ABREVIASI DALAM BAHASA BALI : CARA MEMBACA DAN MEMAHAMI SINGKATAN DALAM NASKAH BERAKSARA BALI (BAGIAN I) Oleh I Ketut Ngurah Sulibra JURUSAN SASTRA BALI ABSTRAK Penggunaan singkatan dalam komunikasi sehari-hari adalah sesuatu yang biasa dilakukan baik untuk bahasa tulisan maupun lisan. Tidak terkecuali bahasa Bali, singkatan dalam bahasa Bali sudah diperkenalkan sejak dulu seiring adanya tradisi tulis di atas daun lontar. Dalam tata tulis aksara Bali dikenal dengan istilah aksara anceng. Penggunaan aksara anceng ini digunakan dalam berbagai klasifikasi naskah lontar terutama paling banyak digunakan di dalam klasifikasi wariga. Untuk membaca dan memahami aksara anceng ini seharusnyalah diketahui konteks dan ciri khasnya karena setiap teks atau naskah memiliki ciri khas masing-masing sebagai suatu dinamika dalam menuliskan sebuah teks. Tujuan penulis adalah untuk efisiensi kata dan keuntungan lainnya adalah naskah kelihatan lebih variatif.
Kata kunci: abreviasi, efektif, ekonomis, variatif, bentuk, dan makna
ABSTRACT The use of abbreviations in everyday communication is something common to both spoken and written language. No exception Balinese language, stands in Balinese language has been introduced since the first line of the tradition of writing on palm leaves. In Grammar Balinese script known as anceng script. Using anceng script is used in a variety of text classification ejection especially most widely used in the classification Wariga. To read and understand these characters ought anceng known context and his trademark since any text or texts characterized respectively as the dynamics of writing a text. The author's intent is for the word efficiency and other advantages is the script look more varied.
Keywords: abreviasi, effective, economical, variety, form, and meaning
1
I Pendahuluan Penggunaan abreviasi atau singkatan dalam berkomunikasi sehari-hari baik lisan maupun tertulis merupakan suatu hal yang biasa. Bagi kalangan tertentu misalnya, dalam bidang kimiawi kebutuhan terhadap penggunaan singkatan sangat penting terutama untuk menuliskan lambanglambang suatu unsur seperti Au (Aurum untuk emas), Cu (Cuprum untuk tembaga), O (Oksigen), Fe (Ferrum untuk besi), dan lain sebagainya. Demikian pula dalam bidang fisika, matematika, dan ilmu pengetahuan alam lainnya banyak sekali ditemukan singkatan-singkatan yang bersifat teknis. Penggunaan singkatan dalam bidang ilmu sosial juga penting termasuk ilmu bahasa. Dalam bahasa Indonesia, penggunaan singkatan tidak hanya sekadar menyingkat atau memperpendek sebuah kata atau istilah tetapi juga diproyeksikan dalam rangka pembentukan sebuah kata. Dalam akronim hal seperti ini sangat banyak dijumpai, misalnya tilang dari ‘bukti pelanggaran’, ruko dari ‘rumah toko’, tipikor dari ‘tindak pidana korupsi’, tipiring dari ‘tindak pidana ringan’, Kapuskodal dari ‘Kepala Pusat Komando dan Pengendalian’, pamerpaha dari ‘padat merayap pengendara hati-hati’, dan lain sebagainya. Lebih ekstrim lagi adalah penyingkatan atas kependekan, yakni sebuah singkatan disingkat lagi untuk membuat singkatan baru seperti AMD (Abri Masuk Desa) karena sesungguhnya Abri adalah sebuah singkatan (ABRI singkatan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dan masih banyak contoh lainnya. Istilah maupun singkatan seringkali dimunculkan seiring dengan tingkat intensitas penggunaan bahasa yang semakin meningkat pula dalam berbagai bidang kehidupan sosial masyarakat. Lalu, bagaimana halnya dengan singkatan dalam bahasa Bali? Bagaimana cara memahaminya? Apa yang ada di pikiran kita ketika pertama kali kita menerima pesan singkat OSA sebagai pembuka kata dan OSSSO sebagai penutup dari seseorang yang sebelumnya belum 2
pernah kita dengar? Bagaimana singkatan ini dibuat? Bagi orang yang biasa membaca aksara Bali baik yang ada dalam naskah lontar maupun dalam transliterasinya ke dalam huruf Latin sering kali ditemukan singkatan-singkatan. Kadangkala singkatan yang dijumpai tersebut tidak diketahui apa bacaannya sehingga teks tidak dapat dipahami secara utuh bahkan mungkin menyesatkan. Cara membuat singkatan dalam bahasa Bali masing-masing ranah tentu berbeda. dalam ranah tradisional yang berbasis naskah-naskah lontar dengan huruf Bali tentu berbeda dengan ranah modern yang huruf Latin yang fonemis. Perlu ditegaskan di sini bahwa untuk kepentingan praktisnya pemahaman sistem tata tulis huruf Bali yang digunakan dalam pembahasan ini adalah sistem silabis, yakni satu huruf melambangkan satu suku kata. (Catatan: sebenarnya sistem aksara Bali bukanlah silabis murni tetapi sudah bercampur dengan sistem fonemis, yakni dengan menggunakan pangangge suara, pangangge tengenan, pangangge ardasuara, dan lain-lain. Oleh karena memerlukan penjelasan yang panjang lebar dan bersifat teknis, maka pandangan aksara Bali yang silabis akan digunakan dalam tulisan ini). Mengingat luasnya permasalah dalam penyingkatan bahasa Bali, maka pembahasannya akan dibagi dalam dua bagian, yaitu bagian pertama penyingkatan dalam ranah tradisional dan bagian kedua dalam ranah modern. Dalam kesempatan ini disajikan
cara membaca dan
memahami singkatan bahasa Bali dalam ranah tradisional yang ditulis menggunakan aksara Bali maupun naskah-naskah yang sudah dialihaksarakan ke dalam aksara Latin sedangkan bagian kedua (ranah modern) akan disajikan dalam tulisan berikutnya.
3
II Landasan Konseptual Tulisan ini didasari oleh pendekatan linguistik struktural yang dipelopori oleh F. de Saussure (1916). Secara umum, linguistik struktural memberikan penekanan pada dikotomi konsep-konsep: (i) perbedaan antara langue, parole, dan langage; (ii) perbedaan antara penyelidikan diakronis dan sinkronis; (iii) hakikat tanda bahasa menyangkut signifie dan signifiant; (iv) perbedaan antara hubungan asosiatif dan sintagmatis dalam bahasa, dan (v) perbedaan antara valensi, isi, dan pengertian (Kridalaksana dalam de Saussure, 1996: 4, Parera, 1977: 86). Di antara konsep-konsep tersebut di atas akan dipilih konsep yang paling relevan dan gayut berkaitan dengan tulisan ini. Adapun konsep-konsep yang dimaksud adalah sebagai berikut. (1) La langue menurut Saussure (1996: 7) adalah abstraksi merupakan produk sosial dari kemampuan bahasa dan sekaligus merupakan keseluruhan konvensi yang dipengaruhi oleh kelompok sosial untuk mempergunakan kemampuan tersebut. Selain itu langue adalah tempat untuk menyimpan tanda-tanda yang diterima orang dari penutur lain dalam masyarakat. Langue bersifat pasif oleh karena itu langue bersifat tetap dan stabil. (2) Signifie dan signifiant: Saussure menyebut signifie sebagai
konsep ‘yang ditandai;
petanda’ sedangkan signifiant adalah ‘yang menandai; penanda’. Konsep lebih abstrak dari citra akustis, konsep bersifat semata-mata sebagai pembeda dan secara langsung bergantung pada citra bunyi yang berkaitan. Itulah sebabnya tanda mempunyai dua muka yang tidak dapat dipisahkan. Dalam tanda bahasa, bila citra akustis diubah maka berubah pulalah konsepnya, demikian sebaliknya. Untuk memperjelas pengertian ini, maka 4
berikut akan disajikan model diagramnya menurut Kridalaksana (dalam de Saussure, 1996: 12).
Signifie
Konsep Citra akustis
=
petanda
=
signifiant
penanda
tanda = bahasa
(3) Hubungan asosiatif dan hubungan sintagmatis: setiap satuan wicara merupakan rangkaian dari satuan ujar dan di dalamnya terdapat satuan-satuan bahasa lain baik dari segi bentuk maupun makna namun dalam satu kesatuan keseluruhan sistem bahasa. Hubungan semacam ini disebut inabsentia. Hubungan sintagmatis adalah hubungan dalam rantai ujaran yang ada dan nyata dalam suatu wicara. Hubungan ini paling kurang dua atau lebih unit bahasa. Hubungan ini juga disebut hubungan praesentia karena butir-butir yang dihubungkan itu ada bersama dalam wicara. (4) Sinkronis; diakronis merupakan studi bahasa berdasarkan kesejarahan, yakni studi yang didasarkan pada fase-fase perkembangan/evolusi bahasa dari zaman ke zaman berikutnya. Namun, dalam tulisan ini akan ditekankan pada studi yang bersifat sinkronik, yakni studi bahasa kekinian atau studi dalam kurun waktu tertentu, pada satu masa tertentu. Studi sinkronis memformulasikan gejala-gejala bahasa berdasarkan ujaranujaran pembicara berdasarkan fakta-fakta bahasa dan keadaan bahasa tanpa persoalan urutan waktu.
5
III Definisi Mengacu dari definisi Kridalaksana (2007: 159) abreviasi atau pemendekan adalah proses penanggalan satu atau beberapa bagian leksem atau kombinasi leksem sehingga jadilah bentuk baru yang berstatus kata. Hasil dari proses pemendekan itu disebut kependekan. Pada bagian lain Kridalaksana (2007: 162) mendefinisikan singkatan sebagai salah satu hasil proses pemendekan berupa huruf atau gabungan huruf, baik yang dieja huruf demi huruf maupun yang tidak dieja huruf demi huruf. Dengan definisi seperti itu, maka jelaslah bahwa pengertian antara abreviasi dengan singkatan tidaklah sama. Di satu pihak abreviasi cenderung pada proyeksi pembentukan leksem atau kata. Oleh sebab itu maka dapat dikatakan bahwa abreviasi merupakan salah satu cara dalam pengayaan kosa kata suatu bahasa yang nantinya dapat digunakan secara luas oleh masyarakat. Di pihak lainnya, singkatan hasilnya bentuknya yang memang benar-benar singkat. Adapun persamaannya adalah keduanya sama-sama merupakan pemendekan dari sebuah kata atau pemendekan dari gabungan beberapa kata. Lebih lanjut Kridalaksanakan mengatakan bahwa bentuk kependekan muncul karena terdesak oleh kebutuhan untuk berbahasa secara praktis dan cepat. Sebagaimana telah disinggung di depan bahwa kebutuhan terhadap kependekan paling terasa di bidang teknis seperti cabang – cabang ilmu, kepanduan, angkatan bersenjata, dan lain-lain kemudian menjalar ke bahasa seharihari. Dalam tata tulis bahasa Bali tradisional yang menggunakan huruf Bali cara membuat singkatan dikenal dengan istilah aksara anceng (Tim Penyusun, 1996: 7, Tim Penyusun, 2009: 10). Kata anceng berarti (i) kayu patok, patokan, (ii) panjar, uang muka. Dari kata anceng ini kemudian didapati salah satu bentuk turunannya nganceng ‘tinggal, diam, berhenti’. Oleh karena
6
itu, maka singkatan dalam bahasa Bali secara tradisional yang menggunakan huruf Bali adalah huruf pertamanya saja yang diambil dari kata-kata yang disingkat atau dengan cara pemenggalan bagian atau suku kata yang menjadi kepanjangannya (Tim Penyusun, 1996: 7). Adapun teknis penulisannya diapit carik pangangsel atau carik siki ( ,…, ). Tata cara membuat singkatan dalam bahasa Bali akan didasarkan pada ranah tradisional dan modern.
IV Pembahasan Ada tujuh klasifikasi naskah lontar Gedong Kirtya berdasarkan isinya, yaitu (1) kelompok Weda (Weda, mantra, kalpasastra), (2) kelompok Agama (palakerta, sasana, niti), (3) kelompok Wariga (wariga, tutur, kanda, usada), (4) kelompok Itihasa (parwa, kakawin,kidung, geguritan), (5) kelompok Babad (pamancangah, usana, uwug), (6) kelompok Tantri (tantri, satua), dan (7) kelompok Lelampahan) (Agastia, 1985: 6). Di antara ketujuh klasifikasi naskah lontar tersebut, penggunaan aksara anceng ini
paling banyak ditemukan dalam kelompok
Wariga (b.d. Tim Penyusun, 1998: 29). Dalam Kamus Bali – Indonesia Edisi Ke-2 (2008: 802) disebutkan bahwa Wariga adalah ilmu tentang perhitungan baik-buruknya hari (b.d. Kamus Bali-Indonesia Beraksara Latin dan Bali, 2009: 817). Salah satu dari sistem ini ada yang disebut dengan istilah wewaran yakni perhitungan hari-hari mulai dari eka wara sampai dengan dasa wara. Adapun kesepuluh wewaran tersebut adalah sebagai berikut. Eka Wara: luang; Dwi Wara: menga pepet; Tri Wara: pasah, beteng, kajeng (dora, wahya, byantara); Catur Wara: sri, laba, jaya, menala; Panca Wara: umanis, paing, pon, wage, kliwon; Sad Wara: tungleh, aryang, wurukung, paniron, was, maulu; Sapta Wara: redite, soma, anggara, buda, wraspati, sukra, saniscara; Asta Wara: sri, 7
indra, guru, yama, ludra, brahma, kala, uma; Sanga Wara: dangu, jangur, gigis, nohan, ogan, erangan, urungan, tulus, dadi; Dasa Wara: pandita, pati, suka, duka, sri, manuh, manusa, dewa, raja, raksasa. Di antara kesepuluh perhitungan harian tersebut, ternyata yang paling sering digunakan sehari-hari adalah sistem harian lima (panca wara) dan sistem harian tujuh (sapta wara) walaupun tidak tertutup kemungkinan penggunaan perhitungan sistem harian lainnya. Sering kali kedua sistem harian ini sering kali digunakan untuk menandai kolofon sebuah teks atau naskah. Dalam penandaan tersebut biasanya penulis menggunakan singkatan baik untuk panca wara maupun sapta waranya sebagai berikut ini. …,, ú,,. U, untuk umanis,. .., , p, , .,pa, untuk pahing, …,, pÙ,,..,pwa, untuk pon, .., , w, , .,wa, untuk wage, ., , kÞø,, ,kli, untuk kliwon. Penyingkatan untuk sapta wara adalah sebagi berikut. …, , r,,,Ra, untuk Redite (Minggu), … , , eco,.,,Co, untuk Soma (Senen), …, , Á,,.,A, untuk Anggara (Selasa), …,, bu,,,Bu, untuk Buda (Rabu), …, , wÌ,,…,Wra, untuk Wraspati (Kamis), …,, su,,..Su, untuk Sukra (Jumat), …, , ],,…..,Sa, untuk Saniscara (Sabtu). Contoh penggunaan singkatan panca Wara dan Sapta Wara dapat dilihat sebagai berikut. “Samalih ne wĕnang kĕna lara bajang an, ne mawĕtu ring, dina, Co. U, Co. Pa, Co. Pwa, Co. Wa, Co. Ka, ika wĕnang kĕna lara bajangan. Samalih ne wĕnang kena lara bajangan, ne mawĕtu ring dina, A. U, A. Pa, A. Pwa, A. Wa, ika wĕnan g kĕna lara bajangan” (dikutip dari Pawacakan, 2007: 13).
Artinya: Yang bisa kena sakit bajangan adalah anak yang lahir pada hari Senin Umanis, Senin Pahing, Senin Pon, Senin Wage, Senin Kliwon, semua itu dapat terkena sakit bajangan. Lagi pula yang dapat terkena sakit bajangan adalah anak yang lahir pada Selasa Umanis, Selasa Pahing, Selasa Pon, Selasa Wage, itu bisa terkena sakit bajangan. 8
(Catatan: (bajang, nyama bajang, bajangan adalah kekuatan yang membantu 4 unsur (catur sanak) yang menjadikan bayi dalam kandungan dapat tumbuh. Menurut lontar Pawacakan disebutkan bahwa kelahiran dengan pertautan antara panca wara dengan sapta seperti yang telah disebutkan itu dinyatakan bahwa kekuatan empat unsur itu dapat menyebabkan bayi atau anak tersebut terkena penyakit dan di dalam lontar tersebut juga diberikan cara mengatasinya atau mengobatinya). Di dalam sebuah teks biasanya memuat kolofon dengan tata cara penggunaan penanggalan candra sangkala atau pun dengan memakai tata cara penanggalan surya sangkala. Namun, penggunaan candra sangkala ataupun surya sangkala
umumnya tidak disingkat.
Singkatan dalam kolofon biasanya mengenai peredaran atau keadaan bulan, yakni setelah tilem (bulan mati) yang disebut suklapaksa (keadaan paro terang) dengan istilah pananggal. Dalam hal ini tanggal artinya bertambah besar; hari-hari bulan bertambah besar atau paruh bulan pertama (1-15 hari) atau hari-hari dalam paruh bulan pertama (Zoetmulder: 1997: 1204). Dalam penulisan pananggal biasanya menggunakan singkatan …,, t*,,.,tang, artinya tanggal/pananggal. Sebaliknya setelah bulan purnama (bulan penuh) disebut dengan kresnapaksa (keadaan paro gelap) dengan menggunakan singkatan …,, p*, ,….,pang, artinya panglong. Keadaan ini terbalik dengan suklapaksa. Dalam keadaan ini (panglong) keadaan bulan mulai mengecil sampai hari kelima belas bulan tidak terlihat yang disebut tilem. Baik pananggal maupun panglong lamanya lima belas hari dan pada hari keempat belas disebut purwani. Tang, 1, artinya paro terang tanggal 1 atau sehari setelah purnama; tang, 2, paro terang tanggal 2 atau dua hari setelah purnama, dan seterusnya sampai tang,15, atau purnama. Pang,1, artinya paro gelap 1, pang, 2, artinya paro gelap 2, dan seterusnya samapai pang, 15, artinya tilem.
9
Selain menggunakan sistem wewaran tersebut di atas, dalam sistem penanggalan naskah juga menggunakan sistem wuku (uku) yang jumlahnya tiga puluh. Satu wuku lamanya tujuh hari, jadi satu kali rotasi pawukon lamanya 210 hari (sama dengan 1 weton/oton; dengan perhitungan 30 x 7 = 210). Berikut diberikan contoh cara membaca dan memahami penggunaan aksara anceng (singkatan) dalam sebuah teks atau naskah yang diambil dari teks Prakreti Sasana halaman /45.b/. Sapĕn ĕngakĕna ida di Takmuwung, tur pinusung dening wong ika kabeh, putus baos, ring dina, Bu, Wa, Manail, pang, 2, Sasi Karo, Rah, 4, Tĕng, 4, Isaka 1244. “Tidak diceritakan beliau di Takmung, dan dihormatilah di sana oleh semua orang, sudah diputuskan, pada hari Rabu Wage,Wuku Manail, paro terang tanggal 2, Sasih Karo (sekitar bulan Juli), Satuannya 4, Puluhannya 4, Tahun Saka 1244 (tahun 1322 Masehi)”. Dalam bidang usada (pengobatan) aksara anceng (singkatan) banyak juga digunakan. Misalnya: …,, m, ,ma, dibaca mantra, artinya merapalkan mantranya …,,],
, sa, dibaca srana, artinya peralatan atau bahan-bahan yang dibutuhkan
…, t, ,ta, dibaca tamba, artinya obatnya …, ,r, ,ra, dibaca rasmen atau rampen, artinya tambahan bahan campuran …, , c,, ca, dibaca caru, yakni jenis sesajen untuk kurban bhuta yadnya. …,,\, ,….,nga, dibaca ngaran, artinya namanya atau disebutnya.
10
Singkatan …,,m,, ma, tidak selalu berarti mantra, dalam beberapa naskah perlu kehatihatian. Untuk itu diperlukan kecermatan dan nalar yang realistis. Salah satu contoh dapat dilihat di dalam naskah Pawacakan sebagai berikut. “Samalih yan tan pejah, malara, wĕnang tĕbusin ring paturonya, luirnya, tumpĕng putih kuning pada, ma, 1, mwang raka……. (Pawacakan /26.b/). Artinya: “Jika tidak meninggal, sakitlah (dia), harus diupacarai di tempat tidurnya dengan banten (sesajen) tumpeng putih kuning sama-sama satu biji, serta buah-buahan……..” “……malih jĕjatah lĕmbat pada, ma, 4, katih, ……”.(Pawacakan /28.b/). Artinya: “….ada lagi sate lembat empat tusuk,……”. Dengan teks seperti jelaslah bahwa singkatan …, ,m,, ma, bukanlah mantra, tetapi yang dimaksudkan jumlahnya. Dalam /26.b/ ,ma, 1, haruslah diartikan mabesik atau abesik “satu”. Sejalan dengan /26.b/ tersebut dalam /28.b/ bahwa ,..ma, 4, katih, harus dibaca mapetang katih artinya dilengkapi empat tusuk sate. Dengan demikian jelaslah bahwa ma bukan mantra. Masih banyak contoh-contoh sama seperti itu ditemukan dalam Pawacakan. Demikianlah salah satu cara membaca dan memahami aksara anceng dalam sebuah teks, seharusnyalah diketahui konteks dan ciri khasnya karena setiap teks atau naskah memiliki ciri khas masing-masing sebagai suatu dinamika dalam menuliskan sebuah teks. Barangkali tujuan penulis adalah untuk efisiensi kata, tidak menuliskan dengan rangkaian kata-kata tetapi langsung dengan angka. Keuntungan lainnya adalah dengan menuliskan angka, maka naskah kelihatan lebih variatif,
11
terjadi sinergi antara penggunaan kata-kata dengan angka sehingga lebih mudah menemukan bagian teks yang dicari. Sejalan dengan alinea di atas, dalam beberapa naskah yang berisikan rerajahan (baik dalam bentuk huruf atau gabungan beberapa huruf maupun dalam bentuk gambar) singkatan ra tidak berarti rasmen atau rerampen ‘bahan campuran’ melainkan berarti rajah.
Biasanya
didahului dengan kata iti rajahnya, ra, ‘inilah gambarnya’ lalu dilanjutkan dengan menampilkan gambarnya. Salah satu contoh bisa dilihat di dalam naskah lontar Kanda Pat Gunung Pitu atau pun dalam lontar Parama Siwa Rahasya.
Kadang kala penulis dalam menyingkat sering kali menggabungkan beberapa singkatan dijejer sedemikian rupa yang ditandai dengan carik pangangsel, (…,….,….) atau dengan tanda koma (,) dalam transliterasi huruf Latin. Bila tidak hati-hati membacanya bisa terjadi kesalahan fatal sehingga maknanya tidak jelas. Untuk itu diperlukan ketelitian dan persiapan secukupnya. Sebagai contoh, berikut disajikan kutipan dari Usada Ila Seri B sebagai berikut. “…. Malih yanya bĕsĕh lunas awaknya, tanganya mwang sukunya, puwuh kangka, nga, ta, nya, sa, don dausahaya, rwaning kayu jnar…..” (Seri Usada Bali: Usada Ila Seri B, 2007: 8).
Artinya: ‘… Lagi pula jika badannya bengkak semua, juga tangan dan kakinya, itu namanya sakit puwuh kangka, obatnya, dari bahan-bahan, daun dahusahaya, daun kayu putih…..’
12
Jika diperhatikan dengan saksama, dengan ditandai memakai tanda koma ternyata singkatan di atas (yang dicetak tebal) terdapat tiga singkatan, yakni nga(ran), ta(mba), dan sa(rana). Nya bukanlah singkatan, nya merupakan bagian dari ta(mba) jadi merupakan satu kesatuan kata, yakni tambanya ‘obatnya’. Demikianlah cara pengarang untuk membuat singkatan di dalam naskah lontar bahwa yang perlu diperhatikan konteks dan isi naskahnya sehingga tidak terjadi kesalahan. Penyingkatan dalam bidang agama sering juga dilakukan. Dalam pancaksara, misalnya, yakni lima huruf suci, Sa, Ba, Ta, A, I adalah simbol pantheon dari Panca Dewata. Kelima aksara tersebut merupakan representasi dari masing Dewa tersebut. …,,s,, Sa, adalah Sadyojata, …,,b,,Ba, adalah Bamadewa, …,,t,, Ta adalah Tatpurusa, …,,Á,
A adalah Aghora, …,,÷,, I
adalah Isana (atau Siwa). Dalam teologi Hindu kelima dewa ini memiliki tempat tersendiri tetapi berpusat di tengah, yakni …,,s,,Sa di Timur dengan simbol warna putih, …,,b,, Ba di Selatan dengan simbol warna merah, …,,t,,Ta di Barat dengan simbol warna kuning, …,,Á,, A di Utara dengan simbol warna hitam, dan …,,÷,, I di tengah (pusat) dengan simbol lima warna (panca warna), yaitu gabungan dari keempat warna tadi. Singkatan juga digunakan dalam bentuk naskah lontar pipil. Lontar pipil sampai saat ini masih diakui sebagai tanda bukti
yang sah tentang kepemilikan sebidang tanah dari
seseorang selain sertifikat hak milik. Sebagaimana lontar-lontar pada umumnya baik dari segi ukuran panjang pendeknya yang variatif, cara penulisanya pun seperti biasa dari kiri ke kanan dan biasanya di pojok kiri atas ada semacam stempel tanda pengesahan. Namun, dalam lontar pipil karena sifatnya khas tentang situasi atau gambaran sebidang tanah, maka di dalam penulisannya biasanya berbentuk tabel. Di dalam tabel berisi sejumlah hal yang memberikan
13
keterangan tentang tanah bersangkutan. Berikut sebuah contoh pipil tahun 1948 milik I Deg dari Padangsambian Denpasar yang sudah dialihaksarakan ke dalam huruf Latin. Alih aksara lontar I Nomêr U
de
pa
46
58
110
48
49
sang madruwe
Bañjar
gnah tgal ring deśa
klasiran
klas
i dêg
Bwanā
padangsambyan
tamanşari
3
50
51
52
53
54
linggah
upti
e
a
ru
se
-
5,5
0
14
55
56
57
Terjemahan Lontar I Nomor Urut
Desa
Persil
46
58
110
48
49
Pemilik
Banjar
Letak tanah
Klasiran
Klas
I Deg
Bwana
di Desa
Tamansari
3
Padangsambyan
50
51
52
Luas Ha -
53
Kalau diperhatikan lontar pipil di atas ternyata disajikan
54
Are
Pajak Rp
Sen
0
14
5,5
55
56
57
sangat sistematis dengan
menggunakan tabel-tabel. Singkatan digunakan mulai dengan nomor urut (u), desa (de), persil (pa), kemudian kolom luas (linggahnya) hektar (e), are (a), lalu kolom upti (pajak) rupiah (ru), dan sen (se). Pada lajur paling bawah yang menunjukkan angka 48 – 57 menunjukkan tahun pajak yang telah dibayar.
14
V SIMPULAN Dari seluruh uraian di atas maka berikut ini disajikan beberapa simpulan sebagai berikut. 1) Penggunaan abreviasi dalam tata tulis tradisional di atas daun lontar atau naskah yang memakai aksara Bali sudah lazim digunakan yang disebut dengan aksara anceng. 2) Tata cara penulisan aksara anceng adalah dengan cara mengambil huruf awalnya saja yang didahului dan diakhiri dengan carik pangangsel/carik siki (tanda koma dalam ejaan Latin). 3) Sesuai dengan pengelompokan naskah, penggunaan aksara anceng paling banyak digunakan di dalam kelompok Wariga kemudian kelompok Weda. 4) Untuk memahami abreviasi tersebut seorang pembaca harus mengetahui jenis dan konteks naskahnya sehingga tidak salah mengartikannya karena bisa berakibat fatal. 5) Manfaat dari penggunaan abreaviasi adalah naskah lebih ekonomis dalam arti tidak memerlukan ruang yang banyak sehingga naskah lebih efisien dan terlihat variatif.
DAFTAR PUSTAKA Agastia, Ida Bagus Gede. 1980.”Geguritan Sebuah Bentuk Karya Sastra Bali” (Makalah untuk Sarasehan Sastra Daerah Pesta Kesenian Bali II di Denpasar). Agastia. 1985. “Keadaan dan Jenis-Jenis Naskah Bali” (Makalah Seminar Bahasa, Sastra, Etika, dan Seni Jawa, Bali, dan Sunda). Proyek Javanologi Depdikbud Yogyakarta. Anonim. 2007. Seri Usada Bali: Usada Kuda. Denpasar: Pusat Pengkajian Budaya Bali Fakultas Sastra Univ. Udayana Denpasar. Anonim. 2007. Seri Usada Bali: Usada Ila B. Denpasar: Pusat Pengkajian Budaya Bali Fakultas Sastra Univ. Udayana Denpasar. 15
Kridalaksana, Harimurti. 2007. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Parera, Jos Daniel. 1977. Pengantar Linguistik Umum Seri A: Kisah Zaman. Ende-Flores: Nusa Indah Ruddyanto, C. (Editor), 2005. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Latin. Denpasar: Balai Bahasa, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Ruddyanto, C. (Editor). 2008. Kamus Bali-Indonesia: Edisi Ke-2. Denpasar: Balai Bahasa Denpasar, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Simpen AB, W. 1988. “Candra Sangkala” (terjemahan). Denpasar: Cempaka. Tim Penyusun, 1993. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Daerah Bali yang Disempurnakan. Tim Penyusun, 1996. Pembinaan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali: Pedoman Penulisan Papan Nama dengan Aksara Bali. Denpasar: Biro Bina Mental Spiritual Setwilda Tingkat I Bali. Tim Penyusun, 1998. Pedoman Pasang Aksara Bali. Denpasar: Dinas Kebudayaan Pemerintah Daerah Tk. I Bali. Tim Penyusun, 2006. Resi Waisnawa, Tri Lingga Siwa Sasana, Prakreti Sasasana: Alih Aksara dan Alih Bahasa. Denpasar: Pemerintah Provinsi Bali Badan Perpustakaan Daerah. Tim Penyusun, 2007. Pawacakan: Alih Aksara dan Alih Bahasa. Denpasar: Pemerintah Provinsi Bali Badan Perpustakaan Daerah. Tim Penyusun, 2009. Kamus Bali – Indonesia Beraksara Latin dan Bali. Denpasar: Kerja Sama Dinas Kebudayaan Kota Denpasar dengan Badan Pembina Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali Provinsi Bali. Zoetmulder, P.Z. 1997. Kamus Jawa Kuna Indonesia. (Edisi Terjemahan). Gramedia Pustaka Utama
16
Jakarta: PT