V.
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
5.1
Morfologi Suspensi Mikrokapsul Bakteri Probiotik Morfologi sel bakteri mikrokapsul suspensi perlu diverifikasi untuk
memastikan bahwa bakteri yang hasil penyalutan sesuai dengan bakteri yang digunakan sebelum dilakukan proses freeze drying. Pengamatan morfologi dilakukan dengan melakukan pewarnaan Gram pada saat hari ke-0 dan hari ke-20. Hasil pengamatan morfologi dapat dilihat pada Tabel 6 untuk hari ke-0 dan Tabel 7 untuk hari ke-20. Tabel 6. Verifikasi Morfologi Bakteri Mikrokapsul Suspensi Hari ke-0
Mikrokapsul Suspensi Bakteri L. plantarum
Bentuk Sel : Batang Warna : Ungu Pewarnaan : Gram Positif Perbesaran 1000x
Mikrokapsul Suspensi Bakteri L. acidophilus
Bentuk Sel : Batang Warna : Ungu Pewarnaan : Gram Positif Perbesaran 1000x
Mikrokapsul Suspensi Bakteri B. bifidum
Bentuk Sel : Batang Warna : Ungu Pewarnaan : Gram Positif
Perbesaran 1000x 53
54
Tabel 7. Verifikasi Morfologi Bakteri Mikrokapsul Suspensi Hari ke-20
Mikrokapsul Suspensi Bakteri L. plantarum
Bentuk Sel : Batang Warna : Ungu Pewarnaan : Gram Positif Perbesaran 1000x
Mikrokapsul Suspensi Bakteri L. acidophilus
Bentuk Sel : Batang Warna : Ungu Pewarnaan : Gram Positif
Perbesaran 1000x
Mikrokapsul Suspensi Bakteri B. bifidum
Bentuk Sel : Batang Warna : Ungu Pewarnaan : Gram Positif Perbesaran 1000x
Berdasarkan Tabel 6 dan Tabel 7, bentuk sel dari ketiga jenis bakteri tersebut tidak banyak mengalami perubahan setelah disimpan 20 hari. Pada bakteri L. plantarum dan L. acidophilus memiliki bentuk batang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sukarminah, Sumanti, dan Hanidah (2008) bahwa bakteri jenis Lactobacillus memiliki bentuk batang, gram positif, dan sering ditemukan dalam produk-produk susu. Pengamatan pada bakteri B. bifidum ditemukan koloni bakteri berbentuk batang dan membentuk seperti huruf “Y”. Hasil ini sesuai dengan
55
pernyataan Soeharsono (2010), Bifidobacterium sp mempunyai bentuk koloni pertumbuhan seperti bentuk pohon dengan percabangan (arborescent). Ketiga bakteri yang digunakan memiliki warna ungu saat dilakukan pewarnaan Gram. Hasil pewarnaan ini termasuk dalam bakteri Gram positif. Menurut Sudarsono (2008), hasil pewarnaan Gram positif berwarna ungu, sedangkan bakteri Gram negatif berwarna merah muda. Hal tersebut didasarkan atas perbedaan komposisi dinding sel yang dimiliki keduanya. Pewarnaan Gram positif terbentuk karena asam-asam ribonukleat pada sitoplasma sel membentuk ikatan yang lebih kuat dengan kompleks ungu kristal violet, sehingga ikatan kimiawi tersebut tidak mudah dipecahkan oleh pemucat warna. Sel Gram positif mempunyai dinding dengan lapisan peptidoglikan yang lebih tebal dari sel Gram negatif. Bakteri Gram negatif mengandung lipid dan lemak dalam persentase yang lebih tinggi daripada bakteri Gram positif.
5.1.1
Bentuk dan Ukuran Mikrokapsul Suspensi Bakteri Probiotik Pengamatan morfologi dan ukuran mikrokapsul suspensi bakteri probiotik
dilakukan dengan menggunakan mikroskop fluoresences. Serbuk mikrokapsul hasil freeze-drying ditempatkan merata pada object glass, lalu diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran 40 kali. Pengamatan bentuk maupun ukuran ini dibandingkan dengan mikrokapsul biomassa bakteri probiotik dengan jenis bakteri yang sama. Hasil perbandingan dapat dilihat pada Tabel 8.
56
Tabel 8. Pengamatan Perbandingan Bentuk dan Ukuran Mikrokapsul Suspensi dan Biomassa Bakteri Probiotik Mikrokapsul Suspensi Mikrokapsul Biomassa Pengamatan L. acidophilus L. acidophilus Bentuk Tidak beraturan, seperti Tidak beraturan, seperti pecahan pecahan kaca kaca Ukuran 151,59 μm 159,64 μm Gambar
Berdasarkan Tabel 8, perbandingan bentuk dari mikrokapsul supensi maupun biomassa bakteri L. acidophilus sama-sama menunjukkan bentuk lekukan yang tidak beraturan. Bentuk serbuk mikrokapsul bakteri probiotik ini saat diamati dibawah mikroskop fluoresences memiliki bentuk tidak beraturan dan seperti pecahan kaca. Bentuk mikrokapsul yang baik adalah bulat tanpa kerutan yang berarti bahan aktif terkapsul dengan baik (Khasanah, dkk., 2015). Hasil lekukan yang tidak beraturan tersebut berkaitan dengan bahan penyalut yang digunakan, yaitu maltodesktrin dan susu skim. Maltodesktrin memiliki sifat emulsi yang kurang baik bila dibandingkan dengan susu skim. (Dickinson, 2003). Hasil yang didapatkan seharusnya memiliki bentuk yang bulat dan tidak pecah-pecah akibat adanya susu skim, namun konsentrasi maltodesktrin yang lebih besar dibandingkan susu skim menyebabkan bentuk tidak beraturan dan pecah-pecah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sheu, 1998 dalam Thies, 2001, bahwa lekukan-lekukan yang terbentuk karena sifat yang dimiliki
57
material bahan enkapsulan yang digunakan seperti polisakarida. Selain akibat dari bahan enkapsul yang digunakan, menurut Buma dan Henstra (1971) dalam Rosenberg et al, (1985), lekukan terjadi juga akibat proses penyusutan atau pengkerutan partikel yang terjadi saat proses pengeringan dan pendinginan. Lekukan yang serupa juga diamati pada partikel susu bubuk. Ukuran dari mikrokapsul suspensi maupun biomassa bakteri L. acidophilus berturut-turut adalah 151,59 μm dan 159,64 μm pada pembesaran 40 kali. Ukuran mikrokapsul tersebut dipilih pada bentuk mikrokapsul yang paling besar, karena bentuk mikrokapsul yang dihasilkan tidak beraturan. Ukuran ini sesuai dengan pendapat Lachman et al (1994) dikutip Istiyani (2008), bahwa bahan inti mikrokapsul dapat berupa partikel tunggal atau bentuk agregat dan biasanya memiliki ukuran partikel antara 5 – 5000 mikrometer.
5.2
Kadar Air Mikrokapsul Suspensi Bakteri Probiotik Hasil analisis (Lampiran 3) menunjukan terdapat hubungan linier antara lama
penyimpanan terhadap jumlah kadar air. Persamaan regresi, koefisien determinasi (R2), serta koefisien korelasi (r) hubungan antara lama penyimpanan (x) dengan kadar air (y) pada berbagai jenis mikrokapsul suspensi bakteri probiotik dan suhu penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 3 dan Gambar 9.
58
6.0
y = 0.136x + 2.390 r = 0.920 R2 = 0.846 y = 0.134x + 2.413 r = 0.947 R2 = 0.896
5.0 y = 0.118x + 2.569 r = 0.989 R2 = 0.978
y = 0.131x + 1.944 r = 0.979 R2 = 0.958
KADAR AIR (%)
4.0 y = 0.081x + 2.679 r = 0.942 R2 = 0.886
3.0
y = 0.110x + 2.409 r = 0.913 R2 = 0.834
B. bifidum 25
2.0
B. bifidum 35 L. plantarum 25 L. plantarum 35
1.0
L. acidophilus 25 L. acidophillus 35
0.0 0
5
10
15
20
25
LAMA PENYIMPANAN (HARI) Gambar 9. Hubungan antara Lama Penyimpanan dengan Kadar Air Suspensi Bakteri Probiotik
Berdasarkan grafik pada Gambar 9 dapat dilihat bahwa lama penyimpanan mikrokapsul suspensi bakteri probiotik pada kemasan metalized plastic berpengaruh terhadap jumlah kadar air mikroenkapsulasi tersebut. Nilai R2 yang didapatkan sebesar 0,834 – 0,978, artinya lama penyimpanan mempengaruhi kadar air sebesar 83,4 – 97,8%, sisanya dipengaruhi oleh variabel lain. Nilai Keeratan hubungan (r) sebesar 0,913 – 0,989 menyatakan bahwa antara kadar air mikroenkapsulasi suspensi bakteri probiotik dan suhu penyimpanan memiliki hubungan yang sangat kuat terhadap lama penyimpanan. Nilai slope dari persamaan regresi menunjukkan bahwa setiap peningkatan lama penyimpanan akan menaikan kadar air sebesar 0,081 – 0,136. Peningkatan kadar air ini disebabkan mikrokapsul ini bersifat higroskopis karena penggunaan maltodesktrin sebagai bahan penyalut. Maltodekstrin terdiri dari
59
granula-granula yang bersifat hidrofilik. Molekul maltodekstrin tersebut mempunyai banyak gugus hidroksil sehingga dapat mengikat air dalam jumlah besar. Terjadinya ikatan antara gugus hidroksil dengan molekul air akan menyebabkan molekul air yang semula berada di luar granula maltodekstrin dan dalam keadaan bebas menjadi berada dalam granula dan tidak bebas lagi. Semakin tinggi kadar maltodekstrin yang ditambahkan semakin kental suspensi yang dihasilkan sehingga semakin sulit terjadinya penguapan air, karena maltodekstrin mempunyai kemampuan pengikatan yang baik (Hui, 1993). Kadar air mikrokapsul tiga suspensi bakteri probiotik yang dihasilkan setelah proses freeze drying pada hari ke – 0 penyimpanan rata-rata kurang dari 3%. Rendahnya kadar air dari mikrokapsul yang dihasilkan ini dipengaruhi oleh penggunaan metode freeze drying. Menurut Haryani et al. (2012), metode freeze drying dapat meninggalkan kadar air produk hingga 1%. Berdasarkan pernyataan tersebut, metode freeze drying dapat menyebabkan bahan pangan menjadi lebih kering dan tahan lebih lama. Kadar air rata-rata tiga mikrokapsul suspensi bakteri probiotik pada akhir penyimpanan atau hari ke-20 berkisar 4,18–4,95%. Nilai kadar air hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan kadar air mikrokapsul beberapa penelitian sebelumnya, sehingga dapat dikatakan baik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Seveline (2005), enkapsulasi bakteri probiotik dengan penambahan dekstrin dan triasil gliserol menghasilkan kadar air sebesar 7-12%. Penelitian yang dilakukan oleh Rizqiati et al. (2009) menghasilkan kadar air pada mikrokapsul suspensi bakteri L.plantarum dengan bentuk kultur suspensi yang menggunakan bahan enkapsulasi
60
campuran susu skim-gum arab sebesar 9,2% dan bahan enkapsulasi susu skim sebesar 8,9%. Rendahnya kadar air produk mikrokapsul ini disebabkan juga karena produk mikrokapsul suspensi bakteri probiotik ini dikemas menggunakan kemasan metalized plastic. Kemasan metalized plastic memiliki permeabilitas yang rendah, yaitu sebesar 0.3205 g/m2.24h Rendahnya permeabilitas ini menyebabkan transfer air dan uap air dari lingkungan sulit menembus kemasan karena tingkat kerapatan yang lebih rendah.
5.3
Viabilitas Mikrokapsul Suspensi Bakteri Probiotik Viabilitas merupakan parameter ketahanan suatu mikroba dalam hal ini
terhadap penyimpanan dan terhadap kondisi tubuh, dimana mikroba probiotik dapat dikatakan bermanfaat saat mikroba tersebut telah sampai di usus. Penghitungan hasil viabilitas pada penelitian ini adalah persentase perbandingan jumlah sel bakteri pada awal penyimpanan sampai hari ke-20 penyimpanan. Hasil viabilitas dari tiga mikrokapsul suspensi bakteri probiotik dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Viabilitas Tiga Mikrokapsul Suspensi Bakteri Probiotik Jumlah Total Jumlah Total Suhu (° Bakteri Hari Bakteri Bakteri C) (cfu/g) (cfu/g) 0 9.1 x 108 8,96 log 25 20 8.0 x 106 6,90 log L. plantarum 0 9.1 x 108 8,96 log 35 6 20 2.8 x 10 6,44 log 0 3.3 x 108 8,52 log 25 7 20 1.2 x 10 7,09 log L. acidophilus 8 0 3.3 x 10 8,52 log 35 20 5.1 x 106 6,71 log 8 0 2.8 x 10 8,45 log 25 20 2.7 x 107 7,44 log B. bifidum 8 0 2.8 x 10 8,45 log 35 20 1.6 x 107 7,19 log
% Viabilitas 88,08 84,94 91,42 88,55 94,04 92,43
61
Data pada Tabel 9 menunjukkan bahwa nilai viabilitas dari tiga suspensi mikrokapsul bakteri pada semua perlakuan berada diatas 80%. Bakteri L. plantarum memiliki viabilitas terendah, sedangkan B. bifidum merupakan bakteri dengan viabilitas tertinggi. Bakteri B. bifidum memiliki ketahanan yang lebih baik dibandingkan dua bakteri lainnya berdasarkan hasil viabilitas pada tabel diatas. Hal ini berkaitan dengan kemampuan masing-masing karakteristik dan sifat jenis bakteri yang berbeda-beda. Hasil pada Tabel 9 menunjukkan bahwa suhu penyimpanan juga mempengaruhi viabilitas bakteri. Viabilitas bakteri pada suhu 35 °C memiliki nilai viabilitas yang lebih rendah dibandingkan pada suhu 25 °C. Hal ini disebabkan semakin tinggi suhu penyimpanan, maka pertumbuhan bakteri semakin meningkat, sehingga penurunan jumlah bakteri semakin cepat. Menurut Dave dan Shah (1997), suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri probiotik dalam suatu produk. Produk mikrokapsul suspensi bakteri probiotik pada penelitian ini mengalami proses pengemasan, maka jenis kemasan yang digunakan mempengaruhi viabilitas dari sel bakteri. Permeabilitas yang rendah pada kemasan metalized plastic menjaga produk tetap kering karena aktivitas air (Aw) yang rendah sehingga laju penurunan mutu terhambat. Hal itu diperkuat dengan pernyataan Labuza (1980) dikutip deMan (1989), bahwa aktivitas air berpengaruh besar terhadap laju dari banyak reaksi kimia dalam makanan dan terhadap laju pertumbuhan mikroba.
62
5.4
Ketahanan Mikrokapsul Suspensi Bakteri Probiotik Terhadap pH Rendah Bakteri probiotik merupakan bakteri yang berguna untuk membantu sistem
pencernaan pada tubuh manusia, oleh karena itu bakteri ini harus tahan terhadap saluran pencernaan manusia yang memiliki pH rendah. Pengujian ketahanan pH rendah pada mikrokapsul suspensi bakteri probiotik ini dilakukan dengan cara perhitungan jumlah koloni bakteri pada media MRS Agar yang sudah dimodifikasi dengan penambahan HCl 37% hingga media memiliki nilai pH sebesar ± 2. Hasil ketahanan mikrokapsul terhadap pH rendah dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Ketahanan Mikrokapsul Suspensi Bakteri Probiotik Terhadap pH rendah Jumlah Total Bakteri Jumlah % (cfu/g) Bakteri Penurunan Penurunan (cfu/g) Jam ke-0 Jam ke-5 L. plantarum
1,1 x 105
2,4 x 104
0,66 log
13,09
L. acidophilus
1,9 x 105
1,1 x 105
0,24 log
4,54
B. bifidum
1,1 x 105
1,1 x 105
0,04 log
0,79
Berdasarkan Tabel 10, nilai persentase penurunan jumlah bakteri pada ketiga kultur bakteri yang digunakan tidak lebih dari 15% setelah 5 jam. Hal ini disebabkan karena tiga jenis bakteri yang digunakan termasuk bakteri asam laktat yang tahan terhadap pH rendah dan kebanyakan hidup pada saluran pencernaan manusia. Menurut Modler (1994), bakteri Bifidobacterium merupakan komponen mikroflora penting dalam usus manusia dan hewan. Sama halnya dengan bakteri L. acidophilus yang merupakan flora normal dalam saluran cerna yang sangat penting dalam
63
memberikan pertahanan saluran cerna dengan cara menghambat kolonisasi mikroba patogen (Subijanti dan Rahuh, 2005 dikutip Sulistijowati, 2012). Pengamatan ketahanan pH ini dilakukan pada akhir masa penyimpanan di suhu 25 °C karena pada kondisi tersebut merupakan rata-rata suhu ruang dan produk makanan paling mudah disimpan pada suhu tersebut. Pengamatan dengan menghitung jumlah koloni bakteri dilakukan pada jam ke-0 dan jam ke-5. Penentuan waktu ini berdasarkan lamanya makanan pada lambung yaitu 2-6 jam (Gropper dan Groof, 2001 dikutip Puspawati, 2008). Penggunaan HCl 37% pada media MRS Agar bertujuan untuk mengkondisikan pH pada asam lambung, yaitu pH 2-3. Asam lambung (HCl) termasuk asam kuat yang terdisosiasi dalam medium dan mampu menurunkan pH eksternal tetapi tidak dapat menembus membran sel. Adaptasi struktur membran luar merupakan mekanisme resistensi bakteri terhadap asam yang tergolong asam kuat. Adaptasi dapat berupa perubahan komposisi asam lemak dan fosfolipid membran (Puspawati et al, 2010).
5.5
Ketahanan Mikrokapsul Suspensi Bakteri Probiotik Terhadap Garam Empedu Salah satu syarat bakteri probiotik adalah dapat bertahan terhadap garam
empedu yang disekresikan oleh hati. Menurut Russel (1992), ketahanan terhadap garam empedu merupakan ciri yang penting bagi bakteri probiotik sebab menentukan aktivitasnya didalam saluran pencernaan, terutama di saluran usus bagian atas tempat empedu disekresikan. Konsentrasi garam empedu yang digunakan sebesar 0,5%. Hal
64
ini dikarenakan konsentrasi tersebut ekuivalen dengan konsentrasi fisiologis garam empedu dalam duodenum (Moser dan Savage, 2001). Pengujian ketahanan terhadap garam empedu ini sama dengan pengujian ketahanan pH rendah. Perbedaannya terletak pada penambahan bile salt agar pada media MRS Agar sebanyak 0,5%. Hasil pengujian ketahanan mikrokapsul suspensi bakteri probiotik terhadap garam empedu dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Ketahanan Mikrokapsul Suspensi Bakteri Probiotik Terhadap Garam Empedu Jumlah Total Jumlah % Bakteri (cfu/g) Bakteri Penurunan Penurunan (cfu/g) Jam ke-0 Jam ke-5 L. plantarum
1,2 x 105
1,1 x 104
1,04 log
20,47
L. acidophilus
2,4 x 105
2,2 x 104
1,05 log
19,52
B. bifidum
1,4 x 105
1,1 x 104
1,11 log
21,55
Berdasarkan Tabel 11, ketiga bakteri memiliki ketahanan yang baik terhadap garam empedu. Hal ini dapat dilihat bahwa penurunan akibat garam empedu rata-rata turun tidak lebih dari 25%. Hasil ini menyatakan bahwa ketiga jenis bakteri yang digunakan termasuk dalam kelompok bakteri probiotik karena dapat tahan terhadap garam empedu. Garam empedu termasuk dalam kelompok garam natrium dan kalium dari asam empedu yang berkonjugasi dengan glisin atau taurin, suatu turunan dari sistin. Penurunan jumlah sel bakteri pada Tabel 11 disebabkan reaksi bakteri dengan garam empedu 0,5% yang menyebabkan terjadinya kebocoran pada sel yang
65
diinduksi oleh garam empedu, namun tidak sampai menyebabkan sel mengalami lisis (Puspawati et al., 2010). Toleransi terhadap garam empedu diduga disebabkan oleh peranan polisakarida sebagai salah satu komponen penyusun dinding sel bakteri gram positif namun mekanisme yang terlibat didalamnya belum diketahui dengan jelas (Surono et al., 2000). Ketahanan terhadap garam empedu juga dipengaruhi oleh bahan penyalut yang digunakan. Penyalut pada penelitian ini adalah 10% susu skim yang dikombinasikan dengan maltodekstrin 20% dan memberikan ketahanan terhadap garam empedu yang baik. Hal ini sesuai dengan penelitian Puspawati (2008), bahwa susu skim memberikan ketahanan yang terbaik dibanding bahan penyalut lain (sukrosa, laktosa, dan maltodekstrin).
5.6
Umur Simpan Mikrokapsulasi Suspensi Bakteri Probiotik Pendugaan umur simpan mikroenkapsulasi suspensi bakteri probiotik ini
menggunakan model Arrhenius. Model Arrhenius dipilih karena adanya kultur bakteri probiotik yang sensitif terhadap perubahan suhu penyimpanan pada produk ini. Penentuan umur simpan dengan model Arrhenius menggunakan data objektif yang didapat dari hasil perhitungan jumlah koloni bakteri dengan metode Total Plate Count (TPC), yang diasumsikan sebagai kinetika perubahan mutu, setiap 5 hari sekali selama 20 hari. Menurut Burgain et al. (2010), syarat makanan probiotik harus memiliki jumlah BAL sebesar 107 CFU/g ketika akan dikonsumsi. Jumlah tersebut merupakan batas minimal yang digunakan apabila suatu produk pangan dikatakan sebagai probiotik. Data kinetika perubahan yang didapat selama 25 hari kemudian
66
diplotkan dalam bentuk kurva linier dan eksponensial untuk mengetahui ordo reaksi yang berlaku pada perubahan mutu yang terjadi. Tahapan untuk menentukan umur simpan pada produk pangan, yaitu penentuan ordo reaksi, perhitungan nilai Q10 (laju penurunan mutu), Ea (Energi Aktivasi), Ao (nilai laju kinetik pre-eksponensial), dan K (nilai laju kinetik).
5.6.1
Penentuan Ordo Reaksi Penentuan ordo reaksi pada model Arrhenius berkaitan dengan laju perubahan
mutu produk. Jika pada reaksi ordo nol, persentase penurunan mutu bersifat konstan pada suhu tetap, maka pada reaksi ordo satu penurunan mutu terjadi secara eksponensial. Data yang diplotkan untuk kurva ordo nol adalah waktu dalam hari (x) dan jumlah mikroba (y) pada penyimpanan suhu 25 oC dan 35 oC, sedangkan data yang diplotkan untuk kurva ordo satu adalah waktu dalam hari (x) dan ln jumlah mikroba (y) pada penyimpanan suhu 25 oC dan 35 oC. Hasil perhitungan jumlah mikroba selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 5, sedangkan nilai R2 (R square) yang terbentuk berdasarkan ordo reaksi pada semua perlakuan dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Nilai R2 (R square) pada Ordo nol dan Ordo 1 Nilai R2 Kultur Baktreri Perlakuan Ordo Nol Ordo Satu LP25 0,537 0,834 L. plantarum LP35 0,526 0,853 LA25 0,542 0,726 L. acidophilus LA35 0,526 0,735 BB25 0,916 0,951 B. bifidum BB35 0,892 0,992
67
Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 12, nilai koefisien determinasi (R2) pada ordo satu disetiap perlakuan suhu penyimpanan lebih besar dibandingkan dengan koefisien determinasi (R2) pada ordo nol. Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan Labuza (1982) bahwa penurunan mutu yang diakibatkan kerusakan bahan pangan yang mengikuti kinetika reaksi ordo satu meliputi ketengikan, pertumbuhan mikroba, produksi off-flavour (penyimpangan flavor) oleh mikroba pada daging, ikan, unggas, kerusakan vitamin, penurunan mutu protein, dan sebagainya. Metode Arrhenius memiliki dua parameter ordo reaksi unutuk penentuan umur simpan, yaitu ordo nol dan ordo satu (Ramadhani, 2015). Umumnya, reaksi kimia dipengaruhi oleh suhu, sehingga model Arrhenius ini mensimulasikan percepatan kerusakan produk pada kondisi penyimpanan diatas suhu penyimpanan normal. Laju reaksi kimia yang dapat memicu kerusakan produk pangan umumnya mengikuti laju reaksi ordo 0 dan ordo 1 (Kusnandar, 2006 dikutip Wahyuningrum, 2010). Ordo reaksi yang terpilih ditentukan berdasarkan koefisien determinasi atau koefisien penentu (R2) terbesar antara ordo nol dan ordo satu. Setelah ditentukan ordo reaksinya, kemudian dilakukan penentuan nilai K. Nilai K merupakan laju kinetik konstan yang terjadi selama penyimpanan akibat adanya pengaruh suhu terhadap kecepatan reaksi atau secara empiris dapat dinyatakan sebagai konstanta penurunan mutu (Arpah, 2001 dikutip Ristiani, 2014). Penentuan nilai K pada suhu 25 oC dan 35 oC dilakukan berdasarkan nilai slope pada persamaan ordo reaksi satu. Nilai K pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 13.
68
Tabel 13. Laju Kinetik Konstan (K) pada Penyimpanan Suhu 25o C dan 35o C Nilai K Kultur Bakteri o Suhu 25 C Suhu 35o C L. plantarum -0,207 -0,265 L. acidophilus -0,142 -0,178 B. bifidum -0,107 -0,144
Berdasarkan Tabel 13, nilai K yang didapatkan dari tiap kultur bakteri bernilai negatif (-). Nilai K yang bernilai negatif menandakan bahwa penurunan mutu yang terjadi diakibatkan oleh berkurangnya jumlah BAL pada mikrokapsul suspensi bakteri probiotik. Penurunan BAL ini berhubungan dengan lama penyimpanan produk yang diakibatkan oleh faktor lingkungan serta kemasan yang digunakan. Menurut Sumanti, dkk (2013), peningkatan lama penyimpanan akan menurunkan pertumbuhan BAL sebesar 653.285 – 866.500 CFU/g. Kemasan metalized plastic yang digunakan juga membantu menjaga produk dari faktor lingkungan sehingga laju penurunan mutu produk terhambat. Hal ini sesuai dengan penelitian Ramadhani (2015), bahwa bahwa nilai K pada perlakuan kemasan plastik metalized plastic lebih kecil dibandingkan dengan nilai K pada perlakuan kemasan plastic nylon pada biskuit sinbiotik. Selain itu, dapat dilihat bahwa nilai K pada suhu 35 oC lebih besar dibandingkan dengan dengan nilai K pada suhu 25o C. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan suhu penyimpanan menyebabkan laju penurunan mutu akan semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Syarief dan Halid (1993), bahwa secara umum reaksi kimia lebih cepat terjadi pada suhu tinggi. Oleh sebab itu konstanta laju reaksi kimia (k) akan semakin besar pada suhu yang lebih tinggi.
69
5.6.2. Mencari Nilai Q10 Setelah dilakukan penentuan nilai K pada suhu 25o C dan 35o C, kemudian dilakukan perhitungan terhadap nilai Q10. Nilai Q10 merupakan faktor percepatan reaksi penurunan mutu terhadap suhu. Nilai Q10 ditentukan berdasarkan rasio antara nilai K pada kedua suhu penyimpanan. Nilai Q10 pada berbagai perlakuan dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Nilai Q10 pada Semua Perlakuan Kultur Bakteri
Nilai Q10
L. plantarum
1,2802
L. acidophilus
1,2535
B. bifidum
1,3458
Berdasarkan Tabel 14 diketahui bahwa nilai Q10 dari bakteri L. plantarum pada suhu penyimpanan 25 °C dan 35 °C adalah 1,2802, yang artinya bahwa setiap kenaikan suhu 10 °C maka terjadi peningkatan laju kinetik terhadap penurunan mutu sebesar 1,2802. Hal tersebut menunjukkan bahwa laju penurunan mutu mikrokapsul suspensi bakteri L. plantarum pada suhu 35 °C sama dengan 1,2802 kali laju penurunan mutu mikrokapsul suspensi bakteri probiotik pada suhu 25 °C. Hal ini juga berlaku untuk bakteri L. acidophilus dan B. bifidum yang memiliki nilai Q10 masingmasing 1,2535 dan 1,3458. Model Q10 adalah pemanfaatan lebih lanjut dari model Arrhenius. Model ini dipakai untuk menduga berapa besar perubahan laju reaksi atau laju penurunan mutu produk makanan jika produk tersebut disimpan pada suhu-suhu tertentu. Suhu
70
merupakan faktor penting pada laju perubahan mutu makanan. Dengan demikian model ini dapat digunakan untuk menduga masa kadaluarsa produk makanan tertentu yang disimpan pada berbagai suhu (Syarief dan Halid, 1993).
5.6.3
Mencari Nilai C dan Energi Aktivasi (Ea) Nilai C merupakan fungsi dari laju reaksi terhadap suhu tinggi. Nilai C dicari
untuk memperoleh nilai Ea (energi aktivasi). Menurut Labuza (1982), energi aktivasi merupakan energi minimum yang dibutuhkan agar reaksi deteriosasi dapat berjalan. Nilai C dan Ea (energi aktivasi) dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Nilai C dan Ea pada Semua Perlakuan Kultur Bakteri Nilai C
Ea (J/mol)
L. plantarum
2267,0648
18850,6438
L. acidophilus
2073,4006
17240,326
B. bifidum
2772,7946
23055,7871
Berdasarkan data pada Tabel 15, nilai Ea dari terbesar sampai terkecil berturut-turut adalah B. bifidum, L. plantarum, dan L. acidophilus. Menurut Handayani (2008), semakin besar nilai Ea maka energi yang dibutuhkan agar reaksi dapat berjalan akan semakin besar sehingga akan lebih lama mengalami kemunduran mutu. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa bakteri B. bifidum mengalami kemunduran mutu yang lebih lama dan bakteri L. acidophilus mengalami kemunduran mutu tercepat. Hal ini berkaitan dengan kemampuan bakteri selama penyimpanan. Berdasarkan penelitian Goderska dan Zbigniew (2008), L. acidophilus
71
pada kultur kering mengalami penurunan jumlah bakteri lebih cepat dibandingkan B. bifidum pada penyimpanan di suhu 4 °C. Kemunduran mutu karena penurunan jumlah bakteri ini juga dapat dipengaruhi kemasan yang digunakan. Kemasan metalized plastic yang digunakan memiliki kemampuan mempertahankan mutu produk yang dikemas. Hal ini sesuai dengan penelitian Ramadhani (2015) bahwa kemasan metalized plastic menghasilkan nilai Ea lebih besar dibandingkan dengan menggunakan plastik nylon, sehingga energi yang dibutuhkan agar reaksi dapat berjalan akan semakin besar sehingga akan lebih lama mengalami kemunduran mutu. Nilai permeabilitas kemasan yang tinggi dapat mempercepat kemunduran mutu suatu produk. Menurut Ristiani (2014), semakin tinggi permeabilitas suatu kemasan maka uap air atau gas akan semakin mudah masuk dan keluar dari kemasan sehingga memerlukan energi aktivasi yang semakin sedikit untuk terjadinya penurunan mutu.
5.6.4. Mencari Nilai Laju Kinetik Pre-eksponansia (A0) dan Laju Kinetik pada Berbagai Suhu (KT) Tahap selanjutnya adalah menghitung nilai A0 dan nilai KT. nilai A0 merupakan konstanta pre-eksponansial yang memiliki nilai konstan yang tidak dipengaruhi oleh suhu penyimpanan. Nilai K merupakan laju kinetik konstan, dimana dalam grafik K dinyatakan sebagai slope. Ea merupakan energi aktivasi, R merupakan tetapan gas konstan (8,315 J/mol.K), dan T merupakan suhu penyimpanan (dalam Kelvin).
72
Nilai laju kinetik (K) berhubungan dengan umur simpan mikroenkapsulasi suspensi bakteri probiotik. Semakin tinggi nilai K, maka penurunan mutu yang terjadi akan semakin besar sehingga umur simpan mikrokapsul suspensi probiotik ini akan semakin pendek. Nilai A0 dan KT dapat dilihat pada Tabel 16 dan Tabel 17. Tabel 16. Nilai Laju Kinetik Pre-eksponensia (A0) pada Berbagai Perlakuan Kultur Bakteri
Nilai A0
L. plantarum
-416,7867
L. acidophilus
-119,0981
B. bifidum
-1171,4286
Tabel 17. Laju Kinetik (K) pada Berbagai Suhu Penyimpanan Suhu Nilai K Penyimpanan L. plantarum L. acidophilus (oC) 5 -0,1198 -0,0687 10 -0,1383 -0,0783 15 -0,1589 -0,0890 20 -0,1818 -0,1006 25 -0,2070 -0,1133 30 -0,2347 -0,1271 35 -0,2650 -0,1420
B. bifidum -0,0546 -0,0651 -0,0772 -0,0909 -0,1066 -0,1243 -0,1442
Berdasarkan Tabel 16, dapat dilihat bahwa mikrokapsul suspensi bakteri L.plantarum memiliki nilai konstanta pre-eksponensial sebesar -416,7821. Bakteri L.acidophilus memiliki nilai konstanta pre-eksponensial -119,0981, sedangkan untuk bakteri B.bifidum memiliki nilai konstanta pre-eksponensial sebesar -1171,4286. Nilai konstanta pre-eksponensial (A0) dilakukan untuk menghitung laju kinetik (K) pada berbagai suhu penyimpanan sehingga umur simpan suatu produk dapat didapat.
73
Berdasarkan Tabel 17, nilai laju kinetik (K) berbagai suhu penyimpanan pada bakteri L. plantarum berkisar antara -0,1198 sampai -0,2650. Bakteri L.acidophilus memiliki nilai laju kinetik -0,0687 sampai -0,1420, sedangkan untuk bakteri B.bifidum memiliki nilai nilai laju kinetik sebesar -0,0546 sampai -0,1442. Semakin rendah rendah suhu penyimpanan maka nilai K akan semakin menurun. Hal ini dikarenakan semakin rendah suatu suhu penyimpanan, maka laju kinetik kerusakan bahan pangan akan semakin rendah pula. Secara umum reaksi kimia lebih cepat terjadi pada suhu tinggi. Oleh sebab itu konstanta laju reaksi kimia (k) akan semakin besar pada suhu yang lebih tinggi (Syarief dan Halid, 1991 dikutip Ramadhani, 2015) Jenis kemasan yang digunakan juga berpengaruh terhadap nilai K. Berdasarkan penelitian Ramadhani (2015), permeabilitas suatu kemasan berbanding lurus dengan nilai K yang dihasilkan. Kemasan metalized plastic memiliki permeabilitas yang rendah, yaitu 0,3205 g/m2.24h, sehingga uap air atau gas tidak akan mudah masuk dan keluar dari kemasan. Menurut Labuza (1980) dikutip deMan (1989), aktivitas air berpengaruh besar terhadap laju dari banyak reaksi kimia dalam makanan dan terhadap laju pertumbuhan mikroba.
5.6.5
Perhitungan Umur Simpan (t) Perhitungan umur dapat diperluas pada berbagai suhu penyimpanan selain
suhu penyimpanan pada saat penelitian. Perhitungan umur simpan pada berbagai suhu ini menggunakan persamaan Arrhenius dengan model laju kinetika berdasarkan ordo satu yang telah didapatkan. Tujuan perhitungan pada berbagai suhu ini adalah
74
untuk memberikan rekomendasi pada konsumen pada suhu berapa produk ini disimpan. Batasan nilai mutu akhir pada waktu t pada mikrokapsul suspensi bakteri probiotik adalah 1 x 107 cfu/g. Nilai ini berdasarkan rekomendasi dari International Dairy Federation merekomendasikan bahwa bakteri probiotik harus aktif dan berlimpah dalam produk dan harus terdapat minimal 107 cfu/g berat kering (Sultana, et al., 2000). Umur simpan mikroenkpasulasi suspensi bakteri probiotik pada berbagai suhu penyimpanan dan berbagai jenis kemasan dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Umur Simpan Mikrokapsul Suspensi Bakteri Probiotik pada Berbagai Suhu Penyimpanan Umur Simpan (Hari) Suhu Penyimpanan (oC) L. plantarum L. acidophilus B. bifidum -10 60 78 108 -5 51 67 89 0 44 58 73 5 38 51 61 10 33 45 51 15 28 39 43 20 25 35 37 25 22 31 31 30 19 28 27 35 17 25 23
Berdasarkan Tabel 18, umur simpan dari setiap jenis mikrokapsul suspensi bakteri probiotik berbeda-beda. Mikrokapsul suspensi bakteri L.plantarum yang disimpan pada suhu 25 °C dapat bertahan hingga 22 hari, mikrokapsul suspensi bakteri L.acidophilus dapat bertahan hingga 31 hari. Mikrokapsul suspensi bakteri B. bifidum juga memiliki umur simpan selama 31 hari pada suhu penyimpanan yang sama (suhu 25 °C).
75
Peningkatan suhu penyimpanan menghasilkan umur simpan yang semakin singkat. Hal ini ditunjukkan juga pada Tabel 18. Menurut Ramadhani (2015), hal ini dapat disebabkan oleh semakin tinggi suhu maka laju kerusakan mutu akibat matinya bakteri yang ada semakin meningkat. Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan makanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju reaksi berbagai senyawa kimia akan semakin meningkat (Syarief dan Halid, 1993). Umur simpan mikrokapsul suspensi bakteri probiotik terlama adalah pada suhu penyimpanan rendah. Menurut Rahmad (2012), suhu dibawah 10
o
C dapat
menghambat kecepatan tumbuh bakteri sehingga umur simpan produk probiotik lebih panjang daripada produk probiotik yang disimpan pada suhu ruang. Jenis kemasan dan metode pengemasasan juga mempengaruhi umur simpan produk mikrokapsul suspensi probiotik.
Rendahnya permeabilitas kemasan
menyebabkan penurunan jumlah bakteri probiotik berjalan dengan lambat, karena aktivitas air berpengaruh besar terhadap laju dari banyak reaksi kimia dalam makanan dan terhadap laju pertumbuhan mikroba (Labuza, 1980 dikutip deMan, 1989). Metode pengemasan vakum akan mengurangi udara yang ada dalam kemasan. Semakin banyak uap air yang masuk kedalam bahan maka laju pertumbuhan mikroba akan semakin besar pula sehingga umur simpan produk menjadi singkat.