8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Literatur Review Dalam penulisan skripsi ini penulis merujuk pada skripsi – skripsi maupun
jurnal – jurnal yang telah membahas tentang semiotika. Di antaranya adalah Analisis Semiotika Charles Sanders Peirce. Tentang Representasi Loyalitas Suporter Persib Dan Persija Dalam Film Romeo Dan Juliet oleh Alfariz Senna Brammaji tahun 2012, Ilmu Komunikasi UNIKOM Bandung.1 Persamaan dari penelitian ini adalah pada teori yang digunakan yaitu semiotika Charles Sanders Peirce. Tetapi ada perbedaan yaitu pada objek film yang digunakan sebagai penelitia. Penelitian Alfariz, menggunakan objek film Romeo Dan Juliet sedangkan penelitian ini menggunakan film The Football Factory. Kemudian penulis juga menjadikan skripsi tentang Visualisasi Fanatisme Suporter Sepak Bola Pada Film Green Street Hooligans oleh CANDRA PRATAMA MEGANTINI. S, Mercubuana Jakarta.2 Perbedaan pada penelitian ini adalah objek film yang digunakan sebagai penelitia. Penelitian Candra, menggunakan objek Green Street Hooligan sedangkan penelitian ini menggunakan film The Football Factory Selain kedua skripsi diatas penulis juga menjadikan jurnal Aggressive Behavior Pattern, Characteristics And Fanaticism Panser Biru Group PSIS Semarang oleh 1
http://elib.unikom.ac.id, diakses pada, 25November 2015, pukul 21.45 digilib.mercubuana.ac.id diakses pada 25 November 2015, pukul 22.00
2
http://digilib.mercubuana.ac.id/
9
Agrubi Silwan, Pendidikan Olahraga, UNNES Semarang.3 Sebagai rujukan akan tetapi ada perbedaan teori dan objek dengan yang peniulis lakukan, Penelitian tersebut menggunakan pendekatan kualitatif interaktif naturalistic yang berobjek pada perilaku agresif supporter Panser Biru, sedangkan penelitian ini menggunakan teori semiotika yang berobjek pada film. Kemudian penulis juga menjadikan skripsi Analisis Semiotik tentang Representasi Fanatisme Suporter Sepak Bola dalam Film Green Street Hooligans. Oleh Amalia Ayu Rizki, Ilmu Komunikasi, UB Malang,4 persamaan dari skripsi ini adalah teori yang digunakan yaitu merepresentasikan fanatisme dalam dunia supporter, perbedaan dari penelitian ini adalah dari objek film yang diteliti, dimana dalam peneletian ini adalah film The Football Factory.
2.2
Kerangka Teoritis 2.2.1 Pengertian Film Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, film adalah selaput tipis yang dibuat
dari selulloid untuk tempat gambar negative (yang akan dibuat potret) atau tempat gambar positif (yang akan dimainkan di bioskop).5 Sedangkan secara etimologis, film adalah gambar hidup, cerita hidup, sedangkan menurut beberapa pendapat, film adalah susunan gambar yang ada dalam selliloid, kemudian diputar dengan
3
http://journal.unnes.ac.id, di akses pada 5 Oktober, 2014, pukul 22.00 http://elibrary.ub.ac.id, di akses pada 27 Oktober 2014, pukul 21.40 5 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 316. 4
http://digilib.mercubuana.ac.id/
10
mempergunakan teknologi proyektor yang sebetulnya telah menawarkan nafas demokrasi, dan bisa ditafsirkan dalam berbagai makna.6 Menurut Onong Uchayana Effendi film merupakan medium komunikasi yang ampuh, bukan saja untuk hiburan, tetapi juga untuk penerangan dan pendidikan. Film dikenal dengan movie yang mengandung arti gambar hidup, dan bioskop.7
2.2.2 Jenis – Jenis Film dan Klasifikasi Film 1.
Klasifikasi Film
Klasifikasi film atau genre (jenis/ragam) dalam film berawal dari klasifikasi drama ya yang lahir pada abad XVIII. Klasifikasi drama tersebut muncul berdasarkan atas jenis streotipe manusia dan tanggapan manusia terhadap hidup dan kehidupan. Ada beberapa jenis naskah drama yang dikenal saat itu, diantaranya, lelucon, banyolan, opera balada, komedi sentimental, komedi tinggi, tragedy burjois dan tragedy neoklasik. Selanjutnya berbagai macam jenis drama itu diklasifikasikan menjadi 4 jenis, yaitu: tragedy (duka cita), komedi (drama ria), melodrama. Dagelan (farce).8
6
Gatot Prakoso, Film Pinggiran-Antologi Film Pendek, Eksperimental & Documenter. FFTV.IKJ dengan YLP (Jakarta: Fatma Press, 1977), h. 22. 7 ibid 8 Hermawan J. Waluyo, Drama: Teori dan Pengajarannya, (Yogyakarta: PT.Hanindita,2003)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
11
Seiring berkembangnya zaman dan dunia perfilman, genre dalam film pun mengalami sedikit perubahan. Namun, tetap tidak menghilangkan keaslian dari awal pembentukannya. Sejauh ini diklasifikasikan menjadi 5 jenis,9 yaitu: a. Komedi, Film yang mendeskripsikan kelucuan, kekonyolan, kebanyolan pemain (actor/aktris). Sehingga alur cerita dalam film tidak kaku, hambar, hampa, ada bumbu kejenakaan yang dapat membuat penonton tidak bosan. b. Drama, film yang menggambarkan realita (kenyataan) disekeliling hidup manusia. Dalam film drama, alur ceritanya terkadang dapat membuat penonton tersenyum, sedih, dan meneteskan air mata. c. Horror, film beraroma mistis, alam gaib, dan supranatural. Alur ceritanya bisa membuat jantung penonton berdegup kencang, menegangkan, berteriak histeris. d. Musical, film yang penuh dengan nuansa music. Alur ceritanya sama seperti drama, hanya saja dibeberapa bagian adegan dalam film para pemain (actor/aktris) bernyanyi, berdansa, bahkan beberapa dialog menggunakan music (seperti bernyanyi). e. Laga (actiaon), film yang dipenuhi aksi, perkelahian, tembak – menembak, kejar – kejaran, dan adegan – adegan berbahaya yang mendebarkan. Alur ceritanya sederhana, hanya saja dapat menjadi luar biasa setelah dibumbui aksi – aksi yang membuat penonton tidak beranjak dari kursi. 9
Ekky Imanjaya, Who Not: Remaja Doyan Nonton,(Bandung: PT Mizan Buaya Kreativa, 2004)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
12
2.
Jenis – Jenis Film Film dapat dikelompokkan pada jenis film cerita, film berita, film
documenter, dan film kartun. a. Film Cerita Film Cerita (story film) adalah jenis film yang mengandung suatu cerita yang lazim dipertunjukkan di gedung – gedung bioskop dengan bintang film tenar dan film ini didistribusikan sebagai barang dagangan. Cerita yang diangkat menjadi topic fil bisa berupa cerita fiktif atau berdasarkan kisah nyata yang dimodifikasikan, sehingga ada unsure menarik, baik dari jalan ceritanya maupun dari segi gambar yang artistic. Film cerita adalah filmyang menyajikan kepada public sebuah cerita. Sebagai cerita harus mengandung unsure – unsure yang dapat menyentuh rasa manusia. Film yang bersifat auditif visual, yang dapat disajikan kepada public dalam bentuk gambar yang dapat dilihat dengan suara yang dapat didengar, dan yang merupakan suatu hidangan yang sudah masak untuk dinikmati, sungguh merupakan suatu medium yang bagus untuk mengolah unsure – unsure tersebut.10 b. Film Berita 10
Onong Uchajana Effendy, Ilmu, Teori Dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
13
Film berita atau newsreel alah film mengenai fakta, peristiwa yang benar – benar terjadi. Karena sifatnya berita, maka film yang disajikan kepada public harus mengandung nilai berita (newsvalue). Keriteria berita itu adalah yang penting dan menarik. Yang terpenting dalam film berita adalah peristiwanya terekam secara utuh. Film berita sudah tua usianya, lebih tua daripada film cerita. Bahkan film cerita yang pertama dipertunjukan kepada public kebanyakan berdasarkan film berita.11 c. Film Dokumenter Film documenter (documentary film) didefinisikan oleh Robert Flaherty sebagai “ karya ciptaan mengenai kenyataan (creative treatment of actuality) “. Berbeda dengan film berita yang merupakan kenyataan, maka film documenter merupakan hasil interpretasi pribadi pembuatnya mengenai kenyataan tersebut. Raymond Spottiswoode dalam bukunya A Grammar of the Film menyatakan: “ Film documenter dilihat dari segi subjek dan pendekatannya adalah penyajian hubungan manusia yang didramatisir dengan kehidupan kelembagaannya, baik lembaga industry, social, maupun politik, dan dilihat dari segi teknik merupakan bentuk yang kurang penting dibandingkan dengan isinya. d. Film Kartun
http://digilib.mercubuana.ac.id/
14
Film kartun (cartoon film) dibuat untuk dikonsumsi anak – anak, tujuan utama dari film kartun adalah untuk menghibur. Walaupun tujuan utamanya adalah untuk menghibur, tapi terdapat pula film – film kartun yang mengandung unsure – unsure pendidikan didalamnya. Timbulnya gagasan untuk menciptakan fil kartun ini adalah dari para seniman pelukis. Ditemukan cinematography telah menimbulkan gagasan kepada mereka untuk menghidupkan gambar – gambar yang mereka lukis. Titik berat pembuatan film kartun adalah seni lukis. Dan setiap lukisan memerlukan ketelitian. Satu per satu dilukis dengan seksama untuk kemudian dipotret satu per satu pula. Film kartun tidak dilukis oleh satu orang tetapi oleh pelukis – pelukis dalam jumlah yang banyak. 2.2.2.1
Genre Film Menurut jenisnya, genre film dibagi menjadi beberapa jenis yaitu : 1.
Action Action adalah jenis film yang mengandung banyak gerakan dinamis para aktor dan aktris dalam sebagian besar adegan film, seperti halnya adegan baku tembak,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
15
perkelahian, kejar mengejar, ledakan, perang dan lainya.
2.
Adventure Adventure adalah jenis film yang menitikberatkan pada sebuah alur petualangan yang sarat akan teka-teki dan tantangan dalam berbagai adegan film.
3.
Animation Animation adalah jenis film kartun animasi dengan berbagai alur cerita. Biasanya genre film ini memiliki sub-genre hampir sama dengan genre utama film nonanimasi.
4.
Biography Biography adalah jenis film yang mengulas sejarah, perjalanan hidup atau karir seorang tokoh, ras dan kebudayaan maupun kelompok.
5.
Comedy
http://digilib.mercubuana.ac.id/
16
Comedy adalah jenis film yang dipenuhi oleh adegan komedi dan lelucon sebagai benang merah alur cerita film.
6.
Crime Crime adalah jenis film yang menampilkan skenario kejahatan kriminal sebagai inti dari keseluruhan film.
7.
Documentary Documentary adalah jenis film yang berisi tentang kejadian dan peristiwa yang terjadi secara nyata.
8.
Drama Drama adalah jenis film yang mengandung sebuah alur yang memiliki sebuah tema tertentu seperti halnya percintaan, kehidupan, sosial, dan lainnya.
9.
Family
http://digilib.mercubuana.ac.id/
17
Family adalah jenis film yang sangat cocok untuk dapat di saksikan bersama keluarga. 10.
Fantasy Fantasy adalah jenis film yang penuh dengan imajinasi dan fantasi.
11.
Film-Noir Film-Noir adalah sebuah istilah sinematik yang digunakan untuk menggambarkan gaya film Hollywood yang menampilkan drama-drama kriminal, khususnya yang menekankan keambiguan moral dan motivasi seksual.
12.
Game Show Game Show adalah jenis film yang bertemakan sebuah pertunjukan permainan yang menjadi inti dalam keseluruhan cerita.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
18
13.
History History adalah jenis film yang mengandung cerita masa lalu sesuai dengan kejadian dan peristiwa yang telah menjadi sebuah sejarah.
14.
Horror Horror adalah jenis film yang berisi tentang kejadian mistis dan berhubungan dengan kejadian-kejadian yang menyeramkan dan menakutkan sebagai nyawa dari film tersebut.
15.
Music Music adalah jenis film yang berkaitan dengan musik.
16.
Musical Musical adalah jenis film yang dipenuhi oleh adegan yang dibumbui oleh gerakan koreografi dan diiringi oleh musik.
17.
Mystery
http://digilib.mercubuana.ac.id/
19
Mystery adalah jenis film yang mengandung alur cerita yang penuh akan teka-teki untuk mengungkap inti dari film tersebut. 18.
News News adalah jenis film yang memberikan banyak informasi tentang suatu hal yang bersifat informative.
19.
Romance News adalah jenis film yang berisikan tentang kisah percintaan.
20.
Sci-Fi Sci-Fi adalah jenis film fantasi imajinasi pengetahuan khususnya ya yang bersifat exact yang dikembangkan untuk mendapatkan dasar pembuatan alur film yang menitikberatkan
pada
penelitian
penemuan teknologi. 21.
Sport
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dan
penemuan-
20
Sport adalah jenis film dengan latar belakang tentang olah raga. 22.
Thriller Thriller adalah jenis film yang penuh dengan aksi menegangkan
atau
mendebarkan,
dan
tipe
alur
ceritanya biasanya berupa para jagoan yang berpacu dengan
waktu,
penuh
aksi
menantang,
dan
mendapatkan berbagai bantuan yang kebetulan sangat dibutuhkan yang harus menggagalkan rencana-rencana kejam para penjahat yang lebih kuat dan lebih lengkap persenjataannya.
23.
War War adalah jenis film yang sesuai dengan kategorinya yaitu
memiliki
inti
cerita
peperangan. 24.
Western
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dan
latar
belakang
21
Western adalah jenis film yang berkaitan dengan suku di amerika dan kehidupan pada zaman kebudayaan suku indian masih ada yang biasanya memiliki tokoh koboi berkuda, sherif dan aksi khas duel menembak.
2.2.3 Pemahaman Film dan Makna Pesan di Dalamnya Film merupakan alat komunikasi massa yang muncul pada akhir abad ke-19. Film merupakan alat komunikasi yang tidak terbatas ruang lingkupnya di mana di dalamnya menjadi ruang ekspresi bebas dalam sebuah proses pembelajaran massa. Kekuatan dan kemampuan film menjangkau banyak segmen sosial, yang membuat para ahli film memiliki potensi untuk mempengaruhi membentuk suatu pandangan dimasyarakat dengan muatan pesan di dalamnya. Hal ini didasarkan atas argument bahwa film adalah potret dari realitas di masyarakat. Film selalu merekam realitas yang
tumbuh
dan
berkembang
di
dalam
masyarakat
dan
kemudian
memproyeksikanya ke dalam layar.12 Film sebagai suatu bentuk karya seni, banyak maksud dan tujuan yang terkandung di dalam pembuatannya. Hal ini dipengaruhi juga oleh pesan yang ingin disampaikan oleh pembuat film tersebut. Meskipun cara pendekatannya berbeda, dapat dikatakan setiap film mempunyai suatu sasaran, yaitu menarik perhatian orang terhadap muatan masalah-masalah yang dikandung. Selain itu film dirancang untuk
12
Sobur, Alex, 2001, Analisis Teks Media,P.T Rosdakarya, Bandung
http://digilib.mercubuana.ac.id/
22
melayani keperluan publik terbatas maupun publik tak terbatas.13Hal ini disebabkan pula adanya unsur idiologi dari pembuat film diantaranya unsur budaya, sosial, psikologis, penyampaian bahasa film, dan unsur yang menarik ataupun merangsang imajinasi khalayak.14 Film merupakan transformasi dari kehidupan manusia di mana nilai yang ada di dalam masyarakat sering sekali dijadikan bahan utama pembuatan film. Seiring bertambah majunya seni pembuatan film dan lahirnya seniman film yang makin handal, banyak film kini telah menjadi suatu narasi dan kekuatan besar dalam membentuk klise massal. Film juga dapat dijadikan sebagai media propaganda oleh pihak-pihak tertentu di dalam menarik perhatian masyarakat dan membentuk kecemasan ketika dipertontonkan, contoh tentang kekerasan, fanatisme, anti social dan lain – lain, Kecemasan ini muncul berasal dari keyakinan bahwa isi pesan mempunyai efek moral, psikologis, dan masalah sosial yang merugikan. Memahami makna pesan dalam suatu film merupakan suatu hal yang sangat kompleks. Hal ini dapat dilihat terlebih dahulu dari arti kata makna yang merupakan istilah yang sangat membingungkan. Menurut beberapa ahli linguis dan filusuf, makna dapat dijelaskan yaitu : 1. menjelaskan makna secara ilmiah, 2.
mendeskripsikan kalimat secara ilmiah,
13
Sumarno, Marselli, 1966, Dasar-Dasar Apresiasi Film, Gramedia Widiasarana, Jakarta Irawanto, Budi, 1999, Film, Idiologi, dan Militer, Media Pressindo, Yogyakarta
14
http://digilib.mercubuana.ac.id/
23
3.
menjelaskan makna dalam proses komunikasi.15
Sedangkan definisi makna yang dikemukakan Brown adalah sebagai kecenderungan total untuk menggunakan atau bereaksiterhadap suatu bentuk bahasa. Wendell Jhonson menambahkan pandangannya terhadap ihwal teori dalam konsep makna di antaranya : 1.
Makna ada dalam diri manusia. Makna tidak terletak pada kata katamelainkan pada manusia, dalam hal ini kita menggunakan kata kata untuk mendekati makna yang ingin kita komunikasikan. Kata – kata tidak secara lengkap dan sempurna menggambarkan makna yang kita maksud, demikian pula makna yang didapat pendengar dari pesan – pesan kitaamati berbeda dengan makna yang ingin kita komunikasikan.
2.
Makna berubah. Kata – kata relatif statis, makna dari kata - kata terus berubah, dan ini khususnya terjadi pada dimensi emosional dari makna.
3.
Makna membutuhkan acuan. Komunikasi mengacu pada dunia nyata, komunikasi hanya masuk akal bilamana ia mempunyai kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal.
4.
Penyingkatan yang berlebihan akan mengubah makna. Berkaitan dengan gagasan bahwa makna membutuhkan acuan adalah masalah
15
Sobur, Alex, 2002, Analisis Teks Media Suatu Analisis Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, P.T Rosdakarya, Bandung
http://digilib.mercubuana.ac.id/
24
komunikasi yang timbul akibat penyingkatan berlebihan tanpa mengaitkannya dengan acuan yang kongkrit dan dapat diamati. 5.
Makna tidak terbatas jumlahnya. Pada suatu saat tertentu, jumlah kata dalam suatu bahasa terbatas, tetapi maknanya tidak terbatas, karena itu suatu kata mempunyai banyak makna, hal ini dapat menimbulkan masalah bila sebuah kata diartikan secara berbeda oleh dua orang yang sedang berkomunikasi.
6.
Makna dikomunikasikan hanya sebagian. Makna yang kita peroleh dari suatu kejadian bersifat multi aspek dan sangat kompleks, tetapi hanya sebagian saja dari makna – makna ini yang benar – benar dapat dijelaskan.16
Teori yang bisa digunakan dalam memecahkan makna ungkapan dengan cara mengidentifikasi sesuatu adalah dengan teori Ideasonal ( The Ideational Theory )). Menurut Alston teori Ideasonal menghubungkan makna dengan suatu idea tahu representasi psikis yang ditimbulkan kata atau ungkapan tersebut kepada kesadaran atau bisa dikatakan teori ini mengidentifikasi makna dengan gagasan yang ditimbulkan oleh suatu ungkapan. Teori ini melatarbelakangi pola pikir orang mengenai bahasa sebagai suatu instrumen atau alat bagi komunikasi pikiran, sebagai gambaran fisik dan eksternal dari suatu keadaan internal, bila mana orang menetapkan suatu kalimat sebagai suatu rangkaian kata-kata yang mengungkapkan 16
Sobur, Alex, 2002, Analisis Teks Media Suatu Analisis Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, P.T Rosdakarya, Bandung
http://digilib.mercubuana.ac.id/
25
suatu pikiran yang lengkap. Bahasa hanya dipandang sebagai alat atau gambaran lahiriah dari gagasan atau pikiran manusia. Tatkala media dikendalikan oleh berbagai kepentingan idiologis, media sering dituduh sebagai perumus realitas sesuai dengan ideologi yang melandasinya. Artinya sebuah ideologi itu menyusup dan menanamkan pengaruhnya lewat media secara tersembunyi dan mengubah pandangan setiap orang secara tidak sadar.17Media bukan cuma menentukan realitas seperti apa yang akan dikemukakan namun media juga harus bisa memilah siapa yang layak dan tidak layak masuk menjadi bagian dari realitas itu. Dalam hal ini media bisa menjadi control yang bisa mempengaruhi bahkan mengatur isi pikiran dan keyakinan di dalam masyarakat.
2.2.4
Film Sebagai Alat Komunikasi
Film merupakan seni mutakhir yang muncul pada abad ke-20, film sendiri merupakan perkembangan dari fotografi yang ditemukan oleh Joseph Nicephore Niepce dari Prancis pada tahun 1826. Penyempurnaan dari fotografi yang berlanjut akhirnya mendorong rintisan penciptaan film itu sendiri. Nama-nama penting dalam sejarah penemuan film ialah Thomas Alva Edison dan Lumiere Bersaudara.18Dari awal pemunculan film sampai sekarang banyak bermunculan sineas – sineas yang makin terampil dalam membuat, meramu segala unsur untuk membentuk sebuah film. Dari berbagai pemikiranseorang pembuat film yang dituangkan dalam karyanya 17
Sobur, Alex, 2002, Analisis Teks Media Suatu Analisis Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, P.T Rosdakarya, Bandung 18 Sumarno, Marselli, 1966, Dasar-Dasar Apresiasi Film, Gramedia Widiasarana, Jakarta
http://digilib.mercubuana.ac.id/
26
maka film dapat digolongkan menjadi film cerita dan non cerita. Film cerita sendiri memiliki berbagai genre atau jenis film dengan durasi waktu yang berbeda beda pula, ada yang berdurasi 10 menit hingga beberapa jam. Genre sendiri dapat diartikan sebagai jenis film yang ditandai oleh gaya, bentuk atau isi film itu sendiri. Ada yang menyebutkan film drama, film horor, film klasikal, film laga atau action, film fiksi ilmiah, dan lain-lain. Film yang juga merupakan media komunikasi, tidak mencerminkan atau bahkan merekam realitas; seperti medium representasi yang lain film hanya mengkonstruksi dan “menghadirkan kembali ” gambaran dari realitas melalui kode – kode, konvensi – konvensi, mitos dan ideologi – ideologi dari kebudayaannya sebagai cara praktik signifikasi yang khusus dari medium.19 Dalam pembuatan film cerita diperlukan proses pemikiran dan proses teknis. Proses pemikiran berupa pencarian ide, gagasan atau cerita yang akan dikerjakan. Sedangkan proses teknis berupa ketrampilan artistik untuk mewujudkan segala ide, gagasan atau cerita menjadi film yang siap ditonton. Oleh karena itu suatu film terutama film cerita dapat dikatakan sebagai wahana penyebaran nilai – nilai.20 Jika dalam film cerita memiliki ragam jenis demikian pula yang tergolong pada film non cerita, namun pada mulanya hanya ada dua tipe film non cerita ini yakni film documenter dan film facktual. Film faktual umumnya hanya menampilkan fakta, kamera sekedar merekam peristiwa sedangkan Film documenter selain mengandung fakta ia juga mengandung 19
Turner, Graeme, 1999, Film As Social Practice, London and New York, Routledge Effendi, Onong Uchjana, 2002, Mari Membuat Film, Panduan Untuk Menjadi Produser, Panduan & Pustaka Konfiden, Yogyakarta), Yogyakarta: Pustaka pelajar
20
http://digilib.mercubuana.ac.id/
27
subyektifitas pembuatnya, subyektifitas diartikan sebagai sikap atau opini terhadap peristiwa.
2.2.5 Pengertian Fanatisme dan Agresif 2.2.5.1 Fanatisme Fanatisme adalah suatu keyakinan atau suatu pandangan tentang sesuatu, yang positif atau yang negatif, pandangan yang tidak memiliki sandaran teori atau pijakan kenyataan, tetapidianut secara mendalam sehingga susah diluruskan atau diubah. Menurut definisinya, fanatisme biasanya tidak rasional atau keyakinan seseorang yang terlalu kuat dan kurang menggunakan akal budi sehingga tidak menerima faham yang lain dan bertujuan untuk mengejar sesuatu.21 Adanya fanatisme dapat menimbulkan perilaku agresi dan sekaligus memperkuat keadaanindividu yang mengalami de in dividuasi untuk lebih tidak terkontrol perilakunya. Pengertian Fanatisme sendiri dapat disebut sebagai orientasi dan sentimen yang mempengaruhi seseorang dalam : a.
Berbuat sesuatu, menempuh sesuatu atau memberi sesuatu,
b.
Dalam berfikir dan memutuskan,
c.
Dalam mempersepsi dan memahami sesuatu, dan
d.
Dalam merasa secara psikologis, seseorang yang fanatik biasanya tidak mampu memahamiapa-apa yang ada di luar dirinya, tidak faham
21
(http://arifudin.net/anarkismedan-fanatisme-suporter-sepak-bola/saturday). diakses Pada tanggal 23 November 2014.Pkl. 20:00 Wib
http://digilib.mercubuana.ac.id/
28
terhadap masalah orang atau kelompok lain, tidak mengerti faham atau filsafat selain yang mereka yakini. Fanatisme dipandang sebagai penyebab menguatnya perilaku kelompok yang tidak jarangdapat menimbulkan perilaku agresif. Individu yang fanatik akan cenderung kurang memperhatikan kesadaran sehingga seringkali perilakunya kurang terkontrol dan tidak rasional.Fanatisme dapat dijumpai di setiap lapisan masyarakat, di negri maju, maupun di negeri terbelakang, pada kelompok intelektual maupun pada kelompak awam, pada masyarakat beragama maupun pada masyarakat atheis.22 Sebagian ahli ilmu jiwa mengatakan bahwa sikap fanatik itu merupakan sifat natural (fitrah) manusia, dengan alasan bahwa pada lapisan masyarakat manusia di manapun dapat dijumpai individu atau kelompok yang memilki sikap fanatik. Dikatakan bahwa fanatisme itu merupakan konsekuensi logis dari kemajemukan sosial atau heteroginitasdunia, karena sikap fanatik tak mungkin timbul tanpa didahului perjumpaan dua kelompok sosial. Dalam kemajemukan itu manusia menemukan kenyataan ada orang yang segolongan dan ada yang berada di luar golongannya. Kemajemukan itu kemudian melahirkan pengelompokan "ingroup" dan "out group". Fanatisme dalam persepsi ini dipandang sebagai bentuk solidaritas terhadap orang-orang yang sepaham, dan tidak menyukai kepada orang yang berbeda faham. Ketidaksukaan itu tidak berdasar argumen logis, tetapi sekedar tidak suka kepada apa yang tidak disukai (dislike of the unlike). Sikap fanatik itu menyerupai 22
Budi, W. S. (2004). Hubungan antara fanatisme kedaerahan dengan agresifitas suporter sepakbola di Surabaya. Skripsi. Tidak diterbitkan. Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
29
bias dimana seseorang tidak dapat lagi melihat masalah secara jernih dan logis, disebabkan karena adanya kerusakan dalam sistem persepsi (distorsion of cognition).23 Pendapat kedua mengatakan bahwa fanatisme bukan fitrah manusia, tetapi merupakan halyang dapat direkayasa. Alasan dari pendapat ini ialah bahwa anakanak, dimanapun dapat bergaul akrab dengan sesama anak-anak, tanpa membedakan warna kulit ataupun agama.Anak-anak dari berbagai jenis bangsa dapat bergaul akrab secara alami sebelumditanamkan suatu pandangan oleh orang tuanya atau masyarakatnya. Seandainya fanatik itu merupakan bawaan manusia, pasti secara serempak dapat dijumpai gejala fanatik disembarang tempat dan disembarang waktu. nyatanya fanatisme itu muncul secara berserakan dan berbeda-beda sebabnya.24 Teori lain menyebutkan bahwa fanatisme berakar dari tabiat agressi seperti yangdimaksud oleh Sigmund Freud ketika ia menyebut instink Eros (ingin tetap hidup) daninstink Tanatos (siap mati). Teori lain yang lebih masuk akal yaitu bahwa fanatisme itu berakar pada pengalaman hidup secara aktual. Pengalaman kegagalan dan frustrasi terutama pada masa kanak-kanak dapat menumbuhkan tingkat emosi yang menyerupai dendam dan agressi kepada kesuksesan, dan kesuksesan itu kemudian dipersonifikasi menjadi orang lain yang sukses. Seseorang yang selalu gagal terkadang merasa tidak disukai oleh orang lain yang sukses. Perasaan itu
23
Shelly.2009. Psikologi Sosial. Jakarta: Kencana. Walgito, Bimo. 2007. Psikologi Kelompok. Yogyakarta: Andi.
24
http://digilib.mercubuana.ac.id/
30
kemudian berkembang menjadi merasa terancam oleh orang sukses yang akan menghancurkan dirinya.25 Munculnya kelompok ultra ekstrim dalam suatu masyarakat biasanya berawal dari terpinggirkannya peran sekelompok orang dalam sistem sosial (ekonomi dan politik) masyarakat dimana orang-orang itu tinggal. Jalan fikiran orang fanatik itu bermula dari perasaan bahwa orang lain tidak menyukai dirinya, dan bahkan mengancam eksistensi dirinya. Perasaan ini berkembang sedemikian rupa sehingga ia menjadi frustrasi. Frustrasi menumbuhkan rasa takut dan tidak percaya kepada oranglain. Selanjutnya perasaan itu berkembang menjadi rasa benci kepada orang lain. Sebagai orang yang merasa terancam maka secara psikologis ia terdorong untuk membela diri dari ancaman, dan dengan prinsip lebih baik menyerang lebih dahulu daripada diserang, maka orang itu menjadi agressif. Teori ini dapat digunakan untuk menganalisa perilaku agresif. 26 Dari empat teori tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa untuk mengurai perilaku fanatik seseorang/sekelompok orang, tidak cukup dengan menggunakan satu teori, karena fanatik bisadisebabkan oleh banyak faktor, bukan oleh satu faktor saja. Munculnya perilaku fanatik pada seseorang atau sekelompok orang di suatu tempat atau di suatu masa bisa terjadi karena merupakan akibat logis dari sistem budaya
25
Stott, C and Pearson, G, (2006) ‘Football Banning Or-
26
Hagger, M dan N. Chatzisarantis. 2005. The Social Phsycology of Exercise and Sport.New York.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
31
lokal, tetapi boleh jadi merupakan perwujudan dari motif pemenuhan diri kebutuhan kejiwaan individu/sosial yang terlalu lama tidak terpenuhi.27 Dalam teori, fanatisme adalah sebuah keadaan dimana seseorang atau sebuah kelompok yang menganut sebuah paham, agama, kebudayaan atau apapun itu dengan cara yang berlebihan[membabi buta] sehingga berakibat kurang baik, bahkan cenderung menimbulkan perseteruandan konflik serius.Ciri-ciri yang jelas dari sifat fanatik adalah ketidakmampuan memahami karakteristik individualorang lain yang berada diluar kelompoknya, benar atau salah. Secara garis besar fanatisme mengambil bentuk seperti fanatik warna kulit, fanatik etnik/kesukuan, dan fanatik kelas sosial. 2.2.5.2 Agresif Agresif berasal dari kata agresi yang diartikan sebagai perilaku melukai atau maksud seseorang untuk melukai. Pendapat ini dianalisis lebih jauh oleh Berkowitz yang menyatakan bahwa agresi sebagai tingkah laku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang baik secara fisik maupun secara mental.28 Dalam dunia sepakbola sebutan agresif memang sudah tidak asing lagi didengar, agresif ini adalah salah satu perilaku yang sering dilakukan para suporter sepakbola, khususnya sebagai salah satu pelampiasan akibat kekalahan timnya, agresif ini dipandang sebagai salah satu perilaku yang berusaha untuk menciderai orang lain sehingga menimbulkan efek terhadap orang yang dimaksud baik dengan tindakan kekerasan, lemparan, atau 27
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jpes diakses pada 10 Oktober 2014 pukul 21.00 Berkowitz, S. 1995. Agresi: sebab dan akibatnya terjemahan (penerjemah: Susianti.H.W.J). Jakarta. Pustaka Psinamon Pressindo.
28
http://digilib.mercubuana.ac.id/
32
ungkapan dengan kata-kata yang dapat menyakitkan dan merugikan orang lain. Seperti yang diungkapkan oleh Deaux dalam Priantini (2008:15) menyatakan: “Ada dua jenis perilaku agresi yaitu: a) Agresi
secara
fisik
meliputi
tingkah
laku
seperti
memukul
teman,menarik baju teman dengan kasar, meninju teman, menyikut teman, melempar teman dengan benda, berkelahi. b) Agresi secara verbal meliputi tingkah laku seperti mengejek teman, menghina teman, mengeluarkan kata-kata kotor, bertengkar mulut, menakut-nakuti mengancam
teman,
dengan
memanggil kata-kata
teman
dengan
mengkritik,
nada
menyalahkan,
kasar, dan
menertawakan”.29 Pola perilaku agresif yang timbul bukan hanya secara fisik tetapi bisa timbul dari lagu provokatif atau dengan simbolik dan juga perkataan, penyataan ini dikuatkan oleh Gunarsaet all (1989:190) bahwa”agresivitas dirumuskan sebagai rangkaian pola perilaku, respons yang bertujuan melukai orang lain.30 Melukai dalam arti
luas
berarti
luka
fisik,
penghinaan,
kehilangan
kedudukan
atau
kepercayaan”.Silva dan Berkowitz dalam Hagger dan Chatzisarantis (2005:194) “menyatakan agresi menjadi dua jenis yaitu dalam konteks olahraga yaitu hostile agresi dan instrumental agresi”. Dimana hostile agresi adalah agresi yang mempunyai 29
Priantini, A. 20008. Hubungan antara gaya manajemen kon-flikdengan Kecenderungan perilaku agresif narapi dana usia Remaja di lapas anak pria tangerang. Jurnal PsikoEdukasi, Vol. 6 Mei 2008 30 Christian M. and Foster, Natalie J. 2010. Aggressiveness. North American Journal Of Psychology, Publisher: North American Journal of Psychology. Dec, 2010 Source Volume: 12 Source Issue: 3. COPYRIGHT 2010 North American Journal of Psychology
http://digilib.mercubuana.ac.id/
33
tujuan untuk menyakiti dan menciderai orang lain atau pemain. Sedangkan instrumental agresi adalah perilaku yang bertujuan untuk merugikan orang lain tetapi tujuan yang lebih tinggi adalah untuk prestasi dan hasilnya adalah keuntungan bagi atlit, pemain, atau untuk dirinya atau timnya. 31 Euforia yang muncul dari olahraga sepakbola
adalah sangat luar biasa,
dukungan yang diberikan oleh para suporter terutama bagi tim kesayangan mereka seringkali melahirkan sikap - sikap yang berlebihan (fanatik). Mereka berharap tim yang didukungya selalu memenangkan pertandingan, harapan-harapan ini seringkali menimbulkan perilaku-perilaku yang tidak logis dan cenderung berperilaku agresif dan menimbulkan konflik-konflik yang menghalalkan segala cara yang dilakukan untuk melihat tim kesayangannya memenangkan pertandingan. Menurut Berkowitz (1995) menyatakan bahwa ”frustasi menyebabkan sikap siaga untuk bertindak secara agresif karena kemunculan kemarahan yang disebabkan oleh frustasi itu sendiri”. Apakah individu bertindak secara agresif yang memicu kejadian aktual agresi tersebut. Selanjutnya Hagger dan Chatzisarrantis (2005:196) mengatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi agresi yaitu Gender, gender seringkali dikutip bahwa laki-laki selalu dihubungkan dengan perilaku agresif daripada wanita (Wrangham dan Peterson 1996) dan lebih memungkinkan untuk memperlihatkan sikap agresif dan meyakinkan (Eagly dan Chaiken 1993), Kemudian persoalan moral, persoalan moral ini lebih berkaitan terhadap situasional di lapangan karena terjadi terhadap perilaku-perilaku yang dihasilkan dari kelompok tersebut dan 31
Hagger, M dan N. Chatzisarantis. 2005. The Social Phsycology of Exercise and Sport.New York.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
34
kemudian berpengaruh terhadap anggota kelompok sehingga mereka menirukan perilaku-perilaku moral kelompok tersebut”.32
2.2.6 Prespektif Interpretif dalam Komunikasi. Rumusan masalah yang sudah tersurat diatas akan dibedah dalam pencarian kembali makna-makna yang ada dalam objek penelitian. Proses pencarian makna tersebut
memerlukan cara pandang dalam upaya memahami masalah yang ada.
Paradigma
dilihat
sebagai
suatu
cara
pandang,
cara
memahami,
cara
menginterprestasikan, suatu kerangka pikir, set dasar keyakinan yang memberi arahan pada tindakan. Dalam hal ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Interpretatif sebagai cara membaca fenomena yang terjadi dalam film Persepolis. Berbeda dengan pendekatan objektif, pendekatan Interpretif percaya bahwa tidak ada hukum baku yang berlaku secara universal. Penelitian berangkat dari upaya untuk memahami makna dari suatu realitas. Secara umum dalam ilmu sosial terdapat dua paradigma besar yaitu objektif dan interpretif. EM Griffin dalam bukunya A First Look at Communication Theory menyebutnya dengan pandangan objektif dan interpretif (Griffin, 2003: 9). Jika positivis sering disebut sebagai pendekatan objektif dan pendekatan scientific, maka pendekatan interpretif juga dipahami sebagai pendekatan subjektif. Pendekatan subjektif mengasumsikan bahwa pengetahuan tidak
32
Berkowitz, S. 1995. Agresi: sebab dan akibatnya terjemahan (penerjemah: Susianti.H.W.J). Jakarta. Pustaka Psinamon Pressindo.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
35
mempunyai sifat yang objektif dan sifat yang tetap, melainkan bersifat interpretif (Mulyana, 2001: 33).33 Paradigma interpretif adalah suatu paradigma yang menganggap bahwa ilmu bukanlah didasarkan pada hukum dan prosedur yang baku, setiap gejala atau peristiwa bisa jadi memiliki makna yang berbeda; artinya tidak ada kebenaran yang bersifat tunggal, ilmu bersifat induktif, berjalan dari yang sepesifik menuju yang umum. Pendekatan interprestif pada akhirnya melahirkan pendekatan kualitatif. Peneliti menggunakan paradigma interpretif sebagai upaya untuk dapat melihat fenomena dan menggali pengalaman dari objek penelitian. Pendekatan interpretif berangkat dari upaya untuk mencari penjelasan tentang peristiwa-peristiwa sosial atau budaya yang didasarkan pada perspektif dan fenomena yang diteliti. Dalam paradigma interpretif, realitas sosial dilihat dengan kondisi yang cair dan mudah berubah. Fenomena sosial senantiasa bersifat sementara Data-data yang tersaji dalam penelitian ilmiah ini adalah data-data yang bersifat kualitatif.34 Tidak ada hukum positif yang berlaku secara baku. Sifat dan karakter dari masalah yang diteliti dalam karya tulis ini adalah politik pemaknaan yang tidak dilihat adanya pengetahuan baku. maka proses pencarian makna dari sebuah fenomena masyarakat yang terjadi dalam film Persepolis membuat pendekatan interpretif dirasa tepat. Penelitian bergerak dari upaya untuk menemukan makna-makna dari fenomena tersebut. 33
Mulyana, Deddy, 2003, Metodologi Penelitian Kualitatif, P.T Remaja Rosdakarya, Bandung Ibid
34
http://digilib.mercubuana.ac.id/
36
2.2.7 Tinjauan Tentang Semiotika 2.2.7.1
Pengertian Semiotika
Semiotik berasal dari kata Yunani, semeion yang berarti tanda. Kemudian yang di turunkan ke dalam bahasa Inggris semiotics. Dalam bahasa Indonesia, semiotika atau semiologi diartikan sebagai ilmu tentang tanda. Dalam berperilaku dan berkomunikasi tanda merupakan unsur yang terpenting karena bisa memunculkan berbagai makna sehingga pesan dapat dimengerti. Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan didunia ini, ditengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia.35 Secara Terminologis, semiotik dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan peristiwa yang terjadi di seluruh dunia sebagai tanda. Adapun nama lain dari semiotika adalah semiologi. Jadi sesungguhnya kedua istilah ini mengandung pengertian yang persis sama, walaupun penggunaan salah satu dari kedua istilah tersebut biasanya menunjukkan pemikiran pemakainya; mereka yang bergabung dengan Peirce menggunakan kata semiotika,dan mereka yang bergabung dengan Saussure menggunakan kata semiologi. 36
2.2.7.2
Semiotika Menurut Charles Sanders Peirce
35
Sobur, Alex, 2002, Analisis Teks Media Suatu Analisis Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, P.T Rosdakarya, Bandung 36 Ibid
http://digilib.mercubuana.ac.id/
37
Charles Sanders Pierce terkenal dengan teori tandanya. Berdasarkan obyeknya, Pierce membagi tanda atas icon (ikon), indekx (indeks), dan symbol (simbol). ”Menurut Pierce salah satu bentuk adalah kata, Sedangkan objek adalah tanda yang ada dalam benak seseorang, maka munculah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. Pierce juga mengatakan bahwa tanda itu sendiri merupakan contoh dari kepertamaan, objeknya adalah kedua, dan penafsiran unsur pengantara adalah contoh dari ketigaan. Ketigaan yang ada dalam konteks pembentukan tanda juga membangkitkan semiotika yang tidak terbatas, selama satu penafsiran (gagasan) yang membaca tanda sebagai tanda bagi lain (yaitu dari suatu makna dan penanda) bisa ditangkap oleh penafsiran lainnya. Penafsiran ini adalah unsur yang harus ada untuk mengaitkan tanda dengan objeknya (induksi, deduksi, penangkap) membentuk tiga jenis penafsiran yang penting.Agar bisa ada sebagai suatu tanda, makna tersebut harus ditafriskan yang dikupas teori segitiga makna adalah persoalan bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang pada waktu berkomunikasi. Hubungan segitiga makna Pierce lazimnya ditampilkan seperti gambar berikut : Gambar 2.1 Segi tiga Semiotik C.S.Pierce
http://digilib.mercubuana.ac.id/
38
Sumber : (Sumbo Tinarbuko, 2008, dalam buku semiotika komunikasi visual)
Menurut Pierce tanda ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu.tanda akan selalu mengacu kepada suatu yang lain, oleh Pierce disebut objek. Mengacu berarti mewakili atau menggantikan, tanda baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melaui interpretant. Jadi interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda, artinya tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground yaitu pengetahuan tentang system tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur yang dikemukan oleh Pierce terkenal dengan nama segitiga semiotik. Bagi Charles Sander Pierce, tanda ”is something which stand to somebody for something in some resfect or capacity.” Sesuatu yang digunakan agar tanda bias berfungsi , oleh Pierce disebut ground ground. Konsekuensinya, tanda ((sign atau represntamen) selalu terdapat dalam hubungan triadik, yakni ground, object object, dan interpretant. Atas dasar hubungan ini, Pierce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground dibaginya menjadi qualisign, sinsign, dan ligisign. Berdasarkan Objeknya, Pierce membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks), dan symbol (simbol). Dan Berdasarkan Interpretantnya dibagi atas rheme, dicent sign atau decisign dan argument. Berikut tanda yang dikaitkan dengan ground yaitu : Qualisigns, Sinsigns, dan Legisigns Untuk mempelajari lebih jauh lagi mengenai
http://digilib.mercubuana.ac.id/
39
sign atau tanda, dapat dilihat pada ground-nya. ”Ground adalah latar belakang tanda. Ground ini dapat berupa bahasa atau konteks sosial” Dalam kaitannya tanda dengan ground-nya, Pierce membaginya menjadi tiga yaitu: 1. Qualisigns Tanda-tanda yang merupakan tanda-tanda berdasarkan sifat. Contoh, sifat merah merah mungkin dijadikan suatu tanda. Merah merupakan suatu qualisigns karena merupakan tanda pada bidang yang mungkin. Agar benar-benar menjadi tanda, qualisigns harus memperoleh bentuk, karena suatu qualisigns dalam bentuknya yang murni tidak pernah ada. Merah akan benar-benar menjadi tanda kalau ia dikaitkan dengan sosialisme, atau mawar, bahaya atau larangan. Misalkan bendera merah, mawar merah, dan lain-lain.
2. Sinsigns Tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilan dalam kenyataan. Semua pernyataan individual yang tidak dilembagakan dapat merupakan sinsigns. Misal jerit kesakitan, heran atau ketawa riang. Kita dapat mengenal orang dan cara jalan, ketawanya, nada suara yang semuanya itu merupakan sinsigns.
3. Legisigns
http://digilib.mercubuana.ac.id/
40
Tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu aturan yang berlaku umum atau konvensi.Tanda-tanda lalu-lintas merupakan legisigns. Hal itu juga dapat dikatakan dari gerakan isyarat tradisional, seperti mengangguk yang berarti ”ya”, mengerutkan alis, cara berjabatan tangan. Semua tanda bahasa merupakan legisigns karena bahasa merupakan kode yang aturannya disepakati bersama. Berdasarkan objeknya, tanda di bagi menjadi tiga bagian seperti di bawah ini yaitu: Ikon, Indeks, dan Simbol Kaitan tanda juga dapat dilihat berdasarkan denotatum-nya. Menurut Peirce, denotatum dapat pula disebut objek. ”Denotatum tidak selalu harus konkret, dapat juga sesuatu yang abstrak. Denotatum dapat berupa sesuatu yang ada, pernah ada, atau mungkin ada” Peirce membedakan tiga macam tanda menurut sifat hubungan tanda dengan denotatum-nya, yaitu : 1.
Ikon yaitu tanda yang ada sedemikian rupa sebagai kemungkinan,
tanpa
tergantung
pada
adanya
sebuah
denotatum, tetapi dapat dikaitkan dengannya atas dasar suatu persamaan
yang
secara
potensial
dimilikinya.
Secara
sederhana, dapat dikatakan bahwa
ikon adalah tanda yang
keberadaanya
tidak
kepada
Definisi
mengimplikasikan
ini
bergantung
bahwa
denotatum-nya. segala
sesuatu
merupakan ikon, karena semua yang ada dalam kenyataan dapat dikaitkan dengan sesuatu yang lain. Foto, patung-patung
http://digilib.mercubuana.ac.id/
41
naturalis, yang mirip seperti aslinya dapat disebut sebagai contoh ikon. 2.
Indeks Sebuah tanda yang dalam hal corak tandanya tergantung dari adanya sebuah denotatum. Dalam hal ini hubungan
antara
bersebelahan. Secara
tanda
dan
denotatum-nya
adalah
sederhana, dapat disimpulkan bahwa
indeks adalah tanda yang keberadaannya bergantung pada denotatum-nya. Kita dapat mengatakan bahwa tidak akan ada asap kalau tidak ada api. Asap dapat dianggap sebagai tanda api sehingga dalam kaitannya dengan api, asap ini dapat merupakan
indeks.
Segala
sesuatu
yang
memusatkan
perhatiannya pada sesuatu dapat merupakan indeks, berupa jari yang diacungkan, penunjuk arah angin, dan lain-lain. 3.
Simbol Tanda yang hubungan
antara
tanda dan
denotatum-nya ditentukan oleh suatu peraturan yang berlaku secara umum. Secara umum, yang dimaksud dengan simbol adalah bahasa terbagi menjadi tiga bagian yaitu : Rheme, Dicisign, dan Argument Selain kaitan tanda dengan ground dan denotatum-nya, tanda juga dapat dilihat pada interpretannya. Peirce menyebutkan
bahwa: ”Hal ini sangat bersifat
subjektif karena hal ini berkaitan erat dengan pengalaman individu. Pengalaman objektif individu dengan realitas di
http://digilib.mercubuana.ac.id/
42
sekitarnya
sangat bermacam-macam. Hal ini menyebabkan
pengalaman individu pun berbeda-beda, yang pada gilirannya nanti akan menyebabkan pengalaman subjektif individu pun berbeda” Terdapat tiga hal, menurut Peirce, dalam kaitan tanda dengan interpretan-nya: 1. Rheme Tanda merupakan rheme bila dapat diinterpretasikan sebagai representasi dari kemungkinan denotatum. Misal, orang yang matanya merah dapat saja menandakan bahwa orang itu baru menangis, atau menderita penyakit mata, atau mata dimasuki insekta, atau baru bangun atau ingin tidur. 2. Dicisign (atau dicent sign) Tanda merupakan dicisign bila ia menawarkan kepada interpretan-nya suatu hubungan yang benar.
Artinya,
ada
kebenaran antara tanda yang ditunjuk dengan kenyataan yang dirujuk oleh tanda itu, terlepas dari cara eksistensinya. 3. Argument Bila hubungan interpretative tanda itu tidak dianggap sebagai bagian dan suatu kelas. Contohnya adalah silogisme tradisional. Silogisme tradisional selalu terdiri dari tiga proposisi yang secara bersama-sama membentuk suatu argumen;
setiap
rangkaian
kalimat
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dalam
kumpulan
43
proposisi ini
merupakan argumen dengan tidak melihat
panjang pendeknya kalimat-kalimat tersebut
2.2.7.3
Pengertian Semiotika Film
Menurut Van Zoest, Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural atau semiotika. Film dibangun dengan tanda semata – mata. Pada film digunakan tanda – tanda ikonis, yakni tanda – tanda yang menggambarkan sesuatu. Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikannya. Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Yang paling penting dalam film adalah gambar dan suara. Film menuturkan ceritanya dengan cara khususnya sendiri yakni, mediumnya, cara pembuatannya dengan kamera dan pertunjukannya dengan proyektor dan layar.Menurut Sardar & Loon, Film dan televisi memiliki bahasanya sendiri dengan sintaksis dan tata bahasa yang berbeda. Film pada dasarnya bisa melibatkan bentuk – bentuk simbol visual dan linguistik untuk mengkodekan pesan yang sedang disampaikan. Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai efek yang diharapkan.37 Yang paling penting dalam adalah gambar dan suara: kata yang diucapkan (ditambah dengan suara-suara lain yang serentak mengiringi gambar-gambar) dan musik film.38 Figur utama dalam pemikiran semiotika sinematografi hingga sekarang adalah Christian 37
Sumarno, Marselli, 1966, Dasar-Dasar Apresiasi Film, Gramedia Widiasarana, Jakarta Sobur, Alex, 2002, Analisis Teks Media Suatu Analisis Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, P.T Rosdakarya, Bandung
38
http://digilib.mercubuana.ac.id/
44
Metz dari Ecole des Hautes Etudes et Sciences Sociales (EHESS) Paris. Menurutnya, penanda (signifant) sinematografis memiliki hubungan motivasi atau beralasan dengan penanda yang tampak jelas melalui hubungan penanda dengan alam yang dirujuk. Penanda sinematografis selalu kurang lebih beralasan dan tidak pernah semena.39 Perkembangan semiotika film sebagai sebuah metode mendapat pengaruh dari tiga orang yaitu; Christian Metz, Juri Lotman dan Roland Barthes. Pertanyaan utama dalam mengaplikasikan semiotika sebagai metode interpretasi untuk film adalah bagaimana film tersebut mempunyai signifikansinya (how does the film signify?) dalam pengertian sebagai media penandaan. Karena film berbicara melalui tandatanda konvensional atau menurut Metz melalui bahasa film, untuk itu tantangan dalam semiotika film adalah menemukan bahwa signifikansi tersebut menyatakan yang “ada” adalah “benar”. Dalam konteks yang lebih umum, Danesi tidak sependapat dengan proposisi Metz tentang bagaimana film dapat ditengarai seolah-olah mempunyai kedudukan struktural yang sama dengan bahasa. Dalam opininya, lebih tepat dikatakan bahwa film sebagai suatu teks sinematik telah memperluas kategori-kategori yang dibuat oleh bahasa dengan menggabungkan dialog, musik, adegan dan peran dalam suatu caranya yang kohesif. Film lebih tepat sebagai suatu media penggabungan yang dibuat oleh penanda verbal dan non verbal.Rose berpendapat bahwa ideologi juga mempunyai peranan penting untuk memunculkan signifikasi tanda-tanda. Rose, 39
Ibid
http://digilib.mercubuana.ac.id/
45
mendasarkan pandangannya pada pendapat Williamson (1978) dan Barthes (1973), menegaskan pemisahan struktural metafora tanda yang mengarah pada metonimic, yaitu tanda yang berasosiasi dengan sesuatu dan kemudian merepresentasikan sesuatu, dan sinekdot, yaitu tanda spasial yang dapat merepresentasikan keseluruhan makna atau sebaliknya (sign is either a part of something standing in for a whole, or a whole representing a part). Kemudian, menurut Kress penstrukturan visual secara sederhana tidak hanya menghasilkan realitas dalam pengertian murni. Di lain pihak, struktur yang tercipta menghasilkan imajinasi realitas yang terikat dengan kepentingan institusi sosial di mana imajinasi tersebut dihasilkan, disebarluaskan dan dibaca. Struktur visual sesungguhnya tidak pernah formal; mereka mempunyai dimensi semantik yang mendalam. Roland Barthes menyatakan bahwa sekali posisi sang Pengarang (Author) dihilangkan, klaim untuk menguraikan makna asli suatu teks akan cukup sia-sia. Sewaktu posisi sang pengarang masih diperhitungkan dalam sebuah teks, posisi pengarang tersebut sesungguhnya telah menanamkan batasan pada teks tersebut, hanya melengkapinya dengan penanda final dengan harapan teks tersebut tertutup untuk interpretasi. Dia juga berpendapat, lahirnya sang pembaca adalah konsekuensi dari matinya sang pengarang (the birth of the reader must be a cost of the death of author).40 40
Barthes, Roland, 2007, Petualangan Semiologi(diterjemahkan oleh Sthepanus Aswar Herwinarko dari L’ aventure semilogique,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
46
Proposisi ini mengimplikasikan bahwa pusat lahirnya makna dari suatu teks tidak lagi tangan para pengarang/penulis melainkan muncul dari para pembaca teks tersebut. Dalam tulisannya di Structural Analysis of Narratives, dengan menyinggung proposisi bahwa teks naratif dapat berperan sebagai tempat bermain antara aktor (pelaku karakter) dan actants dimana narasinya sendiri kemudian menjadi bahasa.41
41
Ibid
http://digilib.mercubuana.ac.id/