117
BAB III SEBAB-SEBAB TERJADINYA KEKERASAN A. Penyebab Kekerasan Simbolik pada Revolusi Mesir 2011 Munculnya kekerasan simbolik lewat media jejaring sosial tidak jauh dilatarbelakangi oleh kejenuhan masyarakat Mesir terhadap rezim Hosni Mubarak. Mubarak dikenal sebagai pemimpin yang otoriter dan cenderung mementingkan kekuasaan kelompoknya semata. Pemerintahan yang otoritarian tersebut, cukup membungkam suara dan keberanian rakyat untuk menuntut Hosni Mubarak secara terang-terangan (lihat: Putri, 2015: 6). Munculnya gerakan Facebook WAAKS dan
6th of April Youth Movement serta trending topic Twitter #Jan25 dan #Egypt adalah bentuk respon terhadap pemerintah dan langkah-langkah strategis untuk mengajak rakyat melakukan aksi protes secara bersama-sama. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, maka penyebab munculnya gerakan-gerakan media jejaring sosial adalah karena pemerintahan yang otoritarian yang melahirkan pembatasan-pembatasan hak suara masyarakat. Dari adanya pembatasan-pembatasan tersebut, lahir berbagai tindakan semena-memena oleh aparat terhadap masyarakat sipil yang mengkritik pemerintah. Hal ini jelas bertentangan dengan sistem demokrasi yang dianut oleh Mesir dan dijanjikan oleh Mubarak (Amalia, 2012: 58). Hosni Mubarak terpilih berkali-kali sebagai presiden pada pemilihan presiden 1987, 1993, 1999, dan 2005. Berdasarkan konstitusi, Dewan Rakyat punya peran kunci dalam memilih calon tunggal presiden Mesir (Historia: 2011). Sebelumnya pada akhir Februari 2005, Mubarak mengumumkan perubahan aturan pemilihan presiden Mesir menuju ke pemilu multi kandidat. Untuk pertama
117
118
kalinya sejak 1952, rakyat Mesir mendapat kesempatan untuk memilih langsung pemimpin dari daftar berbagai kandidat. Namun, perubahan aturan tersebut juga menerapkan berbagai batasan sehingga kandidat lain tidak dapat bersaing (Sitohang dan Rahman, 2001: 64). Mubarak membatasi kontak antar partai oposisi dengan rakyat. Mubarak juga melarang adanya koalisi antar partai politik oposisi. Hal ini merupakan kebebasan yang merugikan partai politik oposisi sebagai penyeimbang dan ingin berpartisipasi dalam perpolitikan di Mesir (Amalia: 2012: 58). Adapun tindakan represif terhadap rakyat adalah dengan mengintimadasi rakyat yang memilih partai oposisi. Rasa takut tentu lahir di tengah masyarakat karena dia mengetahui bahwa siapa saja yang menentang pemerintahan Mubarak akan dihukum. Oleh sebab itu, NDP yang menjadi basis politik Mubarak selalu mendapat dukungan penuh dari masyarakat sipil dan militer. Pembatasan organisasi-organisasi HAM dan berbagai lembaga non pemerintah yang ingin berdiri juga dilakukan (Gergez, 2002: 224). Nuansa otoritarian juga terlihat dari sisi kebebasan pers Mesir. Lembaga pers tidak dapat leluasa untuk menyalurkan aspirasi rakyat Mesir apalagi untuk mengkritik pemerintahan. Pemerintahan Mubarak dapat dengan mudah menangkap wartawan, memenjarakan, bahkan melarang hingga menutup pihak penerbit (Murtiaji dalam Amalia, 2012: 59). Oleh karena itu, para awak media lebih memilih untuk diam dari pada profesi mereka terancam oleh rezim Mubarak. Pengekangan kebebasan berekspresi lebih dilengkapi lagi dengan adanya UndangUndang Security Act yang berisi bahwa pemerintah dengan bebas dapat menangkap siapa saja tanpa proses hukum (Sammy dalam Amalia, 2012: 59).
119
Pada masa pemerintahannya, Mubarak juga memberlakukan UndangUndang Keadaan Darurat (UU Nomor 162 Tahun 1958) sejak berakhirnya Perang Enam Hari pada 1967 saat melawan Israel. UU tersebut awalnya berlaku selama 18 bulan di awal 1980-an, dan terus berlaku sejak pembunuhan Presiden Anwar Sadat tahun 1981. UU Darurat tersebut memperbesar kekuasaan polisi dan menangguhkan hak konstitusional warga negara, sensor disahkan, dan pemerintah dapat menjalankan individu tanpa batas waktu dan tanpa alasan. UU ini juga membatasi kegiatan politik apapun yang anti-pemerintah, termasuk demonstrasi jalanan, izin terhadap organisasi non-politik, dan memeriksa sumbangan keuangan yang tidak terdaftar (Tamburaka, 2011: 105-106). Salah satu alasan yang dilontarkan adalah untuk melawan terorisme sekaligus mengontrol kelompok-kelompok Islam fundamentalis, termasuk IM. Mubarak beralasan, tanpa UU itu IM dapat naik ke pemerintahan dan menggoyahkan kestabilan politik di Mesir (Fitria dalam Fernando dan Harto, 2012: 2). Organisasi HAM Mesir menyatakan bahwa Mubarak menahan hingga sekitar 4.000 orang tanpa alasan jelas, dan sekitar 1.000 diantaranya adalah anggota IM, tanpa ada proses peradilan dan dituduh melakukan kejahatan politik (Fernando dan Harto, 2012: 2). Pada 2003, pemerintah membentuk Dewan Nasional Hak Asasi Manusia dan dipimpin oleh mantan Sekjen PBB, Boutros Boutros-Ghali yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Dewan tersebut mendapat kritikan keras dari para aktivis lokal. Mereka menilai bahwa organisasi tersebut melemahkan kerja mereka di Mesir dan sebagai alat propaganda pemerintah untuk alasan pelanggaran
120
dan memberikan legitimasi hukum represif seperti UU Darurat (Tamburaka, 2011: 73). IM dilarang menjadi kekuatan politik di Mesir sejak 1954. Mereka dituduh oleh rezim Gamal Abdul Nasser, Anwar Sadat, hingga Hosni Mubarak sebagai kelompok yang ingin melakukan makar, atau menjatuhkan pemerintahan yang sah (Tamburaka, 2011: 107). Nuansa otoritarian rezim Mubarak sudah sangat terlihat dengan adanya UU Darurat yang merugikan banyak pihak dengan alasan melindungi negara. UU ini akhirnya dicabut pasca lengsernya Hosni Mubarak karena merupakan salah satu tuntutan mutlak dalam revolusi 25 Januari (voaindonesia.com: 12 Agustus 2011). Beberapa organisasi HAM lokal dan internasional, termasuk Amnesty
International dan HRW, telah bertahun-tahun mengkritik persoalan HAM di Mesir. Beberapa pelanggaran HAM paling serius, menurut laporan HRW 2006 di Mesir adalah penyiksaan rutin dan penahanan sewenang-wenang sebelum diadili oleh pihak keamanan negara dan militer. Pada 2007, Amnesty International merilis laporan dan mengkritik Mesir untuk penyiksaan dan penahanan illegal. Laporan tersebut menyebut bahwa Mesir telah menjadi pusat internasional untuk penyiksaan, dimana negara-negara lain mengirim tersangka untuk diinterogasi (Tamburaka, 2012: 72-73). Pengerahan pasukan berpakaian preman Baltagiya, yang dibayar oleh partai berkuasa Mubarak, menjadi ciri khas dari pemerintahan Mubarak. Organisasi HAM Mesir telah mendokumentasikan 567 kasus penyidikan, termasuk 167 kematian oleh polisi yang terjadi antara tahum 1993 dan 2007 (Tamburaka, 2011:
121
73-74). Hingga akhirnya kasus yang paling terkenal adalah kematian Khaled Said yang dibunuh oleh dua orang polisi. Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab gerakan Facebook, revolusi Mesir mulanya di gagas oleh 6th of April Youth Movement. Tetapi kekerasan simbolik yang terjadi menjelang terjadinya revolusi 25 Januari diawali oleh gerakan We are
all Khaled Said yang digagas oleh Wael Ghonim sebagai bentuk simpati dan penolakan terhadap pemerintah atas kekejian rezim terhadap rakyatnya sendiri. Gerakan tersebut akhirnya mampu mempengaruhi rakyat mesir secara umum dengan di dukung oleh para aktivis muda Mesir. Kebrutalan polisi terhadap Khaled Said ini dapat dinilai sebagai dampak dari adanya UU Darurat yang memberikan kekuatan kepada lembaga tersebut. Jatuhnya rezim Ben Ali di Tunisia juga memberikan dampak besar bagi rakyat Mesir. Mereka terinspirasi dari keberhasilan rakyatnya yang juga menggunakan Facebook dan Twitter untuk mengumpulkan massa (dw.com: 15 April 2013). Hal ini berbeda dengan Mesir yang mana Facebook dan Twitter berpengaruh besar terhadap pecahnya revolusi Mesir 2011. Rendahnya kemampuan pers untuk menyalurkan aspirasi rakyat juga membuat media jejaring sosial menjadi wadah yang praktis dan efektif untuk menggiring opini publik dalam mewujudkan wacana revolusi 25 Januari 2011. B. Penyebab Kekerasan Fisik pada Revolusi Mesir 2011 dan 2013 1. Kekerasan Fisik pada Revolusi Mesir 2011 a. Serangan Polisi dan Pendukung Mubarak Jatuhnya pemerintahan Hosni Mubarak pada tanggal 11 Februari telah melalui proses yang rumit selama 18 hari. Pada awalnya Mubarak tetap memilih
122
untuk bertahan dan meredam kemarahan rakyat yang berpusat di Tahrir Square. Namun, desakan rakyat dari segala arah menandingi kekuatan tahkta Mubarak yang telah dibangun selama 30 tahun lamanya. Meningkatnya kekerasan yang dilakukan oleh massa penuntut Mubarak terjadi secara alamiah dan sebagai bentuk perlawanan. Pada permulaan terjadinya revolusi, Mubarak menggunakan aparat kepolisian untuk membubarkan massa secara kasar. Penggunaan gas air mata oleh polisi terhadap demonstran justru menimbulkan kekecewaan dan menambah kemarahan rakyat terhadap pemerintah (aljazeera.com: 14 Februari 2011). Contoh lainnya, kekerasan yang terjadi di kota El-Kharga antara polisi dan demonstran pada 9 Februari 2011. Serangan tembakan peluru tajam dilakukan pertama kali oleh pihak polisi. Tembakan tersebut ditujukan untuk menghalau dan membubarkan demonstran dari tempat mereka melangsungkan aksi demonstrasi. Massa yang sudah lebih dari satu minggu berjuang untuk menuntut turunnya rezim semakin marah dan membalas tembakan tersebut dengan membakar tujuh bangunan pemerintah, termasuk dua kantor polisi, satu barak polisi, satu gedung pengadilan, dan markas lokal partai NDP (Kompas, 2011: 8). Peristiwa semacam itu hampir terjadi setiap hari dan selalu didahului oleh serangan polisi atau pendukung Mubarak. Kerasnya masyarakat yang tidak mau dibubarkan melambangkan bahwa kejenuhan terhadap Mubarak telah mencapai titik teratas dan tidak dapat ditawar. Hal tersebut sesuai dengan prinsip hegemoni yang mana pemerintahan akan jatuh apabila dilakukan dengan cara penekanan bahkan terlihat seperti makhluk asing dari rakyatnya sendiri (Bocock, 2007: 4041).
123
Kekejaman polisi anti huru hara sudah dikenal oleh masyarakat Mesir sejak lama. Citra polisi juga semakin buruk akibat banyaknya penyiksaan-penyiksaan yang dilakukan oleh polisi terhadap masyarakat (Burdah, Wawancara, Yogyakarta: 4 Januari 2016). Hal ini membuat para demonstran semakin membrutal untuk melawan pasukan pengamanan yang dikendalikan oleh Mubarak. Seperti contohnya pelemparan batu dan penggunaan bom molotov untuk melawan aparat kepolisian. Akhirnya, aksi saling membalas serangan baik menggunakan senjata maupun bentrokan fisik terus terjadi. Selain perlawanan dari aparat kepolisian, massa pendukung Mubarak juga menyerang para demonstran sambil menggunakan unta, kuda dan memegang pentungan (Kompas, 2011: 11). Peristiwa tersebut tentu membuat pengunjuk rasa panik sekaligus semakin marah dengan perlakuan Mubarak yang seolah acuh dan tidak mengutamakan keselamatan rakyatnya. Kegagalan Mubarak dalam membawa Mesir menuju negara yang demokratis semakin memperlihatkan kediktatoran pemerintahannya. Akibatnya, kekerasan tidak dapat dibendung dan terus terjadi hingga Mubarak lengser dari jabatannya. Adapun kekerasan seksual yang dialami oleh para wartawan wanita dikarenakan karena semakin hilangnya konsentrasi pasukan keamanan Mesir. Jutaan massa yang turun kejalan menyebabkan kekacauan nasional yang sulit dikendalikan. Pelaku pelecehan seksual juga bukan hanya terdiri dari masyarakat sipil, melainkan juga dari para demonstran penuntut Mubarak atau dari para pendukung Mubarak yang marah karena tuntutan pengunjuk rasa tercapai. Permasalahan kekerasan seksual yang terus terjadi selama revolusi menjadi problematika yang cukup kompleks. Pada satu sisi, perempuan Mesir mempunyai
124
hak yang sama kedudukannya dengan laki-laki dalam memperjuangkan negaranya. Begitu halnya dengan wartawan asing yang berani meliput kejadian secara langsung dari tempat kejadian perkara. Mereka merasa bahwa itu merupakan tanggung jawab dan profesionalitas kerja. Tetapi kembali lagi pada kondisi keamanan Mesir yang sangat tidak stabil menyebabkan lemahnya perlindungan kepada setiap orang. Ditambah dengan budaya orang Mesir yang menganggap wanita tidak sepantasnya ikut berdemonstrasi. b.
Informasi dari Media Jejaring Sosial
Informasi seputar kabar terkini tentang peristiwa-peristiwa mengenaskan terus tersedia setiap saat melalui media jejaring sosial. Gerakan Facebook WAAKS dan 6th of April Youth Movement berperan aktif dalam memberitakan kekerasan-kekerasan yang terjadi di lapangan (Putri, 2015: 7-8). Selain itu, masyarakat juga ikut berpartisipasi mengabarkan situasi terkini melalui Twitter (lihat: Iddle dan Nuns, 2011: 121-133). Wacana yang diberitakan oleh media sosial cukup banyak berpengaruh dalam membentuk suatu opini masyarakat dan bagaimana masyarakat tersebut akan bereaksi terhadap suatu pemberitaan. Media sosial telah memungkinkan penggunanya membuat berita sesuai dengan apa yang penciptanya inginkan (Putri, 2015: 7). Kebebasan dalam mempeluas informasi dalam bentuk yang vulgar dan tanpa proses editing dan sensor adalah kelebihan dari media jejaring sosial. Kecepatan media sosial dalam memberitakan suatu kejadian juga lebih cepat dibandingkan dengan media cetak yang membutuhkan waktu lebih lama untuk memberitakan hasil liputan.
125
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Facebook digunakan untuk mengatur jadwal aksi demontrasi, dan Twitter sebagai sarana komunikasi antar demonstran (yang mungkin tidak pernah saling bertemu atau berkenalan langsung). Hubungan media jejaring sosial ini sangat membantu demonstran untuk menyebarluaskan informasi terkini di lapangan yang dampaknya adalah bertambahnya perlawanan masyarakat terhadap pihak-pihak yang membela dan mendukung Mubarak. 2. Kekerasan Fisik pada Revolusi Mesir 2013 Setahun
setelah
Mesir
menggelar
pesta
demokrasi
dengan
diselenggarakannya pemilu parlemen dan presiden, aksi protes besar-besaran kembali terjadi. Aksi protes yang ditujukan untuk menurunkan Mursi ini adalah kehendak mayoritas rakyat mesir yang tidak puas dengan kepemimpinan presiden Mursi selama satu tahun (Jalaludin, Kuesioner, Kairo: 5 Februari 2016). Dekrit Presiden yang dibuat oleh Presiden Mursi juga memberikan stigma negatif terhadap dirinya sendiri. Kebijakannya seolah menjadi bumerang dan membawa karir politiknya pada situasi yang tidak aman. Keberanian Mursi ini memunculkan dilema yang luar biasa pada pemerintahannya, sebab menurutnya memperkuat posisinya sebagai kepala negara dan mempercepat pemulihan konstitusi adalah satu-satunya cara untuk menstabilkan kondisi Mesir (Huriyah, 2015: 68-69). Kubu sekuler dan nasionalis pada akhirnya kembali menghimpun kekuatan politik untuk melayangkan tuntutan kepada Muhammad Mursi agar bersedia berbagai kekuasaan dan tidak mementingkan kelompoknya semata (baca:
Ikhwa>nul Muslimi>n). Selain para tokoh elit politik, rakyat juga menilai bahwa
126
kepemimpinan presiden Mursi terlalu memihak kepada IM. (Jalaludin, Kuesioner, Kairo: 5 Februari 2016). Situasi politik juga semakin panas akibat pihak militer ikut turun tangan menyelesaikan perseteruan tersebut. Menurunnya tingkat keamanan Mesir dan semakin hilangnya kondusifitas perpolitikan Mesir membuat militer ikut turun tangan dan secara tidak langsung menjadi lawan politik Mubarak. Dalam hal ini, kelompok militer diwakili oleh Jenderal Abdul Fatah Al-Sisi yang menjadi menteri pertahanan pada era Muhammad Mursi. Tindakan militer ini juga mendapat dukungan dari berbagai kalangan baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Berdasarkan penjelasan singkat diatas maka penyebab pecahnya aksi protes massa yang melahirkan kembali kekerasan-kekerasan fisik di Mesir ditengarai oleh tiga hal, pertama adalah kebijakan kontroversial Mursi, seruan oposisi kepada masyarakat Mesir, dan intervensi militer yang bertindak sebagai policy maker. a. Kebijakan Kontroversial Muhammad Mursi Pada awal masa pemerintahan Mursi, mayoritas rakyat Mesir sangat mendukung dan mempercayai kemampuan Mursi untuk membawa Mesir kearah yang lebih baik (Huriyah, 2013: 8). Mursi juga mendapat dukungan penuh dari Presiden AS, Barack Obama karena Mursi berjanji akan menjunjung tinggi nilainilai demokrasi dan kebebasan berpendapat seluruh elemen masyarakat Mesir (Hanifa, Wawancara, Jakarta: 10 November 2015). Kebijakan Mursi dalam bidang politik dalam negeri berupa Dekrit Presiden dan referendum tanggal 22 November 2012 menuai protes dari berbagai kalangan. Presiden Mursi mengeluarkan Dekrit Presiden yang terdiri dari enam butir. Intisari dari setiap poin dekrit tersebut adalah :
127
1) Penyelidikan pembunuhan atau penggunaan kekerasan atau kekejaman terhadap demonstran pada revolusi Mesir 2011 akan kembali dilakukan. Pejabat politik dan eksekutif dari rezim yang terlibat dalam kasus ini akan diadili kembali sesuai dengan UU tentang Perlindungan Revolusi dan undang-undang lainnya. 2) Semua deklarasi konstitusional, hukum dan keputusan yang dibuat sejak Presiden Muhammad Mursi berkuasa tanggal 30 Juni 2012 tidak dapat diajukan banding atau dibatalkan oleh pihak manapun sampai konstitusi baru telah diratifikasi dan parlemen baru telah terpilih. 3) Mencabut jabatan Abdul Maguid Mahmud sebagai Jaksa Agung dan menggantikannya dengan Talaat Ibrahim yang langsung dipilih oleh Presiden Muhammad Mursi untuk masa jabatan selama empat tahun. 4) Memperpanjang masa kerja Dewan Konstituante selama dua bulan untuk menulis kontitusi baru Mesir. Pasal 6 dari Deklarasi Konstitusi 30 Maret 2011 menyatakan bahwa majelis akan menyelesaikan draft dalam waktu enam bulan dari pembentukannya, tetapi diubah menjadi delapan bulan. 5) Hakim tidak mempunyai kuasa untuk membubarkan Konstituante atau Dewan Syura. 6) Presiden berwenang untuk mengambil langkah-langkah strategis yang dinilai perlu untuk melindungi amanat revolusi dan persatuan nasional/keamanan nasional (egyptindependent.com: 22 November 2012).1 Secara tersirat isi dekrit tersebut mengancam posisi kelompok pro rezim Mubarak dan kelompok oposisi. Pasalnya, pihak oposisi menganggap
1
Teks asli terlampir
128
kelompoknya tak diberi ruang dalam kebijakan-kebijakan pemerintahan Mursi. Sedangkan pengikut Mubarak yang dinilai masih bertengger di lembaga-lembaga tinggi negara dinilai masih menampakan loyalitasnya pada mantan presiden Mesir, Hosni Mubarak. Di samping itu, dekrit tersebut dimaksudkan untuk memberi tameng hukum bagi majelis penulis konstitusi baru Mesir guna mengakomodasi amanat revolusi Mesir (Huriyah, 201: 68). Sebulan kemudian digelar referendum untuk memutuskan konstitusi baru yang menjamin posisi presiden agar tidak mudah dijatuhkan oleh Jaksa Agung (Ramly dan Irenewaty, 2015: 96). Langkah ini dapat dinilai salah satu upaya Mursi agar posisi presiden kuat dan kebal akan upaya-upaya pelemahan dari pihak-pihak yang bersebrangan dengannya. Namun disisi lain, kebijakan ini juga dianggap oleh banyak kalangan sebagai pelanggaran nilai-nilai demokrasi Mesir yang sedang dibangun oleh seluruh elemen. Dalam era demokrasi, perbedaan pendapat dan pandangan itu diberi toleransi. Dekrit Presiden Mursi muncul di tengah kebuntuan jalan menuju citacita revolusi Mesir. Namun, Dekrit tersebut langsung ditanggapi dengan aksi-aksi anarkis massa yang terprovokasi lawan-lawan FJP yang gagal meraih kekuasaan. Sejumlah kantor perwakilan IM dan kantor perwakilan partai di bakar massa yang tak sepakat dengan dekrit tersebut (Huriyah, 2015: 67). Selain dekrit Presiden, dengan adanya dominasi Ikhwa>nul Muslimi>n menjadikan posisi lawan politik Mubarak militer semakin lemah. Sebanyak 13 dari 27 provinis di Mesir dipimpin oleh seorang gubernur yang berasal dengan IM (Kompas, 2013: 1). Hal ini berdampak pada mindset kubu oposisi bahwa Mursi
129
akan menjadi pemimpin yang otoriter dan akan memperluas kekuasaan IM di ranah perpolitikan Mesir. Pada saat terjadinya aksi demonstrasi, massa penentang Mursi juga melakukan serangan terhadap markas-markas IM. Para pengkritik Mursi menganggap bahwa markas IM adalah pusat kekuasaan negara sebenarnya. Mereka menuduh pemimpin ritual IM, Mohammad Badie dan wakilnya El-Shater, yang mengendalikan negaranya (Kompas, 2013: 1). Meskipun tuduhan-tuduhan tersebut belum terbukti secara benar, opini masyarakat Mesir telah terbentuk dan menimbulkan sikap apatis terhadap Presiden Muhammad Mursi akibat trauma mendalam saat rezim Hosni Mubarak berkuasa. Terlepas dari kebijakan Mursi diatas, pertumbuhan ekonomi Mesir juga tidak kunjung membaik. Mursi dinilai belum memenuhi janji-janjinya memperbaiki ekonomi Mesir. Ekonomi Mesir justru memburuk dan lawan-lawan politiknya menilai bahwa Mursi mulai terlihat otoriter seperti Mubarak karena menolak berkompromi dengan kepentingan banyak pihak dalam menyusun kebijakan-kebijakan strategis (viva.co.id: 1 Juli 2013). Kebijakan-kebijakan Mursi seperti yang disebutkan diatas adalah kebijakan yang paling mendasari munculnya gerakan perlawanan dari pihak oposisi. Penguatan politik yang dilakukan oleh Mursi pada dasarnya untuk menjaga amanat revolusi Mesir 2011 dan memudahkan kinerja pemerintah dalam memperbaiki sendi-sendi permasalahan Mesir khususnya bidang ekonomi yang telah anjlok. Namun cara kerja Mursi yang sangat kontras dan dinilai kontroversial ini justru malah menimbulkan bumerang terhadap kelanggengan kekuasaannya.
130
b. Seruan Oposisi Pihak oposisi yang menamakan diri sebagai Tamarod mempunyai peran besar dalam aksi demonstrasi yang terjadi di kota-kota Mesir. Jika belajar dari peristiwa revolusi Mesir yang terjadi pada 2011, maka pelajaran yang dapat diambil adalah besarnya kekuatan rakyat dapat menumbangkan rezim. Pihak oposisi dalam pemerintahan tentu membutuhkan dukungan dari masyarakat Mesir untuk menekan Mursi dan menyebarkan rasa takut kepada para pendukung Mursi. Tamarod memotori demonstrasi untuk mengultimatum Mursi agar mundur selambat-lambatnya pada 2 Juli 2013 pukul 5 sore waktu setempat. Tamarod juga mengancam akan kembali mengerahkan massa dalam jumlah lebih besar dan akan ada pembangkangan sipil besar-besaran jika Mursi tidak bersedia turun dari jabatannya (Viva News: 1 Juli 2013). Selain mengultimatum Mursi, pihak oposisi juga menyerukan rakyat Mesir agar bersatu untuk menuntut Mursi turun dari jabatannya (Kompas, 2011: 1). Mohammad El-Baradei yang sebelumnya menjadi tokoh penting dalam revolusi Mesir 2011 kembali ikut andil dalam pelengseran Mursi (tempo.co: 15 Agustus 2013). El-Baradei meminta seluruh warga Mesir ikut ambil bagian dalam rencana aksi protes besar-besaran yang akan mulai digelar pada minggu 30 Juni 2013 untuk menggulingkan Presiden Muhammad Mursi. El-Baradei juga menyerukan agar rakyat Mesir mendesak tuntutan pemilu ulang dipercepat (politikindonesia.com: 30 Juni 2013). Posisi IM semakin terjepit karena semakin maraknya kekerasan yang terjadi di Mesir. Kekerasan-kekerasan antar kubu ini dapat dipandang sebagai perang saudara yang dilatarbelakangi oleh perbedaan pandangan terhadap kepemimpinan
131
Muhammad Mursi. Seruan-seruan yang terus dilayangkan oleh pihak oposisi secara tidak langsung mempengaruhi emosi para penentang Mursi dan semakin membrutal terhadap siapa saja yang membela Mursi. Keteguhan Mursi pada pilihannya dan menghiraukan tuntutan-tuntutan pihak oposisi justru menambah kemarahan rakyat. Peristiwa semacam ini sudah terlihat pada revolusi 2011, dimana ketika Mubarak tetap bersikeras untuk bertahan pada kursi kepresidenan, kebrutalan masyarakat justru semakin meningkat bahkan berperang melawan polisi yang merupakan aparatur negara. Menurut penjelasan Setyawati (2016), bergolaknya massa yang menuntut Mursi digerakkan oleh kekuatan besar di Mesir. Dalam hal ini adalah pihak militer yang dipimpin oleh Jenderal Abdul Fatah Al-Sisi. Al-Sisi pada akhirnya juga berbelot dan berada di kubu oposisi untuk menentang Mursi (Setyawati, Wawancara, Yogyakarta: 21 Januari 2016). Namun sikap yang diambil adalah memberikan Mursi tenggat 48 jam untuk memenuhi semua tuntutan pihak oposisi. Terkait permasalahan kekersan seksual di Mesir pada revolusi 2013, penyebab utama tidak jauh seperti pada revolusi 2011. Banyak perempuanperempuan Mesir yang memilih untuk memperjuangkan kehidupan yang layak karena semakin buruknya ekonomi negara. Namun pada akhirnya mereka malah menjadi korban kekerasan seksual oleh kelompok-kelompok orang yang tidak dikenal. Selain para pengunjuk rasa, para kaum hawa dari pihak pendukung Mursi juga banyak yang mengalami hal serupa. Menurut pemberitaan BBC, kekerasan seksual tersebut digunakan sebagai alat untuk membungkam pengunjuk rasa dari kedua kubu tersebut (bbc.com: 24 Oktober 2013).
132
c. Intervensi Militer dan Dukungan Pihak Asing Hegemoni kekuasaan militer seakan kembali bangkit dari tidurnya. Aksi protes yang semakin membawa Mesir menjadi semakin terpuruk membuat militer berusaha memediasi antara pemerintah dengan rakyat. Namun presiden Mursi tidak menerima mediasi tersebut. Maka demi menjaga keutuhan negara, militer melengserkan presiden dan tampuk pimpinan negara diserahkan kepada ketua mahkamah konstitusi sesuai konstitusi Mesir (Jalaludin, Kuesioner, Kairo: 5 Februari 2016). Keberanian militer dalam melengserkan Mursi lewat kudeta bukan lagi menjadi hal yang mengejutkan. Pasalnya, kudeta pimpinan negara sudah pernah terjadi sebelumnya pada tahun 1952 ketika Mesir masih dipimpin oleh Raja Farouk. Sehingga kita dapat melihat budaya pergantian pemimpin Mesir yaitu dengan penggulingan paksa atau dengan upaya pembunuhan (Setyawati, Wawancara, Yogyakarta: 21 Januari 2016). Meskipun pada dasarnya, pemerintahan Mubarak jauh lebih nyata menerapkan pemeritahan yang diktator, Mursi juga dianggap akan mengikuti jejak Mubarak jika tidak dihentikan. Militer sebagai badan yang sudah menguasai sendisendi pemerintaha Mesir menjadi pengendali terakhir saat negara mengalami krisis dan saat penduduk Mesir mulai mendesak tentara dalam penurunan Mursi (Sudrajad, Kuesioner, Kairo: 1 Februari 2016). Terlepas dari hubungan militer dan pihak oposisi dalam serangkaian agenda penurunan Mursi, pihak luar juga ikut andil dalam mendukung langkah-langkah militer untuk mengambil alih pemerintahan Mesir. Arab Saudi (ketika masih di pimpin oleh Raja Abdullah) termasuk negara pertama yang mendukung tindakan
133
militer terhadap para pendukung Mursi dan kudeta Presiden Mursi. Raja Abdullah ketika itu menyatakan bahwa Mesir harus dilindungi dari aksi-aksi terorisme. Dia juga mendesak negara-negara Arab agar menolak berbagai upaya yang membuat Mesir tidak stabil. Selain Arab Saudi, Uni Emirat Arab Bahrain, dan Kuwait juga mendukung kudeta oleh militer (Antara News: 17 Agustus 2013). Selain Arab Saudi, sekutu utama Mesir pada masa Hosni Mubarak, Amerika Serikat juga belakangan justru berada di pihak oposisi dan mendukung militer. Meskipun pada awalnya tuduhan keterlibatan AS dalam aksi penggulingan Presiden Mursi dinilai sebagai tuduhan yang emosional, sikap diam AS terhadap aksi pembubaran paksa oleh militer dan kudeta terhadap Mursi justru mengkonfirmasi tuduhan tersebut (Agastya, 2013: 83). AS sebagai negara yang selalu mengangkat tinggi bendera demokrasi, seharusnya mengecam tindakan militer yang tidak mencerminkan prinsip dalam demokrasi. Namun pada kenyataannya kekuatan politik Islam tidak mendapat dukungan dari AS dan negara-negara barat. Jika kekuatan tersebut berhaluan nasionalis atau sekuler, dukungan penuh akan diberikan oleh AS. (Setyawati, Wawancara, Yogyakarta: 21 Januari 2016). Adapun Israel yang mempunyai ikatan perjanjian Camp David tentu tidak mendukung Muhammad Mursi yang berasal dari kelompok IM. Menurut Setyawati (2016) Israel mempunyai kekhawatiran yang besar jika Mursi terus berkuasa di Mesir (Setyawati, Wawancara, Yogyakarta: 21 Januari 2016). Dikatakan juga oleh Benjamin Miller2 ketakutan utama Israel adalah apabila golongan Islam Fundamentalis seperti IM berkuasa di Mesir. Beberapa kalangan 2
Pakar Timur Tengah Haifa University, Israel.
134
di Israel juga menyayangkan sikap AS yang mendukung masyarakat Mesir dalam melengserkan Hosni Mubarak pada revolusi Mesir 2011 (Kompas, 2011: 11). Maka dari itu, serangkaian kekerasan fisik yang terjadi pada revolusi Mesir 2013 tidak jauh bermula dari kebijakan-kebijakan Mursi yang sangat mencolok dan terkesan terburu-buru. Momentum ini dimanfaatkan oleh Tamarod selaku kelompok oposisi untuk menghimpun dukungan dari masyarakat yang tidak setuju dengan berbagai kebijakan strategis Mursi. Agenda penurunan Mursi dari jabatannya dilancarkan dengan turunya militer dengan mengintervensi para pendukung Mursi yang melawan massa penuntut. Langkah-langkah militer ini juga ternyata mendapatkan dukungan penuh dari pihak-pihak asing. Selain dari pihak asing, kaum minoritas Mesir, Kristen Koptik, juga mendukung langkah militer. Pendeta Alex Samuel Uryat3, mengatakan bahwa pemerintahan Mursi sangat buruk dibandingkan ketika Al-Sisi telah menjadi presiden Mesir. Pada saat Era Mursi, mereka pernah beberapa kali mengalami ancaman dan teror dari kelompok tertentu namun belum bisa dikatakan siapa pelaku dibalik terror tersebut. Uryat bahkan mengatakan bahwa peristiwa turunnya Mursi bukanlah sebuah kudeta, melainkan pembebasan (intifa>dha) yang didukung oleh semua bangsa Mesir (Uryat, Wawancara, Fustat: 3 Februari 2016).
Pendeta Kristen Koptik Gereja Gantung (Al-Kani>sah Al-Muallaqa>t) di Fustat, Mesir. Wawancara dilakukan oleh responden Gun Gun Gunawan untuk mengetahui pendapat mereka tentang pemerintahan Presiden Muhammad Mursi. 3