15
4 HASIL Identifikasi Namalycastis Dari hasil koleksi Namalycastis di muara Ciliwung Sunda Kelapa, Teluk Jakarta (483 individu) dan muara Way Belau, Teluk Betung Lampung (363 individu), ditemukan dua spesies, yaitu N. abiuma dan N. cf. borealis. Berikut adalah deskripsi kedua spesies tersebut. Namalycastis abiuma Grube, 1872 Tempat Koleksi. Jumlah individu N. abiuma (Gambar 5) yang diamati terdiri atas 8 individu dari muara Ciliwung Sunda Kelapa, Teluk Jakarta dan 192 individu dari muara Way Belau, Teluk Betung Lampung. Deskripsi. Jumlah segmen berkisar antara 76–177, panjang tubuh berkisar antara 1.1–12.5 cm, dan lebar berkisar antara 0.1-0.5 cm. Bentuk tubuh bagian dorsal cembung, ventral pipih, dan posterior meruncing. Warna tubuh dalam keadaan segar merah kecoklatan, jika sudah diawetkan pada larutan alkohol coklat kemerahan pada bagian anterior dan posterior, serta coklat pada bagian segmental. Celah prostomium dangkal, membentang longitudinal dari ujung atas hingga midposterior prostomium. Bentuk prostomium trapezoidal. Terdapat sepasang antena dan palpus biartikulasi. Terdapat dua pasang mata berukuran sama atau berbeda, Mata berwarna hitam. Pada sisi lateral peristomium terdapat empat pasang tentakular cirri. Panjang posterodorsal tentakular cirri mencapai segmen ke-2. Faring tidak dilengkapi dengan paragnath ataupun papila. Pada faring terdapat sepasang gigi taring berwarna coklat, terdiri atas 6-9 gigi subterminal. Tipe parapodia subuniramous. Panjang dorsal cirri setiger tiga 1.3-1.5 x; dorsal cirri bagian posterior 2-3 x (leaf like). Notoseta hadir, meski jarang dijumpai di beberapa bagian segmen. Neuroseta termasuk tipe A, yaitu susunan seta pada parapodia terdiri atas sesquigomph spiniger pada supra-postacicular, heterogomph spiniger pada sub-postacicular, serta heterogomph falciger pada supra dan subpraacicular. Sisi blade spiniger dan falciger pada seta bergerigi sedang. Gerigi blade heterogomph spiniger pada sub-neuroacicula bersifat kasar. Acicula
16
notopodia dan neuropodia berwarna coklat tua. Pygidium dengan multi-incised rim. Anus terminal. Terdapat sepasang anal cirri ventrolateral, conical.
Gambar 5 Namalycastis abiuma Grube, 1872. A. Parapodium setiger posterior (a), parapodium setiger 10 (b), parapodium setiger 3 (c); heterogomph falciger (d), (e); heterogomph spiniger (f), homogomph spiniger (g); anterodorsal (h); pygidium (i). B. Hasil citra digital: anterodorsal (j); pygidium (k); homogomph spiniger (l), heterogomph falciger (m), heterogomph spiniger (n); tubuh utuh (o). C. Anomali: kelebihan jumlah mata (p); struktur parapodia kecil (q); seta mereduksi (r).
17
Gambar 6 Persentase individu N. abiuma yang memiliki anomali morfologi. Sunda Kelapa ( ), Way Belau ( ).
Kandungan Ni dalam tubuh N. abiuma Gambar 7 Korelasi antara kandungan Ni (µg/g, kering) dalam tubuh N. abiuma Way Belau dengan anomali seta.
18
Kandungan Ni dalam tubuh N. abiuma Gambar 8 Korelasi antara kandungan Cr (µg/g, kering) dalam tubuh N. abiuma Way Belau dengan anomali seta. Catatan. Beberapa koleksi N. abiuma yang ditemukan pada penelitian ini memiliki anomali seperti yang disajikan pada Gambar 6. Dari delapan individu N. abiuma Sunda Kelapa ditemukan satu individu yang mengalami anomali seta. Dari 192 individu N. abiuma Way Belau Lampung ditemukan 22 individu yang mengalami anomali, yaitu mata (tiga individu), parapodia (enam individu), dan seta (16 individu). Keterangan jumlah anomali pada N. abiuma terdapat pada Lampiran 4 dan 5, sedangkan penjelasan bentuk anomali mata, parapodia, dan seta terdapat pada Tabel 2. Hasil uji korelasi antara anomali seta pada N. abiuma dari Way Belau dengan kandungan logam Ni dan Cr dalam tubuh menunjukkan hubungan negatif
(p < 0.05; Ni = 0.035, Cr = 0.000) (Gambar 7 dan 8).
Sedangkan hasil uji korelasi antara anomali pada N. abiuma dari Way Belau dengan kandungan logam dalam sedimen muara sungai Cisadane, Ciliwung, dan Citarum tidak menunjukkan hubungan korelasi (p > 0.05). Distribusi. Wilayah distribusi non lokal N. abiuma berada di Nigeria, Zaire, Seychelles, Burma, Thailand, Brunei, Cina (Hainan), Taiwan, Kepulauan Fiji, Kepulauan Belize, Kepulauan Hawaii, dan Teluk Arab (Glasby 1999, Wehe & Fiege 2000, Benbow et al. 2001). Sedangkan wilayah distribusi N. abiuma di
19
Indonesia terdapat di Pulau Jawa dan Sulawesi (Glasby 1999), serta Sunda Kelapa Teluk Jakarta dan Way Belau Teluk Betung Lampung. Tabel 2 Keterangan bentuk anomali Namalycastis No Bagian 1. Antena 2. Mata
3. Tentacular cirri 4. Parapodia
5. Seta
Bentuk Normal Sepasang antena
Bentuk anomali Reduksi salah satu antena pada bagian sebelah kiri atau kanan Dua pasang mata Reduksi satu mata bagian bawah sebelah kanan. Kelebihan satu buah mata pada bagian bawah sebelah kanan Empat pasang tentacular cirri Kelebihan satu buah cirri pada sebelah kiri a. Berukuran proporsional a. Ukuran parapodia lebih kecil dari dengan parapodia lainnya ukuran normalnya b. Memiliki ventral dan dorsal b. Tidak memiliki dorsal cirri dari cirri satu sampai dua buah setiger c. Parapodia terdapat pada c. Reduksi parapodia baik pada semua segmen kecuali segmen anterior maupun posterior peristomium a. Reduksi seta pada parapodia a. Seta terdapat pada semua parapodia b. Memiliki satu buah dorsal b. Seta terdiri atas tiga cabang dorsal dan ventral cirri cirri
Namalycastis cf. borealis Tempat Koleksi. Jumlah individu N. cf borealis (Gambar 9) yang diamati terdiri atas 475 individu dari muara Ciliwung Sunda Kelapa, Teluk Jakarta dan 171 individu dari muara Way Belau, Teluk Betung Lampung. Deskripsi. Jumlah segmen berkisar 87-100, dan panjang tubuh berkisar antara 0.8–8 cm, dan lebar berkisar antara 0.1-0.5 cm. Bentuk tubuh bagian dorsal cembung, ventral pipih, dan posterior meruncing. Warna tubuh dalam keadaan segar merah kecoklatan sedangkan pada larutan alkohol berwarna coklat keputihan. Pigmen epidermal coklat terang pada bagian anterodorsal serta coklat tua di bagian posterior dan pygidium. Prostomium mempunyai celah yang dalam, membentang longitudinal dari ujung atas hingga mid-posterior prostomium. Bentuk prostomium triangular, melengkung di bagian lateral. Terdapat sepasang antena dan palpus biartikulasi. Terdapat dua pasang mata yang berukuran sama atau berbeda, berwarna hitam, dan lensa jelas. Pada sisi lateral peristomium terdapat empat pasang tentakular cirri. Panjang posterodorsal tentakular cirri
20
mencapai segmen ke-2 (3-4). Faring tidak dilengkapi dengan paragnath dan papila. Faring terdapat sepasang gigi taring berwarna coklat, dan memiliki 6-9 gigi subterminal. Tipe parapodia subuniramous. Panjang dorsal cirri setiger tiga 1.3-1.5 x; dorsal cirri bagian posterior 2-3 x (leaf like). Notoseta hadir, meski jarang dijumpai di beberapa bagian segmen. Kehadiran notopodial sesquigomph spiniger dimulai dari segmen ke-10 (9-10). Neuroseta termasuk tipe A yaitu susunan seta pada parapodia terdiri atas sesquigomph spiniger pada suprapostacicular, heterogomph spiniger pada sub-postacicular, serta heterogomph falciger pada supra dan sub-praacicular. Jumlah supra-neuroacicular heterogomph falciger kurang dari lima di setiap parapodia. Sisi blade sesquigomph spiniger dan heterogomph spiniger bergerigi penuh. Sisi blade heterogomph falciger bersifat halus hingga sedang. Jumlah gerigi pada blade heterogomph falciger pada segmen ke-10 berjumlah 6-15. Acicula notopodia dan neuropodia berwarna coklat tua. Pygidium dengan multi-incised rim. Anus terminal. Terdapat sepasang anal cirri ventrolateral, conical.
) (l)
21
Gambar 9 Namalycastis cf borealis. A. Parapodium setiger posterior (a), parapodium setiger 10 (b), parapodium setiger 3 (c); heterogomph falciger (d), (e); homogomph spiniger (f), heterogomph spiniger (g); anterodorsal (h); pygidium (i). B. Hasil citra digital: anterodorsal (j); pygidium posteroventral (k); homogomph spiniger (l), heterogomph spiniger (m), heterogomph falciger (n); tubuh utuh (o). C. Anomali: antena mereduksi (p); mata mereduksi (q); kelebihan jumlah tentacular cirri (r); parapodia mereduksi (s); dorsal cirri seta bercabang tiga (t).
22
Gambar 10 Persentase individu N. cf borealis yang memiliki anomali morfologi. Sunda Kelapa ( ), Way Belau ( ).
23
Kandungan Pb dalam tubuh N. cf borealis Gambar 11 Korelasi antara kandungan Pb (µg/g, kering) dalam tubuh N. cf borealis Sunda Kelapa dengan anomali antena.
Kandungan Ni dalam tubuh N. cf borealis Gambar 12 Korelasi antara kandungan Ni (µg/g, kering) dalam tubuh N. cf borealis Sunda Kelapa dengan anomali antena.
Kandungan Cu dalam tubuh N. cf borealis Gambar 13 Korelasi antara kandungan Cu (µg/g, kering) dalam tubuh N. cf borealis Sunda Kelapa dengan anomali antena.
Kandungan Cd dalam tubuh N. cf borealis
Gambar 14 Korelasi antara kandungan Cd (µg/g, kering) dalam tubuh N. cf borealis Sunda Kelapa dengan anomali seta.
24
Catatan. Koleksi yang ditemukan memiliki karakter yang sama dengan N. borealis dan N. terrestris, kecuali pada tipe celah prostomium, panjang dorsal cirri pada segmen ke-3, bentuk dorsal cirri posterior, dan jumlah supra-neuroacicular heterogomph falciger, seperti yang dilaporkan Glasby (1999). Koleksi pada penelitian ini memiliki karakter yang lebih mendekati N. borealis dibandingkan N. terrestris. Spesimen yang ditemukan memiliki celah prostomium yang dalam, dorsal cirri segmen ke-3 sepanjang 1.3–1.5 x, dorsal cirri posterior lebar 2-3 x dan jumlah supra-neuroacicular heterogomph falciger kurang dari lima buah. Beberapa koleksi N. cf borealis yang ditemukan pada penelitian ini memiliki bentuk anomali (kelainan) (Gambar 10). Dari 475 individu N. cf borealis pada Sunda Kelapa Jakarta ditemukan 66 individu mengalami anomali, yaitu antena (12 individu), mata (10 individu), tentakular cirri (empat individu), parapodia (sembilan individu), dan seta (31 individu). Dari 171 individu N. cf borealis pada Way belau Lampung ditemukan 11 individu yang mengalami anomali, yaitu mata (dua individu), tentakular cirri (satu individu), parapodia (satu individu), dan seta (tujuh individu). Keterangan jumlah anomali pada N. cf borealis terdapat pada Lampiran 4 dan 5, sedangkan penjelasan bentuk anomali antena, mata, tentacular cirri, parapodia, dan seta terdapat pada Tabel 2. Hasil uji korelasi antara anomali antena pada N. cf borealis dari Sunda Kelapa dengan kandungan logam Pb, Ni, dan Cu dalam tubuh menunjukkan hubungan negatif (p < 0.05; Pb= 0.039, Ni = 0.034, Cu = 0.036) (Gambar 11, 12, dan 13). Hubungan korelasi negatif juga ditunjukkan anomali seta pada N. cf borealis dari Way Belau dengan kandungan logam Cd (p < 0.05; Cd= 0.036) (Gambar 14). Hasil uji korelasi antara anomali pada N. cf borealis dari kedua lokasi dengan kandungan logam dalam sedimen muara sungai Cisadane, Ciliwung, dan Citarum tidak menunjukkan hubungan korelasi (p > 0.05). Distribusi. Wilayah distribusi non lokal N. borealis adalah Carolina bagian Utara, Amerika Serikat bagian Timur dan Selatan, Bahama, Bonaire, Kepulauan Karibian, Aruba, dan pantai barat Venezuela (Glasby 1999, Espinosa et al. 2007). Wilayah distribusi N. cf borealis di Indonesia berada di Sunda Kelapa Teluk Jakarta dan Way Belau Teluk Betung Lampung.
25
Densitas Namalycastis Dari hasil koleksi Namalycastis diketahui bahwa densitas N. abiuma dari muara Ciliwung Sunda Kelapa lebih rendah dibandingkan dari muara Way Belau. Densitas N. cf borealis dari muara Ciliwung Sunda Kelapa lebih tinggi dibandingkan dari muara Way Belau (Gambar 15).
Gambar 15 Densitas Namalycastis dari Sunda Kelapa dan Way Belau (kuadran 0,25m2). Sunda Kelapa (habitat terpolusi) ( ), Way Belau (habitat tidak terpolusi) ( ). Pengukuran Kandungan Logam Berat pada Potongan Tubuh Namalycastis Kadar logam dalam potongan tubuh N. cf borealis dari Sunda Kelapa lebih tinggi dibandingkan dari Way Belau (Tabel 3). Hasil uji t-tes kandungan logam (µg/g, kering) dalam potongan tubuh (segmen tengah) N. cf borealis dari kedua lokasi penelitian menunjukkan perbedaan yang nyata (p< 0.05) (Lampiran 3).
26
Tabel 3 Kadar logam dalam potongan tubuh Namalycastis dari Sunda Kelapa dan Way belau Lokasi
Sunda Kelapa Way Belau
Jumlah Individu (n)
Pb
Ni
Cr
Cd
Cu
44-45
13.85±2.95
1.16±0.28
5.60±0.89
0.20±0.07
62.81±9.98
0
-
-
-
-
-
N. cf borealis
12-27
2.40±1.18
0.24±0.10
0.22±0.10
0.01±0.00
17.81±14.05
N. abiuma
21-35
2.20±1.52
0.17±0.06
0.16±0.05
0.02±0.01
13.57±1.99
Sampel N. cf borealis N. abiuma*
Kadar (µg/g, kering)
Ket: * Jumlah N. abiuma dari Sunda kelapa sangat sedikit sehingga tidak cukup untuk pengukuran logamnya. Kadar air N. cf borealis dari Sunda Kelapa 80%; N. abiuma dan N. cf borealis dari Way Belau, masing-masing 98%.
27
PEMBAHASAN Morfologi dan Densitas Namalycastis Namalycastis yang ditemukan di Sunda Kelapa Teluk Jakarta dan Way Belau Lampung adalah N. abiuma dan N. cf borealis. N. abiuma merupakan jenis spesies kosmopolitan. Wilayah distribusi N. abiuma dan N. borealis terdapat di daerah tropis dan subtropis. Wilayah distribusi N. abiuma di Indonesia terdapat di Pulau Jawa dan Sulawesi (Glasby 1999). Keberadaan N. abiuma di Lampung (Pulau Sumatra) belum pernah dilaporkan sebelumnya. Begitu juga dengan keberadaan N. cf borealis di Indonesia, belum pernah dilaporkan sebelumnya. Dengan demikian hasil identifikasi ini merupakan tambahan informasi distribusi bagi N. cf borealis dan N. abiuma di Indonesia. Berdasarkan perhitungan densitas, N. abiuma yang ditemukan di Sunda Kelapa lebih sedikit dibandingkan N. cf borealis. Sedangkan densitas N. abiuma yang ditemukan di Way Belau tidak berbeda nyata dibandingkan N. cf borealis (Gambar 9). Rendahnya densitas N. abiuma di Sunda Kelapa diduga akibat kondisi habitat yang terpolusi. N. abiuma bersifat kurang toleran terhadap kondisi habitat terpolusi dibandingkan N. cf borealis. N. abiuma merupakan spesies Polychaeta yang sensitif terhadap logam berat Hg (Reish & Gerlinger 1997). Berdasarkan data penelitian ini, N. abiuma dan N. cf borealis dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator habitat terpolusi logam berat. Pada koleksi Namalycastis dari Sunda Kelapa dan Way Belau telah ditemukan lima jenis karakter anomali (kelainan), yaitu antena, mata, tentacular cirri, parapodia, dan seta. Jenis karakter anomali pada Namalycastis di kedua lokasi penelitian yang paling banyak tercatat adalah anomali seta. Anomali kelebihan jumlah mata dan dorsal cirri bercabang tiga pada seta Namalycastis memiliki persamaan dengan hasil penelitian Mohammad (1980). Sedangkan anomali reduksi parapodia dan seta Namalycastis memiliki persamaan dengan anomali yang ditemukan pada Neanthes japonica di lingkungan pembuangan pabrik di estuari Cina (Baoling et al. 1985). Parapodia merupakan tempat pertukaran gas pada Namalycastis, yang memiliki karakter morfologi lembab, banyak mengandung kapiler darah, dan berstruktur tipis (terdiri dari satu lapis
28
sel). Struktur tersebut memungkinkan logam berdifusi masuk ke dalam tubuh Namalycastis melalui parapodia. Parapodia pada Nereis diversicolor dari pantai Marocco merupakan bagian tubuh yang banyak mengandung logam (Idardare et al. 2008). Dengan demikian, penyebab anomali parapodia dan seta pada penelitian ini diduga pengaruh kondisi habitat yang terpolusi. Sedangkan penyebab anomali antena, mata, dan tentacular cirri belum diketahui. Pengaruh polutan logam berat terhadap anomali Namalycastis masih perlu diteliti lebih lanjut misalnya dengan uji toksikologi logam pada penelitian bioassay. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa anomali antena pada N. cf borealis dari Sunda Kelapa berhubungan negatif dengan kandungan Pb, Ni, dan Cu dalam tubuh. Sedangkan anomali seta pada N. cf borealis dari Way Belau berhubungan negatif dengan kandungan Cd dalam tubuh. Hubungan korelasi negatif juga ditunjukkan anomali seta pada N. abiuma dengan kandungan Ni dan Cr dalam tubuh. Hasil uji korelasi tersebut mengindikasikan bahwa rendahnya jumlah anomali yang terjadi pada Namalycastis menandakan tingginya kandungan logam dalam tubuh Namalycastis. Sedangkan anomali pada Namalycastis dari kedua lokasi tidak berkorelasi (p > 0.05) dengan kandungan logam dalam sedimen dari muara sungai Ciliwung, Cisadane, dan Citarum hasil penelitian Rochyatun dan Rozak (2007). Hasil korelasi tersebut menunjukkan bahwa banyaknya kandungan logam dalam sedimen tidak mengindikasikan terjadinya anomali pada Namalycastis.
Namalycastis
diduga
memiliki
kemampuan
inaktifasi
(detoksifikasi) logam toksik. Polychaeta memiliki kemampuan mengaktifasi logam secara biologi di dalam usus dan menyimpannya dalam bentuk tidak toksik (Dean 2008). Sabella pavonina (Polychaeta: Sabellidae) memiliki kemampuan mengakumulasi logam toksik Ag pada kadar yang tinggi dalam tubuhnya tanpa menghasilkan efek sakit (luka) (Koechlin & Grasset 1988, diacu dalam Dean 2008). Dengan demikian, Namalycastis yang terkoleksi dari kedua lokasi mampu bertahan hidup meskipun mengakumulasi logam dalam kadar yang tinggi di tubuhnya dan hidup pada habitat yang terpolusi.
29
Kandungan Logam Berat di dalam Tubuh Namalycastis Pada penelitian ini, tubuh Namalycastis dari kedua lokasi mengandung logam Pb, Ni, Cr, Cd, dan Cu. Sifat Namalycastis yang hidup di sedimen pada kedalaman ± 20 cm, serta merupakan organisme pemangsa (raptorial feeder) memungkinkan menyerap sejumlah logam berat. Korelasi kandungan logam dalam tubuh Lycastis ouanaryensis (spesies grup N. abiuma) dengan logam dalam sedimen disebabkan oleh perilaku makan cacing tersebut di permukaan sedimen yang merupakan tempat utama masuknya logam dalam sedimen (Athalye dan Gokhale 1991). Dengan demikian, perilaku makan Namalycastis menentukan penyerapan logam berat di dalam tubuhnya. Kadar logam berat di dalam tubuh Namalycastis dari Sunda Kelapa maupun Way Belau memiliki kecenderungan pola yang hampir sama. Kadar logam tertinggi (µg/g, berat kering) di dalam tubuh Namalycastis dari Sunda Kelapa berturut-turut adalah Cu>Pb>Cr>Ni>Cd, sedangkan dari Way Belau berturut-turut adalah Cu>Pb>Ni dan Cr>Cd. Tingginya kadar Cu dalam Namalycastis disebabkan proses akumulasi Cu dari habitatnya. Pada habitat yang tidak terpolusi, laju ekskresi logam oleh suatu organisme akan berjalan seimbang dengan laju absorpsinya, namun hal ini tidak berlaku pada habitat yang terpolusi (Sanders et al. 1999). Sifat bioavalaibilitas logam Cu yang lebih tinggi dibandingkan logam lainnya akan mempengaruhi proses akumulasi Cu oleh Namalycastis. Kemungkinan lain penyebab tingginya kadar Cu dalam Namalycastis adalah sifat Cu yang merupakan logam esensial atau dibutuhkan oleh organisme untuk pertumbuhan dan perkembangan hidupnya (fungsi enzimatik).
Beberapa
mekanisme
reaksi
enzimatik
dalam
organisme
membutuhkan logam Cu (Gonzales & Arguello 2008). Kandungan logam berat dalam Polychaeta telah banyak diteliti, diantaranya Lycastis ouanaryensis (Polychaeta: Nereidae) dari Teluk Thane di India yang mengandung Pb 1–35 µg/g, Cd 0.3–0.5 µg/g, Cu 4.2–95 µg/g berat kering tubuh (Athalye dan Gokhale 1991), Marphysa sanguine (Polychaeta: Eunicidae) dari estuari Sado di Portugal yang mengandung Pb 5.7-7.5 µg/g, Cd 0.48-0.65 µg/g, Cu 160.5-223.8 µg/g berat kering tubuh (Garces dan Costa 2009), serta Arenicola marina (Polychaeta: Arenicolidae) dari Laut Barent di Rusia yang mengandung
30
Pb 0.8±0.3µg/g, Cd 0.34±0.27µg/g, Cu 6.8±1.8µg/g berat kering tubuh (Zauke et al. 2003). Hasil penelitian Namalycastis menunjukkan kecenderungan pola kandungan logam yang mirip dengan L. ounaryensis, M. sanguine, dan A. marina, yaitu logam Cd lebih rendah dibandingkan Pb dan Cu. Namun, kandungan logam Cd dalam Namalycastis hasil penelitian ini masih lebih rendah dari hasil penelitian Athalye dan Gokhale (1991), Zauke et al. (2003), serta Garces dan Costa (2009). Sedangkan kadar logam Pb dalam tubuh N. cf borealis dari Sunda Kelapa memiliki hasil lebih tinggi dibandingkan M. sanguine dan A. marina. Perbedaan kandungan logam dalam Namalycastis dibandingkan dengan hasilhasil penelitian sebelumnya disebabkan oleh perbedaan jenis spesies, kemampuan fisiologis organisme, dan kondisi habitat. Bioakumulasi logam dalam suatu organisme tergantung pada bioavailabilitas, absorpsi (up-take), tingkat ambang batas (threshold), dan efisiensi fisiologi organisme dalam mengekskresikan kelebihan logam (Athalye dan Gokhale 1991). Kerja utama logam dalam tubuh adalah menghambat kerja enzim dan proses sintesisnya. Efek tersebut timbul akibat adanya interaksi logam dengan gugus sulfidril (SH) pada enzim, dan dapat mempengaruhi berbagai organel subseluler (Lu 1995). Beberapa penelitian tentang efek logam berat menunjukkan bahwa logam Cu dapat mengganggu perkembangan larva cacing laut Galeolaria caespitosa (Ross & Bidwell 2001). Pengaruh logam Cu, Pb, Cd, Cr, Ni, Zn, Hg, Al, dan Fe dapat mengganggu perkembangan embrio dan larva Hydroides elegans (Gopalakrishnan et al. 2007, Thilagam et al. 2008). Selain itu, pengaruh logam Cu juga dapat menyebabkan penekanan sistem imun (immuno-suppression), penurunan fagositosis, serta pembentukan secretory, dan erythrocytic rosettes pada E. complanata (Marcano et al. 1997). Perubahan fisiologi pada koleksi Namalycastis dapat dipengaruhi oleh logam-logam tersebut, namun mekanisme dan pengaruhnya masih perlu diteliti lebih lanjut. Bioakumulasi adalah hasil interaksi antara kandungan logam dalam sedimen dengan fisiologi organisme (Garces & Costa 2009). Proses akumulasi logam dalam tubuh organisme terjadi setelah organisme mengabsorbsi logam dari habitat atau pakannya. Jika kondisi sedimen muara sungai Ciliwung, Cisadane, dan Citarum hasil penelitian Rochyatun & Rozak (2007) diasumsikan sebagai habitat
31
Namalycastis, maka Namalycastis mampu mengakumulasi beberapa logam dari sedimennya. Kandungan Cu, Cd, dan Pb dalam tubuh N. cf borealis lebih besar dibandingkan logam dalam sedimen, ini berarti N. cf borealis mampu mengakumulasi ketiga logam tersebut dari habitatnya. Demikian juga kandungan Cu dan Cd dalam tubuh N. abiuma lebih besar dibandingkan logam dalam sedimen, ini berarti N. abiuma juga mampu mengakumulasi kedua logam tersebut dari habitatnya. Pengukuran kandungan logam pada Namalycastis dalam penelitian ini tidak menggunakan seluruh bagian tubuh organisme (whole body) seperti yang dilakukan oleh Athalye dan Gokhale (1991), serta Garces dan Costa (2009). Hal ini dilakukan karena bagian anterior dan posterior tubuh digunakan untuk identifikasi. Perlakuan tersebut mungkin dapat menyebabkan hasil pengukuran kandungan logam yang diperoleh akan lebih rendah dari hasil sebenarnya (menggunakan seluruh bagian tubuh). Rahang (jaws) yang terletak di ujung buccal cavity Nereis bagian anterior tubuh mengandung logam Zn (Broomel et al. 2006). Rahang Polychaeta jenis cacing pasir (Sandworm) mengandung kurang dari 1% total logam Ag, Cd, Cu, Fe, dan Pb dalam tubuh, sedangkan pada rahang Glycera dibranchiate (Polychaeta: Glyceridae) mengandung sebanyak 13% Cu dari total keseluruhan logam rahang (Wilson & Ruff 1988). Namun demikian, secara umum kandungan logam berat dalam Namalycastis dari Sunda Kelapa lebih tinggi dibandingkan Way Belau. Tingginya kandungan logam berat pada Namalycastis dari Sunda Kelapa dibandingkan dari Way Belau, kemungkinan besar disebabkan oleh pengaruh habitat Sunda Kelapa yang lebih terpolusi dibandingkan Way Belau. Seperti diketahui perairan Sunda Kelapa merupakan gabungan dari muara tiga sungai besar di DKI Jakarta, yaitu Ciliwung, Krukut, dan Angke (BPLHD 2008). Indeks pencemaran air sungai Ciliwung, Krukut, dan Angke termasuk kategori tercemar berat. Kualitas sedimen di muara sungai Ciliwung telah tercatat terkontaminasi logam berat Pb, Cd, Cu, dan Ni (Muhajir et al. 2004). Selain itu hasil penelitian mengenai kandungan logam dalam sedimen di perairan Teluk Jakarta menunjukkan bahwa sedimen Teluk Jakarta bagian tengah mengandung Pb 2.21-69.22 ppm, Cd <0.001-0.28 ppm, Cu 3.36-50.65 ppm, dan Ni 0.42-15.58
32
ppm (Rochyatun & Rozak 2007). Sedangkan kualitas perairan Way Belau masih berada di bawah kisaran logam Pb, Cd, dan Cu berdasarkan kriteria PP No. 82 tahun 2001 tentang Mutu Air Kelas III (Yudha 2007).