Abstract Autism is a pervasive developmental disorder that can raise high stress for parents. If parents have lack of knowledge about autism, they have low parental acceptance. Internet could be used as a medium of literacy that provides a variety of information and knowledge, easy, cheap, and fast. The purpose of the study was to determine the effectiveness of literacy with internet support intervention in increasing parental acceptance in parents of children with autism. Subjects were 3 mothers of children aged 3-8 years who had been given a diagnosis of autistic disorder. The study used a single case experimental design method by applying health literacy models with internet support. Measurement tools used to find out the psychological condition of the subject before and after the intervention were Parental Acceptance Scale, Autis Knowledge Scale, and DASS subscale stress. Visual inspection and descriptive analysis used to analyze the research data. The mean value between the baseline phase to the intervention phase showed an increase in acceptance of parents on subject. The result of this study showed that there are indications of literacy Care-Autis can improve the acceptance of parents on their autism children. Keywords: literacy with internet support, parental acceptance, mother, children with autism.
Autisme merupakan gangguan perkembangan pervasif yang dapat menimbulkan tekanan yang berat bagi orangtua. Jika orangtua tidak memiliki pengetahuan tentang anak autis, mereka cenderung memiliki penerimaan yang rendah terhadap anak. Internet dapat digunakan sebagai salah satu media literasi yang menyediakan informasi dan pengetahuan yang beragam, mudah, murah, dan cepat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas intervensi literasi dengan dukungan internet dalam meningkatkan penerimaan orangtua yang memiliki anak autis. Subjek penelitian adalah 3 orang ibu yang memiliki anak usia 3-8 tahun yang telah didiagnosis autis. Penelitian ini menggunakan desain metode eksperimen kasus tunggal dengan menerapkan model literasi kesehatan dengan dukungan internet. Alat ukur yang digunakan untuk mengetahui kondisi psikologis subjek sebelum dan sesudah intervensi adalah Skala Penerimaan Orangtua, Skala Pengetahuan Autis, dan DASS subskala stress. Analisis data dilakukan dengan metode visual inspection dan analisis deskriptif. Nilai mean antara fase baseline dengan fase intervensi menunjukkan adanya peningkatan penerimaan orangtua pada subjek. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada literasi Care-Autis dapat meningkatkan penerimaan orangtua yang memiliki anak dengan autis. Kata Kunci : literasi dengan daya dukung internet, penerimaan orangtua, ibu, anak dengan autis.
1
Autis menurut istilah ilmiah kedokteran, psikiatri, dan psikologi, termasuk dalam gangguan perkembangan pervasif (pervasive developmental disorders). Data dari berbagai media di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi penyandang autisme dibandingkan dengan jumlah kelahiran normal, dari tahun ke tahun meningkat tajam (Ferry, 2013; Hadirani, 2013; Holid, 2002; Masra, 2006; Nky, 2013; Publik, 2012; Sagina, 2013; Sutadi, 2003). Berdasarkan data BPS tahun 2010 anak autis di Indonesia diperkirakan berjumlah 112.000 anak dengan prevalensi autisme 1,68 per 1000 anak pada rentang usia 5-19 tahun. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder-IV (DSM-IV), autis merupakan gangguan perkembangan pervasif yang ditandai dengan kelainan kualitatif pada interaksi sosial, komunikasi, perilaku, minat, dan aktivitas. Seorang anak dapat terdeteksi autis sebelum tiga tahun dengan mengamati gejala-gejalanya yaitu hambatan dan gangguan dalam interaksi dan ketrampilan sosial, bahasa, serta perilaku (Yapko, 2003; Zwaigenbaum, Brysons, Rogers, & Roberts, 2005). Gejala autis pada setiap anak berbeda-beda dan sangat kompleks sehingga membutuhkan intervensi terpadu dari orangtua, dokter, psikolog, ahli gizi, terapis, dan pemerintah (Bisono, 2005; Safaria, 2005). Hasil penelitian menunjukkan bahwa orangtua yang memiliki anak autis mengalami tingkat stress yang lebih tinggi dibandingkan orangtua yang memiliki anak hiperaktif, anak dengan mental retardasi, dan anak dengan cacat fisik (Erguner-Tekinalp & Akkok, 2004). Stress yang dialami orangtua akan mempengaruhi sikap, perilaku, dan pengasuhan orangtua terhadap anak, terutama ibu yang memiliki peran utama dalam pengasuhan anak (Ogretir & Ulutas, 2009). Safaria (2005) menyebutkan bahwa orangtua mempunyai harapan ideal tentang anak mereka sehingga pada umumnya reaksi orangtua setelah anaknya mendapat diagnosis autis adalah menolak (denial), marah (anger), tawar-menawar dengan diri sendiri (bargaining), mengalami depresi (depression), dan yang terakhir adalah menerima keadaan anaknya (acceptance). Jika dirunut dalam tahapan psikoseksual Erikson, orangtua dari anak autis cenderung merasa gagal melahirkan generasi penerus yang ideal sehingga muncul rasa malu, sedih, marah, bahkan penolakan terhadap anak (Snyder & Lopez, 2007). Menurut Sullivan,
2
perkembangan kepribadian individu saat menyesuaikan diri dengan peran sebagai orangtua sangat dipengaruhi oleh pola asuh yang diberikan oleh orangtuanya saat kecil (Hussain & Munaf, 2012). Baumrind mengemukakan bahwa pola asuh orangtua dapat dibagi menjadi otoriter, permisif, mengabaikan/menolak, dan autoritatif. Berbagai penelitian lanjutan dilakukan oleh peneliti lain. Salah satunya adalah Rohner yang menyusun konsep PARTheory (parental acceptance-rejection theory) (Rohner, Khaleque, & Cournoyer,
2007). Teori tersebut memuat dimensi kehangatan
orangtua yaitu sebuah rentang kontinum yang dibagi menjadi 4 kategori yaitu: (1) kehangatan dan afeksi; (2) tidak adanya afeksi; (3) permusuhan dan agresivitas; (4) ketidakacuhan dan pengabaian; dan (5) penolakan dalam bentuk lain. Orang dewasa yang saat kecil mengalami penolakan orangtuanya cenderung merasa tidak aman, cemas, mudah mengalami gangguan perilaku hingga gangguan klinis seperti depresi dan schizophrenia (Oliver & Whiffen, 2003) serta mudah terlibat penyalahgunaan obat dan alkohol saat depresi (Rohner, Bourque, & Elordi, 1996; Veneziano & Rohner, 1998). Penerimaan orangtua yang memiliki anak autis membutuhkan proses yang panjang dan dinamis. Peneliti mengumpulkan data awal melalui wawancara untuk mengetahui dinamika penerimaan orangtua tersebut. Wawancara dilakukan pada terapis anak autis, kepala sekolah SD inklusi, dan ibu dari anak autis pada rentang waktu antara tanggal 10-20 Januari 2014. Wawancara dengan terapis D dilakukan di salah satu klinik untuk anak autis di wilayah Sleman Yogyakarta. Terapis D mengatakan bahwa orangtua yang kurang menerima kondisi anaknya cenderung menyerahkan seluruh penanganan anak pada terapis, terutama jika ibu belum menerima kondisi anak. Misalnya dengan memberikan berbagai macam terapi pada anak setiap hari sejak pagi hingga sore. Ibu W yang menjadi kepala sekolah di salah satu SD inklusi di Yogyakarta menyebutkan bahwa belum semua ibu mampu bekerja sama dengan sekolah untuk mendampingi proses belajar anak sehingga sekolah harus menjelaskan pendampingan belajar yang perlu diberikan pada anak. Ibu P yang memiliki anak autis berusia 14 tahun, saat diwawancarai di kantornya menceritakan bahwa beban ibu yang memiliki anak autis sangat berat.
3
Penerimaan terhadap anak dapat berubah-ubah tergantung perkembangan anak dan permasalahan yang muncul. Seorang ibu selalu menunjukkan rasa sayangnya tetapi jika permasalahan sudah menumpuk, tidak menutup kemungkinan rasa malu, sedih, dan marah muncul kembali. Hasil penelitian kualitatif tentang penerimaan orangtua terhadap anak autis menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan orangtua adalah karateristik anak, informasi tentang autis, instrumen untuk memberikan penanganan (finansial, peralatan, perlengkapan), kepribadian orangtua, dan spiritualitas (Arsli, 2006). Gray (2006) menyebutkan bahwa orangtua melakukan coping dengan mencari informasi tentang autis, penanganannya serta bagaimana mempertahankan kestabilan emosi dan menyesuaikan diri terhadap pengalaman negatif selama mengasuh anak. Informasi yang dimiliki orangtua adalah salah satu faktor yang mempengaruhi penerimaan orangtua (Ogretir & Ulutas, 2009). Orangtua yang tidak memahami gejala autis dan penanganannya dapat dikategorikan memiliki literasi kesehatan yang rendah. Literasi kesehatan merupakan kemampuan untuk memperoleh, membaca, memahami, dan menggunakan informasi kesehatan untuk membuat keputusan yang tepat dan mengikuti instruksi pengobatan yang harus dilakukan (Reber & Reber, 2010; Roundtable on Health Literacy, 2012; Vandenbus, 2007). Seiring dengan perkembangan teknologi informasi maka internet menjadi salah satu media literasi (Baran, 2004). Istilah yang sering digunakan dalam literasi kesehatan berbasis internet adalah eHealth yang merupakan kemampuan menggunakan internet untuk mencari, mengakses, membaca, memahami, dan menggunakan informasi kesehatan untuk mengatasi masalah kesehatan yang dialami (Stellefson, Hanik, Chaney, Tennant, & Chavarria, 2011). Penggunaan website sebagai sumber utama informasi dalam internet semakin meningkat. Sebagian besar individu mengakses website untuk mencari informasi kesehatan secara online (Cline & Haynes, 2001) atau untuk mengikuti proses e-therapy, misalnya untuk masalah stres (Morrill, 2006), gangguan kecemasan dan depresi (Marks, 2004; Spek & Viola, 2007), atau masalah keluarga (King, Bambling, Reid, & Thomas, 2006).
4
Orangtua menggunakan website sebagai sumber informasi serta sumber dukungan emosional (Cook, Rule, & Mariger, 2003; Kidd, Terry, & Keengwe, 2010; Langas, 2005; McWilliam & Scott, 2001). Kelebihan website sebagai sumber informasi dan dukungan emosional (Zaidman-Zait & Jamieson, 2007) adalah: (1) kemudahan mendapatkan informasi (Pallen, 1995); (2) biaya mengakses informasi murah; (3) informasi dapat diperoleh setiap saat; (4) orangtua dapat mengakses informasi secara privat dan anonim (Skinner, Biscope, & Poland, 2003); dan (5) orangtua dapat berinteraksi dengan orangtua lain melalui berbagai media komunikasi online (Hardey, 1999). Kekurangan website sebagai sumber informasi berkaitan dengan jumlah informasi yang sangat banyak dan beragam serta tidak adanya review dari pemerintah atau ahli tentang keakuratan informasi yang ditampilkan (Martland, 2001; Smith, 1999). Hasil penelitian menunjukkan bahwa orangtua lebih mempercayai informasi dari website yang dibuat oleh lembaga yang terpercaya atau profesional daripada informasi yang diberikan orangtua lain yang memiliki masalah yang sama (Bernhardt dan Felter, 2004; Taylor, Alman, & Manchester, 2001). Contoh website yang dipercaya orangtua adalah program edukasi dari Cochlear Corporation dan Strategies for Intervention in Everyday Settings (SPIES) untuk orangtua dari anak tuna rungu. Menurut pendekatan intervensi kognitif-perilakuan, individu yang mendapatkan informasi tentang masalah yang dimilikinya dapat mengalami perubahan kognisi yang diikuti dengan perubahan emosi dan perubahan perilaku (Sundel & Sundel, 2005). Salah satu intervensi yang menggunakan pendekatan kognitif-perilakuan adalah psikoedukasi. Psikoedukasi dengan subjek orangtua merupakan salah satu bentuk experiential learning (Supratiknya, 2007) dimana orangtua sebagai individu dewasa memiliki kemampuan untuk menerima dan mengolah informasi secara mandiri. Orangtua dapat belajar sendiri, mengatur waktu, memilih sumber informasi sekaligus dukungan sosial yang dibutuhkan dalam menangani anaknya. Pada umumnya psikoedukasi untuk orangtua dari anak autis dilakukan dalam beberapa sesi tatap muka. Namun, ada beberapa hambatan dalam melaksanakan psikoedukasi tatap muka yaitu keterbatasan waktu, tempat, tenaga, & biaya (Hidayati, 2012).
5
Psikoedukasi tatap muka untuk orangtua yang pernah dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kompetensi orangtua dalam menangani masalah perilaku anak dengan sindrom asperger (Sofronoff, Leslie, & Brown, 2004); untuk meningkatkan efikasi diri pada orangtua dari anak dengan sindrom asperger (Sofronoff & Farbotko, 2002); untuk meningkatkan kemampuan bahasa dan interaksi anak dengan orangtua (Oosterling dkk, 2010); untuk meningkatkan ketrampilan coping dan menurunkan stress pada ibu dari anak autis (ErgunerTekinalp & Akkok; 2004); untuk menurunkan gangguan perilaku pada anak autis (Bearss, Johnson, Handen, Smith, Scahill, 2012); serta untuk meningkatkan penerimaan ibu dari anak autis (Ogretir dan Ulutas, 2009). Peneliti lain mencoba mengatasi keterbatasan psikoedukasi tatap muka melalui psikoedukasi berbasis internet yang dilakukan oleh Green dkk (2010) serta Vismara, McCormick, Young, Nadhan, & Monlux (2013). Media yang digunakan meliputi media narasi, slide presentasi, contoh video, latihan penerapan ABA,
video
conferencing
serta
website.
Hasil
penelitian
tersebut
merekomendasikan digunakannya media internet sebagai alternatif media psikoedukasi pada orangtua. Sebagian besar materi psikoedukasi untuk orangtua menggunakan pendekatan ABA dan bertujuan memberikan pengetahuan tentang cara mengenali tanda dan gejala autisme, penegakan diagnosis, dan penanganan yang perlu diberikan. Brookman-Frazee dkk memberikan saran agar ada materi tentang manajemen stress untuk orangtua, kontrol diri, ketrampilan problemsolving, dan cara memperkuat fungsi keluarga dan memperoleh dukungan sosial (Brookman-Frazee, Stahmer, Baker-Ericzen, & Tsai, 2006). Berdasarkan uraian sebelumnya, peneliti mengungkapkan bahwa respon orangtua saat anaknya didiagnosis mengalami autis adalah bingung, cemas, sedih, dan cenderung menunjukkan penolakan pada anak. Hal ini disebabkan orangtua tidak memiliki pengetahuan tentang kondisi dan penanganan anaknya, cara untuk melakukan manajemen diri, serta tidak mengetahui pengalaman orang lain yang memiliki anak autis. Orangtua yang memiliki anak autis perlu mendapatkan informasi dan pengetahuan agar dapat memahami kondisi anaknya, menangani masalah yang muncul, serta menunjukkan penerimaan pada anak (Ogretir &
6
Ulutas, 2009). Psikoedukasi merupakan salah satu metode untuk memberikan pengetahuan dengan konsep psikoterapi dan re-edukasi (Lukens & McFarlane, 2004) sehingga dapat membantu orangtua mengatasi permasalahan yang muncul. Kelebihan psikoedukasi adalah fleksibilitas model sehingga dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi individu (Lukens & McFarlane, 2004). Peneliti menggunakan pendekatan psikoedukasi dalam bentuk literasi dengan dukungan internet melalui website dilengkapi dengan konsultasi psikologi melalui facebook. Orangtua yang mengikuti literasi dengan dukungan internet ini diharapkan mengalami perubahan perilaku. Ritterband dkk (2009) memaparkan model perubahan perilaku melalui intervensi berbasis internet. Model tersebut memuat mekanisme perubahan perilaku yang dipengaruhi oleh adanya pengetahuan, motivasi untuk berubah, keyakinan dan sikap, pembentukan ketrampilan diri, restrukturisasi kognitif, dan monitoring diri. Penerimaan pengetahuan yang melibatkan proses kognitif ditandai menjadi salah satu faktor yang penting karena perubahan perilaku dapat dipengaruhi oleh proses belajar individu. Proses tersebut dapat dijabarkan dalam tahapan belajar signifikan yaitu adanya pengetahuan dasar, aplikasi, integrasi, dimensi manusia, perhatian, dan belajar cara belajar (Fink, 2003). Melalui literasi autis dengan dukungan internet ini, orangtua diharapkan dapat melakukan proses belajar dan memiliki pengetahuan untuk memahami kondisi anaknya, menangani masalah yang muncul, serta menunjukkan penerimaan pada anak. Berdasarkan uraian di atas peneliti menyusun intervensi literasi CareAutis dengan dukungan internet untuk meningkatkan penerimaan orangtua terhadap anaknya. Penerimaan orangtua dalam penelitian ini didefinisikan sebagai persepsi orangtua terhadap penerimaan dan penolakannya pada anak yang diukur melalui Skala Penerimaan Orangtua. Literasi Care-Autis berbasis internet didefinisikan sebagai kemampuan individu menggunakan internet untuk mencari, mengakses, membaca, memahami, dan menggunakan informasi kesehatan untuk mengatasi masalah yang berhubungan dengan kondisi anaknya yang mengalami autis. Berikut ini adalah kerangka pemikiran yang digunakan oleh peneliti:
7
DIAGNOSIS Anak mengalami gangguan autis
Pengetahuan Autis Tinggi Tahu yang harus dilakukan Orangtua memahami o Gejala autis o Penanganan autis o Manajemen diri o Pengalaman orangtua lain Penerimaan Orangtua Tinggi Memberikan kehangatan Menunjukkan perilaku kasih sayang Memberikan pengasuhan untuk memenuhi kebutuhan fisik & psikologis anak Membantu anak lebih mandiri
Keterangan:
Pengetahuan Autis Rendah Tidak tahu yang harus dilakukan Orangtua kurang memiliki informasi. o Gejala autis o Penanganan autis o Manajemen diri o Pengalaman orangtua lain
CAREAUTISM Literasi autism melalui internet
Penerimaan Orangtua Rendah Tidak memberikan kehangatan Menunjukkan perilaku agresif Mengabaikan anak & tidak mau terlibat dalam pengasuhan Terlalu melindungi
intervensi yang diberikan
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini bertujuan melihat pengaruh literasi autis dengan dukungan internet untuk meningkatkan penerimaan orangtua yang memiliki anak autis. Hipotesis yang diajukan yaitu literasi dengan dukungan internet dapat meningkatkan penerimaan orangtua yang memiliki anak autis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memperkaya ilmu psikologi, terutama pengembangan intervensi psikologi berbasis internet. Peneliti juga berharap hasil penelitian ini dapat menghasilkan rekomendasi literasi dengan dukungan internet yang dapat meningkatkan penerimaan orangtua yang memiliki anak autis.
8
METODE Subjek Penelitian Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 3 orang dengan tujuan untuk mendapatkan kedalaman pengamatan dan dinamika psikologis subjek saat mengikuti intervensi. Adapun kriteria inklusi penelitian yaitu: (1) ibu dari anak berusia 3-8 tahun yang sudah didiagnosis autis oleh dokter atau psikolog dan anak tersebut merupakan anak pertama atau kedua; (2) usia subjek antara 25-45 tahun; (3) pendidikan minimal SMA; (4) mampu mengoperasikan komputer dan internet tanpa bantuan orang lain saat mengakses website, email, dan facebook; (5) memiliki skor penerimaan orangtua yang rendah sampai sedang; (6) memiliki skor pengetahuan autis rendah hingga sedang; serta (7) tingkat stres orangtua tergolong rendah sampai sedang berdasarkan DASS-21 subskala stress.
Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan yaitu: 1. Skala Penerimaan Orangtua untuk mengukur penerimaan dan penolakan ibu pada
anaknya.
Skala
ini
mengungkap
5
aspek
yaitu
kehangatan
orangtua/afeksi, sikap dingin/tidak ada afeksi, permusuhan/agresivitas, ketidakacuhan/pengabaian, dan penolakan dalam bentuk lain. Skala ini terdiri atas 18 item dengan koefisien reliabilitas α = 0,826. 2. Skala Pengetahuan Autis untuk mengukur tingkat pengetahuan orangtua tentang autis. Skala ini mengungkap pengetahuan tentang tanda dan gejala autis, tipe autis, penyebab autis, diagnosis autis, dan penanganan yang diberikan. Skala ini terdiri atas 10 item dengan koefisien reliabilitas α = 0,743. 3. Deppression Anxiety Stress Scale 21 items (DASS21) untuk mengukur tingkat stress subjek (Lovibond & Lovibond, 1995). Subjek diharapkan tidak mengalami stress tinggi sehingga siap menerima informasi saat intervensi. DASS-21 terdiri atas 21 item dengan koefisien reliabilitas α = 0,918. 4. Modul Literasi Care-Autis merupakan panduan pelaksanaan intervensi penelitian yang digunakan oleh fasilitator selama memberikan intervensi. Modul ini berisi materi, prosedur, dan lembar kerja saat intervensi.
9
5. Website Care-Autis merupakan website yang berisi informasi dalam bentuk artikel serta dilengkapi layanan konsultasi dengan psikolog melalui facebook. 6. Informed consent berupa lembar persetujuan subjek untuk mengikuti seluruh rangkaian penelitian. Lembar ini berisi penjelasan singkat mengenai tujuan dan manfaat penelitian, serta hak dan kewajiban subjek penelitian. 7. Buku Catatan Harian yang diisi oleh subjek setiap hari dengan menuliskan kegiatan keseharian bersama anak disertai dengan pikiran, emosi, dan perilaku yang muncul sebagai respon atas perilaku anak. 8. Lembar kelengkapan intervensi terdiri dari: (a) daftar panduan wawancara; (b) lembar observasi sesi intervensi; (c) lembar monitoring website; (d) lembar evaluasi penelitian; dan (e) panduan wawancara.
Desain Eksperimen Penelitian ini menggunakan desain penelitian subjek tunggal (singlesubject design) dengan n=3 orang. Desain penelitian yang digunakan adalah ABA Single-case Experiment Design (Barlow & Hersen, 1984). Penelitian dimulai dengan pengukuran kondisi baseline (A1) untuk mengevaluasi kestabilan keadaan saat belum ada intervensi, dilanjutkan intervensi (B) dan dilakukan pengukuran hingga keadaan stabil. Setelah intervensi ditiadakan maka dilihat lagi keadaan subjek tanpa intervensi atau kondisi baseline (A2). Perbandingan dilakukan pada subjek yang sama dalam kondisi yang berbeda (Sunanto, Takeuchi, Nakata, 2005). Pengukuran yang dilakukan yaitu sebelum tritmen, setelah tritmen, dan saat follow-up. Data penelitian dilengkapi dengan analisis deskriptif berdasarkan catatan harian serta data wawancara.
Intervensi Intervensi dalam penelitian ini disusun oleh peneliti dan disebut dengan literasi Care-Autis. Tujuan dari literasi Care-Autis adalah memberikan informasi kepada ibu dari anak autis tentang pengetahuan dasar autis, pengetahuan tentang manajemen diri, serta pengetahuan tentang pengalaman orangtua lain. Intervensi literai Care-Autis dilengkapi dengan wawancara tatap muka antara fasilitator
10
dengan subjek. Wawancara dilakukan selama dua kali saat baseline A1 dan satu kali saat follow-up. Tujuan wawancara adalah untuk menjalin building rapport dengan subjek sekaligus asesmen kondisi subjek sebelum dan sesudah intervensi. Intervensi literasi dilakukan berdasarkan Modul Literasi Care-Autis. Berikut ini adalah blue print modul Care-Autis: Tabel 1. Blue Print Modul Care-Autis Literasi Kesehatan
Materi Care-Autis Permasalahan Materi 1. Apa masalah a. Tidak tahu pengertian, gejala, 1. Literasi tentang autis utama saya? penyebab, dan diagnosis autis a. Pengertian, gejala & 2. Apa yang harus b. Tidak tahu penanganan untuk diagnosis autis saya lakukan? anak autis b. Penanganan autis 3. Mengapa saya 1. Masalah Perilaku harus 2. Terapi melakukannya? 3. Interaksi sosial 4. Sekolah untuk anak a. Tidak tahu cara menangani 2. Literasi manajemen diri stress saat mengasuh anak a. Manajemen stress b. Tidak tahu cara b. Goal setting menyelesaikan masalah c. Problem solving c. Tidak tahu cara bekerja d. Keluarga sebagai tim dengan anggota keluarga yang lain Membutuhkan dukungan dari 3. Berbagi cerita orang lain Konsultasi dengan psikolog
Tabel 2. Gambaran Umum Materi Care-Autis Sesi (hari) 1 2 3 4 5 6 7 8
1. Autisme
2. Manajemen Diri
3. Berbagi cerita
a. Pengertian & diagnosis b. Penanganan: 1) Perilaku 2) Terapi
a. Manajemen Stress
Anakku Autis
b. Goal setting
Hidup adalah RollerCoaster c. Problem solving Coba, coba, dan coba lagi 3) Diet d. Tim Pendukung 1 Semua untuk Satu 4) Interaksi sosial e. Tim Pendukung 2 Membuka Diri Semua artikel dapat diakses partisipan sesuai kebutuhan Semua artikel dapat diakses partisipan sesuai kebutuhan Semua artikel dapat diakses partisipan sesuai kebutuhan
Saat intervensi subjek mengakses website Care-Autis selama 1-1,5 jam per hari dalam waktu 8 kali sesi mengakses website. Peneliti memfasilitasi subjek
11
dengan laptop dan menyediakan tempat yang memiliki akses internet. Subjek membuat kesepakatan dengan observer untuk menentukan waktu/jadwal dalam mengakses website sehingga fasilitas informasi dalam website hanya dapat diakses sesuai jadwal yang disepakati tersebut. Subjek dapat mengirim email untuk konsultasi dengan psikolog selama 24 jam dan balasan dari psikolog dikirim setiap hari Senin-Jumat pukul 08.00. Setiap hari subjek diharuskan mengisi catatan harian serta lembar kerja terkait informasi yang ada di website. Intervensi Care-Autis diberikan oleh 1 (satu) orang fasilitator. Kriteria fasilitator adalah: (1) telah lulus program Magister Profesi Psikologi bidang klinis; (2) memiliki pengalaman minimal 1 tahun menangani anak autis; (3) memiliki pengetahuan dasar mengenai autis dan penanganannya; dan (4) terampil menggunakan komputer dan internet. Saat subjek menjalani intervensi, perilaku subjek akan diobservasi oleh observer dengan kriteria: (1) mahasiswa Magister Psikologi Profesi; (2) memiliki pengalaman melakukan observasi; dan (3) terampil menggunakan komputer dan internet.
Prosedur Penelitian 1.
Peneliti mengurus perizinan penelitian melalui izin penelitian dari Fakultas Psikologi UGM dan SLB BA Yogyakarta. Perizinan dilakukan agar peneliti mendapatkan izin dari instansi terkait proses uji coba alat ukur dan pengambilan data penelitian.
2.
Validasi alat ukur dilakukan dengan menyebarkan alat ukur pada orangtua yang memiliki anak autis (n=15). Hasil uji coba reliabilitas menunjukkan bahwa skala penerimaan orangtua memiliki konsistensi internal skala sebesar 0,826 dengan 6 item gugur dan 18 item sahih, skala pengetahuan autis memiliki konsistensi internal skala sebesar 0,743 dengan 5 item gugur dan 10 item sahih, dan DASS-21 memiliki konsistensi internal skala sebesar 0,918 dengan 21 item sahih (semua item sahih).
3.
Penyusunan dan validasi modul Literasi Care-Autis dilakukan dalam beberapa tahap yaitu:
12
a. Penyusunan modul dilakukan dengan cara studi literatur melalui jurnal penelitian, buku referensi, serta wawancara dengan orangtua yang memiliki anak autis. Pada awalnya peneliti menyusun modul berdasarkan berbagai macam materi psikoedukasi untuk orangtua dari anak autis yang diperoleh dari jurnal penelitian dan buku tentang autis. Proses perbaikan modul terus dilakukan seiring dengan proses wawancara peneliti dengan orangtua dari anak autis. b. Penilaian profesional (professional judgement) dilakukan oleh 5 orang psikolog yang memahami dinamika orangtua dengan anak autis. Para psikolog tersebut memberikan saran dan masukan agar modul sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi orangtua. Saran dari psikolog adalah penggunaan bahasa yang sederhana, jelas, dan mudah dipahami oleh ibu-ibu; artikel yang singkat, padat, dan tidak terlalu panjang; tugas harian yang sederhana dan sesuai dengan permasalahan ibu-ibu; serta optimalisasi building rapport dan konsultasi psikologi melalui pesanpesan di facebook. c. Uji coba modul dilakukan pada 2 (dua) orang ibu dengan kriteria inklusi yang sama dengan subjek penelitian. Saran yang diberikan hampir sama dengan saran dari psikolog yaitu penggunaan bahasa yang lebih sederhana dan mudah dipahami; memilih dan memilah informasi agar tidak terlalu banyak; serta menambah artikel yang menyentuh emosi ibu-ibu. 4. Peneliti memilih fasilitator dan observer sesuai kriteria kemudian memberikan pelatihan agar fasilitator dan observer memahami prosedur penelitian. 5. Seleksi subjek penelitian dilakukan pada sejumlah ibu yang menyekolahkan anaknya di SLB BA Yogyakarta. Peneliti melakukan wawancara awal serta meminta calon subjek mengisi skala penelitian. Tahap selanjutnya adalah penandatanganan lembar persetujuan penelitian (informed consent). Subjek memberikan tanda tangan sebagai tanda persetujuan mengikuti penelitian. 6.
Proses penelitian dilakukan dalam 3 (tiga) fase yaitu: a. Fase Baseline 1 (A1)
13
Fase baseline untuk masing-masing subjek dimulai pada waktu yang berbeda dan berlangsung selama waktu yang berbeda-beda. Waktu baseline untuk Ibu A dan Ibu B adalah 18 hari, sedangkan Ibu C adalah 14 hari. Saat fase baseline ini, setiap hari subjek mengisi buku harian yang berisi cheklist emosi, pikiran, dan perilaku penerimaan orangtua. Subjek juga melakukan wawancara awal dengan fasilitator selama 2 (dua) kali. Setelah fase baseline A1 selesai, subjek diberikan pre-test dengan mengisi skala penerimaan orangtua, skala pengetahuan autis, dan DASS-21. b. Fase Intervensi (B) Intervensi dilakukan sesuai dengan waktu dan tempat yang disepakati yaitu saat subjek menunggu anak sekolah. Intervensi dilakukan di ruang guru SLB BA Yogyakarta. Fase intervensi berlangsung selama 8 sesi yang dilakukan selama waktu yang bervariasi antar subjek. Setiap sesi intervensi dilakukan selama 60-90 menit. Intervensi tidak dapat dilakukan selama 8 hari berturut-turut karena keterbatasan waktu subjek dan keterbatasan sekolah untuk memberikan waktu, tempat, dan fasilitas. Saat intervensi, subjek membaca pesan dari psikolog melalui facebook, membaca materi dalam website, dan menyelesaikan tugas yang diberikan. Selama proses intervensi, subjek mengisi catatan harian. Setelah fase intervensi selesai, subjek diberikan post-test dengan mengisi skala penerimaan orangtua, skala pengetahuan autis, dan DASS-21. c. Fase Baseline 2 (A2) Fase baseline 2 untuk masing-masing subjek dimulai pada waktu yang berbeda dan berlangsung selama waktu yang berbeda. Waktu baseline 2 untuk Ibu A selama 8 hari, Ibu B selama 9 hari, sedangkan Ibu C selama 6 hari. Setiap hari subjek mengisi buku harian yang berisi cheklist emosi, pikiran, dan perilaku penerimaan orangtua. Setelah fase baseline A2 selesai, subjek diberikan follow-up dengan mengisi skala penerimaan orangtua, skala pengetahuan autis, dan DASS-21 serta melakukan 1 (satu) kali wawancara follow-up dengan fasilitator.
14
Analisis Data Pada penelitian single case experimental design, analisis data dengan menggunakan statistik kompleks tidak perlu dilakukan dan lebih banyak menggunakan statistik deskriptif sederhana (Shadish, Cook, & Campbel, 2002). Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Analisis kuantitatif menggunakan metode analisis visual (visual inspection) untuk mengevaluasi pengaruh intervensi dengan membandingkan hasil yang didapatkan pada saat tidak ada intervensi (baseline) dan pada saat ada intervensi (Kazdin, 1982; Barlow & Hersen, 1984; Sunanto, Takeuchi, Nakata, 2005). Komponen analisis visual yang digunakan adalah analisis tingkat stabilitas (level stability), kecenderungan arah (trend/slope), serta tingkat perubahan data (level change) pada dua kondisi yang berbeda (Sunanto, Takeuchi, Nakata, 2005). Asumsi yang digunakan untuk analisis tingkat stabilitas adalah jika 80%-90% data berada pada 15% di atas mean maka dikatakan stabil. Analisis kecenderungan arah menggunakan metode split-middle yaitu menggunakan nilai median masing-masing belahan data. Analisis tingkat perubahan data antar kondisi (level change) diketahui dengan menghitung selisih antara skor terakhir pada kondisi pertama dengan skor pertama pada kondisi kedua. 2. Analisis deskriptif dalam penelitian ini merupakan penjabaran hasil observasi dan wawancara untuk mendapatkan gambaran dinamika psikologis serta pengaruh penelitian yang lebih komprehensif terhadap subjek.
HASIL PENELITIAN Subjek dalam penelitian ini adalah 3 (tiga) orang ibu yang memiliki anak autis berusia 5-8 tahun di wilayah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul yang menyekolahkan anaknya di SLB BA Yogyakarta. Ketiga subjek bersedia mengikuti penelitian sampai selesai. Data demografis subjek penelitian dirangkum dalam tabel di bawah ini:
15
Tabel 3. Data Demografis Subjek Data
Ibu A
Ibu B
Ibu C
Usia
45 tahun
38 tahun
32 tahun
Pendidikan
S1
SMA
D3
Pekerjaan
Ibu rumah tangga
Ibu rumah tangga
Ibu rumah tangga
Status perkawinan
Menikah
Janda
Menikah
Tempat tinggal
Kota Yogyakarta
Kabupaten Bantul
Kabupaten Bantul
Asal daerah
Kota Yogyakarta
Kabupaten Bantul
Belitung
Jumlah anak
2
1
2
Urutan anak autis
Anak ke-2
Anak ke-1
Anak ke-1
Usia anak autis
8 tahun
8 tahun
7 tahun
Jenis kelamin
Perempuan
Laki-laki
Perempuan
Sekolah
SDLB kelas 1
SDLB kelas 1
SDLB kelas 1
Biaya sendiri
Biaya sendiri
Sumber
biaya Biaya sendiri
perawatan
Salah satu kelebihan dari desain penelitian single case experimental design adalah kemampuannya untuk mengevaluasi perubahan pola yang terjadi pada masing-masing subjek. Berikut ini adalah hasil analisis data penelitian: 1. Ibu A a. Analisis Visual Data dari skala penerimaan orangtua menunjukkan adanya peningkatan penerimaan orangtua selama fase post-test sebesar 3 poin dan skor mengalami penurunan sebesar 2 poin saat fase follow-up. Data dari skala pengetahuan autis menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan sebesar 9 poin pada fase post-test dan bertahan hingga fase follow-up. Data dari DASS-21 menunjukkan adanya penurunan tingkat stres sebesar 4 poin pada fase post-test dan bertahan hingga fase follow-up. Berikut ini adalah tabel dan gambar hasil pengukuran skala penelitian:
16
Tabel 4: Hasil Pengukuran Skala Ibu A Skala
Pre-test
Post-test
Follow-up
Skala penerimaan orangtua
31 (sedang)
34 (tinggi)
32 (sedang)
Skala pengetahuan autis
27 (sedang)
36 (tinggi)
36 (tinggi)
DASS-21
10 (normal)
6 (normal)
6 (normal)
40 35 30 25 20 15 10 5 0
Pre-tes Post-test Follow up
Penerimaan
Pengetahuan
Stress
Gambar 2. Hasil Pengukuran Skala Penerimaan Orangtua, Skala Pengetahuan Autis, dan DASS-21 pada Ibu A Data dari catatan harian subjek digunakan untuk melakukan analisis tingkat stabilitas, tingkat kecenderungan arah (slope), dan tingkat perubahan variabel penerimaan orangtua. Berikut ini adalah analisis visual dari catatan harian Ibu A: Tabel 5: Tingkat Stabilitas dan Skor Median Ibu A Analisis visual
Pre-test (A1)
Post-test (B)
Follow-up (A2)
Tingkat stabilitas
94,4% (Stabil)
-
100% (stabil)
Kecenderungan arah
Median 1 = 49
Median 1 = 51
Median 1 = 49
(slope)
Median 2 = 47
Median 2 = 55
Median 2 = 50
Slope
Memburuk
Membaik
Membaik
55 : 55 = 1x Perubahan level
Skor awal B – skor akhir A1 = 49 – 55 = (+) 4 membaik Skor awal A2 – skor akhir B = 49 – 55 = (-) 4 memburuk
17
60
2
50 40 30
1
20 10 0
0 1
4
7
10
13
16
19
Penerimaan orangtua
22
25
28
31
34
37
Kejadian negatif
Gambar 3. Skor Checklist Penerimaan Orangtua pada Ibu A 57 54 51
Median Ibu A
48 45 42 A1
A1
B
B
A2
A2
Gambar 4. Kecenderungan Arah (slope) Penerimaan Orangtua Ibu A
Hasil analisis visual menunjukkan bahwa tingkat stabilitas variabel penerimaan orangtua Ibu A pada fase A1 dan A2 adalah stabil. Hasil analisis kecenderungan arah (slope) menunjukkan bahwa pada fase baseline A1 ada perubahan median dari 49 menjadi 47 dengan arah turun 2 poin. Pada fase intervensi ada perubahan median dari 51 menjadi 55 dengan arah naik 4 poin. Pada fase baseline A2 ada perubahan median dari 49 menjadi 50 dengan arah naik 1 poin. Kecenderungan arah ini dapat diartikan sama dengan hasil skala penerimaan orangtua bahwa ada peningkatan penerimaan orangtua saat fase intervensi. Tingkat perubahan ibu A dihitung dari skor awal fase B dikurangi skor akhir fase A1 yang hasilnya ada perubahan sebesar 4 poin dengan arah (+) atau membaik.
18
b. Analisis Deskriptif Ibu A adalah ibu rumah tangga yang berusia 45 tahun dan memiliki 2 anak. Anak kedua Ibu A adalah perempuan dan didiagnosis autis oleh dokter saat usia 2 tahun. Ibu A tinggal bersama suami yang menjadi dokter gigi, kedua anaknya, dan ibu mertua. Saat mendapatkan diagnosis bahwa anak keduanya mengalami autis, Ibu A sangat bingung dan tidak tahu apa yang dilakukannya. Selama mengasuh dan mendampingi anaknya, Ibu A berusaha mencari informasi dari berbagai sumber, termasuk melalui internet, baik dalam website, blog, maupun berbagai macam media sosial online. Kemampuan mengakses layanan internet dan menggunakan laptop yang dimiliki Ibu A sudah sangat baik. Saat mengikuti sesi intervensi, Ibu A hanya memerlukan sedikit penyesuaian dengan laptop yang digunakan. Pengetahuan Ibu A tentang autis cukup luas terutama berkaitan dengan penanganan medis yang dapat diberikan pada anak autis. Berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya, Ibu A merasa tidak mengalami kesulitan mengatasi masalah perilaku pada anaknya, tetapi ia merasa kesulitan menghadapi ibu mertua yang ingin agar perilaku anaknya lebih tenang, tertib, dan teratur. Berdasarkan
hasil
analisis
kuantitatif,
Ibu
A
mengalami
peningkatan pengetahuan sebesar 9 poin dan penerimaan orangtua sebesar 3 poin. Analisis visual penerimaan Ibu A terhadap anaknya menunjukkan perubahan arah dan level, yaitu arahnya meningkat dan levelnya juga meningkat. Selama proses terapi, Ibu A kembali diingatkan tentang gejala dan penanganan dasar anak autis. Ia juga mengetahui cara menangani stres yang dialaminya dan menyelesaikan masalah dengan ibu mertua. Materi yang paling bermanfaat bagi Ibu A adalah materi berbagi cerita yang mengungkapkan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh anak autis. Ia menjadi lebih bisa mengetahui apa yang dialami, dipikirkan, dan dirasakan anaknya. Setelah mengikuti proses terapi, Ibu A semakin bersemangat
19
untuk mencari informasi yang dibutuhkannya melalui internet kemudian berusaha menerapkan sesuai situasi dan kondisi anaknya.
2. Ibu B a. Analisis Visual Data dari skala penerimaan orangtua menunjukkan tidak adanya perubahan penerimaan orangtua dari fase pre-test ke fase post-test dengan skor tetap 31 tetapi ada peningkatan skor pada fase follow-up yaitu naik 2 poin. Data dari skala pengetahuan menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan autis pada fase post-test yaitu sebesar 9 poin dan tetap bertahan hingga fase follow-up. Data dari DASS-21 menunjukkan adanya peningkatan tingkat stres pada fase post-test yaitu sebesar 2 poin dan penurunan pada fase follow-up yaitu sebesar 2 poin. Berikut ini adalah tabel dan gambar hasil pengukuran skala penelitian: Tabel 6: Hasil Pengukuran Skala Ibu B Skala
Pre-test
Post-test
Follow-up
Skala penerimaan orangtua
31 (sedang)
31 (sedang)
33 (tinggi)
Skala pengetahuan autis
27 (sedang)
36 (tinggi)
36 (tinggi)
DASS-21
7 (normal)
9 (normal)
7 (normal)
40 35 30 25
Pre-tes
20
Post-test
15
Follow up
10 5 Penerimaan
Pengetahuan
Stress
Gambar 5. Analisis Visual Skala Penerimaan Orangtua, Skala Pengetahuan Autis, dan DASS-21 pada Ibu B
20
Tabel 7: Tingkat Stabilitas dan Skor Median Ibu B Analisis visual
Pre-test (A1)
Post-test (B)
Follow-up (A2)
Tingkat stabilitas
94,4% (Stabil)
-
88,9% (stabil)
Kecenderungan arah
Median 1 = 50
Median 1 = 52
Median 1 = 48
(slope)
Median 2 = 48
Median 2 = 56
Median 2 = 51
Slope
Memburuk
Membaik
Membaik
56 : 52 = 1,08x Skor awal B – skor akhir A1 = 49 – 52 = (+) 3 membaik
Perubahan level
Skor awal A2 – skor akhir B = 52 – 56 = (-) 4 memburuk
70
2
60 50 40
1
30 20 10 0
0 1
4
7
10
13
16
19
Penerimaan orangtua
22
25
28
31
34
37
Kejadian negatif
Gambar 6. Skor Checklist Penerimaan Orangtua pada Ibu B
56
54 52 50
Ibu B
48 46 44 A1
A1
B
B
A2
A2
Gambar 7. Kecenderungan Arah (slope) Penerimaan Orangtua Ibu B
21
Hasil analisis visual menunjukkan bahwa tingkat stabilitas variabel penerimaan orangtua Ibu B pada fase A1 dan A2 adalah stabil. Hasil analisis kecenderungan arah (slope) menunjukkan bahwa pada fase baseline A1 ada sedikit perubahan median dari 50 menjadi 48 dengan arah turun 2 poin. Pada fase intervensi ada perubahan median dari 52 menjadi 56 dengan arah naik 4 poin. Pada fase baseline A2 ada sedikit perubahan median dari 48 menjadi 51 dengan arah naik 3 poin. Kecenderungan arah ini tidak sama dengan hasil skala penerimaan orangtua yang menunjukkan tidak ada perubahan skor sakala penerimaan orangtua. Tingkat perubahan Ibu B dihitung dari skor awal fase B dikurangi skor akhir fase A1 yang hasilnya ada perubahan sebesar 3 poin dengan arah (+) atau membaik.
b. Analisis Deskriptif Ibu B berusia 38 tahun dan tinggal bersama orangtua, keluarga adik kandungnya serta anaknya. Ibu B memiliki anak lelaki berusia 7 tahun yang didiagnosis autis. Ibu B mengasuh anaknya sendiri karena suaminya telah meninggal dunia karena gempa tahun 2006. Saat ini Ibu B tidak bekerja dan menjadi ibu rumah tangga. Kebutuhan sehari-hari Ibu B dipenuhi dari uang pensiun suami dan bantuan dari orangtuanya. Saat mengetahui anaknya didiagnosis autis, Ibu B bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ibu B belum terlalu intens mengakses informasi melalui internet karena keterbatasan kemampuannya dalam mengakses internet dan menggunakan laptop, komputer, atau gadget. Pengetahuan Ibu B tentang autisme yang masih terbatas membuat Ibu B masih sering bingung dalam menangani perilaku anaknya. Ibu B juga merasa tidak ada dukungan dari keluarganya untuk membantunya mengasuh anak. Ia merasa sendirian dan tidak ada tempat untuk berbagi cerita atau meminta bantuan, namun ia berusaha tegar dan tidak menyerah dengan kondisinya. Berdasarkan
hasil
analisis
kuantitatif,
Ibu
B
mengalami
peningkatan pengetahuan sebesar 9 poin dan penerimaan orangtua saat fase intervensi tetap tetapi meningkat sebesar 2 poin saat follow-up. Hal
22
tersebut tidak sama dengan analisis visual penerimaan Ibu B terhadap anaknya yang menunjukkan perubahan arah dan level, yaitu arah dan levelnya juga meningkat saat fase intervensi. Selama mengikuti proses intervensi, Ibu B mengalami kesulitan dalam mengakses informasi dalam website maupun saat menggunakan laptop. Selain itu kondisi anaknya juga menurun, mudah sakit, dan dukungan keluarga juga cenderung menurun. Hal ini dapat ditandai sebagai penyebab peningkatan stress pada Ibu B. Selama intervensi, Ibu B mulai mencoba memahami gejala-gejala autis pada anaknya dan penanganan yang perlu dilakukannya di rumah. Ia juga mulai menyadari bahwa ia membutuhkan bantuan untuk mengasuh dan mendampingi anaknya tetapi ia tidak berdaya karena ia merasa sendirian dan keluarganya pun tampak enggan membantunya. Ibu B mulai membuka diri, mengenali emosi-emosi positif dan negatif yang dirasakannya, serta berlatih mengelola emosinya. Ibu B merasakan manfaat dari materi yang disajikan dalam website, baik materi tentang literasi autis, manajemen diri, maupun berbagi cerita. Materi yang dianggap Ibu B paling bermanfaat adalah materi berbagi cerita karena ia merasa mendapatkan informasi tentang cara-cara yang dilakukan orangtua lain dalam menangani perilaku anaknya.
3. Ibu C a. Analisis Visual Data dari skala penerimaan orangtua menunjukkan adanya peningkatan penerimaan orangtua dari fase pre-test ke fase post-test sebesar 4 poin serta penurunan skor pada fase follow-up yaitu sebesar 2 poin. Data dari skala pengetahuan menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan autis pada fase post-test yaitu sebesar 9 poin dan tetap bertahan hingga fase follow-up. Data dari DASS-21 menunjukkan adanya penurunan tingkat stres pada fase post-test yaitu sebesar 2 poin dan penurunan pada fase follow-up yaitu sebesar 10 poin. Berikut ini adalah tabel dan gambar hasil pengukuran skala penelitian:
23
Tabel 8: Hasil Pengukuran Skala Ibu C Skala
Pre-test
Post-test
Follow-up
Skala penerimaan orangtua
25 (rendah)
29 (sedang)
27 (sedang)
Skala pengetahuan autis
32 (sedang)
41 (tinggi)
41 (tinggi)
DASS-21
15 (sedang)
13 (rendah)
3 (normal)
45 40 35 30 25
Pre-tes
20
Post-test
15
Follow up
10 5
Penerimaan
Pengetahuan
Stress
Gambar 8. Analisis Visual Skala Penerimaan Orangtua, Skala Pengetahuan Autis, dan DASS-21 pada Ibu C
Tabel 8: Tingkat Stabilitas dan Skor Median Ibu C Analisis visual
Pre-test (A1)
Post-test (B)
Follow-up (A2)
Tingkat stabilitas
92,9% (Stabil)
-
100% (stabil)
Kecenderungan arah
Median 1 = 50
Median 1 = 53
Median 1 = 50,5
(slope)
Median 2 = 50
Median 2 = 56
Median 2 = 50
Slope
Tetap
Membaik
Memburuk
57 : 49 = 1,16x Perubahan level
Skor awal B – skor akhir A1 = 57 – 50 = (+) 7 membaik Skor awal A2 – skor akhir B = 50 – 56 = (-) 6 memburuk
24
70
2
60 50 40 1 30 20 10 0
0 1
4
7
10
13
16
19
Penerimaan orangtua
22
25
28
31
34
37
Kejadian negatif
Gambar 9. Skor Checklist Penerimaan Orangtua pada Ibu C
58 56 54 52
Ibu C
50 48 46 A1
A1
B
B
A2
A2
Gambar 10. Kecenderungan Arah (slope) Penerimaan Orangtua Ibu C Hasil analisis visual menunjukkan bahwa tingkat stabilitas variabel penerimaan orangtua Ibu C pada fase A1 dan A2 adalah stabil. Hasil analisis kecenderungan arah (slope) menunjukkan bahwa pada fase baseline A1 dan A2 tidak ada perubahan median yang artinya tidak ada perubahan arah. Pada fase intervensi ada perubahan median dari 53 menjadi 56 dengan arah naik 3 poin. Kecenderungan arah ini dapat diartikan sama dengan hasil skala penerimaan orangtua bahwa ada peningkatan penerimaan orangtua saat fase intervensi. Tingkat perubahan Ibu C dihitung dari skor awal fase B dikurangi skor akhir fase A1 yang hasilnya ada perubahan sebesar 7 poin dengan arah (+) atau membaik.
25
b. Analisis Deskriptif Ibu C memiliki 2 (dua) orang anak yang berusia 7 tahun dan 2 tahun. Anak pertamanya didiagnosis autis pada saat berusia 3 tahun. Saat mengetahui anaknya didiagosis autis, Ibu C bingung dan tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Ia tidak memiliki keluarga atau teman yang bisa membantu dan mendukungnya. Ibu C juga kurang memiliki kemampuan untuk aktif mencari informasi. Sumber informasi yang dimiliki hanya berasal dari dokter atau terapis yang menangani anaknya, itupun sangat terbatas. Keterbatasan informasi tersebut membuat penanganan anaknya cenderung terlambat, tidak terarah, dan tidak berkesinambungan. Ibu C juga kurang mendapatkan bantuan dari suami yang sibuk bekerja sejak pagi hingga sore. Berdasarkan
hasil
analisis
kuantitatif,
Ibu
C
mengalami
peningkatan pengetahuan sebesar 9 poin dan penerimaan orangtua sebesar 4 poin. Analisis visual penerimaan Ibu C terhadap anaknya menunjukkan perubahan arah dan level, yaitu arahnya meningkat dan levelnya juga meningkat. Selama mengikuti proses intervensi, Ibu C merasa diingatkan tentang gejala autis dan penanganan dasar yang diperlukan. Ia juga mendapatkan materi untuk manajemen diri yang sangat membantunya untuk mengurangi kecemasan dan stress dalam rutinitas hariannya. Ia juga lebih mampu mengendalikan emosinya saat menghadapi perilaku anakanaknya.
Ibu
pendampingan
C
mendapatkan
yang
insight
dilakukannya
bahwa
pada
pengasuhan
anak-anaknya
dan
sangat
mempengaruhi respon perilaku yang ditunjukkan anak. Jika ia ingin anaknya berubah lebih baik, maka ia harus mengubah perilaku, pengasuhan, dan penerimaannya terhadap anaknya.
26
Diskusi Literasi Care-Autis secara umum dibagi menjadi 3 materi literasi yaitu literasi tentang autis, literasi tentang manajemen diri, dan berbagi cerita dan pengalaman. Subjek juga dapat berkonsultasi dengan psikolog mengenai penanganan masalah mereka dalam keseharian, baik yang berkaitan dengan anak, keluarga, maupun hal-hal yang lain. Literasi tentang autis sangat diperlukan bagi ibu dari anak autis yang selalu dituntut untuk mampu mengasuh, mendampingi, dan menangani masalah anak sekaligus masalah rumah tangga lainnya. Situasi dan kondisi anak, keluarga, dan latar belakang yang berbeda-beda di antara subjek mempengaruhi kondisi internal orangtua yang memiliki anak autis (ErgunerTekinalp & Akkok, 2004). Proses penerimaan orangtua terhadap anaknya yang mengalami autis mudah mengalami perubahan (Rohner, Khaleque, & Cournoyer, 2007). Hal ini tampak pada dinamika penerimaan orangtua yang dialami subjek penelitian. Ibu A yang tinggal dengan suami dan ibu mertua lebih banyak merasakan permasalahan dengan ibu mertua daripada permasalahan menangani anak. Ibu B yang menjadi janda dan tinggal dengan orangtua merasa kurang mendapatkan daya dukung keluarga karena orangtua dan keluarganya cenderung menyerahkan seluruh pengasuhan dan pendampingan anak pada dirinya dan enggan melibatkan diri untuk membantu mengasuh anaknya. Ibu C yang tinggal bersama suami dan kedua anaknya merasa kesulitan untuk mengasuh anak dan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Dinamika permasalahan yang dialami masing-masing subjek berbedabeda, tergantung dari berbagai macam faktor yang mempengaruhi (Rohner, Cournoyer, & Khaleque, 2007; Arsli, 2006; Gray, 2006). Hal ini juga mempengaruhi cara dan proses subjek memperoleh informasi kemudian mengolahnya untuk mengatasi permasalahan yang ada (Oosterling dkk, 2010). Data yang didapat dari penelitian ini mengungkapkan bahwa subjek penelitian tidak memiliki informasi tentang autis saat menerima diagnosis dari dokter. Pada proses selanjutnya, subjek penelitian berusaha mencari informasi sebanyak-banyaknya sesuai dengan kemampuan dan daya dukung dari lingkungan yang mereka miliki. Ibu A aktif mencari informasi melalui diskusi dengan dokter,
27
terapis, membaca buku, mengakses informasi di internet, mengikuti diskusi di facebook atau mailing list. Ibu A juga aktif berdiskusi dan berbagi pengalaman dengan ibu-ibu lain di sekolah anaknya. Ibu B dan Ibu C kurang memiliki kemampuan dan daya dukung seperti Ibu A sehingga mereka hanya berusaha mencari informasi melalui dokter, terapis, guru atau cerita dari ibu-ibu yang lain. Hal tersebut menjadi landasan awal pengetahuan yang dimiliki oleh subjek. Berdasarkan analisis skala pengetahuan autis, masing-masing subjek penelitian mengalami perubahan tingkat pengetahuan dengan arah membaik yaitu adanya kenaikan skor pengetahuan autis. Hal ini menunjukkan adanya perubahan pengetahuan baru yang diharapkan diikuti dengan perubahan sikap, emosi, dan perilaku. Adanya perubahan pengetahuan menunjukkan bahwa ada proses belajar yang terjadi pada subjek penelitian. Setiap subjek melakukan proses belajar yang berbeda-beda yang dapat dianalisis dengan tahapan belajar signifikan yaitu adanya pengetahuan dasar, aplikasi, integrasi, dimensi manusia, perhatian, dan belajar cara belajar (Fink, 2003). Ibu A merasa sangat terbantu dengan artikel berbagi cerita dari sudut pandang anak. Selama ini ia berusaha mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang autis, mulai dari gejala hingga penanganan. Namun ternyata dari sekian banyak informasi tersebut, tidak dapat membantu dia untuk memahami apa yang sebenarnya dirasakan, dipikirkan, dan dialami oleh anaknya. Setelah mengikuti intervensi, ia menyadari bahwa penanganan yang selama ini ia berikan pada anak tidak efektif karena ia kurang bisa memahami pola pikir, emosi, dan pola perilaku anaknya. Hal ini juga dialami oleh Ibu B yang mendapatkan manfaat dengan diingatkan kembali tentang gejala-gejala autis dan penanganan dasar yang perlu diberikan sekaligus pengalaman yang diberikan dari sudut pandang anak autis. Ibu C mendapatkan insight dengan memahami bahwa perilaku anaknya sangat dipengaruhi oleh respon ibu terhadap perilaku anaknya. Ia juga mulai memahami bahwa pola pengasuhan yang dia terapkan pada anaknya dipengaruhi oleh pola asuh yang ia dapatkan dari neneknya saat Ibu C masih kecil. Pemahaman ini ia peroleh setelah membaca dan memahami informasi literasi Care-Autis pada bagian manajemen orangtua dan berbagi cerita.
28
Subjek menyatakan bahwa pengetahuan yang didapat selama proses intervensi sangat bermanfaat untuk kembali mengingatkan tentang gejala dan perkembangan anak autis. Walaupun mereka sudah pernah mengetahui atau mendapatkan informasi yang sama tetapi informasi tersebut lebih mudah dipahami dan diterima kembali ketika disajikan bersama informasi tentang pengalaman dari orangtua lain serta pengalaman dari sudut pandang anak. Pengetahuan lain yang didapatkan adalah tentang manajemen diri untuk mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan kondisi internal dan ekternal subjek. Selama ini subjek penelitian hanya mencoba cara-cara umum untuk mengatasi masalah harian yang muncul, misalnya stres harian, konflik dengan keluarga, harapan yang tidak tercapai atau masalah lainnya. Setelah mengikuti intervensi, subjek penelitian mengetahui cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan hidup sehari-hari yang mereka hadapi. Hal ini menunjukkan bahwa ibu dari anak autis tidak hanya membutuhkan informasi tentang gejala dan penanganan anak autis, tetapi juga cara mengatasi stress, menyelesaikan masalah, serta membangun dukungan dari keluarga. Ibu dari anak autis juga membutuhkan informasi tentang pengalaman orangtua lain serta pengalaman anak autis menjalani kehidupannya. Peningkatan pengetahuan subjek penelitian secara kuantitatif terlihat lebih banyak dibandingkan peningkatan penerimaan orangtua. Hal ini dapat dipengaruhi dari metode intervensi yaitu psikoedukasi berbentuk literasi dengan dukungan internet. Menurut Ritterband dkk (2009), mekanisme perubahan perilaku yang dipengaruhi oleh intervensi berbasis internet meliputi beberapa aspek yaitu pengetahuan, motivasi, pembentukan ketrampilan, dan monitoring diri. Psikoedukasi dalam intervensi ini lebih menitikberatkan pada proses reedukasi dengan memberikan pengetahuan dan pemahaman melalui literasi dalam website sedangkan proses psikoterapi melalui konsultasi psikologi dan selfmonitoring dalam catatan harian kurang dapat berjalan dengan optimal. Hal ini dapat menyebabkan mekanisme perubahan perilaku subjek kurang maksimal. Walaupun demikian, secara
kualitatif, masing-masing subjek penelitian
mengalami proses belajar, menemukan insight dan melakukan perubahan perilaku sesuai permasalahan, situasi, dan kondisi yang dihadapi.
29
Keterbatasan Penelitian 1. Keterbatasan penelitian ini adalah penggunaan internet yang belum maksimal dalam keseluruhan rangkaian penelitian. Salah satu hambatannya adalah keterbatasan kemampuan subjek dalam mengakses website, facebook, dan menggunakan laptop. Keterbatasan tersebut menyebabkan internet hanya digunakan dalam penyajian materi literasi tetapi kurang dapat dimanfaatkan untuk menulis catatan harian dan menyelesaikan tugas harian. 2. Kesetaraan tingkat pengetahuan dan kemampuan subjek dalam mengakses website dan menggunakan komputer/laptop tidak diukur sehingga subjek memiliki perbedaan kemampuan yang mempengaruhi proses intervensi. 3. Beberapa aktivitas dalam penelitian membutuhkan kegiatan menulis. Pada subjek yang tidak terbiasa menulis mengalami kesulitan menuliskan apa yang dipikirkan atau dirasakan sehingga membutuhkan pendampingan agar mampu menyelesaikannya sesuai ketentuan.
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan 1. Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan variabel dependen yaitu adanya peningkatan penerimaan orangtua terhadap anak autis. Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa ada indikasi literasi Care-Autis dapat meningkatkan penerimaan orangtua pada subjek penelitian ini. 2. Perubahan penerimaan orangtua pada subjek penelitian terlihat dari hasil pengukuran kuantitatif berdasarkan data skala
penelitian. Perubahan
penerimaan orangtua bervariasi untuk setiap subjek. Ibu A menunjukkan ada peningkatan skor penerimaan orangtua sebelum dan sesudah intervensi dan penurunan pada fase follow-up. Ibu B menunjukkan tidak ada perubahan skor penerimaan orangtua sebelum dan sesudah intervensi tetapi ada peningkatan pada fase follow-up. Ibu C menunjukkan ada peningkatan skor penerimaan orangtua sebelum dan sesudah intervensi dan penurunan pada fase follow-up.
30
3. Hasil analisis data kuantitatif ini didukung oleh data kualitatif melalui data wawancara, observasi, maupun catatan harian subjek penelitian. Berdasarkan data kualitatif, subjek penelitian mengatakan bahwa perubahan yang dialami selama proses terapi terlihat cukup signifikan dirasakan oleh dirinya, terutama berkaitan dengan perubahan emosi, pikiran, dan perilaku penerimaan orangtua saat menghadapi perilaku anak dalam keseharian. 4. Subjek penelitian mendapatkan manfaat dari semua materi yang disajikan dalam literasi Care-Autis sesuai dengan situasi, kondisi, dan kebutuhan masing-masing. Ibu A yang aktif mencari informasi dari internet serta memiliki pengetahuan yang cukup luas tentang anak autis mendapatkan manfaat terbesar dari artikel berbagi cerita pengalaman orangtua dan anak autis. Ibu B yang kurang memiliki pengetahuan tentang autis serta kurang mampu mengakses informasi dari internet mendapatkan manfaat dari semua artikel dalam literasi Care-Autis serta dari konsultasi dengan psikolog. Ibu C yang kurang memiliki pengetahuan tentang autis serta kurang mampu mengakses informasi dari internet mendapatkan manfaat dari semua artikel dalam literasi Care-Autis terutama dari artikel manajemen diri serta dari konsultasi dengan psikolog.
Saran Bagi peneliti selanjutnya 1. Pemilihan subjek penelitian dapat dilakukan dengan lebih cermat, terutama berkaitan dengan kemampuan mengakses layanan internet (website, email, facebook, youtube) serta menggunakan laptop atau komputer secara mandiri tanpa memerlukan bantuan dari orang lain. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengamati kemampuan subjek saat mengakses website dan menggunakan laptop atau komputer. 2. Modul Care-Autis dalam penelitian ini telah melakukan serangkaian proses uji validasi modul. Hasil temuan peneliti menunjukkan bahwa artikel yang disajikan mempunyai peran penting dalam proses literasi. Artikel tersebut sebaiknya disajikan dengan bahasa yang singkat, jelas, dan mudah dipahami
31
serta dilengkapi dengan gambar dan video yang sesuai. Artikel dengan satu pokok bahasan dapat disajikan secara terpisah-pisah dalam bentuk hyperlink agar tidak terkesan terlalu panjang. 3. Aktivitas menulis catatan harian merupakan salah satu bentuk self-monitoring yang mempengaruhi proses perubahan perilaku subjek. Aktivitas ini perlu dimodifikasi sesuai dengan latar belakang subjek agar subjek tetap termotivasi untuk menulis sesuai ketentuan intervensi.
Bagi praktisi 1. Kalangan praktisi, terapis, guru, orangtua, dan sekolah dapat menerapkan intervensi literasi autis dengan dukungan internet ini untuk memberikan psikoedukasi yang murah dan mudah diakses oleh orangtua pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. 2. Terapis perlu membekali diri dengan kemampuan untuk melakukan building rapport dan konsultasi psikologi melalui pesan dalam email dan facebook.
32