KUCING HITAM ,,
@PEes @NARCHOPUNKI'JI,£
8 ~PERSONALPRoPERTYlD* :?Vo.~~~~~~~~~~~~~
<S> eloo@Nl!!~IRI No C
Edgar Allan Poe
SERI
FI KS I
KLASIK
Edgar Allan Poe KUCING HITAM
NUAMSA k I a s i k
Kode Penerbitan: YNC-081-02-04 Kucing Hitam
Edgar Allan Poe Diterjemahkan dari Edgar Allan Poe: Great American Short Stories (Golden Books, Kuala Lumpur: 1995) Penerjemah: Anton Kurnia Editor: Mathori A Elwa Hak cipta dilindungi undang- undang ®All rights reserved
Cetakan I, September 2004 Diterbitkan oleh: Penerbit Nuansa Yayasan Nuansa Cendekia Komp . Cijambe Indah JI. Vijaya Kusuma Il/E-06 Ujungberung - Bandung 40619 Telp: 70775264,Fax:022-7833682 E-mail: ynuansa@te lkom .net Anggota IKAPI Tata Letak: Wahyu Agung Pratama Ilustrasi isi: James McConnell Desain Cover: Tatang Rukyat ISBN : 979-9481-62-7
TENTANG PENGARANG
E
dgar Allan Poe (1809-1949) memiliki
kisah hidup yang penuh penderitaa·n layaknya isi cerpen-cerpennya. Orang-
tuanya adalah aktor keliling yang meninggal dunia sebelum ia genap berumur dua tahun. Penjaganya yang makmur tak memberinya · warisan yang menjadi haknya. la lalu dikeluarkan dari Universitas Virginia dan West Point karena berutang akibat berjudi dan mabuk- . . mabukan. lstrinya, yang masih terhitung
EDGAR ALLAN POE
(1 809-1949)
saudara sepupunya, mati karena tuberkulosis pada usia awal dua puluhan. Namun, ia memiliki bakat besar sebagai penulis dan merupakan seorang pekerja keras. la menu Iis puisi, cerpen dan kritik sastra. Kisahkisahnya mengenai misteri, horor dan ke-
61 Edgar Allan Poe
jahatan menjadi dasar bagi cerita detektif modern. Hanya segelintir penulis yang mampu mendekati pencapaian Poe dalam hal kekuatan dramatis dan intensitas emosional. Poe bisa dibilang merupakan arsitek cerpen mod ern. Pada 1832, ia merupakan orang pertama yang berkeras bahwa cerpen seharusnya membangun sebuah efek tunggal. Gagasannya yang lain berkaitan dengan panjang sebuah cerpen. la meyakini bahwa seorang pembaca seharusnya bisa menuntaskan sebuah cerpen "dalam sekali duduk." Poe tidak menciptakan cerpen sebagai sebuah karya sastra. Namun, ia adalah orang pertama yang menciptakan "ilmu" cerpen melalui perumusan aturan-aturannya. Poe diakui secara luas sebagai salah seorang pengarang Amerika paling penting di abad ke-19. la diingat karena sajak-sajak dan cerita-cerita horor populernya. Jika ketegangan merupakan kesukaan Anda, apa yang Anda cari ada pada karya-karya Poe.[IJ
Tentang Pengarang 17
PENGANTAR PENERJEMAH
P
roses pertemuan dengan sesuatu yang
asing-negeri-negeri yang jauh, orang-
orang dengan akar budaya yang
berbeda-entah itu dalam konteks wacana maupun pengalaman empirik, selalu mengandung peluang bagi terciptanya interaksi antar budaya. Sebuah perbenturan yang membuka kemungkinan-kemungkinan baru akan tercapainya rasa saling pengertian di balik segala perbedaan yang tersingkap.
Selain untuk lebih memperkenalkan para pengarang terkemuka dunia di masa lalu, seri te·rjemahan kumpulan cerpen klasik ini disusun sebagai upaya untuk lebih mengenal dan memahami budaya lain dengan segala keunikan dan persoalannya, tanpa terhalang oleh sekat-sekat perbedaan bangsa, budaya dan bahasa. Lalu, apakah gunanya bagi kita membaca cerpen-cerpen klasik di zaman yang tel ah jauh melaju ini? · Sastra klasik bukanlah sebuah genre. lstilah itu dipahami sebagai kategorisasi terhadap karya terbaik yang pernah ditullis di suatu tempat, pada suatu masa. Karya sastra klasik akan tetap abadi, tak peduli kita membacanya atau tidak. Tidak seperti karya-karya best-seller, mereka tak terpengaruh oleh selera kita. Setidak-tidaknya, mengutip kalimat ltalo Calv.ino, s·astrawan terkemuka Italia, dal~m sebuah esainya yang berjudul Mengapa Membaca Karya Klasik?(l 999), "Alasan utama
I
10 Edgar Allan Poe
membaca karya klasik adalah karena membacanya lebih baik daripada tidak membacanya." Melalui teks-teks sastra, terkadang kita disadarkan bahwa apa yang terjadi jauh di ujung dunia sana ternyata pada hakikatnya memiliki makna yang relevan dengan apa yang terjadi dekat di sini, dalam kenyataan hidup kita sehari-hari, entah itu bernama permasalahan ketidakadilan, kisah cinta sepasang anak manusia, maupun ilusi-ill.:1si personal seorang individu. Semua itu membaJik kesadaran kita akan adanya sebuah pijakan bersama di balik perbedaan-perbedaan yang tampak bahwa sesungguhnya kita adalah satu dalam semesta kemanusiaan. Dalam buku ini, terkumpul cerpencerpen Edgar Allan Poe (1809-1949), seorang cerpenis, penyair, wartawan dan kritikus seni yang berpengaruh besar terhadap para pengarang Amerika setelahnya. Poe banyak menulis kisah misteri dan cerita detektif.
I
Pengantar Penerjemah 11
Cerpen-cerpennya yang berkisah mengenai misteri, horor dan kejahatan-seperti yang tampak dalam keempat cerpen dalam buku ini-menjadi dasar bagi cerita-cerita detektif modern. la bisa dibilang merupakan arsitek cerpen modern dan diakui secara luas sebagai salah seorang pengarang Amerika paling penting di abad kesembilan belas. Di tengah terbatasnya karya serupa, semoga buku ini sedikit banyak dapat bermanfaat bagi perkembangan sastra dan kebudayaan kita secara luas. Setidak-tidaknya, buku ini tu rut memperkaya khazanah literatur sastra kita. Salam dan selamat membaca.rJ ANTON KuRNIA
12 j Edgar Allan Poe
DAFTAR ISi
Tentang Pengarang - 5 Kata Pengantar Penerjemah - 9 Tong Anggur- 15 Topeng Maut Merah- 35 Sebuah Kisah - 51 Kucing Hitam -69
Pengantar Penerjemah
I13
TONG ANGGUR Seberapajauh Anda mau melakukan balas dendam atas sebuah penghinaan? Dalam kisah aneh ini, Anda akan berjumpa dengan dua orang kaya yang menyukai anggur. Yang seorang sombong, tetapi bodoh. Yang satunya pandai, tetapi jahat. Gabungan keduanya bisa mematikan.
TONG ANGGUR
F
ortunato tel ah menyerangku ribuan kali dan aku bersabar sebisa mungkin. Namun, saat ia menghinaku, aku bersumpah akan membalasnya. Tentu saja aku tak mengatakan hal ini pada Fortunato. Aku tahu aku akan membalas dendamku, tak masalah berapa lama aku harus menunggu. Karena aku tak tergesa-gesa, aku bisa menyusun rencana dengan cermat. Tak ada risiko buatku. Bu.kan hanya aku akan meng-
j
t
hukum Fortunato, melainkan aku akan menghukumnya tanpa membahayakan diriku sendiri. Tak ada asyiknya membalas dendam jika kau sendiri menanggung hukuman setelahnya. Juga tak ada asyiknya kecuali jika kau memastikan bahwa musuhmu tahu apa yang tengah kau lakukan padanya. Kau harus mengerti bahwa aku tak pernah mengatakan atau melakukan sesuatu agar Fortunato tahu apa yang tengah kupikirkan. la tak ragu bahwa aku adalah sahabatnya. Seperti biasa, aku selalu tersenyum padanya. la tak menyangka bahwa aku tersenyum karena memikirkan balas dendamku . Nyaris dalam segala hal Fortunato merupakan orang yang dihormati dan disegani. Tapi ia punya kelemahan . Fortunato arnat bangga dengan pengetahuannya tentang anggur. lni merupakan kesamaan kami-kami berdua tahu banyak tentang anggur yang baik. Aku membeli anggur enak sesering mungkin. Lalu aku menyimpan harta karunku itu dalam
I
18 Edgar Allan Poe
ruangan bawah tanah rumahku. Di sana, bersama tulang belulang para leluhurku, anggur itu tetap terjaga. Sekitar senja hari, pada suatu petang saat musim karnaval, aku berlari menghampiri Fortunato. la menyalamiku dengan hangat karena ia tengah menikmati karnaval. la mengenakan pakaian pesta berwarna cerah, termasuk sebuah topi berbandul loncenglonceng mungil. Aku begitu senang bertemu dengannya sehingga aku menyalaminya begitu lama. Aku berkata, "Fortunatb yang baik, aku senang berjumpa denganmu.\:au tampak hebat! Dengar, aku baru membeli satu tong anggur. Penjualnya bilang padaku itu anggur amontillado yang terkenal enak, tapi aku ragu." "Bagaimana kau mendapatkannya? Susah sekal i menemukan anggur semacam .itu di tengah musim karnaval!" ujar Fortunato. "Yah, aku tak yakin itu sungguh-sungguh anggur amontillado. Agak bodoh sebetulnya
I
Tong Anggur 19
membayar penuh harganya tanpa memintamu mencicipinya terlebih dulu. Aku tak berhasil menemukanmu di mana pun dan aku takut keduluan orang." "Amontillado!" ujar Fortunato. "Aku ragu," ujarku. "Amontillado!" "Aku harus memastikannya," sahutku. "Amontillado!" ujarnya lagi. "Kulihat kau sibuk. Aku akan mengunjungi Luchesi. la tahu banyak soal anggur. Mungkin ia bisa membantuku," kataku. "Luchesi tak tahu perbedaan amontillado dengan anggur merah biasa," ujar Fortunato. "Tapi beberapa orang tolol mengatakan bahwa citarasa Luchesi tentang anggur sama baiknya denganmu," kataku. "Ayo, kita pergi," ujar Fortunato. "Ke mana?" "Tentu saj,a ke ruang bawah tanahmu;'' ujar Fortunato.
I
·20 Edgar Allan Poe
"Tidak, kawanku. Kulihat kau sibuk. Aku tak ingin ll)engganggumu. Luchesi ... " ujarku. "Tak apa-apa. Ayo kita pergi." "Tidak, kawanku. Kulihat kau sedang kedinginan. Ruang bawah tanahku sangat lembab. Tak baik buatmu." "Ayolah. Dingin ini tak seberapa. Amontillado! Luchesi tak tahu apa-apa soal anggur. Seperti yang kubilang, ia tak tahu perbedaan amontillado dengan anggur merah biasa." Seraya bicara, Fortunato meraih lenganku. Kubiarkan iamembawaku ke arah rumahku. Semua pelayanku sedang pergi. Mereka tengah menikmati karnaval. Kubilang pada m.ereka aku tak akan kembali sebelum pagi tiba. Lalu aku menyuruh mereka agar tinggal di dalam rumah. Aku tahu mereka akan melanggarnya. Begitu aku pergi, aku yakin mereka akan segera pergi menonton karnaval. Maka, Fortunato dan aku sendirian di rumah ini, tiada yang mengganggu.
TongAnggur , (
121
I I. I
Aku membawanya melalui banyak ruangan menuju pintu ruang bawah tanah. Kami membawa obor ag'3r bisa mel ihat jalan yang kami lalui. Aku berkata padanya agar berhatihati saat menuruni tangga yang panjang dan berangin. Akhirnya, kami sampai di dasar tangga. Kami berdiri bersama di atas lantai lembab kuburan bawah tanah keluarga Montressor. lni adalah tempat pemakaman keluargaku. Kawanku agak goyah kakinya. Loncenglonceng kecil di topinya berbunyi saat ia sampai. "Mana tong anggur amontillado itu?" "Masih jauh," kataku. Lalu, Fortunato terbatuk. la terus batuk-batuk selama beberapa men it. "Ayo," kataku. "Kita kembali saja. Kesehatanmu amat berharga. Kau kaya, dihormati, dikagumi dan dicintai. Kau seorang lelaki yang bahagia, seperti aku d.ulu. Kau seseorang yang akan dirindukan. Untukku, itu bukan soal. Kita
I
22 Edgar Allan Poe
Karena aku tak tergesa-gesa, aku bisa
n1enyusun rencana dengan cermat. Tak ada risiko buatku. Bukan hanya aku akan menghukum Fortunato, melainkan aku akan menghukumnya tanpa membahayakan diriku sendiri. Tak ada asyiknya
membalas
dendam jika k.au sendiri menanggung hukuman setelahnya.
Ju~a tak
asyiknya
ada
kecuali jika kau
memastikan bahwa
musuhmu tahu apa yang tengah
kau lakukan
padanya
kembali sekarang. Kalu tidak, kau akan sakit, dan aku tak mau disalahkan. Lagi pula, ada Luchesi ... " "Cukup," ujarnya . "Batuk ini tak seberapa. Tak akan membunuhku. Aku tak akan mati karena batuk." "Betul," kataku. "Tentu aku tak bermaksud membuatmu cemas, tapi kau sebaiknya lebih berhati-hati dengan kesehatanmu. Seteguk anggur merah ini akan melindungi kita dari kelembaban di bawah sini." Aku memilih sebuah botol dari barisan bagian bawah di antara botol-botol yang berjejer sepanjang dinding. "Minumlah," kataku seraya menggenggamkan botol itu padanya. la mengangkatnya hingga menempel di bibirnya. Sejenak ia berhenti dan mengangguk padaku. Lonceng-lonceng kecil di topinya berbunyi. la berkata, "Aku minum untuk mereka yang dimakamkan di sini dan beristirahat di ruang bawah tanah ini."
I
24 Edgar Allan Poe
"Dan aku minum agar kau panjang umur," kataku. la merengkuh lenganku lagi dan kami meneruskan perjalanan. "Ruang pemakaman ini memakan banyak tempat," ujarnya. '"Keluarga Montressor adalah sebuah keluarga besar yang hebat," sahutku. "Aku lupa seperti apakah lambang keluargamu," kata Fortunato. "Kaki manusia berukuran besar terbuat dari emas dengan latar belakang berwarna biru. Kaki itu menginjak seekor ular yang taringnya terbenam pada tumit." "Dan kalimat apa yang tertulis dalam lambang itu?" tanya Fortunato. "Tak seorang pun melukaiku tanpa dihukum," jawabku. "Hebat!" ujarnya. Anggur itu membuat matanya berbinar dan lonceng-lonceng itu kembali berdenting. Kami telah melintasi dinding tempat tulang
I
Tong Anggur 25
belulang manusia ditumpuk. Tong-tong dan . botol-botol anggur tersimpan di sana-sini. Kami terus berjalan ke bagian terdalam ruang bawah tanah itu. Lalu aku berhenti lagi, tapi kali ini aku meraih siku Fortunato. · "Kita di bawah aliran sungai kini. Lihat bagaimana tetesan air menitik di antara tulang belulang. Ayo, kita kembali saja sebelum terlambat. Batukmu .... " "ltu tak seberapa," katanya. "Kita terus saja. Tapi sebelumnya, ayo kita cicipi anggur merah lagi." Aku membuka botol lain. la meminumnya dan matanya berkilau samar. la tertawa dan melemparkan botol itu ke depan dengan sebuah gerakan yang tak kupahami . Aku menatapnya dengan kaget. la mengu langi gerak tubuh yang aneh itu. "Kau tak paham?" tanyanya. "Tidak," sahutku. "Berarti kau bukan bagian kelompok persaudaraan."
'
I
I'
26 Edgar Allan Poe
I
I I
~
"Maksudmu?" kataku tak paham. "Kau bukan anggota kelompok kebatinan," ujarnya. Hingga saat itu, aku tak tahu kalau Fortunato merupakan anggota kelompok rahas-ia itu. '.'Ya, memang bukan," kataku . .. "Kau? Tak mungkin! Kau tak mungkin bukan anggota kelompok kebatinan," katanya. "Memang bukan," aku berkeras. "Beri aku tanda," ujarnya. "lni," jawabku seraya mengeluarkan sebuah tajak dari balik mantelku. Alat ini, digunakan untuk mengaduk semen, merupakan bagian dari rencanaku. "Kau bergurau!" ujar Fortunato seraya melangkah mundur. "Tapi, ayo kita menuju amontillado." "Baiklah," ujarku seraya menyimpan alat itu di balik mantelku. Aku mengulurkan tangan dan ia bertumpu padanya. Kami meneruskan berjalan, melintasi beberapa bagian yang berlangit-langit rendah. Kami masuk
TongAnggur j 27
makin dalam ke ruang bawah tanah itu dan akhirnya sampai di sebuah kubah yang dalam. Udara di ruangan ini berbau apak. Di bagian ujung ruangan ini terdapat sebuah jalan ke ruang lain yang lebih kecil. Ketiga dindingnya dipenuhi belulang manusia yang bertumpuk tinggi. Tulang bel~lang itu tampaknya terjatuh dari dinding keempat. Belulang itu terserak menggunduk di atas lantai. Dinding keempat membuka ke ruang lain. Tingginya sekitar empat kaki, lebarnya empat kaki dan tingginya tujuh kaki. Ruang yang sempit itu tampaknya dibangun tanpa alasan khusus. Ruangan itu hanya mengambil tempat antara dua kisi yang menopang langit-langit ruang bawah tanah. Bagian belakang dinding ruangan ini terbuat dari batu pejal. Fortunato mengangkat obornya, mencoba melihat ke dalam ruangan kecil itu. Tapi cahaya obor tak cukup terang untuk bisa membuatnya melihat ke ujung ruangan.
I
28 Edgar Allan Poe
"Kau bukan
anggota kelompok
keba,,
. ttnan, .
ujarnya. Hingga
saat itu, aku tak tahu kalau
For tuna to
merupakan
anggota kelompok rahasia itu.
"Masuklah," kataku. "Anggur amontillado itu ada di sana. Luchesi ... " "Luchesi itu tolol," potong Fortunato saat ia melangkah maju. Aku mengikuti tepat di belakangnya. Sekejap ia sudah mencapai ujung dinding ruangan itu. Saat ia sadar tak bisa masuk lebih jauh, ia berdiri di sana, kebingungan . Sejenak kemudian, aku merantainya ke dinding. Dinding itu dipasangi aua cincin besi, terpisah sekitar dua kaki. Sebuah rantai pendek menggantung di salah satu cincin besi ini. Sebuah kunci menempel pada cincin yang satunya. Seraya melingkarkan rantai itu ke pinggangnya, aku menguncinya dengan cepat pada cincin yang lain. Fortunato terlalu kaget untuk melawan. Seraya mengambil anak kunci dari lubangnya, aku melangkah mundur. "Rabalah dinding itu," kataku. "Kau akan tahu itu lembab sekali . Sekali lagi, ayo kita kembal i saja. Tidak? Kai au begitu aku harus
I
30 Edgar Allan Poe
meninggalkanmu di sini. Tapi aku harus memberimu dulu sesuatu." "Amontillado!" teriaknya, masih berpikir aku ingin ia mencicipi anggur. la belum pulih dari kagetnya. "Benar," sahutku. "Amontillado." Saat mengatakan kalimat itu, aku berbalik ke arah tumpukan tulang di !antai. Aku menyibaknya ke samping dan tampaklah tumpukan batu dan semen . Menggunakan tajak, aku mulai membuat sebuah dinding di depan Fortunato. Aku dengan susah payah berhasi I menyelesai kan barisan batu pertama saat kulihat Fortunato terisak. Aku mendengarnya menangis meratap. ltu bukan tangisan orang mabuk. Setelah itu, kesunyian lama terasa. Aku membuat baris kedua, ketiga dan keempat. Lalu aku mendengar suara denting rantai. Keributan itu hanya terdengar beberapa menit. Untuk lebih menikmati suara
Tong Anggur j 31
llu, Jkll b •rh ·mi m mbuat dinding dan duduk di l lt · tu mpuk n tulang.
, l k ributan itu akhirnya sirna, aku Ii meraih tajak. Aku membuat baris k lim , keenam dan ketujuh. Dinding itu kini nyari s setinggi dadaku. Aku berhenti lagi, lalu kuangkat oborku di atas dinding sehingga aku bisa melihat sosok di dalamnya. Seketika Fortunato memeki~ dan menjeritjerit. Jeritan ini keluar secara tiba-tiba dari tenggorokannya sehingga keributan itu sempat mengejutkanku dan membuatku terjajar ke belakang. Sejenak aku tak tahu apa yang harus kulakukan . Aku gemetar. Lalu aku mendekati dinding dan balas meneriaki Fortunato. Setiap kali ia menjerit, aku memekik lebih keras. lni berlangsung beberapa saat, lalu ia diam. Kini sudah tengah malam dan tugasku nyaris usai. Aku telah menyelesaikan baris kedelapan, kesembilan dan kesepuluh. Aku hampir menyelesaikan baris terakhir, baris keseb~ las .
I
Hanya ada ruang untuk sebongkah
32 Edgar Allan Poe
batu lagi. Aku berjuang mengangkat batu terakhir itu dan menempatkannya di ruang yang tersisa. Lalu aku mendengar suara tawa lirih yang membuat bulu kudukku berdiri. Setelah itu, aku mendengar suara sedih, yang kemudian berhasil kukenali sebagai suara Fortunato yang biasanya penuh kesombongan . Suara itu berbunyi, "Ha! Ha! Ha! He! He! Benar-benar sebuah lelucon hebat-lelucon istimewa. Kita akan menertawakannya setelahnya-sambil minum segelas anggur. He! He! He!" "Sambil minum segelas anggur amonti II ado!" seru ku. "Ha! Ha! Ya, amontillado. Tapi tidakkah ini sudah larut? Tidakkah ada seseorang yang menunggu kita di rumahmu? Ayo kita pergi." "Ya, ayo kita pergi," kataku. "Demi cinta Tuhan. Montressor!" "Ya," ujarku. "Demi cinta Tuhan!" Aku menanti kata-katanya lagi, tapdak kunjung terdengar. Aku jadi tak sabar.
.
Tong Anggur 133
Aku berseru nyaring, "Fortunato!" Masih tak ada jawaban. Aku menekan oborku melalui lubang yang tersisa dan membiarkannya jatuh ke dalam. Yang kudengar hanyalah denting lonceng mungil. Aku merasa mual-karena kelembaban ruang bawah tanah ini. Aku segera menyelesaikan dinding itu. Kurapatkan batu terakhir pada tempatnya. Lalu aku merekatkannya dengan semen. Terakhir, aku menumpuk belulang menutupi dinding baru itu. Hingga setengah abad tak seorang pun mengusik mereka. Beristirahat dengan damai!IJ
I
34 Edgar Allan Poe
TOPENG MA.UT MERAH Bisakah kekayaan clan kekuasaan mencegah nasib buruk? Dalam kisah ini, seorang pangeran yang panclai mencoba menyelamatkan clirinya clan teman-temannya clari sebuah wabah maut. Akankah rencananya berhasil? Atau akankah penyakit maut itu menerkam mereka?
TOPENG MAUT MERAH
M
aut Merah" tel ah meneror negeri itu selama berbu Ian-bu I an. Penyakit itu dinamai berdasarkan
warna darah. Tak pernah ada penyakit yang begitu mematikan dan amat mengerikan. Pertama, korban-korbannya merasa amat kesakitan dan tiba-tiba menderita pusing. Lalu mereka mengeluarkan darah dari seluruh poripori ku I it. Kematian menyusu I tak lama kemudian. Bintik-bintik merah di wajah
Topeng Maut Merah j 37
mereka membuat orang lain menghindari mereka. Seluruh proses itu hanya memakan waktu setengah jam dari mula hingga ajal tiba. Setengah dari penduduk kerajaan Pa~ · ngeran Prospero telah mati karena Maut Merah. Namun, Pangeran Prospero tidak takut. Pangeran yang pandai ini berencana meloloskan diri dari penyakit itu. la meminta seribu orang bangsawan lelaki dan perempuan untuk ikut pergi bersamanya. Bersamasama mereka pergi ke sebuah puri besar miliknya di luar wilayah negeri itu. Gedung ini indah dan megah, didesain oleh sang pangeran sendiri. Sebuah dinding tinggi yang kokoh melingkarinya. Dinding itu dilengkapi gerbang besi. Setelah semua orang masuk, pintu gerbang dikunci rapat. Tak seorang pun diizinkan masuk dan mereka yang ada di dalam tidak boleh keluar. Setiap orang dalam puri mendapat banyak makanan dan minuman. Pangeran te lah m empersiapkan agar mereka bisa
I
38 Edgar Allan Poe
bertahan hingga wabah penyakit itu sirna. Orang-orang selain mereka harus bertahan sendiri. Pada saat itu, bersedih atau memikirkan soal itu adalah kebodohan. Pangeran menyiapkan segalanya untuk membuat tamutamunya merasa nyaman. Ada badut-badut, pemain sandiwara, penari dan pemain musik. Dan yang terbaik dari semuanya, ada rasa aman di dalam dinding·puri. Di luar sana Maut Merah tengah mengganas. Lima atau enam bu Ian telah lewat. Di luar puri, wabah penyakit kian mengganas. Namun, di dalam dinding puri, Pangeran Prospero bersiap menghibur kawan-kawannya dengan sebuah pesta topeng. Pesta besar itu diselenggarakan dalam bangsal puri yang pa1ing indah. Ada tujuh ruangan besar dalam bangsal itu. Setiap 20 atau 30 depa, terdapat sebuah belokan tajam dari satu ruangan ke ruangan lain. Dalam tiap belokan, ruangan itu menjadi amat berbeda. Di sebelah kanan dan kiri, di
I
Topeng Maut Merah 39
tengah tiap dinding, terdapat jendela sempit yang tinggi. Setiap jendela mengfiadap pada sebuah lorong bercabang yang tak mengarah ke mana pun. Jendela-jendela itu bertutup kaca buram. Warna kaca sesuai dengan warna segala benda yang terdapat dalam ruangan itu. Misalnya, jendela di sisi timur berwarna biru-sewarna dengan tirai, karpet dan perabotan dalam ruangan itu . Ruangan kedua memiliki perabotan berwarna ungu dan hiasan dinding yang juga ungu-di ruangan ini kaca jendela juga berwarna ungu. Ruangan ketiga berwarna serba hijau, begitu juga jendelanya. Ruangan keempat berwarna jingga. Ruangan kelima putih dan ruangan keenam berwarna violet. Ruangan ketujuh dipasangi beludru hitam, menggantung dari langit-langit menutupi dinding. Tirai itu jatuh berlipat di atas karpet beludru hitam. Hanya di ruangan ini warna jendela tidak sama dengan hiasan. Kaea jendela di ruangan ini berwarna merah-sewarna darah kental.
I
40 Edgar Allan Poe
Setengah dari penduduk kerajaan Pangeran Prospero telah
matl karena Maut Merah.
Namun, Pangeran Prospero
tidak
taku t. Pangeran yang pandai ini berencana meloloskan diri dari
penyaki t
itu. la meminta seribu orang bangsawan lelaki clan perempuan untuk ikut pergi· bersamanya. Bersama-sama mereka pergi ke sebuah
puri besar miliknya di luar wilayah negeri itu.
-Tak satu pun di antara seluruh ruangan itu yang dilengkapi lampu atau lilin. Tapi, tepat di luar kaca jendela, di lorong yang bercabang, s.ebuah tungku api menyala di atas sebuah meja besar. Cahaya api ini menerangi ruangan-ruangan itu . Karena warna-warni kaca jendela yang beraneka, nyala api menghasilkan dampak yang aneh dan fantastis. Namun, di ruangan yang berwarna hitam, nyala api itu benar-benar tampak mengerikan. Wajah setiap orang yang yang masuk ke ruangan itu tertutup oleh cahaya merah yang menakutkan. Hanya segelintir saja di antara para tamu yang berani menginjakkan kaki ke dalam ruangan itu. Sebuah jam raksasa terbuat dari kayu eboni, sebuah kayu hitam yang tebal, juga terdapat di ruangan hitam . Bandulnya bergerak-gerak dengan suara yang berat dan membosankan. Setiap jam lonceng jam itu berbunyi. Bunyi yang nyaring itu t.erdengar jernih, dalam dan berirama. Nada aneh yang
I
42 Edgar Allan Poe
terd~ngar
membuat para pemusik dan penari
menghentikan apapun yang tengah mereka lakukan untuk mendengarkannya. Saat lonceng aneh itu berbunyi, bahkan orang pa1ing bahagia di ruangan itu sekalipun akan menjadi pucat. Beberapa tamu mengibaskan tangan mereka seakan-akan kebingungan. Namun, saat bunyi lonceng itu ·berakhir, para tamu kembali tertawa. Para musisi saling berpandangan dan tersenyum. Mereka berjanji bahwa lain kali bunyi lonceng itu tak akan membuat mereka terpana lagi. Mereka berjanji jika lonceng itu berbunyi lagi, mereka akan terus bermain musik. Namun, setiap jam, saat jam itu berdentang, semua orang kembali terdiam. Seakan-akan mereka tak mampu mencegahnya. Terlepas dari semua itu, pesta itu amat meriah. Pangeran bekerja keras untuk memastikan bahwa tamu-tamunya· terhibur. Warna-warni hiasan yang berlainan di ke tujuh
I
TopengMautMerah 43
I
11
ruangan adalah gagasannya. la memerintahkan para tamunya memilih busana mereka sendiri . Busana yang mereka kenakan amat beragam. Beberapa tampak unik, yang lainnya tampak indah. Sebagian kelihatan aneh, yang lainnya kelihatan menakutkan. Beberapa lagi bahkan bisa dibilang menjijikkan. Seraya tertawa-tawa dan saling bercakap, para tamu berseliweran di ketujuh ruangan. Saat mereka bergerak, mereka mengisi warnawarn i berbagai ruangan, seakan-akan terpantul dalam nyala api. Musik orkestra yang terdengar liar seolah-olah menggema dalam langkah-langkah mereka. Dan sepanjang malam; jam eboni itu terus menerus berbunyi. Setiap kali jam itu berbunyi, semua orang terdiam dan hening terasa kecuali suara jam tersebut. Lalu gema lonceng berhenti dan kembali terdengar suara tawa riang. Saat malam tiba, tak seorang tamu pun berani masuk ke ruangan hitam. Namun, ruangan lainnya dipenuhi orang dan pesta
I
44 Edgar Allan Poe
terus berlangsung. Akhirnya jam eboni itu berdentang tanda tengah ma lam tel ah tiba. Saat lonceng berdentang, segenap musik dan tarian terhenti. Seperti sebelumnya, seluruh tawa dan percakapan pun terhenti pula. Tapi kali ir:ii 1 ada dua belas kali dentangan lonceng jam itu. Sebelum dentang terakhir sirna, banyak orang dalam kerumunan 'melihat sosok seorang asing. Sebelumnya, tak seorang pun sadar akan kehadiran sosok bertopeng ini. Sebuah dengungan, sebuah gumaman, muncul dari kerumunan. Dengungan ini berubah menjadi ekspresi ketakutan, kengerian dan rasa jijik. Dalam pesta topeng biasa, tentu_saja, sebuah pakaian yang mengerikan tak akan menyebabkan reaksi semacam itu. Memang benar, pakaian itu mengerikan, menyeramkan, sekaligus menjijikkan. Tapi sosok baru yang aneh itu telah melampaui batas-batas yang bisa diterima. Bahkan, bagi orang-orang yang sedang bergurau tentang hidup dan mati pun,
I
Topeng Maut Merah 45
ada hal-hal yang tak patut dijadikan bahan gurauan. Tiba-tiba saja semua orang larigsung merasa bahwa busana orang asing itu tidak lucu dan tidak pantas dipakai. Sosok itu tinggi dan kurus. Tubuhnya ditutupi kain kafan dari ujung kepala hingga ujung kaki. Topeng yang menyembunyikan wajahnya tampak seperti wajah sesosok mayat. ltu mungkin masih bisa diterima oleh para tamu, kecuali satu hal. Sosok itu melampaui batas dengan merias diri seperti korban wabah Maut Merah. Pakaiannya tertutupi darah. Dan seluruh wajahnya dipenuhi bintik-bintik wabah maut itu. Ketika pandangan Pangeran Prospero jatuh pada bayangan menakutkan ini, ia bergidik. la bergidik karena takut atau jijiktak seorang pun benar-benar yakin. Namun, sesaat kemudian, wajah sang pangeran memerah karena marah. "Siapa yang berani berbuat serupa itu?" desaknya. "Tangkap dia dan buka topengnya!
I
46 Edgar Allan Poe
\ Setelah itu kita bisa tahu siapa yang akan kita gantung di dinding puri saat fa jar tiba!" Saat berkata demikian, Pangeran Prospero tengah berdiri di ruangan biru. Katakatanya bergema nyaring dan jelas di seluruh ruangan. lni karena sang pangeran memiliki suara yang kuat dan tegas, juga karena suara musik terhenti. Pada mulanya, setelah sang pangeran bicara, sejumlah orang mulai bergegas mengejar si orang asing. Tapi di saat itu juga, si orang asing bergerak mendekati pangeran. Seluru~ tamu pesta itu merasakan ketakutan tak bernama yang dibangkitkan oleh si orang asing. Tak seorang pun mengulurkan tangan untuk menghentikannya. Segera ia telah menjadi begitu dekat pada sang pangeran. Pada saat yang sama, para tamu, seakan menyatu, terjajar mundur ke dinding. Orang asing itu begerak tanpa hambatan dari ruangan biru ke ruangan ungu. Lalu berpindah dari ruang ungu ke hijau, lalu ke ruang
TopengMautMerah j 47
jingga. Dari situ ia terus bergerak ke ruang putih, lalu violet. Masih tak ada gerakan untuk mencegahnya. Para tamu seolah membeku di tempat mereka. Pangeran Prospero menjadi murka dan malu atas rasa takutnya. la bergegas melintasi keenam ruangan. Tak seorang pun mengikutinya karena semua orang diliputi rasa takut. Sang pangeran menghunus sebilah belati saat ia mendekati si orang asing. Ketika sosok bertopeng itu mencapai ruangan hitam, ia tibatiba berbalik dan berhadapan dengan sang pangeran . Sekonyong-konyong sang pangeran menjerit dan menjatuhkan belatinya ke atas karpet hitam. Lalu, Pangeran Prospero sendiri menyusul rubuh di atas karpet. Mati. Didorong oleh keberanian yang timbul dari keputusasaan, sekelompok tamu berlari masuk ke ruang hitam. Mereka menangkap sosok kurus yang berdiri dalam bayangan jam eboni. Saat berhasil merengkuh pakaian dan topeng serupa mayat itu, mereka mendesah
48 j Edgar Allan Poe
ketakutan. Ternyata tak ada apa-apa di dalam pakaian itu! Kini mereka sadar bahwa Malit Merah telah tiba. la datang seperti seorang pencuri di malam hari. Satu demi satu ia merubuhkan para tamu di atas lantai bangsal puri yang kini penuh darah. Mereka semua mati dalam rasa putus asa. Jam eboni berhenti berdetak bersamaan dengan rubuhnya tamu terakhir. Nyala api pun padam. Kegelapan dan Angkara Maut Merah kini meraja.15
Topeng Maut Merah
149
SEBUAH KISAH
enar! Aku me.mang merasa gugupsangat, sangat gugup. Tapi mengapa kau mengatakan bahwa aku ini gila? Penyakit ini telah membuat inderaku jadi lebih peka. Penyakit itu tak merusaknya atau membuatnya tumpul. Di atas semuanya, indera pendengaranku jadi amat tajam. Aku bisa mendengar semua yang ada di bumi dan langit. Bagaimana mungkin kau menyebutku gila? Dengarkan! Kau harus tahu betapa sehat
B
1
s3
dan tenang aku ini sehingga bisa menceritakan kisah ini padamu. Mustah iI mengatakan dari man a aku pertama kali mendapat gagasan ini. Tapi begitu aku memikirkannya, gagasan itu terus mengejarku siang dan malam. Tak ada alasan bagus untuknya. Aku tak membenci lelaki tua itu. Aku mencintainya. la tak pernah melakukan sesuatu yang menyerangku. Dan ia tak pernah menghinaku. Aku juga tak punya keinginan sama sekali untuk merampok hartanya. Kukira yang menjadi sebab adalah matanya! Ya, itulah sebabnya. Salah satu matanya tampak seperti mata bu rung nasar. Mata itu itu berwarna biru pucat, dengan sebuah bayangan di atasnya. Bila ia m~natapku, darahku berdesir. Dan sedikit demi sedikit, secara amat perlahan, timbul gagasanku untuk membunuhnya. Dengan begitu, aku akan mengenyahkan mata itu untuk selamanya. Kini inilah soalnya. Kau kira aku gi1a. Namun, seorang gila tak tahu apa-apa. Kau
I
54 Edgar Allan Poe
harus melihatku dan betapa bijak aku berperilaku. Aku amat berhati-hati dan penuh perencanaan. Aku tak pernah memberi kesempatan pada lelaki tua itu untuk curiga padaku . Kenyataannya, aku tak pernah berlaku lebih baik padanya dibanding seminggu penuh sebelum aku membunuhnya. Setiap malam, sekitar tengah ma lam, aku memutar gerendel pintu dan membukanyaah, begitu lembut! Saat aku membukanya cukup lebar, aku menyorongkan sebuah lentera gelap melalui celah yang terbuka. Lentera itu tertutup, sehingga tiada cahaya yang bersinar darinya. Lalu aku melongokkan kepala di pintu yang tel ah terbuka. Oh, kau akan tertawa bila melihatku melakukannya! Aku bergerak perlahanlahan-amat sangat perlahan, sehingga aku tak q.kan mengganggu tidur si lelaki tua. Perlu waktu satu jam untuk melongokkan seluruh kepalaku ke dalam ruangan itu agar aku bi-sa melihat lelaki tua itu. Hahl Mana ada orang
!
Sebuah Kisah SS
gila berbuat secerdas ini? Lalu, ketika kepalaku telah masuk dengan nyaman di ruangan itu, aku membuka penutup lentera. Aku melakukannya dengan sangat berhati-hati karena engsel-engselnya suka berbunyi. Aku membuka penutupnya sedemikian rupa sehingga secercah sinar panjang jatuh menerpa matanya yang seperti mata burung nasar. Aku melakukannya selama tujuh malam, setiap malam pada tengah malam. Tapi matanya selalu terpejam. Jadi mustahil melakukan pekerjaanku. Kau tahu, bukan lelaki tua itu yang membuatku gusar, melainkan m~ta jahatnya itu. Setiap pagi, bila hari tiba, aku pergi ke kamarnya dengan berani, me-· manggil namanya dengan suara ramah. Aku bertanya padanya bagaimana ia semalam. Aku tahu, ia tak tahu bahwa setiap malam, pada tengah malam, aku mengintipnya saat ia tidur. Pada malam kedelapan, aku lebih berhati-hati daripada biasanya. Jarum jam bergerak lebih cepat daripada tanganku. Tak
I
56 Edgar Allan Poe
pernah sebelumnya aku merasa betapa ~ijak dan kuatnya aku. Aku sulit mengendalikan rasa kemenanganku. Di sanalah aku, membuka pintu, sedikit demi sedikit. Aku tahu lelaki tua itu bahkan tak mampu memimpikan tindakan atau pikiran rahasiaku. Gagasan itu nyaris membuatku tertawa terbahak-bahak. Mungkin ia mendengarku, karena ia bergerak di atas ranjang secara tiba-tiba. Seakan-akan ia terkejut karena sesuatu. Kini kau mengira aku akan mundur, tapi tidak. Ruangan itu segelap aspal, karena tirai jendela tertutup rapat. Aku tahu ia tak akan bisa melihat pintu yang terbuka. Maka aku terus membukanya-perlahan-lahan. Aku melongokkan kepalaku ke dalam dan hampir membuka penutup lentera ketika ibu jariku terpeleset. Keributan kecil menyebabkan lelaki tua itu terduduk di atas ranjang. Kudengar ia berteriak, "Siapa itu?" tapi aku tetap diam tak bersuara. Selama satu jam penuh aku tak menggerakkan sebuah otot pun.
I
Sebuah Kisah 57
Pada saat itu, aku tak mendengar ia kembali berbaring. la masih duduk di atas ranjang, mendengarkan. Sejenak kemudian, kudengar rintihan samar. Aku tahu itu sebuah rintihan ketakutan. Bukan rintihan kesakitan atau ratapan kesedihan. Oh, tidak! ltu suara lirih yang berasal dari dasar jiwa ketika diliputi oleh kengerian. Aku tahu su.ara itu dengan baik. Sekian malam yang lewat, pada tengah malam, aku pernah merintih seperti itu. Saat aku melakukannya, suara itu justru membuat rasa takutku kian memburuk. Oh, ya, aku amat mengenal suara itu. . Aku tahu apa yang dirasakan oleh lelaki · tua itu dan aku mengasihaninya-walaupun aku tertawa dalam hati. Aku tahu ia· telah terjaga sejak keributan kecil pertama. Rasa takutnya meningkat saat ia berbalik di ranjang. la mencoba berbicara sendiri untuk mengenyahkan rasa takutnya, tapi ia tak 'mampu. la berkata pada diri sendiri, "ltu bukan apa-apa
I
58 Edgar Allan Poe
hanya deru angin di cerobong asap. ltu hanya seekor tikus yang melintasi lantai. ltu cuma derikan seekor jangkrik." Ya, aku tahu ia mencoba berbicara pada diri sendiri untuk mengusir rasa takut. Tapi itu tak berh~sil. Maut, yangtengah mendekatinya, telah. memperlihatkan bayangan hitam di hadapannya. Kini korban telah terkepung. Bayangan maut yang tak kasat mata membuat lelaki tua itu merasakan kedekatanku. la tak bisa melihat atau mendengarku, tapi ia bisa merasakan kehadiran kepalaku di ruangan itu. Setelah menunggu cukup lama, aku memutuskan untuk niembuka lentera sedikit. Kau tak bisa membayangkan betapa hati-hati aku melakukannya. Akhirnya, secercah cahaya samar, seperti jaring laba"'laba, terpancar dan jatuh pada mata burung nasar itu. Mata itu terbuka-terbelalak lebar. Aku menjadi marah melihatnya. Aku melihatnya dengan jelas. Mata itu biru pucat, dengan bayangan buruk di atasnya. Pemandangan itu
I
Sebuah Kisah 59
menggetarkan belulangku. Aku tak bisa melihat bagian lain wajahnya. Pancaran sinar itu tepat mengarah ke matanya. Apakah aku belum bercerita padamu bahwa apa yang kau kira sebagai kegilaan hanyalah ketajaman segenap inderaku? Kini, kukatakan, aku mulai mendengar sebuah suara lirih yang cepat. Terdengar seperti detak sebuah jam terbungkus kain katun . Aku juga mengenal dengan baik suara itu. ltu adalah detak jantung lelaki tua itu. Entah bagaimana, suara itu membuatku m·akin marah-seperti dentum sebuah drum yang membuat seorang serdadu jadi pemberani.
.
Tapi aku tetap diam. Aku bahkan ·sulit bernapas. Aku mencoba melihat betapa tenang aku menjaga sinar lentera menerangi mata itu. Aku mendengar jantungnya berdetak makin cepat. Detaknya makin cepat dan kian cepat, makin nyaring dan kian nyaring. Rasa takut lelaki tua itu bertambah setiap saat! Detak jantungnya kian kencang. Kubilang, makin
I
60 Edgar Allan Poe
kudengar
tintihan samar. Aku tahu itu
sebuah rintihan ketakutan. Bukan rintihan kesakitan atau ratapan kesedihan. Oh, tidak! Itu suara lirih yang berasal dari dasar jiwa ketika diliputi oleh
kengerian,Aku tahu
suara itu dengan baik. Sekian malam yang lewat, pada tengah malam,
aku
pernah merintih seperti itu. Saat aku melakukannya, suara itu justru membuat rasa takutku
kian
memburuk.
kencang setiap saat! Apakah kau mendengarku? Aku telah mengatakan padamu bahwa aku merasa gugup. ltu benar. Dan kini, dalam kesunyian menyebalkan rumah tua itu, keri,butan ini membuatku ngeri. Namun, untuk beberapa saat berikutnya, aku tetap diam. Namun, detak jantung itu makin nyaring, makin nyaring! Jantungnya seakan hendak meledak. Tiba-tiba sebuah rasa takut yang baru melandaku. Aku takut suara itu terdengar oleh tetangga! Saat lelaki tua itu telah tiba! Dengan sebuah teriakan nyaring, aku membuka penutup lentera dan menyerbu masu~ ruangan itu. la menjerit satu kali-hanya satµ kali. Secepat kilat, aku menyeretnya ke lantai dan menindihnya dengan ranjang yang berat. Lalu aku tersenyum, merasa tugasku segera akan tuntas. Namun, untl.~k beberapa saat, jantungnya berdetak dengan bunyi aneh. lni tak menggangguku. Di bawah ranjang yang
I
62 Edgar Allan Poe
'1
berat, syara itu tak akan terdengar hin gg menembus dinding. Akhirnya suara itu berhenti. Lelaki tua itu sudah mati. Aku memindahkan ranjang itu dan menatap mayatnya. Ya, ia sudah mati kaku. Kuletakkan tanganku di dekatt jantungnya dan membiarkannya di sana beberapa saat. Tak ada detakan . la sudah mati. Mata yang menakutkan itu tak akan meng:gangguku lagi. Jika kau masih mengira aku ini gila, kau tak akan lagi menganggapku begitu bila kuceri.takan padamu apa yang kulakukan selanjutnya. Aku memikirkan cara terbaik untuk menyembunyikan tubuhnya. Maka kupotong-potong tubuhnya menjadi beberapa bagian. Kupotong kepalanya, lenganlengannya dan sepasang kakinya. Lalu aku mengambil tiga bilah papan dari lantai ruang tidur itu. Kuletakkan tubuhnya yang tercabik di bawah lantai, kemudian kuletakkan kembali papan itu di tempatnya
Sebuah Kisah j 63
<m11l.1. Al u m I kukannya dengan sangat r .~pl
( hin rg tak ada mata manusia-bahkan 1lr1L1 juga matanya-bisa mengenali adanya · uatu yang tidak beres. Tak ada yang perlu dicuci. Tak ada noda apa pun. Tak ada bercak 1
. darah sama sekali. Aku terlalu berhati-hati untuk melakukan kesalahan semacam itu. Seember airtelah membereskan semuanyaha, ha, ha! Saat aku menyelesaikan semua itu waktu menunjukkan jam em pat subuh. Masih kelam seperti tengah malam. Saat jam dinding berdentang empat kali, kudengar sebuah ketukan di pintu depan. Dengan hati tenang, aku beranjak untuk membuka pintu. Mata jahat itu telah sirna. Tak ada lagi yang perlu ditakuti. Tiga orang lelaki masuk. Mereka me"!lperkenalkan diri sebagai polisi. Mereka bilang seorang tetangga mendengar sebuah jeritan tadi malam. Kesalahan dalam permainan dicurigai. Sebuah laporan dibuat di
I
64 Edgar Allan Poe
kantor polisi. Beberapa petugas dikirim untuk meneliti rumah ini. Aku tersenyum-apa lagi yang perlu kutakutkan? Aku menyambut mereka dengan ramah. Jeritan itu, kubilang, adalah teriakanku sendiri. Tadi malam aku bermimpi buruk. Lelaki tua itu sedang berlibur ke desa, kataku. Aku mengajak mereka berkeliling rumah. Aku mempersi lakan mereka meryieriksa-memeriksa dengan baik. Akhirnya, aku membawanya ke kamarnya. Aku menunjukkan barang-barangnya, aman dan tak terganggu. Merasa amat percaya diri, aku membawa kursi-kursi ke ruangan itu. Aku mempersilakan mereka beristirahat sejenak. Dengan penuh percaya diri, aku bahkan meletakkan kursiku tepat di atas mayat lelaki tua itu. Para petugas itu mempercayaiku. Aku merasa lega. Mereka duduk di sana sejenak, bercakap-cakap tentang soal keseharian .. Namun, tak lama, aku merasa wajahku memucat. Aku meminta mereka pergi. Ke-
Sebuah Kisah j 65
palaku pusing dan kukira aku merasa ada yang berdenging di kupingku. Namun, mereka masih juga duduk mengobrol. Denging;:i.n di telingaku makin nyaring. Aku berbicara lebih banyak untuk mengusir perasaan itu. Tapi suara bising itu makin nyaring. Akhirnya, aku sadar suara itu bukan berasal dari kupingku. Aku makin pucat. Aku berbicara lebih cepat, dengan suara lebih keras. Tapi bunyi itu makin nyaring. Apa yang bisa kulakukan? ltu adalah suara lirih yang cepat. Terdengar seperti detak jam terbungkus kain katun. Aku menarik napas. Para polisi itu tak mendengarnya. Aku berbicara lebih cepat dan lebih keras, tapi bunyi bising itu makin nyaring. Aku berdiri dan berjalan berkeliling. Aku berbicara tentang hal-hal yang tak penting. Aku bicara dengan suara tinggi dan gerakan keras-tapi bunyi bising itu kian nyaring. Mengapa mereka tak juga pergi? Aku berjalan mondar-mandir dengan langkah berat, tapi bunyi itu makin nyaring. Oh, Tuhan! Apa
I
66 Edgar Allan Poe
yang bisa kulakukan? Bunyi bising itu makin nyaring, makin nyaring, makin nyaring! Dan orang-orang itu terus saja mengobrol dengan riang. Mungkinkah mereka tak mendengar suara itu? Tuhan Yang Mahakuasa! Tidak, tidak! Mereka mendengarnya! Mereka curiga! Mereka tahu! Mereka mempermainkan aku! lnilah yang kupikirkan dan masih juga kupikirkan. Tapi ada yang lebih baik daripada kepedihan ini! Ada sesuatu yang lebih baik daripada membiarkan mereka menipuku! Aku tak bisa melihat senyum mereka lebih lama lagi ! Aku merasa harus menjerit atau aku mati ! Dan kini, lagi-lagi, dengarkan! Bunyi itu makin nyaring! Makin nyaring! "Bangsat!" jeritku. "Jangan berpura-pura! Kuakui perbuatanku! Buka papan lantai itu! Di sini! lni bunyi detak jantungnya yang tersembunyi !"Ill
I
Sebuah Kisah 67
KUCl'NG HITAM Bisakah kecanduan membuat orang melakukan kejahatan? Kisah ini menunjukkan kehancuran bertahap sebuah pikiran yang sakit. Setiap saat, tokoh utama cerita ini tenggelam makin dalam ke dalam neraka yang ia ciptakan sendiri. Sebuah gambaran tentang perusakan diri
KUCING HITAM
A
ku tak berharap seorang pun akan percaya kisah fantastis yang akan kuceritakan ini. Aku harus jadi gila
dulu untuk berharap agar orang mempercayai ceritaku. Aku sendiri sulit mempercayainyadan kulihat segala yang terjadi. Tapi, aku tidak gila--dan kutahu ini bukan mimpi. Besok aku akan mati. Kini aku ingin meringankan beban jiwaku.
I71
Aku ingin menceritakan serangkaia'n kejadian biasa pada dunia. Aku mau melakukannya dengan cara yang terang dan jelas, tanpa komentar. Kejadian-kejadian ini membuat aku ngeri-membuatku merasa tersiksa-dan menghancurkanku. Namun, aku tak akan mencoba m~njelaskan kejadiankejad ian itu. Bagiku, mereka hanya menyebabkan rasa takut. Setelah aku mati, mungkin seseorang akan dapat menemukan alasan untuk segala yang terjadi. Atau mungkin orang lain akan melihat bahwa kejadian-kejadian itu tak lebih daripada serangkaian hubungan sebab-akibat yang bersifat alamiah. Sejak bayi, aku dikenal karena bertingkah manis dan baik hati. Kenyataannya, temantemanku menjadikannya bahan gurauan. Aku sangat menyukai binatang dan orang tuaku mengizinkanku memeliharanya. Saat aku benar-benar merasa bahagia adalah ketika aku memberi makan dan bermain dengan mereka.
-721 Edgar Allan Poe
Sifat ini tumbuh makin kuat ketika aku dewasa. Waktu aku telah menjadi seorang lelaki dewasa, kecintaanku terhadap binatang peliharaan menjadi salah satu sumber kesenanganku. Aku tak perlu menerangkan soal ini pada siapapun yang mencintai seekor anjing pintar yang setia. Ada sesuatu dalam cinta yang tak egois pada seekor binatang yang meresap langsung di hati seseorang. Aku kawin muda dan merasa bahagia saat tahu istriku memiliki sifat yang sama denganku. Ketika ia melihat betapa aku menyukai binatang peliharaan, ia memelihara banyak binatang peliharaan dari jenis terbaik. Kami punya burung-bu_rung, banyak ikan mas, seekor anjing, kelinci-kelinci, seekor monyet mungil dan seekor kucing. Kucing ini amat besar dan indah. Warnany11 hitam legam dan amat pintar. lstriku yang pertama kali menyadari betapa pintar kucing itu. Menjadi agak bertahayul, ia bilang padaku bahwa dongeng kuno mengatakan
I
Kucing Hitam 73
bahwa kucing hitam biasanya memiliki kekuatan sihir. Tentu saja ia tak sungguhsungguh soal ini. Aku menyebutkan hal ini karena tiba-tiba saja aku ingat. t
74 j Edgar Allan Poe
kan mereka, tapi juga memperlakukan mereka dengan amat kasar. Aku masih cukup peduli pada Pluto untuk tidak mengasarinya. Tetapi aku tak peduli lagi jika aku melakukannya pada kelinci, monyet ataupun anjing yang menggangguku. Penyakitku semakin parah dan penyakit apakah yang lebih parah dari kecanduan alkohol! Akhirnya, aku bahkan mulai mengasari Pluto yang kini menjadi semakin tua. Suatu malam, aku pulang dalam keadaan mabuk dan membayangkan kucing itu seperti sedang menghindar dariku. Ketika kudekati, ia jadi amat ketakutan . KuCing itu menggigit tanganku dan meninggalkan Iuka bekas cakaran. Aku sangat marah hingga tak bisa lagi kukenali diriku sendiri. Sepertinya jiwaku yang asli meninggalkan tubuhku dan sesosok setan durjana mengambil alih tubuhku. Aku mengambil pisau saku dari kantong rompiku dan menghunusnya. Lalu aku mencekik hewan malang itu dan mencungkil salah satu bola
I
Kucing Hitam 75
matanya! Aku malu, terbakar dan gemetar mengingat kekejian itu. Aku sadar pagi harinya. Pengaruh alkohol telah le~yap. Tapi aku merasakan sesuatuseparuh takut dan separuh menyesal- atas apa yang tel ah kulakukan. Pada akhirnya yang terasa adalah sebuah perasaan lemah. Jiwaku menjadi tak tersentuh. Kembali aku mulai minum. Dengan segera ingatan tentang perbuatanku larut dalam anggur. Pada saat itu kucing itu mulai sembuh. Rongga matanya yang bolong tampak mengeri kan, tapi ia tak kelihatan kesakitan. Kucing itu berkeliaran dalam rumah seperti biasa, ta pi ia selalu kabur apabi la aku mendekat. Tentu saja ia takut padaku. Pada mulanya aku merasa sedih karena binatang yang tadinya mencintaiku jadi membenciku. Namun, rasa sedih itu segera beruba:h menjadi rasa sebal. Dan kemudian berubah menjadi sebuah semangat jahat.
76 j Edgar Allan Poe
Semangat jahat itu tak bisa kita paharTJi. Tapi aku yakin itu ada pada setiap hati manusia. la memberi arah pada sifat manusia. Siapakah yang tak pernah melakukan sesuatu yang jahat atau bodoh-bukan karena alasan lain selain karena ia tahu bahwa ia tak boleh melakukannya? Tidakkah kita semua memiliki sebuah hasrat untuk m~langgar aturan hanya karena itu ~daiah aturan? Semangat jahat ini datang sebagai kejatuhan akhirku. lni adalah kerinduan jiwaku yang tiada berakhir untuk berbuat salah hanya karena ingin berbuat salah. Sifat jahat dalam diriku membuatku ingin melukai kucing itu lebih parah lagi. Suatu pagi, dengan darah dingin, kuselipkan jerat rnengelilingi leher kucing itu. Lalu aku menggantungnya di dahan sebuah pohon. Aku melakukannya dengan air mata mengalir. Saat melakukannya aku merasa bersalah dalam hati. la kugantung karena aku tahu bahwa kucing itu pernah mencintaiku. Aku melaku-
I
Kucing Hitam 77
kannya justru karena kucing itu tak memberiku alasan untuk melukainya. Kulakukan perbuatan itu karena aku tahu bahwa dengan melakukannya aku telah berbuat dosa. Aku tahu bahwa itu adalah sebuah dosa maut yang tak berampun. Malam itu aku terjaga karena suara kobaran api. Kelambu di sekeliling ranjangku adalah lidah api. Seluruh rumah menyala! Dengan susah payah, istriku, seorang pembantu dan aku berhasil keluar dari rumah itu. Sebelum malam berakhir seluruh rum~h itu telah hangus terbakar. Semua hartaku musnah. Aku merasa putus asa. Aku mencoba untuk tidak berkata bahwa akulah yang telah menyebabkan kebakaran itu terjadi. Tidak! Aku hanya mengatakan bahwa segala sesuatu terjadi karena harus terjadi. Esok hari setelah kejadian itu, aku melihat-lihat puing rumahku. Semuanya musnah kecuali sebuah dindihg. Dinding itu
I
78 Edgar Allan Poe
masih berdiri tegak di tempat yang sebelumnya merupakan bagian tengah ruma.h. Kepala tempat tidurku berhadapan dengan dinding itu. Aku teringat dinding ini baru ditembok ulang. Mungkin itu yang menye1amatkan nya. Kerumunan orang mengelilingi dinding itu. Aku bisa mendengar beberapa orang berkata, "Aneh!" Yang .lainnya menimpali, "Luar biasa!" Saat aku mendekat, kulihat gambar seekor kucing raksasa di atas dinding. Seakan-akan gambar itu dipahat di sana. Ada seutas tali menjerat leher kucing itu . Saat aku pertama melihatnya, aku merasa amat ketakutan. Lalu aku ingat bahwa kucing itu telah kugantrung di sebuah kebun dekat rumahku. Saat kebakaran mulai terjadi sekumpulan orang berkerumun di kebun. Seseorang pasti melihat kucing itu, memotong tali yang mengikatnya ke pohon dan melemparkannya melalui jendela kamarku. Mungkin mereka melakukannya untuk mem-
I
Kucing Hitam 79
bangunkanku. Rubuhnya dinding lain mungkin menindih bangkai kucing itu ke dinding yang baru ditembok ulang. Lalu, api yang berkobar, entah bagaimana, menghasilkan akibat aneh pada dinding.
·'
Walupun aku bisa menjelaskan apa yang telah terjadi, toh itu tetap saja menakutkan. Selama berbulan-bulan aku tak dapat melupakan pemandangan sosok seekor kucing di atas dinding. Aku merasa menyesal, tetapi itu bukan sungguh-su,ngguh sebuah penyesalan. Aku merindukan binatang itu dan mulai mencari-cari kucing lain yang mirip dengan si hitam manis Pluto. Suatu ma lam aku pergi ke sebuah bar, aku melihat sesosok benda hitam di sudut ruangan. Karena aku tahu apa itu, aku mendekat untuk melihatnya dengan lebih jelas. ltu adalah seekor kucing hitam yang sangat besar. Kucing itu seukuran Pluto dan amat mirip dengannya dalam segala hal, kecuali satu. · Pluto tak memiliki bulu putih di bagian
I
80 Edgar Allan Poe
Walupun aku bisa menjelaskan apa yang telah terjadi, toh itu tetap saja
menakutkan.
Selama berbulan-bu1an aku tak dapat melupakan pemandangan sosok seekor
kucing di atas dinding. Aku merasa
menyesal
tetapi itu bukan
sungguh-sungguh sebuah penyesalan.
Aku merindukan binatang itu
dan
mulai mencari-cari kucing lain yang mirip dengan
si hitam manis
Pluto.
manapun tubuhnya. Kucing yang ini memiliki sekelompok bulu putih di dadanya. Saat kusentuh, kucing itu melonjak girang. la mengeong nyaring, menggosokgosokkan tubuhnya pada tanganku dan tampak amat senang. Tampaknya inilah kucing yang aku cari. Aku menawarkan diri untuk membelinya pada pemilik bar. Namun, katanya ia tak pernah melihat kucing itu sebelumnya. Aku terus bermain . dengan kucing itu hingga aku hendak pulang. Saat aku akan pergi, kucing itu seperti ingin mengikutiku. Aku membiarkannya berbuat begitu. Aku membungkuk dan bermain dengannya sambil kami berjalan. Ketika kami tiba di rumah, ia tampak cocok di tempat itu. Sejak awal, ia langsung disukai oleh istriku. Aku sendiri, dengan segera menjadi tidak suka pada kucing itu. lni berlawanan dengan apa yang kuharapkan. Aku tak bisa menjelaskan bagaimana atau mengapa, tapi rasa
I
82 Edgar Allan Poe
senang kucing itu padaku membuat aku jijik dan merasa terganggu. Perlahan-lahan perasaan ini berubah menjadi kebencian. Aku menghindari binatang itu. Hanya rasa malu atas apa yang tel ah kulakukan pada Pluto yang rnencegahku melukai kueing itu. Selama beberapa minggu aku tak melakukan apa pun yang membahayakannya. Tapi, perlahan-lahan aku mulai melihat kucing itu dengan penuh kebencian. Jika kucing itu masuk ke kamarku, aku segera pergi, seakanakan aku tengah mengh i ndari sebuah pen ya kit berbahaya. Mungkin aku lupa mengatakan tentang hal aneh yang kemudian kusadari terjadi esok pagi setelah kucing itu kubawa ke rumah. Saat itu, ketika kulihat kucing itu, ia ternyata kehilangan sebelah matanya seperti Pluto. Kenyataan ini, bagaimanapun, justru membuat istriku semakin mencintainya. Makin kubenci kucing itu ia justru makin suka padaku. Kucing itu membuntutiku
Kucing Hitam j 83
kemana pun aku pergi .Saat aku duduk ia akan merunduk di bawah kursiku atau melompat ke pangkuanku. Jika aku bangkit dan berjalan, ia akan . menyelinap di antara kakiku dan mengikutiku. Terkadang ia mencakar bajuku lalu memanjat ke dadaku. Seringkali aku ingin '
.
memusnahkan kucing itu dengan sekali gebuk. Namun, aku berhasil menahan diri karena satu hal, aku malu atas apa yang kulakukan pada Pluto . Tapi., alasan sesungguhnya adalah karena ternyata aku takut pada kucing itu. Bukan bahaya fisik yang kutakuti, tapi aku tak tahu bagaimana menjelaskannya. Aku nyaris malu mengakuinya bahkan hingga saat aku duduk dalam sel penjara. Rasa ngeri dan takut yang dibangkitkan kucing itu pada diriku disebabkan oleh bulu-bulu putih di badannya. Bulu-bulu putih inilah satu-satunya perbedaan antara kucing ini dengan kucing yang pernah kubunuh.
841 Edgar Allan Poe
Saat pertama aku melihat kucing itu, tanda ini tidak menyerupai sesuatu. Tapi perlahan-lahan, bentuk itu makin jelas. Kini ia tampak seperti sebuah benda yang membuatku bergidik hanya karena menyebutnya. Tanda putih itu membentuk sesuatu yang menakutkan: tiang gantungan! Ya, tempat penggantungan ! Oh, tempat kejahatan yang mengerikan, tern pat pen uh kesakitan dan maut! Karena tanda yang menakutkan ini, aku kini menderita. Andai saja aku berani, akan kuenyahkan kucing itu. Siang dan malam aku tidak bisa beristirahat. Siang hari, kucing itu tak mau meninggalkanku sendirian sekejap pun. Di malam hari, aku bermimpi buruk yang membuatku terjaga setiap jam. S~tiap kali terbangun, kurasakan nafas kucing itu di wajahku. Kemudian aku tahu bahwa kucing itu menindih jantungku! Kini aku mulai diganggu pikiran jahat. Aku jadi membenci segala hal dan semua orang.
I
Kucing Hitam 85
lstriku yang malang menderita karena suasana hatiku yang buruk walaupun dia tak pernah mengeluh. Suatu hari istriku mengikutiku ke ruang bawah tanah rumah kami. Saat kami berjalan, kucing itu ikut menuruni tangga. Menyelinap di sela kakiku, ia nyaris membuatku terjerembab. lni membuatku murka, membuatku lupa pada rasa takut yang hingga saat itu mencegahku bertindak lebih lanjut. Tanpa pikir panjang, kuangkat sebilah kapak dan kulayangkan ke arah kucing itu. Serangan ini pasti akan langsung membunuhnya jika tepat mengenai sasaran. Namun, istriku menghentikanku sebelum aku berhasil mengayunkan tangan. Aku menjadi makin murka . Aku melepaskan diri dari cekalan istriku dan menancapkan kapak itu di kepalanya! lstriku langsung tewas tanpa sempat menjerit. Aku tahu aku harus melakukan sesuatu untuk menyembunyikan mayatnya. Aku tak
I
86 Edgar Allan Poe
Bukan bahaya fisik yang kutakuti, tapi aku tak tahu bagaimana menjelaskannya. Aku nyaris
malu mengakuinya bahkan hingga
. saat aku duduk dalam sel pen Jara. Rasa
ngeri dan
takU t yang dibangkitkan kucing itu pada diriku disebabkan oleh bulu-bulu putih di
Bulu-bulu pU tih inilah badannya.
satu-
satunya perbedaan antara kucing ini dengan kucing yang pernah
kubunuh.
mungkin membawanya ke luar rumah, siang atau malam. ltu terlalu berbahaya karena bisa saja terlihat oleh para tetangga. Gagasan-gagasan lain mel i ntas di benakku. Salah satunya adalah membakar mayat itu. Atau menguburnya di lantai ruang bawah tanah. Aku juga berpikir tentang membuangnya ke sumur yang terletak di halaman rumah . Sempat terlintas pula untuk membungkusnya dalam sebuah kotak, seolaholah dia semacam barang dagangan. Lalu aku akan menyuruh pelayanku untuk membawanya ke luar rumah. Akhirnya aku mer:nutuskan untuk menemboknya di ruang bawah tanah. Ruang bawah tanah itu cukup cocok untuk tujuan itu. Dindingnya rapuh dan be Ium lama ini dilapisi kembali dengan semen kasar. Kelembaban udara mencegah adonan semen itu mengeras. Lagi pula, salah satu dinding itu memiliki bagian yang dulunya merupakan perapian. Perapian itu diratakan sehingga
I
88 Edgar Allan Poe
tampak seperti bagian lain ruang bawah tanah itu . Aku tahu cukup mudah membongkar lapisan batu bata yang menyusun dinding itu. Lalu aku akan melekatkan mayat itu di dalamnya dan menembok kembali dinding itu. Tak seorang pun akan tahu perbedaannya. Aku menggunakan sebuah linggis untuk membongkar lapisan batu bata. Lalu, dengan hati-hati aku meletakkan mayat itu dekat dinding bagian dalam perapian. Soal gampang mengembalikan lapisan batu bata itu ke tempat semula. Kemudian dengan cermat kutembok kembali lapisan batu bata itu . Saat aku selesai, aku melangkah mundur untuk melihat hasil karyaku. Dinding itu tampak sempurna. Tak seorang pun akan merasa terganggu olehnya. Lalu aku mencari-cari kucing pembuat onar itu. Aku ingin membunuhnya. Jika aku melihatnya saat itu, tak diragukan lagi apa yang akan kulakukan padanya. Tapi binatang itu sekaan-akan bersembunyi di suatu tempat. la
Kucing Hitam j 89
pasti ketakutan oleh aksi kemarahanku. Aku tak bisa menemukannya di mana pun. Dania tak juga muncul sepanjang malam. Akibatnya, setidak-tidaknya untuk semalam, aku bisa tidur lel~p. ltu adalah malam damai pertamaku sejak kucing itu kubawa pulang ke rumah. Hari kedua dan ketiga berlalu dan kucing itu belum muncul juga. Betapa bahagia hatiku! Pikiran tentang apa yang telah kulakukan pada istriku hanya sedikit menggangguku. Bebepara orang bertanya tentangnya, tapi aku ' mengarang cerita untuk menjelaskan soal itu. Penyelidikan sempat dilakukan tapi tentu saja tak ditemukan apapun. Kini aku menatap kebahagiaan masa depanku dengan pasti. Pada hari keempat, polisi datang lagi ke rumahku. Mereka kembali menyelidiki tempat tinggal kami, kali ini termasuk lantai dan ruang bawah tanah. Mereka tak menyisakan satu sudut pun tanpa mereka sentuh. Akhirnya, mereka turun ke ruang bawah tanah. Aku tak merasa gugup. Jantungku berdetak tenang
I
90 Edgar Allan Poe
seakan-akan sedang tidur dan bermimpi indah. Aku mondar-mandir di ruang bawah tanah, bersedekap. Akhirnya polisi-polisi itu bersiap untuk pergi. Saat mereka pergi aku berbicara pada mereka, kebahagiaan yang kurasakan dalam · hatiku terlalu kuat untuk ditahan. "Bapakbapak, aku senang bisa rnembantu. Aku berharap kalian diberkati kesehatan. Rumah ini dib,angun dengan sangat rapi. Tidakkah kalian setuju?" kataku (aku tak tahu mengapa aku terus saja berbicara, seolah-olah aku tak bisa menahan diri). "Dinding ini sangat kokoh," ujarku. Aku memegang sebatang tongkat di tanganku yang kugunakan untuk memukulmukul dinding itu. Aku melakukannya tepat pada bagian dinding tempatku menyembunyikan mayat istriku! Segera setelah suara ribut karena aku memukul-mukul dinding menghilang dalam kesunyian, sebuah suara terdengar dari dalam dinding. ltu adalah sebuah tangisan. Pada
Kucing Hitam
191
mulanya lirih dan lembut, seperti isakan seorang anak kecil. Tapi suara itu dengan cepat menjadi sebuah jeritan panjang yang nyaring. ltu bukan suara manusia. ltu adalah sebuah lolon'gan, separuh ketakutan dan separuh penuh kemenangan. Tampak bodoh untuk mengatakan apa yang sedang kupikirkan. Nyaris terengah-engah, aku terjajar ke dinding yang berlawanan. Sejenak para polisi itu terdiam di tangga, membeku ketakutan. Saat berikutnya selusin tangan kekar merobohkan dinding itu. Dinding itu runtuh dengan mudah. Mayat istriku yang sudah mulai membusuk terbaring di sana, di hadapan para polisi itu. Di dekat kepalanya, duduk seekor kucing hitam yang memandang pada kami dengan matanya yang tinggal sebelah. Kucing itulah yang telah membuatku membunuh istriku dan kemudian membawaku ke tiang gantungan. Rupanya aku tel ah menembok monster itu dalam kuburan istriku.IJ
I
92 Edgar Allan Poe
·~