PERANAN ZPD DAN SCAFFOLDING VYGOTSKY DALAM PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
A. Rahmania Abidin1 Abstract: Scaffolding in Early Childhood Education Program is a learning
process in every aspect towards the achievement of the stages of child development (child development). Every time a child reaches the stage of development characterized by the fulfillment of the indicators in certain aspects, then the children need scaffolding. Modern research found that scaffolding is an effective teaching strategy. Vygotsky's theory gives a large influence on the design of curriculum, instruction and assessment process of learning early childhood education. By giving the "measure" the right scaffolding, kids learning outcomes will be seen even children acquire the skills needed to settle in future problem solving. Although there are some drawbacks in the use of scaffolding as a teaching strategy but positive impact on student learning and development is much more important. By understanding the theory of cognitive development, then the problem is how to form scaffolding concrete implementation as part of the theory of constructivism in every aspect of early childhood education.
Key words: Early childhood education, Scanfolding, Zone of Proximal Development
Pendahuluan Usia dini merupakan usia yang sangat penting bagi perkembangan anak sehingga disebut golden age. Perkembangan anak usia dini sebenarnya dimulai sejak pranatal. Pada saat itu, perkembangan otak sebagai pusat kecerdasan terjadi sangat pesat, sehingga nantinya anak bias berfikir logis dan rasional. Selain otak, organ sensoris seperti pendengar, penglihatan, penciuman, pengecap, perabaan, dan organ keseimbangan juga berkembang pesat (Black, J. et all.,1995; Gesell, A.L. & Ames, F., 1940). Sedikit demi sedikit anak dapat menyerap informasi dari lingkungannya melalui organ sensoris dan memprosesnya menggunakan otaknya. Perkembangan ini demikian pentingnya sehingga mendapat perhatian yang cukup luas dari para pakar psikologi/pendidikan, termasuk Lev Vygotsky. 1
Guru tetap MAN 1 Ambon. E-mail:
[email protected]
1
Teori belajar konstruktivisme khususnya pada pendidikan anak usia dini antara lain menyebutkan pentingnya ZPD (zone of proximal development) dan scaffolding2 yang tepat waktu dan dapat ditarik kembali secara bertahap setelah anak menunjukkan keberhasilan terhadap pencapaian suatu indikator dalam aspek perkembangan anak (child development). Anak membutuhkan scaffolding untuk menuju ke tingkat perkembangan potensial (level of potential development). Implemetasi scaffolding sebagai bagian dari proses belajar konstruktivisme perlu dikenali dengan baik sehingga tidak perlu berubah menjadi interferensi yang justru akan menghilangkan kesempatan belajar anak untuk menguasai proses penyelesaian masalah. Desain kurikulum, instruksi pembelajaran dan proses asesmen pendidikan usia dini merupakan faktor-faktor yang memberikan pengaruh besar terhadap proses belajar konstruktivisme pendidikan anak usia dini. Scaffolding pada pendidikan usia dini dapat terjadi dimana saja tempat lingkungan anak. Scaffolding dapat dilakukan oleh orang dewasa (adult/care giver/parent/teachers), atau orang yang lebih dahulu tahu (knowledgeable person/siblings) atau teman sebaya (peer). ZPD Dan Scaffolding dan Teori Kontruktivisme Modern Vygotsky Khusus terhadap pendidikan anak usia dini teori konstruktivisme modern oleh Lev Vygotsky's seorang psikolog Soviet yang karya-karyanya ditekan setelah kematiannya pada tahun 1930 dan tidak ditemukan oleh Barat sampai akhir 1950-an. Teori itu dibagi dalam tiga tahap yaitu: 1. Tahap Zona Perkembangan Terdekat (ZPD) Zona perkembangan terdekat atau Zone of Proximal Development (ZPD) yaitu suatu ide bahwa anak usia dini belajar konsep paling baik apabila konsep itu berada dalam zona perkembangan terdekat mereka. A range tasks too difficult for the child to do alone but possible with help of adults and more skilled peers.3 The zone of proximal development is theVygotskian concept that defines development as the space between the child’s
2L.S.Vygotsky, Thought and language. Cambridge, MA: MIT Press. (Original work published 1934) NY: Cambridge University Press. 1962 3Laura
E Berk, Child development 7th Edition. USA: Pearson International Edition, 2006.
2
level of independent performance and the child’s level of maximally assisted performance.4 Artinya, suatu jarak antara keterampilan yang sudah dimiliki oleh anak dengan keterampilan baru yang diperoleh dengan bantuan dari orang dewasa (adult/caregiver/parents/teacher) atau orang yang terlebih dahulu menguasai ketrampilan tersebut (knowledgeable person/peer/siblings). ZPD adalah bahwa wilayah antara apa yang pelajar dapat dilakukan secara independen (tingkat penguasaan) dan apa yang dapat dicapai dengan bantuan orang dewasa yang kompeten atau rekan (tingkat instruksional)" (Ellis, Larkin, Worthington, nd). Zona ini hadir di untuk memberikan kesempatan melimpah bagi anak untuk membangun konsep dan internalisasi pemahaman dalam dirinya tentang berbagai hal. 2. Tahap Pemagangan Kognitif Pemagangan kognitif atau cognitive apprenticeship adalah suatu istilah untuk proses pembelajaran dimana guru menyediakan dukungan kepada anak usia dini dalam bentuk scaffold hingga anak usia dini berhasil membentuk pemahaman kognitifnya. Pemagangan kognitif atau cognitive apprenticeship juga merupakan suatu budaya belajar dari dan di antara teman sebaya melalui interaksi satu sama ...scaffolding merupakan bentuk bantuan yang tepat waktu yang juga harus ditarik tepat waktu ketika interaksi belajar sedang terjadi. Scaffolding pada Pendidikan Anak Usia Dini lain sehingga membentuk suatu konsep tentang sesuatu pengalaman umum dan kemudian membagikan pengalaman membentuk konsep tersebut di antara teman sebayanya.5 Wilson and Cole (1994) mendeskripsikan ciri khas pemagangan kognitif yaitu “heuristic content, situated learning, modeling, coaching, articulation, reflection, exploration, and order in increasing complexity”. Dalam pandangan Vygotsky, pelajar tidak belajar dalam isolasi. Sebaliknya belajar sangat dipengaruhi oleh interaksi sosial, yang terjadi dalam konteks yang bermakna. Interaksi sosial anak-anak dengan lebih berpengetahuan atau mampu 4L.S.
Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes. Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978. Collins, A., Brown, J. S., & Newman, S. (1989). Cognitive apprenticeship: Teaching the craft of reading, writing, and mathematics. In L. B. Resnick (Ed.). Knowing, learning, and instruction: Essays in honor of Robert Glaser. 5
3
orang lain dan lingkungan mereka secara signifikan dampak cara mereka berpikir dan menafsirkan situasi. Seorang anak mengembangkan kecerdasannya melalui mendasarkan konsep internalisasi atau interpretasi sendiri aktivitas yang terjadi dalam pengaturan sosial. Komunikasi yang terjadi dalam pengaturan ini dengan lebih berpengetahuan atau mampu orang lain (orangtua, guru, teman sebaya, orang lain) membantu anak membangun pemahaman konsep.6 3. Scaffolding atau Mediated Learning Mediated Learning adalah dukungan tahap demi tahap untuk belajar dan pemecahan masalah sebagai suatu hal yang penting dalam pemikiran konstruktivisme modern. Scaffoldingis adjusting the support offered during a teaching session to fit the child’s current level of performance. Scaffolding sebagian besar ditemukan dilakukan oleh orang dewasa (adult/care giver/parent/teacher) atau orang yang lebih dahulu tahu (knowledgeable person/ siblings/peer) tentang suatu keterampilan yang seharusnya dicapai oleh anak usia dini. Scaffolding adalah suatu istilah dalam dunia pendidikan yang merupakan pengembangan teori belajar konstruktivisme modern. Scaffolding pertama kali disebut sebagai istilah dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan anak usia dini oleh Vygotsky (1846). Dalam pendidikan usia dini, scaffolding mengambil peran yang sangat penting dalam proses pembelajaran di setiap aspek menuju pada pencapaian tahap perkembangan anak (child development). Setiap kali seorang anak mencapai tahap perkembangan yang ditandai dengan terpenuhinya indikator dalam aspek tertentu, maka anak membutuhkan scaffolding. Vygotsky menuliskan bahwa scaffolding merupakan bentuk bantuan yang tepat waktu yang juga harus ditarik tepat waktu ketika interaksi belajar sedang terjadi saat anak-anak mengerjakan puzzle, membangun miniature bangunan, mencocokkan gambar dan tugastugas pelajaran lainnya. Saat interaksi belajar berlangsung, scaffolding kadang dibutuhkan secara bersamaan dan terintegrasi dalam aspek fisik, intelektual, seni dan emosional.7
6Bransford, Brown J. A. & Cocking, R, Bagaimana Orang Pelajari: Brain, Mind, dan Pengalaman & Sekolah. Washington, DC: National Academy Press, 2000. 7Vygotsky,
loc. cit.....1962
4
Kebalikan dari scaffolding adalah interferensi. Seringkali langsung muncul keinginan orang dewasa baik guru maupun orangtua untuk datang membantu anak menyelesaikan tugas perkembangannya. Akibatnya, bantuan malah menginterferensi proses pembelajaran anak. Keinginan tersebut sesungguhnya wajar dan natural, karena selain ungkapan kasih sayang, juga merupakan ungkapan kekhawatiran orang dewasa terhadap anak. Namun, dengan porsi yang tepat, tidak akan menjadi interferensi dan tidak akan merebut peran scaffolding yang lebih dibutuhkan anak. Konstruktivisme
Vygotskian
memandang
bahwa
pengetahuan
dikonstruksi secara kolaboratif antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan melalui adaptasi intelektual dalam konteks sosial budaya. Proses penyesuaian itu equivalen dengan pengkonstruksian pengetahuan secara intra individual yakni melalui proses regulasi diri internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual (Sheffer, 1996 : 274 - 275). Konstruktivisme menekankan bahwa perubahan kognitif hanya terjadi jika konsepsi-konsepsi
yang
telah
dipahami
diolah
melalui
suatu
proses
ketidakseimbangan dalam upaya memakai informasi-informasi baru. Hakikat dari teori konstruktivism adalah ide bahwa peserta didik harus menjadikan informasi itu miliknya sendiri. Teori ini memandang peserta didik secara terus menerus memeriksa informasi-informasi baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lama dan memperbaiki aturan-aturan tersebut. Salah satu prinsip paling penting adalah guru tidak dapat hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada peserta didik, peserta didik harus membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Guru hanya membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi peserta didik dengan memberikan kesimpulan kepada peserta didik untuk menerapkan sendiri ide-ide dan mengajak peserta didik agar peserta didik menyadari dan secara sadar menggali strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Telah kita ketahui bahwa teori belajar konstruktivisme modern secara umum menyatakan bahwa siswa harus secara pribadi menemukan dan 5
menerapkan informasi yang kompleks kemudian mengecek informasi baru dibandingkan dengan aturan lama dan memperbaiki aturan itu apabila tidak sesuai lagi. Dengan demikian guru tidak dapat hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa, melainkan siswa harus membangun pengetahuan ini di dalam benaknya sendiri. Guru hanya membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa; sedemikian hingga siswa mampu menarik kesimpulan untuk menerapkan sendiri ide-ide. Implementasi Scaffolding Pada Pendidikan Anak Usia Dini Scaffolding pada Program Pendidikan Anak Usia Dini merupakan proses pembelajaran di setiap aspek menuju pada pencapaian tahap perkembangan anak (child development). Setiap kali seorang anak mencapai tahap perkembangan yang ditandai dengan terpenuhinya indikator dalam aspek tertentu, maka anak membutuhkan scaffolding. Vygotsky menuliskan bahwa scaffolding merupakan bentuk bantuan yang tepat waktu yang juga harus ditarik tepat waktu ketika interaksi belajar sedang terjadi saat anak-anak mengerjakan puzzle, membangun miniature bangunan, mencocokkan gambar dan tugas-tugas pelajaran lainnya. Saat interaksi belajar berlangsung, scaffolding kadang dibutuhkan secara bersamaan dan terintegrasi dalam aspek fisik, intelektual, seni dan emosional. Kebalikan dari scaffolding adalah interferensi. Seringkali langsung muncul keinginan orang dewasa baik guru maupun orangtua untuk datang membantu anak menyelesaikan tugas perkembangannya. Akibatnya, bantuan malah menginterferensi proses pembelajaran anak. Keinginan ersebut esungguhnya wajar dan natural, karena selain ungkapan kasih sayang, juga merupakan ungkapan kekhawatiran orang dewasa terhadap anak. Namun, dengan porsi yang tepat, tidak akan menjadi interferensi dan tidak akan merebut peran scaffolding yang lebih dibutuhkan anak. Kita memahami bahwa tahap perkembangan anak usia dini terbagi dalam beberapa aspek yang berintegrasi satu dengan yang lain; yaitu: aspek fisik, intelektual, seni dan emosional. Setiap anak usia dini memiliki ciri perkembangan berdasarkan 6
usia. Pencapaian tahap perkembangan aspek fisik pada anak usia 2 tahun misalnya berbeda dengan tahap perkembangan fisik anak usia 3 tahun. Para ahli pendidikan anak usia dini telah melakukan pengamatan dan mencatat tahap-tahap perkembangan anak setiap aspek berdasarkan usia. Tahaptahap perkembangan anak usia dini menjadi dasar untuk melihat keberhasilan dan kemajuan perkembangan anak. Aspek-aspek perkembangan anak merupakan satu bagian yang terintegrasi satu dengan yang lain. Karena itu bentuk scaffolding suatu saat dapat saja terintegrasi namun terdapat juga saat dimana scaffolding hanya dibutuhkan pada aspek tertentu. Berikut bentuk implementasi ZPD dan Scaffolding pada 2 artikel yang dipilih penulis dan kaitannya dengan Teori Perkembangan Kognitif Vygotsky. Artikel 1 Provider Management of Child Stress Behavior in Family Day Care Facilities: Scaffolding for Learning and Development by Developmentally Appropriate Practice. Chih-Ying Chang, Ann M Berghout Austin, Kathleen W Piercy. The Journal of Genetic Psychology. New York:Jun 2006. Vol. 167, Iss. 2, p. 159-163,165177 (18 pp.) Artikel ini membahas tentang Management Penyedia Fasilitas Tempat Penitipan Bagi Anak Berprilaku Stres Kaitannya dengan Scaffolding bagi Perkembangan dan Pembelajaran dengan Praktek Pendekatan Perkembangan.Artikel ini menggunakan penelitian kualitatif dengan meneliti enam anak yang berpartisipasi (5 laki-laki, 1 perempuan; umur 36-60 bulan). Setiap anak itu terdaftar dalam keluarga yang berbeda pada Tempat penitipan anak. Para penulis menilai 3 tempat penitipan anak dengan menggunakan sebagian besar waktu praktik sesuai dengan tahapan perkembangan (DAP) dan menilai 3 tempat penitipan anak lainnya yang jarang atau tidak pernah menggunakan DAP. Mereka juga memeriksa pengelolaan penyedia anak-anak berperilaku stres. Penulis mengamati adanya perilaku stress yang kurang aktif dan pasif dalam fasilitas DAP tinggi daripada di fasilitas DAP rendah. Para penulis membahas hasil-hasil yang berkaitan dengan khas budaya penitipan siang hari yang berbeda di fasilitas DAP tinggi versus fasilitas DAP rendah dan implikasinya untuk latihan. 7
Tujuan penelitian ini adalah untuk memeriksa pengelolaan pengasuh anakanak berperilaku stres dalam situasi penitipan siang hari tergantung pada penggunaan pengasuh lebih atau kurang DAP. Peneliti secara khusus tertarik pada tindakan pengasuh perilaku stres dan mempertanyakan apakah, dalam pengelolaan perilaku ini, tindakan pengasuh disertai dengan pembelajaran dan pengembangan. Secara khusus, peneliti mempertanya-kan apakah akan melihat bukti peran partisipasi scaffolding yang akan mendorong anak-anak untuk berlatih lebih tinggi pada tingkat pengaturan diri. Semua anak-anak akan menunjukkan parilaku stress bahkan mereka yang dirawat di lingkungan yang sehat. Beberapa perilaku stres, seperti mengamuk dan tindakan agresif, yang berpotensi membahayakan dan dapat mengganggu diri dan orang lain. Ketika perilaku ini terjadi, anak-anak harus cepat mendapat petunjuk atau scaffolding untuk membantu mereka mengurangi dan mengelola perilaku stress. Hal ini sesuai dengan teori perkembangan kognitif Vygotsky bahwa dengan bimbingan scaffolding, anak-anak dapat mempelajari apa yang kurang diterima secara sosial dan pada saat yang sama menerima bimbingan scaffolding dalam keterampilan pengaturan diri. Ketika dibimbing, yang terjadi adalah bentuk pembelajaran generatif (yaitu, belajar dibarengi dengan perkembangan; Vygotsky. 1978). Belajar tidak selalu terjadi bersamaan dengan perkembangan, tetapi ketika itu terjadi, anak-anak dapat berlatih keterampilan pada tingkat perkembangan baru. Ketika pembelajaran dan pengembangan bersama-sama tidak terjadi, belajar akan bersifat tetap dan sering hanya mengingatkan apa yang sudah diketahui (Vygotsky). Ketika anak-anak dibantu untuk latihan keterampilan pada tingkat perkembangan yang lebih tinggi, keterampilan awal produksinya dapat dangkal, tetapi dengan terus bekerja sama dengan orang yang lebih mahir, keterampilan, bisa menjadi bagian dari repertoar internal anak (Rogoff, 1990). Vygotsky (1978) menggunakan istilah ZPD untuk merujuk pada tingkat perkembangan yang lebih tinggi bahwa seorang anak dapat mencapai perkembangan melalui
pembinaan
kolabortor. Namun, ia menyatakan bahwa kolaborator harus memiliki keahlian lebih daripada anak dan juga harus memahami kebutuhan perkembangan anak dan memiliki pemahaman yang jelas tentang "insentif yang efektif dalam mendapatkan dia 8
untuk bertindak" (hal. 92). Kolaborator harus memiliki pemahaman mengenai karakteristik tingkat perkembangan anak. Praktik sesuai Developmentully (DAP; Bredekamp, 1987: Bredekamp & Copple, 1997) adalah seperangkat pedoman yang digunakan untuk mendorong anak usia dini yang secara profesional untuk menyesuaikan belajar awal tingkat perkembangan individu. DAP menekankan suatu pendekatan konstruktivis, tetapi juga menekankan perlunya kolaborator terampil (guru) yang baik Vygotsky's (1978). Dipandu prinsip-prinsip partisipasi, interaksi sosial, scaffolding melalui zona perkembangan
proksimal,
dan
saling
ketergantungan
pembelajaran
dan
pengembangan implisit dan eksplisit di seluruh program di mana guru menggunakan DAP. Pengasuh dalam pengaturan penitipan siang hari harus fokus pada kebutuhan anak-anak klien, dengan sensitivitas untuk motif dan insentif khusus untuk tahap perkembangan anak (Vygotsky, 1978), tetapi dalam prakteknya, kualitas penitipan sering bervariasi oleh persepsi diri, pengalaman, dan pendidikan dari pengasuh (Austin, Lindauer, Rodriguez, Norton. & Nelson. 1997) dan oleh kehadiran DAP. Anak-anak sering mempunyai kontak pertama dengan orang dewasa di luar keluarga mereka sendiri dalam penitipan siang hari keluarga. Lebih dari sekedar kebersamaan fisik, pengalaman ini berpotensi mewakili perubahan besar bagi anak karena "orang tua dan anggota masyarakat menciptakan perkembangan bagi pendatang baru. Sifat niche itu, termasuk bentuk-bentuk hubungan sosial yang dibutuhkan, tidak mewujudkan hanya budaya orang dewasa masa lalu, tetapi pengandaian tentang masa depan anak juga" (Cole & Wertsch. 1996) Scaffolding sangat berperan dalam membantu dan meminimalkan perilaku stres apabila disertai dengan penyedia fasilitas profesionalisme, yang menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengamati dan menilai secara informal anak-anak, dan menunjukkan efektivitas dalam mempromosikan kedekatan scaffolding dan keharmonisan di antara anak-anak. Isu-isu ini umumnya ditekankan dalam pelatihan di DAP. Akan bijaksana meluangkan waktu tambahan untuk membahas strategi yang efektif dan efisien untuk diimplementasikan
9
Artikel 2 The Role of the Teacher in Scaffolding Children’s Interactions in a Technological Environment: How a Technology Project is Transforming Preschool Teacher Practices in Urban Schools by Leah May Barbuto, Sudha Swaminathan, Jeff Trawick-Smith, and June L. Wright. ACM International Conference Proceeding Series; Vol. 98. Proceedings of the international federation for information processing working group 3.5 open conference on Young children and learning technologies - Volume 34. Diakses dari http://crpit.com/confpapers/CRPITV34Barbuto.pdf Artikel ini membahas tentang Peranan Guru pada Interaksi Scaffolding Anakanak dalam Lingkungan Teknologi: Bagaimana suatu Proyek Teknologi Mengelola Transformasi Guru pada Sekolah Praktek di Perkotaan. Penelitian ini membahas bahwa pada tahun 2000, peneliti memulai sebuah program untuk mengintegrasikan teknologi ke TK dari kota New England. Fokus utama program ini adalah untuk meningkatkan belajar anak-anak muda terutama di melek huruf dan menghitung serta untuk meningkatkan kompetensi sosial mereka melalui penggunaan perkembangan teknologi tepat guna. Tujuan artikel ini adalah untuk menyajikan hasil dari program untuk mendukung para guru TK dalam menggunakan teknologi dalam kota distrik sekolah umum. Empat puluh enam masa kanak-kanak profesional yang terlibat dalam tiga tahun model teknologi mendalami lokakarya. Lokakarya yang disusun untuk memimpin peserta dari operasi komputer dasar dan penggunaan perangkat perifer (yaitu kamera digital, scanner), lunak evaluasi dan seleksi, ke arah tujuan integrasi teknologi dalam kurikulum. Salah satu hasil yang luas dari program pelatihan ini adalah bahwa guru mulai menerapkan ide-ide konstruktivis yang berkaitan dengan aktivitas komputer ke area lain dari praktek profesional mereka .Guru mengatur kelas, re-invented pusat belajar, dan memodifikasi interaksi mereka dengan anak-anak. Lebih jauh, hal itu mengarah pada sikap-sikap positif, meningkatkan keahlian teknologi, dan keterampilan dalam scaffolding anak-anak dalam penggunaan komputer di kalangan guru. Teori Vygotsky menempatkan hal-hal penting pada perkembangan kognitif sebagai proses sosial yang diperantarai dengan Scaffolding (Berk 1999). Studi telah dilakukan dari Scaffolding guru di berbagai bidang kurikulum (Brodova dan Leong 10
1996, Wollman-Bonilla dan Werchadlo 1999). Fleer (1992) mempelajari interaksi scaffolding guru-anak pada usia lima sampai delapan tahun. Putih dan Manning (1994) meneliti efek instruksi verbal perancah pidato anak-anak muda pribadi dan pemecahan masalah kemampuan di TK. Wollman. Bonilla dan Werchadlo (1999) meneliti guru dan peran dalam perancah rekan siswa kelas pertama 'responses sastra. Bennett (2000) meneliti penggunaan scaffolding guru- anak-anak pada bidang sastra, Manipulatif untuk meningkatkan matematika prasekolah. Scaffolding teknik komputer ini dilakukan dalam kegiatan terstruktur singkat dengan kelompok-kelompok kecil anak-anak yang secara sukarela memilih untuk menggunakan
komputer
tertentu program
perangkat
selama free lunak
play. Anak-anak untuk
mendorong
dipandu anak-anak
peneliti untuk
memperlambat, melihat efek dari tindakan mereka, memecahkan masalah, dan berbagi pemahaman mereka dengan teman sebaya dan para peneliti. Sebagai contoh, guru menjajaki penggunaan mikrofon dengan anakanak. Selama lokakarya, mereka dipraktekkan menginstal ini dan menggunakan mereka dengan sedikitnya dua berbagai jenis perangkat lunak anak-anak. Guru kemudian kembali ke kelas mereka dan berlatih menggunakan bagian peralatan ini dengan anak-anak. Mereka memasang mikrofon pada komputer dan membimbing anak-anak dengan meninggalkan pesan pada telepon yang programnya telah disetting.
Anak-anak
juga dibimbing
guru
dalam
memikirkan
cara
untuk
menggunakan mikrofon yang mendukung kurikulum. Mengikuti model ini, kita pelan-pelan memperkenalkan awal masa kanak-kanak peserta untuk berbagai perangkat lunak anak-anak, satu program pada satu waktu. Bahkan jika perangkat lunak saat ini sedang tersedia di kelas komputer dan digunakan secara teratur oleh anak-anak dan guru. Interaksi Scaffolding pada anak-anak dalam lingkungan teknologi menunjukkan perbedaan
yang
signifikan
dalam jumlah
dan
jenis
interaksi
verbal
pada komputer. Guru meminta anak-anak lebih terbuka dalam berrtanya ketika mereka bekerja di komputer. Seiring waktu, guru memberikan dorongan dan bimbingan tidak langsung. Mereka diposisikan sendiri pada zona proksimal kepada anak-anak di depan komputer dengan menawarkan saran atau hanya bila diminta 11
oleh anak. Kompetensi dan kepercayaan diri anak-anak mulai tumbuh, guru mengakui danmenaruh kepercayaan dalam kemampuan awal. Peneliti menyimpulkan bahwa bukti-bukti pemetaan, yang menggunakan perangkat lunak dengan tehknik scaffolding membantu siswa berpikir dan meningkatkan kategorisasi usaha, adalah "... sukses metodologi instruksional untuk mengajarkan cara untuk mengkategorikan dan memberi label informasi ilmiah dan untuk mengajar siswa bagaimana mengevaluasi hipotesis berdasarkan data empiris." (Toth, nd). Vygotsky percaya bahwa setiap anak dapat diajarkan semua subjek scaffolding secara efektif menggunakan teknik dengan menerapkan perancah di ZPD. "Guru mengaktifkan zona ini ketika mereka sedang mengajar siswa konsep yang tepat di atas mereka saat ini tingkat keterampilan dan pengetahuan, yang memotivasi mereka untuk berprestasi di luar kemampuan mereka saat ini tingkat" (Jaramillo, 1996: 138). Siswa dipandu dan didukung melalui kegiatan pembelajaran interaktif yang berfungsi sebagai jembatan untuk membuat mereka ke tingkat berikutnya. Jadi pelajar mengembangkan atau membangun pemahaman baru dengan mengelaborasi pengetahuan mereka melalui dukungan yang diberikan oleh orang lain yang lebih mampu (Raymond, 2000). Studi telah benar-benar menunjukkan bahwa pada keadaan tidak adanya dipandu pengalaman belajar dan interaksi sosial, belajar dan pengembangan dihalangi (Bransford, Brown, dan Cocking, 2000). Dari dua contoh sederhana di atas dapat disimpulkan bahwa scaffolding sangat penting dalam membantu dan meningkatkan kemampuan perkembangan kognitif anak, suatu pemberian scaffolding yang efektif adalah tepat waktu dan setelah itu ditarik kembali secara bertahap setelah ditandai dengan diperolehnya keterampilan baru yang lebih baik dari sebelumnya yang berhasil dilakukan sendiri oleh anak pada tingkat perkembangan potensialnya. Penelitian modern terus menemukan bahwa perancah adalah sebuah strategi pengajaran yang efektif, penggunaan representasi eksternal, representas scaffolding, dapat berfungsi sebagai strategi yang efektif untuk mengajarkan keterampilan ilmiah ini. Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada pembelajaran sosiokultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek “internal” dan “eksternal” dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan 12
sosial pebelajaran. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif berasal dari interaksi sosial masing - masing individu dalam konsep budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas- tugas itu berada dalam “zone of proximal development” mereka. Zone of proximal development adalah jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat kemampuan perkembangan potensial yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu. Sementara penggunaan scaffolding memberikan kepada seseorang anak sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky menjabarkan implikasi utama teori pembelajarannya yaitu: 1. Menghendaki setting kelas kooperatif, sehingga siswa dapat saling berinteraksi dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif dalam masing-masing zone of proximal development mereka; 2. Pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran menekankan scaffolding. Jadi teori belajar Vygotsky adalah salah satu teori belajar sosial sehingga sangat sesuai dengan model pembelajaran kooperatif karena dalam model pembelajaran kooperatif terjadi interaktif sosial yaitu interaksi antara siswa dengan siswa dan antara siswa dengan guru dalam usaha menemukan konsep - konsep dan pemecahan masalah. Scaffolding Sebagai Strategi Pengajaran Scaffolding sebagai strategi pengajaran berasal dari teori sosiokultural Lev Vygotsky dan konsep zona perkembangan proksimal (ZPD). "Zona perkembangan proksimal merupakan jarak antara anak-anak apa yang dapat dilakukan oleh diri mereka sendiri dan selanjutnya belajar bahwa mereka dapat dibantu untuk mencapai 13
dengan bantuan kompeten" (Raymond, 2000, p.176). Strategi pengajaran perancah menyediakan dukungan individual didasarkan pada pelajar's ZPD.8 Instruksi Scaffolding Vygotsky didefinisikan sebagai "peran guru dan lain-lain dalam mendukung pengembangan pelajar dan menyediakan struktur pendukung untuk sampai ke tahap berikutnya atau tingkat" (Raymond, 2000: 176). Aspek penting dari instruksi perancah adalah bahwa perancah bersifat sementara. Sebagai kemampuan pelajar meningkatkan perancah disediakan oleh lain yang lebih luas secara progresif ditarik. Akhirnya para pelajar mampu menyelesaikan tugas atau menguasai konsep secara independen.9 Oleh karena itu tujuan dari pendidik saat menggunakan perancah strategi pengajaran untuk siswa untuk menjadi mandiri dan mengatur diri pelajar dan pemecah masalah (Hartman, 2002). Sebagai pelajar pengetahuan dan kompetensi belajar meningkat, pendidik secara bertahap mengurangi mendukung disediakan (Ellis, Larkin, Worthington, nd). Menurut Vygotsky perancah eksternal yang diberikan oleh pendidik dapat dihapus karena pelajar telah mengembangkan "... lebih canggih sistem kognitif, yang berhubungan dengan bidang pembelajaran seperti matematika atau bahasa, sistem pengetahuan itu sendiri menjadi bagian dari perancah atau dukungan sosial untuk pembelajaran baru" (Raymond, 2000: 176). Dalam instruksi scaffolding lain yang lebih berpengetahuan perancah menyediakan
atau
didik. Perancah
mendukung
memfasilitasi
untuk
para
memfasilitasi
siswa
perkembangan
kemampuan
untuk
peserta
membangun
pengetahuan dan menginternalisasi informasi baru. Kegiatan yang diberikan dalam instruksi perancah hanya melampaui tingkat pelajar apa yang bisa dilakukan sendiri (Olson & Pratt, 2000). Lain yang lebih mampu menyediakan perancah sehingga pembelajar dapat mencapai (dengan bantuan) tugas-tugas yang dia bisa sebaliknya tidak lengkap, sehingga membantu pelajar melalui ZPD (Bransford, Brown, & Cocking, 2000). Konstruktivisme Vigotsky menekankan bahwa perubahan kognitif hanya terjadi jika konsepsi-konsepsi yang telah dipahami diolah melalui suatu proses 8Chang, K., Chen, I., & Sung, Y, Efek Pemetaan Konsep untuk Meningkatkan Pemahaman Teks dan Summarization. The Journal of Experimental Education 71 (1), 5-23. 2002. 9
Chang, K., Chen, I., & Sung, Y, op. cit., h. 7.
14
ketidak-seimbangan dalam upaya memakai informasi-informasi baru. Hakikat dari teori konstruktivisme adalah ide bahwa peserta didik harus menjadikan informasi itu miliknya sendiri. Teori ini memandang peserta didik secara terus menerus memeriksa informasi-informasi baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lama dan memperbaiki aturan-aturan tersebut. Salah satu prinsip paling penting adalah guru tidak dapat hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada peserta didik, peserta didik harus membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri., guru hanya membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi peserta didik dengan memberikan kesimpulan kepada peserta didik untuk menerapkan sendiri ide-ide dan mengajak peserta didik agar peserta didik menyadari dan secara sadar menggali strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Pendekatan konstruktivisme dalam pengajaran lebih menekankan pada pengajaran Top-Down daripada Bottom-Up. Top-Down berarti peserta didik mulai dengan masalah-masalah yang kompleks untuk dipecahkan dan selanjutnya memecahkan atau menemukan (dengan bantuan guru) keterampilan-ketrampilan dasar yang diperlukan. Pengasuh membantu anak-anak belajar bagaimana menghubungkan informasi lama atau situasi akrab dengan pengetahuan baru melalui verbal dan komunikasi nonverbal dan pemodelan perilaku. Pengamatan penelitian tentang pembelajaran anak usia dini menunjukkan bahwa orangtua dan pengasuh lain memfasilitasi pembelajaran dengan menyediakan scaffolding. Scaffolding disediakan dalam kegiatan dan tugas-tugas yang: memotivasi atau meminta minat anak yang berkaitan dengan tugas, menyederhanakan tugas untuk membuatnya lebih mudah dikelola dan dapat dicapai untuk anak, memberikan arah untuk membantu anak fokus untuk mencapai tujuan. Dengan jelas menunjukkan perbedaan antara kerja dan anak standar atau solusi yang dikehendaki Mengurangi frustrasi dan risiko serta jelas menentukan harapan kegiatan yang akan dilakukan (Bransford, Brown, dan Cocking, 2000). Pinsip-prinsip konstruktivisme telah banyak digunakan dalam pendidikan sains dan matematika. Prinsip-prinsip yang sering diambil dari konstruktivisme antara lain (1) pengetahuan dibangun oleh peserta didik secara aktif; (2) tekanan proses belajar mengajar terletak pada peserta didik; (3) mengajar adalah membantu peserta 15
didik belajar; (4) tekanan dalam proses belajar lebih pada proses dan bukan pada hasil belajar; (5) kurikulum menekankan pada partisipasi peserta didik; (6) guru adalah fasilitator.10 Disarankan agar konstruktivisme ini digunakan oleh guru dalam kegiatan belajar mengajar dengan bentuk yang bisa dilakukan diantaranya konsep pembelajar mandiri (learner utonomy), belajar kelompok (cooperative learning). Guru hanya sebagai mediator, selanjutnya peserta didik secara sendiri-sendiri maupun kelompok aktiv untuk memecahkan persoalan yang diberikan guru sehingga mereka dapat membangun pengetahuan. Dalam pengaturan pendidikan, scaffolding dapat mencakup model, petunjuk, prompt, petunjuk, solusi parsial, berpikir-keras pemodelan dan instruksi langsung (Hartman, 2002).11 Dalam Pengajaran Anak-anak dan Remaja dengan Kebutuhan Khusus para penulis memberikan contoh prosedural fasilitator (isyarat, isyarat-card, sebagian selesai contoh). Penggunaan perancah disediakan guru, para pendidik mungkin kemudian memiliki siswa terlibat dalam pembelajaran kooperatif. Dalam lingkungan semacam ini siswa membantu siswa dalam pengaturan grup kecil tetapi masih ada beberapa guru bantuan. Ini dapat berfungsi sebagai langkah dalam proses penurunan perancah disediakan oleh pendidik dan dibutuhkan oleh siswa (Hartman, 2002).12 Bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian anak/siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu (1) anak mencapai keberhasilan dengan baik, (2)
anak mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3) anak gagal meraih
keberhasilan. Scaffolding berarti upaya guru untuk membimbing siswa dalam upayanya mencapai suatu keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke jenjang yang lebih tinggi menjadi optimum (Vygotsky, 1978 :5). Tujuan scaffolding adalah memberikan arah yang jelas dan mengurangi kebingungan anak. Pendidik mengantisipasi masalah-masalah yang mungkin dihadapi anak dan 10Paul
Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius, 2000.
11Hartman, H. Scaffolding & Cooperative Learning. New York: City College of City University of New York, 2002. 12Ibid.
16
kemudian mengembangkan petunjuk langkah demi langkah, yang menjelaskan apa yang seharusnya dilakukan oleh anak dalam memenuhi harapannya, membantu anak mengerti mengapa mereka melakukan pekerjaan dan mengapa penting. Mengurangi ketidakpastian, kejutan, dan kekecewaan, pendidik menguji pelajaran mereka untuk menentukan area masalah yang mungkin dan kemudian memperbaiki pelajaran untuk menghilangkan kesulitan sehingga belajar adalah dimaksimalkan (McKenzie, 1999). Implikasi Scaffolding Pada Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini Penelitian modern menemukan bahwa Scaffolding adalah sebuah strategi pengajaran yang efektif. Teori Vygotsky tersebut memberikan pengaruh besar pada desain kurikulum, instruksi pembelajaran dan proses asesmen pendidikan anak usia dini. Karena anak belajar banyak dari interaksi, maka desain kurikulum harus menempatkan mereka untuk mengalami banyak interaksi dengan anak lainnya dan tugas belajar bersama. Bentuk kegiatan belajar mengajar yang bisa dilakukan di antaranya konsep pembelajar mandiri (learner utonomy), belajar kelompok (cooperative learning). Terdapat banyak literatur ilmiah yang menyatakan dengan tegas pentingnya scaffolding untuk membangun konsep pemahaman anak usia dini. Proses assessment juga berpengaruh yaitu dengan melihat zona perkembangan terdekat. Bila anak dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan ini disebut tingkat perkembangan riil (level of actual development), sementara bila anak dapat melakukan sesuatu dengan bantuan maka hal ini disebut tingkat perkembangan yang potensial (level of potential development). Dua orang anak dapat saja memiliki tingkat perkembangan riil yang sama; tetapi dengan bantuan yang tepat dari orang dewasa, anak yang satu dapat melakukan penyelesaian terhadap masalah yang lebih rumit dan lebih baik daripada yang lainnya. Metode penilaian harus dapat menangkap kedua tingkat perkembangan yang dimiliki tiap anak; yaitu tingkat perkembangaan riil dan tingkat perkembangan potensial. Instruksi pembelajaran yang tepat dari orang dewasa dapat membuat anak menunjukkan keberhasilan terhadap tugas yang belum mampu diselesaikan sendiri. Lingkungan belajar anak menjadi zona perkembangan terdekat yang menghadirkan sebanyak mungkin kesempatan untuk mempelajari sesuatu, baik itu melalui orang-orang di sekitar anak maupun alat pelajaran dan sumber belajar. Guru hanya sebagai mediator selanjutnya anak usia dini secara sendiri atau kelompok aktif 17
untuk memecahkan persoalan yang diberikan guru sehingga mereka dapat membangun pengetahuan. Instruksi pembelajaran yang tepat dari orang dewasa dapat membuat anak menunjukkan keberhasilan terhadap tugas yang belum mampu diselesaikan sendiri. Disini orang dewasa secara terus menerus mengevaluasi level bantuan yang diberikan kepada anak dengan mempertimbangkan tingkat kemajuan hasil belajar anak, sehingga dapat terbentuk mengajar-belajar yang efektif. Dengan memberikan “takaran” scaffolding yang tepat, hasil belajar anak akan segera terlihat bahkan anak memperoleh keterampilan yang menetap yang dibutuhkan dalam penyelesaian masalah kelak. “Takaran” karena sepanjang tinjauan penulis tidak ditemukan sumber ilmiah yang berhasil merumuskan dosis scaffolding yang tepat. Hal ini karena setiap anak, dalam setiap situasi membutuhkan scaffolding yang berbeda-beda. Keuntungan dan Kerugian Dari Scaffolding Manfaat utama scaffolding adalah 1. Melibatkan aktivitas anak / pelajar. Pelajar tidak secara pasif mendengarkan informasi yang disajikan, bukan melalui guru mendorong pelajar didasarkan pada pengetahuan dan bentuk-bentuk pengetahuan baru. Memberikan kesempatan umpan balik positif kepada siswa. scaffolding memotivasi siswa sehingga mereka ingin belajar. 2. Dapat meminimalkan tingkat frustrasi dari pelajar. Hal ini sangat penting dengan berbagai kebutuhan khusus siswa, yang mudah frustrasi kemudian menutup diri dan menolak untuk berpartisipasi dalam pembelajaran lebih lanjut. 3. Selain meningkatkan kemampuan kognitif anak, instruksi scaffolding dalam konteks belajar memberikan efisiensi karena kerja terstruktur dan terfokus, Menciptakan momentum - melalui struktur yang disediakan oleh perancah, anak dapat menghabiskan lebih sedikit waktu mencari dan lebih banyak waktu untuk belajar dan menemukan, menghasilkan waktu belajar yang efisien. (McKenzie, 1999). 18
Kelemahan Scaffolding: 1. Membutuhkan waktu yang lama, merupakan tantangan terbesar bagi guru sejak mendukung dan mengembangkan scaffolding pelajaran untuk memenuhi kebutuhan setiap individu. Pelaksanaan scaffolding individual dalam kelas dengan jumlah siswa besar akan menantang. 2. Seorang guru mungkin tidak benar dalam melaksanakan instruksi scaffolding dan karenanya tidak melihat efek secara penuh. Scaffolding juga mensyaratkan bahwa guru menyerahkan sebagian kontrol dan memungkinkan siswa untuk membuat kesalahan. Ini mungkin sulit bagi guru untuk melakukannya. Meskipun ada beberapa kelemahan dalam penggunaan scaffolding sebagai strategi pengajaran tetapi berdampak positif bagi proses belajar siswa dan pengembangan jauh lebih penting. Dengan memahami teori perkembangan kognitif diatas, maka yang menjadi masalah adalah bagaimana bentuk implementasi konkrit scaffolding sebagai bagian dari teori konstruktivisme pada setiap aspek pendidikan anak usia dini. Penutup Implementasi scaffolding dapat dengan mudah kita temukan dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari anak usia dini. Faktor-faktor yang sederhana namun penting untuk diingat dalam implementasi scaffolding adalah bahwa; 1. Kebutuhan terhadap scaffloding datang dari inisiatif anak; karena kalau bukan datang dari anak, scaffolding akan berubah menjadi suatu interferensi terhadap proses belajar anak. Suatu interferensi terhadap proses belajar anak disadari atau tidak akan menyemaikan sifat ketergantungan yang akan menimbulkan kesulitan yang lebih besar lagi di masa depan. 2. Scaffolding sesuai dengan pesan pendidikan Vygotsky adalah menyediakan lingkungan sosial yang kaya dengan aktifitas yang berada dalam zona perkembangan terdekat anak dan kesempatan yang melimpah untuk bermain peran (make-believe play). Situasi belajar yang baik akan mereduksi peran guru (teacher centered) dan meningkatkan kemandirian belajar anak (student centered); sedemikian hingga muncul suasana yang merangsang tumbuhnya sifat 19
pembelajaran dengan disiplin diri tinggi untuk tingkat pendidikan yang lebih lanjut kelas
20
DAFTAR PUSTAKA Berk, Laura E. (2006). Child development 7th Edition. USA: Pearson International Edition. Bransford, Brown J. A. & Cocking, R. 2000. Bagaimana Orang Pelajari: Brain, Mind, dan Pengalaman & Sekolah. Washington, DC: National Academy Press. Burton, W.H. 1987. The Guidances of Learning Activities, New York: Appleton Century Crofts. . Chang, K., Chen, I., & Sung, Y. 2002. Efek Pemetaan Konsep untuk Meningkatkan Pemahaman Teks dan Summarization. The Journal of Experimental Education 71 (1), 5-23. Collins, A., Brown, J. S., & Newman, S. (1989). Cognitive apprenticeship: Teaching the craft of reading, writing, and mathematics. In L. B. Resnick (Ed.). Knowing, learning, and instruction: Essays in honor of Robert Glaser. Hamalik, Umar. 2000. Psikologi Belajar dan Mengajar, Jakarta: Sinar Baru Algensindo. Hartman, H. 2002. Scaffolding & Cooperative Learning. New York: City College of City University of New York. Hillsdale, Barbara (1995, 1998, 2003). Observing sociocultural activity on three planes: Participatory appropriation, guided participation, and apprenticeship. In J.V. Wertsch, P. del Rio, & A. Alvarez (Eds.), Sociocultural studies of the mind (pp. 139- 164). New YorkLawrence Erlbaum Associates, Inc Rogoff. http://idea.uoregon.edu/ncite/ documents/techrep/tech06.html. Diakses tanggal 7 20 Januari 2010.
pada
http://tip.psychology.org/vygotsky.html Diakses pada tanggal 20 Januari 2010. http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ed457524.html. Diakses 1 januari 2010. http://www.marxists.org/archive/vygotsky/html. Diakses pada tanggal 20 Januari 2010. http://www.ncrel.org/sdrs/areas/issues/students/learning/.html. Desember 2009.
Diakses
12
Olson, J. dan Platt, J. 2000. The Instructional Siclus. Upper Saddle River, NJ: PrenticeHall, Inc. Paul, Suparno. 2000, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius. 21
Simandjuntak, B. dan IL. Pasaribu, 1981. Psikologi Perkembangan, Bandung: Tarsito. Slameto. 1997, Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya, Jakarta: Rineka Cipta. Suryabrata, Sumadi. 1995. Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers. Toth, E. E. 2002. Representasional perancah selama penyelidikan ilmiah: interpretif dan ekspresif penggunaan prasasti di kelas belajar. Diakses 20 Januari 2010 dari http://www.cis.upenn.edu/ircs/cogsci2000/PRCDNGS/SPRCDNGS/ posters/toth.pdf Vygotsky, L.S. 1962. Thought and language. Cambridge, MA: MIT Press. (Original work published 1934) NY: Cambridge University Press. Vygotsky, L.S. 1978. Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes. Cambridge, MA: Harvard University Press. www.edb.utexas.edu/csclstudent/dhsiao/
22