BAG AIMAN A MENG AJ AR AIMANA MENGAJ AJAR TENT ANG NILAI-NILAI: TENTANG Sebuah Pendekatan Analitik Jack R. Fraenkel San Francisco State University Penerjemah: Sarbaini dan Fatimah
Laboratorium Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Dan Unit Mikro Teaching FKIP Universitas Lambung Mangkurat
i
Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT) FRAENKEL, Jack R Bagaimana Mengajar Tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik Jack R.Fraenkel; Penerjemah, Sarbaini dan Fatimah Penerbit: Laboratorium Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan Unit Microteaching FKIP Universitas Lambung Mangkurat. Banjarmasin. Cetakan Pertama. 2012 x + 206 hlm; 15,5 cm x 23 cm ISBN: 602-7762-01-2 ISBN 13: 978-602-7762-01-5 Judul Asli: How To Teach About Values: An Analytic Approach Terbitan Prentice-Hall, Inc.Englewood Cliffs, New Jersey 07632. Cetakan 10. Tahun 1977 ISBN 0-13-435-446-X All right reserve Hak penerjemah dan penerbit dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, tanpa izin tertulis dari penerbit Rancang Sampul : Agvenda Penata Isi: Lusiana Susanti Penerbit: Laboratorium Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan Unit Mikroteaching FKIP Universitas Lambung Mangkurat. Jalan H. Hasan Basry Kayutangi Banjarmasin. Telp/Fax.(0511) 3304914. Email:
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Dicetak oleh: ASWAJA PRESSINDO YOGJAKARTA Anggota IKAPI ii
SEKAPUR SIRIH PENERJEMAH
Alhamdulillah, Puji Syukur ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa atas segala Rahmat, Karunia dan Ridha-Nya. Salawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan pengikut beliau yang konsisten dalam menjalankan sunnahnya. Mudahmudahan segala karya kita di muka bumi ini menjadi bukti jejak-jejak kedirian kita sebagai manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Buku ini terjemahan dari buku “How to Teach about Values: An Analytic Approach”. Buku tersebut ditulis oleh Jack R.Fraenkel dan diterbitkan oleh Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs.N.J. Buku yang diterjermahkan ini adalah buku cetakan ke 10 pada tahun 1977. Dalam menerjemahkan diupayakan sebisa mungkin agar dapat dimengerti para mahasiswa dan guru, serta pada halaman tertentu kadangkala menggunakan nama-nama Indonesia, demi mengakrabkan pembaca dengan materi buku. Penerjemahan dan penerbitan buku ini dimaksudkan, selain untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa sebagai buku referensi dalam mata kuliah Dasar-dasar Pendidikan Moral dan Strategi Belajar Mengajar, juga untuk memenuhi kebutuhan para guru terhadap langkanya buku-buku referensi yang diperlukan untuk pembelajaran berbasis afektif, terutama dalam upaya pembinaan karakter yang terintegrasi dalam materi pelajaran. Karena dalam pembentukan dan pembinaan serta pendidikan karakter, tidak bisa dipisahkan dari pendidikan nilai, moral dan norma sebagai landasannya yang esensial. Materi dalam buku ini sebagian mengutip dan menerjemahkan dari beberapa referensi. Pada bab I, materinya sebagian bersumber dari terjemahan Nilai (Value) dari www.wikipedia.com, dan juga mengutip iii
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
kata pengantar Prof.Dedi Supriadi yang berjudul ‘Pendidikan Nilai; Sebuah Megatrend?’, dalam buku Rohmat Mulyana, “Mengartikulasikan Pendidikan Nilai”. Selain itu, secara keseluruhan dari buku ini, yakni dari Bab II-VII adalah terjemahan dari buku “How to Teach about Values: An Analytic Approach”, tulisan Jack R.Fraenkel, terbitan PrenticeHall, Inc. Englewood Cliffs.N.J pada tahun 1977. Namun demikian pembelajaran yang didesain dalam buku ini masih sarat dengan nilai, moral dan norma yang bernuansa Barat (Amerika). Karena itu diperlukan sikap kritis dan selektif, tetapi secara arif menyikapi dan bijaksana untuk menarik “ibrah” (pelajaran) dari pembelajaran yang ditawarkan, untuk kemudian secara kreatif berupaya mendesain pembelajaran berbasis nilai, moral dan norma yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, agama dan kebudayaan dari bangsa Indonesia sendiri. Semoga buku hasil terjemahan ini dapat berguna bagi pembentukan nilai, moral dan norma, sebagai basis pembentukan dan pembinaan karakter peserta didik dan generasi muda, sehingga terwujud akhlak mulia yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan adil dan beradab, Menjunjung Persatuan dan Kesatuan, Berorientasi pada Kerakyatan atas dasar hikmah, musyawarah dan mufakat, serta mewujudkan Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Banjarmasin, Ramadhan 1433H/Juli 2012M SARBAINI-FATIMAH
iv
KA TA PENG ANT AR KAT PENGANT ANTAR
Buku ditulis untuk para guru, yang ingin menjadi guru, pengembang kurikulum, profesor pendidikan, atau siapa pun yang mungkin berkepentingan dalam pembelajaran tentang nilai-nilai. Saya bermaksud untuk menyampaikan penjelasan yang sederhana dan terus terang tentang beberapa prosedur dan teknik yang saya yakini termasuk dalam pendidikan nilai-nilai. Beberapa prosedur dan teknik itu adalah berlandaskan pada keyakinan dapat mengidentifikasi, menganalisis dan menaksir (menilai) pilihan kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur, dan berkaitan dengan konsekuensi-konsekuensinya, secara cerdas, yakni secara rasional, adalah kemampuan penting untuk dimiliki oleh seluruh orang. Untuk kemampuan itu, seseorang adalah tidak secara sadar terhadap pilihan-pilihan tertentu yang mungkin dikejar dalam suatu situasi yang khusus, atau untuk kemampuan itu, ia dibatasi dalam pilihan-pilihan yang dibuat, di mana pilihan adalah mungkin. Ide-ide dan strategi-strategi yang dikemukakan dalam buku ini, oleh karena itu, didasarkan pada asumsi bahwa analisis yang berkelanjutan dan penaksiran (assessment) terhadap alternatif-alternatif di sekolah-sekolah dapat membantu untuk mengembangkan kemampuan itu. Hal ini bukan untuk mengatakan bahwa identifikasi dan analisis terhadap pilihan-pilihan dan konsekuensi-konsekuensi adalah semuanya untuk pendidikan nilai-nilai. Prosedur-prosedur dan teknik-teknik yang lain, termasuk beberapa yang dianjurkan oleh beberapa orang yang terutama ingin “clarify”(menjelaskan) nilai-nilai dan mengembangkan “moral reasoning” (penalaran moral) adalah bermanfaat untuk dipertimbangkan. Tetapi sedikit, jika tidak beberapa, dari prosedurprosedur dan teknik-teknik yang dikembangkan oleh pendukung v
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
pendekatan-pendekatan itu berupaya untuk menghadapi beberapa pilihan dengan cara berkelanjutan dan jelas dengan penggalian (exploration) dan penaksiran (assessment) terhadap konsekuensi-konsekuensi. Pengalian dan penaksiran adalah penting untuk kecerdasan memilih dari sejumlah alternatif (pilihan), sejak masa lalu, masa kini atau akibat-akibat yang mungkin dari suatu tindakan yang menentukan, kepada suatu yang luas sekali dari hal-hal yang diinginkan. Tujuan utama dari buku ini, seperti setiap hal yang saya tulis, adalah untuk membuat kamu sedikit berpikir. Jika ia berhasil sekaitan dengan itu, buku ini akan memenuhi tujuannya, dan saya akan mempersilahkannya. Jack R. Fraenkel San Francisco, California
vi
DAFT AR ISI AFTAR
Halaman SEKAPUR SIRIH PENERJEMAH .................................................... iii KATA PENGANTAR .............................................................................. v DAFTAR ISI .............................................................................................. vii BABI PENDAHULUAN ..................................................................... 1 A. Keberadaan Nilai ........................................................................... 1 B. Definisi Nilai .................................................................................. 2 C. Sejarah dan Perkembangan Nilai ................................................ 4 D. Kontroversi Nilai ........................................................................... 6 E. Arah Masa Depan Nilai ................................................................ 7 F. Bebas Nilai atau Sarat Nilai ......................................................... 8 Kepustakaan ...................................................................................... 12 BAB II NILAI-NILAI DAN PENDIDIKAN DI SEKOLAH ...... 13 A. Nilai-nilai dan Sekolah ............................................................... 14 B. Apakah Nilai Itu .......................................................................... 20 C. Cara-cara dan Tujuan-tujuan ..................................................... 21 D. Alasan-alasan untuk Menilai ..................................................... 22 E. Konflik Nilai ................................................................................ 23 F. Ide-ide dan Perasaan-perasaan .................................................. 25 G. Latihan-latihan ............................................................................. 26 Kepustakaan ...................................................................................... 30 BABIIIINDIKATOR-INDIKATOR NILAI .................................. 31 A. Tindakan-Tindakan sebagai Tanda dari Nilai-nilai................ 31 B. Kata-kata sebagai Tanda dari Nilai-nilai ................................. 37 C. Tipe-tipe dari Pertimbangan-pertimbangan Nilai .................. 39 D. Tingkatan Nilai ............................................................................ 43 vii
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
E. Latihan-latihan ............................................................................. 48 Kepustakaan ...................................................................................... 50 BABIV KLARIFIKASI NILAI-NILAI .............................................. 51 A. Menjelaskan Respon (Clarifying Response) ................................. 52 B. Lembar-lembar Nilai (Value Sheets) ........................................... 53 C. Peringkat Berjenjang (Rank-Ordering) ....................................... 55 D. Wawancara Umum (The Public Interview) .................................. 59 E. Pemilihan Nilai-nilai (Values Voting) ........................................ 62 F. Kontinuum Nilai (The Value Continuum) .................................. 62 G. Pilih Salah Satu (Either Or Choice) ............................................. 63 H. Kritik ............................................................................................. 64 I. Latihan-latihan ............................................................................. 71 Kepustakaan ...................................................................................... 72 BABV PENALARAN MORAL ......................................................... 73 A. Teori Tahapan Piaget .................................................................. 74 B. Teori Tingkatan Kohlberg .......................................................... 77 C. Mendiskusi Dilema-dilema Moral di Kelas ............................. 85 D. Diskusi-diskusi Moral pada Tingkat Pendidikan Dasar ........ 93 E. Kritik terhadap Teori Tahapan Moral Kohlberg .................... 98 F. Kritik terhadap Berbagai Anjuran Pendidikan yang Didasarkan pada Teori Kohlberg ................................. 104 G. Latihan-latihan .......................................................................... 110 Kepustakaan ................................................................................... 113 BABVI MEMBUAT KESIMPULAN TENTANG NILAI-NILAI ......................................................................... 115 A. Pentingnya Alasan Rasional .................................................... 116 B. Pertanyaan-pertanyaan yang Berfokus pada Nilai-nilai ..... 119 C. Pola-pola Pertanyaan ............................................................... 122 D. Mengidentifikasi Nilai-nilai .................................................... 127 E. Membandingkan dan Membedakan Nilai-nilai .................... 132 F. Mendesain Pembelajaran untuk Mengajak Menilai ............ 135 G. Menggali Perasaan-perasaan ................................................... 143 H. Latihan-latihan .......................................................................... 150 Kepustakaan ................................................................................... 153
viii
Daftar Isi
BABVII ANALISIS NILAI-NILAI ................................................. 155 A. Analisis Pertimbangan-pertimbangan Nilai .......................... 155 B. Beberapa Komentar Mengenai Bukti .................................... 161 C. Menganalisa Konflik Nilai ...................................................... 167 D. Guru sebagai Model ................................................................. 179 E. Memberitahukan Orang-orang Lain Apakah Nilai ............. 185 F. Beberapa Kesimpulan Pemikiran........................................... 188 G. Latihan-latihan .......................................................................... 191 Kepustakaan ................................................................................... 193 BIBLIOGRAFI ...................................................................................... 195 BIODATA PENULIS .......................................................................... 205
ix
x
BAB I PEND AHUL UAN PENDAHUL AHULUAN
A. Keberadaan Nilai Dalam kehidupan manusia, tidak bisa lepas dari nilai-moral-norma. Di mana ada kehidupan manusia, di situ sarat dengan muatan nilai-moralnorma. Nilai-moral-norma dapat dilihat dari perspektif sosiologis, antropologis, politis dan ekonomis. Pada setiap bangsa, masyarakat, suku dan keluarga ditemui beragam nilai-moral-norma. Lazim setiap nilaimoral-norma bersumber pada agama, budaya, hukum, ilmu, dan metafisis yang bersumber dari bangsa, masyarakat, suku dan keluarga yang bersangkutan. Karena itu, untuk Indonesia khususnya, dalam kehidupan manusianya, eksistensi nilai-moral-norma yang dianut dan diyakini, tidak selalu berpijak pada nilai-moral-norma melulu hanya pada rasionalitas, yang mengacu kepada prinsip-prinsip logika, ilmu dan ilmiah. Tetapi pada masyarakat tertentu, nilai-moral-norma juga bersumber pada agama, budaya, hukum dan metafisis masih dominan dianut. Idealnya basis nilaimoral-norma dalam hidup adalah agama, berikut kebudayaan, hukum dan ilmu serta metafisis. Nilai-nilai memang sukar untuk dipelajari dan tetap melahirkan pertanyaan, seperti apakah mereka “nyata”, apakah mereka sesungguhnya dapat menunjukkan penyebab pengaruh terhadap perilaku. Masih banyak dalam kehidupan sehari-hari memberikan istilah terhadap nilai-nilai dari etika, hukum, religi, politik, seni, membesarkan anak, dan banyak lagi. Keputusan nilai abstrak nampaknya terwujud dalam reaksi-reaksi yang berani bahwa sesuatu adalah benar, moral, atau kelaziman versus salah, immoral, atau tidak lazim. Cara yang lain untuk ”melihat” nilai-nilai dalam tingkah laku adalah pada kultur-kultur atau sub-sub kultur yang 1
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
berlawanan terhadap apa yang dipandang sebagai benar, kelaziman, atau moral. Secara implisit atau eksplisit kita mengevaluasi dan menentukan nilai untuk setiap hal - menganggap sesuatu sebagai hal yang baik atau buruk, benar atau salah, kebaikan atau keburukan. Bagaimana kita mengetahui? Satu cara yang penting adalah melalui nilai-nilai. Nilai-nilai dapat dipikir sebagai prioritas, batas atau batu loncatan internal untuk tingkah laku kewajiban-kewajiban. Dengan cara itu, nilai-nilai atau adat-istiadat adalah panduan-panduan implisit atau eksplisit untuk tingkah laku. Naskah-naskah umum membingkai tentang apa yang seharusnya dan apa yang dihindari.
B. Definisi Nilai Teori-teori modern dari nilai-nilai adalah lahir dari kerja Kohn (kelas dan nilai-nilai), Rokeach (sistem-sistem nilai general), dan Kluckhohn (level kelompok). Nilai-nilai dapat dikonseptualissi pada level individual dan kelompok. Pada level individual, nilai-nilai diinternalisasi perwakilanperwakilan-perwakilan sosial atau keyakinan-keyakinan moral yang menyeru orang agar pada akhirnya berpikir mengenai alasan bagi tingkahtingkah mereka. Walaupun para individu dalam masyarakat kemungkinan relatif untuk berbeda penting untuk memberikan nilai-nilai khsus; nilainilai adalah internalisasi dari tujuan-tujuan sosiokultural yang memberikan cara-cara untuk mengendalikan diri dari dorongan-dorongan yang akan berakibat memberikan individu-individu dalam konflik dengan kebutuhan-kebutuhan dari kelompok-kelompok dan struktur-struktur di mana mereka hidup. Jadi, pembahasan dari nilai-nilai adalah bertalian yang dekat sekali dengan kehidupan sosial. Pada level kelompok, nilainilai adalah naskah-naskah atau ide-ide kultural yang dianggap kebiasaan oleh anggota-anggota dari kelompok; ‘pikiran sosial’ kelompok. Perbedaan-perbedaan dalam berbagai ide-ide kultural, khususnya dengan komponen-komponen moral, menentukan dan membedakan sistemsistem sosial. Dalam pengertian Protestan Weber ’etika’ dan ‘spirit’ dari kapitalisme yang melukiskan sistem-sistem nilai. Nilai-nilai, yang individu-individu rasakan, mereka memberikan kesetiaan sebagai anggota dari kelompok sosial atau masyarakat tertentu, dilihat sebagai perekat yang membuat kehidupan sosial mungkin dalam kelompok-kelompok. Namun, mereka juga merupakan serangkaian tahapan bagi pergesekan-pergesekan dan konsensus yang kurang 2
Pendahuluan
harmonis dalam interaksi interkelompok. Nilai-nilai dengan demikian adalah inti dari kegiatan manusia; dilekatkan dalam sistem sosial, mereka adalah apa yang membuat tatanan sosial menjadi mungkin dan tetap berubah. NIlai-nilai bukan sifat-sifat individu yang khas; mereka adalah kesepatakan-kesepakatan sosoal tentang mengenai apa yang benar, baik, untuk menjadi dihargai, diharapkan, diinginkan, diyakini dan dipatuhi. Apakah yang lazim dari semua fenomena nilai? Pada level individu, nilai-nilai berisi elemen-elemen kognitif dan afektif dan bersifat selektif serta berhubungan dengan kualitas; mereka diinternalisasi. Pilihan, keputusan dan tingkah laku dijelaskan secara lazim dalam istilah nilainilai. Para individu menempatkan nilai-nilai sebagai bagian dari sosialisasi dalam keluarga, kelompok dan masyarakat. Nilai-nilai adalah diasumsikan secara relatif berkembang sepanjang waktu. Memang, nilainilai secara individual diabsahkan dan sangat diterima oleh individu untuk memprediksi bahwa perilaku individual. Sebaliknya, bahkan secara personal menyokong nilai-nilai yang tidak akan mempengaruhi tingkah laku ketika nilai-nilai tidak menonjol bagi individu pada waktu bertingkah laku. Selain itu, dalam berbagai situasi yang diberikan lebihdari atu secara personal menyokong nilai yang mungkin dilakukan, dan kepantasan pilih berperilaku untuk satu nilai mungkin berlawanan dengan kepantasan pilihan berperilaku terhadap nilai yang lain. Nilai-nilai adalah prinsip-prinsip ketentuan atau umum yang memandu tingkah laku, mereka bukanlah tindakan-tindakan itu sendiri atau daftar pedoman khusus dari apa yang dilakukan dan kapan dilakukan. Jadi, dua masyarakat dapat memiliki nilai tetapi amat berbeda dalam norma mereka sebagai apa yang mereka miliki, bagaimana untuk memilikinya, dan kapan mengejar untuk memilikinya secara pantas. Nilai-nilai mendasari sanksi-sanksi untuk beberapa pilihan berperilaku dan memberikan ganjaran terhadap orang-orang lain. Sistem nilai menyediakan apa yang diinginkan dan diharapkan untuk, apakah diwajibakan atau dilarang. Hal itu bukan laporan dari perilaku sesungguhnya, tetapi sistem dari kriteria melalui mana perilaku dinilai dan sanksi-sanksi diterapkan. Nilai-nilai bagi suka dan tidak suka, apa yang dirasa menyenangkan dan tidak menyenangkan, dana apa yang dianggap sukses atau kegagalan. Nilai-nilai dan sistem-sistem nilai sering dilahirkan sebagai alasan-alasan untuk bertingkah laku; sebagai contoh, nilai-nilai dari kemerdekaan dan 3
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
persamaan dibangkitkan untuk memperoleh dukungan orang Amerika untuk gerakan-gerakan Hak-hak Sipil. Nilai-nilai berbeda dari tujuan di mana nilai-nilai diberikan rasional umum untuk tujuan-tujuan yang lebih spesifik dan motivasi pencapaian dari tujuan-tujuan melalui metodemetode yang khusus.
C. Sejarah dan Perkembangan Nilai Dipandang pada awalnya dengan kecurigaan oleh para saintis sosial Barat sebagai hal yang amat subjektif untuk studi saintifik, konsep dari nilai-nilai ditemukan meningkat digunakan mulai dengan The Polish Peasant in Europe and America (Thomas and Znaniecki, 1921. Dorongan untuk mempelajari nilai-nilai kultural muncul dari kerja Alfred Kroeber, Cylde Kluckhohn, Talcott Parsons, Charles Morris, Robert Redfield, Ralph Linton, Raymond Firth, A.I.Hallowell, dan yang lebih mutakhir Milton Rokeach dan ShalomSchwartz. Kluckhohn dan Strodtbeck (1961) mengusulkan bahwa sistem nilai kultural merupakan variasi-variasi himpunan orientasi-orientasi nilai dasar yang mengalir dari jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan dasar tentang: (a) Apakah sifat dasar manusia - buruk, netral, campuran, atau baik? (b) Bagaimana kita berhubungan dengan alam atau supernatural - takluk, harmoni, atau menguasai? (c) Apakah sifat dasar dari waktu - masa lalu, masa kini, masa depan? (d) Apakah sifat dasar dari aktivitas manusia - ada, ada-menjadi, berbuat? (e) Apakah sifat dasar dari hubungan kita dengan orang lain - bekerja sama secara vertikal, horisontal atau kita sama sekali terpisah secara individual? Kluckhohn dan Strodtbeck (1961) juga menyusun sistem untuk membanding nilainilai dalam istilah-istilah level mereka untuk generalisasi dan fungsi dalam wacana ilmiah dan perilaku, mengusulkan bahwa nilai-nilai cocok ke dalam piramida generalisasi yang menaik. Untuk setiap masyarakat, beberapa nilai pokok dan lisan diusulkan untuk diangkat sebagai himpunan saling ketergantungan dari apa yang membuat untuk “kehidupan yang baik”. Hal itu termasuk dasar-dasar pikiran yang tidak perlu dipertanyakan, mengabsahkan sendiri terhadap sistem nilai dan definisi-definisi dasar dn istilah-istilah nilai secara umum; sebagai contoh, kebahagiaan, kebaikan, kecantikan, dan moralitas. Sejak orang peneliti-peneliti Amerika mendominasi penelitian nilainilai, banyak kerja awal difokuskan untuk mendokumentasikan nilai4
Pendahuluan
nilai Amerika. Kebutuhan untuk berprestasi sebagai nilai-nilai Amerika, dan perhatian terhadap kemunduran di tengah orientasi yang muncul lebih awal tahun 1944 (Spates, 1983). Studi-studi nilai mendokumentasi pengaruh dari pendidikan, usia, tipe dari pekerjaan, dan status sosioekonomi terhadap pilihan-pilihan nilai dari orang Amerika, ditambahkan oleh tesis Weber terhadap pengaruh religi (Protestan versus Katolik) terhadap nilai prestasi dan kerja di Erofah. Kohn (1977) yang bertanggungjawab untuk sejumlah survai-survai nilai-nilai yang penting mendokumentasikan bahwa dalam berbagai negara Erofah dan Amerika Serikat, para orang tua dari status sosioekomi yang lebih tinggi nilai pengendalian diri dari anak-anak lebih dari para orang tua yang tingkat pekerjaan dan pendidikan yang lebih rendah. Beberapa temua telah diverifikasi secara lintas-nasional dari 122 masyarakat. Memperpanjang dokumentasi nilai-nilai Amerika, Rokeach (1973) secara empirik memvalidasi 36 nilai-nilai yang berkaitan dengan pernyataan-pernyataan yang akhirnya dipilih dan cara-cara yang dipilih untuk berperilaku. Menggunakan skala Rokeach, perbedaan-perbedaan nilai berkaitan dengan kelas, usia, ras, subkultur, dan level dari perbedaan-perbedaan telah didokumentasi di banyak negara. Dibangun dari Rokeach, Schwartz (1922) menggambarlan nilai-nilai sebagai caracara untuk mengartikulasikan syarat-syarat universal dari keberadaan manusia - untuk bertahan hidup secara fisik, perubahan wadah sosial, dan memberikan keberlanjutan kelompok. Bagi Schwartz, nilai-nilai menggambarkan operasionalisasi-operasionalisasi dari berbagai kebutuhan seperti tujuan-tujuan yang pantas bersama dalam kelompokkelompok yang penuh arti (prestasi, pengendalian diri, stimulasi, hedonisme, universalisme, kebajikan, tradisi, konformitas, keamanan, dan kekuatan). Beberapa kelompok adalah harmonis (seperti stimulasi dan hedonisme), dan yang lain bersaing (seperti, pengendalian diri dan konformitas). Menggunakan sebagian besar data dari para guru dan mahasiswa perguruan tinggi terutama di 20 negara Barat. Schwartz menunjukkan bahwa dengan pengecualian terhadap Cina, nilai-nilai spesifik sebagian besar diharapkan dilakukan secara “kelompok” dan “lengkap”. Hingga, “kejujuran”, “pemaaf ”. “suka menolong” kelompok bersama sebagai “kebajikan”, dan “pengendalian diri” dan “stimulasi” kelompok yang jauh dari “konformitas”, “tradisi” dan “keamanan”. Beberapa data 5
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
menyatakan penting secara universal untuk bagaimana nilai-nilai ditata secara lintas-kultural dan bahwa masyarakat-masyarakat berbeda dalam kelompok-kelompok dari nilai-nilai yang menonjol dalam kehidupan publik.
D. Kontroversi Nilai Kunci ketegangan dalam literatur nilai-nilai berfokus pada kondisikondisi di dalam mana mereka mempengaruhi perilaku, dan tingkat yang pantas untuk menganalisis nilai-nilai yang nampak dalam perilaku. Minat penelitian yang terfokus pada nilai-nilai berkurang pada masa lalu seperti setiap paradigma untuk mempelajari nilai-nilai yang dikritisi untuk kurang spesifiknya penemuan-penemuan, sebagai seharusnya untuk nilai-nilai an bukan norma-norma sosial, sikap-sikap atau paksaan-paksaan situasional. Psikologi kultural mutakhir memfokuskan perhatian pada struktur sosial sebagai gudang dari nilai-nilai seperti kemerdekaan pribadi, keharmonisan kelompok, kebahagiaan pribadi, dan kewajiban atau berhubungan dengan kealiman. Bagaimanakah kita mengetahui bahwa nila-nilai ada? Sejumlah pilihan-pilihan tersedia: (a) Kesaksian individu - orang mengatakan apa nilai-nilai yang mereka anut. Namun, laporan-laporan diri dari nilai-nilai adalah subjek untuk menyatakan akibat-akibat konteks (lihat Sikap-sikap dan Perilaku), (b) Pilihan-pilihan perilaku - apakah dalam suasana alamiah atau laboran, perbedaan-perbedaan nilai mungkin dikaitkan dengan perilaku. Akan tetapi, perilaku adalah dipengaruhi oleh berbagai variabel lain selain nilai-nilai. Pada tingkat individu, nilai-nilai itu sendiri diasumsikan berjalinkait dengan perilaku-perilaku melalui pengaruh mereka dari norma-norma dan sikap-sikap, tetapi orang mungkin menyimpulkan nilai-nilai mereka dari perilaku mereka, membalikkan hubungan sebab-akibat, (c) Struktur sosial dan kultural - pengeluaran dari sumber-sumber, waktu, energi dan struktur dari lingkungan alamiah; produk-produk kultural dapat dilihat sebagai sisa kongkrit dari pilihanpilihan berbasis nilai, (d) Perubahan wadah sosial - pengamatan terhadap perilaku dalam situasi-situasi dari konflik, dan pengamatan secara lebih umum dari apa yang telah diganjar dan dihukum, dipuji atau dijelekkan memberikan data untuk mengidentifikasi apa yang dinilai secara sosial. Di sini, banyak, pertanyaan yang tepat muncul untuk membuktikan. Untuk tingkat apakah hal itu pantas berasumsi bahwa perbedaan dalam 6
Pendahuluan
berbagai masyarakat dan struktur sosial adalah bukti dari perbedaanperbedaan nilai. Secara politik dan ekonomi berpengaruh dan benarbenar lembam mungkin himpunan tahapan dari perilaku-perilaku, tanpa pengaruh sebab-akibat yang memerlukan nilai-nilai.
E. Arah Masa Depan Nilai Pandangan-pandangan lintas-kultural sekarang ini menjadi meningkat di tengah diskusi nillai-nilai. Sebagai contoh, Inglehart (1990) mendokumentasi nilai-nilai dan nilai berubah dalam studi multinasional yang luas, dan jumlah besar dari studi perbandingan dua bangsa telah tumbuh. Topik penting yang lain dari penelitian adalah hubungan antara nilai-nilai dari individu-individu, nilai-nilai dari kelompok-kelompok subkultural, dan nilai-nilai dari sistem kultural yang lebih luas dan metodemetode untuk mengidentifikasi dan mempelajari setiap nilai-nilai itu. Barangkali ditambahkan untuk mengidentifikasi perbendaharaan nilai pada setiap level, adalah waktu untuk mengawali pertanyaan apakah nilai-nilai tepat dipelajari sebagai sifat-sifat yang menentukan terahdap individu-individu atau ditanamkan oleh kelompok-kelompok, dan untuk apakah tingkat penelitian nilai-nilai adalah sinonim dengan penelitian kultural dan lintas-kultural. Telah dikemukakan beberapa perilaku tertentu penting dipengaruhi melalui efek-efek suasana yang membuat informasi penting yang dapat dipercaya pada waktu bertindak, hal itu bukan kejutan bahwa efek-efek dari nilai individual mengabsahkan perilaku yang ‘kadang-kadang kamu melihatnya, kadang-kadang kamu tidak’ memiliki sifat tentang mereka. Tetapi memfokuskan pada dukungan individu terhadap nilai-nilai mungkin banyak melalaikan kekuatan dari sistem-sistem nilai yang mempengaruhi kehidupan setiap hari. Ini membuat individu-individu mungkin tidak membutuhkan dukungan secara personal atau nilai-nilai tertentu yang penting agar pengaruh mereka dirasakan. Pengaruh yang amat dasar dari nilai-nilai yang melalui cara-cara, yakni mereka mempengaruhi peraturan-peraturan, norma-norma, prosedur dalam masyarakat, dan pilihan-pilihan struktur cara hidup setiap hari dari individu-individu dalam masyarakat. Jika para peneliti sebelumnya mendokumentasi nilai-nilai menggunakan teknik-teknik survei untuk menilai tingkatan beberapa nilai individu-individu yang penting untuk mereka, maka di masa depan 7
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
menaksir nilai-nilai mungkin membutuhkan pertimbangan pendekatanpendekatan yang lebih tidak langsung, seperti apakah layanan-layanan masyarakat yang diberikan kepada anggotanya, perilaku-perilaku apakah yang diberikan ganjaran atau diberi sanksi dan seterusnya.
F.
Bebas Nilai atau Sarat Nilai
Pada beberapa dasawarsa terakhir, terjadi kecendrungan baru di dunia, yaitu, tumbunya kembali kesadaran nilai. Kecendrungan ini terjadi secara global yang dapat digambarkan sebagai sebuah titik balik dalam peradaban manusia. Di mana-mana orang berbicara tentang nilai dan dalam banyak kesempatan tema-tema tentang nilai atau yang terkait dengan nilai dibahas. Bahkan untuk bidang yang sebelumnya dianggap “bebas nilai “ (value-free) sekalipun, kedudukan dan peran nilai makin banyak diangkat. Misalnya, orang sekarang hampir tidak pernah lagi berbicara sains yang bebas nilai. Bahkan di kalangan saintis, dalam pengertian ilmu-ilmu alam, sekarang mulai ada rasa malu untuk berbicara tentang ilmu yang bebas nilai, sesuatu yang hingga tahun 1970an masih sering dikatakan. Sekarang mereka hampir sepakat untuk menyatakan “there is no such thing the so-called ‘value-free science”. Sebaliknya mereka berbicara tentang sains yang bermuatan nilai (values-laden sccience), di titik manapun nilainilai melekat. Kalau bukan pada eksperimennya di laboratorium, maka nilai akan muncul pada saat keputusan untuk melakukan eksperimen itu, memilih metode ini, dan apalagi pada saat mengaplikasikan hasilhasil riset itu dalam teknologi. Riset dalam bidang eugenetika, misalnya, sejak awal sudah bergumul dengan persoalan nilai. Masuknya nilai-nilai memberikan moralitas pada riset ilmiah, sebuah isu yang praktis diabaikan di bawah bendera sekularisasi sains. Hal yang sama terjadi pada ilmu-ilmu sosial yang memang karakternya sangat kental bermuatan nilai yang melekat pada budaya. Jarang sekali sekarang ilmuwan sosial yang mengklaim bahwa bidang ilmu atau kajiannya bebas nilai atau bebas budaya. Dalam psikologi, misalnya, sulit menemukan lagi ahli pengukuran yang berani mengklaim tes yang bebas budaya (culture-free test), paling-paling yang ada adalah test yang adil budaya (culture-fair test). Sebuah tes psikologi, secara implisit akan selalu membawakan ruh atau nilai budaya dari mana test itu berasal. 8
Pendahuluan
Sebuah revolusi pemikiran diajukan oleh Fritjof Capra (1998) melalui bukunya, Titik Balik Peradaban (The Turning Point; Science, Technology and The Raising Culture), salah satu di antara sejumlah buku yang sangat berpengaruh saat ini. Capra, seorang fisikawan terkemuka Austria, mengeritik habis paradigma Newtonian yang mekanistik-eksploitatif dan paradigma dualistik Cartesian yang dominan selama lima abad terakhir dan menjadi fondasi bagi sainsme teknologi, ekonomi,kedokteran bahkan psikologi modern. Bila kedua paradigma tersebut tetap digunakan sebagai jangkar bagi sains dan teknologi masa depan, maka ia melihat adanya bahaya besar bagi masa depan kehidupan manusia di bumi. Karena itu, ia mengusulkan dikembangkannya apa yang disebut ”Visi Realitas Baru”, yang antara lain berintikan pandangan hidup sistem dan keutuhan. Capra mengamati, sejak beberapa tahun terakhir, perubahan ke arah itu secara perlahanlahan tetapi pasti telah berlangsung, dan makin lama makin dahsyat. Ini merupakan sebuah “titik balik” dalam peradaban manusia yang mewakili tumbuhnya kesadaran baru dalam kehidupan yang sarat nilai. Kiranya,pengamatan Capra tersebut sejalan dengan teori Stephen Wolfram dalam bukunya, The New Kind of Science (2000). Dalam buku ini, yang juga dianggap salah satu buku paling berpengaruh di dunia saat ini, Wolfram secara mengejutkan menyatakan bahwa sains masa depan tidak akan lagi bertumpu pada kepastian-kepastian dan objektivitas sebagaimana berlaku selama lima abad terakhir, melainkan akan bertumpu pada komppleksitas; bukan pada matematika yang dipahami sekarang, melainkan pada apa yang ia sebut cellurar automata. Di sinilah kita melihat pandangan Capra berjumpa dengan teori Wolfram dan bersua dengan teori kompleksitas dan ketidakpastian yang juga sekarang sedang banyak dibahas di dunia. Titik balik lain yang menempatkan isu-isu tentang nilai sebagai fokus perhatian adalah populernya kecerdasan emosional (Emotional Intellgence) dan kecerdasan spiritual (Spiritual Intellegence) yang mengambil alih popularitas kecerdasan intelektual atau lazim disebut Intelllegence Quotient, yang mendominasi arena psikologi sejak dasawarsa kedua abad ke-20. Dalam beberapa tahun terakhir, bahkan berkembang menjadi kecerdasan majemuk (Multiple Intellegence) yang dipopulerkan oleh Howard Gardner dari bukunya Frames of Mind (1983) sebagai kelahiran teori kecerdasan majemuk. Kecerdasan majemuk tersebut terdiri dari 9
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
kecerdasan matematika, kecerdasan bahasa, kecerdasan ruang, kecerdasan kinestika, kecerdasan musik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan antarpersonal. Bahkan muncul lagi istilah kecerdasan moral, dipublikasikan oleh Michle Borba dalam bukunya “Building Moral Intellegence” (2001). Bahwa kecerdasan-kecerdasan yang telah dikemukakan menunjukkan begitu besarnya potensi otak manusia dengan segala kecerdasannya, dan masih banyak peluang untuk melahirkan bentuk kecerdasan lain-lain, misalnya kecerdasan nilai (Value Intellegence). Perkembangan dari majemuknya kecerdasan pada diri manusia, menunjukkan titik baik pada berpindahnya titik tumpu dari sumbu “semata kecerdasan kognitif” bergeser pada “kecerdasan majemuk” dan khususnya “kecerdasan spiritual”. Orang rindu kembali untuk melihat sebuah titik dalam diri manusia yang oleh Jean Paul Sartre disebut ”God spot”, sebuah ruang yang berisi keyakinan akan Sang Maha Pencipta. Telah terjadi gelombang balik yang dapat disebut sebagai sebuah megatrend dengan kembalinya orang menuju Tuhan. Fenomena ini terjadi pada berbagai agama, di Barat dan di Timur. Inti persoalannya adalah nilai, yakni tema-tema sentral makna kehidupan yang sering diperbincangkan, tetapi belum digarap serius dalam pendidikan. Dalam beberapa tahun terakhir, memang ada arus pemikiran dan kebutuhan baru dalam dunia pendidikan untuk memberikan perhatian yang proporsional terhadap dimensi-dimensi afektif dari tujuan pendidikan, bersama-sama dengan aspek pengetahuan dn keterampilan. Sejak akhir dasawarsa 1970-an, para ahli pendidikan mulai secara sungguh-sungguh mengembangkan teori pendidikan yang memberikan perhatian pada aspek nilai dan sikap. Dalam referensi Barat, gerakan itu ditandai dengan munculnya teori yang dikenal dengan confluence education, affective education, atau values education. Dalam hal tertentu berkaitan dengan character education, moral education,dan spiritual education, karena materinya lazim berbasis nilai. Di Indonesia, dasar dari pendidikan nilai berakar pada UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan dan tanggap terhadap tuntunan perubahan zaman (pasal 1 ayat 2 UU SPN 2003). Sedangkan Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan da membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi 10
Pendahuluan
warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (pasal 3 UUSPN Tahun 2003). Pendidikan adalah proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik (pasal 4 ayat 3 UUSPN Tahun 2003). Pendidikan nilai berperan dalam membentuk watak dan kehidupan bangsa yang potensial dan bangsa yang bermartabat dan beradab yang berlandaskan 10 nilai luhur budaya bangsa Indonesia (value based and claims), iman, takwa, akhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis dan bertanggungjawab. Kecendrungan ke arah berkembangnya Pendidikan Nilai di Indonesia mulai populer di tahun 1970 an dengan dikembangkannya Pendidikan Humaniora, yang kemudian disusul dengan populernya Pendidikan Nilai (Values Education). Populernya Pendidikan Nilai berkaitan erat dengan berkembangnya paradigma baru dari ahli pendidikan yang ingin memadukan nilai dengan ilmu selaras dengan paradigma ilmu tidak bebas nilai tetapi sarat dengan nilai, bahkan mensintesakannya dengan nilai-nilai agama. Akibatnya terjadi degradasi moral dan nilai dalam perilaku manusia. Beberapa dasawarsa terakhir, para ahli pendidikan sains mengembangkan teori-teori dan pendekatan yang menghubungkan sains dengan lingkungan yang dikenal dengan Sains, Teknologi dan Masyarakat (Science, Technology, and Society=STS). Di antara strateginya adalah dengan memberikan muatan nilai pada sains. Nilai yang dimaksud dapat berupa nilai budaya dan nilai etikmoral, termasuk nilai moral keagamaan. Hal ini disebabkan karena sains dan teknologi (sebagai penerapannya) mempunyai implikasi sosial dan moral yang luas. Jadi sains dan teknologi tidak lagi bebas nilai, melainkan justru terikat pada nilai (values-laden), bahkan berkaitan dengan budaya (culturally bound). Oleh sebab itu, dikembangkan apa yang disebut dengan “values-laden science education”, yaitu pendidikan sains yang bermuatan nilai. Bukan hanya nilai, melainkan nilai keagamaan. Dan sekali lagi, ini merupakan fenomena global. Bahkan di negara yang dianggap sangat sekuler sekalipun, seperti Inggeris, perhatian terhadap pendidikan nilai melalui sekolah semakin tumbuh. Sejak tahun 1978, kurikulum pendidikan sains di negara tersebut mulai memasukkan tema yang disebut “keberagamaan kehidupan” mendahului tentang Teori Evolusi. Di negara-negara maju lainnya, yakni dengan munculnya istilah “spiritual education” atau “spiritual parenting”, kalangan ahli pendidikan mulai secara sungguh-sunguh menoleh peranan pendidikan nilai, khususnya berbasis nilai keagamaan dalam menciptakan dunia yang lebih baik pada hari esok, di tengah-tengah fenomena degradasi moral di kalangan masyarakat. 11
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
Untuk menyongsong fenomena demikian, maka dikehendaki para guru berperanserta dalam pendidikan nilai dalam rangka pembinaan karakter peserta didik. Untuk dalam pembelajaran nilai, moral dan karakter, seyogyanya terhadap peserta didik dalam pembelajaran dihadapkan pada berbagai pilihan dengan cara yang komprehensif. Untuk itu tentunya akan membutuhkan beberapa prosedur yang dapat mereka gunakan untuk menolong peserta didik dalam mengembangkan intelektual dan emosional mereka. Materi dalam buku ini akan memberikan beberapa prosedur tersebut. Bab III, mendiskusikan bentuk dari indikator-indikator nilai. Untuk melihat kelayakan dengan beberapa ide dari apa yang orang nilai. Bab IV, menguraikan pendekatan dari pendidikan nilai yang dikenal sebagai klarifikasi nilai dan membahas kelebihan-kelebihan dan kelemahan-kelemahan. Bab V, menguraikan dan mendiskusikan pendekatan “pertimbangan moral” yang didasarkan pada karya Lawrence Kohberg dan Jean Piaget. Bab VI, kemudian menguraikan beberapa tambahan ide-ide dan strategi untuk para guru agar mempertimbangkan bentuk-bentuk di atas atau melaksanakan di luar dari teknik-teknik yang digambarkan dalam Bab IV dan V. Terakhir, Bab VII memberikan sedikit keterampilan-keterampilan yang para guru akan butuhkan guna melibatkan peserta didik pada prosedur-prosedur dan strategi yang diuraikan pada Bab IV dan VI.
KEPUSTAKAAN Djahiri, A. Kosasih (1985). Strategi Pembelajaran fektif Nilai Moral dan Games Dalam VCT, Bandung, Lab PMPKN IKIP. Bandung. Djahiri, A. Kosasih.(1990). Menelusuri Dunia Afektif; Lab.PPKN UPI Djahiri, A. Kosasih (2008), Esensi Pendidikan Nilai Moral dan PKN di Era Globalisasi. http://gurupkn.wordpress.com. Sauri, Sofyan. (2009). Implementasi Pendidikan Nilai dalam Pedagogik dan Penyusunan Unsur-unsurnya. Bandung: SPs PU UPI. Supriadi, Dedi. (2004). “Pendidikan Nilai; Sebuah ‘Megatrend?”, dalam Rohmat Mulyana (2004) Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta. 12
BAB II AN PENDIDIKAN DAN NILAI-NILAI D DI SEK OLAH SEKOLAH
¾ Di Chicago, Illionis, guru biologi membedah seekor katak di depan peserta didik kelas 10. ¾ Di San Francisco, California, guru matematika dalam mengajar di kelasnya meletakkan keindahan dalam membuat bentuk-bentuk geometri. ¾ Di Atlanta, Georgia, guru tingkat 4 mewajibkan peserta didik, agar mengangkat tangan mereka, sebelum mereka berbicara dalam diskusi di Fremont, Nebraska, guru studi sosial meminta dengan tegas agar peserta didik menunjukkan fakta-fakta dalam diskusi mereka tentang sebab akibat dari perang Spanyol-Amerika. ¾ Di Albuquerque, New Mexico, guru SMP menyediakan satu pertemuan dalam seminggu, untuk membahas topik-topik seperti alienasi, kemiskinan, kejahatan dan penyelahgunaan obat-obatan untuk peserta didik kelas 8 dalam literatur Amerika. ¾ Di Boston, Masschusetts, guru TK memeriksa setiap hari peranan pertemuan-pertemuan di mana peserta didik duduk dalam lingkaran dan mencoba berkata “sesuatu yang manis” terhadap seseorang yang duduk di sebelah kiri dan kanan mereka. Tiap peristiwa di atas memperlihatkan guru bekerja. Peristiwaperistiwa tersebut memberikan pandangan singkat kepada kita tentang seseorang, dengan satu atau beberapa cara yang lain, sebagai kegiatan “mengajar”. Setiap peristiwa mengatakan kepada kita tentang seseorang sebagai insan manusia. Tiap individu, sudah pasti, dalam pikiran mempunyai tujuan atau sasaran yang ia coba untuk selesaikan. Tujuan13
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
tujuan yang dimiliki seseorang, menyatakan pada kita sesuatu hal tentang apa yang disebut “nilai-nilai pribadi”, apa yang seorang anggap penting dalam hidup. Jadi tiap sketsa peristiwa yang telah dikemukakan, memberikan kepada kita beberapa ide (meskipun tidak dapat disangkal sebagai sesuatu yang sederhana sekali) dari nilai-nilai yang diajarkan oleh guru.
A. Nilai-nilai dan Sekolah Mengajar adalah kegiatan yang diorientasikan pada nilai. Mengajar nilai-nilai dalam kenyataan adalah tidak dapat dihindarkan. Semua aktivitas dalam mana para guru terlibat, seperti meminta peserta didik untuk membaca buku-buku mereka, pengaturan dan penentuan tempat duduk, topik-topik yang dipilih untuk didiskusikan, gaya dalam berdiskusi dengan peserta didik, film-film dan rentetan foto film yang dipilih, pembicara-pembicara yang diundang, film-film yang dianjurkan dan dimainkan, tugas-tugas yang guru berikan dan ujian-ujian mereka persiapkan. Semuanya memberi kesan bahwa para guru menggarap beberapa ide, peristiwa, individu dan perilaku lebih penting dari yang lain, serta bagi peserta didik untuk dipertimbangkan. Nilai-nilai tidak hanya diajarkan, tetapi juga ditumbuhkembangkan, demikian pula di sekolah-sekolah secara keseluruhan. Seperti John Childs (1950, 17-19) pernah mengemukakan bahwa organisasi dari sistem sekolah adalah berada dalam kegiatan moral itu sendiri, untuk menunjukkan upaya sengaja dari masyarakat manusia untuk mengontrol evolusi masyarakat itu sendiri. Nilai-nilai dengan jelas meresap dalam kurikulum “formal” sekolah adalah direncanakan secara sengaja untuk pengalaman-pengalaman, yang didesain dan diharapkan untuk dilaksanakan, meskipun tidak selalu dinyatakan secara jelas, tujuan-tujuan dari berbagai bidang kurikulum. Bagaimanapun, nilai-nilai juga adalah bagian dari “kurikulum tersembunyi” merupakan pengalaman yang tidak direncanakan dan sering hasilnya tidak seperti diharapkan dan kadangkadang tidak diharapkan bagi peserta didik untuk pelajari. Pertimbangkan hal berikut: ¾ Di Des Moines, Iowa, beberapa peserta didik memakai sabuk-sabuk lengan hitam untuk satu hari sebagai simbol protes terhadap perang Vietnam. Bila diminta untuk melepaskan sabuk-sabuk lengan, peserta didik menolak dan menundanya. 14
Nilai-nilai dan Pendidikan di Sekolah
¾ Di San Jose, California, peserta didik menggunakan hak untuk mendaftar masuk di sebuah sekolah dari beberapa SMA di kota. Petugas sekolah memberitahu bahwa peserta didik tersebut tidak dapat didaftarkan hingga panjang rambutnya sesuai dengan ketentuan sekolah yang menyatakan: “Rambut peserta didik tidak jatuh ke bawah di depan mata dan tidak akan menutupi telinga serta tidak akan sampai ke bawah kerah baju di belakang”. ¾ Di Washington DC, guru pembimbing sekolah menegur seorang anak pria dan anak wanita, tidak boleh berjalan melewati ruangan dengan tangan bergandengan, sebab itu tidak baik. ¾ Di Seatle, Washington, guru kelas 4 meminta dua peserta didik untuk lebih berpartisipasi dalam diskusi-diskusi dan “berbicara terus terang di dalam kelas”. Para orang tua peserta didik yang beragama Budha, melakukan protes terhadap anak-anak mereka yang diberi ganjaran di rumah untuk tafakur (berpikir mendalam). ¾ Di Tofeka, Kansas, guru pendidikan jasmani mencegah seorang peserta didik untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan olah raga, sebab peserta didik itu menolak untuk mandi di sekolah. Orang tuanya meminta supaya ia dibebaskan dari keharusan mandi di sekolah, karena peserta didik itu juga melakukannya di rumah. Instruktur pendidikan jasmani menyatakan bahwa sekolah mempunyai kebijakan untuk “tidak ada pengecualian” dalam hal tersebut. ¾ Di Seatle, Washington, guru menyusun kembali meja-meja di kelasnya dalam bentuk lingkaran. Jadi peserta didik akan dapat lebih berperan serta secara mudah dalam diskusi kelas. Esok pagi dia datang ke sekolah dan melihat meja dalam keadaan berderet/lurus lagi. Guru mengeluh mengenai hal tersebut. Kepala sekolah menyuruh bahwa meja tersebut harus dibiarkan dalam keadaan berderet. Sebab itu sukar juga bagi petugas kebersihan untuk membersihkan ruangan kelas, jika meja-meja tidak disusun. ¾ Di New Bronswick, New Jersey, para guru diwajibkan untuk mendaftarkan diri pada alat pencatat waktu pada awal dan akhir hari kerja tiap hari kerja. Mereka diharuskan bertugas pada jam 08.15 dan tetap tinggal pada hingga jam 16.00. kelas dibuka jam 08.45 dan berakhir pada jam 14.45.
15
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
¾ Di Canon City, Colorado, guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menulis di dinding, beberapa darinya terdapat tulisan tidak sopan di papan tulis. Tulisan di dinding merupakan luapan perasaan negatif peserta didik terhadap kepala sekolah. Apakah yang dilakukan dalam kejadian-kejadian seperti itu membawa pada peserta didik terhadap nilai-nilai dari pembuat kebijakan sekolah pada setiap kejadian? Apakah yang dilakukan mereka memberi kesan tentang macam-macam alat dari pembuat kebijakan yang diharapkan para peserta didik untuk dirinya sendiri terhadap nilai? Hal tersebut merupakan beberapa pertanyaan mendasar di sini untuk seluruh orang yang bekerja dalam sekolah, untuk berpikir tentang hal itu. Adakah konflik antara kurikulum formal dengan kurikulum tersembunyi dalam berbagai hal? Implikasi dari apa yang dilakukan, baik secara formal maupun informal, tidak dapat menolong, tetapi memberikan peserta didik beberapa ide mengenai apa yang dianggap penting oleh pengurus sekolah, para guru dan staf administrasi. Apakah hal tersebut dinyatakan dan/ atau termasuk dari apa yang akan dititik beratkan para guru dan staf administrasi. Akankah itu mungkin menjauhkan pembelajaran nilai-nilai di sekolah? Jika ya, kamu pikir itu akan terjadi, bagaimana hal seperti itu dapat dihindari?
Hal yang dibahas di sini adalah bahwa “pendidikan nilai-nilai” berlangsung dalam seluruh waktu di sekolah. Tidak hanya pada kurikulum, tetapi juga dalam interaksi sehari-hari antara peserta didik dan staf sekolah. Sebagai contoh, misalnya dalam peristiwa-peristiwa dari tempat bermain, dalam satu macam olahraga yang disenangi dan yang tidak disenangi serta aturan sportivitas, pemuda diajar untuk menentukan perilaku mereka, peran yang sesungguhnya dalam berbagai permainan. Hal itu nampak dalam kehidupan sekolah, dalam seluruh perilaku yang disetujui atau tidak disetujui, sebagai pemuda mereka diajar dengan cara-cara konvensional atau moral untuk orang yang belum dewasa, dari masyarakat mereka. Itu semua kelihatan dalam definisi sekolah terhadap kenakalan dan dalam model perlakuan yang diharapkan terhadap mereka, juga nampak dalam cara anak diajar dalam 16
Nilai-nilai dan Pendidikan di Sekolah
memperlakukan sesuatu yang berbeda, semisal rasial, religi, jabatan, ekonomi, dan latar belakang nasional, atau dalam sains; dalam metodemetode yang diharapkan akan dipakai dalam pelaksanaan-pelaksanaan eksperimen-eksperimen mereka; dalam laporan-laporan mereka dari apa yang sebenarnya terjadi selama proses percobaan mereka, sama dengan anggapan para guru terhadap sains untuk ketetapan, untuk ketelitian, dan untuk kesimpulan yang didasarkan pada data yang obyektif ketimbang atas dasar impian khayal; nampak pula dalam lapangan studi sosial; dalam problem-problem yang dipilih untuk didiskusikan; dalam bentuk problem-problem yang didiskusikan; dalam dokumen-dokumen yang bersejarah dan peristiwa-peristiwa yang diutamakan, sama halnya dengan pemimpin yang dipilih untuk menggambarkan yang penting dan pantas, tidak penting dan tidak pantas dalam peristiwa-peristiwa manusia, nampak dalam lapangan literatur; dalam novel-novel, puisi-puisi dan drama-drama yang dipilih untuk dipelajari; pada apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk dalam berbagai bentuk dan gaya dari perilaku dan eksperimen manusia. Nampak pula dalam organisasi dan kepemimpinan sekolah; pada peranan pemimpin, pengawas, guru, dan para peserta didik yang diharapkan berperan dalam perbuatan dan pemeliharaan peraturan-peraturan sekolah; nampak dan metode-metode penggolongan, promosi dan distribusi penghargaan di antara peserta didik disekolah; nampak dalam perayaan hari libur nasional; pada peristiwa tertentu yang dirayakan sama seperti pada tokoh-tokoh sejarah dan sekarang yang pilih sebagai contoh kualitas dari warga negara dan warga negara yang berjasa melayani masyarakat; nampak program pertemuan umum di sekolah; dalam aneka ragam pemimpin masyarakat yang menjadi pembicara untuk kalangan peserta didik; nampak dalam cara yang dilakukan guru, kualitas kebebasan dan inisiatif yang mereka lakukan, pada tingkat tertentu para guru diyakinkan untuk ambil bagian dalam kehidupan masyarakat mereka, dan dalam tingkat tertentu pemuda percaya bahwa mereka belajar di bawah bimbingan guru yang lebih dipatuhi, dalam latihan rutin sebagai orang yang ditugaskan. Nampak dalam cara masyarakat ditata untuk perilaku yang sesuai dengan karakteristik sekolah; dalam ketentuan yang dibuat untuk pekarangan sekolah, bangunan-bangunan dan peralatan, dalam macam orang yang dipilih untuk membantu dewan sekolah, dalam hubungan dengan anggota-anggota dewan untuk staf administrasi dan pengajaran. 17
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
Sebagaimana John Childs (1950,17:19) telah telah nyatakan bahwa “Faktor moral kelihatan kapan saja di sekolah, atau pada guru dan pada pengawas secara individual, adalah dalam hal-hal tertentu dan hal-hal yang lain”. Meskipun demikian, moral mesti diakui, bahwa perhatian yang tegas terhadap isu nilai-nilai dan sumber nilai berdasarkan pilihan-pilihan mendasar secara sistematis jarang terjadi dalam berbgai sekolah dan kelas. Sebagaimana indikasi di atas, diskusi dan analisis terhadap nilai masih nampak terjadi secara implisit (yaitu, melalui seleksi dan penggunaan buku-buku tertentu dan materi-materi yang lain) dari pada dilakukan dengan sengaja sebagai hasil perencanaan dan desain yang cermat oleh para guru dan para pengelola sekolah. Mengapa demikian? Beberapa alasan dapat diusahakan untuk menyatakan bahwa banyak guru dan sekolah tidak terlibat dalam pendidikan nilai secara sistematis. Banyak guru di USA sekarang tumbuh dalam budaya yang dipandang tradisional, pertanyaan-pertanyaan terhadap nilai sebagai materi pribadi yang esensial, tidak untuk dibahas secara umum. Sering para orang tua dan kelompok yang lain dari warga negara menentang diskusi di sekolah sebagai kontroversi, isu-isu nilai - oleh mereka amat alami - dilibatkan. Selanjutnya, beberapa guru kuatir bahwa usaha yang jelas dalam mengembangkan nilai atau untuk membahas isu-isu nilai dalam kelas, mengurangi indoktrinasi yang menjadi bagian mereka. Beberapa, didorong oleh pengaruh kursus-kursus akademi mereka yang memusatkan “berikan fakta”, menyatakan bahwa memiliki lebih dari cukup untuk mencoba dalam “memberikan materi pelajaran secara padu” tanpa harus cemas terhadap nilai-nilai. Keyakinan yang lain bahwa pendidikan nilai adalah bidang yang lebih pantas bagi keluarga atau tempat ibadah. Dan sedikit diakui bahwa mereka tidak tahu bagaimana untuk mengajar tentang nilai, bahkan jika mereka diharapkan untuk melakukannya. Meskipun kebenaran-kebenaran dan kekuatiran-kekuatiran dapat dimengerti, mereka tidak membutuhkan, tidak menghalangi para guru dari urusan nilai-nilai dan isu-isu nilai dalam kelas-kelas mereka. Pertama, beberapa isu dan topik suatu kejadian yang dipandang sebagai materimateri pribadi, sekarang dibahas secara terbuka dalam berbagai surat kabar dan majalah. Kedua, para guru dapat menolong para peserta didik untuk berpikir mengenai dan membahas isu-isu nilai dasar, tanpa menuntut hal-hal yang khusus dari pandangan atau posisi yang didukung atau diterima. 18
Nilai-nilai dan Pendidikan di Sekolah
Sepanjang materi pelajaran berlangsung, beberapa materi diisi dengan pertanyaan-pertanyaan dan isu-isu tentang nilai. Mengabaikan kenyataan tersebut berarti mengabaikan materi yang berharga dan sangat penting. Bagaimanakah orang dapat mempelajari keputusan Presiden Truman terhadap penjatuhan bom atom di Hirosihima dan Nagasaki. Keputusan Richard Wright untuk menjadi pencuri dalam cerita “Anak Lelaki Hitam” (Black Boy), lingkungan ekologi, penggunaan obat-obat terlarang, pembuat lukisan terkenal atau berbagai jenis musik, kerja sama kelompok olahraga, tata tertib kelas tanpa mengacu pada nilai? Hal itu membingungkan sebagai suatu ketidaktahuan nilai-nilai dalam membahas beberapa hal. Seperti dikemukakan sebelumnya, amat nyata bahwa guru memiliki topik tertentu, secara individu, tempat-tempat, periode-periode atau peristiwa-peristiwa yang membawa kesan bahwa para guru memandang sesuatu sebagai amat penting untuk dipelajari ketimbang yang lain. Argumen bahwa pendidikan nilai mestinya lebih pantas dilakukan di rumah atau di tempat ibadah adalah sesuatu yang tradisional, tetapi ada bukti bahwa hal-hal yang dipilih dari pembahasan secara sistematis terhadap nilai dan isu-isu nilai terjadi dalam beberapa lembaga. Satu yang mesti dipertimbangkan bahwa banyak orang Amerika tidak menghadiri tempat ibadah secara tetap, bahwa beberapa orang tua dicoba dalam analisis nilai rasional, dan bahwa sedikit fasilitas yang ada untuk melatih orang tua dalam keterampilan berdiskusi. Rasanya tidak realistik untuk mengasumsikan bahwa kita mengandalkan pada rumah dan tempat ibadah dari pada sekolah untuk hal-hal yang dipilih bagi program komprehensif dari pendidikan nilai. Akhirnya, meskipun banyak juga tidak dilatih untuk mendiskusikan nilai secara sistematis, beberapa strategi dan teknik-teknik untuk mendiskusikan dan menganalisis nilai telah tersedia. Seperti beberapa keterampilan, strategi-strategi dan teknik-teknik dapat dipelajari. Pertanyaan dasar adalah apakah ya atau tidak bagi kita, untuk peduli kepada pendidikan bagi anak muda yang ingin belajar keterampilanketerampilan dan mengaplikasikannya secara konsisten dalam pekerjaan kita. Sekaitan dengan pertanyaan yang melibatkan apakah masyarakat umumnya, dan para guru khususnya menginginkan peserta didik mengembangkan nilai dengan sembrono tanpa berbagai kesengajaan dan keterlibatan yang jelas dari pihak guru. Atau akankah peserta didik 19
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
ditolong secara jelas dalam menyelidiki dan mendapatkan beberapa kumpulan tentang nilai-nilai (baik bagi mereka sendiri dan individualindividual lain dalam keanekaragaman yang luas dan kebudayaan). Anggapan bahwa menolong peserta didik secara jelas dalam menyelidiki dan mengembangkan nilai-nilai adalah tujuan-tujuan yang sah bagi para pendidik untuk diikuti. Lebih lanjut, hal itu amat penting sekali dan sangat dibutuhkan dalam pendidikan sekarang, dan perencanaan serta desain yang sistematis dari strategi-strategi pengajaran secara luas dari sekolah adalah kebutuhan mutlak untuk mewujudkannya 1. Adakah beberapa materi yang tidak melibatkan nilai-nilai dalam berbagai cara? Jika demikian mengapa? 2. Apakah kamu setuju bahwa peserta didik akan ditolong untuk menyelidiki dan menghasilkan beberapa kesimpulan tentang nilai-nilai dalam kelas? Mengapa ya atau tidak? Apakah kamu dalam menjawab pertanyaan ini tergantung pada berbagai cara terhadap tingkat golongan anak yang dilibatkan? Mengapa ya atau tidak? 3. Apakah para guru berdiskusi tentang nilai-nilai dengan peserta didik di dalam kelas? Apakah peserta didik didorong untuk mendiskusikan nilai-nilai dengan guru mereka? Dengan para pengelola sekolah? Mengapa ya atau tidak?
B. Apakah Nilai Itu Nilai adalah ide, cita-cita atau gagasan, suatu konsep tentang apa yang seseorang anggap penting dalam hidup. Bila seseorang menilai sesuatu, pria atau wanita menganggap hal itu berguna, bernilai dimiliki, bernilai dikerjakan atau bernilai dalam mendapatkannya. Kajian terhadap nilai-nilai biasanya dibagi dalam bidang etika dan estetika. Estetika mengacu pada kajian dan pembenaran dari apa yang manusia anggap indah, apa yang mereka nikmati. Etika mengacu pada kajian dan pembenaran terhadap perilaku, bagaimana orang berperilaku. Landasan dari kajian etika adalah pertanyaan terhadap moral-moral, cermin pertimbangan dari apa yang benar dan salah. Meskipun beberapa komentar akan dibuat terhadap mengajar nilai-nilai estetika dalam buku ini, namun perhatian utamanya adalah pada mengajar nilai etika.
20
Nilai-nilai dan Pendidikan di Sekolah
Seperti semua ide, nilai tidak berada dalam dunia pengalaman; mereka ada dalam pikiran manusia. Nilai adalah standar dari perilaku, keindahan, efisiensi atau kegunaan yang orang mendukung dan mereka coba untuk lakukan sesuai dengan atau memeliharanya. Semua orang memiliki nilai-nilai, meskipun mereka tidak selalu sadar secara sengaja pada adanya nilai-nilai tersebut. Sebagai standar, nilai memutuskan kita untuk menentukan, dalam hal yang sederhana, jika kita menyukai sesuatu atau tidak. Dalam bentuk yang lebih komplek, nilai-nilai menolong kita untuk menentukan apakah hal tertentu (seperti objek, orang, ide, cara untuk berperilaku dan lainnya) atau suatu kelas itu baik atau buruk. Standar yang lebih penting yang kita miliki adalah satu pedoman, melalui mana kita menilai perilaku, menentukan bentuk-bentuk tindakan yang pantas dan bermanfaat serta bentuk-bentuk apa yang tidak. Standar itu adalah nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral mengajukan bimbingan terhadap apa yang benar dan adil. Jadi seseorang mungkin mempersoalkan bahwa membunuh atau mengambil nyawa orang lain adalah tidak benar, sebab hidup manusia adalah suci. Sejak seseorang mengenal nilai-nilai dalam kehidupan manusia, ia mempertimbangkan penempatan nilai-nilai tersebut terhadap kehidupan yang tidak benar.
C. Cara-cara dan Tujuan-tujuan Kita sering mempunyai himpunan standar tertentu untuk menolong kita mencapai atau memperoleh nilai-nilai yang lain. Hal tersebut sering disebut dengan nilai-nilai instrumental. Nilai-nilai instrumental adalah cara-cara yang didukung orang sebagai kebutuhan dan penting dalam mencapai nilai-nilai lain atau tujuan. Jadi pemain piano mungkin pasti melakukan latihan 3 jam setiap hari. Sebab latihan seperti itu, akan memungkinkannya mamainkan piano dengan baik sekali. Latihan selama 3 jam dalam bermain piano adalah nilai instrumental, yang akan menolong individu itu memperoleh sesuatu yang lain yang ia anggap penting, yakni dapat untuk brrmain piano dengan sangat baik. Apakah tujuan menghasilkan cara? Apakah ayah disahkan dalam mencuri makanan untuk makanan anaknya yang lapar? Apakah polisi diperbolehkan mendobrak rumah-rumah orang dalam upaya menangkap pengedar obat bius yang dicurigai? Apakah Amerika disahkan dalam 21
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
menjatuhkan bom atom di Hirosima dan Nagasaki agar PD II segera berakhir? Tujuan-tujuan dapat mengabsahkan cara-cara? Bagaimana yang lain dapat mereka absahkan. Tetapi hal itu tidak untuk mengatakan bahwa beberapa dan seluruh cara diabsahkan. Masalahnya terletak dalam menentukan apakah tujuan-tujuan tertentu mengabsahkan cara-cara tertentu. Percuma untuk mengatakan bahwa hal demikian amatlah sulit. Bahaya lagi-lagi timbul dalam kenyataan, bahwa cara-cara dapat menjadi kegiatan penting bagi orang, sehingga cara-cara menjadi tujuan. Hal itu mungkin atau tidak mungkin menjadi sesuatu yang baik. Sebagai contoh, beberapa individu menggunakan cara kekerasan dalam masa perang, mungkin menghasilkan nilai sebagai satu-satunya cara dalam memecahkan perselisihan dan percekcokan, bahkan dalam masa damai. Beberapa pemimpin pemerintah menggunakan peraturan hukum sebagai hal yang esensial untuk memelihara hukum dan tatanan, mungkin menghasilkan nilai-nilai hukum untuk hukum itu sendiri. Akhirnya mereka mungkin menuntut bahwa beberapa hukum disahkan oleh pemerintah untuk dipatuhi secara otomatis, bukan materi apa yang hukum diwajibkan. Sebaliknya juga benar. Tujuan-tujuan mungkin menjadi penting untuk orang bahwa mereka lupa berpikir tentang kesopanan terhadap cara-cara yang dibutuhkan untuk mencapainya. Mereka memutuskan untuk menggunakan beberapa dan semua cara menurut penyelesaian mereka, bukan materi apa yang mereka butuhkan, untuk mencapai beberapa tujuan. Barangkali contoh yang amat tragis dari hal ini, dalam masa sekarang adalah pembunuhan orang Yahudi oleh Nazi di kamp kematian semasa Perang Dunia II.
D. Alasan-alasan untuk Menilai Alasan-alasan orang memberikan penilaian terhadap sesuatu (terutama tipe dari manusia, objek, cara berperilaku) dapat memberitahukan kepada kita sungguh sedikit tentangnya (Fraenkel, 1977). Makananmakanan, pakaian, atau tipe-tipe dari musik tertentu, mungkin mempunyai nilai, sebab hal-hal tersebut mempunyai daya tarik bagi perasaan kita, sebab kita menemukan pada benda-benda tersebut hal yang menyenangkan bagi perasaan. Kita merasa baik, bila kita makan atau memakai atau mendengar sesuatu. Sering kita akan berupaya banyak sekali terhadap waktu atau kesukaran dalam mengharapkan atau 22
Nilai-nilai dan Pendidikan di Sekolah
mendekatinya. Objek-objek tertentu seperti anggur bermutu tinggi, cincin intan, tanah di pesisir laut, atau kontrak pemerintah mungkin mempunyai nilai, sebab objek-objek tersebut menghasilkan (atau mungkin mendatangkan hasil) sejumlah besar uang. Benda-benda tertentu dari alat-alat atau alat-alat rumah tangga atau material mungkin mempunyai nilai, sebab benda-benda itu bekerja lebih baik daripada sebanding dengan yang lain. Keadaan-keadaan tertentu dari peristiwaperistiwa atau kondisi-kondisi kehidupan mungkin mempunyai nilai, karena keadaan-keadaan dan kondisi-kondisi tersebut membolehkan orang untuk hidup dalam cara-cara yang mereka, yang sebaliknya tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Beberapa hal mungkin malah mempunyai nilai, namun tidak ada alasan dari orang yang menilai bahwa hal-hal itu “penting” atau “berguna”. Akhirnya cara-cara tertentu dalam tindakan terhadap manusia-manusia lebih mungkin menghasilkan nilai dengan rasa keyakinan yang mendalam, didasarkan atas pengalaman dan refleksi, bahwa cara-cara dan tindakan yang dilakukan adalah benar dan adil. 1. Apakah beberapa nilai lebih baik dari yang lain? Jika begitu, yang mana nilainya? Dan bagaimana nilai tersebut menggambarkannya? (Lihat pertanyaan ini dengan pandangan yang hati-hati dan dengan baik. Apakah beberapa nilai lebih buruk dari yang lain?). 2. Apakah alasan yang lain untuk menilai sesuatu dapat kami sarankan di samping hal-hal yang disarankan di atas?
E. Konflik Nilai Semua orang tidak memiliki peralatan-peralatan nilai yang sama. Nilai-nilai dari seseorang mungkin begitu berbeda dari nilai-nilai yang lain, dalam kenyataan, bahwa dua hal mungkin merasakan diri mereka sendiri dalam perselisihan yang sungguh-sungguh, bahkan konflik, masing-masing dengan yang lain. Melanjutkan kontrovensi mengenai nilai dari hukuman mati, hukuman mati sebagai pencegahan terhadap kejahatan adalah alasan yang pokok. Pihak yang setuju dengan hukuman mati membuktikan bahwa hukuman mati akan membuat potensi para pembunuh akan berpikir dua kali untuk melakukan kejahatan. Pihak yang menentang hukuman mati berpandangan bahwa hukuman mati, 23
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
tidak membawa dampak positif bagi usaha pencegahan kejahatan, karena terbukti bahwa angka kejahatan di berbagai negara yang menggunakan hukuman mati adalah tidak lebih rendah dari angka kejahatan di berbagai negara yang tidak melaksanakan hal tersebut. Selanjutnya, mereka menunjukkan bahwa menempatkan tambahan kehidupan, tidak akan menempatkan lagi sesuatu yang telah hilang. Konflik nilai mungkin tidak hanya antarpersonal (antara individuindividu, sebagai diri sendiri), tetapi juga interpersonal (dalam diri seorang). Secara individual mungkin tersobek di antara dua atau lebih konflik yang diharapkan atau tekanan untuk bertindak dalam cara-cara tertentu. Hunt dan Metcalf (1968: 124) mengemukakan contoh yang menggambarkan seorang sekretaris sebagai orang yang telah mengembangkan loyalitas yang kuat terhadap atasannya. Atasannya telah memberikan kondisi-kondisi bekerja yang baik, menaikkan gajinya beberapa kali, memberikan kepadanya beberapa liburan dan bahkan diberikan bantuan finansial untuk ibunya yang tua. Pada suatu hari sekretaris tersebut melihat atasannya memalsukan hasil pajak pendapatannya. Sekretaris lalu meminta nasehat pada kolumnis surat kabar lokal mengenai apa yang sebaiknya dilakukan. Akankah ia tetap loyal kepada atasannya dan menutup mulutnya terus menerus? Atau ia akan jujur dan melaporkan atasannya kepada aparat perpajakan. Sekretaris itu dihadapkan pada sebuah konflik nilai yang dimilikinya antara loyalitas dan kejujuran. 1. Apakah contoh-contoh dari konflik nilai yang kami sebutkan sehubungan dengan konflik nilai yang sekarang terjadi di Amerika? Apakah yang menjadi penyebab utama dari konflik itu? Apa yang kamu pikir sebaiknya dilakukan untuk memecahkan masing-masing penyebab itu? 2. Apa kamu setuju bahwa “konflik nilai adalah kenyataan dari kehidupan?” Mengapa ya atau mengapa tidak? 3. Apakah kamu pikir beberapa masalah yang ada akan tidak ada pemecahannya? Jika begitu apa mungkin contoh masalah seperti itu?
24
Nilai-nilai dan Pendidikan di Sekolah
F.
Ide-ide dan Perasaan-perasaan
Lebih banyak kita mengetahui tentang apakah nilai seseorang, lebih baik, untuk hal itu begitu dilakukan kita sedikit belajar tentang apakah yang mereka buat, macam-macam keputusan yang mereka sukai untuk dibuat, pemimpin-pemimpin yang mereka akan ikuti, kebijakankebijakan yang mereka akan ikuti, kebijakan-kebijakan yang mereka akan dukung, dan hal-hal atas mana mereka sukai untuk menghabiskan waktu, uang dan energi. Tentu saja hal tersebut, sesungguhnya esensial untuk kajian nilai-nilai, jika mau belajar dan mengerti amat banyak tentang orang-orang, tentang masyarakat, kebudayaan, seni dan musik, mitos, sejarah, ide-ide, impian dan tujuan-tujuan manusia. Nilai-nilai adalah ide-ide mengenai harga dari sesuatu hal; nilainilai adalah konsep-konsep, abstraksi-abstraksi. Dengan begitu, nilai dapat diidentifikasikan, dibandingkan, dipertentangkan, dianalisa, digeneralisir dan didebatkan. Sebagai standar, nilai dapat digunakan secara jelas untuk menilai harga dari sesuatu. Tetapi nilai-nilai juga mempunyai dimensi lain, yaitu dimensi emosional. Karena nilai merupakan komitmen emosional yang sangat kuat, kesukaan yang kuat terhadap sesuatu. Orang memelihara secara mendalam tentang benda-benda yang mereka anggap bernilai. Ini adalah suatu kenyataan, bahwa nilai adalah ide dan perasaan, bahwa nilai mengandung komponen kognitif dan afektif, yang begitu sering diabaikan oleh beberapa orang yang menyatakan diri sebagai “pendidik nilai” sekarang ini. Jika diterima satu definisi dari nilai-nilai sebagi komitmen emosional dan ide-ide tentang manfaat, hal berikut secara logis bahwa para guru yang berkepentingan dalam pendidikan nilai membutuhkan perencanaan, baik untuk pertumbuhan emosional dari peserta didik dan mengembangkan kemampuan-kemampuan intelektual mereka. Tentu saja, itu dapat dibuktikan bahwa pengembangan intelektual dan emosional adalah saling tergantung satu sama lain, bahwa amat banyak dari yang satu tidak dapat diletakkan tanpa yang lain. Seperti yang Beck (1970) nyatakan: Sering kita coba untuk menolong anak-anak mengerti aspek tertentu dari teori estetika, untuk contoh, kita coba untuk menolong dia memahami kebutuhan bagi hubungan-hubungan timbal balik (seperti dalam berjanji memelihara dan membuat perjanjian), dan kita mengemukakan bahwa 25
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
kita gagal, karena kekurangpekaan, kekurangpedulian, kurangnya pengembangan emosional, kurangnya pengembangan nonkognitif. Pada satu sisi, keadaan-keadaan di mana kita mencoba untuk menolong orang menjadi lebih peka terhadap orang lain dan kebutuhan-kebutuhan mereka dan lebih ingin untuk menolong mereka, dan masalahnya adalah kurang mengertinya ia terhadap kedudukan kepedulian terhadap orang lain dalam kehidupan seseorang.
G. Latihan-latihan 1. Amatilah beberapa guru yang sedang mengajar untuk melihat, jika mereka secara jelas dengan pertanyaan-pertanyaan dan isu-isu nilai dalam dalam kelas mereka. Seberapa banyak diskusi-diskusi nilai termasuk sebagai bagian yang teratur dari rutinitas kegiatan kelas mereka? 2. Wawancara secara random sejumlah orang dewasa mengenai bagaimana perasaan mereka terhadap nilai-nilai yang dibahas di sekolah. Seberapa banyak disukai? Seberapa banyak yang ditentang? Mengapa mereka menyukai atau menentang? Sekarang wawancara secara random sejumlah orang yang belajar untuk menjadi guru. Seberapa banyak dari kelompok itu menyukai diskusi nilai di sekolah? Menentang? Mengapa mereka menyukai atau menentang? Apa perbedaan-perbedaan yang kamu catat antara dua kelompok tersebut? Bagaimana kamu akan menjelaskan perbedaan-perbedaan itu? 3. Dalam bulan April 1976, penyelidikan pendapat umum yang dilakukan Gallup melaporkan bahwa mayoritas yang besar sekali dari penduduk telah mendukung pembelajaran moral dan perilaku moral pada sekolah-sekolah umum. Pertanyaan yang diajukan organisasi Gallup meliputi beberapa hal sebagai berikut: “Apakah kamu mendukung atau menentang pembelajaran disekolahsekolah yang akan memberikan banyak perihal moral dan perilaku moral?
26
Nilai-nilai dan Pendidikan di Sekolah
Organisasi Gallup tidak mengejar pertanyaan itu lebih jauh; mereka tidak berupaya untuk menentukan bagaimana orang-orang yang diwawancarai menafsirkan istilah “pembelajaran”. Tak pelak lagi, sejumlah penafsiran-penafsiran adalah mungkin. Beberapa orang mungkin menganggap “pembelajaran perilaku moral” adalah secara sederhana memberitahukan anak-anak apa yang orang dewasa yakin sebagai benar dan apa yang salah. Pihak yang lain menduga hal itu, sebagai teknik-teknik menolong peserta didik dalam menentukan apakah itu benar dan salah untuk diri mereka sendiri. Kedua penafsiran tersebut sekaligus memuat kesulitan, bukan persoalan yang memandang (atau beberapa hal yang lain) satu yang mungkin didukung. Apakah mungkin beberapa kesukaran memang ada? Bagaimana kamu akan mendefinisikan frase “pembelajaran moral dan perilaku moral” (secara sepintas apakah “pembelajaran moral” sama halnya seperti pembelajaran “perilaku?”). 4. Sebagaimana telah kita lihat, nilai-nilai sering mengalami konflik. Di Amerika, untuk contoh, beberapa orang mendesak bahwa lebih tingginya pencakar langit yang akan dibangun akan menghemat ruang, sementara yang lain membuktikan terhadap lebih rendahnya bangunan, akan memelihara pandangan mata ke langit. Daftar di bawah adalah beberapa hal, sekurang-kurangnya nilai di Amerika. Dapatkah kamu menduga terhadap nilai-nilai seseorang yang lain mungkin mengandung sesuatu yang akan bertentangan dengan tiaptiap nilai yang telah disusun.
27
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
5. Semua masyarakat menentukan seperti ide-ide, objek-objek dan caracara tertentu yang pantas untuk berperilaku, sementara mereka menganggap yang lain tidak pantas. Ide-ide dan perilaku dianggap pantas atau “baik” merupakan nilai-nilai masyarakat. Kesenjangan yang luas sering ada antara nilai-nilai dalam masyarakat dan kehidupan orang pada setiap hari dalam masyarakat itu. Dalam semua masyarakat, para individual ada yang bertindak dengan cara-cara yang bertentangan dengan sesuatu yang secara umum dianggap benar. Nilai-nilai lebih sering tampil sebagi perilaku ideal, bukan yang sesungguhnya. Bukan masyarakat belum mengetahui secara komplit untuk memenuhi hal-hal yang ideal itu dan meletakkannya sebagai cara-cara yang pantas sebagai anggota masyarakat untuk berperilaku. Meskipun demikian, semua masyarakat mengakui kenyataan bahwa setiap individu memiliki masyarakat yang berkepentingan dengan anggota-anggota yang lain dari masyarakat dan bahwa tindakan-tindakan tertentu adalah dibutuhkan dan harus dilaksanakan jika masyarakat ingin dilindungi. 28
Nilai-nilai dan Pendidikan di Sekolah
Dengan pandangan sekilas yang pertama, hal itu mungkin nampak sukar untuk percaya pada kasus di Amerika, yang telah disusun untuk beberapa aliran kebudayaan yang berbeda-beda dan dikarakterisasikan oleh perubahan yang cepat. Raja mobil Detroit, para penduduk di kota-kota besar kita, pengacara Philadelphia, para karyawan perusahaan minyak Houston, pemetik selada Chicago, dan buruh tambang yang miskin dari tambang terbuka di Appalachia yang nampak begitu berbeda di Amerika dan nampak tidak terlukiskan waktu itu. Meskipun demikian, beberapa pakar mempunyai pendapat yang berbedabeda umumnya saling bertentangan. Walaupun tidak semua orang Amerika percaya terhadap nilai yang sama, dan meskipun banyak yang tidak nampak melaksanakan apa yang mereka percayai, tetapi secara luas menyatunya nilai-nilai tersebut dapat diidentifikasikan sebagaimana daftar di bawah ini: ¾ Persaingan bagi keberhasilan individu dan material (menekankan pada pribadi, kemajuan individual) ¾ Paham persamaan hak (kepercayaan bahwa hak milik dari kekayaan, pendidikan, atau reputasi tidak membuat seorang individu lebih baik pribadinya dari yang lain) ¾ Kecenderungan untuk memberikan pembenaran moral dan religius pada tindakan pribadi dan nasional ¾ Kesangsian pada otoritas ¾ Kepercayaan yang kuat terhadap pikiran sehat ¾ Pandangan yang optimis terhadap hidup (jika seseorang bekerja keras, dapat membenarkan tindakannya secara moral, dan menggunakan akal sehat yang baik, bukan kewajiban yang mustahil) ¾ Paham ras (tidak hanya prasangka dan diskriminasi sekaligus oleh banyak orang kulit putih terhadap orang kulit berwarna, tetapi juga merembes pada asumsi banyak orang kulit putih bahwa kulit putih normal dan kulit hitam abnormal) ¾ Kecenderungan kearah kekerasan sebagai cara-cara untuk pemecahan masalah. Apakah kamu setuju? Apakah lebih banyak orang Amerika yang mendukung nilai tersebut? Apakah kamu merubah atau mengurangi beberapa nilai yang ada dalam daftar? Adakah nilai-nilai Amerika yang unik? 29
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
KEPUSTAKAAN Beck, Clive. “The Development of Moral Judgment” dalam James A.Phillip, Jr, ed. (1972). Developing Value Constructs in Schooling: Inquiry into Process and Product, Worthington, Ohio: Ohio Association for Supervision and Curriculum Development. Childs, John L. (1950). Education and Morals. New York: Appleton-Century-Croft. Fraenkel, Jack R. Inquiry Into Value” in Eugene Gilliom, ed, (1977).”Practical Methods for the Social Studies, Belmont, Calif: Wadsworth. Fraenkel, Jack R. (1977). How to Teach About Values: An Analytic Approach. Englewood Cliffs.N.J: Prentice-Hall. Hunt, Maurice P and Metcalf, Lawrence E. (1968). Teaching High School Social Studies, New York: Harper and Row.
30
BAB III INDIKA TOR-INDIKA TOR NILAI INDIKAT OR-INDIKAT
Nilai tidak dapat dilihat secara langsung; nilai mesti didapat dari indikator nilai, yakni apa yang orang katakan dan lakukan. Tindakantindakan dan pernyataan-pernyataan dari orang yang memberikan tanda dari nilai-nilai mereka.
A. Tindakan-tindakan sebagai Tanda dari Nilai-nilai Tindakan-tindakan orang sering memberikan kepada kita tanda mengenai apa yang mereka nilai. Mencoba memperhatikan apa yang orang lakukan dengan meluangkan waktu, kalau ia bukan sedang dibujuk atau diancam. Andaikan, sebagai contoh, bahwa seseorang menghabiskan dari waktu luangnya mengajar anak-anak yang mempunyai kesulitan belajar membaca. Secara individual dalam kasus ini memberikan sedikit waktu untuk melihat buku-buku yang cocok dan materi-materi yang anak dapat gunakan, menemukan tempat-tempat yang tenang untuk berdiam dan bekerja dengan mereka, mendesain berbagai materi khusus, dan tentu juga bekerja dengan anak-anak iu sendiri. Jika orang itu, tidak menghendaki untuk melakukan hal itu dan bukan sedang dibayar untuk itu, kita akan cenderung untuk percaya bahwa ia menilai semacam itu dari aktivitas. Dengan kata lain, ia menganggap mengajar adalah sesuatu yang penting dan bermanfaat untuk dilakukan. Di sini akan diperlihatkan 4 (empat) contoh dari perilaku. Nilainilai apa yang mereka anjurkan?
Peristiwa 1. Pembakaran Buku Minneapolis, kira-kira 3 lusin salinan dari novel yang berjudul “Lima Rumah Pembantaian” dibakar minggu yang lalu di Drake N.D, atas perintah dewan pengurus sekolah setempat. 31
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
Berdasarkan tindakan dari pengaduan seorang mahasiswa tingkat 2, maka Dewan Pengurus mengadakan pertemuan khusus hari Selasa, dan telah setuju dengan para gadis bahwa buku tersebut merupakan buku yang tidak senonoh. Beberapa materi dalam pertemuan tersebut telah menjelaskan bahwa novel Kurt Vonnegut. Jr mengenai persekutuan pemboman kota Dresden, Jerman dalam PD II adalah sebagai “alat setan”. Dewan Pengurus sekolah telah diperintahkan Dale Fuhrman, pengawas sekolah, untuk mengawasi pemusnahan buku-buku tersebut. Buku-buku lainnya direncanakan untuk dimusnahkan, karena dipandang bahasanya yang tidak sopan seperti “Pelepasan” James Dickey dan kumpulan cerita pendek Ernest Hemingway, William Faulkner dan John Steinbeck. Segala sesuatunya telah diserahkan kepada para peserta didik dari ibu kota North Dakota, yang jumlah penduduknya 700, melalui Bruce Severy, guru bahasa Inggeris, berusia 27 tahun, yang menurut laporan dikontrak, karena pandangannya yang kosmopolitan. Severy dalam pemeriksaan Dewan Sekolah menyatakan bahwa pengarang buku tersebut sedang mencoba untuk menceritakan kisahnya sebagaimana adanya, dengan menggunakan bahasa sebagaimana yang digunakan saat ini, namun di luar dunia nyata. Menyinggung terhadap fakta bahwa tidak ada satupun anggota dewan sekolah yang telah membaca buku-buku yang mereka perintahkan untuk dimusnahkan, dengan keras Severy mengatakan “Tidak satupun dapat membuat penilaian tentang buku, tanpa membaca sama sekali sebuah buku. Segala sesuatu yang mengandung kekurangan adalah ketidakjujuran secara akademis, irrasional dan anti intelektual”. Lima anggota Dewan Pengurus telah memutuskan dengan suara bulat untuk membakar buku-buku tersebut dan menentang untuk mengkontrak Severy untuk tahun depan. Peristiwa 2: Seorang Idealis yang Kehilangan Idealisme Saat saya lulus dari perguruan tinggi, saya banyak mempunyai cita-cita tentang kejujuran, berlaku adil dan kerja sama, yang telah saya pelajari di rumah, di sekolah dan dari literatur. Pekerjaan pertama saya, setelah lulus sekolah adalah salesman mesin tik. Pada hari pertama, saya mempelajari bahwa berbagai mesin tik, tidak dijual 32
Indikator-indikator Nilai
dengan harga yang sama, tetapi orang yang menawar dan memasukkan ke daftar tunggu, dapat mendapatkan mesin tik dengan setengah harga dari daftar harga. Saya merasa bahwa itu tidak adil bagi pembeli yang membayar sesuai dengan daftar harga. Salesman lain menertawakan saya dan tidak mengerti ketololan sikap saya. Mereka memberitahu saya untuk melupakan hal-hal yang telah saya pelajari di sekolah. Dan bahwa saya tidak dapat memperoleh uang yang banyak, kalau terlalu jujur. Bila saya menjawab bahwa uang bukanlah segala-galanya. Mereka mengejek saya: “Oh! Bukan? Baiklah, itu menolong”. Saya seorang ideal dan saya telah berhenti. Saya berhenti kerja, sebelum saya dapat memperoleh pekerjaan yang lain. Selama waktu itu, saya kadang-kadang bertemu dengan berbagai teman sekolah dan mereka menceritakan pengalamanpengalaman yang serupa kepada saya. Mereka mengatakan bahwa mereka menderita kelaparan. Jika mereka terlalu jujur. Semua dari mereka adalah para gadis yang menunggu-nunggu untuk menikah dengan standar yang menyenangkan dan mereka mengatakan mereka tidak mengerti bagaimana mereka dapat mampu untuk menjadi jujur sekali. Perasaan saya menjadi kurang stabil, mereka telah menjadi orang dibandingkan dengan saya saat melepaskan pekerjaan pertama saya. Kemudian saya memperoleh kesempatan dalam bisnis mobil bekas. Saya mempelajari bahwa bisnis ini mempunyai lebih banyak tipu muslihat untuk menipu para konsumen daripada saya bekerja sebelumnya. Mobil-mobil dengan silindernya yang sudah retak dengan separo dari giginya lepas dari las rodanya, dengan banyak kecacatan, dijual dengan “digaransi”. Ketika konsumen kembali dan meminta garansinya, dia harus menuntut untuk mendapatkan garansinya tersebut dan amat sedikit yang mau, karena sulit dan mahal biaya mengurusnya. Bos mengatakan kamu dapat percaya kepada sifat manusia. Jika mobil-mobil yang sulit dapat dijual dan penjualannya aman, bos menyatakan tidak ragu-ragu. Ketika saya mempelajari kejadian tersebut, saya tidak berhenti meninggalkan bisnis ini, seperti sebelumnya, saya merasa jijik dan ingin berhenti, tetapi saya berargumen bahwa saya tidak mempunyai banyak kesempatan untuk menemukan sebuah perusahaan yang bagus. Saya mengetahui bahwa permainan tersebut curang, buruk, tetapi permainan tersebut harus dimainkan, - hukum rimba dan yang 33
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
dipilih orang -, saya mengetahui bahwa saya tidak jujur dan pada tingkatan itu saya merasa bahwa saya lebih jujur daripada kawan saya. Perihal tersebut menggores dan menembus hati saya, sebagai hal yang asing, yaitu di mana semua orang-orang itu merasa bangga dengan kemampuannya untuk menipu para konsumen. Mereka menyombongkan ketidakjujuran yang mereka miliki dan dipuji oleh kawan-kawan dan musuhnya sebagai ukuran kemampuannya, untuk melepaskan diri dari transaksi yang tidak jujur: hal tersebut disebut kelicikan. Hal yang lain adalah bahwa orang-orang tersebut bersepakat dalam mengutuk perampok-perampok, gangster-gangster, pembobol rumah, dan pencuripencuri. Mereka tidak pernah menganggap mereka sendiri satu golongan yang dikutuknya, dan akan marah sekali, jika dituduh tidak jujur, dan mereka menganggap hal itu sebagai bisnis yang baik. Kadang-kadang, seperti tahun-tahun yang telah lewat, saya telah memikirkan saya sendiri sewaktu di universitas, yang idealistis, jujur dan bijaksana, tenggang rasa terhadap yang lainnya dan kadangkala sekarang saya malu pada diri sendiri. Tidak lama lagi ingatan-ingatan sedemikian itu menjadi berkurang dan hal tersebut menjadi sulit untuk membedakan saya dengan kawan-kawan saya. Jika anda telah menuduh saya tidak jujur, saya akan menyangkal tuduhan itu, tetapi dengan sedikit agak berapi-api daripada teman-teman bisnis saya, dan setelah kesemuanya itu, bagaimanapun saya telah belajar sebuah kode perilaku yang berbeda.
Peristiwa 3: Berlayar Dengan Sebuah Perahu Kecil Kawan saya Bill Huntington dan saya sedang merencanakan untuk berlayar dengan perahu kecil menuju ke jurusan Barat ke lokasi percobaan bom-H Pasifik. kami akan tetap ke sana sepanjang percobaanpercobaan bom-H tetap diteruskan. Mengapa? Sebab ini merupakan cara saya untuk mengatakan kepada pemerintah British dan Kremlin: “Stop! Stop! Kegilaan ini, sebelum hal tersebut terlambat”. Saya pergi dengan alasan seperti yang dikatakan Shakespeare “Tindakan merupakan kepandaian berbicara”. Tanpa beberapa tindakan langsung seperti itu, rakyat biasa kurang kekuatannya untuk lebih kuat dilihat dan didengar pemerintah mereka. Saya pergi, sebab inilah waktu untuk melakukan sesuatu mengenai perdamaian, bukan hanya berbicara tentang perdamaian.
34
Indikator-indikator Nilai
Saya pergi sebab seperti semua manusia, dalam hati saya, saya tahu bahwa seluruh ledakan-ledakan nuklir adalah dahsyat, jahat, tidak berguna bagi manusia. Saya pergi sebab perang adalah bukan perpanjangan pertandingan dari permainan tusuk-menusuk di jaman feodal. Ini adalah bencana yang tidak terkirakan bagi seluruh manusia. Saya pergi sebab sekarang ini anak-anak kecil dan kebanyakan dari mereka hingga kini, mereka belum dilahirkan oleh seseorang sebagai pasukan-pasukan di garis depan. Ini adalah tugas saya untuk berdiri di antara mereka dari bahaya-bahaya mengerikan. Saya pergi sebab, ini adalah cara pengecut dan merendahkan martabat saya, untuk menunggu terlalu lama, untuk setuju, dan dengan demikian bekerja sama dengan kekejian. Saya pergi sebab seperti yang Gandhi katakan: “Tuhan berada dalam diri manusia, berhadapan dengan saya. Oleh karena itu untuk melukai dirinya adalah juga melukai Tuhannya sediri”. Saya pergi untuk bersaksi bagi kebenaran yang ada dalam batin, yang kita semua mengetahuinya, “kekuatan dapat dilemahkan, tetapi cinta meguntungkan”. Saya pergi sebab walau bagaimanapun, kesalahan, dosa dan pemerintah nampaknya tidak menyesal, saya masih yakin semua orang sesungguhnya berhati yang baik dan bahwa tindakan saya akan dibicarakan mereka. Saya pergi dengan harapan untuk menolong berubahnya hati dan perkiraan dari orang di pemerintahan. Jika diperlukan saya bersedia, memberikan hidup saya untuk menolong perubahan kebijakan dari ketakutan, kekuatan dan penghancuran kepada satu kepercayaan, kebaikan dan pertolongan. Saya pergi supaya mengatakan: “Hentikan pemborosan ini, perlombaan senjata ini dan ubahlah menjadi pertandingan-pertandingan perlucutan senjata. Stop berlomba-lomba dalam kejahatan, berlomba-lombalah untuk kebaikan”. Saya pergi sebab saya memilikinya – jika saya sebut diri saya ini adalah manusia.
35
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
Jika kamu melihat sesuatu yang mengerikan terjadi, nalurimu adalah melakukan sesuatu yang berkenaan dengan itu. Kamu menjadi tidak berdaya dalam ketakutan yang apatis atau kamu bahkan dapat berbicara pada dirimu sendiri dan menyatakan bahwa itu bukanlah hal yang amat mengerikan. Saya tidak dapat melakukan hal seperti itu. Saya harus bertindak. Hal itu sungguh amat mengerikan. Kita semua mengetahuinya. Marilah kita semua bertindak.
Peristiwa 4: Sebuah Ujian Di Dalam Kelas Kampus yang Bising Seorang guru akan mengawasi ujian di kelas, saat waktu ujian mulai tiba, dan peserta didik sedang mulai memasuki ruang kelasnya. Guru tersebut berkata: - Stt, tak seorangpun diijinkan mengucapkan sepatah kata setelah melewati pintu ruangan ujian ini. - Di kelas ini, kalian akan duduk di deretan kursi yang diberi nomor ganjil, yaitu pertama, ketiga, kelima, dan seterusnya. - Kalian akan menempati kursi, setiap kursi pertama, diselang dengan dua kursi yang kosong di antara kamu. - Kamu tidak perlu menggunakan tempat penyimpanan alat tulis atau perlengkapan apapun lainnya. - Saya akan sabar menunggu kalian, tidak boleh ada bisik-bisik, tanda-tanda atau bahasa isyarat. - Kamu akan sukses, jagalah mata kalian dan kertas-kertas kalian. - Baiklah... kita mulai ujian anda dengan kejujuran anda. 1. Dari setiap peristiwa-peristiwa di atas, pertimbangan-pertimbangan apa yang perlu diberikan mengenai nilai-nilai dari orang-orang yang bersangkutan di atas? 2. Tindakan-tindakan apakah dari pihak setiap individu dari peristiwa-peristiwa yang telah ditunjukkan yang dapat meyebabkan anda merubah pikiran anda mengenai apa yang mereka nilai? Mengapa? 3. Apakah maksud pokok dari percakapan pada peristiwa 4? Apakah hal-hal tersebut mengajarkan nilai-nilai?
36
Indikator-indikator Nilai
B. Kata-kata sebagai Tanda dari Nilai-nilai Tindakan-tindakan merupakan satu petunjuk tentang nilai-nilai. Tetapi kata-kata seseorang dapat juga memberikan tanda “tentang apa yang ia nilai”. Kata-kata mungkin nampak dalam pidato-pidato, suratsurat, peryataan-pernyataan, editorial-editorial, gambar-gambar kartu, artikel-artikel, pembicaraan-pembicaraan, atau bentuk-bentuk tulisan yang lain dan atau komunikasi yang diucapkan. Berikut 3 contoh tentang pernyataan dan apa yang dikatakan mereka tentang nilai-nilai.
Pernyataan 1. Deklarasi Kemerdekaan Amerika Kita menganggap kebenaran-kebenaran merupakan hal yang jelas, nampak dengan sendirinya, bahwa semua manusia diciptakan sama, bahwa semua manusia telah diberkahi Pencipta dengan hakhak tertentu, yang tidak dapat diambil oleh orang lain, antara lain adalah Kehidupan. Kebebasan dan Mencapai Kebahagiaan. Adalah untuk menjamin hak-hak, pemerintah telah dibentuk di antara manusia-manusia, mendapatkan kekuatan-kekuatan mereka yang pantas dari Persetujuan yang Diperintah. Bahwa kapan saja berbagai Bentuk dari Pemerintah dapat merusak berbagai tujuan, itu adalah Hak dari Rakyat untuk mengubah atau untuk mengakhirinya, dan untuk membentuk pemerintah baru, meletakkan landasan-landasan suatu prinsip-prinsip dan mengorganisasi kekuatannya dalam suatu bentuk, dengan maksud mereka akan kelihatan berpeluang untuk mempengaruhi Keamanan dan Kebahagiaan mereka. Kebijaksanaan, tentu saja akan menghendaki bahwa Pemerintah ditegakkan dengan kuat dan tidak akan dirubah dengan sebab-sebab yang ringan dan sementara, dan sesuai dengan seluruh pengalaman yang menunjukkan perencanaan, bahwa umat manusia adalah lebih cenderung untuk menderita, sementara kejahatan-kejahatan dapat menderita daripada hak mereka sendiri oleh penghapusan bentuk-bentuk yang mereka biasakan. Tetapi kalau deretan panjang dari pennyalahgunaan kekuasaan dan perebutan kekuasaan selalu mengejar objek-objek yang sama menunjukkan dengan jelas desain untuk mereduksi mereka di bawah Despotise Absolut, itu adalah hak mereka, adalah kewajiban mereka, untuk melepaskan diri dari pemerintah yang demikian, dan untuk menentukan Pengawal-pengawal baru untuk keamanan masa depan mereka. 37
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
Pernyataan 2: Sebuah Petikan Dari Khotbah Di Puncak Gunung Kamu telah mendengar bahwa hal itu telah saya katakan, mata untuk mata, dan gigi untuk gigi. Tetapi saya mengatakan sampai padamu: “Bahwa kamu melawan bukanlah jahat, tetapi siapapun akan menampar anda pada pipi kanan, berikan giliran pada pipi kiri anda. Kamu telah mendengar bahwa hal itu telah dikatakan: “Kamu boleh mencintai tetanggamu, dan membenci musuhmu. Tetapi saya menyatakan padamu. Cintailah musuh-musuhmu, doakan mereka yang mengutuk kamu, berbuat baiklah untuk mereka yang membenci kamu, doakan mereka meskipun sebenarnya mereka menggoda, menyiksa kamu. Pernyataan 3: Sebuah Argumen untuk Moralitas Manusia telah menggambarkan prinsip-prinsip moralitas yang mengagumkan, yang sebagian besar mempengaruhi tindakan-tindakan manusia secara individual. Dan sekalipun begitu kita para pembunuh, para pembunuh massa. Hampir semua dari kita, bahkan dari pemimpin-pemimpin agama kita, menerima dengan tenang kebijakan dunia, untuk menyediakan bagian yang luas dari pendapatan dunia, sumber-sumber dunia kita – seratus milyar dollar per tahun dengan darah dingin menyiapkan senjata-senjata nuklir untuk membunuh ratusan milyar orang, untuk merusak kelompok baksil plasma manusia sedemikian rupa, setelah perang nuklir yang besar, anak cucu kita mungkin hampir tidak dapat dikenali sebagai manusia. Apakah firman: “tidak boleh membunuh” tidak bermakna pada kita? Apakah kita menafsirkannya dengan makna “Kamu tidak boleh membunuh, kecuali bila pemimpin bangsa memerintahkan untuk membunuh?” Saya yakin bahwa kekuatan yang terbesar di dunia ketimbang kekuatan dari kekuatan militer, dari bom-bom nuklir, kekuatan itu adalah kekuatan dari kebaikan, dari moralitas dan dari humanitarisme. Saya yakin dalam kekuatan semangat manusia. Saya akan senang untuk melihat bangsa kita yang besar, Amerika Serikat, memelopori dalam perang untuk kebaikan, untuk perdamaian, terhadap kejahatan perang. Saya akan senang untuk melihat kabinet kita sebagai pelaksana dari Perdamaian. Dengan anggaran milyar dollar per tahun, barangkali 38
Indikator-indikator Nilai
sebanyak 10% dari jumlah sekarang yang dibelanjakan untuk maksudmaksud militer. Saya akan senang untuk melihat adanya program penelitian internasional yang besar yang melibatkan ribuan saintis, ekonom, pakar geografi, dan pakar-pakar lain yang bekerja dengan bermanfaat tahun demi tahun dalam penelitian yang mungkin memberikan berbagai solusi terhadap masalah-masalah dunia, caracara untuk mencegah perang dan memelihara perdamaian. Selama seratus tahun yang lalu telah terjadi perkembangan yang mengejutkan dalam sains dan teknologi, perkembangan yang sama sekali merubah alam dunia sebagaimana kita tempati sekarang. Sejauh ini, seperti yang dapat kita lihat, bentuk diplomasi, pelaku perstiwaperistiwa internasional, amat sedikit yang telah berubah. Era sekarang datang dengan aspek-aspek dunia yang berubah, sebab kita sekarang mengakui bahwa kekuatan untuk merusak dunia adalah kekuatan yang tidak dapat digunakan. Mungkin bangsa kita yang besar, Amerika Serikat, menjadi pemimpin dalam menempatkan moralitas ke dalam tempat yang pantas bagi kepentingan utama dalam perilaku peristiwa-peristiwa dunia. Oleh karena itu, kata-kata dapat juga menjadi indikator-indikator nilai. Peryataan-pernyataan seperti tersebut di atas, adalah menunjukkan atau mengimplikasikan bahwa suatu individu atau kelompok menganggap hal atau kelompok tertentu, mempunyai kuantitas tertentu dari harga, jasa, atau kualitas (secara pasti seberapa besar adalah tidak selalu jelas), yang disebut sebagai Pertimbangan Nilai. Apakah yang akan kamu katakan bahwa indikator yang lebih baik untuk apa nilai-nilai seseorang? Apakah yang dia katakan atau lakukan? Mengapa?
C. Tipe-tipe dari Pertimbangan-pertimbangan Nilai Pertimbangan-pertimbangan nilai terlihat dalam berbagai bentuk. Lebih penting, mereka mempunyai makna-makna yang berbeda. Sebagai contoh, semua pernyataan berikut adalah pertimbangan nilai. Sekalipun begitu mereka beraneka dalam istilah antara maksud dan arti:
39
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
1. Saya lebih suka menghadiri orkes simponi ketimbang balet. 2. Lukisan ini berharga $ US 1500 dengan harga kontan dari berbagai dealer seni profesional yang ada di dalam negara. 3. Demokrasi adalah bentuk yang terbaik dari pemerintah. 4. Amerika Serikat akan memberi makanan untuk negara-negara yang sedang mengalami kelaparan. Berbagai pertimbangan nilai seperti pernyataan: “Saya lebih suka untuk menghadiri orkes simponi daripada balet”, adalah tidak lebih daripada indikasi-indikasi dari pilihan atau selera. Pembicara tidak mencoba untuk memperdebatkan atau menganjurkan bahwa yang satu akan menyukainya, tetapi merupakan indikasi yang sederhana apa yang disukai dalam dirinya. Pertimbangan-pertimbangan nilai yang lain dapat pernyataan: “Lukisan ini berharga $US 1500 dengan harga kontan dari berbagai dealer yang ada di dalam negara”, adalah pernyataan-pernyataan yang tegas bahwa objek-objek tertentu atau tipe dari objek akan memberikan harga pasti di tempat-tempat penjualan objek-objek itu. Pembicara dalam kasus ini adalah memberikan taksiran dari apa yang kelompok orang tertentu (dealer seni) yang membayar waktu tertentu untuk mengharapkan sesuatu bahwa mereka mengharapkan (lukisan tertentu). Nilai ini (nilai pasar pada waktu yang diberikan) mungkin berubah tergantung waktu, sejumlah dealer seni akan membayar untuk lukisan, mungkin dapat meningkat atau menurun, tetapi pembicara tersebut tidaklah hanya mengungkapkan pilihan pribadi (meskipun ia mungkin melakukan hal itu juga), pembicara ini sedang menunjukkan opini umum dari kelompok orang tertentu mengenai sesuatu hal yang dianggap berharga/bernilai. Beberapa pertimbangan nilai seperti pernyataan: “Demokrasi adalah bentuk terbaik dari pemerintahan”, adalah pernyataan tegas atau mengimplikasikan bahwa hal tertentu adalah harga atau manfaat daripada alternatif-alternatif lain yang serupa dan yang tersedia, sebab hal itu merupakan karakteristik yang amat spesifik dari seperangkat kriteria tertentu (seperti keterampilan, energi, inteligensi, kekuatan, kebaikan, dan beberapa kombinasi dari kriteria tersebut, dan sebagainya). Seandainya untuk contoh, ucapan seorang pemilik perusahaan yang mengatakan: “John adalah pekerja saya”. Ketika diminta untuk menjelaskan pernyataan tersebut, pemilik perusahaan itu menjawab: “.... sebab dia 40
Indikator-indikator Nilai
mengerjakan pekerjaan terbanyak dalam waktu yang singkat dengan tingkat kesalahan paling sedikit”. Pemilik perusahaan itu tidak hanya sedang mengekspresikan sebuah pilihan pribadi, maupun hanya mengacu pada pendapat umum dari kelompok orang mengenai sesuatu itu mempunyai nilai. Pemilik perusahaan itu sedang menunjukkan bahwa seorang pekerja yang khusus, yaitu John, merupakan pekerja yang lebih baik di antara pekerja lainnya, sebab John melakukan pekerjaannya “di atas” pekerja lainnya sehubungan dengan seperangkat kriteria tertentu yang dapat dipakai (sejumlah pekerjaan yang telah dilakukannya dengan kecepatan tertentu dan jumlah kesalahannya). Akhirnya pertimbangan-pertimbangan nilai lainnya seperti pernyataan: “Amerika Serikat akan mengirim makanan untuk bangsa-bangsa yang sedang mengalami kelaparan”, adalah rumusan dari kebijakan, yang menunjukkan apa yang pembicara pikir akan dikerjakan dalam satu atau berbagai hal dengan memperoleh konsekuensi-konsekuensi yang diharapkan. Bila seseorang mengatakan bahwa seperti itu dan seperti itu adalah lebih baik dari begitu dan begitu, sebab ia memiliki karakteristikkarakteristik tertentu akan sebab ini atau itu akan berhasil, kita dapat memeriksa fakta-fakta yang terlibat dan melihat jika apa yang orang katakan itu benar. Hal itu adalah, kita dapat mempertegas apakah ya atau tidak terhadap orang atau objek dalam pertanyaan mempunyai karakteristik-karakteristik yang dinyatakan telah dihasilkan dari tindakantindakan atau kebijakan-kebijakan yang serupa pada masa lalu. Hal itu tidak membuat pilihan yang telah mengacu pada “yang lebih baik” dalam berbagai pengertian mutlak atau akhir, tetapi hal itu menceritakan pada kita, mengpa seseorang yang berpikir adalah lebih baik. orang menggunakan seperangkat kriteria yang berbeda yang mungkin menghasilkan kesimpulan yang cukup berbeda. Itu mungkin dapat berguna pada hal ini, untuk menyatakan sedikit kata-kata mengenai sebuah hal yang mengandung kebingungan, terhadap kenyataan-kenyataan dari sejumlah pendidikan nilai saat ini. Inilah kemudian yang disebut perbedaan antara pertimbangan faktual dan pertimbangan-pertimbangan nilai. Argumen yang mendukung perbedaan tersebut terhadap sesuatu yang menyerupainya. Pertimbangan Faktual adalah tuntutan yang dibuat mengenai dunia dan sesuatu yang tampak ada atau berada di dalamnya. Pertimbangan-pertimbangan seperti itu dapat begitu 41
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
khusus, seperti waktu, tempat dan individu-individu yang dilibatkan. Sebagai misal: Penyerahan formal Jepang yang menandai akhir PD II, dilaksanakan pada tanggal 2 September 1945, di atas kapal US Missouri, pertimbangan seperti itu dapat menjadi amat umum. Kalau objek tidak konsisten atau luar biasa adalah termasuk dalam rangkaian dari objek perhatian, keingintahuan, dan maksud perhatian terhadap berbagai objek yang semakin meningkat. Tetapi pertimbangan-pertimbangan faktual mempunyai satu karakteristik dasar secara umum, yakni pada akhirnya dapat diuji melalui observasi. Pertimbangan nilai, pada sisi yang lain, adalah berupa angka atau nilai dari aspek-aspek tertentu, baik eksperimen atau rumusan materi tertentu dari tindakan. Pemikiran yang menyarankan bahwa perbedaan bukanlah merupakan pegangan, namun demikian, yang terbaik hanya dipegang sebagian. Berbagai pertimbangan nilai adalah pertimbangan faktual. Lihatlah pernyataan 2 di atas, sebagai contoh. Pembicara tidaklah hanya berkata, bahwa ia berpikir melukiskan fakta adalah bermanfaat, tetapi juga membuat pernyataan tentang fakta yang dapat diperiksa dengan mudah oleh seorang dealer seni profesional. Atau pertimbangan pernyataan 1. Kalau seseorang menyatakan, bahwa ia lebih suka untuk menghadiri orkes simponi ketimbang balet, ia menceritakan pada kita sesuatu tentang perilakunya, bahwa kita dapat mengamati dengan mudah. Pertimbangan-pertimbangan nilai yang lain menjadi pertimbangan faktual, karena maknanya telah dieksplorasi (diselidiki). Satu yang kita ketahui, apa pertanyaan 3, maksud pembicara melalui istilah “terbaik”, kita dapat menentukan, jika pernyataan yang dipegang atau tidak sesuai untuk definisi tersebut (yang semua dapat kita lakukan untuk berbagai pernyataan). Pernyataan-pernyataan kebijakan, seperti nomor 4 di atas, dibuat untuk alasan, sebab pembicara yakin bahwa konsekuensi-konsekuensi tertentu akan dihasilkan. Ini adalah pertanyaan terhadap fakta sebagai apakah ya atau tidak terhadap konsekuensi sedemikian itu sungguh-sungguh akan terjadi. Perkiraan kita terhadap kemungkinan dari peristiwa mereka dapat menolong kita untuk menentukan apakah pertimbangan-pertimbangan adalah berbagai hal yang mereka akan buat, untuk diri mereka sendiri. Di antara kata dan tindakan seseorang, mungkin menyatakan bukti dari apa yang ia nilai. tentu saja, tidak dapat secara mutlak, karena orang mungkin mencoba untuk memperdaya atau membingungkan kita, jadi banyak bukti, kita punyai (banyak dari tindakan-tindakan dan perkataanperkataan orang, kita amati di bawah berbagai kondisi), berbagai 42
Indikator-indikator Nilai
gambaran akurat, kita mungkin mengharapkan tentang apa yang orang nilai. 1. Di sini ada sejumlah pertimbangan-pertimbangan nilai. Maukah kamu melakukan percobaan untuk membenarkan ataupun menyalahkan pertimbangan tersebut? Apakah dapat dimungkinkan untuk “membuktikan kebenaran” dari adanya pertimbangan-pertimbangan ini dengan beberapa cara? a. Bob Thomas senang untuk bermain catur melebihi dari permainan lainnya yang dapat kamu sebutkan. b. Kursi ini merupakan serangkaian karya yang baik sekali. c. Chevrolets tahun 1965 dalam kondisi bagus akan menghasilkan lebih banyak uang pada pasar mobil bekas daripada mobil merek Ford tahun 1965 dalam kondisi yang sama. d. Dwight Eisenhower adalah seorang Presiden yang lebih baik daripada Harry Truman. e. Sepeda bekas merek Gitane yang mempunyai 10 speed adalah lebih berharga daripada merek Schwinn yang kondisi dan tahun yang sama. f. Alice Stevenson mencintai simfoni. g. Musik rock adalah musik yang paling baik daripada kesanggupan musik Big Band tahun 1930. h. Kulkas merek X tidak sebagus kulkas merek Y. i. Mrs. Adams adalah seorang guru terbaik di sekolah itu. j. Hukuman mati seharusnya ditiadakan. k. Marilyn merupakan wanita yang sangat cantik. 2. Apakah dimungkinkan bahwa nilai dari sesuatu hal yang nyata menjadi lebih besar atau menjadi lebih kecil dari biaya atau harga pada waktu yang telah ditentukan? Jika demikian, dapatkah anda memikirkan beberapa contoh dari item-item sedemikian itu?
D. Tingkatan Nilai Apakah beberapa nilai lebih penting dari nilai yang lainnya? Nilainilai apa yang orang akan mendukungnya? Penganut paham moral yang absolut misalnya, berargumen bahwa ada nilai-nilai yang “abadi”, yang mereka ingin sekali untuk memperolehnya. Nilai seperti itu disebut nilai 43
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
absolut. Mereka menggunakannya di setiap tempat dan selalu memegang nilai tersebut. Mereka mengidentifikasikan tindakan-tindakan manusia tertentu yang diidentifikasikan “selalu benar” atau “selalu salah”, tanpa menghiraukan keadaan sekitar. Ada perbuatan manusia tertentu di mana merupakan sifat dasar yang dimilikinya juga, yang pada hakekatnya buruk dan berhak mendapat hukuman. Secara sekilas, ini nampak merupakan sikap yang pantas. Bagaimanapun juga akhirnya, apakah tidak ada beberapa bentuk tingkah laku manusia - sebagaimana membantu yang lain yang memerlukan bantuan - yang berlaku secara universal untuk menjadi kebajikan? Dan dengan kata lain, apakah tidak ada kebiasaan bagi perilaku membunuh atau menyiksa, sehingga semua orang akan menghukum? Masalah tersebut terletak pada sifat dasar dari kata “mutlak”, halhal yang mutlak yang definisinya, yaitu melakukan perilaku dengan tidak ada pengecualian atau tidak tergantung pada kondisi-kondisi tertentu, contoh teladan dari suatu perilaku, untuk bisa memenuhi syarat dalam kriteria kemutlakan moral, harus tetap memegang perilaku tersebut di saat keadaan apapun. Jika satu perkecualian dapat dibenarkan, teladan tersebut hilang statusnya yang mutlak. Lawan dari penganut paham moral yang mutlak, yaitu penganut paham moral relatif, yang percaya bahwa ada sebuah kedudukan nilai yang jumlahnya banyak dan orang dapat menentukannya, sehingga beberapa nilai adalah tidak lebih penting, atau lebih baik dari nilai lainnya. Walaupun penganut dari paham ini bukanlah seorang yang relatif untuk diri mereka sendiri. W.T. Stace (1965: 48-49) memberikan gambaran yang jelas mengenai pandangan penganut paham “relatif” ini: Gagasan kemajuan yang menyeluruh hanyalah merupakan sebuah anganangan belaka. Kemajuan berarti sebuah kemajuan dari paling rendah ke paling tinggi, dari paling buruk ke paling baik. Tetapi dasar dari etika relatifitas, sesuatu yang bukan berarti untuk mengatakan bahwa standarstandar dari suatu zaman adalah lebih baik (atau lebih jelek) dari zaman sebelumnya. Untuk itu tidak ada standar yang umum yang dapat diukur. Jadi adalah omong kosong untuk mengatakan bahwa moralitas dari Perjanjian Baru adalah lebih tinggi daripada Perjanjian Lama. Dan Jesus Kristus, jika mengira dia yang mengenalkan kepada dunia standar etika yang lebih tinggi dari yang telah sebelum jamannya, itu tipuan belaka. 44
Indikator-indikator Nilai
Atas dasar pandangan itu, Jesus Kristus hanya dapat mengarah pada keyakinan yang benar-benar tak masuk akal, bahwa ajaran etika miliknya lebih baik daripada ajaran Musa dengan kesombongan pribadinya. Jika ia telah membaca Dewey, dia akan mengerti bahwa demikian lamanya orang terus menerus percaya pada doktrin dari mata untuk mata dan gigi untuk gigi, bahwa doktrin itu secara moral benar; dan itu tidak dapat menjadi sesuatu apapun untuk mencoba membuat mereka percaya dengan teori model barunya untuk mencintai musuh-musuhya. Moralitas yang baru akan menjadi benar jika orang datang untuk percaya pada ajaran tersebut, kemudian baru menjadi standar yang diterima. Dan apa yang orang pikirkan benar adalah benar. Tetapi jika hanya Jesus dan orangorang yang mempunyai ajaran yang sama menjaga ajaran untuk diri mereka sendiri, orang mungkin akan mempercayainya bahwa moralitas yang dulu adalah benar. Dalam kasus ini, itu akan menjadi benar, dan akan akan tetap benar sampai hari ini. Dan akan dipelihara dari banyak kesulitan yang tidak berguna. Untuk perubahan yang Jesus Kristus sesungguhnya lakukan hanya perubahan dari dari satu kumpulan ajaran-ajaran moral ke ajaran moral lainnya.7)
Penganut aliran relativitas meninggalkan kita dengan memberikan kesan bahwa pertimbangan nilai tak lebih dari ekspresi, ekspresi rasa, apa yang seseorang lebih suka, tetapi orang lain tak suka. Paham ajaran ini, muncul untuk mengusulkan bahwa ketidaksetujuan mengenai nilainilai, akan menjadikan perbedaan-perbedaan dalam hubungannya dengan apa yang orang suka. Oleh karenanya ketidaksetujuan sedemikian itu, tidak dapat diputuskan atau dirubah. “Kamu memiliki kesukaanmu maupun ketidaksukaanmu”, demikian juga dengan saya. Saat saya tak mungkin setuju dengan pilihan-pilihan atau kamu tak setuju dengan pilihan-pilihan saya, kamu berhak terhadap pilihan kamu, begitupun saya juga demikian. Hal ini dapat merupakan sebuah pendirian umum, saat adanya ketidak-setujuan mengenai persoalan nilai-nilai yang muncul. Sekarang tentu saja ada beberapa kebenaran dalam pernyataan di atas, semua pertimbangan nilai sedikitnya merupakan pernyataanpernyataan pilihan. Tetapi beberapa pertimbangan nilai, seperti yang telah kita lihat, mungkin hanyalah pernyataan-pernyataan pilihan. Namun banyak hal yang diharapkan untuk menyampaikan lebih dari hanya sekedar itu, dalam banyak hal seseorang yang bermaksud untuk menunjukkan apa yang kelompok orang tertentu pikirkan mengenai 45
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
sesuatu hal, yang dinilai berharga. Hal tersebut mungkin dimaksudkan untuk argumen atau anjuran, bahwa sesuatu hal itu lebih super dari adanya alternatif-alternatif yang dipunyainya, ataupun untuk menentukan bagian dari tindakan yang khusus. Komentar-komentar di atas membawa kita ke dalam argumen para penganut paham positivis yang logis. Ajaran ini berargumen bahwa hanya pertimbangan-pertimbangan faktual yang dapat dibuktikan dan pertimbangan-pertimbangan nilai (yaitu pertimbangan mengenai sesuatu hal yang dianggap bernilai, berharga dan bermanfaat) tidak dapat diperiksa. Pertimbangan-pertimbangan faktual merupakan pernyataanpernyataan megenai sesuatu hal yang benar-benar ada dan benar-benar terjadi pada masa dulu, sedang terjadi, atau akan terjadi da masa yang akan datang. Termasuk dalam pertimbangan faktual, yaitu aktivitas-aktivitas individu, tempat-tempat lokasi, tanggal kejadian, ukuran-ukuran obyek. Pernyataanpernyataan sedemikian itu memberikan kepada kita informasi mengenai orang, sesuatu hal, kejadian-kejadian yang dapat diperiksa sebagai kebenaran atau kesalahan melalui sebuah observasi dan riset. Pertimbangan nilai, seperti yang telah dinyatakan penganut paham positivis, adalah tidak dapat diuji di depan umum, sebagai pertimbangan dalam menghadapi perasaan-perasaan dan kecenderungan-kecenderungan hati serta memuat nilai-nilai yang berhubungan dengan “baik”, “cantik”, dan sesuatu hal yang sifatnya “diinginkan sekali” dan sebagainya.Pernyataan-pernyataan demikian tak mengatakan sesuatu mengenai dunia sebagaimana yang ada, tetapi sebagai yang kita inginkan hal tersebut terjadi, dan pertimbangan ini tidak lepas dari pembuktiannya melalui observasi dan eksperimen. Bagaimanapun, penganut paham positivis muncul dengan mengabaikan fakta bahwa pernyataan-pernyataan nilai dapat dilakukan pengujian kepada umum, jika kita dapat mengarahkan ke beberapa persetujuan dalam syarat-syarat nilai yang terkandung. Pernyataan bahwa merek mobil X lebih baik daripada merek mobil Y, atau Michael adalah guru yang terbaik daripada Dolores, dapat diuji dengan cukup, jika hal itu telah memperhatikan mobil-mobil atau guru-guru yang dapat menyetujui dengan istilah nilai yang dikandungnya (dalam contoh ini, istilah nilai yang dikandungnya adalah “lebih baik”). Dengan memperoleh persetujuan seperti itu, tentu saja, tidak selalu merupakan persoalan yang mudah, tetapi ada cara-cara untuk mengusahakannya menjadi lebih mudah. 46
Indikator-indikator Nilai
Akhirnya hal demikian menjadi jelas, bahwa orang sungguh memberikan lebih banyak kepentingan pada beberapa nilai daripada yang mereka kerjakan terhadap hal lainnya. Walaupun tidak setiap orang setuju mengenai nilai-nilai mana yang lebih penting. Berbagai nilai, seperti menyukai coklat daripada es krim vanilla atau musik rock sampai country dan western adalah secara esensial adalah piihan-pilihan pribadi. Mereka memperlihatkan cita rasa pribadi secara individual – apa yang ia sukai, lebih baik dari sesuatu yang lain dalam bentuk serupa. Orang tidak mungkin untuk menganjurkan, bahwa orang-orang lain juga akan menilai jika mereka melakukan. Cita rasa seseorang juga tergantung pada pengalaman-pengalamannya. Sesuatu cita rasa mungkin agak terbatas, hingga seseorang mempunyai kesempatan untuk mencoba berbagai macam perbedaan terhadap sesuatu. Dalam proses, seseorang menjadi sadar terhadap pilihan-pilihan, sadar bahwa berbagai macam perbedaan dari sesuatu yang dimiliki dan dikerjakan adalah dapat dinikmati dan barangkali dapat bernilai. Ini merupakan penyebab dari para guru yang akan mencoba untuk melibatkan peserta didik dalam berbagai pengalaman berbeda seperti itu, mungkin untuk meningkatkan kesadaran mereka terhadap apa yang dunia tawarkan. Meskipun terhadap nilai-nilai yang lain, beberapa orang menganggap jauh lebih penting dari pilihan-pilihan pribadi pada peristiwa-peristiwa di dunia. Nilai-nilai seperti itu, dalam kenyataan adalah dipandang sebagai yang penting dan orang sering buktikan bahwa orang lain juga akan mempertahankannya. Perdamaian dunia adalah nilai universal untuk berbagai orang, martabat manusia, kesempatan yang sama dan kebahagiaan. Mereka dipertahankan secara esensial untuk memelihara kehidupan umumnya dan bagi kualitas hidup khususnya. Beberapa nilai yang lain seperti kejujuran, kebersihan, kebijaksanaan, atau keberanian di beberapa tempat mengalami degradasi perbedaan yang tajam. Terbanyak dari kita tidak mungkin disarankan bahwa beberapa nilai adalah esensial untuk kelangsungan hidup suatu rumpun manusia. Masih kita pertimbangkan dari mereka lebih penting dari pilihan-pilihan pribadi. Dan nilai yang suatu saat adalah pilihan pribadi, yang secara esensial mungkin memperoleh status yang lebih mendasar, nilai fundamental pada waktu sekarang atau dalam konteks-konteks tertentu. Nilai tersebut sekarang terletak dalam ekologi - membangun dan memelihara lingkungan yang sehat dan bersih - sebagai suatu contoh. 47
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
1. Kami tugaskan untuk memberi nama 3 nilai yang kamu pikirkan rakyat Indonesia akan menyokongnya. Nilai apa saja yang akan kamu sebutkan? 2. Apakah ada beberapa nilai yang kamu pikir lebih banyak orang di seluruh dunia akan mendukung. Jika ada nilai apa saja itu? 3. Nilai-nilai apa yang kamu pikirkan paling penting? Maukah kamu berargumen bahwa orang lain seharusnya juga menganggap nilai-nilai kamu itu adalah juga paling penting? Mengapa demikian dan mengapa tidak demikian? 4. Apakah ada nilai-nilai yang kamu sokong, sedangkan orang tuamu tidak mendukung? Jika demikian bagaimana kamu menjelaskan hal itu?
E. Latihan-latihan 1. Temukan beberapa artikel majalah/koran yang berisi pernyataan yang kamu rasa mempunyai implikasi-implikasi nilai. Kemudian tunjukkan temuan itu kepada temanmu atau teman sekelasmu dan tanya mereka nilai-nilai apa yang mereka pikirkan mengenai artikel yang tergambar tersebut. Pada tingkat yang apa pandangannya akan serupa dengan pandanganmu? Dan bagaimana kamu akan menjelaskan akan adanya perbedaan pandangan itu? 2. Rekamlah pernyataan-pernyataan dari seseorang yang berpengaruh yang kamu yakin mempunyai implikasi-implikasi nilai secara periodik. Seberapa konsisten dia memegang nilai tersebut? Apakah dia memegang terus nilai tersebut? 3. Sering dikatakan bahwa kita dapat menceritakan nilai-nilai yang dipegang orang tersebut dengan mengobservasi bagaimana dia dalam bertindaknya. Dapatkah kita menceritakan apa yang seseorang tidak memberikan nilai melalui observasi dari tindakannya? 4. Daftar di bawah ini merupakan sejumlah pertimbangan-pertimbangan nilai. Nilai-nilai apa yang akan kamu katakan dari setiap gambaran pernyataan ini? a. Para mahasiswa seharusnya diajarkan bagaimana bentuk berpikir, dan bukan apa yang ia pikirkan. b. Semua mahasiswa seharusnya diberi pekerjaan rumah minimal 8 per minggu. 48
Indikator-indikator Nilai
c. Berbicara dan berbisik seharusnya tidak diizinkan di ruangan perpustakaan. d. Panjang rambut mahasiswa laki-laki seharusnya tidak diizinkan untuk memperpanjangnya di bawah krah bajunya yang paling atas. e. Semua mahasiswa seharusnya diwajibkan untuk memakai sepatu jika masuk kelas. f. Para pengajar studi masalah sosial (ilmu sosial) seharusnya menggunakan sumber materinya secara bervariasi daripada hanya menggunakan satu buku teks mengajarnya. g. Para mahasiswa seharusnya diberi semangat untuk merencanakan eksperimen-eksperimen dan proyek-proyek miliknya dalam kelaskelas sains. h. Karangan-karangan seharusnya ditulis dengan tinta. i. Para guru seharusnya memusatkan perhatian untuk mengajarkan konsep-konsep dan ide penting dari pada hanya mebuat para mahasiswanya menjadi senang untuk menghapal mengenai faktafakta yang tidak berhubungan. 5. Daftar di bawah ini merupakan sejumlah nilai yang mana orang secara bervariasi telah mengidentifikasinya sebagai suatu nilai yang penting bagi mereka. Pilihlah 3 yang paling penting dan 3 yang kurang penting sepengetahuan kamu. Bandingkan pilihan-pilihan kamu dengan pilihan orang-orang yang lain. Perbedaan-perbedaan apa yang kamu perhatikan? Samakah? Bagaimana anda akan menerangkan berbagai perbedaan dan persamaan? Apakah ada beberapa nilai (atau nilai lainnya) yang kamu pikir sebaiknya diajarkan secara langsung di sekolah? Mengapa ya dan mengapa tidak? • Kejujuran • Kesopanan • Kebersihan • Keadilan • Keteguhan hati • Ketepatan waktu • Kecepatan dalam pemeriksaan di pengadilan • Kerja keras 49
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
• • • • • • • • •
Cinta negara Kebebasan berbicara Kebebasan mengadakan pertemuan Kebebasan beribadah Kebebasan dari hukuman yang kejam dan luar biasa Perjuangan hidup Kesucian hidup Pengadilan oleh juri dari kawan sebaya Kebebasan dari penyelidikan dan penyitaan yang tak masuk akal
KEPUSTAKAAN Fraenkel, Jack R. (1977). How to Teach About Values: An Analytic Approach. Englewood Cliffs.N.J: Prentice-Hall McGuken, William, “The Philosophy of Catholic Education”, ini N.B. Henry ed, Philosophies of Education, Forty-first Year book of the National Society for the Study of Education, Chicago: The Society, 1942, p.254. Shaver, James P. and Strong, William, Facing Value Decisions: RationaleBuilding for Teachers, Belmont, California: Wadsworth Publishing Co, 1976. Stace W.T., The Concept of Morals, New York: Macmillan Publishing Co, Inc, 1965, pp.48-49.
50
BAB IV KLARIFIKASI NILAI-NILAI
Salah satu dari berbagai pendekatan yang umumnya digunakan dalam pendidikan nilai di sekolah-sekolah pada saat ini adalah pendekatan klarifikasi nilai, yang dikemukakan oleh Raths, Harmin, dan Simon dalam buku mereka, Values and Teaching (1966). Raths dan koleganya, peduli sekali terhadap proses menilai ketimbang bentuk nilai-nilai itu sendiri. Mereka menyatakan bahwa nilai-nilai adalah didasarkan pada proses, yaitu memilih, menghargai, dan melakukan. Raths dan koleganya menetapkan bahwa nilai adalah sebagai hasil, jika 7 kriteria di bawah seluruhnya dipenuhi (1996: 30): Memilih
Menghargai Melakukan
: 1. Dengan pilihan yang bebas 2. Dari berbagai alternatif 3. Setelah melalui pertimbangan yang dalam dari berbagai konsekuensi dari setiap alternatif : 4. Menghargai dan bangga dengan pilihannya 5. Bersedia menegaskan pilihannya : 6. Melakukan sesuatu berdasarkan pilihannya 7. Berulang-ulang dalam berbagai pola dalam kehidupan
Secara kolektif, 7 proses tersebut adalah apa yang diartikan sebagai menilai. Hasil-hasil yang akan muncul, jika 7 proses di atas seluruhnya dipenuhi merupakan penggunaan nilai-nilai sebagaimana yang ditunjukan oleh Raths, Harmin dan Simon. Mereka kemudian memperkenalkan berbagai strategi (lebih banyak sama dengan aktivitas-aktivitas dan teknik-teknik) yang guru gunakan untuk mengikutsertakan para peserta didik dalam satu atau berbagai proses. 51
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
Karena popularitas klarifikasi nilai telah tesebar luas dan mudah untuk dilasanakan, bahkan dengan hanya berbagai latihan minimum, kita akan membahas pendekatan tersebut secara rinci dalam bab ini. Untuk memberikan keyakinan kepada kalian, untuk apa pendekatan ini digunakan, kita akan memaparkan pada sejumlah aktivitas penjelasan nilai-nilai yang kami rekomendasikan. Beberapa kekuatan dan kelemahan dari pendekatan klarifikasi akan didiskusikan.
A. Menjelaskan Respon (Clarifying Response) Teknik dasar atau kunci yang digunakan dalam klarifikasi nilai adalah menggunakan apa yang Raths (1966) sebut sebagai menjelaskan respon (clarifying response), yakni cara untuk merespon terhadap sesuatu, yang para peserta didik katakan atau lakukan untuk mendapatkan gambaran atas apa yang mereka pilih, atas apa yang mereka hargai, atau atas jenis-jenis sesuatu yang mereka lakukan dalam hidup. Di sini dalam situasi nyata. Dalam peristiwa dilakukannya menjelaskan respon mendorong peserta didik untuk menjelaskan pikirannya dan untuk menguji perilakunya, untuk melihat, jika ia konsisten dengan ide-ide. Interaksi di bawah menggambarkan antara pelajaran-pelajaran dan peserta didik, hanya menceritakan bahwa sains adalah mata pelajaran yang disukai guru. Guru
: Apakah sebenarnya ilmu pengetahuan yang kamu sukai? Peserta didik : Secara khusus? Oh, saya tidak yakin, saya kira saya hanya menyukai secara umum! Guru : Apakah pada saat santai anda mengerjakan sesuatu di luar sekolah dengan ilmu pengetahuan? Peserta didik : Tidak, tidak benar. Guru : Terima kasih Jim. Saya mesti kembali bekerja sekarang. Perhatikan interaksi ringkas antara guru dengan peserta didik di atas. Suatu rangkaian yang dapat digali secara mendalam, mungkin membentuk perasaan bahwa peserta didik sedang diuji dan mungkin membuatnya bertahan. Di samping itu, hal demikian akan memberikan amat banyak kesempatan bagi peserta didik untuk berpikir tentang sesuatu ide, tanpa diceramahi, untuk menumbuhkan sedikit pertanyaan, membiarkan mereka menerawang, dan
52
Klarifikasi Nilai-nilai
kemudian berjalan terus. Peserta didik yang bertanya ditunjuk, dan peserta didik yang lain mungkin mendengarkan, mungkin akan mempertimbangkan pertanyaan tersebut, dengan ketenangannya pada hari itu atau dalam suasana yang tenang sebelum jatuh tertidur. Dorongan yang ramah, tetapi berpengaruh untuk menstimulasi peserta didik yang siap untuk memilih, menghargai dan bertindak dengan cara-cara yang telah diuraikan melalui teori nilai. Maksud utama dari menjelaskan respon adalah untuk mengajak peserta didik melihat secara lebih dekat/banyak terhadap perilaku dan ide, oleh karena itu “mengklarifikasi” untuk mereka sendiri terhadap apa yang mereka nilai secara nyata. Ceramah yang dengan sengaja amat dihindari. 1. “Maksud utama dari klarifikasi respon adalah agar pesera didik melibatkan diri lebih banyak terhadap perilaku dan ide mereka” Apa yang kamu pikirkan tentang hal itu. Mengapa ya atau tidak? 2. Penjelasan nilai menekankan kenyataan bahwa ceramah (menekankan pada peserta didik apa yang guru pikir benar atau salah) adalah sengaja dihindarkan dalam menggunakan klarifikasi respon. Apakah kamu setuju bahwa hal itu penting? Mengapa ya atau tidak? Dapatkah kamu pikir bahwa kapanpun bila orang mungkin sengaja untuk berceramah? Jika ya, kapan? 3. Dapatkah klarifikasi respon menjadi berbahaya. Jika ya, bagaimana?
B. Lembar-lembar Nilai (Value Sheets) Lembar nilai adalah cerita, pernyataan, gagasan yang bersifat membangkitkan atau serangkaian pertanyaan yang berisi implikasi-implikasi nilai untuk peserta didik sebagai pencerminan dari apa yang ditulis atau sesuatu yang dibicarakan. Lihat berbagai contoh berikut:
Louis Amstrong dan Seninya “Saya tidak mau satu juta dolar. Lihat apa yang saya maksud? Tidak ada penghargaan. Saya maksud, saya tidak merasa tidak berbeda dengan terompet saya sekarang ketimbang ketika saya bermain di Band Tuxedo. Itulah hidup dan kehidupan saya. Saya mencintai nada-nadanya. Mengapa saya mencoba membuatnya benar. Lihat? Dan dalam bagian suatu hari, kamu besar kemungkinannya untuk melakukan sesuatu pada malam hari”. 53
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
“Uang banyak memabukkan sejumlah musisi. Mereka lupakan tentang semua kehidupan yang mereka cintai, berdiri di atas pentas. Mereka memperoleh ketenaran dan tidak dapat bermain tanpa lebih keras atau lebih lembut, dan saya bukan kurang bermain, saya mungkin bermain biasa, tetapi rata-rata selalu di atas. Beberapa pertanyaan: a. Garis bawahi tempat di mana Louis Amstrong bercerita kepadamu apa yang ia rasa tentang seni? b. Lingkari pernyataan-pernyataan yang dia gunakan untuk menguraikan “artis-artis yang lain”? c. Apakah segala sesuatu yang anda lakukan juga sama dengan yang didedikasikan oleh Amstrong yakni tentang memainkan terompertnya? d. Bagaimana orang melihat sesuatu dengan hati-hati dan secara mendalam?
Laporan Peserta Didik Tentang Kejadian di Kampus Seorang peserta didik ketahuan menyontek dalam ujian Biologi. Guru telah mencoba menarik lembar kerjanya, tapi peserta didik tersebut mempertahankannya. Ketika akhirnya guru menghentikan ujian, berbagai kartu indeks jatuh keluar dari beberapa halaman bukunya. Peserta didik yang ketahuan menyontek berteriak bahwa kartu itu bukan miliknya. Untuk membuat panjang cerita itu, guru mengatakan kepada peserta didik bahwa kejadian ini akan dilaporkan pada pihak yang berwenang. Peserta didik mengancam akan membunuh guru tersebut. Mereka berkelahi, sampai guru lain datang melerai. Peserta didik itu akan diterima di sekolah medis, dan kejadian itu bukan berarti tidak ada sekolah menengah buatnya. Perilaku peserta didik itu telah menjelaskan bahwa meledaknya kepribadian yang lemah ke dalam sistem. Tetapi apa yang menakjubkan saya adalah reaksi terhadap peserta-peserta didik yang mengalami kondisi awal ketidak-sehatan mental. Mereka hampir gembira setelah sulit bersembunyi. Bagaimana begitu sadistis. Atau kegembiraan mereka terlihat dari leganya mereka untuk tidak tenggelam dalam diri mereka sendiri. Pikirkan hal beriku: 1. Apakah yang pertama kamu reaksi dengan amat segera? (Gunakan asosiasi bebas. Jangan tulis kalimat: hanya letakkan di bawah kata-kata) 2. Dengan cara apa yang kamu lakukan untuk mengidentifikasi peserta didik itu? 3. Dengan cara apa yang kamu lakukan untuk mengidentifikasi guru itu? 4. Pengarang cerita dalam kejadian itu mengemukakan sesuatu hal 54
Klarifikasi Nilai-nilai
mengenai peserta didik lain dalam kelas. Berikut komentar terhadap hal itu? 5. Menyontek atau tidak dalam ujian? Apakah alasan rasional untuk masing-masing tindakan tersebut? 6. Alternatif apakah yang terbuka untuk peserta didik? Untuk guru? Untuk peserta didik lainnya?
Persahabatan 1. Apakah makna persahabatan untuk anda? 2. Jika kamu mempunyai teman-teman, apakah telah memilih mereka ataukah kamu mendapatkan temanmu secara kebetulan? 3. Dengan cara-cara apakah kamu menunjukkan persahabatan? 4. Seberapa penting menurut pikiran anda dalam mengembangkan dan memelihara persahabatan? 5. Jika kamu merencanakan akan membuat beberapa perubahan dalam cara-cara kamu, silakan katakan perubahan-perubahan apa yang akan kamu buat. Jika kamu tidak bermaksud membuat berbagai perubahan terhadap cara-caramu, tulis: “Tidak ada perubahan”.
C. Peringkat Berjenjang (Rank-Ordering) Teknik ini meminta peserta didik untuk membedakan di antara berbagai alternatif dalam istilah yang mungkin relatif berbeda, kebaikan dan kejelekan dan untuk menguji dan menjelaskan pilihan mereka terhadap istilah yang dipilih menurut prioritas. Pilihan-pilihan yang disajikan kepada peserta didik dapat berupa jenjang dari yang amat sederhana hingga yang lebih rumit, dari bentukbentuk yang amat sepele tentang kepedulian sampai kepada yang amat signifikan. Pertama, pertimbangkan berbagai contoh sederhana: 1. Berikan nomor pada urutan daftar tempat di bawah ini, yang anda sukai akan dikunjungi: ____ Mexico____Selandia Baru ____Uni Soviet ____Cina ____Inggris ____Brasil ____Philipina ____Israel ____Mesir. 2. Mana dari yang berikut yang paling sedikit kamu sukai untuk dilakukan? _______Menonton balet _______Menonton orkes simponi _______Menonton permainan baseball _______Menonton bioskop 55
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
3. Mana yang berikut yang kamu pikir lebih penting? _______Banyak teman _______Banyak harta _______Banyak kemauan _______Banyak uang _______Cerdas sekali _______Kuat sekali Berikut contoh yang yang lebih kompleks, digunakan untuk peserta didik yang tua:
Gereja, Negara dan Agen Politik Walaupun anda tinggal dalam masyarakat konservatif yang agak kecil (jumlah penduduk sekitar 5000), anda senang berfikir untuk dirimu sendiri dengan pikiran terbuka, pribadi yang bebas. Dalam kenyataan, setiap orang terkesan dengan cara anda mengemukakan ide-ide baru dan mengikuti mode-mode tertentu. Setiap orang menyadari bahwa anda ambil bagian dalam berbagai perjuangan mengenai hak sipil dan perdamaian serta melakukannya untuk kebutuhan bagi perbaikan berbagai unsur masyarakat Amerika. Tahun yang lalu, saat semangat masyarakat menggebu, anda bersama dengan berbagai perkumpulan masyarakat, sukarelawan dari dinas kebakaran, dan kelompok yang berkedudukan kuat, kelompok pemuka agama. Sebagaimana banyak orang, anda tidak mempunyai banyak pikiran mengenai agama dan agak merasa tidak enak, kalau hal demikian didiskusikan, tetapi jika seseorang mengharapkan anda mundur, peryataanpernyataan berikut akan menjadi karakteristik dari keyakinan-keyakinan anda: ¾ Semua agama didasarkan atas ibadah terhadap kekuasaan yang tertinggi. ¾ Berbagai agama adalah baik sepanjang tidak mengganggu hak orang lain untuk beribadah sebagaimana ia pandang baik. ¾ Kemerdekaan beragama adalah satu dari jaminan terbesar dari konstitusi. ¾ Seseorang yang memeluk agama lebih baik dari seseorang yang sama sekali tidak memeluk agama. Suatu malam diselenggarakan pertemuan kota untuk membahas suatu masalah dengan segera. Gereja Amerika sekte Setan telah membeli 56
Klarifikasi Nilai-nilai
sebuah rumah tua di pinggir kota dan merencanakan untuk menggunakannya sebagai “rumah ibadah” dan pusat pengajaran magis putih dan seniseni mistik. Meski tidak ada satupun yang akan mengijinkannya, namun suasananya “takut” dan “panik”. Setelah diskusi panjang dengan berbagai pandangan yang telah diungkapkan, berbagai cara dihadapkan dengan situasi yang telah dikemukakan: 1. Memberikan peraturan penetapan daerah, berlaku terhadap tahun sebelumnya yang melarang menggunakan lokasi rumah tua untuk pertemuan umum, tapi juga menghentikan pembangunan bioskop baru. 2. Menyampaikan secara ringkas bahwa Gereja Amerika sekte Setan tidak diterima dalam masyarakat dan memberikan batas akhir kepada anggotanya untuk meninggalkan kota, sesudah mereka ditahan karena mengganggu. 3. Tidak melakukan apapun terhadap gereja, sebab mereka mempunyai hak sebagaimana kelompok agama lain yang ada di kota. 4. Tidak melakukan apapun, tetapi meminta polisi mengawasi rumah itu secara ketat agar menjamin tidak dilakukannya tindakan ilegal atau a moral. 5. Menyuruh kelompok tersebut hadir sebelum pertemuan kota dan untuk menjelaskan keyakinan-keyakinan dan praktek-praktek mereka; kemudian memutuskan apa yang seharusnya dilakukan. 6. Meminta gereja untuk menyimpan US$ 10.000 pada bank lokal sebagai jaminan terhadap kemungkinan kerusakan terhadap kota atau penduduknya. Walikota kemudian meminta anda untuk menyiapkan selebaran yang kamu susun peringkat usulan alternatifnya secara berurutan, dari solusi terbaik hingga yang terburuk. Meskipun anda diijinkan untuk berbuat begitu, anda juga cemas, sebab anda telah merencanakan untuk melaksanakan demi kepentingan umum, dan bagaimana anda menangani tugas ini mungkin menentukan dengan baik, apakah masyarakat akan mendukung anda atau tidak. Sesuai dengan keyakinan saya, saya susun usulan alternatifnya sebagai berikut: ————— Usulan 1: Pengaturan penetapan wilayah 57
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
————— Usulan 2: Menyuruh pergi ————— Usulan 3: Membiarkan sendiri ————— Usulan 4: Pengawasan polisi ————— Usulan 5: Hadir pada pertemuan kota ————— Usulan 6: Deposito keamanan Saya memilih proposal ____ sebagai yang terbaik sebab _______________________ Saya pilih proposal ______ sebagai yang terjelek sebab ________________________ Pengantar Diskusi 1. Uraikan sifat masalah dari situasi yang dibutuhkan anda untuk dipecahkan? 2. Apakah perbedaan antara solusi terbaik dan solusi terjelek? 3. Mengasumsikan bahwa situasi tersebut benar, bagaimana yang kami akan rasakan tentang seseorang yang telah membuat keputusan tersebut? Mengapa? 4. Apakah kamu mempertimbangkan dirimu sendiri untuk menjadi orang liberal atau konservatif? Mengapa? Apakah anda sesuai dengan lembar kerja ini? 5. Dipandang dari latihan ini, apa anda pikir, anda dapat mengatakan bahwa anda dapat membantu kemerdekaan bersama secara luas? Jelaskan jawaban anda? 1. Apakah berbagai topik yang terdapat pada lembar-lembar nilai tidak akan ditulis lagi? Jika demikian apakah hal itu? 2. Berbagai kritik terhadap klarifikasi nilai membuktikan bahwa pertanyaan terhadap peserta didik dalam bentuk perintah pada lembar-lembar nilai atau latihan jenjang berurutan mempengaruhi mereka untuk merespon dalam cara-cara tertentu. Hasilnya adalah bahwa latihan-latihan banyak dipusatkan kepada penjawab pertanyaan nilainilai ketimbang berbagai partisipasi peserta didik dalam latihan-latihan. Perhatikan pertanyaan berikut pada lembar-lembar nilai dan dalam latihan jenjang berurutan disajikan di atas. Apakah mereka cenderung mendukung atau menolak kritik tersebut?
58
Klarifikasi Nilai-nilai
D. Wawancara Umum (The Public Interview) Wawancara umum adalah bentuk aktivitas peserta didik yang secara sukarela ditanya di depan umum tentang berbagai keyakinan-keyakinan, perasaan-perasaan dan perilaku-perilaku mereka. Raths dan koleganya (1966) menguraikan prosedur-prosedur yang terlibat. Salah satu dari berbagai teknik menilai yang menonjol adalah wawancara umum. Mari kita lihat sesuatu yang membicarakan tempat sebuah kelas di sekolah dasar dan lihat bagaimana pengembangannya. Guru : Pada pelajaran hari ini, saya akan memperkenalkan wawancara umum. Untuk itu kita kita membutuhkan sukarelawan, seseorang yang bersedia diwawancarai di depan kelas.Orang yang diwawancarai datang ke depan dan duduk di sini di kursi saya, di depan ruangan. Saya akan menuju tempat duduknya dan menanyainya dari sana. Kamu lihat orang yang sedang diwawancarai akan menjadi perhatian umum.Sekarang, apa yang pertama akan saya lakukan adalah menanyakan topik wawancara yang mau dibicarakan. Ia dapat memilih satu dari berbagai topik yang kita susun dalam tataran nilai atau beberapa topik lain, bahkan topik tertentu, seperti apakah ia keluar pada akhir pekan, atau gagasannya terhadap problem atau keputusan yang ia munculkan. Berapa yang ia pilih. Kemudian saya akan menanyakan kepadanya pertanyaanpertanyaan menjelaskan, pertanyaan-pertanyaan yang menolongnya lebih memperjelas topik yang diwawancarai, atau pertanyaan-pertanyaan yang saya pikir mungkin menolong kelas untuk memperjelas atas apa yang ia katakan.Omong-omong, jika kamu sebagai sukarelawan, kemudian saya pilih topik. Namun demikian kamu selalu dapat menolak pilihan saya.Dan jika kamu sukarelawan, santai saja, kamu dapat saja selalu “keluar”. Kalau pertanyaan saya yang ditujukan kepadamu dianggap terlalu pribadi atau agaknya kamu tidak akan menjawabnya di sini di depan setiap orang, kamu cukup katakan, “saya lewatkan” dan saya akan lanjutkan pertanyaan lain.Dan jika kamu ingin wawancara diakhiri, kamu cukup mengatakan: “Terimakasih untuk pertanyaanpertanyaanmu”. Hal tersebut merupakan tanda untuk kembali 59
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
Paul : Guru :
Paul : Guru : Paul : Guru : Paul : Guru : Paul
:
Guru : Paul : Guru : Paul
:
Guru : Paul : Guru : Paul
60
:
ke tempat dudukmu dan untuk mengakhiri wawancara. Sekarang siapa yang bersedia untuk diwawancarai? Baiklah, Paul, kamu yang pertama. Yang lain mungkin mempunyai kesempatan di lain waktu. Duduk di kursi saya, Paul. Saya akan duduk di belakang. Bagaimana perasaan kamu, Paul? (di kursi guru) Baiklah kalau begitu Apakah kamu ingat apa yang kamu katakan, jika kamu agaknya tidak akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang khusus (Memastikan kondisi untuk dipahami) Saya lewatkan Dan jika kamu ingin mengakhiri wawancara sebelum waktu habis? Saya katakan, “Terimakasih untuk pertanyaan-pertanyaanmu” Baik, Paul, sekarang topik apa yang kamu sukai untuk ditanyai? Saudara perempuan saya Maukah kamu menceritakan kepada kita tentang saudara perempuanmu, Paul? Baiklah, dia dua tahun lebih muda dari saya, dan dia selalu maunya sendiri saja. Seperti berbantah tentang apa acara program TV yang ditonton, dan selalu tergantung bila saya bermain, dan dia......dia hanya menyusahkan. Apakah kadang-kadang kamu berperilaku juga seperti dia? Tidak, tidak sama sekali (Tertawa) Bagaimana kamu mengartikan benci? Apakah yang dimaksud dengan kata tersebut? Buruk sekali. Seperti saya mau membunuhnya. Ia harus pergi jauh. Apakah perbedaan antara benci dan tidak suka? Satu lebih kuat. Benci adalah lebih kuat. Apakah perbedaan antara membenci seseorang dengan membenci sesuatu yang orang benci lakukan? Hmm. Saya berpikir pada saat ketika saya tidak membenci saudara perempuan saya. Suatu waktu kita berjalan bersama
Klarifikasi Nilai-nilai
Guru : Paul : Guru :
Paul
:
Guru :
Paul
:
Guru :
dan seseorang berkata begitu manisnya kami terlihat bersama, kita lebih muda dan berjalan bergandengan tangan. Itu merupakan perasaan baik. Tetapi saya tidak mengetahui, jika kamu cukup membenci sesuatu dari orang yang saya harapkan mengakhiri membenci seseorang. Betulkah itu? Apa yang kamu pikirkan? Saya tidak tahu Paul, apa yang akan kamu lakukan terhadap situasi antara kamu dengan saudara perempuanmu? Kelihatannya kamu tidak menyukai sesuatu dari cara yang dia lakukan? Apa yang dapat saya lakukan? Saya mengetahui apa yang akan saya lakukan......(Tertawa) Baiklah, satu hal yang dapat anda lakukan adalah hindari dia, yang lainnya adalah coba lakukan sesuatu sebelum bertindak, sehingga hanya ada sedikit pertikaian antara kamu dengan dia. Alternatif apa lagi kira-kira? Saya tidak tahu. Tapi terimakasih atas pertanyaan anda. Boleh saya pergi? Tentu, Paul. Itulah aturannya, kapan saja kamu mau. Terimakasih.
1. Pertanyaan-pertanyaan yang mungkin ditanyakan dalam wawancara umum dapat bervariasi. Sebagai contoh, Raths, Harmin dan Simon (1966) menyarankan pertanyaan-pertanyaan berikut, antara yang lain, yang dapat ditanyakan kepada anak-anak yang lebih tua: “Apakah kamu percaya kepada Tuhan?”, “Kemungkinan besar apakah kamu kawin dengan bangsamu?”, “Apakah kamu akan mengundang orang kulit hitam di rumahmu untuk makan malam?”, “Apakah kamu akan pergi ke sekolah minggu atau kelas agama?”, dan “Apakah yang kamu pikirkan terhadap ibu yang menampar tangan anak lelakinya yang kecil yang sedang bermain dengan kemaluannya?” a. Menurut pendapatmu apakah pertanyaan seperti itu tepat? Mengapa ya atau tidak? b. Berbagai subjek apakah yang tidak akan ditanyakan tentangnya di depan umum? Jika demikian, apa saja hal itu? Mengapa hal-hal tersebut tidak akan ditanyakan darinya tentang berbagai topik? 61
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
2. Salah satu dari berbagai argumen menyatakan bahwa para penjelas nilai membuat wawancara umum adalah bahwa peserta didik akan “tak terelakkan” mengolah jawaban mereka secara mental dan melakukan pertimbangan nalar terhadap apa mereka yang telah dikatakan dalam pernyataan-pernyataan umum mereka. Apakah kamu setuju bahwa hal itu kemungkinan sekali terjadi? Mengapa ya atau mengapa tidak? 3. Apakah kamu menggunakan suatu aktivitas untuk dirimu sendiri? mengapa ya atau mengapa tidak?
E. Pemilihan Nilai-nilai (Values Voting) Dalam aktivitas ini, guru membaca pertanyaan-pertanyaan dengan nyaring, satu persatu. Setiap pertanyaan dimulai dengan kata-kata, “Berapa darimu...?” Sebagai contoh, “Berapa darimu yang menyukai pergi berjalanjalan atau gerak jalan?”. Setelah setiap pertanyaan dibaca, peserta didik menentukan pilihan dengan memperlihatkan tangan. Peserta didik yang setuju, mengangkat tangan kanan, dan yang menolak menurunkan ibu jarinya, sementara yang tidak dapat memutuskan melipat tangan mereka. Peserta didik yang ingin melewatkan, tidak melakukan apa-apa. Pembahasan ditangguhkan hingga para guru memasukkan daftar pertanyaan secara lengkap. Jenis-jenis pertanyaan dalam pemilihan nilai-nilai berjarak dari yang tidak berbahaya (misalnya, “Berapa darimu yang akan suka menjadi guru? “Perawat? Politikus?), sampai pertanyaan yang cukup sensitif (umpamanya, berapa darimu yang dapat menceritakan seseorang yang mempunyai nafas yang bau sekali?”), hingga pertanyaan-pertanyaan yang mengandung implikasi-implikasi moral (seperti, “Berapa darimu yang berpikir tentang suatu waktu menipu itu dibolehkan?”) Apakah peserta didik begitu terlibat untuk menentukan pilihan suaranya terhadap pertanyaan-pertanyaan nilai? Mengapa ya atau mengapa tidak?
F.
Kontinuum Nilai (The Value Continuum)
Latihan ini meminta peserta didik untuk menunjukkan tempat mereka, menentukan pendirian terhadap isu atau topik tertentu, melalui tanda posisi mereka pada garis yang memanjang dari satu isu yang ekstrem 62
Klarifikasi Nilai-nilai
berhadapan dengan isu yang lain. Peserta didik yang belakangan ditanya bersama dengan alasan-alasan mereka dan posisi-posisi mereka dengan santai dalam kelas, jika mereka inginkan atau mereka mungkin lewatkan. Berikut beberapa contoh: ¾ Berapa banyak yang kamu bicara kepada orang lain?
¾ Bagaimana perasaanmu mengenai perceraian?
¾ Bagaimana perasaanmu tentang integrasi?
¾ Bagaimana kamu menyukai para guru untuk berhubungan denganmu?
¾ Berapa persentase dari waktumu yang gembira?
¾ Seberapa banyak kamu mencoba menghormati guru?
G. Pilih Salah Satu (Either Or Choices) Peserta didik disajikan dengan dua alternatif dan diminta untuk memilih di antara alternatif itu, menyatakan pilihannya secara lisan atau tulisan. Dengan pilihan yang berlawanan, kemudian dipasangkan atau 63
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
dikelompokkan untuk didiskusikan dengan alasan-alasan di balik perbedaanperbedaan mereka. Beberapa ilustrasi dari jenis-jenis pertanyaan dalam pernyataan berikut. 1. Apakah tempat rekreasi kesukaanmu di gunung atau di pantai? 2. Apakah dewan kota meningkatkan atau menurunkan pembelanjaan untuk rekreasi? 3. Apakah kehadiran sekolah diharuskan atau tidak diharuskan? 4. Apakah lingkungan atau energi yang diprioritaskan? 5. Apakah Presiden Truman lebih sebagai negarawan atau politisi? 6. Apakah kita meningkatkan atau mengurangi hubungan dengan Cina? 1. Rangkaian nilai dan pilihan salah satu meminta peserta didik mengidentifikasikan dan menentukan pendirian mereka terhadap isu tertentu, tetapi mereka tidak diharuskan untuk membenarkan posisi mereka. Apakah itu tepat? Apakah peserta didik diharuskan untuk membenarkan posisi mereka terhadap berbagai nilai? Mengapa ya atau mengapa tidak? 2. Apakah guru selalu mempunyai hak untuk menanyakan posisi peserta didik terhadap suatu isu? Jika demikian, kapan?
H. Kritik Ini adalah sedikit pertanyaan terhadap klarifikasi nilai-nilai yang dianggap dapat memberikan pengaruh yang kuat terhadap banyak guru, para pelatih guru, dan para pengembang kurikulum, Berbagai konferensi, workshop, artikel dan buku yang berhadapan dengan pendekatan yang dikembangkan. Beberapa dari kegiatan-kegiatan dan teknik-teknik yang dikembangkan oleh para pelaku klarifikasi nilai-nilai adalah menarik dan bermanfaat dalam membantu dan meningkatkan para siswa untuk berpikir tentang tanggung jawab pribadi mereka sendiri. Mereka mudah untuk menguasai dan senang menggunakannya. Menjelaskan respon (clarifying response) dalam hal khusus banyak direkomendasikan sebagai teknik yang digunakan dalam pendidikan nilai-nilai. Itu menghindarkan mengajari, dan menerima gagasan-gagasan siswa, dan meningkatkan para siswa untuk memikirkan tentang alternatif-alternatif. Relativisme menjadi dasar dari klarifikasi nilai-nilai sebagai suatu keseluruhan, namun demikian, ia terbuka untuk kritik yang serius, terhadap beberapa 64
Klarifikasi Nilai-nilai
kegiatan yang dikembangkan untuk mendorong para siswa memilih, menghargai, dan melakukan tindakan. Sebuah pembahasan dari beberapa kelemahan akan dipaparkan berikutnya. Kritik pertama, banyak pengarang yang menulis tentang klarifikasi nilainilai yang menitikberatkan pada “teori nilai” yang menurut dugaan mendasari pendekatan ini. Memang, Raths dan teman-temannya menyatakan bahwa kerangka Nilai-nilai dan Mengajar sebagai pendekatan mereka adalah berlandaskan pada teori nilai. Terhadap pengujian yang terbuka, bagaimanapun, satu temuan kecil mungkin dibenarkan disebut sebuah “teori”. Sebagian besar pengarang klarifikasi nilai-nilai, dalam faktanya, secara sederhana menawarkan sejumlah kegiatan-kegiatan yang para guru dapat gunakan untuk membantu para siswa mengklarifikasi komitmen-komitmen pribadi mereka sendiri. Sebuah teori adalah sekumpulan proposisi yang saling berhubungan yang mengajukan beragam hubungan yang diyakini ada dalam dunia nyata. Sekumpulan proposisi itu dapat didukung atau ditolak melalui jalan dengan bukti yang dapat diamati. Kekuatan dari teori terletak dalam kemampuannya untuk menjelaskan mengapa hal-hal itu terjadi dan untuk memprediksi fenomena. Walaupunpun satu penelitian dilakukan sia-sia, untuk suatu kumpulan proposisi dalam literatur klarifikasi nilai-nilai. Hal terbaik adalah hanya satu temuan, yakni sedikit asumsiasumsi oleh para pengarang terhadap bagaimana nilai-nilai berkembang. Asumsi-asumsi itu tidak menolong dalam berbagai cara untuk menjelaskan mengapa mereka mengembangkan cara itu, maupun asumsi-asumsi yang memprediksi bagaimana individu-individu dengan nilai-nilai tertentu, kemungkinan besar untuk bertindak dalam situasi tertentu. Mereka tidak menjelaskan apa yang dilakukan ketika terjadi konflik nilai-nilai atau bahkan bagaimana – atau jika – berkaitan dengan nilai tertentu yang mempengaruhi perkembangan nilai-nilai yang lain. Semua pemikiran-pemikiran itu, sesuatu harapan yang mungkin masuk akal terhadap teori nilai-nilai untuk memberikan beberapa gagasan tentangnya. Kritik kedua adalah bahwa banyak kegiatan-kegiatan “klarifikasi nilai-nilai” cendrung untuk menekankan kesesuaian dari pada pengembangan pribadi terhadap nilai-nilai. Dalam suatu pengertian, meskipun barangkali terlalu tajam, artikel, John S Stewart (1975: 685) menunjuk terhadap kecendrungan itu terhadap penyesuaian sebagai “pemaksaan terhadap arti” dan memberikan contoh berikut. Satu yang paling sering digunakan dalam strategi-strategi klarifikasi nilainilai adalah “Kontinuum Nilai-Nilai” (Values Continuum) yang melibatkan 65
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
para siswa untuk menempatkan posisi pada isu yang disampaikan pada satu rangkaian dari satu yang ekstrem kepada satu yang berlawanan. Satu dari hal-hal dalam strategi itu ditanya, “Bagaimana perasaan kamu tentang sex sebelum nikah?” Dua sudut dari rangkaian nilai memuat 1) Virginal Virginia (kadang-kadang disebut Gloves Gladys) dan 2) Mattress Millie. Virginal Virginia “memakai sarung tangan putih pada setiap kencan” dan Mattress Millie “memakai pengikat kasur pada punggungnya”. Sekarang pikirkan setiap gadis pemalu, sensitif dan amat penakut dalam kelas sebagai sampel ekstrim – gadis yang amat perhatian tentang kedudukannya di samping gadis-gadis yang lain, atau laki-laki, atau guru. Andaikata bahwa posisinya terhadap isu itu jelas, bahkan sebagai hasil dari penerapan prinsipprinsip dari Klarifikasi Nilai-nilai, dan bahwa yakin secara benar terhadap salah satu dari dua posisi ekstrim. Akankah kemungkinan besar ia menyatakan di depan umum posisi itu dalam situasi itu? Saya pikir itu tidak. Resiko yang begitu sederhana akan menjadi besar. Diperkirakan bahwa ia juga tidak mau mengambil resiko yang sedang dinilai bagaimanapun juga agar dilewati (yaitu, dengan mudah mengatakan “saya lewat” ketika diminta memberikan komentar), satu dari pilihan yang dibenarkan dalam latihan-latihan Klarifikasi Nilai-nilai, ia mungkin cendrung para ungkapan posisi di tengah. Ini adalah apa yang saya maksud dengan pemaksaan terhadap arti, dan saya lihat seperti faktor besar dalam banyak strategi-strategi Klarifikasi Nilainilai, khususnya beberapa strategi seperti Rangkaian Kesatuan Nilai-nilai yaitu pada posisi ekstrim merupakan nilai yang spesifik, dan/atau secara emosional dimuati seperti menghalangi mereka untuk membenarkan alternatif-alternatif untuk menyatakan di depan umum bagi banyak orang. Bahkan implikasi-implikasi dari susunan kata (seperti “pendukung moderat”)... (Memikirkan) dinamika dari hubungan-hubungan sosial para remaja, pendekatan Klarifikasi Nilai-nilai dapat menjadi berbahaya, atau paling sedikit dapat... mengarah pada segala hal, tetapi klarifikasi yang benar.
Kritik ketiga, beberapa dari tujuh keharusan yang harus dipenuhi sebelum nilai dapat berhasil (sesuai dengan orang yang mengklarifikasi nilai) nampak diri mereka sendiri terbuka untuk pertanyaan. Sebagai contoh, keharusan bahwa para siswa mesti “menyatakan di depan umum” sesuatu untuk itu membuat nilai menjadi menyesatkan. Jika individu-individu tidak pernah diberikan kesempatan untuk bertindak terhadap nilai – ia tidak pernah ditempatkan untuk menguji, jadi untuk berbicara – apakah kita dibenarkan mengatakan bahwa ia tidak memiliki nilai? Selanjutnya, 66
Klarifikasi Nilai-nilai
apakah kita benar-benar ingin merekomendasikan bahwa orang mesti selalu bersedia untuk menyatakan di depan umum apa yang mereka nilai – bahkan ketika itu adalah tidak bijaksana atau bahkan berbahaya untuk dilakukan? Tidakkah bahwa itu meminta lebih dari sebagian besar yang dapat dihasilkan orang? Dan, sebagai catatan di atas, keharusan untuk menyatakan di depan umum dapat secara mudah lebih mengarah kepada penekanan terhadap kesesuaian, banyak merusak kepada berpikir kritis, asalkan menghargai dan menemukan tujuan pendidikan sesudahnya. Demikian juga, keharusan bahwa tindakan mesti dilakukan berulang-ulang masih dapat diperdebatkan. Apakah yang dimaksud dengan “berulang-ulang” Dua kali? Lebih dari dua kali? Para pembela klarifikasi nilai-nilai memberikan kita bukan gambaran dalam pandangan itu. Itu akan nampak bahwa dari sejumlah waktu orang menunjukkan perilaku tertentu akan sekali lagi tergantung pada peluang-peluang yang tersedia untuk melakukannya. Atau, pikiran yang menitikberatkan wewenang para pelaku klarifikasi nilai dengan memilih setelah “berpikir bijaksana terhadap konsekuensikonsekuensi” dari alternatif-alternatif. Sayang, mereka tidak menjelaskan apa yang dimaksud “berpikir bijaksana”. Apakah itu yang dimaksud dengan “berpikir bijaksana” suatu konsekuensi? Bagaimana hal itu dilakukan? Apakah membuat satu konsekuensi lebih baik atau lebih jelek dari yang lain? Beberapa evaluasi rasional terhadap konsekuensi-konsekuensi menghendaki beberapa kumpulan kriteria (karakteristik-karakteristik, kualitas-kualitas, dan sebagainya) yang dapat digunakan untuk membandingkan. Apa kriteria yang Klarifikasi Nilai-nilai tawarkan? Apakah beberapa kriteria lebih baik dari yang lain? Dapatkah para siswa dibantu untuk mengembangkan kriteria itu? Jika demikian, bagaimana? Dan bagaimana satu kriteria dapat dibenarkan, dan digunakan untuk mengevaluasi konsekuensi-konsekuensi? Model klarifikasi nilai-nilai memberikan sedikit bantuan kepada para guru yang ingin datang terpikat dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Kritik keempat, dalam seluruh tujuannya, model klarifikasi nilai-nilai secara esensial adalah model pembuktian otentitas pribadi, yaitu yang diarahkan terutama untuk membantu para siswa untuk menjadi lebih sadar terhadap komitmen-komitmen pribadi mereka sendiri. Tetapi itu 67
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
mengabaikan fakta bahwa komitmen-komitmen pribadi sering berlawanan. Apa yang seseorang lakukan ketika itu terjadi? Andaikata bahwa individu telah belajar dari masa anak-anak untuk setia dan jujur. Ia telah menghayati dan menjalankan nilai-nilai itu. Andaikan bahwa ia mengamati satu dari teman-temannya mengambil uang dari dompet siswa yang lain dan barubaru ini ditanya oleh satu dari para gurunya – yang ia hormati dan kagumi – jika ia mengetahui segala hal tentang pencurian? Apakah ia tetap setia terhadap temannya dan tidak mengatakan apapun? Akankah ia tetap jujur dan memberitahu guru, apa yang telah ia lihat? Atau akankah ia mengikuti alternatif yang lain? Bagaimanakah ia memutuskan? Model klarifikasi nilainilai memberikan sedikit bantuan terhadap individu-individu yang berhadapan dengan dilema-dilema itu. Tujuan akhir dari klarifikasi nilai adalah membuat para siswa lebih sadar terhadap nilai-nilai mereka sendiri (dan orang lain). Tetapi itu dalam pengaruh tidak melampauinya, ia mengajar bahwa kesadaran diri berada dan berakhir pada nilai itu sendiri. Tujuan itu, seperti catatan di awal, mengajar bahwa semua nilai-nilai adalah sama, bahwa tidak ada beberapa nilai yang lebih baik dari berbagai nilai yang lain – hanya “berbeda”. Kohlberg (1975: 673) menawarkan penilaian diikuti oleh filosofinya: Klarifikasi nilai... tidak berupaya untuk melangkah lebih lanjut dari memperoleh kesadaran terhadap nilai-nilai; itu diasumsikan bahwa menjadi lebih sadar diri bahwa suatu nilai adalah berakhir dalam nilai itu sendiri. Secara mendasar, definisi dari akhir pendidikan nilai-nilai seperti kesadaran diri berasal dari keyakinan dalam etika relativitas yang dianut oleh banyak pelaku klarifikasi nilai. Seperti yang dikemukakan oleh Peter Engel, “ Satu yang mesti membedakan klarifikasi nilai dan penanaman nilai. Klarifikasi nilai menyatakan secara tidak langsung prinsip bahwa dalam pemikiran dari nilai-nilai adalah tidak ada satu jawaban yang benar... Para guru adalah untuk menekankan bahwa “nilai-nilai kita adalah berbeda”, tidak ada satu nilai yang lebih memadai dari yang lain-lain. Jika program ini secara sistimatis diikuti, para siswa menyediakan dirinya sendiri menjadi relativis, meyakini tidak ada jawaban moral yang “benar”. Sebagai contoh, siswa ditangkap menyontek mungkin beralasan bahwa ia tidak melakukan hal yang salah, karena hierarki dirinya sendiri terhadap nilai-nilai, yang mungkin berbeda dari apa yang dianut guru, memberikan hak kepadanya untuk menyontek. Barangkali kelemahan yang amat serius dari klarifikasi nilai dan satu untuk para pendukung yang dapat dikritisi lebih berat adalah 68
Klarifikasi Nilai-nilai
pernyataannya yang menekankan pada proses dari menilai. Penekanan itu sebenarnya meniadakan berbagai kesadaran yang dinyatakan oleh para pendukung dari kebutuhan untuk pengetahuan tentang dan memahami terhadap fakta-fakta yang diharuskan untuk berhadapan secara cerdas dengan isu-isu nilai. Bebeberapa diskusi yang cerdas dari nilai-nilai melibatkan beragam isu-isu sosial, politik, dan moral dengan pemikiran yang rumit. Pikirkan, untuk contoh, isu-isu nilai dikemukakan dalam pertanyaan-pertanyaan berikut. • Apakah hukuman mati ditiadakan? • Apakah penjara dan asrama menekankan hukuman, rehabilitasi atau reformasi • Apakah individu dibenarkan menolak untuk mematuhi hukum yang ia rasa tidak adil? • Apakah orang miskin dijamin mendapatkan pendapatan minimum apakah mereka bekerja atau tidak? • Apakah ilmuwan fisika punya hak untuk mengakhiri kehidupan dari pasien yang sedang sakit karena permintaan pasien? • Apakah para anggota dari kelompok-kelompok minoritas diberikan pertimbangan khusus dalam aplikasi-aplikasi mereka untuk izin masuk lulusan ke sekolah-sekolah profesional? • Apakah para perempuan dibayar sama seperti laki-laki untuk pekerjaan yang sama? Daftar di atas mungkin dapat diperluas hampir tak terbatas. Tetapi marilah kita pikirkan contoh spesifik – pendidikan sex di sekolahsekolah. Apakah sebaiknya anak diajarkan tentang sex? Sebelum kita dapat memulai untuk mendiskusikan pertanyaan itu secara cerdas, kita butuh untuk mengumpulkan secara luas dan beragam sejumlah informasi. Kita butuh, untuk contoh, fakta-fakta tentang proses reproduksi, tentang kesuburan, tentang kemungkinan besar masa-masa pembuahan, tentang berbagai metode yang tersedia untuk mencegah kehamilan, dan tentang aborsi. Kita butuh fakta-fakta tentang hubungan antara perasaanperasaan dan seks, tentang pengaruh-pengaruh emosi-emosi terhadap perilaku manusia, tentang berbagai motivasi terhadap perilaku seksual, dan tentang bagaimana seksualitas dapat (dan sering) disimpan dan dinyatakan dalam bentuk perilaku yang lain. Kita butuh fakta-fakta tentang pola-pola yang berbeda dari perilaku seksual yang dipraktikan 69
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
dalam kultur-kultur yang berbeda, tentang kebiasaan-kebiasaan dan larangan-larangan seksual, dan tentang bagaimana pola-pola itu dapat mempengaruhi seluruh kompleksitas praktik-praktik yang menjadi pandangan hidup dalam suatu masyarakat. Kita butuh fakta-fakta tentang sikap-sikap terhadap seks dari orang yang berbeda dan budaya yang berbeda dan tentang bagaimana sikap-sikap itu tumbuh dan berubah. Kita butuh fakta-fakta tentang bagaimana seks yang telah diperlakukan di teater dan literatur dan mengapa, dan tentang apakah bentuk-bentuk dari ekspresi yang mengatakan tentang sikap-sikap seksual orang. Kita butuh fakta-fakta tentang posisi-posisi seks dan pendidikan seks yang dianut oleh para filosof, penyair, politisi, dan bahkan para pelacur dan tentang argumen-argumen yang mereka berikan untuk mendukung posisi-posisi itu. Hal yang terjadi di sini adalah sesuatu yang sangat menyesatkan untuk menyatakan secara tidak langsung bahwa menekankan pada proses sendirian saja dapat membantu para siswa terpikat dengan isu-isu dalam pertanyaan-pertanyaan nilai. Mudah untuk dipahami, biarkan mereka sendirian untuk mencoba menghadapi secara cerdas dengan isu-isu itu, membutuhkan kemahiran untuk mampu memikirkan sejumlah informasi faktual. Kegagalan dari sebagian besar para pelaku klarifikasi nilai untuk mengakuinya dan untuk memberikan kemahiran itu sebagai bagian integral dari pendekatan mereka adalah sebagian besar kelemahan serius dari pendekatan itu. Kritik kelima, hal yang mesti dicatat bahwa klarifikasi nilai tidak membantu para siswa untuk menghargai secara kritis nilai-nilai mereka sendiri atau siapapun yang lain. Lebih baik, itu mendorong mereka untuk menerima secara tidak kritis nilai dari masyarakat mereka, Dalam kenyataan, diajarkan bahwa satu nilai adalah baik seperti hal-hal yang lain. Seperti banyak penulis sejarah, ketika masyarakat dalam perubahan terus menerus (seperti Amerika Serikat sekarang ini) banyak nilai-nilai berlawanan berhadapan satu sama lain; dan para siswa mendapatkan sejumlah nilai yang saling berlawanan satu sama lain. Di Amerika Serikat, perolehan nilai-nilai yang saling berlawanan tidak dapat dihindarkan. Sekalipun begitu klarifikasi nilai-nilai tidak memberikan para siswa dengan berbagai cara untuk berhadapan dengan konflik internal (dan sering eksternal) dan gelisah menentang nilai-nilai yang dihasilkan. Seperti Hunt dan Metcall (1968: 124) yang mengemukakan, hal itu tidak banyak 70
Klarifikasi Nilai-nilai
menolong dalam memberitahukan seseorang sebaiknya selalu bernilai jujur dan baik ketika berhadapan dengan dua konflik, maupun kalau itu ditambahkan, apakah banyak menolong untuk memberitahukan bahwa nilai-nilai sama-sama baik (hanya “berbeda”), ketika beberapa nilai dalam situasi di mana satu nilai harus dipilih di antara mereka. Kritik-kritik di atas tidak dimaksudkan untuk mengecilkan hati para guru dari menggunakan klarifikasi nilai-nilai dalam kelas. Memang, mereka cendrung untuk menemukan beberapa keterbatasan-keterbatasan dari pendekatan, jadi para guru dan pengembang kurikulum dapat memulai berpikir tentang apa kebutuhan-kebutuhan lain yang dilakukan guna memberikan apa yang diabaikan klarfikasi nilai-nilai. Beberapa saran terlihat sepanjang tema dalam Bab 5 dan 6. 1. Baca lagi kritik-kritik terhadap klarifikasi nilai. Apakah kamu menemukan kritik mereka yang menyakinkan? Mengapa ya dan mengapa tidak? 2. Klarifikasi nilai-nilai telah memiliki pengaruh kuat yang sekali di antara banyak guru dan telah dipuji oleh banyak penulis kurikulum dan pembelajaran sebagai pendekatan efektif untuk klarifikasi nilai. Bagaimana kamu akan menghargai terhadap popularitasnya? Dalam opini kamu, apakah popularitasnya itu dibenarkan? Mengapa ya dan mengapa tidak? 3. Berdasarkan keseimbangan, akankah kamu mengatakan kekuatan-kekuatan membelakangi kelemahan-kelemahan dari klarifikasi nilai-nilai atau sebaliknya? Mengapa?
I.
Latihan-latihan
1. Uji coba beberapa kegiatan-kegiatan dari klarifikasi nilai yang telah direkomendasikan dalam bab ini. Kesulitan-kesulitan apakah yang kamu jumpai? Saran-saran apakah (jika ada beberapa) yang akan kamu sampaikan untuk membuat perubahan dalam kegiatan-kegiatan itu? Mengapa? 2. Coba untuk merencanakan kegiatan-kegiatan klarifikasi nilai dari kamu sendiri. Pikirkan tentang berbagai aspek pembelajaran di mana kegiatan-kegiatan klarifikasi nilai mungkin diterapkan, Kemudian coba untuk merumuskan satu atau lebih kegiatan-kegiatan untuk digunakan dengan para siswa. Panduan apakah yang akan kamu 71
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
tawarkan kepada orang-orang lain yang ingin mengembangkan dan/ atau menggunakan kegiatan-kegiatan klarifikasi nilai di kelas. 3. Coba menggunakan kegiatan-kegiatan klarifikasi nilai-nilai yang sama dengan para siswa SD dan SMP. Apakah mereka bekerja sama-sama baik? Mengapa ya atau mengapa tidak? Apakah beberapa kegiatankegiatan klarifikasi nilai-nilai dapat digunakan dengan anak-anak yang amat muda, tetapi bukan dengan anak-anak yang lebih tua? Apakah sebaiknya tidak? Mengapa ya atau mengapa tidak? Tentang apakah sebaliknya?
KEPUSTAKAAN Casteel, Doyle., and Stahl, Robert J. (1975). Value Clarification in the Classroom; A Primer. Pasific Palisades, Calif: Goodyear Publishing Co. Fraenkel, Jack R. (1977). How to Teach About Values: An Analytic Approach. Englewood Cliffs.N.J: Prentice-Hall Hunt, Maurice P., and Metcalf, Lawrence E. (1968). Teaching High School Social Studies. New York: Harper & Row. Kohlberg, Lawrence. (1975). The Cognitive Developmental Approach to Moral Education. Phi Delta Kappan, Juni 1975. Raths, Louis E., Harmin, Merril., And Simon, Sidney B. (1966). Values and Teaching. Columbus, Ohio: Charles E.Merril Publishing Co. Simon, Sidney B., Howe, Leland W., and Kirschenbaum, Howard. (1972). Value Clarification: A Handbook of Practical Strategies for Teachers and Students. New York: Hart Publishing Co. Stewart. John S. (1975). Clarifying Values Clarification: A Critique. Phi Delta Kappan, Juni 1975.
72
BAB V PEN ALARAN MORAL PENALARAN
Baru-baru ini, sejumlah pendidik mengusulkan untuk mengembangkan penalaran “moral”, yakni pertimbangan tentang isu-isu moral, di ruang-ruang kelas sekolah dasar dan menengah, khususnya dalam mata pelajaran ilmu-ilmu sosial. Esensi dari pendekatan ini terletak pada pelibatan para siswa dalam diskusi tentang “dilema moral” dan menjelaskannya dengan alasan-alasan yang berbeda, yang dikemukakan oleh siswa-siswa yang lain atau oleh guru untuk berbagai pemecahan terhadap dilema-dilema tersebut. Dilema moral adalah situasi yang menunjukkan seseorang berhadapan dengan dua atau lebih jalan pilihan untuk bertindak, keduanya atau seluruhnya dari kondisi-kondisi yang memungkinkan dan mudah dikerjakan. Tidak ada satupun jalan untuk bertindak, namun demikian, dapat dilanjutkan tanpa menimbulkan berbagai jenis stres atau konflik fisik atau mental. Berikut adalah contoh dari dilema moral. Petugas polisi berhadapan dengan pilihan di antara membiarkan pembicara yang menggunakan peti sabun sebagai tempat mimbar pidato untuk melaksanakan pidatonya, sebelum kemarahan orang banyak meningkat, atau menyuruh pembicara berhenti. Pilihan pertama, menghargai hak konstitusi pembicara untuk berbicara di depan publik, tetapi mungkin juga membahayakan keamanan dirinya. Pilihan kedua, melindungi pembicara dari kemungkinan kekerasan orang banyak yang marah, tetapi hal demikian bisa juga melanggar hak-hak konstitusional pembicara. Dilema moral dapat ditemukan di antara berbagai sumber termasuk dalam artikel surat-surat kabar, iklan-iklan, buku-buku komik, gamba-gambar kartun, permainan-permainan, dan film-film. 73
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
Kini yang memimpin membela perkembangan dari penalaran moral adalah Profesor Lawrence Kohlberg dari Harvard University. Banyak dari pekerjaannya berakar dari pemikiran John Dewey, tetapi juga dan khususnya dari teori tahapan Jean Piaget. Sebelum kita menguraikan dan membahas teori Kohlberg, mari kita lihat beberapa kesimpulan Piaget.
A. Teori Tahapan Piaget Sesungguhnya Piaget melatih dalam lapangan ilmu-ilmu alam. Meskipun perhatian utamanya yang pertama adalah biologi (ia telah mempublikasikan lebih dari 20 makalah ilmiah, sebelum menjadi 21), dalam karirnya, ia juga lebih dulu berminat terhadap perkembangan intelektual anak. Lebih kurang 50 tahun ia memusatkan perhatian secara sistimatis untuk menyelidiki dan menguraikan perkembangan itu. Piaget memandang perkembangan kognitif adalah proses yang terjadi alamiah seperti anak tumbuh, matang, dan berinteraksi dengan lingkungan mereka. Piaget menyatakan bahwa periode-periode tertentu dari perkembangan kognitif seluruh anak berkembang terus, meskipun tidak semua diperlukan untuk mencapai periode tertinggi, yakni tahapan operasioperasi formal (Lihat Tabel 1). Walaupun banyak anak cendrung untuk berkembang melalui berbagai periode yang ditunjukkan oleh usia, beberapa berkembang lebih cepat, yang lain berkembang lebih lambat. Piaget berpandangan bahwa periode-periode bersifat kumulatif (bertimbun/bertumpuk) dan sekuensial (berurutan). Perkembangan anak berjalan melalui tahapan-tahapan seperti daftar dan urutan dalam Tabel 1. Orang tidak dapat melompat tingkatan. Selanjutnya, setiap periode dipandang sebagai prasyarat atau landasan untuk periode berikutnya. Setiap periode, berakibat, mewakili waktu dari pertumbuhan kehidupan anak, ketika ia menjadi mampu berpikir berbeda dari selama periode sebelumnya. Juga, seseorang mungkin lebih dari satu periode - lebih dari satu tahapan perkembangan - pada waktu yang sama. Jadi, anak mungkin bervariasi dalam tipe berpikir, ia mampu dari waktu ke waktu atau ketika berhadapan dengan orang-orang dan tugas-tugas. Piaget juga mempelajari perkembangan moral anak, dan kesimpulankesimpulannya konsisten dengan kesimpulannya tentang perkembangan intelektual secara umum. Ia melihat perkembangan moral sebagai perkembangan yang melalui urutan dalam tiga tahapan: (1) tahapan 74
Penalaran Moral
kepatuhan buta, menyangkut “pertimbangan-pertimbangan moral objektif”, yakni gagasan-gagasan anak terhadap apa yang benar atau salah secara sederhana didasarkan pada apa yang orang tua bolehkan atau yang dilarang untuknya dilakukan; (2) tahapan penafsiran peraturan, tahapan ini anak belajar tentang spirit lebih penting dari pada tulisan pada peraturan (bergeser dari “moral realism” ke “moral relativism”) dan membuat pertimbangan-pertimbangan nilai “subjektif”; dan (3) tahap tindakan, dalam tahapan ini anak mengembangkan pendirian pribadi dan tanggungjawab etis untuk perilakunya. Tabel 5.1. Periode Perkembangan Kognitif Piaget
75
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
Sumber: Wadsworth, 1971, dalam Fraenkel, 1977: 33
Piaget tidak tertarik pada perilaku moral anak, sebagian besar ia tertarik pada cara-cara anak berpikir tentang isu-isu moral. Kesempatan yang paling utama adalah seperti berpikir, ia observasi, terhadap anak usia tujuh tahun. Sebelumnya, anak didorong untuk menilai perilakuperilaku menyimpang semata-mata terhadap yang dimaksud mereka sebagai kerugian yang mereka hasilkan. Antara tujuh dan delapan tahun, anak-anak masuk dalam tahapan moral subjektif dan menilai pelanggaran yang dalam istilah mereka, merupakan pelanggaran yang sungguhsungguh. Piaget mengamati pergeseran dalam berpikir yang diperlihatkan anak-anak terhadap pasangan-pasangan dalam cerita-cerita di mana karakter berbeda dalam istilah kesungguhan dan jumlah kerugian yang mereka lakukan, sebagai contoh berikut: 1. John berada di kamarnya ketika ibunya memanggilnya untuk makan malam, John pergi ke bawah dan membuka pintu kamar makan. Tetapi di samping pintu ada kursi, dan di atas kursi terletak baki dengan lima belas gelas di atasnya. John tidak mengetahui gelas-gelas itu di balik pintu. Ia membuka pintu, pintu mendorong baki, “bang” terjatuhlah lima belas gelas itu, dan pecah semua. 2. Suatu hari ketika ibu Henry pergi, Henry mencoba mengambil beberapa kue di atas lemari makanan. Ia menjangkaunya dengan menggunakan kursi, tetapi botol tempat kue masih terlalu tinggi; dan ia tidak dapat menjangkaunya. Tetapi sementara ia mencoba untuk menjangkau botol kue, ia menabrak cangkir. Cangkir jatuh dan pecah. Anak-anak yang ditanya untuk menilai terhadap kedua karakter (dalam kasus ini John dan Henry) menyatakan keduanya nakal. Secara umum, anak-anak yang lebih muda berkata bahwa John nakal, sebab ia memecahkan lima belas gelas. Anak-anak yang lebih tua (lebih dari tujuh tahun) menyatakan Henry nakal, sebab ia melawan dengan tindakannya, padahal ia dilarang ibunya. Sekitar usia sebelas tahun, anak membuat tiga pergeseran ketika ia memasuki periode operasi-operasi formal dan mengembangkan 76
Penalaran Moral
kemampuan mengidentifikasi dan menggunakan prinsip-prinsip abstrak. Itu terjadi selama periode di mana kemampuan untuk menganalisis validitas terhadap perbedaan cara-cara mengembangkan penalaran moral.
B. Teori Tingkatan Kohlberg Dibangun di atas kerja Piaget, khususnya penelitiannya terhadap perkembangan moral, Kohlberg mengembangkan serupa, tetapi lebih mendalami teori. Kohlbeg secara khusus menggabungkan beberapa konsep pengikut Piaget ke dalam pekerjaannya - terutama gagasan-gagasan tentang tingkatan urutan dan dari konflik, disonansi, dan ketidakseimbangan – yang diperlukan sebelum hasil-hasil perkembangan intelektual selanjutnya. James Rest (1974: 241-259) mengidentifikasi tiga gagasan fundamental yang terletak pada inti teori Kohlberg. Ia dinamakan “structural organization”, “developmental sequence”, and “interactionism”. Structural organization (organisasi terstruktur), yang mengacu pada fakta bahwa perkembangan psikologis seperti yang dikemukakan Kohlberg, mempertimbangkan perkembangan struktur kognitif seseorang yang amat penting dalam keseluruhan pertumbuhan dan perkembangan seseorang. Struktur kognitif adalah cara seseorang menganalisis dan menafsirkan data dan membuat keputusan-keputusan terhadap problemproblem pribadi dan sosial. Developmental sequence (urutan perkembangan) 77
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
mengacu pada pandangan Kohlberg dan yang lain bahwa perkembangan struktur kognitif seseorang terjadi dalam istilah tingkatan. Sesuai dengan pandangan bahwa tingkatan “terendah” mengalami perkembangan lebih awal dan kurang kompleks merupakan prasyarat menuju ke tingkat yang lebih “tinggi”. Tujuan utama dari pendidikan bagi kalangan perkembangan adalah membantu perkembangan individu bergerak melalui tahapan-tahapannya. Secara hipotesis, dilema-dilema etis (misalnya, “Apakah dokter melakukan suntikan kematian [mercy kill] terhadap pasien yang sakit fatal adalah orang yang meminta kematian disebabkan oleh kesakitan), Kohlberg mewawancarai anak-anak dan para orang dewasa di Amerika Serikat, Turki, Taiwan, Mexico, dan Malaysia. Kohlberg kemudian mengklasifikasi responrespon mereka ke dalam enam kelompok jenis-jenis rasional yang mereka berikan. Dari semua kebudayaan yang ia pelajari, ia mengidentifikasi tiga level perkembangan moral prekonvensional, konvensional, dan postkonvensional. Setiap level mempunyai dua tingkatan di dalamnya, untuk seluruhnya terdiri dari 6 tingkatan dari penalaran moral (Lihat tabel 2) Tabel 5.2. Tingkatan Perkembangan Moral Kohlberg
78
Penalaran Moral
Sumber: Diadaptasi dari L.Kohlberg (1966:7, dalam Fraenkel, 1977: 56)
Anak-anak prekonvensional, meskipun sering “berperilaku baik” dalam pengertian pelabelan dan kepekaan terhadap label-label kultural dari apa yang dinamakan baik atau buruk, perilaku demikian disebabkan oleh diberlakukannya konsekuensi-konsekuensi fisik (hukuman, ganjaran, tukar menukar hadiah) atau disebabkan kekuasaan-kekuasaan fisik dari figur yang berwenang (orang tua, guru, dan lain-lain). Anak-anak pada level konvensional cendrung ke arah penyesuaian. Menyesuaikan dengan harapan-harapan dan memelihara peraturanperaturan dan ketntuan-ketentuan dari keluarga, kelompok, bangsa yang dinilai baik untuk kebenaran dirinya sendiri. Kepedulian diperlihatkan tidak hanya untuk menyesuaikan diri, tetapi juga untuk mendukung dan membenarkan ketertiban sosial. Sesuai dengan Kohlberg, banyak orang dewasa Amerika berada dalam level ini. Level yang ketiga, postkonvensional, individu-individunya cendrung berpikir berdasarkan prinsip-prinsip moral otonom yang berlandaskan pada konsep keadilan, yang mereka pahami secara universal dapat dilaksanakan. Prinsip-prinsip seperti itu dipertimbangkan bisa berbeda dari wewenang individu-individu, kelompok-kelompok di sekitar mereka seperti dari organisasi orang-orang dengan berbagai individu dan kelompok. Seorang tentara yang menolak perintah untuk berpartisipasi dalam pembunuhan besar-besaran terhadap orang Vietnam di desa My Lai tahun 1968, sebagai contoh perilaku pada level postkonvensional.
79
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
Tingkatan penalaran moral tertentu yang dapat dicapai oleh anak ditentukan oleh respon-respon anak dalam melakukan pertimbangan penilaian terhadap jawaban sementara dari “dilema moral”, sebuah kisah di mana seseorang memilih berbagai pilihan yang saling bertentangan. Kisah itu secara filosofi alami dan mengandung pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan tanggung jawab, motivasi, atau tujuan. Berikut contoh kisah: Di Erofah, seorang perempuan dalam kondisi sekarat, karena penyakit kanker. Satu obat yang mungkin menyembuhkannya, diformulasi dari radium yang dibuat oleh ahli obat di kota yang sama, baru saja ditemukan. Ahli obat itu menetapkan harga $ 2.000, 10 kali dari harga obat yang ia buat. Heinz, suami dari perempuan yang sakit, pergi ke setiap orang yang kenal untuk meminjang uang, tetapi ia hanya memperoleh separuh harga saja. Ia menceritakan kepada ahli obat bahwa istrinya hampir meninggal dan menanyakan, apakah mau menjual obat itu dengan harga yang lebih murah atau membolehkannya melunasi kemudian. Tetapi ahli obat berkata, “Tidak”. Si suami nekat dan memutuskan masuk ke dalam toko ahli obat untuk mencuri obat untuk istrinya. Pantaskah yang dilakukan suami itu? Mengapa?
Untuk menambah pemikiran lebih lanjut dari tipe pertimbangan moral yang siswa-siswa buat dalam merespon kisah itu, pertimbangkan beragam contoh dari respon-respon yang dibuat terhadap dilema moral yang diperlihatkan oleh Heinz dalam kisah di atas. Catat tingkatan-tingkatan dari penalaran moral yang pada dasarnya tidak berbeda dari keputusan itu sendiri, tetapi lebih atas dasar alasan-alasan yang diberikan untuk keputusan itu. Tabel 5.3. Contoh Respon Siswa terhadap Keputusan Heinz
80
Penalaran Moral
81
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
Sumber: Fraenkel (1977: 57)
Seperti Piaget, Kohlberg (1971) mengemukakan bahwa kemajuan berjalan melalui tingkatan-tingkatan secara berurutan dan tidak berbeda, tetapi juga, tidak semua orang mencapai tingkatan yang lebih tinggi. (Ia memperkirakan lebih kurang dari 20% nalar orang dewasa Amerika berada pada level postkonvensional. Selanjutnya, ia yakin bahwa 6 tingkatan itu adalah universal, melekat dalam seluruh kebudayaan, dan setiap tingkatan menggambarkan level penalaran yang lebih tinggi dengan tidak melewatkan tingkatan yang sebelumnya. Ia menghasilkan kesimpulan melalui observasi, yakni tidak ada subjek yang ditemukan berada pada tingkatan 1 sampai 4 mampu mencapai tingkatan 5 atau 6; namun demikian, beberapa individu yang berada pada tingkatan 5 atau 6, seluruhnya melalui tahap 1 sampai 4. Meskipun para individual tidak mampu melompati tingkatan-tingkatan, mereka mungkin bergerak melalui tingkatan-tingkatan dengan cepat atau lambat dan mungkin ditemukan setengah di dalam dan setengah di luar dalam tingkatan tertentu pada waktu yang ditentukan. Setiap individu yang bergerak maju melalui tingkatan-tingkatan, mereka dapat menjadi meningkatkan pengertian, lebih berpikir sintesis dan membedakan informasi daripada mereka yang dapat 82
Penalaran Moral
lakukan pada tingkatan sebelumnya. Mereka menjadi lebih baik dalam mengorganisir informasi dalam kerangka yang integratif dan sistimatis. Pemikiran moral, kemudian dipandang sebagai tindakan dalam materi yang sama sebagai salah bentuk yang lain dari berpikir. Kohlberg juga mengemukakan bahwa tingkatan penalaran yang lebih tinggi adalah secara moral lebih baik dari tingkatan penalaran yang lebih rendah. Interactionism (paham interaksi) mengacu pada proses melalui mana struktur kognitif seseorang dikembangkan. Setip anak berkembang dan memperhatikan sifat keberaturan tertentu dalam lingkungannya, ia mengembangkan pola perilaku (struktur kognitif) untuk berhadapan dengan berbagai keberaturan – cara berpikir tentang dunia. Setiap anak tumbuh dan matang, namun demikian, ia menjalani pengalaman bahwa struktur kognitif dikembangkan sebelumnya, ternyata tidak memadai. Ia kemudian mencari perubahan cara berpikirnya, agar membuat pengalaman baru. Ketika ia menemukan cara baru dalam berpikir, ia mampu memahami pengalaman, struktur kognitifnya – cara berpikirnya tentang dunia – jadi berubah. Unsur esensial untuk pertumbuhan inteleketual – untuk perkembangan kognitif anak – adalah peluang untuk menggunakan sejumlah pengalaman yang baru dan berbeda yang akan menyebabkannya mencoba menata kembali cara berpikirnya dan mencari cara-cara yang memadai untuk mengorganisir dan menafsirkan data. Apakah maknanya hal demikian bagi para guru? Apa implikasi teori Kohlberg untuk pendidikan nilai? Implikasi yang paling signifikan, barangkali terletak dalam argumen Kohlberg bahwa kemajuan melalui tingkatan-tingkatan adalah perkembangan alamiah, satu yang para guru dapat lakukan berikutnya adalah menyajikan para siswa dengan dilema moral seperti melibatkan Heinz dan istrinya dan kemudian mendiskusikan karakter-karakter apa yang akan dilakukan. Guru harus menjamin bahwa para siswa membeberkan argumen-argumen secara individual yang melakukan penilaian satu tingkatan di atas tingkatan yang mereka miliki. Kohlberg menyarankan bahwa anak-anak dan remaja, mereka lebih suka penalaran moral yang lebih tinggi dari yang mereka dapat pahami. Mereka dapat memahami semua tingkatan yang lebih rendah dari tingkatan mereka sendiri, atau satu tingkatan yang lebih tinggi dari mereka sendiri, bahkan pada dua tingkatan yang lebih tinggi dari mereka. Mereka cendrung menolak argumen-argumen penalaran individu-individu dari tingkatan yang lebih rendah, menemukan argumen-argumen yang 83
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
sederhana dan tidak dibuat-buat. Tetapi mereka biasanya tidak dapat memahami argumen-argumen dari orang-orang yang penalarannya lebih dari satu tingkatan di atasnya. Para siswa dengan partisipasi kelompok siswa yang lebih luas (seperti diskusi dilema moral) menemukan kemajuan yang lebih cepat dari pada para siswa tanpa partisipasi seperti itu.
84
Penalaran Moral
C. Mendiskusikan Dilema-dilema Moral di Kelas 1. Mengembangkan Dilema Moral Bagaimanakah guru melibatkan siswa dalam diskusi tentang dilema moral di kelas? Prosedur-prosedur dan atau teknik-teknik apa sajakah yang digunakan? Galbraith dan Jones (1975: 16-22,) dan Beyer (1976: 194-202) dalam Fraenkel, 1977: 61) mengembangkan model strategi pembelajaran untuk mendiskusikan perilaku moral, yang terdiri dari 3 bagian; daftar instruksiinstruksi umum untuk menyajikan dilema orisinal, kumpulan dilema-dilema alternatif untuk digunakan dalam kasus dilema asli gagal memunculkan kontroversi, dan daftar pertanyaan-pertanyaan penelitian. Galbraith dan Jones (1975: 19) mengemukakan bahwa: “meskipun dilema-dilema alternatif menggunakan kisah yang sama, karakter-karakter yang sama, isu-isu moral yang sama, mereka merubah situasi dalam memaparkan problem asli dalam upaya memunculkan kontroversi mengenai apa yang pantas dilakukan karakter utama”. Mari kita lihat satu contoh dilema alternatif dan pertanyaan-pertanyaan penelitian, bersama-sama dengan dilema asli, yang pertama kali dirancang bersama-sama, diikuti oleh deskripsi dan ilustrasi bagaimana menggunakannya dalam kelas. a. Dilema Helga Helga dan Rachel tumbuh bersama. Mereka berteman baik, meskipun dalam kenyataan keluarga Helga beragama Kristen dan Rachel beragama Yahudi. Untuk beberapa tahun, perbedaan kepercayaan tidak banyak menimbulkan persoalan di Jerman, tetapi setelah Hitler merebut kekuasaan, situasi berubah. Hitler mewajibkan orang Yahudi untuk memakai ban lengan dengan Bintang Daud terhadap mereka. Ia mulai mendorong pengikutnya untuk menghancurkan milik orang Yahudi dan menghalau mereka di jalan. Akhirnya Hitler mulai menangkap orang-orang Yahudi dan membuang mereka. Kabar-kabar angin yang berkembang di sekitar kota adalah bahwa banyak orang Yahudi yang telah dibunuh. Orang-orang Yahudi bersembunyi dari Gestapo (polisi rahasia Hitler) yang melihat mereka sebagai pelaku kriminal dan pelanggar hukum serius terhadap pemerintah German. Suatu malam Helga mendengar pintu diketok. Ketika dibuka, ia melihat Rachel berjalan membungkuk dalam mantel gelap. Dengan cepat Rachel masuk ke dalam. Ia telah bertemu, dan berkata, dan ketika ia kembali ke rumah, ia menemukan anggota-anggota Gestapo mengeliling rumahnya. Orang tua dan saudara-saudaranya telah diangkut. Mengetahui nasibnya jika Gestapo menangkapnya Rachel berlari ke rumah teman lamanya. 85
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
Sekarang apa yang diakukan Helga? Jika ia menolak Rachel, Gestapo akhirnya akan menemukan mereka. Helga mengetahui sebagian besar orang Yahudi yang disuruh pergi telah dibunuh, dan ia tidak ingin teman terbaiknya menanggung nasib seperti itu. Tetapi menyembunyikan orang Yahudi yang dianggap melanggar hukum. Helga akan menanggung resiko terhadap keamanan dan keluarganya, jika ia mencoba menyembunyikan Rachel. Tetapi ia memiliki kamar kecil di samping cerobong asap di lantai tiga di mana Rachel mungkin aman. Pertanyaan: Maukah Helga menyembunyikan Rachel
b. Dilema-dilema Alternatif Jika kelas setuju bahwa Helga mau menyembunyikan Rachel, satu dari dilema-dilema alternatif berikut dapat digunakan untuk perbedaan pendapat. A. Andaikata Helga hanya bertemu sekali dan tidak mengenalnya dengan baik. Apa yang dilakukannya dalam kasus ini? B. Andaikata ayah dan ibu Helga mendengar apa yang terjadi di pintu dan meminta Helga untuk tidak mengijinkan ke dalam rumah.Dalam kasus ini apa yang dilakukannya? Jika kelas setuju bahwa Helga tidak mau menyembunyikan Rachel, satu dari dilema-dilema alternatif dapat digunakan untuk membangkitkan perbedaan pendapat. A. Andaikata beberapa teman Helga juga menyembunyikan orangorang Yahudi dari Gestapo. Apa yang dilakukan Helga dalam kasus ini? B. Andaikata Helga mendengar Gestapo datang dan mengetahui bahwa Rachel akan ditembak pada saat terlihat dalam beberapa menit, jika Helga menyembunyikan. Apa yang akan dilakukan Helga dalam kasus ini?
c. Pertanyaan-pertanyaan Penyelidikan 1) Apa sesuatu yang sangat penting jika seorang teman berhutang dengan yang lain? Mengapa? 2) Maukah seseorang menanggung resiko keselamatan keluarga untuk keselamatan teman-temannya? Mengapa? 3) Maukah seseorang menanggung resiko kehidupannya sendiri untuk orang lain? Mengapa? 86
Penalaran Moral
4) Benarkah seseorang dapat dibenarkan untuk menyembunyikan seseorang yang melarikan diri dari petugas yang berwenang? 5) Dari beberapa hal tentang Rachel, apayang patut dilakukan Helga? 6) Dari beberapa hal tentang ayah Helga, apa yang patut dilakukan Helga? Beyer (1976: 196-197, dalam Fraenkel, 1977: 62) mengemukakan lima kegiatan nyata di mana guru mungkin melibatkan para siswa sebagai bagian dari mendiskusikan dilema-dilema seperti yang dikemukakan terdahulu (Lihat gambar 4. 1), meliputi; GAMBAR 5.1. Strategi Membimbing Diskusi Moral
(Beyer, 1976:199, dalam Fraenkel, 1977:63)
Menyajikan dilema (mengenalkan, dalam bentuk tulisan, lisan, audio, atau visual, situasi dilema tertentu dari kelas untuk dipikirkan). 87
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
Beyer mengemukakan bahwa hal itu kadang-kadang bermanfaat, pertama menyiapkan para siswa terhadap suatu situasi yang disampaikan dalam dilema melalui menyebutkan atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan, contoh-contoh saat kini dari situasi seperti dilema itu. 1. Merekomendasikan materi-materi sementara, berupa tindakan untuk memecahkan dilema dan memberikan alasan beberapa rekomendasi (meningkatkan para siswa untuk mengambil posisi sementara mengenai apa tindakan tertentu yang ia pikir tokoh utama dalam dilema mau lakukan). 2. Mendiskusikan alasan di balik rekomendasi-rekomendasi mereka dalam kelompok kecil. Beyer mengusulkan beberapa hal yang dilakukan sebelum diskusi dimulai. Beyer mengemukakan bahwa diskusi moral yang lebih produktif terjadi, bila kelompok kecil berinteraksi dan diikuti oleh diskusi seluruh kelas. Selanjutnya, guru akan bergerak dari kelompok ke kelompok, menolong para siswa utuk memusatkan perhatian terhadap isu-isu moral yang disajikan dalam dilema. Mungkin menetapkan dua kelompok. Di mana tindakan pembagian kelas tidak sama rata, kelompokkelompok dari 4 hingga 6 siswa dapat dibentuk di mana semua anggota dari setiap memiliki posisi yang sama. Para siswa dalam kelompok dapat mendaftar semua alasan yang mereka miliki untuk posisi mereka masing-masing, memilih paling terbaik dari semua alasan, dan kemudian menyatakan mengapa alasan itu merupakan alasan terbaik. Secara terbuka dilakukan tindakan pembagian kelas, guru dapat mengorganisir kelompok dengan jumlah yang sama untuk para siswa yang mewakili posisi setuju dan tidak setuju. Anggota kelompok dapat mendiskusikan posisi mereka dan alasanalasan selanjutnya membuat daftar dua alasan yang terbaik untuk setiap posisi yang diwakili. Para siswa merasa bebas berpindah dari satu kelompok ke kelompok yang lain jika di tengah diskusi kelompok, mereka memutuskan merubah posisi mereka, setuju atau tidak setuju. Ketika tugas-tugas kelompok sudah selesai, para siswa dapat dipanggil untuk memasuki diskusi kelas. 3. Menguji alasan mereka di kelas dan alasan-alasan lain menggunakan seperti mereka menilai solusi-solusi yang direkomendasikan terhadap dilema. Tujuan di sini adalah memberikan kesempatan pada para siswa untuk melaporkan alasan di balik posisi mereka 88
Penalaran Moral
dan untuk mendengar alasan di balik posisi yang lain, menolak alasan yang lain, dan menjadi pihak yang alasannya ditolak. “Proses menyatakan, menolak, ditolak, mempertahankan, menjelaskan, membahas, dan membandingkan adalah eksistensi terpenting dari jarak antara satu tingkatan alasan yang dimiliki seseorang dan alasan pada tingkatan berikutnya yang lebih tinggi. Pada saat ini, para siswa menjadi sadar terhadap adanya jarak dan bergerak untuk menutupnya”. Bagian penting dari diskusi kelas adalah para guru menggunakan pertanyaan-pertanyaan penyelidikan. Mereka menolong para siswa menilai isu-isu yang mereka miliki, diabaikan atau bukan berpikir seperti sebelumnya. 4. Merefleksi alasan mereka sendiri dan alasan orang lain. Tugas pemimpin diskusi di sini adalah membawa diskusi untuk ditutup. Para siswa dapat diminta untuk meringkas semua alasan yang mereka dengar dan memilih satu yang mereka nilai lebih meyakinkan. Beyer mengemukakan bahwa deklarasi publik terhadap pilihan mereka adalah “baik tidak diperlukan maupun tidak diinginkan, untuk melakukan hal demikian mungkin berimplikasi bahwa itulah jawaban benar, sebuah asumsi lawan yang tepat untuk strategi masuk” Ini merupakan contoh dilema yang didesain untuk digunakan oleh para siswa sekolah menengah pertama, diikuti oleh perencanaan mengajar yang dikembangkan Beyer yang mengilustrasikan bagaimana setiap dari lima dasar aktivitas dapat digunakan sebagai penuntun moral diskusi. Sharon dan Jill mereka berteman baik. Suatu hari mereka pergi belanja bersama. Jill mencoba kemeja dari wol dan kemudian, hingga Sharon terkejut, Jill berjalan ke luar toko memakai kemeja dari wol di balik jas. Peristiwa berikutnya, petugas keamanan toko menahan Sharon dan meminta ia menceritakan kepadanya nama gadis yang berjalan keluar toko. Petugas keamanan toko menceritakan kepada pemilik toko bahwa ia melihat dua gadis bersama, dan ia yakin gadis yang satu telah pergi sudah mencuri. Pemilik toko menjelaskan kepada Sharon bahwa ia jelas mendapat kesulitan, jika ia tidak memberitahu nama temannya. 2. Perencanaan Mengajar untuk Dilema Sharon Bagian I. Penyajian Dilema Membagi handout yang memaparkan dilema moral. Meyakinkan untuk para siswa memahami berbagai istilah atau kalimat yang terdapat dilema. Menyuruh para siswa menjelaskan fakta-fakta yang 89
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
terdapat dalam situasi. Meminta para secara sukarela menyatakan dan menjelaskan bentuk dilema moral yang dihadapi Sharon.
Bagian II. Membagi Kegiatan Minta siswa untuk bepikir sementara tentang apa yang mereka pikir apa yang akan dilakukan Sharon. Mereka kemudian diminta menulis rekomendasi mereka dan alasan dari rekomendasi mereka di atas sehelai kertas. Tentukan dengan menunjukkan tangan atau berbagai bentuk lain cara bagaimana sejumlah siswa berpikir tentang apakah Sharon akan dan tidak akan memberitahukan nama temannya kepada petugas keamanan. Minta siswa yang secara sukarela mewakili setiap posisi dan menjelaskan alasan-alasan dari posisi-posisi mereka masing-masing. Jika kelas gagal terbagi secara memuaskan, gunakan alternatif berikut yang cocok; a. Jika para siswa di kelas setuju bahwa sebaiknya Sharon memberitahukan: 1) Andaikata Sharon mengetahui bahwa Jill dibebaskan secara bersyarat dan akan kembali dikirim lagi ke penjara anak jika ia tertangkap mencuri. Apa yang sebaiknya Sharon lakukan dalam kasus ini? 2) Andaikata Jill telah banyak melakukan kebaikan kepada Sharon dan Sharon tahu mungkin ia kehilangan teman-temannya, jika ia memberitahu tentang Jill. Apa yang harus dilakukan dalam situasi ini? b. Jika para siswa di kelas setuju bahwa Sharon sebaiknya tidak memberitahukan: 1) Jika sebelumnya Jill telah memberitahu gurunya bahwa Sharon telah curang dalam ujian. Apa yang harus Sharon lakukan dalam kasus ini? 2) Jika Jill bukan teman, Jill hanyalah kenalan Sharon yang tidak terlalu dekat. Apa yang harus Sharon lakukan? Jika alternatif dilema ini berhasil mendorong perbedaan, mintalah siswa untuk melakukan bermain peran (role playing) berdasarkan dilema tersebut sesuai dengan posisi masing-masing dan berikutnya mintalah mereka untuk memperbaiki dilema tersebut serta menentukan kembali posisinya. Selanjutnya minta seorang sukarelawan untuk menjelaskan alasan tentang posisi yang dipilihnya. 90
Penalaran Moral
Bagian III. Diskusi Kelompok Kecil Kelas dibagi dalam kelompok tidak kurang dari seperempat jumlah siswa, atau jika jumlah siswa terlalu banyak bisa lebih dari seperempat. Para siswa kelompokkan sesuai dengan setiap aspek permasalahannya dan diatur dalam kelompok kecil, di dalam kelompok kecil ini para siswa dapat berdiskusi alasan-alasan mereka, memilih alasan-alasan yang mereka pikir terbaik untuk posisi yang mereka sarankan, dan memutuskan mengapa alasan-alasan merupakan alasan-alasan “terbaik” mereka. Bagian IV. Diskusi Kelas Mengumpulkan kembali siswa dalam kelompok besar. Para siswa dari kelompok-kelompok kecil melaporkan keputusan-keputusan mereka atau menuliskan daftar keputusan-keputusan mereka di papan tulis. Mendorong para siswa untuk mendiskusikan kebaikan-kebaikan dari alasanalasan yang diberikan oleh setiap kelompok. Gunakan beberapa pertanyaan lacakan yang cocok untuk memusatkan diskusi: a. Apakah yang dimaksud “sahabat terbaik?” b. Apakah Sharon mempunyai kewajiban terhadap Jill?, kepada pemilik toko?, terhadap hukum?, kepada dirinya sendiri? Mengapa ya atau mengapa tidak? c. Jenis kewajiban apakah yang dilakukan?, terhadap Jill?, terhadap pemilik toko?, atau terhadap hukum? Mana yang paling penting? Mengapa? d. Dari sudut pandang Jill (pada pemilik toko, ada orang tua Sharon), haruskah Sharon memberitahukan? Mengapa harus dan mengapa tidak? Bagian V. Menutup Diskusi Para siswa yang merasa bahwa Sharon seharusnya memberitahukan meringkas seluruh alasan-alasan yang diberikan oleh para siswa yang mengusulkan bahwa Sharon tidak seharusnya memberitahukan. Para siswa yang mengatakan Sharon seharusnya tidak memberitahukan meringkas alasan-alasan yang diberikan oleh para siswa yang menganjurkan Sharon seharusnya memberitahukan. Kemudian para siswa memikirkan tentang apa yang mereka dengar, memilih kembali apa yang mereka pikir Sharon seharusnya lakukan, dan menulis pilihan mereka dan alasan untuk pilihan mereka di atas selembar kertas. Para siswa tidak perlu mengumpulkan kertas yang telah berisi pilihan dan alasan mereka.
91
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
1. Apakah yang kamu pikir tentang isu utama kisah Sharon ini keterkaitannya dengan dilema Helga? 2. Apa alternatif lainnya terhadap dilemma Helga yang dapat kamu usulkan? Terhadap Sharon? 3. Apa pertanyaan lanjutan yang akan kamu ajukan terhadap setiap dilema? Mengapa? 4. Beyer mengusulkan 5 bentuk dari pertanyaan-pertanyaan menggali yang mungkin digunakan selama diskusi kelas tentang suatu dilema. Beyer menguraikannya sebagai berikut: Menggali penjelasan dilakukan dengan meminta para siswa untuk menjelaskan istilah-istilah yang mereka gunakan atau menjelaskan komentar yang tidak menyampaikan alasan. Sebagai contoh, jika siswa mengatakan “Saya pikir mencuri itu adalah perilaku tidak bermoral”, guru mungkin merespon dengan menggali penjelasan, “ Apa yang kamu maksud dengan perilaku tidak bermoral?” Menggali persoalan yang khusus seperti itu mendorong siswa menguji pemikiran-pemikiran mereka berkaitan dengan satu atau sembilan persoalan-persoalan utama yang Kohlberg anggap memberikan fokus pada penalaran moral. Dalam diskusi dilema Sharon sebagai contoh suatu pertanyaan penggali mungkin seperti ini “ Apakah kewajiban-kewajiban yang kamu berikan teman?” Pertanyaan ini memberikan persoalan khusus tentang hubungan-hubungan kasih sayang. Menggali antar persoalan mendorong para siswa berpikir tentang apa yang dilakukan ketika konflik muncul di antara dua persoalan yang terpisah, seperti: “Apa yang paling penting, kesetiaan terhadap teman atau kewajiban untuk mematuhi hukum? Mengapa?” Tugas pertanyaan penggali menempatkan para siswa dalam posisi sebagai orang lain yang terlibat dalam dilemma agar mereka melihat dari sisi lain terhadap suatu problem. Pertanyaannya mungkin menjadi “Dari pandangan orang tua Jill, haruskah Sharon memberitahukan?” Akhirnya, secara universal konsekuensi dari upaya menggali mengundang para siswa memikirkan apa yang mungkin terjadi jika posisi atau alasan seperti itu dilakukan kepada setiap orang. Sebagai contoh, “Apakah sesungguhnya benar untuk menceritakan tentang teman?” Dapatkah kamu pikir terhadap beberapa tipe yang lain dari pertanyaan seperti itu yang mungkin diajukan? Adakah jenis-jenis pertanyaan yang seharusnya tidak mereka ajukan? Mengapa? Dari lima jenis pertanyaan yang Beyer kemukakan (atau apa saja) apa yang kamu pikir paling penting untuk diajukan kepada para siswa? Yang paling kurang penting? Mengapa? 92
Penalaran Moral
5. Dapatkah kamu melihat hal-hal yang merugikan yang diperoleh para siswa selama diskusi moral? Apakah kerugian-kerugian tersebut?’
D. Diskusi-diskusi Moral pada Tingkat Pendidikan Dasar Galbraith dan Jones (1975: 198) menyarankan menggunakan strategi yang sama untuk sekolah tingkat pendidikan dasar, hanya dengan beberapa sedikit perubahan. Sebagai contoh, ketika mengenalkan dilema, mereka menyarankan agar menanyakan kepada para siswa beberapa pertanyaan pemanasan dan mengijinkan mereka untuk memulai dengan lebih dulu mengidentifikasi beberapa keadaan-keadaan yang terdapat dalam dilema. Mereka juga menyarankan agar mengikuti langkah berikut: 1. Gunakan dilema dalam film-film, rentetan foto dalam film (filmstrips), dan tape-audio dengan berbagai variasi. 2. Diskusikan dilema secara umum sebelum meminta kelas untuk menunjukkan posisi sementara. 3. Bagi kelas dalam kelompok-kelompok kecil selambat-lambatnya, lebih baik dari lebih awal dalam diskusi kelas untuk para siswa tingkat menengah. 4. Mengembangkan kisah dengan anggota kelas “materi tambahan” dalam kisah. Jadi untuk membicarakan (lebih baik dari memberikan rangkaian dilema-dilema alternatif seperti dengan para siswa tingkat menengah). Di sini akan diberikan contoh dilema yang didapatkan di film dan berkaitan dengan perencanaan pembelajaran yang mereka sarankan untuk digunakan di tingkat pendidikan dasar. Kisah “ Siapa Butuh Peraturan” Film mempertunjukkan dua situasi di mana anak-anak sedang menangis di antara mematuhi atau melanggar peraturan. Episode pertama, Steve dan Connie menemukan anak anjing yang tersesat di taman. Steve ingin memeliharanya, tetapi Connie mengingatkannya bahwa peraturan gedung tempat tinggal mereka melarang binatang kesayangan. Steve prihatin dengan kesehatan anak anjing, dan bagaimanapun memutuskan untuk membawa anjing ke rumah untuk memberikan makannya. Connie juga merasa terikat dengan anak anjing yang anak nasib sial, tetapi mengingatkan Steve terhadap peraturan dan mencemaskan keluarga akan mengusir, jika binatang 93
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
kesayangan ditemukan. Harapan Steve memberikan anak anjing yang baik di rumah bertentangan dengan pandangan-pandangan praktisnya. Mereka dibiarkan untuk membuat keputusan yang sulit sementara film diberhentikan. Para penonton kemudian memikirkan apa yang mereka akan lakukan dalam situasi itu.
Perencanaan Pembelajaran: “Siapa Butuh Peraturan?” a. Pertanyaan-pertanyaan Pemanasan 1) Berapa jumlah anak anjing yang pernah kamu punyai? 2) Berapa jumlah anak anjing yang pernah kamu temukan di taman, tempat bermain atau di lingkunganmu? 3) Apakah ada seseorang di sini yang tinggal di gedung apartemen? Tahukah kamu apakah gedung-gedung apartemen mempunyai peraturan-peraturan yang berurusan dengan binatang-binatang dan binatang-binatang kesayangan? Apa saja peraturan-peraturan itu? 4) Pernahkah kamu mendengar bahwa gedung apartemen memiliki peraturan yang mengatakan kamu tidak dapat memiliki binatang kesayangan di tempat itu? 5) Siapa yang mengetahui apakah tempat perlindungan binatang? Apa yang terjadi bila anak-anak anjing di tempat di tempat perlindungan binatang?
b. Penyajian Perlihatkan bagian pertama dari film kepada kelas. Mulailah film pada tempat di mana sedang memperlihatkan tanda berada di taman, Connie dan Steven bermain dengan Frisbee, mencari Frisbee di semak belukar, dan menemukan anak anjing. Film berjalan terus ke tempat di mana Steve berkata “Lihat, saya tidak memeliharanya semua untuk diri sendiri. Tetapi jika kamu menolong, kita dapat melakukannya, paling sedikit selama musim panas. Mari, Connie, kita mncobanya atau tidak?”. Dalam hal ini, pembawa cerita mengajukan beberapa pertanyaan untuk didiskusikan. c. Pertanyaan-pertanyaan Permulaan Menjelaskan keadaan-keadaan, istilah-istilah dan karakter-karakter dalam kisah. Dilanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang akan menolong dalam menentukan bagaimana para siswa secara individual menanggapi kisah dilema dan apakah kelas tidak sepakat terhadap posisi tindakan dari tokoh utama dalam kisah. 94
Penalaran Moral
1) Sebaiknya apa yang dilakukan Steve dan Connie? 2) Mengapa gedung apartemen mempunyai peraturan terhadap binatang kesayangan? 3) Apakah Steve dan Connie punya hak untuk melanggar peraturan itu? 4) Apakah sebaiknya Steve dan Connie memberitahukan kepada setiap orang lain mengenai anak anjing mereka yang ada di kamar gudang? 5) Apa hal terbaik yang Steve dan Connie lakukan bahwa mereka dapat menolong anak anjing? Catatan: Yakinlah untuk memberikan sejumlah siswa kesempatan yang tepat untuk menanggapi pertanyaan-pertanyaan permulaan, jadi kamu dapat menentukan jika mereka mempunyai sudut pandang yang berbeda. Seringkali minta para siswa untuk menanggapi komentar siswa yang lain. Sebagai contoh:” David, apakah kamu juga setuju dengan komentar Lisa, atau apakah kamu punya gagasan-gagasan lain untuk menambahkan” atau “Susan, banyak dari orang di sini berpikir itu boleh saja bagi Steve dan Connie untuk memelihara anak anjing. Apa yang kamu pikirkan?” Kamu dapat memutuskan untuk meneruskan diskusi, gunakan satu dari strategi-strategi kelompok kecil, atau memasukkan kisah yang baru atau yang dikembangkan dari kisah yang ada.
d. Strategi-strategi Kelompok Kecil 1) Menempatkan Peranan Bentuk tiga atau empat kelompok (atau memasangkan nomor dengan nomor dari beberapa peran dalam kisah) dan memberikan setiap siswa peran yang dilakukan. Sebagai contoh, Steve, Connie, pengelola apartemen, ayah dan ibu Steve dan Connie. Berikan kelompok-kelompok petunjuk-petunjuk berikut: a) Kelompok kamu berperan akan membicarakan tentang hal terbaik untuk Steve dan Connie lakukan dalam situasi itu dan mengapa itu menjadi hal terbaik. b) Ingat, gunakan gagasan kamu sendiri mengenai apa yang kamu yakini benar, tetapi diskusikan gagasan-gagasan itu sebagaimana peran yang kamu mainkan saat membicarakan tentang mereka. 95
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
2) Mengambarkan Bagian Terakhir Bentuk tiga kelompok dan berikan setiap kelompok potonganpotongan kertas gambar ukuran besar dan pensil lilin berwarna. Minta kelompok untuk membicarakan tentang bagaimana kisah akan berakhir dan kemudian membuat gambaran penjelasan bagian terakhir. Setiap kelompok dapat menjelaskan gambaran mereka di hadapan kelas, dan gur u dapat mengajukan pertanyaan penggali yang mungkin mendorong diskusi tambahan. Para siswa yang lain juga menjadi didorong untuk mengajukan pertanyaaan kepada kelompok yang menjelaskan gambarannya. 3) Menyusun Daftar Alasan Bentuk tiga atau empat kelompok dan berikan mereka tugastugas berikut; Susun daftar dua atau tiga hal yang kamu pikir Steve dan Connie sebaiknya lakukan karena masalah mereka. Mengapa hal-hal itu baik dilakukan? Susun daftar dua atau tiga hal yang kamu pikir sebaiknya tidak mereka lakukan. Mengapa sebaiknya Steve dan Connie tidak melakukan hal itu? Catatan: Strategi kelompok sebaiknya selalu diikuti dengan diskusi yang terfokus pada apa yang terjadi dalam kelompok kecil. Dalam hal ini, guru dapat menegaskan dan memberikan pertanyaan mengenai alasan terhadap posisi yang dipilih selama diskusi kelompok kecil berlangsung.
e. Pengembangan Kisah Jika kisah dilema pertama tidak dapat menciptakan konflik untuk para siswa atau ketika para siswa nampak menyelesaikan diskusi dari kisah pertama, aspek yang lain mungkin bisa diberikan. Pengembangan kisah mungkin bisa dipikirkan sebagai bab tambahan dari kisah dilema, misalnya: Steve dan Connie memutuskan untuk memelihara anak anjing di kamar gudang untuk sementara. Mereka memelihara anak anjing dengan baik, mereka memberinya makan dan air, dan tinggal beberapa jam setiap hari. Suatu senja, pengelola gedung apartemen mengetuk pintu apartemen mereka dan mulai berbicara dengan ayah Steve dan Connie. Ia memberitahu mereka bahwa beberapa orang melaporkan padanya bahwa Steve dan Connie yang memelihara anak anjing di suatu tempat di gedung apartemen. Ia ingin mengetahui jika itu benar dan mengingatkan ayah Steve dan 96
Penalaran Moral
Connie bahwa ia telah menandatangani perjanjian tidak mempunyai binatang kesayangan dalam gedung. Jika ia melanggar perjanjian itu, keluarganya akan meninggalkan apartemen dalam waktu 30 hari. Ayah masuk ke dalam kamar Connie dan menanyakan kepadanya, jika ia dan Steve memiliki anak anjing yang disembunyikan dalam gedung. Pengelola gedung apartemen berdiri di samping ayah, Connie tidak mengetahui apa yang dilakukan. Ayahnya berkata:” Ayo Connie, apakah mempunyai atau tidak. Tolong beritahu saya yang benar sekarang?”
f. Pertanyaan-pertanyaan Penggali 1) Apakah wajar untuk Steve dan Connie membawa anak anjing ke dalam gedung apartemen? 2) Haruskah Steve atau Connie memberitahu ayah mereka tentang anak anjing yang mereka temukan dan memeliharanya di kamar gudang? 3) Jika Steve atau Connie ditanya oleh pengelola jika mereka memiliki anjing yang disembunyikan dalam gedung, apa yang seharusnya mereka katakan? 4) Anak anjing yang berada dalam kamar gudang dalam waktu yang lama, membuat mengotori benda-benda, kadang-kadang menyalak waktu malam, pengelola menemukan dan menceritakan kepada ayah mereka. Haruskah Steve dan Connie kemudian dihukum karena melanggar peraturan? 5) Steve dan Connie memelihara anak anjing dalam kamar gudang dan memberitahu pengelola bahwa mereka tidak memiliki anak anjing yang disembunyikan di gedung apartemen. Mana yang lebih buruk, melanggar peraturan atau tidak menceritakan kebenaran kepada pengelola gedung apartemen. 1. Apa yang kamu pikirkan terhadap persoalan-persoalan utama dari dilema ini? 2. Lihat pertanyaan-pertanyaan pemanasan, pertanyaan-pertanyaan permulaan, dan pertanyaan penggali bahwa Galbraith dan Jones menyarankan dilema ini. Maukah kamu menyarankan kepada orang lain? Menghilangkannya? Mengapa ya atau mengapa tidak? 3. Maukah kamu menyusun beberapa pertanyaan-pertanyaan permulaan yang berbeda? Jika ya, bagaimana? dan mengapa? Bagaimana mengenai pertanyaanpertanyaan pemanasan atau pertanyaan-pertanyaan penggali? 97
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
4. Bagaimana kamu membedakan antara dilema-dilema yang cocok didiskusikan oleh para siswa pendidikan dasar dan yang layak didiskusikan oleh para siswa pendidikan menengah? 5. Adakah berbagai bentuk persoalan yang kamu pikir bagi siswa tingkat pendidikan dasar sebaiknya tidak dibolehkan untuk didiskusikan? Mengapa ya atau mengapa tidak?
E. Kritik terhadap Teori Tahapan Moral Kohlberg Teori tahapan moral Kohlberg merupakan suatu yang meyakinkan dan menarik untuk guru-guru kelas, khususnya dalam menekankan gerakan melalui tahapan proses alami, guru selanjutnya dapat melaksanakan diskusi dilemadilema moral. Diskusi kelas yang lama dihargai sebagai teknik yang melibatkan para guru dari semua tingkatan. Bagaimanapun, banyak orang hati-hati terhadap para guru dan pengembang kurikulum meloncat amat cepatnya pada kereta api musik tahapan moral dengan sejumlah alasan. Apakah kehatian-kehatian mereka? Barangkali keberatan pertama terletak pada argument Kohlberg untuk tahapan-tahapan universalnya. Kohlberg menyatakan bahwa enam tahapan yang ia identifikasi yang mengandung lima kebudayaan yang telah diuji. Bagaimanapun, merupakan sampel cukup kecil untuk mengambil kesimpulan yang meluas, bahwa satu gambaran perkembangan moral untuk semua orang dalam semua kebudayaan telah ditemukan. Juga sampel yang mendukung pengambilan kesimpulan untuk konsep keadilan-fundamental untuk pertimbangan yang melekat pada tahapan yang lebih tinggi (tingkatan 5 dan 6) yang didukung oleh semua budaya. Colin Turbull, sebagai contoh, dalam The Mountain People, menguraikan beberapa perilaku dari orang Ik di Uganda Timur Laut. Orang Ik pada satu masa merupakan masyarakat damai. Mereka bekerjasama berburu mencari makan dan menghormati kematian mereka dengan acara-acara pemakaman. Baru-baru ini, pemerintah Uganda memutuskan untuk suku Ik dipindah ke dalam taman nasional. Itu kemudian merubah orang Ik menjadi baru dan amat ramai tinggal di area lereng gunung yang curam. Sebagai hasil dari perubahan itu, orang Ik kelihatan mengembangkan nilai-nilai yang amat bertentangan dengan nilai keadilan. Sebagai contoh, Turnbull mengamati kelompok dari mereka yang tertawa, ketika anak yang muda mengambil batu bara dari api dan berteriak kesakitan. Anak muda Ik tertawa kesenangan sambil mereka memukul orang Ik yang 98
Penalaran Moral
lebih tua dengan tongkat dan melempari mereka dengan batu-batu kepadanya sampai ia menangis. Seluruh desa sampai ke pinggiran jurang terakhir, wanita buta dihina dan ditertawakan, sehingga ia menderita. Dua tahun masa kekeringan orang Ik mengalami kehancuran panen dan menderita kelaparan, mengatur kembali penyimpanan makanan dan dijaga oleh satu keluarga dan orang yang lebih tua dari suku yang dihormati dan dipandang sebagai tanda penghormatan. Orang tua yang meninggal dunia, dan acara-acara pemakaman tidak lagi diselenggarakan. Sesudah tinggal dengan orang Ik selama 18 bulan, Turnbull (1972) menyimpulkan pengalamannya dengan kata-kata berikut: Orang Ik mengajarkan kepada kita bahwa banyak dari nilai-nilai kemanusiaan kita tidak melekat pada umat manusia secara keseluruhan, tetapi berkaitan hanya dengan bentuk terutama sekali dari kelangsungan hidup yang disebut dengan masyarakat, dan semuanya, bahkan dalam masyarakat itu sendiri adalah barang mewah yang dapat dibagi dengannya.
Seperti Peters (1975: 678) sarankan, Kohlberg dan pendukungnya tampak lemah dari keyakinan bahwa moralitas didasarkan pada konsep keadilan yang hanya merupakan jenis moralitas yang dapat dipertahankan. Ia menempatkan Kohlberg dan pendukungnya dalam suatu posisi yang sulit, mereka paksa untuk mempertahankan proposisi bahwa keadilan adalah konsep yang secara universal dipertahankan dan dipuji. Sayangnya, hal demikian cukup amat banyak bukti yang bertentangan dengan hal yang telah diyakini. Keberatan kedua terletak pada pernyataan yang tegas bahwa penalaran tahapan lebih tinggi tidak hanya berbeda, tetapi secara moral lebih baik dari penalaran tahapan lebih rendah. Perhitungan seperti itu (bahwa “lebih tinggi” berarti “lebih baik”) kelihatannya tidak mungkin untuk dibuktikan. Jika penalaran tahapan lebih tinggi adalah lebih baik itu seharusnya berisi atau memiliki sesuatu yang penalaran tahapan lebih rendah tidak mempunyainya. Dan jika itu benar adalah sulit untuk melihat bagaimana penalaran dari tahapan lebih rendah akan dapat memahami argumen-argumen dari tahapan penalaran yang lebih tinggi. Dan jika tidak dapat memahami argumenargumen, adalah sukar untuk melihat mengapa tahapan yang lebih rendah akan cendrung untuk menerima penalaran itu sebagai lebih baik dari mereka sendiri sebagai pembenaran untuk berbagai tindakan. Jika “lebih tinggi” adalah bukan “lebih baik” kemudian tidak nampak untuk berbagai pembenaran guna mencoba “meningkatkan hasil” penalaran dari anak-anak dengan 99
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
menolong mereka untuk bergerak melalui berbagai tahapan. Michael Scriven (1975: 690) mengemukakan dalam nada serupa: Membuka atau menutup pertanyaan adalah apakah seseorang berada pada tahapan “menengah” dari perkembangan moral adalah lebih salah (atau kurang benar) atas persoalan-persoalan dari seseorang pada tahapan “lebih tinggi”. Jika subjek tahapan”lebih rendah” tidak dapat dibuktikan salah, kemudian tidak ada pembenaran untuk mencoba merubah mereka, yakni untuk pendidikan moral. Jika mereka dapat dibuktikan salah, kemudian itu harus dibuktikan bahwa mereka salah, yakni terbukti dari meningkatnya secara objektif bentuk dari standar-standar moral; tetapi pembuktian tidak memuaskan dari hal ini telah dihasilkan………. Ini adalah kejadian yang bersifat kebetulan. Jika pembuktian seperti itu, seseorang yang dapat memahaminya dan menemukannya secara meyakinkan. Tiap tahapan lebih rendah dapat (memahaminya), dalam kasus ini, tidakkah tahapan lebih tinggi terbukti …, dan akan diabaikan oleh kebenaran moral orang-orang…atau tahapan lebih rendah tidak dapat memahaminya, dalam kasus mereka tidak mempunyai alasan yang baik untuk bergerak “menaik” dalam kasus kita tidak punya pembenaran yang akan menggerakkan mereka terhadap keinginan mereka (atau pun) berpikir mereka akan digerakkan, karena terbukti …. ternyata hanya tahapan lebih tinggi adalah orang-orang yang berada di tahap yang lebih tinggi…. Problem dengan teori pentahapan, untuk menyimpulkannya adalah pembuktian bahwa lebih tinggi berarti lebih baik, baik menyangkal teori tahapan (jika setiap orang yang cerdas dapat menghargainya) atau menjadi lingkaran setan, itu menolak dirinya sendiri atau melayani diri sendiri.
Keberatan ketiga, karena Kohlberg sendiri menilai bahwa mayoritas orang tidak dapat melewati tahap 4, itu nampak penting untuk menemukan caracara untuk membuat setiap orang meningkat dan benar-benar masuk dalam tahap itu. Peters (1975: 678) menulis: [Karena] sedikit [individu-individu] mungkin sekali muncul melewati tahap 3 dan 4, itu penting bahwa anggota warga negara kita akan mendapatkan tempat yang baik pada satu atau tahapan-tahapan yang lain. Polisi tidak selalu ada pada saat ini, dan jika saya berdusta dalam got setelah dirampok itu adalah sesuatu spekulasi pada tahapan apakah perampok itu. Penyesalan harus sungguh-sungguh paling sedikit memiliki moralitas secara konvensional yang baik tertanam padanya. Tahapan konvensional (Tahap 3 dan 4) dari penalaran adalah penting untuk alasan yang lain. “Pada tahapan ini anak-anak belajar dari dalam, 100
Penalaran Moral
seperti apakah ia mengikuti peraturan. Kalau ia telah belajar dengan baik (apakah bermakna), pikiran akan mengikuti peraturan-peraturan telah dimilikinya sendiri pada tahapan otonom adalah tak dapat dipahami”. Sebelum ide tentang mengembangkan dan mengikuti peraturan-peraturan yang dimilikinya sendiri dimulai dengan membuat bermacam pengertian, anak-anak harus memahami dan menghargai pentingnya peraturan-peraturan secara umum baik pribadi maupun masyarakat kehidupan. (Dapatkah kau membayangkan eksistensi masyarakat tanpa peraturan-peraturan sedikit pun). Anak-anak juga harus harus memahami apa yang dapat terjadi bila peraturan-peraturan diabaikan dan/atau dipandang enteng oleh sejumlah besar orang. Itu pasti penting untuk menyadari bahwa peraturanperaturan mungkin tidak adil; tetapi pertanyaan dari kapan dan apakah tidak mematuhi peraturan (atau beberapa) yang tidak adil adalah sesuatu yang penting diselidiki dengan jelas oleh anak-anak, menggunakan berbagai peristiwa dan analogi-analogi. Kita tentu saja tidak ingin mengembangkan kecendrungan dari anak muda membuat peraturanperaturan amat diabaikan atau, tentu saja, dengan memandang peraturanperaturan itu, tidak dilanggar dan positip. Ini dapat terhindar hanya dengan menolong mereka dengan menyadari bahwa nilai yang mengikuti peraturan-peraturan ber jalan seirama dengan kecendrungankecendrungan mereka. Memang, elemen kunci dari moralitas, itu nampak bagi saya, terletak dalam pemahaman bahwa “penolakan terhadap godaan” dapat menjadi penghormatan terhadap haknya sendiri. Beberapa strategi khusus untuk mengembangkan pengertian anak-anak terhadap pentingnya peraturan-peraturan (dan lebih penting, realisasi yang diberikan dalam satu kecendrungan sering memberikan baik kebahagiaan maupun kepuasaan) masih belum kelihatan. Keempat, teori yang menempatkan tuntutan-tuntutan yang agak tidak realistis terhadap guru-guru kela,s sekali mereka mengikutsertakan para siswa dalam diskusi moral. Kohlberg mengemukakan bahwa, “Jika komunikasi moral berjalan efektif, tingkat perkembangan pengungkapan kata-kata (verbalisasi) guru harus berada di atas tingkat anak-anak”. Jika itu benar, syarat yang diberikan paling sedikit mengandung dua problem. Sebab Kohlberg menyatakan bahwa hanya 10% dari jumlah penduduk mencapai tahapan 5 atau 6, hukum-hukum dari peluang mengemukakan bahwa ada sejumlah guru penalaran yang mereka miliki 101
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
berada di tahapan lebih bawah. Mereka demikian mungkin melakukan hubungan dengan para siswa yang penalarannya pada tahapan lebih tinggi dari mereka sendiri. Akankah guru demikian dapat memahami, membiarkan seorang diri menolong, para siswa seperti itu? Bagaimana dapat guru yang punya penalaran tahapan 3, sebagai contoh, diharapkan memberikan argument tahapan 5 kepada siswa tahapan 4 (kepada membantu perkembangan pertumbuhan tahapan) jika mereka tidak dapat memahami apa yang diberikannya sebagai argumen? Selanjutnya pula, bahkan jika cukup tahap 5 para guru dapat mencapainya, mereka masih akan berhadapan sungguh-sungguh dengan sejumlah kesulitan praktis seperti mereka berinteraksi dengan para siswa, tidak ada persoalan apakah tahapan-tahapan para siswa yang mungkin dicapai. Sebab perkembangan intelektual dan kronologis yang tidak selalu sama, sebagian besar guru mungkin sekali membuat anak-anak dalam berbagai tahapan dalam kelas. Itu memungkinkan menjadi sangat luar biasa, dalam faktanya, untuk menemukan dalam kelas dalam mana semua siswa pada tahapan yang sama. Secara teoritis, paling sedikit, semua mengarah kepada yang baik, untuk perbedaan sudut-sudut pandang akan memajukan lebih banyak konflik dan berbagai opini dalam diskusi kelas. Tetapi Kohlberg (1971: 42) mengemukakan bahwa anak-anak harus diungkapkan kepada satu penalaran tingkat lebih tinggi dari pada tahapan mereka sekarang, jika perkembangan adalah dibantu. Untuk melakukan itu, para guru harus mendengar beberapa respon dari setiap siswa dan memikirkan apakah tahapan dari penalaran beberapa respon yang mengusulkan. Guru, baik harus mempunyai bingkai yang tepat tentang satu tahapan lebih tinggi yang merespon selama diskusi kelas, atau mencampur para siswa dengan siswa lain dengan penalaran satu tahapan lebih tinggi, jadi mereka mungkin mendengar. Tidak semua pendukung Kohlberg nampak setuju bahwa anak-anak membutuhkan pembukaan terhadap penalaran yang lebih tinggi dari diri mereka sendiri. Beyer (1976: 194-202) menulis:” Para guru tidak membutuhkan kemampuan untuk mengidentikasi tahapan-tahapan penalaran para siswa mereka yang digunakan agar dapat memimpin diskusi moral… Para guru yang belajar memajukan para siswa untuk merespon terhadap setiap siswa lain biasanya dapat menggunakannya dalam argumen-argumen pada tahapan-tahapan yang berdekatan. Pernyataan ini agak membingungkan. Bagaimana guru dapat memajukan 102
Penalaran Moral
para siswa dalam argumen-argumen “pada tahapan-tahapan berdekatan” jika guru tidak dapat mengenal tahapan-tahapan dalam tempat pertama? Jika kita menempatkan pernyataan itu kita hadapkan pada nilai, Beyer kelihatannya mengatakan bahwa, “Jangan cemas, hanya meminta para siswa berdiskusi, dan perkembangan penalaran moral akan terjadi”. Tetapi ia kemudian akan berkata bahwa para guru “dengan pengalaman dan membaca kembali laporan dari penelitian Kohlberg… dapat menjadi lebih terampil mengidentifikasi tahapan-tahapan penalaran para siswa mereka”. Terus terang dia sendiri tidak yakin bagaimana pentingnya itu untuk para guru untuk dapat menempatkan para siswa pada tahapan tertentu. Itu tidak ada cara di antara keduanya. Para guru membutuhkan untuk mengetahui apakah tahapan-tahapan itu, kemampuan mengenalinya ketika mereka mendengarnya, atau mereka tidak melakukannya. Jika mereka tidak melakukan, mereka dapat melupakan tentang teori tahapan dan apakah dengan hati-hati para guru melakukan semua selama, mencoba mengikutsertakan para siswa dalam diskusi mengenai persoalan-persoalan penting tanpa secara khusus mencoba menyingkap pandangan-pandangan setiap individu pada satu tahapan yang lebih ting gi. Pertanyaan yang tersisa adalah: Dapatkah mengidentifikasi tahapan moral yang penting atau tidak? Kelima, catatan terhadap tahapan-tahapan itu sendiri ditantang oleh kalangan terpelajar. Pakar psikolog Social Learning, seperti Walter dan Mischels (dalam Thomas Likona, 1976) yang mengemukakan bahwa perubahan-perubahan secara regular lebih dari tempo pertimbangan moral anakanak mungkin seharusnya sederhana dalam kenyataan bahwa sebagai anak-anak tumbuh lebih tua, sebagian terbesar orang-orang dewasa memberikan reaksi berbeda dari mereka. Karena orang-orang tua dan orang-orang dewasa yang lain berbicara secara berbeda dengan anak-anak muda ketimbang para remaja, itu tidak menjadi kejutan bahwa respon-respon lisan dari siswasiswa kelas satu dan kelas dua berbeda dengan anak belasan tahun. Keenam, argumen bahwa semua orang bergerak melalui tahapantahapan dalam berbagai rangkaian yang berbeda ditolak oleh Elizabeth Simpson (1974: 81-106), yang mengemukakan bahwa penelitian yang dilakukan Kohlberg telah menunjukkan hal yang menarik hanya pada tahapan 2,3 dan 4. Selanjutnya, dalam berbagai studi disebutkan oleh Kohlberg dan yang lain, banyak siswa memperlihatkan tahapan yang tidak bergerak pada mereka. Dalam studi Kohlberg tahun 1969, sering 103
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
dikemukakan sebagai landasan bagi kecendrungan membujur (longitudinal) dalam perkembangan-perkembangan tahapan, hanya pada sepertiga (32,6%) dari para siswa yang terlibat memperlihatkan seluruhnya cendrung berubah tahapannya, dan hanya 8 dari jumlah sampel 43 memperlihatkan satu langkah cendrung menuju perubahan. Holstein (1973) menemukan bahwa hanya 17 siswa dari jumlah sampel 52 bergerak mencapai satu tahapan di atas periode tiga tahun, dengan 33 (63,5%) menunjukkan secara umum beberapa cendrung bergerak. Dalam studi-studi di Boston dan Pittsburgh, Kohlberg menguraikan dalam artikel Phi Delta Kappan tahun 1975, ia mengemukakan bahwa hanya “setengah” dari para guru yang terlibat (dua puluh empat) yang dapat mendorong meningkatkan gerakan tahapan. Dan itu hanya dari seperempat dari setengah tahapan. Dengan klarifikasi nilai, semua catatan itu adalah tidak untuk mengecilkan hati para guru dan pengembang kurikulum dari pemikiran tentang teori dan penelitian tahapan. Banyak dari karya Kohlberg yang secara sangat menarik dan bermanfaat. Tetapi banyak penelitian perkembangan moral masih terbuka untuk pertanyaan atau penafsiran alternatif. Kita tidak akan menutup mata untuk kenyataan bahwa temuan-temuan dalam penelitian Kohlberg sebagian besar masih merupakan hipotesis, mengundang untuk penyelidikan dan memperbaiki, daripada pernyataan-pernyataan yang menunjukkan fakta.
F.
Kritik terhadap Berbagai Anjuran Pendidikan yang Didasarkan pada Teori Kohlberg
Tidak ada pertanyaan bahwa teori Kohlberg berpengaruh sekali. Rest (1974:241) menyebutkan.” Program-program pendidikan seperti itu merupakan rangkaian tokoh yang patut dipuji (John Dewey, Piaget, Kohlberg, dan seterusnya) yang dibuat menarik, sebab dengan kecerdasan yang tinggi di belakang mereka dan memberikan harapan permulaan sesuatu yang lebih dari dangkal, sedikit demi sedikit, mode yang hidup pendek. Meskipun, bentuk ide-ide dasar yang terdapat dalam teori yang diberikan dalam proposal-proposal-proposal untuk mengajar menumbuhkan sejumlah persoalan-persoalan dan pertanyaan-pertanyaan sejauh ini berjalan tanpa diawasi oleh pembela-pembela penalaran moral. Marilah kita pertimbangan sedikit dari mereka.
104
Penalaran Moral
Pertama adalah apa yang disebut oleh Rest (1974: 241) “menyesuaikan kurikulum secara optimal”. Seperti disebutkan lebih awal, tujuan utama dari pendidikan, sesuai dengan Kohlberg dan pakar perkembangan lainnya, adalah untuk mendorong perkembangan melalui tahapan-tahapan penalaran moral. Jika dapat dilakukan, para pendidik akan memiliki beberapa informasi amat berguna. Rest (1974: 243-244) menulis: Pemeranan watak dari tahap perkembangan yang lebih tinggi memberikan analisis secara psikologi terhadap beberapa kompetensi, misalnya tahapan operasional-operasi formal Piaget memberikan kita analisis terhadap apakah yang dimaksud dengan logis; “Tahap 6” Kohlberg memberikan penjelasan terhadap apakah kematangan pertimbangan moral berisi … Memperhatikan bahwa banyak lagi yang khusus di sini dalam pemeranan watak dari struktur kognitif dari pada label kehormatan yang sering digunakan untuk mendefinisikan tujuan-tujuan pendidikan (seperti “kreatif ”, “aktualisasi diri”, “warganegara yang baik” dan “penyesuaian yang baik” dan sebagainya). Selanjutnya, jika para pendidik menjelaskan langkah demi langkah perkembangan berbagai kompetensi, kemudian ia berarti kemajuan yang berurutan (dikenal perubahan-perubahan adalah kemajuan), menempatkan orang sepanjang jalan dari perkembangan, dan oleh karena itu untuk mengantisipasi pengalaman-pengalaman para siswa kemungkinan besar akan merespon terhadap dan dari mana yang akan menguntungkannya. Pepatah bahwa guru akan bertemu siswa pada tingkatan siswa yang dalam arti yang tepat dan operasional, jika jalan dari perkembangan diartikan dan tingkatan siswa dapat diukur. Mengetahui jalan dari perkembangan adalah satu memungkinkan untuk optimis memadukan antara anak-anak dan kurikulum dan juga melayani sebagai pemandu bagi urutan kurikulum. Sesuai dengan itu, pada waktu menguntungkan, problem-problem yang dapat diatur masih dapat menantang dapat dikenalkan untuk menciptakan pengalaman belajar yang menarik di dalam dirinya sendiri, dan pada waktu yang sama, untuk memenuhi serangkaian komponen prasyarat bagi problem-problem pada tingkatan berikutnya.
Strategi utama yang dianjurkan oleh para pendidik secara khusus berkepentingan dalam perkembangan moral selanjutnya dalam kelas-kelas studi sosial adalah dilema-dilema moral. Dilema-dilema itu membangkitkan kontroversi, dan bentuk-bentuk dari pertanyaan-pertanyaan termasuk dalam 105
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
strategi yang mendorong para siswa untuk menganalisa alternatif-alternatif, meskipun pertimbangan-pertimbangan yang tegas dan berkelanjutan dari konsekuensi-konsekuensi yang minimal kelihatan. Bagaimanapun, para pendidik tidak banyak memberikan perhatian terhadap maksud-maksud dari paduan kurikulum optimal atau urutan kurikulum yang dikemukakan oleh Rest. Mereka tidak mempertimbangkan bahwa perbedaan bentuk-bentuk dari dilema-dilema mungkin lebih menguntungkan (dalam mendorong minat dan diskusi) pada tingkat-tingkat kelas yang berbeda. Atau dilema-dilema yang berhadapan dengan bentuk-bentuk tahapan yang khusus dari perhatianperhatian yang mungkin dibutuhkan untuk menarik penalaran para siswa pada tahapan-tahapan yang berbeda. Mereka tidak mendiskusikan dugaan dari rangkaian dilema-dilema; mereka tidak mempertimbangkan bahwa satu dilema mungkin digunakan untuk membangun pertumbuhan kognitif yang lain atau untuk berikutnya. (Ide untuk menggunakan dilema-dilema alternatif, dengan situasi orisinal dirubah dalam beberapa tingkatan, seperti tindakan selanjutnya untuk diskusi sesesungguhnya adalah suatu langkah secara langsung). Pada satu saat berada dalam perasaan gelisah, para pendukung diskusi-diskusi moral telah melepaskannya dengan antusias mereka sendiri. Sebagai contoh, Beyer (1976) membuat sejumlah pernyataan bahwa keterangan-keterangan yang tidak mendukung (“Banyak diskusi yang produktif melibatkan diskusi kelompok kecil yang diikuti diskusi yang melibatkan seluruh kelas”); pertimbangan-pertimbangan nilai (“Jumlah yang signifikan dari para siswa akan mendukung satu tindakan rangkaian pembelajaran, sementara siswa lain akan mendukung siswa lainnya”); atau tidak realities dari apa yang mereka tawarkan (“Setelah para siswa mendengar atau melihat dilema, guru akan mengajukan pertanyaan agar membantu para siswa untuk mengklarifikasi keadaan yang terlibat dalam dilema, definisi istilah-istilah, mengidentifikasi karakteristik-karakteristik dari karakter inti, dan menyatakan dengan tegas bentuk dari dilema dan terbuka pilihan tindakan dari tokoh inti, Kurang lebih dari lima menit yang dibutuhkan untuk mencurahkan bagian ini dalam strategi. Tentu, pernyataan tegas Beyer (1976) bahwa program dari diskusidiskusi moral akan meningkatkan keterampilan-keterampilan belajar, harga diri, dan sikap-sikap terhadap sekolah nampak agak kuat untuk bahkan merubah kepada menerima secara keseluruhan. Tidak ada bukti 106
Penalaran Moral
yang diberikan untuk mendukung pernyataan yang dikemukakan itu. Mengapa sebaiknya partisipasi dalam diskusi moral (atau dalam berbagai diskusi, untuk hal tertentu) secara nyata membantu para siswa untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan mendengar atau untuk meningkatkan harga diri mereka? Diskusi-diskusi dapat menjadikan tingkah laku kurang baik atau baik; tuntutan belaka dari nilai tidak dapat meningkatkan keterampilan-keterampilan pribadi atau merubah sikapsikapnya. Itu kemungkinan besar akan nampak bahwa cara dalam berdikusi, perilaku akan menjadi faktor yang penting. Perkataan pun dalam urutan mengenai bentuk dilema mereka sendiri. Beberapa darinya saya telah lihat dan disebutkan oleh Kohlberg, Fenton, Beyer, Galbraith, dan yang lain, baik yang mempersempit lingkup (sebagai contoh, “Akankah Jill memberikan nama Sharon kepada Petugas Keamanan”), maupun hanya pengaruh kepada satu aau beberapa individu (yakni, “Akankah gadis yang beragama Kristen dari Nazi Jerman melanggar hukum dan membahayakan keluarganya dengan menyembunyikan teman gadis Yahudinya dari Gestapo?”). Ini jelas kelihatan disengaja. Beyer (1976) mengemukakan bahwa dilema moral “akan menjadi sederhana mungkin”. Dilema akan melibatkan hanya beberapa karakter dalam situasi yang relatif tidak rumit di mana para siswa dapat cepat memahami. Dilema-dilema yang rumit membingungkan para siswa yang kemudian dipaksa untuk menggunakan waktu mengklarifikasi faktafakta dan kondisi-kondisi dari pada mendiskusikan alasan-alasan untuk tindakan-tindakan yang ditawarkan. Jenis dari pernyataan itu dapat disanggah berdasarkan sejumlah alasan. Pertama, dilema-dilema dalam kehidupan nyata adalah jarang sederhana. Kedua, para siswa butuh variasi yang luas untuk membuka isu-isu dan dilema-dilema seperti mereka bergerak melalui kelas-kelas, terutama terhadap beberapa yang dapat mempengaruhi kehidupan banyak orang. Jadi mereka dapat menjadi sadar terhadap jenis-jenis problem yang ada dalam dunia nyata. (Sebagai contoh, “Akankah Presiden Amerika Serikat mengirim angkatan laut terhadap negara penghasil minyak, jika mereka tidak akan memenuhi permintaan kita terhadap minyak?”). Ketiga, bagaimana para siswa akan belajar terhadap jenis fakta dan menganalisa fakta-fakta yang dilibatkan dalam isu-isu yang rumit, yang mereka hadapi dalam dunia nyata, jika mereka mendapatkan sedikit latihan melakukannya di sekolah? Isu-isu itu termasuk aborsi, perpajakan, 107
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
kontrol lokal terhadap sekolah-sekolah, tindakan mematikan orang untuk meringankan penderitaan sekarat (euthanasia), keramaian, penggunaan obat terlarang, pencemaran lingkungan, hak pekerja publik untuk mogok, dan seterusnya. Keempat, para siswa butuh praktik (dan sebagian dari itu) dalam “mengklarifikasi fakta-fakta dan keadaan-keadaan” jika mereka ingin menemukan sifat-dasar mengenai dunia mereka. Gagasan terhadap rangkaian dilema-dilema dalam berbagai cara nampak dalam urutan di sini. Satu kemungkinan akan membuat dilemadilema makin bertambah lebih rumit, abstrak dan sulit seperti kemajuan para siswa melalui kelas-kelas. Pola seperti itu mungkin memerlukan penyampaian kepada para siswa dalam kelas-kelas tingkat dasar dengan agak sederhana, konflik-konflik inter dan antar pribadi berpusar sekitar konsep-konsep seperti keadilan, ganjaran, hukuman, tanggung jawab, otoritas, dan suara hati. Seperti para siswa berpindah di SMP dan SMA, mereka dapat mencapai level kelas tertentu yang disampaikan dengan dilema-dilema yang melibatkan kelompok-kelompok yang lebih besar, termasuk pemerintahan-pemerintahan dan perwakilan-perwakilan interanasional. Dilema-dilema seperti, tidak hanya interpribadi, tetapi juga interpemerintahan dan global (melibatkan lebih dari dua pemerintahan), dapat juga difokuskan pada konsep-konsep tambahan seperti kehormatan, tugas, kontrak, hak milik, kebebasan sipil, dan kewajiban. Ini mungkin menjadi satu cara untuk memberikan lebih luas untuk tipe-tipe dilema-dilema yang disampaikan kepada para siswa, sementara meningkatkan perubahan kepada yang lebih fundamental, jangka panjang dan kumulatif yang penting bagi kaum penganut perkembangan. Hal itu juga menjadi perhatian bahwa strategi untuk memandu diskusi moral yang dianjurkan oleh para pendukung Kohlberg adalah hanya satu dari banyak kemungkinan. Langkah-langkah yang penulis sampaikan merupakan upaya beragam ide-ide kongkrit untuk memulai diskusi moral dalam kelas, tetapi itu bukan “satu dan hanya” cara menuju pada persoalan. Model-model yang lain juga ada, dan para guru dapat didorong untuk meningkatkan strategi-strategi dan model-model mereka sendiri, kapan dan dimana yang tepat. Selanjutnya, kita bahkan tidak yakin bahwa diskusi terhadap dilema mereka sendiri adalah menyadarkan tentang tahap perkembangan. Itu pasti yang dapat dipikirkan bahwa guru yang peka dan peduli – seseorang 108
Penalaran Moral
yang secara berkelanjutan mengikutsertakan para siswa dalam pembicaraan dan mengajukan mereka pertanyaan dan mengajak mereka mengetahui melalui komentar-komentar dan tindakan-tindakan yang diminatinya dalam apa yang mereka miliki untuk mengatakan – mungkin menjadi variabel bebas dalam hal itu. Diskusi dilema-dilema moral mungkin tidak relevan. Barangkali diskusi non-moral, isu-isu kontroversial yang akan dilakukan benar-benar baik. Dari pandangan itu, kita masih tidak mengetahui. Lebih dari sesuatu yang lain, diskusi dilema moral kelihatan sebagai jenis yang amat terbatas dari strategi yang direkomendasikan. Dalam bagian pertama, diskusi tidak dapat bekerja dengan amat baik atau terlalu lama bagi siswa di bawah usia 10 tahun atau yang demikian. Kamu benarbenar tidak dapat berbuat banyak dalam diskusi intelektual dengan kelas tiga dan empat, Cara-cara yang lain dari menyampaikan informasi tentang hubungan-hubungan dan dilema-dilema moral seperti menggunakan model-model dan contoh-contoh nyata harus digunakan. Kedua, menggunakan studi-studi kasus, yaitu dilema moral apa, fokuskan terhadap contoh-contoh khusus dari pada prinsip-prinsip umum. Sering disampaikan problem hanya untuk beberapa anak dalam kelas yang memikirkan kasus tertentu yang menarik atau dapat diterapkan oleh mereka. Bagaimanapun, menekankan pada banyak prinsip-prinsip umum (sebagai contoh, satu yang sering harus dibuat perkecualian yaitu peraturan-peraturan) membolehkan rekomendasi kepada sejumlah besar contoh-contoh baik oleh guru maupun para siswa. Hal ini meningkatkan minat dan keterlibatan dari seluruh kelas. Akhirnya, mungkin sekali dari beberapa perbedaan tipe-tipe alternatif yang disarankan dapat diusulkan kepada kelas penalaran para siswa yang berada pada Tahapan 2 atau 3 (di mana banyak para pendidik mengatakan sebagian besar para siswa SMA adalah mungkin untuk itu) tidak nampak terlalu tinggi. Strategi yang lebih tepat akan mendorong para guru (dan para pengembang kurikulum dan penerbit) tidak hanya menyampaikan dilema-dilema dengan cara-cara menarik dan menggairahkan dan dalam beragam format (dicetak, lisan dan visual), tetapi juga penyajian dengan rentang ragam solusi-solusi alternatif (pada beragam level tahapan) untuk memecahkan berbagai dilema. Dalam mendiskusikan dilema, guru kemudian dapat memasukkan pertimbangan yang sistematis terhadap berbagai alternatif. Itu akan tidak dalam berbagai cara menghindari para 109
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
siswa dari alternatif-alternatif yang dianjurkan mereka sendiri dalam menambahkan terhadap hal yang disampaikan. Ditemukan melalui ide Beck (dalam Phillips, 1972:45) bahwa barangkali satu alasan dari sekumpulan orang yang tidak berkembang secara moral adalah disebabkan alternatif-alternatif yang lebih baik, tidak pernah muncul di hadapan mereka. Mereka sering secara terus menerus melakukan reaksi dengan cara-cara konvensional, sebab mereka merasa tidak ada cara lain untuk mereaksi, Anjuran di atas akan, dalam kata-kata Beck, “memperluas imajinasi mereka” (Beck, dalam Phillips, 1972: 44). 1. Pikirkan sekali lagi kritik terhadap pendekatan penalaran moral, saya telah mengusulkannya. Apakah kamu menemukan mereka membenarkannya? Meyakinkan? Mengapa ya dan mengapa tidak? 2. Seperti klarifikasi nilai, pendekatan penalaran moral telah mempunyai pengaruh yang kuat sekali terbanyak banyak pengembang kurikulum dan para guru, khususnya yang bekerja dalam studi sosial. Bagaimana kamu akan menghargai popularitasnya? Apakah popularitas itu sudah dibenarkan? Mengapa ya dan mengapa tidak? 3. Berdasarkan keseimbangan kamu akan mengatakan kekuatan-kekuatan dari pendekatan ini dan membelakangi kelemahan-kelemahan, atau sebaliknya? Mengapa? 4. Apa kelemahan-kelemahan lain dan/atau kekuatan-kekuatan dari pendekatan ini yang kamu rasakan? 5. Pilihlah (jika salah satu) apa yang kamu pikir tawaran-tawaran janji yang paling baik untuk menggunakan dengan para siswa SD – klarifikasi nilai-nilai atau diskusi dilema moral? Mengapa? Mana yang kamu pikir tawaran-tawaran janji yang paling baik untuk digunakan dengan para siswa SMP? Mengapa? 6. Apa saran-saran yang akan kamu buat untuk memadukan dua pendekatan itu?
G. Latihan-latihan 1. Ujicobakan satu dari dilema-dilema Helga atau Sharon dan alternatif mereka dengan beberapa orang yang kamu kenal. Apakah jenis-jenis tindakan yang disarankan orang? Apakah tingkat penalaran moral yang kamu temukan? Apakah mudah melakukan diskusi dengan dilemadilema itu? Mengapa ya atau mengapa tidak? 110
Penalaran Moral
2. Berikut adalah sejumlah pernyataan yang berkaitan dengan dilema Helga yang Galbraith dan Jones tempatkan pada level-level berbeda dalam perkembangan moral. Pada tahapan manakah kamu akan tempatkan pernyataan ini? a. “Helga berkewajiban terhadap keluarganya. Ia akan benar-benar menempatkan mereka di bawah jika ia mendapatkan mereka dalam kesulitan” b. “Helga tidak akan menempatkan ia di dalam, karena Rachel mungkin tidak akan membiarkan Helga di dalam, jika ia mendapatkan kesulitan dengan Gestapo” c. “Persahabatan bukan isu. Jika Helga benar peduli dengan masalah dalam masyarakatnya, ia akan membantu semua Yahudi agar memprotes tindakan pemerintah. Ia tidak akan menyembunyikan Rachel kecuali ia bermaksud menyembunyikan Yahudi yang lain dan untuk memprotes publik yang menentang terhadap penempatan Yahudi dalam kamp konsentrasi” d. “Jika Helga membiarkan Rachel di dalam ia mungkin juga mendapat kesulitan dengan Gestapo” e. “Helga berkwajiban untuk mematuhi hukum-hukum yang berlaku di masyarakat” Lihat pada tahapan identifikasi terhadap beberapa pernyataan oleh Galbraith dan Jones yang paparannya terdapat di bawah ini. Tahap 1 Tahap 2
Tahap 3
Tahap 4 Tahap 5
Tahapan Identifikasi Galbraith dan Jones : “Jika Helga membiarkan Rachel di dalam ia mungkin juga mendapat kesulitan dengan Gestapo” : “ Helga tidak akan membiarkan Rachel di dalam sebab Rachel mungkin tidak akan membiarkan Helga di dalam jika ia mendapatkan kesulitan dengan Gestapo” : “Helga mempunyai kewajiban terhadap keluarganya. Ia akan benar-benar membiarkan mereka di bawah, jika ia menemui mereka semua dalam kesulitan” : “Helga memiliki kewajiban untuk mematuhi hukumhukum dari masyarakatnya” : Persahabatan bukan isu. Jika Helga benar-benar peduli dengan problem dalam masyarakatnya, ia akan membantu 111
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
semua Yahudi agar memprotes tindakan pemerintah. Ia tidak akan menyembunyikan Rachel meskipun ia bermaksud menyembunyikan orang-orang Yahudi yang lain dan membuat protes publik yang menentang terhadap penempatan orang-orang Yahudi di kamp konsentrasi” 3. Lihat pada beberapa pernyataan pejabat publik yang digunakan untuk membenarkan beberapa keputusan mereka, seperti yang dilaporkan dalam surat kabar harian. Apakah level dari penalaran moral yang mereka tawarkan? 4. Daftar di bawah adalah pernyataan yang ditulis oleh Martin Luther King, Jr, sementara ia dalam penjara di Birmingham, Alabama. Ini adalah satu dari beberapa pernyataan yang tersedia yang Kohlberg tempatkan pada tahapan 6. Perlihatkan pernyataan terhadap sejumlah individu, dan menanyakan mereka, jika mereka sepakat dengan itu atau tidak dan mengapa. Didasarkan atas respon-respon mereka, kesimpulan-kesimpulan apa yang kamu akan gambarkan tentang tahapan penalaran moral dari sebagian besar orang? Berikut adalah tipe ketegangan tanpa kekerasan yang konstruktif yang diperlukan untuk pertumbuhan. Persis seperti Socrates yang merasakan, itu diperlukan untuk membuat ketegangan dalam pikiran, jadi individuindividu dapat tumbuh dari perbudakan dalam setengah kebenaran, jadi harus kita lihat kebutuhan bagi perongrong tanpa kekerasan untuk membuat bentuk ketegangan dalam masyarakat yang akan membantu orang tumbuh dari kegelapan yang dalam di antara prasangka dan rasialisme. Satu yang mungkin bagus ditanyakan, “Bagaimana kamu dapat membela pelanggaran beberapa hukum dan mematuhi orang lain?” Pertanyaan terdapat dalam kenyataan bahwa terdapat dua tipe hukum, adil dan tidak adil. Satu tidak hanya legal tetapi tanggung jawab moral untuk mematuhi hanya hukum. Satu memiliki tanggung jawab moral untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Suatu hukum yang tidak adil adalah hukum manusia yang tidak berakar dalam hukum yang abadi dan hukum alam. Berbagai hukum adalah meningkatkan kepribadian manusia adalah adil, beberapa hukum yang menurunkan kepribadian manusia adalah tidak adil. Hukum yang tidak adil adalah kumpulan dari angka atau kekuatan kelompok mayoritas yang memaksa minoritas untuk mematuhi, tetapi tidak mengikat pada dirinya sendiri. 112
Penalaran Moral
5. Sampaikan dua kisah John dan Henry pada bahasan teori Tahapan Piaget kepada anak-anak antara usia 5 dan 7, 7 dan 8, dan 8 dan 15. Tanyakan mereka terhadap pernyataan yang anak yang mereka pikir adalah nakal dan mengapa. Perbedaan-perbedaan apakah yang kamu catat dalam penilaian mereka seperti apakah di antara dari dua anakanak adalah nakal? Bagaimanakah alasan-alasan yang mereka berikan untuk menjelaskan perbedaan pilihan mereka? Respon-respon apakah yang kamu harapkan untuk mendukung perbedaan Piaget seperti yang disampaikan dalam tabel tentang Periode Perkembangan Kognitif Piaget?
KEPUSTAKAAN Beck, Clive. “The Development of Moral Judgment” in James A.Phillips, Jr (ed).(1972). Developing Value Construct in Schooling: Inquiry into Process and Product. Worthington, Ohio: Ohio Association for Supervision and Curriculum Development. Beyer, Barry. K. (1976). “Conducting Moral Discussions in the Classroom”. Social Education, April 1976. Fraenkel, Jack R. (1977). How to Teach About Values: An Analytic Approach. Englewood Cliffs.N.J: Prentice-Hall. Galbraith, Ronald. F and Jones, Thomas. M. (1975). “Teaching Strategies for Moral Dilemmas: An Application of Kohlberg’s Theory of Moral Development for Social Studies Classroom”. Social Education. January 1975. Holstein, C. (1973). “Moral Judgment Change in Early Adolescence and Middle Age; A Longitudinal Study”, unpublished paper. Kohlberg, Lawrence. (1966). “Moral Education in Schools”. School Review, Spring. Chicago University. Kohlberg, Lawrence. (1971).” The Concepts of Developmental Pscyhology as the Central Guide to Education: Examples from Cognitive, Moral and Psychological Education” in The Proceed113
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
ings of the Conference on Psychology and the Process of Schooling in Next Decade: Alternative Conceptions. Minneapolis: University of Minnesota Audio-Visual Extension. Peters, Richard.S. (1975). “A Reply to Kohlberg”. Phi Delta Kappan. June 1975. Rest, James. (1974). “Developmental Psychology as a Guide to Value Education: A Review of ‘Kohlbergian’ Programs “. Review of Educational Research. Spring.1974. Scriven, Michael. (1975). “Cognitive Moral Education”. Phi Delta Kappan. June 1975. Simpson, Elizabeth.L.(1974). “Moral Development Research: A Case Study of Scientific Cultural Bias”. Human Development. 1974. Vol.17. Turnbull, Colin.(1972). The Mountain People. New York: Simon and Schuster. Wadsworth, Barry.(1971) in Piaget’s Theory of Cognitive Development. David Mckay Company. Inc. Walter and Mischel, Harriet. “A Cognitive Social Learning Approach to Morality and Self-Regulation” in Thomas Likona (ed). (1976). Morality: Theory, Research, and Social Issues. New York: Holt, Rinehart and Winston.
114
BAB VI MEMB UA T KESIMPULAN MEMBUA UAT TENT ANG NILAI-NILAI TENTANG
Pekerjaan dari Kohlberg dan Raths dan para pendukungnya memberikan kepada kita bahan pertimbangan untuk berpikir tentang apa program sekolah terhadap pendidikan nilai yang akan dimasukkan. Jelasnya, perkembangan kemampuan anak untuk berpikir secara rasional tentang isu-isu moral adalah tugas penting untuk para guru untuk capai. Jadi, adalah mengklarifikasi komitmen-komitmen pribadi para siswa. Itu secara logis hanya nampak untuk menegaskan bahwa beberapa sasaran akan menjadi bagian integral dari berbagai program pendidikan nilainilai, untuk anak-anak harus berkembang secara intelektual dan emosional, jika mereka akan menjadi berfungsi secara penuh dan manusia keseluruhan secara psikologis. Memang, inilah yang dikemukakan dalam Bab II, ia menjadi sangat jelas bahwa perkembangan intelektual dan emosional adalah saling ketergantungan. Bahwa orang mungkin gagal untuk memahami arti dari sesuatu, sebab mereka tidak punya kepekaan emosional; tetapi mereka juga mungkin tidak dapat merasakan, sebab mereka tidak punya pemahaman intelektual terhadap bagaimana orang merasakan. Untuk memperluas kontribusi diskusi dilema moral atau partisipasi dalam aktivitas-aktivitas klarifikasi nilai terhadap perkembangan intelektual dan/atau emosional para siswa, menggunakannya adalah hanya untuk mendorong. Tetapi apakah cukup untuk menekankan penalaran moral dan klarifikasi nilai? Akankah diskusi dilema moral dan klarifikasi terhadap komitmen-komitmen pribadi dipertimbangkan dengan sama dalam pendidikan nilai? Menurut pendapat saya, tidak, untuk beberapa prosedur dan srategi tambahan dari banyak program komprehensif dari pendidikan nilai itu sudah termasuk. Dalam bab ini dan berikutnya ada beberapa saran 115
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
seperti apakah beberapa prosedur dan strategi dimungkinkan. Dalam hal tertentu, dalam bab ini beberapa cara untuk menolong para siswa untuk mengidentifikasi, membandingkan dan membedakan nilai-nilai. Bab VI termasuk beberapa cara untuk menolong mereka menganalisa nilai-nilai dan memutuskan nilai dan untuk mengekplorasi perasaan-perasaan.
A. Pentingnya Alasan Rasional Dalam Bab I disarankan bahwa pendidikan nilai berjalan dalam seluruh waktu di sekolah. Para guru mengajar nilai-nilai, paling sedikit setiap hari. Baik formal maupun informal, kurikulum “tersembunyi” dimuati dengan nilainilai. Tugas-tugas, pernyataan-pernyataan, pertanyaan-pertanyaan, topiktopik diskusi, ujian-ujian, semua mencerminkan nilai-nilai apa yang guru ajarkan. Sedikit kurang jelas, pengumuman-pengumuman, anggaran belanja sekolah, muatan-muatan kemampuan, anggaran dasar sekolah, bangunanbangunan, rekomendasi-rekomendasi, hari-hari besar, organisasi sekolah, kebijakan-kebijakan sekolah, beberapa juga mencerminkan nilai-nilai. Dua pertanyaan kunci untuk para guru yang diajukan kepada mereka sendiri, apakah mereka mengajar nilai-nilai yang mereka ingin ajar dan apakah nilai-nilai yang mereka ingin ajar bermanfaat diajarkan. Pimpinan sekolah mungkin ditanya diri mereka sendiri apa nilai-nilai yang dicerminkan sekolah dan apakah nilai-nilai yang mereka ingin cerminkan. Kamu mungkin melakukan hal yang sama. Individu-individu macam apakah yang sekolah kamu akan kembangkan? Dalam dunia macam apakah kamu ingin kembangkan mereka untuk hidup? Pengetahuan dan keterampilanketerampilan apakah yang kamu pikir para siswa akan butuhkan untuk masa depan demi keberlanjutan diri mereka sendiri dan masyarakat mereka, atau ketika diperlukan, untuk merubahnya? Penilaian-penilaian macam apakah yang akan (dilakukan) kamu berikan? Aktivitas-aktivitas macam apakah yang akan melibatkan para siswa? Buku-buku, bioskop-bioskop, permainanpermainan macam apakah yang akan kamu rekomendasikan? Topik apakah yang akan kamu diskusikan? Pertanyaan-pertanyaan apakah yang akan kamu ajukan? Mengapa? Secara lebih umum, apa yang kamu anggap penting dalam kehidupan? Buku-buku macam apakah yang kamu baca? Bagaimana dengan majalah-majalah dan surat-surat kabar? Jenis musik dan seni apakah yang kamu sukai? Bagaimana perasaan kamu terhadap para politisi, olahraga116
Membuat Kesimpulan tentang Nilai-nilai
olahraga, perusahaan-perusahan besar, religi, pendidikan, orang lain, negaranegara lain, PBB? Apa yang kamu pikir akan lakukan tentang kejahatan, kemiskinan, lingkungan, kepadatan penduduk, obat bius, kerusakan daerah perkotaan, kemacetan lalu lintas, keterasingan, kebijakan luar negeri? Kebijakan pemerintah macam apakah yang kamu sarankan terhadap orangorang jompo, miskin, sakit dan yang tidak mampu. Apakah sekolah-sekolah yang akan lakukan terhadap orang-orang yang termasuk dalam kelompok itu? Apa saja yang kamu senangi dan yang tidak senangi? Apa yang akan kamu inginkan untuk mengajar para siswa untuk menyenangi apa yang kamu sukai? Untuk apa yang kamu nilai? Memformulasi, menganalisa dan membenarkan jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan seperti itu adalah sering berkenaan kepada pengembangan alasan rasional. Hal ini bukan tugas yang mudah, tetapi satu hal yang amat penting bagi semua guru untuk diupayakan. Shaver dan Strong (1976: 6-8) memberikan beberapa alasan mengapa: Pertanyaan... adalah bukan apakah kamu akan berhadapan dengan nilai-nilai atau apakah nilai-nilaimu akan mempengaruhi apa yang kamu kerjakan. Ini lebih baik, apa yang akan kamu lakukan dengan nilai-nilai, dan kamu akan sadari pengaruh dari nilainilai kamu sendiri dan membuat sadar dan rasional itu adalah hal yang mungkin?... Jika perilaku kamu sebagai guru secara rasional adalah mungkin, [kemudian tidak jelas dan tidak teruji), dibutuhkan asumsi-asumsi yang diberikan secara terbuka, dinyatakan secara jelas sebagai hal yang mungkin, diuji untuk keakuratan dan konsistensinya, dan digunakan sebagai dasar untuk keputusan-keputusan bagi pengajaran-pengajaran kamu dan perilaku lain terhadap para siswa... Hasil dari proses ini memperjelas dan mengklarifikasi satu kerangka acuan yang kita sebut alasan rasional. Didefinisikan lebih tepat, rasional adalah pernyataan dan penjelasan dari prinsip-prinsip dasar terhadap perilaku-perilaku sekolah kamu (dalam perangkat kelas formal dan selama pertemuan dalam sistem sosial dan politik sekolah] yang dijadikan sebagai landasan. Perkembangan dari rasional yang jelas untuk mengajar, adalah berbeda dari kerangka acuan yang implisit secara luas, ia adalah esensial tapi tidak mudah. Di antara wilayah yang membutuhkan klarifikasi adalah asumsi kamu tentang masyarakat dan hubungan sekolah dengan nya, mengenai sifat-dasar anak-anak dan bagaimana mereka belajar, mengenai sifat-dasar nilai-nilai. Ujian kritis terhadap ketidaksadaran kamu dan seringkali dihargai asumsi-asumsi dalam berbagai wilayah adalah bukan sesuatu yang kamu akan sempurnakan dalam satu malam, atau bahkan selama kuliah prasarjana atau program pelatihan dalam jabatan. Dalam kenyataan, kamu mungkin tidak pernah sampai pada penjelasan secara lengkap dan alasan rasional yang santun bahasanya. 117
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
Alasan rasional, seperti orang yang akan berusaha untuk mengembangkannya, menyusun dan selalu dalam proses menjadi. Alasan rasional kamu mungkin menjadi lebih jelas, lebih komprehensif, lebih logis dalam saling hubungannya dengan bagian-bagian yang lain, lebih jelas dalam implikasi-implikasinya terhadap perilaku kamu sebagai guru. Tetapi itu sebaiknya tidak pernah berakhir dipikirkan, karena akan berimplikasi bahwa kamu menghentikan perubahan dan pertumbuhan. Satu alasan yang penting untuk mengembangkan alasan rasional adalah menghindari gangguan membabibuta dari keyakinan-keyakinan kamu terhadap para siswa kamu. Sama-sama penting dari sudut pandang pragmatis adalah dibutuhkan untuk sistimatis, dari basis landasan yang baik untuk menjelaskan, bahkan mempertahankan, perilaku pengajaran kamu terhadap pimpinan sekolah dan orang tua..... Ketika persekolahan menyentuh terhadap nilai-nilai, para orang tua secara khusus mungkin bereaksi secara emosional. Untuk sebagai alasan, hanya guru yang memutuskan untuk berhadapan dengan nilai-nilai secara jelas (diakui, tentu saja, bahwa guru bukan menghindari berhadapan dengan nilai-nilai secara implisit) sebaiknya memiliki kesadaran rasional sebagai fondasi untuk pendekatannya. Pemberitahuan dari alasan ini dengan para guru yang lain, dengan kepala sekolah, dan bahkan dengan pengawas, mungkin menolong untuk menjamin bahwa dukungan penting akan diperoleh, jika dibutuhkan. Lebih dari itu, berjalan melalui proses diskusi mengenai alasan kamu dengan orang dari sekolah lain mungkin membantu kamu untuk berkomunikasi pada gilirannya dengan para orang tua dan untuk mengajak mereka untuk mempublikasikannya.
Ketika itu datang dengan nilai-nilai, kemudian alasan rasional adalah penting untuk para guru untuk mengembangkan sejumlah alasan rasional. Itu dapat membantu mereka untuk mengklarifikasi nilai-nilai mereka sendiri. Dapat menolong mereka untuk memutuskan nilai-nilai apakah yang mereka ingin ajarkan dan mengapa dan untuk menjelaskan alasan-alasan dari keputusan mereka terhadap yang lain. Dapat menolong mereka untuk memilih dari sejumlah prosedur-prosedur yang saling berlawanan yang didukung oleh perbedaan pendekatan-pendekatan dari pendidikan nilai-nilai yang rekomendasikan. Dapat menolong mereka untuk memilih secara tepat materi pelajaran yang berorientasi nilai dan aktivitas-aktivitas belajar untuk para siswa. Dan barangkali amat penting, dapat menolong mereka untuk menentukan nilai-nilai apakah yang bermanfaat diajarkan pada tingkat pertama. 1. Nilai-nilai apakah yang kamu temukan yang tercermin dalam argumentasi untuk mengembangkan alasan rasional? 118
Membuat Kesimpulan tentang Nilai-nilai
2. Apa yang kamu pikirkan bahwa sebagian besar guru memiliki alasan rasional untuk apa yang mereka ajarkan dan bagaimana mereka mengajar? Jika tidak, mengapa tidak? 3. Para guru sering didorong untuk menjelaskan sasaran-sasaran atau tujuan-tujuan, dalam cara-cara bagaimanakah, jika ada, apakah tujuan-tujuan dan sasaransasaran berbeda dari alasan?
B. Pertanyaan-pertanyaan yang Berfokus pada Nilai-nilai Esensi dari berbagai penyelidikan dan eksplorasi nilai-nilai terletak dalam pertanyaan-pertanyaan yang guru ajukan. Semua pertanyaan, tentunya, membantu kepada para siswa untuk berpikir. Tetapi berbeda tujuan mendikte dengan pertanyaan-pertanyaan. Tergantung pada apa yang guru ingin ketahui (atau menolong para siswa untuk mengetahui), perbedaan bentuk-bentuk pertanyaan yang dibutuhkan untuk diajukan. Bentuk-bentuk tertentu dari pertanyaan, bagaimanapun, kemungkinan besar untuk melibatkan nilai-nilai dari pada yang lain-lain. Ada tiga kategori pertanyaan-pertanyaan dari berbagai contoh yang para guru dapat ajukan untuk menolong siswa membuat kesimpulan mengenai dan menggunakan diskusi-diskusi nilai-nilai berikut. Tiga kategori itu adalah: • Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan untuk fakta-fakta • Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan untuk definisi-definisi • Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan untuk kesimpulan-kesimpulan Kategori-kategori berbeda terutama dalam istilah-istilah tujuantujuan di belakang mereka dan tipe-tipe respon yang mereka yang mungkin muncul. 1. Pertanyaan-Pertanyaan yang Diajukan untuk Fakta-Fakta Tujuan utama dari pertanyaan-pertanyaan tipe-faktual adalah untuk menentukan jika para siswa memperoleh atau menghasilkan sejumlah data faktual yang diinginkan. Di sini dikemukakan beberapa contoh: 9 Siapakah penulis Cerita dari Dua Kota? 9 Apakah wilayah dari Amerika Serikat yang diperoleh dari Perancis pada tahun 1803? 119
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
9 9 9 9
Kapan Korps Perdamaian dibentuk? Dimanakah negara Chad terletak? Bagaimanakah terbentuknya guru berapi? Untuk apakah tiga belas koloni meratifikasi undang-undang tentang hak-hak (Bill of Rihgts) 9 Karakter apakah nampak dari peran yang dimainkan Rosencrantz dan Guildendtern? Perhatian bahwa pertanyaan-pertanyaan tipe-faktual yang diajukan kepada para siswa untuk membuat pernyataan yang tegas tentang dunia yang dapat diamati dan tentang sesuatu hal, atau individu-individu yang ada di dalamnya. Berbagai pernyataan yang tegas adalah pada akhirnya dapat diuji melalui sumber-sumber untuk diamati. Kebenaran atau kepalsuan dari respon siswa terhadap pertanyaan tipe-faktual yang berada dalam kehadiran dan ketidakhadiran dari bukti yang dapat diamati di depan umum. Pembuktian ini menunjukkan bahwa berbagai hal, kejadian-kejadian, atau individu-individu yang para siswa acu adalah memang ada atau sedang terjadi atau telah terjadi, (Sebagai contoh, benar atau tidak seseorang yang bernama Charles Dickens telah menulis buku yang berjudul Cerita tentang Dua Kota).
2. Pertanyaan-Pertanyaan yang Diajukan untuk DefinisiDefinisi Tujuan utama dari pertanyaan-pertanyaan tipe-definisional adalah untuk menghasilkan apa sesuatu bermakna, ketika seseorang menggunakan istilah atau kata. Di sini diberikan contoh-contoh: 9 Apakah yang kamu maksud dengan “patriotis”? 9 Dapat kamu memberikan kepada saya sebuah contoh? 9 Apa karakteristik-karakteristik yang harus sesuatu dimiliki untuk dikategorikan sebagai “segi enam” Untuk menjawab tipe pertanyaan ini, para siswa harus memberikan contoh atau menguraikan karakteristik-karakteristik pokok dari sesuatu hal. Dapat dicatat bahwa tidak ada sesuatu sebagai jawaban yang “benar” untuk pertanyaan-pertanyaan definisional, hanya jawaban-jawaban yang kurang atau lebih “disepakati”. Ketika 120
Membuat Kesimpulan tentang Nilai-nilai
para siswa berupaya mendefinisikan, mereka bukan menguraikan suatu pernyataan dari peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian dari kegiatan atau suatu hal yang sedang terjadi. Mereka tidak mengatakan sesuatu tentang bentuk dari dunia nyata, tetapi malahan sesuatu tentang makna suatu kata-kata. Kemampuan menerima respon dari pertanyaan tipe-definisional berada dalam tingkatan di mana definisi siwa disepakati dengan satu pejabat atau otoritas yang ditemukan dalam sumber yang diakui seperti kamus. Jika kata didefinisikan tidak nampak jelas dalam kamus, kemampuan menerima definisi tergantung pada tingkatan di mana ia jelas dan mendorong beberapa pemahaman dengan kata siapa yang sedang digunakan.
3. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan untuk Kesimpulankesimpulan Tipe pertanyaan-pertanyaan kesimpulan diajukan kepada para siswa untuk “melampaui data” sebelumnya diperoleh. Untuk menjelaskan mengapa mereka pikir sesuatu terjadi, untuk menarik kesimpulan, untuk menyarankan suatu sikap, perasaan, nilai, atau menyatakan pikiran, atau bentuk hipotesis tentang apa kadang-kadang yang mungkin terjadi di masa depan. Beberapa contoh dikemukakan di sini: 9 Apa yang menyebab ia melakukan itu? 9 Bagaimana perasaan Sam? 9 Adakan hal lain yang mungkin dilakukan Alice? 9 Kesimpulan apa yang dapat kamu tarik dari semua ini? 9 Apa yang akan kamu katakan terhadap apa yang dianggap penting oleh Mrs Thomson? 9 Jika dia melakukannya, apa yang mungkin terjadi? Di sini banyak jawaban-jawaban, semua secara sama dapat diterima adalah mungkin. Tidak ada “ini” atau “suatu” jawaban benar terhadap pertanyaan-pertanyaan tipe kesimpulan. Para siswa yang telah ditanya untuk melakukan sesuatu hal seperti: (1) untuk mencerminkan terhadap dan menganalisa fakta-fakta; (2) untuk menjelaskan kemungkinan hubunganhubungan yang mereka pikir ada di antara fakta-fakta; (3) untuk mengidentifikasi perasaan-perasaan dan nilai-nilai; atau (4) untuk “membuat
121
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
dugaan-dugaan alasan” seperti untuk bagaimana sesuatu akan berubah. Catatan bahwa pertanyaan yang diajukan kepada para siswa untuk mengidentifikasi nilai-nilai adalah pertanyaan-pertanyaan tipe kesimpulan (Lihat gambar 6.1).
C. Pola-pola Pertanyaan Ini tidak hanya pertanyaan-pertanyaan yang guru ajukan adalah penting dalam menyuruh para siswa untuk membuat kesimpulan-kesimpulan tentang nilai-nilai, tetapi juga bagaimana mereka ditanya. Kritik terhadap pembela klarifikasi nilai (juga akan diberikan kepada para pendukung penalaran moral) dilakukan lebih dulu bahwa mereka tidak menekankan, atau bahkan tidak membuat jelas, pentingnya fakta-fakta untuk membuat keputusan yang cerdas. Hasilnya, mereka tidak membangun berbagai prosedur untuk mendorong dan menolong para siswa untuk terlibat dalam pengumpulan fakta yang sistematis dalam aktivitas-aktivitas dan strategi-strategi mereka. Mereka nampaknya gagal untuk mewujudkan bahwa dalam kesimpulan-kesimpulan dan keputusankeputusan yang cerdas mengenai nilai adalah tidak sama, jika para siswa tidak memahami fakta-fakta yang dilibatkan dalam kejadian-kejadian dan dilemadilema nilai-nilai. Saya akan setuju, bahwa fondasi dari data yang faktual, seperti bank data tentang fakta-fakta, yang untuk dibicarakan, dibutuhkan untuk diperoleh sebelum para siswa diminta untuk membuat kesimpulankesimpulan tentang nilai-nilai atau mendiskusikan dilema-dilema moral. Juga pertanyaan-pertanyaan bahwa para siswa diminta untuk mencari informasi yang faktual biasanya akan diminta sebelum pertanyaanpertanyaan tentang nilai-nilai jika diskusi-diskusi nilai adalah layak. Satu pengecualian, mungkin bahwa tipe pertanyaan-pertanyaan kesimpulan kadangkala mungkin diminta sebelum diskusi-diskusi dimulai agar minat para siswa, itu adalah memotivasi mereka. Dua bentuk dari pola-pola pertanyaan yang disarankan untuk diri mereka sendiri. Pertama, disebut perluasan secara horisontal , 122
Membuat Kesimpulan tentang Nilai-nilai
digunakan ketika guru mengharapkan untuk membangkitkan lebih banyak respon dengan tipe yang sama dari para siswa. Sebagai contoh, guru ingin lebih banyak fakta-fakta, untuk hasilnya dilanjutkan kepada pertanyaan-pernyataan tipe faktual terhadap beberapa siswa sebelum menanyakan beberapa tipe pertanyaan yang lain. Jika sebagian besar kesimpulan-kesimpulan dari mengapa fakta-fakta telah muncul diharapkan guru melanjutkan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengulangi lagi kesimpulan-kesimpulan tentang alasan-alasan. Aplikasi yang sama untuk berbagai tipe pertanyaan lain yang mungkin diajukan. Tipe yang sama dari pertanyaan yang diajukan sekali lagi dan sekali lagi sebelum bergerak kepada pertanyaan yang berbeda. Dalam contoh di bawah, guru hanya memperlihatkan film yang menjelaskan gaya hidup dan pekerjaan yang bertentangan dari dua orang laki-laki, seorang karyawan dan mekanik mobil. Dalam film, dua individu itu diwawancarai mengenai apa yang mereka sukai dari pekerjaan mereka. Guru ingin meyakinkan bahwa semua siswanya memahami apa yang setiap orang kerjakan, dan dikatakan sebelum ia meminta mereka untuk membuat kesimpulan tentang nilai-nilai manusia itu. Guru meneruskan sebagai berikut: Guru : Baiklah, dapatkah kamu menceritakan kepada saya mengenai karyawan muda yang kita lihat dalam film? Ingat, saya tertarik dengan apa yang kamu amati tentang dirinya, sekarang apa yang kamu pikir tentang dirinya. Ali : Ia tidak bekerja sesuai dengan pengertian bekerja, dilihat dari jumlah jam bekerja dalam sehari. Jusuf : Dan ia menghabiskan banyak waktu luangnya dengan anak-anak Guru : Apa lagi yang dapat kamu jelaskan kepada saya? Susi : Ia bujangan Bobi : Ia pelatih dari tim Liga Kecil Guru : Apa lagi yang film perlihatkan mengenai dia? Pilus : Ia mengajak banyak anak-anak ke beberapa tempat, seperti kebun binatang dan menunggang kuda. Ali : Ia orang baik yang giat Guru : Apa film yang perlihatkan kepadamu, Ali, atau apa kesanmu? Ali : Kesan saya 123
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
Guru : Baiklah, tetapi sekarang, marilah kita coba kembali ke nol terhadap apa yang film perlihatkan kepada kita tentang karyawan muda. Sekarang, adakah hal lain yang kamu amati tentang dirinya?... Guru dalam contoh itu mencoba mendapatkan dari kelasnya beberapa fakta yang ia dapat lihat tentang orang dalam film. Oleh karena itu, ia berulangulang ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan hanya mengingatkan kembali informasi yang sesungguhnya. Tujuannya melakukan hal demikian adalah untuk mendapatkan banyak fakta dari situasi yang mungkin dapat diidentifikasi dan direkam. Jadi, akan menjadi dasar yang cukup besar dari informasi yang tersedia untuk para siswa guna membuat kesimpulan-kesimpulan. Segera setelah siswa memperoleh banyak fakta yang mengenalkan pertimbangan kepadanya, ia kemungkinan besar dapat meneruskan untuk mengajukan rangkaian pertanyaan-pertanyaan untuk membuat kesimpulan-kesimpulan tentang alasan-alasan. Ketika siswa memperoleh jumlah yang wajar dari beberapa kesimpulan, ia dapat mengajukan serangkaian pertanyaan untuk membuat kesimpulan-kesimpulan tentang nilai. Beberapa pertanyaan yang dilakukan untuk para siswa bisa serupa atau berbeda dari bentuk kesimpulan-kesimpulan, dan seterusnya. Gambar 6.2 menggambarkan pola itu yang diberikan dengan perluasan horisontal, dan gambar 6.3 bagan yang pada akhirnya dihasilkan dari diskusi dari film. Gambar 6.2. Pola Pertanyaan Diberikan dengan Perluasan Horisontal
124
Membuat Kesimpulan tentang Nilai-nilai
Gambar 6.3. Contoh dari Bagan Informasi Nilai-nilai secara Lengkap
Tipe kedua dari pola pertanyaan adalah diberikan dengan perluasan vertikal. Pola ini digunakan ketika guru ingin memperoleh bentuk respon yang berbeda setelah memperoleh beberapa respon dari tipe yang sama. Sebagai contoh, ketika guru mengajukan kepada siswa yang sama pertanyaan tipe faktual dilanjutkan dengan satu pertanyaan kesimpulan-kesimpulan tentang alasan-alasan, diikuti dengan satu pertanyaan kesimpulan tentang nilai-nilai, guru telah terlibat dalam memberikan pertanyaan-pertanyaan secara vertikal dengan siswa. Pola itu biasanya dilanjutkan ketika guru menghendaki siswa atau kelas membuat kesimpulan dan menggambarkan kesimpulan-kesimpulan tentang fakta khusus dari pada menghasilkan jumlah besar fakta-fakta dan kesimpulan-kesimpulan untuk dipetakan. Sebagai contoh: Guru : Siapa yang dapat menyebutkan nama penjelajah yang berlayar dari dari Erofah pada abad ke-19? Duriah? (Meminta faktafakta) 125
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
Duriah : Columbus?. Guru : Baiklah, Mengapa Columbus berlayar pada waktu itu, Duriah? (Meminta kesimpulan-kesimpulan tentang alasan-alasan) Duriah : Ia mencoba untuk menemukan jalan baru ke India Timur Guru : Apa yang menyebabkan dia melakukan demikian (Meminta untuk kesimpulan sederhana) Duriah : Saya tidak tahu. Mungkin ia ingin tahu? Guru : Baiklah. Siapa yang dapat menyebutkan nama penjelajah lain pada waktu itu? Ali? Ali : Ponce de Leon Guru : Mengapa dia berlayar, apa yang kamu pikir? (Meminta kesimpulan-kesimpulan tentang alasan-alasan) Ali : Ia melihat untuk sumber bagi pemuda, yang banyak orang percaya kemudian Guru : Apa yang menyebabkan dia berbuat demikian? (Meminta untuk kesimpulan) Ali : Ia produk dari jamannya, saya menerka. Perhatikan bahwa setiap pertanyaan-pertanyaan yang guru ajukan adalah berbeda tipe dari satu tipe pertanyaan yang yang mendahuluinya. Juga perhatikan bahwa guru mengajukan satu dari setiap tipe untuk setiap siswa sebelum berlanjut ke siswa yang lain. Gambar 6.4 menggambarkan pola itu. Gambar 6.4. Pola Pertanyaan yang Diberikan dengan Perluasan Vertikal
126
Membuat Kesimpulan tentang Nilai-nilai
Pertanyaan yang diberikan dengan perluasan horisontal adalah pola yang lebih menguntungkan untuk diikuti ketika ia datang untuk mengawali dan memelihara diskusi—diskusi kelas tentang nilai-nilai. Hal ini secara khusus benar ketika satu keinginan untuk memperoleh bagan nilai-nilai yang memuat sejumlah besar informasi. Juga, diskusi-diskusi yang terjadi kemungkin besar mengikutsertakan partisipasi lebih banyak siswa pada tingkat yang sama (yaitu lebih banyak mendiskusikan alasan-alasan, kesimpulan-kesimpulan, dan lainlain pada waktu yang sama). Pada sisi yang lain, jika guru ingin kepada titik nol pada siswa tertentu dan menolong mereka memperluas pemikirannya dengan beberapa kedalaman, kemudian perluasan vertikal kelihatannya cocok. Tetapi adalah gagasan baik untuk mencoba pola-pola untuk menentukan kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan dari setiap pola pertanyaan sejauh penting bagi gaya mengajar kamu sendiri. 1. Tipe manakah dari pertanyaan, faktual, definisional atau kesimpulan, yang kamu pikir sangat penting? Mengapa? Tipe manakah yang kamu pikir amat mudah untuk para siswa dalam menjawab? 2. Apakah kamu akan setuju bahwa dasar dari pertanyaan faktual akan didapatkan sebelum para siswa diminta membuat beberapa kesimpulan mengenai nilai-nilai? Mengapa ya dan mengapa tidak? 3. Apakah pola-pola lain dari pertanyaan di samping perluasan horisontal dan vertikal yang dapat kamu sarankan?
D. Mengidentifikasi Nilai-nilai Dengan perbedaan tipe-tipe pertanyaan-pertanyaan dan pola-pola menanyakan pikiran, sekarang pertimbangkan strategi menanyakan yang para guru dapat gunakan untuk menolong para siswa membuat beberapa kesimpulan-kesimpulan yang masuk akal tentang nilai-nilai seseorang atau kelompok. Esensi dari strategi yang sekarang melibatkan para siswa dengan peristiwa nilai. Kemudian meminta mereka untuk menganjurkan nilai-nilai apa yang tercermin dari peristiwa. Suatu peristiwa nilai adalah pernyataan, argumen, deskripsi, atau ilustrasi dalam mana individu atau kelompok lakukan atau perkataan-perkataan sesuatu yang menunjukkan atau mengimplikasikan apakah ia atau orang pikirkan dalam kehidupan. Bagan-bagan yang digunakan untuk merekam respon-respon untuk analisis selanjutnya. Peristiwa-peristiwa nilai dapat ditemukan dalam berbagai sumber-sumber berbeda termasuk artikel-artikel surat kabar dan majalah, kutipan-kutipan dari 127
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
cerita fiksi, kartun-kartun politik, potongan-potongan komik, iklan-iklan, editorial-editorial, karangan-karangan, puisi-puisi, bahkan lagu-lagu. Beberapa contoh dari peristiwa-peristiwa seperti itu dalam Bab 2. Di sini lebih dari dua, cocok untuk digunakan dengan siswa yang lebih tua (SMP kelas 3 atau SMA). Perhatikan ilustrasi atau termasuk sesuatu yang direkomendasikan. Contoh #1: Puisi Saya mengetahui anak kecil yang kurus Yang tidak pernah dicari untuk melakukan main sepak bola dengan semua Tetapi gagasan ia lebih baik jika ia dicari Ayahnya mencintainya dan membuktikan keberaniannya Dan benda-benda sepertinya Saya ingat dirinya menahan napasnya Dan menutup matanya Dan melempar blok ke arah orang yang dua kali ukurannya. Ternyata ia cukup berani untuk dicintai, dan menangis dengan lembut Sebab tulang pinggulnya sakit Dan sepatunya terlalu besar yang mereka membuatnya tersandung Saya tahu anak kecil yang kurus Dengan mata biru langit dan rambut coklat yang halus Yang menyukai kucing-kucing berekor dan kucing pohon Pondok-pondok dan pohon-pohon bunga laurel, Yang menyukai kastanye dan kerucut cemara dan minyak kenari, Rubah-rubah bersembunyi dan kelinci-kelinci mengunyah bunga-bunga bakung, Gua-gua rahasia dan lumut di sekitar akar-akar dari pohon-pohon oak, Berang-berang dan tikus-tikus air dan burung-burung bangau melongo, Dan saya terkejut apa yang ia akan miliki Jika seseorang mencintainya untuk Hanya mengikuti anak-anak rusa dan membangun air terjun Dan melihat tikus-tikus putih memegang babi-babi, Saya terkejut apa yang ia akan miliki Jika ia tidak bermain sepak bola dengan semua
Contoh # 2. Pernyataan Sebuah Otobiografi Suatu hari saya berdiri di bagian depan toko, menunggu pembeli berikutnya. Seorang lakilaki masuk ke dalam dan bertanya kepada saya, jika kami mempunyai beberapa sepatu 128
Membuat Kesimpulan tentang Nilai-nilai
coklat yang tinggi. Saya memberitahukan bahwa kami tidak mempunyai gaya sepatu seperti itu. Ia mengucapkan terima kasih kepada saya dan keluar dari toko. Pengawas keliling mendatangi saya dan bertanya kepada saya, apa yang laki-laki tadi inginkan. Saya beritahukan kepadanya apa yang laki-laki tadi tanyakan dan apa yang telah ia jawab. Pengawas keliling berkata dengan marah:” Sialan! Kita di sini tidak menjual apa yang mereka inginkan. Kita di sini menjual apa kita dapat berikan”. Ia pergi dan memerintah saya bahwa bila pembeli masuk ke toko lagi, hal pertama yang dilakukan adalah membuatnya untuk duduk dan melepas sepatunya, hingga tidak dapat keluar dari toko. “Jika kita tidak mempunyai apa yang ia inginkan” katanya, “berikan dia sesuatu yang lain dan coba untuk menarik minatnya dengan jenis sepatu itu. Jika ia masih tidak tertarik, informasikan kepada pengawas keliling dan ia akan mengirimkan penjual tetap, dan jika itu tidak berhasil, penjual ketiga akan dikirim terhadapnya. Kebijakan kita adalah tidak ada satupun pembeli yang keluar dari toko tanpa membeli sampai sedikitnya tiga penjual yang mencoba menyakinkannya untuk membeli. Pada saat itu ia merasa bahwa ia menjadi aneh dan secara umum akan membeli sesuatu apakah ingin atau tidak”. Saya belajar dari pramuniaga yang lain bahwa jika pembeli membutuhkan sepatu ukuran 7-B, kita tidak memiliki dalam ukuran dari jenis yang diinginkan. Saya akan mencoba dengan 8-A atau 7-C atau beberapa ukuran yang lain, Ukuran-ukuran yang ditandai dengan kode, jadi pembeli tidak mengetahui apa ukurannya, dan itu mungkin diperlukan untuk membohonginya mengenai ukuran; juga bahwa kakinya mungkin dilukai karena tidak cocok. Tetapi peraturan untuk menjual kepadanya sepasang sepatu, lebih disukai sepasang yang cocok, tetapi beberapa pasang lain jika diperlukan. Saya belajar juga bahwa pramuniaga menerima komisi tambahan, jika mereka menjual jenis sepatu-sepatu yang tidak model lagi dari musim-musim terdahulu, yang disebut “spiffs”. Penjual tetap mempraktikan dengan menjual “spiffs” kepada setiap orang yang kelihatannya mudah tertipu dan umumnya meminta bahwa jenis yang paling akhir atau jenis yang paling awal dan kembali lagi pada musim ini, atau jenis lama, tetapi kualitasnya banyak lebih baik dari jenis-jenis masa kini. Pramuniaga mempunyai ukuran terhadap pembeli dan menentukan satu dari beberapa kebohongan yang kemungkinan besar berhasil dalam penjualan.
Ini contoh lain, satu yang lebih sesuai untuk digunakan pada siswasiswa sekolah dasar. Contoh #3: Satu Petikan dari Buku Teks Dua puluh lima tahun usia Marcia-Brandon sebagai seorang gadis yang bergerak dalam aksi pemerintahan. Ia ingin membuat kolam. Kolam dalam lingkungan Marcia berada dalam tanah yang akan dibuat untuk rumah sakit negeri yang baru. Marcia meminta bahwa kolam adalah tempat beristirahat untuk burung-burung. Ia juga berkata bahwa 129
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
seluruh area akan menjadi taman yang lebih baik. Ia akan membangun kolam dan memberikan anak-anak area tempat bermain anak-anak. Marcia mulai bergerak dengan menulis kepada walikota dari kotanya. Tetapi petugas kantor walikota berkata bahwa rumah sakit baru adalah bangunan negara dan tanah yang dimiliki oleh negara. Marcia kemudian menulis kepada dewan kota dan perwakilannya di ibukota negara. Ia juga mengirimkan surat kepada kantor pemerintah di Washington D.C. Ia berharap bahwa pemerintah di sana mungkin menolong dengan membuatkan kolam memelihara margasatwa. Beberapa surat kabar menjadi sadar dengan usaha-usaha Marcia pada minggu berikutnya. Marcia kemudian mulai bergerak pintu ke pintu untuk meminta tanda tangan. Ia berharap bahwa jika cukup orang memberikan tanda tangan nama-namanya, bangunan perencanaanperencanaan akan menjadi berubah.
Tiga contoh di atas adalah hanya sedikit dari beberapa tipe berbeda dari peristiwa- peristiwa nilai yang mungkin dapat disebutkan. Karakteristik kunci adalah bahwa semua peristiwa-peristiwa nilai secara umum adalah bahwa mereka menggambarkan contoh-contoh dalam mana individuindividu melakukan atau mengatakan sesuatu yang menyatakan apa yang ia pikir bermanfaat, yaitu, bermanfaat memiliki atau melakukan atau mencoba untuk mencapai. Secara ringkas, apakah nilai-nilai seseorang. Itu secara jelas karakteristik yang penting, untuk sikap-sikap para siswa dalam eksperimen dalam memelihara nilai-nilai pribadi jika mereka menyaksikan peristiwa yang tidak memperlihatkan bahwa orang melakukan atau mengatakan sesuatu yang mencerminkan nilai-nilainya. Setelah peristiwa nilai dibaca (atau dilihat pada, didengar untuk), guru (atau siswa yang lain) mengajukan kepada kelas beberapa pertanyaan mengenai peristiwa dengan urutan yang ditetapkan sebelumnya. Kelas didorong untuk menganalisis peristiwa dalam istilah nilai-nilai yang mereka tercemin dari peristiwa itu. Tugas pertanyaan adalah untuk: • Meminta fakta-fakta • Meminta kesimpulan-kesimpulan tentang alasan-alasan mengapa fakta-fakta dimunculkan • Meminta kesimpulan-kesimpulan tentang apa nilai-nilai individu • Meminta bukti spesifik yang mendukung kesimpulan-kesimpulan Di sini adalah satu dari pertanyaan-pertanyaan yang disusun dalam satu garis. 130
Membuat Kesimpulan tentang Nilai-nilai
1. Kisah, editorial, kartun tentang apakah?/Apa yang terjadi dalam peristiwa itu? 2. Apakah yang kamu pikirkan tentang alasan-alasan tokoh utama yang mengatakan atau melakukan itu? 3. Alasan-alasan apakah menyarankan kepadamu tentang apakah yang penting untuk individu? Mengapa? Para siswa akan didorong untuk mengatakan banyak kemungkinankemungkinan yang berbeda seperti respon yang dapat mereka lakukan terhadap pertanyaan-pertanyaan 2 dan 3. Seperti para siswa mencari jawaban pertanyaan-pertanyaan, adalah sering menolong untuk menyiapkan peta informasi nilai pada papan tulis (atau dalam buku catatan siswa) seperti diperlihatkan pada gambar 6.5 Gambar 6.5. Peta Informasi Nilai-nilai
Setiap pertanyaan yang diajukan untuk tujuan khusus. Pertanyaan 1 meminta para siswa untuk mengidentifikasi tindakan-tindakan dan/atau katakata dari individu dalam situasi khusus yang melibatkan nilai-nilai individu. Pertanyaan 2 dan 3 meminta kelas untuk menyimpulkan alasan-alasan untuk dan nilai-nilai yang melandasi perilaku itu, Perhatikan bahwa jawaban-jawaban yang “benar” terhadap pertanyaan 1, tidak untuk pertanyaan 2 dan 3. Guru akan amat menyakitkan untuk mendorong banyak dan semua respon kepada pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan 4 kemudian mendorong para siswa berpikir tentang mengapa orang memiliki nilai apa yang mereka lakukan. Kata khusus harus dibuat mengenai pertanyaan 5; itu bukan pertanyaan untuk debat. Itu pertanyaan mengingatkan pada suatu yang memperlihatkan komitmen personal pada sebagian siswa. Guru akan menerima semua respon siswa, tidak ada materi apa yang mereka mungkin terjadi. Dan banyak dari seluruh siswa mempunyai hak untuk menjawab dan tidak menjawab pertanyaan itu. 1. Tujuan utama di samping strategi adalah menolong para siswa membuat kesimpulankesimpulan yang masuk akal tentang nilai-nilai orang yang lain. Dengan tujuan itu 131
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
dalam pikiran, lihat sekali lagi pada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sebagai bagian dari strategi. Apa yang kamu rekomendasikan dari mengajukan pertanyaanpertanyaan tambahan? Menghilangkan beberapa? Jika demikian, mengapa? 2. Apakah kamu setuju dengan pertanyaan 5 adalah sungguh-sungguh “ bukan pertanyaan untuk didebatkan” Mengapa ya atau mengapa tidak? Apakah beberapa kondisi dalam mana kamu mungkin menginginkan debat mengenai pertanyaan itu? Jika demikian, mengapa? 3. Apakah beberapa tipe peristiwa nilai itu membuatmu tidak akan ingin para siswa untuk memikirkan? Mengapa ya atau mengapa tidak? 4. Akankah para siswa didorong untuk membuat kesimpulan-kesimpulan mengenai nilai-nilai dari guru-guru mereka? Nilai-nilai dari para siswa yang lain? Apakah beberapa individu yang menyimpulkan seperti nilai-nilai mereka akan menurun? Jika demikian, mengapa?
E. Membandingkan dan Membedakan Nilai-nilai Asumsi yang melandasi rangkaian pertanyaan-pertanyaan sebelumnya adalah bahwa guru dapat menggunakannya untuk menolong para siswa membuat kesimpulan-kesimpulan yang masuk akal tentang apa nilai orang lain. Satu peristiwa, bagaimanapun, adalah amat goyah fondasinya di atas mana untuk menjadi landasan kesimpulan tentang nilai-nilai pribadi orang lain. Meminta siswa untuk melihat beberapa indikasi dari nilai-nilai dalam contoh tertentu adalah menolong dalam mempertajam mereka terhadap fakta berupa tindakan-tindakan dan kata-kata sebagai indikator-indikator nilai. Kita dapat saja keliru, bagaimanapun, untuk setiap individu yang terlibat mungkin mencoba bingung atau menyesatkan kita. Atau mereka mungkin bertindak dengan terpaksa atau tekanan yang luar biasa. Mereka mungkin berperilaku dengan cara keluar tertentu dari ketakutan dan ketidaktahuan. Ide dari konsistensi dari tindakan-tindakan setiap waktu oleh karena itu merupakan konsep penting untuk para siswa dalam memahami dan berpikir. Itu akan menolong untuk mendorong para siswa mengikuti katakata dan tindakan-tindakan yang dilakukan individu setiap waktu (sebagai contoh beberapa pejabat publik sebagai yang dilaporkan dalam surat kabar dan media lain). Kontradiksi-kontradiksi apakah yang mereka lihat?. Dengan cara (cara-cara) apakah mereka akan merubah kesimpulan-kesimpulan awal mereka? Dan mengapa? Bukti khusus apakah yang menyebabkan mereka merubah kesimpulan-kesimpulan sebelumnya? Fokus terhadap bukti untuk 132
Membuat Kesimpulan tentang Nilai-nilai
beberapa kesimpulan adalah penting, karena itu membantu para siswa untuk melihat bahwa kesimpulan-kesimpulan beragam istilah dari bagaimana membenarkan mereka. Perhatian terhadap sejumlah bukti yang tersedia untuk menerima atau menolak kesimpulan, oleh karena akan berlanjut. Gambar 6.6 melukiskan kerangka dari peta yang dapat digunakan untuk membandingkan pernyataan individu dan tindakan-tindakan setiap waktu sama seperti membedakan kesimpulan-kesimpulan oleh para siswa mengenai nilai-nilai individu. Bagian atas adalah dimasukkan hal-hal yang dibandingkan (yaitu, perbedaan perkataan-perkataan atau tindakan dari individu yang sama pada waktu yang berbeda). Pertanyaan yang diajukan adalah dalam kolom yang kedua sebelah kiri. Gambar 6.6 Membandingkan dan Membedakan Nilai-nilai dari Individu yang sama dalam Situasi-situasi yang Berbeda
Gambar 6.6 didesain untuk menolong para siswa menyelidiki bagaimana kata-kata dan tindakan-tindakan orang yang sama dilihat setiap waktu. Tetapi para guru juga dapat menolong para siswa berpikir apa perbedaan yang orang lakukan atau katakan dalam situasi yang sama, sekali lagi dengan meminta para siswa serangkaian pertanyaan-pertanyaan ditetapkan sebelumnya yang diberikan secara berurutan. Dalam kasus ini, penanya: • Meminta untuk fakta-fakta (Apakah yang individu lakukan atau katakan dalam situasi tertentu?) • Meminta untuk alasan-alasan (Mengapa ia melakukan itu?) • Meminta untuk kesimpulan-kesimpulan tentang apa nilai-nilai individu • Meminta untuk bukti khusus untuk mendukung kesimpulan-kesimpulan Informasi ini dapat direkam pada peta pencarian keterangan yang disimpan secara individual oleh para siswa dalam buku catatan mereka atau bersama-sama pada papan buletin atau papan tulis. Para kemudian diajukan pertanyaan yang sama tentang individu lain yang terlibat dalam situasi yang 133
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
sama atau situasi yang serupa pada waktu yang lain. Informasi yang diperoleh direkam pada peta yang sama. Ketika informasi yang diperoleh bertambah, penanya: • Meminta untuk tindakan-tindakan atau kata-kata yang berbeda antara (atau di antara) contoh-contoh • Meminta kesamaan-kesamaan di antara contoh-contoh • Meminta kesimpulan-kesimpulan tentang nilai-nilai orang dalam satu (atau beberapa) bentuk situasi. Di sini adalah contoh dari bentuk peristiwa nilai yang mungkin digunakan. Seorang siswa baru yang menjadi anggota tingkat tiga kelas yang kecil, kota pedesaan. Keluarganya hanya pindah dari kota yang lebih besar, kota industri kira-kira tiga ratus mil jauhnya. Setelah mengenalkan anak laki-laki itu di kelas, guru dipanggil keluar kelas oleh kepala sekolah. Segera setelah guru meninggalkan ruang kelas, tiga anak lelaki yang lain dalam kelas mereaksi kepada siswa baru itu. Yang pertama tersenyum dan berkata halo. Yang kedua, meminta dirinya, jika main baseball; tetapi ketika siswa baru itu berkata, “Tidak, saya tidak bisa”, penanya mengerutkan dahi dan kemudian duduk kembali ke mejanya. Yang ketiga kemudian berkata dengan suara nyaring, “Anak lelaki, bonekakah! Bahkan tidak mau main baseball” Menggunakan rangkaian saran di atas. Gambar 5.7 melukiskan urutan pertanyaan dan peta yang disusun untuk respon-respon siswa. Itu mungkin dapat digunakan untuk membantu para siswa membuat kesimpulankesimpulan mengenai kemungkinan-kemungkinan dari nilai-nilai tiga anak lelaki dan kemudian membandingkan dan membedakan kesimpulankesimpulan itu. Gambar 6.7. Membandingkan dan Membedakan Nilai-nilai dari Individu-individu yang Berbeda dalam Situasi yang sama
134
Membuat Kesimpulan tentang Nilai-nilai
Seperti sebelumnya, pertanyaan saya ajukan kepada para siswa untuk mengidentifikasi apa perbedaan individu-individu dalam situasi yang dikatakan dan/atau dilakukan. Pertanyaan 2 dan 3 meminta para siswa untuk kesimpulan-kesimpulan sebagai alasan-alasan untuk, dan nilai-nilai yang melandasi, perilakunya. Pertanyaan 4 meminta para siswa mencoba untuk menghubungkan fakta-fakta, alasan-alasan, dan nilainilai dalam berbagai cara untuk menunjukkan apakah perkataanperkataan, tindakan-tindakan dan/atau alasan khusus yang menyebabkan mereka untuk memikirkan individu-individu yang melibatkan nilai apa yang mereka lakukan. Pertanyaan 5 dan 6 meminta untuk mengamati perbedaan-perbedaan dan kesamaan-kesamaan pada perilaku individuindividu dalam peristiwa. Pertanyaan 7 meminta mereka untuk membuat kesimpulan sementara yang mungkin menjelaskan mengapa orang bertindak dengan cara-cara dalam beragam situasi-situasi. 1. Pernahkah kita dapat secara pasti mengetahui tentang apa nilai-nilai seseorang? 2. Peta nilai seperti diperlihatkan dalam gambar 5.6 sering mengungkapkan bahwa orang tidak konsisten baik dalam kata-kata dan perbuatan-perbuatan setiap waktu. Apakah ini baik atau jelek? Bagaimana kamu dapat menjelaskan ketidakkonsistenan itu? 3. Beberapa pengamatan yang sering disebutkan adalah: nilai orang berbeda, halhal berbeda; orang yang sama mungkin hal-hal berbeda nilai pada waktu-waktu berbeda; dan nilai-nilai seseorang mungkin berubah setiap waktu. Bagaimana kamu akan menjelaskan beberapa pengamatan itu?
F.
Mendesain Pembelajaran untuk Mengajak Menilai
Bentuk dari mata pelajaran di mana para siswa membuka terhadap dan diminta untuk mendiskusikan, sama seperti pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, oleh karena itu, adalah sangat penting dalam mengajak mereka untuk berpikir tentang nilai-nilai. Sama-sama penting, jika tidak lebih juga, untuk mengembangkan nilai-nilai sebagai tipe-tipe kegiatankegiatan belajar di mana para siswa diminta untuk berpartisipasi supaya menolong mereka memahami mata pelajaran di mana mereka dibuka. Sebelum saya berupaya memberikan beberapa saran tentang kegiatankegiatan itu, perbedaan yang akan dibuat antara kegiatan dan tujuan. Suatu tujuan adalah sasaran yang dicapai, hasil-hasil yang diharapkan 135
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
dari pengajaran. Suatu kegiatan adalah berbagai pengalaman belajar yang didesain untuk menolong para siswa mencapai tujuan khusus. Satu dari berbagai kegiatan mungkin memenuhi banyak tujuan-tujuan. Pada satu sisi, banyak kegiatan mungkin menjadi peluang (atau kadang-kadang diperlukan) untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Ketepatan dari kegiatan tertentu tergantung pada tujuan-tujuan yang ada dalam pikiran dan tingkat di mana kegiatan dapat menolong para siswa mencapai tujuan. Hal penting adalah banyak bentuk-bentuk dari kegiatan-kegiatan di mana para siswa diminta untuk berpartisipasi sebanyak peluang agar memelihara minat-minat dan mencegah kebosanan. Bentuk dari banyak kegiatan khusus, bagaimanapun, akan selalu tergantung pada bentuk tujuan khusus yang ingin dicapai. Beberapa pertanyaan kunci untuk para guru yang selalu diajukan dalam anggapan itu, “Apakah yang saya harapkan untuk selesai?”, “Mengapa saya meminta para siswa berpartisipasi dalam kegiatan itu?”, “Apakah kegiatan itu dilakukan dengan nilai-nilai?”, “Akankah kegiatan menolong para siswa memahami nilai-nilai dari orang lain atau dari diri mereka sendiri?” Dalam beberapa kasus, satu tujuan yang ada dalam pikiran mungkin membuat para siswa memperoleh kemampuan-kemampuan atau perilaku-perilaku khusus , seperti menjadi mampu untuk menyimpulkan nilai-nilai dari pernyataan-pernyataan atau tindakantindakan, untuk menjelaskan sesuatu dari sudut pandang orang lain untuk menduga konsekuensi-konsekuensi, untuk berupaya menjelaskan secara rasional posisi nilai, atau untuk mengusulkan solusi-solusi alternatif terhadap dilema nilai, Dalam kasus lain, satu tujuan mungkin membuat para siswa menjadi mampu untuk menciptakan (atau meningkatkan untuk) bentuk-bentuk tertentu dari produk-produk, seperti karangankarangan, peta-peta, puisi-puisi, nyanyian-nyanyian, atau gambar foto yang dibuat dengan nilai-nilai. Dan masih dalam kasus-kasus yang lain, tujuan mungkin terutama untuk mengikutsertakan para siswa dalam berbagai nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman-pengalaman (seperti membuat mereka menonton film tentang tindakan-tindakan dari keberanian, bermain peran kejadian nilai atau dilema nilai, atau berbicara dengan bentuk-bentuk berbeda dari orang tentang nilai-nilai. (Lihat gambar 6.8)
136
Membuat Kesimpulan tentang Nilai-nilai
Gambar 6.8 Kategori-kategori Kegiatan-kegiatan Belajar yang Didesain untuk Mengajak Menilai
tor
Kategori ketiga, bahwa melibatkan para siswa dalam beragam pengalaman-pengalaman yang berbeda, adalah penting khususnya untuk mengembangkan nilai-nilai. Untuk menambah beberapa pengertian dan pemahaman tentang bagaimana orang merasa dan berpikir, sama seperti mengapa mereka bertindak dan bereaksi seperti yang mereka lakukan, para siswa harus ditolong untuk “melangkah ke dalam sepatu mereka” sebanyak mungkin. Satu pandangan dari dunia dan tipe-tipe manusia dalam hal itu adalah kemungkinan besar untuk menjadi dari pada membatasi hingga satu kesempatan untuk pengalaman (yang amat sedikit, seolah mengalami sendiri) tipe-tipe kehidupan dari orang lain, untuk bekerja, bermain, atau membuktikan kepada mereka, partisipasi dalam olahraga-olahraga mereka, mendengar musik mereka, melihat seni mereka, mendiskusikan politik-politik mereka, hidup seperti yang mereka lakukan, dan berbicara dengan mereka tentang kehidupan dan nilai-nilai mereka. Membaca dan mendengar ceramah tentang orang lain adalah beberapa yang menolong pandangan mereka; melihat film-film dan potongan137
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
potongan film tentang mereka bahkan lebih baik; bermain peran masih lebih baik; pengalaman-pengalaman langsung seperti bekerja dengan orang-orang lain dari latar-latar belakang yang berbeda dan pengalamanpengalaman atas problem yang lazim atau tugas yang terbaik dari semua. Tidak ada persoalan apakah tipe yang dihasilkan mereka setelah (perilaku, produk, atau pengalaman), kegiatan-kegiatan belajar dapat juga diklasifikasi dalam istilah dari fungsi yang mereka jalankan. Sebagai contoh, beberapa secara esensial memberikan untuk saluran masuk dari informasi. Beberapa kegiatan termasuk membaca, mengamati, mewawancarai, mendengarkan, atau memandang (seperti film-film, buku-buku, orang, rekaman-rekaman, surat-surat kabar, dan lain-lain). Kegiatan-kegiatan saluran informasi adalah satu yang esensial untuk para guru merencanakan sesuatu, karena para siswa harus memiliki informasi untuk berpikir tentang dan berkerja dengan mereka, sebelum mereka dapat diharapkan untuk menggambarkan berbagai bentuk kesimpulankesimpulan yang cerdas mengenai nilai-nilai, apakah untuk diri mereka sendiri atau orang lain. Mereka harus memiliki data sebelum mereka dapat melakukan berbagai hal dengan itu. Data mentah sendiri, bagaimanapun, adalah persepsi-persepsi. Persepsi-persepsi harus diorganisir dan diinternalisasi, jika mereka menjadi banyak digunakan. Jadi keperluan untuk tipe kedua dari kegiatan belajar adalah memfasilitasi organisasi dari informasi yang diperoleh sebelumnya. Contoh-contoh dari tipe kegiatan itu meliputi merencanakan, catatan-pembicaraan, membuat kerangka, membuat diagram, menanyakan, meringkas, dan memilih. Beberapa dapat membantu para siswa mengorganisir dan membuat pengertian dari materi yang mereka ungkapkan, dan menolong mereka mulai memahami nilai-nilai dari orang yang berbeda dan (sedikitnya untuk beberapa tingkat) alasan-alasan yang menyebabkan mereka mempertahankan nilai-nilai itu. Tipe ketiga dari kegiatan belajar membantu para siswa untuk mendemontrasikan apa yang mereka pelajari. Kegiatan-kegiatan seperti bermain-peran, mendiskusikan, menyiapkan lukisan-lukisan dinding, menulis karangan-karangan dan memainkan yang asli, dan memformulasi pertanyaan membantu para siswa untuk memperlihatkan keterampilanketerampilan yang mereka miliki atau mengembangkan, untuk mendemontrasikan bagaimana baiknya mereka dapat menganalisa alternatif-alternatif dan konsekuensi-konsekuensi, dan untuk 138
Membuat Kesimpulan tentang Nilai-nilai
menunjukkan bagaimana baiknya mereka memahami kebutuhankebutuhan, perasaan-perasaan, atau nilai-nilai dari orang-orang lain. Tipe keempat dari kegiatan belajar yang mendorong para siswa untuk mengungkapkan (ekpress) diri mereka sendiri dengan menciptakan atau mengembangkan produk asli. Pengungkapanpengungkapan dari tipe belajar ini meliputi menyusun puisi atau lagu, menulis cerita pendek, mengilustrasikan nilai dengan cara-cara tarian atau menggambar. Walaupun mereka tumpang tindih untuk beberapa tingkatan, perbedaan esensial antara kegiatan-kegiatan ekspresi (pengungkapan) dengan demonstrasi (memperlihatkan) adalah bahwa kegiatan-kegiatan demonstratif meminta para siswa untuk menggambarkan tingkat di mana mereka memahami data yang mereka peroleh dan diorganisir sebelumnya. Kegiatan ekspresif, pada satu sisi, mendorong para siswa menggunakan pemahaman yang baru mereka peroleh untuk menghasilkan produk yang baru dan berbeda atau untuk memberikan pertunjukkan yang orisinal. (Lihat gambar 6.9). Gambar 6.9 Tipe-tipe Kegiatan Belajar Mengajak untuk Menilai
Realisasi dari fakta bahwa perbedaan tipe-tipe dari kegiatan-kegiatan belajar dapat memenuhi perbedaan fungsi-fungsi yang dapat membantu 139
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
para guru mendesain kegiatan-kegiatan belajar untuk berpikir tentang dan menyelidiki nilai-nilai dalam beragam cara. Di amat banyak ruangruang kelas, para siswa terlibat dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang sama, dengan sangat kecil variasinya. Mereka mendengar para guru berbicara; mereka membaca; mereka menulis. Bentuk-bentuk kegiatan itu, tentu, amat penting. Tetapi banyak para siswa tidak belajar dengan amat baik melalui pembicaraan dan menyalin kata, Mereka butuh dilibatkan secara lebih aktif. Untuk alasan itulah bahwa kegiatan-kegiatan lebih langsung, seperti perjalanan-perjalanan lapangan, bermain peran, komisi kerja, diskusi kelompok kecil, melakukan interviu, mengajukan dan memformulasikan pertanyaan-pertanyaan dengan mengajukan kepada juru-juru bicara dari latar-latar belakang dan kebudayaankebudayaan yang lain, menyusun, menempatkan gambar-gambar foto, bekerja dalam masyarakat, pendeknya, berbagai dan semua kegiatan melibatkan pekerjaan hal-hal sama baiknya secara pasif menerima informasi, adalah penting untuk para siswa untuk ikut serta seperti guru merencanakan untuk kegiatan di dalam kelas (dan di luar kelas) dalam mendorong untuk menilai dan inkuiri nilai. Para siswa butuh untuk belajar dari media audio-visual, dari diskusi, dari mengamati, dari interviu, dari menggunakan bagian benda-benda dan gagasan-gagasan, dari menempatkan benda-benda dan ide-ide bersama, dari menempatkan diri mereka sendiri dalam kondisi orang lain, dan dari perasaan. Ketika ia datang bersama nilai-nilai, adalah hal penting yang secara khusus bagi para guru untuk memberikan sebanyak mungkin peluang untuk para siswa agar mengusulkan berbagai alternatif (sebagai contoh, beragam kesimpulan-kesimpulan, perbandingan-perbandingan, cara-cara bertindak dan solusi-solusi terhadap problem, dan lain-lain) dan kemudian menolong mereka pengalaman konskuensikonsekuensi yang dapat menghasilkan dari memilih satu dari beberapa alternatif. Jika para guru untuk membantu untuk membantu para siswa belajar mengenai nilai-nilai (atau apapun hal lainnya). Semua dari empat dari kategori dibutuhkan untuk jadi pertimbangan dan direncanakan untuk. Mereka mungkin menjadi bagian dari rantai hierarki, dengan setiap tipe diperlukan untuk membangun sebelumnya, di atas yang lain, seperti gambar 6.10 menjelaskan.
140
Membuat Kesimpulan tentang Nilai-nilai
Gambar 6.10. Rantai dari Kegiatan-kegiatan Belajar
Amat sering, kita terlalu berkonsentrasi pada kegiatan-kegiatan yang memberikan masukan informasi (sering melibatkan para siswa dalam dua atau tiga atau bahkan lebih kegiatan pemberian masukan informasi yang mentah), walaupun melupakan atau mengurangi pengorganisasian, kesempatan-kesempatan mendemonstrasikan dan mengekspresikan. Tipe-tipe mengorganisir, mendemonstrasikan dan mengekspresikan dari kegiatan-kegiatan belajar membantu para siswa untuk memahami (membuat pengertian tentang) data dan menggunakan apa yang mereka telah pelajari dengan cara-cara yang baru dan berbeda. Ringkasnya, kegiatan-kegiatan nilai akan memberikan kesempatankesempatan bagi para siswa untuk: • Mengajukan beragam cara yang mereka akan mereaksi dalam situasi yang melibatkan orang lain (seperti melalui diskusi-diskusi dengan para siswa dan guru mengenai cara-cara untuk mereaksi; dengan mengajukan terus menerus kepada para siswa “Ada lagi yang dapat dilakukan?” atau “Ada lagi satu yang dapat dilakukan?”, dan seterusnya). • Menghasilkan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin dari tindakan baik diri mereka sendiri dan orang lain (seperti dengan mendiskusikan “Apa yang mungkin terjadi?” adalah pilihan tertentu yang dibuat atau peristiwa atau peristiwa-peristiwa yang muncul; dengan mengidentifikasi banyak orang yang mereka dapat libatkan dalam situasi tertentu dan bagaimana mereka mungkin dipengaruhi; dengan membuat diagram kemungkinan-kemungkinan inter-hubungan yang mungkin ada antar orang yang dilibatkan dalam dilema nilai dan pilihan-pilihan yang mereka mungkin buat; dan lain-lain) • Mengidentifikasi bagaimana orang lain dan diri mereka sendiri merasa dalam berbagai situasi (seperti melalui diskusi-diskusi dengan guru dan para siswa 141
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
lainnya mengenai perasaan-perasaan; melalui bermain-peran orang ditempatkan dalam situasi-situasi yang sulit dan luar biasa; melalui upaya untuk menggambarkan pernyataan-pernyataan dan sikap-sikap emosional yang berbeda, dan lain-lain) • Menempatkan peran dari orang lain (seperti melalui memainkan berbagai peran anggota dari keluarga yang membicarakan keyakinan-keyakinan, ketakutanketakutan, pekerjaan-pekerjaan, jenis-jenis olah raga, dan lain-lain; melalui bermain peran dari satu (atau beberapa) sisi suatu argumen; melalui diskusi bagaimana satu perasaan dalam situasi konflik dua kubu; melalui uraian atau diskusi apa yang akan kamu lakukan dalam situasi-situasi seperti itu; dan lain-lain) • Mengidentifikasi alternatif-alternatif bagian dari tindakan yang mungkin diikuti dalam berbagai situasi (seperti melalui menyusun daftar ragam pilihan-pilihan bahwa orang dihadapkan dengan pilihan nilai yang mungkin dipertimbangkan; melalui bermain-peran dengan cara-cara berbeda dalam memecahkan masalah; melalui penyampaian dengan dan mengajukan pilihan dari di antara sejumlah pilihan; dan lain-lain) • Menilai berbagai alternatif dari beberapa sudut pandang (yaitu, melalui berbagai diskusi [legal, ekonomis, estetis, kehati-hatian, moral, kesehatan, dan lain-lain] yang mempengaruhi tindakan yang dilakukan; melalui efek-efek dari pembuatan chart dan diagram; melalui debat pro dan kontra dari usul-usul yang disarankan; dan lain-lain) • Menaksir ramalan konsekuensi-konsekuensi dari kebijakan-kebijakan atau tindakantindakan yang diusulkan dalam arti yang mungkin sekali atau diharapkan dari kejadian mereka (seperti dengan menyusun peringkat konsekuensi dalam istilah dua kriteria; dengan menyiapkan chart-chart untuk hal itu; dengan membandingkan fan membedakan konsekuensi-konsekuensi dalam arti tidak hanya untuk akibat-akibat jangka pendek, tetapi juga untuk jangka panjang mereka, dan lain-lain) Kesimpulannya, oleh karena itu adalah penting untuk para guru guna berpikir tentang tidak hanya apa yang mereka ingin para siswa untuk pelajari, tetapi juga bagaimana para guru mengharapkan para siswa untuk mempelajarinya. Pengetahuan sendiri tidak akan mendorong para siswa untuk berpikir tentang atau mengembangkan nilai-nilai; tidak akan merubah sikapsikap; tidak akan membangun keterampilan-keterampilan analisis nilai. Tujuantujuan itu akan dicapai terutama dengan membuat para siswa menggunakan pengetahuan yang mereka dapatkan. Pada satu sisi, para siswa tidak dapat meningkatkan penalaran mereka mengenai isu-isu nilai, mengklarifikasi perasaan-perasaan mereka, atau meningkatkan keterampilan kecuali kalau 142
Membuat Kesimpulan tentang Nilai-nilai
mereka dilengkapi dengan berbagai data untuk berpikir tentang dan menggunakan. Satu yang tidak terdapat dalam realitas adalah pemisahan materi pelajaran dan kegiatan-kegiatan belajar, untuk mereka yang melakukan dari tangan ke tangan. Hal yang mesti dipikirkan dan direncanakan dengan melalui para guru yang ingin untuk membantu para siswa menggali dan berpikir tentang nilai-nilai dalam ruang-ruang kelas mereka. 1. Lihat kategori-kategori dari kegiatan-kegiatan belajar dalam gambar 5.8. Tambahan hasil-hasil apakah (jika ada) di samping perilaku-perilaku, produkpoduk, atau pengalaman-pengalaman yang mungkin para guru berminat untuk mengembangkan nilai-nilai yang mau untuk menolong para siswa capai? 2. Lihat fungsi kategorisasi dari kegiatan-kegiatan belajat dalam gambar 5-9. Kegiatan-kegiatan lain apakah yang akan kamu sarankan dalam setiap kategori? Kategori-kategori lain apakah (apakah masukan informasi, organisasi, demonstratif, ekspresif lain), jika ada, dapatkah kamu sarankan?
G. Menggali Perasaan-perasaan Seperti dikemukakan dalam bab II, nilai-nilai tidak hanya ide-ide; mereka juga komitmen-komitmen emosional. Nilai berisi komponen “perasaanperasaan” yang amat kuat. Orang memiliki perasaan-perasaan amat kuat terhadap benda-benda yang mereka nilai. Dalam bab terdahulu kita pertimbangkan beberapa strategi-strategi yang didesain untuk membantu para siswa mengindentifikasi, membanding, dan membedakan nilai-nilai orang. Banyak nilai-nilai yang para siswa akan identifikasi, yang akan berbeda dari yang mereka miliki. Oleh karena itu, jika para siswa dibantu, tidak hanya untuk mengidentifikasi nilai-nilai orang lain, tetapi juga untuk mengerti mengapa mereka berbeda dengan nilai-nilai yang mereka miliki sendiri, para guru akan butuh untuk meningkatkan kepekaan siswa terhadap bagaimana orang lain merasa dalam berbagai situasi. Bagaimana itu dapat dilakukan? Untuk meningkatkan kepekaan siswa terhadap perasaan-perasaan dari orang-orang lain, mereka akan dilengkapi dengan kesempatan-kesempatan untuk berbicara tentang perasaan-perasaan, untuk mengidentifikasi dengan perasaan-perasaan dari orang lain, dan untuk memberikan reaksi secara emosional dari diri mereka sendiri. Para guru akan mendorong dan membantu 143
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
para siswa untuk berpartisipasi dalam pengalaman-pengalaman yang membolehkan mereka merasakan beberapa bentuk-bentuk yang berbeda dari emosi-emosi, untuk masuk dalam kontak dengan beberapa orang berbeda (secara langsung atau seolah-olah mengalami), untuk melakukan hal-hal yang berbeda, dan kemudian untuk membagi persepsi-persepsi mereka dari dan perasaan-perasaan mengenai berbagai pengalaman. Pengalaman-pengalaman khusus bagi para siswa untuk turut serta akan selalu tergantung pada tingkattingkat pengalaman mereka dan analisis guru terhadap tipe pengalaman yang pantas terhadap kebutuhan-kebutuhan dan kemampuan-kemampuan mereka. Beberapa contoh dari bentuk-bentuk pengalaman saya yang ada dalam pikiran sebagai berikut: 1. Bertamu ke rumah orang jompo 2. Menggunakan jalan di pantai kotor 3. Memberikan seseorang bunga setiap hari untuk seminggu 4. Melewatkan hari dengan kursi roda atau tongkat penyokong 5. Mengadakan survai dari pintu ke pintu secara random pada sejumlah rumah di lingkunganmu seperti apakah penghuni-penghuni merasa salah (atau benar) dengan komunitasmu 6. Bekerja dalam kampanye politik 7. Membandingkan harga-harga untuk item-item makanan yang sama pada toko-toko berbeda. 8. Mendengarkan pita rekaman dari pidato Dr.Martin Luther King. Jr, “Saya punya mimpi” 9. Mencoba pergi tanpa makanan untuk sehari penuh. 10. Bicara dengan orang buta mengenai apa yang disukai untuk menjadi buta. 11. Melewatkan hari dengan pimpinan polisi 12. Mengamati tawar menawar penjualan pada bagian toko yang ramai. 13. Membawa anak-anak muda ke kebun binatang. 14. Tersenyum pada setiap orang yang bertemu selama satu seminggu. 15. Mencoba tidak berbicara sehari penuh. 16. Meminta pecandu alkohol untuk berbicara di kelas tentang mengapa ia minuman keras. 17. Para sukarelawan kadang-kadang membantu pasien yang sakit mental di rumah sakit. 144
Membuat Kesimpulan tentang Nilai-nilai
18. Berunding dengan siswa tentang aturan mengenai hak-hak mereka dengan kepala sekolahmu. 19. Berbicara dengan beberapa orang yang lebih tua setiap hari selama seminggu. 20. Ajak ibu (atau ayah) mu untuk berjalan 21. Interviu anggota-anggota dari A.S.P.C.A seperti seberapa banyak hewan-hewan yang tidak dikehendaki, mereka harus menentukan tahun dan bagaimana mereka melakukannya. 22. Mendengarkan Isaac Stern memainkan biola. 23. Tulis puisi tentang cinta. Setelah para siswa berpartisipasi dalam pengalaman yang serupa untuk hal-hal di atas, mereka akan mendorong (tentu bukan disyaratkan) untuk berbicara tentang bagaimana mereka merasakan dan mengapa. Hal itu dapat membantu mereka untuk mewujudkan perbedaan-perbedaan dalam nilai-nilai dan perasaan-perasaan yang orang miliki. Aturan yang berguna dari membaca sepintas di sini adalah untuk diteruskan sebagai berikut: • Menanyakan fakta-fakta. • Menanyakan kesimpulan-kesimpulan tentang alasan-alasan. • Menanyakan kesimpulan-kesimpulan tentang perasaan-perasaan. • Memeriksa kesamaan dan perbedaan perasaan-perasaan. • Menanyakan kesimpulan-kesimpulan. Di sini adalah contoh serangkaian pertanyaan-pertanyaan yang disusun untuk dilakukan: 1. Apakah yang kamu lakukan? (Kemanakah kamu pergi, apa yang terjadi dengan kamu, dan seterusnya) 2. Bagaimana yang kamu rasakan? 3. Apakah orang lain merasakan cara itu? 4. Setelah mendengar pengalaman-pengalaman yang orang miliki, apakah yang dapat kamu katakan tentang orang dan bagaimana mereka merasa dalam situasi seperti itu? Pertanyaan 1 meminta para siswa menguraikan situasi di mana mereka terlibat dan apa yang mereka lakukan. Pertanyaan 2 meminta mereka untuk menghubungkan perasaan-perasaan mereka, reaksi-reaksi emosional terhadap apa yang mereka alami. Pertanyaan 3 membolehkan 145
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
para siswa (kita berharap) untuk mewujudkan bahwa banyak orang mungkin merasa hal-hal yang cukup berbeda, tetapi juga bahwa beberapa sering merasa cukup sama dengan cara yang mereka lakukan. Pertanyaan 4 kemudian meminta para siswa untuk menggambarkan kesimpulan-kesimpulan mengenai perasaan-perasaan orang. Asumsi yang mendasari beberapa kegiatan-kegiatan dan pertanyaanpertanyaan adalah dengan membentuk dan membandingkan kesimpulankesimpulan tentang perasaan-perasaan diri mereka sendiri dan orang-orang lain, para siswa akan menjadi lebih sadar terhadap kesamaan-kesamaan antara perasaan-perasaan orang dalam berbagai situasi. Para siswa akan menjadi lebih baik dalam kemampuan memahami bagaimana dan mengapa orang merasa dan bertindak seperti yang mereka lakukan. Bermain Peran Cara yang lain untuk menolong para siswa menggali perasaan-perasaan adalah melibatkan mereka dalam bermain peran. Bermain-peran menghendaki para siswa untuk melakukan peran-peran orang secara khayal atau nyata dalam berbagai situasi di mana perasaan-perasaan dan nilainilai mereka menarik dimainkan. Peristiwa-peristiwa nilai dan dilema-dilema nilai memberikan banyak kesempatan-kesempatan untuk bermain-peran, dan contoh-contoh dari peristiwa-peristiwa nilai dan dilema-dilema nilai telah dikemukakan pada halaman-halaman terdahulu. Bermain-peran secara khusus berguna dalam membantu para siswa untuk menjadi sadar terhadap bagaimana orang yang dihilangkan, didiskriminasi pada, diperlakukan dengan kejam, atau ditindas perasaaan. Pertimbangan beberapa contoh: • Kamu pemilik toko kecil dalam lingkungan yang sangat miskin. Kamu baru saja menangkap anak laki-laki yang berusia 10 tahun yang berupaya mencuri beberapa gula-gula dari tokomu. Kamu tahu ibunya sejahtera. Apa yang kamu lakukan? • Kamu tinggal dalam masyarakat kecil yang baru-baru ini diminta untuk berintegrasi dengan sekolah-sekolah. Kamu dengan keras menentang dengan menggunakan bis sebagai cara untuk menyelesaikan integrasi itu. Sejumlah teman-temanmu memberitahumu bahwa mereka berencana untuk mengganggu penumpang bis dari anak-anak sekolah dasar dengan cara mereka ke sekolah besok untuk memprotes penggunaan bis, Mereka mengusulkan bahwa mereka berharap kamu bersama dengan mereka. Apa yang kamu lakukan? • Kamu seorang pilot Amerika di Vietnam. Kelompok pesawat udaramu telah menerima perintah untuk membom wilayah diameter 5 mil pada hari berikutnya 146
Membuat Kesimpulan tentang Nilai-nilai
supaya mendukung serangan infantri. Kamu mengetahui bahwa tiga desa dalam wilayah itu terdapat seratus penduduk sipil Vietnam tinggal. Apa yang kamu lakukan? • Kamu adalah penjaga penjara di penjara negara. Para tahanan dalam kurungan terpencil dan tidak dibolehkan untuk memiliki buku-buku atau majalah-majalah dalam sel mereka atau untuk berbicara dengan siapapun selama masa hukuman. Seorang tahanan dengan siapa yang kamu sebelumnya bersahabat meminta kamu untuk memberikannya buku secara rahasia. Apa yang kamu lakukan? • Kamu adalah seorang reporter dari surat kabat kota yang besar. Kamu telah menemukan bahwa teman-temanmu yang amat dekat dan sangat dipercaya memiliki laporan hotel di wilayah yang paling buruk di kota dan bahwa harga para pensiunan dan orang yang berusia lanjut yang menginap di sana melebihi harga yang biasa. Apa kamu yang dilakukan? Shaftel dan Shaftel (1967: 84) bahwa bermain-peran melibatkan langkah-langkah berikut: 1. Pemanasan (guru mengenalkan dan menyampaikan dilema-dilema untuk diperankan). Dilema, dalam bentuk cetak, visual, lisan, atau dengar, disampaikan pada kelas untuk saat yang tepat, keputusan harus dibuat. Guru (atau penanya) kemudian mengajukan kepada kelas: “Apa yang kamu pikir (tokoh utama) akan (atau mungkin) lakukan? 2. Memilih para pemain peran (memilih para siswa untuk melukiskan berbagai peran dalam dilema). Para siswa yang mengidentifikasi berbagai karakter dalam dilema-dilema akan diminta untuk berasumsi tentang peran-peran mereka. Jika diperlukan, para relawan akan diminta untuk memainkan mereka. Shaftel (1967:76) menyarankan para siswa yang secara sukarela untuk peran-peran sebagai orang-orang lain tidak akan ditempatkan untuk peran-peran itu, karena alasan-alasan di belakang mungkin untuk menghukum. Sebagai tambahan, disarankan para siswa mungkin tidak melihat dirinya sendiri dalam peran itu. 3. Menyiapkan kelas yang tenang untuk diobservasi. Untuk membantu para siswa lain dalam kondisi awal untuk bermain-peran, mereka dapat ditempatkan pada tugas-tugas pengamat yang berbeda. Mereka dapat diminta untuk menilai bahwa kenyataan peran yang dimainkan dan secara khusus berpikir tentang bagaimana karakter-karakter yang digambarkan dirasa sebagai kemajuan peran yang dimainkan. 4. Menata tahapan. Kadang-kadang melibatkan para pemain peran untuk merencanakan secara ringkas apa yang akan mereka lakukan dan 147
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
bagaimana mereka akan lakukan. Para guru juga akan memeriksa untuk meyakinkan bahwa materi-materi yang diperlukan atau alat-alat (biasanya sesuatu yang amat sederhana, seperti meja-meja, kursi, sejumlah kecil peralatan) yang tersedia. 5. Beritahu para siswa yang memutuskan peran-peran yang mereka pilih. Shaftels mengemukakan bahwa para pemain peran akan diingatkan bahwa mereka bukan disalahkan atau dipuji terhadap peran-peran mereka. Para siswa bukan dievaluasi terhadap kemampuan peran mereka. Tujuan utama dari bermain peran adalah untuk membantu para siswa memperoleh berbagai pemahaman ke dalam perasaanperasaan dan nilai-nilai dari orang lain. 6. Diskusi dan Evaluasi. Bagian dari tahapan tanya-jawab di mana guru dan kelas mendiskusikan apa yang terjadi, bagaimana kenyataan peran yang dimainkan, dan bagaimana kemungkinan konsekuensi-konsekuensi dari hal itu seperti yang digambarkan sesungguhnya akan muncul. 7. Pemberitahuan selanjutnya. Tahap ini memberikan kesempatan untuk para pemain untuk melakukan kembali dilema atau untuk itu dimainkan kembali dengan siswa-siswa yang berebda dari peran-peran itu. 8. Diskusi selanjutnya. Sekali lagi, bermain peran akan didiskusikan dengan kelas mendiskusikan pemberitahuan-pemberitahuan baru, merubah hasil yang dibuat dari dilema, bagaimana sesungguhnya itu terjadi, dan seterusnya. 9. Generalisasi. Guru meminta kelas meminta kelas melukiskan beberapa kesimpulan tentang apa yang mereka amati dan rasakan dan kemudian mendiskusikan kesimpulan-kesimpulan mereka. Beberapa bentuk pertanyaan yang dibungkus seperti, “Mengapa kamu berpikir orang ditempatkan dalam situasi-situasi seperti cara yang dilakukan mereka?” atau “Bagaimana orang dalam jenis situasi-situasi itu merasa dan mengapa?” dapat cukup membantu. Walaupun kita mungkin tidak menyetujui perasaan-perasaan siswa, kita harus menerima siswa sebagai orang yang peka dan berguna jika kita untuk membantunya mengerti dan menerima kenyataan bahwa perbedaan bentuk-bentuk dari perasaan-perasaan dapat dialami dalam situasi-situasi yang sama atau serupa. Ini dapat dilakukan dalam sejumlah cara. Guru dapat mendengarkan dengan hati-hati dan merespon dalam bentuk yang tidak menilai (seperti dengan mengangguk atau berkata, “Saya mengerti”). 148
Membuat Kesimpulan tentang Nilai-nilai
Guru dapat mengulangi kembali apa yang dikatakan siswa sementara menunjukkan bahwa ia mengerti apa yang siswa coba ungkapkan (sebagai contoh, “Kamu tadi berkata kamu merasa tidak nyaman ketika kamu pindah ke kota yang baru dan mulai menjadi siswa baru tahun ini di SMA jauh dari semua teman-teman yang lama. Saya dapat mengerti bentuk perasaan itu”). Guru dapat memperkuat perasaan yang siswa curahkan (“Saya mengetahui apa yang kamu maksud, Paula: Saya merasa itu sebagai kesimpulan saya sendiri”). Kadang-kadang para guru dan orang dewasa berupaya untuk menyampaikan kepada para siswa bagaimana mereka sebaiknya merasa dan mereaksi terhadap pengalaman tertentu, seperti yang ilustrasi dialog berikut: Guru : Sekarang saya ingin kamu mendengarkan beberapa dari Stravinsky. Kamu akan menemukan banyak sekali keindahan dari pada Sibelius. (Guru memainkan “Rite of Spring”) Guru : Seperti kamu dengar, Stravinsky banyak sekali kekuatan, ia memberikan kamu lebih banyak perasaan Siswa : Saya memperoleh lebih banyak perasaan dari Sibelius Guru : Dari Sibelius? Siswa : Ya, saya lebih menyukainya. Ia membuat saya merasa bergairah di dalam Guru : Baiklah, itu tidak berguna. Musiknya bukan seperti bersemangat, atau menantang Siswa : Baiklah, saya masih menyukai Sibelius. Faktanya, saya tidak menyukai semuanya dari Stravinsky Guru : Baiklah, itu tidak benar. Dan George, ketika saya minta kamu manakah musik yang lebih bersemangat dalam ujian, jawaban yang benar adalah Stravinsky Ini mungkin yang agak melebih-lebihkan, tetapi itu bukan hal yang apakah mungkin terjadi jika para guru tidak hati-hati. Hal yang ditekankan di sini adalah ketika sampai pada perasaan-perasaan, guru harus mencoba untuk tidak menilai. Apa yang mereka coba untuk melakukan, adalah untuk mengikutsertakan para siswa dalam beragam pengalaman yang kaya, sehingga mereka secara terus menerus memperluas kesadaran dan pengertian terhadap perasaan-perasaan dari orang lain. 149
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
1. Apakah beberapa bentuk perasaan para guru tidak akan diselidiki oleh siswa? Mengapa? Akankah perasaan-perasaan siswa didiskusikan oleh guru dalam kelas? Mengapa ya mengapa tidak? 2. Akankah para siswa didorong untuk mendiskusikan bagaimana para guru mungkin merasa dalam berbagai situasi? Mengapa ya atau mengapa tidak? 3. Banyak orang merasa tidak nyaman ketika diminta untuk berbicara mengenai perasaan-perasaan mereka. Bagaimana kamu akan menjelaskan itu? 4. Akankah para guru pernah menunjukkan setuju atau tidak setuju dari perasaanperasaan? Mengapa ya atau mengapa tidak? Apakah jika perasaan-perasaan itu adalah dalam bentuk antidemokratis atau prasangka?
H. Latihan-latihan 1. Ini beberapa pernyataan-pernyataan rasional yang diusulkan untuk mengajar nilai-nilai di sekolah-sekolah. Berapa jumlahnya, jika beberapa, apakah kamu pikir dapat dibenarkan? Ada yang lain yang akan kamu tambahkan? a. Para siswa akan belajar apa yang benar dan pantas. b. Karena tidak ada cara untuk menolak untuk mengajarkannya. c. Sebab itu akan menolong mereka memperjelas apa yang menjadi nilai mereka sendiri. d. Karena itu akan membantu mereka untuk memahami orang lain secara lebih utuh. e. Sebab para guru mempunyai tanggung jawab profesional untuk melakukannya. f. Supaya menolong para siswa menyadari secara jujur bahwa lakilaki dan perempuan logis berbeda dalam pandangan-pandangan mereka terhadap apa yang dianggap penting dalam kehidupan. 2. Kategori manakah dari kolom A (Fakta, Definisi, atau Kesimpulan) yang akan kamu empat pada pertanyaan-pertanyaan dalam Kolom B? Mengapa?
150
Membuat Kesimpulan tentang Nilai-nilai
3. Ini adalah kutipan dari teks hipotetis dari pemerintah Amerika yang serupa digunakan di banyak sekolah di seluruh Amerika Serikat Di awal tahun 1972, Kongres mengirim kepada 50 negara yang mengusulkan Amandemen ke 27, yaitu “amandemen hak-hak wanita” untuk diratifikasi. Amandemen ini melarang diskriminasi oleh pemerintah Federal dan negaranegara bagian dalam masalah jenis kelamin. Walaupun amandemen itu lolos dari Majelis dengan 16 suara saja, dan 83 senator membantu mendukung terhadap amandemen itu, beberapa penentang terhadap amandemen yang berargumentasi bahwa itu merupakan hukum yang tidak diperlukan. Mereka mengemukakan bahwa penghapusan hukum yang mendiskriminasikan terhadap wanita yang terbaik dapat dilakukan dengan mengujinya di pengadilan-pengadilan berdasar kasus per kasus. Tulis pertanyaan dalam setiap kategori-kategori di bawah, pertanyaanpertanyaan secara khusus mengacu pada kutipan di atas. Pertanyaan diajukan untuk fakta: —————————————————————————— Pertanyaan diajukan untuk definisi: —————————————————————————— Pertanyaan diajukan untuk kesimpulan: —————————————————————————— 4. Ini membantu berpikir tentang urutan atau rangkaian untuk mengajukan pertanyaan. Satu saran adalah bahwa pertanyaan-pertanyaan tipe fakta akan mendahului pertanyaan-pertanyaan tipe kesimpulan dan pertanyaanpertanyaan tipe definisi akan diajukan kapanpun muncul kebutuhan (seperti, kapanpun arti dari satu istilah yang tidak jelas yang menghambat diskusi). Untuk membuat rangkaian pertanyaan dapat dipahami, pertanyaanpertanyaan mesti diajukan dengan memperhatikan tujuan yang jelas. Dengan rangkaian pertanyaan di atas, bagaimana kamu akan menyusun 151
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
pertanyaan di bawah? Mengapa? (Para siswa lebih dahulu diminta membaca dua kondisi kehidupan budak selama tahun 1850, satu tentang kehidupan di perkebunan Mississippi, dan satu kehidupan di perkebunan di Alabama) a. Dalam cara-cara apakah kehidupan Jenny dan Millie berbeda? b. Mengapa Millie diperlakukan demikian? c. Dalam kondisi apakah kehidupan yang dialami Jenny? d. Bagaimana kamu menjelaskan persamaan-persamaan mereka? e. Bagaimana kesamaan kehidupan Millie dan Jenny? f. Dalam kondisi apakah kehidupan Millie? g. Mengapa Jenny diperlakukan demikian? h. Bagaimana kamu menjelaskan perbedaan-perbedaan mereka? 5. Ujicobalah beberapa prosedur yang diuraikan dalam bab ini. Kesulitankesulitan apa yang kamu temukan? Apakah kamu akan merubah langkahlangkah yang dikemukakan. Jika begitu, bagamana? 6. Ujicoba beberapa strategi yang diuraikan dalam bab ini pada para siswa SD dan SMP, gunakan langkah-langkah. Hambatan-hambatan apa saja yang kamu alami? Apakah kamu akan merubah langkah-langkah yang disampaikan? Jika begitu, bagaimana? 7. Lakukan beberapa bermain peran dari dilema nilai dan/atau kejadiankejadian nilai buku ini, gunakan langkah-langkah yang telah diuraikan. Apakah kamu akan merubah urutan dari beberapa langkah yang digunakan? Jika begitu, bagaimana? Tambahan apa yang kamu rekomendasikan terhadap langkah-langkah itu? Mengapa ya dan mengapa tidak? 8. Seberapa efektifkah, dibandingkan dengan film-film, kisah-kisah dan lainlain, apakah kamu akan menilai bermain peran adalah cara yang mewakili para siswa dengan kejadian-kejadian nilai? Cara manakah yang kamu akan katakan lebih efektif – secara visual (film-film dan potongan-potong film); secara lisan (kisah-kisah yang disampaikan melalui pita rekaman, rekaman atau melalui suara); atau dalam tulisan (yang minta untuk membaca kejadian-kejadian nilai)? Mengapa? 9. Berikut sejumlah kegiatan dari orang yang berbeda yang menyatakan dapat digunakan untuk melibatkan para siswa dalam menilai. Masuk kategori manakah (kelompok, organisasi, demonstratif, atau ekspresif) yang akan kamu tempatkan? Mengapa?
152
Membuat Kesimpulan tentang Nilai-nilai
a. b. c. d.
Menyusun lagu tentang suatu perasaan Memainkan peranan sebuah kejadian nilai-nilai Memainkan permainan simulasi nilai-nilai Survei sampel dari satu komunitas yang berkaitan dengan apa yang mereka sukai atau tidak sukai tentang politisi. e. Membaca Profile in Courage John F. Kennedy f. Menyusun gambaran posisi seseorang seperti yang dinyatakan dalam pidato “moralitas dalam pemerintahan” g. Menonton sebuah film kepahlawanan. h. Mendiskusikan nilai-nilai dari individu-individu yang tergambar dalam berbagai program televisi i. Menyiapkan daftar pertanyaan-pertanyaaan yang diajukan pembicara tamu untuk menambah beberapa ide yang pembicara anggap penting. 10. Lihat pada setiap kegiatan-kegiatan yang dikemukakan dalam gambar 5.8. Masuk kategori apakah (kelompok, organisasi, demonstratif atau ekspresi) yang akan kamu tempatkan?
KEPUSTAKAAN Fraenkel, Jack R. (1977). How to Teach About Values: An Analytic Approach. Englewood Cliffs.N.J: Prentice-Hall Shaftel, Fannie.R and Shaftel, George. (1967). Role-Playing for Social Values: Decision-Making in the Social Studies. Englewood Cliffs.N.J: Prentice-Hall. Shaver, Janes P and Strong, William. (1976). Facing Value Decisions: Rationale-Building for Teachers. Belmont. Calif: Wadsworth Publishing Co.
153
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
154
BAB VII AN ALISIS NILAI-NILAI ANALISIS
Kita melihat dalam bab III bahwa beberapa pernyataan orang yang dapat memberikan petunjuk tentang apa yang mereka nilai. Pernyataan-pernyataan yang mengemukakan bahwa orang menyukai, apakah sesuatu itu berharga, atau apakah yang akan dilakukan setelah ditentukan keputusan nilai. Para siswa secara teratur melakukan bermacam-macam pertimbangan baik di dalam kelas maupun di luar. Jadi, membantu mereka untuk menganalisa dan memperhitungkan setiap pernyataan benar-benar akan menguntungkan. Ketika pertimbangan-pertimbangan nilai dilakukan dengan alasan-alasan, maka belajar mencari dan memperhitungkan alasan-alasan dapat membantu para siswa memutuskan, jika pertimbangan-pertimbangan tertentu dapat dibuatnya sendiri.
A. Analisis Pertimbangan-pertimbangan Nilai Sebagaimana dijelaskan di bagian terdahulu, pertimbangan dapat dilihat dalam berbagai bentuk. Beberapa mungkin mengindikasikan dari perasaan pribadi (misalnya, “Saya suka sekali mendengarkan konser simponi”). Tipe pertimbangan nilai ini dapat dianalisis melalui pekerjaan kecil yang rutin dilakukan detektif. Kita butuh mengamati pembicara atau memperoleh beberapa laporan yang dapat dipercaya dari perilakunya sepanjang waktu. Apakah ia benar-benar pergi menonton konser simponi? Benarkah laporanlaporan tentang kehadirannya pada konser simponi? Benarkah ia mendengarkan konsep simponi dari radio atau televisi bila itu memungkinkan? Beberapa pertimbangan nilai adalah pernyataan-pernyataan tegas bahwa objek tertentu atau kelas dari objek yang akan memberikan harga tertentu dalam suatu pasar (misalnya, “Lukisan itu bernilai $ 1.500 dengan harga yang tidak kurang dari beberapa pedagang seni yang punya nama baik di negara itu”). Tipe pertimbangan nilai dapat diuji kembali secara mudah dengan mendatangi 155
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
(atau bahkan menelpon) pedagang seni profesional yang punya nama baik. Sebagaimana dijelaskan di bagian terdahulu, dua jenis pertimbangan nilai sebenarnya merupakan pertimbangan fakta yang tersembunyi. Pertimbangan-pertimbangan nilai yang lain adalah pernyataan-pernyataan tegas yang lebih umum mengenai kualitas atau keberhargaan tentang sesuatu (misalnya, Eleanor Roosevelt adalah manusia besar”). Kita mungkin menyebutnya tipe ini pertimbangan nilai definisional. Pertimbangan yang lain masih menunjukkan bahwa beberapa orang atau kelompok akan melakukan hal tertentu atau mengikuti bagian tertentu dari suatu perilaku (misal, “Amerika Serikat akan menghentikan pemberian beberapa bantuan apapun terhadap para diktator”). Kita menyebut tipe ini adalah pertimbangan nilai proposisional. Ketidaksepakatan terbesar dari pada nilai-nilai berkisar di antara satu dari dua tipe pertimbangan nilai, definisional atau proposisional. Bagaimana kita dapat menolong para siswa untuk menganalisanya? Jika individu-individu untuk menaksir nilai definisi dengan mengemukakan secara cerdas, mereka pertama harus jelas tentang apa arti yang dikemukakan. Sebagai contoh, jika seseorang berkata bahwa Joanna adalah pekerja yang baik sekali, kita butuh untuk mengetahui bahwa arti dari istilah baik sekali (artinya, apa kualitas-kualitas, keterampilan-keterampilan, dan lain-lain dari yang dimiliki pekerja yang baik sekali) sebelum kita dapat menaksir pekerjaan Joanna. Bagaimana kita dapat menjelaskan pekerja yang baik sekali dari seseorang yang hanya begitu-begitu saja? Apakah karakteristik seorang pekerja yang baik sekali, tidak dipunyai oleh pekerja yang miskin atau sedang-sedang? Tugas guru di sini adalah membantu para siswa mendefinisikan istilah dan kemudian meminta kelas untuk mempertimbangkan apakah individu yang dilibatkan (Joanna) layak untuk definisi itu – yakni memiliki karakteristikkarakteristik sebagai pekerja yang baik sekali. Banyak perselisihan nilai muncul karena orang berbeda dalam mengartikannya dalam pikiran untuk istilah-istilah nilai yang mereka gunakan. Sebagai contoh, dukungan para siswa terhadap pernyataan bahwa Eleanor Rooselevelt sebagai manusia besar. Jika kelas mendiskusikan dan menilai dengan pertimbangan nilai itu, istilah “besar” harus didefinisikan. Karakteristikkarakteristik apakah yang dimiliki manusia besar itu? Tugas guru adalah mendorong dan membantu para siswa untuk mendefinisikan istilah nilai dan kemudian untuk menolong mereka memutuskan apakah orang tertentu yang dibahas dalam situasi tersebut (dalam kasus ini, Eleanor Rooselevelt) akan termasuk dalam definisi – yakni, akan memiliki karakteristik-karakteristik itu. 156
Analisis Nilai-nilai
Masalahnya di sini, kamu dapat menduga, berbohong dalam mencapai kesepakatan definisi dari besar. Dengan kata lain, karena itu bersifat abstrak, adalah amat sulit untuk meletakkan dalam arti yang tepat sekali. Bagaimanapun, para guru harus mendorong dan membantu para siswa untuk berupaya memberikan arti dengan beberapa alternatif agar menjadi lebih jelas. Siswa mungkin mendefinisikan istilah besar dengan cara-cara berbeda. Ia mungkin menterjemahkannya dalam istilah-istilah yang lebih muda dipahami (sebagai contoh, besar berarti “terkenal”, “termasyhur di seluruh dunia”). Ia mungkin memberikan satu atau beberapa contoh dari beberapa orang dan/ atau perilaku-perilaku mereka yang dianggap besar, menunjukkan karakteristikkarakteristik atau atribut-atribut yang mereka miliki yang membuat mereka besar. Berikut ilustrasi dari guru yang meminta siswa memberikan contoh untuk mengklarifikasi/menjelaskan arti dari suatu istilah: Siswa : Malcolm X pesolek cantik yang tenang Guru : Apa yang kamu maksud dengan “tenang” Siswa : Bapa tahu, maksudnya jelek Guru : Hmm, Dapatkah kamu memberikan kepada kita contoh yang menggambarkan apa yang kamu maksud? Bentuk-bentuk apakah dari hal-hal yang Malcolm X lakukan yang membuat kamu berpikir bahwa ia tenang atau jelek? Siswa : Baiklah, ia baik dengan memperhatikan bagaimana orang hidup agar menjaga kehormatan diri mereka. Dan mencoba untuk hidup dengan cara itu juga Guru : Dan apakah cara itu? Siswa : Tidak untuk melakukan sesuatu jika itu menjatuhkanmu... Banyak karakteristik yang siswa dapat identifikasi, yang lebih baik, karena itu akan menjadi lebih mudah untuk menentukan tingkat mana diberikan kepada individu yang pantas menerima label yang dikemukakan dalam pertanyaan. Jadi, kemungkinan terbesar memberikan atribut kepada seseorang yang (a) mempunyai jabatan tinggi (istilah ini juga akan didefinisikan), (b) diakui untuk prestasi tinggi dalam lapangannya, (c) sumbangannya terhadap kemajuan umat manusia. Sesuai dengan definisi itu, seseorang yang memenuhi ketiga kriteria itu dianggap sebagai “besar”. Newmann dan Oliver (1970: 53-54) menyatakan tiga atribut yang dapat digunakan sebagai panduan dalam menentukan, jika definisi tertentu dianggap memadai: 157
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
1. Ia menjadi nonsirkular (tidak berujungpangkal); tidak akan berisi bahasa yang sama atau hanya berbeda secara tipis dari istilah yang didefinisikan (misalnya, mendefinisikan demokrasi sebagai “negara dengan pemerintahan demokratis”) 2. Ia menjadi pertukaran; istilah didefinisikan dengan definisi yang “sama” (misalnya, definisi budak sebagai “manusia yang dimiliki secara legal oleh orang lain” adalah sama benar ketika dibalikkan. 3. Ia menjadi menjadi cukup tepat untuk berbeda di antara sejumlah contoh yang berbeda dengan cara-cara yang tidak kentara. Bagaimanapun, ketika siswa mendefinisikan istilah, adalah sungguh mungkin bahwa para siswa lain akan tidak sepakat dengan definisi itu. Ketika itu terjadi, para memiliki dua kemungkinan alternatif. Kemungkinan pertama adalah meminta kelas untuk mencari di kamus. Kedua adalah kepada para partisipan yang sepakat di antara mereka sendiri bahwa arti dari istilah yang serupa itu dan serupa itu seperti dalam contoh (meskipun tidak diperlukan melampaui contoh itu) jadi bahwa diskusi mungkin diteruskan. Jika para siswa tidak dapat untuk menyepakati terhadap ketentuan, kelas akan tidak mempunyai sumber, tetapi “sepakat untuk tidak sepakat” demi waktu yang berjalan dan untuk melanjutkan mencari arti-arti terhadap apa yang mereka dapat sepakati. Jika para siswa menilai pertimbangan nilai proposisional secara cerdas, mereka harus bukan hanya memperjelas tentang istilah-istilah nilai yang digunakan. Mereka juga harus memikirkan apa yang mungkin terjadi, jika proposisi itu menjadi kenyataan. Andaikata, sebagai contoh, bahwa selama diskusi kelas tentang politik internasional, siswa menyatakan bahwa memiliki alat-alat perang oleh negara-negara kebangsaan akan dibatasi dalam senjatasenjata skala kecil. Para siswa lain tidak sepakat, berargumentasi bahwa bangsabangsa yang mampu membuatnya dan/atau sebaliknya menghasilkan alatalat perang yang lebih berat diberi nama sebagai toko bangunan besar dan kuat dari alat-alat persenjataan sebagai yang mereka inginkan. Membantu para siswa untuk memahami secara khusus terhadap tuntutan-tuntutan dan yang dihadilkan dari berbagai kesimpulan yang dapat dipertahankan dari ketentuanketentuan dari mereka sendiri, bahwa guru mengikutsertakan mereka dalam beberapa kegiatan. Istilah atau istilah-istilah nilai harus didefinisikan, dan konsekuensi-konsekuensi bahwa mungkin dihasilkan dari usulan-usulan harus diidentifikasi dan dievaluasi. 158
Analisis Nilai-nilai
Pertama, problem untuk mendefinisikan istilah nilai. Terdapat dua hal yang mungkin guru lakukan. Ia dapat meminta contoh-contoh untuk apa yang siswa artikan dengan senjata “skala kecil”. Hal itu sering membantu para guru untuk mengemukakan contoh-contoh yang membantu para siswa memperjelas apa yang ia artikan untuk dirinya sendiri dan untuk kelas. Apakah istilah itu termasuk apapun yang lebih luas dari senapan mesin? Apakah mengenai senjatasenjata itu termasuk kendaraan seperti tank-tank? Bagaimana mengenai kapalkapal selam? Alat-alat pengangkut udara? Pesawat pembom? Granat-granat tangan? Roket-roket nuklir senjata kecil? Atau, guru dapat juga meminta para siswa untuk mendefinisikan karakteristik-karakteristik senjata skala kecil (dapatkah beberapa senjata yang menjatuhkan bom-bom yang dianggap “skala kecil”). Ketika arti dari istilah nilai jelas (sedikitnya untuk tujuan-tujuan dari diskusi yang dilakukan), konsekuensi-konsekuensi harus diselidiki. Kemungkinan apakah yang terjadi jika kebijakan seperti itu sebagai suatu yang dibela adalah diikuti? Apakah beberapa contoh dari bangsa-bangsa yang dilucuti senjata meluas hingga pada masa lalu? Jika demikian, apakah yang terjadi pada mereka? Ini merupakan pertanyaan-pertanyaan tipe faktual, dan mereka menghendaki para siswa melakukan beberapa penelitian untuk melihat apa yang mereka temukan. Catatan-catatan bersejarah, dokumen-dokumen, foto-foto, laporan-laporan pandangan mata, laporan-laporan surat kabar, catatan harian, jurnal-jurnal – seluruh hal yang menguntungkan. Sebagai informasi yang banyak relevan dan didokumentasi adalah akan mungkin dikumpulkan. Seluruh data yang diupayakan sebagai bukti untuk mendukung atau menolak adalah konsekuensi yang mungkin akan muncul, kemudian harus diperiksa untuk relevansi dan akurasinya. Kita menentukan relevansi data melalui pemeriksaan untuk melihat, jika mereka mengacu pada konsekuensi tertentu yang dipikirkan. Kita memeriksa akurasi data dengan menentukan jika apa yang disampaikan atau diacu adalah benar – yaitu, tidak salah, palsu, atau dirobah dengan berbagai cara. Ketika para siswa tidak mampu menemukan kesamaan secara historis, para guru harus mendorong kelas untuk mencari jalan keluar apa yang mungkin terjadi. Contoh kita sebelumnya, akankah negara-negara yang dilucuti senjatanya dalam berbagai hal diuntungkan? Jika demikian, bagaimana?Apakah negara-negara yang tidak dilucuti senjata – mereka tidak akan dapat dan tidak mungkin untuk mengambil keuntungan dari negara yang lain? Siapa yang akan 159
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
melihat terhadapnya bahwa pembatasan senjata sebenarnya sudah pada tempatnya? Bentuk-bentuk biaya apakah yang dikeluarkan? Apa kemungkinan akibat dari pembatasan senjata terhadap orang di masa depan? Kemungkinan besar para siswa memprediksi konsekuensi tergantung pada kecendrungan mereka sebelumnya terhadap kebijakan yang didukung. Dukungan-dukungan terhadap pembatasan senjata akan meramalkan konsekuensi yang baik; penentangan-penentangan terhadap pembatasan senjata diprediksi akan menghasilkan konsekuensi yang tidak baik. Biasanya mereka tidak sadar terhadap berbagai kemungkinan konsekuensi-konsekuensi; dan adalah tanggung jawab guru untuk menyampaikan contoh-contoh tambahan yang menggambarkan konsekuensi-konsekuensi yang mengikuti kebijakan yang telah ditentukan. Dapat dicatat bahwa memperoleh informasi yang lebih relevan dan didokumentasi adalah mungkin sebagai hal yang luar biasa penting. Para siswa tidak dapat membuat produk-produk yang cerdas tentang konsekuensikonsekuensi, jika mereka tidak mempunyai data dengannya untuk bekerja atau jika mereka tidak memiliki ide bagaimana untuk menggunakan data yang mereka kumpulkan 1. “Banyak karakteristik siswa yang dapat diidentifikasi, lebih baik, karena itu kemudian menjadi lebih mudah untuk menentukan tingkat yang diberikan kepada individu label yang pantas dalam pertanyaan”. Itu juga menjadi makin lebih sulit untuk menemukan indvidu-individu seperti itu. Pada hal apakah yang akan kamu katakan mengidentifikasi karakteristik-karakteristik akan berhenti? 2. Dapatkah kamu mengemukakan beberapa cara lain di mana pertimbanganpertimbangan nilai mungkin dianalisis dan dinilai di samping beberapa yang disajikan di sini? Jika demikian, apakah mereka? 3. Akankah para guru pernah mendiskusikan pertimbangan-pertimbangan nilai yang menunjukkan cita rasa pribadi? Mengapa ya atau tidak? Pertimbanganpertimbangan nilai apakah yang para siswa buat tentang siswa-siswa lain? Tentang para guru? 4. Apakah beberapa bentuk pertimbangan-pertimbangan nilai yang kamu pikir para guru tidak akan menganalisa dengan para siswa? Jika demikian, mengapa tidak?
160
Analisis Nilai-nilai
B. Beberapa Komentar Mengenai Bukti Siswa dapat menyampaikan sejumlah bukti dengan bentuk-bentuk yang berbeda untuk mendukung atau menolak pernyataan-pernyataannya, bahwa konsekuensi tertentu atau kumpulan dari konsekuensi-konsekuensi akan muncul. Bukti itu termasuk keyakinan pribadi, opini yang berwenang, alasan logis, pengamatan pribadi, atau dokumentasi (Oliver dan Shaver, 1966). 1. Keyakinan Pribadi Satu bentuk bukti yang siswa mungkin upayakan dalam mendukung konsekuensi yang diramalkan adalah keyakinan pribadi. Bukti yang mendukung pernyataannya adalah opini pribadinya sendiri yang unik dan subjektif. Ketika ditekankan untuk mendukung keyakinan pribadi (ketika diminta, “Mengapa kamu meyakininya” atau “Mengapa kamu pikir bahwa itu demikian”) siswa mungkin jatuh dalam intuisi. Pernyataannya mungkin bahwa secara intuisi “tahu” atau “rasa” bahwa apa yang ia kemukakan adalah demikian. Berikut sebuah contoh: Siswa : Sekumpulan negara akan mendukung pembatasan tentara dalam tingkat skala kecil Guru : Mengapa kamu pikir mereka akan bersedia untuk melakukan itu? (Menghendaki pembuktian) Siswa : Saya hanya menduga yang mereka akan lakukan Bukti dari siswa pada contoh itu adalah pendapatnya sendiri atau “perasaan”. Ia “menduga” bahwa sesuatu akan terjadi. Sebagian besar kesukaran dengan bentuk bukti adalah ia secara esensial bentuk pribadi. Siswa tidak memberikan kepada teman sekelasnya atau guru dengan beberapa data yang mereka dapat evaluasi untuk melihat, jika data itu secara logis atau empiris mendukung kemungkin munculnya konsekuensi. Bukti-bukti yang menguatkan dari konsekuensi yang dikemukakan adalah disarankan oleh pribadi (yakni, tidak dapat dibuktikan) dari pada landasanlandasan umum. Dapat ditambahkan bahwa menyuruh para siswa untuk mengupayakan opini-opini di dalam kelas adalah diharapkan – dalam kenyataan, adalah esensial jika diskusi-diskusi nilai dilaksanakan pada tempatnya. Tetapi mengupayakan suatu pendapat yang telah diselidiki dan kemudian didukung atau ditolak atas dasar bukti adalah bukan sesuatu yang sama sebagai mengupayakan opini sebagai bukti itu sendiri. 161
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
2. Opini yang Berwenang Bentuk kedua bukti yang mungkin siswa upayakan mendukung pernyataan adalah konsensus atau kesepakatan dengan pihak lain. Banyak dari kekuatan bentuk bukti ini, tergantung pada siapa “pihak lain” itu. Dukungan, sebagai contoh, bahwa siswa mendukung pernyataannya bahwa “sekelompok negara akan mendukung pembatasan tentara untuk tingkat skala kecil” dengan mengupayakan bukti berikut; kesepakatan dengan opini di antara beberapa pendapat pakar ilmu politik dan para pengamat lain yang spesialis dalam studi peristiwa-peristiwa internasional dan dianggap berwenang atau “ahli” dalam bidangnya. Hal itu mungkin diterima oleh banyak siswa sebagai bukti yang dapat dipertimbangkan untuk mendukung pernyataan siswa itu. Bagaimanapun meninggalkan sebuah pertanyaan, terhadap tingkat manakah suatu kesediaan untuk diterima, atau dibenarkan untuk diterima, pandangan dari para ahli. Kapanpun sudut pandang dari orang yang berwenang adalah disebut sebagai bukti oleh siswa untuk mendukung pernyataan, saat istirahat kelas dihadapkan dengan pertanyaan terhadap reliabilitas kewenangan. Ennis (1969: 393) menyarankan menggunakan kriteria berikut untuk menguji nilai dari opini orang yang berwenang (otoritas): a. Ia memiliki reputasi yang baik. b. Pernyataan adalah dalam lapangannya c. Ia tidak berminat. d. Reputasinya dapat dipengaruhi oleh pernyataannya, dan ia sadar bahwa fakta itu ketika ia membuat pernyataannya. e. Ia mempunyai posisi sepenuhnya di fakultasnya. f. Ia tidak sepakat dengan orang lain yang sesuai kriteria di atas untuk kewenangan. Hal-hal yang dikemukakan Ennis itu adalah kepuasan kerjasama dari semua kriteria yang membuat kasus yang amat kuat untuk mempertimbangkan pandangan-pandangan dari orang yang berwenang dipercaya dalam contoh tertentu. Bahaya dengan bukti menggunakan opini yang berwenang terletak dalam fakta bahwa kewenangan dapat membuat kekeliruan, juga. Dalam hal ini Galileo, sebagai contoh, orang yang berwenang pada waktu itu 162
Analisis Nilai-nilai
percaya bahwa bumi adalah pusat dari alam semesta. Selama Abad Pertengahan, pihak berwenang meyakini bahwa darah para pasien adalah obat untuk demam. Hanya disebabkan para ahli “mengetahui” lebih dari orang biasa tidak membuat mereka sempurna.
3. Pengamatan Pribadi, Dokumentasi atau Eksperimen Bentuk ketiga dari bukti yang mungkin siswa upayakan untuk mendukung pernyataan adalah bahwa ia secara pribadi mengamati atau menunjukkan apa yang menjadi acuan. Bentuk bukti ini bagaimanapun amat terbatas juga. Siswa kemudian harus membuktikan ia mengamati secara akurat. Faktor bias pribadi mungkin terlibat, karena orang sering dipengaruhi oleh prasangka yang mereka tidak sadari. Oleh karena itu, kapanpun mungkin, para siswa akan didorong untuk menemukan dan menunjukkan foto-foto, gambar-gambar, rekaman-rekaman, atau pitapita rekaman yang memperlihatkan suatu peristiwa terjadi. Tipe bukti ini adalah sukar untuk diperoleh terhadap berbagai bentuk dasar yang teratur, tetapi beberapa kesempatan ketika reproduksi audio atau visual dari suatu peristiwa tersedia. Ini secara khusus benar dengan menganggap gambar-gambar dari surat-surat kabar dan majalah-majalah. Karena itu adalah menolong bagi para guru untuk memastikan bahwa kelas berlangganan berbagai surat-surat kabar dan majalah-majalah mencakup wilayah yang luas secara adil dari politik dan opini yang lain. Beberapa pernyataan memberi mereka sendiri kepada eksperimen– adalah para siswa sesungguhnya dapat mencoba sesuatu untuk melihat apa yang terjadi. Pertimbangkan contoh berikut: Ali : Kamu dapat menemukan banyak hal tentang bagaimana orang merasakan tentang pembatasan dengan membaca surat kabar selama beberapa waktu dari pada kamu dapat melalui membaca artikel-artikel yang ditulis oleh ahli ilmu politik Susan : Tidak, kamu tidak dapat Guru : Baiklah, mengapa kamu tidak menceknya? Lakukan beberapa penelitian di perpustakaan publik. Lihat apakah surat kabar mengatakan ketika pembicaraan pembatasan secara penuh dilakukan pada tahun yang lalu. Kemudian bersama mengumpulkan beberapa artikel yang baru saja dari beberapa ahli ilmu politik dan komentator lain terhadap pembatasan. 163
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
Lihat yang memberikan kamu dengan sebagian besar informasi mengenai bagaimana orang merasakan tentang isu itu.
4. Alasan Logis Bentuk keempat dari bukti yang mungkin siswa usahakan untuk mendukung pernyataan faktual adalah untuk menunjukkan bahwa hasilhasil pernyataan dari sebuah alasan deduktif yang valid secara logis. Ringkasnya, pernyataan berikut secara logis dari premis-premis seperti contoh yang dikenal baik: a. Semua manusia adalah makhluk hidup b. Socrates adalah manusia c. Oleh karena itu, Socrates adalah makhluk hidup Tiga pernyataan yang mewakili apa yang secara umum dikenal dengan silogisme. Pernyataan pertama disebut premis mayor. Pernyataan kedua dikenal premise minor, dan ketiga disebut kesimpulan. Kumpulan dari satu atau lebih premis bersama dengan kesimpulan yang diperlukan untuk mengikuti dari premis yang disebut argumen yang valid. Argumen invalid adalah satu kesimpulan yang tidak memerlukan mengikuti dari premis. Dua pertanyaan yang diajukan dari seluruh silogisme adalah apakah benar atau tidak kesimpulan itu secara secara logis yang mengikuti premis-premis dan apakah benar atau tidak kesimpulan itu valid. Dalam contoh di atas, kesimpulan itu benar sebab premis-premis benar. Kapanpun premis mayor dan minor benar, kesimpulan harus benar. Marilah kita pertimbangkan contoh kedua: a. Hanya para pemimpin negara kecil, non-industri yang menyokong agar semua negara di dunia mengurangi senjata-senjata dalam tingkat skala kecil. b. John Boorman adalah pemimpin negara kecil dan non-industri. c. Oleh karena itu, Boorman menyokong agar semua negara di dunia mengurangi senjata-senjata dalam tingkat skala kecil. Dalam kasus ini, kesimpulan mungkin salah. Tetapi mengapa? Tidak nampak salah dengan alasan yang digunakan. Alasan memang benar, tetapi kesimpulan yang dihasilkan mungkin menjadi salah – sebab premis mayor salah. Beberapa pemimpin dari negara-negara besar dan industri yang menyokong pengurangan senjata dalam tingkat skala kecil dan juga beberapa pemimpin negara kecil dan non-industri yang tidak mendukung. 164
Analisis Nilai-nilai
Perhatikan bahwa premis mayor dan minor adalah pernyataan sebenarnya. Kebenaran atau kesalahan mereka dapat ditentukan dengan memperoleh bukti dari berbagai jenis (misal, dengan memeriksa seluruh waktu penerbitan surat-surat kabar, siaran-siaran pers, makalah-makalah posisi, wawancara publik, dan sebagainya). Ketika siswa berusaha membuat argumen deduktif sebagai bukti, oleh karena itu, tugas guru adalah membantu guru untuk menentukan apakah premis dari argumen itu benar atau salah – yaitu, apakah benar atau tidak beberapa bukti dari keberadaan atau kejadian mereka dapat ditemukan. Adalah penting bagi para guru untuk membantu para siswa untuk membedakan antara alasan yang valid dan benar. Praktek yang lazim dalam diskusi adalah seseorang mencoba untuk meyakinkan orang lain guna menerima sudut pandangnya dengan menyampaikan alur yang valid dari alasan yang didasarkan atas satu atau lebih premis yang salah. Kesimpulan yang mengikuti mungkin kemudian valid secara logis, tetapi secara fakta salah. Jika dari premis-premis dalam argumen deduktif salah maka kesimpulan mungkin juga salah, meskipun tidak diperlukan. Satu catatan akhir dari peringatan terhadap argumen-argumen silogisme – argumen mungkin valid dan kesimpulan atau akar kesimpulan dari yang benar itu, bahkan jika antara premis salah. Berikut adalah contoh: a. Pot-pot kopi adalah mobil b. Mobil-mobil dipenuhi dengan kopi c. Oleh karena itu, pot-pot kopi dipenuhi dengan kopi Argumen adalah valid dan kesimpulan benar, bahkan mungkin antara premis-premis salah, karena secara logis kesimpulan mengikuti dari premis-premis. Pelajaran yang dapat dipelajari dari contoh di atas adalah satu hal yang sederhana. Fakta bahwa satu atau lebih premis dari argumen adalah salah tidak diperlukan, artinya kesimpulan yang mengikutinya juga salah. Atau fakta bahwa argumen yang valid diperlukan, artinya kesimpulan yang mengikutinya juga benar. Hanya ketika premis-premis itu benar dan argumen valid, maka kesimpulan harus benar (lihat gambar 7.1) 165
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
Gambar 7.1. Kombinasi Argumen-argumen yang Valid
Hanya karena argumen adalah valid tidak berarti bahwa kesimpulan itu benar. Para guru akan selalu meminta para siswa menentukan apakah bukti dari kebenaran atau dari kesalahan premis-premis yang ada.
5. Menguji Kembali Bukti Ketika siswa menyampaikan bukti (tidak persoalan apapun bentuknya) persoalan untuk menguji kembali muncul. Apakah bukti yang disampaikan memberikan dukungan (termasuk kepuasan kelas) bagi kemungkinan datangnya konsekuensi? Jika bukti yang diupayakan hanya keyakinan pribadi atau kelompok, pernyataan tidak dapat diuji kembali; itu harus tetap secara murni menunjukkan pilihan pribadi atau kelompok. Jika bukti adalah pertimbangan otoritatif (yang berwenang), reliabilitas otoritas (kewenangan) harus ditentukan, dan argumen-argumennya mesti. Baik secara logis atau empiris didukung atau ditolak. Jika bukti terdiri dari kesimpulan yang didasarkan atas alasan logis, kita harus mencek dan melihat jika argumen itu valid dan premis benar. Jika pendukung-pendukung bukti terdiri dari tindakan-tindakan tertentu atau prestasi, kita harus mencek untuk melihat apakah tindakan-tindakan yang dinyatakan (secara positif tanpa bukti) memang ditunjukkan atau memang dicapai dalam situasisituasi yang sama. Sebelum beberapa diskusi dari berbagai pernyataan yang menguntungkan dapat dilakukan, para siswa harus menyadari bahwa bentuk-bentuk berbeda yang diterima mungkin dihasilkan dalam penilaianpenilaian yang sungguh berbeda. Mereka harus menyadari bahwa orang yang berbeda mungkin menghasilkan keputusan-keputusan yang memang berbeda tergantung pada bentuk-bentuk bukti yang mereka terima. Jadi, adalah penting bagi para guru untuk membantu para siswa menyadari bahwa perbedaan bentuk dari bukti yang dapat digunakan untuk mendukung atau menolak argumen. Mereka harus membantu mereka sendiri untuk memahami bahwa orang yang berbeda, tergantung pada latar belakang dan pengalaman mereka, memikirkan bentuk-bentuk tertentu dari bukti 166
Analisis Nilai-nilai
lebih dapat menerima dari bentuk-bentuk lain. Para siswa akan memikirkan apakah bentuk yang lebih meyakinkan dengan memperhatikan terhadap proposisi tertentu dan mengapa. Apakah pernyataan yang diberikan adalah “benar” atau “baik” dapat ditentukan hanya dengan mengetahui bukti apakah dari siapa yang membuat pernyataan akan menerima dukungan, Kesepakatan selama penyelidikan dan diskusi nilai kemungkin besar sulit untuk diperoleh, meskipun bukti yang sama digunakan. 1. Apakah bentuk-bentuk bukti lain yang mungkin diusahakan untuk mendukung atau menolak kemungkinan konsekuensi yang muncul? 2. Mengupayakan pernyataan-pernyataan melalui para siswa dalam kelas tanpa bukti membalikkan mereka kembali (atau memang oleh orang pada umumnya) adalah peristiwa yang lazim. Bagaimana kamu akan menjelaskan ini? 3. Tipe bukti manakah yang diuraikan di atas akan kamu pertimbangkan sebagian besar meyakinkan dalam mendukung suatu argumen? Mengapa? 4. “Argumen selama diskusi nilai mungkin sulit untuk diperoleh, kecuali bukti yang sama digunakan”. Apakah maksudnya itu? Mengapa itu akan terjadi? Apa yang mungkin terjadi jika kesepakatan tidak diperoleh? Akankah itu menjadi baik atau jelek?
C. Menganalisa Konflik Nilai Sebagaimana dijelaskan dalam bab II, individu-individu sering berada dalam situasi-situasi di mana terjadi konflik nilai. Contoh dari sekretaris yang berhadapan dengan konflik antara setia dan kejujuran dalam kasus yang dihadapinya. Banyak contoh lain yang dapat diberikan. Apakah satu kesetiaan pada seorang teman, jika diartikan menjadi tidak setia terhadap yang lain? Apakah seseorang yang selalu jujur, akan menyakiti perasaan pribadi orang lain? Apakah guru membolehkan siswa berbicara sesuai dengan pikirannya terhadap suatu topik, sedangkan siswa lain merasa diserang? Apakah ketidakpatuhan tentara supaya ia berpikir tidak bermoral? Apakah polisi menggunakan metode “tingkat-ketiga” untuk memperoleh pengakuan dari orang yang dicurigai sebagai pembunuh? Apakah perintah Presiden menyadap telepon-telepon untuk kepentingan “keamanan nasional?” Apakah Amerika Serikat memberikan bantuan kepada negara-negara miskin yang diperintah oleh diktator? Konflik nilai adalah fakta kehidupan. Hal yang nyata bagi para guru untuk mengenalkan fakta ini dan membantu para siswa mengenalinya. 167
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
Kenyataannya adalah nilai-nilai sering mengalami konflik yang mungkin menolong para siswa untuk memahami mengapa orang sering tidak konsisten dalam perilaku mereka. Bagaimana guru dapat melakukannya? Bagaimana mereka dapat menolong para siswa untuk menyatakan bahwa individu-individu sering dilanda oleh nilai-nilai yang saling berkonflik. Satu cara untuk memprosesnya adalah menyampaikan kepada para siswa dengan dilema nilai – situasi berdasarkan sejarah atau kontemporer, argumen, atau ilustrasi di mana individu (atau kelompok individu) yang dihadapkan dengan pilihan antara dua atau lebih alternatif-alternatif yang masih diharapkan. Para siswa kemudian dapat didorong untuk mendiskusikan beberapa tindakan yang mungkin dilakukan, memikirkan sekitar konsekeunsi-konsekuensi jangka pendek dan jangka panjang dari berbagai tindakan. Ini diteruskan untuk membuka mata para siswa terhadap fakta yang sering dengan beberapa cara mungkin memecahkan problem dan memikirkan alternatif-alternatif yang sering memberikan peluang kemungkinan-kemungkinan yang pada saat pertama tidak nampak. Beberapa contoh yang dilema nilai yang disampaikan pada bab 4 bersama dengan strategi mengajar untuk melibatkan para siswa dalam diskusi dilema seperti itu. Pertanyaan-pertanyaan para pengembang yang mengusulkan strategi itu, fokus terutama untuk menganalisa beberapa alternatif dari tindakan. Penggalian serius dan berkelanjutan terhadap konsekuensi-konsekuensi dari beberapa alternatif adalah bukan bagian dasar dari strategi, Oleh karena itu, sisa dari bahasan ini, diusulkan strategi yang lebih banyak menitikberatkan pada menganalisa konsekuensi-konsekuensi dari alternatif-alternatif. Di bawah ini adalah versi khayalan dari peristiwa yang muncul di pesisir timur Amerika Serikat beberapa tahun yang lalu. Sebuah kumpulan panduan untuk mendorong para siswa guna memikirkan tidak hanya alternatif-alternatif, tetapi juga konsekuensi-konsekuensi yang nampak setelah kisah (dilema nilai). Dilema Tom Cosby Tom Cosby tiba beberapa menit lebih awal pada pertemuan. “Aneh sekali, aneh sekali”, ia berpikir. “Siapa yang mengira bahwa dari banyak orang ini berikutnya datang pada pertemuan Dewan Pendidikan? Baiklah, aku masuk”. Ia dengan cepat masuk ke lorong di antara deretan tempat 168
Analisis Nilai-nilai
tempat duduk menuju tempat duduk di panggung. Sesudah duduk, ia memperhatikan, kepala sekolah, Presiden Dewan Sekolah, Tuan Johnson, guru Studi Sosial, dan pasangan suami isteri dari orang yang belum ia kenal. Ia juga mengenal beberapa orang di barisan depan auditorium. Mama dan papanya duduk dekat dengan Pendeta dari Glide of Episcopal. Tuan Leibowitz, Presiden dari Dewan Para Pengawas di sana. Beberapa pengurus koperasi terlihat, dekat dengan pimpinan dua Organisasi Guru. Banyak anggota dari komunitas orang Negro terlihat, dan di sana tersebar dengan baik dan manis kelompok minoritas lain. Di sana Tuan Adam dari Persatuan Kemerdekaan Sipil Amerika jua ada. Ia ingat dengan Adam khususnya, karena ia menyukai apa yang katakan, ketika ia menjadi pembicara tamu Civics I. “Lihat keluar” ia berteriak, “Old Man Tabbett, editor dari Daily Express, ada di sini!” Setiap tahun sejak tahun 1945, Klub Pertukaran Plainsville telah mensponsori kedatangan siswa dari negara lain sebagai bagian dari kelanjutan program pertukaran siswa. Tom, sesungguhnya, ia berharap mungkin menjadi siswa yang dipilih dari Plainsville untuk dikirim tahun depan – tahun seniornya di sekolah – ke negara yang lain. Tahun yang lalu ia memperoleh teman yang agak baik dengan Alex Tomlinson, yang datang ke Plainsville dari Inggris. Orang yang meyakinkan sebagai pemain sepak bola, yang baik. Ia pikir, ia belajar dari dari Alex. Tetapi dalam tahun ini – tahun ini, sesuatu yang berbeda. Tahun ini siswa tamu adalah orang kulit putih yaitu, Arthur Smith dari tempat yang disebut Windhoek di Namibia. Tom bahkan tidak tahu tempat itu berada. Ia agak tergoncang ketika menemukan tempatnya di Namibia, yaitu di Afrika Tenggara! Ia dan beberapa saudara dari Asosiasi Siwa Kulit Hitam dan sejumlah pimpinan para siswa, memprotes kepala sekolah. Ketika ia memberitahu ayahnya tentang itu, ayahnya benar-benar marah seperti dirinya. Ia memanggil beberapa anggota dari komunitas kulit hitam, bersama dengan beberapa teman yang lain, sampai tengah malam. Tom masih dapat melihat artikel yang terbit dalam beberapa surat kabar hari ini. “Terjadi Protes terhadap Pendaftaran Pertukaran Siswa di Plainsville High” September 21 – dipacu oleh protes para siswa dari SMA Plainsville, banyak anggota dari komunitas lokal pada hari ini memilih di depan Dewan Pendidikan untuk memprotes kedatangan dan pendaftaran berikutnya dari Arthur Smith, seorang siswa pertukaran dari Windhoek, Namibia, wilayah yang secara ilegal dikontrol 169
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
oleh Afrika Selatan. Undangan Organisasi Pemuda sebagai bagian dari Program Pertukaran Pemuda disponsori oleh Klub Pertukaran Budaya Lokal. Para pihak yang melakukan protes mengeluh terhadap kebijakan pemerintah yang diperlihatkan oleh Afrika Selatan dalam menyelesaikan pemisahan kulit putih, kulit hitam, orang-orang Asia, dan meminta bahwa undangan untuk Smith dibatalkan dan diganti dengan siswa lain, dari negara yang tidak menyokong pemisahan warna kulit, untuk diundang ke tempatnya. Baik Kepala Klub Pertukaran Kultural maupun Presiden dari Dewan Pendidikan bersedia untuk memberikan komentar terhadap persoalan itu Hal-hal yang sesungguhnya telah dimulai dengan memukul dan memperbesar kemudian! NAACP melakukan tindakan dan mencela undangan secara umum dalam pertemuan berikutnya pada dewan sekolah. Komandan dari American Legion Post mengirim surat yang keras terhadap editor dari surat kabar yang memprotes pendaftaran Smith. Apa yang mengejutkan Tom adalah respon dari Old Man Tabbett, editor surat kabat. Ia tidak sepakat dengan pihak yang melakukan protes. Beberapa kata dari editorial Tabbett pada minggu yang lalu masih melekat dalam pikiran Tom. ... ini bukan isu dari kebijakan pemerintah. Arthur Smith tidak merumuskan dan tidak dianggap bertanggungjawab terhadap tindakan-tindakan dari pemerintahnya. Ia mungkin tidak menyadari terhadap semua implikasi dari kebijakan itu. Satu hal yang pasti. Arthur Smith tidak mungkin akan memikirkan alternatif-alternatif dari kebijakan itu, kecuali ia memiliki peluang mengalami cara-cara lain untuk berhadapan dengan orang. Bagaimana, kita mungkin meminta, apakah ia memperoleh pengalaman seperti itu, jika kesempatan ia ditiadakan untuk bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang lain yang barangkali berpikir berbeda dari pada kita? Pendaftarannya itu di SMA Plainsville dan berikut interaksinya dengan berbagai tipe-tipe berbeda dari para siswa yang membuat kumpulan siswa Plainsville akan memberikan kepadanya sedikitnya kesempatan itu. Ini bukan pertanyaan terhadap permainan yang adil dan keadilan? Dapatkan anak yang berusia 17 tahun disalahkan untuk kebijakan yang telah dirumuskan dan didorong sebelum ia dilahirkan? Tom mengakui bahwa banyak dari apa yang Tabbet katakan memberikan pengertian kepadanya. Tetapi apa “adil” dalam kasus seperti ini? Bagaimana ia dan para saudaranya dapat menerima dengan kesadaran yang baik untuk menerima siswa orang seperti Smith dari negara seperti itu? Afrika Selatan adalah suatu tempat, bahkan tempat juara pemain tenis seperti Arthur Ashe tidak dibolehkan untuk berkompetisi. Itu mudah sekali bahwa 170
Analisis Nilai-nilai
mereka tidak akan menerimanya – Tom Cosby- sebagai siswa pertukaran suatu sekolah dari SMA-SMA mereka! Baiklah, tidak seorangpun dapat mengatakan bahwa semua kegiatan memprotes itu tidak memberikan hasil-hasil. “Inilah mengapa kita di sini malam ini”, ia pikir. Pertemuan sudah dimulai. Tuan Johnson sudah berbicara. “... perlawanan terhadap pendaftaran yang dilakukan Smith untuk tahun ini di SMA Plainsville. Di bawah kebijakan pemisahan warna kulit Afrika Selatan (apakah Tom sekarang mengetahui arti menyelesaikan pemisahan orang dari ras-ras yang berbeda), itu secara implisit sebagian dari kita akan mendukung terhadap pemisahan. 40% dari jumlah siswa kita bahkan tidak akan dipertimbangkan untuk diijinkan ke SMP-SMP Afrika Selatan, biarkan sendiri dibolehkan untuk mendaftar. Orang-orang kulit putih di Afrika Selatan adalah minoritas yang terus-menerus menduduki Namibia secara ilegal dan tanpa persetujuan dari mayoritas orang kulit hitam. Itu akan menjadi kemunafikan belaka dari sebagian kita, jika kita membolehkan siswa itu untuk mendaftar di SMA Plainsville” Presiden dari Dewan Sekolah berikut berbicara. “Posisi pejabat di dewan”. Ia menyatakan, “adalah menerima berbagai siswa pertukaran dari berbagai pemerintah luar yang dikirim ke Plainsvill. Dewan mengusulkan malam tadi dengan suara bulat untuk menolak petisi dari NAACP dan berbagai organisasi guru yang menghendaki Arthur Smith tidak dibolehkan untuk mendaftar” Undangan formal yang diisukan sebagai bagian dari Dewan Sekolah Plainsville dan didukung oleh mayoritas. Mereka tidak dapat, dengan kepercayaan baik, kembali diundang lagi. Phylis Ramires dari Komisi Hak-Hak Manusia berbicara berikutnya. Ia berbicara mendukung pendaftaran Smith. Ia menjelaskan hal itu seperti hakhak dari individu, kesempatan yang sama untuk semua, permainan yang adil, dan keadilan sebagai aspek-aspek fundamental dari masyarakat Amerika. “Kita tidak akan menganggap anak ini bertanggungjawab terhadap tindakantindakan dari pemerintahannya” ia berkata. “Itu hanya mungkin kesempatan yang ia butuhkan untuk menambah pemahaman terhadap apa negara ini berdiri untuk dan untuk membuka matanya terhadap ketenangan dunia” Sekarang inilah giliran Tom. Ia telah menjadi yakin seperti apakah yang ia ingin katakan. Tetapi sekarang ia mengetahui. Ia melangkah ke podium dan memulai untuk berbicara:”Nyonya-nyonya dan tuan-tuan, saya...
171
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
Apa yang akan Tom katakan? Apakah yang akan kamu katakan, jika kamu dalam keadaan seperti Tom? Situasi yang bagaimanakah Tom menemukan dirinya sendiri adalah bentuk situasi dari semua kita mungkin berada dalam satu waktu atau waktu yang lain. Barangkali tidak secara tepat seperti Tom, tapi cukup mungkin sesuatu hampir serupa. Bagaimana guru dapat memulai untuk membantu para siswa menentukan diri mereka apa yang Tom akan lakukan? Berikut beberapa panduan yang dipertimbangkan: Perjelas konflik nilai tentang apa. • Kemudian tanyakan tentang fakta-fakta. • Tanyakan tentang alternatif-alternatif • Tanyakan tentang konsekuensi-konsekuensi dari setiap alternatif. • Tanyakan tentang bukti untuk mendukung kemungkinan dari setiap konsekuensi yang muncul. • Tanyakan tentang evaluasi terhadap apa yang disukai dari kemungkinan konsekuensi-konsekuensi. • Tanyakan tentang penilaian seperti altenatif yang nampak terbaik dan mengapa? Berikut merupakan sekumpulan pertanyaan-pertanyaan yang disusun dalam rangkaian berikut: 1. Tentang kejadian apakah itu? (Apakah dilema Tom?) 2. Apakah mungkin Tom lakukan untuk mencoba memecahkan dilemanya? (Alternatif-alternatif apakah yang terbuka untuknya?) 3. Apakah yang mungkin terjadi terhadap dirinya, jika ia melakukan dari berbagai hal? (Apakah yang mungkin menjadi konsekuensikonsekuensi dari berbagai alternatif?) 4. Apakah yang mungkin terjadi terhadap orang yang tidak segera dilibatkan? (Apakah konsekuensi-konsekuensi yang mungkin untuk jangka pendek seperti juga untuk jangka pendek?) 5. Bukti apakah, jika beberapa, apakah beberapa konsekuensi akan memang muncul? 6. Akankah setiap konsekuensi baik atau buruk? Mengapa? 7. Apa yang kamu pikirkan tentang Tom yang akan lakukan? (Apakah kamu pikir sesuatu yang terbaik untuk Tom lakukan?) Mengapa? (Lihat gambar 6.2)
172
Analisis Nilai-nilai
Gambar 7.2. Langkah-langkah Melibatkan dalam Menganalisa Dilema Nilai
Pertanyaan 1, saya ajukan kepada para siswa untuk yang demikian dan mengidentifikasi konflik nilai apakah atau dilema tentang apakah – apakah ketidaksepakatannya? Apakah satu konflik dari arti – adalah, ketidaksepakatan terhadap bagaimana mencapai tujuan atau sasaran dari semua kumpulan orang yang memandang konflik sebagai hal yang diinginkan, seperti mencapai manfaat? Atau apakah konflik antara tujuantujuan yang berbeda, dengan setiap kelompok yang berkonflik berharap bahwa sasaran yang berbeda telah dicapai? Hal itu penting bagi setiap orang yang dilibatkan dalam konflik untuk menjadi jelas terhadap konflik tentang apakah itu. Kecuali beberapa yang disetujui terhadap tujuan-tujuan, diskusi tidak dapat diteruskan. Suatu dilema yang telah diidentifikasi, fakta-fakta dari situasi harus ditentukan. Ini adalah tujuan dari pertanyaan 2. Para siswa diminta untuk menguraikan apa yang telah terjadi dalam peristiwa itu. Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, menanyakan terhadap fakta-fakta adalah penting sekali. Itu memberikan para siswa dengan landasan fakta yang kuat dari mana akan dirumuskan kesimpulan-kesimpulan mereka akhirnya. 173
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
Pertanyaan 2 diajukan kepada para siswa untuk mengidentifikasi alternatifalternatif. Di sini membantu dalam membagi kelas dalam kelompokkelompok kecil dari 5 – 6 anggota. Pilih satu orang dalam setiap kelompok untuk mencatat ide-ide anggotanya dan seorang yang lain bertindak sebagai ketua untuk mengatur diskusi terfokus pada tugas-tugas yang diberikan. Di sini dilakukan curah gagasan, mendorong para siswa untuk berpikir tentang banyak hal seperti yang dapat mereka dapat lakukan. Tom mungkin berpeluang mengatakan dalam situasi itu. Setiap ketua akan mendorong semua anggota kelompoknya untuk mengemukakan ide-ide, dipersilahkan terhadap beberapa dan seluruh ide, tidak ada persoalan bagaimana sulit mencapai atau mereka mungkin tidak biasa kelihatannya pada saat itu. Langkah berikutnya (pertanyaan 3 dan 4) kelas memprediksi konsekuensikonsekuensi. Apakah yang mungkin terjadi, jika alternatif-alternatif (rekomendasi-rekomendasi yang disarankan) menjadi kenyataan? Siapa yang akan dipengaruhi dan bagaimana? Apakah kemungkinan efek-efeknya terhadap generasi-generasi di masa depan? Pertimbangkan setiap alternatif yang dikemukakan (seperti banyaknya kelas yang mampu mengatasi tanpa membawa kelelahan dan kebosanan, tergantung pada usia, kemampuan, dan sebagainya). Sekali lagi kelas curah gagasan, saat ini kemungkinan tentang konsekuensi-konsekuensi dari berbagai alternatif – adalah, sesuatu yang mungkin terjadi di mana Tom sebenarnya mengejar alternatif itu. Seperti dengan beberapa strategi yang lain diuraikan dalam bab ini, adalah membantu menyiapkan bagan informasi nilai di papan tulis (atau para siswa menyiapkan bagan itu di buku catatan mereka). Ketika berhadapan dengan dilema nilai, judul kolum berbeda dari beberapa bagan peristiwa nilai. Gambar 7.3 adalah sebuah contoh dari bagan yang dapat digunakan untuk merekam informasi tentang dilema nilai. Gambar 7.3 Bagan Informasi Nilai-nilai untuk Merekam Informasi tentang Dilema Nilai
174
Analisis Nilai-nilai
Ketika para siswa dapat memikirkan tidak ada konsekuensi yang lain, pencarian terhadap bukti dimulai untuk mendukung atau menolak kemungkinan bahwa konsekuensi akan muncul. Pertanyaan 5 dimaksudkan untuk mendorong para siswa untuk mencari untuk data – laporan-laporan, foto-foto, laporan-laporan pandangan mata, artikelartikel suratkabar – yang menguraikan apa yang terjadi dalam situasi yang serupa pada masa lalu. Suatu bukti seperti itu telah dikumpulkan, itu adalah keadaan yang sebenarnya dan relevan untuk dinilai. Apakah data yang telah dikumpulkan akurat? Apakah mereka telah mengacu terhadap situasi itu seperti berada di bawah suatu pertimbangan? Ketika para siswa dapat menemukan tidak banyak bukti, mereka harus memikirkan apakah mereka akan ingin setiap konsekuensi untuk terjadi atau tidak. Mereka juga akan didorong untuk mendiskusikan, mengapa mereka memikirkan konsekuensi-konsekuensi tertentu dengan lebih diharapkan dari yang lain. Pertanyaan 6 akan membantu para siswa memastikan apakah setiap konsekuensi adalah baik atau buruk. Hal yang diperlukan dalam poin ini adalah membuat yakin bahwa para siswa memahami konsep kriteria. Kriteria adalah karakteristik (atau sekumpulan karakteristik) yang membuat konsekuensi (atau sesuatu yang lain) yang diharapkan atau tidak diharapkan (atau di antara suatu tempat). Kriteria adalah esensi dari kepandaian menyusun peringkat alasan. Objek-objek nilai (seperti ide-ide, kebijakan-kebijakan, individuindividu) sering dinilai amat berbeda, sebab orang yang menilai menggunakan sekumpulan kriteria yang berbeda. Pengembangan kriteria adalah tugas yang amat penting. Tidak hanya memberikan para siswa ukuran atau panduan terhadap hal-hal yang diukur (seperti, konsekuensi-konsekuensi) untuk menentukan apa yang diharapkan atau yang tidak diharapkan, tetapi juga membolehkan para siswa untuk memahami alasan-alasan untuk menilai, apapun yang mungkin. Para siswa harus menentukan. Namun demikian itu tidak membantu para siswa untuk berpikir tentang apakah kriteria yang penting, jika guru hanya memberitahu mereka apa kriteria yang digunakan. Tetapi guru dapat dan akan membuka para siswa dengan variasi yang luas terhadap kriteria, jadi mereka tidak melihat konsekuensi-konsekuensi hanya dari sudut pandang mereka. Jadi, berbagai kriteria akan diidentifikasi dan artinya didiskusikan dengan kelas. Kriteria itu, termasuk: 175
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
• Kriteria moral (Untuk tingkat apakah kehidupan dan martabat manusia akan dipertinggi atau dikurangi?) • Kriteria legal (Akankah berbagai hukum dilanggar?) • Kriteria estetika (Akankah keindahan dari sesuatu ditingkatkan atau dikurangi?) • Kriteria ekologis (Akankah lingkungan alam dirusak atau diperbaiki?) • Kriteria ekonomi (Seberapa besar biaya yang akan digunakan? Apakah cukup dana yang tersedia untuk memenuhi berbagai biaya?) • Kriteria kesehatan dan keamanan (Akankah kehidupan manusia diancam oleh berbagai hal?) Itu hanya beberapa dari sejumlah kriteria yang mungkin siswa gunakan. Mereka juga akan didorong untuk mengemukakan kriteria tambahan sebagai pertimbangan. Adalah penting untuk menyadari bahwa berbagai jenis alasan, kepandaian menyusun peringkat konsekuensi-konsekuensi (atau dari berbagai hal lain) dalam istilah yang diharapkan dan tidak diharapkan adalah mungkin, meskipun beberapa kriteria telah digunakan. Untuk menolong para siswa menganalisis konsekuensi-konsekuensi dari berbagai sudut pandang yang berbeda, bagan analisis nilai dapat digunakan (Lihat Gambar 7.4). Gambar 7.4 Bagan Analisis Nilai untuk Mempertimbangkan Konsekuensi-Konsekuensi yang Diharapkan dari Sudut Pandang Berbeda
Para anggota kelas akan selesai mendiskusikan hal yang diharapkan dari setiap konsekuensi dan menyatakan alasan-alasan mereka dan mendengarkan dari beberapa siswa lain untuk memikirkan konsekuensi-konsekuensi tertentu baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan. Kemudian pilihan terbuka untuk Tom Cosby yang 176
Analisis Nilai-nilai
dapat disusun peringkatnya dari yang amat diharapkan sampai yang paling sedikit diharapkan oleh para siswa, menggunakan kolum terakhir di sebelah kanan dalam bagan analisis nilai. Inilah poin pertanyaan 7 yang dapat didiskusikan – Apa yang kami pikir Tom akan lakukan? Sekarang sebagian besar para siswa dalam kelas akan dapat melanjutkan diskusi: Mengapa mereka menyusun peringkat alternatif seperti yang mereka lakukan? Alternatif-alternatif manakah yang nampak lebih disukai? Mengapa? Apakah alasan-alasan yang diberikan untuk mempertimbangkan alternatif tertentu lebih diharapkan dalam kondisi itu sama dianggap benar dalam situasi lain? Mengapa ya atau mengapa tidak? Mendasari strategi itu adalah asumsi bahwa dengan menyadari, mendiskusikan dan mengevaluasi berbagai bagian dari tindakan, semua konsekuensi dari berbagai alternatif, dan bukti untuk mendukung dan menolak kemungkinan kemunculan mereka, tiga hal yang akan terjadi: 1. Para siswa akan menjadi lebih sadar bahwa semua orang menganggap bahwa nilai-nilai kadang-kadang bertentangan. 2. Para siswa akan sadar bahwa banyak himpunan yang berbeda dari kriteria yang dapat digunakan untuk mengevaluasi konsekuensi. 3. Para siswa, kita berharap akan menjadi lebih sudi untuk mengevaluasi konsekuensi-konsekuensi dari bagia-bagian yang berbeda terhadap mereka yang sekarang terbuka dari berbagai sudut pandang. Dalam semua strategi yang disampaikan dalam bab ini dan sebelumnya, bentuk dari materi yang para siswa ajukan dalam diskusi adalah amat penting – adalah isu atau topik sekitar mana kejadian nilai atau dilema nilai diedarkan. Menarik, dapat dibaca, nyata – semua karakteristik penting dari peristiwa-peristiwa nilai dan dilema nilai. Itu juga penting, untuk berbagai tipe peristiwa dan dilema yang para siswa ajukan dalam menggali dan mendiskusikan untuk mencegah kebosanan. Beberapa kata tentang bentuk dan urutan dari materi pelajaran berikutnya yang berorientasi nilai. Beberapa saran-saran tentang urutan dari dilema-dilema nilai yang dibuat dalam bab 4, dan diaplikasikan dalam peristiwa-peristiwa nilai dengan baik. Hal penting adalah: 1. Untuk menyampaikan kepada para siswa dengan kejadian-kejadian dan dilema-dilema yang menggunakan berbagai konsep yang berhubungan dengan nilai, seperti kejujuran, kewajiban, kesadaran, tanggung jawab, tugas, keteguhan hati, dan kehormatan, dan 177
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
2. Untuk bermacam rentang kejadian-kejadian dan dilema-dilema yang dapat dipakai dari yang menjamin bahwa kejadian-kejadian dan dilema-dilema melibatkan keputusan-keputusan dan pilihan-pilihan yang mempengaruhi makin meluas kelompok-kelompok orang, termasuk organisasi-organisasi (seperti korporasi-korporasi multinasional), pemerintah-pemerintah, agen-agen internasional. dan bahkan planet bumi sebagai keseluruhan. Dilema-dilema dan peristiwa-peristiwa tertentu terhadap mana para siswa akan membuka tergantung pada usia mereka, tingkat kepandaian, dan kemampuan. Usaha yang sungguh-sungguh yang akan dibuat, bagaimanapun (memberikan faktor-faktor yang membatasi) untuk membantu mereka menggali dan mendiskusikan situasi-situasi secara meningkat lebih sukar, kompleks dan dalam istilah-istilah yang mungkin mempengaruhi mereka. (Lihat gambar 7.5). Gambar 7.5 Satu Cara yang Mungkin dari Urutan Eksplorasi dan Diskusi terhadap Peristiwa-peristiwa dan Dilema-dilema Nilai
1. “Realisasi bahwa nilai-nilai sering mengalami konflik mungkin membantu para siswa untuk memahami mengapa orang sering tidak konsisten dalam perilaku 178
Analisis Nilai-nilai
mereka”. Bagaimana itu akan dipahami sehingga bermanfaat bagi para siswa? 2. Apa yang kamu pikirkan tentang dilema Tom Cosby? Jika kamu Tom, bagaimana kamu akan memecahkan dilema itu? 3. Adakah kriteria lain, di samping yang telah diidentifikasi, mungkin penting untuk dipertimbangkan dalam mengevaluasi konsekuensi-konsekuensi? Mengapa? 4. Akankah itu mungkin untuk orang yang membawa evaluasi sama dari konsekuensi, jika mereka menggunakan sekumpulan kriteria yang berbeda? Mengapa ya atau mengapa tidak?
D. Guru sebagai Model Dalam bab V dikemukakan pentingnya mengembangkan alasan untuk membantu memandu keputusan-keputusan tentang pendidikan nilai yang dibahas secara singkat. Keuntungan lain dari dipunyai alasan itu adalah bahwa itu dapat menolong para guru untuk berpikir tentang dan bentuk-bentuk evaluasi dari berbagai contoh yang mereka himpun untuk para siswa. Ini adalah satu hal yang penting dari analisis terhadap semua guru untuk membuatnya, dari pada hanya pengamatan biasa terhadap anak-anak yang meniru perilaku dari anak-anak yang lain dan orang-orang dewasa. Banyak kalangan psikolog yang berorientasi pada belajar sosial dan behavioral menyatakan, dalam kenyataan, bahwa para siswa memperoleh nilai-nilai mereka dengan tingkat yang luas melalui pengamatan dan meniru baik teman-teman sebayanya dan contohcontoh orang dewasa. Liebert (1972) menunjukkan, sebagai contoh, bahwa pengamatan terhadap teman-teman sebaya yang agresif, orang-orang dewasa, dan bahkan karakter-karakter karton dapat dengan cepat meningkatkan sejumlah agresi dari anak-anak yang diungkapkan dalam permainan mereka. Bandura (1965: 589-595) dan koleganya menguraikan studi mereka terhadap tiga kelompok para siswa perawat di sekolah yang melihat film orang dewasa yang mencontohkan memukul, menendang, dan meninju terhadap boneka “Bobo” dipompa yang berukuran sama dengan orang dewasa. Satu kelompok kemudian melihat contoh orang dewasa yang diganjar; kelompok kedua melihat contoh yang dihukum; dan kelompok ketiga melihat diperlakukan secara netral (yakni, tidak diganjar atau dihukum). Dalam situasi ganjaran, dua orang dewasa diberikan model perlakuan (minuman seven up, jagung berondong, atau manisan) untuk “penampilan agresif yang hebat”. Dalam 179
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
situasi hukuman, dua orang dewasa - di antara hal-hal yang lain – menggetarkan jari-jarinya menurut contoh dan ditandai, “Hey ke sini, kamu pengganggu nomor satu. Berhenti membadut! Saya tidak akan membiarkan itu”. Ketika contoh diperlakukan secara netral, kedua orang dewasa tidak nampak. Ketika anak-anak ditinggalkan sendirian dengan boneka, orang-orang yang melihat contoh yang dihukum menunjukkan kurang lebih sejumlah tindakan-tindakan agresif dibanding dengan anak-anak dari dua kelompok yang lain. Terakhir, ketika mereka berusaha dihargai, jika mereka akan meniru contoh perilaku, mereka dapat melakukannya. Mereka telah belajar contoh perilaku-perilaku agresif, bahkan meskipun mereka tidak segera menampilkan perilaku-perilaku agresif setelah mengamati contoh perilaku itu. Mischel dan Liebert (1966: 45-53) melakukan studi terhadap dua kelompok dari anak-anak yang ditempatkan dalam situasi-situasi permainan dengan orang dewasa. Setiap anak menentukan tingkat atau standar penampilan melalui mana ia akan ikut. Satu kelompok, orang dewasa secara konsisten menasehati dan memperlakukan dengan standar yang keras. Dalam kelompok kedua, orang dewasa tidak konsisten; ia masih menasehati dengan standar yang keras, tetapi sesungguhnya memperlihatkan banyak sekali toleransi ketika berhadapan dengan anak-anak. Selama orang dewasa menyampaikan, perilaku dari anak-anak dalam dua kelompok tida berbeda. Mereka secara terus menerus mengikuti standar yang keras dari orang dewasa yang ditentukan. Namun demikian, ketika anakanak dibiarkan sendiri (dan secara rahasia diamati melalui kaca tembus pandang), beberapa dari mereka yang diamati tidak konsisten dan merendahkan standar-standar ditetapkan orang dewasa yang ditentukan kepada mereka. Tetapi tidak seorangpun dari mereka diajar dengan konsisten untuk merendahkan standar-standar yang ditentukan orang dewasa untuk mereka. Selanjutnya anak-anak yang diajarkan dengan tidak konsisten oleh orang dewasa mungkin lebih menunjukkan standar yang rendah yang diperlihatkan dari anak-anak yang lain dan bahkan merekomendasikan standar-standar yang lebih rendah kepada teman-teman sebayanya. Dalam kehidupan nyata, anak-anak melihat berbagai perilaku dari temanteman sebaya, para guru dan orang dewasa yang lain. Apakah efek-efek yang didapat dari berbagai contoh perilaku itu? Liebert dan koleganya (Hill, 1968; McMains 1968; Fernandez, 1970) melakukan rangkaian studi mencari jawabanjawaban yang tepat terhadap pertanyaan dari beragamnya contoh perilaku. 180
Analisis Nilai-nilai
Mereka mengemukakan dua prinsip umum yang mereka percaya sebagai hasilhasil dari studi-studi mereka, yaitu berupa ketentuan yang dikemukakan adalah: 1. Kemungkinan lebih meningkat untuk dilanggar oleh anak seperti sejumlah individu-individu yang lain yang ia lihat melanggar peraturan meningkat; 2. Kemungkinan lebih meningkat untuk diikuti oleh anak seperti sejumlah anak yang ia lihat mengikuti peraturan meningkat. Beberapa prinsip ditekankan kembali pentingnya oleh para guru menjadi jelas tentang nilai-nilai milik mereka sendiri dan berpikir tentang apakah tindakan-tindakan dan perkataan-perkataan mereka apakah mencerminkan nilai-nilai mereka atau tidak. Ini secara khusus penting bagi para guru untuk berpikir tentang apakah mereka mengatakan dan melakukan seperti mereka berinteraksi dengan para siswa dalam diskusi tentang nilai-nilai. Merendahkan, kekasaran, mencela terhadap ide-ide siswa, lemah dalam mendorong individu-individu pemalu atau ragu-ragu untuk menyatakan diri mereka sendiri, lemah dalam mencegah monopolisasi dalam diskusi oleh beberapa orang siswa, mengejek pertimbangan nilai dengan mana ia tidak setuju (atau membolehkan para siswa untuk melakukan itu) – semua tindakan-tindakan oleh guru adalah hampir dipastikan akan mengecilkan hati para siswa untuk membuat dan mendiskusikan kesimpulan-kesimpulan tentang nilai-nilai. Pada satu sisi, dorongan, minat dalam apa yang semua para siswa katakan, dukungan terhadap opini-opini yang berbeda atau tidak biasa, keinginantahu, persahabatan, dan perilaku-perilaku dan sikap-sikap yang serupa kemungkin besar mendorong dan memanjangkan diskusi-diskusi itu. Berikut beberapa saran yang lain. Terima semua pernyataan yang para siswa upayakan, bukan persoalan bagaimana lucu dan tidak biasanya mereka mungkin terlihat ketika pertama menyampaikan. Ini bukan berarti bahwa kamu harus setuju dengan apa yang dikatakan siswa, hanya kamu tidak akan menolak terhadap pendapat itu. Penerimaan seperti itu dapat disempurnakan melalui respon dengan berbagai cara yang tidak menyatakan pendapat (seperti, dengan mengatakan, “Oh, ya”, “Saya mengerti”, atau dengan sederhana, “Baiklah”). Jangan mengharuskan para siswa berbicara, jika mereka tidak menginginkannya. Ikuti contoh yang menggambarkan kesediaan guru untuk menghargai keinginan siswa untuk tidak berkomentar terhadap isu tertentu. 181
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
Guru
: Kita telah membicarakan beberapa hari yang lalu tentang isuisu dari moralitas dalam pemerintahan dan khususnya pertanyaan dari apakah yang pejabat pemerintahan akan lakukan, ketika prinsip-prinsipnya tertarik dalam konflik dengan apa yang ia rasakan sebagai tanggungjawabnya terhadap para pemilihnya. Sam, kamu telah mengatakan kemarin, bahwa kamu merasakan dilema yang sama seperti banyak pejabat militer yang ketika berhadapan dengan prinsip-prinsip mereka yang tertarik dalam konflik dengan tanggung jawab mereka sebagai pejabat. Dapatkah kamu memberikan kepada kita sebuah contoh untuk membantu kita memahami alasan yang kamu kemukakan? Samsudin: Baiklah, Saya maksudkan. Seperti, untuk contoh, pejabat yang baik adalah yang diharuskan mengikuti perintahperintah. Tetapi apakah jika ia merasakan bahwa perintahperintah yang diberikan adalah perintah yang jahat – Saya maksudkan, kamu tahu, itu akan benar-benar menyakitkan sebagian orang, jika ia menerimanya. Ia akan mewujudkan dengan berat keputusan yang dibuat. Guru : Apakah kamu pikir seorang pejabat akan lakukan, jika ia menemukan dirinya sendiri dalam situasi seperti itu? Samsudin: Saya duga saya pikir ia tetap berpegang pada prinsipprinsipnya Rudi : Saya tidak setuju. Perintah adalah perintah, dan tugas tentara adalah mematuhinya Guru : Selalu? Rudi : Ya, kalau tidak, seorang tentara tidak dapat bertahan hidup Guru : Mari kita ambil beberapa ide di sini, juga, Pino, apa pendapatmu dari semua ini? Pino : Saya tidak berpikir saya punya satu kebenaran sekarang Guru : Baiklah, tetapi jika kamu mendapatkan satu ide atau dua akhir-akhir ini, jangan ragu-ragu untuk menyampaikan kepada kita yang diketahui. Ketika siswa menemukan kesulitan menyampaikan pikiran-pikiran mereka, itu kadang-kadang membantu untuk menyatakan kembali apa yang ia ungkapan 182
Analisis Nilai-nilai
tanpa menunjukkan persetujuan atau tidak setuju terhadap ide-idenya, seperti ilustrasi berikut: Siswa : Ketika saya naik dari kelas delapan – uh – keluarga saya pindah ke tempat baru, er, kota – uh – dalam musim panas dan saya telah memulai – uh, mulai SMA di sana. Saya tidak tahu banyak tentang anak-anak dan saya tidak – uh – merasa amat mudah ketika sekolah dimulai Guru : Kamu merasa semacam merasa tidak enak? Siswa : Saya merasa yakin. Itu agak menyakitkan Guru : Saya dapat memahami mengapa kamu merasa seperti itu Biarlah para siswa mengetahui bahwa kamu ingin mereka mengupayakan ide-ide mereka dengan memberitahukannya juga. Ini adalah bagaimana seorang guru menunjukkan kepada kelasnya bahwa ia ingin mendengar apa yang para siswa pikirkan: Rofiqoh : Bagaimanapun, saya tidak mengetahui banyak tentang ini, Guru : Saya benar-benar suka untuk mendengarkan apa yang kamu pikir. Rofiqoh Rofiqoh : Baiklah, ini nampaknya tidak adil untuk saya, bahwa hanya para senior yang akan mendapatkan kesempatan pergi ke halaman dalam gedung yang dikelilingi tembok untuk makan siang mereka. Sekolah ini mendorong bagi setiap orang, benar tidak? Semua siswa memiliki kesempatan menggunakan halaman dalam gedung yang dikelilingi tembok, dan itu tidak akan menjadi hak istimewa yang khusus untuk kamu yang memilikinya hanya karena kamu adalah senior Guru : Jika saya mengerti yang kamu maksudkan, kamu mengatakan bahwa adalah tidak adil bagi para senior yang memiliki halaman dalam gedung yang dikelilingi tembok yang disediakan untuk mereka semacam beberapa jenis hak istimewa yang khusus Rofiqoh : Ya, seperti itu Guru : Baiklah. Pelihara untuk tidak memaksakan pandangan-pandangan kamu terhadap para siswa. Jika diskusi-diskusi berjalan dengan baik, para guru harus mendorong pertimbangan dan pemikiran terhadap semua ide-ide yang telah diungkapkan, termasuk dirinya sendiri. Prosedur yang membantu di sini 183
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
adalah menyiapkan papan tulis, atau beberapa tempat lain yang sangat kelihatan, dalam bentuk tiga kolom bagan seperti satu di bawah ini.
Para siswa sekarang dapat didorong untuk menempatkan dan mencatat fakta-fakta dalam kolom-kolom yang tepat dengan bukti yang diberikan untuk mendukung atau menolak ide-ide tertentu. Jangan ragu-ragu untuk mengenalkan ide-ide yang bertentangan terhadap hal-hal yang dikemukakan oleh para siswa agar menghasilkan aspek-aspek lain dari suatu isu. Bagaimanapun, yakinkan, bahwa para siswa menyadari, kamu tidak menyatakan langsung memerlukan beberapa ide yang “terbaik”, atau menuntut bahwa mereka menerimanya. Pengenalan terhadap ide-ide yang berlawanan adalaj dibenarkan sepenuhnya sebagai teknik untuk mendorong diskusi dan membantu siswa memperluas kesadaran mereka terhadap perasaan-perasaan orang mengenai isu nilainilai. Meminta dengan tegas bahwa para siswa menerima ide-ide kamu adalah tidak hanya tidak adil, tetapi juga berlawanan dengan pengujian pemikiran dari berbagai ide. Berikut sebuah contoh dari bagaimana seorang guru mencoba untuk mendorong para siswa untuk mempertimbangkan suatu ide dari pada membuangnya tanpa memikirkan tentangnya. Guru : Kamu mempunyai semua yang disarankan tentang beragam hal yang kamu pikir mungkin berkontribusi untuk mengurangi perang nuklir di masa depan. Satu hal yang tidak setiap orang mampu menjelaskan adalah kemungkinan bahwa Amerika Serikat akan mulai melakukan dengan menghancurkan semua senjata nuklir selama lima tahun terakhir dan mengundang semua kekuatan nuklir yang lain untuk mengikuti undangan itu. Siswa : Apakah kamu main-main? Rusia akan mempunyai senjata-senjata luar biasa dan kekuatan mendekati kita Siswa : Apakah kamu benar-benar menyetujui hal itu? Guru : Saya tidak mengatakan bahwa saya menyetujui atau menentang terhadap ide itu. Saya hanya menyarankan bahwa itu mungkin 184
Analisis Nilai-nilai
sebuah ide yang bermanfaat untuk dilihat. Beberapa orang cukup cerdas dalam menyetujui ide itu, dan saya pikir kita akan membahasnya. Di sini tidak ada pertanyaan bahwa anak-anak dipengaruhi melalui dan sering meniru perilaku orang dewasa dan contoh-contoh teman sebaya. Ini adalah untuk alasan itu bahwa para guru butuh untuk mempertimbangkan apakah perilaku-perilaku yang perlihatkan sendiri adalah jenis-jenis perilaku-perilaku yang mereka ingin agar para siswa berusaha menyamainya.
1. Para siswa akan mengungkapkan berbagai model (para guru, orang tua, teman sebaya, orang dewasa yang lain) selama pembelajaran di sekolah mereka. Beberapa model kemungkinan besar berbeda sekali dalam perilaku-perilaku yang mereka perlihatkan. Apakah yang akan kamu katakan terhadap siswa yang berkomentar terhadap fakta itu? 2. Berikut beberapa contoh yang dibenarkan diberikan melalui beragam orang untuk mengatakan sesuatu, sebelum melakukan yang lain: a. Saat kondisi-kondisi yang bagaimanakah orang benar-benar membuat pernyataan yang tidak sulit diterapkan; b. Kapan seseorang atau keluarganya dapat dianggap membahayakan kehidupan dan anggota badan; atau c. Kapan seseorang belajar hal yang baru, yang sekarang membuatnya mungkin melihat bahwa orang lain akan terganggu, jika ia mengikuti pernyataanpernyataan terdahulu. Apakah kamu akan setuju bahwa beberapa alasan adalah sesuatu yang dapat dibenarkan untuk sesuatu yang tidak konsisten? Mengapa ya dan mengapa tidak?
E. Memberitahukan Orang-orang Lain Apakah Nilai Ini adalah satu tipe perilaku khusus, yang para guru sebaiknya memberitahu untuk menjauhinya. Ini adalah praktik dari memberitahukan orang lain apakah jenis hal-hal yang mereka akan nilai – terutama dengan menggunakan teknik-teknik seperti yang menumbuhkan kekhawatiran tentang konsekuensi-konsekuensi dari tindakan-tindakan tertentu, seruan-seruan terhadap hati nurani, atau memuji “contoh-contoh 185
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
yang baik” dari sejarah dan literatur. Materi berisi slogan-slogan yang membangkitkan inspirasi, pernyataan-pernyataan yang tegas seperti terhadap apa yang benar atau salah, dan memperingatkan tentang bahaya yang dapat menimpa seseorang yang tidak jujur dan tidak dipercaya yang demikian akan dijauhi. Buku bacaan The McGuffy yang digunakan sebagian besar sekolah selama abad ke 19 adalah barangkali contoh yang banyak dikenal dari materi-materi seperti itu. Satu yang menggunakan cerita yang diiringi gambar dari dua anak yang tidak mematuhi ibu mereka dengan menyeberangi kolam ketika es sedang lunak, kemudian jatuh dalam air yang beku dan hampir tenggelam. Syukur dapat melepaskan dari yang menutup mereka, anak menyesal dan mengakui “dosa” mereka kepada ibu mereka dan “tidak pernah melupakan pelajaran yang mereka pelajari”. Cerita ini khas dari banyak literatur buku-buku sekolah pada waktu itu, di mana seseorang yang tidak menghormati dan tidak mematuhi otoritas mendapat konsekuensi-konsekuensi yang menakutkan. Problem dengan material-materi dan teknik-teknik dari jenis ini adalah bahwa mereka untuk sebagian besar, tidak begitu efektif. Mekispun banyak tergantung pada sifat dan cara yang menarik, kepercayaan terhadap teknik-teknik untuk meyakinkan orang muda terhadap sesuatu yang kebaikan atau kemanfaatan yang dilakukan hanya tidak terlaksana untuk sebagian besar. Ini juga dilaksanakan untuk menarik hati nurani dan untuk memuji tokoh-tokoh dari sejarah dan karya-karya dalam literatur. Penjara kita adalah dipenuhi dengan ribuan individu yang para orang tuanya secara berulang-ulang memberitahukan kepada mereka, saat mereka masih muda untuk “menjadi muda”. Hampir 50 tahun yang lalu, Hartshorne dan May (1928) menemukan jalan keluar bahwa bentuk-bentuk didaktik dari instruksional (instruction) tidak mempunyai pengaruh terhadap perilaku moral, seperti yang diukur melalui tingkat subjek-subjek eksprimental dalam berbagai kelas pendidikan karakter dan program-program instruksional religi yang ditiru. Belajar terhadap peraturan-peraturan verbal tentang kejujuran tidak berhubungan dengan bagaimana subjek-subjek bertindak. Orang-orang yang menyontek diungkapkan sebagai moral yang banyak atau lebih banyak dicela dari menyontek sebagai orang-orang tidak menyontek. Keputusan untuk menyontek, itu muncul, sebagian besar ditentukan oleh 186
Analisis Nilai-nilai
kelayakan, tergantung pada tingkat resiko dan upaya yang dilakukan. Hartshorne dan May (1928). Festinger (1964: 404-417) menjelaskan dalam studi terhadap elemen yang menimbulkan kekhawatiran telah dikenalkan selama pelatihan kesehatan mulut. Para siswa SMA dibagi dalam empat kelompok; tiga dari kelompok mendengar ajakan yang berupaya meyakinkan mereka untuk menggunakan metode-metode yang tepat untuk kesehatan mulut. Ajakanajakan yang dikarakterisasi sebagai kuat, sedang, dan minimal. Ajakan yang kuat berisi elemen-elemen yang menumbuhkan kekhawatiran; dua yang lain disampaikan dengan lebih objektif. Selanjutnya dilakukan dengan memberikan kuesioner-kuesioner untuk menentukan berapa jumlah siswa yang merubah praktik-praktik mereka menyesuaikan pada metode-metode yang direkomendasikan. Hubungan antara perilaku dengan tingkat mana para siswa yang merasa peduli terhadap kesehatan mulut sesungguhnya dalam arahan bolak-balik dari satu apa yang akan diharapkan dalam berbagai hubungan yang sederhana antara perubahan sikap dan perilaku. Festinger menyimpulkan temuannya sebagai berikut:” Dari semuanya itu, kita dapat menemukan tidak ada pengaruh terhadap perilaku atau bahkan perubahan yang jelas dan menetap dalam pendapat yang diberikan dengan melalui komunikasi yang persuasif ”. Penggunaan teknik-teknik itu seperti himbauan-himbauan terhadap hati nurani, ganjaran-ganjaran dan hukuman-hukuman, dan memuji terhadap “contoh-contoh yang baik” sering dikenal sebagai berkhobah (moralizing). Berkhotbah sering kali disamakan dengan jenis pengajaran pikiran, tetapi tidak adil. Berkhotbah dapat didefinisikan sebagai “pendirian moral atau gambaran moral” dari suatu kejadian atau kisah, atah bahkan “untuk meningkatkan moral-moral” dari para siswa. Sebuah definisi pendahuluan adalah “untuk berpikir, menulis, atau berbicara tentang persoalan-persoalan dari benar atau salah”. Nilai dan kemampuan menerima khotbah, sesungguhnya tergantung pada cara di mana ia muncul. Para guru atau figur otoritas lain dapat dengan mudah memberitahukan para siswa untuk menerima kesimpulan-kesimpulan mereka bahwa hal tertentu (objek, kebijakan, cara berperilaku) adalah baik atau salah disebabkan mereka mengatakannya, tanpa memberikan alasan-alasan terhadap kesimpulankesimpulan mereka. Hal ini tidak muncul dalam sebagian besar kasus untuk menjadi efektif. Pada satu sisi, mereka dapat mengajar para siswa untuk menemukan alasan-alasan di balik rekomendasi-rekomendasi. 187
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
Mengapa para pendukung kebijakan tertentu merekomendasikan hal itu? Apa konsekuensi-konsekuensi yang mereka katakan, akan dihasilkan dari mengikutinya? Apakah bukti itu adalah konsekuensi yang telah terjadi di mana saja? Ketika para siswa telah diajarkan (bahkan jika hanya melalui implikasi) untuk menerima kesimpulan-kesimpulan dari figur-figur otoritas tanpa kualifikasi, mereka akhir-akhir ini mungkin mengalami kesulitan berhadapan dengan berbagai kecaman dari kesimpulankesimpulan itu. Pada saat kesimpulan-kesimpulan dari satu otoritas bertentangan dengan kesimpulan-kesimpulan dari otoritas yang lain, banyak orang dewasa tidak mengetahui apa yang dilakukan. Karena mereka belajar di sekolah, hanya untuk menerima, dari pada menilai, kesimpulan-kesimpulan, mereka sekarang tidak mampu untuk memilih secara cerdas di antara kesimpulan-kesimpulan. 1. Penggunaan dari teknik-teknik itu seperti himbauah-himbauan terhadap hati nurani, slogan-slogan, dan peringatan-peringatan telah dikatakan melalui para pengamat telah menjadi kejadian yang biasa di banyak sekolah. Jika itu benar, bagaimana kamu akan menjelaskannya? 2. Kemampuan memilih waktu yang tepat saat guru akan menasehati dengan baik untuk memberitahukan para siswanya, apa mereka akan nilai? Jika demikian, kapan? 3. Akankah kamu setuju bahwa nilai berkhotbah tergantung pada cara di mana ia terjadi? Mengapa ya atau mengapa tidak? 4. Lihatlah definisi dari berkhotbah (moralizing) dalam kamus. Dari daftar definisi, pilih salah satu yang kamu pikir sebagian besar akan menjadi hal yang biasa diterima oleh kebanyakan orang? Mengapa? 5. Apakah kapanpun, ketika guru akan dibenarkan dalam meminta para siswanya untuk menerima kesimpulan-kesimpulan guru tanpa pertanyaan? Mengapa ya atau mengapa tidak?
F.
Beberapa Kesimpulan Pemikiran
Ide-ide yang disampaikan di sini dan pada bab-bab sebelumnya bukan dimaksudkan semua di sini untuk membicarakan tentang pendidikan nilai. Agaknya kerangka buku ini berisi beberapa prosedur 188
Analisis Nilai-nilai
dan strategi yang lumayan sederhana yang para guru dapat gunakan untuk membantu para siswa menganalisa (yaitu, berpikir tentang dan mendiskusikan) nilai-nilai dan isu-isu nilai dalam kelas-kelas mereka. Dan ini adalah pokok dari beberapa batasan dari klarifikasi nilai-nilai dan pendekatan-pendekatan dari diskusi dilema-dilema moral. Diskusi dari kejadian-kejadian nilai dan dilema-dilema nilai adalah tentu saja bukan semua untuk mengajarkan tentang nilai-nilai. Banyak ide dan teknik yang lain, seperti survai-survai nilai, permainan-permainan simulasi, wawancara dengan orang tentang apa yang mereka anggap penting, membuat film-film, menyusun lagu-lagu, puisi-puisi, atau karangan-karangan fotograpis yang dilakukan dengan nilai-nilai, bekerja dalam kampanye politik, atau partisipasi dalam peristiwa-peristiwa komunitas yang berupaya sekali mungkin untuk pendidikan generasi muda berdasarkan nilai-nilai. Semua akan menjadi hal yang dapat dipertimbangkan oleh semua orang yang berkepentingan dalam pendidikan nilai-nilai. Diskusi dan analisa terhadap berbagai ide dan teknik adalah melampaui lingkup buku ini; adalah harus menunggu waktu yang lain dan buku yang lain. Saat ini, teknik-teknik apa yang digunakan, keterampilan-keterampilan apa yang ditekankan, dan/atau mata pelajaran apa untuk dipelajari agaknya tetap membuka pertanyaan. Untuk menjadi yakin, beberapa teknik seperti menggunakan kegiatan-kegiatan klarifikasi nilai-nilai dan diskusi dilema moral adalah sesuai dengan model terakhir sekarang ini. Tetapi ini bukan bukti yang valid bahwa beberapa teknikteknik adalah sedikit lebih baik dari yang lain, bukan cara dalam mencapai beberapa jenis perkembangan intelektual dan emosional dari para siswa, baik jangka pendek atau jangka panjang. Kita masih membutuhkan sebagian model-model dan strategi-strategi yang dilaksanakan dengan perkembangan nilai-nilai yang ditawarkan, berhubungan dengan banyak penelitian yang menguji dan membandingkan berbagai model dan strategi dalam istilah efektifitas seperti perkembangan emosional dan intelektual. Hal ini agak mengecilkan hati bahwa sedikit kesepakatan di antara para pendidik saat ini seperti apa pendidikan nilai-nilai telah tetap terlibat. Walaupun topik ini adalah satu yang favorit dalam konvensi-konvensi dan workshop-workshop dan meskipun banyak buku dan artikel-artikel berdasarkan topik itu berkelanjutkan untuk muncul, tapi tidak banyak kesepakatan dicapai tentang apa yang menjadi cara-cara “mendidik dalam 189
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
nilai-nilai” (Shaver dan Strong, 1976). Jadi sebagai catatan akhir, berikut dikemukakan sedikit pertanyaan yang saya pikir akan dipertimbangkan oleh semua orang yang berminat dalam mengembangkan beberapa jenis program komprehensif dari pendidikan nilai di sekolah, yaitu: 1. Apakah yang dilibatkan untuk “mendidik dalam nilai-nilai”? (Apakah jenis-jenis keterampilan-keterampilan, sikap-sikap, pengetahuan, dengan demikian apakah yang dilakukan seseorang yang begitu terdidik memiliki, yang orang lain tidak begitu terdidik tidak melakukan? 2. Jenis-jenis apakah dari mata pelajaran yang akan para siswa pelajari? Dan mengapa? Bagaimanakah sebaiknya mata pelajaran disampaikan? Dan kapan? 3. Dalam jenis apakah dari kegiatan-kegiatan belajar sebaiknya para siswa berpartisipasi? Seberapa seringkah sebaiknya mereka berpartisipasi dalam berbagai aktivitas? Dan mengapa? 4. Kapankah sebaiknya program ini dimulai? Dan seberapa lama sebaiknya itu diakhiri? 5. Keterampilan-keterampilan apakah yang akan para guru butuhkan untuk dikembangkan dalam membantu para siswa menjadi terdidik dalam nilai-nilai? Bagaimana mereka dapat belajar keterampilanketerampilan? 6. Bagaimanakah kita akan mengukur kemajuan atau pertumbuhan dalam pendidikan nilai-nilai? Tidak diragukan, banyak pertanyaan lain yang dapat dan akan diajukan. Tetapi tugas pertama kita adalah untuk menjadi lebih memperjelas seperti terhadap apakah kita sesudahnya. Apakah bentukbentuk individu yang kita ingin bantu kembangkan? Apa tujuan kita ketika ia datang dengan nilai-nilai? Apakah yang hanya dilibatkan dalam pendidikan nilai-nilai? Waktu kita benar-benar menjadi jelas tentang apalah yang kita inginkan dan kemana kita pergi, jawaban-jawaban terhadap berbagai pertanyaan lain yang dikemukakan di atas akan mendorong diri mereka sendiri. Ketika tujuan-tujuan kita menjadi jelas, cara-cara untuk mencapai tujuan-tujuan itu dan menilai kemajuan ke arah mereka akan menjadi banyak lebih mudah untuk menentukan.
190
Analisis Nilai-nilai
G. Latihan-latihan 1. Berikut adalah beberapa tujuan yang telah ditawarkan oleh berbagai pendidik moral. Berapa banyak akan kamu dukung? Apakah alasan kamu untuk menyetujui atau tidak menyetujui? a. Untuk mendefinisikan istilah “nilai” b. Untuk mengetahui apakah indikator nilai. c. Untuk menghargai nilai dari orang lain. d. Untuk membuat kesimpulan-kesimpulan yang masuk akal tentang nilai-nilai orang lain. e. Untuk mengetahui apakah yang baik, benar, dan indah. f. Untuk merumuskan beberapa ide tentang apa yang baik, benar, dan indah. g. Untuk berpartisipasi dalam diskusi-diskusi dari hal-hal yang dinilai. h. Untuk menganalisa pertimbangan-pertimbangan nilai. i. Untuk mengklarifikasi satu nilai milik kepunyaan sendiri. j. Untuk menyadari konflik nilai-nilai. k. Untuk belajar apakah yang dinilai manusia sepanjang waktu. l. Untuk belajar nilai-nilai apakah yang berlangsung terus melalui abad ke abad. m. Untuk menyelidiki perasaan-perasaan. n. Untuk menyelidiki dan mengevaluasi alternatif-alternatif dan kosenkuensi-konsekuensi dalam situasi-situasi konflik nilai. 2. Daftar di bawah adalah sejumlah pertimbangan-pertimbangan nilai, beberapa dari definisi dan beberapa proposisi (dalil). Lihat jika kamu dapat mengidentifikasi satu yang mana? a. Ini adalah stapler yang amat dapat dipercayai. b. Ia adalah pemain backhand terbaik dari beberapa orang dalam tim. c. Pajak-pajak milik pribadi dalam kota San Francisco akan diturunkan. d. Minum yang berlebihan adalah buruk untuk kesehatan seseorang. e. Sebuah bor listrik yang kekangnya berukuran inci adalah lebih berguna dari satu yang kekangnya berukuran hanya ¼ inci.
191
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
f. Es krim Budi adalah sedikit lebih baik rasanya dari Howard Johnson. g. Jika kita ingin meningkatkan kualitas profesi mengajar, kita sebaiknya membayar para guru pemula dengan gaji yang cukup tinggi. h. Ia pengacara yang terbaik dalam negara. i. Pemerintahan Amerika Serikat akan menghentikan bantuan terhadap para diktator, jika itu diinginkan untuk memelihara kehormatan terhadap para sekutunya. j. PBB seharusnya mempunyai kebijakan sendiri yang memaksa. k. “Kamu tidakakan menandatangani kesepakatan itu, Harry” 3. Diskusikan “Dilema Tom Cosby” dengan beberapa orang lain untuk melihat bagaimana mereka akan memecahkan dilema. Pada tingkat apakah penalaran moral akan kamu tempatkan responrespon mereka? 4. Dalam bab v, saya menyarankan penyampaian kepada para siswa dengan beberapa cara alternatif untuk memecahkan dilema tertentu – dengan setiap alternatif mencerminkan perbedaan tingkat dari penalaran moral – sebagai cara lain yang menawarkan alternatif yang mencerminkan enam level Kohlberg unttuk memecahkan dilema Tom Cosby. Ajukan beberapa temanmu atau teman sekelas untuk melihat, jika mereka melakukan hal yang sama. Yakinkan pertama bahwa mereka akrab dengan enam level dari penalaran moral yang Kohlberg tawarkan. Kemudian bandingkan berbagai alternatif tanpa melepaskan yang lain mengetahui apakah level dari setiap penalaran yang bakal ditunjukkan. Jenis apakah dari persetujuan yang kamu temukan? 5. Amati beberapa guru yang mengajar. Apakah jenis model-model yang mereka sampaikan kepada para siswa mereka? Seberapa konsistenkah mereka terhadap apa yang mereka katakan dan apa yang mereka lakukan? 6. Beberapa rincian di bawah adalah sejumlah tujuan baik yang ditawarkan maupun yang termasuk di sini sebagai komponenkomponen penting dari pendidikan nilai-nilai. Pilih dari beberapa yang akan kamu katakan adalah paling penting? Paling kurang penting? Mengapa? Apakah yang lain akan kamu tambahkan? 192
Analisis Nilai-nilai
a. b. c. d. e. f. g. h. i.
Klarifikasi dari satu tanggungjawab pribadi. Perkembangan penalaran moral. Membuat kesimpulan-kesimpulan yang masuk akal tentang nilai-nilai. Perbandingan dari satu nilai sendiri dengan nilai orang lain. Evaluasi dari pertimbangan-pertimbangan nilai. Definisi dari istilah-istilah nilai. Identifikasi dari solusi-solusi alternatif terhadap problem. Pertimbangan dari konsekuensi-konsekuensi. Membangun empati.
KEPUSTAKAAN Bandura, Albert. (1965). “Influence of Models Reinforcement Contingencies on the Acquisition of Imitative Responses”. Journal of Personality and Social Psychology I. Ennis, Robert H. (1969). Logic in Teaching. Englewood Cliffs.N.J: PrenticeHall. Fraenkel, Jack R. (1977). How to Teach About Values: An Analytic Approach. Englewood Cliffs.N.J: Prentice-Hall. Festinger, Leon. (1964). “Behavioral Support for Opinion Change”. Public Opinion Quarterly. 28. Fall.1964. Hartshorne, H and May, M.A. (1928). Studies in the Nature of Character: Studies in Deceit. Vol.I. New York: Macmillan. Liebert, R.M. “Television and Social Learning: Some Relationships Between Viewing Violence and Behaving Aggressively” in J.P.Murray, E.A. Rubenstein, and G.A. Comstock. Eds.(1972). Television and Social Behavior. Vol II: Television and Social Learning. Washington.D.C: Goverment Printing Office. Liebert, R.M and Fernandez, L.E. (1970). “Effects of Single and Muliple Modeling Cues on Establishing Norms for Sharing”. Proceeding. 78th Annual Convention. American Psychological Association. 193
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
Liebert, R.M and Hill, H. (1968). “Effects of Consistent or Deviant Modeling Cues on the Adoption of a Self-Imposed Standar”. Psychonomic Science.13. Liebert, R.M and McMains, M.J. (1968). “The Influence of Discrepancies Between Successively Modeled Self-Reward Criteria on the Adoption of a Self-Imposed Standard”. Journal of Personality and Social Psychology.8 Mischel, W and Liebert, R.M.(1966).”Effects of Discrepancies Between Observed and Imposed Reward Criteria on Their Acquisition and Transmission”. Journal of Personality and Social Psychology. Vol 3. Newmann, Fred.M and Oliver, Donald.W.(1976). Clarifying Public Controversy: An Approach to Teaching Social Studies. Boston: Little Brown. Oliver, Donald.W and Shaver, James.P. (1966). Teaching Public Issues in the High School. Boston: Houghton-Mifflin. Shaver, James.P and Strong, William. (1976). Facing Values Decisions: Rationale-Building for Teachers. Belmont. Calif: Wadsworth Publishing Co.
194
BIBLIOGRAFI
Allport, Gordon W. The Nature of Prejudice. Reading. Mass.: AddisonWesley, 1954. Alschuler, Alfred, Diane Tabor, and James McIntyre. Teaching Achievement Motivation. Middletown. Conn.: Education Ventures, 1971. Alston, W.P. “Comments on Kohlberg’s From Is to Ought”, in T.Mischel (ed.), Cognitive Development and Epistemology. New York.: Academic Press, 1971, pp.269-284. Alschuler, Thelma. Choices. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, 1970. Bandura, Albert. “Influence of Models: Reinforcement Contigencies on the Acquisition of Imitative Responses”, Journal of Personality and Social Psychology, 1, 1965, pp.589-595. Barr, Robert D. (ed.). Values and Youth. Washington, D.C.: National Council for the Social Studies, 1971. Bartholomew, Paul C. Leading Cases on the Constitution. Totowa, N.J.: Littlefield, Adams, 1968. Beck, Clive. Moral Education in the Shools. Toronto.: Ontario Institute for Studies in Education, 1971. Belok, Michael, et.al. Approaches to Values in Education. Dubuque, Iowa.: W.C.Brown, 1966. Beyer, Barry K.”Conducting Moral Discussions in the Classroom”, Social Education, April 1976, pp.194-202.
195
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
Bronfenbrenner, Urie. Two Worlds of Childhood. New York.: Russell Sage Foundation, 1970. Broudy, Harry S. Enlightened Cherishing: An Essay on Aesthetic Education. Urbana, Ill.: University of Illinois Press, 1972. Broudy, Harry S., B. Othanel Smith, and Joe R. Burnett. Democracy and Excellence in American Secondary Education. Chicago.: Rand McNally, 1964. Bull, Norman J. Moral Judgment from Childhood to Adolescence. London.: Routledge and Kegan Paul, 1969. Canning, Jeremiah (ed.). Values in an Age of Confrontation. Columbia, Ohio.: Charles E.Merill, 1970. Casteel, J.Doyle, and Robert J. Stahl. Value Clarification in the Classroom: A Primer. Pacific Palisades, Calif.: Goodyear, 1975. Chase, Larry. The Other Side of Report Card: A How-to-Do-It Program Affective Education. Pacific Palisades, Calif.: Goodyear, 1975. Chesler, Mark, and Robert Fox. Role-Playing Methods in the Classroom. Chicago.: Science Research Associates, 1966. Childs, John L. Education and Morals. New York.: Appleton-CenturyCrofts, 1950. “Conscience and War: The Moral Dilemma”, Intercom, November/December, 1969. Curwin, Richard L., and Barbara Schneider Fuhrmann. Discovering Your Teaching Self. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, 1975. DeCeccio, John P., and Arlene K. Richards. Growing Pains: Uses of Shool Conflict. New York.:Aberdeen Press, 1974. Dewey, John. Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy of Education. New York: Macmillan, 1916 (paperback edition, 1961). Dewey, John, and James H. Tufts. Ethics. New York: Henry Holt & Company, 1932, revised edition.Also see the First edition of 1908. Duska, Ronald, and Mariellen Whelan. Moral Development: A Guide to Piaget and Kohlberg. New York: Paulist Press, 1975. 196
Bibliografi
Educational Psychology: A Contemporary View. Del Mar, Calif: Comunications Research Machines, 1973. Ehman, Lee, Howard Mehlinger, and John Patrick. Toward Effective Instruction in Secondary Social Studies. Boston: Houghton Mifflin, 1974. Ennis, Robert H. Logic in Teaching, Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, 1969. Fenton, Edwin. “Moral Education: The Research Findings,” Social Education, April 1976, pp.188-193. Ferguson, Patrick, and John Friesen. “Values Theory and Teaching: The Problems of Autonomy versus Determinism”, Theory and Resarch in Social Education, December, 1974, pp.1-124. Festinger, Leon. “Behavioral Support for Opinion Change,” Public Opinion Quarterly, 28, Fall 1964, pp.404-417. Flavell, J.H. The Developmental Psychology of Jean Piaget. Princeton, N.J.: Van Nostrand, 1963. Fotton, N. Moral Situations. Kent, Ohio: Kent State University Press, 1968. Fraenkel, Jack R. “Value Education in the Social Studies,” Phi Delta Kappan, April 1969, pp.457-462. Fraenkel, Jack R. Helping Students Think and Value: Strategies for Teaching the Social Studies. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, 1973. Fraenkel, Jack R. “Strategies for Developing Values,” Today’s Education, November/December 1973, pp.49-55. Fraenkel, Jack R.’The Importance of Learning Activities”, Social Education, November 1973, pp.674-678. Fraenkel, Jack R.”The Kohlberg Bandwagon: Some Reservations,” Social Education, April 1976, pp.216-222. Fraenkel, Jack R.”Inquiry in Values,” in M.Eugene Gilliom (ed.), Practical Methods for the Social Studies. Belmont, Calif.: Wadsworth, 1977.
197
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
Fraenkel, Jack R., Margaret Carter, and Betty Reardon. The Struggle for Human Rights. New York: Random House, 1974. Frankena, W.K. Ethics. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, 1965. Galbraith, Ronald E, and Thomas M. Jones.”Teaching Strategies for Moral Dilemmas: An Application of Kohlberg’s Theory of Moral Development to the Social Studies Classroom,” Social Education, January 1975, pp.16-22. Galbraith, Ronald E, and Thomas M. Jones. Moral Reasoning: A Teaching Handbook for Adapting Kohlberg to the Classroom. Anoka, Minn.: Greenhaven Press, 1976. Gilliom, Eugene (ed.). Practical Methods for the Social Studies. Belmont, Calif.: Wadsworth, 1977. Glasser, William. Schools Without Failure. New York: Harper and Row, 1969. Greenberg, Herbert M. Teaching with Feeling. New York: Macmillan, 1969. Hare, R.M. Freedom and Reason. New York: Oxford University Press, 1965. Harmin, Merril, Howard Kirschenbaum, and Sidney B. Simon. Clarifying Values Through Subject Matter: Applications for the Classroom. Minneapolis: Winston Press, 1973. Hartoonian, H. Michael. “A Disclosure Approach to Value Analysis in Social Studies Education: Rationale and Components,” Theory and Research in Social Education, October 1973. Pp.1-26. Hawley, Robert C. Value Exploration Through Role Playing: Practical Strategies for Use in the Classroom. New York: Hart, 1975. Hill, J.H., and R.M. Liebert. “Effect of Consistent or Deviant Modeling Cues on the Adoption of a Slef-Imposed Standard,” Psychonomic Science, 13, 1968.pp.243-244. Hodgkinson, Harold L. Education, Interaction, and Social Change. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, 1967. Holstein, C. “Moral Judgment Change in Early Adolescene and Middle Age: A Longitudinal Study,” unpublished paper, 1973.
198
Bibliografi
Howe, Leland W., and Mary Martha Howe. Personalizing Education: Values Clarification and Beyond. New York: Hart, 1975. Hunt, Maurice P. Foundations of Education: Social and Cultural Perspectives. New York: Holt, Rinehart and Winston, 1975. Hunt, Maurice P., and Lawrence E. Metcalf. Teaching High School Social Studies. New York: Harper and Row, 1968. Inlow, Gail M. Values in Transition. New York: John Wiley & Sons, 1972. Kirschenbaum, Howard, and Sidney B.Simon (eds.). Readings in Values Clarification. Minneapolis: Winston Press, 1973. Kohlberg, Lawrence. “Moral Education in the Schools: A Developmental View,” School Review, Spring, 1966. Kohlberg, Lawrence. “Stage and Sequence: The Cognitive-Developmental Approach to Socialization,” in D.Goslin (ed.). Handbook of Socialization Theory and Research. Chicago: Rand McNally, 1969. Kohlberg, Lawrence. “Education for Justice: A Modern Statement of the Platonic View,” in N.F. Sizer and T.R. Sizer (eds.). Moral Education. Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 1970. Kohlberg, Lawrence. “The Concepts of Developmental Psychology and the Central Guide to Education: Examples from Cognitive, Moral and Psychological Education,” in The Proceedings of the Conference on Psychology and the Process of scholing in the Next Decade: Alternatif Conceptions. Minneapolis: University of Minnesota Audio-Visual Extension, 1971, pp.1-55. Kohlberg, Lawrence. “From Is to Ought: How to Commit the Naturalistic Fallacy and Get Away With It in the Study of Moral Development,” in T.Mischel (ed.). Cognitive Development and Epistemology. New York: Academic Press, 1971. Kohlberg, Lawrence. “Stages of Moral Development as a Basis for Moral Education,” in C.M. Beck, B.S. Crittenden, and E.U. Sullivan (eds.). Moral Education: Interdisciplinary Approaches. Toronto: University of Toronto Press, 1971. Kohlberg, Lawrence. “Indoctrination versus Relativity in Value Education,” Zygon, 1972,pp.285-310. 199
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
Kohlberg, Lawrence. “The Cognitive-Developmental Approach to Moral Education,” Phi Delta Kappan, June 1975, pp.670-677. Kohlberg, Lawrence, and Carol Gilligan. “The Adolescent as a Philosopher: The Discovery of the Self in Postconventional World,” Daedalus, 1971, pp.1051-1085. Kohlberg, Lawrence, and R. Kramer.”Continuities and Discontinuities in Childhood and Adult Moral Development, “ Human Development, 1969, pp.93-120. Krathwol, D.R., Benjamin S.Bloom, and Bertram B. Masia. Taxonomy of Educational Objectives: Affective Domain. New York: David McKay, 1964. Kurtines, William, and Esther, B. Grief. “The Development of Moral Thought: Review and Evaluation of Kohlberg’s Approach,” Psychological Bulletin, August 1974, pp.453-470. Liebert, R.M. “Television and Social Learning: Some Relationships Between Viewing Violence dan Behaving Aggressively,” in J.P. Murray, E.A. Rubenstein, and G.A. Comstock (eds.). Television and Social Behavior, Vol.II: Television and Social Learning. Washington, D.C: Government Printing Office, 1972. Liebert, R.M., and L.E. Frenandez. “Effects on Single and Multiple Model Cues on Establishing Norms for Sharing,” Proceedings, 78th Annual Convention, American Psychology Association, 1970. Likona, Thomas. (ed.). Morality: Theory, Research, and Social Issues. New York: Holt, Rinehart, and Winston, 1976. Lockwood, Alan. Moral Reasoning: The Value of Life. Middletown, Conn.:Xerox, 1972. McMains, M.J., and R.M.Liebert. “The Influence of Discrepancies Between Successively Modeled Self-Reward Criteria on the Adoption of a Self-Imposed Standar,” Journal of Personality and Social Psychology, 8, 1968, pp.166-171. Marler, Charles D. Philosophy and Schooling. Boston: Allyn & Bacon, 1975.
200
Bibliografi
Massialas, Byron G., Nancy F. Sprague, Yoseph B. Hurst. Social Issues Through Inqury: Coping in an Age of Crises. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, 1975. Means, Richard L. The Ethical Imperative: The Crisis in American Values. Garden City, N.Y.: Doubleday, 1969. Metcalf, Lawrence E. (ed.). Values Education: Rationale, Strategies, and Procedurs. Washington, D.C.: National Council for the Social Studies (41st Yearbook), 1971. Meyer, John R., Brian Burnham, and John Cholvat (eds.). Values Education: Theory/Practice/Problems/Prospects. Waterloo, Ontario, Canada: Wilfrid Laurie, 1973. Michaelis, John V. Social Studies for Children in Democracy, 6th ed. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, 1976. Morris, Van Cleve, and Young Pai. Philosophy and the American School. Boston: Houghton Mifflin, 1976. Myrdal, Gunnar. An American Dilemma. New York: Harper and Brothers, 1944. Nelson, Jack. Values and Society. Rochelle Park, N.J.: Hayden, 1975. Newmann, Fred M., with Donald W. Oliver. Clarifying Public Controversy: An Approach to Teaching Social Studies. Boston: Little, Brown & Co, 1970. Oliver, Donald W., and James P. Shaver. Teaching Public Issues in the High School. Boston: Houghton Mifflin, 1966. Perlstein, Marcia H. (ed.) Flowers Can Even Bloom in Schools. Sunnyvale. Calif.: Westinghouse Learning Press, 1974. Peters, Richard S. Ethics and Education. Glenview, Ill.: Scott, Foresman, 1967. Peters, Richard S. “A Reply to Kohlberg,” Phi Delta Kappan, June 1975, p.678.
201
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
Phillips, James A., Jr. Developing Value Constructs in Schooling: Inquiry into Process and Product. Worthington, Ohio: Ohio Association for Supervision and Curriculum Development, 1972. Piaget, Jean. The Moral Judgment of the Child. London: Kegan Paul, Trench, Trubner & Co., Ltd., 1932. Porter, Nancy, and Nancy Taylor. How to Asses the Moral Reasoning of Students. Toronto: Ontario Institute for Studies in Education, 1972. Purpel, David, and Kevin Ryan. “Moral Education: Where Sages Fear to Tread,” Phi Delta Kappan, June 1975, pp.659-663. Raths, Louis E., Merrill Harmin, and Sidney B. Simon. Values and Teaching. Columbus, Ohio: Charles E.Merrill, 1966. Rest, James. “Developmental Psychology as a Guide to Value Education: A Review of ‘Kohlbergian’ Programs,” Review of Educational Research, Spring 1974, pp.241-259. Rich, John Martin. Education and Human Values. Reading. Mass.: AddisonWesley, 1968. Rokeach, Milton. Beliefs, Attitudes and Values. San Francisco: Jossey-Bass, 1970. Rokeach, Milton. The Nature of Human Values. New York: The Free Press, 1973. Rowe, Mary Budd. Teaching Science as Continuous Inquiry. New York: McGraw-Hill, 1973. Ruggiero, Vincent Ryan. The Moral Imperative. Port Washington, N.Y.: Alfred Publishing, 1973. Schrank, Jeffrey. Teaching Human Beings: 101 Subversive Activities for the Classroom. Boston: Beacon Press, 1972. Scriven, Michael. Primary Philosophy. New York: McGraw-Hill, 1966. Scriven, Michael. Value Claims in the Social Sciences. Boulder, Colo.: Social Science Education Consortium, 1966. Scriven, Michael. “Cognitive Moral Education.” Phi Delta Kappan, June, 1975. 202
Bibliografi
Shaftel, Fannie R., and George Shaftel. Role-Playing for Social Values: Decision-Making in the Social Studies. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, 1967. Shaver, James P., and H. Berlak. Democracy, Pluralism, and the Social Studies: Readings and Commentary. Boston: Houghton Mifflin, 1968. Shaver, James P., and A.G. Larkins. Decision-Making in a Democracy. Boston: Houghton Mifflin, 1973. Shaver, James P., and William Strong. Facing Value Decisions: RationaleBuilding for Teachers. Belmont, Calif.: Wadsworth, 1976. Simon, Sidney B., Leland W.Howe, and Howard Kirschenbaum. Values Clarification: A Handbook of Practical Strategies for Teachers and Students. New York: Hart, 1972. Simpson, Elizabeth Leonie. Democracy’s Stepchildren. San Francisco: JosseyBass, 1971. Simpson, Elizabeth Leonie.”Moral Development Research: A Case Study of Scientific Cultural Bias,” Human Development, 1974, Vol 17.pp.81-106. Stewart, John S. “Clarifying Values Clarification: A Critique,” Phi Delta Kappan, June 1975, pp.684-689. Superka, Douglas, et.al. Values Education Sourcebook: Conseptual Approach, Material Analyses, and an Annotated Bibliography. Boulder, Colo.: ERIC Clearinghouse for Social Studies/Social Science Education and Social Science Consortium, 1976. Sutherland, Edward H. White Collar Crime. New York: Holt, Rinehart, and Winston, 1949. Turnbull, Colin. The Mountain People. New York: Simon & Schuster, 1972. Ubbelohde, Carl., and Jack R. Fraenkel (eds.). Values of the American Heritage: Challenges, Case Studies and Teaching Strategies. Washington, D.C.: National Council for the Social Studies (46th Yearbook), 1976. Wadsworth, Barry J. Piaget’s Theory of Cognitive Development: An Introduction for Students of Psychology and Education. New York: David McKay, 1971. 203
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
Wehlage, Gary, and Eugene M. Anderson. Social Studies Curriculum in Perspectives: A Conceptual Analysis. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, 1972. Weinstein, Gerald, and Mario D. Fantini (eds.). Toward Humanistic Education: A Curriculum of Affect. New York: Praeger, 1970. “Who Needs Rules?” Encyclopaedic Britannica Educational Corporation, Chicago, 1972. Wilson, John. Language and the Pursuit of Truth. Cambridge, Mass.: Cambridge University Press, 1967.
204
BIOD ATA PENERJEMAH BIODA
Dr. H. Sarbaini, M.Pd adalah Lektor Kepala pada Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) Jurusan Pendidikan IPS FKIP Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) di Banjarmasin. Lahir di Banjarmasin, pada tanggal 27 Desember 1959. Penulis menyelesaikan pendidikan S1 (Drs) di Jurusan PMP-KN FKIP Unlam tahun 1984, gelar M.Pd diperoleh di IKIP Bandung tahun 1993, dan gelar Dr diperoleh tahun 2011 di UPI Bandung, keduanya berbasis kajian Pendidikan Nilai. Sejak tahun 1986 menjadi pengajar di Program studi PPKn, pernah menjadi pengajar di mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan di berbagai PTS Banjarmasin. Aktif juga sebagai pengajar di Pascasarjana Pendidikan IPS Unlam, dan Pascasarjana STIA Banjarmasin. Pelaku sejarah dan pelibat Pusat Studi Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Unlam bersama alm Prof.Dr. Noerid H.Radam, Ketua Program Studi PPKn FKIP Unlam (2000-2004). Sekarang menjabat Ketua UPT MKU Unlam (2006- sekarang), Tim Pokja PUG Bidang Pendidikan Dinas Pendidikan Kalsel (2007-sekarang), konsultan LPMP (2002-2004), Tim Pokja Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Non Formal (2007-sekarang), Tutor UT UBJJ Banjarmasin (2007- sekarang), anggota Forum Peneliti Balitbangda Kalsel (2008-sekarang), Tim Jaringan Penelitian Balitbangda Kalsel (2002-sekarang), dan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kalsel (2005205
Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik
sekarang), Assesor Sertifikasi Guru, Penyunting Jurnal Wiramartas, Jurnal Sosial dan Pendidikan IPS (2003-sekarang), Ketua Micro Teaching FKIP UNLAM (2011), nara sumber berbagai kegiatan seminar, pendidikan dan pelatihan, menulis beberapa artikel di Vidya Karya, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Wiramartas, dan Jurnal Triwulanan LITBANG. Penulis dan editor buku; Masalah Hukum dan Politik (editor, 2000), Model Pembelajaran Kognitif Moral, dari Teori ke Implementasi (penulis, 2001), Pembinaan Nilai, Moral dan Karakter Kepatuhan Peserta Didik Terhadap Norma Ketertiban Di Sekolah; Landasan Konseptual, Teori, Juridis dan Empiris (penulis, 2012), dan Model Pembelajaran Berbasis Kognitif Moral, dari Teori ke Aplikasi (penulis, edisi revisi, 2012).
Dra. Hj. Fatimah, M.Hum. Lektor Kepala dan Ketua Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) Jurusan Pendidikan IPS FKIP Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) di Banjarmasin. Lahir di Rantau, pada tanggal 21 September 1959. Menyelesaikan pendidikan S1 (Dra) di Jurusan PMP-KN FKIP Unlam tahun 1984, gelar M.Hum diperoleh di Pusat Studi Wanita Universitas Indonesia tahun 2001, dan kini studi S3 PEP UNJ. Pengajar Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan di berbagai PTS Banjarmasin. Pengurus dan aktivis Pusat Studi Gender Lembaga Penelitian Unlam. Ketua Pokja PUG Bidang Pendidikan Dinas Pendidikan Kalsel (2007-sekarang), Tim Pokja Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Non Formal (2007-sekarang), Tutor UT UBJJ Banjarmasin (2007- sekarang), Tim Jaringan Penelitian Balitbangda Kalsel (2002-sekarang), Assesor Sertifikasi Guru, Nara sumber berbagai kegiatan seminar, pendidikan dan pelatihan, menulis beberapa artikel di Vidya Karya, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Wiramartas, Kandil dan Jurnal Triwulanan LITBANG.
206