5. MENANGANI KEBUTUHAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA Pengantar 5.1 Pembangunan manusia adalah inti pembangunan dan kesejahteraan anggota masyarakat. Bukti-bukti internasional menunjukkan dan memang terdapat hubungan positif antara pengembangan manusia—yang memaksudkan tingkat dan kualitas pendidikan sebagaimana tampak pada status angkatan kerja dan kesehatan masyarakat— dan pertumbuha n. Pertumbuhan memungkinkan peningkatan dalam pengembangan manusia dengan menciptakan sumber daya yang dapat dikhususkan untuk pendidikan dan pelayanan kesehatan (oleh pemerintah dan oleh setiap keluarga), sedangkan peningkatan di bidang pendidikan dan status kesehatan tenaga kerja secara langsung menyumbang kepada produktivitas tenaga kerja. Karena itu perbedaan-perbedaan dalam kemampuan modal sumber daya manusia dapat berimplikasi timbulnya perbedaan tingkat pertumbuhan di masa depan. 5.2 Pendidikan dan produktivitas memiliki hubungan yang rumit, namun bukti-bukti internasional menunjukkan, misalnya berbagai tingkat pendidikan yang lebih baik berkaitan dengan kapasitas yang lebih besar untuk (a) meningkatkan gabungan input dan produktivitas pertanian; (b) mengubah gabungan komoditi produksi sebagai respons terhadap permintaan pasar yang terus berubah; dan (c) mengubah pekerjaan dan sektor kerja sebagai respons terhadap kesempatan ekonomi. Status kesehatan dan nutrisi yang meningkat, khususnya bagi orang-orang miskin, berkaitan dengan kesanggupan yang lebih baik untuk bekerja dan untuk hidup lebih produktif. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi, khususnya untuk para gadis berkaitan dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang lebih rendah dan para ibu serta anak yang lebih sehat, akibat sejumlah faktor—penundaan pernikahan, jarak kelahiran yang lebih jauh, menurunnya kematian bayi dan bertambahnya pengetahuan tentang nutrisi dan penyakit. Singkatnya, pengembangan manusia membantu anggota masyarakat untuk membangun kehidupan yang produktif dan sehat serta suatu masyarakat yang lebih padu. 5.3 Kebutuhan spesifik Timor Lorosae menjadi titik awal untuk diskusi mengenai prioritas yang strategis bagi pengembangan manusianya. Sebagaimana telah didiskusikan, negeri tersebut diporak-porandakan oleh kekejaman peristiwa September 1999. Bukan saja kapasitasnya untuk meningkatkan pengembangan manusia menghadapi hambatan yang berat, tetapi juga Timor Lorosae mulai bergerak dari basis sumber daya manusia yang rendah yang mencerminkan sejarah kolonialnya. Selalu menjadi salah satu daerah yang termiskin di Indonesia, Timor Lorosae terus menghadapi kebutuhan pembangunan ulang dan rehabilitasi perekonomian dan infrastruktur sosial yang ekstensif (termasuk sebagian besar sekolah, rumah sakit dan klinik kesehatannya—80 persen di antaranya telah hancur setelah kekerasan September).
62
PENINGGALAN I NDONESIA Pendidikan 5.4 Sebelum administrasi Indonesia di Timor Lorosae, administrasi kolonial Portugis hanya berbuat sedikit untuk memajukan pendidikan umum—paling tidak di daerahdaerah pedesaan. Oleh karena itu, tingkat buta huruf masih mencapai sekitar 90 persen pada tahun 1975. Di bawah pemerintahan Indonesia, sistem pendidikan umum ditingkatkan secara signifikan. Indonesia berencana untuk melaksanakan tujuan kebijakan pendidikan nasional 9 tahunnya untuk pendidikan dasar wajib bagi anak-anak berusia 7-15 tahun. Kurikulum Indonesia menggantikan sistem Portugis dan Bahasa Indonesia diperkenalkan sebagai bahasa pengantar. Secara struktural, sistem pendidikannya terdiri dari 2 tahun pra-sekolah, 6 tahun sekolah dasar (dari usia 7 tahun), 3 tahun sekolah menengah pertama dan 3 tahun pendidikan akademik atau teknik dan kejuruan, 2 tahun pendidikan politeknik dan 3-4 tahun pendidikan universitas. 5.5 Selama periode 1976 hingga 1998, pendaftaran di sekolah-sekolah dasar meningkat lebih dari 11 kali lipat (tingkat kenaikan yang mengesankan sebesar 16 persen per tahunnya); pendaftaran sekolah menengah tingkat pertama bertambah lebih dari 100 kali lipat, dan sekolah menengah umum sekitar 228 kali lipat. Namun, dasarnya sangat kecil pada tahun 1976 yakni 13.500 anak sekolah dasar, 315 anak sekolah lanjutan tingkat pertama dan 64 anak-anak sekolah menengah umum. Pada tahun 1999, Timor Lorosae masih jauh tertinggal di belakang berbagai pencapaian pendidikan di bagianbagian lain Indonesia. Tingkat pendaftaran kotor di sekolah dasar hanya mencapai 95 persen, sekolah me nengah pertama 64 persen dan sekolah menengah umum 39 persen. Yang mungkin lebih bermakna, tingkat pendaftaran bersih (yakni proporsi kelompok usia yang mengikuti setiap jenjang pendidikan) hanya 74 persen untuk anak usia sekolah dasar, 36 persen anak usia sekolah menengah pertama, dan 20 persen anak usia sekolah menengah umum. 5.6 Banyak sekali ketidakefisienan pada struktur dan pendanaan pendidikan dan sistemnya tidak memenuhi kebutuhan orang miskin secara memadai. Pada tahun 1999, Indonesia merencanakan anggaran sebesar $11 juta dollar untuk pendidikan, setara dengan sekitar 2,9 persen dari GDP daerah yang diperkirakan dengan 35 persennya dialokasikan untuk pendidikan dasar, 27 persen untuk pendidikan menengah pertama; 17 pendidikan menengah umum; 7 persen untuk pendidikan tersier dan suatu jumlah yang relatif tinggi sebesar 9 persen untuk administrasi. Perbandingan siswa-guru relatif rendah dengan perbandingan 25:1 di sekolah dasar, 16:1 di sekolah menengah pertama dan 14:1 di sekolah menengah umum. Rata-rata yang sebanding untuk negara- negara berpenghasilan rendah sekarang adalah 41:1 di sekolah dasar dan 24:1 untuk seluruh sekolah menenga h pertama. Pengeluaran umum secara keseluruhan untuk pendidikan ditampung di Indonesia dengan membayar gaji guru yang relatif rendah. 1 Salah satu konsekuensi strategi ini adalah banyak sekali biaya-biaya tidak resmi di sekolah yang 1
Gaji guru rata-rata setara dengan $91 dollar per bulan sebelum krisis ekonomi tetapi hanya $20 per bulan sewaktu rupiah jatuh pada tahun 1988-99. Gaji guru rata-rata diperkirakan hanya 58 persen dari GDP per kapita.
63
dimaksudkan untuk menambah gaji guru. Hal ini mungkin telah berdampak terhadap kapasitas orang miskin untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka. Dapat dipertanyakan juga bahwa banyak sekolah yang terlalu kecil dan dengan demikian kurang efisien—khususnya sekolah-sekolah dasar—walaupun penduduk jarang, seperti di banyak bagian di Timor Lorosae, memang dalam hal ini merupakan masalah utama dan mengisyaratkan kebutuhan untuk mempertimbangkan beberapa pilihan yang melibatkan pengajaran multi-kelas di sekolah-sekolah kecil. 5.7 Pola ketidaksetaraan desa-kota terlihat jelas pada pendaftaran sekolah. Tingkat pendaftaran total utama di daerah pedesaan pada tahun 1999 adalah 73 persen, sekitar 16 poin persentase lebih rendah daripada di kawasan perkotaan. Demikian pula, tingkat pendaftaran bersih pedesaan sekolah menengah pertama adalah 33 persen, 34 poin persentase lebih rendah daripada untuk pusat-pusat perkotaan sementara tingkat sekolah menengah umum yang sebanding adalah 17 persen di daerah-daerah pedesaan, 23 poin persentase lebih rendah daripada di daerah-daerah perkotaan. Dengan demikian, bahkan pendidikan dasar universal masih jauh dari pencapaian, dan jumlah anak-anak usia sekolah dasar yang sangat besar di daerah-daerah pedesaan—lebih dari 25 persen—tidak berada di sekolah. Pada tingkat-tingkat pendidikan yang lebih tinggi, perbedaan antara kawasan perkotaan dan pedesaan lebih besar, dan secara absolut jumlah yang tidak berada di sekolah sangat signifikan. Sebagai contoh, tiga perempat dari anak-anak desa usia sekolah menengah pertama di kawasan pedesaan tidak berada di sekolah-sekolah menengah pertama. 5.8 Tingkat ketamatan sekolah sangat rendah, khususnya bagi orang-orang miskin dan wanita. Data survei Susenas Indonesia Timor Lorosae untuk tahun 1999 menunjukkan bahwa kurang dari 60 persen quintile yang termiskin yang terdiri dari pria berusia 16-18 tahun dan 47 persen wanit a telah tamat pendidikan dasar enam tahun, dan jumlah yang sebanding untuk pendidikan sembilan tahun sebesar 22 persen untuk pria dan 27 persen untuk wanita. Sebaliknya, 74 persen quintile yang terkaya yang terdiri dari pria dan 79 persen wanita telah tamat pendidikan enam tahun. Lima puluh tiga persen pria dan 48 persen wanita telah tamat pendidikan 9 tahun. Untuk kelompok penduduk yang lebih tua, tingkat pendidikan merosot secara dramatis, memperlihatkan fakta bahwa segala upaya pendidikan massal di Timor Lorosae adalah fenomena paska-1975. 5.9 Sebagai konsekuensi sejarah pembangunan pendidikan dan tingkat ketamatan yang rendah bahkan untuk kelompok anak belakangan ini, tingkat buta huruf tetap tinggi. Pada tahun 1997, kurang dari satu setengah jumlah penduduk dilaporkan tidak bersekolah. Survei Inter-census tahun 1995 juga menunjukkan bahwa tingkat buta huruf secara signifikan berbeda-beda antar daerah dengan beberapa melaporkan lebih dari 60 persen buta huruf dan bahwa 90 persen penduduk di atas 50 tahun dilaporkan buta huruf tetapi dengan hampir 25 persen usia 10-19 juga dilaporkan buta huruf. 5.10 Data-data ini menggarisbawahi fakta bahwa Timor Lorosae mulai dengan persediaan penduduk berpendidikan yang jumlahnya sedikit. Tingkat buta huruf tetap tinggi bahkan di antara kaum muda sekarang. Apabila digabungkan dengan fakta bahwa banyak sekali tenaga pengajar, staf kesehatan dan pamong praja secara umum— khususnya pengelolaan tingkat menengah dan atas—adalah warga Indonesia dan
64
sekarang telah pergi kembali ke negaranya, jelas bahwa persediaan guru dan kapasitas untuk menyediakan staf yang berkualitas untuk sistem kesehatan, pamong praja dan perusahaan swasta benar-benar terdesak. Sebagai contoh, pada tahun 1999 Timor Lorosae tercatat untuk 78 persen guru sekolah dasar, tetapi hanya 3 persen guru sekolah menengah pertama dan 8 persen guru sekolah menengah umum. Hanya tinggal kira-kira 30 dari 160 dokter yang semula menetap di Timor Lorosae setelah kerusuhan. Kesehatan 5.11 Dahulu, sistem kesehatan publik yang signifikan di luar beberapa daerah perkotaan tidak dibangun sebelum administrasi Indonesia me mperluas pengeluaran kesehatan. Sederetan ekstensif rumah-rumah sakit pemerintah, klinik-klinik dan pos-pos kesehatan dibangun di seluruh distrik dengan pegawai sekitar 160 dokter dan sekitar 2.000 perawat dan bidan. Gereja katolik, badan amal keagamaan lainnya, dan koperasikoperasi kopi juga membangun beberapa klinik dan rumah sakit kecil yang walaupun sedikit tapi penting. 5.12 Sekalipun adanya pembangunan infrastruktur kesehatan ini, telah terlihat banyak keterbatasan dalam hal keefektifannya dan relevansinya dengan kebutuhan kesehatan penduduk. Secara spesifik, banyak pelayanan kesehatan masyarakat tidak memadai dan terbatas—bahkan dalam penyediaan air bersih dan sanitasi. Hasil- hasil di bidang kesehatan dan status kesehatan penduduk Timor Lorosae selama tahun 1990-an masih kurang menggembirakan, dengan beban penyakit secara tidak proporsional menimpa orang miskin. 5.13 Harapan panjangnya umur rendah dan tingkat kematian bayi tinggi. Angka-angka dari PBB memperkirakan bahwa harapan panjangnya umur adalah di bawah 50 tahun pada tahun 1995 dan bahwa untuk anak di bawah 5 tahun, tingkat kematian untuk Timor Lorosae sangat tinggi, 201 per 1000 bayi lahir yang bertahan hidup. Survei Intersensus tahun 1995 memperkirakan bahwa tingkat kematian bayi adalah 78 per 1000 bayi lahir yang bertahan hidup. Sementara perkiraan lain menyatakan bahwa tingkat kematian di bawah 5 tahun adalah sekitar 124 per 1000 dan harapan panjangnya umur rata-rata pada saat lahir adalah 55-58 tahun, ada sedikit keraguan bahwa tingginya tingkat kematian bayi dan anak sangat tidak pantas. 5.14 Status kesehatan reproduksi penduduk tetap memprihatinkan. Hanya 22 persen kelahiran pada tahun 1998 yang ditangani oleh dokter atau bidan sementara sebagian besar dibantu oleh anggota keluarga. Dengan demikian wanita pada usia melahirkan menghadapi bahaya yang cukup besar sebagai akibat perawatan pra-kelahiran dan paskakelahiran yang tidak memenuhi syarat dan/atau kurangnya kemauan untuk mencari perawatan bila tersedia. Walaupun sulit untuk dicatat, jelas bahwa tingkat kematian ibu sangat tinggi dan bahwa banyak ibu mati sia-sia karena melahirkan. Data Survei Rumahtangga Demografi Indonesia menunjukkan bahwa tingkat prevalensi kontraseptif adalah 27 persen (dibandingkan dengan 57 persen untuk seluruh Indonesia) dan bahwa tingkat kesuburan total (jumlah kelahiran yang diharapkan dari setiap wanita) adalah 4,43 (dibandingkan dengan 2,78 untuk seluruh Indonesia. Tingkat alami pertambahan penduduk diperkirakan berada pada tingkat yang relatif tinggi, 2,2 persen per tahun—
65
walaupun jumlah bersih penduduk yang beremigrasi-ke luar maupun konflik menekan tingkat pertumbuhan penduduk secara keseluruhan. 5.15 Beban penyakit yang dapat dicegah dan menular/dibawa oleh hewan amat signifikan dan merugikan produktivitas serta kualitas kehidupan. Walaupun data mengenai penyakit-penyakit yang masih ada terbatas, ternyata prevalensi penyakitpenyakit yang dapat dicegah tetap signifikan—walaupun program imunisasi telah mengurangi beban penyakit yang berkaitan dengan enam penyakit anak-anak yang berhubungan dengan program tersebut. Sekalipun demikian, penjangkitan penyakit dari kelompok penyakit ini tidak jarang, dan target WHO untuk 80 persen imunisasi tidak tercapai atau tidak dapat dipertahankan. Malaria dan TB merupakan dua penyakit khusus yang paling serius di negara ini dengan malaria yang menjadi penyebab 65 persen dari semua kunjungan baru rawat jalan ke fasilitas-fasilitas kesehatan pemerintah pada tahun 1998 untuk anak-anak usia sekolah (5-14 tahun) dan 50 persen penduduk usia kerja (1544 tahun). TB bertanggung jawab atas jumlah yang mengejutkan sebesar 25 persen kunjungan rawat jalan baru di antara penduduk usia kerja dan 46 persen penduduk berusia 45 tahun ke atas. 5.16 Meskipun demikian, sistem kesehatan kurang dimanfaatkan. Jumlah kunjungan rawat jalan per kapita setiap tahun hanya lebih dari satu—termasuk rendah menurut standar internasional—dan menunjukkan jumlah yang sangat rendah (kurang dari lima) kunjungan rawat jalan per anggota staf setiap hari yang bekerja pada sistem kesehatan. Seperti yang diperkirakan, pengguna sistem kesehatan yang paling banyak adalah orangorang yang sangat muda dan yang sudah berumur. 5.17 Jumlah permintaan keseluruhan yang rendah untuk pelayanan kesehatan, menandakan suatu sistem kesehatan yang tidak bekerja dengan baik. Suatu kelompok kerja, berkaitan dengan Missi Penilaian Bersama pada bulan Januari 2000 membuat observasi berikut ini mengenai efek sistem Indonesia: “Fasilitas atau pelayanan yang tersedia di Timor Lorosae didasarkan pada suatu standar yang kurang sesuai dengan kebutuhan penduduk, situasi dan/atau kesanggupan lokal untuk pemeliharaan… Peninggalan ini terlihat pada rasio fasilitas yang tinggi terhadap penduduk yang dilayani serta adanya fasilitas yang kurang penting atau terlalu mahal untuk dipelihara.” Laporan ini melanjutkan: “Sistem yang sangat tersentralisasi ini mempekerjakan terlalu sedikit orang Timor Lorosae di tingkat pengelolaan dan pengambilan-keputusan (tingkat provinsi), yang berakibat pada kekurangan kapasitas pengelolaan kesehatan yang cukup besar. Sebaliknya, jumlah dokter di lapangan yang amat sedikit berarti lebih banyak para profesional kesehatan junior Timor Lorosae (khususnya perawat dan bidan) dipekerjakan pada fasilitas- fasilitas kesehatan, yang kemudian menyulut kebutuhan untuk cepat menghasilkan personel tingkat paramedik yang berakibat pada kapasitas-berlebih saat ini. ”Kepergian manajemen senior Indonesia dan paling sedikit 130 dari 160 dokter juga berarti bahwa suatu model sistem kesehatan yang berbeda diperlukan di Timor Lorosae.
66
STRATEGI TRANSISIONAL 5.18 Administrasi transisi dan kelompok donor telah menyepakati prioritas yang sangat tinggi untuk pengembangan sumber daya manusia. Disadari bahwa pendidikan yang rendah dan cakupan kesehatan serta hasil yang dicapai merupakan akibat tingkat pengeluaran umum untuk pendidikan dan kesehatan yang rendah sebelumnya, ketidakefisiensian dalam pengalokasiannya, dan ketidaksanggupan rumahtanggarumahtangga untuk menanggung biaya-biaya pribadi pendidikan. Kebutuhan untuk melakukan pembayaran biaya-biaya tak terduga untuk pelayanan perawatan kesehatan dan kurangnya kepercayaan penduduk terhadap sistem kesehatan yang didominasi Indonesia kemungkinan juga menjadi penyebab rendahnya pemanfaatan fasilitas- fasilitas kesehatan pemerintah. Seperti yang ditunjukkan di Tabel 5.1, pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan kini sebanding dengan negara- negara yang memiliki tingkat pendapatan serupa dengan Timor Lorosae. Pendidikan 5.19 Dasar strategi transisional untuk pendidikan adalah untuk: (a) mulai kembali penyekolahan sesegera mungkin; (b) memperbaiki infrastruktur pendidikan yang akan diperlukan untuk sistem pendidikan paska kemerdekaan yang diperbaharui; dan (c) mulai menangani kebijakan strategi besar-besaran dan isu pembebasan yang berhadapan dengan sistem pendidikan termasuk kebutuhan untuk berurusan dengan tiga tujuan yang saling bersaing: (i) memperluas pendaftaran sekolah dasar untuk mencakup anak-anak yang tidak bersekolah (seperempat dari total pedesaan yang tidak proporsional, orang-orang miskin wanita dan perkotaan) sambil dengan bijaksana memperbaiki kapasitas pendidikan pada tingkat-tingkat yang lebih tinggi; (ii) meningkatkan kualitas pendidikan (termasuk reformasi kurikulum yang terlalu padat sambil memperkena lkan bahasa pengantar baru); dan (iii) membuat kerangka pembiayaan publik berkelanjutan untuk pendidikan. 5.20 Sementara pengelolaan data dan informasi tetap menjadi masalah dalam kekacauan transisi, pemulihan persekolahan berhasil dengan luar biasa sebagai hasil tanggapan awal yang cepat oleh lembaga- lembaga internasional (khususnya UNICEF), dan masyarakat internasional umumnya yang selanjutnya mendukung upaya-upaya UNTAET untuk membangun kembali persekolahan. Perkiraan statistik pendidikan pokok disampaikan di Tabel 5.2 untuk tahun 1998 dan 2000 untuk membandingkan situasi sebelum dan setelah referendum.
67
Tabel 5.1: Perbandingan Pengeluaran Per Kapita untuk Kesehatan dan Pendidikan Seluruh Negeri GNP per kapita. $US
Pengeluaran untuk kesehatan per kapita $US
Pengeluaran untuk pendidikan per kapita $US
400
9.5
21.5
Negara berpenghasilan lebih tinggi Filipina 1050 Georgia 970 Sri Lanka 810 Cina 750 Côte d'Ivoire 700 Indonesia 640 Kamerun 610
15 7 12 14 9 3 6
36 52 28 17 35 9 18
Negara berpenghasilan serupa Guinea Azerbaijan Pakistan Armenia India Vietnam Uganda Nigeria
7 6 4 11 2 1 5 3
10 14 13 9 14 11 8 2
1 1 3 1 2
8 6 7 6 4
Timor Lorosae (hanya CFET)
530 480 470 460 440 350 310 300
Negara berpenghasilan lebih rendah Kamboja Rwanda Nepal Burundi Etiopia
260 230 210 140 100
Sumber: UNTAET/Dokumen latar belakang Bank Dunia untuk Pertemuan Donor di Canberra mengenai Timor Lorosae
Tabel 5.2: Statistik Pendidikan Pokok Sebelum dan Setelah Referéndum (Publik dan Swasta) Sekolah
1998 Taman Kanak-kanak
Murid
2000
1998
2000
Total
Guru
Semua
Guru
Orang Timor
Guru Guru Guru Guru Timor Timor Lorosae Lorosae. 2000 1998 1998 2000
1998
1998
Siswa/
Siswa/
Siswa/
64
na
4,502
na
330
na
na
14
-
-
Sekolah Dasar
788
674
167,181
188,900
6,672
5,172
3,000
25
32
63
Sekolah Menengah Pertama Sekolah Menengah Umum Sekolah Menengah Kejuruan Lain-lain (termasuk Universitas) Total
114
103
32,197
29,586
1,963
65
884
16
495
33
37
34
14,626
10,007
1,059
87
583
14
168
17
17
na
4,347
na
478
55
na
9
79
na
7
1
5,166
na
338
128
na
15
40
na
1027
812
228,019
228,493
10,840
5,507
4,579
21
41
50
Sumber: Angka-angka pada tabel ini diambil dari berbagai sumber, termasuk laporan Missi Penilaian Gabungan pada bulan November 1999 dan Timor Lorosae pada Angka-angka tahun 1997 (1998) untuk statistik pra-referendum, dan perkiraan dari Kantor Pendidikan Distrikk di Timor Lorosae untuk data setelah bulan Oktober 2000.
68
5.21 Sejumlah poin yang timbul dari strategi transisional layak disebutkan. Pertama, jumlah pendaftaran untuk sistem tersebut secara keseluruhan dengan cepat pulih dengan pendaftaran sekolah dasar naik drastis di atas tingkat pra-kerusuhan. Meskipun demikian pendaftaran di sekolah menengah pertama dan menengah umum belum mencapai tingkat pra-kerusuhan. Hal ini diharapkan karena persediaan guru yang berkualitas terbatas pada tingkat menengah dan fakta bahwa bangunan-bangunan sekolah menengah memerlukan investasi yang besar untuk membangun kembali. 5.22 Kedua, data pendaftaran sekolah dasar yang terpisah-pisah menunjukkan peningkatan telah terjadi pada semua kelas. Terdapat peningkatan pendaftaran pada kelas 1—sekitar 50 persen—umumnya akibat kebijakan untuk membuat semua murid kelas pertama tahun 1999 mengulang di kelas 1 pada tahun 2000. Walaupun survei-survei lapangan memperlihatkan bahwa kebijakan ini tidak selalu dijalankan, terlihat pula peningkatan nyata pada pendaftaran kelas 1, dan pendaftaran bersih pada kelas 1 telah meningkat dramatis. Diperkirakan juga bahwa penghapusan biaya dan persyaratan untuk memiliki seragam sekolah telah mengurangi biaya-biaya pribadi pendidikan, menghasilkan respons permintaan positif. Lebih jauh, administrasi transisi juga telah mencoba mengembangkan lingkungan pengajaran dengan memastikan adanya input peningkatan kualitas termasuk buku pelajaran dan materi pembelajaran lainnya. Ini sangat berbeda dengan masa lalu. Di bawah sistem Indonesia terjadi penurunan drastis pada pendaftaran di kelas-kelas yang lebih tinggi—antara lain Karena berbagai kendala di tempat-tempat sekolah paska tingkat sekolah dasar—tetapi juga akibat ketidakefisiensian internal. Mungkin saja bahwa tingkat pendaftaran bersih sekarang telah mencapai 90 persen—suatu pencapaian yang luar biasa jika telah diraih dan dapat dipertahankan. 5.23 Ketiga, dapat dipikirkan juga bahwa, sebagai akibat prestasi-prestasi ini oleh administrasi transisi, tidak akan ada kebutuhan untuk secara signifikan memperluas kapasitas sekolah dasar (dan dengan demikian juga jumlah guru, kecuali ada keputusan untuk mengurangi rasio siswa- guru--lihat bawah) melebihi tingkat pertumbuhan populasi pelajar. Dua surat protes terhadap hal ini telah diperhatikan. Kegiatan pemetaan sekolah yang sekarang hampir selesai dapat memperlihatkan daerah-daerah yang masih membutuhkan pelayanan. Dan kapasitas keseluruhan perlu ditambah jika jumlah siswa pengulang yang signifikan di setiap tingkat terus ada. Informasi pengelolaan perlu dikumpulkan, dipantau dengan hati- hati dan kebijakan-kebijakan perlu dikembangkan untuk meningkatkan efisiensi internal persekolahan. 5.24 Keempat, upaya besar-besaran telah dibuat untuk menghapus hal- hal yang paling tidak efisien pada sistem Indonesia lama. Terdapat suatu peningkatan yang dramatis pada rasio siswa terhadap guru sementara pemberian upah guru (dan pegawai pemerintah lainnya) bertambah dibandingkan dengan tingkat Indonesia. Ini memungkinkan pengurangan jumlah guru dan penambahan upah mereka dan tetap mengurangi daftar gaji keseluruhan. Awalnya, rasio siswa-guru bertambah dari 25:1 menjadi 63:1; rasio sekolah menengah pertama dari 16:1 menjadi 33:1; dan sekolah menengah umum dari 14:1 menjadi 17:1. Untuk keseluruhan sistem tersebut, jumlah guru berkurang dari 10.840 menjadi 4.579. Jumlah guru sekolah dasar berkurang dari 6.672 menjadi 3.000. Respons pendaftaran yang cepat merupakan sukses dramatis bagi administrasi transisi. Namun 69
disadari bahwa rasio siswa-guru—khususnya di sekolah-sekolah dasar—sudah terlalu tinggi untuk menopang sebuah pendidikan yang berkualitas dan bahwa dibutuhkan lebih banyak guru dengan biaya anggaran yang signifikan. Dengan demikian anggaran 2000-01 menyediakan tambahan 1.000 guru untuk menurunkan rasio siswa-guru khususnya di tingkat dasar, dan anggaran 2001-02 juga menyediakan penambahan guru dalam jumlah sedang. 5.25 Kelima, Timor Lorosae menghadapi kekurangan guru yang terlatih—khususnya pada tingkat menengah pertama dan umum yang hanya memiliki sekitar 5 persen guru orang Timor. Sudah ada upaya serius untuk menyeleksi guru- guru dari kelompok guru sekolah dasar Timor Lorosae berdasarkan test nasional yang menguji pengetahuan tentang isi dan pedagogi kurikulum. Pada tingkat sekolah menengah umum, kekurangan ketrampilan telah memperlihatkan dengan jelas bahwa guru- guru harus diseleksi dari lulusan universitas yang berminat, orang-perorangan yang telah menyelesaikan bagian yang cukup banyak dari program universitas (5-6 semester) atau guru-guru sekolah dasar yang berhasil dengan baik dalam test sekolah dasar. Belum semua lowongan terisi karena berbagai kendala ini. Guru adalah satu faktor tunggal yang paling penting untuk menentukan kualitas pendidikan maka sangat penting untuk mempekerjakan guru-guru yang paling baik yang mungkin ada. Kendala-kendala ketrampilan sangat menuntut adanya program pelatihan dalam-pelayanan dan peningkatan kapasitas guru baru— khususnya untuk sekolah-sekolah menengah. Mungkin sekali sumber daya tambahan akan diperlukan untuk hal ini: jumlah guru melebihi 50 persen dari jumlah karyawan sektor publik dan gaji mereka mengambil 75 persen dari pengeluaran publik yang berulang untuk pendidikan. Dengan demikian, produktivitas dan efisiensi mereka dalam penempatan akan berdampak secara signifikan pada kualitas pengeluaran publik secara keseluruhan. Kesehatan 5.26 Inti strategi transisi untuk kesehatan adalah: (a) segera mengadakan kembali penyediaan perawatan kesehatan yang esensial—khususnya pada tingkat sub-distrik di mana sebagian besar anggota masyarakat dapat memperoleh pelayanan; (b) mengadakan kembali pelayanan rawat- inap yang esensial (perawatan rumah sakit); (c) mengadakan kembali wewenang kesehatan pusat yang akan menjadi Kementerian Kesehatan negeri tersebut; dan (d) pembangunan kapasitas sumber daya manusia dalam bidang kesehatan. Yang terpenting, sejak permulaan baik pejabat Timor Lorosae maupun para donor menyadari adanya kebutuhan: (i) mengembangkan suatu kebijakan kesehatan sesegera mungkin untuk menyediakan kerangka bagi pemberian pelayanan kesehatan secara berkelanjutan (dan untuk menjamin bahwa rekonstruksi sistem kesehatan yang telah diubah tidak akan menghalangi reformasi kesehatan yang diperlukan); (ii) untuk input pengelolaan dan teknis (khususnya dokter) akan disediakan dari sumber-sumber luar selama periode transisi tersebut; dan (iii) agar para donor bekerja dengan pemerintah dalam kerangka pendekatan seluas sektor terhadap penyusunan program dan pendanaan kesehatan. Pendekatan seluas sektor tersebut dirancang untuk bekerja pada dua tingkat yang saling berkaitan: (a) untuk memungkinkan penetapan kebutuhan yang berlaku secara menyeluruh—pemberian pelayanan, rehabilitasi infrastruktur kesehatan, pengembangan sistem kesehatan dan kebijakan kesehatan; dan (b) mengkoordinasi 70
pendanaan donor pada sektor tersebut dan dukungan dari lembaga- lembaga teknis PBB dalam mendukung program yang disetujui. 5.27 Konsisten dengan strategi transisi, upaya awal berfokus pada: (i) meningkatkan akses ke pelayanan pencegahan dan perawatan penyembuhan pada tingkat pertama— termasuk dukungan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi infrastruktur rusak yang berlokasi di pusat-pusat penduduk yang cocok; (ii) pembangunan ulang hanya lima dari kira-kira dua puluh rumah sakit di bawah administrasi Indonesia yang ditempatkan secara strategis di seluruh negeri—meskipun hanya sementara dan secara signifikan mengurangi jumlah tempat tidur menunggu pengembangan strategi rekonstruksi rumah sakit; (iii) membangun toko obat-obatan otonom untuk mengelola pembelian dan logistik obatobatan dan persediaan pokok untuk sistem kesehatan tersebut; dan (iv) memulai suatu proses pengembangan kebijakan ksehatan dalam Divisi Dinas Kesehatan yang baru terbentuk. 5.28 Dari sudut pandang perencanaan, yang ditekankan adalah program kesehatan preventif—khususnya kegiatan-kegiatan yang dimaksudkan untuk menambah pengetahuan penduduk mengenai perawatan kesehatan pribadi dan pelayanan yang akan disediakan oleh sistem kesehatan tersebut. Strategi ini diberikan untuk mempercepat kegiatan-kegiatan berprioritas tinggi yang terseleksi, termasuk imunisasi, pengendalian TB, perawatan klinis dasar (termasuk penanganan malaria), dan pengembangan mekanisme referral (rujukan) untuk penanganan gawat darurat termasuk persalinan yang sulit. Ini akan disediakan melalui fasilitas kesehatan yang ditempatkan dan direhabilitasi dengan strategis serta klinik-klinik berjalan dan dipadukan dalam sebuah paket pelayanan dasar—yang memanfaatkan banyak sekali keahlian teknis dari lembaga- lembaga perwakilan teknis PBB (khususnya WHO, UNICEF dan UNFPA) dan beberapa Ornop khusus. 5.29 Pelaksanaan strategi transisi ini, paling tidak pada awalnya, didasarkan pada persetujuan strategis dengan sejumlah Ornop internasional yang memasuki Timor Lorosae selama periode darurat (sebagian besar dengan biaya ECHO dari Komisi Eropa) untuk tinggal dan mengambil langkah awal guna pemberian pelayanan di tingkat distrik dan untuk pengelolaan rumah-rumah sakit. Susunan staf fasilitas kesehatan dibayar dengan gaji tetap dari anggaran CEFT sampai maksimum 1087 staf Timor Lorosae seraya menunggu perekrutan staf resmi oleh DHS. Sehubungan dengan pendidikan, batas tertinggi jumlah staf secara dramatis mengurangi jumlah staf dalam sistem kesehatan yang telah diubah dan tingkat gaji rata-rata juga bertambah. Obat-obatan dan peralatan penting juga disediakan dengan memadai dalam anggaran CEFT yang berlaku sejak awal. M ENUJU K ERANGKA JANGKA M ENENGAH 5.30 Gabungan anggaran sumber untuk TA02 dan proyeksi ke depan bagi anggaran operasi (CEFT) untuk periode sampai dengan TA05 telah mengambil sejumlah langkah penting untuk menempatkan anggaran tersebut dalam kerangka pengeluaran publik jangka menengah meskipun menghadapi ketidakpastian dalam hal pengeluaran dan pendapatan. Khususnya untuk bidang sosial, proyeksi anggaran CEFT yang berjalan mencoba untuk memperhitungkan fakta bahwa: (i) pertumbuhan penduduk diharapkan 71
sekitar 2 persen per tahun; (ii) beberapa kelonggaran telah dibuat untuk peralatan besar dan program pemeliharaan bagi infrastruktur yang menjadi bagian dari upaya rekonstruksi; (iii) ada banyak pengeluaran penting dan berkelanjutan yang saat ini didanai dari anggaran lain yang dibiayai oleh donor (termasuk TFET, proyek-proyek bilateral dan program bantuan teknis) dan (iv) tingkat susunan staf saat ini membutuhkan beberapa penyesuaian untuk meningkatkan kefektifan pemberian pelayanan dan, dalam hal pendidikan, perluasan sistem paska pendidikan dasar. 5.31 Namun, masih terdapat ketidakpastian, apakah seluruh tekanan jangka menengah pada anggaran pendidikan dan kesehatan—yang merupakan 38 persen dari anggaran CFET sebesar $65 juta—telah diamankan sebagaimana dibicarakan di bawah. Ini memunculkan poin penting mengenai pengembangan proses perencanaan anggaran di masa depan. Penting agar suatu proses perencanaan pengeluaran publik yang stabil memiliki mekanisme yang mendorong penetapan prioritas dan penelitian anggaran—baik oleh instansi lini (misalnya pendidikan atau kesehatan) maupun oleh instansi- instansi pusat (instansi- instansi yang bertanggungjawab atas keuangan, perencanaan dan pengambilan keputusan kebijakan mengenai personel). Penting juga adaya hubungan kerja profesional yang erat antara instansi- instansi pusat dengan instansi- instansi lini dalam proses ini, dan agar proses penganggaran tidak menjadi proses kenaikan gaji atau tawar-menawar seenaknya. 5.32 Perlu suatu kesepakatan bahwa sumber-sumber daya—baik yang utama maupun yang berulang akan dialokasikan untuk memenuhi berbagai tujuan kebijakan-kebijakan spesifik yang disepakati. Titik awalnya adalah bahwa biaya pelaksanaan suatu kebijakan spesifik dengan cara yang paling efektif dari segi biaya perlu ditentukan sebagai dasar suatu keputusan mengenai apakah harus memasukkan kebijakan atau kegiatan tersebut dalam anggaran atau tidak. Proses anggaran tersebut hendaknya berfokus pada implikasi (hasil) pemberian sedikit atau banyak dukungan terhadap kebijakan yang dibiayai dan bukannya pada penguranga n (atau penambahan) “yang berlaku secara menyeluruh” dengan sewenang-wenang terhadap input-input spesifik (misalnya staf, buku pelajaran, obat-obatan, dsb). Sejumlah persyaratan perlu dipenuhi untuk memungkinkan bekerjanya proses ini: •
•
•
72
Instansi lini bersama dengan instansi pusat perlu memiliki strategi sektor yang disepakati yang menetapkan prioritas program (misalnya komitmen untuk pendidikan dasar universal, dan prioritas untuk pendidikan menengah dan tersier; atau program kesehatan masyarakat dan prioritas perawatan penyembuhan di rumah sakit) dalam cakupan sumber daya yang praktis dan dapat berkelanjutan. Cakupan sumber daya yang luas perlu ditetapkan oleh instansi pusat berkonsultasi dengan instansi lini dan disepakati serta dimengerti oleh seluruh pihak sebagai suatu mekanisme untuk mendorong penetapan prioritas—pada awalnya oleh instansi lini. Dalam kasus Timor Lorosae, dengan banyak sumber dana dari sederetan donor, penting agar para donor mendukung strategi sektor milik pemerintah. Walaupun ini merupakan proses yang dinegosiasi, penting agar seluruh biaya kebijakan atau program—dana utama yang mungkin dibiayai oleh donor, dan dana berulang yang akhirnya akan menjadi tanggung jawab pemerintah—tercermin sepenuhnya
dalam anggaran saat ini dan anggaran ke depan sebagai bagian dari proses persetujuan. Kegagalan untuk melakukan hal tersebut dapat secara signifikan menyebabkan distorsi terhadap prioritas-prioritas sektor. 5.33 Sebagaimana telah dibicarakan, dengan persetujuan semua donor dan administrasi transisi, program kesehatan yang telah dinyatakan dari awal untuk menggunakan “pendekatan programatik ” ini dengan keyakinan bahwa suatu program yang memadukan semua sumber pembiayaan dan memiliki satu set target pelayanan yang meliputi semua sumber akan meningkatkan kefektifan pengeluaran. Tentu saja, manajemen sektor kesehatan sudah mengalami bahwa ini merupakan alat pengelolaan dan perencanaan yang sangat berguna. Para donor telah bekerja secara kooperatif dengan pemerintah untuk mengembangkan dan melaksanakan suatu strategi transisi yang memerlukan suatu pengurangan besar (sekitar $6-7 per kapita) dalam pengeluaran kesehatan operasional seraya juga berfokus pada kebijakan dan prioritas kesehatan strategis yang sedang dikembangkan sebagai bagian suatu proses pengembangan kebijakan kesehatan nasional. Program pendidikan, melalui TFET, kini mendukung proses pengembanga n kebijakan yang dapat membentuk dasar untuk memulai suatu pendekatan seluas sektor atau pendakatan programatik. Pembentukan Komisi Perencanaan baru-baru ini juga dapat memudahkan pendekatan semacam ini di bawah kepemimpinan pemerintah. 5.34 Juga terdapat kebutuhan untuk memfokuskan perhatian pada seluruh proses manajemen sumber daya—tidak hanya pada proses penganggaran. Instansi- instansi perlu membuat dan melaksanakan rencana kegiatan reguler untuk melaksanakan kebijakan yang telah disepakati, menjamin penyediaan sumber daya yang tepat waktu untuk kegiatan-kegiatan ini, mengelola arus dana dan uang tunai, dan memastikan bahwa mekanisme akunting dan pengauditan serta proses pengadaan telah siap. Di masa lalu, hal ini tidak begitu diperhatikan dibanding proses penganggaran. Akan tetapi, manajemen sektor umum yang sehat membutuhkan mekanisme pertanggungjawaban yang jelas dan transparan. Ini mencakup pengeluaran yang dikonsolidasi dan diaudit yang hendaknya disampaikan kepada DPR tiap tahun dan terlebih dahulu harus dibahasa dan ditinjau secara terbuka. Hal ini khususnya memerlukan komite keuangan publik Kementerian atau departemen untuk meninjau prosedur dan hasil- hasil pengelolaan keuangan dan untuk memberikan pertanggungjawaban kepada DPR mengenai penggunaan pengeluaran. 5.35 Hal ini memerlukan staf yang ahli dalam instansi pusat maupun lini serta kerjasama dengan para donor. Sewaktu instansi lini individual atau donor membuat keputusan yang keliru yang dapat secara potensial menyebabkan distorsi terhadap alokasi sumber daya domestik (misalnya membangun rumah sakit baru atau memperluas program universitas di luar kerangka kebijakan yang disepakati), ketrampilan perencanaan, penganggaran dan pengelolaan keuangan sangat kurang. Perhatian yang signifikan perlu diberikan untuk mengembangkan kapasitas ini, sebagian besar harus dipelajari melalui pengalaman. Bahkan di Kementerian Kesehatan, yang memiliki reputasi bagus dalam mengatasi problem-problem seperti ini jauh lebih baik daripada yang lain, pengelolaan strategis proses anggaran sebagian besar berada di tangan orangorang asing, meskipun adanya upaya-upaya yang signifikan untuk memasukkan orang Timor Lorosae ke dalam proses.
73
5.36 Para pengelola program kesehatan Timor Lorosae, sama dengan kebanyakan pengelola pada dinas sipil, merupakan orang baru dalam bidang manajemen. Mereka telah berfokus dengan tepat pada pengembangan dan pengaturan pelaksanaan hari per hari dari program kerja bergilir selama tiga bulan, dan, dalam konteks keadaan-keadaan yang berubah dengan cepat, perlu menyesuaikan rencana kegiatan secara konstan. Dalam jangka pendek, ini akan menjadi perealisasian manajemen, maka penting juga agar sistem tersebut tidak menghancurkan dirinya sendiri. Salah satu pilihan adalah mengupayakan hal ini sejak awal pada area pemerintah yang menyatakan peningkatan yang cepat dalam sumber daya domestik atau yang menerima bantuan proyek yang diberi dana besar oleh donor. Persoalan Jangka Menengah yang Dihadapi Sektor Pendidikan 5.37 Administrasi transisi, dengan dukungan para donor, telah menyetujui prioritas yang sangat tinggi untuk pembiayaan pendidikan secara publik. Anggaran sumber gabungan tahun 2001-02 untuk pendidikan mengantisipasi pengeluaran sebesar $54.6 juta yang merupakan kira-kira 19 persen dari pengeluaran publik total. Ini merupakan pertambahan sebesar 18 persen di atas seluruh anggaran sumber tahun 2000-01 untuk pendidikan. Pengeluaran tersebut dibiayai oleh: (i) dana CFET untuk anggaran operasi sebesar $16.9 juta (31 persen dari total) hingga 26 persen dari $13.4 juta pada tahun 2000-01; (ii) dana TFET sebesar $13.8 juta (24 persen dari total) yang diperlukan untuk rekonstruksi dan pengembangan sistem pendidikan dasar dan menengah pertama; (iii) pembiayaan bilateral sebesar $23.7 juta (43 persen dari total) tiga perempat dari antaranya diberikan untuk pelatihan tingkat tersier termasuk beasiswa luar negeri dan pengembangan universitas ($17.5 juta atau 32 persen dari pengeluaran total untuk pendidikan); dan (iv) $1 juta dari Kontribusi Yang Dinilai oleh PBB (2 persen dari total). Pola keseluruhan pengeluaran donor bilateral yang mendukung pendidikan—dengan kecenderungan yang sangat menguntungkan bagi sektor tersier untuk tahun 2001-02— serupa dengan tahun 2000-01, dan program-program prospektif tidak menunjukkan tanda-tanda perubahan. 5.38 Salah satu pertanyaan kebijakan yang sangat penting adalah seberapa cepat mengembangkan setiap tingkat pendidikan (dasar, menengah, tersier), mengingat kendala sumber daya secara keseluruhan yang dihadapi negara ini, persediaan guru berkualitas yang sangat terbatas (khususnya pada tingkat paska sekolah dasar) dan manfaat relatif dari pendidikan yang diperluas terhadap perekonomian, masyarakat dan orangperorangan. Bukti internasional menunjukkan bahwa manfaat sosial dari pendidikan dasar universal 9 tahun (yang di Timor Lorosae memaksudkan pendidikan dasar dan menengah pertama) sangatlah tinggi—khususnya lebih tinggi dari setiap investasi lain oleh pemerintah. Masyarakat dan angkatan kerja yang melek huruf dan melek angka lebih mampu untuk menyesuaikan diri dengan keadaan ekonomi yang terus berubah dan meningkatkan produktivitas—bahkan pada pekerjaan pertanian tradisional. Lebih umum lagi, masyarakat mendapat banyak manfaat sosial lain dari pendidikan dasar universal melalui kesehatan yang meningkat dan perilaku lebih sehat sehat dengan akibat berkurangnya angka kematian bayi dan anak, jarak kelahiran yang lebih jauh, keluarga yang lebih kecil dan angka kematian ibu yang lebih rendah. “Suara” individu dalam masyarakat juga bertambah. Suatu masyarakat yang melek huruf lebih sanggup untuk 74
berpartisipasi dalam pemerintahannya sendiri dan pembangunan lembaga- lembaga demokratis. Harus ada komitmen yang menjamin bahwa semua anak-anak menyelesaikan paling tidak sekolah dasar karena itu merupakan prioritas nomor satu pendidikan, dan itu dapat dicapai pada tahun pertama kemerdekaan. 5.39 Akan lebih sulit bagi Timor Lorosae untuk meraih pendidikan menengah tingkat pertama universal dalam jangka menengah. Implikasinya adalah kebutuhan akan investasi modal senilai kira-kira $30 juta melebihi dan di atas program yang dibiayai saat ini serta tambahan sebesar $2.5 juta (dengan asumsi rasio siswa- guru 40:1) dalam anggaran operasi di atas $2.7 juta saat ini. Lebih jauh, kendala yang mengikat mungkin adalah persediaan guru-guru yang terlatih. Bila digabung dengan permintaan akan sumber daya manusia dalam bidang kesehatan dan jabatan pegawai pemerintah lainnya, bisa jadi terdapat kebutuhan untuk pengembangan kapasitas sekolah menengah pertama dan menengah umum secara bersahaja untuk menyediakan masukan bagi program pelatihan yang diperlukan. 5.40 Menurut kuantitas permintaan tahunan yang diperkirakan bagi lulusan sekolah menengah umum (untuk pekerjaan langsung dan untuk pendidikan lebih lanjut), besar kemungkinan bahwa mempertahankan tingkat kelanjutan saat ini antara sekolah menengah pertama dan menengah umum dalam jangka menengah adalah tindakan yang tepat. Ini memerlukan perluasan kapasitas secara bersahaja untuk sekolah menengah umum dan biaya sekitar $5-8 juta pada lima tahun berikut dan biaya berulang tambahan pada akhir periode sebesar $0.6 juta per tahun. Namun, untuk jangka pendek perluasan pendidikan menengah umum bukanlah prioritas. Yang lebih penting adalah upaya-upaya untuk meningkatkan ketrampilan dan kompetensi tenaga pengajar. 5.41 Pendidikan tersier, dalam semua bentuknya, memberikan tantangan pendidikan yang terbesar untuk Timor Lorosae. Jumlah orang perorangan yang kembali ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi di Timor Lorosae (serupa dengan di sebagian besar negara) sangat tinggi. Suatu perkiraan Bank Dunia untuk jumlah perorangan yang kembali ke pendidikan tersier di Timor Lorosae dibandingkan dengan “yang tidak mengenyam pendidikan sama sekali” melebihi 100 persen tidak lama sebelum kerusuhan. 2 Kemudian, upah karyawan trampil meningkat tinggi dan Timor Lorosae dapat memperkirakan akan menghadapi defisit ketrampilan yang besar untuk suatu jangka waktu sebagai akibat kepergian pegawai trampil Indonesia. Hal ini akan memberikan tekanan yang berlanjut pada upah karyawan trampil dan berarti jumlah perorangan yang kembali ke pendidikan akan bertambah secara signifikan dan bertahan untuk beberapa waktu, dibantu oleh penghapusan uang sekolah. Ini akan menimbulkan permintaan perorangan (dan politik) yang kuat untuk akses ke tingkat pendidikan ya ng tinggi dan lebih tinggi lagi. Dengan demikian, pengajuan ulang biaya sekolah—paling tidak bagi keluarga-keluarga yang mampu—dapat dibenarkan. 5.42 Akan tetapi, masyarakat yang kembali ke pendidikan tersier (yakni manfaat untuk perekonomian secara keseluruhan) dalam jangka menengah hingga jangka panjang akan jauh lebih rendah daripada yang kembali ke pendidikan dasar dan menengah tingkat 2
Proyek Do kumen Penilaian terhadap Proyek Mutu Sekolah Dasar, September, 2001 Lampiran 2.
75
pertama. Masyarakat yang kembali ke pendidikan di Timor Lorosae sebelum kerusuhan diperkirakan sebesar 7 persen untuk sekolah dasar, 10 persen untuk sekolah menengah (termasuk sekolah menengah umum) dan hanya 2 persen untuk pendidikan tersier. Ini sesuai dengan pola relatif masyarakat yang kembali ke pendidikan, yang diamati secara internasional. 5.43 Akan tetapi, untuk jangka pendek Timor Lorosae menghadapi kendala ketrampilan yang serius. Sebagai akibatnya, jumlah masyarakat yang kembali ke pendidikan tersier dalam jangka pendek mungkin akan sangat tinggi (sebagai salah satu manfaat besar yang bertambah dari “tabungan” pada gaji orang-orang asing dibandingkan dengan struktur gaji dalam negeri). Namun, jumlah masyarakat saat ini yang kembali ke pendidikan tersier hendaknya tidak dimanfaatkan untuk dengan segera memperluas pendidikan tersier. Terdapat kebutuhan untuk mengambil perspektif jangka panjang— paling sedikit 10 hingga 15 tahun—untuk dapat membenarkan tingkat perluasan pendidikan tersier. Salah satu alasan untuk mendapatkan bantuan, dalam bentuk bantuan teknis, adalah untuk memungkinkan dipenuhinya permintaan puncak jangka pendek untuk ketrampilan seraya mengembangkan kapasitas yang berkelanjutan dan sesuai dengan permintaan. 5.44 Walaupun begitu, pendidikan tersier mencakup banyak ketrampilan dan tingkat pendidikan (gelar, diploma, sertifikat, ketrampilan profesional dan kejuruan, dsb.). Timor Lorosae perlu menetapkan seberapa baik mereka dapat memenuhi persyaratan ketrampilan perekonomiannya. Ini membutuhkan penilaian sumber daya manusia secara keseluruhan untuk memeriksa sisi permintaan dan analisis berbagai pilihan biaya yang efektif untuk menjamin persediaan yang berkelanjutan bagi tiap kelompok ketrampilan. Paling tidak untuk jangka pendek hingga menengah, Timor Lorosae tidak mungkin mengembangkan seluruh kapasitas pelatihan yang diperlukan secara domestik untuk berbagai alasan termasuk kendala-kendala penyediaan pelatih dan guru, serta biaya penyediaan beberapa kategori kelulusan. Dua kendala ini akan lebih memburuk jika bahasa pengantar diubah dari Bahasa Indonesia. 5.45 Anggaran CEFT tahun 2001-02 dan berikutnya kini mencakup anggaran domestik yang signifikan untuk pelatihan tersier. Ini menyediakan kapasitas untuk 5.000 siswa dengan biaya per unit senilai $440 per siswa. Sementara ini merupakan rata-rata banyak jenis program, akan ada banyak perbedaan biaya antara program-program tersebut. Sangat tidak mungkin bahwa pendidikan universitas yang berkualitas dapat diberikan dengan harga yang mendekati biaya tersebut. Sebagai contoh, biaya per unit rata-rata di University of the South Pacific paling sedikit 4-5 kali rata-rata ini; biaya di University of Papua New Guinea bahkan lebih tinggi lagi. Karena penduduk maupun pasar tenaga kerja sedikit, Timor Lorosae hendaknya memperhitungkan dengan hati-hati dalam membangun universitas yang menawarkan banyak bidang program. 5.46 Para donor adalah pendana utama bagi: (a) rekonstruksi fasilitas fisik untuk lembaga- lembaga tersier; (b) program pelatihan kilat sambil-bekerja ; (c) bantuan teknis; dan (d) beasiswa untuk pelatihan di luar negeri. Ini berarti proporsi yang cukup besar pada pengeluaran publik total di semua tingkat pendidikan, mewakili subsidi publik yang sangat besar untuk siswa-siswa yang relatif sedikit, dan oleh karena itu, keefektifan
76
biayanya patut dianalisa dengan cermat. Lebih jauh, terdapat kebutuhan untuk menjamin investasi spesifik yang sedang dilakukan yakni: (a) mendukung penggabungan ketrampilan optimal yang diperlukan oleh perekonomian; dan (b) bahwa “seluruh biaya kebijakan” sebagaimana dibicarakan di atas, termasuk biaya bantuan teknis jangka panjang diperlihatkan dengan jelas sebelum program baru dibuat. Hanya bilal hal ini dilakukan baru ada keyakinan bahwa anggaran masa depan untuk pendidikan tersier dapat berkelanjutan. Dalam situasi keterbatasan ketrampilan yang parah, tidak mungkin memutuskan apakah program pelatihan individual dapat berkelanjutan dilihat dari perspektif keterbatasan persediaan pelatih tanpa melihat permintaan dan persediaan keseluruhan untuk setiap grup ketrampilan. Ini makin memperkuat kebutuhan untuk penilaian sumber daya manusia secara keseluruhan. 5.47 Pembahasan ini telah menyoroti fakta bahwa Timor Lorosae menghadapi beberapa pilihan sulit pada tingkat maupun jumlah pendidikan untuk menyediakan—dan untuk memungkinkan para donor memberi dana. Yang harus diberi prioritas pertama adalah pendidikan dasar dan menengah pertama, sedangkan tingkat-tingkat pendidikan yang lebih tinggi secara adil diperluas sebagai tanggapan terhadap kebutuhan ketrampilan dalam perekonomian yang dengan jelas diidentifikasi. Bisa jadi penataran pelatihan guru dan penataran ketrampilan sambil-bekerja akan memberi hasil yang tinggi dalam jangka waktu pendek sampai menengah. Keputusan untuk secara signifikan menaikkan biaya per unit dalam sistem pendidikan dengan tujuan meningkatkan kualitas—khususnya upaya untuk menurunkan rasio siswa-guru, harus diambil dengan hati- hati mengingat manfaat dibandingkan dengan biaya. Sekali lagi, “seluruh penetapan biaya kebijakan,” dan pembandingan biaya ini terhadap manfaat akan sangat membantu dalam hal ini, dan hendaknya menjadi praktek standar sebelum persetujuan anggaran terhadap perubahanperubahan kebijakan. 5.48 Jelas bahwa dukungan donor yang dermawan bagi sektor tersebut dibutuhkan, tetapi penting juga: (a) bahwa ini dioptimalkan untuk memenuhi ketrampilan menengah dan pengembangan pendidikan yang dibutuhkan oleh perekonomian; dan (b) pendidikan dalam negeri serta kapasitas pelatihan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan perekonomian jangka panjang dan dengan cara yang berkelanjutan. Sumber daya donor yang sangat banyak juga dikhususkan untuk beasiswa ke luar negeri. Kita harus berupaya sebisa-bisanya untuk memastikan hal ini dilakukan seefektif mungkin. Pada banyak kasus, program “negara ketiga” yang berkualitas sebagian disebabkan karena siswa jarang pindah secara permanen ke negara-negara tersebut, bisa jadi lebih cocok dan tidak terlalu mahal. Pada akhirnya, jika migrasi staf Timor Lorosae yang terlatih secara internasional ke luar negeri menjadi masalah penting—seperti yang telah terjadi di banyak bagian Kepulauan Pasifik—hal ini harus dipikirkan dalam penghitungan keefektifan biaya pelatihan tersebut. Persoalan Jangka Menengah yang Dihadapi Sektor Kesehatan 5.49 Pemerintah transisi dan para donor telah menyetujui penetapan ulang prioritas utama pelayanan kesehatan. Anggaran dengan sumber gabungan untuk tahun 2001-02 mengalokasikan $27.0 juta untuk kesehatan sebanding dengan $32 per kapita atau 11 persen dari pengeluaran publik total yang direncanakan. Ini merupakan pertambahan 77
sebesar $7 juta atau sekitar $8 per kapita di atas pengeluaran yang direncanakan untuk tahun 2000-01. Pengeluaran in akan dibiayai oleh: (i) dana CFET untuk anggaran operasi sebesar $7.6 juta, 29 persen dari total (setara dengan hampir $9 per kapita); (ii) dana TFET sebesar $10.0 juta (37 persen dari total) untuk rekonstruksi dan pembangunan fasilitas kesehatan, pengembangan kebijakan dan program serta dukungan untuk pelayanan kesehatan wilayah; (iii) pendanaan bilateral sebesar $8.6 juta untuk proyek dan program kesehatan yang terkait (33 persen dari total) ; dan (iv) Kontribusi Yang Dinilai oleh PBB sebesar $0.8 juta untuk dukungan teknis administrasi (1 persen dari total). 5.50 Divisi Pelayanan Kesehatan (kini Kementerian Kesehatan) membuat kemajuan yang signifikan dalam pengembangan anggaran program untuk tahun 2001-02 sesuai dengan prinsip-prinsip perencanaan pengeluaran publik yang diuraikan di atas. Akan tetapi, masih banyak yang harus dilakukan untuk memadukan lebih lanjut proyek-proyek bilateral ke dalam satu kerangka dan untuk dengan jelas mengenali biaya proyek yang berkelanjutan yang perlu didanai oleh anggaran operasi pada tahun-tahun berikut. Kementerian Kesehatan bertanggungjawab untuk menyediakan pelayanan kesehatan pokok termasuk mendukung pemberian pelayanan yang terus- menerus, meningkatkan jangkauan dan kualitas pelayanan yang tersedia, serta mengembangkan kebijakan sektor kesehatan dan peraturan perundang-undangan pendukung. Kementerian Kesehatan telah mengembangkan tiga anggaran “program” untuk: •
•
•
Mendukung pemberian pelayanan yang teratur: untuk menjamin akses yang andal ke sebuah paket dasar pelayanan oleh penduduk untuk dilaksanakan melalui Rencana Kesehatan Wilayah (13) dan mendukung rumah sakit yang sudah didirikan (4) serta pelayanan laboratorium; Mengembangkan jangkauan dan mutu pelayanan: untuk menjamin fungsi farmasi pusat dan bank darah yang memadai, meluaskan jangkauan dan meningkatkan mutu pelayanan dasar; mengambil alih tanggungjawab (dari WHO) untuk mengawasi perkembangan penyakit menular dan membangun pengendalian penyakit menular serta mengadakan kegiatan-kegiatan untuk memajukan kesehatan; Mengembangkan dan melaksanakan sistem kebijakan dan pengelolaan: untuk menjamin suatu kebijakan kesehatan yang kokoh secara teknis dengan peraturan perundang-undangan pendukung, mengembangkan dan merencanakan kapasitas sumber daya manusia, sistem administratif dan pemantauan, serta program penggantian aset (armada dan peralatan) yang memadai.
5.51 Kementerian Kesehatan, konsisten dengan upayanya untuk berfokus pada hasil, dan untuk mengarahkan sumber daya—manusia dan keuangan—dalam mendukung tujuan-tujuan programatik yang telah disepakati, telah menetapkan berbagai indikator yang dapat dipantau untuk setiap sub-program dan proyek. Awalnya, tiap wilayah dengan dukungan berbagai Ornop Internasional telah mengembangkan rencana wilayah yang dirancang untuk memfokuskan upaya kesehatan pada inti programnya. Proyek TFET kedua menyusun komponen-komponen proyek dan sub-proyeknya di dalam kerangka ini dan sebuah matriks diciptakan untuk proyek pertama—yang dibuat sebelum struktur anggaran.
78
5.52 Meskipun adanya segala upaya untuk mengembangkan suatu anggaran program untuk kesehatan serta program kesehatan yang berfokus pada hasil, banyak persoalan masih terus dihadapkan kepada sistem kesehatan tersebut. Ini harus menjadi pusat perhatian selama jangka menengah. Hal ini meliputi: •
•
•
•
Kebutuhan untuk menyelesaikan strategi pembangunan rumah sakit jangka menengah sesuai dengan yang telah disepakati untuk menekan biaya rumah sakit hingga di bawah 35-40 persen dari anggaran kesehatan total. Ada tiga tekanan penting pada anggaran rumah sakit untuk: (i) membangun lebih banyak rumah sakit untuk mengatasi problem yang berkaitan dengan lamanya waktu perjalanan ke rumah sakit, sebaliknya daripada berfokus pada strategi-strategi untuk membuat sistem referral bekerja; (ii) mendirikan lebih banyak fasilitas dengan tempat tidur tanpa terlalu memikirkan bagaimana memperlengkapinya dengan staf; dan (iii) menambah staf per tempat tidur rumah sakit. Pengaturan manajemen rumah sakit harus diperhatikan untuk memastikan pengelolaan yang efisien. Pilihannya antara lailn penetapan dewan pengelola rumah sakit dan profesionalisasi manajemen. Kebutuhan untuk merampungkan pengalihan tanggungjawab atas program kesehatan wilayah dan pelaksanaan rencana kesehatan daerah kepada tim pengelola kesehatan wilaya h. Program TFET telah menyerap sebagian besar biaya yang diberikan sebagai dukungan oleh Ornop internasional untuk program tersebut—termasuk 30 dokter yang tersedia untuk direkrut dari negara- negara luar yang juga sedang berkembang. Ini termasuk dalam sebuah kerangka pengurangan biaya pemberian pelayanan kesehatan wilayah sebesar $6 per kapita selama dua tahun hingga tingkat yang berkelanjutan sebesar $10-12 per kapita dan cukup tinggi di atas tingkat rata-rata negara-negara berpenghasilan rendah sebesar $3-4 per kapita (Tabel 5.1). Biaya kelanjutannya untuk anggaran operasi barangkali akan berada dalam jangkauan $1-2 per kapita pada akhir program TFET ($1-1.6 juta per tahun)—berga ntung pada berapa banyak dokter Timor Lorosae yang dapat menamatkan pendidikan mereka dengan sukses dan kembali ke Timor Lorosae. Kebutuhan akan upaya yang mendesak untuk menyelesaikan strategi pengembangan sumber daya manusia termasuk pengembangan dan implementasi kader praktisioner perawat untuk menggantikan sebagian kegiatan yang sebelumnya dilakukan oleh dokter. Ini akan mengurangi jumlah dokter yang memang diperlukan untuk menyokong pelayanan medis yang memadai di rumah sakit. Ini juga akan menekan biaya untuk dokter dari luar negeri. Kebutuhan untuk terus memfokuskan ulang sumber daya dan upaya-upaya pada elemen paket perawatan kesehatan inti yang akan memberikan dampak yang terbesar pada hasil- hasil bidang kesehatan (imunisasi, penyakit menular dan penyakit melalui pembawa termasuk malaria, TB dan HIV/AIDS, kesehatan anak, kesehatan reproduksi dan program kesehatan preventif). Sebagai bagian dari upaya ini, penting untuk mengembangkan pemahaman yang lebih meningkat mengenai perilaku hidup sehat. Data yang ada mengisyaratkan bahwa rata-rata kunjungan per kapita ke fasilitas- fasilitas kesehatan telah hampir mencapai tingkat sebelum kerusuhan. Namun, hasil- hasil bidang kesehatan mengisyaratkan
79
•
80
bahwa kebutuhan seharusnya lebih tinggi daripada yang diimplikasikan oleh data pemanfaatan, dan kapasitas sistem saat ini memang jauh di atas permintaan. Kebutuhan untuk merampungkan kerangka kebijakan kesehatan termasuk pengembangan kebijakan penetapan harga yang memperhitungkan kebutuhan orang-orang miskin.