KEKERASAN PSIKOLOGIS PADA ISTRI PERTAMA YANG DIPOLIGAMI Dwi Siti Wahyuni 10507061 Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma, Depok, Indonesia Abstrak Kekerasan psikologis yang dialami oleh istri pertama yang dipoligami menimbulkan rasa malu, ketakutan dan menghalangi aktivitas istri pertama dalam mengambil inisiatif dan mengatur hidupnya. Tujuan penelitian ini ingin mengetahui gambaran kekerasan psikologis pada istri pertama yang dipoligami, untuk mengetahui faktor-faktor kekerasan psikologis pada istri pertama yang dipoligami dan alasan yang menyebabkan kekerasan psikologis pada istri pertama yang dipoligami. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berbentuk studi kasus. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan wawancara pedoman umum dan observasi non partisipan. Karakteristik subjek penelitian ini istri pertama yang dipoligami dan mengalami kekerasan psikologis. Hasil penelitian ini menunjukkan gambaran kekerasan psikologis yang dialami istri pertama yang dipoligami, dimana seorang istri pertama merasa sakit hati dan mengalami kekecewaan ketika dipoligami. Setelah dipoligami subjek dikuasai oleh suaminya dalam beraktivitas, jika subjek beraktivitas dibatasi waktunya hanya boleh keluar beberapa jam, subjek harus patuh pada suaminya agar tidak mendapatkan hukuman berupa kekerasan berbentuk kata-kata kasar. Faktorfaktor kekerasan psikologis yang dialami dalam rumah tangga setelah subjek dipoligami berupa perlakuan yang tidak sopan oleh suaminya dalam bentuk katakata kasar seperti istri gak becus, istri gak perhatiin anak, bodoh dan istri tidak berguna. Namun subjek mengalah apabila suaminya bersikap kasar dalam berbicara pada subjek. Subjek tidak mengadukan kekerasan yang dialaminya kepada pihak yang berwajib, karena subjek berusaha mempertahankan keutuhan rumah tangganya. Disamping itu subjek bergantung pada suaminya dalam financial. Hal itulah yang membuat subjek mempertahankan keluarga walaupun dipoligami. Kata kunci : Kekerasan psikologis, istri pertama yang dipoligami
Abstract Psychological violence experienced by the first wife of a polygamous cause embarrassment, fear and inhibit the activity of the first wife in taking the initiative and organize his life. The purpose of this study wanted to know the description of psychological violence in the first polygamous wife, to determine the factors of psychological violence in the first polygamous wife and psychological reasons that cause violence in the first polygamous wife. This research method using qualitative approach form of case studies. Data collection techniques using general guidelines interviews and non-participant observation. Characteristics of the subjects of this study first polygamous wife and psychological violence. The results of this study showed a picture of psychological violence experienced by the first wife of polygamy, where a first wife felt hurt and disappointment when polygamy. After her husband's polygamous subject controlled by the activity, if the subject timed the move may only be out a few hours, the subject must be obedient to her husband so as not to get violent form of punishment in the form of harsh words. Psychological factors experienced in the subject of polygamous households in the form of rude treatment by her husband in the form of a rant as not capable wife, wife not perhatiin children, stupid and useless wife. But if her husband beat the subject to be rude in speech on the subject. Subjects did not complain of mistreatment to the authorities, because the subject tried to maintain the integrity of the household. Besides, the subject relies on her husband in the financial. That's what makes a subject maintain a polygamous family though. Key word : Psychological violence, the first wife of a polygamous PENDAHULUAN
Tuhan menciptakan manusia di dunia ini terdiri atas dua jenis, yaitu laki-laki dan perempuan. Masing-masing dianugrahi dengan naluri dan sifat yang berbeda-beda. Laki-laki diberikan kemampuan yang lebih dominan untuk melindungi perempuan, sebaliknya perempuan ingin dilindungi, walaupun pada kenyataannya saat ini perempuan dapat melidungi dirinya sendiri. Namun, keduanya saling membutuhkan. Untuk mempertemukan dua insan yang berbeda tersebut adalah dengan cara menikah atau terikat suatu perkawinan (Mufid, 2002).
Perkawinan adalah bersatunya dua pribadi antara lakilaki dan perempuan dalam ikatan yang sah sebagaimana diatur dalam agama islam (Susetya, 2007). Perkawinan merupakan komitmen atau janji suci antara dua orang yang berikrar untuk bersama selamanya sampai kematian yang memisahkan (Greely dalam Benokraitis 1996). Sementara realita yang ada sering bertolak belakang dengan harapan dan tujuan dalam perkawinan. Hal ini dapat dilihat adanya perkawinan poligami. Poligami akhir-akhir ini menjadi fenomena di masyarakat kita untuk sering kali dipertontonkan secara vulgar oleh para tokoh panutan
dikalangan birokrasi, seniman, politisi, bahkan agamawan. Masalah poligami adalah masalah yang klasik, namun sikap pro dan kontra akan adanya poligami masih berlangsung sampai saat ini, mulai dari alasan agama, gender, dan hak asasi manusia. Kata poligami sendiri berasal dari Yunani “Poly gamie”, yaitu poly berarti banyak dan gamein berarti kawin, jadi arti dari poligami adalah laki-laki yang beristri lebih dari satu orang wanita dalam satu ikatan perkawinan (Abdullah, 2004). Poligami merupakan perkawinan seseorang dengan lebih dari satu orang istri (poligini) atau suami (poliandri) dalam satu waktu (Ihinger, Tollman dan Levinson, 1995). Meski demikian, dewasa ini, pengertian poligami lebih populer dan dimaksudkan dengan perkawinan poligini. Menurut Parkin (1997), poligami adalah suatu situasi dimana seorang laki-laki memiliki lebih dari satu orang istri pada saat bersamaan. Salah satu fenomena yang terjadi dalam perkawinan poligami yaitu KH.Abdullah Gymnasiar yang akrab dipanggil dengan AA Gym. Secara psikologis, perkawinan tokoh agama yang berpenampilan lembut ini setidaknya telah mengejutkan ibuibu yang selama ini setia menghadiri ceramah-ceramahnya baik di Bandung maupun di Jakarta. Para ibu merasa tertekan oleh berita perkawinan poligami tersebut. Akhirnya terpaksa tidak menghadiri lagi acara-acara ceramah yang diadakan Aa Gym. Komplek Darut Tauhid tempat Aa Gym memberikan pengajian tidak seramai dulu. Beberapa jamaah pindah ke mesjid Agung Bandung (Bayu, 2006).
Fenomena poligami dari tokoh politik yang sedang marak dipertontonkan oleh masyarakat sekitar adalah pada kasus Ruhut Sitompul, dimana kasus ini ruhut menikah tanpa izin istri dan juga memalsukan status perkawinan pada istri pertama. Disamping itu Ruhut juga menelantarkan istri pertama dan anaknya selama tiga setengah tahun (Merry, 2011). Disamping itu fenomena poligami dari tokoh birokrasi yang sangat mengejutkan adalah dari Bapak Diani Budianto, walikota Bogor. Hal ini sangat mengejutkan masyarakat, karena seharusnya seorang walikota menjadi tokoh panutan yang baik untuk masyarakat. Dan ketika Bapak Diani Budianto menikah lagi, istri pertamanya sedang berbaring di rumah sakit. Hal ini tentunya sangat dikritik oleh masyarakat (Novi, 2011). Berdasarkan fenomena yang terjadi pada kasus diatas, hal ini cukup menunjukkan bahwa poligami merupakan salah satu kekerasan dalam rumah tangga khususnya kekerasan psikologis yang dapat memicu kekerasan lainnya. Dengan adanya perkawinan poligami yang dilakukan tanpa sepengetahuan istri pertama maka dapat memicu kekerasan psikologis yang dialami oleh istri pertamam. Data survei kehidupan rumah tangga di Indonesia mayoritas muslim terhadap 481 responden memperlihatkan hanya 29,9% laki-laki muslim setuju dengan poligami dan 62,6% kebanyakan tidak setuju. Adapun perempuan muslim 89,7% tidak setuju dengan poligami dan hanya 6,9% yang setuju. Penelitian ini menunjukkan bahwa poligami
bukanlah model perkawinan yang populer dikalangan umat Islam (Munti, 2005). Poligami dalam Islam dapat dibenarkan, namun banyak juga yang belum mengetahui tentang hukum poligami itu sendiri. Walaupun dibenarkan dalam Islam sebagian kalangan wanita tetap menganggap poligami adalah hal yang tidak diinginkan oleh wanita. Hal tersebut dikarenakan banyak istri yang merasa kecewa, sakit hati, bahkan bisa saja stress dengan adanya poligami. Istri bukan menilai segi dari keislaman saja tapi lebih kepada perasaan (Husein, 2007). Bagi istri pertama, poligami yang dilakukan oleh suaminya umumnya menjadi peristiwa traumatis. Di satu sisi, adakalanya poligami dapat menjadi solusi, seperti dapat mencegah atau bahkan mengurangi angka perselingkuhan dan perzinahan. Namun pada Istri pertama yang mengalami perkawinan poligami akan merasakan kehilangan identitas yang telah melaksanakan kewajiban sebagai istri selama bertahun-tahun. Reaksi-reaksi seperti marah, kecewa, sakit hati, merasa dikhianati, dan menjadi bingung akan dialaminya (Soewondo, 2001). Disamping itu mengalami pengingkaran komitmen perkawinan, istri pertama juga mengalami kekerasan fisik, psikologis, ekonomi, seksual, sosial hingga pandangan iba dan sinis dari masyarakat. Hal ini dikarenakan sang istri menjadi terbagi dalam pemenuhan kebutuhan kebutuhan hidup serta berkurangnya perhatian terhadap keluarga. Poligami adalah perkawinan yang sangat tidak diinginkan oleh
setiap wanita, karena pada istri pertama yang merasakan poligami dapat menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga. Menurut (Hasbianto dalam Meiyenti 2006) kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu bentuk penganiayaan (abuse) secara fisik maupun psikologis, yang merupakan suatu cara pengontrolan terhadap pasangan dalam kehidupan rumah tangga. Undang-undang yang mengatur kekerasan dalam rumah gangga adalah Undang-undang No.23 tahun 2004. Disamping itu macam-macam bentuk kekerasan yang terjadi adalah kekerasan fisik, psikologis, ekonomi, seksual, sosial. Namun, biasanya kekerasan yang terjadi pada istri pertama yang dipoligami adalah kekerasan psikologis (Andari, 2005). Data dari tahun 2004 didapat kekerasan yang dialami istri, yaitu pada kekerasan psikologis sebanyak 39,1%, ekonomi 26,8%, fisik 25,9%, seksual 6,0%, dan sosial 2,2% (Andari, 2005). Dari data diatas cukup membuktikan bahwa kekerasan yang sering dialami oleh istri adalah kekerasan psikologis. Kekerasan psikologis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan penderitaan psikis berat pada seseorang (Winarmo, 2003). Kekerasan psikologis yang dialami istri tidak menimbulkan bekas seperti kekerasan fisik, namun kekerasan psikologis dapat meruntuhkan harga diri bahkan memicu dendam dihati istri kepada suami (Fathul, 2002). Kekerasan psikologis yang dialami oleh istri
pertama yang dipoligami dapat menimbulkan rasa malu, ketakutan, dan juga menghalangi aktivitas istri pertama dalam mengambil inisiatif dan mengatur hidup yang akan dipilihnya (Meiyenti, 2006). Disamping itu jenis kekerasan psikologis yang menimpa istri pertama akan meruntuhkan harga diri, menimbulkan takut, tidak percaya diri, dan lain-lain. Fakta seputar kekerasan psikologis pada istri pertama yang dipoligami menunjukkan banyaknya penderitaan yang timbul akibat poligami. Dari 58 kasus poligami yang didampingi LBH-APIK selama kurun 2001 sampai Juli 2003 memperlihatkan bentuk-bentuk kekerasan terhadap istri pertama, mulai sari tekanan psikis, penganiayaan fisik, penelantaran istri, ancaman dan terror serta pengabaian hak seksual istri (Vonny, 2003). Adapun yang membuat istri pertama bertahan dalam perkawinan poligami adalah karena mempertimbangkan kondisi psikologis anak, adanya ketergantungan secara finansial kepada suami, adanya ketergantungan secara biologis terhadap suami, takut akan stigma negatif dari masyarakat jika menjanda, merasa tidak mampu untuk menjadi single parent, merasa masih memiliki rasa cinta kepada sang suami, dan tidak ingin merusak hubungan kekeluargaan (Tirney, 2006). Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti ingin mengkaji lebih dalam tentang kekerasan psikologis yang dialami oleh istri pertama yang dipoligami.
TINJAUAN PUSTAKA KEKERASAN PSIKOLOGIS Menurut Sujardi (2011) kekerasan psikologis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan penderitaan psikis yang berat terhadap seseorang. Sedangkan menurut Venny (2003) kekerasan psikologis adalah suatu tindakan penyiksaan secara verbal (seperti: menghina, berkata kasar dan kotor) yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri, meningkatkan rasa takut, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan tidak berdaya. Lain halnya menurut Andari (2005) mengatakan kekerasan psikologis adalah suatu tindakan yang tidak menimbulkan akibat langsung, tetapi dampaknya bisa sangat memutusasakan apabila berlangsung berulang-ulang. Tindakan tersebut seperti penggunaan kata-kata kasar, merendahkan atau mencemoooh. Sedangkan menurut Winarno (2003) kekerasan psikologis adalah setiap perbuatan dan ucapan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, serta rasa tidak berdaya pada diri seseorang. Berdasarkan pengertianpengertian diatas dapat ditarik kesimpulan kekerasan psikologis adalah suatu bentuk tindakan penyiksaan secara verbal dimana ketika seseorang yang mengalaminya akan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya pada diri seseorang dan penderitaan psikis yang berat. BENTUK-BENTUK KEKERASAN PSIKOLOGIS Adapun bentuk-bentuk kekerasan psikologis menurut Andari (2005) adalah sebagai berikut : a. Diabaikan dalam pengambilan keputusan diancam akan dicerai b. Dipermalukan c. Dibentak d. Dibohongi e. Diintimidasi f. Dimarahai karena berbagai hal g. Dipaksa untu cerai h. Poligami i. Pindah agama j. Diancam k. Dicaci maki l. Difitnah m. Dicemburui n. Diingkari janji FAKTOR-FAKTOR KEKERASAN
PSIKOLOGIS
DALAM RUMAH TANGGA Menurut Prayudi (2008), adapun faktor-faktor kekerasan psikologis dalam rumah tangga adalah sebagai berikut : a. Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri. Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah terkonstruk sedemikian rupa dalam keluarga dan kultur serta struktur masyarakat. Bahwa istri adalah milik suami oleh karena harus melaksanakan segala yang diinginkan oleh yang memiliki. Hal ini menyebabkan suami
menjadi merasa berkuasa dan akhirnya bersikap sewenangwenang terhadap istrinya. b. Ketergantungan ekonomi. Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami memaksa istri untuk menuruti semua keinginan suami meskipun ia merasa menderita. Bahkan, sekalipun tindakan keras dilakukan kepadnya ia tetap enggan untuk melaporkan penderitaannya dengan pertimbangan demi kelangsungan hidup dirinya dan pendidikan anak-anaknya. Hal ini dimanfaatkan oleh suami untuk bertindak sewenang-wenang kepada istrinya. c. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaikan konflik Faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus kekerasan dalam rumah tangga. Biasanya kekerasan ini dilakukan sebagai pelampiasan dari ketersinggungan, ataupun kekecewaan karena tidak dipenuhinya keinginan, kemudian dilakukan tindakan kekerasan dengan tujuan istri dapat memenuhi keinginannya dan tidak melakukan perlawanan. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa jika perempuan rewel maka harus diperlakukan secara keras agar ia menjadi penurut. Anggapan di atas membuktikan bahwa suami sering menggunakan kelebihan fisiknya dalam menyelesaikan problem rumah tangganya. d. Persaingan Jika di depan telah diterangkan mengenai faktor pertama kekerasan dalam rumah tangga adalah ketimpangan hubungan
kekuasaan antara suami dan istri. Maka di sisi lain, perimbangan antara suami dan istri, baik dalam hal pendidikan, pergaulan, penguasaan ekonomi baik yang mereka alami sejak masih kuliah, di lingkungan kerja, dan lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal, dapat menimbulkan persaingan dan selanjutnya dapat menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bahwa di satu sisi suami tidak mau kalah, sementara di sisi lain istri juga tidak mau terbelakang dan dikekang. e. Frustasi. Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya karena merasa frustai tidak bisa melakukan sesuatu yang semestinya menjadi tanggung jawabnya. Hal ini biasa terjadi pada pasangan yang belum siap kawin, suami belum memiliki penghasilan tetap, masih menumpang pada orang tua atau mertua. f. Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hukum Pembicaraan tentang proses hukum dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak terlepas dari pembicaraan hak dan kewajiban suami istri. Hal ini penting karena bisa jadi laporan korban kepada aparat hukum dianggap bukan sebagai tindakan kriminal tapi hanya kesalahpahaman dalam keluarga. Hal ini juga terlihat dari minimnya KUHAP membicarakan mengenai hak dan kewajiban istri sebagai korban, karena posisi dia hanya sebagai saksi pelapor atau saksi korban.
DIMENSI-DIMENSI KEKERASAN
PSIKOLOGIS
DALAM RUMAH TANGGA Galtung (dalam Windu, 1992) menguraikan adanya dimensi penting dari kekerasan psikologis dalam rumah tangga, yaitu : a. Kekerasan Psikologis Kekerasan psikologis adalah tekanan yang dimaksudkan meredusir kemampuan mental dan otak. Kadang kala kekerasan psikologis berlanjut dengan kekerasan fisik seperti menyakiti tubuh manusia secara jasmani bahkan sampai pada pembunuhan. b. Pengaruh positif dan negatif Sistem orientasi imbalan (reward oriented) seseorang dapat dipengaruhi tidak hanya dengan menghukum bila ia bersalah tetapi juga member imbalan c. Ada objek atau tidak Dalam tindakan tertentu tetap ada ancaman kekerasan fisik dan psikologis, meskipun tidak memakan korban tetapi membatasi tindakan manusia d. Ada subjek atau tidak Kekerasan disebut langsung atau personal jika adanya perlakuan dan bila tidak ada perlakuan disebut struktural atau tidak langsung. Kekerasan tidak langsung sudah menjadi bagian struktur itu dan menampakkan diri sebagai kekuasaan yang tidak seimbang yang menyebabkan peluang hidup tidak sama. e. Disengaja atau tidak Bertitik berat pada akibat bukan tujuan, pemahaman yang hanya menekankan unsur sengaja tentu
tidak cukup untuk melihat, mengatasi kekerasan struktural yang bekerja secara halus atau tidak sengaja. Dari sudut korban, sengaja atau tidak kekerasan tetap kekerasan. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berbentuk studi kasus. Subyek penelitian ini terdiri dari istri pertama yang dipoligami, usia subjek berkisar antara 40-60, dan subjek mengalami kekerasan dalam rumah tangga terutama kekerasan psikologis. Teknik pengumpulan data: wawancara dengan menggunakan pedoman umum dan observasi non partisipan. Alat bantu penelitian berupa: pedoman wawancara, pedoman observasi, alat perekam dan alat tulis. Keakuratan pada penelitian triangulasi data, triangulasi metode, triangulasi pengamatan, dan triangulasi teori. Disamping itu teknik analisis data yang digunakan adalah mengorganisasikan data, pengelompokan berdasarkan kategori, tema dan pola jawaban, menguji asusmsi, mencari alternatif penjelasan bagi data, dan menulis hasil penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN 1.Gambaran
kekerasan
psikologis
dalam rumah tangga Subjek merasa sakit hati dan kecewa dengan hadirnya wanita lain dalam rumah tangga subjek. Ketika subjek mengetahui telah dipoligami subjek merasa
aktivitasnya dibatasi, subjek harus nurut dan patuh pada suaminya, apabila subjek tidak nurut maka subjek akan mengalami kekerasan dalam bentuk kata-kata kasar. Venny (2003)mengatakan kekerasan psikologis adalah suatu tindakan penyiksaan verbal (seperti: menghina, berkata kasar, dan kotor). Subjek lebih bersikap mengalah apabila mengalami kekerasan. Meiyenti (2006) mengatakan kekerasan psikologis yang dialami oleh istri pertama yang dipoligami dapat menimbulkan rasa malu, ketakutan, dan juga menghalangi aktivitas istri pertama dalam mengambil inisiatif dalam mengatur hidupnya. Namun, subjek berusaha menerima dan mengalah demi keutuhan rumah tangganya. 2. Faktor-faktor kekerasan psikologis dalam rumah tangga Subjek merasa dikuasai oleh suaminya dengan menerima perlakuan yang tidak sopan atau sewenang-wenang, Ketika suami subjek bersikap tidak sopan pada subjek maka subjek bersikap menegur secara baik-baik, walaupun subjek menerima perlakuan kurang baik dalam bentuk kekerasan. Subjek harus munurut pada suaminya apabila subjek melawan maka subjek akan mengalami kekerasan dalam bentuk kata-kata kasar. Menurut Andari (2005) mengatakan kekerasan psikologis adalah suatu tindakan yang tidak dapat menimbulkan akibat langsung, tetapi dampaknya sangat memutusasakan apabila berlangsung berulang-
ulang.Tindakan tersebut seperti penggunaan kata-kata kasar, merendahkan atau mencemooh, walaupun subjek mengalami kekerasan namun subjek tidak pernah mengadukan kekerasan tersebut kepada pihak yang berwajib karena subjek ingin mempertahankan keutuhan rumah tangganya. subjek sangat bergantung pada suaminya terutama dalam hal ekonomi KESIMPULAN 1. Gambaran kekerasan psikologis dalam rumah tangga Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diketahui gambaran kekerasan psikologis pada subyek. Hal tersebut dapat dilihat padandimensi-dimensi kekerasan psikologis dalam rumah tangga yaitu subjek merasa sakit hati dan kecewa ketika dipoligami, subjek merasa dibatasi dalam beraktivitas, subjek mengalami kekerasan dalam bentuk kata-kata kasar , namun subjek tetap mengalah dan menerima demi keutuhan rumah tangga subjek 2. Faktor-faktor kekerasan psikologis dalam rumah tangga Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diketahui faktor-faktor kekerasan psikologis yang dialami subjek. Hal tersebut dapat dilihat pada subjek dikuasai oleh suaminya, subjek menerima perlakuan tidak sopan atau sewenang-wenang, namun subjek tetap patuh dan menerima, hal ini dikarenakan subjek sangat bergantung pada suaminya terutama dalam hal finansial
SARAN 1. Untuk subjek Subjek disarankan harus bersikap tegas dan menegur suami subjek apabila subjek mengalami kekerasan agar tidak terjadi kekerasan lagi didalam rumah tangga subjek. Disamping itu subjek juga harus tetap menjadi sosok ibu yang baik, yang sabar dan ikhlas dalam menghadapi cobaan, agar dapat memberikan contoh kepada anak-anak subjek. Selain itu subjek juga harus berusaha mempertahankan keutuhan keluarga subjek dengan cara meningkatkan kualitas hubungannya dengan suami, agar keluarga subjek tetap harmonis. 2. Untuk suami Untuk suami subjek disarankan untuk tidak melakukan kekerasan psikologis dalam bentuk kata-kata kasar kepada subjek, suami subjek harus lebih bisa mengerti dan menghargai subjek sebagai wanita dan juga sebagai istri. Suami subjek juga harus bersikap adil kepada subjek dan suaminya tertama dalam hal pemenuhan kebutuhan keluarga subjek dan istri keduanya. Disamping itu suami subjek harus bisa jujur dan terbuka dalam komunikasi kepada subjek agar kaluarga subjek bisa tetap harmonis. 3. Untuk keluarga besar subjek Untuk keluarga besar subjek disarankan untuk memberikan motivasi kepada subjek agar tetap sabar, namun juga subjek tetap tegas kepada suaminya agar suaminya dapat bersikap lebih baik lagi dan dapat mengerti perasaan istri pertama yang sudah dipoligami. Selain itu subjek dan
suaminya juga tetap menjaga keharmonisan rumah tangganya. Disamping itu keluarga besar subjek juga harus mendukung subjek untuk selalu mempertahankan keutuhan rumah tangga subjek. 4. Untuk Masyarakat Untuk masyarakat disarankan untuk lebih memberikan dukungan positif kepada subjek yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga sehingga tidak menyalahkan korban kekerasan dalam rumah tangga agar lebih baik lagi dalam menjalankan kehidupannya di masa yang akan datang. 5. Untuk Peneliti Selanjutnya Untuk peneliti selanjutnya yang akan mengadakan penelitian topik yang serupa dengan subjek penelitian yang berbeda seperti kekerasan psikologis pada istri kedua yang dipoligami, kekerasan psikologis pada istri ketiga yang dipoligami. Disamping itu untuk para peneliti selanjutnya sebaiknya dapat mengadakan penelitian dengan variabel psikologis yang lain seperti kekerasan fisik pada istri yang dipoligami dan kekerasan ekonomi pada istri yang dipoligami.
Andari, S. (2005). Tindak kekerasan terhadap perempuan di yoyakarta. Jurnal Perempuan.29, 32-33 Arifin, I. (2005). Rumahku surgaku. Jakarta: Gema insane Basuki, A. M. H. (2006). Penelitian kualitatif untuk ilmu-ilmu kemanusiaan & budaya. Jakarta: Gunadarma. Benokraitis, N. V.(1996). Marriage and family. New Jersey: Prentice Hill, Inc Djanah, F. (2002). Kekerasan terhadap istri. Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara Yogyakarta Dita. (2009). Hak dan kewajiban suami isteri dalam keluarga rumah tangga demi kebahagiaan lahir batin. Diakses tanggal 12 juli 2011 dari http://organisasi.org/hakdan-kewajiban-suami-isteridalam-keluarga-rumahtangga-demi-kebahagiaanlahir-batin Dickson, C. (2007). Marriage and family problems. Metropolis: West Publishing Company. Erna, S. (2011). Bagaimana mencegah kdrt. Jakarta: PT. Pustaka Sinar Harapan
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, S. R. (2004). Poligami dan eksistensinya. Jakarta: Pustaka Alriadi
Hurlock, B. E. (1980). Psikologi perkembangan. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama
Husein, A. (2007). Hitam putih poligami. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Kalibonso, R. S. (2002). Kejahatan itu bernama kdrt : Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan. 25, 7-11. Karim, A. M. (2007). Keistimewaan nafkah suami dan kewajiban istri. Jakarta : Qultummedia Mufid, A. S. (2002) . Pengantar agama islam. Jakarta: Yudistira Manchali, R. (2005). Wacana poligami di Indonesia. Bandung: PT. Mizan Pustaka Merry. (2011). Kasus poligami ruhut terbuka. Diakses tanggal 27 Juli 2011 dari http://www.bloggerindonesia.com/2011/07/kasus -poligami-ruhut-terbuka.html Meiyenti, S. (2006). Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga. Jakarta: Pusat dokumasi ilmiah Moleong, L. J. (2004). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Munti, B, R. (2005.) Demokrasi keintiman : Seksualitas di era global. Jakarta: Pelangi Aksara Novi. (2011). Seharusnuya walikota bogor beri contoh yang baik.
Diakses tanggal 27 Juli 2011 dari http://selintasberita.blogspot.c om/2011/06/nikahi-gadis-18tahun-seharusnya.html Parkin, R. (1997). Kindship: An introduction to the basic concept. USA: Blackwell Publishers, Inc. Poerwandari, E. K. (2001). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta: Lembaga pengembangan dan pendidikan psikologi (LPSP3) Universitas Indonesia. Prayudi. (2008). Berbagai aspek tindak kdrt. Yogya: Merku press Sampurna, B. (2000). Pembuktian dan pelaksanaan kekerasan terhadap perempuan. Jakarta: Pusat kajian wanita dan jender UI Susetya, W. (2007). Merajut cinta benang perkawinan. Jakarta: Penerbit Republika Soewondo, S. (2001). Keberadaan pihak ketiga, poligami dan permasalahan perkawinan (Keluarga) ditinjau dari aspek psikologis. Jakarta UI Press Tierney, J. (2006). Who's afraid of polygamy. New York: Harcourt Brace Jovanovich Tollman, M. I & Levinson, D. (1995). Marriage definition.
Journal Encyclopedia of marriage and the familly, 5, 471-474 Venny,
Vonny.
A. (2003). Memahami kekerasan terhadap Perempuan. Jurnal Perempuan. 5, 32-37. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. (2003). Menimbang poligami. Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan Kesetaraan. 31, 7-17
Winarmo, H. (2003). Pengkajian profil tindak kekerasan
terhadap perempuan dalam keluarga. Yogyakarta: Balai Pelatihan dan Pengembangan Sosial. Windu. (1996). Model pendamping psikologis berbasis gender dalam kasus kekerasan terhadap perempuan. Jakarta: PT. Prenhallindo Yin, R. K. (2004). Case study research: design and methods (2nd ed). USA: Sage Publications, Inc.