Sekretariat Negara Republik Indonesia
“Dunia Masyarakat Tanpa Peta―: Rakyat, Nasionalisme, dan Globalisasi Kamis, 27 Maret 2008
Fachry Ali Direktur Lspeu Indonesia dan Komisaris Independen PT Timah.
I
    Kerangka acuan pra-kongres III pembangunan manusia Indonesia berusaha mencandra pokok-pokok masalah yang menjadi keperihatinan bangsa dewasa ini:
Nasionalisme rakyat Indonesia saat ini mengalami kecenderungan yang menurun sehingga berpotensi mengancam keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menghambat pembangunan manusia. Indikasi gejalanya adalah, pertama, masuknya globalisasi yang tidak terkendali telah berpengaruh terhadap pelunturan identitas atau jati diri bangsa. Kedua, praktek penyelenggaraan otonomi daerah di banyak tempat telah memicu ekslusivisme berbasis primordialisme, sehingga nasionalisme berasaskan kerakyatan masih sulit diwujudkan. Ketiga, globalisasi yang membawa nilai budaya pasar bebas, yang pada gilirannya hal ini telah mendorong terjadinya beberapa kesenjangan, khususnya di bidang ekonomi. Disparitas ekonomi yang tajam telah membentuk polarisasi ekonomi. Keempat, penyebaran pembangunan yang tidak merata, dan hal ini membawa akibat terjadinya disparitas. Kelima, akumulasi dan polarisasi ekonomi yang berlangsung bertahun-tahun mengakibatkan terjadinya polarisasi sosial-politik dan budaya. Keenam, polarisasi ekonomi, sosial-budaya dan politik telah mengarah pada terjadinya ekslusivisme pada berbagai bidang kehidupan (kompleks perumahan, pendidikan, tempat rekreasi, dan gaya hidup), yang hal ini sangat potensial terjadinya disintegrasi bangsa.3
    Tentu saja, ada beberapa pertanyaan yang bisa kita ajukan terhadap ketepatan perumusan masalah ini. Misalnya, bukankah secara “antropo-ekonomi― kompleks perumahan atau tempat rekreasi —yang dalam kerangka acuan di atas dinyatakan sebagai simbol keterbelahan masyarakat— justru telah berfungsi sebagai faktor “integratif―, ketika disadari betapa banyak kaum papa menemukan lapangan pekerjaan untuk survivalitas ekonomi mereka? Bukankah dengan itu pasar komoditas dan jasa bagi pedagang kecil —sayur mayur dan lauk pauk lainnya, penganan kecil (tahu dan tempe, termasuk singkong rebus dan goreng, serta mi bakso, misalnya), tukang-tukang becak, juru foto dan jasa layanan bagi fasilitas rekreasi lainnya— menjadi kian terbuka ketika kompleks perumahan atau tempat-tempat rekreasi berekspansi? Dengan contoh-contoh pertanyaan balik ini saya hanya ingin membuktikan bahwa selalu ada kemampuan beradaptasi golongan-golongan masyarakat menurut tingkat atau kelas ekonomi terhadap setiap perubahan yang terjadi.
    Meskipun demikian, pada saat yang sama, rumusan itu harus dihayati sebagai bagian dari keperihatinan nasional tentang suatu hal penting yang, jika kita ingin merumuskan secara lebih tepat, menghadirkan sebuah “dunia masyarakat tanpa peta―. Negara-bangsa (nation-state) serta berbagai institusi fungsionalnya tetap hadir, namun pada saat yang sama kebijakan serta aktor-aktor ekonomi pada tingkat nasional—yang secara langsung atau tidak menanamkan pengaruhnya pada tingkat daerah—tak sepenuhnya berada di tangan. Budaya daerah menemukan ladang artikulasi pada tingkat nasional—betapa banyak lagu dan tarian, bahkan cita rasa makanan daerah mendapat panggung pada tingkat nasional—namun pada saat yang sama sense of arts (cita rasa keindahan jiwa) serta sense of taste (cita rasa lidah) publik nasional didominasi produk-produk asing. Dalam arti kata lain, struktur konsumsi lahir dan batin publik nasional tak lagi secara sempurna mencerminkan cita rasa “nasional―. Bukankah hampir seluruh vernacular publication (media terbitan berbahasa daerah) tak mampu berekspansi karena tertindih oleh the national language publication (media terbitan bahasa nasional)? Bukankah juga, walau statistiknya tak pernah atau belum dibuat, penerbitan berbahasa asing —di sini, termasuk The Jakarta Post—dalam dan luar negeri lebih banyak diminati dan dibaca publik nasional daripada hasil vernacular publication? Bukankah, jika kita ingin menambah peristiwa paling populer baru-baru ini, gerak kaki serta sundulan kepala para pemain bola dalam Kejuaraan Dunia beberapa minggu lalu di Jerman jauh lebih kita ketahui daripada apa yang terjadi di propinsi, kabupaten, kecamatan atau bahkan desa tetangga kita? http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 18 January, 2017, 04:17
Sekretariat Negara Republik Indonesia
    Absurditas pengalaman pribadi dan kolektif yang distrukturkan oleh faktor-faktor di luar kontrol kita inilah yang, saya kira, menjadi pangkal lahirnya “dunia masyarakat tanpa peta―. Pertanyaan pokoknya adalah bagaimana menemukan atau membuat “peta― yang mampu berfungsi sebagai beacon (menara suar) pada mana setiap orang mengetahui kemana harus melangkah? Jawabannya tak mudah ditemukan kecuali melanjutkan dengan pertanyaan berikutnya: apakah negara yang berkinerja dewasa ini cukup mempunyai kemampuan penetratif dalam memberikan pengayoman material dan spritual bagi “rakyat―?
II
    Secara resmi, “rakyat― bisa didefinisikan sebagai penduduk Indonesia. Namun secara sosio-ekonomi dan politik, yang kita maksudkan adalah seseorang yang peripenghidupannya lebih acap tak bersinggungan dengan artikulasi negara dalam meningkatkan kualitas taraf hidup. Tak perlu diperdebatkan, bahwa orang-orang semacam ini adalah mayoritas penduduk Indonesia. Karena deskripsi tentang lapisan “rakyat― yang dimaksud ini terlalu rumit, izinkan saya melukiskan satu orang di antaranya, dan dengan ini kita menemukan pengalaman kongkret untuk menghayati apakah perlu berkisah tentang cita-rasa nasionalisme kepada tokoh jenis ini.
    Tokoh ini adalah Uding. Meskipun asal Betawi asli, ia lahir di Karawang, Jawa Barat. Tak tahu tanggal dan tahun lahirnya, Uding kembali ke kampung Betawinya dalam usia dini pada awal 1970-an. Bekal “pengetahuan― tidak diperoleh di sekolah, melainkan di rumah-rumah ustadz (bahasa Arab: guru) mengaji. Dilihat dari konteks ini, Uding telah berada dalam atau, hanya melanjutkan tradisi menyelami “pengetahuan― yang telah berlangsung lama. Bupati Banten zaman kolonial Achmad Djajadiningrat (1877-1943), kira-kira satu abad sebelumnya, telah melakukan hal yang sama: menangguk “pengetahuan― dari dunia pesantren pada usia dini. Dan salah satu bentuk “pengetahuan― itu adalah †sang ustadz bahwa ia adalah anak seorang kafir—karena sang ayah bekerja dalam pemerintahan kolonial.4 Dalam lukisannya sendiri, yang ditulis pada 1936, Djajadiningrat bercerita tentang ustadz itu:
As a son of a (government) official I have to suffer a great deal from my loerah, who had little liking for the government. If, for example, I pronounced an Arabic word incorrectly he would immediately spit at me in a hateful way: ‘you will never learn it, because you have filled your stomach too much with the rice which was bought with the unclean money.’ (A government salary was in his opinion haram, i.e. unclean)
(Sebagai anak seorang pejabat (pemerintah) saya harus menerima deraan dari loerah5 saya, yang sangat tak menyukai pemerintah. Jika, misalnya, saya keliru mengucapkan kata Arab dia meludahi saya dengan sikap benci: ‘kamu tak akan pernah paham, karena kamu telah terlalu banyak menjejali perutmu dengan nasi yang dibeli dengan uang kotor.’ (Gaji pemerintah dalam pendapatnya adalah haram, yaitu kotor).6
    Tentu saja, sikap ustadz mengaji yang ditemui Uding di atas sudah sangat berbeda dengan loerah yang dihadapi Djajadiningrat hampir—jika diukur dengan kurun ketika tulisan ini dibuat—dua abad lalu itu. Apa yang penting kita catat di sini adalah bahwa tradisi mengaji, sebagai sarana mencapai “pengetahuan― terus berlanjut. Ini dibuktikan oleh pengalaman masa kecil bekas Kapolri Awaloedin Djamin (lahir: 1927) di Sumatera Barat. Dalam autobiografinya, Awaloedin Djamin menulis:
Akhirnya oleh ayah saya disuruh mengaji kepada seorang guru yang tinggal dekat rumah. Guru mengaji yang ini mengajar tidak pernah pakai baju, hanya pakai sarung dan topi haji. Mungkin karena panas.7
    Dengan menelusuri garis sejarah tradisi ini, pengalaman Uding bukanlah sebuah deviasi. Apa yang dialami http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 18 January, 2017, 04:17
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Djajadiningrat ketika berhadapan dengan “kebencian― loerah-nya, atau Awaloedin Djamin dengan “kesewenangan― yang tak berbaju, juga berbagi dengan pengalaman Uding. Sebagai kanak-kanak, tentu ia pernah atau bahkan acap berkelahi. Meski selalu menang, pada suatu hari ia harus menerima pecutan sang ustadz di punggungnya —hanya karena kebetulan lawan yang dikalahkannya adalah keponakan sang guru ngaji. Tetapi, inilah “pengetahuan― yang diperolehnya, di samping kemampuan membaca al-Qur’an: tindakan ustadz itu bersifat “setengah sakral―. Maka, kendatipun secara mampu melawannya, ia pasrah menerima hukuman itu. Ia, seperti pernah disampaikan kepada saya, bahkan ihlas “menikmati― rasa sakit di punggungnya itu akibat lecutan pecut. Pangkal persepsi bahwa keputusan itu bersifat “seteng sakral― adalah agama. Sebagai sebuah sistem nilai suci, sekeping pengajaran agama yang diberikan sang ustadz telah pula membawa “kesucian― kepada the bearer (sang pembawa)-nya.
    Sepintas lalu, sikap pasrah Uding ini tampak sederhana. Tetapi, eksplorasi antropologi atas agama, seperti yang dilakukan Clifford Geertz, menunjukkan bahwa tingkah laku tersebut adalah hasil strukturisasi simbol-simbol yang dianggap suci oleh sang penganut. Sebab agama dapat diartikan sebagai sebuah:
[s]ystem of symbols which acts to establish powerful, pervasive, and long-lasting moods and motivations in men by formulating conceptions of a general order of existence and clothing these conceptions with such an aura of factuality that the moods and motivations seem uniquely realistic.
(sistem simbol yang bertindak membangun suasana hati dan motivasi kuat, meresap dan bertahan lama dalam diri manusia dengan merumuskan pengertian-pengertian tentang keberadaan tatanan dunia dan membungkus pengertianpengertian tersebut dengan cahaya faktual sehingga suasana hati dan motivasi [bentukannya itu] tampak betul-betul nyata).8
    Dengan demikian, sikap pasrah, bahkan juga “ihlas― yang didemonstrasikan Uding atas “hukuman― sang u adalah produk sebuah sosialisasi panjang antar generasi tentang agama, sebagai rangkaian simbol-simbol suci. Hampir tanpa tandingan, agama-agama—yang bukan saja mampu bertahan selama ribuan tahun, melainkan juga bertindak sebagai pesaing kewibawaan negara modern dan sekular— telah mendominasi dunia gagasan manusia. Dan, sebagai “anak ingusan― yang struktur “pengetahuan―-nya hampir secara total tergantung pada agama, Uding dalam usia dini saja tak mempunyai bekal memadai untuk memberontak terhadap ajaran yang telah terinternalisasi dengan sangat mapan tersebut.
    Tetapi secara kasat mata, nasib Uding tidaklah “sebaik― Achmad Djajadiningrat dan Awaloedin Djamin. Walau, da waktu dan tempat yang tentunya sangat jauh berbeda, sama-sama mengaji di masa kanak-kanak, Achmad Djajadiningrat adalah seorang anak pembesar Banten masa kolonial. Berada dalam payung atau asuhan politik budaya kaum etisi Belanda yang bersifat—menggunakan istilah Benda—paternalistic (kebapakan dan pengayoman),9 Djajadiningrat bukan saja terekrut ke dalam sistem pendidikan modern, melainkan juga berhasil meniti karirnya ke tingkat puncak pemerintahan daerah: Bupati Banten.10 Sementara, Awaloedin Djamin juga berkakek buyut Bupati Padang. Dan meski kakeknya—anak tertua dari kakek buyut—bertindak sebagai anak manja dan karena itu tak pernah selesai bersekolah, ayahnya Marah Djamin bekerja sebagai boomklerk di zaman Belanda. Sebuah jabatan “[c]ukup lumayan menurut ukuran masyarakat kota Padang pada waktu itu.―11
    Namun Uding? Ayahnya adalah Kong12 Nalih—yang meninggal dunia pasca lebaran tahun 2000. Walau mewarisi 1 atau 2 hektar tanah di Jakarta Timur sejak tahun 1950-an, ia tak meninggalkan material yang berlimpah kepada anakanaknya, kecuali 300 atau 400 meter tanah untuk tempat tinggal anak-anak dan cucu-cucunya, yang kini berjumlah kurang lebih 30 orang, serta sekaligus untuk “taman perkuburan keluarga―. Kecuali “pengetahuan― agama, Uding ta pernah bersekolah. Kemampuannya membaca huruf latin adalah berkat “kursus kilat― Hambali. Berprofesi sebagai tukang ojek sepeda motor dan penjaga malam sebuah toko, Hambali adalah bekas murid kelas 6 sekolah dasar pada awal 1970-an yang—karena belum pernah menempuh ujian—tak mempunyai ijazah. Dalam usaha mendekati calon isterinya, Mpok13 Nati, Hambali memang berbaik hati memberikan “kursus― membaca kepada Uding dan abangnya, Wirja. Sebab, kedua tokoh terakhir ini adalah adik Mpok Nati. Dalam cerita Uding kepada saya, “kursus― tersebut segera berakhir setelah Mpok Nati dipastikan menjadi isteri Hambali. http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 18 January, 2017, 04:17
Sekretariat Negara Republik Indonesia
    Karena itu, saat pemerintah Orde Baru sedang dalam puncak semangat melancarkan pembangunan dan modernisasi, Uding terpaksa “menantang dunia― dengan hanya berbekal melek huruf latin atas kebaikan Hambali. Maka, yang bisa dilakukan untuk survive sejak kanak-kanak adalah bekerja serabutan. Di samping ngangon14 kerbau, ia menjual es atau jajanan pasar lainnya hingga mengembara “jauh― ke kompleks-kompleks perumahan Angkatan Udara maupun sipil. Ketika masa remaja telah matang, Uding mempertahankan hidupnya dengan bekerja sebagai kuli bangunan. Melalui ini, ia berkelana ke kampung-kampung atau kecamatan-kecamatan lain, bahkan hingga ke Cianjur, Jawa Barat. Antara 2000 sampai dengan 2005, ia menghentikan peran sebagai kuli bangunan secara total karena mendapat pekerjaan menjaga keamanan rumah seseorang. Lepas dari situ, sampai dengan awal 2006, bersama isterinya ia merintis penjualan roti isi selai di pinggir jalan. Musim hujan yang berkepanjangan awal 2006, memaksanya berhenti dan kembali—walau tak kontinu—kepada profesi lamanya: kuli bangunan. Sampai tulisan ini dibuat, ia dalam keadaan menganggur setelah membantu penyelesaian sebuah rumah tetangga yang berjarak beberapa puluh meter di sebelah belakang rumahnya.
    Maka, jika Achmad Djajadiningrat dan Awaloedin Djamin masing-masing bersua dengan perihal kenegaraan pada tingkat frekuensi yang tinggi—karena yang pertama menjadi pejabat puncak sebuah daerah dalam negara kolonial dan yang kedua menjadi kepala polisi dalam negara Indonesia merdeka—dimanakah posisi Uding dalam konteks negarabangsa? Melihat posisinya yang secara diametral sangat berbeda dengan kedua tokoh di atas, pertanyaan ini terasa mengada-ada. Sebab, secara struktural terlalu kecil terkuak kemungkinan yang mempertemukan Uding dengan perikehidupan negara-bangsa. Hampir seluruh jaringan birokrasi dan kebijakan-kebijakan signifikan negara—dalam perpajakan, paket kebijakan memperlancar investasi, program divestasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), strukturisasi dan restrukturisasi utang swasta dan nasional, peningkatan domestic saving (tabungan dalam negeri), program asuransi pekerja, kebijakan-kebijakan politik dalam dan luar negeri dan pertahanan keamanan serta undangundang antiterorisme serta lainnya—tak ada yang bersentuhan dengan struktur kehidupan Uding. Ia bahkan tak memerlukan atau—karena latar belakang “kursus kilat― dalam membaca huruf latin—tak menaruh minat sama sekali terh perdebatan tentang apakah Pancasila perlu dipertahankan sebagai dasar ideologi negara atau apakah ujian negara (UN) bagi siswa Indonesia patut dilakukan atau tidak.
    Karena itu, secara struktural dalam posisinya yang semacam itu Uding hampir tak memiliki media signifikan yang mempertemukan tokoh ini dengan perikehidupan negara-bangsa. Kekhawatiran yang dilontarkan penyusun konsep arahan pra-kongres ini, sebagaimana dikutip di halaman pertama di atas, tentang sirnanya semangat nasionalisme di kalangan rakyat, dengan demikian, sudah barang tentu tak berbagi dengan atau tak terinternalisasi ke dalam struktur kesadaran Uding. Maka, hanya tersisa media yang tak terlalu signifikan yang memberi setting baginya bersua dengan negara: Ketua Rukun Tetangga (RT)—unit representasi negara paling dasar—di kampungnya, lapangan bulutangkis dan pemilu.
    Persinggungannya dengan Ketua RT menyangkut kepentingan tentang kartu identitas sebagai warga negara, yaitu Kartu Tanda Penduduk (KTP). Di sini ia bercerita—walau dengan tetap bernada riang—atas reduksi representasi negara (Ketua RT) tentang namanya, ketika, pada awal 1980an, Uding untuk pertama kali mengurus KTP:
Saya ngotot15 mengatakan nama saya Syarifudin. Tapi Pak RT bilang: ‘Ah nama lu16 kebagusan, padahal lu anak kampung. Udah, Uding aja.’ Akhirnya nama saya dalam KTP ditulis Uding. Baru tahun 2005 ini tulisan nama ini saya urus di kantor kelurahan. Jadi nama saya di KTP udah lengkap.
    Sepenggal dialog ini secara teoritis menggambarkan struktur relasi antara Uding, sebagai warga negara dan, di atas itu, rakyat biasa, dengan negara yang direpresentasikan Ketua RT. Jenis dialog ini mendemonstrasikan betapa negara—melalui kinerja Ketua RT—tampil berjarak dan menfungsikan obligatory relation (hubungan yang menekankan kewajiban)-nya dengan rakyat kurang dari ukuran “apa adanya―. Dengan mengutip konsep Bourdie, keberadaan Uding sebagai pribadi yang lengkap bahkan terabaikan dalam sistem relasi negara-rakyat, karena symbolic capital—jika nama Uding yang sebenarnya kita anggap sebagai “modal simbolik― pribadinya— tak terakui.17 Di sini negara gagal atau lalai memproyeksikan intimacy relations yang semestinya diterima Uding sebagai warga negara yang sah. Sebagai aspiran pengakuan diri, yakni pengakuan hak terdalam yang menjadi miliknya—kelengkapan nama yang semestinya termaktub dalam naskah atau dokumen yang dikeluarkan negara, dalam konteks ini: KTP—menjadi terabaikan. http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 18 January, 2017, 04:17
Sekretariat Negara Republik Indonesia
    Maka, jika pada akhirnya Uding bersua dengan negara-bangsa, panggung yang tampil baginya bukanlah kreasi negara, melainkan inisiatif diri dan komunitasnya, ketika ia dalam gelora penghiburan diri turut serta dalam perayaan hari lahir kemerdekaan 17 Agustus. Di sini, struktur relasi antara negara dan rakyat tegak pada fondasi berbeda. Jika struktur relasi Uding dengan Ketua RT yang telah kita lihat sebelumnya tegak pada otoritas negara, kini struktur itu tegak di atas otonomi masyarakat: lapangan bulutangkis—yang dibangun atas prakarsa dan biaya kelompok masyarakat sendiri. Di atas arena ini, Uding bukan hanya mengartikulasikan kesejatian dirinya—yakni menjadi peserta pertandingan untuk perayaan kemerdekaan, membayar kontribusi dan bergembira ketika menang serta menelan kecewa ketika kalah— melainkan juga mempertautkan emosi pribadinya dengan komunitas yang lebih besar yang dibayangkan merupakan bagian darinya, yakni ketika ia mendukung secara mati-matian regu bulutangkis Indonesia berhadapan dengan regu negara lain, bergembira karena kemenangannya dan kecewa karena kekalahannya. Sebuah proses partisipasi tak sadar atas pertalian pribadi dengan khalayak raksasa apa yang disebut Anderson sebagai the imagined community.18 “Nasionalisme― yang diekspresikannya, dengan demikian, adalah proyeksi personal: dengan mengidentifikasikan dirinya sebagai pemain bulutangkis pada tingkat kampung, ia membangun struktur kaitan emosional dengan kemenangan atau kekalahan regu bulutangkis nasional di arena internasional.
    Terakhir, keterkaitan Uding dengan perikehidupan negara-bangsa tercipta pada program politik nasional: pemilihan umum (pemilu). Sebagai sebuah kerja raksasa, program ini tentu telah melibatkan begitu banyak aktor yang sulit kita identifikasikan satu persatu. Dalam konteks Uding, keterlibatannya dalam perhelatan politik itu bukan hanya mencoblos atau mengajak orang lain mendukung satu partai atau calon presiden/wakil presiden, melainkan juga—melalui penataran kilat yang diselenggarakan kecamatan—terekrut sebagai salah satu penjaga keamanan di tempat pemungutan suara (TPS) kampungnya. Di sini, seperti yang saya saksikan, sosok struktur psikologisnya sama dengan ketika ia berartikulasi di arena bulutangkis. Tampak gagah dibalut pakaian seragam pertahanan sipil (hansip), dengan topi dan sepatu lars militer, ia meneliti keadaan, memeriksa siapa saja yang masuk, melayani apa yang diperlukan pencoblos dan panitia lainnya serta mengawasi dengan ketat perhitungan suara. Dalam hal ini, kinerjanya tampak impersonal dan dengan sempurna berhasil mengendalikan subyektivismenya. Namun, seperti juga orang lain, ia mempunyai kecenderungan sendiri. Maka, bagai memproyeksikan passion bulutangkisnya, ia bergembira ketika partai atau tokoh yang didukungnya mendapat suara dan kecewa jika dukungan itu tak memadai. Kendatipun demikian, secara “profesional― ia adalah penjaga keamanan, dan karena itu sikap impersonal-nya menjadi lebih dominan: ia tak beringsut sejengkal pun dari arena ‘politik― itu sampai seluruh perhitungan suara usai, sampai kotak-kotak suara terkunci dan—sesuai dengan tugas panitia dan ketua RT—membawanya ke kantor kecamatan.
III
    Sebagai salah satu rakyat Indonesia, pelajaran, atau lebih tepatnya, kesan konseptual apa yang mampu terproyeksikan dari struktur pengalaman keseharian Uding ini, dalam kaitannya dengan nasionalisme? Sebagai anak Betawi, Uding tak mampu menemukan beacon dalam sejarah masa lampau komunitasnya yang mempertautkan dirinya dengan sebuah sistem gagasan besar. Kecuali “Lenong― dan genre serial lagu “Langgam Betawi― ia tak menemukan pun kraton—yang secara tradisional berfungsi memproduksi simbol-simbol budaya sebagai acuan bagi rakyat—dalam lanskap deru sejarah wilayahnya. Bahkan, di dalam beberapa hal, penelitian proses sejarah yang kini disebut “dunia Betawi― secara teoritis menjadi subversif baginya, bukan saja karena “Betawi― adalah ekspresi (lidah) lokal dari kata “Batavia―, namun juga awal pembangunan wilayah ini —sepanjang yang kita maksud adalah Batavia—adalah kreasi Be dan para perantau Cina.19 Hadir tanpa “kebesaran― sejarah masa lalu, Uding secara simbolik menjadi tertekan, karena bahkan ia tak mempunyai legitimasi untuk menangisi masa lalu kolektifnya. Dilihat dari konteks ini, betapapun sambil menangis, penyair terkenal Ranggawarsita lebih beruntung, justru ketika menyesali masa lalu kejayaan politik dan kekuasaan Jawa yang hilang dalam Serat Kala Tidha (Sajak Masa Kegelapan) pada 1873:
Ratuné ratu utama Patihé patih linuwih Pra nayaka tyas raharja Panekaré becik-becik http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 18 January, 2017, 04:17
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Parandéné tan dadi Paliyasing kalabendu
(Rajanya raja sempurna Perdana Menteri yang cakap Bupati berhati baja Pejabat rendah berbaik hati Namun tak seorang pun [mampu] bertahan [dari] Hari kehancuran)20
    Maka, dari patokan mana Uding harus membangun garis ingatan yang mempertemukannya dengan gagasan besar masa lalu, ketika sejarah yang menerpanya, setidak-tidaknya untuk diri dan keluarganya, kosong dari pesan intelektual yang membangkitkan kesadaran bersama? Di sini, Awaloedin Djamin jauh lebih beruntung, karena di masa remaja ia telah terpergok dengan gagasan nasionalisme yang diolah sang revolusioner legendaris Minangkabau, Chatib Sulaiman:
Sumateraku sayang, Bukit Barisan Lurah dan ngaraimu sungguh berinsan Pantaimu lebar sawahmu luas Sayang pemudanya belumlah cerdas.21
    Pertemuan seseorang dengan lagu sarat pesan intelektual dan membangkitkan kesadaran, apalagi yang sekelas dengan Awaloedin Djamin, semacam ini bersifat crucial, karena dengan itu imajinasi diperkaya dan pada akhirnya menstrukturkan relasi di atas mana seorang tokoh mempertautkan jiwa, emosi dan cita-cita pada sesuatu yang lebih besar. Sosok Awaloedin Djamin yang kita kenal dewasa ini haruslah dihayati sebagai hasil transformasi panjang akibat persuaannya dengan gagasan-gagasan besar di masa lalu. Tetapi, sekali lagi, gagasan apa yang ditemui Uding di masa lalu? Wujud pertanyaan ini kian kelam jika diingat bahwa satu-satunya sumber “pengetahuan― miliknya, seperti telah dinyatakan di atas, adalah apa yang mampu dieksplorasi dalam pengajian. Jenis pengetahuan ini, dengan sendirinya, menjadi penghalang baginya tersosialisasi ke dalam masyarakat lintas-budaya serta agama dan sekaligus—terutama karena kecakapan membaca yang sangat minimal— menjadi “tembok tebal― yang memisahkannya dari dunia literatur sejarah tokoh masa lalunya sendiri. Dapat dipahami, dengan demikian, bahwa dengan seluruh “keterbatasan― yang dimilikinya ini ia menjadi tak mampu untuk meraih pemahaman substansial atas buah pikir, perjuangan serta setting intelektual Husni Thamrin—tokoh pergerakan nasional asal Betawi—yang galibnya menjadi examplary model (model sempurna) bagi Uding dalam membangun rasa nasionalisme, seperti halnya Awaloedin Djamin dengan, misalnya, Chatib Sulaiman di atas.
    Lewat studi kasus atas Uding ini, kita menemukan bahwa kualitas sejarah yang menerpa sebuah anggota komunitas, derajat dan wujud relasi negara dengan rakyat serta perikehidupan ekonomi yang dihadapi sang jelata telah menjadi faktor penentu atas terbuka atau tertutupnya kemungkinkan membagi perasaan dan wawasan pandangan yang sama dengan seseorang atau kelompok lain yang secara pengalaman, budaya serta agama berbeda. Dalam konteks Uding, walau pasti menyadari terdapat berbagai etnik dan golongan yang terpergok dalam perikehidupannya secara langsung atau tidak, perbedaan serta jarak geografis dan kelas sosial dirinya dengan yang lain tak memungkinkannya mengembangkan kualitas kesatuan emosional sedalam seperti yang dirasakan serta terpraktekkan Awaloedin Djamin. Maka, setidak-tidaknya pada tataran logika, akan sulit menemukan kedalaman tercengkeram gagasan nasionalisme di dalam jiwa atau dada para anggota masyarakat yang senasib dengan Uding. http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 18 January, 2017, 04:17
Sekretariat Negara Republik Indonesia
    Tentu saja, jika jenis terpaan sejarah dijadikan ukuran, harus diakui bahwa kasus Uding—dan orang-orang Betawi asli lainnya—bersifat spesifik. Dalam arti bahwa anggota-anggota etnik lain (Jawa, Sunda, Bugis, Aceh, Minangkabau, Minahasa, Palembang, Riau dan lainnya) relatif mempunyai kenangan kolektif dan kebanggaan sejarah atas masa lampau mereka. Karenanya, secara kolektif mereka relatif mempunyai modal sosial untuk menemukan examplary model di atas mana potensi bibit nasionalisme dimungkinkan tumbuh, terutama ketika disadari bahwa masa lalu daerah masingmasing telah melahirkan tokoh-tokoh tertentu yang turut serta menciptakan Indonesia merdeka. Akan tetapi, dilihat dari perspektif sosio-ekonomi dan politik, mayoritas penduduk Indonesia telah, sedang, dan mungkin di masa depan, akan membagi nasib yang sama dengan Uding: teralienasi dari persentuhan konstruktif dalam struktur relasi yang dibangun negara. Di dalam beberapa hal, sebagian besar dari mereka bahkan mengalami nasib lebih buruk dalam persuaan dengan negara. Ini terutama terjadi terhadap the unskilled migrants (perantau tak terampil) yang, dalam jumlah puluhan juta, menyesaki kota-kota besar—baik karena motif ekonomi maupun ambisi prestise. Hidup tak permanen di kawasan perkotaan, mereka tergelayuti ancaman keterusiran dari representasi negara: aparat ketenteraman dan ketertiban (trantib). Tindak pengusiran dari permukiman dan dari fasilitas-fasilitas publik tempat mereka berdagang mendemonstrasikan—lepas dari persoalan legalitas—“persuaan pahit― rakyat jelata dengan negara.
    Maka, jika Uding gagal menemukan sistem gagasan yang membangun kesadaran bersama dalam sejarah masa lampaunya, puluhan juta kaum perantau tak terampil ini terpergok dengan pengalaman “keras― dalam struktur relasi dengan negara. Sejarah masa lampau tak bermuara (history without milestones) yang dialami Uding, dengan demikian, bergabung dengan pengalaman kolektif kekinian tentang ketak-ramahan negara (current collective experience of state’s unhospitality) yang dihadapi puluhan juta kaum perantau tak terampil. Dalam konteks ini, keakraban hubungan negara dengan rakyat tak tercipta, karena rakyat tak menemukan struktur keintiman (intimacy structure) yang mereka proyeksikan secara subyektif terhadap negara. Pada saat yang sama, atas dasar legalistik dan keabsahan formalitas baku —untuk menghindari kata “kaku―—negara, melalui aparat-aparatnya, lebih cenderung mempertontonkan sikap impersonal-nya. Maka, kesatuan relasi hubungan intim negara dan rakyat menjadi gagal terbentuk. Di sini, dunia personal yang memberikan ruang kehidupan bagi rakyat menjadi terbelah dengan dunia impersonal negara. Sebab “keintiman― mengandung arti:
[w]armth, trust and open expression of feeling. But precisely because we have come to expect this psychological benefits throughout the range of our experience, and precisely so much social life which does have a meaning connot yield these psychological rewards, the world outside, the impersonal world, seems to fail us, seems to be stale and empty.
(kehangatan, kepercayaan dan ungkapan perasaan yang terbuka. Tetapi justru karena kita terlanjur berharap mendapat keuntungan psikologi dari seluruh rentang pengalaman kita, dan justru karena terlalu banyak kehidupan sosial bermakna tak memperoleh imbalan [keintiman] psikologi yang diharapkan, dunia luar, dunia impersonal, tampaknya tak berharga dan kosong).22
IV
    Absennya keintiman dalam struktur relasi negara dan masyarakat inilah yang merupakan—dalam perspektif Uding dan rakyat jelata yang senasib dengannya—menciptakan “dunia masyarakat tanpa peta―. Jika Uding tak menemukan jejak berharga pada masa lalunya, puluhan juta kaum perantau tak terampil luput menemukan pegangan justru di masa kini. Maka, kendatipun terdengar sederhana, pertanyaan berikut ini terasa bagai “horor― bagi kita: arah mana harus diambil menuju masa depan jika masa lalu dan masa kini tak memberikan pijakan jelas? Bukankah secara kasat mata tanah tempat Uding serta sanak saudara berdiam akan menghadapi “ledakan penduduk― alamiah yang lebih dahsyat dalam sepuluh tahun mendatang, ketika cucu-cucu Kong Nalih berkeluarga, beranak-pinak sementara land supply (pasokan tanah) secara absolut kian terbatas? Bukankah dalam tempo sepuluh tahun mendatang pasokan permukiman tak resmi, lapangan pekerjaan serta “fasilitas― perdagangan para perantau tak terampil kian menciut, tertindih ekspansi aktor-aktor bermodal maupun—sekali lagi—“ledakan penduduk― nasional di kawasan perdesaan yang membanjiri kota-kota besar Indonesia?  http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 18 January, 2017, 04:17
Sekretariat Negara Republik Indonesia
    Secara teoritis, ada beberapa jawaban “ideal― atas pertanyaan-pertanyaan bernada “horor― di atas: kemun economic and political agencies (agen-agen sosial-ekonomi dan politik) baik dari dalam mau pun dari luar dunia mereka yang memberikan penguatan atau pemberdayaan untuk memahami “dunia masyarakat tak berpeta― yang dihadapi. Terutama secara internal, kemungkinan ini menjadi problematik karena pada umumnya mereka menderita kelangkaan social capital, yakni sumber-sumber daya non-material, terutama dalam kemampuan merumuskan masalah serta tujuan dan pengorganisasian diri. Agen eksternal, dengan demikian, menjadi lebih ideal. Kemunculan berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bisa disebut sebagai kekuatan civil society dan diawaki tokoh-tokoh muda terpelajar serta berdedikasi telah, secara teoritis, menjadi potensi ideal yang berfungsi sebagai socio-economic and political agencies untuk memberikan arah bagi langkah mereka ke depan. Akan tetapi, di samping terancam tak langgeng, kemampuan aktor-aktor civil society ini sangat terbatas menjangkau seluruh fraksi rakyat jelata—yang secara struktural “terpaksa― terabaikan negara. Maka, agen eksternal lain yang tersisa adalah partai-partai politik. Pertanyaannya, adalah apakah partai-partai politik punya ketulusan dan kapasitas memperjuangkan massa jelata ini di luar kebutuhan kampanye pemilihan umum tingkat nasional maupun daerah?      Dalam konteks inilah, negara menjadi tumpuan harapan lebih ajek bagi massa jelata. Lepas dari ketentuan konstitusional tentang tugasnya, sejarah krisis ekonomi dan finansial dunia akhir 1920 dan awal 1930 telah memberikan preseden bagi negara untuk mengubah wajah “kaku―-nya kepada “keramahan―. Krisis ekonomi yang disebut Great Depression ini berpangkal pada Perang Dunia Pertama (PD I) sekitar 1914-1918 yang menciptakan “[c]ronic unemployment, inflation, fluctuations in exchange rate—structural disequilibria— culminating in acute crisis between 19291932― (pengangguran yang parah, inflasi, ketak-ajekan nilai tukar—kepincangan struktural—yang memuncak pada krisis parah antara 1929-1932).23 Tak lagi percaya pada sistem ekonomi kapitalis berbasis gagasan laissez-faire aktor-aktor swasta (private capitalists) abad ke-18 dan ke-19, negara mengambil alih peran mereka: bertindak sebagai aktor utama dalam perekonomian dan mereformasi sistem ekonomi dan finansial global. Dari sinilah, walau didahului Amerika Serikat di bawah Presiden Roosevelt dengan program New Deal-nya pada 1933, gagasan Welfare State (negara kesejahteraan) tampil ke depan berdasarkan pemikiran ekonom Inggris terkenal John Maynard Keynes dalam bukunya The General Theory of Employment, Interest and Money pada 1936. Kesimpulan dari karya Keynes inilah yang meletakkan dasar konseptual dan teoritis betapa negara harus mengambil peran lebih besar dalam perekonomian nasional:
Keynes’s policy conclusion is that government should use its formidable power to tax, spend and change the quantity of money and rate of interest in such fashion as to assure that total effective demand for currently produced goods and services is always sufficient to sustain the full-employment level of out put. Government can directly affect the level of private spending—household consumption and business investment—by varying tax and interest rates, and it can vary its own spending on welfare services (education, health) and social capital (roads, public housing), by deliberately unbalancing its yearly budget.
(Kesimpulan kebijakan Keynes adalah bahwa pemerintah harus menggunakan kekuasaan besarnya untuk memungut pajak, menggunakan dan menyesuaikan jumlah uang dan tingkat bunga sedemikian rupa untuk menjamin bahwa permintaan efektif total bagi barang-barang dan jasa yang dewasa ini dihasilkan cukup memadai untuk memelihara tingkat hasil serapan tenaga kerja penuh. Pemerintah dapat secara langsung mengatur pembelajaan swasta —konsumsi rumah tangga dan investasi usaha— dengan penyesuaian pajak dan tingkat suku bunga, dan juga dapat mengatur pembelajaannya sendiri bagi pelayanan kesejahteraan (pendidikan, kesehatan) dan modal sosial (jalan-jalan, perumahan umum) dengan secara sengaja mengatur anggaran tahunannya).24
    Di dalam beberapa hal, postulasi Keynes ini memberi inspirasi bagi kemunculan teori-teori pembangunan ekonomi (development economics) yang menekankan bahwa di banyak masyarakat terbelakang dan baru berkembang, kelangkaan modal dalam negeri (domestic capital) dan teknologi adalah hambatan utama dalam perkembangan ekonomi. Karena itu, negara harus mengambil inisiatif menanamkan modal secara besar-besaran yang berfungsi sebagai big push (dorongan besar) guna memberi kesempatan bagi perkembangan ekonomi nasional.25 Kendatipun benar bahwa kemujaraban model pembangunan ekonomi ini mulai dipertanyakan, atau setidak-tidaknya harus mengalami revisi mendasar,26 keberhasilan pembangunan ekonomi dan industrialisasi di negara-negara Asia Timur selama era 50-an sampai dengan 90-an justru dianggap sebagai keberhasilan menerapkan gagasan Keynes—dengan beberapa penyesuaian penting—yang kemudian dikenal sebagai governing market model, di mana peran negara dalam perencanaan dan perekonomian nasional berada dalam posisi decisive.27 Untuk konteks Indonesia, Kenynesian model inilah yang diterapkan rezim Orde Baru pada tahap-tahap awal pembangunan nasional.28 Keberhasilan penerapan model pembangunan Keynesian inilah yang menyebabkan peranan negara di masa Orde Baru menjadi sangat kuat dan bahkan mampu mereproduksi aktor-aktor ekonomi raksasa nasional.29 http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 18 January, 2017, 04:17
Sekretariat Negara Republik Indonesia
   Persoalannya adalah bahwa sekali berhasil melaksanakan pembangunan ekonomi, sekali itu pula sebuah negara terintegrasi ke dalam sistem perekonomian global. Walau telah memberikan keuntungan “bagi semua pihak―—sebagaima sering dipostulasikan kaum ekonom neo-klasik30—arus globalisasi tersebut sangat ditandai oleh pergerakan modal jangka pendek apa yang disebut dengan portfolio investment, yang menyebabkan nilai perdagangan modal menjadi berkali lipat lebih tinggi daripada nilai perdagangan barang dan jasa. Maka, aktor utama dalam proses globalisasi bukanlah negara, melainkan para financiers yang kontrol atas kekuasaan bahkan melebihi negara raksasa sekelas Amerika Serikat:
This shift in power has not gone unoticed by political leaders. James Carville, President’s Clinton political adviser, remarked: ‘I used to think, if there was reincarnation, I wanted to come back as the President or the pope or a 400 baseball hitter. But now I want to come back as the bond market. You can intimidate everyone.’
(Peralihan kekuasaan ini tak terlepas dari perhatian pemimpin politik. James Carville, penasehat politik Presiden Clinton, menyatakan: ‘Dulu saya berangan-angan, jika benar ada reinkarnasi, saya ingin kembali sebagai Presiden atau paus atau pemain baseball yang hebat. Tetapi sekarang saya ingin lahir kembali sebagai pialang pasar. Anda dapat mengintimidasi siapapun.’)31
    Krisis finansial yang melanda Indonesia dan negara-negara Asia Timur lainnya pada pertengahan 1997-1999 terjadi karena globalisasi sistem finansial ini telah menyebabkan daya kontrol negara melemah. Lepas dari persoalan sikap aktor-aktor dunia usaha domestik yang bersifat over-imprudential (kesembronoan berkelebihan),32 pelemahan kontrol tersebut terjadi, antara lain, karena globalisasi sistem finansial telah memungkinkan terjadinya tumpang tindih pemakaian atau penggunaan mata uang luar negeri (foreign currencies) dalam proses transaksi tingkat domestik. Sebagai akibatnya, terjadi semacam displacement of conception (perubahan konsepsi) dalam sikap aktor-aktor domestik tentang batas negara-bangsa. Sebab, semakin tinggi tingkat frekuensi:
[f]oreign currency is used domestically in lieu of national money, the less citizen will feel inherently connected to the state or part of the same social entity. The critical distinction between Us and Them is gradually eroded.
(mata uang asing digunakan secara domestik sebagai pengganti uang nasional, semakin berkurang anak negeri merasakan keterhubungan inheren dengan negara atau bagian dari kesatuan sosial yang sama. Perbedaan kritikal antara Kita dan Mereka secara perlahan-lahan memudar).33
    Maka, di samping kecerobohan berkelebihan para aktor dunia usaha dalam menginvestasikan dana luar negeri, “pergaulan akrab― dengan mata uang asing itu sendiri melahirkan dampak psikologi tertentu34—yang, secara emosional, merenggangkan keterkaitannya dengan konsepsi negara-bangsa. Dalam konteks inilah kedigdayaan negara secara radikal memudar di tengah-tengah masyarakat. Pamungkasnya adalah ketika krisis finansial yang memuncak, yang memaksa kebijakan ekonomi bersifat dirigiste (dominasi negara dalam perekonomian) kepada sistem ekonomi pasar liberal. Sebagaimana dinyatakan Robison dan Rosser, transfromasi ekonomi dirigiste menuju sistem ekonomi pasar ini pada intinya adalah kekalahan negara atas aktor-aktor finansial global: International Monetary Fund (IMF), World Bank dan para financiers lainnya.35 Kita ketahui, peralihan kekuasaan dari rezim Orde Baru ke rezim “Reformasi― akibat globalisasi sistem finansial tersebut ditandai oleh pemencaran kekuasaan, di mana negara, hanya menjadi salah satu pemainnya belaka.36
V
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 18 January, 2017, 04:17
Sekretariat Negara Republik Indonesia
    Untuk merangkai “kata akhir― makalah ini, kita mencatat bahwa the spearhead (ujung tombak) proses peredupan nasionalisme —karena keterpaksaan struktural— adalah negara, sebagai institusi politik dan ekonomi raksasa pada skala nasional. Oleh kebutuhan mempertahankan posisi dominannya, negara harus bertindak sebagai aktor utama dalam pembangunan ekonomi. Karena domestic capital tak memadai, maka secara struktural negara “terpaksa― berpaling ke dunia luar—guna mendapatkan akses terhadap sumber daya ekonomi global. Apa yang pada masa awal Orde Baru dikenal sebagai open door policy (kebijakan pintu terbuka), sebagai antitesa dari kebijakan chauvanistic rezim Orde Lama, pada esensinya adalah proses pengintegrasian Indonesia ke dalam struktur perekonomian global. Karena kekuatan kapital global tak bisa ditandingi oleh siapapun pada tingkat domestik, maka pengaruh yang ditelorkannya telah bercampur-aduk dengan elemen-elemen pribumi. Di sini, “keaslian― Indonesia, juga secara struktural, menjadi tak bisa dipertahankan. Sepanjang mampu berimprovisasi antara kekuatan kapital global dengan keniscayaan menjaga otonomi kekuasaan, negara berhasil mempertahankan kedigdayaannya, baik terhadap aktor-aktor finansial global maupun dengan kekuatan-kekuatan politik ekonomi dalam negeri.37 Namun, sebagaimana telah kita saksikan, krisis finansial yang diikuti oleh krisis total dalam bidang sosial politik, ekonomi dan budaya, telah menyebabkan posisi negara menjadi sangat lemah.
    Prakarsa negara mengintegrasikan diri ke dalam struktur global inilah yang menimbulkan “dunia masyarakat tanpa peta―. Tampil lemah, negara tak lagi mampu menjaga kewibawaannya di hadapan aktor-aktor kapital global. Konsekuensinya, lembaga politik ini belum mempunyai energi yang memadai untuk menjadi beacon (mercusuar) pada mana masyarakat, terutama rakyat jelata, bisa menemukan arah ke mana harus melangkah dalam menghadapi masa depan. Karena itu, lemahnya cengkraman semangat nasionalisme kalangan jelata yang, dalam konteks tulisan ini, terepresentasikan pada Uding serta puluhan juta para perantau tak terampil yang membanjiri kota-kota besar Indonesia, haruslah dikembalikan pada open door policy yang telah diterapkan negara lebih dari tiga dekade yang lalu. Kesulitankesulitan ekonomi, keterhambatan mereka terhadap akses bagi mobilitas vertikal secara sosial-ekonomi, apa lagi politik, telah pula menjadi realitas telanjang untuk menyatakan betapa terkadang tak relevan menuntut rakyat jelata bersikap nasionalis, sementara mereka sendiri terjerat dalam “dunia masyarakat tanpa peta―.
__________
- Tulisan ini pernah disampaikan sebagai bahan Ceramah Rapat Kerja PT Timah, 8-9 Mei 2007 di Pangkalpinang, Bangka Belitung. Makalah yang sama pernah disampaikan pada Pra-Kongres III, Kongres Nasional Pembangunan Manusia Indonesia 2006, dengan tema “Penguatan Wawasan Kebangsaan, Kebudayaan, Agama dan Etika―, Kantor Menko Kesra, Palembang, 19-20 Juli 2006. - Direktur Lspeu Indonesia dan Komisaris Independen PT Timah. - Kantor Menko Kesra, “Kerangka Acuan bagi Pembicara dengan Tema: Penguatan Wawasan Kebangsaan, Kebudayaan, Keagamaan, dan Etika―, hlm. 1. - Greta O. Wilson, (Translator and Editor), Regents, Reformers, and Revolutionaries: Indonesian Voices of Colonial Days. Selected Historical Readings 1899-1949 (Honolulu: University Press of Hawaii, 1978), hlm. 17. - Loerah, dalam konteks ini adalah santri senior yang bertugas membimbing santri yunior. Jadi, dilihat dari fungsinya, loerah adalah ustadz mengaji. - Achmad Djajadiningrat, Herinneringen (Batavia: Kolff, 1936), hlm. 35-38. Diterjemahkan C. Penders, (Editor and Translator), Indonesia. Selected Documents on Colonialism and Nationalism 1830-1942 (Queensland: University of Queensdland Press, 1977), hlm. 253. http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 18 January, 2017, 04:17
Sekretariat Negara Republik Indonesia
- Awaloedin Djamin, Pengalaman Seorang Perwira Polri Awaloedin Djamin (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hlm. 19. - Clifford Geertz, “Religion as A Cultural System―, dalam bukunya, The Interpretation of Cultures (London W6 8JB: Fontana Press, 19993), hlm. 90.
- Harry Julian Benda, “Decolonialization in Indonesia: Problem of Continuity and Change―, dalam bukunya, Continuity and Change in Southeast Asia. Collected Journal Articles of Harry J. Benda (New Haven: Yale University Southeast Asian Studies, 1972), hlm. 207. - Dua karya penting yang mengkisahkan kemunculan birokrat dan elite pribumi awal dapat dilihat pada Heather Sutherland, Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi, terjemahan dari Bahasa Inggris oleh Penerbit Sinar Harapan (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1983) dan Robert van Niel, The Emergence of the Indonesia Elite (The Hague: W. van Hoeve Publisher Ltd., 1970). - Awaloedin Djamin, Pengalaman Seorang Perwira Polri, hlm. 13. - Kong, bahasa Betawi, adalah panggilan pendek dari Engkong, yang berarti kakek. - Mpok, bahasa Betawi, adalah panggilan pendek dari empok, yang berarti kakak perempuan. - Bahasa Betawi: menggembala. - Bahasa Betawi: bersikukuh. - Lu, Bahasa Betawi, adalah sebutan pendek dari elu, artinya kamu. - Pembahasan tentang symbolic capital ini lihat Pierre Bourdie, The Logic of Practice, terjemahan dari Bahasa Perancis ke dalam Bahasa Inggris oleh Richard Nice (Cambridge: Polity Press, 1992), hlm. 112-121. - Benedict R. O’G Anderson, Imagined Communities. Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (London: Verso, 1983).
- Lihat Remco Raben, “Round about Batavia. Ethnicity and Authority in the Ommelanden, 1650-1800―, dalam Kees Grijns and Peter J. M. Nas, (Eds.), Jakarta. Socio-Cultural Essays (Leiden: KITLV Press, 2000), hlm. 93-114. - Cuplikan sajak Ranggawarsita. Dikutip dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Benedict R. O’G Anderson, “Sembah-Sumpah: The Politics of Language and Javanese Culture―, dalam bukunya Language and Power. Exploring Political Cultures in Indonesia (Ithaca and London: Cornell University Press, 1990), hlm. 201-202. Terjemahan bahasa Indonesia di sini adalah hasil terjemahan dari bahasa Inggris di atas. - Awaloedin Djamin, Pengalaman Seorang Perwira Polri, hlm. 17. - Richard Sennett, The Fall of Public Man (New York and London: W. W. Norton & Company, 1992), hlm. 5. - George Dalton, Economic Systems and Society. Capitalism, Communism and the Third World (Middlesex, England: Penguin Books, 1977), hlm. 95. - Dalton, Economic System and Society, hlm. 103. - Untuk ini, lihat Gerald M. Meier, Leading Issues in Economic Development, Second Edition (Oxford: Oxford University Press, 1970). - Lihat, misalnya, Amartya Sen, “Development: Which Way Now?―, dalam Charles K. Wilber and Kenneth P. Jamesson, (Eds.), The Political Economy of Development and Underdevelopment, Fifth Edition (New York, et-al: McGraw-Hill Inc., 1992), hlm. 5-26. - Pembahasan tentang ini, lihat Robert Wade, Governing the Market. Economic Theory and the Role of Government in East-Asian Industrialization (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1990). - Lihat Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, “The Political Economy of Development: The Case of Indonesia under the New Order Government, 1966-1978―, disertasi tak diterbitkan, University of California, 1981. - Tentang hal ini, lihat Richard Robison, Indonesia. The Rise of Capital (Sydney: Allen & Unwin, 1986). http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 18 January, 2017, 04:17
Sekretariat Negara Republik Indonesia
- Untuk kasus Amerika Latin, lihat Sabastian Edwards, Crisis and Reform in Latin America. From Despair to Hope (Oxford: Oxford University Press, 1995). - Lowell Bryan and Diana Farrell, Market Unbound. Unleashing Global Capitalism (New York, et-al.: John Wiley & Sons, Inc., 1996), hlm. 1. - Lihat, misalnya, Ross H. McLeod, “Indonesia―, dalam Ross H. McLeod and Ross Garnaut, (Eds.), East Asia in Crisis. From Being a Miracle to Needing One? (London and New York: Routledge, 1998), hlm. 31-47. - Benyamin J. Cohen, The Geography of Money (Ithaca and London: Cornell University Press, 1998), hlm. 120. - Bagaimana dampak uang atas struktur psikologi, lihat Valerie Wilson, The Secret Life of Money. Exposing the Private Parts of Personal Money (9 Atchison Street, St Leonards 1590, Australia: Allen & Unwin, 1999). - Richard Robison and Andrew Rosser, “Surviving the Meltdown. Liberal Reform and Political Oligarchy in Indonesia―, dalam Richard Robison, Mark Beeson, Kanishka Jayasuriya and Hyuk-Rae Kim, (Eds.), Politics and Markets in the Wake of the Asian Crisis (London and New York: Rotledge, 2000), hlm. 174-175. - Tentang hal ini, lihat, antara lain, Fachry Ali, “The Politics of State Diplomacy under SBY-JK―, The Jakarta Post, 6 Maret 2006. - Tentang hal ini, lihat Jeffrey A. Winters, Power in Motion. Capital Mobility and the Indonesian State (Ithaca and London: Cornell university Press, 1996).
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 18 January, 2017, 04:17