjadi perbuatan yang dipandang tercela dan perlu dipidana.21 Dalam hukum pidana yang juga menjadi perhatian adalah sifat melawan hukum. Sifat melawan hukum dipandang ada dua : pertama, sifat melawan hukum formil yaitu sifat melawan hukum yang mencocoki sifat kekeliruan atau ketidaksusilaan dengan undang-undang. Kedua, sifat melawan hukum materil yaitu pendapat yang menyatakan bahwa belum tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki dengan undang-undang bersifat melawan hukum.22 Ada 5 elemen penyusun perbuatan pidana, yaitu : pertama adalah kelakuan dan akibat, kedua adalah hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai
19
Ibid., h. 56-57. Tentang kelakuan, Moeljatno sependapat dengan apa yang dikatakan Vos yaitu bahwa hanya sikap jasmani yang disadari sajalah yang masuk kualifikasi perbuatan pidana. 1. 2. 3.
Sikap jasmani yang orangnya sama sekali pasif yaitu tidak dikehendaki olehnya karena dipaksakan orang lain, tidak dimasukkan kedalam makna kelakuan. Gerakan refleks juga tidak dapat dinamakan kelakuan. Sikap jasmani yang diadakan dalam keadaan tidak sadar juga tidak dapat dinamakan kelakuan.
20
Rantawan Djanim, Korporasi Dan Pertanggungjawaban Pidana¸ (Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponogoro, 2006) cet. ke-1 h. 21
Rusli effendi, A.Z. Abidin Farid, Barny C.M., Masalah Kriminalisasi Dan Dekriminalisasi Dalam Rangka Pembahasan Hukum Pidana, Dalam BPHN-DepKeh, Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, (Bandung, Bina Cipta, 1986), h. 65. 22
Moeljatno, Asas-Asas Hukum, h. 133-134
perbuatan. Dimana menurut Van Hammel dibagi dua golongan yaitu : mengenai diri orang yang melakukan perbuatan dan mengenai diluar diri si pembuat. Ketiga adalah keadaan tambahan yang disebut dengan unsur-unsur yang memberatkan. Misal pasal 351 ayat 2 dan 3 KUHP tentang penganiayaan dengan pemberatan. Keempat adalah adanya perbuatan yang tertentu dirumuskan seperti dirumuskan maka sifat pantang dilakukannya perbuatan itu sudah nampak dengan wajar. 23 Ini yang kemudian dinamakan dengan sifat melawan hukumnya perbuatan, tidak perlu dirumuskan lagi sebagai elemen atau unsur tersendiri. Misal padal 285 tentang pemerkosaan. Dan yang kelima adalah sifat melawan hukum subjektif. 2. Kesalahan ; Mens Rea Dapat dipidananya seseorang, terlebih dahulu harus ada dua syarat yang menjadi suatu keadaan, yaitu pertama perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagai sendi perbuatan dan kedua perbuatan yang dilakukan harus dapat dipertanggungjawabkan sebagai sendi dari kesalahan. 24 Vos menjelaskan bahwa tanpa sifat melawan hukumnya suatu perbuatan tidaklah mungkin dipikirkan adanya kesalahan, namun sebaliknya sifat melawan hukumnya perbuatan mungkin ada tanpa adanya kesalahan.
25
Namun menurut
Moeljatno, menyatakan bahwa rumusan tersebut lebih baik dengan kalimat bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan atau tidak mungkin dijatuhi pidana kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana, tetapi meskipun melakukan perbuatan pidana dia tidak selalu atau belum tentu dapat dikenakan pidana.26 23
Ibid., h. 130
24
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1994) Cet ke-7 h. 135. 25
Ibid., h. 135.
26
Ibid., h 135.
Menurut Jonkers, kesalahan dibagi atas tiga bagian yaitu selain pertama kealpaan dan kesengajaan, meliputi juga kedua sifat melawan hukum dan ketiga kemampuan bertanggung jawab. Dari pandangan diatas terlihat bahwa pengertian tentang kesalahan tersebut diatas nampak sekali terselip elemen dari sifat melawan hukum. Pendapat ini sebenarnya bertentangan dengan pandangan mengenai elemen melawan hukum seharusnya terletak pada bidang perbuatan pidana. Vos memandang pengertian kesalahan mempunyai tiga tanda khusus yaitu : pertama kemampuan bertanggungjawab dari orang yang melakukan perbuatan; kedua hubungan batin tertentu dari orang yang berbuat yaitu perbuatannya itu dapat berupa kesengajaan atau kealpaan; ketiga tidak adanya dasar alasan penghapusan pertanggungjawaban bagi Si pembuat atas perbuatannya. Sedangkan menurut E. Mezger memandang pengertian kesalahan dengan:
pertama
kemampuan bertanggung jawab; kedua adanya bentuk kesalahan; ketiga tak adanya alasan penghapus kesalahan. Dahulu ada anggapan kesalahan dalam hukum pidana itu identik dengan kesengajaan atau kealpaan, akan tetapi lambat laun tumbuh pendapat yang mengatakan bahwa kesalahan bukan hanya terdiri dari kesengajaan atau kealpaan semata namun ada hal lain yang penting yaitu berupa kemampuan bertangung jawab dan unsur tidak adanya alasan pemaaf dan adanya alasan pembenar. Jonkers dan Pompe memandang bahwa kesalahan harus memenuhi syaratsyarat : pertama sifat melawan hukum, kedua mempunyai bentuk kesengajaan atau kealpaan, dan ketiga pertanggungjawaban pidana. Adakalanya isi kesalahan tersebut diatas dapat disimpulkan menjadi tiga bagian, yaitu : pertama tentang kemampuan bertanggungjawab orang yang melakukan perbuatan, kedua tentang hubunngan batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatan yang berbentuk
kesengajaan atau kealpaan, ketiga tentang tidak adanya alasan pengahapus kesalahan / pemaaf. Kesalahan dengan tiga bagian itu dapat dijumpai dalam buku hukum pidana karangan Vos dan Mezger, kedua ahli itu berbeda sedikit saja dalam merumuskan isi yang ketiga karena perbedaan penekanan, disatu pihak menekankan pada pertanggung jawaban, sedangkan dilain pihak menekankan pada kesalahan. Vos menyebutkan tiga macam isi kesalahan : pertama kemampuan bertanggung jawab orang yang melakukan perbuatan, kedua hubungan batin orang itu dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan atau kealpaan, ketiga tidak adanya alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban jawab terhadap perbuatan pada pembuat. Sedangkan Mezger menentukan tiga macam pengertian dalam kesalahan, yaitu pertama
kemampuan bertanggung
jawab, kedua bentuk kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan dan ketiga Alasan-alasan yang menghapus kesalahan. 27 Anak yang bermain korek api dipinggir rumah tetangga kemudian membakarnya, orang gila, dan dokter yang diminta membuat suatu keterangan dengan todongan pistol (pasal 276 KUHP) dikepalanya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana..28 Dengan demikian dapatlah kita temukan pengertian kesalahan, Menurut Prof. Mr. G.A. Van Hamel kesalahan adalah ketika seseorang melakukan perbuatan, dengan kesadaran aktif memiliki kehendak atas pebuatannya (tanpa paksaan) yang ia secara insyaf mengetahui bahwa perbuatan itu dilarang menurut ukuran masyarakat setempat (memiliki sifat melawan hukum). 27
Ibid., h 144
28
Moeljatno, Asas-Asas, h. 155-164
3. Pertanggungjawaban Pidana ; Criminal Liability Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian dijatuhi hukum pidana, sebagaimana telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah ketika melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan. Sebab asas dalam pertanggungjawaban pidana adalah: tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (zeen straf zonder schuld; actus non facit reum nisi mens sit rea).29 Menurut Moeljatno orang tidak mungkin dipertanggungjawabakan atau dijatuhi pidana kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun melakukan perbuatan pidana, tidak selalu ia dapat dipidana.30 Sedangkan Roeslan Saleh menyebutkan ”tetapi betapapun itu, aturan undang-undanglah yang menetapkan siapa-siapa yang dipandang sebagai pembuat yang bertanggungjawab itu. Satu kali telah ditetapkan bahwa seseorang adalah yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan pidana yang terjadi, maka langkah selanjutnya adalah menegaskan apakah ia juga memenuhi syaratsyarat yang diperlukan untuk pertanggungjawaban itu.”31 Andi Hamzah mengatakan bahwa melawan hukum adalah mengenai perbuatan yang abnormal secara objektif. Kalau perbuatan itu tidak melawan hukum berarti bukan perbuatan amoral dan pembuatnya tidak bersalah. Dapat dikatakan bahwa ada kesalahan jika pembuat dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan. Perbuatannya dapat dicelakan terhadapnya. Celaan ini bukan celaan
29
Ibid., h.. 153
30
Ibid., h.. 155
31
Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungan Jawab Pidana, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1982) h. 32
etis melainkan celaan hukum. Celaan obyektif dapat dipertanggungjawabkan kepada pembuat menjadi celaan subyektif.32 Menurut Chairul huda makna asas ”tiada pidana tanpa kesalahan” adalah ”tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan”. Dan menurut Chairul, bagaimana cara agar asas kesalahan ini dikonkretisasi dan tingkat kesalahannya yang dipersyaratkan tidaklah perlu sama untuk tiap delik. Dengan demikian, syarat dan isi kesalahan tidak perlu sama, terhadap pembuat pidana dengan subjek hukum manusia atau korporasi.33 Dengan demikian ternyata untuk adanya kesalahan terdakwa harus memenuhi empat unsur yaitu: pertama, melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum), kedua, diatas umur tertentu atau mampu bertanggung jawab, ketiga mempunyai suatu bentuk alasan yang berupa kesengajaan atau kealpaan, keempat tidak adanya alasan pemaaf. Sedangkan pertanggungjawaban pidana hanya melekat kepada seseorang yang memiliki kemampuan bertanggunjawab melakukan perbuatan pidana dengan kesalahan didalamnya serta ketiadaan adanya alasan pemaaf sebagai sifat kesadaran akal.
4. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi ; Corporate Criminal Liability Korporasi dapat dimasukkan kepada kategori yang khusus dalam hukum pidana.34 Chairul Huda mengatakan agar rumusan terhadap pidana korporasi tidak 32
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta, Rineka Cipta, 2004), cet ke-2, h.
130 33 Chairul Huda, “Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” Menuju Kepada “Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan”, (Jakarta , Kencana Prenada Media, 2006) cet ke2 h. 86 34
Ibid., h. 48
samar-samar maka perumusan korporasi sebagai subjek khusus hukum pidana sebaiknya dilakukan. kalau tidak Tentu hal tersebut cenderung bertentangan dengan asas legalitas.35 Tujuan perlindungan yang dituju oleh asas legalitas, bukan saja terhadap orang perseorangan tetapi juga korporasi. Van Strien mengatakan, sebagaimana dikutip oleh Chairul Huda bahwa tidak hanya manusia subjek hukum yang harus mendapatkan perlindungan dari pelaksanaan kekuasaan negara yang mempunyai kecenderungan tidak terbatas. Perlindungan yang sama juga harus diberikan kepada badan hukum”.36 Chairul Huda menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana korporasi dilakukan atas dasar kesalahan. Hanya saja isi kesalahan tersebut berbeda dengan subjek hukum manusia. Dasar dari penetapan dapat dipersalahkannya badan hukum ialah tidak dipenuhinya dengan baik fungsi kemasyarakatan yang dimiliki badan hukum. Indikator kesalahan bagi korporasi adalah ketika korporasi sudah melakukan kegiatan yang tidak mencerminkan hubungan baik dengan masyarakat dan kemasyarakatan. Hukum mengharapkan fungsi korporasi sebagai badan hukum seiring sejalan dengan fungsi korporasi dalam kemsayarakatan.37 Berkenaan dengan pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, menurut Reksodipuro, setidaknya terdapat tiga konsep, yaitu : pertama, pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang betanggung jawab, kedua korporasi sebagai pembuat dan pengurus juga bertanggungjawab, ketiga
35
Ibid., h. 48
36
Ibid., h. 48
37
Ibid., h. 85
korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.38 Menurut Sutan Remy Sjahdeini, ada dua konsep lagi yaitu keempat, korporasi sebagai pelaku tindak pidana, tetapi pengurus yang harus memikul beban pertanggung jawaban pidana. dan kelima pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana, dan keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.39 Pertanyaan akademis yang mucul kemudian bahwa bagaimana korporasi juga dapat menjadi pelaku pidana adalah: ”atas dasar teori atau falsafah pembenaran apa korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana? Adagium universitas delincruere non potest (korporasi tidak dapat melakukan perbutatan pidana) menurut asas keadilan bagi masyarakat dapat dikecualikan. Sudah sewajarnya asas kesalahan tidak berlaku murni. Maksudnya disamping asas kesalahan dianut pula konsep lain yang dapat mempertanggungjawabkan korporasi yang melakukan perbuatan pidana. Sebelum memasuki wilayah pembahasan pertanggungjawaban pidana korporasi secara spesifik kita lihat beberapa elemen pasal dalam UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan tentang UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Pasal 1 ayat (1) dan (3) UU No. 20 Tahun 2001 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
38
Reksodipuro, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Korporasi , (Semarang:FH UNDIP,1989). 39
Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta, Graffiti Pres, 2006) cet ke-1 h.59
3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi. Jelas dituliskan dalam pasal tersebut bahwa korporasi merupakan kumpulan orang yang terorganisasi baik berupa badan hukum maupun bukan badan hukum. Maksud penyataan tersebut adalah organisasi yang terdaftar di Pemerintahan (departemen hukum dan HAM atau departemen dalam negeri) atau yang tidak terdaftar namun ekssitensinya diakui masyarakat maka dapat disebut organisasi badan hukum. Bank mandiri selakuk perseroan terbatas masuk kepada kualifikasi badan organisasi berbadan hukum dengan melekatnya hak dan kewajiban sebagai badan hukum. 40 Sedangkan pasal yang spesifik bicara tentang tindak pidana korupsi oleh korporasi diatur dalam pasal 20 UU No. 20 Tahun 2001 Pasal 20 ayat (1), ( 2), (3), (4), (5), (6), (7) UU No. 20 Tahun 2001. 1. Dalam hal tindak pidana korupsi oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya. 2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan 40
Bank Mandiri sebagai badan usaha “bank” sebagai bank. Bank Mandiri harus tunduk pada peraturan perundang-undangan perbankan.Apabila tindakan direksi melanggar asas dan ketentuan perbankan, maka direksi dapat diminta pertanggungjawaban atas pelanggaran tersebut. Apabila pelanggaran peraturan perbankan terjadi karena direksi melakukan perbuatan melawan hukum atau perbuatan lain yang bersifat kepidanaan, direksi dapat diminta pertanggungjawaban pidana ; Meskipun Bank Mandiri merupakan PT. Terbuka, tetapi secara struktur, Bank Mandiri tetap sebagai sebuah “Persero” yang menjadi ciri bahwa Bank Mandiri adalah milik Negara. Perubahan-perubahan kepemilikan saham, apalagi saham negara menduduki jumlah terbesar dibandingkan dengan pemegang saham lainnya (posisi dominan), sama sekali tidak mengurangi status hukum Bank Mandiri sebagai BUMN yang mengelola kekayaan Negara. Dalam status yang demikian, direksi atau setiap orang yang bekerja pada Bank Mandiri demikian pula BUMN lainnya, tidak semata-mata melakukan fungsi keperdataan tetapi juga fungsi public yang menjalankan tugas pemerintahan pada Bank Mandiri sebagai BUMN. Lebih lanjut hal tersebut secara hukum mengandung arti bahwa direksi atau setiap orang yang bekerja pada BUMN seperti Bank Mandiri, berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan, karena itu kepada mereka dapat diberlakukan ketentuan-ketentuan mengenai penyelenggara pemerintah-an seperti ketentuan tentang pemberantasan korupsi ;
hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. 3. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus. 4. Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain. 5. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan. 6. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka pengilan untuk menghadap dan Penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor. 7. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu per tiga). Pasal 20 diatas menerangkan beberapa hal yang menurut penulis cukup penting yaitu ; Pertama, pada ayat (1) dinyatakan tuntutan dan penjatuhan pidana korporasi dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya. Kata “dan” dan “atau” antara kata “korporasi” dengan kata “pengurusnya” menunjukkan bahwa tuntutan dapat dijatuhkan kepada salah satu dari “korporasi”
atau
“pengurus koporasi” atau gabungan dari “korporasi dan pengurus korporasi”. Kata “dan” menunjukkan akumulasi atau penjumlahan sedangkan kata “atau” menunukkan pilihan. Penjelasan pasal 20 UU No. 20 Tahun 2001 Pasal 20 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pengurus” adalah organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan, sesuai dengan anggaran dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut
memutuskan kewajiban korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.Sedangkan ayat (3) menjelaskan bahwa dalam hal tuntutan pidana diatasnamakan korporasi maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurusnya. Seperti yang dikatakan Sutan Remy Sjahdeini dan reksodipuro bahwa – terlepas penggurus atau korporasi yang melakukan kejahatan- sesungguhnya keduanya dapat dijerat dengan hukum pidana. Kedua,sebuah tindak pidana korupsi dapat dijerat kepada wilayah pertanggungjawaban pidana korporasi ketika kejahatan tersebut dilakukan dalam hubungan kerja atau hubungan lain dalam lingkungan korporasi tersebut. Ketiga bahwa ayat (7) menyatakan bahwa hukuman pidana pokok hanya berupa denda dengan ketentuan maksimal pidana ditambah sepertiga. Dalam pasal 2 maksimal hukuman pidana hanya Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dengan asumsi ditambahsepertiga
maka
maksimal
hukuman
yang
dijatuhkan
adalah
1.400.000.000,00 (satu milyar empat satur juta). Hal ini menjadi problem tersendiri ketika kerugin yang terjadi lebih banyak dari itu. Dalam kasus E.C.W Neloe misalnya kerugian negara berjumlah 160. Milyar. Serasa tidak adil rasanya jika menggunakan sanksi pasal 2 tersebut. Korupsi merupakan bagian integral dari tata cara pengaturan keuangan negara maka dari itu penulis akan mengutip beberapa pasal yang terkait dengan penyelenggaraan keuangan negara. Definisi keuangan Negara menurut penjelasan UU No. 29 Tahun 2001 Keuangan negara yang dimaksud adalah Seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karenanya :
a. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat Negara, baik di tingkat pusat maupun daerah; b. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum,41 dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara. Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan masyarakat. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang
41 Bank Mandiri sebagai badan hukum keperdataan ; Sebagai badan hukum keperdataan, setiap badan hukum memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari pemegang saham, sebagai badan hukum keperdataan tindakan Terdakwa sebagai direksi memang dipertanggungjawabkan kepada (dalam) RUPS. Dengan demikian, setiap pemegang saham yang merasa dirugikan dapat meminta pertanggung jawaban direksi melalui RUPS. Apakah dengan demikian, seluruh pertanggungjawaban direksi semata-mata bersifat keperdataan ? sama sekali tidak. Apabila terbukti, direksi yang merugikan badan hukum karena penyalahgunaan wewenang, atau melakukan tindakan lain yang bersifat kepidanaan, direksi dapat diminta pertanggung jawaban menurut hukum pidana.
dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Keuangan Negara mengatur tentang definisi keuangan Negara. Harta Negara adalah setipa uang atau barang milik Negara dengan kewajiban dan hak hukum melekat didalamnya. Korporasi Negara berupa Badan Hukum Milik Negara (BUMN) merupakan bagian dari kekayaan Negara. Jadi kekayaan yang terkadung dalam PT. Mandiri Tbk merupakan kekayaan Negara. Setelah duduk perkara
tentang keuangan negara
jelas,
kembali
pembahasan pada pertanggungjawaban pidana korporasi. Perbedaaan konsep yang diterapkan pada pertanggungjawaban pidana korporasi bukan saja terjadi pada negara yang menganut common law system dengan negara-negara eropa kontinental yang menganut civil law system, tetapi diantara negara-negara yang menganut sistem yang sama pun ternyata dasar teori atau falsafah pembenarannya berbeda-beda.42 Ada dua ajaran pokok yang menjadi landasan bagi dibukanya peluang pertanggungjawaban pidana korporasi, ajaran-ajaran tersebut adalah doctine of strict liability dan doctrine of vicarious liability.
a. Doctrine Of Strict Liability Menurut
doktrin
strict
liability,
seseorang
sudah
dapat
dipertanggungjawabkan perbuatannya untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan43 Dalam lingkup pertanggungjawaban tanpa
42
43
Ibid., h.77
Djanim, Korporasi Dan Pertanggungjawaban Pidana¸ h.109. Ungkapan ”strict liability” pertama kali digunakan oleh W.H. Winfield pada tahun 1926 dalam suatu artikel berjudul
kesalahan sering dipersoalkan apakah strict libility sama dengan absolut liability. Dalam hal ini, ada dua pandangan yang berbeda. Pandangan pertama yang menerima strict liablity sebagai absolut liability dan pandangan yang kedua menegaskan bahwa strict liability adalah bukan absolut liability.44 Menurut doktrin strict liability, pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan, baik itu berupa kesengajaan atau kelalaian pada pelakunya. Dalam ajaran strict liability pertanggungjawaban pidana bagi pelakunya tidak dipermasalahkan, maka strict liability juga disebut juga absolute liability. Dalam bahasa Indonesia adalah pertanggungjawaban mutlak.45 Beberapa pendapat tentang strict liability oleh ahli hukum Indonesia seperti Roeslan Saleh menyatakan bahwa dalam praktek, pertanggungjawaban pidana lenyap, apabila ada salah satu keadaan-keadaan yang memaafkan. Praktek pula yang melahirkan aneka macam tingkatan keadaan-keadaan mental yang dapat menjadi
syarat
ditiadakannya
pengenaan
pidana,
sehingga
dalam
”The Myth of absolut liability”, sedangkan istilah ”absolut liablity” dikemukakan oleh John Salmond dalam bukunya ”the law of tort” pada tahun 1907. 44
Strict liability disebut bukan absolute liability jika actus reus tetap memerlukan unsur pokok mens rea –sebagai salah satu ciri kesalahan- untuk menetapkan diperlukannya seseorang dipidana atau tidak. Sebagai contoh : X dituduh melakukan tindak pidana menjual daging yang tidak layak untuk dimakan: karena dapat membahayakan kesehatan dan jiwa orang lain. Perbuatan ini di Inggris termasuk perbuatan pidana yang dapat dipertanggungjawabkan dengan strict liability. Dalam kasus seperti ini tidak perlu dibuktikan bahwa X mengetahui bahwa daging itu layak dikonsumsi, tetapi harus tetap dibuktikan bahwa X setidak-tidaknya memang menghendaki (sengaja) menjual daging itu. Jadi dalam kasus ini strict liability tidak bersifat absolute liability. Lihat : Djanim, Korporasi Dan Pertanggungjawaban Pidana¸ h 110. Contoh strict liability yang murni diterapkan di Indonesia adalah dalam kasus pelanggaran lalu lintas atau lampu lalu lintas. Para pengemudi kendaraan bermotor yang tidak berhenti pada saat lampu menunjukkan lampu merah menyala, akan ditilang polisi dan selanjutnya akan disidang dimuka pengadilan. Hakim akan memutuskan hukuman atas pelanggaran tersebut tidak akan mempersoalkan ada tidak adanya kesalahan pada pengemudi yang melanggar peraturan lalu lintas itu. Lihat: Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, h. 80 atau Lihat : Loebby Loqman, Pertanggungan Jawab Pidana Bagi Korporasi Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup, (Jakarta, Kantor Meneg KLH, 1989), h. 93 45
Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, h.78
perkembangannya lahir kelompok kejahatan yang bentuk pengenaan pidananya cukup dengan strict liability.46 Sedangkan Muladi menyatakan penerimaan bentuk pertanggungjawaban dalam hukum pidana yang disebut strict liability guna menjatuhkan pemidanaan terhadap korporasi, ”dilakukan atas dasar kepentingan masyarakat, bukan atas dasar kesalahan subyektif”. Strict liability merupakan refleksi kecenderungan untuk menjaga keseimbangan sosial.47 Perdebaatan tentang keberadaan sikap kalbu atau guilty mind dibantah dengan pendapat bahwa ”suatu korporasi adalah sebuah abstraksi". Ia tidak punya akal pikiran sendiri dan begitu pula tubuh sendiri; kehendaknya harus dicari atau ditemukan dalam diri seseorang yang untuk tujuan tertentu dapat disebut sebagai agen/perantara, yang benar-benar merupakan otak dan kehendak untuk mengarahkan (directing mind and will) dari korporasi tersebut. Jika seseorang merupakan otak pengarah dari perusahaan, maka tindakannya merupakan tindakan dari perusahaan itu sendiri”.48 Orang yang bertindak atau berbicara atas nama perusahaan. Ia bertindak sebagai perusahaan, dan akal pikirannya yang mengarahkan tindakannya berarti adalah akal pikiran dari perusahaan. Jika akal pikirannya bersalah, berarti kesalahan itu merupakan kesalahan perusahaan. 49 b. Doctrine Of Vicarious Liability Selain konsepsi strict liability, di negara Anglosaxon dan Anglo American dikenal pula pertanggungjawaban pidana yang disebut ”vicarious liability”, yaitu 46
Saleh, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, h. 21
47
Muladi, “Fungsionalisasi Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Korporasi”, Makalah Seminar Nasional Kejahatan Korporasi di FH UNDIP, (Semarang, 23-24 November), h.4 48
Bismar Nasution, Kejahatan Korporasi Dan Pertanggungjawaban Pidananya, Makalah Disampaikan Dalam Ceramah Di Jajaran Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Tanjung Morawa Medan, 27 April 2006. PDF, h.6 49
http://en.wikipedia.org/wiki/Corporate_liability
the legal responsibility of one person of wrongful acts of another, as for example, when the acts are done within scope of employment. Pertanggungjawaban hukum seseorang tindakan yang lain tidak adil, sebagai contoh, pada tindakan yang sudah dilakukan dalam lingkup ketenaga-kerjaan. Vicarious liability diartikan oleh Black sebagai : ”indirect legal responsibility; for example, the liability of an empleyer for the acts of an employee, or a principal for torts and contracts of an agent”. Pertanggungjawaban hukum tidak langsung; dengan contoh, kewajiban dari suatu pengusaha untuk bertanggung jawab dari tindakan suatu karyawan, atau untuk kesalahan dan kontrak dari suatu agen.50 Vicarious libility berangkat dari dari perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata yang dipahami dalam doctrine of respondeat superior, menurut maxim ini dalam hubungan antara master dengan servan atau antara servan dengan agent berlaku maxim qui facit per alium facit per se. Menurut maxim tersebut seseorang yang berbuat melalui orang lain dianggap dia sendiri yang melakukan perbuatan itu.51 Roeslan Saleh menyebutkan pada umumnya orang hanya bertanggungjawab terhadap perbuatannya sendiri namun dalam konsep vicarious liability yaitu orang dapat bertanggungjawab terhadap perbuatan orang lain.52 Undang-undang
dapat
menentukan
pertanggungjawaban
vicarious
liability, jika terjadi hal-hal sebagai berikut : pertama apabila seseorang telah mendelegasikan kewenangannya kepada orang lain secara sah. Dalam hal ini berlaku prinsip tanggung jawab bersifat dilimpahkan atau the delegation 50
Djanim, Korporasi Dan Pertanggungjawaban Pidana, h 114
51
Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, h.84
52
Roeslan Saleh, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggungan Jawab Pidana, h. 32
principle53, kedua atasan dapat mempertanggungjawabkan perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pekerjanya, jika menurut hukum perbuatan pekerjanya itu dipandang sebagai perbuatan majikan.54 Perumusan vicarious liability dapat mengikuti konstruksi penyertaan. Dalam vicarious liability, antara orang yang melakukan tindak pidana dan orang yang ikut dimintai pertanggungjawaban pidana atas perbuatan tersebut, mempunyai hubungan tertentu. Dimintakan pertanggungjawaban seseorang justru karena dia adalah atasan dari orang yang melakukan tindak pidana. Dalam kejadian lain, pertanggungjawaban pidana timbul karena pelaku bertindak untuknya. Dengan demikian, menurut Chairul Huda ada persamaan antara vicarious liability dengan penyuruhlakukan atau penganjur dalam penyertaan. Perbedaannya jika dalam penyertaan dipersyaratkan adanya kesengajaan (kesalahan) pada para peserta, dalam vicarious liability justru hal ini tampaknya dikecualikan.55 Namun bukan berarti pertanggungjawaban berarti pertanggungjawaban vicarious liability crime tidak berdasar kesalahan. Majikan tetap bertanggung
53 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta, Rajawali Press, 1990) h. 34. Contoh dari prinsip pendelegasian ini adalah : ketika X sebagai pemilik rumah maka, yang pengelolaanya diserahkan kepada Y sebagai manajer. Berdasarkan peringatan dari polisi, X telah menginstruksikan dan melarang Y untuk mengizinkan pelacuran di rumah makan itu, yang ternyata dilanggar oleh Y. Dalam kasus tersebut X dipertanggungjawabkan terhadap kejadian itu. Konstruksi hukumnya adalah bahwa X telah mendelegasikan kewajibannya kepada Y. Dengan telah dilimpahkannya kebijaksanaan usaha rumah makan itu kepada manajer (Y), maka pengetahuan si manajer merupakan pengetahuan dari sipemilik rumah makan. 54
Andi Zaenal Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Jakarta, Pradnya Paramita, 1983) h. 42 Contoh lain dari vicarious liability adalah kasus Moessel Bros v.L & N.W Railway Co. (1917) yang dalam hal ini pemimpin perusahaan Moessel Bros dinyatakan bertanggungjawab terhadap perbuatan pegawainya yang memberitahukan secara tidak benar jumlah barang perusahaan yang akan dikirim dengan kereta api, agar tidak membayar ongkos tol yang seharusnya. Meskipun majikan tidak ikut serta dan tidak memberikan perintah untuk menghindari pembayaran yang seharusnya, karena pembuat Undang-undang secara absolut melarang perbuatan yang demikian dan menjadikan majikan bertanggung jawab tanpa mens rea. 55
Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, h. 44.
jawab atas perbuatan bawahannya yang merupakan tidak pidana, sekalipun perbuatan tersebut diluar pengetahuannya. Pertanggungjawaban seseorang dalam vicarious liability bukan ditujukan kepada kesalahan orang lain tetapi terhadap “hubungannya” dengan orang lain tersebut. Dalam hal mana menurut undangundang memiliki “hubungan” demikian merupakan tindak pidana. Jadi konstruksinya sama dengan penyertaan. Oleh karena itu vicarious liability dapat dipandang sebagai bentuk baru penyertaan.56 Vicarious liability mungkin diterapkan kasus yang menyangkut hubungan antara atasan dengan bawahan, dewan direksi dengan jajaran pengurus dibawahnya. Dengan demikian, walaupun seseorang tidak melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai kesalahan dalam arti biasa, ia masih dapat dipertanggungjawabkan 57 B. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Islam 1. Pertanggungjawaban Pidana Islam Pertanggungjawaban pidana dalam Islam ditegakkan atas tigal hal : pertama adanya perbuatan yang dilarang; kedua dikerjakan dengan kemauan sendiri; ketiga pembuatnya mengetahui terhadap akibat perbuatan tersebut. Adanya perbuatan yang dilarang berdasarkan adanya peraturan yang kita kenal dengan asas legalitas dalam Hukum Pidana Islam dapat kita ketahui dari salah satu kaidah dalam Islam yaitu :
. ل ا ء ورودا
56
Ibid., h. 45
57
Djanim, Korporasi Dan Pertanggungjawaban Pidana¸ h 117
Artinya : ”Sebelum ada nash, maka tidak ada hukum bagi perbuatan orang-orang yang berakal sehat”.58
Pengertian dari kaidah ini bahwa perbuatan orang-orang yang cakap (mukallaf) tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dilarang, selama belum ada nash (ketentuan) yang melarangnya dan ia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya sehingga ada nash yang melarangnya. Pengertian kaidah tersebut diatas identik dengan kaidah lain yang berbunyi :
"#ی%&' () !ا اء ا ﺏ إ ا Artinya : ”Pada dasarnya semua perkara dibolehkan sehingga ada dalil yan menunjukkan keharamannya”59
Kaidah tersebut mempunyai pengertian bahwa semua sifat dan perbuatan tidak diperbolehkan dengan kebolehan asli, artinya bukan oleh kebolehan yang dinyatakan oleh syara’.
Dengan demikian selama tidak ada nash yang
melarangnya maka tidak ada tuntutan terhadap semua perbuatan dan sikap tidak berbuat tersebut. Kita dapat melihat hal ini dari kaidah lain yang berbunyi :
/( ی3* ﺏ/( أه آ/(2 آن درا )( * د ا-) إ ﻡ% /(ی ."52(" )( اﻡ#& ی#() " م3( ﻡ/(#( ﻡ!ور-# ﻡ4) إﺏ% Artinya : ”Menurut syara’ seseorang tidak dapat diberi pembebanan (taklif) kecuali apabila ia mampu memahami dalil-dalil taklif dan cakap untuk mengerjakannya. Dan menurut syara’ pula seseorang tidak dibebanitaklif kecuali dengan pekerjaan yang mungkin dilaksanakan dan disanggupi serta diketahui 58
Abdul Qadir Audah, ‘At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islamiy, Juz I, Dar Al Kitab, Beirut t.t, h. 115 atau Lihat : Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam –Fikih Jinayah- (Jakarta, Media Grafika, 2006) Cet ke-2 h. 29 59
Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam h. 30
oleh mukallaf dengan pengetahuan yang bisa mendorongnya untuk melakukan perbuatan tersebut”.60
Kaidah ini menyatakan tentang syarat-syarat yang harus terdapat pada pelaku dalam kedudukannya sebagai orang yang bertanggung jawab dan pada perbuatan yang diperintahkan, adapun syarat untuk pelaku mukallaf itu ada dua macam : pertama pelaku sanggup memahami nash-nash syara’ yang berisi hukum taklifi; kedua pelaku orang yang pantas dimintai pertanggungjawaban dan dijatuhi hukuman Sedangkan syarat untuk perbuatan yang diperintahkan ada tiga macam : pertama Perbuatan itu mungkin dikerjakan, kedua, perbuatan itu disanggupi oleh mukallaf, yakni ada dalam jangkauan kemampuan mukallaf, baik untuk mengerjakannya maupun untuk meninggalkannya, ketiga perbuatan tersebut diketahui mukalaf dengan sempurna. 61 Asas legalitas yang didasarkan kaidah tersebut diatas bersumberkan dari Al-Qu’ran. Beberapa diantaranya dapat kita temukan pada Surat Al-Israa’ ayat 15, Surat Al-Baqarah ayat 286, dan dalam konteks pencurian pada Surat Al-Maidah ayat 38. Surat Al-Israa’ ayat 15
{١# : وََآُ َُ ِ َ َ ﻥَََْ رًَُ }ا اء ”Dan kami tidak menghukum manusia sebelum kami mengutus seorang rasul”. (QS. Al-Israa’ : 15)
60
61
Audah, ‘At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islamiy, h. 116
Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam h. 31 atau Lihat : Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, bulan bintang, 2006) cet ke-2, h. 48
{#٩ : 5601(َ رًَُ یَْ)ُا *َ)َ ْ(ِ'ْ ءَایَﺕَِ }ا+ُ أ-ِ. ََََُْى َ ی0ْ1َ ا2ِ)ْ(ُ َ23 َوََآَنَ ر ”Dan tidaklah tuhammu menghancurkan kota-kotam sebelum dia mengutus di ibukotanya, seorang rasul yang membacakan ayat-ayat kami”. (QS. Al-Qashash: 59) Tentang kemampuan bertanggungjawab :
{ ٢٨٦ : ة01ً إِ وَُْ(َ }ا9ْ:َ<ُ ا;ُ ﻥ+)َ=َُ ی ”Tuhan tidak membenani seseorang kecuali menurut kemampuannya”. (QS. Al-Baqarah: 286)
Sedangkan penerapannya dalam konteks korupsi atau pencurian adalah :
ُ' ِ=َ ٌBِیBَ* ُ; َ ا;ِ وَا+ ًَ=َََ ﻥ9ََ آCِ ًءDَBَE َCُ(َِیFَُْا أَیGْHَ. ُIَHِر91رِقُ وَا91وَا {٣٨ : ةFLC1}ا “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha perkasa lagi maha bijaksana”. (QS. AlMaidah: 38) Setelah ayat tersebut turun maka pencurian secara jelas dilarang beserta sanksi jika ada yang melakukannya. Sariqah merupakan kejahatan yang hukumannya adalah potong tangan, baik pelaku itu laki-laki atau perempuan. Prinisip tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman tanpa suatu nash (ketentuan) dalam sariqah gugur sudah karena undang-undang-nya hadir bersamaan dengan turunannya Surat Al-Maidah:38. Hal ini sama dengan aturan asas legalitas dalam hukum positif. Asas legalitas dalam Syariat Islam diatas seperti tersebut diatas adalah memberikan satu makna bahwa tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman tanpa sesuatu nash (ketentuan) yang disebutkan dalam syara’, bukan didasarkan pada nash-nash syara umum semata yang menyuruh
keadilan dan melarang kezaliman, melainkan didasarkan atas nash-nash yang jelas dan khusus mengenai soal ini. 2. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Islam Pengertian pertanggungjawaban pidana dalam sudut Syariat Islam adalah pembebasan seseorang dengan hasil akibat perbuatan atau tidak perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana ia mengetahui maksud-maksud dan akibat-akibat dari perbuatan itu. Pertanggungjawaban pidana tersebut ditegakkan atas tiga hal : pertama adanya perbuatan yang dilarang, kedua dikerjakan dengan kemauan sendiri, ketiga pembuatnya mengetahi akibat perbuatannya tersebut.62 Dengan adanya syarat-syarat tersebut, maka kita dapat mengetahui bahwa yang dapat dibebani dengan pertanggungjawaban pidana hanya manusia, yaitu manusia yang berakal pikiran, dewasa dan berkemauan sendiri. Oleh karena itu tidak ada pertanggungjawaban bagi kanak-kanak, orang gila, orang dungu, orang yang sudah hilang kemauannya dan orang yang dipaksa atau terpaksa.63 Sejak semula syariat islam sudah mengenal badan hukum. Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa para fuqaha mengenalkan baitul mal (perbendaharaan negara) sebagai “badan” (jihat) yakni badan hukum (syaksun ma’nawi), Hal ini terbukti
dari
kenyataan
bahwa
para
fuqaha
mengenalkan
baitul
mal
(perbendaharaan negara) demikian juga dengan sekolahan-sekolahan dan rumah sakit-rumah sakit. Badan-badan ini dianggap mempunyai hak-hak milik dan mengadakan tindakan-tindakan tertentu terhadapnya. Akan tetapi badan-badan tersebut
tidak
dapat
di
bebani
pertanggungjawaban
62
Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, h. 119
63
Ibid., h. 119
pidana,
karena
pertanggungjawaban ini didasarkan atas adanya pengetahuan terhadap pilihan, sedangkan kedua perkara ini tidak terdapat pada badan-badan hukum. Akan tetapi kalau terjadi perbuatan-perbuatan yang dilarang dan yang keluar dari orang-orang yang betindak atas nama badan hukum tersebut, maka orang-orang itulah yang bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukannya. 64 Hukum Islam dalam teori serta penerapannya cukup sederhana. Konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum Islam dekat sekali dengan doktrin strict liability atau liability without fault (pertanggungan tanpa kesalahan). Dengan kata lain hukum Islam tidak mementingkan faktor kesalahan (guilty mind) baik berupa kesengajaan (dolus) maupun kelalaian (culpa) dalam menjatuhi hukuman pidana. Istilah dalam bahasa Indonesia yang digunakan adalah pertanggungjawaban mutlak65. Sedangkan pertanggungjawaban pidana dapat hapus karena hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan sendiri atau karena hal-hal yang berkaitan dengan diri pembuat. Dalam keadaan pertama, perbuatan yang dikerjakan adalah mubah (tidak dilarang) dan dalam keadaan kedua, perbuatan yang dikerjakan tetap dilarang tetapi tidak dijatuhi hukuman.66 Hal-hal yang mengakibatkan kebolehan suatu perbuatan haram (jarimah) ialah : pembelaan yang sah, pengajaran, pengobatan, permainan olahraga, hapusnya jaminan keselamatan jiwa harta, memakai wewenang dan melaksanakan kewajiban bagi pihak yang berwajib.Mengenai hapusnya hukuman ada empat perkara yaitu : terpaksa, mabuk, gila, belum dewasa. Pada masing-masing perkara 64
Ibid., h. 119-120.
65
Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, h.27
66
Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, h. 157
ini pembuat melakukan perbuatan yang dilarang oleh syara’ dan seharusnya dijatuhi hukuman dan seharusnya dijatuhi hukuman, akan tetapi syarat menghapuskannya dari hukuman karena adanya hal-hal yang terdapat pada diri pembuat.67 Salah satunya adalah pembelaan yang sah yang dapat diartikan sebagai hak seseorang untuk mempertahankan dirinya atau orang lain, atau mempertahankan harta sendiri atau harta orang lain. Dengan kekuatan yang diperlukan dari setiap serangan yang nyata tidak sah. Hal ini berdasarkan dalil :
ِNْ َ)َ* ُواFَْ*َ. ْ'ُ=ْ َ)َ* َىFَْ*َ ِ اCَ. َُص6ِH َُُُتQْ1ََامِ وَاQْ1(ِْ اS1ِ ََُامQْ1(ُْ اS1ا {١٩٤ : ة01ِ َ }ا0ُCْ1َ اTَ َ;ُا أَن اCَ)ْ*ُا ا;َ وَا0َى *َ)َ ْ=ُ'ْ وَاﺕFَْ*ِ َ اUْVِCِ Artinya : “Bulan haram dengan bulan haram dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qishaash. Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Baqarah : 194)
Dikalangan fuqaha tidak diragukan lagi hukum membela diri adalah suatu jalan yang sah untuk mempertahankan diri sendiri atau diri orang lain atau suatu harta dan kehormatan. Serangan kanak-kanak, orang gila dan hewan merupakan termasuk pembelaan diri. Adapun syarat pembelaan diri adalah pertama adanya serangan atau tindakan melawan hukum, kedua penyerangan harus terjadi seketika, ketiga tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan diri, keempat, dalam penolakan seranan hanya kekuatan seperlunya saja yang dipakai.
67
Ibid., h. 157
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Korupsi Dalam Hukum Positif Korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau coruptus. Corruptio berasal dari kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun kebanyak bahasa eropa seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Perancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptie, korruptie. Dari bahasa Belanda inilah kata itu turun kebahasa Indonesia.68 Korup dapat diartikan sebagai busuk, palsu, suap69, atau rusak, suka menerima uang sogok menyelewengkan uang/barang milik perusahaan
atau
negara, menerima uang untuk kepentingan pribadi,
penyelewengan atau penggelapan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain.70 Pada mulanya pemahaman korupsi mulai berkembang di barat pada permulaan abad ke-19, yaitu setelah adanya revolusi Prancis, Inggris dan Amerika ketika
prinsip
pemisahan
antara
keuangan
pribadi
mulai
diterapkan.
Penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi khususnya dalam soal keuangan dianggap sebagai korupsi.71 Berhubung banyaknya pasal dalam kejahatan tindak pidana korupsi dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU 20 Tahun 2001 maka penulis hanya akan 68
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Dalam Hukum Pidana Nasional Dan Internasional, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006) Cet. ke-3 h.4 69
T. Heru Kasida Brataatmaja, Kamus Bahasa Indonesia, (Yogyakarta, Kanisius, 1993)
70
Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2002)
71
Malang Corruption Watch, Mengerti Dan Melawan Korupsi, (Jakarta, Sentralisme Production, 2005)
mengetengahkan tentang pasal yang menjadi fokus jaksa penuntut umum dalam dakwaan yang didakwaan kepada para terdakwa. ECW Neloe, I Wayan Pugeg, dan M. Sholeh Tasripan didakwa dengan subsidiaritas, yaitu: -
Primer, melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Pasal 64 ayat (1) KUHP.
-
Subsidair, melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
-
Lebih subsidair, melanggar Pasal 3 jo pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
-
Labih subsidair lagi, melanggar Pasal 3 jo pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Rumusan pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Jadi, bagian inti (bestanddelen) pasal 2 ayat (1) ini adalah72 : 72
Hamzah, Pemberantasan Korupsi Dalam Hukum h.122-123
1. Secara melawan hukum; 2. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau memperkaya suatu korporasi; 3. Dapat merugikan perekonomian negara. Bagian yang pertama yaitu melawan hukum, menurut Andi Hamzah yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam arti formil maupun arti materil.73 Sedangkan Roeslan Saleh menyebutkan menurut ajaran melawan hukum, yang disebut melawan hukum materil tidaklah hanya bertentangan dengan hukum yang tertulis tetapi juga bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis.74 Kaya dapat diartikan mempunyai harta yang banyak atau banyak harta. 75 Memperkaya diri dapat diartikan dengan menjadikan lebih kaya. Menurut Andi Hamzah memperkaya diartikan sebagai ”menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya atau orang yang sudah kaya menjadi lebih kaya.”76 Unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Adami Chawazi mengemukakan bahwa keuangan negara adalah kekayaan negara dalam bentuk apapun. Yang dimaksud dengan perekonomian dalam konteks ini adalah suatu usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
73
Ibid., h.123
74
Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum Dari Perbuatan Hukum Pidana, (Jakarta, Aksara Baru, 1987) h.7 75
76
Yandianto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Bandung, MZS, 1997), h. 240
Andi Hamzah, Korupsi Di Indonesia dan Pemecahannya, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991), h. 92 atau Lihat: Hamzah, Pemberantasan Korupsi, h.177
perundang-undangan
yang
berlaku
dan
bertujuan
memberikan
manfaat
kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh rakyat.77 Sementara itu, untuk perumusan pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 31 tahun 1999, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ”keadaan tertentu” adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila : a. Tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi : penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas dan penanggulangan krisis ekonomi dan moneter78 b. Penanggulangan tindak pidana korupsi.79
Pasal 3 Undang-undang 31 Tahun 1999 ”Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan , kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.
77
Adami Chawazi, Hukum Pidana Materiil Dan Formiil Korupsi Di Indonesia, (Jakarta, Bayu Media, 2005) cet. Ke-2, h. 46 78
79
Hamzah, Pemberantasan Korupsi Dalam Hukumi, h. 77
R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta, sinar grafika, 2005) cet ke-1, h. 34
Rumusan pasal ini, bila diteliti dan dicermati mengandung beberapa unsur sebagai berikut: Unsur-unsur oyektif 1) perbuatannya yang menyalahgunakan kewenangan atau menyalahgunakan kesempatan atau menyalahgunakan sarana, 2) Yang ada padanya yang mengggunakan jabatan dan kedudukan, 3) Yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Unsur-unsur subyektif adalah menguntungkan diri sendiri atau menguntungkan orang lain atau menguntungkan suatu korporasi. Adami chawazi menyatakan bahwa unsur menyalahgunakan kewenangan dapat didefinisikan sebagai perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sebenarnya berhak untuk melakukannya, tetapi dilakukan secara salah atau diarahkan pada hal yang
bertentangan
dari
hukum
atau
norma
masyarakat.80
Sedangkan
menyalahgunakan kesempatan menurut Wiyono adalah suatau keadaan akibat adanya kelemahan-kelemahan dari ketentuan tentang tata kerja atau kesengajaan menafsirkan secara salah mengenai ketentuan-ketentuan tersebut.81 Unsur karena jabatan atau kedudukan maksudnya adalah bahwa kewenangan. kesempatan dan sarana karena jabatan atau kedudukan yang masih dipangku. Sedangkan unsur terakhir yaitu unsur subjektif adalah tujuan menguntungkan diri sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi yang merupakan unsur yang subyektif pada batin sipembuat. R. Wiyono menyatakan bahwa dapat dikemukakan rumusan kata ”kedudukan” dalam perumusan ketentuan tindak pidana korupsi dalam pasal 3 dipergunakan untuk pelaku dengan klasifikasi : pertama pegawai negeri yang melakukan korupsi dan tidak memangku suatu 80
Chawazi, Hukum Pidana Materiil h. 50-51
81
Wiyono, Pembahasan Undang-Undang, h. 39
jabatan tertentu baik, baik jabatan struktural maupun jabatan fungsional, kedua pelaku tindak pidana korupsi yang bukan pegawai negeri atau perseorangan atau swasta yang mempunyai fungsi dalam korporasi. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP ”Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana (dader): orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut serta melakukan perbuatan itu” Pasal 64 ayat (1) KUHP ”Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut (voortgezette handeling), maka hanya dikenakan satu aturan pidana, jika berbeda-beda yang dikenakan maka yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat”. 1. Unsur Setiap Orang Pada saat undang No. 3 Tahun 1971 diundangkan, semula terdapat perbedaan pendapat khususnya mengenai penerapan subjek dalam pasal 1 ayat 1 sub a dan b. Pendapat pada umumnya menyatakan hanya pegawai negeri yang pengertiannya diperluas dengan pasal (2) yang dapat menjadi subjek dalam pasal tersebut. Perbedaan pendapat itu disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, UU No. 3 Tahun 1971 adalah pengganti UU No. 24 (Prp) Tahun 1960 yang subjeknya pegawai negeri. Kedua, penjelasan umum mengenai UU No. 3 Tahun 1971 diantaranya menyatakan,”.... pengertian pegawai negeri dalam undang-undang sebagai subjek tindak pidana korupsi meliputi bukan saja pengertian pegawai negeri menurut pasal 2, karena berdasarkan pengalaman-pengalaman selama ini, orang-orang yang bukan pegawai negeri menurut pengertian hukum administrasi
dengan menerima tugas tertentu dari suatu badan negara, badan yang menerima bantuan negara dapat melakukan perbuatan tersebut (korupsi)”.82 Setelah diberlakukannya UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, unsur ”barang siapa” yang tercantum dalam UU No. 3 Tahun 1971 dirubah menjadi unsur ”setiap orang”. Perubahan tersebut, selain mengakhiri subjek hukum dalam UU No. 3 Tahun 1971, juga berarti bahwa subjek hukum dalam tindak pidana korupsi dapat dikenakan atau ditujukan kepada siapa saja baik secara perorangan maupun korporasi di mana subjek pegawai negeri atau bukan pegawai negeri merupakan subjek hukum secara perorangan. Dengan kata lain, bahwa subjek hukum dalam UU. No. 1 Tahun 1999 lebih diperluas lagi daripada pengertian subjek hukum dalam UU No. 3 Tahun 1971. 2. Unsur Melawan Hukum Unsur ”secara melawan hukum” dalam delik korupsi, menurut penjelasan pasal 2 ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mencakup perbuatan melawan hukum formil dan materiil. Istilah ”melawan hukum” (wederrechtelijk) dalam literatur hukum pidana masih dikenal pengertian melawan hukum yang saling berbeda seperti, bertentangan dengan hukum, bertentangan dengan hak orang lain, tanpa hak sendiri. Menurut NoyonLangemeijer seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah bahwa beliau mengusulkan agar fungsi kata itu hendaknya disesuaikan dengan setiap delik tanpa secara asasi menghilangkan kesatuan artinya.83
82
Indroharto, Andi Andojo Soetjipto, MH. Silaban, et all. Kapita Selekta Hukum dalam Buku Mengenang Prof. H. Oemar Seno Adjie, ed Machrup Elrick, (Jakarta, Ghalia Indonesia,1996), h.57 83
Hamzah, Pemberantasan Korupsi Di Indonesia h. 76
Pengertian melawan hukum itu sendiri harus dipandang dari segi formil dan meteril (formele en materiele wederrechtlijkkheid) yaitu perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum tertulis termasuk yang didalamnya perbuatanperbuatan yang dilakukan tanpa hak dan perbuatan-perbuatan tercela yang tidak patut menurut norma kehidupan masyarakat.84 Perumusan demikian dipengaruhi oleh Arrest Hoge Raad negeri belanda tahun 1919 yang menyatakan: ”perbuatan melanggar hukum adalah bukan hanya perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang (wet), melainkan juga perbuatan yang dipandang dari sudut pergaulan masyarakat adalah tidak patut. Dengan adanya Arrest Hoge Raad tersebut menyebabkan timbulnya dua pandangan melawan hukum formal yang dianut oleh Simons dan pandangan melawan melawan hukum materiil yang dianut oleh Vos.85 Unsur melawan hukum mempunyai makna yang sangat luas yakni: perbuatan atau kelalaian seseorang yang oleh karenanya melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban sendiri menurut hukum atau dengan normanorma adat kesopanan yang lazim atau bertentangan dengan keharusan pergaulan hidup untuk bertindak prihatin terhadap orang lain atau barang cq haknya.86 3. Unsur Memperkaya Diri Sendiri Atau Orang Lain Secara harfiah, memperkaya berarti menjadikan bertambah kaya. sedangkan kaya artinya mempunyai banyak harta (uang). 84
87
Dengan demikian
Ibid., h. 90
85
R. Achmad S. Soemadipraja, Hukum Pidana Dalam Yurisprudensi, (Bandung, Armico, 1990) h. 67-69 86
Yenti Garnasih, Marwan Effendi, dkk, Benang Kusut Peradilan Korupsi Perbankan, Catatan Hasil Eksaminasi Putusan Neloe Dkk.. (Jakarta, KRHN, 2006), cet ke-1, h. 51 87
Yandianto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Bandung, MZS, 1997), h. 240 atau lihat Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta Balai Pustaka, 1976)
pengertian memperkaya dapat diartikan menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya atau menjadikan orang yangsudah kaya menjadi bertambah kaya. istilah memperkaya suatu unsur (bestandeel) delik dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang sebenarnya berasal dari UU No. 24 (Prp) Tahun 1960. Kata yang sama mengenai istilah ”memperkaya” ditemukan pula dalam peraturan penguasa pusat No. Prt. 013 Tahun 1958 tentang Pengusutan. Penuntutan, dan Pemeriksanaan Korupsi Pidana atau Pemilikan Harta Benda. Hal tersebut tercantum dalam bab IV, pasal 12 ayat (2) butir c tentang Harta Benda yang Dapat Disita dan Dirampas, yakni : ”harta benda seseorang ayng kekayaannya setelah diselidiki dianggap tidak seimbang dengan pengahasilan atau mata pencahariaanya”.88 Sedangkan menurut pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 yang dimaksud dengan unsur ”memperkaya” hanya sebatas dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.89 Dengan demikian pengertian istilah ”memperkaya” antara harfiah dan yang ada dalam undang-undang dapat dikatakan hampir sama. Keduanya menunjukkan adanya perubahan kekayaan atau adanya pertambahan kekayaan seseorang atau suatu korporasi yang diukur dengan penghasilan yang telah diperoleh atau sumber penambahan kekayaan lainnya. 4. Unsur Dapat merugikan keuangan negara
88
Garnasih, Benang Kusut Peradilan, h. 51
89 Istilah tersebut ada korelasinya apabila dihubungkan dengan pasal 37 ayat (4) UU No. 31 Tahun 1999 yang apabila terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Garnasih, Benang Kusut Peradilan, h. 51
Menurut penjelasan umum UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dimaksud keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat kembaga negara baik ditingkat pusat maupun di daerah atau berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban BUMN/BUMD, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara. Sedangkan yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian
yang
disusun
sebagai
usaha
bersama
berdasarkan
asas
kekeluargaan atau usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan
yang
bertujuan
memberikan
manfaat,
kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh rakyat Indonesia. Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 mengenai unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian dijelaskan kata ”dapat” sebelum
frase merugikan keuangan
negara
atau
perekonomian
negara
menunjukkan tindak pidana korupsi yang telah dirumuskan bukan dengan timbulkan akibat. Unsur ini dapat diartikan bahwa perbuatan korupsi telah terpenuhi/terbukti apabila perbuatannya cukup berpotensi merugikan keuangan negara atau perekonomian negara selain unsur melawan hukum dan memperkaya juga terpenuhi. 5. Unsur penyalahgunaan wewenang. kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
Unsur ini menunjukkan bahwa subjek hukum yang tercantum dalam pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang PTPK disyaratkan harus memiliki kapasitas sebagai
orang
yang
memiliki
jabatan
atau
kedudukan
dalam
suatu
organisasi/lembaga baik jabatan dalam pemerintahan maupun nonpemerintah seperti pengurus yayasan, koperasi, atau badan hukum perusahaan yang mengandung penyertaan modal atau fasilitas90 dari keuangan negara. Kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya adalah kewenangan, kesempatan, atau saran yang diperoleh karena jabatan atau kedudukannya. Seorang yang bukan pegawai negeri dapat saja menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan sebagai pelaksana pekerjaan yang menggunakan dana/fasilitas dari negara. Oleh karena pelaksanaan pekerjaan itu dia mempunyai kedudukan dan tanggungjawab atas penggunaan uang negara tersebut (putusan No. 892 K/Pid/1983). Kata wewenang berarti mempunyai hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu.91 Seseorang dengan jabatan atau kedudukan tertentu akan memiliki kewenangan tertentu pula. Dengan kewenangannya tersebut, ia akan memiliki kekuasaan atau peluang untuk melakukan sesuatu, ini yang kemudian dinamakan dengan ”kesempatan”. 92 Seseorang yang memiliki jabatan atau kedudukan biasanya akan mendapat sarana tertentu pula dalam rangka menjalankan
90 Fasilitas adalam bentuk perlakuan istimewa yang diberikan dalam berbagai bentuk, misalnya bunga pinjaman yang tidak wajar, harga yang tidak wajar, pemberian izin, dan keringanan-keringanan lainnya. (lihat Penjelasan Umum Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). 91
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indoenesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1976) h.
92
Ibid., h. 810
1010
kewajiban dan wewenangnya. Kata ”sarana”sendiri menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah segala sesuatu yang dipakai sebagai alat dalam mencapai maksud atau tujuan.93
B. Sariqah (Pencurian) Secara garis besar, Islam memberikan pemisahan tiga kriteria kajian Jinayah yaitu : jarimah Hudud, jarimah Qisas dan jarimah Ta’zir. Jarimah Qisas meliputi penganiayaan dan pembunuhan. Jarimah hudud meliputi zina, menuduh zina, meminum khamr, ,mencuri, merampok, murtad dan pemberontakan.94 Jarimah hudud adalah kejahatan yang sudah diatur dalam nash al-quran secara jelas baik unsur maupun sanksinya. Sedangkan jarimah Qisash adalah Adapun jarimah ta’zir adalah semua jenis tindakan atau kejahatan yang tidak secara tegas diatur dan ditentukan Nash-nash baik dalam Al-Quran maupun Hadist Nabi SAW. Jarimah ta’zir ini aturan teknis, jenis dan pelaksanaanya ditentukan oleh penguasa / hakim setempat. Jenis jarimah ta’zir macam-macam dan bentuknya sangat banyak dan tidak terbatas sesuai dengan kejahatankejahatan yang dilakukan oleh manusia.95 Korupsi sebagai sebuah kejahatan atau perbuatan pidana pada dasarnya tidka diatur secara specific dalam Islam. Namun M. Nurul Irfan dalam disertasinya tentang tindak pidana korupsi menurut hukum islam dan hukum positif menyatakan bahwa Fiqh Jinayah dalam klasifikasi Ta’zir setidaknya mengatur tujuh tindak kejahatan yang berbeda namun memiliki unsur yang hampir 93
Ibid., h. 784
94
Abdul Qadir Al-Audah, al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami, jilid 2 h. 6
95
Muhammad Abu Zahrah, al-Jarimah wa al-Uqubah fi fiqhi al-Islami, al-Jarimah, jilid h.89
sama dengan korupsi. Ke tujuh jarimah tersebut adalah ghulul (penggelapan), risywah (penyuapan), khianat, ghasab, al-maksu (pungutan liar), al-ikhtilas (pencopetan) dan al-intihab (penjambretan).96 Selanjutnya beliau
menghilangkan al-maksu (pungutan liar) dari
perhitungan kedekatan unsur dengan tindak pidana korupsi Muhammad Nurul Irfan menyebutkan bahwa jarimah yang paling mendekati dalam jarimah Ta’zir adalah khianat sedangkan dalam Hudud yang paling mendekati unsur tindak pidana pencurian adalah sariqah (pencurian). 97 Unsur tindak pidana korupsi yaitu “setiap orang secara melawan hukum, “mengambil hak orang lain” dan “menguntungkan diri sendiri” secara tersirat dalam fiqh Jinayah unsur tersebut “mengambil hak” dan menguntungkan diri sendiri” merupakan unsur dari sariqah (pencurian). Namun apakah kemudian sanksi potong tangan sebagaimana sanksi dari tindakan pencurian / sariqah. Sebab jarimah sariqah atau tindak pidana pencurian merupakan jarimah hudud yang jelas tidak boleh dianalogikan. Menurut M. Nurul Irfan, seperti yang dikatakan Andi hamzah dengan mengutip pendapat dari M. Cherief Bassiouni bahwa hudud, crime which are codified in the qur’an, require a rigid application of the principles of legality, hudud sebagai sebuah jarimah yang telah disebutkan secara tegas dalam al-Quran harus dilaksanakan secara baku, tegas atau apa adanya sesuai dengan prinsip-prinsip keabsahan hukum.98
96
Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Dalam Perspektif Fiqh Jinayah, Disertasi untuk menyelsaikan sudi S-3 di Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta per 2007-2008. h. 78-79. 97 Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Dalam Perspektif Fiqh Jinayah, Disertasi untuk menyelsaikan sudi S-3 di Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta per 2007-2008. h. 152 98 M.Cherief Bassouni, Crimes against Humanity in International Criminal law, (Boston:1999) second edition, h.136
Dalam jarimah hudud tidak berlakuk analogi berbeda dengan qisas dan ta;zir yang didalamnya berlaku analogi. Lebih tegas lagi Andi Hamzah menyatakan bahwa Hudud is stirictly not allowed analogy, hudud bersifat kaku dan dilarang keras memakai analogi.99 Penulis kemudian menarik unsur jarimah terdekat dengan tindak pidana korupsi yaitu sariqah (pencurian). Maka unsur-unsurnya menggunakan unsur jarimah sariqah dengan unsur pengkhianatan di dalamnya. Namun sanksi bagi pelakunya masuk ke wilayah Ta’zir. Ta’zir dapat di tetapkan berdasarkan kebijakan penguasa dan Hakim. Rentang penjatuhan hukuman dari minimum hingga maksimum atau hukuman mati. Wahbah Zuhaili menjelaskan bahwa korupsi merupakan bagian dari tindak pidana ta’zir dengan istilah Al-Ikhtilas Namun menurut M. Nurul Irfan Al-Ikhtilas bermakna pencopetan. Menurut beliau yang membedakan sariqah dengan Alikhtilas adalah bahwa al-ikhtilas dilakukannya pengambilan pada barang yang tidak sedang dalam penyimpanan sedangkan sariqah pada barang yang sedang disimpan. Maka dari itu penulis mengambil sariqah karena lebih dekat dengan unsur tindak pidana korupsi. Pencurian adalah salah satu perbuatan yang termasuk ke dalam kategori hukuman had, yaitu yang ketentuannya sudah ada dalam Al-Quran. Sedangkan penerapannya dalam konteks korupsi atau pencurian adalah surat al-Maidah ayat 38. Kata pencurian adalah terjemahan dari bahasa arab al-sariqah, yang menurut etomologi berarti melakukan sesuatu tindakan terhadap orang lain secara sembunyi. Misalnya, istaraqqa al-sam’a (mencuri dengar) dan musaraqat al99
Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Dalam Perspektif Fiqh Jinayah, Disertasi untuk menyelesaikan sudi S-3 di Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta per 2007-2008. h. 42
nazara (mencuri pandang).100 Erat hubungannya dengan pengertian tersebut adalah pengertian dari ulama fiqh, antara lain, Abdul Qadir Al-Audah, yang mengatakan bahwa pencurian adalah tindakan mengambil harta orang lain dalam keadaan sembunyi-sembunyi.101 Yang dimaksud dengan mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi adalah mengambilnya tanpa sepengetahuan dan kerelaan pemiliknya. Korupsi menurut Undang-undang terkandung juga unsur secara diam-diam didalamnya. Menurut Muhammad Abu Syahbah seperti yang dikutip oleh Ahmad Wardi Muslich, pencurian didefinisikan sebagai. :
،ﺏ8 ﻥ:( إذا ﺏ4< %= ا ﻡل ا: أى ا/(# ه أ
ل#ن " * ه?ا ا3 أن ی%B -ز ﻡ% -ﻡ
Pencurian menurut syara’ adalah pengambilan oleh seorang mukallaf yang baligh dan berakal terhadap harta milik orang lain dengan diam-diam, apabila barang tersebut mencapai nishab (batas minimal), dari tempat simpanannya, tanpa ada syubhat didalam barang yang diambil tersebut. 102 Dari definisi diatas dapat kita simpulkan ada empat macam unsur-unsur pencurian, yaitu sebagai berikut103 :
1. Pengambilan secara diam-diam
100
Muhammad Amin Suma, A. Malik Fajar, dkk, Pidana Islam Di Indonesia –Peluang, Prospek Dan Tantangan-, ( Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001) cet ke-1, h. 111 101
Abdul Qadir Audah, ‘At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islamiy, Juz I,( Beirut, Al-Qahiroh Dar Al Kitab, 1977, ) cet ke-2 h. 519 atau Lihat: Suma, Pidana Islam Di Indonesia, h. 112 102
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam –Fikih Jinayah(Jakarta, Media Grafika, 2006) Cet ke-2 h.82 103
Muhammad Amin Suma, Pidana Islam Di Indonesia h. 114-122
Hal ini terjadi ketika sang pemilik barang tidak mengetahui terjadinya pengambilan barang tersebut dan ia tidak merelakannya. Contohnya adalah mengambil barang milik seseorang dirumahnya pada malam hari ketika waktu tidur. Untuk terjadinya pengambilan yang diperlukan tiga syarat, yaitu : pertama pencuri mengeluarkan barang yang dicuri dari tempat simpanannya, kedua, barang yang dicuri dikeluarkan dari kekuasaan pemiliknya, ketiga, barang yang dicuri dimasukkan kedalam kekuasaan pencuri Ketiga syarat tindakan pencurian tersebut diatas kalau tidak sempurna maka bukan atau tidak dapat digolongkan kepada tindak pidana pencurian (had). Sebagai contoh orang yang baru mengumpulkan barang dirumah orang lain pada malam hari –belum keluar- maka tidak dapat digolongkan sebagai perbuatan yang terkena hak pencurian karena perbuatan tersbut belum selesai. Kemudian unsur sembunyi-sembunyi menjadi penting karena kalau tidak terpenuhi maka akan masuk kedalam hukuman perampokan. 2. Barang yang diambil berupa harta Salah satu unsur yang penting untuk dikenakannya hukuman potong tangan adalah bahwa barang yang dicuri itu harus barang yang bernilai mal (harta). Apabila barang yang dicuri itu bukan mal seperti hamba sahaya, atau anak kecil yang belum tamyiz maka pencuri tidak dikenai hukuman had.104 Menurut Mustafa Ahmad Zarqa seperti dikutip oleh Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH. MA.,MM., dalam bukunya Pidana Islam Di Indonesia, Peluang Prospek Dan Tantangan Menyebutkan bahwa harta adalah sesuatu yang dicendrungi oleh tabiat manusia dan mungkin disimpan pada waktu dibutuhkan. Hal ini yang disepakati oleh Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad Bin Hambal. Oleh karena itu menurut 104
Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam, h.83
mereka pencurian terhadap anak kecil tidak termasuk kepada hukuman had melainkan hukuman ta’zir, sedangkan Imam Malik dan Zahiriah menyebutkan bahwa pencurian anak atau penculikan dapat di golongkan kepada hukuman had karena penculikan anak kecil tidak kalah berbahaya dibandingkan dengan pencurian harta biasa.105 Unsur kedua ini baru dianggap sempurna jika terpenuhi empat syarat, yaitu : pertama Harta yang dicuri berupa benda bergerak, kedua benda yang diambil merupakan benda yang memiliki nilai ekonomis. Ketiga benda yang diambil berada ditempat penyimpanan yang layak bagi jenis harta tersebut. Keempat harta yang diambil mencapai satu nishab mayoritas ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa kadar nishab pencurian yang diancam dengan hukuman had adalah sebanyak seperempat dinar emas. Atau sama dengan 1,11 gram emas, dengan asumsi bahwa satu dinar emas sama dengan 4,45 gram. Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Muslim, Nasa’i, dan Ibnu Majah bahwa Rasulullah bersabda:
.)!ا8 دیرD ی! ا@رق إ رﺏDF' ”Tangan pencuri tidak dipotong kecuali dalam pencurian seperempat dinar ke atas”106
Namun ada yang mengatakan bahwa setiap pencurian berapapun dasarnya tetap dihukum had. Ini berdasarkan kepada hadis Nabi yaitu :
.G! یDF2 &ق ا%@ ویG! یDF2 H ق ا%@ ا@رق یI ا- ”Allah mengutuk pencuri, yang mencuri telur tetap harus dipotong tangannya dan yang mencuri tali juga harus dipotong tangannya”.107 105
Muhammad Amin Suma, Pidana Islam Di Indonesia h. 116.
106
Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam h.85
107
Ibid, h.85
Kemudian ada pula hadis nabi yang menyatakan bahwa nisha pencurian jatuh pada sepuluh dirham atau satu dinar emas. Hadis diriwayatkan oleh Abu Dawud.
ة%K)" دیر أو2# -L ﻡM )(" وﺱ( ی! رI ( اIل ا3 رﺱDF (داود3 أﺏGدرا )روا ”Rasulullah saw. Memotong tangan seorang laki-laki dalam pencurian tameng (perisai perang) yang harganya satu dinar atau sepuluh dirham”.108 3. Harta tersebut milik orang lain Dengan persyaratan ini dapat diketahui bahwa seseorang yang mengambil benda yang bukan hak milik seseorang seperti kayu dihutan dan barang temuan tidak dimasukan kedalam jarimah sariqah. Disamping itu, dengan persyaratan ini seseorang yang mengambil suatu benda yang ia sendiri mempunyai hak didalamnya, tidak dikenakan hukuman had, karena adanya syubhat. Yang dimaksud syubhat disini adalah berkumpulnya dua dalil dalam satu perbuatan, yang satu membolehkan sedangkan yang satu lagi melarang. Maksudnya adalah suatu benda yang bila diambil oleh pencuri secara sembunyi-sembunyi ternyata didalamnya terdapat hartanya karena terdapat dalil yang membolehkan namun dilain sisi terdapat pula dalil yang melarang karena disitu terdapat pula harta orang lain. Seseorang yang mencuri satu nishab harta dan dalam jumlah harta tersebut terdapat harta milik pencuri tersebut dikeluarkan dari jumlah harta yang ducurinya, berarti sisanya tidak lagi mencapai satu nishab. Atas dasar pertimbangan bahwa adanya hal yang menggugurkan hukuman had, seseorang miskin yang mencuri harta baitul mal kepunyaan orang muslim, 108
Ibid., h.86
tidak dipotong tangannya karena didalamnya terdapat haknya. Dalam hal itu pelaku akan dikenakan hukuman ta’zir. Berbeda dengan itu, Imam Malik berpendapat, seseorang yang mencuri harta baitul mal, diancam dengan hukuman had. Bila mana kita berpegang kepada pendapat Imam Malik ini sekaligus batas nishab yaitu 1,11 gram emas yang nilainya kalau diuangkan tidak lebih dari 1 juta rupiah maka sanksi bagi koruptor adalah hukuman had. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Syafi’iyah yang menyatakan jikalau harta dibaitul mal tersebut bukan merupakan hak dari kelompok pencuri maka jatuh kepadanya hukuman had.109 4. Adanya niat melawan hukum atau kesengajaan melakukan kejahatan Yang dimaksudkan dengan adanya kesengajaan melakukan kejahatan ialah adanya kesengajaan mengambil harta orang lain padahal si pengambil mengetahui bahwa perbuatan itu adalah terlarang. Tidak bisa mengetahui bahwa perbuatan mencuri adalah terlarang bisa jadi karena beberapa kemungkinan antara lain : pertama orang tersebut baru masuk Islam, kedua karena menganggap barang yang diambilnya adalah kepunyaanya, ketiga karena menganggap si empunya telah mengizinkan.
Keempat
mengangap
barang
tersebut
sudah
ditinggalkan
pemiliknya. kelima mengambil barang untuk sementara dan ia bermaksud untuk mengembalikannya ketempat semula. Adanya kesengajaan mengambil milik orang lain dipertegas dengan adanya niat untuk memiliki harta yang diambil tersebut. Bilamana telah lengkap keempat unsur ini dengan segala persyaratannya pada satu perbuatan kejahatan,
109
Muhammad Amin Suma, Pidana Islam Di Indonesia h. 121.
maka perbuatan tersebut dianggap kejahatan pencurian sehingga pelakunya diancam dengan hukuman had yaitu potong tangan. 5. Unsur khianat yaitu menentang kebenaran / tidak amanah. Penulis menganggap bahwa tidak cukup untuk menjatuhkan sanksi uqubah ta’zir dengan unsur jarimah dari hudud. Maka dari itu, penulis menambahkan satu unsur lagi untuk memperjelas uqubah ta’zir. Unsur yang paling mendekati adalah khianat.110 Khianat menurut al-Raghib al-Asfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat al-Faz al-Quran bahwa Khianat adalah sebuah sikap menyalahi / atau menentang kebenaran dengan cara membatalkan janji secara sembunyi-sembunyi / sepihak.111 Sementara Wahbah Zuhaili dalam kitab al fiqh al –islami wa adillatuh, jilid q menjelaskan definisi khianat adalah segala sesuatu tindakan atau upaya yang bersifat melanggar janji dan kepercayaan yang telah dipersyaratkan didalamnya atau telah berlaku didalam hukum adat kebiasaan. 112 Jika kita mengacu pada definisi diatas maka unsur khianat kita temukan dalam pasal 2 sampai dengan pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU 20 Tahun 2001. Unsur tersebut antara lain dapat dicontohkan dengan unsur ”... menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan ...” (Pasal 3 Undang-undang 31 Tahun 1999). Maka dari
110
Khianat menurut M. Nurul Irfan adalah unsur yang paling banyak digunakan pada UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Khianat dipakai sebanyak 21X, risywah sebanyak 12 X, ghulul sebanyak 2 X, sedangkan ghasab, sariqah dan hirabah sama sekali tidak digunakan karena tidak cocok dengan rumusan pasal UU No. 31 Tahun 1999 jo. 20 Tahun 2001. 111
Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Dalam Perspektif Fiqh Jinayah, Disertasi untuk menyelsaikan sudi S-3 di Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta per 2007-2008. h. 160-163 112 Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Dalam Perspektif Fiqh Jinayah, Disertasi untuk menyelsaikan sudi S-3 di Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta per 2007-2008. h. 117
itu cukuplah dasar untuk kemudian menempatkan unsur khianat sebagai salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi berdasarkan hukum islam. Untuk lebih jelasnya, penulis memperbandingkan setiap unsur dalam pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 dengan unsur jarimah sariqah ditambah dengan ta’zir khianat. Landasan
Al-Qur’an Surat
Bunyi ketentuan
/(# ه أ
Persamaan unsur
1. Adanya mukallaf ./ orang yang melakukan 2. Pengambilan secara diamdiam secara melawan hukum 3. Barang yang diambil berupa harta yang dapat menambah kekayaan. 4. Harta tersebut milik orang lain (milik rakyat)
Unsur khianat
Sanksi
UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. ”Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan , kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”. 1. Unsur setiap orang 2. Unsur rmelawan hukum 3.Unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain (adanya barang atau uang atau harta) 4. Unsur dapat merugikan keuangan negara (keuangan rakyat banyakj
Unsur khianat yaitu 5. Unsur penyalahgunaan Ta’zir 5. menentang kebenaran / tidak wewenang, kesempatan dan amanah. sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan / Disesuaikan dengan keputusna Penjara 20 tahun atau denda
penguasa / Hakim. Namun paling sedikit 50 Juta rupiah dapatlah diketahui hukuman atau paling banyak 1 milyar minimum adalah penjara dan rupiah. maksimum adalah hukuman mati.
Hukuman
Berdasarkan tabel diatas tersebut dapatlah diketahui bahwa sebenarnya unsur dalam jarimah hudud sariqah dan ta’zir khianat bila digabungkan dapat menyamai unsur yang ada dalam pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999. penulis beranggapan bahwa dengan demikin perdebatan tentang unsur perbuatan korupsi dalam Islam dapatlah di berikan salah satu alternatif penawaran atau solusi. Ke depan, bukan tidak mungkin unsur tersebut di adopsi berikut uqubahnya untuk memperberat pelaku tindak pidana korupsi.
BAB IV ANALISA PUTUSAN
A. Posisi Kasus Kasus korupsi Bank Mandiri sebesar Rp. 160 milyar yang melibatkan direksi Bank Mandiri yaitu ECW Neloe (mantan Direktur Utama), I Wayan Pugeg (mantan Direktur Manajemen Resiko) dan M. Sholeh Tasripan (mantan Direktur
Kredit Korporasi) merupakan korupsi yang cuikup besar selain korupsi BLBI yang menurut BPK mencapai Rp. 84,8 triliun. Ketiga mantan direksi Bank Mandiri diduga telah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berkelanjutan. Mereka diduga telah memperkaya korporasi atas pemberian fasilitas kredit kepada PT. CGN yang dianggap merugikan negara dan prosedurnya menyimpang dari ketentuan perkreditan yang berlaku di Bank Mandiri. Dalam surat dakwaan dinyatakan bahwa pada tanggal 23 oktober 2002 para terdakwa sebagai pemutus kredit menyetujui pemberian kredit kepada PT CGN sebesar Rp. 160 milyar tidak memastikan pemberian kredit telah didasarkan pada penilaian secara jujur, objektif, cermat, seksama dan terlepas dari pihakpihak yang berkepentingan. Kemudian tanggal 24 oktober 2002 para terdakwa telah menyetujui permohonan kredit bridgjng loan sebesar Rp. 160 miliyar kepada PT CGN untuk membeli aset PT Tahta Medan (PT TM) dengan tidak memenuhi ketentuan perbankan dan asas-asas perkreditan sebagaimana diatur dalam artikel 520 kebijakan perkreditan rakyat Bank Mandiri (KBPM) tahun 2000. Para terdakwa saat menyetujui pemberian kredit bridging loan tersebut tidak melakukan penilaian secara seksama antara kelayakan jumlah permohonan kredit dan kegiatan usaha (proyek) yang akan dibiayai dengan melakukan penelitian harga aset kredit PT TM. Padahal aset PT TM dibeli oleh PT Tri Manunggal Mandiri persada (PT TMP) dari badan lelang Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BBPN) sekitar Rp. 97 milyar, sehingga ada kelebihan sekitar Rp. 63 milyar dari nilai kredit yang dikucurkan (Rp. 160 milyar). Dalam nota analisa kredit bridging loan diuraikan bahwa PT CGN sebelumnya telah mengajukan fasilitas kredit investasi sebesar $ 18,5 juta yang akan digunakan
untuk membeli hak tagih BPPN atas nama PT TM dari PT Tri Manunggal Wiratama (PT MW) sebesar Rp. 160 milyar dan sisanya Rp. 5 milyar ditambah self financing dari PT CGN sebesar Rp. 22,5 milyar digunakan utnuk men-take over (mengambil alih) saham yang dimiliki oleh pemegang saham lama PT TM yaitu Dana Pensiun Bank Mandiri (DPBM) dan PT Pengelola Investama Mandiri (PT PIM). Namun kenyataannya PT CGN tidak pernah menyetor self financing dan saham PT PIM tidak berhasil dibeli/diambil alih (take over), sedangkan saham DPBM baru dibayar sebesar Rp. 14.597.000.000,00 dari seluruh harga saham sebesar Rp. 18.246.250.000,00 sehingga sekitar Rp.3.649.250.000.00 yang tidak dibayar (putusan hal. 30-31). Selain itu para terdakwa pemutus kredit dalam menyetujui pemberian kredit bridging loan kepada PT CGN tidak memperhatikan ketentuan pedoman pelaksanaan kredit (PPK) PT Bank Mandiri, khususnya bab VI buku II tentang Informasi dan Data Debitur yang menyebutkan persyaratan debitur harus mempunyai neraca laba/rugi tiga tahun terakhir dan neraca tahun yang sedang berjalan atau neraca pembukuan perusahaan yang baru berdiri serta permohonan kredit diatas Rp. 1 milyar harus diaudit oleh akuntan publik terdaftar. Kenyataanya PT CGN merupakan perusahaan yang baru enam bulan berdiri yang didirikan pada 23 april 2002 dan tidak pernah menyerahkan neraca tahun berjalan atau pembukaan kepada Bank Mandiri serta saham (modal) yang disetor hanya sebesar Rp. 600 juta (putusan hlm. 32-33). Jaksa mendakwa mantan Direktur Utama Bank Mandiri ECW Neloe, mantan Direktur Risk Management I Wayan Pugeg dan mantan EVP Coordinator Corporate & Goverment M. Sholeh Tasripan dituntut 20 tahun penjara dan denda Rp. 1 milyar subsider kurungan 12 bulan. Akan tetapi Neloe dan kawan-kawan
tidak dituntut membayar uang pengganti karena jaksa menilai tindak pidana korupsi yang dilakukannya memperkaya pihak lain. Jaksa juga meminta barang bukti berupa sembilan akta jual beli dan sertifikat tanah milik ketiga terdakwa dirampas untuk negara, yang diperhitungkan untuk pengembalian kerugian negara. Tuntutan dibacakan kamis oleh JPU yang dipimpin Baringin Sianturi dalam sidang di PN Jakarta Selatan. Sidang dipimpin oleh majelis hakim yang diketuai Gatot Suharnoto dengan anggota I Ketut Manika dan Machmud Rachimi. Menurut jaksa, ketiganya bersalah melakukan korupsi secara bersamasama dan berlanjut. Perbuatan pidana dilakukan dalam pemberian fasilitas kredit investasi kepada PT CGN, menyimpang dari ketentuan perkreditan yang berlaku dibank mandiri. Terdakwa tela memperkaya korporasi, yakni PT CGN dan PT Media Televisi Indonesia, melalui PT TMP sebesar Rp. 54,5 milyar. Perbuatan tersebut merugikan negara sebesar $ 18,5 juta atau setidak-tidaknya Rp. 160 milyar.113 Dalam kesempatan terpisah, Neloe mambantah kesimpulan jaksa yang menyatakan pemberian kredit bridging loan yang kemudian dialihkan menjadi kredit investasi merugikan negara. Sedangkan menurut salah seorang penasihat hukum
terdakwa,
Juan Felix Tampubolon,
kredit kepada
CGN
yang
dipermasalahkan dalam perkara ini tidak dapat dikatakan merugikan negara karena belum jatuh tempo. Faktanya tidak ada kerugian negara, yang ada potensi kerugian negara.114
113
114
“Neloe dkk. Dituntut 20 Tahun penjara”, Kompas, 27 Januari 2006
“ECW Neloe : Nilailah Saya Dengan Hati Nurani”, www.hukumonline.com, 9 Februari 2006
Menurut Neloe, pemberian kredit dana talangan senilai Rp. 160 milyar kepada PT. CGN untuk menyelamatkan PT. Tahta Medan. Krisis diperusahaan itu melibatkan anak perusahaan Bank Mandiri selaku pemegang saham dan pendiri perusahaan. Menurutnya, menyelamatkan PT. Tahta Medan juga menyelamatkan Bank Mandiri. Neloe juga menyatakan bahwa pengalihan dana kredit talangan ke kredit investasi tidak menimbulkan kerugian. Kredit dana talangan telah dilunasi dengan kredit investasi. Bank Mandiri juga masih menikmati bunga, provisi kredit, dan denda jika terjadi tunggakan angsuran. Hingga desember 2005, jumlah pembayaran sebesar Rp. 58 milyar dan angsuran pokok $ 700.000.115 Setelah melewati proses sidang selama lima bulan, tiga mantan petinggi Bank Mandiri, ECW Neloe, I Wayan Pugeg dan M. Soleh Tasripan akhirnya divonis bebas. Majelis hakim menjatuhkan vonis bebas kepada Neloe dkk. yang didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi dalam penyaluran kredit Bank Mandiri kepada PT CGN. Dalam putusannya majelis menyatakan semua unsur pasal dalam UU No. 31 tahun 1999 yang didakwakan telah terpenuhi, kecuali unsur ”dapat merugikan keuangan negara”. Majelis menyatakan perbuatan mereka telah memenuhi unsur ”melawan hukum” pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai dakwaan primer. Para terdakwa dinilai telah melawan hukum karena telah menyetujui penyaluran kredit CGN tanpa mengindahkan prinsip kehati-hatian yang diatur dalam kebijakan perkreditan PT. Bank Mandiri. Mereka tidak cermat menganalisa kemampuan modal CGN yang modal setornya hanya Rp. 600 juta, sementara kredit yang disetujui jauh lebih besar yakni Rp. 160 milyar. Majelis juga menolak pembelaan 115
“Neloe : Negara Tak dirugikan”, Kompas, 10 Februari 2006
terdakwa dengan dalil adanya segregation of duty (pemisahan tugas), dengan mencoba melemparkan kesalahan kepada bawahannya. Hal ini didasarkan UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, direksi adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas operasional perusahaan. Prinsip dalam undang-undang tersebut sesuai dengan asas vicarious liability dalam pertanggungjawaban Pidana Korporasi, yaitu bahwa pertanggungjawaban dalam suatu organisasi adalah kepada orang yang paling mempunyai kewenangan. Vonis bebas terhadap ECW Neloe dkk. menimbulkan reaksi dari berbagai pihak. Komisi Yudisial (KY) memanggil majelis hakim yang mengadili perkara Bank mandiri dengan terdakwa ECW. Neloe dkk. Menurut Irawady Joenoes, dari hasil diskusi dengan dua pakar hukum dari tim ahli BPK, ditemukan kejanggalan dalam proses pemberian kredit dan akhirnya mengarah pada dugaan kejanggalan putusan majelis hakim. Misalnya, tidak diterapkannya prinsip kehati-hatian, proses pemberian kredit sangat cepat, tidak ada uji kelayakan, dan proses pemberian kredit menyalahi aturan internal Bank Mandiri dan UU Perbankan.116 Menurut Irawady, Majelis Hakim seharusnya bisa mengartikan kata ”dapat” sebagai berpotensi merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebagaimana dalam UU No. 31 Tahun 1999. Selain itu, digunakannya UU tentang Perbendaharaan Negara yang baru disahkan pada Tahun 2004, padahal kasusnya sendiri terjadi pada tahun 2002.117 Sementara itu, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran, Prof Komariah Emong Sapardjaja berpendapat pertimbangan hakim tidak tepat dan
116
“KY Panggil Majelis Hakim Kredit Macet Bank Mandiri”, www.republika.co.id, Jumat 10 Maret 2006 117
“KY Panggil Majelis Hakim Kredit Macet Bank Mandiri”, www.republika.co.id, Jumat 10 Maret 2006
tidak sesuai dengan UU No. 31 Tahun 1999. Menurutnya UU No. 31 Tahun 1999 menganut konsep kerugian negara dalam arti delik formil. Unsur ”dapat merugikan keuangan negara atau...” seharusnya dapat diartikan merugikan negara baik langsung maupun tidak langsung. Artinya, suatu tindakan otomatis dapat dianggap merugikan keuangan negara apabila tindakan tersebut ”berpotensi” merugikan keuangan negara.118 B. Analisa Kasus 1. Analisa Perbuatan Korupsi Dalam melakukan analisa penulis menguraikan dakwaan sesuai dengan yang ada dalam putusan. Namun analisa lebih ditekankan pada unsur tentang ”dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” Menimbang bahwa unsur-unsur delik pasal 2 ayat 1 UU nomor 31 tahun 1999 adalah : 1. Setiap orang ; 2. Secara melawan hukum ; 3. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi ; 4. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara Penulis berpendapat langkah yang ditempuh majelis hakim sampai poin ini cukup tepat. Dalam hal menafsirkan unsur-unsur, majelis hakim, cukup jeli. Adami Chazawi menyebutkan bahwa perincian rumusan tindak pidana korupsi ayat (1) adalah119 : Perbuatannya yang memperkaya diri sendiri atau memperkaya
118
“UU Korupsi Menganut www.hukumonline.com, 21 februari 2006 119
Kerugian
Chazawi, Hukum Pidana Materiil h. 34-35
Negara
Dalam
Arti
Formil”,
orang lain atau memperkaya suatu korporasi, dengan cara melawan hukum dan dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara Atau penjabaran unsur korupsi yang dilakukan oleh Andi Hamzah yang menyatakan bahwa bagian inti (bestanddelen) pasal 2 ayat (1) adalah 120: melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pada pendapat Adami Chawazi dan Andi Hamzah kita hanya menemukan tiga unsur korupsi sedangkan pada pertimbangan majelis hakim tulisan KPK tentang korupsi kita menemukan empat unsur sekalipun tidak sama urutannya. Perbedaan tersebut pada unsur ”setiap orang” yang tidak dicantumkan oleh Adami dan Andi Hamzah. Majelis hakim memberikan pertimbangan terhadap terpenuhi atau tidak unsur ”setiap orang” sebanyak 2 halaman (h. 210-211), terhadap pertimbangan unsur :”melawan hukum” sebanyak 10 halaman (h. 211-220), terhadap pertimbangan unsur ”memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi” sebanyak 5 halaman (h.220-224), terhadap pertimbangan unsur ”dapat merugikan keuangan negara” sebanyak 6 halaman (h.224-229). Sedangkan sebanyak 6 lembar (h. 230-235) majelis hakim gunakan untuk memberikan pertimbangan kepada dakwaan subsidair, lebih subsidair dan dakwaan lebib subsidair lagi. a. Pertimbangan majelis hakim tentang unsur ”setiap orang” ; Penulis
sepakat
dengan pertimbangan
Hakim
yang
menekankan
pembedaan makna antara ”setiap orang” dengan ”pelaku” dalam tindak pidana. Indonesia
yang
120
melakukan
pemisahan
terhadap
”perbuatan”
dengan
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi –Melalui Hukum Pidana Nasional Dan Internasional- (Jakarta, Grafindo Persada, 2005) Cet ke-2, h. 122-123
”pertanggungjawaban” memberikan implikasi bahwa orang yang melakukan perbuatan pidana belum tentu mempunyai pertanggungjawaban pidana. Ini terlihat dalam pertimbangan hakim seperti berikut : Menimbang bahwa Prof. Subekti SH mendefinisikan bahwa subyek hukum adalah pembawa hak atau subyek dalam hukum, sedangkan Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH mendefinisikan subyek hukum dadalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum ; (h. 210 alinea ke-3) Menimbang bahwa menurut majelis hakim dalam memberikan pengertian tentang setiap orang tidak bisa dikaitkan dengan uraian kesalahan para terdakwa, karena sesuai asas hukum pidana, masalah kesalahan adalah masalah pertanggungjawaban pidana bukan perbuatan pidana karena di Indonesia menganut ajaran yang dualistis yang memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidananya ; (h. 211 alinea ke-1) Hal tersebut diatas sesuai dengan yang diungkapkan oleh Moeljatno yaitu orang tidak mungkin dipertanggungjawabakan atau dijatuhi pidana kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun melakukan perbuatan pidana, tidak selalu ia dapat dipidana.121 Menurut Moeljatno Hal ini akan lebih mudah dimengerti jika kita membedakan istilah perbuatan pidana dengan kesalahan. Seperti yang berkembang dalam hukum pidana Inggris mengenai ”criminal act” dengan ”criminal liabilty”.122 Diakhir pertimbangannya hakim menyatakan bahwa unsur setiap orang dalam kasus terpenuhi dengan bersandar bahwa para terdakwa merupakan objek hukum yang memenuhi syarat ”manusia, laki-laki sebagai pendukung hak dan kewajiban”. Menimbang bahwa dari fakta hukum yang diperoleh di persidangan bahwa para terdakwa yaitu : E.C.W. NELOE, I WAYAN PUGEG dan M SHOLEH TASRIPAN, SE., MM, yang dihadapkan dipersidangan adalah termasuk pengertian setiap orang karena termasuk orang perorangan yaitu manusia, lakilaki sebagai pendukung hak dan kewajiaban. ; (h. 212 alinea ke-2)
121
Moeljatno, Asas-Asas Hukum h.. 155
122
Poernomo, Asas-Asas Hukum h. 129-130.
Menimbang bahwa dengan perimbangan seperti terurai di atas, maka unsur setiap orang telah terpenuhi ; Penulis sepakat dengan majelis hakim yang menyatakan bahwa terdakwa memenuhi unsur tindak pidana yang pertama yaitu unsur setiap orang.
b. Pertimbangan majelis hakim tentang unsur ”secara melawan hukum” ; Hakim memberikan pertimbangan keberadaan unsur melawan hukum atau sifat melawan hukum. Majelis mengutip pendapat para ahli hukum, seperti Simon dan Roeslan Saleh, tentang sifat melawan hukum formil dan materiil,
yang
tertulis dan tidak tertulis. Menimbang bahwa menurut para ahli hukum yaitu Simon menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Wederredhtelijk (melawan hukum) adalah tidak hanya bertentangan dengan hukum pada umumnya, jadi tidak hanya sejedar bertentangan dengan hukum yang tertulis akan tetapi juga bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis ; (h.212) Menimbang bahwa Roeslan Saleh menyatakan bahwa menurut ajaran melawan hukum yang materiil tidaklah hanya bertentangan dengan hukum tertulis tetapi juga bertentangan dengan hukum tidak tertulis. Sebaliknya ajaran hukum yang formil berpendapat bahwa melawan hukum adalah bertentangan dengan hukum tertulis saja ; (h.212) Majelis hakim kemudian menguraikan kronologis pertimbangan lain yang terdiri 34 alinea dalam 7 halaman, guna mencari kebenaran materil kemungkinankemungkinan adanya sifat melawan hukum. c. Kemungkinan adanya sifat melawan hukum Ketiga terdakwa disini jelas dinyatakan yang mempunyai hak untuk menyetujui fasilitas kredit, yaitu dengan bridging loan, dengan nilai Rp. 160 milyar atau 18,5 juta dollar US. Disini juga secara langsung tertera bahwa terdakwa merupakan pihak yang kemudian menyetujui pemberian kredit tersebut kepada PT. CGN melalui direktur utamanya saksi Edison. (h.214 alinea ke-1). Terdakwa
I,
yaitu
I.C.W
Neloe
dengan
kewenangannya
kemudian
mendisposisikan kepada terdakwa III, M. Sholeh Tasripan untuk diteruskan kepada bagian yang berwewenang yaitu Group Head, Departement Head, Relationship Management dan Credit Analist untuk dilakukan analisa kredit terhadap permohonan kredit yang diajukan (h.214 alinea ke-2) Edison selaku pemohon kredit pada tanggal 22 oktober 2002 menyerahkan kepada terdakwa I yaitu Neloe kemudian diteruskan kepada saksi Indah selaku CA (Credit Analysis), melaui mekanisme yang ada pada KPBM dan PPK yang berlaku di Bank Mandiri Tbk. (h.214 alinea ke-3). Untuk kemudian pada hari itu juga tanggal 22 oktober 2002 dilakukan analisa kredit oleh Indah, Khoirul Anwar (Departement Head) dan Sucipto (RM). (h. 214 alinea ke-4). Dari keterangan saksi Indah bahwa dokumen persyaratan permohonan kredit bridging loan ternyata tidak ada, tidak seperti yang biasanya ada pada permohonan kredit investasi (h. 215 alinea ke-2). o bahwa dari keterangan saksi Indah telah diperoleh fakta hukum bahwa document persyaratan permohonan kredit Bridging Loan tidak ada, tidak seperti yang dilampirkan dalam permohonan kredit investasi ; (h.215 alinea ke-2)
Ketiadaan persyaratan permohonan kredit Bridging Loan merupakan suatu poin dimana adanya kemungkinan unsur kelalaian yang dilakukan oleh terdakwa dalam menangani transaksi kredit dengan nilai puluhan milyar.. Urutan pemutus kredit dari yang terendah adalah terdakwa III, kemudian terdakwa II kemudian terdakwa I, selaku Direktur Utama. (h.215 alinea ke-4) Dari keterangan didapat bahwa saksi Indah telah melakukan pemeriksaan dokumen yang ada dengan mempertimbangkan aspek 5 C sebagai wujud kehatian-hatian berdasarkan ketentuan KPBM dan PPK PT. Bank Mandiri Tbk ; (h. 216 alinea ke1).
Yang menarik untuk dicermati lebih detail adalah tentang ketentuan bahwa pada jaminan dari PT. CGN harus dilakukan pengikatan secara sempurna atas nama PT. Bank Mandiri dengan tujuan bila kredit tersebut macet maka Bank Mandiri mempunyai hak preference atas agunan tersebut. Namun Bank Mandiri tidak melakukan pengikatan tersebut secara sempurna dan hal tersebut merupakan sebuah penyimpangan atas operating prosedur bank. (h. 217 alinea ke-4 dan h. 218 alinea ke-1,2,3). o bahwa walaupun telah diatur baik dalam KPBM maupun PPK maupun SPPK agar barang agunan tersebut diikat, akan tetapi PT. Bank Mandiri Tbk selaku krediturnya tidak melakukan pengikatan itu secara sempurna ; (h. 218 alinea ke-2) o bahwa dengan tidak melakukan pengikatan atas agunan yang diberikan debitur, maka hak ini adalah ujud suatu penyimpangan atas standard operating prosedur bank yang harus dipatuhi dan ditaati oleh para terdakwa ; (h. 218 alinea ke-3) Saksi ahli dari Bank Indonesia, Nani Purwati menyatakan bahwa sikap kehati-hatian dalam pemberian kredit seharusnya tetap ada sekalipun pengikatan barang agunan tidak dilakukan, padahal dimiliki juga surat kuasa mamasang hak tanggung. Karena hal tersebut bertujuan untuk memulihkan penguasaan Bank Mandiri atas barang agunan jika terjadi kredit macet dikemudian hari. (h. 220 alinea ke-2). Majelis menyatakan tidak melakukan pengikatan atas barang agunan maka perbuatan tersebut sudah menyimpang SOP yaitu ketentuan dalam KPBM dan PPK PT Bank Mandiri Tbk, sehingga walaupun Surat Kuasa Memegang Hak Tanggung sudah dikuasai, hal itu tidak menghapuskan kesalahan para terdakwa (h. 220 alinea ke-3). Bahwa kemudian Majelis Hakim menegaskan unsur perbuatan melawan hukum sudah terpenuhi. Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan seperti tersebut diatas, maka unsur adanya perbuatan yang melawan hukum telah terpenuhi ; (h.220)
Penulis sepakat dengan pendapat majelis hakim karena berdasarkan fakta hukum yang terungkap dan tercatat dalam putusan pengadilan memang terlihat jelas bahwa terdakwa memiliki unsur sifat melawan hukum dengan tiga poin perting : 1. Bahwa dalam persyaratan permohonan bridging loan PT. CGN tidak ada. 2. Bahwa tidak dilakukannya pengikatan terhadap barang agunan PT. CGN. 3. Bahwa tidak dilakukan pengawasan dengan cermat terhadap kinerja Bisnis Unit PT. Bank Mandiri. Penulis beranggapan bahwa unsur sifat melawan hukum tersebut kemudian menjadi salah satu unsur pertanggungjawaban pidana dan pertanggungjawaban pidana korporasi konsp vicarious liability. Karena ketiga sifat melawan hukum tersebut masuk kedalam lingkup organisasi yang tanggungjawabnya ada diatasan, dalam hal ini para Terdakwa. d. Pertimbangan majelis hakim tentang unsur ”memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi”. Majelis hakim berusaha mencari makna yang tepat dengan istilah “memperkaya” yang ada dalam pasal 2 ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999 dan menurut Majelis hal tersebut menjadi penting dengan tujuan agar tidak terjadi pembiasaan atau sikap apriori terhadap makna “memperkaya” itu sendiri (h.220 alinea 5/ terakhir). Sedangkan, menurut majelis istilah memperkaya itu sendiri tidak atau belum memiliki makna yang jelas karena UU No. 31 Tahun 1999 pada bab penjelasan hanya memberikan kata “cukup jelas” pada poin penjelasan makna “memperkaya” (h.221 alinea ke-2, 3)
Kemudian majelis memperjelas makna “memperkaya” dengan merujuk pada Kamus Indonesia yang memberikan arti “memperkaya” dengan makna “melakukan perbuatan yang mengakibatkan seseorang yang semula tidak memiliki suatu harta (miskin) menjadi memiliki harta yang banyak (kaya) atau melakukan perbuatan yang mengakibatkan orang yang sudah banyak hartanya (kaya) menjadi semakin banyak hartanya (semakin kaya) ; (h.221 alinea ke-4). Usaha yang dilakukan oleh Majelis merupakan langkah yang tepat. Karena mau tidak mau kalau kita cari kesepakatan makna tentang satu istilah dalam pasal tentu dalam Undang-undang yang bersangkutan yang menjawabnya. Kalau dengan hal tersebut tidak terjawab maka dicari pada pendapat ahli, dalam hal ini Andi Hamzah, yang dimintai pendapatnya oleh majelis cukup kompeten Majelis Hakim menegaskan bahwa pada 22 oktober 2002 PT. CGN mengajukan Kredit 18,5 juta US dollar dengan fasilitas Bridging Loan yang nilainya sebesar Rp. 160 milyar (h.221 alinea ke-6), permohonan kredit tanggal 28 oktober 2002 dan tanggal 29 oktober 2002 cair sebesar Rp. 160 milyar, Kemudian, menurut majelis hakim, pada waktu mengajukan kredit kepada PT. Bank Mandiri Tbk, modal yang dimiliki oleh PT. CGN sudah mencapai Rp. 600 juta (sudah kaya) (h.222 alinea ke-2), namun dengan modal yang dimiliki sebesar Rp. 600 juta itu, PT CGN belum bisa atau belum mampu membeli asset PT. Tahta Medan yang harganya ditawarkan sebesar Rp.160 milyar (h.222 alinea ke-3). Hal tersebut menurut majelis hakim mebuat PT. CGN tidak bisa atau tidak mampu membeli asset kredit PT. Tahta Medan, seperti tersebut diatas maka PT. CGN belum bisa memiliki atau menguasai asset kredit PT. Tahta Medan (h.222 alinea ke-4). Hal tersebut kemudian berubah dengan dicairkannya Kredit Bridging Loan pada tanggal 28 dan 29 oktober 2002 yang total nilainya Rp. 160 milyar, maka
PT. CGN bisa membeli, bisa menguasai dan bisa memiliki asset kredit PT. Tahta Medan (menjadi semakin kaya) (h.222 alinea ke- alinea ke-5).
o bahwa kemudian dengan dicairkannya Kredit Bridging Loan pada tanggal 28 dan 29 oktober 2002 yang total nilainya Rp. 160 milyar, maka PT. CGN bisa membeli, bisa menguasai dan bisa memiliki asset kredit PT. Tahta Medan (menjadi semakin kaya) ; (h.222 alinea ke-5)
Pertimbangan hakim dengan menyatakan bahwa perubahan PT. CGN belum
kaya
sebelum
modalnya
bertambah
Rp.
160
milyar
karena
ketidakmampuan membeli aser PT Tahta Medan sudah sesuai dengan fakta hukum yang ada dalam putusan tersebut. Dalam pertimbangannya majelis mengatakan bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, maka unsur memperkaya orang lain telah terpenuhi. Menimbang bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, maka unsur memperkaya orang lain telah terpenuhi ; (h.224 alinea ke-1). e. Pertimbangan majelis hakim tentang unsur ”dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” Disini, majelis hakim memulai pertimbangan terhadap elemen tindak pidana korupsi yang keempat dengan mengutarakan pentingnya posisi dari kata ”dapat” dalam pasal 2 ayat (1) tersebut (h.224 alinea ke-3). Hakim menjelaskan bahwa pada dasarnya kata ”dapat” yang dalam bagian dari delik formil bertujuan untuk memudahkan Jaksa dalam penuntutan (h.224 alinea ke-4). Karena menurut Andi Hamzah seperti yang dikutip majelis, Sehingga Jaksa tidak perlu membuktikan apakah kerugian itu betul-betul terjadi atau tidak (h.225 alinea ke1). Penulis berpendapat bahwa apa yang dilakukan oeh majelis cukup tepat dengan
mengemukakan bahwa
delik
formilnya
tindak
pidana
korupsi
sesungguhnya memudahkan Jaksa untuk menuntut pelaku yang diduga melakukan tindak pidana korupsi karena Jaksa hanya cukup membuktikan terpenuhinya unsur pasal yang didakwakan. Dalam delik materil Jaksa harus membuktikan keberadaan akibat dari perbuatan-perbuatan terdakwa.123 Tentang delik ini, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa kata ”dapat” yang dicantumkan didepan unsur merugikan keuangan negara pada pasal yang didakwakan oleh penuntut umum, merubah delik ini menjadi ”delik formil”.124 Kata dapat maksudnya adalah bahwa kata ”dapat” sebelum kata ”kerugian negara” di pasal tersebut dimaknai dengan arti potensial lost, sesuatu yang berpotensi merugikan negara karena bukti-bukti diawal yang menyatakan bahwa unsur sebelumnya terbukti. Dengan kelalaian, proses penyelesaian peminjaman yang hanya memakan waktu satu hari, modal pemohon hanya Rp. 600 juta sedangkan peminjaman Rp. 160 milyar, persyaratan permohonan bridging loan, tidak dilakukannya pengikatan agunan dari PT. CGN125.. Majelis melakukan hal yang tidak termasuk kedalam ranah kompetensinya yaitu menguji pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 dengan mengatakan bahwa ”sudah saatnya kata ”dapat” dalam UU Tindak Pidana Korupsi yang baru di hapuskan” dengan alasan bahwa bukan merupakan hal yang sulit dalam melakukan pembuktian kata ”kerugian negara” (h.225 alinea ke-2). 123 Delik materil dalam KUHP seperti pasal 338 tentang pembunuhan yaitu : “barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Sedangkan delik formil seperti pasal 362 tentang pencurian yaitu : “barangsiapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”. 124
Barda Bawawi Arief, “Masalah Penegakkan Hukum & Kebijakan Penanggulangan Kejahatan”, (Jakarta, Citra Aditya Bakti, 2001) Cet ke-1, h. 149 125
Garnasih, Benang Kusut Peradilan h. 99-101
Majelis kemudian mengatakan bahwa delik korupsi adalah delik yang sudah selesai dan tidak akan hapus seketika terdakwa mengembalikan uang kepada negara (h.225 alinea ke-3). Majelis merasa tidak menemukan artian spesifik dari kata “kerugian negara” dalam Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian mencari artian definitif kata tersebut pada Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dimana pasal 1 butir 22 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kerugian negara adalah kekurangan uang surat berharga dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja ataupun lalai ; (h.225 alinea ke-4). Dan penegasan Majelis bahwa kerugian negara harus nyatanyata terjadi. Saksi ahli Rudy Prasetya menyatakan bahwa pemegang saham baru dikatakan rugi jika dilakukan likwidasi dengan catatan perusahaan tidak bisa mengembalikan penyertaan (h.227 alinea ke-3). Sedangkan menurut saksi ahli, K.C Komala dalam praktek perbankan suatu transaksi kredit baru dapat dihitung kerugiannya apabila kredit itu telah jatuh tempo akan tetapi fasilitas kredit tidak dapat dilunasi seluruhnya ; (h.227 alinea ke-4) Saksi ahli Muhammad Yusuf, dipersidangan menerangkan bahwa saat terjadinya kerugian negara apabila tidak memenuhi standart operating procedure itu dikucurkan atau dicairkan, sedangkan apabila kemudian terjadi pembayaran maka hal itu adalah merupakan tindak lanjut dari pembayaran atas kerugian negara. Kemudian bila dalam laporan keuangan Bank Mandiri tidak ada laporan kerugian maka berarti juga tidak ada kerugian yang dialami oleh negara (h.228 alinea ke-4,5).
Kemudian majelis dalam pertimbangan akhirnya menyatakan bahwa dalam pemeriksaan dalam persidangan, berdasarkan keterangan saksi-saksi dan ahli serta bukti-bukti yang diajukan, maka menurut pendapat majelis hakim bahwa kredit tersebut masih berjalan yang jatuh temponya nanti September 2007. Juga diperoleh fakta hukum bahwa PT. CGN / PT. Tahta Medan si debitor masih melaksanakan kewajiban yaitu berdasarkan bukti yang diajukan, sampai dengan desember 2005, PT CGN / PT Tahta Medan sudah membayar bunga dan pokok pinjaman sebesar Rp. 58 milyar, juga dari keterangan saksi dan ahli seperti terurai diatas, menurut pendapat majelis hakim, tidak terbukti adanya kerugian Negara c.q Bank Mandiri ; (h.229 alinea ke-3) Sedangkan kesimpulan Majelis menyatakan bahwa oleh karena salah satu unsur dalam pasal 2 ayat 1 nomor 31 tahun 1999 sebagaimana yang diuraikan dalam dakwaan primer oleh Jaksa Penuntut Umum tidak terpenuhi maka dakwaan tersebut harus dinyatakan tidak terbukti (h.229 alinea ke-4). Menimbang bahwa oleh karena dakwaan primer tidak terbukti, maka terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan primer tersebut (h.230 alinea ke-1). Menimbang bahwa oleh karena salam satu unsur dalam pasal 2 ayat 1 nomor 31 tahun 1999 sebagaimana yang diuraikan dalam dakwaan primer oleh jaksa penuntut umum tidak terpenuhi maka dakwaan tersebut harus dinyatakan tidak terbukti ; (h.229 alinea ke-4) Pertimbangan Majelis pada unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” pada dakwaan primer diterapkan pada dakwaan subsidair, lebih subsidair, lebih subsidair lagi sehingga otomatis semua dakwaan tersebut patah. Tidak terpenuhinya dakwaan subsidair (h.231 alinea ke-2), lebih subsidair (h.233, alinea ke-2), lebih subsidair lagi (h.233, alinea ke-3) memnyebabkan hakim mengeluarkan putusan sebagai berikut : Mengadili
1. Menyatakan bahwa para terdakwa -
EDWARD CORNELIS WILLIAM NELOE, tersebut ;
-
I WAYAN PUGEG, tersebut ;
-
M. SHOLEH TASRIPAN, SE, MM, tersebut ;
Tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan kepada mereka. 2. Membebaskan para terdakwa tersebut dari seluruh dakwaan tersebut ; 3. Memerintahkan agar para terdakwa dibebaskan dari tahanan negara ; 4. Mengembalikan hak-hak para terdakwa dalam kedudukan, kemampuan, harkat dan martabatnya ; 5. Memerintahkan barang bukuti berupa dokumen yang tercantum dalam daftar barang bukti no. Urut 1 sampai dengan 140 (h. 235255) tetap dilampirkan dalam berkas perkara dikembalikan kepada terdakwa ; 6. Membebankan kepada msing-masing terdakwa untuk membayar biaya perkara ini sebesar rp. 7500.00 ; Penulis akan memberikan beberapa sanggahan atas pertimbangan unsur “dapat merugikan keuangan negara” untuk memudahkan pisau analisa terhadap unsur “pertanggungjawaban pidana korprasi”. Kemudian, penulis mencoba mengungkapkan apakah kemudian ada kemungkinan konsep strict liability dan vicarious liability dapat diterapkan dalam kasus tindak pidana korupsi I.C.W Neloe dkk. Terlebih dengan dinyatakan mereka
“tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan pidana“ sebagaimana dengan dakwaan. Penulis melihat bahwa putusan Majelis Hakim telah salah menerapkan hukum atau menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya dan kemungkinan keluarnya putusan lain menurut penulis cukup terbuka. Hal itu dikarenakan beberapa pertimbangan yang digunakan hakim tidak dalam jalurnya, antara lain : 1. Tidak konsistennya Majelis Hakim menerapkan ketentuan tindak pidana yang didakwakan, karena Majelis Hakim dalam membuktikan unsur "barang siapa" dan unsur "yang dengan melawan hukum" serta unsur "memperkaya orang lain atau korporasi", didasarkan pada ketentuan pidana yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Namun pada saat membuktikan unsur “dapat merugikan keuangan negara" Majelis Hakim mendasarkan pada ketentuan Hukum Administrasi Negara (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara) dan Hukum Perdata (Perjanjian Kredit). 2. Bahwa Majelis Hakim keliru menafsirkan konotasi kata “dapat" sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 secara analogi, karena Majelis Hakim menafsirkan bahwa pengertian kata "dapat" adalah “suatu hal dapat merugikan dan suatu hal dapat tidak merugikan”, (putusan hal 224 alinea 3) sehingga Majelis Hakim telah menafsirkan kata "dapat" bertentangan dengan penjelasan resmi dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 ; yaitu bahwa rumusan delik ini adalah delik formil, artinya seperti apa yang dijelaskan dalam penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 menjelaskan : "Dalam ketentuan ini kata "dapat sebelum frasa" merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, menunjukkan bahwa tindak pidana (delict) korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat" ; 3. Bahwa Majelis Hakim telah menafsirkan arti kata "dapat" dalam suatu yang belum pernah terjadi dan ada secara nyata, karena Majelis Hakim menginginkan dalam ketentuan baru nantinya kala "dapat" sudah saatnya dihapuskan, sehingga dengan demikian Majelis Hakim telah menafsirkan ketentuan dalam Undang-Undang yang belum ada, yang artinya penafsiran keliru dari Majelis Hakim hanya merupakan wacana. 4. Bahwa kekeliruan Majelis Hakim dalam menafsirkan unsur tindak pidana yaitu unsur "dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" terjadi dikarenakan Majelis Hakim telah mempertimbangkan hal-hal yang tidak didakwakan, karena baik dalam Dakwaan Primair, Dakwaan Subsidair, Dakwaan lebih Subsidair, serta Dakwaan lebih Subsidair lagi, Penuntut Umum tidak ada mendakwakan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 dan UndangUndang Nomor 15 Tahun 2004 ataupun meng-junctokannya dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 atau menjunctokannya dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004. 5. Bahwa adanya pemutarbalikan fakta keterangan ahli Prof. DR. Rudy Prasetya, dimana di dalam pertimbangan Majelis Hakim halaman 227 paragraf 1 dikatakan : "Menimbang bahwa menurut Ahli Hukum Korporasi yaitu Prof. DR. Rudy Prasetya mengatakan bahwa pemegang saham baru dapat dikatakan menderita rugi apabila setelah dilakukan likuidasi perusahaan dan hasil likuidasi tersebut tidak bisa mengembalikan penyertaan yang
ditanamkan dalam PT tersebut", sementara dalam fakta persidangan berupa keterangan ahli Prof. DR. Rudy Prasetya yang dituangkan dalam putusan halaman 186 s/d 189 sebanyak 22 (dua puluh dua) fakta, tidak ada terungkap fakta sebagaimana dipertimbangan Majelis Hakim pada putusan halaman 227 paragraf 1 tersebuf di atas ; 6. Bahwa adanya pemutarbalikan fakta keterangan ahli K.C. Komala oleh Majelis Hakim, sebagaimana dalam pertimbangan Majelis Hakim halaman 227 paragraf 2 dikatakan "Menimbang bahwa ahli KC. Kamala, ahli perbankan mengatakan bahwa dalam praktek perbankan suatu transaksi kredit baru dapat dihitung kerugiannya apabila kredit itu telah jatuh tempo akan tetapi fasilitas kredit tidak bisa dilunasi seluruhnya", sementara dalam fakta persidangan berupa keterangan ahli tersebut sebagaimana dituangkan dalam putusan halaman 193 s/d halaman 195, tidak satupun fakta keterangan ahli tersebut yang menerangkan sebagaimana pertimbangan Majelis Hakim, sehingga dasar pertimbangan Majelis Hakim bukan atas fakta yang terungkap di persidangan ; 7. Bahwa Majelis Hakim dalam putusan tidak menerapkan hukum pembuktian sebagaimana mestinya yaitu dalam menentukan unsur "dapat merugikan keuangan negara", telah tidak menerapkan alat-alat pembuktian yang diperoleh di persidangan secara obyektif dan komprehensif yaitu keterangan ahli, karena : Majelis Hakim telah memanipulasi keterangan ahli dari BPKP (ahli Mohamad Yusuf, Ak) yang mengatakan dalam putusan halaman 228 alinea 5 yaitu : "Menimbang, bahwa menurut keterangan ahli dari BPKP yakni Muhamad Yusuf, AK dalam persidangan juga telah menerangkan bahwa apabila dalam laporan keuangan Bank Mandiri yang disahkan dalam RUPS
ternyata tidak ada kerugian yang dialami oleh Bank Mandiri, maka berarti juga tidak ada kerugian yang dialami oleh Negara" ; padahal ada keterangan Mohamad Yusuf, Ak yang menyatakan bahwa kerugian Negara sudah timbul sejak diterbitkannya kredit yang tidak sesuai atau menyimpang dari ketentuan yang diatur dalam Standar Operating Prosedure (hal. 185 alinea 3) dan yang menyatakan bahwa dengan dikucurkannya kredit PT. Bank Mandiri kepada PT. CGN dimana agunan belum diikat maka sejak saat itulah Negara telah rugi sebesar kredit yang dukucurkan yakni 18,5 juta US Dollar. (hal. 185 alinea 5). dengan demikian jelas terdakwa bersalah. 8. Bahwa keterangan ahli tersebut telah dipertimbangkan Majelis Hakim sepotong-potong dan tidak secara utuh, karena menurut ahli apabila dalam RUPS Bank Mandiri mengalami keuntungan, hal tersebut adalah merupakan keuntungan dari seluruh transaksi umum secara satu periodik (satu tahunan), Sedangkan kerugian yang timbul dalam kasus ini adalah kerugian khusus atas pemberian fasilitas kredit sebesar USD 18,500,000 yang menyimpang dari Standart Operating Procedure antara lain tidak dilakukannya pengikatan jaminan pada saat pencairan Standart Operating Procedure yang berlaku pada Bank Mandiri";
2. Analisa Putusan Hakim Mengenai Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Penting mengetahui posisi terakhir kasus Ecw Neloe untuk mendapatkan gambaran sejauh mana Hakim melakukan penerapan peraturan-perundang-
undangan dengan tepat. Berikut petikan putusan Majelis Hakim Mahkamah Agung pada putusan perkara E.C.W Neloe cs. 1. Pada putusan pidana Pengadilan Negeri Jaksel No: 2068/Pid.B/2005/PN Pengadilan Negeri . E.C.W Neloe diputuskan bebas murni. 2. Pada tingkat mahkamah agung E.C.W Neloe diputuskan bersalah kasasi MAhkamah Agung dengan nomor putusan 1144 K/Pid/ 2006. MENGADILI Menolak permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi I/para Terdakwa : I. EDWARD CORNELLIS WILLIAM NELOE, II. I WAYAN PUGEG, III. M. SHOLEH TASRIFAN, SE, MM tersebut ; Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II : JAKSA/ PENUNTUT UMUM PADA KEJAKSAAN NEGERI JAKARTA SELATAN tersebut ; Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 2068/Pid.B/2005/ PN.Jak.Sel, tanggal 20 Februari 2006 ; MENGADILI SENDIRI 1. Menyatakan para Terdakwa : I. EDWARD CORNELLIS WILLIAM NELOE, II. I WAYAN PUGEG, III. M. SHOLEH TASRIFAN, SE, MM Telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana : “Korupsi secara bersama-sama dan berlanjut” ; 2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Terdakwa-Terdakwa I, II, III, tersebut dengan pidana penjara masing-masing selama 10 (sepuluh) tahun ;
3. Menetapkan lamanya Terdakwa-Terdakwa I, II, III berada dalam tahanan sebelum putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap, akan dikurangkan seluruhnya dari pidana penjara yang dijatuhkan ; 4. Menghukum Terdakwa-Terdakwa I, II, III dengan hukuman denda masing-masing sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tidak dibayar, maka kepada masing-masing Terdakwa dikenakan hukuman pengganti berupa pidana kurungan selama 6 (enam) bulan. Putusan Mahkamah Agung menegaskan bahwa sesungguhnya putusan hukum PN yang membebaskan E.C.W neloe sudah dibatalakan. Maka dengan putusan tersebut terbuktilah bahwa ketiga terdakwa bersalah. Pengungkapan asas kesalahan sebagai asas yang fundamental, mempunyai arti bahwa pada prinsipnya pertanggungjawaban pidana dalam arti pemberian pidana, hanya dapat dikenakan kepada orang yang benar-benar mempunyai kesalahan
atas
perbuatan
yang
dilakukannya.
Maksudnya,
bahwa
pertanggungjawaban pidana hanya dikenakan kepada seseorang yang melakukan perbuatan pidana, yang dalam hal ini perbuatan itu didukung oleh sikap batin yang tercela.
126
Teori fiduciary duty adalah suatu kewajiban yang ditetapkan undangundang bagi seseorang yang memanfaatkan seseorang lain, dimana kepentingan pribadi seseorang yang diurus oleh pribadi lainnya, yang sifatnya hanya hubungan atasan-bawahan
sesaat.
Orang
yang
mempunyai
kewajiban
ini
harus
melaksanakannya berdasarkan suatu standar dari kewajiban (standard of duty) yang paling tinggi sesuai dengan yang dinyatakan oleh hukum. Sedangkan 126
Djanim, Korporasi Dan Pertanggungjawaban h. 107
fiduciary ini adalah seseorang yang memegang peran sebagai suatu wakil (trustee) atau suatu peran yang disamakan dengan sesuatu yang berperan sebagai wakil, dalam hal ini peran tersebut didasarkan kepercayaan dan kerahasiaan (trust and confidence) yang dalam peran ini meliputi, ketelitian (scrupulous), itikad baik (good faith), dan keterusterangan (candor). Fiduciary ini termasuk hubungan seperti, pengurus atau pengelola, pengawas, wakil atau wali, dan pelindung (guardian). Termasuk juga di dalamnya seorang lawyer yang mempunyai hubungan fiduciary dengan client-nya. 127 Doktrin atau prinsip fiduciary duty atau pendelegasian wewenang ini dapat kita jumpai dalam Undang-undang No.1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Menurut Pasal l79 ayat (1) UUPT pengurusan PT dipercayakan kepada direksi Lebih jelasnya pasal 82 UUPT menyatakan, bahwa Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan Sedangkan Pasal 85 UUPT menetapkan bahwa setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha Perseroan. Pelanggaran terhadap hal ini dapat menyebabkan Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya tersebut. Menanggapi putusan bebas tersebut. Jaksa Penuntut Umum, Baringin Sianturi menilai putusan Majelis Hakim yang menggunakan definisi kerugian negara berdasarkan UU No. 1 Tahun 2004 tidak tepat. Baringin berpendapat tindakan majelis hakim tersebut telah menyalahi prinsip non-retro aktif (tidak 127
Henry Campbell Black , Black’s Law Dictionary, hal. 625.
berlaku surut) karena UU Perbendaharaan Negara dikeluarkan tahun 2004, sedangkan kejadiannya tahun 2002. Baringin juga tidak sependapat dengan pertimbangan majelis yang menyatakan kerugian negara tidak ada karena PT. CGN sudah mencicil per Desember 2005. Pasalnya, fakta sebenarnya adalah PT. CGN baru mulai mencicil setelah direksi PT. CGN ditahan oleh kejaksaan.128 Maka ditambah dengan tujuh keterangan yang penulis ajukan dan keterangan Prof Dr. Rudy Prasetya, SH dan Prof. Dr. Andi hamzah, SH sebagai saksi ahli sebagai berikut : Saksi ahli Prof. Dr. Rudy Prasetya, SH menyatakan : Bahwa Apabila suatu keputusan yang diambil oleh direksi adalah hasil keputusan bersama dengan persetujuan komisaris, maka RUPS yang diwakilkan komisaris bisa
ikut
tanggung jawab (h. 187, alinea ke-7) Saksi ahli Prof. Dr. Andi Hamzah , SH menyatakan : Bahwa ada satu prinsip dalam hukum pemidanaan yang menyatakan yakni tidak ada pertanggungjawaban pidana tanpa adanya kesalahan, sehingga dalam perkara ini tidak bisa diterapkan asas strict liability ; (h. 196, alinea ke-3) Penjelasan dari Prof. Rudy Prasetya sesungguhnya membuka adanya dimungkinkannya pertanggungjawaban berdasarkan konsep vicarious liability yaitu ”pelimpahan” kesalahan dari bawahan kepada atasan. Namun kita juga perlu melihat lagi apakah bawahan dari ketiga Direktur tersebut yang melakukan kesalahan, tentu tadi sudah sedikit penulis jelaskan tentang fiduciary of duty. Sedangkan Prof. Andi Hamzah, menyatakan tidak mungkin melakukan pertanggungjawaban pidana tanpa adanya kesalahan sehingga konsep strict
128
“Neloe Cs Lolos Dari Tuntutan 20 Tahun Penjara”, www.hukumonline.com, 20 Februari 2006.
liability yang penulis ajukan tentu terpatahkan kalau unsur kesalahan tidak ada dan tidak terbukti. Namun penulis merasa yakin kalau kesalahan ketiga direktur Pt. Bank Mandiri Tbk tersebut nyata-nyata ada. Berikut petikan putusan hakim dan keterangan para ahli yang menyatakan berdasarkan penjelasan diatas tentang adanya perbuatan melawan hukum yang menindikasikan adanya kesalahan dalam putusan pemberian kredit. 1. Persyaratan kredit tidak lengkap o bahwa dari keterangan saksi Indah telah diperoleh fakta hukum bahwa document persyaratan permohonan kredit Bridging Loan tidak ada, tidak seperti yang dilampirkan dalam permohonan kredit investasi ; (h.215 alinea ke-2) 2. Tidak dilakukannya pengikatan terhadap agunan o bahwa walaupun telah diatur baik dalam KPBM maupun PPK maupun SPPK agar barang agunan tersebut diikat, akan tetapi PT. Bank Mandiri Tbk selaku krediturnya tidak melakukan pengikatan itu secara sempurna ; (h. 218 alinea ke-2)
Undang-undang No. 1 Tahun 1995 yang menyatakan bahwa Dewan Direksi adalah yang bertanggung jawab atas segala operasional perseroan terbatas atau korporasi (h.219 alinea ke-3). Terlebih diketahui tenyata kelalaian tidak memasang hak tanggung tersebut berlangsung selama kurun waktu 3 tahun, sejak 22 oktober 2002 hingga 2005 (h. 219 alinea ke1,2). 3. Surat Kuasa Memegang Hak Tanggung tidak menghapuskan kesalahan terdakwa Saksi ahli dari Bank Indonesia, Nani Purwati menyatakan bahwa sikap kehati-hatian dalam pemberian kredit seharusnya tetap ada sekalipun pengikatan barang agunan tidak dilakukan. Karena hal tersebut bertujuan untuk memulihkan penguasaan Bank Mandiri atas barang agunan jika terjadi
kredit macet dikemudian hari. (h. 220 alinea ke-2). Majelis menyatakan tidak melakukan pengikatan atas barang agunan maka perbuatan tersebut sudah menyimpang SOP yaitu ketentuan dalam KPBM dan PPK PT Bank Mandiri Tbk, sehingga walaupun Surat Kuasa Memegang Hak Tanggung sudah dikuasai, hal itu tidak menghapuskan kesalahan para terdakwa (h. 220 alinea ke-3). Penulis tentu sepakat dengan pendapat majelis hakim yang penulis kuti pdiatas karena berdasarkan fakta hukum yang terungkap dan tercatat dalam putusan pengadilan memang terlihat jelas bahwa terdakwa memiliki unsur sifat melawan hukum dengan tiga poin penting : 1. Bahwa dalam persyaratan permohonan bridging loan PT. CGN tidak ada. 2. Bahwa tidak dilakukannya pengikatan terhadap barang agunan PT. CGN. 3. Bahwa Surat Kuasa Memegang Hak Tanggung tidak menghapuskan kesalahan terdakwa Dengan demikian maka unsur melawan hukum yang secara nyata merupakan sifat melawan hukum sudah terpenuhi maka pertanggungjawaban pidana dapat diterapkan. Adapun yang tepat adalah bertnggungjawaban pidana vicarious liability karena penulis memegang prinsip dalam UU No. 1 Tahun 1995 yang menyatakan bahwa Dewan Direksi adalah yang bertanggung jawab atas segala operasional perseroan terbatas atau korporasi selain adanya keterangan tentang Urutan pemutus kredit yaitu ”dari yang terendah adalah terdakwa III, kemudian terdakwa II kemudian terdakwa I, selaku Direktur Utama. (h.215 alinea ke-4)
Dalam hal ini karena pertanggungjawaban pidana korporasi yang dianut dalam hukum pidana Indonesia mengharuskan bahwa perusahaan bersalah dalam arti ada niat dan celaan objektif yang tertuang dalam perbuatan perusahaan yang melawan hukum. Dalam kasus I.C.W Neloe dan kawankawan yang menjadi terdakwa adalah mantan direktur utama, managemen dan risk managemen. Mereka melakukan kesalahan dan kesengajaan berdasarkan beukti-bukti tersebut pada poin 1 hingga 8 dengan nyata-nyata. Menurut penulis, ketiga terdakwa seharusnya dinyatakan bersalah kemudian dijatuhkan sanksi menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, namun tidak dapat dijerat dengan pasal yang
terkait
dengan
pertanggungjawaban
pidana
korporasi.
Karena
terdakwanya bukan korporasi atau ketiganya tidak dinyatakan sebagai perwakilan dari korporasi. Vicarious liability hanya memudahkan dalam menjatuhkan kesalahan kepada pemegang kekuasaan tertinggi. Maka pertanggungjawaban pidana korporasi tidak melelekat pada kasus ketiga terdakwa.
3. Analisa Putusan Hakim Mengenai Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Menurut Hukum Islam Penulis akan mencoba menganalisa kasus tersebut diatas, terutama dibagian akhir yang berkaitan dengan penerapan hukum Islam, yaitu berdasarkan unsur hudud Sariqah dengan ta’zir khianat. maka penulis akan menguraikan unsur–unsur sariqah dan ta’zir yang terdapat dalam kasus Bank Mandiri. 1. Pengambilan secara diam-diam.
Bahwa Persyaratan kredit tidak lengkap kemudian pencarian dana yang sangat cepat yaitu hanya dalam satu hari penulis menggolongkannya kepada unsur pencurian yaitu pengambilan secara diam-diam. 2. Barang yang diambil berupa harta. Bahwa uang senilai $ 18,5 juta dollar atau senilai dengan Rp. 160 milyar. telah dikelurkan oleh PT. Bank Mandiri. Hal ini memenuhi unsur pencurian lain yaitu barang yang diambil berupa harta. 3. Harta tersebut milik orang lain Dana yang ada di PT. Bank Mandiri adalah uang nasabah Bank Mandiri yang disimpan disana dan dikelola oleh PT. Bank Mandiri. negara adalah pemilik perusahaan tersebut. jadi negara juga mempunyai andil kepemilikan terhadap uang dan sirkulasi keuangan di Pt. Bank Mandiri. Bank Mandiri dapat digolongkan kepada badan hukum dalam Syariat Islam yaitu sama baitul mal (perbendaharaan negara) sebagai “badan” (jihat) yakni badan hukum (syaksun ma’nawi). karena sahamnya dimiliki sebahagian besar oleh negara. 4. Adanya niat melawan hukum atau kesengajaan melakukan kejahatan Bahwa Persyaratan kredit tidak lengkap kemudian pencarian dana yang sangat cepat dan tidak mengidahkan prinsip kehati-hatian yaitu hanya dalam satu hari dan tidak dilakukannya pengikatan terhadap agunan merupakan unsur melawan hukum. Maka dengan demikian unsur pencurian sudah terpenuhi dalam konsep hukum Islam. Adapun dalam pertanggungjawaban pidana korporasi maka harus dilihat sejauh manakah adanya pembebasan ketiga direktur itu dengan hasil akibat perbuatan atau tidak adanya hasil perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan
sendiri, dimana ia harus mengetahui maksud-maksud dan akibat-akibat dari perbuatan itu. Pertanggungjawaban pidana tersebut ditegakkan atas tiga hal : pertama adanya perbuatan yang dilarang, kedua dikerjakan dengan kemauan sendiri, ketiga pembuatnya mengetahi akibat perbuatannya tersebut.129 Dengan terpenuhinya syarat-syarat tersebut, maka kita dapat mengetahui bahwa ketiga direktur tersebut dapat dapat dibebani dengan pertanggungjawaban pidana. Klasifikasi pertanggungjawaban pidana dalam Islam yaitu : manusia yang berakal pikiran, dewasa dan berkemauan sendiri130 terpenuhi oleh ketiga mantan direktur Bank Mandiri maka ketiga direktur tersebut dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana. Sedangkan mengenai pertanggungjawaban pidana korporasinya, ketiga direktur dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana strict liability atau liability without fault (pertanggungan tanpa kesalahan). Karena hukum Islam tidak mengenal pertanggungjawaban delegasi atau vicarious liability. Dalam Islam, kalau terjadi perbuatan-perbuatan yang dilarang dan yang keluar dari orang-orang yang betindak atas nama badan hukum, maka orang-orang itulah yang bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukannya.131 Terlebih Hukum Islam tidak mementingkan faktor kesalahan (guilty mind) baik berupa kesengajaan (dolus) maupun kelalaian (culpa) dalam menjatuhi hukuman pidana. Istilah yang digunakan untuk konsep seperti ini adalah pertanggungjawaban mutlak132. 129
Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana h. 119
130
Ibid., h. 119
131
Ibid., h. 119-120.
132
Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, h.27
5. Unsur khianat yaitu menentang kebenaran dan tidak amanah. Bahwa ketiga terdakwa merupakan direksi Bank Mandiri yaitu ECW Neloe (mantan Direktur Utama), I Wayan Pugeg (mantan Direktur Manajemen Resiko) dan M. Sholeh Tasripan (mantan Direktur Kredit Korporasi), ketiganya memiliki kewajiban untuk melakukan menjalankan PT. Mandiri Tbk sesuai dengan Peraturan perseroan terbatas, UU perbankan beserta peraturanrannya, serta nilai kepemimpinan dan tanggungjawab dalam menjalankan tugas. Bahwa secara jelas terdakwa melakukan usaha yang menyimpang dengan meminjamkan uang sebesar Rp. 160 milyar kepada PT. CGN dengan kesengajaan melalaikan ketentuan Undang-Undang Perbankan (UU No. 10 Tahun 1998) dan Kebijakan Perkreditan Bank Mandiri (KPBM) tahun 2000 yaitu melanggar asas kehati-hatian dari Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 dimana asas kehati-hatian Bank harus memenuhi 5 C yaitu : Character, condition of economy, capital, collateral, dan capacity, dan tujuan pemberian kredit adalah harus pada sektor produktif dan dalam rangka pemberian kredit, Bank harus ada analisis yang mendalam, ada kemampuan untuk pengembalian dari pihak debitur dan tidak melanggar asas perkreditan yang sehat. Kesengajaan melakukan kelalaian hanya mungkin dilakukan oleh orangorang yang menduduki posisi seperti terdakwa. Maka dari itu peranan jabatan, kesempatan dan kedudukan merupakan hal sentral yang dapat menjadi unsur khianat dalam memenuhi delik perbuatan pidana korupsi dalam Islam Maka dari itu layaklah kemudian terdakwa dijatuhi sanksi ta’zir yang ditetapkan oleh penguasa Islam. Sanksi tersebut dapat berupa penjara atau hukuman paling berat yaitu hukuman mati. Penulis bersepakat dalam kasus korupsi di PT. Mandiri Tbk pelakunya dijatuhi sanksi hukuman mati. Dengan
landasan bahwa sariqah dengan jumlah kerugian tidak lebih dari sepertiga gram atau senilai 500 ribu rupiah dihukumi potong tangan maka kemudian pelaku korupsi Rp. 160 milyar layak dijatuhi hukuman mati.
BAB V KESIMPULAN A. Kesimpulan Pada bab ini penulis mencoba memberikan kesemipulan terhadap penjelasan yang sudah diutarakan tentang korupsi, pertanggungjawaban pidana korporasi dan analisa terhadap putusan hakim pada dugaan tindak pidana korupsi pada PT. Bank Mandiri, Tbk. Berikut adalah kesimpulan : 1. Tentang Pertanggungjawaban Pidana
a. Pertanggungjawaban pidana disusun dari unsur: pertama perbuatan, kedua kesalahan, ketiga pertanggungjawaban pidana yaitu . yang melekat kepada seseorang yang memiliki kemampuan bertanggunjawab melakukan perbuatan pidana dengan kesalahan didalamnya serta ketiadaan adanya alasan pemaaf sebagai sifat kesadaran akal. b. Islam menyusun pertanggungjawaban pidana korporasi dengan dibebankan kepada pengurus korprorasi dengan konsep pertanggungjawaban pidana langsung
tanpa
memperhatikan
kesalahan
begitu
juga
dengan
pertanggungjawaban pidana korporasi dalam islam yang menganut konsep strict liability, yang mementingkan akibat dari perbuatan bukan proses atau cara dalam melakukan. c. Pertanggungjawaban pidana korporasi yang banyak digunakan peraturan perundang-undangan di Indonesia ada dua yaitu strict liabilty dan vicarious liability. Dimana UU No. 20 Tahun 2001 jo. UU No. 31 Tahun 1999 pasal 20 korporasi bertanggungjawab dalam kejahatan yang dalam lingkup hubungan pekerjaannya
pertanggungjawaban pidana tersebut
digolongkan kepada vicarious liability. d. Strict liabilty adalah pertanggungjawaban pidana korporasi yang cukup mensyaratkan adanya perbuatan dan akibat dari perbuatan. tanpa memperhatikan adanya kesalahan dari si Pembuat. e. Vicarious liability adalah pertanggungjawaban pidana delegasi. yaitu perbuatan dan kesalahan bawahan pertanggungjawaban pidananya dilimpahkan kepada atasannya. Konsep ini sesuai dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
2. Peraturan perundang-undangan tentang tidak pidana korupsi cukup lengkap dengan adanya Undang-undang 31 Tahun 1999 dan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan terhadap Undang-undang 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hukum Islam mengatur korupsi dengan dalil ketentuan unsure yang penulis sertakan adalah sariqah atau pencurian kemudian hukumannya adalah Ta’zir dengan tambahan unsur khianat atau tidak menjaga amanah dengan keterkaitan pasal 3 UU No. 31 tahun 1999 adalah unsur “…menyalahgunakan wewenang, kesempatan, jabatan atau sarana yang ada pada jabatan dan kedudukan..”. Sedangkan sanksi yang hukumannya diserahkan kepada penguasa. 3. Bahwa kasus Bank Mandiri dari terdakwa ketiga mantan Direktur merupakan kasus tindak pidana korupsi. hasil dari penelitian penulis tentang ini adalah : a. Majelis Hakim memberikan pertimbangan keliru tentang unsur ”dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. b. Bahwa kalau Majelis Hakim melakukan pertimbangan unsur ”dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” sesuai dengan kaidah hukum pidana maka ketiga Mantan Dirut Bank Mandiri dapat dihukum namun dengan asas pertanggungjawaban pidana biasa (bukan korporasi) atau bukan dengan vicarious liability. Karena merupakan kesalahan / kelalaian terdakwa pribadi dalam melakukan kejahatan tersebut bukan bagian dari sistem yang ada di PT. Mandiri Tbk.. Hal tersebut dapat dilihat dengan catatan bahwa surat dakwaan dari jaksa oenuntut umum tidak ada yang mengatasnamakan PT. Mandiri Tbk sebagai korporasi
c. Bahwa kasus Bank Mandiri dengan terdakwa ketiga mantan Direktur sebetulnya sudah memenuhi kualifikasi ta’zir dalam hukum Islam yaitu akumulasi unsur sariqah dengan unsur ta’zir yaitu khianat. Dalam hukum Islam dapat dijerat dengan pertanggungjawaban pidana korporasi tanpa kesalahan strict liability.
B. Saran Penulis merasa perlu memberikan beberapa saran terkait dengan penelitian yang penulis lakukan. Antara lain : 1. Bahwa hakim yang mengadili ketiga terdakwa dalam kasus dugaan korupsi PT. Bank Mandiri Tbk layak diperiksa oleh Komisi Yudisial. 2. Bahwa Hukum Pidana Islam harus menjadi bagian integral dari hukum nasional.
Daftar Pustaka
Audah, Abdul Qadir, ‘at Tasyri’ al Jina’iy al Islamiy, Juz I, Beirut: AlQahiroh Dar Al Kitab, 1977. Ali, Chidir, Badan Hukum, Bandung: Alumni, 1991. Cet. Ke II. Arief, Barda Bawawi, “Masalah Penegakkan Hukum & Kebijakan Penanggulangan Kejahatan”, Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2001. Cet. Ke-1. Amrullaah, Arief, Kejahatan Korporasi –The Hunt For Mega Profits And Attack Democracy- Jawa Timur: Bayu Media, 2006. Arief, Barda Nawawi, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Press, 1990. Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., St. Paul, Minnessota, 1990, ed.6, h. 339. Brataatmaja, T. Heru Kasida, Kamus Bahasa Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1993. Chawazi, Adami, Hukum Pidana Materiil Dan Formiil Korupsi Di Indonesia, Jakarta: Bayu Media, 2005. Cet. Ke-2. Djanim, Rantawan, Korporasi dan Pertanggungjawaban Pidana, Semarang, Badan Penerbit Diponegoro, 2006. Effendi, Rusli, A.Z. Abidin Farid, Barny C.M., Masalah Kriminalisasi Dan Dekriminalisasi Dalam Rangka Pembahasan Hukum Pidana, Dalam BPHN-DepKeh,
Simposium
Pembaharuan
Hukum
Pidana
Nasional,
Bandung: Bina Cipta, 1986. Farid, Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 1995.
------, Bunga Rampai Hukum Pidana, Jakarta, Pradnya Paramita, 1983. Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta: Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2004. Garnasih, Yenti, Marwan Effendi, dkk, Benang Kusut Peradilan Korupsi Perbankan, Catatan Hasil Eksaminasi Putusan Neloe Dkk, Jakarta, KRHN, 2006. Cet. Ke-1. Hamzah, Andi, Korupsi Di Indonesia dan Pemecahannya, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991. ---------, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Cet Ke-2. ---------, Pemberantasan Korupsi Dalam Hukum Pidana Nasional Dan Internasional, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006. Huda, Chairul, “Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” Menuju Kepada “Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan”, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006. Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2006. Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989. KPK, Memahami Untuk Membasmi –Buku Saku Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi-, Jakarta: KPK, 2006. Cet Ke-2. Loqman, Loebby, Pertanggungan Jawab Pidana Bagi Korporasi Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Jakarta: Kantor Meneg KLH, 1989.
Moleong, Lexi J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005. Marpaung, Leden, Asas Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2005. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2002. Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam – Fikih Jinayah- Jakarta: Media Grafika, 2006. Malang Corruption Watch, Mengerti Dan Melawan Korupsi, Jakarta: Sentralisme Production, 2005. Poernomo, Bambang, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1994. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976. Remmelink, Jan, Hukum Pidana, Jakarta: Gramedia Pustaka, 2003. Suma, Muhammad Amin, dkk, Pidana Islam Di Indonesia –Peluang, Prospek Dan Tantangan-, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. Cet. Ke-1. Sjahdeini, Sutan Remy, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta: Grafitti Pers, 2006. Simpson, Sally S., Strategy, Structure and Corporate Crime, 4 Advances in Criminological Theory 171 (1993) Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004. Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002. Saleh, Roeslan, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana – Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana-, Jakarta: Aksara Baru, 1983.
------, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungan Jawab Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982. ------, Sifat Melawan Hukum Dari Perbuatan Hukum Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1987. Soetjipto, Andi Andojo, Indroharto, MH. Silaban, et all. Kapita Selekta Hukum dalam Buku Mengenang Prof. H. Oemar Seno Adjie, ed Machrup Elrick, Jakarta: Ghalia Indonesia,1996. Wiyono, R., Pembahasan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2005. Cet Ke-1. Yandianto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Bandung: MZS, 1997.
Yunara, Edi, Korupsi Dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, tanpa tempat: PT. Citra Aditya Bakti, 2005
Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-undang Hukum Perdata Kitab Undang-undang Hukum Perdata Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Terhadap Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Perpres No. 14 Tahun 2007
Putusan Pengadilan
Putusan
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Selatan
pidana
No:
2068/Pid.B/2005/PN.Jak.Sel.
Makalah atau Artikel Artikel Moeljatno, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Pidato dies natalies Universitas Gajah Mada tahun 1955. Muladi, “Fungsionalisasi Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Korporasi”, Makalah Seminar Nasional Kejahatan Korporasi di FH UNDIP, Semarang, 23-24 November Majalah Legal Review no. 22/th ii 30 juni – 31 juli 2004 Bismar
Nasution,
tentang
Kejahatan
Korporasi
Dan
Pertanggungjawaban Pidananya. Artikel. Surya Online. 19 juni 2007; Laporan Independen Audit BPK Terhadap Bencana Lumpur Lapindo.
Koran atau Internet ECW
Neloe:
“Nilailah
Saya
Dengan
Hati
Nurani”,
Tahun
Penjara”,
www.hukumonline.com, 9 Februari 2006 Neloe
Cs
Lolos
Dari
Tuntutan
20
www.hukumonline.com, 20 Februari 2006. Neloe : “Negara Tak dirugikan”, www.hukumonline.com. Kompas, 10 Februari 2006 KY
Panggil
Majelis
Hakim
www.republika.co.id, Jumat 10 maret 2006
Kredit
Macet
Bank
Mandiri”,
UU Korupsi Menganut Kerugian Negara Dalam Arti Formil”, 21 februari 2006 Neloe dkk. “Dituntut 20 Tahun penjara”, Kompas, 27 Januari 2006 www.hukumonline.com, http://en.wikipedia.org/wiki/Corporate_liability