Teori dan Konsep
a. Pembangunan Berpusat pada Rakyat (People Centered Development) dan Organisasi Lokal (Bentukan Sendiri) Sebagai AlternatSf Prqram Pemberdayaan 'Kegagalan-kegagalan' program yang ditujukan untuk pemberdayaan mengindikasikan bahwa program-program pemerintah tidak sepenuhnya berorientasi pada paradigma pembangunan yang berpusat pada rakyat (People Centered Development-PCD). Paradigma pembangunan yang
berpusat pada rakyat beranggapan inisiatif, kreatif dan potensi dari rakyat abzlah sumber daya pembangunan, dan pemerintah hanyalah pemberi daya (empowering, enabling) dan memberi kemudahan (facilitating) kepada
rakyat (masyarakat) untuk mendapatkan akses-akses yang diperlukan dan dibutuhkan masyarakat, seperti: ekonomi, sosial dan politik. Selain itu, juga
mensinersikan dan
menyelaraskan kekuatan pemerintah dan
masyarakat, sehingga tercipta suatu kondisi masyarakat sipil (civil society), kondisi tersebut sesuai dengan hakekat tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Proses perubahan yang begitu cepat karena tuntutan arus globalisasi mendesak pemerintah mengembalikan perannya (reinventing government). Pemerintah menduduki posisi yang strategis terutama dalam menjalankan fungsi pelayanan serta pengaturan pemberdayaan masyarakat, tapi posisi tersebut tidak dioptimalkan oleh pemerintah itu sendiri. Perhatian pemerintah terhadap paradigma PCD tidak memadai, padahal PCD menekankan pentingnya pengakuan kapasitas masyarakat dalam proses meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal melalui organisasi ataupun kelembagaan swadaya yang dikontrol secara internal terhadap sumber daya material dan non material. Korten dan Sjahrir (1993), menjelaskan PCD sebagai alternatif, sekaligus memaknainya lebih luas: "...people centered development merupakan paradigma alternatif bagi paradigma pembangunan yang
berpusat pada produksi, dan membentangkan kemungkinan-kemungkinan baru yang sangat luas guna menciptakan sebuah masyarakat dunia yang benar-benar manusiawi.
Pemberian kekuasaan pada rakyat untuk
rnengendalikan kehidupan dan sumber daya masyarakat sendiri, untuk menciptakan penghidupan dari sumber daya itu dan mengarahkan serta mengembangkan din
mereka sebagai manusia merupakan tujuan
pembangunan yang berpusat pada rakyat dan sekaligus sebagai sarana untuk mencapainya". Lebih lanfut Korten menegaskan sendi-sendi dad sebuah paradigma PCD,
...p emberdayaan masyarakat dan partisipasi merupakan strategi
"
dalam paradigma pembangunan yang berpusat pada rakyat. Pendekatan ini menyadari
pentingnya
kapasitas
masyarakat
untuk
meningkatkan
kemandirian dan kekuatan internal, melalui kesanggupan untuk melakukan kontrol internal atas sumber daya material dan non material yang penting melalui redistribusi modal atau kepemilikann. Pada akhirnya
Korten (1993)
menegaskan pentingnya peran
pemerintah sebagai regulator kebijakan yang memberi ruang lebih luas kepada rakyat sehingga bisa tercipta keadaan yang bisa membuat rakyat bisa memenuhi kebutuhannya. 1. Memusatkan pemikiran dan tindakan kebijakan pemerintah pada
penciptaan keadaan-keadaan yang mendorong dan mendukung usaha rakyat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri dan untuk memecahkan masalah-masalah mereka sendiri dan untuk memecahkan masalah-masalah mereka sendiri pada tingkat individual, keluarga dan komunitas;
2. Mengembangkan struktur-struktur dan proses organisasi-organisasi yang berfungsimenurut kaidah-kaidah sistem swaorganisasi; 3. Mengembangkan sistem-sistem produksi-konsumsi yang diorganisasi
secara teritorial yang berlandaskan pada kaidah-kaidah pemilikan dan pengendaUan lokal. Dari ungkapan di atas ditekankan pemberdayaan yang bisa dilakukan secara bertingkat dari individu, keluarga dan komunitas, juga memberi
keleluasaan rakyat rnengelola pemberdayaan melalui organisasi atau kelernbagaan lokal yang dibentuk sendiri. Dengan pendekatan ini rakyat atau masyarakat dipandang mempunyai inisiatif yang kreatif dan mampu melakukan kontrol internal. Selanjutnya
Exap
(1999)
mengemukaan
"...kajian
strategis
pemberdayaan masyarakat, baik ekonomi, sosial, budaya dan politik menjadi penting sebagai input untuk reformasi pembangunan yang berpusat pada rakyat, yang memberikan peluang bagi masyarakat untuk membangun secara
partisfpatif.
Dalam pembangunan partisipaitf,
pemberdayaan merupakan salah satu strategi yang dianggap tepat jika faktor-faktor determinan dikondisikan sedernikian rupa agar esensi pemberdayaan tidak menjadi terdistoni" (Exap: 1999).
b. Pemberdayaan Konsep pemberdayaan muncul karena kritik terhadap pembangunan yang menekankan pada ekonomi dengan menggunakan pendekatan trickle down effect. Pranarka dan Moeljarto (1996) mengungkapkan bahwa pemberdayaan adalah upaya menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi sernakin efektif secara struktural, baik didalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, regional, internasional, maupun dalam bidang politik, ekonomi dan tain-lain. Pemberdayaan berasa\ dari bahasa Inggris, 'empowerment', yang secara harfiah dapat diartikan sebagai 'pemberkuasaan',
dalam arti
pemberian atau peningkatan 'kekuasaan' (power). Menurut pendapat Friedmann (1980)
pemberdayaan dimaknai
sebagai
'mendapatkan
kekuatan' (power) dan rnengaitkan dengan kemampwn golongan miskin untuk rnendapatkan akses ke sumber-sumber daya yang menjadi dasar dari kekuasaan dalam suatu sistem maupun organisasi. Lewat akses tenebut akhirnya menjadi mandiri dalam proses pengambilan keputusan sehingga bisa keluar dari kemiskinan. Sedangkan menurut Somervile
yang dikutip
oleh Adi (2001), pemberdayaan dipandang sebagai kemampuan untuk mengontrol komunitas atas kepentingan hidupnya sendiri.
Sementara itu, Shardlow yang dikutip oleh Adi (2001) melihat bahwa pengertian yang ada rnengenai pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok ataupun komunitas bemaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka 'such a definition of empowerment is centrally about people taking account of their fives and having the power to shape their own future'. Di dalam literatur pembangunan, konsep pemberdayaan bahkan memiliki perspektif yang lebih luas. Pearse dan Stiefel yang dikutip oleh Prijono (1996) mengatakan bahwa menghormati kebhinekaan, kekhasan lokal, dekonsentrasi kekuatan, dan peningkatan kemandirian merupakan bentuk-bentuk pemberdayaan partisipatif. Sedangkan pendapat Borrini dan Shanty yang dikutip oleh Prijono (1996) rnendefinisikan dalam penpektif lingkungan, bahwa pemberdayaan mengacu pada pengamanan akses terhadap sumber daya alami dan pengelolaannya secara berkelanjutan. Ife (1995) menyatakan bahwa: 'empowennent aims to increase the power of disadvantaged'. Dalam tulisan yang sama, Ife menjelaskan pemberdayaan pada aspek tujuan,
bahwa pemberdayaan manusia
dilakukan dengan meningkatkan sumber-sumber daya, kesempatan,
pengetahuan
dan
ketrampilan
untuk
kesempatanmeningkatkan
kemampuan mereka dalam mengatasi masa depan dan berpartisipasi dalam aspek-aspek kehidupan masyarakat. Sedangkan menurut Swift dan Levfn (1987) yang dikutip Suharto (1997), pemberdayaan menunjuk pada usaha 'realocation of power' melalui pengubahan struktur sosial. Bank Dunia mendefinisikan pemberdayaan sebagai penerapan hak-hak untuk mengontrol yang lebih kuat atas sumber-sumber penopang kehidupan. Tujuan dari pemberdayaan adalah agar komunitas menjadi independen terhadap pengaruh-pengaruh luar dalam menyusun urusanurusan domestiknya. Dan berbagai perspektif mengenai konsep pemberdayaan seperti yang telah dikemukakan, tampak bahwa pemberdayaan tidak bisa dengan mudah menjadi istilah yang netral dan bebas nilai, karena penempatan
istilah ini dalam konteks tertentu bisa memicu aksi-aksi tertentu pula. Oleh karena itu definisi pemberdayaan bervariasi mengikuti pe~bahankonteks dan waktu, berfiubungan dengan sejumlah masalah. Pada akhirnya Adi (2001) mengingatkan bahwa betapa pun definisi pemberdayaan yang dibuat para ahli begitu ideal, yang terpenting bagi seorang pelaku perubahan (community development/ social worker), hal yang dilakukan klien (baik pada tingkat individu, keluarga, kelompok ataupun komunitas) adalah upaya memberdayakan (mengembangkan klien dari keadaan tidak atau kurang berdaya menjadi mempunyai daya) zuna mencapai kehidupan yang lebih baik. Pemberdayaan juga
berarti menyediakan kesernpatan kepada
sasaran/target program (klien) untuk mengakui nilai-nilai personal dan untuk pencapaian tujuan dirlnya sendiri metatui upaya-upaya yang dilakukannya sendiri. Seperti yang dikemukakan oleh Solomon (1976) dalam Dubois dan Mitley (1992) sebagai berikut: 'Empowerment means providing clients with opportunities to recognize their personal value and to attain their goals through their own effort'
(Pemberdayaan berarti menyediakan
kesempatan kepada klien untuk mengakui nilai-nilai personal dan untuk pencapaian tujuan dirinya melalui upaya dirinya sendiri). Pemberdayaan bertujuan untuk menolong masyarakat sehingga mereka mendapatkan solusi bagi masalah-masalahmereka sendiri. Jadi dapat ditarik kesimpulan dari berbagai literatur diatas bahwa pemberdayaan adalah upaya memberdayakan (mengembangkan dari keadaan tidak atau kurang berdaya menjadi mempunyai daya) guna mencapai kehidupan yang Lebih baik melalui suatu proses yang terencana yang dilakukan oleh anggota keluarga (ayah, ibu anak) secara partisipatif, terarah dan berkelanjutan untuk meningkatkan kemampuan ekonomi, motivasi dan peran keluarga dalam rangka mewujudkan keberfungsian sosial keluarga. Ragam pemberdayaan yang diungkap dalam kajian ini menggunakan model: pertama: pemberdayaan individual,
pemberdayaan dilakukan
kepada setiap anggota keluarga dengan memperhatikan sistem hubungan
struktur sosial (suami-istri-anak) yang dianggap sebagai bagian dari sebuah sistem keluarga sekaligus individu yang memiliki karektiristik unik, pemberdayaan ini didasarkan pada; a) kebutuhan dan kemampuan individu,
b) memperkuat peran individu dalam keluarga, c) menghormati keunikan individu. Kedua: pemberdayaan organisasi, pemberdayaan dilakukan dengan media pemberdayaan orsanisasi sesuai prinsip dengan penamaan status sosial, kelompok sebagai alat untuk memecahkan/menyelesaikan masalah ketuarga, penguatan keribadian anggota ketuarga. Hakekat pemberdayaan organisasi adalah; a) meningkatkan kemampuan kelompok sebagai sarana pemecahan masalah dan dinamika keluarga, b) memperkokoh peran kelompok untuk proses penguatan aksesibilitas keluarga, c) meningkatkan kekuatan ekonomi, asset dan investasi. Ketiga: pemberdayaan komunitas, disini pemberdayaan melibatkan seluruh stakeholder dalam komunitas keseluruhan dan berbagai program yang tidak terpisah tapi terpadu menjadi kesatuan gerak benama. Aspek yang menjadi sasaran/ target pemberdayaan ini adalah; a) penumbuhan dan penguatan tanggung jawab sosial komunitas, b) pemuliaan nilai-nitai kearifan lokal.
c. Partisipasi
Dimulai pada dekade akhir tahun 1970-an terdapat berbagai penafsiran mengenai makna partisipasi dalam pembangunan, beberapa diantaranya yang dikutip oleh UNDP (United National Development e participation". Program) dalam "Empowering People :A ~ u i d of Cohen dan Uphoff (1977) mendefinisikan partisipasi datam ruang pembangunan desa untuk mendistribusikan manfaat dan usaha untuk mengevaluasi program; With regard to rural development includes
people's involvement
in
. . .participation
decision-making processes,
in
implementing programmes, their sharing in the benefits of development programmes and their invo(vement in efforts
to evaluate such
...
programmes. Berhubungan dengan pembangunan masyarakat desa
partisipasi meliputi keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan,
dalam
menerapkan
program,
mereka
berbagi
keuntunganlmanfaat program-program pembangunan dan keterlibatan mereka di dalam usaha untuk mengevaluasi program-program kegiatan. Participation is a process through which stakeholders influence and share control over development initiatives and the decisions and resources which affect them. World
Bank (1994),
partispasi adalah suatu proses dimana
stakeholders mempengaruhi dan berbagi kendali atas prakanalinisiatif pengembangan dan keputusan dan sumber daya yang mempengaruhi mereka. Sedangkan Paul (1987) menjelaskan partisipasi sebagai usaha mempengaruhi kebijakan agar sesuai dengan nitai yang dianut oleh kelompoknya; Community participation [is] an active process by which beneficiary or client groups influence the direction and execution of a development project with a view of enhancing their well-being in terms of income, personal growth, self-reliance
or other values they cherish.
Partisipasi masyarakat adalah merupakan suatu proses aktif dengan mana penerima manfaat atau kelompok klien mempengaruhi arah dan pelaksanaan suatu pengembangan proyek
dengan suatu pandangan
terhadap peningkatan kesejahteraan mereka dalam kaitan dengan pendapatan, pertumbuhan pribadi, kepercayaan diri atau nilai-nilai b i n yang mereka anut. Keragaman definisi tersebut menggambarkan bahwa partisipasi mempunyai spektrum sifat yang luas dalam aspek proses partisipasi dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, UNDP menyebutkan bahwa No universal interpretations or models of participation applicable to all development programmes and projects, tidak ada penafsiran universal atau model partisipasi yang dapat digunakan untuk semua program dan proyek pembangunan. Cary (1970) mengungkapkan tiga asumsi nilai yang mendasari partisipasi masyarakat , yaitu:
1. Orang dalam masyarakat harus berpartisipasi secara aktif dalam
perubahan masyarakat
.
2. Partisipasi haws sedapat mungkin berasal dari dalam masyarakat
3. Partisipasi harus melalui organisasi-organisasi yang demokratik. Selain prinsip-prinsip dasar partisipasi tersebut, Bamberger dan Shams (1989) mengungkapkan whatever the factors that may influence this, its
crucial to know who have participated as well as how they participated, apapun faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat, ha1 penting yang harus diketahui adatah siapa yang Mibatkan dan bagaimana mereka terlfbat.
Lebih lanjut Djohani (1996) mengungkapkan definisi partisipasi, dalam hal ini menyangkut "siapa yang ikut serta dalam kegiatannya siapa?". Kata partisipatif @articipatory) dalam pelaksanaan program pemberdayaan mengandung pengertian bahwa program bukan dirancang oleh orang luar kemudian masyarakat diminta ikut melaksanakan, tetapi program dirancang oleh masyarakat dengan difasilitasi oleh orang luar. Dengan demtktan dua hal penting yang menjadi pokok perhatian dalam proses partisipasi dalam kegiatan pemberdayaan yaitu menyangkut pengidentifikasiansiapa yang dilibatkan serta bagaimana rnereka dilibatkan (dalam kegiatan pemberdayaantersebut). Berkaitan dengan 'siapa yang seharusnya dilibatkan dalam proses pemberdayaan', Mikkelsen (1999) menyebutkan "dalam ha1 ini, yang perh dicermati adalah siapa-siapa anggota masyarakat yang tedibat, bukan hanya dengan menyebutkan 'penduduk setempat' atau yang benifat umum seperti itu". Lebih jelas Ife (1995) menyatakan siapa yang terlibat dalam pemberdayaan kedahm beberapa kategori kelompok-kelompok sasaran: 1. Kelompok lemah secara struktural; baik secara kelas, gender, maupun
etnis; 2. Kelompok lemah khusus; seperti manula, anak-anak dan remaja,
penyandang cacat, gay dan tesbian, masyarakat terasing; dan
3. Kelompok lemah secara personal; adalah mereka yang rnengalami masalah pribadi, keluarga. Maka bisa diambil kesimpulan bahwa partisipasi adalah roh dari proses
pemberdayaan,
pemberdayaan
dihasilkan
dari
partisipasi.
Pemberdayaan tidak akan berbasil tanpa ada partisipasi. Dalam partisipasi setiap orang berhak menyatakan dalam pengambilan keputusan yang menyangkit kehidupannya. Partisipasi bisa juga tercipta dalam perspektif keluarga yang dilakukan melalui kelembagaan yang dibuat sendiri oleh partisipan pernberdayaan. Selain itu melalui proses partisipasi tidak hanya sekedar ikut-ikutan kegiatan, tetapi tercipta pemaknaan dan kesadaran untuk merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap program pemberdayaan yang disusun dan dikelola.
d. Keluarga Polish yang diutarakan oleh Terawanti (1989), mendefinisikan keluarga sebagai struktur dan meringkas makna keluarga sebagai suatu kelompok sosial yang terdiri dari orang-orang yang mempunyai ikatan darah dan hubungan saudara, umumnya terbatas hingga generasi keempat. Datam kutipan yang sama dari Terawanti (1989), Belsky dkk menyatakan bahwa keluarga terdiri atas suami atau ayah, i s t r i atau ibu dan anak. Sedangkan makna keluarga yang didefinisikan oleh Direktorat Pemberdayaan Peran Keluarga Departemen Sosial RI, keluarga diartikan sebagai unit m i a l terkecil dalam masyarakat yang merupakan wahana sosialisasi yang pertama dan utama bagi tumbuh kembang anak. Rustanto,
dkk
(2006)
mengungkapkan keluarga dilihat
dari
kemampuan dalam melaksanakan peran clan fungsi rosiatnya (kehriungsian sosial) rnelalui pemenuhan kebutuhan dasar, penjangkauan sistem sumber, penyadaran pemecahan masalah, partisipasi sosial dalam komunitas, pengembangan investasi dan asset keluarga serta partisipasi dalam pengambilan keputusan dalam komunitas.
Dapat diatarik watu definisi dari pemahaman di atas yaitu bahwa kelwrga adalah sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat yang terdiri atas suami atau ayah, ibu dan anak yang terikat pertalian darah yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah, dan mempunyai fungsi sosial.
e. Kelembagaan dan Otganisasi Kelembagaan sering diasosiasikan sebagai kelembagaan sosial mirip dengan istilah lembaga. Definisi Cohen (1977) menekankan pada aspek sistem pola sosial dan untuk pemenuhan kebutuhan dasar. Cohen mengungkapkan
kelembagaan
sosia\
(social
institutions)
-yang
dialihbahasakan menjadi pranata-pranata masyarakat- sebagai sistem polapola sosial yang tersusun rapih dan relatif bersifat permanen serta mengandung perilaku-perilaku tertentu yang kokoh dan terpadu demi pemuasan
dan
pemenuhan-pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok
masyarakat. Menurut Horton dan Hunt (1991), lembaga adalah suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting, atau, secara formal, sekumpulan kebiasaan dan tata kegiatan yang berisi pada suatu kegiatan pokok manusia. Jadi konsep ini lebih menekankan pada aspek proses yang berstruktur untuk melaksanakan kegiatan tertentu. Wanjutnya ditegaskan oleh Horton dan Hunt (1991) bahwa lembaga adalah sistem hubungan sosial yang terorganisasi yang mengejawantahkan nitai-nilai serta prosedur umum tertentu dan memenuhi kebutuhankebutuhan dasar rnasyarakat. Dalam definisi ini lebih ditekankan pada aspek nilai atau m
a untuk memenuhi kebutuhan dasar yang terikat
dalam sistem hubungan sosial. Uphoff (1993) menjetaskan tentang makna kelembagaan, menurutnya kelembagaan, apakah organisasi atau bukan, kompleksitas dari norma dan perilaku yang bertahan lama yang melayani untuk tujuan nilai kolektif (kelompok). Soekanto (2002) menyatakan bahwa tujuan kelembagaan adalah dalam rangka pemenuhan kebutuhan pokok manusia. Berdasarkan
pemikiran dari Gillin dan Gillin, Soekanto mengemukakan sejumlah ciri-ciri umum kelembagaan (lembaga kemasyarakatan) yang
meUputi:
1)
Merupakan pengorganisasian pola pemikiran dan perilaku yang temujud melalui aktivitas masyarakat dan hasil-hasilnya, 2) Memiliki kekekalan tertentu, 3) Mempunyai satu atau k b i h tujuan tertentu, 4) Mempunyai lambang-lambang sebagai gambaran tujuan, 5) Mempunyai alat (media) untuk mencapai tujuan tertentu, 6) Mempunyai aturan tertulis atau tidak tertulis. Kelembagaan yang disorot sebagai sebuah kegiatan yang mempunyai fungsi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Israel (1992), sebuah
lembaga menyangkut berbagai fungsi yang dijalankan, seperti
produksi, perencanaan, pemasaran, perawatan dan pelatihan. Ketembagaan yang dibahas dalam kajian ini diartikan sebagai organisasi yang dibentuk karena partisipasi, mempunyai tata aturan, berstruktur organisasi, mempunyai tujuan yang jelas, mempunyai rencana yang pasti, dan sebagai media pemberdayaan. Partisipasi dilihat sebagai bagian dari proses pemberdayaan bagi peserta program pemberdayaan. Selain menjadi peserta dalam program pemberdayaan, juga menjadi bagian dalam proses penentuan pengambilan keputusan untuk menentukan : bentuk, aturan, perencanaan, tujuan, pengambilan manfaat, dan evaluasi organisasi.
Urgensi Pemberdayaan Keluarga Pekerjaan Sosial adalah profesi pertolongan kemanusiaan yang bertujuan untuk membantu individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat agar mampu menjalankan tugas-tugasnya sesuai perannya. Menjalankan tugas sesuai peran sosialnya oleh keluarga dabm lingkungannya (komunitas) adalah makna dari konsep keberfungsian sosial keluarga. Mkemukakan oleh Siporin dalam Suharto, dkk (2003) keberfungsian sosial berhubungan dengan cara-cara berperilaku individu-indivfdu atau kolektifkolektif
(keluarga,
perkumpulan,
masyarakat,
dsb)
dalam rangka
melaksanakan tugas-tugas kehidupannya dan memenuhi kebutuhannya. Dalam penfektif pertukaran, menurut Siporin dalam Suharto, dkk:
(2003) keberfungsian sosial menggambarkan sebagai produk sistematik dari transaksi komplementer dan pertukaran yang seimbang, cocok, tepat dan adaptasi timbal batik kebutuhan, sumberdaya, harapan-motivasi dan kompetensi orang-orang dari demand. Keberfungsian sosial keluarga yang dikemukakan oleh Suharto, dkk (2003) tetap tejaga jika kapabet dabm tiga syarat utama; pertama, kapabel memenuhi kebutuhan dasar: ekonomi, pendidikan dasar (human capital), perlindungan dasar (security capital); kedua,
kapabel melaksanakan peran sosial:
aktivitas peran dalam
masyarakat (komunitas); ketiga, kapabel menghadapi goncangan dan tekanan: karena ekonomi dan non ekonomi. Lebih jelas dalam Pola Dasar Pembangunan Kesejahteraan Sosial (1996) yang dipopulerkan Departemen Sosial RI menyatakan bahwa
keluarga sebagai unit terkecil dalam tatanan masyarakat merupakan unsur penentu pertama dan utama keberhasilan pembinaan anak sebagai generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa. Posisi strategis ini hanya akan dapat diwujudkan apabila keluarga dan sebagai unsur yang aktif-partisipatif dalam usaha pembinaan lingkungan sosial yang tentram dan sejahtera. Pernyatan di atas menjelaskan bahwa keluarga yang ideal adalah jika masing-masing anggotanya bisa menjalankan fungsi dan peran sosial sesuai dengan posisi masing-masingyang disandang. Namun pada tataran faktual karena kemajuan dan ekspansi ilmu pengetahuan dan teknologi yang cepat pada saat yang bersamaan umat manusia mengalami keterasingan dari nilai-nilai luhur kemanusiaan. Salah satu penyebabnya adalah karena mereka tercabut dari nilai agama. Keluarga seharusnya mempunyai fungsi-fungsi sosialisasi,
ekonomi,
reproduksi, biologi, religi, proteksi, kasih sayang tapi mat ini tidak bisa diatasi atau terabaikan oleh keluarga itu sendiri karena kapasitas masing-
masing anggota keluarga tidak memadai. Maka dalam kondisi seperti itu keluarga membutuhkan bantuan dan akses pelayanan sosial sesuai dengan jenis permasalahan yang mereka rasakan. Dalam aspek fungsi ekonomi cara menghadapi goncangan dan tekanan ekonomi, maka yang dibutuhkan salah satunya adalah akses terhadap lembaga keuangan bank atau bukan bank atau bisa juga
diseminasi kegiatan ekonomi untuk penambahan pendapatan.
PBB (1987), mengungkapkan beberapa masalah keluarga di negara berkembang adalah : kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, kesehatan dan nutnsi, perumahan dan sanitasi yang tidak layak, anak-anak yang tidak diinginkan dan tidak terdidik, serta masatah sosial psikologis yang menyebabkan keretakan dan ketidakharmonisan keluarga. Menurut data yang dilansir oleh Direktorat Pemberdayaan Peran Keluarga (2004) Departemen Sosial RI bahwa angka keluarga yang bermasalah sosialpsikologis mencapai jurnlah 16 juta orang dari jumlah t o t d penduduk Indonesia. Dalam data BPS (2004) jumlah keluarga miskin mencapai angka 36,17 persen dari jumlah keluarga atau 16,7 persen dari jumlah keluarga di Indonesia. Dengan pendekatan paradigma ekonomi ketuarga, yaitu menjalankan fungsi ekonomi dari keluarga sebagai kesatuan ekonomi, maka fungsi ekonomi keluarga sangat vital bagi keberlangsungan keluarga. Lewat pemberdayaan keluarga dengan mempertahankan keluarga sebagai fungsi ekonomi, maka goncangan dan tekanan karma ekonomi dapat terhindari, dengan cara; mengoptima\kan pola pencarian nafkah atau mengekspansi pencarian nafkah tambahan, perencanaan dan pembelanjaan serta pemanfaatannya akan tetap terjaga. Selain itu ada pengaruh eksternal dari budaya luar atau akibat dari akulturasi yang demikian cepat, telah membawa dampak disorientasi pola hubungan antar anggota keluarga yang rnengarah pada munculnya konflik antar anggota keluarga serta efek permasalahan lainnya. Sehubungan masalah tersebut maka perlu dicari upaya pemberdayaan untuk memberfungsikan sosial,
ketahanan dan keharmonisan sosia\
keluarga untuk bisa mencegah keretakan dan mengwtkan mekanisme pemecahan masalah yang dihadapi dalam wadah organisasi yang dibentuk sendiri. Dengan kokohnya ketahan sosial keluarga dalam komunitas maka bisa dihindari segala kemungkinan timbulnya masalah keluarga. Jadi bisa ditarik defnisi pemberdayaan keluarga sebagai proses memberdayakan keluarga yang dilakukan dengan terencana, terarah, dan
sistematik melalui organisasi dalam rangka menguatkan fungsi sosial keluarga, dan yang paling utama dari tujuan pemberdayaan ini untuk meningkatkan kesejahteraan dan ketahanan sosial keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam tatanan kehidupan komunitas.
Organisasi sebagai Media Pemberdayaan Pemberdayaan sebagai proses bisa dilakukan pada tingkat individu, keluarga atau komunitas (tertentu), selama aktivitas pemberdayaan tenebut dijalankan dengan prinsip partisipasi. Hasil dari pemberdayaan tenebut akan menghasitkan pembangunan yang berkelanjutan. Pada prinsipnya pembangunan yang berkelanjutan akan baik jika ada pengerahan energi masyarakat secara aktif atas dasar inisiatif sendin' untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi seluruh lapisan masyarakat secara berkesinambungan. lnisiasi dan partisipasi bisa dikelola dengan menggunakan media organisasi, terlebih jika organisasi tersebut dibentuk dan dijalankan dari akar rumput berdasarkan kepentingan kelompoknya. Lebih jelas diutarakan tentang kelompok, bahwa kelompok mempunyai
kelebihan antara Lain
proses adopsi dapat dipercepat, karena adanya interaksi sesama anggota kelompok dalam bentuk saling mempengaruhi satu sama lain (Vitayala: 1986). Beberapa kebutuhan manusia ada yang hanya dapat dipenuhi melalui keiompok dan terdapat kemampuan-kemampuanmanusia y a y hanya dapat dikembangkan melalui kelompok pemberdayaan (Garvin oleh Koswara: 1999). Pentingnya kelompok bagi kehidupan manusia bertumpu pada kenyataan bahwa rnanusia adalah makhluk mial. Artinya, secara alamiah manusia tidak bisa hidup sendirian. Dad detfk-detik kehidupannya, manusia sudah dalam kelompok, dia adalah anggota keluarga (Nitimihardjo dan lskandar: 1993). Menghimpun diri dalam kelompok karena naluri dasar manusia dijelaskan, bahwa manusia mempunyai naluri untuk berkumpul dan berjuang dengan kumpulan manusia lainnya, sehingga individu senasib saling berkumpul dalam suatu kelompok (Olson:1975).
Menurut Bientedt oleh Sunarto dalam Dannajanti (2004), kelompok mempunyai tiga kriteria; ada organisasi, hubungan sosial diantara kelompok, kesadaran jenis dibagi dalam beberapa klasifikasi sebagai gambaran kehidupan berorganisasi masyarakat, merefleksikan dinamika tindakan kolektif masyarakat yaw terhimpun dalam kelembagaan untuk mengatasi masalah bersama, termasuk peningkatan pendapatan rumah tangga (safety net) di komunitas. Lebih umum dan sangat bermakna luas, kelompok didefinisikan oleh Horton dan Hunt, setiap kumpulan orang yang memiliki kesadaran M a m a akan keanggotaan dan saling berinteraksi (Horton dan Hunt: 1991). Soekanto dalam perspektif sosiologis mengkategorikan kelompok dalam beberapa tipe: kategori statistik, kategori sosial, kelompok sosial,
kelompok tak teratur, dan organisasi formal {Soekanto: 2002). Dalam pembahasannya Soekanto lebih menyorot organisasi sebagai entitas kecil dari kelompok, organisasi ada dan diakui jika dalam bentuk nyata dan bisa dilihat dalam gerak aktivitas serta ada pola interaksi. Pace dan Faules menjelaskan bahwa organisasi dicikalbakali oleh kelompok atau beberapa kelompok yang kemudian mengikatkan diri dalam suatu aturan dan hubungan-hubunganstatus yang disepakati. Hubungan dan kepercayaan bersama suatu kelompok biasanya disebut ~ t ~ k t u m ydan a budayanya. Hubungan-hubungan berfungsi mengorganisasikan perilaku manusia dalam suatu organisas4 (Pace dan Faules: 2001). Selanjutnya dijelaskan
oleh
Huraerah
dan
Purwanto,
manusia
berkelompok
membutuhkan wadah yang disebut lembaga (orgonfsusi). Kelembagaan merupakan faktor yang sangat penting dalam mengatur hubungan antar manusia untuk penguasaan faktor produksi yang langka (Huraerah dan Purwanto: 2005). Dalam tinjauan Sosiologi, organisasi sebagai bentuk pengkelornpokan sosial yang paling rasional mampu menciptakan sosial yang ampuh dan dapat diandalkan.
Selain itu organisasi dapat memenuhi berbagai
kebutuhan suatu masyarakat mengkoordinasikan sejumlah besar da\am bentuk kolektif tindakan manusia secara lebih efesien.
Mengenai hal itu Etzioni (1982) menjelaskan, peradaban modern pada hakekatnya sangat tergantung pada organisasi-organisasi sebagai bentuk pengkelompokan sosial yang paling rasional dan efesien. Dengan cam mengkoordinaslkan sejumlah besar tindakan manusia, organisasi mampu menciptakan suatu alat sosial yang ampuh dan dapat diandalkan. Dalam masyarakat modern sekarang bisa dikatakan bahwa masyarakat sudah merupakan suatu masyarakat yang organisasional. Minya sebagian banyak interaksi tidak lepas dari keberadaan dan ketedibatan organisasi, mulai dad kelahiran, pendidikan, perkawinan hingga kematian. Tentang organisasi dijelaskan oleh Achlis (1993), kita dilahirkan didalam organisasi-organisasi, dididik oleh dan didalam organisasi pula, dan kebanyakan diantara kfta menggunakan sebagaian besar masa hldup didalam
dan
untuk
bekerja
bagi
organisasi-organisasi,
kitapun
menggunakan sebagaian besar waktu luang kita untuk berbelanja, bermain, dan beribadah didalam organisasi-organisasi. Kebanyakan dari kita juga meninggal didalam organisasi, dan untuk penguburan diperlukan pula ijin dari organisasi (negara)
.
Lebih t e a s bagaimana pentingnya sebuah organisasi bisa menjadi jembatan sebuah pemberdayaan diungkapkan oleh Wirutomo: "...atat terpenting untuk pemberdayaan masyarakat adalah organisasi. Minya masyarakat hams tergabung dalam suatu organisasi, dan melalui organisasi itulah aspirasi masyarakat dlperjuangkan secara bersama-sama. Melalui organisasi pula seluruh potensi warga masyarakat dapat disinergikan sehingga menghasilkan social energy yang lebih besar dan lebih kuat. Pemerintah wajib rnemberikan hak hidup, memfasilitasi organlsasi tersebut dan rnemberikan power shore yang memadai. Dalam rangka pengembangan
kornunitas, semua warga sebaiknya tergabung dan aktif tertibat dalam kelompok/organisasi komunitas. Yang terrnasuk dalam organisasi komunitas adalah: 1) organisasi resmi sponsor pemerintah. Misalnya RT, RW, Dewan
Kelurahan, LKMD, Karang Taruna, KSU, dsb ... 2) organisasi akar rumput, misalnya: arisan, organisasi pemuda, Lembaga keuangan, majlis taklim, perkumpulan do'a, dsb..
.. (Wirutomo: 2001).
Dengan kata yang lain organisasi bisa digunakan sebagai media untuk mengubah atau membantu individu, atau masyarakat yang bermasalah atau tidak bermasalah, karena dengan oqanisasi segala kebutuhan dan kemampuan manusia dapat dikembangkan melalui organisasi. Bertitik tolak dari hat tersebut, bahwa ketompok atau organisasi memiliki peran yang penting dan strategis sebagai sarana untuk pemberdayaan. Karena peran tersebut sangat perlu untuk melakukan pemberdayaan keluarga dengan menggunakan media organisasi,
bentuk dan jenis
pemberdayan ditentukan sendid oieh mereka sendiri. Karena dengan organisasi segala aktivitas dapat dikelola dan terkontrol dalam aturan yang baku, dan akan terjadi timbal baUk interaksi sosial antar anggota organisasi.
Kerangka Pikir Kajian
Dari
berbagai
literatur,
bahwa
pemberdayaan
adahh
upaya
memberdayakan (mengembangkan dari keadaan tidak atau kurang berdaya menjadi mempunyai daya) guna mencapai kehidupan yang lebih baik melalui suatu proses yang terencana yang dilakukan o\eh anggota keluarga (ayah, ibu anak) secara partisipatif, terarah dan berkelanjutan untuk meningkatkan kemampuan ekonomi, motivasi dan peran keluarga dalam rangka mewujudkan keberfungsiansosial keluarga. Ketidakberdayaan keluarga yang dikaji ini disebabkan oleh kebijakan elit lokal desa karena motif politik dan faktor ekonomi, pertama; motif politik, menyebabkan posisi tawar warga menjadi lemah sehingga kontrol terhadap penggunaan dana bantuan dan keterbukaan manajemen program sangat tertutup. Motif politik ia4n adalah menjadikan program pemberdayaan sebagat media pditik, program dijalankan oleh satuan pelaksana desa sebagai 'hadiah' dari pemerintah daerah kabupaten untuk 'mendapatkan hasil' lebih besar yang akan diberikan oleh pemerintah desa. Selanjutnya adalah marjinallsasi partisipasi dan kuasa pengambitan keputusan
terhadap
program,
tujuan
meminimalkan
partisipasi
dan
pengambilan keputusan adalah meredam terhadap ketidakpuasan yang mungkin
terjadi. Kedua; motif ekonomi, oleh sebagian oknum pemberi program (pemerintah kabupaten) dijadikan media untuk keuntungan pribadi berupa 'menyunat ' sebagian dana bantuan yang diberikan atas narna untuk kepentingan 'administrasi'. mementingkan
pada
Pelaksana program pada tingkat desa lebih
penggemukan
dana
yang
digutirkan
sehingga
mengorbankan aspek pemberdayaan, dengan cara meninggikan jasalbunga pinjaman dan zero tollerance terhadap segala keterlambatan angsuran yang telah ditentukan. Penyebab ketidakberdayaan keluarga karena motif ekonomi adabh ketidakjelasan kriteria sasaranltarget program, hal ini menyebabkan penentuan sasaran/target program sangat diskriminatif. Maka yang dipilih berdasdrkan keputusan sepihak dari pelaksana program dan cenderung dipilih karena mempunyai hubungan kekerabatan (kolusi) serta tingkat kedekatan yang tinggi dengan penyelenggara program (pada satuan pelaksana desa). Kebijakan elit lokal desa karena motif pditik, demi untuk mendapatkan 'hadiah' berupa Program Raksa Desa dan menjadi lokasi pusat kegiatan hari jadi
Kabupaten Sumedang dari
pemerintah kebupaten,
menyebabkan
pemerintah desa harus menyerahkan 'kedaulatan' yaitu dengan menjual tanah properti desa atau carik. Dengan mengusung isu pembangunan jalan to1 Cisumdawu, tanah can& yang mempunyai nilai deposit tinggi- haws dijual dan akibat kebijakan tersebut akhirnya harus dibayar mahal dengan terjadinya konflik sosial antara kelompok yang diuntungkan dengan 'hadiah' dengan kelompok yang tidak mendapatkan apa-apa dari 'hadiah' dan hasil penjulan tanah carik tersebut. Akhirnya konflik tenebut berrnuara kembaU menyebabkan keluarga tidak berdaya dan kebijakan elit lokal desa terhadap pemberlakuan program pemberdayaan menjadi masalah untuk sebagian keluarga, seperti: tidak ada sosialisasi yang merata tentang program yang dilaksanakan oleh d m , peserta program tertutup hanya slntuk lingkaran elit desa atau kroni kuwu, peserta program tidak ditfbatkan datarn proses, adanya lcebtfakan sepihak blrokrasi yang merugikan penerima bantuan Ipeserta program, bunga yang dibebankan sangat memberatkan dan perninjaman modal harus metalui prosedur yang panjang,
tenggat pembayaran yang terlalu pendek, program penuh muatan politis, kesertaan program dibatasi pada tingkat kemapanan usaha, bantuan terbabs untuk usaha ekonomi. Selain itu saat terhimpit ketidakberdayaan ketuarga mempunyai potensi, seperti: semanqat dan kemauan yang tinggi, kerjasama dan saling percaya, lahan pemasaran produk yang terbuka, pengalaman usaha. Selanjutnya beranjak dari ketidakberdayaan dan motivasi potensi permasalahan dan potensi yang teridentifikasi, keluarga memulai proses penumbuhan kelembagaan dan didorong beberapa komitmen yang disebabkan oleh konflik sosial, komitmen-komitmen tersebut adalah: siap berperan dalam program, siap menyisihkan waktu, bersedia menyisihkan materi, mengutamakan dan tidak menelantarkan keluarga. Akhirnya terbentuk kelembagan yang dibutuhkan dan diinginkan yaitu Lembaga Keuangan Mikro Al-Hasanah, yang mempunyai tujuan: anggota sejahtera, gotong royong
meningkat, terhindar jeratan rentenir, media
komunikasi dan konsultasi. Dengan terbentuknya kelembagaan LKM At-Hasanah maka komunitas akan berdaya dengan demikian komunitas siap menerima kebijakan-kebijakan atau program-program yang disiapkan atau diberikan oleh pemerintah baik pada tingkat desa, kebupaten atau provinsi bahkan pemerintah pada tingkat pusat. Alur kerangka pikir kajian tenebut dapat dilihat pada Gambar 1:
Gambar 1: Kerangka Alur Pikir Kajian Pemberdayaan Keluarga Melalui Penumbuhan Kelembagaan Di Desa Legok Kaler KEBUAKAN L O X U Motif Ekonomi; Motif Politik;
,
%
,
x dy v ,
Q PERMASALAHAN
KELUARGA TIDAK BERDAYA
)
I
POTENSI
'
PROSES PENUMBUHAN KELEMBAGAAN: 1. Homogenis Kesertaan Peserta datam Pembentukan Organisasi, 2. Motivasi Pernbentukan Organisasi, 3. Persyaratan Pernbentukan Organisasi, 4. Prioritas yang Dilakukan dalam Pembentukan Organisasi, 5. hoses dan Cara Pernbuatan Aturan Main Organisasi, 6. Eentuk-bentuk Kewngguhanl Keseriusan untuk Membentuk Organisasi, 7. CaraIMekaniwne Pembentukan Organisasi, 8.KegiatanlTahapan yang DilaW datam Pembentukan Organisasi,
TERCAPAI TUJUAN PROGRAM
v KELUARGABERDAYA I
I
KOMUNITAS BERDAYA PEMERlNTAH
PEMERlNTAH