50
PEMBAHASAN UMUM
Indonesia memiliki tanah marjinal yang potensial untuk ditanami kedelai. Namun rendahnya pH dan kelarutan logam tinggi menjadi kendala utama pemanfaatan tanah marjinal untuk pertanian karena tanaman tidak dapat tumbuh optimal. Oleh karena itu perlu dikembangkan varietas yang memiliki toleransi tinggi terhadap cekaman pH rendah dan kelarutan logam tinggi. Rekayasa genetik dengan memanfaatkan teknologi DNA rekombinan bisa menjadi salah satu pilihan untuk merakit kedelai transgenik dengan cara memasukkan gen-gen yang memberikan toleransi tanaman terhadap cekaman pH rendah dan kelarutan logam. Melastoma merupakan tanaman indigenus Asia Tenggara yang dikenal memiliki kemampuan tumbuh di tanah ber-pH rendah dan kelarutan Al tinggi. Kemampuannya yang tinggi dalam mengakumulasi Al menyebabkan Melastoma, sehingga disebut akumulator Al dan kemelimpahannya yang tinggi pada tanah masam menyebabkan tanaman ini dijadikan sebagai tanaman indikator tanah berpH rendah. Kemampuan tanaman ini untuk tumbuh dan berkembang dengan kondisi lingkungan tercekam pH rendah dan logam, melibatkan mekanisme yang mendukung tanaman untuk tetap bertahan hidup. Beberapa gen yang ekspresinya diinduksi oleh cekaman pH rendah dan Al sudah diisolasi dan diklon, misalnya gen penyandi multidrug resistance associated protein (Suharsono et al. 2008), metallothionein type 2 (Suharsono et al. 2009), H+-ATPase membran plasma (Muzuni et al. 2010), Cu/Zn-SOD (Hanum 2011). Penelitian ini memanfaatkan gen MaMt2 untuk perakitan tanaman transgenik yang toleran pH rendah dan logam tinggi. Penelitian ini dilakukan dengan tiga tahapan, yaitu: konstruksi vektor ekspresi, perakitan N. benthamiana dan kedelai transgenik, dan analisis tanaman transgenik. Pada tahap pertama adalah konstruksi vektor ekspresi. Tahap ini sangat penting karena konstruksi yang benar akan menentukan keberhasilan tahap berikutnya. Hasil dari kegiatan tahap pertama adalah diperoleh vektor ekspresi pIG6-MaMt2, dengan posisi gen MaMt2 diapit oleh promoter Ubiquitin dan terminator Nos. Plasmid rekombinan ini berhasil dimasukkan ke dalam
51
A. tumefaciens LBA4404 dengan metode TPM, berdasarkan hasil PCR terhadap plasmid pada A. tumefaciens LBA4404 yang membawa gen MaMt2. PCR dengan kombinasi primer UbiF dan NosTR menghasilkan fragmen DNA berukuran 1160 pb, sama dengan ukuran fragmen yang dihasilkan dari PCR terhadap plasmid pIG6-MaMt2 menggunakan kombinasi primer yang sama. Tahap kedua adalah perakitan N. benthamiana dan kedelai transgenik. Perakitan tanaman transgenik berhasil dilakukan dengan metode kokultivasi menggunakan potongan daun N. benthamiana dan eksplan setengah biji kedelai. Berdasarkan jumlah eksplan yang mampu menghasilkan tunas dalam media seleksi dibandingkan dengan jumlah eksplan yang diinokulasi, diperoleh efisiensi transformasi masing-masing sebesar 76.67% untuk N. benthamiana (98 eksplan bertunas dari 150 eksplan yang ditanam) dan 12.50% untuk kedelai (57 eksplan bertunas dari 456 eksplan yang ditanam). Tunas yang muncul dalam media seleksi kemudian dipelihara hingga mampu diaklimatisasi untuk selanjutnya digunakan sebagai bahan untuk analisis tanaman transgenik. Tahap ketiga adalah analisis tanaman transgenik. Integrasi gen MaMt2 ke dalam tanaman sasaran berhasil dilakukan berdasarkan hasil PCR terhadap genom tanaman N. benthamiana dan kedelai transgenik yang memberikan ukuran fragmen 1160 pb, sama seperti hasil PCR terhadap plasmid pIG6-MaMt2. Analisis segregasi pada N. benthamiana T1 menunjukkan pola segregasi 3:1, yang menunjukkan bahwa gen hptII merupakan gen fungsional salinan tunggal yang terintegrasi dalam genom inti tanaman transgenik. Proses penting integrasi transfer T-DNA dari bakteri ke genom tanaman ditandai dengan penempelan protein virD2 pada bagian batas kanan (right border, RB) dari T-DNA yang berfungsi untuk mengontrol eksisi T-DNA sehingga dihasilkan untai tunggal. TDNA diintegrasikan ke dalam genom diawali dari bagian RB, berarti jika gen sasaran ditempatkan di dekat bagian RB akan memberikan kemungkinan lebih besar untuk terintegrasi ke dalam genom tanaman. Gen penanda seleksi yang ditempatkan di dekat batas kiri (left border, LB), bisa menjadi petunjuk keberhasilan integrasi T-DNA. Jika tanaman mampu tumbuh dalam media yang mengandung antibiotik tertentu, artinya gen penanda seleksi berfungsi dengan baik. Jika gen penanda seleksi yang posisinya berada jauh dari RB berhasil
52
diintegrasikan maka dapat diasumsikan bahwa gen sasaran yang posisinya dekat dengan RB juga telah terintegrasi. Rekayasa genetik pada kedelai semakin banyak dilakukan mengingat nilai pentingnya dalam penyedian pangan, pakan, maupun industri. Rekayasa tersebut dilakukan untuk berbagai kepentingan misalnya peningkatan kandungan nutrisi, ketahanan terhadap cekaman abiotik dan biotik, atau keperluan farmasi. Chen et al. (2010), mengekspresikan gen γ-tokoferol metiltransferase dari Brassica napus (BnTMT) ke dalam tanaman kedelai untuk meningkatkan kandungan α-tokoferol sehingga dapat memperbaiki komposisi vitamin pada biji kedelai. Ekspresi berlebih gen Δ6, Δ5 desaturase dan GLELO elongase dari Mortierella alpinai berhasil meningkatkan akumulasi lemak total hingga 8.4% pada biji kedelai (Chen et al. 2006). Sementara itu, Chiera et al. (2004), meningkatkan kandungan fosfor pada biji kedelai melalui ekspresi ektopik gen penyandi fitase sehingga kandungan asam fitat pada biji bisa diturunkan. Ding et al. (2006). mengekspresikan berlebih basic fibroblast growth factor dari manusia pada biji kedelai dan mengkarakterisasi aktivitas biologisnya. Pemanfaatan tanaman kedelai untuk kepentingan medis juga dilakukan oleh Powell et al. (2011) yang berhasil mengekspresikan tiroglobulin manusia homodimer 660 kDa dalam biji kedelai sebagai sumber alternatif tiroglobulin manusia. El-Shemy et al. (2007), berusaha meningkatkan kualitas protein kedelai dengan memasukkan gen-gen hpt dan V3-1 dan mampu menunjukkan bahwa terdapat akumulasi glisin yang lebih tinggi pada tanaman kedelai transgenik dibandingkan pada tanaman nontransgenik. Ishimoto et al. (2010), meningkatkan kandungan asam amino triptofan pada kedelai. Kandungan triptofan total biji kedelai transgenik sekitar dua kali dari biji non-transgenik. Selain untuk kepentingan nutrisi, rekayasa genetik kedelai juga ditujukan untuk meningkatkan toleransinya terhadap cekaman abiotik maupun biotik. Cao et al. (2011), mengekspresikan berlebih gen TaNHX2dari gandum pada kedelai untuk meningkatkan toleransi terhadap kadar garam tinggi. de Ronde et al. (2004), menggunakan gen P5CR dari Arabidopsis untuk meningkatkan tanggap fotosintetik tanaman kedelai selama tercekam panas dan kekeringan. Tanaman dengan konstruk sense hanya mengalami cekaman ringan dibandingkan tanaman
53
antisense yang tercekam sangat hebat. Peningkatan toleransi kedelai terhadap cekaman kekeringan/garam juga dilakukan oleh Seo et al. (2011) yang mengekspresikan gen AtMYB44 dari Arabidopsis. Xue et al. (2007), mengekspresikan berlebih gen NTR1 pada kedelai untuk meningkatkan toleransi terhadap cekaman air. Sedangkan Dang & Wei (2007) memasukkan gen resistensi terhadap serangga pada kedelai dan mendapatkan bahwa tanaman kedelai transgenik generasi T1 resisten terhadap cotton bollworm. Selain itu, Dufourmantel
(2005)
melakukan
transformasi
plastid
yang
mampu
mengkspresikan protoksi Bacillus thuringiensis Cry1Ab protoxin, sehingga kedelai transgenik tahan dari serangan Anticarsia gemmatalis. Rekayasa genetika kedelai
di
Indonesia
juga
sudah
dilakukan.
Pardal
et
al.
(2004),
mengintroduksikan gen pinII (protease inhibitor II) pada kedelai melalui perantaraan Agrobacterium tumefaciens untuk memberikan ketahanan terhadap hama penggerek polong (Etiella zinckenella Tr.). Marveldani et al. (2007), melakukan transformasi dengan bantuan Agrobacterium tumefaciens untuk ngembangkan kedelai transgenik yang toleran herbisida amonium-glufosinat pada cv. Ijen dan Sinabung. Konstruksi ekspresi berlebih untuk gen MaMt2 dilakukan dengan menggabungkannya pada promoter kuat Ubiquitin dari jagung dan ditambahkan terminator Nos di bagian hilir, sehingga pola ekspresi gen akan berubah dari gen yang ekspresinya diinduksi (inducible), menjadi gen yang ekspresinya bersifat konstitutif. Konstruksi ekspresi berlebih akan menguntungkan tanaman karena akan memproduksi protein target tidak bergantung pada senyawa-senyawa penginduksi atau kondisi lingkungan yang ada. Penelitian ini masih perlu dilanjutkan untuk melihat ekspresi gen MaMt2 baik pada N. benthamiana maupun pada kedelai. Uji tantang diperlukan untuk melihat pengaruh integrasi gen MaMt2 terhadap morfologi akar, biomassa akar, biomassa tajuk, dsb. Analisis ekspresi gen MaMt2 secara kuantitatif juga diperlukan untuk mengetahui hubungan antara tingkat ekspresi Mt2 dengan toleransi tanaman terhadap cekaman ion-ion logam. Analisis histokimia juga perlu dilakukan untuk mengetahui situs akumulasi logam-logam dalam jaringan. Uji tantang ini diberikan pada tanaman T2 homozigot menggunakan berbagai
54
konsentrasi logam seperti Cu, Zn, Mg, Cd, dan Al. Dengan demikian akan didapatkan data komprehensif tentang histologi, fisiologi, dan molekular tanaman terhadap cekaman logam dan pH rendah. Di Indonesia, kajian secara molekular toleransi tanaman pangan penting, misalnya kedelai masih jarang dilakukan. Dengan demikian penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap kemajuan penelitian toleransi tanaman terhadap cekaman abiotik. Dengan berhasilnya proses introduksi vektor ekspresi pIG6-MaMt2 ke dalam N. benthamiana sebagai tanaman model, maka dimungkinkan untuk menyisipkan vektor ekspresi pIG6-MaMt2 ke dalam tanaman pangan atau tanaman perkebunan. Bila gen MaMt2 ini mampu berfungsi secara normal, maka diharapkan akan memberikan toleransi tanaman terhadap tanah ber-pH rendah dan kelarutan logam tinggi, sehingga dapat tumbuh dengan optimal di tanah marjinal. Untuk lebih memahami peran gen MaMt2 dalam memberikan toleransi terhadap pH rendah dan Al tinggi, perlu dilakukan pembungkaman terhadap gen ini. Perbandingan antara tanaman yang mampu mengekspresikan secara berlebih protein MT, tanaman yang dibungkam, dan tanaman tipe liar, dalam menanggapi cekaman pH rendah dan Al tinggi akan memberikan gambaran yang lebih lengkap aksi gen ini. Fungsi
metallothionein dihubungkan dengan kemampuannya untuk
mendetoksifikasi logam berat atau fungsi homeostasis logam bivalen, hal ini terkait dengan kandungan asam amino sistein yang tinggi. Gugus sulfhidril (S-H) dari residu sistein akan mengkelat logam sehingga tidak reaktif bagi sel atau jaringan. Diperkirakan satu molekul MT mampu mengikat tujuh molekul Cd, masing-masing empat molekul Cd pada domain α dan 3 molekul Cd pada domain β. Aluminium merupakan logam transisi trivalen yang bersifat reaktif karena memiliki afinitas yang tinggi terhadap berbagai senyawa organik maupun anorganik. Saat
ini belum ada laporan tentang pengkelatan Al oleh
metallothioenein, tetapi dengan melihat kemampuan gugus sulfhidril mengikat logam-logam bivalen (Cu, Zn, Mn, Cd, dsb.), maka ada kemungkinan bahwa protein MT juga mampu mengkelat Al, meskipun dengan jumlah molekul yang lebih rendah dibandingkan pengikatan terhadap logam bivalen. Oleh karena itu penelitian ini perlu dilanjutkan sampai uji tantang dengan cara menumbuhkan
55
tanaman dengan berbagai konsentrasi logam, untuk mengetahui bagaimana protein ini bekerja dalam mengkelat logam, termasuk Al. Hingga saat ini belum ada penelitian ataupun laporan tentang transformasi genetik menggunakan gen MaMt2 yang berasal dari tanaman Melastoma malabathricum yang merupakan tanaman indigenus Asia Tenggara, baik pada N. benthamiana maupun terhadap kedelai. Hal inilah yang penulis ajukan sebagai kebaruan (novelty) dari penelitian ini.