p-ISSN 1978-6506 e-ISSN 2579-4868
Terakreditasi LIPI No. 706/AU/P2MI-LIPI/10/2015
Vol. 10 No. 2 Agustus 2017 Hal. 115 - 234
“EX FIDA BONA”
p-ISSN 1978-6506 e-ISSN 2579-4868
Vol. 10 No. 2 Agustus 2017 Hal. 115 - 234
J
urnal Yudisial merupakan majalah ilmiah yang memuat hasil kajian/riset atas putusan-putusan pengadilan oleh jejaring peneliti dan pihak-pihak lain yang berkompeten. Jurnal Yudisial terbit berkala empat bulanan di bulan April, Agustus, dan Desember.
Penanggung Jawab: Danang Wijayanto, Ak., M.Si. Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial RI
Redaktur:
1.
Roejito, S.Sos., M.Si. (Administrasi Negara dan Kebijakan Publik)
2.
Drs. Hamka Kapopang (Komunikasi)
Penyunting:
1.
Imran, S.H., M.H. (Hukum Pidana)
2.
Dinal Fedrian, S.IP. (Ilmu Pemerintahan)
3.
Muhammad Ilham, S.H. (Hukum Administrasi Negara)
4.
Ikhsan Azhar, S.H. (Hukum Tata Negara)
5.
Atika Nidyandari, S.H. (Hukum Dagang)
6.
Nurasti Parlina, S.H. (Hukum Pidana dan Perdata)
Mitra Bestari:
1.
Dr. Shidarta, S.H., M.Hum. (Filsafat Hukum dan Penalaran Hukum)
2.
Dr. Anthon F. Susanto, S.H., M.Hum. (Metodologi Hukum dan Etika)
3.
Dr. Yeni Widowaty, S.H., M.Hum. (Hukum Pidana dan Viktimologi)
4.
Dr. Niken Savitri, S.H., M.CL. (Hukum Pidana, HAM dan Gender)
5.
Hermansyah, S.H., M.Hum. (Hukum Ekonomi/Bisnis)
6.
Dr. Widodo Dwi Putro, S.H., M.H. (Filsafat Hukum dan Sosiologi Hukum)
Prof. Dr. H. Yuliandri, S.H., M.H. (Ilmu Perundang-undangan)
7.
III
8.
Prof. Dr. Ronald Z. Titahelu, S.H., M.S. (Hukum Agraria dan Hukum Adat)
9.
Dr. H. Mukti Fajar Nur Dewata, S.H., M.Hum. (Ilmu Hukum/Ilmu Politik)
10.
Mohamad Nasir, S.H., M.H. (Hukum Lingkungan dan Sumber Daya
Alam)
Sekretariat:
1.
Agus Susanto, S.Sos., M.Si.
2.
Yuni Yulianita, S.S.
3.
Noercholysh, S.H.
4.
Wirawan Negoro, A.Md.
5.
Didik Prayitno, A.Md.
6.
Eka Desmi Hayati, A.Md.
Desain Grafis dan Fotografer:
1.
Arnis Duwita Purnama, S.Kom.
2.
Widya Eka Putra, A.Md.
Alamat: Sekretariat Jurnal Yudisial Komisi Yudisial Republik Indonesia Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat, Telp. 021-3905876, Fax. 021-3906189 E-mail:
[email protected] Website: www.jurnal.komisiyudisial.go.id
IV
PENGANTAR
“EX FIDA BONA”
D
alam literatur hukum acara, khususnya dalam hukum acara perdata, dikenal asas yang memandu hakim untuk menjatuhkan putusan berdasarkan good business norms yang lazim disebut ex fida bona. Apabila para pihak memulai hubungan kontraktual mereka dengan iktikad baik dan saling percaya satu sama lain, maka prinsip tersebut harus dijaga sampai pada titik akhir hubungan kontraktual mereka. Hakim sebagai pengambil putusan atas suatu sengketa hukum, wajib ikut menjaga penegakan asas ex fida bona ini, sehingga pihak yang bersikeras menjaga prinsip ini yang harus dimenangkan. Dalam edisi Jurnal Yudisial kali ini, ada satu analisis tentang sengketa kompetensi absolut antara lembaga arbitrase dan peradilan umum. Asal muasal dari sengketa ini dapat ditelusuri karena adanya pergeseran (inkonsistensi) sikap para pihak dalam membina hubungan kontraktual. Sayangnya, hakim di dalam analisis ini dinilai tidak menunjukkan semangat yang cukup untuk memperhatikan ex fida bona tersebut. Sebagian besar analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik, seperti kasus pidana terkait hak beragama dan berkeyakinan bagi kaum minoritas, pertanggungjawaban pidana korporasi, tindak pidana pencucian uang, pengujian terhadap [sanksi] pidana mati, dan pengujian kewenangan pembatalan peraturan daerah. Lalu, apa relevansi antara putusan-putusan tersebut dengan asas ex fida bona? Apabila hukum dimaknai sebagai norma kesepakatan sosial, maka perbuatan yang antisosial seperti kasus-kasus hukum pidana yang diangkat dalam berbagai analisis putusan tersebut, pada hakikatnya telah mencederai iktikad baik kita dalam pergaulan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pencederaan itu tidak hanya dilakukan oleh orang perseorangan, tetapi sudah pula melibatkan korporasi dan komunitas luas warga masyarakat. Pelaku tindak pidana seperti tidak peduli bahwa perbuatan anti-sosial yang diperbuat, sangat merugikan kepentingan pihak lain atau kelompok masyarakat lain. Perilaku berhukum yang tidak menghormati hukum sebagai norma kesepakatan sosial, apakah itu ada di area hukum privat maupun publik, memperlihatkan rendahnya kualitas penegakan hukum di negeri yang baru melewati usia ke-72 tahun ini. Korps hakim dan aparatur penegak hukum lainnya jelas-jelas mengemban kewajiban untuk menghormati asas ini. Ex fida bona dalam berhukum secara sempit memang bermula di dalam kontrak perdata antar-individu, sedangkan ex fida bona dalam berhukum secara luas menghiasi kontrak sosial kita untuk menjadikan negara ini sebagai negara hukum (rechtsstaat). Selamat membaca! Dirgahayu negara hukum Indonesia!
Tertanda Pemimpin Redaksi Jurnal Yudisial
V
DAFTAR ISI
Vol. 10 No. 2 Agustus 2017
p-ISSN 1978-6506/e-ISSN 2579-4868
PENYELESAIAN SENGKETA KOMPETENSI ABSOLUT ANTARA ARBITRASE DAN PENGADILAN ................................... Kajian Putusan Nomor 10/PDT.G/2010/PN.JKT.PST jo. Putusan Nomor 629/PDT/2011/PT.DKI jo. Putusan Nomor 862 K/PDT/2013 jo. Putusan Nomor 238 PK/PDT/2014 dan Putusan BANI Nomor 547/XI/ARB-BANI/2013 Cut Memi Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jakarta PROBLEM MELINDUNGI HAK BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN BAGI KELOMPOK MINORITAS MELALUI PENGADILAN .................................................................... Kajian Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG Endra Wijaya Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta PENERAPAN PIDANA TAMBAHAN DALAM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI PADA TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP ............................. Kajian Putusan Nomor 1554 K/PID.SUS/2015 Hariman Satria Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari, Kendari PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG TANPA DAKWAAN TINDAK PIDANA ASAL .................................... Kajian Putusan Nomor 57/PID.SUS/2014/PN.SLR Halif Fakultas Hukum Universitas Jember, Jember KEBIJAKAN MODERASI PIDANA MATI ............................................ Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 Mei Susanto & Ajie Ramdan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung PERKEMBANGAN KEWENANGAN PEMBATALAN PERATURAN DAERAH DAN PERATURAN KEPALA DAERAH ..................................................................................
VII
115 - 134
135 - 154
155 - 171
173 - 192
193 - 215
217 - 234
Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Nomor 56/PUU-XIV/2016 Eka NAM Sihombing Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan
VIII
JURNAL YUDISIAL p-ISSN 1978-6506/e-ISSN 2579-4868............................................
Vol. 10 No. 2 Agustus 2017
Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya.
UDC 347.918; 340.142 Memi C (Fakultas Tarumanagara, Jakarta)
Hukum,
menangani perkara bersangkutan. Berdasarkan kajian yang dilakukan dalam tulisan ini, diperoleh jawaban bahwa yang berwenang dalam mengadili perkara PT B melawan PT CTPI adalah BANI bukan pengadilan.
Universitas
Penyelesaian Sengketa Kompetensi Absolut Antara Arbitrase dan Pengadilan
(Cut Memi) Kajian Putusan Nomor 10/PDT.G/2010/PN.JKT. PST jo. Putusan Nomor 629/PDT/2011/PT.DKI jo. Putusan Nomor 862 K/PDT/2013 jo. Putusan Nomor 238 PK/PDT/2014 dan Putusan BANI Nomor 547/ XI/ARB-BANI/2013
Kata kunci: pengadilan.
kompetensi
absolut,
arbitrase,
UDC 2.0
Jurnal Yudisial 2017 10(2), 115-134
Wijaya E (Fakultas Hukum, Universitas Pancasila, Jakarta)
Pasal 3 Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dengan perjanjian arbitrase, akan tetapi sampai saat ini masih saja terdapat pertentangan kompetensi absolut antara arbitrase dan pengadilan. Sebagai contoh dan sekaligus fokus dalam pembahasan tulisan ini adalah dalam hal penanganan perkara antara PT B melawan PT CTPI. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Berdasarkan Putusan Nomor 10/PDT.G/2010/ PN.JKT.PST, perkara ini telah diputus oleh pengadilan dengan menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang mengadili perkara bahkan putusan ini kemudian dikuatkan sampai tingkat peninjauan kembali di Mahkamah Agung berdasarkan Putusan Nomor 238 PK/PDT/2014. Sementara di pihak lain perkara ini juga diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dengan Putusan Nomor 547/XI/ARB-BANI/2013 yang menyatakan bahwa BANI berwenang dalam mengadili perkara yang sama. Pertentangan kompetensi absolut antara dua lembaga tersebut tentu perlu diselesaikan dengan menentukan lembaga mana yang sebenarnya berwenang dalam
Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas Melalui Pengadilan Kajian Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG Jurnal Yudisial 2017 10(2), 135-154 Jaminan terhadap hak untuk memeluk agama dan keyakinan sudah dijamin melalui konstitusi Indonesia, tapi jaminan konstitusional itu belumlah cukup. Penegakan hak untuk memeluk agama dan keyakinan masih perlu didukung dengan instrumen hukum lainnya, dan salah satunya ialah putusan pengadilan. Dalam konteks seperti itu, maka keberadaan Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG menarik untuk dicermati. Putusan tersebut berkaitan erat dengan isu penegakan hak untuk memeluk agama dan keyakinan di Indonesia, terutama bagi kelompok minoritas. Fokus permasalahan dalam tulisan ini akan diarahkan kepada persoalan bagaimanakah substansi Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG dilihat dari perspektif penegakan hak asasi manusia, khususnya hak asasi manusia untuk secara bebas (tanpa tekanan) memilih dan memeluk suatu agama dan keyakinan. Dalam melakukan analisis,
IX
penulis menggunakan metode kajian kepustakaan dengan bersandar pada data sekunder. Analisis akan dilakukan secara kualitatif dengan metode pendekatan peraturan perundang-undangan dan metode pendekatan konseptual. Kesimpulan yang didapat dari analisis ialah bahwa Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG cenderung masih berupaya mencapai aspek keadilan prosedural. Semangat untuk mengedepankan penegakan hak asasi manusia, khususnya hak beragama dan berkeyakinan bagi kelompok minoritas, tidak tampak dalam putusan tersebut.
denda dengan menggunakan ancaman pidana minimal sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 108 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kedua, terdakwa tidak dikenai pidana tindakan tata tertib seperti perbaikan akibat tindak pidana guna memulihkan kerugian keuangan negara. Ketiga, terdakwa juga tidak dikenai pidana tambahan. Tegasnya putusan a quo belum maksimal baik dilihat dari sisi pemulihan kerugian keuangan negara, maupun dari sisi sanksi pidana denda kepada pelaku. (Hariman Satria)
(Endra Wijaya)
Kata kunci: pidana tambahan, pertanggungjawaban pidana, korporasi, lingkungan hidup.
Kata kunci: hak beragama dan berkeyakinan, kelompok minoritas, putusan pengadilan.
UDC 336.74 UDC 349.601 Satria H (Fakultas Hukum, Muhammadiyah Kendari, Kendari)
Halif (Fakultas Hukum, Universitas Jember, Jember) Universitas
Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang Tanpa Dakwaan Tindak Pidana Asal
Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Lingkungan Hidup
Kajian Putusan Nomor 57/PID.SUS/2014/PN.SLR Jurnal Yudisial 2017 10(2), 173-192 Dalam surat dakwaan Putusan Nomor 57/PID. SUS/2014/PN.SLR, penuntut umum mendakwa dengan pasal tindak pidana pencucian uang tanpa bersamaan dengan pasal tindak pidana asal, sebagaimana diatur secara limitatif dalam Pasal 2 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Hal yang demikian berdampak kepada hakim dalam membuktikan unsur tindak pidana pencucian uang yang diketahui atau patut diduga hasil dari tindak pidana asal. Permasalahan yang menarik untuk dianalisis adalah 1) mengapa penentuan bentuk dakwaan menjadi penting dalam tindak pidana pencucian uang?; dan 2) bagaimanakah hakim membuktikan unsur tindak pidana pencucian uang jika tindak pidana asal tidak didakwakan? Untuk menganalisis permasalahan tersebut digunakanlah metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Penentuan bentuk dakwaan dalam tindak pidana pencucian uang
Kajian Putusan Nomor 1554 K/PID.SUS/2015 Jurnal Yudisial 2017 10(2), 155-171 Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 1554 K/PID.SUS/2015 menghukum terdakwa PT KA yang diwakili oleh SR selaku direktur utama, karena melakukan pembakaran hutan yang merusak lingkungan hidup, dengan pidana denda sebesar Rp3.000.000.000,-. Permasalahan yang timbul adalah bagaimanakah penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup, kaitannya dengan pidana tambahan berupa pemulihan kerugian akibat kerusakan lingkungan yang terjadi? Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan kasus dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertanggungjawaban pidana korporasi belum dilakukan secara maksimal karena didasari oleh tiga alasan. Pertama, terdakwa dipidana
X
quo, seperti penentuan pidana mati di luar pidana pokok, penundaan pidana mati, kemungkinan pengubahan pidana mati menjadi pidana seumur hidup atau penjara paling lama 20 tahun. Selain itu masih menimbulkan persoalan berkaitan dengan lembaga yang memberikan pengubahan pidana mati, persoalan grasi, lamanya penundaan pelaksanaan pidana mati, dan jenis pidana apa saja yang dapat diancamkan pidana mati.
menjadi dasar bagi hakim untuk menentukan sistem pembuktian dalam membuktikan unsur. Dengan pembuktian yang tepat hakim dapat membuktikan unsur tindak pidana pencucian uang. Oleh karena itu, penyusunan surat dakwaan yang tepat dalam tindak pidana pencucian uang menjadi hal yang sangat penting. (Halif) Kata kunci: pencucian uang, dakwaan, pembuktian.
(Mei Susanto & Ajie Ramdan) Kata kunci: kebijakan, KUHP, moderasi, pidana mati.
UDC 343.25 Susanto M & Ramdan A (Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran, Bandung)
UDC 352.075 Kebijakan Moderasi Pidana Mati Sihombing ENAM (Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan)
Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/ PUU-V/2007
Perkembangan Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah
Jurnal Yudisial 2017 10(2), 193-215 Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 selain menjadi dasar konstitusionalitas pidana mati, juga memberikan jalan tengah (moderasi) terhadap perdebatan antara kelompok yang ingin mempertahankan (retensionis) dan yang ingin menghapus (abolisionis) pidana mati. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana kebijakan moderasi pidana mati dalam putusan a quo dikaitkan dengan teori pemidanaan dan hak asasi manusia dan bagaimana kebijakan moderasi pidana mati dalam RKUHP tahun 2015 dikaitkan dengan putusan a quo. Penelitian ini merupakan penelitian doktrinal, dengan menggunakan bahan hukum primer dan sekunder, berupa peraturan perundang-undangan, literatur, dan hasil-hasil penelitian yang relevan dengan objek penelitian. Penelitian menyimpulkan, pertama, putusan a quo yang memuat kebijakan moderasi pidana mati telah sesuai dengan teori pemidanaan khususnya teori integratif dan teori hak asasi manusia di Indonesia di mana hak hidup tetap dibatasi oleh kewajiban asasi yang diatur dengan undang-undang. Kedua, model kebijakan moderasi pidana mati dalam RKUHP tahun 2015 beberapa di antaranya telah mengakomodasi amanat putusan a
Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/ PUU-XIII/2015 dan Nomor 56/PUU-XIV/2016 Jurnal Yudisial 2017 10(2), 217-234 Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 menyatakan Pasal 251 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terkait dengan kewenangan pembatalan peraturan daerah kabupaten/kota tidak lagi bisa dibatalkan Menteri Dalam Negeri atau gubernur. Melengkapi putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016 menyatakan pemerintah pusat juga tidak lagi memiliki kewenangan untuk melakukan pembatalan peraturan daerah provinsi. Putusan tersebut tidak serta merta menyelesaikan persoalan terkait dengan kewenangan pembatalan peraturan daerah, hal ini dikarenakan putusan Mahkamah Konstitusi hanya berlaku bagi peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/ kota. Rumusan masalah yang akan diurai dalam tulisan ini adalah bagaimana kewenangan pembatalan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah oleh Menteri dan gubernur pasca Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Nomor 56/
XI
PUU-XIV/2016. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam negara dengan bentuk kesatuan memang sudah sepatutnya pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap regulasi yang lahir di daerah. Implementasi dari pengawasan tersebut dapat dilakukan dengan melakukan pembinaan kepada daerah melalui penguatan executive preview atau pengujian terhadap suatu norma hukum sebelum sah mengikat secara umum, hal ini sejalan dengan ruh ketentuan Pasal 24A UUD NRI 1945. (Eka NAM Sihombing) Kata kunci: pembatalan, peraturan daerah, peraturan kepala daerah.
XII
JURNAL YUDISIAL p-ISSN 1978-6506/e-ISSN 2579-4868............................................
Vol. 10 No. 2 Agustus 2017
The Descriptors given are free terms. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.
UDC 347.918; 340.142 Memi C (Fakultas Tarumanagara, Jakarta)
(Cut Memi) Hukum,
Universitas
The Resolution of Absolute Competence Dispute Between Arbitration Tribunal and Court of Law An Analysis of Court Decisions Number 10/ PDT.G/2010/PN.JKT.PST jo. Number 629/ PDT/2011/PT.DKI jo. Number 862 K/PDT/2013 jo. Number 238 PK/PDT/2014 and Arbitral Award Number 547/XI/ARB-BANI/2013 (Org. Ind)
Keywords: absolute competence, arbitration tribunal, court of law.
UDC 2.0 Wijaya E (Fakultas Hukum, Universitas Pancasila, Jakarta) The Problem in Protecting the Right to Freedom of Religion and Belief for the Minority in Court of Law An Analysis of Court Decision Number 69/ PID.B/2012/PN.SPG (Org. Ind)
Jurnal Yudisial 2017 10(2), 115-134 Article 3 of Law on Arbitration and Alternative Dispute Resolution states that the district court is unlawful to decide dispute of parties bound by arbitration agreements, but to date, such absolute competence dispute between arbitration tribunal and court of law is still occurring. As an example, as well as the focus of discussion in this analysis is the case between PT B against PT CTPI. This study uses normative legal research methods. Based on Court Decision Number 10/PDT.G/2010/PN.JKT.PST, it was decided that the District Court of Central Jakarta has the authority to adjudicate the case. In fact, this decision is subsequently filed for an extraordinary request for review in the Supreme Court based on Court Decision Number 238 PK/PDT/2014. On the other hand, the case is also arbitrated by Indonesia National Board of Arbitration (BANI) by Arbitral Award Number 547/XI/ARB-BANI/2013 confirming its authority to adjudicate the same case. The absolute competence dispute between the two parties need to be resolved by determining which party is actually authorized in settling the case. Based on the analysis in this paper, it can be concluded that the case between PT B against PT CTPI is the authority of arbitration tribunal (BANI) to arbitrate, not court of law.
Jurnal Yudisial 2017 10(2), 135-154 The rights to freedom of religion and belief has been guaranteed under the Indonesian Constitution, although it is not enough. Enforcement of the right to religion and belief still needs to be supported by other legal instruments, one of which is the court ruling. In that context, Court Decision Number 69/ PID.B/2012/PN.SPG is interesting to study. Decision Number 69/PID.B/2012/PN.SPG is closely related to the issue of enforcing the right to embrace religion and belief in Indonesia, especially for minority groups. The focus of the problem in this paper leads to the question of how the substance of Court Decision Number 69/PID.B/2012/PN.SPG is viewed from the perspective of human rights enforcement, especially the rights to freedom (without pressure) of religion and belief. The method of analysis employed is literature study by relying on secondary data. The analysis is conducted qualitatively by the legislation and conceptual approach. From the analysis largely it can be concluded that Court Decision Number 69/ PID.B/2012/PN.SPG still tends to grasp the aspect of procedural justice. The spirit to encourage human rights enforcement, especially religious rights for minority groups is not evident in the decision.
XIII
(Endra Wijaya)
UDC 336.74
Keywords: the right to freedom of religion and belief, minority, court decision.
Halif (Fakultas Hukum, Universitas Jember, Jember)
UDC 349.601
An Analysis of Court Decison Number 57/PID. SUS/2014/PN.SLR (Org. Ind)
Satria H (Fakultas Hukum, Muhammadiyah Kendari, Kendari)
Universitas
Proving Money Laundering Accusation of Predicate Crime
Crime
Without
Jurnal Yudisial 2017 10(2), 173-192
The Implementation of Additional Criminal Charges of Corporate Crime Liability in Environmental Crime An Analysis of Court Decision Number 1554 K/ PID.SUS/2015 (Org. Ind) Jurnal Yudisial 2017 10(2), 155-171 Supreme Court convicted PT KA represented by SR as the President Director, through Court Decision Number 1554 K/PID.SUS/2015 on an environmentally-damaging forest fire to a maximum fine of Rp3,000,000,000,-. The problem addressed in this research analysis is how the implementation of corporate criminal liability in environmental crime related to additional criminal charges, in the form of compensation for environmental damage caused? The method used is a normative legal research, focusing on two approaches: case and conceptual approaches. The results indicated that corporate criminal liability has not performed optimally for three reasons. First, the defendant is subject to minimal criminal sanction as mentioned in Article 108 of Law on Environmental Protection and Management. Second, the defendant is not subject to sanction of disciplinary action, such as the restoration of state financial losses. Third, the defendant is also not subject to additional criminal charges. As a result, a quo decision is not maximal both in terms of state financial losses recovery and criminal sanction of fines to the offender. (Hariman Satria) Keywords: additional charges, criminal liability, corporate, environment.
In the accusation of Court Decision Number 57/ PID.SUS/2014/PN.SLR, the prosecutor filed the accusation with the article of money laundering crime without referring to the article on the predicate crime, as regulated in Article 2 of Law on Money Laundering Crime. Such matters affect the judges in proving the elements of money laundering crime known or reasonably suspected to be the result of a predicate crime. Issues of interest to review in the analysis are: 1) why does determining the form of the accusation play important role in the money laundering crime?; and 2) how does the judge prove the element of money laundering crime if the predicate crime is not accused? To analyse these problems, the juridical-normative method with legislative and conceptual approaches was used in this analysis. The accusation form determination in money laundering crime becomes the basis for the judge to determine the proof system in proving the element. With the precise proof the judge can prove the element of money laundering crime. It is therefore vey important to precisely write the accusation letter in the money laundering crime. However in proving the money laundering crime the predicate crime should be proved first. (Halif) Keywords: money laundering, accusation, proof.
UDC 343.25 Susanto M & Ramdan A (Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran, Bandung) The Moderation Policy of Capital Punishment An Analysis of Constitutional Court’s Decision
XIV
Number 2-3/PUU-V/2007 (Org. Ind)
Development of Regulatory Authority Annulment of Local Regulations and Regional Head Regulations
Jurnal Yudisial 2017 10(2), 193-215 Constitutional Court’s Decision Number 2-3/ PUU-V/2007, in addition to being the basis of the constitutionality of capital punishment, also provides a moderate way of arguing between retentionist groups and those wishing to abolish the death penalty (abolitionist). The problem in this research is how the moderation policy of capital punishment in a quo decision is associated with the theory of punishment and human rights and how the moderation policy of capital punishment in the draft Criminal Code of 2015 (RKUHP) is related with the aquo decision. This study is doctrinal, using primary and secondary legal materials, in the form of legislation, literature and research results that are relevant to the object of analysis. This study concludes, firstly, the aquo decision containing the moderation policy of capital punishment has been in accordance with the theory of punishment, specificallyy the integrative theory and the theory of human rights in Indonesia, in which the right to life remains limited by the fundamental obligations set forth in the law. Secondly, some of the modes of moderation model of capital punishment in RKUHP of 2015 have accommodated the mandate of aquo decision, such as the determination of capital punishment outside the main punishment, postponement of capital punishment, the possibility of converting capital punishment to life imprisonment or imprisonment of 20 years. In addition, it still raises issues regarding the institutions that provide for conversion of capital punishment, pardon matters, length of delay in the execution of capital punishment, and any types of crime punishable by capital punishment. (Mei Susanto & Ajie Ramdan) Keywords: policy, criminal code, moderation, capital punishment.
An Analysis of Constitutional Court’s Decision Number 137/PUU-XIII/2015 and Number 56/PUUXIV/2016 (Org. Ind) Jurnal Yudisial 2017 10(2), 217-234 Constitutional Court Decision Number137/PUUXIII/2015 stated in Article 251 of Law Number 23 of 2014 on Local Government related to the issue if regulatory authority annulment of local and leaders regulations can no longer be withdrawn by the Minister of HomeAffairs or Governor. Completing the decision, the Constitutional Court through Decision Number 56/PUU-XIV/2016 stated that the Central Government also no longer has the authority to annul the Provincial Regulation. The Constitutional Court Decision does not necessarily solve the problems related to the authority annulment of the local regulations. This is because the Constitutional Court Decision only applies to the Provincial Regulation and District/City Regulation. The formulation of the problems elaborated through this analysis is how the Authority Annulment of Regional Regulation by the Minister and the Governor after the issuance of Court Decision Number 137/PUU-XIII/2015 and Constitutional Court Decision Number 56/PUUXIV/2016. This analysis makes use of the legal juridical normative research method. The results show that in a state of unity it is appropriate that higher levels of government are given the authority to supervise the regulations set in the regions. The supervision can be implemented by conducting such a guidance to the region through the strengthening of executive preview or legal norm review before it is legally binding in general. This is in line with the spirit of Article 24A of the 1945 Constituition of the Republic of Indonesia. (Eka NAM Sihombing) Keywords: annulment, local regulation, regional head regulation.
UDC 352.075 Sihombing ENAM (Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan)
XV
PENYELESAIAN SENGKETA KOMPETENSI ABSOLUT ANTARA ARBITRASE DAN PENGADILAN Kajian Putusan Nomor 10/PDT.G/2010/PN.JKT.PST jo. Putusan Nomor 629/PDT/2011/ PT.DKI jo. Putusan Nomor 862 K/PDT/2013 jo. Putusan Nomor 238 PK/PDT/2014 dan Putusan BANI Nomor 547/XI/ARB-BANI/2013
THE RESOLUTION OF ABSOLUTE COMPETENCE DISPUTE BETWEEN ARBITRATION TRIBUNAL AND COURT OF LAW An Analysis of Court Decisions Number 10/PDT.G/2010/PN.JKT.PST jo. Number 629/ PDT/2011/PT.DKI jo. Number 862 K/PDT/2013 jo. Number 238 PK/PDT/2014 and Arbitral Award Number 547/XI/ARB-BANI/2013 Cut Memi Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara Jl. S. Parman No. 1 Grogol, Jakarta 114550 E-mail:
[email protected] Naskah diterima: 21 Maret 2017; revisi: 14 Agustus 2017; disetujui 14 Agustus 2017 ABSTRAK Pasal 3 Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dengan perjanjian arbitrase, akan tetapi sampai saat ini masih saja terdapat pertentangan kompetensi absolut antara arbitrase dan pengadilan. Sebagai contoh dan sekaligus fokus dalam pembahasan tulisan ini adalah dalam hal penanganan perkara antara PT B melawan PT CTPI. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Berdasarkan Putusan Nomor 10/PDT.G/2010/PN.JKT. PST, perkara ini telah diputus oleh pengadilan dengan menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang mengadili perkara bahkan putusan ini kemudian dikuatkan sampai tingkat peninjauan kembali di Mahkamah Agung berdasarkan Putusan Nomor 238 PK/PDT/2014. Sementara di pihak lain perkara ini juga diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dengan Putusan Nomor 547/XI/ARB-BANI/2013 yang menyatakan bahwa BANI berwenang dalam mengadili perkara yang sama. Pertentangan kompetensi absolut antara dua lembaga tersebut tentu perlu diselesaikan
dengan menentukan lembaga mana yang sebenarnya berwenang dalam menangani perkara bersangkutan. Berdasarkan kajian yang dilakukan dalam tulisan ini, diperoleh jawaban bahwa yang berwenang dalam mengadili perkara PT B melawan PT CTPI adalah BANI bukan pengadilan. Kata kunci: kompetensi absolut, arbitrase, pengadilan.
ABSTRACT Article 3 of Law on Arbitration and Alternative Dispute Resolution states that the district court is unlawful to decide dispute of parties bound by arbitration agreements, but to date, such absolute competence dispute between arbitration tribunal and court of law is still occurring. As an example, as well as the focus of discussion in this analysis is the case between PT B against PT CTPI. This study uses normative legal research methods. Based on Court Decision Number 10/PDT.G/2010/PN.JKT. PST, it was decided that the District Court of Central Jakarta has the authority to adjudicate the case. In fact, this decision is subsequently filed for an extraordinary request for review in the Supreme Court based on Court
Penyelesaian Sengketa Kompetensi Absolut Antara Arbitrase dan Pengadilan (Cut Memi)
| 115
Decision Number 238 PK/PDT/2014. On the other hand, the case is also arbitrated by Indonesia National Board of Arbitration (BANI) by Arbitral Award Number 547/XI/ARB-BANI/2013 confirming its authority to adjudicate the same case. The absolute competence dispute between the two parties need to be resolved by determining which party is actually authorized in
I. A.
settling the case. Based on the analysis in this paper, it can be concluded that the case between PT B against PT CTPI is the authority of arbitration tribunal (BANI) to arbitrate, not court of law. Keywords: absolute competence, arbitration tribunal, court of law.
PENDAHULUAN Latar Belakang
1. Dengan adanya pencantuman klausul arbitrase, apabila terjadi perselisihan di antara para pihak, mereka telah Dalam praktik pembuatan perjanjian bisnis sepakat untuk memilih arbitrase yang baik nasional maupun internasional sudah dikenal telah ditentukan untuk menyelesaikan secara umum bahwa para pihak perlu menyepakati perselisihan mereka, dan dengan demikian mekanisme sekiranya terjadi perselisihan di perkara tersebut secara absolut berada kemudian hari, meskipun perselisihan itu pada kewenangan arbitrase bukan pada belum pasti akan terjadi. Upaya preventif lembaga peradilan biasa. Dengan adanya menghadapi kemungkinan adanya perselisihan klausul arbitrase, para pihak tunduk itu yaitu dengan mencantumkan klausul tentang kepada aturan yang berlaku pada lembaga penyelesaian sengketa dalam perjanjian mereka. arbitrase yang dipilih. Misalnya para pihak Klausul itu diberi judul Settlement of Disputes telah memilih Badan Arbitrase Nasional yang isinya adalah kesepakatan tentang forum Indonesia (BANI) sebagai forum untuk mana yang akan menyelesaikan perselisihan menyelesaikan sengketa mereka, maka para pihak, apakah itu melalui pengadilan atau para pihak harus tunduk pada aturan (law arbitrase. of procedure) dari BANI; Hal ini didasarkan atas asas kebebasan berkontrak yang merupakan salah satu prinsip universal yang telah diakui secara internasional (Adolf, 2016a: 17). Apabila penyelesaian sengketa yang dipilih adalah arbitrase, aturan yang mengatur itu terdapat dalam UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dengan perjanjian arbitrase. Terdapat beberapa arti penting yang terkandung dalam suatu klausul arbitrase yaitu:
116 |
2.
Sesuai dengan asas pakta sunt servanda yang menyatakan bahwa perjanjian berlaku sebagai undang-undang, maka dengan adanya klausul arbitrase, para pihak terikat untuk menyelesaikan sengketa pada lembaga arbitrase yang telah disepakati.
Dalam praktik, sengketa yang telah terikat dengan perjanjian arbitrase komersial, tetap diajukan juga oleh salah satu pihak ke pengadilan di Indonesia dan kemudian diadili oleh pengadilan dan bukan di hadapan arbitrase yang telah dipilih oleh para pihak, bahkan putusan pengadilan yang menyatakan berwenang untuk mengadili perkara
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 115 - 134
tersebut dikuatkan sampai ke tingkat peninjauan kompensasinya PT B berhak mendapatkan 75% kembali. Sementara pihak lain kemudian saham penyertaan pada PT CTPI. Sebagai tindak mengajukan perkara yang sama ke BANI. lanjut pelaksanaan investment agreement tersebut, SHR memberikan surat kuasa khusus yang tidak Terjadi tarik-menarik atau perebutan dapat dicabut kembali (irrevocable of power of kewenangan dalam mengadili perkara. Pihak attorney) tanggal 7 Februari 2003 dan 3 Juni pengadilan melalui Putusan Nomor 10/ 2003 kepada PT B, dengan mengenyampingkan PDT.G/2010/PN.JKT.PST menyatakan bahwa Pasal 1813, 1814, dan 1816 KUHPerdata. pengadilan yang berwenang untuk mengadili perkara. Sedangkan BANI melalui Putusan Nomor Selanjutnya untuk menyehatkan kondisi PT 547/XI/ARB-BANI/2013 juga menyatakan CTPI diperlukan juga berbagai prasarana serta berwenang untuk mengadili perkara dengan program siaran agar perusahaan dapat berjalan. alasan bahwa di dalam investment agreement, Atas dasar hal itu disepakati pula perubahan para pihak telah sepakat untuk menyelesaikan kewajiban PT B dari yang semula terdapat dalam sengketa melalui arbitrase (BANI). Sebagai investment agreement menjadi supplemental contoh kasus dan sekaligus merupakan fokus agreement. Selain itu dalam Pasal 13.2 dan 13.3 kajian dalam tulisan ini adalah perkara antara PT investment agreement, terdapat klausul arbitrase B melawan PT CTPI. yang menyatakan: Perkara ini berawal dari terjadinya krisis ekonomi global tahun 1998, yang pada saat itu banyak bank dan perusahaan yang ditutup oleh pemerintah dan para pemegang sahamnya diwajibkan untuk menyelesaikan hutanghutangnya. Salah satu yang terkena imbas dari krisis tersebut adalah grup usaha milik SHR (PT CTPI) yang hutang piutangnya kemudian diambil alih oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). SHR kemudian mencari investor dengan meminta pertolongan pada HT untuk menyelesaikan segala permasalahan mengenai hutang-hutang PT CTPI di BPPN. Sebagai kompensasinya SHR menjanjikan akan mengeluarkan 75% saham PT CTPI kepada investor yang dapat membantu menyelamatkan PT CTPI. Tanggal 23 Agustus 2002 di antara para pihak telah ditandatangani surat perjanjian (investment agreement) yang pada intinya menyepakati bahwa PT B berkewajiban untuk melaksanakan pembiayaan dan restrukturisasi hutang-hutang PT CTPI dan sebagai
13.2 All controversies arising between the Parties out of or in relation to this Agreement, including without limitation, any question relative to its interpretation, performance validity, effectiveness, and the termintation of the rights or obligations of any Party, shall be settled amicably by the Parties wherever practicable.
13.3 If such dispute cannot be resolved amicably by the Parties them, it shall be settled exclusively and finally by arbitration in Jakarta in accordance with the Rules of Badan Arbitrase Nasional Indonesia.
Dalam perjalanan waktu pelaksanaan perjanjian, PT B mendalilkan bahwa SHR dkk, ingin menguasai kembali PT CTPI dan tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana telah ditentukan dalam investment agreement dan supplemental agreement yakni menerbitkan dan mengeluarkan 75% saham baru kepada PT B. Sementara PT CTPI mendalilkan bahwa PT B telah melakukan perbuatan melawan hukum, karena telah menyelenggarakan dan menghadiri Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS LB)
Penyelesaian Sengketa Kompetensi Absolut Antara Arbitrase dan Pengadilan (Cut Memi)
| 117
tanggal 18 Maret 2005 secara tidak sah dengan menggunakan Surat Kuasa tanggal 3 Juni 2003 yang sudah tidak berlaku lagi. Oleh karena tidak ada titik temu di antara para pihak. Tahun 2010 SHR mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Registrasi Perkara Nomor 10/PDT.G/2010/PN.JKT.PST. Terhadap gugatan tersebut, PT B mengajukan eksepsi dengan menyatakan bahwa kasus yang diajukan SHR dkk, bukan kewenangan pengadilan negeri karena para pihak telah terikat investment agreement yang di dalamnya terdapat klausul arbitrase. Pasal 13.3 dari perjanjian investment agreement menyatakan: jika sengketa demikian tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan oleh para pihak, maka akan diselesaikan secara eksklusif dan final melalui arbitrase di Jakarta sesuai dengan aturan BANI. Akan tetapi pada tanggal 18 Agustus 2010, dalam Putusan Nomor 10/PDT.G/2010/PN.JKT.PST telah memutuskan menolak eksepsi kompetensi absolut dari tergugat turut tergugat I dan turut tergugat III; dan menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang mengadili Putusan Nomor 10/ PDT.G/2010/PN.JKT.PST. Terhadap putusan tersebut, PT B mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI. Salah satu alasan yang diajukan dalam memori banding adalah karena para pihak telah terikat dalam investment agreement dan supplemental agreement yang mengandung klausul arbitrase, maka pengadilan negeri tidak memiliki kewenangan/kompetensi absolut terhadap perkara dimaksud. Pada akhirnya, melalui Putusan Nomor 629/PDT/2011/PT.DKI menerima permohonan banding dari PT B dan menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang dalam mengadili perkara, dan
118 |
membatalkan Putusan Nomor 10/PDT.G/2010/ PN.JKT.PST. Atas putusan banding yang telah memenangkan PT B, SHR dkk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Dalam Putusan Nomor 862 K/PDT/2013, Mahkamah Agung menganulir Putusan Pengadilan Tinggi, dengan alasan bahwa sengketa atas gugatan yang diajukan oleh PT CTPI, adalah sengketa yang berada di luar ruang lingkup investment agreement. Selanjutnya pada tahun 2014 PT B mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Putusan Nomor 238 PK/PDT/2014 menguatkan Putusan Nomor 862 K/PDT/2013 dan menyatakan bahwa sengketa gugatan yang diajukan oleh SHR dkk, bukanlah sengketa mengenai hak berdasarkan investment agreement, sehingga pengadilan negeri berwenang memeriksa dan mengadili perkara. PT B kemudian menggugat SHR dengan mengajukan permohonan ke BANI agar perkara ini diselesaikan secara arbitrase, yang kemudian diterima oleh BANI dengan Putusan Nomor 547/XI/ARB-BANI/2013 yang menyatakan sah dan mengikat investment agreement tanggal 23 Agustus 2002 dan supplemental agreement tanggal 7 Februari 2003 terkait dengan sengketa kepemilikan saham PT CTPI yang bersumber dari investment agreement. Adanya dua lembaga yang memutus perkara yang sama, terlihat bahwa di satu sisi pengadilan berpendapat bahwa pengadilan negeri yang berwenang mengadili perkara, sedangkan di sisi lain lembaga arbitrase berpendapat bahwa BANI yang berwenang dalam mengadili perkara. Tindakan tarik-menarik dan pertentangan kompetensi absolut dalam mengadili perkara sebagaimana dikemukakan di atas tentu perlu diselesaikan karena pada dasarnya
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 115 - 134
penyelenggaraan kewenangan kedua lembaga ini C. saling berbeda satu sama lain. Penyelenggaraan pengadilan didasarkan pada kewenangan yang diberikan oleh UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sedangkan penyelenggaraan arbitrase didasarkan atas dasar perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak, sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Para pihak yang menyepakati supaya sengketa mereka diselesaikan melalui arbitrase. Tanpa adanya kesepakatan itu, maka arbitrase tersebut tidak akan ada. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 mengatakan: Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Akan tetapi dengan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, maka berdasarkan Pasal 3 telah menyatakan secara tegas bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dengan perjanjian arbitrase. Bertitik tolak dari pemikiran-pemikiran sebagaimana telah diuraikan di atas, telah pula menarik perhatian dan sekaligus menjadikan motivasi bagi penulis untuk mengkaji dan meneliti lebih lanjut permasalahan ini, khususnya untuk menemukan jawaban tentang lembaga mana yang sesungguhnya berwenang dalam mengadili perkara.
Tujuan dan Kegunaan
Tujuan tulisan ini adalah untuk meneliti dan mengkaji lembaga yang memiliki kewenangan absolut dalam mengadili perkara antara PT B melawan PT CTPI. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik secara teoritis, kepada disiplin ilmu hukum yang ditekuni oleh penulis maupun secara praktis kepada para hakim pengadilan negeri untuk dapat dijadikan acuan dalam praktik, khususnya mengenai lembaga yang berkompeten dalam mengadili perkara yang telah terikat dengan perjanjian arbitrase. D.
Tinjauan Pustaka
1.
Pengertian Kompetensi Absolut
Kompetensi dari peradilan yang berwenang untuk mengadili suatu perkara adalah hal yang sangat penting dalam pengajuan gugatan atas suatu perkara, karena apabila gugatan atas suatu perkara diajukan kepada peradilan yang tidak berwenang untuk itu, maka akan mengakibatkan ditolaknya perkara tersebut oleh badan peradilan. Dalam hukum acara perdata dikenal dua macam kewenangan yaitu: a. Wewenang
mutlak
atau
absolute
competentie. b.
Wewenang relatif atau relative competentie (Sutantio & Kartawinata, 2002: 11).
Wewenang mutlak adalah menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan, dilihat dari macamnya pengadilan menyangkut pemberian kekuasaan untuk B. Rumusan Masalah mengadili (attributie van rechts macht). Wewenang mutlak atau kompetensi absolut ini Lembaga mana yang memiliki kewenangan diatur dalam Pasal 133 dan 134 HIR. Wewenang absolut untuk mengadili perkara antara PT B relatif mengatur pembagian kekuasaan mengadili melawan PT CTPI, arbitrase atau pengadilan? Penyelesaian Sengketa Kompetensi Absolut Antara Arbitrase dan Pengadilan (Cut Memi)
| 119
antara pengadilan serupa, tergantung dari tempat perjanjian dari pihak yang bersengketa. Pasal tinggal tergugat. Wewenang relatif ini diatur tersebut, memberikan isyarat bahwa arbitrase dalam Pasal 118 HIR. yang telah ditentukan oleh para pihak adalah merupakan suatu perjanjian, perjanjian tersebut harus berbentuk tertulis, dan sebagaimana 2. Istilah dan Pengertian Arbitrase dikemukakan oleh Adolf (2014: 83), persyaratan Di Indonesia, konsep arbitrase sebagai tertulis ini merupakan karakteristik terpenting penyelesaian sengketa atau beda pendapat ini dan telah berlaku secara universal baik nasional sejalan dengan ajaran tentang musyawarah yang maupun internasional. dikenal dalam masyarakat dan budaya Indonesia, dan bahkan merupakan sendi pokok dari falsafah 3. Perbedaan antara Arbitrase dan Negara Republik Indonesia yang tercantum Pengadilan dalam UUD NRI 1945 (Abdurrasyid, 2011: xvi). Terdapat beberapa perbedaan prinsip antara Keberadaan arbitrase ini telah diakui dan arbitrase dan pengadilan yaitu: diperkuat dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Pengaturan hal ini a. Pengadilan memfungsikan suatu lembaga sejalan pula dengan Pasal 58 Undang-Undang kontrol dalam persidangannya melalui sifat Nomor 48 Tahun 2009 yang menyatakan: terbuka untuk umum (open baar). Kedua bahwa penyelesaian sengketa perdata dapat belah pihak harus didengar keterangannya dilakukan di luar pengadilan negara melalui di depan persidangan. Sebaliknya, di arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. dalam persidangan arbitrase meskipun asas Terdapat beberapa pengertian tentang arbitrase. bahwa kedua belah pihak harus didengar Abdurrasyid (2011, 76) mengatakan bahwa keterangannya, namun persidangan arbitrase arbitrase adalah suatu tindakan hukum di mana bersifat tertutup untuk umum, sehingga ada pihak yang menyerahkan sengketa atau kerahasiaan (confidential) para pihak dapat selisih pendapat antara dua orang atau lebih terjaga. maupun dua kelompok atau lebih kepada seorang b. Tuntutan perkara ke arbitrase hanya bisa atau beberapa ahli yang disepakati bersama dilakukan jika di antara para pihak yang dengan tujuan memperoleh satu keputusan final bersengketa terdapat perjanjian (klausul) dan mengikat. arbitrase, sedangkan tuntutan perkara ke Setiawan (2003: 50) mengatakan bahwa pengadilan bisa diajukan tanpa syarat dan arbitrase adalah suatu proses privat untuk oleh siapapun. menyelesaikan sengketa antara pihak-pihak yang c. Proses beracara di pengadilan lebih bersifat didasarkan pada suatu perjanjian atau klausul formal dan sangat kaku, sedangkan proses arbitrase dalam suatu perjanjian. Dalam Pasal beracara di arbitrase lebih bersifat informal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun sehingga terbuka untuk memperoleh 1999, bahwa yang dimaksud dengan arbitrase cara penyelesaian secara kekeluargaan adalah cara penyelesaian suatu sengketa di dan damai (amicable) serta memberi luar pengadilan umum yang didasarkan atas 120 |
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 115 - 134
kesempatan luas untuk meneruskan hubungan komersial para pihak di kemudian hari setelah berakhirnya proses penyelesaian sengketa (Kolopaking, 2013: 76).
arbitrase yang diatur dalam aturan sebelumnya menjadi tidak berlaku. Aturan-aturan yang dimaksud adalah Pasal 615-651 Reglement Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering Stb. Nomor 52 Tahun 1847), Pasal 377 Reglement Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene 4. Pemilihan Arbitrase sebagai Forum Indonesisch Reglement, Stb. Nomor 44 Tahun 1941), serta Pasal 705 Reglement acara untuk Penyelesaian Sengketa daerah luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Penyelesaian sengketa melalui arbitrase Builen Gewesten, Stb. Nomor 227 Tahun 1927). diasumsikan memberikan beberapa keuntungan bagi pihak pengusaha, yaitu: 1) penyelesaian 6. Filosofi dan Prinsip-Prinsip Dasar sengketa melalui arbitrase berlangsung relatif Arbitrase lebih cepat dibandingkan dengan proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan; 2) Filosofi arbitrase dari Jakubowski sebagai putusan arbitrase bersifat final dan mengikat berikut: kedua belah pihak serta tidak dapat diganggu a. Teori Kewenangan Arbitrase (authority not gugat lagi; dan 3) secara relatif, proses arbitrase power). dianggap lebih murah apabila dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan jika Teori ini menegaskan bahwa dasar penyelesaian dilakukan di pengadilan. Namun kewenangan antara arbitrase dan demikian, suatu hal yang perlu diluruskan pengadilan berbeda satu sama lain. adalah bahwa arbitrase bukanlah saingan dari Kewenangan pengadilan didasarkan atas pengadilan, karena peran arbitrase hanya terbatas kekuasaan negara di bidang yudikatif, pada kewenangan untuk menyelesaikan sengketa sedangkan kewenangan arbitrase justru dagang saja (Adolf, 2016b: 26). berasal dari adanya kesepakatan para pihak 5.
Aturan Hukum Arbitrase di Indonesia
Aturan yang mengatur tentang arbitrase di Indonesia terdapat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Sebagai dasar pertimbangan diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 adalah Pasal 58 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang mengatakan bahwa b. upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, maka ketentuan-ketentuan mengenai
yang memberikan kewenangan (authority) kepada arbitrase untuk mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Atas dasar itu Nugroho (2016: 104) mengatakan bahwa perjanjian arbitrase merupakan dasar fundamental untuk dapat menyelesaikan sengketa melalui forum arbitrase. Teori Arbitrase dan Hukum Teori ini mengatakan bahwa arbitrase adalah suatu lembaga hukum (bagian dari hukum perdagangan). Sebagai lembaga hukum, arbitrase memiliki atau mengeluarkan seperangkat produk peraturan arbitrase,
Penyelesaian Sengketa Kompetensi Absolut Antara Arbitrase dan Pengadilan (Cut Memi)
| 121
antara lain seperti Badan Arbitrase ICC, ICSID, dan BANI. Lembaga ini memiliki hukum acaranya sendiri (Arbitration Rules and Procedures) (Adolf, 2014: 54). c.
Teori Arbitrase dan Pihak Ketiga
Sifat dasar arbitrase yang dikemukakan dalam teori ini adalah bahwa sifat kerahasiaan (prinsip confidentiality). Pihak ketiga, pengadilan, bahkan negara, tidak d. dapat mencampuri jalannya persidangan arbitrase (Adolf, 2014: 62).
Dalam penyelenggaraan arbitrase terdapat beberapa prinsip penting dan sangat mendasar sebagai berikut: a. Prinsip Final and binding
b.
c.
122 |
pada iktikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di pengadilan negeri. Prinsip ini berlaku tidak hanya dalam jangka waktu pelaksanaan perjanjian, tetapi juga berlaku pada saat pelaksanaan putusan. Prinsip ini merupakan tonggak dasar dari arbitrase, sehingga tanpa adanya iktikad baik maka arbitrase tidak akan ada gunanya sama sekali. Prinsip Efisiensi Prinsip ini diatur dalam Pasal 48 ayat (1) yang menyatakan bahwa pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 hari sejak arbitrase atau majelis arbitrase terbentuk. Ketentuan ini juga sejalan dengan aturan dan prosedur yang ada pada BANI.
Prinsip ini mengandung arti bahwa putusan Berdasarkan hasil wawancara (2015) arbitrase bersifat final (akhir) dan mengikat. Dengan demikian, terhadap putusan yang dilakukan oleh penulis dengan Husseyn arbitrase tidak bisa diajukan banding Umar yang mengatakan bahwa pada prinsipnya arbitrase sama seperti pengadilan, hanya saja apalagi kasasi dan peninjauan kembali. sifatnya privat atau swasta. Pertanyaannya Prinsip Kerahasiaan (Confidenciality) adalah bagaimana menentukan kewenangan Prinsip kerahasiaan ini diatur dalam Pasal arbitrase yang bersifat swasta itu. Hal penentuan 27 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 wewenang oleh badan arbitrase lazim disebut yang menyatakan semua pemeriksaan dengan doktrin competence-competence. Atas sengketa oleh arbitrase atau majelis arbitrase dasar kewenangan yang lahir dari penunjukan dilakukan secara tertutup. Hal ini bertolak para pihak sebagaimana dikemukakan di belakang dengan prinsip yang dianut dalam atas, badan arbitrase dapat menentukan persidangan di pengadilan yang dilakukan dirinya sendiri sebagai badan atau pihak yang berwenang untuk menentukan hal-hal apa saja secara terbuka untuk umum (open baar). yang menjadi kewenangan kompetensinya. Prinsip Iktikad Baik Dalam perkembangannya, doktrin competencePasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor competence ini telah pula dijadikan sebagai 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa prinsip dasar dalam modern law arbitration sengketa atau beda pendapat perdata dapat yang menentukan bahwa pengadilan arbitrase diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif berwenang untuk menentukan yuridiksi atau penyelesaian sengketa yang didasarkan kompetensinya sendiri. Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 115 - 134
Lembaga pertama yang menentukan bahwa arbitrase itu berwenang atau tidak, adalah arbitrase itu sendiri bukan pengadilan. Akan tetapi jika dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, doktrin competence-competence tidak diatur secara eksplisit, namun doktrin tersebut justru tercantum dalam Pasal 18 Rules & Prosedures BANI yang mengatakan sebagai berikut: “Kompetensi-kompetensi: Majelis berhak menyatakan keberatan atas pernyataan bahwa ia tidak berwenang, termasuk keberatan yang berhubungan dengan adanya atau keabsahan perjanjian arbitrase jika terdapat alasan untuk itu.” 7. Kewenangan Pengadilan dalam Mengadili Sengketa dengan Klausul Arbitrase Kewenangan mutlak atau absolute competent merupakan wewenang yang menyangkut pembagian kekuasaan antar badanbadan peradilan, dilihat dari macamnya pengadilan menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili (Hasibuan, 2006: 25). Kewenangan absolut pengadilan dilakukan atas dasar kekuasaan negara di bidang yudikatif (judicial power) yang diberikan oleh kekuasaan negara berdasarkan konstitusi yang selanjutnya diatur dalam UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009.
Badan yang bertindak melakukan penyelesaian itu disebut peradilan semu atau extra judicial, di mana kedudukan dan organisasinya berada di luar kekuasaan kehakiman. Arbitrase merupakan salah satu bentuk extra judicial yang memiliki yurisdiki absolut untuk menyelesaikan sengketa sebagaimana telah diatur dalam UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999. Eksistensi dari arbitrase ini diperkuat dengan Pasal 58 UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 yang menyatakan: upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Akan tetapi di sisi lain, di dalam Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Pasal 10 mengandung asas curia ius novit yang artinya hakim dianggap mengetahui hukum dan dapat mengambil keputusan berdasarkan ilmu pengetahuannya dan keyakinannya sendiri sehingga hakim harus memutus perkara yang diajukan kepadanya (Wisana, Aburaera, & Karim, 2011: 6-7). Atas dasar itu, jika salah satu pihak mengajukan perkara ke pengadilan negeri, sedangkan para pihak telah terikat dengan perjanjian arbitrase, maka pengadilan Selanjutnya, terdapat pula kewenangan negeri tetap memeriksa sengketa tersebut karena absolut extra judicial berdasarkan yurisdiksi hakim mempunyai kewajiban memeriksa perkara khusus (spesific jurisdiction) oleh undang- tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat undang, yang mengatur bahwa selain pengadilan (1) tersebut. negara yang berada di dalam lingkungan kekuasaan kehakiman yang digariskan pada Pasal II. METODE 24 ayat (2) UUD NRI 1945, terdapat juga sistem penyelesaian sengketa berdasarkan yurisdiksi Metode yang digunakan dalam tulisan ini khusus yang diatur dalam berbagai peraturan adalah metode penelitian yuridis normatif. Bahan perundang-undangan. hukum yang digunakan dalam tulisan ini adalah
Penyelesaian Sengketa Kompetensi Absolut Antara Arbitrase dan Pengadilan (Cut Memi)
| 123
bahan hukum primer yang meliputi peraturan perundang-undangan berkenaan dengan arbitrase, putusan pengadilan, mengenai arbitrase, pendapat para ahli (doktrin) yang diperoleh melalui literatur, serta bahan non-hukum berupa catatan hasil wawancara dengan para ahli maupun kebiasaankebiasaan yang diterapkan dalam praktik hukum khususnya dalam penyelesaian sengketa arbitrase internasional.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Dasar pertimbangan hukum yang digunakan hakim pada tingkat pengadilan negeri adalah sebagai berikut:
Atas dasar hal itu, hasil pengumpulan dan penemuan bahan hukum serta informasi melalui studi kepustakaan dilakukan secara deduktif argumentatif pada berbagai teori yang digunakan, dan sesuai dengan bahan hukum yang diteliti, maka tulisan ini bersifat deskriptif guna menggambarkan secara detail dan mendalam tentang permasalahan yang diteliti. Teknik pengumpulan bahan hukum dalam tulisan ini, dilakukan melalui penelaahan bahan hukum yang diperoleh dari bahan hukum primer yang bersifat autoritatif (mempunyai otoritas) dan bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi, maupun bahan non-hukum yang terdiri atas: a) Bahan hukum primer dalam tulisan ini yaitu: Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dan putusan pengadilan; b)
124 |
Menimbang, bahwa dengan demikian para pihak tersebut tidak terikat dengan investment agreement yang diadakan oleh PT B dan SHR dkk; Menimbang, bahwa dengan demikian apabila dalam dokumen tidak terdapat pihakpihak yang termasuk dalam perjanjian maka pihak tersebut tentu saja tidak terikat dengan ketentuan tentang arbitrase; Menimbang, bahwa dengan perkara a quo, pihak-pihak yang tidak terikat dengan investment agreement tidak terikat dan tunduk pada ketentuan yang terdapat pada investment agreement; Menimbang, bahwa suatu gugatan perbuatan melawan hukum sama sekali berbeda dengan gugatan wanprestasi. Perbuatan melawan hukum tidak terkait dengan pada adanya suatu perjanjian melainkan merujuk pada kriteria dari suatu perbuatan melawan hukum, sedangkan wanprestasi terkait dengan pihak-pihak yang melakukan suatu perjanjian;
Menimbang, bahwa dari pertimbangan di atas maka menurut majelis oleh karena materi gugatan a quo berbeda dengan materi pelaksana investment agreement dan para pihak yang terdapat dalam gugatan juga
komentar-komentar atas putusan pengadilan yang terkait dengan masalah yang diteliti; dan
wawancara dengan berbagai ahli (Marzuki, 2013: 181).
Menimbang, bahwa para pihak yang terkait dalam gugatan a quo dan para pihak yang terkait dalam investment agreement terdapat perbedaan;
Bahan hukum sekunder yang meliputi bukubuku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan
c) Bahan non-hukum berupa catatan hasil
Menimbang materi gugatan penggugat pada pokoknya mempermasalahkan tentang perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh PT B dan PT SRD karena mengadakan RUPS LB tanggal 18 Maret 2005 dan RUPS lain yang menurut SHR dkk memiliki cacat hukum dan hal tersebut merugikan para pihak, adanya pemblokiran SISMINBAKUM Departemen Hukum dan HAM yang dilakukan oleh PT SRD selaku operator SISMINBAKUM;
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 115 - 134
berbeda dengan para pihak dalam investment agreement, maka menurut majelis pengadilan negeri tidak terikat dengan ketentuan Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dan oleh karena gugatan memenuhi ketentuan 118 ayat (2) HIR yaitu salah satu tergugat bertempat tinggal di wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang mengadili gugatan a quo. Terhadap pertimbangan hakim tersebut, PT B berpendapat bahwa hakim sama sekali tidak menyinggung tentang keberlakuan dan pelaksanaan investment agreement dan supplemental agreement dari para pihak. Atas dasar alasan tersebut PT B tidak menerima putusan hakim tersebut, dan kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta. Dalam eksepsinya SHR dkk, menyatakan bahwa kewenangan absolut untuk mengadili perkara ini berada pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, karena sengketa yang diajukan terkait dengan perbuatan melawan hukum yang telah dilakukan oleh PT B sehingga menimbulkan kerugian.
disetujui antara PT B dan SHR dkk, dan telah ditentukan bahwa setiap sengketa yang timbul akan diselesaikan melalui arbitrase dengan ketentuan BANI. Menimbang, bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 sudah terbukti bahwa gugatan dalam perkara ini adalah merupakan sengketa yang telah terikat dengan perjanjian arbitrase maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat harus dinyatakan secara absolut tidak berwenang untuk mengadili sengketa yang digugat dalam perkara ini.
Atas dasar pertimbangan tersebut di atas, melalui Putusan Nomor 629/PDT/2011/PT.DKI memberikan amar putusan yang membatalkan Putusan Nomor 10/PDT.G/2010/PN.JKT.PST.
Pihak SHR dkk, tidak menerima hasil putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tersebut dan kemudian mengajukan kasasi. Dalam eksepsinya PT B menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak memiliki kewenangan absolut karena perkara a quo merupakan pelaksanaan dari investment agreement yang mengandung klausul arbitrase secara tegas. Selain itu pokok gugatan yang Atas permohonan banding yang diajukan diajukan oleh SHR dkk, mengenai keabsahan oleh PT B, majelis hakim memberikan surat kuasa tanggal 3 Juni 2003 dan RUPS LB pertimbangan yang pada intinya menyatakan tanggal 18 Maret 2005, merupakan realisasi sebagai berikut: atas investment agreement dan supplemental Menimbang, bahwa karena sengketa agreement sebagai perjanjian pokoknya. yang digugat oleh PT B dalam perkara ini terbukti dalam sengketa yang berhubungan Atas permohonan kasasi yang diajukan dengan pelaksanaan investment agreement; oleh SHR dkk, Mahkamah Agung memberikan Menimbang, bahwa yang menjadi dasar pertimbangan hukum sebagai berikut: dari PT B untuk mengadakan RUPS LB Menimbang bahwa alasan kasasi dapat tanggal 18 Maret 2005 yang menjadi dibenarkan, pengadilan tinggi telah salah pokok sengketa antara PT B dan SHR dalam menerapkan hukumnya dengan dalam perkara a quo adalah didasarkan atas alasan bahwa pengadilan tinggi telah keliru adanya surat kuasa khusus tertanggal 3 Juni menafsirkan isi kesepakatan investment 2003 yang dibuat dan ditandatangani oleh agreement tanggal 23 Agustus 2002; SHR;
Menimbang, bahwa perkara ini adalah sengketa yang berkaitan dan berhubungan dengan pelaksanaan investment agreement tertanggal 23 Agustus 2002 yang telah
Menimbang, bahwa masalah pokok dalam perkara ini adalah tentang hasil RUPS LB tanggal 17 Maret 2005 yang dilakukan oleh SHR dkk, atas PT CTPI dan akses
Penyelesaian Sengketa Kompetensi Absolut Antara Arbitrase dan Pengadilan (Cut Memi)
| 125
SISMINBAKUM yang diblokir oleh PT SRD atas kemauan PT B, sehingga pendaftaran hasil RUPS LB tersebut tidak dapat didaftarkan kepada Departemen Hukum dan HAM;
2)
Menimbang, bahwa selanjutnya PT B mengadakan RUPS LB sendiri pada tanggal 18 Maret 2005 dan akses SISMINBAKUM dibuka oleh PT SRD dan langsung didaftarkan kepada Departemen Hukum dan HAM;
Menimbang, bahwa perbuatan tersebut termasuk lingkup perbuatan melawan hukum, yang berada di luar isi kesepakatan investment agreement tanggal 23 Agustus 3) 2002, sehingga sengketa ini adalah merupakan kewenangan peradilan umum.
Mengenai keabsahan RUPS LB tanggal 17 Maret 2005, dalam putusan kasasi, majelis kasasi telah melakukan kekeliruan, di mana telah menyatakan RUPS LB tanggal 17 Maret 2005 sah adanya dengan pertimbangan kehadiran dan persetujuan SHR dkk tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan bahwa SHR dkk, dan PT B telah terikat pada investment agreement (serta klausulklausulnya) dan surat kuasa yang tidak dapat dicabut kembali; Mengenai keabsahan RUPS LB tanggal 18 Maret 2005, majelis kasasi telah melakukan kekeliruan dengan menyatakan bahwa RUPS LB tanggal 18 Maret 2005 tidah sah hanya dengan mempertimbangkan bahwa surat kuasa yang telah diberikan SHR dkk, telah dicabut, tanpa mempertimbangkan adanya investment agreement yang menyebabkan PT B berhak untuk menyelenggarakan RUPS LB tanggal 18 Maret 2005 dan
Atas dasar pertimbangan hukum tersebut, kemudian majelis hakim memutus perkara tersebut dalam Putusan Nomor 862 K/PDT/2013, yang amar putusannya menyatakan membatalkan Putusan Nomor 629/PDT/2011/PT.DKI yang membatalkan Putusan Nomor 10/PDT.G/2010/ PN.JKT.PST dan menguatkan putusan pengadilan negeri. Membaca putusan kasasi seperti demikian, berhak atas 75% saham di PT CTPI; PT B kemudian menggugat SHR dengan Mengenai adanya pemblokiran mengajukan permohonan ke BANI agar perkara 4) SISMINBAKUM oleh PT SRD. Dalam ini diselesaikan secara arbitrase, yang kemudian putusan kasasi, majelis kasasi juga diterima oleh BANI dengan Putusan Nomor melakukan kekeliruan di mana majelis 547/XI/ARB-BANI/2013. Pertimbangan hukum mempertimbangkan bahwa telah terjadi hakim pada tingkat peninjauan kembali. Oleh pemblokiran akses SISMINBAKUM karena PT B tidak menerima putusan kasasi terkait proses pencatatan hasil RUPS LB tersebut, maka pada tahun 2014 PT B mengajukan tanggal 18 Maret 2005 yang telah dilakukan permohonan peninjauan kembali, dengan alasan oleh PT SRD berdasarkan perintah HT, sebagai berikut: hanya berdasarkan surat keterangan dari 1) Mengenai ruang lingkup kompetensi absolut. Menteri Hukum dan HAM tanpa pernah Menurut PT B dalam putusan kasasi, majelis diuji kebenarannya di hadapan persidangan kasasi melakukan kekhilafan atau kekeliruan dan juga berdasarkan keterangan YW. yang nyata dengan menyatakan sengketa ini Akan tetapi sebelum putusan arbitrase merupakan kewenangan peradilan umum diputuskan pada tanggal 12 Desember 2014, dan bukan kewenangan arbitrase; pada tanggal 29 Oktober 2014 Mahkamah
126 |
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 115 - 134
Agung dalam Putusan Nomor 238 PK/ PDT/2014 dengan amar putusan yang berbunyi: bahwa majelis hakim menolak permohonan yang diajukan oleh PT B dan menghukum PT B untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan peninjuan kembali. Adapun pertimbangan hukum yang digunakan hakim adalah sebagai berikut:
Menimbang, bahwa terhadap alasanalasan peninjauan kembali tersebut Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan-alasan peninjauan kembali dari PT B tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti dengan saksama memori peninjauan kembali dihubungkan dengan pertimbangan putusan dalam tingkat kasasi dan putusan pengadilan, dalam perkara a quo, ternyata tidak terdapat adanya kekhilafan hakim dengan pertimbangan bahwa sengketa dalam perkara a quo adalah tentang perbuatan melawan hukum dan bukan merupakan sengketa mengenai hak berdasarkan investment agreement;
di sisi lain BANI juga tengah memeriksa dan kemudian memutus permohonan arbitrase yang diajukan oleh PT B dalam Putusan Nomor 547/XI/ARB-BANI/2013. Jawaban yang disampaikan oleh majelis hakim adalah bahwa, perkara atau pokok sengketa yang diperiksa di peradilan umum berbeda dengan sengketa yang diperiksa dan diputus oleh BANI di dalam Putusan Nomor 547/XI/ARB-BANI/2013. Sengketa di peradilan umum adalah sengketa perbuatan melawan hukum tentang prosedur pelaksanaan dan pencatatan hasil RUPS LB yang juga melibatkan pihak-pihak di luar investment agreement. Sedangkan perkara yang diperiksa di BANI adalah sengketa tentang wanprestasi dan pelaksanaan isi investment agreement, di mana sengketa di BANI diuji berdasarkan ketentuan-ketentuan di dalam investment agreement.
pertimbangan hukum yang Menimbang, bahwa berdasarkan 5) Dasar pertimbangan di atas, maka digunakan oleh BANI. Pada tanggal 12 permohonan peninjauan kembali Desember 2014, BANI telah memutuskan yang diajukan oleh pemohon perkara ini dengan amar putusan yang pada peninjauan kembali PT B tersebut adalah tidak beralasan sehingga harus intinya berbunyi sebagai berikut: ditolak; Menyatakan sah dan mengikat Menimbang, bahwa oleh karena investment agreement tanggal 23 permohonan peninjauan kembali Agustus 2002 dan supplemental dari pemohon peninjauan kembali agreement tanggal 7 Februari 2003; ditolak, maka pemohon peninjauan Menyatakan sah dan mengikat surat kembali dihukum untuk membayar kuasa tanggal 3 Juni 2003 dan surat biaya perkara dalam pemeriksaan kuasa tanggal 7 Februari 2003; peninjauan kembali ini.
PT B mempertanyakan mengapa majelis hakim pada tingkat kasasi dan peninjauan kembali membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta dan menyatakan peradilan umum berwenang memeriksa dan mengadili gugatan SHR dkk, sedangkan
Menyatakan pemohon adalah pemohon yang beriktikad baik dan telah melaksanakan ketentuanketentuan di dalam investment agreement tanggal 23 Agustus 2002 dan supplemental agreement tanggal 7 Februari 2003;
Penyelesaian Sengketa Kompetensi Absolut Antara Arbitrase dan Pengadilan (Cut Memi)
| 127
Menyatakan pemohon berhak atas Hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 75% saham di PT CTPI sampai dengan 2.4 jo. Pasal 3.1.1 di mana pemohon (PT B) sebelum pemohon mengalihkan saham tersebut kepada pihak ketiga diwajibkan untuk melaksanakan pembiayaan dan yaitu PT MNC, Tbk.; restrukturisasi hutang-hutang PT CTPI dengan Menyatakan para termohon telah batas pengeluaran sampai US$55.000.000 dan melakukan cidera janji terhadap untuk itu PT B berhak mendapatkan 75% saham pemohon dengan mencabut surat penyertaan pada PT CTPI melalui pengeluaran kuasa tanggal 3 Juni 2003 yang bertentangan dengan investment saham baru. Secara lengkap bunyi pasal tersebut agreement tanggal 23 Agustus 2002. adalah sebagai berikut:
Dasar pertimbangan hukum yang digunakan oleh majelis arbitrase adalah sebagai berikut:
Menimbang, bahwa putusan majelis perkara a quo mendasarkan kepada kewenangannya yang diamanatkan dan diatur oleh peraturan perundangundangan, khususnya UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999; Menimbang, bahwa kesimpulan hasil pemeriksaan fakta dalam perkara a quo, majelis berpendapat cukup alasan untuk mengabulkan sebagian permohonan pemohon (PT B); Menimbang, bahwa dengan demikian sebagian permohonan pemohon (PT B) dinyatakan terbukti;
Mengingat dan memperhatikan prosedur BANI, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 serta segenap peraturan perundang-undangan lainnya.
2.4. The investor proposes to make available financing through various schemes and forms of up to US$55.000.000 for the TPI Debts Restructuring to be allocated as follows. 3.1.1. Subject to the terms of the share subscription agreement, the investor shall subscribe for and TPI shall issue to the investor, shares in TPI constituting 75% (the “initial investor stake”) of TPI’s total issued share capital, post subscription on a fully diluted basis (the “subscription shares”).
Berdasarkan ketentuan pasal perjanjian tersebut di atas, maka hal yang akan diperoleh PT B adalah 75% dari penyertaan modal yang diberikan pada PT CTPI dengan cara mengeluarkan saham baru. Kewajiban dari pihak PT B adalah menyediakan pembiayaan dengan jumlah maksimal US$55.000.000 bagi keperluan restrukturisasi hutang PT CTPI. Dengan demikian, hubungan hukum antara PT B dan PT CTPI adalah dalam rangka investasi dan bukan dalam rangka pemberian fasilitas kredit (hutang) sebab konsekuensi dari utang tentunya berupa adanya bunga dari pinjaman yang diberikan, sedangkan dalam perjanjian para pihak tidak mengatur sama sekali tentang bunga, melainkan adalah berupa saham sebagai konsekuensi dari investasi atau penanaman modal yang dimasukkan ke dalam perusahaan yang bersangkutan.
Terhadap dua putusan yang saling bertentangan sebagaimana dikemukakan di atas, hal pertama yang perlu dijelaskan terlebih dahulu adalah tentang objek perjanjian yang dipersengketakan oleh kedua belah pihak, apakah perjanjian bersangkutan merupakan investment agreement atau perjanjian tentang hutang piutang. Setelah meneliti isi perjanjian para pihak sebagaimana dikemukakan dalam Putusan Nomor 547/XI/ARB-BANI/2013 jelas bahwa perjanjian Persoalan selanjutnya yang juga perlu yang telah disepakati oleh para pihak adalah didudukkan terlebih dahulu adalah bagaimana perjanjian investment agreement. 128 |
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 115 - 134
konsekuensi dari timbulnya perselisihan yang berkaitan dengan saham, di mana dalam perkara ini berujung kepada gugatan tentang keabsahan dari RUPS yang kemudian mengakibatkan terjadinya pemblokiran dalam proses perubahan anggaran dasar di SISMINBAKUM.
bahwa hakim pertama-tama harus menjelaskan terlebih dahulu apakah yang dimaksudkan dengan perbuatan melawan hukum dalam putusan perkara tersebut. Istilah perbuatan melawan hukum lazim diartikan dari bahasa Belanda yaitu onrechtmatige daad. Akan tetapi perlu diluruskan bahwa perbuatan melawan hukum tidak sama dengan perbuatan melanggar hukum. Kata “onrechtmatige daad” dalam bahasa Belanda lazim mempunyai arti yang sempit yaitu perbuatan melanggar hukum, mengingat perkataan onrechtmatige daad hanya tertuju pada perbuatan yang langsung melanggar suatu peraturan hukum.
Pihak PT CTPI mendalilkan bahwa tindakan pemblokiran yang dilakukan oleh SISMINBAKUM atas permintaan PT B adalah perbuatan melawan hukum dan bukan merupakan persoalan yang timbul dari perjanjian investment agreement. Oleh sebab itu, persoalan yang muncul dalam perkara ini tidak termasuk ke dalam ruang lingkup perkara yang harus ditangani oleh arbitrase. Dalil yang dikemukakan oleh pihak PT Sejak tahun 1919 dengan adanya peristiwa CTPI ini kemudian dibenarkan oleh hakim dalam Cohen dan Lindenbaum (Arrest Hoge Road tanggal amar Putusan Nomor 10/PDT.G/2010/PN.JKT. 31 Januari 1919), istilah perbuatan melanggar PST yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri hukum itu ditafsirkan secara luas, sehingga Jakarta Pusat berwenang mengadili perkara. meliputi juga perbuatan yang bertentangan Penulis berpendapat bahwa kasus ini muncul dengan kesusilaan atau yang dianggap pantas dari adanya perjanjian investment agreement, jadi dalam pergaulan masyarakat. Berdasarkan arrest persoalan atau perselisihan mengenai saham, tersebut di atas, maka penulis berpendapat bahwa muncul dari adanya perjanjian pokok (main pengertian yang dimaksud dalam Pasal 1365 BW contract), tanpa adanya perjanjian investment Indonesia (Pasal 1401 BW Nederland), bukanlah agreement, maka tidak akan ada persoalan tentang perbuatan melawan hukum melainkan perbuatan saham. Dengan demikian baik hasil RUPS LB melanggar hukum yang di dalamnya juga maupun RUPS lainnya telah menyimpang dari termasuk perbuatan yang bertentangan dengan perjanjian investasi yang telah ditandatangani kesusilaan (goede zeden) atau yang dianggap sebelumnya oleh para pihak. Oleh sebab itu, pantas dalam pergaulan masyarakat. hakim seharusnya tidak melihat persoalan dalam Berbeda halnya dengan perbuatan kasus ini secara terpisah satu sama lain karena melawan hukum. Perbuatan melawan hukum persoalan saham terkait erat dengan perjanjian adalah terminus pidana yang diartikan dari investment agreement berikut perubahannya yang bahasa Belanda yaitu wederrechtelijkheid. telah disepakati oleh para pihak. Selanjutnya Istilah ini terlihat jelas dalam Pasal 2 Undangterhadap pertimbangan hukum hakim yang Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana menyatakan bahwa dasar gugatan penggugat Korupsi yang menyatakan: Setiap orang yang adalah karena adanya perbuatan melawan hukum secara melawan hukum melakukan perbuatan dan bukan merupakan perselisihan yang timbul memperkaya diri sendiri atau orang lain atau dari perjanjian investment, penulis berpendapat Penyelesaian Sengketa Kompetensi Absolut Antara Arbitrase dan Pengadilan (Cut Memi)
| 129
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 milyar. Atas dasar hal itu dapat dikatakan bahwa perbuatan melawan hukum berada dalam ranah hukum pidana. Selanjutnya jika ketentuan tersebut di atas diterapkan kepada alasan pertimbangan hukum hakim yang mengabaikan klausul arbitrase atas alasan perbuatan melawan hukum sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka penulis berpendapat bahwa alangkah tidak benarnya, apabila konsep perbuatan melawan hukum (yang ada dalam lingkup hukum pidana) dijadikan dasar oleh hakim sebagai alasan untuk mengabaikan klausul arbitrase dan menyatakan berwenang dalam mengadili perkara para pihak yang terikat dengan perjanjian arbitrase BANI, padahal bidang arbitrase tersebut berada dalam lingkup hukum perdata (Purbacaraka, 1986: 4243).
perjanjian. Para pihaklah yang menghendaki dan menentukan sendiri bahwa penyelesaian sengketa mereka akan diselesaikan melalui arbitrase. Hal ini diperkuat pula oleh ketentuan Pasal II ayat (1) Konvensi New York 1958 yang menyatakan:
“Each Contracting State shall recognize an agreement in writing under which the parties undertake to submit to arbitration all or any differences which have arisen or which may arise between them in respect of a defined legal relationship, whether contractual or not, concerning a subject matter capable of settlement by arbitration.”
Alasan perbuatan melanggar hukum tidak dapat dijadikan alasan pembenar oleh pengadilan negeri untuk mengabaikan klausul arbitrase dan menyatakan diri berwenang dalam mengadili perkara arbitrase. Selain itu, sebagai konsekuensi logis dari asas pakta sunt servanda, penulis berpendapat bahwa apabila salah satu pihak tetap mengajukan sengketa ke pengadilan sedangkan para pihak telah terikat dengan perjanjian arbitrase, maka tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai suatu wanprestasi karena tidak melaksanakan kesepakatan sebagaimana diatur Pasal 13.3 perjanjian investment agreement dalam perjanjian (breach of contract). Tindakan manyatakan bahwa: all controversies arising ini sekaligus juga menunjukkan adanya iktikad between the parties out of or in relation to this tidak baik (te kwader trouw) dari salah satu agreement... (semua perselisihan yang muncul pihak untuk melaksanakan perjanjian arbitrase di antara para pihak yang berasal dari atau sebagaimana mestinya. terkait dengan perjanjian ini...) shall be settled Prinsip iktikad baik merupakan tonggak by arbitration in Jakarta accordance with the dasar (the corner stone) dari arbitrase (Adolf, rules of Badan Arbitrase Nasional Indonesia. 2014: 144) karena tujuan arbitrase baru dapat Arti rumusan klausul arbitrase tersebut adalah tercapai jika didasari dengan adanya iktikad bahwa semua sengketa (tanpa terkecuali) baik. Dengan demikian, apabila tidak ada iktikad termasuk juga tentang adanya dugaan perbuatan baik dari kedua belah pihak yang berperkara melawan hukum adalah ruang lingkup perkara maka arbitrase tidak akan ada gunanya sama yang harus diselesaikan secara arbitrase dan sekali. Selanjutnya, apabila perkara akhirnya otomatis merupakan kewenangan arbitrase untuk disidangkan di pengadilan negeri, maka prinsip mengadilinya berdasarkan mandat yang diberikan kerahasiaan dari arbitrase tidak dapat diwujudkan oleh para pihak sebagaimana tertera di dalam 130 |
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 115 - 134
karena persidangan di pengadilan bersifat terbuka prosedural yang telah ditentukan oleh BANI. Atas untuk umum. dasar itu, maka apabila perkara yang bersangkutan diadili oleh pengadilan, persoalan mendasar yang Kondisi ini sangat bertentangan dengan sifat muncul ke permukaan adalah aturan prosedural dasar dari arbitrase yaitu prinsip konfidensialitas mana yang akan diterapkan oleh pengadilan yang sangat dijunjung tinggi oleh para pelaku dalam menangani perkara yang bersangkutan. bisnis. Atas dasar itu, apabila perkara yang Dalam penanganan kasus ini terlihat bahwa telah terikat dengan perjanjian arbitrase tetap pengadilan negeri secara serta-merta menerapkan disidangkan oleh pengadilan, maka tindakan aturan prosedural yang berlaku bagi perkara tersebut sangat bertentangan dengan filosofi dan biasa sehari-hari, sedangkan dalam perjanjian tujuan semula dibentuknya arbitrase itu sendiri. para pihak telah sepakat untuk menggunakan Berdasarkan teori arbitrase dan hukum dikatakan aturan prosedural BANI. Tindakan hakim seperti bahwa arbitrase adalah suatu lembaga hukum. demikian tentu tidak dapat dibenarkan karena Sebagai suatu lembaga hukum, arbitrase memiliki tidak ada dasar acuan yang digunakan hakim seperangkat peraturan arbitrase. Dikaitkan dengan untuk itu, sehingga terjadi peradilan yang sesat. perkara yang dibahas dalam tulisan ini di mana arbitrase yang telah disepakati oleh para pihak Tindakan hakim tersebut juga bertentangan adalah BANI, maka sebagai suatu lembaga, BANI dengan prinsip dasar dari arbitrase yang mempunyai aturan prosedural tersendiri dalam menyatakan bahwa putusan arbitrase bersifat mengadili perkara yang diajukan kepadanya. final and binding sebagaimana juga ditegaskan Pasal 17 Rules & Procedures BANI mengatur: Dalam waktu paling lama 30 hari, termohon harus mengajukan surat jawaban kepada BANI untuk disampaikan kepada majelis dan pemohon. Kemudian, Pasal 11 Rules & Procedures BANI menyatakan bahwa: Setiap arbiter dapat diingkari apabila terdapat suatu keadaan tertentu yang menimbulkan keraguan terhadap netralitas dan/atau kemandirian arbiter tersebut. Selain ketentuan tersebut di atas juga terdapat tentang batasan waktu sidang yaitu pada Pasal 4 angka (7) yang mengatur bahwa: Kecuali secara tegas disepakati para pihak, persidangan akan diselesaikan dalam waktu paling lama 180 hari sejak tanggal majelis selengkapnya terbentuk (Umar, 2013: 115).
dalam Pasal 32 Aturan Prosedural BANI. Sehingga pelanggaran terhadap prinsip dasar arbitrase tersebut telah mengakibatkan berlarutlarutnya penanganan perkara sampai ke tingkat peninjauan kembali. Dalam arbitrase dikenal suatu doktrin yaitu kompetenz-kompetenz/ competence-competence. Doktrin tentang kompetenz-kompetenz ini tidak diatur sama sekali secara eksplisit dalam undang-undang yang bersangkutan. Doktrin tersebut justru terdapat dalam Pasal 18 Rules & Procedures BANI yang mengatakan: Majelis berhak menyatakan keberatan atas pernyataan bahwa ia tidak berwenang, termasuk keberatan yang berhubungan dengan adanya atau keabsahan perjanjian arbitrase jika terdapat alasan untuk itu.
Berdasarkan Pasal 18 sebagaimana Apabila para pihak telah sepakat untuk dikemukakan di atas, maka penulis berpendapat menyelesaikan sengketa mereka melalui BANI, bahwa hakim pengadilan negeri yang tetap maka para pihak terikat untuk mematuhi aturan mengadili perkara ini tidak mempunyai dasar Penyelesaian Sengketa Kompetensi Absolut Antara Arbitrase dan Pengadilan (Cut Memi)
| 131
kewenangan untuk mengadili perkara, karena berdasarkan doktrin ini untuk menentukan apakah perjanjian para pihak merupakan investment agreement atau bukan adalah kewenangan arbitrase itu sendiri, bukan pengadilan. Permasalahan mendasar yang perlu dibahas lebih lanjut adalah bagaimana jika prinsip-prinsip tersebut di atas dibandingkan dengan prinsip yang dianut oleh pengadilan. Setelah melakukan kajian lebih lanjut terhadap kewenangan pengadilan sebagaimana telah diuraikan di atas, penulis berpendapat bahwa jika dibandingkan antara Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, seolah-olah terdapat suatu pertentangan padahal sebenarnya tidak bertentangan.
perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke pengadilan negeri. Pada ayat (2) juga disebutkan bahwa pengadilan negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Berdasarkan hasil wawancara (2015) penulis dengan Husseyn Umar (Wakil Ketua BANI) jauh sebelum terjadinya sengketa antara PT B dengan PT CTPI, ditegaskan bahwa dengan kewenangan arbitrase seperti demikian, bukan berarti bahwa pengadilan sama sekali tidak berperan penting dalam hal arbitrase. Oleh karena itu, hal yang perlu dijelaskan lebih lanjut sehubungan dengan kewenangan arbitrase tersebut adalah apakah kewenangan arbitrase yang dimaksud sedemikian luas tanpa ada batasannya. Tentang hal ini ternyata undangundang membatasinya. Pembatasan itu antara lain terdapat dalam Pasal 61 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang mengatakan: Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa. Dengan demikian meskipun berdasarkan doktrin competence-competence, arbitrase berwenang untuk menentukan yurisdiksinya sendiri, bukan berarti kewenangan itu juga mencakup sampai ke tahap pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase.
Satu sisi hakim dilarang menolak perkara berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, sedangkan di sisi lain dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Akan tetapi meskipun acuan dasar dari pelaksanaan kewenangan pengadilan didasarkan pada Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 maka berlaku asas lex spesialis derogat legi generalis. Adanya ketentuan Pasal 3 tersebut, dapat diartikan bahwa kompetensi absolut arbitrase lahir ketika para pihak membuat perjanjian yang dengan tegas menyatakan bahwa mereka akan menyelesaikan perselisihan mereka melalui forum arbitrase, sehingga pengadilan tidak memiliki kewenangan Hal pelaksanaan eksekusi putusan untuk memeriksa dan mengadili sengketa tersebut arbitrase, baik nasional maupun internasional, (Khairandy, 2007: 45). tetap berada pada kewenangan pengadilan. Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor Arbitrase tidak mempunyai kewenangan dan 30 Tahun 1999 disebutkan bahwa adanya tidak dapat melakukan upaya memaksa terhadap 132 |
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 115 - 134
para pihak untuk melaksanakan putusan. Oleh meliputi perceraian, waris, perwalian, termasuk sebab itu peranan pengadilan sangat penting dan masalah-masalah yang timbul antara wali dan menentukan. Tanpa adanya peran pengadilan, ahli waris (Abdurrasyid, 2011: 3-4). pelaksanaan putusan arbitrase akan menjadi siaPerjanjian arbitrase erat kaitannya dengan sia. kompetensi pengadilan. Sehubungan dengan itu, Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor Mertokusumo (2002: 15) menjelaskan masalah 30 Tahun 1999 disebutkan bahwa: Apabila dalam pengaplikasian kompetensi peradilan: Apabila waktu paling lama 14 hari setelah termohon suatu perkara diajukan kepada hakim yang secara menerima usul pemohon sebagaimana dimaksud absolut tidak berwenang memeriksa perkara dalam ayat (2) para pihak tidak berhasil tersebut, hakim harus menyatakan dirinya tidak menentukan arbiter tunggal, atas permohonan berwenang secara ex officio untuk memeriksanya, dari salah satu pihak, ketua pengadilan negeri dan tidak tergantung pada ada atau tidaknya dapat mengangkat arbiter tunggal. Dalam Pasal 5 eksepsi dari tergugat tentang ketidakwenangannya ayat (1) menyatakan bahwa sengketa yang dapat itu. Setiap saat selama persidangan berlangsung diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa dapat diajukan tangkisan bahwa hakim tidak di bidang perdagangan dan mengenai hak yang berwenang memeriksa perkara tersebut (Pasal menurut hukum dan peraturan perundang- 132 Tv, 134 HIR, 160 Rbg). undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. IV. KESIMPULAN Pasal 5 ayat (1) ini memang tidak memberikan penjelasan tentang pengertian “perdagangan,” melainkan di dalam penjelasan Pasal 66 huruf (b) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, yang menjelaskan “ruang lingkup hukum perdagangan” adalah kegiatan-kegiatan antara lain di bidang perniagaan; perbankan; keuangan; penanaman modal; industri; dan hak kekayaan intelektual. Adapun yang dimaksud dengan sengketa perdagangan adalah sengketa yang muncul sebagai akibat adanya pelanggaran terhadap perjanjian maupun terhadap undangundang yang berkenaan dengan kegiatan ekonomi, khususnya jual-beli dalam rangka mencari keuntungan (Rahmadi, Hafidah, & Djumadi, 2016: 43). Mengambil contoh di Indonesia, halhal yang menurut hukum Indonesia tidak dapat diselesaikan secara arbitrase adalah persoalanpersoalan di bidang status personil, yaitu segala perbuatan di bidang hukum keluarga yang
Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa lembaga yang memiliki kompetensi absolut untuk mengadili perkara antara PT B melawan PT CTPI adalah BANI bukan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal ini diperkuat dengan teori kewenangan arbitrase, teori arbitrase dan hukum, teori arbitrase dan pihak ketiga, prinsip-prinsip dasar arbitrase doktrin competence-competence serta dengan membandingkan prinsip dan dasar kewenangan yang dianut oleh pengadilan. Putusan yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tetap berwenang dalam mengadili perkara yang telah terikat dengan perjanjian arbitrase, tidak dapat dibenarkan dan diharapkan tidak terjadi lagi di masa yang akan datang. Putusan tersebut telah menyebabkan terjadinya kesalahan dalam penerapan hukum baik prosedural maupun substansial sehingga berlarut-larutnya
Penyelesaian Sengketa Kompetensi Absolut Antara Arbitrase dan Pengadilan (Cut Memi)
| 133
Venture. Jurnal Hukum Bisnis, 26(4), 45. penanganan perkara sampai ke tingkat peninjauan kembali. Tindakan hakim seperti demikian sangat Kolopaking, A.D.A. (2013). Asas iktikad baik bertentangan dengan sifat dasar dari arbitrase dalam penyelesaian sengketa kontrak melalui yaitu prinsip final and bindung yang mengandung arbitrase. Bandung: Alumni. arti bahwa putusan arbitrase tidak dapat diajukan Marzuki, P.M. (2013). Penelitian hukum. Edisi Revisi. banding apalagi kasasi dan peninjauan kembali. Jakarta: Kencana Pranada Media Group.
Atas dasar hal itu terhadap perkara-perkara yang tetap diajukan oleh salah satu pihak ke Mertokusumo, S. (2002). Hukum acara perdata Indonesia. Ed. VI, Cet. I. Yogyakarta: Liberty. pengadilan sedangkan mereka telah terikat dengan perjanjian arbitrase, maka pengadilan Nugroho, S.A. (2016). Penyelesaian sengketa harus menolak untuk mengadili perkara dan arbitrase & penerapan hukumnya. Jakarta: meminta para pihak agar menyelesaikannya Prenada Media. melalui lembaga arbitrase sebagaimana yang telah Purbacaraka, P. (1986). Penggarapan disiplin hukum disepakati oleh para pihak di dalam perjanjian. & filsafat hukum bagi pendidikan hukum. Ed.
Cet. 1. Jakarta: Rajawali. Penulis merekomendasikan agar para hakim di pengadilan dapat menerapkan teori-teori Rahmadi, Hafidah, N., & Djumadi. (2016, April). dan prinsip-prinsip dasar arbitrase sebagai acuan Hubungan kausalitas dalam penyelesaian dalam memutus perkara yang telah terikat dengan sengketa kepemilikan saham PT CTPI: Studi perjanjian arbitrase di masa yang akan datang. Putusan Kasasi M.A.R.I Nomor 862 K/ Pdt/2013. Badamai Law Journal, 1(1), 43. Setiawan, R. (2003). Beberapa catatan hukum tentang klausul arbitrase. Makalah. Sayuthi, W. (Ed). DAFTAR ACUAN
Kapita selekta arbitrase & permasalahannya.
Abdurrasyid, H.P. (2011). Arbitrase & alternatif penyelesaian sengketa suatu pengantar. Edisi
Adolf, H. (2014). Dasar-dasar, prinsip & filosofi arbitrase. Bandung: Keni Media.
internasional. Bandung: Keni Media. Hukum
perdagangan
internasional. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hasibuan, F.Y. (2006). Hukum acara perdata. Jakarta: Yayasan Pustaka Hukum Indonesia. Khairandy, R. (2007). Kompetensi absolut dalam penyelesaian sengketa di perusahaan Joint 134 |
Mandar Maju. Umar, M.H. (2013). BANI & penyelesaian sengketa.
________. (2016a). Hukum arbitrase komersial
(2016b).
Sutantio, R.W., & Kartawinata, I.O. (2002). Hukum acara perdata dalam teori & praktek. Bandung:
Kedua. Jakarta: Fikahati Aneska.
________.
Jakarta: Mahkamah Agung RI.
Jakarta: Fikahati Aneska. Wisana, F., Aburaera, S., & Karim, M.S. (2011). Kewenangan
badan
peradilan
memeriksa
sengketa dengan klausula arbitrase.
Jurnal
Pasca Sarjana Universitas Hasanudin, http:// pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/85987e0a735579 aa1c407c750129c985.pdf Wawancara. (2015, Januari 19). Wawancara dengan M. Husseyn Umar, (Wakil Ketua BANI). Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 115 - 134
PROBLEM MELINDUNGI HAK BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN BAGI KELOMPOK MINORITAS MELALUI PENGADILAN Kajian Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG
THE PROBLEM IN PROTECTING THE RIGHT TO FREEDOM OF RELIGION AND BELIEF FOR THE MINORITY IN COURT OF LAW An Analysis of Court Decision Number 69/PID.B/2012/PN.SPG Endra Wijaya Fakultas Hukum Universitas Pancasila Jl. Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta 12640 E-mail:
[email protected] Naskah diterima: 1 Juli 2017; revisi: 16 Agustus 2017; disetujui 16 Agustus 2017 ABSTRAK Jaminan terhadap hak untuk memeluk agama dan keyakinan sudah dijamin melalui konstitusi Indonesia, tapi jaminan konstitusional itu belumlah cukup. Penegakan hak untuk memeluk agama dan keyakinan masih perlu didukung dengan instrumen hukum lainnya, dan salah satunya ialah putusan pengadilan. Dalam konteks seperti itu, maka keberadaan Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG menarik untuk dicermati. Putusan tersebut berkaitan erat dengan isu penegakan hak untuk memeluk agama dan keyakinan di Indonesia, terutama bagi kelompok minoritas. Fokus permasalahan dalam tulisan ini akan diarahkan kepada persoalan bagaimanakah substansi Putusan Nomor 69/ PID.B/2012/PN.SPG dilihat dari perspektif penegakan hak asasi manusia, khususnya hak asasi manusia untuk secara bebas (tanpa tekanan) memilih dan memeluk suatu agama dan keyakinan. Dalam melakukan analisis, penulis menggunakan metode kajian kepustakaan dengan bersandar pada data sekunder. Analisis akan dilakukan secara kualitatif dengan metode pendekatan peraturan perundang-undangan dan metode pendekatan konseptual. Kesimpulan yang didapat dari analisis ialah bahwa Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG cenderung masih berupaya mencapai aspek keadilan prosedural. Semangat untuk mengedepankan penegakan hak asasi manusia, khususnya hak beragama dan
berkeyakinan bagi kelompok minoritas, tidak tampak dalam putusan tersebut. Kata kunci: hak beragama dan berkeyakinan, kelompok minoritas, putusan pengadilan.
ABSTRACT The rights to freedom of religion and belief has been guaranteed under the Indonesian Constitution, although it is not enough. Enforcement of the right to religion and belief still needs to be supported by other legal instruments, one of which is the court ruling. In that context, Court Decision Number 69/PID.B/2012/ PN.SPG is interesting to study. Decision Number 69/ PID.B/2012/PN.SPG is closely related to the issue of enforcing the right to embrace religion and belief in Indonesia, especially for minority groups. The focus of the problem in this paper leads to the question of how the substance of Court Decision Number 69/PID.B/2012/ PN.SPG is viewed from the perspective of human rights enforcement, especially the rights to freedom (without pressure) of religion and belief. The method of analysis employed is literature study by relying on secondary data. The analysis is conducted qualitatively by the legislation and conceptual approach. From the analysis largely it can be concluded that Court Decision Number 69/PID.B/2012/PN.SPG still tends to grasp the aspect of
Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya)
| 135
procedural justice. The spirit to encourage human rights enforcement, especially religious rights for minority groups is not evident in the decision.
Keywords: the right to freedom of religion and belief, minority, court decision.
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, dalam level yang lebih konkret telah terdapat juga jaminan dalam bentuk pasal-pasal dalam UUD NRI 1945 bagi keberagaman dalam masyarakat Indonesia, termasuk dalam hal agama dan keyakinan (Kadarudin, 2015: 8). UUD NRI 1945 melalui beberapa pasalnya telah mengupayakan jaminan bagi penegakan hak asasi manusia secara konstitusional dalam hal kebebasan untuk memilih dan memeluk suatu agama dan keyakinan tertentu. Pasal-pasal itu ialah Pasal 28E, Pasal 28I, Pasal 28J, dan Pasal 29, yang mana keberadaannya dimaksudkan untuk menjamin sekaligus menjaga agar keberagaman agama dan keyakinan dalam masyarakat Indonesia dapat berjalan harmonis (Abdullah & Wijaya, 2014: 67).
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, termasuk dalam hal agama dan keyakinan. Keberagaman agama dan keyakinan yang ada di masyarakat tidak selamanya mudah untuk diharmoniskan, karena ada kalanya
hal tersebut justru menjadi pemicu terjadinya ketegangan antaranggota masyarakat. Untuk merespons kemajemukan dalam masyarakat Indonesia, para tokoh pendiri bangsa telah menetapkan Pancasila menjadi falsafah negara yang dianggap paling sesuai sebagai pemersatu seluruh anggota masyarakat yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Perumusan Pancasila sebagai dasar negara dilakukan oleh para tokoh pendiri bangsa yang sebagian besar Jaminan secara konstitusional melalui beragama Islam. Hal yang demikian secara pasal-pasal dalam UUD NRI 1945 tersebut lalu implisit menginformasikan bahwa Pancasila itu diterjemahkan lagi ke dalam produk hukum pada dasarnya tidak bertentangan, tapi sejalan (peraturan perundang-undangan) yang lebih dengan ajaran-ajaran Islam (Ahmad, 2011: 278). rinci, seperti melalui Undang-Undang Nomor 39 Sejalan dengan hal tersebut di atas, tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang semboyan Bhinneka Tunggal Ika lantas dipilih Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan sebagai spirit pedoman yang mengingatkan dua Konflik Sosial, yang juga memberikan perhatian hal penting kepada seluruh bangsa Indonesia, terhadap kemungkinan munculnya persoalan yaitu: pertama, bangsa Indonesia mengandung yang berkaitan dengan agama dan keyakinan. (memiliki) keberagaman di dalamnya (poin Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tersebut faktual sosial), dan kedua, untuk dapat menjadi memandang persoalan agama sebagai salah satu suatu bangsa besar dan kuat, maka masyarakat potensi konflik, baik melalui perseteruan antarumat Indonesia yang beragam itu harus mampu bersatu beragama maupun interumat beragama (Wahyudi, serta merasa saling senasib sepenanggungan 2013: 3-4). Memang dalam praktiknya, hidup (poin nasionalisme) (Lestari, 2015: 35; Shofa, yang harmonis dalam keberagaman merupakan 2016: 37-38; Widiatmaka, 2016: 27). Selain hal yang tidak mudah untuk diwujudkan dalam
136 |
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154
masyarakat Indonesia, walaupun sudah ada Putusan pengadilan bukanlah semataPancasila dan UUD NRI 1945. mata hanya merupakan bagian akhir dari proses memeriksa dan mengadili (menyelesaikan) Kesulitan (kendala) mengelola dan perkara hukum. Lebih dari itu, putusan mewujudkan kehidupan harmonis dalam pengadilan dapat pula dipahami sebagai salah keberagaman agama dan keyakinan di masyarakat satu wujud konkret dari upaya menegakkan Indonesia dapat diindikasikan, antara lain, dari hak asasi manusia, sebagaimana telah dijamin masih adanya praktik diskriminasi (intoleransi) oleh konstitusi, melalui tangan para aparat di terhadap kelompok agama dan keyakinan tertentu lingkungan kekuasaan yudikatif. Peran dari sampai dengan saat ini. Terkait dengan hal para aparat di lingkungan kekuasaan yudikatif, tersebut, menurut laporan Setara Institute yang dalam hal ini melalui putusan pengadilan yang dirilis pada tanggal 29 Januari 2017, sepanjang dijatuhkannya, tentunya bisa dipahami pula tahun 2016 terjadi 208 peristiwa pelanggaran sebagai upaya aktif yang penting untuk dilakukan kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan dalam rangka memperkuat komponen-komponen 270 bentuk tindakan, yang tersebar di 24 provinsi. pembentuk bangunan negara hukum Indonesia. Sebagian besar pelanggaran terjadi di Provinsi Jawa Barat, yaitu dengan 41 pelanggaran, Sebagaimana diungkapkan dalam kajian peristiwa serupa dengan angka tinggi juga terjadi Djafar mengenai negara hukum Indonesia, di Jakarta dengan 31 pelanggaran, dan Jawa bahwa beberapa komponen pembentuk bangunan Timur dengan 22 pelanggaran (Setara Institute, negara hukum Indonesia terindikasikan masih 2017). berada dalam keadaan yang lemah, terutama Kesulitan tersebut di atas merupakan masalah yang tentunya perlu diupayakan antisipasi dan solusinya oleh banyak pihak. Dalam konteks bidang hukum, pihak-pihak seperti para pembuat peraturan perundang-undangan (law and policy maker) maupun para aparat penegak hukum (law and policy executor) sudah melakukan beberapa upaya untuk dijadikan sebagai solusi bagi mengatasi masalah mewujudkan kehidupan harmonis dalam keberagaman agama dan keyakinan di masyarakat Indonesia. Salah satu upaya yang ditempuh oleh aparat penegak hukum, sebagaimana yang akan menjadi fokus dalam tulisan ini, ialah upaya (tindakan) penjatuhan putusan pengadilan oleh hakim dalam perkara pidana yang kasusnya berkaitan dengan permasalahan karena adanya keberagaman agama dan keyakinan di masyarakat Indonesia.
komponen-komponen yang berkaitan dengan isu hak asasi manusia. Dalam kajiannya, dipaparkan bahwa gambaran mengenai situasi negara hukum Indonesia dapat dijelaskan keadaan komponenkomponennya sebagai berikut: 1.
Jaminan konstitusional: kuat.
2.
Pembatasan kekuasaan: sedang.
3.
Perlindungan hak asasi manusia: lemah.
4.
Akses terhadap keadilan: lemah (Djafar, 2010: 170)
Masih menurut Djafar (2010: 170) yang terjadi dalam konteks saat ini ialah negara, yang salah satunya melalui cabang kekuasaan yudikatifnya, justru melakukan kebijakan “over kriminalisasi” yang telah menyeret ribuan rakyat dari kelompok marginal (kelompok
Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya)
| 137
rentan) tidak menikmati hak-haknya sebagai warga negara, bahkan menjebloskan mereka ke dalam penjara. Begitu pun dengan kebijakan legislasi yang diterapkan saat ini, memiliki kecenderungan bahwa setiap undang-undang yang mengatur publik akan selalu disertai dengan sanksi pidana yang samar pengaturannya, sehingga tumbuh menjadi “pasal karet,” yang mudah disalahgunakan. Dengan kata lain, ada kecenderungan bahwa hukum memang tidak diciptakan untuk melindungi mereka yang termasuk sebagai kelompok rentan. Memperhatikan bahwa sudah kuatnya jaminan yang diberikan melalui konstitusi, namun belum dibarengi dengan kuatnya praktik perlindungan hak asasi manusia serta akses terhadap keadilan, maka yang diperlukan kemudian ialah upaya untuk membuat kedua poin yang masih lemah tersebut menjadi lebih kuat. Pada poin itulah perihal aktivitas hakim memeriksa, mengadili, dan menjatuhkan putusan menjadi penting pula untuk diperkuat dalam rangka untuk menegakkan hak asasi manusia secara lebih maksimal.
Dalam pertimbangan hukumnya, secara umum dapat dikatakan bahwa majelis hakim dalam perkara ini telah “mengadili” apa yang menjadi keyakinan terdakwa TM, hal mana sebenarnya merupakan hak yang sudah dijamin di dalam Konstitusi Indonesia. Amar dalam Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG ini pada akhirnya membebankan pidana penjara kepada TM. Dan tentunya dengan adanya Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG ini menjadi sinyal bahwa upaya penegakan hak asasi manusia dalam beragama dan berkeyakinan, khususnya bagi kelompok minoritas di Indonesia, masih harus menempuh “perjalanan panjang yang berliku.” B.
Rumusan Masalah
Kajian terhadap suatu putusan pengadilan bisa diarahkan kepada beberapa hal yang ada pada putusan tersebut. Apabila merujuk pada kajian yang dilakukan oleh Susanto (2005: 144145) maupun oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia (2014: 8), maka ada tiga hal yang dapat diamati dari suatu putusan pengadilan. Ketiga hal itu ialah berhubungan dengan soal efektivitas, efisiensi, dan kejujuran yang terkandung dalam putusan pengadilan. Dalam tulisan ini, dengan mempertimbangkan beberapa hal teknis, maka yang akan menjadi fokus pembahasan lebih lanjut hanya akan dibatasi pada hal-hal yang termasuk dalam lingkup soal efektivitas dari suatu putusan pengadilan. Dan, poin efektivitasnya tersebut juga akan dibahas secara terbatas, yaitu hanya dalam konteks upaya penegakan hak asasi manusia untuk beragama dan berkeyakinan.
Sehubungan dengan paparan tersebut di atas, maka perkara pada Pengadilan Negeri Sampang dengan Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG menjadi menarik untuk dicermati. Latar belakang peristiwa dari Putusan Nomor 69/PID.B/2012/ PN.SPG berkaitan erat dengan peran pengadilan yang sebenarnya juga potensial untuk mendorong tegaknya hak asasi manusia dalam beragama dan berkeyakinan. Dengan bertempat di sekitar wilayah yang menjadi wewenang Pengadilan Negeri Sampang, perkara ini mendudukkan TM Kajian Susanto (2005: 144-145) dan sebagai terdakwa dari tindak pidana penodaan Komisi Yudisial Republik Indonesia (2014: 8) agama. TM merupakan tokoh agama bermazhab memaparkan bahwa yang dimaksud dengan Syiah, yang keyakinan mazhabnya itu termasuk persoalan efektivitas pengadilan ialah persoalan ke dalam kategori kelompok minoritas. 138 |
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154
penilaian dalam segi apakah pengadilan bisa 1. Semakin diperolehnya pemahaman mencapai tujuan untuk apa ia didirikan. Persoalan yang lebih komprehensif terhadap objek efektivitas ini lantas berhubungan erat dengan Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG, kemampuan pengadilan untuk menjadi pilar yang untuk beberapa pihak, seperti para hukum, yaitu kemampuannya untuk benar-benar pemerhati isu-isu hak asasi manusia, menjawab kegelisahan masyarakat. menarik untuk dicermati. Hal tersebut mengingat Putusan Nomor 69/PID.B/2012/ Berdasarkan pembatasan tersebut, pokok PN.SPG berhubungan erat dengan isu permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut perlindungan hak untuk beragama dan dalam kajian ini adalah: berkeyakinan bagi kelompok minoritas di Indonesia. 1. Bagaimanakah substansi Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG dilihat dari 2. Melengkapi kajian yang sudah ada perspektif penegakan hak asasi manusia, sebelumnya yang objeknya juga berupa khususnya hak asasi manusia untuk secara Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG, bebas (tanpa tekanan) memeluk suatu sebagaimana nanti akan dijelaskan lebih agama dan keyakinan? lanjut dalam tulisan ini. putusan tersebut ikut 2. Sudahkan 3. berkontribusi secara positif dalam upaya penegakan hak asasi manusia, terutama bagi kelompok agama dan keyakinan minoritas? C.
Tujuan dan Kegunaan
Jika dihubungkan dengan rumusan masalah, maka tujuan yang hendak dicapai melalui pembahasan dalam tulisan ini ialah untuk mendapatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai substansi Putusan Nomor 69/ PID.B/2012/PN.SPG dilihat dari perspektif penegakan hak asasi manusia, terutama hak untuk memeluk suatu agama dan keyakinan. Termasuk, diharapkan pula akan diketahui apakah putusan tersebut sudah atau belum berkontribusi secara positif terhadap upaya penegakan hak asasi manusia, khususnya bagi kelompok agama dan keyakinan minoritas.
D.
Memberikan sedikit tambahan pengetahuan mengenai bagaimana substansi Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG jika dilihat dari perspektif penegakan hak asasi manusia, khususnya hak asasi manusia untuk secara bebas (tanpa tekanan) memeluk suatu agama dan keyakinan, terutama bagi kelompok minoritas. Tinjauan Pustaka
Dua variabel yang akan dielaborasi keterkaitannya dalam kajian ini ialah variabel putusan pengadilan dan hak asasi manusia, khususnya hak-hak untuk beragama dan berkeyakinan. Oleh karena itu, kajian terdahulu yang akan dipaparkan adalah beberapa kajian yang materinya mengenai kedua variabel dimaksud.
Putusan pengadilan sudah tidak bisa lagi Kajian dalam tulisan ini juga diharapkan dipahami hanya sebagai tahap akhir dari suatu akan membawa kegunaan (manfaat), antara lain, sengketa hukum yang terjadi. Tetapi lebih dari berupa: Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya)
| 139
itu, putusan pengadilan sebenarnya memiliki banyak makna atau peran. Berikut ini akan dicoba dijelaskan beberapa makna atau peran dari putusan pengadilan tersebut:
sosial). Alur berpikir yang demikian itulah yang diadopsi ke dalam bidang hukum acara peradilan tata usaha negara dan juga Mahkamah Konstitusi melalui asas erga omnes.
Pertama, putusan pengadilan dapat dipahami sebagai tahap akhir dari suatu sengketa hukum, terutama bagi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (Latifiani, 2015: 20). Tumpa berpendapat bahwa putusan hakim merupakan bagian akhir dari suatu sengketa yang diperiksa melalui serangkaian acara di muka persidangan di pengadilan. Putusan hakim itu juga sekaligus menjadi titik tumpu dari suatu eksekusi yang tujuannya akan menyudahi sengketa yang terjadi antara para pihak (Tumpa, 2010: 1 dan 6). Pengertian putusan pengadilan seperti ini dapat dipahami sebagai pengertian yang “klasik” dan cenderung “sempit.”
Asas erga omnes dalam sistem peradilan tata usaha negara adalah asas yang menyatakan bahwa putusan pengadilan juga memiliki daya berlaku dan mengikat secara publik, di samping mengikat para pihak yang bersengketa (Tjandra, 2009: 73; Marbun, 2011: 233-234; Abdoellah, 2016: 115; Suwito, 2016: 87). Hal yang serupa juga diterapkan dalam sistem pengujian undangundang oleh Mahkamah Konstitusi, di mana Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian undang-undang mengikat semua komponen bangsa, baik penyelenggara negara maupun warga negara (Gumbira, 2016: 116).
Salah satu alasan mengapa pengertian putusan pengadilan yang memosisikannya hanya sebagai hasil akhir sengketa hukum dikatakan sempit ialah karena pengertian seperti itu menempatkan putusan pengadilan hanya berpengaruh terhadap para pihak yang terlibat langsung dengan sengketa hukum yang terjadi. Hal seperti ini lazimnya berlaku dalam sistem hukum acara pada peradilan umum untuk perkara perdata (Tjandra, 2009: 79). Mengenai dampak putusan pengadilan tersebut di luar para pihak yang terlibat, misalnya kepada pihak masyarakat umum, yang berarti ini juga ialah berdampak sosial, pendapat yang pertama ini tidak memperhatikannya. Padahal, dalam praktiknya, memperlihatkan pula bahwa suatu putusan pengadilan yang awalnya hanya ditujukan langsung bagi para pihak yang bersengketa, setelah putusan tersebut diputus justru ternyata membawa pengaruh (berdampak) juga kepada pihak lain di luar sengketa (memiliki dampak 140 |
Kedua, putusan pengadilan dapat pula dipahami sebagai instrumen yang potensial memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dalam penelitian yang telah dipublikasikan dalam bentuk buku yang berjudul “Pancasila dalam Putusan Mahkamah Konstitusi: Kajian terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara yang Berkaitan dengan Perlindungan Hak Kelompok Marjinal,” Arizona, Wijaya, & Sebastian (2014: 106) menyimpulkan bahwa putusan pengadilan, yang dalam penelitian mereka tertuju pada Putusan Mahkamah Konstitusi, sesungguhnya memiliki peran yang sangat potensial untuk dapat melindungi hak asasi manusia. Walaupun memang dalam praktiknya belum bisa diwujudkan secara maksimal Jaminan hak asasi manusia yang sudah diberikan oleh konstitusi sebenarnya belumlah bisa dikatakan cukup untuk dapat benar-benar melindungi hak asasi manusia setiap warga negara. Sebagaimana kajian dari McGann, ia menjelaskan bahwa konstitusi belum bisa secara pasti dan nyata Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154
melindungi hak-hak asasi manusia, dan oleh karena itu, maka jaminan perlindungan hak asasi manusia masih memerlukan tindakan nyata lainnya, seperti tindakan nyata dari lembagalembaga pemerintah atau pengadilan (McGann, 2006: 104-105). Pada poin inilah kemudian peran dari hakim di pengadilan akan memiliki arti yang penting pula untuk ikut menegakkan nilai-nilai hak asasi manusia yang telah dijamin melalui konstitusi (Isra, 2014: 426; Eddyono, 2015: 144).
Subki, Muntahaa, & Azizah (2014: 5465) dalam kajiannya yang berjudul “Analisis Yuridis Tindak Pidana Penodaan Agama (Putusan Pengadilan Negeri Sampang Nomor: 69/PID.B/2012/PN.SPGg)” menyoroti perihal bagaimana perkara tindak pidana penodaan agama dengan terdakwa TM diselesaikan secara yuridis prosedural, dan dihubungkan pula dengan persoalan tujuan pemidanaan. Namun demikian, analisis kajian dari para peneliti tersebut belum menggali lebih jauh keterkaitan antara isu hak asasi Sejalan dengan penjelasan di atas, Ginsburg manusia dengan perkara pada Putusan Nomor 69/ (2003: 32-33) dalam kajiannya mengenai peran PID.B/2012/PN.SPG. Celah pada pembahasan Mahkamah Konstitusi di beberapa negara di Asia, mengenai isu hak asasi manusia itulah yang coba dalam salah satu bab pada kajiannya tersebut, diangkat oleh penulis melalui tulisan kali ini. juga menyimpulkan (mengungkapkan) bahwa lembaga (mekanisme) judicial review benarKajian dari Jufri (2016: 102-110) dengan benar dapat menjadi salah satu tumpuan kelompok judul “Analisis Putusan Pengadilan Negeri minoritas untuk melindungi kepentingan Sampang Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG. mereka yang sebenarnya telah dijamin secara Perspektif Hak Kebebasan Beragama di Indonesia” konstitusional. Melalui kajian Ginsburg, secara membahas mengenai apakah Putusan Nomor implisit, dapat dipahami bahwa melalui aktivitas 69/PID.B/2012/PN.SPG mengenyampingkan memeriksa, mengadili, dan memutus melalui prinsip-prinsip hak kebebasan dan berkeyakinan. putusannya, hakim di pengadilan bisa berperan Melalui kajian itu, penulis sudah mencoba sebagai semacam aktor “penjamin (asuransi)” menghubungkan Putusan Nomor 69/PID.B/2012/ hak-hak konstitusional dari minoritas. Ginsburg PN.SPG dengan persoalan mengenai hak asasi (2003: 25) menyebut hal tersebut dengan istilah manusia, dan dengan menggunakan metode “insurance model of judicial review.” pendekatan normatif yang merujuk kepada UUD NRI 1945, Undang-Undang Nomor 39 Dari paparan tersebut di atas, dapat tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang dipahami bahwa keberadaan putusan Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan pengadilan selain memang mengemban fungsi Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, serta untuk menyelesaikan sengketa, ternyata juga metode pendekatan konseptual yang difokuskan memiliki fungsi sebagai salah satu sarana kepada konsep negara hukum. untuk menegakkan (mewujudkan) secara nyata jaminan hak-hak asasi manusia sebagaimana Hal yang belum dieksplorasi lebih jauh di tercantum dalam konstitusi. Sudah ada beberapa dalam kajian dari Jufri tersebut ialah pembahasan kajian yang dilakukan oleh penulis lain yang yang mendudukkan (meletakkan) putusan objek penelitiannya berupa Putusan Nomor pengadilan, dalam hal ini Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG, dan berikut ini ialah 69/PID.B/2012/PN.SPG, sebagai salah satu paparan dua kajian tersebut secara singkat: instrumen untuk menegakkan hak asasi manusia. Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya)
| 141
Pada poin itulah terdapat perbedaan antara kajian yang dilakukan oleh Jufri dengan kajian yang dilakukan oleh penulis dalam tulisan ini.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
II.
Perkara dalam Putusan Nomor 69/ PID.B/2012/PN.SPG terjadi di Dusun Nangkrenang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Jawa Timur. Terdakwa dalam perkara ini ialah TM yang merupakan seorang tokoh agama (guru agama) dan bertempat tinggal di Dusun Nangkrenang. TM mempunyai banyak pengikut atau murid (santri) di lingkungan sekitar tempat ia menetap. Mayoritas penduduk di Dusun Nangkrenang dan sekitarnya merupakan orang-orang yang memeluk agama Islam (muslim). Namun, dari sudut mazhab, penduduk daerah tersebut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu pemeluk mazhab Sunni dan mazhab Syiah.
METODE
Dalam melakukan analisis, penulis menggunakan metode kajian kepustakaan dengan bersandar pada data sekunder. Sehubungan dengan data sekunder tersebut, penulis kemudian merujuk pada beberapa jenis bahan hukum, terutama bahan hukum primer, yang berupa putusan pengadilan serta beberapa peraturan perundang-undangan, dan bahan sekunder, yang berupa kajian dari para sarjana yang telah dipublikasikan dalam bentuk buku serta tulisan di jurnal. Untuk melengkapi pembahasan, penulis juga akan mengungkapkan informasi yang sebenarnya telah penulis dapatkan pada tahun 2013 melalui wawancara dengan narasumber yang relevan, yang saat diwawancarai sedang menjabat sebagai salah seorang pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Informasi tersebut belum pernah penulis publikasikan, dan dalam tulisan ini, informasi itu akan penulis hubungkan dengan sebagian poin penjelasan pada bagian analisis. Objek berupa Putusan Nomor 69/ PID.B/2012/PN.SPG akan dianalisis secara kualitatif beberapa bagiannya, terutama bagian pertimbangan hukum dengan menghubungkannya pada beberapa peraturan perundang-undangan dan konsep atau pendapat sarjana yang relevan. Jika dicoba dimasukkan ke dalam kategori pembagian metode pendekatan dalam melakukan analisis, maka metode pendekatan yang digunakan oleh penulis dalam tulisan ini ialah termasuk dalam kategori metode pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).
142 |
A.
Posisi Kasus dalam Putusan Nomor 69/ PID.B/2012/PN.SPG
Terdakwa TM pada hari dan tanggal yang tidak dapat ditentukan dengan pasti antara tahun 2003 sampai dengan 29 Desember 2011, atau setidak-tidaknya pada waktu lain antara tahun 2003 sampai dengan tahun 2011, bertempat di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, dan di Desa Kampung Gedding Laok Desa Blu’uran, Kecamatan Karang Penang, Kabupaten Sampang atau pada tempat di mana Pengadilan Negeri Sampang berwenang memeriksa dan mengadili, didakwa telah dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tindak pidana yang didakwakan kepada TM merupakan serangkaian perbuatan yang dapat Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154
dijelaskan secara ringkas sebagai berikut: TM yang telah lulus belajar dari Arab Saudi selama enam tahun, pada tahun 2003 mulai mengajarkan (menerapkan ajaran yang dipahaminya) kepada beberapa santri yang sebelumnya telah menjadi santri di sebuah pondok pesantren. Ajaran yang diajarkan oleh TM lambat laun mulai dicurigai oleh beberapa pihak sebagai ajaran yang menyimpang dari agama Islam. Penyampaian ajaran tersebut dilakukan TM di sebuah rumah di Dusun Nangkrenang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, yang digunakan untuk belajar mengaji dan sekaligus sebagai tempat TM menyampaikan ajaran-ajarannya di hadapan para pengikut atau santrinya. Selain itu, juga penyampaian ajaranajaran TM dilakukan di Masjid Banyuarrum Desa Blu’uran, Kecamatan Karang Penang, Kabupaten Sampang, pada saat ada perkumpulan dengan para pengikutnya yang biasanya diadakan setiap malam Jumat dan malam Selasa, sedangkan untuk kegiatan di luar pondok pesantren TM, biasanya pada acara khusus yang dilakukan tiga kali pada setiap tahunnya pada bulan Syuro, Safar, dan Dzulhijjah. Masyarakat di sekitar tempat TM menyebarkan ajaran tersebut lalu menjadi resah, baik para ulama, para kiai, dan tokoh masyarakat, sehingga terjadi pertentangan (konflik) antara ajaran yang disampaikan TM dengan ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Sunni) yang pada umumnya dianut oleh masyarakat Sampang. Para ulama, para kiai dan tokoh masyarakat lalu menganggap bahwa TM telah melukai perasaan umat Islam karena telah mengajarkan ajaran yang menyimpang dari agama Islam, hal mana sebagaimana dicantumkan dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Sampang Nomor A-035/MUI/Spg/I/2012 tanggal 1
Januari 2012 yang menyatakan bahwa ajaran yang disebarluaskan oleh TM ialah sesat dan menyesatkan, serta ajaran yang disebarluaskan oleh TM merupakan penistaan dan penodaan terhadap agama Islam. Perbuatan terdakwa TM tersebut sudah dianggap memenuhi unsur-unsur delik, sehingga TM didakwa dengan ketentuan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Atau, sebagai dakwaan alternatif yang kedua, TM telah didakwa dengan melawan hak memaksa orang lain untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan barang sesuatu apa dengan kekerasan, dengan sesuatu perbuatan lain ataupun dengan perbuatan yang tidak menyenangkan atau dengan ancaman kekerasan, ancaman dengan sesuatu perbuatan lain, ataupun ancaman dengan perbuatan yang tidak menyenangkan akan melakukan sesuatu itu baik terhadap orang itu maupun terhadap orang lain. Perbuatan terdakwa TM tersebut ialah sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP. Penuntut umum menyusun dakwaan secara alternatif, yaitu dakwaan kesatu, terdakwa TM didakwa melanggar Pasal 156a KUHP, atau dalam dakwaan kedua, terdakwa TM didakwa melanggar Pasal 335 ayat (1) KUHP. Sebagaimana lazimnya dalam praktik, terhadap dakwaan yang bersifat alternatif, majelis hakim dalam perkara ini memiliki kebebasan untuk menentukan dakwaan mana yang akan dipertimbangkan yang dipandang paling mendekati dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan. Pada intinya, dalam pertimbangan hukumnya setelah melalui serangkaian pemeriksaan di muka persidangan, majelis hakim berpendapat bahwa terdakwa TM telah terbukti dengan sengaja di muka umum
Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya)
| 143
melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, atau dengan kata lain, terdakwa TM sudah memenuhi semua unsur dalam Pasal 156a KUHP sebagaimana yang menjadi dakwaan kesatu dari penuntut umum. Oleh karena dakwaan kesatu telah terbukti, maka dakwaan keduanya tidak perlu dipertimbangkan lagi.
hukum terhadap perkara ini, Pengadilan Tinggi Surabaya sudah menjatuhkan Putusan Nomor 481/PID/2012/PT.SBY, dan Mahkamah Agung menjatuhkan Putusan Nomor 1787 K/PID/2012. Namun, secara garis besar, kedua tingkat upaya hukum tersebut menghasilkan putusan yang relatif sama, yaitu tetap menjatuhkan pidana penjara kepada TM. Bahkan, pada pemeriksaan tingkat banding, majelis hakim di Pengadilan Tinggi Berdasarkan pertimbangan hukum yang Surabaya dalam perkara ini menjadikan pidana telah dirumuskan, maka kemudian pada amar penjara yang dijatuhkan kepada TM menjadi putusannya majelis hakim menjatuhkan putusan empat tahun penjara. sebagai berikut: 1.
Menyatakan terdakwa TM alias H. AM B. Analisis terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah Dari hal-hal yang sudah dipaparkan di melakukan tindak pidana “melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat atas, terdapat beberapa hal yang menarik untuk dicermati lebih lanjut. Untuk mempermudah penodaan terhadap agama Islam.” pembahasan, maka analisis akan disajikan, namun 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dibatasi dan diarahkan, kepada hal-hal berikut: dengan pidana penjara selama dua tahun. Pertama, objek yang dikaji ialah hanya 3. Menetapkan masa penahanan yang telah Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG. Putusan dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya pada tingkat banding dan kasasi dalam perkara dari pidana yang dijatuhkan. ini tidak akan dibahas secara detil mengingat substansi amar putusan dari kedua putusan 4. Menetapkan agar terdakwa tetap berada tersebut cenderung sama dengan substansi dalam tahanan. Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG sebagai 5. Memerintahkan agar barang-barang bukti pengadilan tingkat pertama. Sekilas terkesan dalam perkara ini tetap terlampir dalam bahwa Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG berkas perkara. secara prosedural telah memenuhi syarat-syarat yang diperlukan bagi penyelesaian suatu perkara 6. Membebankan biaya perkara kepada pidana melalui mekanisme pemeriksaan di terdakwa. pengadilan (di muka persidangan). Semua syarat Perkara yang diperiksa di Pengadilan yang harus dimuat di dalam putusan pengadilan Negeri Sampang yang telah diputus dengan (syarat formal), sebagaimana diatur dalam Pasal Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG itu lalu 197 jo. Pasal 199 KUHAP sudah dipenuhi. dimintakan upaya hukum lanjutannya, yaitu upaya Sebagai bagian dari proses memeriksa dan hukum banding di Pengadilan Tinggi Surabaya, mengadili perkara di pengadilan, pengambilan dan kasasi di Mahkamah Agung. Dalam upaya suatu putusan pengadilan terlebih dulu harus
144 |
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154
melalui beberapa proses, yang meliputi pemeriksaan saksi, pemeriksaan terdakwa, dan pemeriksaan barang bukti. Dalam perkara ini, majelis hakim telah melakukan pemeriksaan di muka persidangan, dan sudah juga didukung oleh beberapa alat bukti yang sah, sebagaimana diatur dalam Pasal 183 jo. Pasal 185 KUHAP.
pada pokoknya sebagai berikut:
Dalam pemeriksaan, ada beberapa poin dakwaan yang memang terbukti, namun ada pula yang tidak terbukti dengan mengingat keberadaan beberapa alat bukti yang dihadirkan di muka persidangan. Poin-poin dakwaan yang dianggap terbukti oleh majelis hakim, antara lain, tertuju kepada persoalan ajaran dari TM mengenai: 1.
Rukun Iman ada lima, yaitu: tawhidullah/ ma’rifatullah, annubuwwah (kenabian), alimamah (ke-imamah-an), al-‘adl (keadilan Tuhan), al-ma’aad (hari pembalasan);
2.
Rukun Islam ada delapan, yaitu: shalat, puasa, zakat, khumus, haji, amar ma’ruf nahi mungkar, jihad, dan al-wilayah.
Kitab suci Al Quran yang berada di tangan kaum muslimin saat ini tidak otentik (istilahnya aqidah tahrif Al Quran), yang otentik sedang dibawa oleh Imam al-Mahdi al-Muntadhor yang sekarang ini ghaib;
b.
Dua kalimat syahadat yang ditambah dengan: “wa asyhadu anna aliyyan waliyyullah wa asyhadu anna aliyyan hujjatullah”;
c.
Wajib mengkafirkan sahabat-sahabat dan para mertua serta beberapa istri Nabi Muhammad SAW;
d. Wajib berbohong atau ber-taqiyah terhadap kaum muslimin Ahli Sunnah Waljama’ah; e. Rukun Iman ada lima, yaitu: tawhidullah/ma’rifatullah, annubuwwah (kenabian), al-imamah (ke-imamah-an), al-‘adli (keadilan Tuhan), dan al-ma’aad (hari pembalasan); f. Rukun Islam ada delapan yaitu: sholat, shoum (puasa), zakat, khumus, haji, amar ma’ruf nahi munkar, jihad, dan al-wilayah;
Mengenai dianggap terbuktinya poin dakwaan itu agak sulit untuk ditemukan penjelasan (analisis) dari majelis hakim yang mendalam terhadap hal itu di dalam Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG. Kedua poin dakwaan yang dianggap terbukti oleh majelis hakim tersebut, jika dibaca dari isi Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG, merupakan dua poin dakwaan dari rangkaian delapan poin dakwaan yang menyasar ajaran yang dianggap diyakini dan diajarkan oleh TM. Mengenai dakwaan terhadap ajaran TM itu, lengkapnya ialah berbunyi sebagai berikut (Putusan Nomor 69/Pid.B/2012/PN.Spg: 89-90): “Menimbang, bahwa dalam surat dakwaannya penuntut umum mendakwa terdakwa telah menyampaikan ajaran yang
a.
g.
Al-fidha;
h.
Ar-roji’ah; …
Menimbang, bahwa mengenai dakwaan bahwa terdakwa telah menyampaikan ajaran: “dua kalimat syahadat yang ditambah dengan “waasyhaduanna aliyyan waliyyullah wa asyhadu anna aliyyan hujjatullah,” wajib mengkafirkan sahabatsahabat dan para mertua serta beberapa istri Nabi Muhammad SAW, al-fidha, dan arroji’ah,” majelis hakim memandang tidak cukup bukti, mengingat hal tersebut hanya didasarkan pada keterangan saksi RA dan saksi tersebut tidak disumpah, sehingga tidak memenuhi ketentuan minimum dua alat bukti yang sah; …” (huruf italic dan bold dari penulis).
Jika diamati seluruh isi Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG, majelis hakim yang
Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya)
| 145
memeriksa dan mengadili perkara memang sudah mengajukan argumentasi yang dirumuskan secara, di satu sisi, “menyetujui” dakwaan, dan sekaligus di sisi lain, “menolak” dakwaan dari jaksa penuntut umum dengan mempertimbangkan keberadaan alat-alat bukti yang dihadirkan di persidangan.
rujukan yang memadai dalam proses mengadili di pengadilan.
Kedua, saat majelis hakim membahas beberapa fakta hukum yang penting untuk dapat membuktikan bahwa TM memang benar telah “melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat penodaan terhadap agama Islam” terkesan Argumentasi seperti itu tentunya dapat masih terdapat kelemahan pada argumentasi yang dipahami mengingat majelis hakim sedang dibangun oleh majelis hakim. Dalam salah satu menghadapi perkara yang cukup kompleks, bagian pertimbangan hukumnya, majelis hakim baik dari perspektif pengetahuan bidang agama, merumuskan bahwa: sosial, maupun dari perspektif yuridis. Bahkan “Menimbang, bahwa mengenai ajaran sebagaimana kajian dari Jufri, ia menduga tentang Rukun Iman dan Rukun Islam, majelis sependapat dengan penasihat bahwa dalam rangkaian proses persidangan hukum terdakwa yang mendasarkan pada perkara ini ada beberapa bentuk upaya untuk keterangan ahli Dr. Zaenal Abidin Bagir, M.A., Dr. Umar Shahab, M.A., dan Prof. memengaruhi secara sistematis jalannya proses Dr. Zainun Kamal, M.A., serta barang bukti persidangan. Jufri (2016: 108) menyebut bentukdan surat bukti buku Risalah Ammandan bentuk upaya seperti itu dengan istilah upaya buku Sunnah-Syiah, Bergandeng Tangan! Mungkinkah (penulis M. Quraish Shihab) “hegemoni mayoritas.” Dapat diamati pula yang pada pokoknya menyatakan bahwa melalui isi Putusan Nomor 69/PID.B/2012/ rumusan lima Rukun Iman dan delapan PN.SPG ialah masih belum maksimalnya majelis Rukun Islam secara subtansi ada kesamaan dengan rumusan enam Rukun Iman dan hakim mengeksplorasi lebih dalam informasi lima Rukun Islam yang secara umum dari beberapa alat bukti yang dihadirkan dalam dikenal oleh umat Islam Indonesia, persidangan, misalnya yang bersumber dari perbedaan jumlah tersebut lebih pada perbedaan pandangan dan tafsir atas Al pendapat dari para ahli bidang agama dan literatur Quran dan Hadis Nabi; (bahan hukum sekunder), seperti Risalah Amman Menimbang, bahwa mengenai perbuatan dan buku “Sunnah-Syiah, Bergandeng Tangan! terdakwa menyampaikan atau mengajarkan Mungkinkah,” yang juga menjadi barang-barang bahwa Al Quran yang ada sekarang tidak asli (tidak orisinil), majelis memandang bukti. bahwa perbuatan terdakwa tersebut telah jelas merendahkan, mengotori dan Hal yang baru saja dipaparkan di atas merusak keagungan Al Quran, mengingat tampak sejalan dengan pendapat dari Bredemeier, sebagaimana menjadi pengetahuan umum, yang dikutip dalam kajian Susanto, di mana bahwa Al Quran merupakan kitab suci bagi umat Islam yang terjaga kemurniannya ia menyayangkan banyaknya hasil penelitian karena sudah dijamin pemeliharaan yang telah dihasilkan oleh para ahli namun (kemurniannya) oleh Allah SWT, hasil penelitian tersebut “tetap saja tersimpan sebagaimana disebutkan dalam Al Quran Surat Al-Hijr [15] ayat 9;…” dan tertinggal rapat-rapat dalam tembok kamar fakultas-fakultas hukum dan di dalam majalah Kutipan pertimbangan hukum tersebut hukum…” (Susanto, 2005: 148), atau dengan merupakan salah satu bagian di mana majelis kata lain, bahan-bahan itu tidak dijadikan sebagai 146 |
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154
hakim berupaya untuk berargumentasi bahwa TM telah benar-benar melakukan tindak penodaan terhadap agama Islam. Namun demikian, jika dicermati, maka sebenarnya pertimbangan hukum itu mengandung beberapa kelemahan sebagai berikut: Dalam Putusan Nomor 69/ PID.B/2012/PN.SPG ternyata majelis hakim tidak mengelaborasi konsep penodaan, terutama dalam kaitannya dengan aktivitas agama dan keyakinan yang ada di masyarakat. Elaborasi terhadap konsep penodaan menjadi sangat penting untuk dilakukan mengingat perkara yang sedang diadili ini merupakan perkara dugaan tindak pidana penodaan terhadap agama Islam. Dan juga sebagaimana sudah menjadi fakta historis dan sosial, di level pemeluk agama Islam terjadi (terdapat) banyak mazhab (aliran) yang cenderung disalahpahami eksistensinya.
hakim mau kembali merujuk kepada Risalah Amman dan buku “Sunnah-Syiah, Bergandeng Tangan! Mungkinkah” yang sudah diajukan sebagai alat bukti dalam persidangan perkara ini, maka ketergesa-gesaan atau ketidakcermatan dalam memahami konsep penodaan bisa dihindari. Di dalam kedua dokumen itu dijelaskan faktafakta bahwa memang di dalam tubuh umat Islam itu terdapat perbedaan mazhab, antara lain yaitu mazhab Sunni dan Syiah (Shihab, 2014: 35-36). Dan terhadap kenyataan adanya mazhab-mazhab tersebut, sedang terus diupayakan pendekatan untuk mewujudkan keadaan “saling berdialog” di antara keduanya, bukan malah justru saling menyalahkan (Shihab, 2014: 264-268).
Kelemahan selanjutnya yang dapat dicermati pada pertimbangan hukum yang telah dikutip tersebut di atas ialah berkaitan dengan Sehubungan dengan fakta keberagaman dakwaan bahwa TM sudah menyampaikan atau mazhab dalam umat Islam tersebut, maka mengajarkan bahwa Al Quran yang ada sekarang ketergesa-gesaan atau ketidakcermatan dalam tidak asli (tidak orisinil). Terkait dengan hal memahami konsep penodaan dapat berakibat tersebut, majelis hakim kembali tidak melakukan dengan mudahnya mazhab tertentu dianggap elaborasi mengenai poin dakwaan itu, dan negatif (sesat). Penulis mendapat kesan bahwa langsung melompat pada simpulan bahwa TM majelis hakim dalam perkara ini telah pula telah jelas-jelas merendahkan, mengotori, dan melakukan simplifikasi atas konsep penodaan, merusak keagungan Al Quran. bahkan dengan “menyamakan” makna antara Dasar argumentasi dari majelis hakim konsep penodaan (agama) dan konsep perbedaan mengenai poin tersebut hanya bersandarkan (mazhab). pada keterangan saksi-saksi yang diajukan oleh Simplifikasi dengan “menyamakan” makna penuntut umum dan beberapa barang bukti antara konsep penodaan (agama) dan konsep berupa surat-surat. Lantas, bagaimanakah Al perbedaan (mazhab) tentunya dapat berakibat pada Quran “versi asli” sesuai keyakinannya TM? menafikan fakta adanya perbedaan dalam tubuh Mengenai hal itu, baik majelis hakim maupun umat Islam, bahkan cenderung dapat mengecap penuntut umum, tidak dapat menghadirkannya di salah (sesat) mazhab tertentu. Putusan Nomor muka persidangan. Sehubungan dengan problem 69/PID.B/2012/PN.SPG memperlihatkan hal “keaslian” Al Quran tersebut, yang biasanya yang demikian, di mana pada akhirnya TM yang dilekatkan kepada mereka yang bermazhab bermazhab Syiah dinyatakan telah melakukan Syiah, kiranya menarik untuk dicermati pula penodaan terhadap agama Islam. Jika majelis penjelasan yang penulis peroleh dari wawancara Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya)
| 147
terhadap seorang narasumber yang relevan, di mana ia menjelaskan bahwa, “Saya pernah bawa asisten saya untuk pergi ke Iran dan mencari semua Al Quran yang ada di tiap-tiap daerah di sana. Sampai ada sepuluh Al Quran yang dibawa. Dan semuanya sama dengan Al Quran kita…” (wawancara, 2013). Oleh karena itulah, maka tentu akan lebih menarik lagi jika dalam Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG, majelis hakim melakukan penggalian yang lebih mendalam mengenai problem “keaslian” Al Quran yang didakwakan kepada terdakwa TM. Upaya pihak terdakwa TM untuk menghadirkan saksi-saksi dan barang bukti berupa Al Quran dalam menyangkal dakwaan telah merendahkan, mengotori dan merusak keagungan Al Quran pun tidak dapat diterima oleh majelis hakim. Al Quran yang diajukan sebagai barang bukti oleh TM dianggap oleh majelis hakim sebagai “tidak serta-merta dapat menjadi bukti,” sedangkan saksi-saksi yang diajukan oleh TM juga dianggap tidak dapat dipercaya keterangannya, karena majelis hakim langsung mengaitkan mereka dengan ajaran taqiyah. Ketiga, potensi dampak dikeluarkannya Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG terhadap persoalan penegakan hak asasi manusia, khususnya hak asasi manusia untuk beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Substansi perkara dalam Putusan Nomor 69/ PID.B/2012/PN.SPG sangat berhubungan dengan persoalan kemerdekaan untuk memeluk agama dan keyakinan, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 28E, Pasal 28I, Pasal 28J, dan Pasal 29 UUD NRI 1945. Di satu sisi, terdakwa TM yang merupakan pemeluk mazhab Syiah, karena ajaran yang ia pahami dan ia ajarkan kepada para pengikut dan santrinya, menjadikan ia diadili dan dijatuhi putusan pidana karena dianggap terbukti 148 |
melakukan tindak pidana “melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat penodaan terhadap agama Islam.” Pada poin ini, dapat terkesan bahwa proses hukum yang dikenakan terhadap TM merupakan proses mengadili apa yang menjadi keyakinan (mazhab yang dipeluk) TM. Pada sisi yang lain, jaksa penuntut umum merespons (menjawab) keresahan sebagian masyarakat, yang apabila dicermati dalam perkara ini dapat dipahami bahwa mereka berpaham Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Sunni), melalui dakwaan terhadap TM, yang mana dakwaannya mengarah kepada tindak pidana penodaan agama sebagaimana diatur dalam Pasal 156a KUHP, dan juga tindak pidana yang diatur dalam Pasal 335 ayat (1) KUHP. Dari paparan tersebut, dapat dipahami pula, bahwa perkara pada Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG, mau tidak mau, bersinggungan dengan problem hubungan antarmazhab yang ada di dalam tubuh umat Islam, yaitu mazhab Sunni yang pemeluknya mayoritas dan Syiah yang pemeluknya minoritas, khususnya dalam konteks tempat terjadinya perkara di Sampang. Alur pikiran yang terbaca pada beberapa bagian dari Putusan Nomor 69/PID.B/2012/ PN.SPG ialah bahwa majelis hakim pun menggunakan “perspektif mayoritas minoritas” saat mengadili perkara ini. Hal tersebut dapat terbaca setidaknya pada rumusan yang ada di dalam Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG yang menyatakan (huruf italic dan bold dari penulis):
“Bahwa akibat perbuatan terdakwa menyampaikan ajaran yang berbeda dengan ajaran umat Islam pada umumnya, telah menimbulkan keresahan dan pertentangan di masyarakat, …” (Putusan Nomor 69/ Pid.B/2012/PN.Spg: 84). Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154
“Bahwa akibat perbuatan terdakwa mengajarkan ajaran yang berbeda dengan ajaran umat Islam pada umumnya (khususnya masyarakat sekitar Omben dan Karang Penang), telah menimbulkan keresahan dan pertentangan di masyarakat, …” (Putusan Nomor 69/Pid.B/2012/ PN.Spg: 88).
dijatuhkan oleh majelis hakim justru malah terkesan “menjauh” dari menyelesaikan persoalan hubungan antara Sunni dan Syiah di Indonesia (Herawati, 2014: 37). Bahkan, bisa jadi, melalui putusan ini potensi yang sebenarnya ada pada pengadilan, melalui putusannya, untuk menjadi salah satu instrumen penegakan hak “Menimbang, bahwa demikian halnya berdasarkan fakta hukum yang telah asasi manusia, khususnya hak untuk secara diuraikan di atas, majelis hakim memandang bebas (tanpa tekanan) memeluk suatu agama dan bahwa terdakwa sebagai seorang guru keyakinan, menjadi terhambat perwujudannya. atau kiai patut kiranya mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukannya, yaitu Kecenderungan terhambatnya potensi mendakwahkan atau menyampaikan ajaran yang berbeda dengan ajaran masyarakat lembaga pengadilan, melalui putusannya, untuk pada umumnya akan menimbulkan ikut menegakkan hak asasi manusia untuk secara gangguan ketertiban umum atau mengganggu kedamaian umat beragama bebas (tanpa tekanan) memeluk suatu agama (dalam hal ini umat Islam), …” (Putusan dan keyakinan, antara lain, dapat dilihat dari Nomor 69/Pid.B/2012/PN.Spg: 88). penggunaan Putusan Nomor 69/PID.B/2012/ “Menimbang, bahwa berdasarkan PN.SPG sebagai dasar untuk memberikan kesesuaian antara keterangan saksi-saksi stigma negatif kepada mazhab Syiah beserta dan bukti-bukti surat di atas, majelis hakim memperoleh petunjuk bahwa terdakwa telah para pemeluknya di dalam beberapa media yang menyampaikan ajaran yang tidak sesuai dipublikasikan secara umum. dengan ajaran Islam pada umumnya; …” (Putusan Nomor 69/Pid.B/2012/PN.Spg: Kajian dari Afdillah (2016: 70) menjelaskan 91). bahwa gerakan-gerakan “anti-ajaran Tajul” Penggunaan frase “pada umumnya” secara bahkan semakin menguat setelah adanya Putusan implisit menjelaskan bahwa secara faktual, Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG. Kemudian, memang ada kelompok mayoritas yang dalam putusan tersebut juga pada faktanya membawa perkara ini kepentingannya merasa diganggu dampak negatif lanjutan terhadap upaya oleh TM dengan segala ajarannya (yang berada penegakan hukum hak asasi manusia, antara dalam posisi minoritas). Jadi, dalam perkara ini, lain, yaitu dalam bentuk: pertama, penggunaan tampak ada hubungan ketegangan yang terjadi persoalan hukum (perkara pidana) yang dihadapi antara kelompok Sunni mayoritas dan Syiah yang TM sebagai “barang dagangan politik” untuk minoritas. Memang karena beberapa alasan, mencari dukungan massa saat proses pemilihan hubungan antara kelompok Sunni mayoritas umum kepala daerah berlangsung (Afdillah, dan Syiah yang minoritas merupakan hubungan 2016: 77). yang kompleks, yang telah pula menghasilkan Hal itu jelas mencerminkan adanya upaya beragam pendekatan untuk merespons atau untuk kembali menempatkan supremasi hukum “menyelesaikannya.” di posisi bawah (subordinat) dari politik. Kedua, Perkara pada Putusan Nomor 69/ Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG pada PID.B/2012/PN.SPG ini, putusan yang akhirnya digunakan pula sebagai “justifikasi”
Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya)
| 149
bagi upaya mengurangi hak-hak asasi manusia 2) para pemeluk Syiah di tempat kejadian perkara, yang konkretnya berupa merelokasi mereka secara paksa dari kampung halaman mereka 3) sendiri (Afdillah, 2016: 91). Hal ini tentunya sekaligus mencabut secara paksa akar sosial dan sumber ekonomi mereka yang sudah bertahuntahun dibina di kampung halamannya. Substansi Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG menarik 4) juga untuk dicermati dengan menghubungkannya dengan konsep forum internum dan forum externum yang dikenal dalam lingkup pembahasan hukum hak asasi manusia. Secara prinsip, sudah jelas tidak boleh ada perlakuan yang berbeda yang merugikan bagi para pemeluk agama dan keyakinan, baik bagi mereka yang mayoritas ataupun minoritas. Pada level hukum internasional, sudah ada beberapa pengaturan mengenai hak asasi manusia untuk beragama dan berkeyakinan. Pada Article 18 dari Universal Declaration of Human Rights 1948, ditegaskan bahwa:
No one shall be subject to coercion which would impair his freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice. Freedom to manifest one’s religion or beliefs may be subject only to such limitations as are prescribed by law and are necessary to protect public safety, order, health, or morals or the fundamental rights and freedoms of others. The States Parties to the present Covenant undertake to have respect for the liberty of parents and, when applicable, legal guardians to ensure the religious and moral education of their children in conformity with their own convictions.
Begitu juga pada level nasional, hak beragama dan berkeyakinan sudah dijamin dan diatur dalam beberapa peraturan perundangundangan, antara lain, UUD NRI 1945, UndangUndang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia, dan bahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
Dalam konteks hukum hak asasi manusia, hak beragama dan berkeyakinan termasuk ke dalam kelompok non-derogable rights, yang “Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right berarti merupakan hak yang bersifat mutlak includes freedom to change his religion (absolut), dan oleh karenanya, tidak dapat or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public ditangguhkan atau ditunda dalam situasi atau or private, to manifest his religion or kondisi apapun. Dengan demikian, segala jenis belief in teaching, practice, worship and tindakan yang dapat mengakibatkan hilangnya observance.” hak seseorang ataupun sekelompok orang untuk Selanjutnya, ada pula International bebas beragama dapat digolongkan sebagai Covenant on Civil and Political Rights 1966 pelanggaran hak asasi manusia (Tim Peneliti Setara Institute, 2011: 16-17). yang pada Article 18-nya menegaskan bahwa: 1)
150 |
Everyone shall have the right to freedom of thought, conscience and religion. This right shall include freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice, and freedom, either individually or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in worship, observance, practice and teaching.
Terkait dengan konsep non-derogable rights, dalam perkembangannya, lalu dibentuk pedoman untuk mengatur hak-hak tersebut dengan pertimbangan adanya kepentingan umum. Secara garis besar, pedoman itu mengandung dua macam lingkup, yaitu forum internum dan forum externum. Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154
Forum internum (kebebasan internal) adalah kebebasan di mana tidak ada satu pihakpun yang dibolehkan campur tangan (intervensi) terhadap perwujudan dan dinikmatinya hak-hak dan kebebasan ini. Yang termasuk dalam rumpun kebebasan internal ialah: hak untuk bebas menganut serta berpindah agama, dan hak untuk tidak dipaksa menganut atau tidak menganut suatu agama (Tim Peneliti Setara Institute, 2011: 17). Forum externum (kebebasan eksternal) adalah kebebasan, yang dalam situasi khusus, negara diperbolehkan membatasi atau mengekang hak-hak dan kebebasan ini, tapi dengan prasyarat yang ketat dan legitimate berdasarkan prinsip siracusa. Prinsip siracusa menekankan bahwa hak-hak yang dapat ditunda atau ditangguhkan hanya dapat diberlakukan pada situasi atau kondisi tertentu yang dianggap dapat membahayakan kepentingan umum (Tim Peneliti Setara Institute, 2011: 16). Contoh kebebasan eksternal ialah: kebebasan untuk beribadah baik secara pribadi maupun bersama-sama, baik secara tertutup maupun terbuka, kebebasan untuk mendirikan tempat ibadah, kebebasan untuk menggunakan simbol-simbol agama, kebebasan untuk merayakan hari besar agama, kebebasan untuk menetapkan pemimpin agama, hak untuk mengajarkan serta menyebarkan ajaran agama, hak orang tua untuk mendidik agama kepada anaknya, hak untuk mendirikan serta mengelola organisasi atau perkumpulan keagamaan, dan hak untuk menyampaikan kepada pribadi atau kelompok materi-materi keagamaan (Tim Peneliti Setara Institute, 2011: 17-18). Mencari “titik keseimbangan” di antara forum internum dan forum externum memang bukanlah urusan yang mudah. Jika dicermati perkara pada Putusan Nomor 69/PID.B/2012/
PN.SPG tersirat bahwa majelis hakim pada akhirnya lebih menekankan kepada pemenuhan (melindungi) forum externum daripada forum internum. Hal itu setidaknya dapat dilihat (tercermin) dari pencantuman frase “menimbulkan gangguan ketertiban umum” di dalam salah satu bagian pertimbangan hukumnya. Tapi, yang patut dikritisi ialah, bahwa sayangnya majelis hakim dalam perkara ini menyandarkan pilihannya yang cenderung untuk melindungi forum externum hanya pada ketentuan Pasal 156a KUHP. Pasal 156a KUHP tersebut merupakan pasal yang disisipkan melalui Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang oleh beberapa sarjana dianggap cenderung dapat memperlemah upaya perlindungan hak asasi manusia, khususnya hak untuk beragama dan berkeyakinan bagi kelompok minoritas. Maria Farida Indrati bahkan pernah mengajukan dissenting opinion dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, dengan menyatakan bahwa Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS Tahun 1965 seharusnya inkonstitusional, karena dengan tegas mendiskriminasi minoritas-minoritas agama dan akan memaksa individu-individu meninggalkan keyakinan tradisional dan kepercayaan minoritas, yang berarti melawan keinginan mereka sendiri (HRW, 2013: 31). Sehubungan paparan tersebut di atas, dalam kajian yang dilakukan oleh Yonesta et.al., diungkapkan pula fakta-fakta bahwa dalam beberapa peristiwa yang berujung pada penegakan hukum terhadap Pasal 156a KUHP, dalam peristiwa itu selalu didahului (disertai) dengan adanya tekanan dari pihak-pihak tertentu, seperti melalui pengerahan massa, terhadap aparat penegak hukum (Yonesta et.al., 2012: 23). Hal mana bisa mengindikasikan bahwa Pasal
Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya)
| 151
156a KUHP merupakan ketentuan yang dapat seperti itulah Putusan Nomor 69/PID.B/2012/ dengan mudah dijadikan sebagai “alat” untuk PN.SPG ini ditempatkan. membungkam hak-hak kelompok agama dan Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG keyakinan minoritas di Indonesia. menjadi menarik saat dilihat dari perspektif upaya Jika keadaan seperti itu tetap dibiarkan, penegakan hak asasi manusia, khususnya hak maka upaya penegakan hukum hak asasi manusia beragama dan berkeyakinan. Putusan Nomor 69/ melalui pengadilan, terutama bagi kelompok PID.B/2012/PN.SPG terkesan masih cenderung agama dan keyakinan minoritas, menjadi berupaya memenuhi hanya aspek keadilan semakin sulit untuk diwujudkan. Sebagaimana prosedural, dan semangat untuk mengedepankan telah juga diingatkan oleh Perry (2007: 94-95), penegakan hak asasi manusia, khususnya hak bahwa hak asasi manusia, termasuk hak-hak beragama dan berkeyakinan, tidak tampak dalam kelompok minoritas agama dan keyakinan, tidak putusan tersebut. Atau, dengan kata lain, majelis bisa secara optimal dilindungi, walaupun suatu hakim dalam perkara ini memang cenderung negara telah menjadi demokratis, kecuali sistem belum mampu mewujudkan peran yang lebih pengadilannya benar-benar independen dari konkret dari lembaga yudikatif sebagai salah tekanan atau kekuasaan lainnya, pun tidak cukup satu penyedia instrumen bagi penegakan nilaijika hanya menyandarkan diri pada sekedar sudah nilai hak asasi manusia, terutama bagi kelompok adanya prosedur hukum yang formalitas. agama dan keyakinan minoritas. IV. KESIMPULAN Keberagaman yang ada dalam masyarakat DAFTAR ACUAN Indonesia, termasuk dalam hal beragama dan berkeyakinan, sudah sejak lama menjadi perhatian Abdoellah, P. (2016). Revitalisasi kewenangan serius mulai dari para tokoh pendiri bangsa, peradilan tata usaha negara: Gagasan sarjana, sampai ke masyarakat awam. Di dalam perluasan kompetensi peradilan tata usaha keberagaman tersebut, tentunya terkandung negara. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka. isu bagaimana hak asasi manusia berupa hak Abdullah, Z., & Wijaya, E. (2014). Problem keadilan untuk secara bebas (tanpa tekanan) memeluk bermazhab di Indonesia. Jakarta: Lentera suatu agama dan keyakinan dapat ditegakkan Hukum Indonesia. (diwujudkan). Afdillah, M. (2016). Dari masjid ke panggung politik:
Jaminan terhadap hak untuk secara bebas Melacak akar-akar kekerasan agama antara (tanpa tekanan) memeluk suatu agama dan komunitas Sunni & Syiah di Sampang, Jawa keyakinan secara konstitusional tentu dapat Timur. Yogyakarta: Center for Religious and dikatakan masih jauh dari cukup. Produk hukum Cross-Cultural Studies, Sekolah Pascasarjana lainnya masih harus ada dan diperlukan untuk Lintas Disiplin Universitas Gadjah Mada. mendukung jaminan yang telah diberikan oleh Ahmad, L.O.I. (2011). Relasi agama dengan negara konstitusi tersebut, dan salah satunya ialah putusan dalam pemikiran Islam (Studi atas konteks kepengadilan. Dalam konteks pemahaman yang 152 |
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154
Indonesia-an). Jurnal Millah, 10(2), 278.
Human Rights Watch.
Arizona, Y., Wijaya, E., & Sebastian, T. (2014). Pancasila
dalam
Konstitusi:
Putusan
Kajian
Mahkamah
terhadap
Putusan
Mahkamah Konstitusi dalam perkara yang berkaitan dengan perlindungan hak kelompok marjinal. Jakarta: Epistema Institute dan Yayasan Tifa.
hukum:
kecenderungan
penguatan hak asasi manusia di Indonesia. Jurnal Konstitusi, 11(3), 426. Jufri, M. (2016). Analisis Putusan Pengadilan Negeri
Sampang
Nomor
69/Pid.B/2012/
PN.Spg. Perspektif hak kebebasan beragama di Indonesia. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila
Djafar, W. (2010). Menegaskan kembali komitmen negara
Isra, S. (2014). Peran Mahkamah Konstitusi dalam
Sebuah
defisit
catatan
negara
hukum
atas di
Indonesia. Jurnal Konstitusi, 7(5), 170. Eddyono, L.W. (2015). The first ten years of the Constitutional Court of Indonesia: the Establishment of the principle of equality & the prohibition of discrimination. Constitutional Review, 1(2), 144.
dan Kewarganegaraan, 1(2), 102-110. Kadarudin. (2015). Legal guarantees & inconsistency of state recognition to the right of religion/belief in Indonesia. Hasanuddin Law Review, 1(1), 8. Komisi Yudisial Republik Indonesia [KYRI]. (2014). Kualitas hakim dalam putusan: Laporan penelitian putusan hakim tahun 2012. Jakarta: Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia.
Ginsburg, T. (2003). Judicial review in new democracies: Constitutional Courts in Asian cases. New York: Cambridge University Press. Gumbira, S.W. (2016). Problematika peninjauan kembali dalam sistem peradilan pidana pasca Putusan Mahkamah Konstitusi & Pasca SEMA RI No. 7 Tahun 2014 (Suatu analisa yuridis & asas-asas dalam hukum peradilan pidana). Jurnal Hukum dan Pembangunan, 46(1), 116. Herawati, A. (2014). Analisa Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 3320/Pid.B/2012/ Pn.Sby dengan terdakwa H. Roies Al Hukama. Dimuat dalam Kompilasi hasil penelitian putusan pengadilan & kebijakan daerah terkait hak-hak atas kebebasan beragama/ berkeyakinan. Aminah, S. (Ed). Jakarta: The Indonesian Legal Resource Center dan Hivos People Unlimited.
Latifiani, D. (2015). Permasalahan pelaksanaan putusan hakim. Jurnal Adhaper, 1(1), 20. Lestari, G. (2015). Bhinnekha Tunggal Ika: Khasanah multikultural Indonesia di tengah kehidupan SARA. Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 28(1), 35. Marbun, S.F. (2011). Peradilan administrasi negara & upaya administratif di Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Press. McGann, A. (2006). The logic of democracy: Reconciling equality, deliberation, & minority protection. Michigan: The University of Michigan Press. Perry, M.J. (2007). Toward a theory of human rights: Religion, law, courts. New York: Cambridge University Press.
Human Rights Watch (HRW). (2013). Atas nama minoritas
Setara Institute. (2017). Kondisi kebebasan beragama
agama di Indonesia. Tanpa keterangan kota:
di Indonesia 2016. Diakses dari
agama:
Pelanggaran
terhadap
Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya)
| 153
setara-institute.org/kondisi-kebebasan-
Wawancara. (2013, Juli 28). Wawancara dengan Umar
beragamaberkeyakinan-dan-minoritas-
Syihab (Ketua Bidang Ukhuwah Islamiyah
keagamaan-di-indonesia-2016/>.
Majelis Ulama Indonesia Pusat).
Shihab, M.Q. (2014). Sunnah-Syiah bergandengan
Shofa,
Widiatmaka, P. (2016). Pembangunan karakter
tangan! Mungkinkah? Kajian atas konsep
Nasionalisme
ajaran & pemikiran. Tangerang: Lentera Hati.
berbasis agama Islam. Jurnal Pancasila dan
A.M.A.
(2016).
Memaknai
kembali
peserta
didik
di
sekolah
Kewarganegaraan, 1(1), 27.
dalam
Yonesta, F. et.al. (2012). Agama, negara, & hak asasi
bingkai Pancasila. Jurnal Pancasila dan
manusia: Proses pengujian UU 1/PNPS/1965
Kewarganegaraan, 1(1), 37-38.
tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/
multikulturalisme
Indonesia
Subki, T., Muntahaa, M., & Azizah, A. (2014). Analisis yuridis tindak pidana penodaan agama (Putusan
atau Penodaan Agama di Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan Yayasan Tifa.
Pengadilan Negeri Sampang Nomor: 69/ Pid.B/2012/PN.Spg). Jurnal Lentera Hukum, 1(1), 54-65. Susanto, A.F. (2005). Semiotika hukum: Dari dekonstruksi teks menuju progresivitas makna. Bandung: Refika Aditama. Suwito, D.D.P. (2016). Perselisihan internal partai politik dalam berbagai putusan pengadilan. Jakarta: Adhi Sarana Nusantara. Tim Peneliti Setara Institute. (2011). Mengatur kehidupan beragama; Menjamin kebebasan? Urgensi kebutuhan RUU Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan.
Jakarta:
Pustaka
Masyarakat Setara. Tjandra, W.R. (2009). Peradilan tata usaha negara mendorong terwujudnya pemerintahan yang bersih & berwibawa. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Tumpa, H.A. (2010). Memahami eksistensi uang paksa (Dwangsom) & implementasinya di Indonesia. Jakarta: Kencana. Wahyudi, A. (2013). Quo vadis jaminan Konstitusi hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan: Menguji peran negara. Jurnal Keadilan Sosial, III, 3-4. 154 |
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154
PENERAPAN PIDANA TAMBAHAN DALAM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI PADA TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP Kajian Putusan Nomor 1554 K/PID.SUS/2015
THE IMPLEMENTATION OF ADDITIONAL CRIMINAL CHARGES OF CORPORATE CRIME LIABLITY IN ENVIRONMENTAL CRIME An Analysis of Court Decision Number 1554 K/PID.SUS/2015 Hariman Satria Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari Jl. KH. Ahmad Dahlan No. 10, Kendari 93117 E-mail:
[email protected] Naskah diterima: 23 Januari 2017; revisi: 14 Agustus 2017; disetujui 14 Agustus 2017 ABSTRAK Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 1554 K/PID. SUS/2015 menghukum terdakwa PT KA yang diwakili oleh SR selaku direktur utama, karena melakukan pembakaran hutan yang merusak lingkungan hidup, dengan pidana denda sebesar Rp3.000.000.000,Permasalahan yang timbul adalah bagaimanakah penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup, kaitannya dengan pidana tambahan berupa pemulihan kerugian akibat kerusakan lingkungan yang terjadi? Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan kasus dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertanggungjawaban pidana korporasi belum dilakukan secara maksimal karena didasari oleh tiga alasan. Pertama, terdakwa dipidana denda dengan menggunakan ancaman pidana minimal sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 108 UndangUndang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kedua, terdakwa tidak dikenai pidana tindakan tata tertib seperti perbaikan akibat tindak pidana guna memulihkan kerugian keuangan negara. Ketiga, terdakwa juga tidak dikenai pidana tambahan. Tegasnya putusan a quo belum maksimal baik dilihat dari sisi
pemulihan kerugian keuangan negara, maupun dari sisi sanksi pidana denda kepada pelaku. Kata kunci: pidana tambahan, pertanggungjawaban pidana, korporasi, lingkungan hidup.
ABSTRACT Supreme Court convicted PT KA represented by SR as the President Director, through Court Decision Number 1554 K/PID.SUS/2015 on an environmentally-damaging forest fire to a maximum fine of Rp3,000,000,000,- The problem addressed in this research analysis is how the implementation of corporate criminal liability in environmental crime related to additional criminal charges, in the form of compensation for environmental damage caused? The method used is a normative legal research, focusing on two approaches: case and conceptual approaches. The results indicated that corporate criminal liability has not performed optimally for three reasons. First, the defendant is subject to minimal criminal sanction as mentioned in Article 108 of Law on Environmental Protection and Management. Second, the defendant is not subject to sanction of disciplinary action, such as the restoration of state financial losses. Third, the defendant is also not
Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria)
| 155
subject to additional criminal charges. As a result, a quo decision is not maximal both in terms of state financial losses recovery and criminal sanction of fines to the
offender.
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
meyakinkan (Satria, 2016: 290). Itu artinya sejak undang-undang lingkungan hidup diformulasi dan diberlakukan, hanya ada satu korporasi yang dipidana yakni PT KA.
Berbicara mengenai tindak pidana lingkungan hidup, tentunya tidak dapat dipisahkan dari aktor atau pelakunya (dader). Akhir-akhir ini aktor kerusakan lingkungan mengerucut pada dua subjek hukum yakni manusia (naturalijke person) dan badan hukum (recht person). Atas dasar itu, dalam Pasal 1 butir 32 Undang-Undang
Keywords: additional charges, criminal liability, corporate, environment.
Menelusuri jejak keterlibatan PT KA, dalam tindak pidana lingkungan hidup di Kabupaten Nagan Raya, Meulaboh –dapat dilihat melalui pertimbangan hukum (ratio decidendi) majelis hakim melalui Putusan Nomor 1554 K/ Pid.Sus/2015. Berawal dari pembukaan lahan Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan dengan cara membakar semak-semak dan jalurPengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan jalur rumpukan yang terletak dalam blok milik bahwa setiap orang adalah orang perseorangan PT KA. Kemudian api menyebar dengan cepat atau badan usaha, baik yang berbadan hukum sehingga membakar hutan yang ada di sekeliling maupun yang tidak berbadan hukum. wilayah usaha PT KA. Pendeknya peraturan lingkungan hidup telah mengidentifikasi sejak awal bahwa pelaku kejahatan, tidak melulu manusia, tetapi bisa juga badan usaha/korporasi. Oleh karena itu, penegakan hukum lingkungan adresatnya adalah manusia dan korporasi. Namun demikian, sejak Indonesia memberlakukan undang-undang lingkungan hidup, sangat sedikit di antara korporasi yang diproses pidana – padahal aroma keterlibatan korporasi pada sejumlah tindak pidana lingkungan sangat kental terasa. Tercatat hanya ada dua korporasi yang telah diproses pidana karena dugaan perusakan lingkungan yakni PT NMR (Putusan Nomor 284/Pid.B/2005/PN.Mdo) dan PT KA (Putusan Nomor 1554 K/Pid.Sus/2015). Kecuali PT KA, PT NMR oleh putusan Pengadilan Negeri Manado dinyatakan tidak bersalah secara sah dan
156 |
Peristiwa ini terjadi berulang kali sehingga mengakibatkan kebakaran yang semakin meluas. Dari kebakaran ini telah dilakukan penyelidikan oleh PPNS Kehutanan dan penyidik Polres Meulaboh, kemudian didapati fakta bahwa pelakunya bernama KY, yang notabene adalah karyawan PT KA. KY sendiri dalam persidangan mengakui, bahwa ia hanya menjalankan kebijakan perusahaan PT KA dalam hal melakukan pembakaran lahan. Atas perbuatannya KY ditersangkakan sebagai pelaku tindak pidana pembakaran hutan yang merusak lingkungan. Penyidik dan penuntut umum, kemudian menghadirkan ahli di bidang kehutanan untuk menganalisis dan memberi penjelasan tentang kebakaran hutan tersebut. Adapun ahli yang dihadirkan adalah Bambang Hero Sahardjo (guru
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 155 - 171
besar Fakultas Kehutanan IPB Bogor) yang pada intinya menekankan empat hal. Pertama, dari hasil pengamatan dan analisa sampel didapati bukti, bahwa telah terjadi perusakan lingkungan akibat pembakaran tanah gambut dalam pembuatan kebun kelapa sawit. Kedua, hasil analisa juga menunjukkan bahwa tanah yang dibakar menimbulkan kerusakan lingkungan sifat fisik, kimia, dan biologi. Ketiga, akibat yang lain adalah kerusakan aspek flora dan keragaman spesies sehingga menyebabkan hutan dan populasi menjadi hilang seketika. Keempat, PT KA sama sekali tidak punya menara pengawas api yang memadai sehingga ketika terjadi kebakaran, sulit dihindari. Atas kejadian ini, negara ditaksir mengalami kerugian sebesar Rp366.098.669.000,- termasuk di dalamnya adalah biaya yang dibutuhkan untuk pemulihan kondisi lingkungan. Dalam kasus kebakaran lahan ini, penyidik selain menersangkakan KY selaku karyawan PT KA, penyidik juga ikut menersangkakan PT KA yang diwakili oleh SR selaku direktur utama, dengan tuduhan melanggar Pasal 108 jo. Pasal 69 ayat (1) huruf h, Pasal 116 ayat (1) huruf a, Pasal 118, dan Pasal 119 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Dalam perkembangannya, merujuk pada fakta persidangan di Pengadilan Negeri Meulaboh, diketahui bahwa PT KA yang diwakili oleh SR dijatuhi pidana denda sebesar Rp3 miliar. Putusan ini kemudian dikuatkan dalam Putusan Nomor 1554 K/PID.SUS/2015.
koporasi dengan menggunakan sarana hukum pidana. Namun demikian, bagi penulis masih terdapat beberapa hal yang menarik untuk dikaji sehubungan dengan putusan tersebut. Paling tidak terdapat lima pertimbangan majelis hakim yang menunjukkan adanya suatu kontradiksi yang mesti dianalisis. Pertama, majelis hakim menegaskan bahwa PT KA telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana membuka lahan untuk perkebunan kelapa sawit dengan cara merusak lingkungan secara berlanjut. Kedua, PT KA kemudian dijatuhi pidana denda sebesar Rp3 miliar. Dalam putusan a quo juga ditegaskan, bahwa PT KA diwakili oleh SR selaku direktur. Ketiga, majelis hakim mengakui dalam pandangannya, bahwa kerugian negara dalam tindak pidana tersebut berjumlah Rp366.098.669.000,- Keempat, karena kerugian keuangan negara dalam bentuk rehabilitasi telah dibebankan dalam Putusan Nomor 651 K/ PDT/2015 yang berhubungan dengan perkara a quo, maka dalam perkara a quo tidak dibebankan lagi. Kelima, majelis hakim tidak memperbaiki putusan pidana Pengadilan Negeri Meulaboh yang tidak memberikan pidana tambahan kepada terdakwa PT KA padahal hal itu menjadi pintu masuk untuk meminta ganti rugi.
Bertalian dengan Putusan Nomor 651 K/ PDT/2015 tersebut, dapat penulis abstraksikan, bahwa PT KA digugat oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan dalih melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sesuai dengan Pasal 1365 Burgelijk Wetboek jo. Pasal 90 Undang-Undang Perlindungan Terkait dengan Putusan Nomor 1554 K/ dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berupa PID.SUS/2015 ini, secara eksplisit menunjukkan pembukaan lahan dengan cara membakar yang adanya suatu progresif positif dalam upaya merusak lingkungan. Pengadilan kemudian melakukan penuntutan dan penghukuman kepada memutuskan, bahwa PT KA terbukti melakukan Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria)
| 157
perbuatan melawan hukum tersebut. PT KA selaku tergugat kemudian dikenai hukuman ganti kerugian sebesar Rp251.765.250.000,-. Jumlah ini diperhitungkan sebagai biaya pemulihan lingkungan atas kebakaran lahan yang terjadi. Namun demikian, dalam putusan a quo sama sekali tidak menyebutkan bahwa dengan adanya sanksi ganti kerugian ini maka tergugat (PT KA) sudah tidak dapat diproses hukum lagi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
KA. Dengan demikian kerugian negara termasuk biaya pemulihan belum terselesaikan dengan baik. Pasal
119
huruf
c
Undang-Undang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, membuka kemungkinan penjatuhan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa perbaikan akibat tindak pidana. Di sinilah letak permasalahannya, sebab putusan perkara pidana hanya berupa pidana denda dalam jumlah yang Kembali pada putusan perkara pidana, minimal tanpa ada pidana tambahan kepada menurut penulis dalam putusan a quo, terdakwa PT KA. Inilah salah satu alasan yang pertimbangan majelis hakim menyimpan mendasari penulis sehingga melakukan penelitian sejumlah masalah serius dan cenderung ambigu. dalam putusan a quo. Di satu sisi majelis hakim meyakini bahwa perbuatan terdakwa PT KA menimbulkan B. Rumusan Masalah kerugian negara dalam jumlah yang tidak sedikit Merujuk pada latar belakang di atas, yaitu sebesar Rp366.098.669.000,-. Di sisi yang lain, majelis hakim justru menguatkan putusan permasalahan yang akan diteliti dalam Pengadilan Negeri Meulaboh yang menghukum tulisan ini adalah bagaimanakah penerapan terdakwa untuk membayar pidana denda hanya pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup kaitannya dengan sebesar Rp3 miliar. pidana tambahan berupa pemulihan kerugian Putusan ini tentu jumlahnya tergolong akibat kerusakan lingkungan yang terjadi? sedikit sebab setara dengan ancaman pidana minimal pada Pasal 108 Undang-Undang C. Tujuan dan Kegunaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Tujuan tulisan ini adalah untuk mengetahui, Hidup. Padahal majelis hakim sebetulnya masih bisa mengenakan ancaman pidana denda yang mengidentifikasi, dan menganalisis penerapan lebih berat. Sebab dalam Pasal 108 a quo ancaman pertanggungjawaban pidana korporasi dalam pidana denda maksimalnya sebesar Rp10 miliar. tindak pidana lingkungan hidup kaitannya dengan pidana tambahan berupa pemulihan kerugian Cara pandang hakim dalam menilai perlu akibat kerusakan lingkungan yang terjadi. tidaknya, terdakwa PT KA membayar biaya Kegunaan bagi ilmu pengetahuan adalah pemulihan ternyata dipengaruhi oleh kenyataan bahwa terdakwa juga telah dihukum secara perdata diharapkan hasil penelitian ini dapat memperkaya dan diwajibkan membayar biaya pemulihan. Jadi pemahaman filosofis, teoritik, dan praktis serta majelis hakim dalam perkara a quo menyerahkan dapat memberikan wacana yang utuh mengenai biaya pemulihan kepada majelis hakim yang pertanggungjawaban pidana korporasi dalam menangani gugatan keperdataan terhadap PT tindak pidana lingkungan hidup.
158 |
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 155 - 171
D.
Tinjauan Pustaka
1.
Teori-Teori Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Secara etimologis, kata korporasi berasal dari bahasa latin, corporatio. Kata ini berasal dari bahasa latin yang lebih tua yakni corporare. Corporare sendiri berasal dari kata corpus yang berarti memberikan badan atau membadankan (Stone, 2005: 17). Dari kata corporatio tersebut diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di Eropa, seperti corporatie (Belanda), corporation (Inggris), corporation (Jerman). Dapat diduga dari kata corporatie (Belanda) tersebut akhirnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi korporasi. Thomas W. Dunfee mendefinisikan korporasi sebagai personae fictie, latin for fictious legal persons entities which the law threat, in most cacses, as being separate and distinct from the shareholders who own them (Sjawie, 2013: 32). Awal mulanya, gagasan pertanggungjawaban pidana korporasi mengalami penolakan dengan berpegang pada asas universitas delinquere non potest artinya korporasi tidak dapat dipidana dan asas societes delinqere non potest artinya korporasi tidak mungkin melakukan tindak pidana, yang sangat dipengaruhi oleh ajaran Savigny. Savigny berpendapat bahwa badan hukum hanyalah suatu fiksi saja (persona ficta; legal fiction). Bahwa kepribadian hukum sebagai satu kesatuan dengan manusia hanya khayalan semata. Kepribadian yang sebenarnya hanya ada pada manusia (Remmelink, 2003: 272). Schaffmeister, Keijzer, & Sutorius (1995: 274-276) menyebutkan bahwa proses penerimaan korporasi sebagai subjek hukum pidana terbagi dalam tiga tahap. Pertama, yaitu sejak KUHP dibentuk tahun 1886. Pada tahap
ini ditandai dengan usaha-usaha agar perbuatan pidana yang dilakukan badan hukum, dibatasi pada perorangan (naturalijek persoon). Kedua, pasca Perang Dunia I. Pada tahap ini dalam undang-undang telah ditentukan bahwa suatu perbuatan pidana dapat dilakukan oleh korporasi namun tanggung jawab untuk itu masih menjadi beban dari pengurus atau anggota pimpinan dari badan hukum tersebut. Ketiga, pada waktu dan sesudah Perang Dunia II, tanggung jawab pidana langsung dari korporasi dianut juga. Secara kumulatif korporasi dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana, di samping mereka yang memberi perintah atau memimpin secara nyata telah berperan dalam perbuatan pidana itu. Apabila kita memperhatikan narasi pengakuan korporasi sebagai subjek hukum pidana, berikut tahapan pertanggungjawabannya yang dikemukakan oleh Schaffmeister, Keijzer, & Sutorius tersebut, sekilas kita dapat menyimpulkan bahwa korporasi dapat melakukan kejahatan. Dikatakan demikian karena ia mulai diakui sebagai subjek hukum sehingga dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Pertanyaan kemudian adalah apakah kejahatan korporasi itu? Simpson (2005: 6), mengatakan: corporate crime is type of white collar crime. Demikian pula Braithwaite (1984: 6), mengatakan bahwa corporate crime is the conduct of a corporation, or of employees acting on behalf of a corporation, which is prescribed and punishible by law. Menyangkut istilah white collar crime, sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari seorang sosio kriminolog yang bernama Sutherland. Pada tahun 1939 di hadapan American Sociological Society, Sutherland berpidato dan memperkenalkan istilah white collar crime dengan mengatakan bahwa the concept of white
Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria)
| 159
Masih mengenai pertanggungjawaban collar crime are to describe criminal activity by persons of high social status and respectability pidana korporasi, pada dasarnya ada lima teori. who use their occupational position as a means Pertama, teori identifikasi (identification theory) violate the law (Sutherland & Cressey, 1955: 82). biasa disebut dengan direct corporate criminal liablity atau pertanggungjawaban pidana Secara teoritis dikenal tiga prototipe korporasi secara langsung (Pinto & Evans, 2003: kejahatan korporasi yaitu: crimes for corporation, 46). Menurut teori ini korporasi bisa melakukan crimes against corporation, dan criminal sejumlah delik secara langsung melalui pengurus corportions. Pada dasarnya crimes for corporation yang sangat berhubungan erat dengan korporasi, inilah yang disebut sebagai kejahatan korporasi. bertindak untuk dan atas nama korporasi sehingga Dalam hal ini dapat dikatakan corporate crime dipandang sebagai perusahaan itu sendiri (Reid, are clearly commited for the corporate, and 1995: 53). not against. Kejahatan korporasi dilakukan Kedua, strict liability. Smith & Hogan untuk kepentingan korporasi bukan sebaliknya. Sementara itu crimes against corporation adalah (1998: 79), mendefinisikan strict liability sebagai kejahatan yang dilakukan oleh pengurus korporasi crimes which do not require intention, recklessness itu sendiri (employes crime). Dalam hal ini or even negligent or more element in the actus korporasi sebagai korban dan pengurus sebagai reus. Karena itu strict liability diartikan sebagai pelaku. Sedangkan criminal corporation adalah pertanggungjawaban yang ketat menurut undangkorporasi yang sengaja dibentuk untuk melakukan undang tanpa memandang siapa yang melakukan kesalahan. Berkenaan dengan itu Dobson (2008: kejahatan (Simpson & Weisburd, 2009: 3). 22) menarasikan strict liability sebagai some Secara substantif terdapat tiga model crimes for which with regard to at least one pertanggungjawaban pidana korporasi. Pertama, element of the actus reus, no mens rea is required. pengurus korporasi sebagai pembuat dan Ketiga, vicarious liability. Pada dasarnya penguruslah yang bertanggung jawab. Gagasan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa badan ajaran ini erat hubungannya dengan doctrine hukum tidak dapat dipertanggungjawabkan of respondeat superior yaitu adanya hubungan secara pidana, karena penguruslah yang akan antara master dan servant atau antara principal selalu dianggap sebagai pelaku dari delik dan agent. Hubungan itu kemudian dikuatkan tersebut. Kedua, korporasi sebagai pembuat dan oleh adagium yang berbunyi qui facit per alium pengurus yang bertanggung jawab. Jadi model facit per se artinya seseorang yang berbuat ini menyadari bahwa korporasi sebagai pembuat melalui orang lain dianggap dia sendiri yang namun untuk pertanggungjawabannya diserahkan melakukan perbuatan itu (Sjahdeini, 2006: 84). kepada pengurus. Ketiga, korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab. Model ini memperhatikan perkembangan korporasi itu sendiri, karena ternyata hanya dengan menetapkan pengurus sebagai yang bertanggung jawab, tidaklah cukup (Muladi & Priyatno, 2010: 148) 160 |
Menurut LaFave (2003: 224), vicarious liability is one wherein one person, though without personal fault, is more liable for the counduct of another. Intinya adalah bahwa vicarious liability merupakan pengecualian pertanggungjawaban individu yang dianut dalam hukum pidana
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 155 - 171
berdasarkan adagium nemo puniturpro alieno yang berbeda-beda. Moeljatno (2008: 59-61) delicto (artinya: tidak ada seorang pun yang mengartikan strafbaar feit sebagai perbuatan dihukum karena perbuatan orang lain). pidana. Prodjodikoro (2003: 59), menyebutnya sebagai tindak pidana. Sementara Saleh (1980: Keempat, teori agregasi. Ajaran ini 13), di samping memakai istilah perbuatan pidana memungkinkan agregasi atau kombinasi kesalahan juga menggunakan istilah delik. Sedangkan dari sejumlah orang, untuk diatribusikan kepada Hiariej (2014: 121), memiliki pandangan yang korporasi sehingga korporasi dapat dibebani sama dengan Moeljatno (2008) dan Saleh pertanggungjawaban (Sjahdeini, 2006: 108). (1980), yang mengartikan strafbaar feit sebagai Intinya, doktrin ini menekankan bahwa semua perbuatan pidana. perbuatan dan semua unsur mental (mens rea) dari berbagai orang yang terkait secara relevan dalam Terkait dengan perbedaan pemaknaan lingkungan perusahaan dianggap dilakukan oleh strafbaar feit oleh beberapa ahli hukum pidana satu orang saja (Clarkson & Keating, 2007: 242- maka Sudarto mengatakan, pemakaian istilah 260). yang berbeda-beda di atas sebaiknya tidak Kelima, doktrin corporate cultural model atau model budaya kerja. Doktrin ini pada intinya menegaskan bahwa badan hukum dapat dipertanggungjawabkan secara pidana apabila tindakan seseorang memiliki dasar yang rasional bahwa badan hukum tersebut memberikan wewenang atau mengizinkan perbuatan dilakukan (Hiariej, 2014: 207). Secara gamblang diuraikan oleh Laufer (2006: 44), corporate culture is an attitude, policy, rule, course of conduct or practice existing within the body corporate generally or within the area of the body corporate in which the relevant activities take places. Inti dari ajaran ini adalah kebijakan badan hukum yang tersurat dan tersirat memengaruhi cara kerja badan hukum tersebut. 2. Konsep Tindak Pidana Lingkungan Hidup Terminologi tindak pidana pada dasarnya diterjemahkan dari kata strafbaar feit dalam hukum pidana Belanda (Poernomo, 1993: 9091). Mengenai strafbaar feit ini, para ahli hukum pidana Indonesia memiliki pandangan
perlu dipersoalkan, sepanjang mengetahui isi dari pengertian istilah tersebut. Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis yang berbeda dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan yang dapat dimaknai secara yuridis atau kriminologis (Supriyadi, 2015: 159). Menurut Moeljatno (2008: 20) perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dalam undangundang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan itu. Senada dengan Moeljatno, ahli hukum pidana Indonesia yang lain – Saleh (1980: 13), menyebut perbuatan pidana sebagai perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang terlarang. Sementara itu Jonkers mendefinisikan perbuatan pidana dalam dua bentuk. Pertama, definisi singkat –sempit. Kedua, definisi panjang –luas. Definisi singkat: perbuatan pidana adalah perbuatan yang menurut undang-undang dapat dijatuhi pidana. Definisi luas: perbuatan pidana adalah suatu perbuatan dengan sengaja atau alpa yang dilakukan dengan melawan hukum oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan. Tegasnya dalam
Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria)
| 161
definisi singkat, Jonkers hanya menyinggung soal perbuatan pidana tetapi pada definisi luas ia mulai menyinggung pertanggungjawaban pidana (Jonkers, 1987: 135). Merujuk pada uraian perbuatan pidana di atas, maka kontekstual perbuatan pidana lingkungan hidup adalah suatu perbuatan yang dilarang dalam undang-undang lingkungan hidup atau peraturan lain yang terkait dengan itu, yang mana pelanggaran atas larangan tersebut diancam dengan pidana oleh badan yang berhak. Rahmadi (2014: 221) kemudian menegaskan bahwa perbuatan pidana lingkungan hidup adalah perintah dan larangan undang-undang kepada subjek hukum yang jika dilanggar diancam dengan penjatuhan sanksi-sanksi pidana dengan tujuan melindungi lingkungan hidup secara keseluruhan. II.
METODE
Menurut Istanto (2007: 29), penelitian hukum adalah penelitian yang diterapkan atau diberlakukan khusus pada ilmu hukum. Cohen & Olson (1992: 1) mendefinisikan penelitian hukum sebagai the process of identifing and retrieving information necessary to support legal decisionmaking.
kasus bertolak pada ratio decidendi yaitu alasan hukum yang digunakan oleh hakim sampai pada putusannya. Menurut Goodheart, ratio decidendi dapat diketemukan dengan memperhatikan fakta materiil (Mcleod, 1999: 144). Kedua, pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan konseptual adalah bertolak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Pemahaman terhadap pandangan dan doktrin tersebut dapat menjadi sandaran dalam membangun dan memecahkan permasalahan penelitian (Marzuki, 2014: 95). III. HASIL DAN PEMBAHASAN Apabila kita memperhatikan dengan saksama Putusan Nomor 1554 K/PID.SUS/2015, kelihatannya tidak ada masalah serius. Putusan ini bahkan boleh dikatakan sebagai salah satu putusan yang paling progresif dan membawa angin segar dalam upaya menuntut dan menghukum korporasi nakal. Dikatakan demikian, sebab untuk pertama kalinya pengadilan memidana korporasi sebagai pelaku tindak pidana lingkungan hidup. Karena itu kita patut mengapresiasi majelis hakim dalam perkara a quo, yang secara responsif memberi putusan yang monumental.
Putusan a quo tetap saja dapat dianalisis secara kritis sehingga dapat bermanfaat bagi peradilan dan masyarakat pada umumnya. Singkatnya bahwa di satu sisi kita menghargai terobosan majelis hakim dalam menghukum korporasi, tetapi di sisi yang lain masih ada sejumlah catatan kritis yang perlu disoroti. Secara praktis ada dua alasan yang menarik sehingga putusan a quo layak dianalisis, yaitu: 1) telah Pertama, pendekatan kasus (case berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde); approach). Dalam menggunakan pendekatan dan 2) secara substantif menyangkut pemidanaan Berangkat dari pemikiran Istanto dan Cohen tersebut, maka usulan penelitian ini merupakan penelitian hukum (legal research). Sesuai dengan permasalahan yang diteliti, maka penelitian ini merupakan penilitian hukum normatif (normative law research). Untuk mencari dan menemukan jawaban permasalahan dalam penelitian ini maka penulis menggunakan dua metode pendekatan.
162 |
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 155 - 171
kepada korporasi yang melakukan tindak pidana yakni nama lengkap, tempat lahir, umur atau lingkungan hidup (crime of enviroment). tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka. Secara sistematis, dalam putusan a quo tertuang tiga hal, yaitu: 1) surat dakwaan; 2) surat Syarat materiil terdiri atas dua yaitu: 1) tuntutan; dan 3) amar putusan majelis hakim. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai Tiga poin ini saling berkorelasi satu sama lain tindak pidana yang didakwakan; dan 2) menyebut sehingga perlu disampaikan dalam ulasan ini. waktu dan tempat tindak pidana dilakukan (locus Namun demikian fokus utama analisis adalah delicti dan tempus delicti). Jika syarat formal tidak terhadap pertimbangan hukum majelis hakim terpenuhi maka surat dakwaan dapat dibatalkan (ratio decidendi) sehingga sampai pada amar (vernietigebaar), sedangkan bila syarat materiil putusan yang memidana PT KA (terdakwa). tidak terpenuhi, maka sesuai ketentuan Pasal A.
Surat Dakwaan
Terdakwa (PT KA) didakwa melakukan perbuatan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 108 jo. Pasal 69 ayat (1) huruf h, Pasal 116 ayat (1) huruf a, Pasal 118, dan Pasal 119 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Pasal 64 ayat (1) KUHP. Secara substantif Pasal 108 menyangkut tindakan setiap orang yang melakukan pembakaran lahan; Pasal 116 ayat (1) huruf a bertalian dengan tuntutan dan sanksi pidana kepada badan usaha; Pasal 118 terkait dengan pengurus yang mewakili korporasi jika terjadi tindak pidana atas nama badan usaha; Pasal 119 berhubungan dengan pidana tambahan. Sedangkan Pasal 64 KUHP bertalian dengan perbuatan berlanjut. Bila dihubungkan dengan surat dakwaan pada putusan a quo, dengan jelas menunjukkan bahwa baik syarat formal maupun syarat materiil telah terpenuhi. Pasal 143 ayat (1) dan (2) KUHAP disebutkan ada dua syarat sahnya surat dakwaan yakni syarat formal dan syarat materiil. Syarat formal harus memuat hal-hal sebagai berikut: 1) diberi tanggal dan ditandatangani oleh penuntut umum; dan 2) menyebutkan identitas terdakwa
143 ayat (3), surat dakwaan tersebut batal demi hukum atau null and void (Harahap, 2009: 391). Itu berarti surat dakwaan dianggap tidak pernah ada. Dilihat dari bentuk surat dakwaan maka dakwaan yang digunakan penuntut umum dalam perkara a quo adalah dakwaan kumulatif (cummulative en lettslegging) yaitu surat dakwaan yang disusun secara berlapis dan seluruhnya harus dibuktikan. Dengan kata lain penuntut umum menggunakan dakwaan kumulatif dalam concursus idealis yaitu satu perbuatan yang melanggar lebih dari satu pasal peraturan pidana, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 63 ayat (1) KUHP. In qasu a quo terdakwa melanggar Pasal 108 jo. Pasal 116 ayat 1 huruf a dan Pasal 64 ayat (1) KUHP. Dalam hal ini, terdakwa melakukan pembakaran lahan secara berlanjut. Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa penuntut umum dalam menyusun surat dakwaan secara kumulatif berbentuk concursus idealis dan perbuatan berlanjut (vooertgezettehandeling). Dimulai dari Pasal 108 jo. Pasal 116 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, kemudian diikuti dengan penerapan ketentuan Pasal 64 ayat (1) KUHP. Dengan kata lain penuntut umum meyakini bahwa terdakwa secara berlanjut melakukan perbuatan
Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria)
| 163
pembakaran lahan sebagaimana disebutkan umum sehingga tidak menyulitkan majelis dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h Undang-Undang hakim dalam pembuktian. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan 2. Dalam surat tuntutan disebutkan bahwa Hidup. Pembakaran lahan tersebut kemudian terdakwa diwakili oleh direkturnya yang menimbulkan kerusakan lingkungan sehingga bernama SR. Hal ini telah sesuai pula terdakwa dituntut secara pidana. dengan ketentuan dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a sebagaimana disebutkan dalam surat B. Surat Tuntutan dakwaan. Bahwa ketika korporasi yang dituntut maka korporasi tersebut diwakili Tercatat ada empat poin penting yang oleh pengurusnya. In qasu a quo diwakili menjadi tuntutan penuntut umum dalam perkara a oleh direktur PT KA (SR). Dengan demikian quo, yaitu: surat tuntutan penuntut umum adalah tepat. 1. Menyatakan terdakwa PT KA yang diwakili oleh SR selaku direktur telah terbukti 3. Tuntutan pidana denda kepada terdakwa (PT KA) sebesar Rp3 miliar. Bila dihubungkan melakukan pembakaran lahan sebagaimana dengan ketentuan Pasal 108 Undang-Undang dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan yang dilakukan secara berlanjut sebagaimana Hidup maka pada dasarnya jumlah tuntutan diatur dalam Pasal 108 jo. Pasal 69 ayat (1) pidana denda kepada terdakwa tentu masih huruf h, Pasal 116 ayat (1) huruf a, Pasal 118, jauh perbedaannya. Sebab dalam peraturan Pasal 119 Undang-Undang Nomor 32 Tahun a quo kisaran ancaman pidana dendanya 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan adalah minimal Rp3 miliar dan maksimal Lingkungan Hidup dan Pasal 64 KUHP; Rp10 miliar. 2. Menjatuhkan pidana denda terhadap penuntut umum menuntut terdakwa PT KA yang diwakili oleh SR Artinya terdakwa dengan ancaman pidana denda selaku direktur, dengan pidana denda minimal. Hal ini sebetulnya masih terlalu sebesar Rp3 miliar; ringan bagi korporasi sebab mengingat 3. Menyatakan barang bukti PT KA nomor perbuatannya berupa pembakaran lahan 1 sampai dengan 9 tetap terlampir dalam secara berlanjut sehingga menimbulkan berkas perkara; dan kerusakan lingkungan yang luar biasa, maka sudah sepantasnya terdakwa dituntut pidana 4. Menetapkan supaya terdakwa PT KA yang denda yang lebih berat, misalnya dengan diwakili oleh SR dibebani biaya perkara mengikuti ancaman pidana denda maksimal sebesar sepuluh ribu rupiah. sebagaimana disebutkan dalam Pasal 108 Berdasarkan surat tuntutan di atas terdapat tersebut. beberapa hal penting yang dianalisis secara kritis, Penggunaan ancaman pidana denda yaitu: maksimal ini secara teori dapat dibenarkan 1. Secara sistematis ada korelasi positif antara sebab peraturan a quo mengadopsi stelsel surat dakwaan dan surat tuntutan penuntut strafmaat berupa indeterminate sentence 164 |
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 155 - 171
artinya pembentuk undang-undang Remmelink kemudian menguraikan menentukan batas minimum khusus dan bahwa sanksi pidana (straf) berkenaan maksimum khusus pidana yang dapat dengan pembalasan berupa pemberian dijatuhkan oleh hakim (Frankel, 1993: 90). derita atau nestapa sebagai upaya menjaga
Penuntutan dan penjatuhan pidana secara maksimal akan memberikan efek jera kepada pelaku. Hal ini selaras dengan teori relatif (doel theorien) yang pada intinya menegaskan bahwa pencegahan ditujukan kepada masyarakat sebagai pencegahan umum atau generale preventie dan pencegahan yang ditujukan kepada si penjahat itu sendiri sebagai pencegahan khusus atau speciale preventie (Samaha, 2014: 26).
Terkait dengan pencegahan ini von Feuerbach mengenalkan teori de psicologische dwang atau paksaan psikologis yang berarti adanya pidana yang dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan kejahatan akan memberikan rasa takut kepada orang lain untuk tidak berbuat jahat (Fletcher, 2000: 652).
4. Tidak ada tuntutan pidana tambahan berupa tindakan tata tertib sementara, seperti perbaikan akibat tindak pidana dan penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 119 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Padahal pembentuk undang-undang, jauh-jauh hari secara sengaja menggunakan konsep double track system atau sistem dua jalur dalam menyusun pemidanaan kepada badan usaha. Artinya jika badan usaha yang melakukan tindak pidana lingkungan hidup maka selain dikenai sanksi pidana, dikenai pula sanksi tindakan tata tertib.
C.
ketenteraman masyarakat sehingga lebih condong pada prevensi umum (general preventie). Sedangkan sanksi tindakan (maatregel) meskipun tetap memberikan derita kepada terpidana tetapi lebih condong pada prevensi khusus atau speciale preventie (Remmelink, 2003: 458). Masih mengenai double track system, pada hakikatnya sistem ini menghendaki agar unsur pencelaan/ penderitaan dan unsur pembinaan samasama diakomodasi. Inilah yang menjadi dasar penjelasan mengapa dalam double track system dituntut adanya kesetaraan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan (Sholehuddin, 2004: 23). Dalam konteks perkara a quo, tuntutan penuntut umum seharusnya tidak hanya fokus pada sanksi pidana semata tetapi juga sanksi tindakan seperti kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak (pembayaran biaya pemulihan lingkungan) dan penutupan seluruh atau sebagain tempat usaha. Ratio Decidendi Majelis Hakim
Paling tidak terdapat lima pertimbangan hukum majelis hakim yang menarik disoroti dan dianalisis dalam putusan a quo. Sebab ratio decidendi tersebut akhirnya menjadi jalan lapang dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa (PT KA). Pertama, majelis hakim berpendapat bahwa cara-cara kebiasaan yang selama ini dilakukan oleh perusahaan, termasuk PT KA adalah
Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria)
| 165
merupakan perbuatan melanggar hukum karena hasilnya tidak dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan prinsip lingkungan hidup. Terkait dengan prinsip lingkungan hidup ini, majelis hakim tidak menyebutkannya secara tegas, prinsip mana yang dianggap dilanggar oleh terdakwa (PT KA). Dalam bayangan penulis, salah satu prinsip yang secara nyata dilanggar adalah prinsip kehatihatian (precautionary principle). Prinsip ini dihasilkan dari United Nations Conference on Enviroment and Development (UNCED) di Rio de Janeiro, Brazil, tanggal 3-4 Juni 1992. Secara gamblang dinyatakan bahwa in order to protect the enviroment, the precautionary approach shall be widely applied by states according to their capabilities. Where there are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific certainty shall not be used as a reason for postponing cost-effective measures to prevent envirometal degradation (Frestone, 1994: 193-200).
memproduksi kebijakan di bidang lingkungan hidup tetapi ditujukan juga kepada siapapun yang dalam kegiatannya memberi dampak terhadap kualitas lingkungan hidup. Apalagi dampak tersebut sulit dicegah maka prinsip kehatianhatian mesti menjadi patronnya. Pendeknya prinsip kehati-hatian sasarannya adalah mencegah agar tidak terjadi kerusakan lingkungan hidup. In qasu a quo, terdakwa sama sekali tidak menggunakan prinsip ini dalam melaksanakan kegiatannya. Dengan demikian, ia layak dihukum atau dipidana atas kesalahannya. Sebab telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang massif dan merugikan negara dalam jumlah yang signifikan.
Kedua, bahwa perbuatan terdakwa PT KA sebagai akibat terjadinya kebakaran lahan telah merugikan keuangan negara dalam bentuk biaya pemulihan rehabilitasi lahan guna memfungsikan kembali ekologi yang rusak sebesar Rp366.098.669.000,-. Dalam pertimbangan Merujuk pada Deklarasi Rio tersebut, selanjutnya majelis hakim menyatakan bahwa maka White (2011: 123-128) mengatakan karena kerugian keuangan negara dalam bahwa the essence of precautionary concept, the bentuk pemulihan/rehabilitasi telah dibebankan precautionary principle, is that once a risk has dalam Putusan Nomor 651 K/PDT/2015 yang been identified the lack of the scientific proof of berhubungan dengan perkara a quo maka tidak cause and effect shall not be used as a reason for dibebankan lagi. not taking action to protect the enviroment. Dua pertimbangan majelis hakim tersebut, Tegasnya, dalam prinsip kehati-hatian intinya menegaskan bahwa di satu sisi negara terkandung tiga hal, yaitu: 1) apabila telah mengalami kerugian akibat ulah terdakwa PT diidentifikasi potensi kerugian yang akan terjadi; KA yang melakukan pembakaran lahan sehingga 2) ada ancaman serius atau kerugian yang merusak lingkungan tetapi karena terdakwa telah sulit dipulihkan kembali sehingga berdampak dihukum secara perdata untuk memulihkan atau selamanya pada lingkungan hidup; dan 3) apabila merehabilitasi lingkungan hidup, maka terdakwa tidak ada kemampuan untuk menganalisis tidak lagi dikenai pidana denda dalam jumlah kemungkinan adanya akibat. yang lebih besar. Ratio logis yang dibangun oleh majelis hakim dalam perkara a quo rasanya Intinya bahwa prinsip kehati-hatian terlalu sumir dan ambigu. Sebab meskipun tidak hanya dibebankan kepada negara dalam 166 |
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 155 - 171
terdakwa dalam perkara perdata telah dibebani tanggung jawab pemulihan lingkungan tetapi hal itu tidak menghilangkan kewenangan hakim pidana untuk menjatuhkan hukuman yang serius kepada terdakwa. Artinya bahwa di sini ada dua rezim hukum yang sama-sama harus dihormati. Rezim hukum keperdataan telah membuktikan bahwa PT KA merusak lingkungan sehingga dibebani biaya pemulihan lingkungan hidup melalui Putusan Nomor 651 K/PDT/2015. Namun demikian rezim hukum pidana juga mengatur sanksi pidana sendiri yang tentu berbeda dengan sanksi perdata. Jadi sanksi pidana kepada terdakwa juga harus maksimal sehingga menghilangkan atau paling tidak mengurangi niat jahat (dolus malus) terdakwa atau korporasi lain untuk melakukan tindakan yang serupa.
Pertimbangan majelis hakim tersebut bila dihubungkan dengan ketentuan dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang pada intinya menyebutkan bahwa apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha dan/atau orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
Ketentuan ini ditegaskan kembali dalam Pasal 118 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi: terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili Singkat kata, seharusnya majelis hakim oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dalam perkara a quo memberi sanksi pidana dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan yang berat kepada terdakwa berupa pidana denda perundang-undangan selaku pelaku fungsional. maksimal sebagaimana disebutkan dalam Pasal 108 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Dalam perkara a quo, majelis hakim Lingkungan Hidup. Denda makismal ini akan telah menghukum terdakwa yang diwakili lebih efektif dan logis bila jumlahnya disesuaikan oleh SR selaku direktur PT KA. Artinya proses dengan kerugian negara yang ditimbulkan. hukum kepada pelaku sudah sesuai dengan Ketiga, bahwa pertanggungjawaban korporasi harus memiliki kewajiban untuk membuat kebijakan dan melakukan langkahlangkah yang harus diambilnya. Direktur tidak dapat melepaskan diri dan tanggung jawab pidana dalam hal terjadi tindak pidana pencemaran atau kerusakan lingkungan berupa pembakaran, karena direksi memiliki kemampuan dan kewajiban untuk mengawasi kegiatan korporasi termasuk kewajiban untuk melakukan pelestarian lingkungan. Bahwa dalam hal terjadi kebakaran lahan yang bertanggung jawab adalah pemilik lahan (pengurus dan korporasi).
ketentuan Pasal 116 ayat (1) huruf a jo. Pasal 118 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hal ini selaras dengan ajaran kepelakuan fungsional (functioneel daderschap) yang dikemukakan oleh Roling (Kelsen, 2006: 96). Ajaran ini pada pokoknya menegaskan bahwa pertanggungjawaban pidana diperluas kepada yang memberikan perintah atau pimpinan dalam suatu badan hukum yang secara fisik bukanlah sebagai pelaku tindak pidana (fysieke daderschap). Shofie (2011: 31-32) mengatakan bahwa ajaran ini memberi ruang yang lebih luas bagi
Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria)
| 167
penerapan asas geen straf zonder schuld karena kesalahan individu pimpinan atau pengurus korporasi yang memberi perintah pada suatu badan hukum atau yang menjalankan perintah (pelaku fisik) diatribusikan sebagai kesalahan korporasi tersebut. Menurut Wolter sebagaimana dikutip oleh Sahetapy, bahwa kepelakuan fungsional adalah karya interpretasi kehakiman. Hakim menginterpretasikan tindak pidana itu sedemikian rupa sehingga pemidanaannya memenuhi tuntutan masyarakat (Sahetapy, 2002: 37-38).
8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pada perkara a quo, pembuktian adanya tindak pidana lingkungan hidup ditempuh melalui tiga alat bukti yakni keterangan saksi, keterangan ahli, dan surat berupa hasil pemeriksaan laboratorium.
Ketiga alat bukti inilah yang mendukung keyakinan majelis hakim sehingga memidana terdakwa PT KA. Dengan kata lain sistem pembuktian negatief wettelijk bewijs theorie yaitu pembuktian menurut keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang Dalam perkara a quo, bila dianalisis secara secara negatif telah diadopsi oleh majelis hakim normatif dan doktrinal –keputusan majelis hakim dalam perkara a quo. yang menghukum terdakwa PT KA yang diwakili Kelima, pertimbangan majelis hakim oleh SR sebagai direktur sudah sangat tepat. yang lain dan menarik dianalisis adalah ihwal Namun demikian majelis hakim seharusnya bisa perdebatan antara penuntut umum dan terdakwa mengeksplorasi lebih jauh keterangan para saksi yang menyoal adanya dugaan pelanggaran asas apakah pembakaran lahan tersebut semata-mata nebis in idem dalam putusan a quo. Munculnya hanya diketahui oleh direktur atau ada pihak dugaan ini disebabkan oleh adanya gugatan lain yang memerintahkan suatu tindakan. Bila perdata terlebih dahulu terhadap PT KA dengan ada yang memberi perintah maka seharusnya ia reg Nomor 12/Pdt.G/2012, PN. Mbo. ikut diproses hukum sebagaimana ditekankan pada Pasal 116 ayat (1) huruf b Undang-Undang Terdakwa PT KA dituntut secara pidana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. atas tuduhan melanggar Pasal 108 jo. Pasal 116 Proses hukum kepada pemberi perintah ini, ayat (1) huruf a Undang-Undang Perlindungan secara doktrin juga dapat dibenarkan karena hal dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pasal ini didukung oleh ajaran functioneel daderschap 64 KUHP dengan locus dan tempus yang sama. baik yang dikemukakan oleh Roling maupun Melihat perdebatan tersebut majelis hakim dalam oleh Wolter. pertimbangannya menyatakan bahwa perkara Keempat, bahwa membuka lahan perkebunan dengan cara merusak lingkungan, dapat dibuktikan berdasarkan keterangan beberapa orang saksi, keterangan ahli, dan saksi ahli yang diperoleh berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium. Pertimbangan ini secara implisit mengarah pada alat-alat bukti dan sistem pembuktian yang disebutkan dalam Pasal 184 jo. Pasal 183 Undang-Undang Nomor 168 |
a quo tidaklah melanggar prinsip nebis in idem sebab ada perbedaan ranah hukum yakni ranah hukum perdata dan ranah hukum pidana. Komentar penulis atas pertimbangan majelis hakim tersebut sebagai berikut: bahwa asas nebis in idem atau nemo debet bis vexari berarti tidak seorangpun atas perbuatannya dapat dituntut untuk kedua kalinya. Dalam sistem hukum Anglo Saxon istilah ini diterjemahkan Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 155 - 171
menjadi no one could be put twice in jeopardy for the some offence/double jeopardy. Hal ini selaras dengan postulat nihil in lege intolerabilius est (quam) eandem rem diverso jure censeri artinya hukum tidak membiarkan kasus yang sama diadili di beberapa pengadilan. Secara teori, ada tiga tujuan perumusan asas nebis in idem, yaitu: 1.
Untuk menjaga kehormatan dan keluhuran martabat hakim yang telah memutus suatu perkara. Res judicata in criminalibus: hakim tidak dipaksa untuk mengulangulang dalam memeriksa suatu kasus atau membantah pandangan-pandangan hakim lain (Remmelink, 2003: 425).
2. Untuk menjamin hak asasi manusia. Dalam hal ini seorang individu tidak dapat lagi diadili atas perkaranya yang telah berkekuatan hukum tetap. 3.
Negara harus memberikan kepastian hukum (Hiariej, 2014: 423). Tegasnya syarat adanya nebis in idem adalah res judicata artinya ada suatu tindak pidana yang telah diperiksa dan diputus oleh pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
4.
Dalam konteks perkara a quo, pemeriksaan terhadap terdakwa sama sekali tidak dapat dikaitkan melanggar asas nebis in idem. Sebab perkara tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh terdakwa PT KA belum pernah diperiksa dan diputus oleh pengadilan lain. Meskipun di saat bersamaan ada gugatan perdata kepada terdakwa tetapi hal itu adalah dua hal yang berbeda. Dengan demikian proses hukum kepada terdakwa PT KA adalah tepat dan
tidak melanggar asas nebis in idem atau double jeopardy. IV. KESIMPULAN Dalam Putusan Nomor 1554 K/Pid. Sus/2015, terdakwa PT KA yang diwakili oleh SR selaku direktur, dipidana dengan pidana denda sebesar Rp3 miliar. Artinya, bahwa terdakwa dipidana dengan menggunakan ancaman pidana minimal sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 108 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Padahal selain ancaman pidana minimal peraturan a quo juga mengadopsi ancaman pidana maksimal. Karena perbuatan terdakwa menimbulkan akibat yang sangat signifikan maka idealnya ia dijatuhi pidana maksimal, sehingga mampu memberi efek jera baik kepada terdakwa maupun kepada perusahaan lain. Demikian pula, terdakwa tidak dikenai pidana tindakan tata tertib seperti perbaikan akibat tindak pidana guna memulihkan kerugian keuangan negara. Terdakwa juga tidak dikenai pidana tambahan berupa pencabutan seluruh atau sebagai tempat usaha, padahal Pasal 119 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah membuka kemungkinan penjatuhan sanksi tindakan tata tertib atau pidana tambahan. Padahal dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup secara ekspressive verbis telah mengakomodasi konsep double track system atau sistem dua jalur yakni penjatuhan sanksi pidana dan tindakan secara bersamaan kepada pelaku tindak pidana lingkungan hidup. Namun demikian dalam putusan a quo belum maksimal baik dilihat dari sisi pemulihan kerugian keuangan negara maupun dari sisi sanksi pidana denda kepada pelaku.
Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria)
| 169
mind: The failure of corporate criminal libility.
DAFTAR PUSTAKA
Chicago & London: The University of Chicago
Braithwaite, J. (1984). Corporate crime in the
Press.
pharmaceutical industry. London: Routledge
Marzuki, P.M. (2014). Penelitian hukum (Edisi revisi).
& Kegan Paul.
Jakarta: Kencana Pernada Media.
Clarkson & Keating. (2007). Criminal law: Text and material. London: Sweet and Maxwell.
Mcleod,
York:
West
Thompson
Publishing
pidana korporasi (Edisi revisi). Jakarta: Kencana Pernada Media Group. Pinto, A., & Evans, M. (2003). Corporate criminal liability. London: Sweet and Maxwell.
Frankel, M.E. (1993). Criminal sentences: Law
Poernomo, B (1993). Asas-asas hukum pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia.
and Wang. Frestone, D. (1994). The road from Rio: International
Prodjodikoro, W. (2003). Asas-asas hukum pidana di Indonesia. Bandung: Refika Aditama.
enviromental law after the earth summit. Journal of Enviromental Law, 6, 193-200.
Rahmadi, T. (2014). Hukum lingkungan di Indonesia.
Harahap, M.Y. (2009). Pembahasan permasalahan & penerapan KUHAP: Penyidikan & penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika. Hiariej, E.O.S. (2014). Prinsip-prinsip hukum pidana. Yogyakarta: Cahya Atma Pustaka.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Reid, S.T. (1995). Criminal law (Third edition). New York: Prentice Hall. Remmelink, J. (2003). Hukum pidana: Komentar atas pasal-pasal terpenting dari Kitab UndangUndang Hukum Pidana Belanda & padanannya
Istanto, F.S. (2007). Penelitian hukum. Yogyakarta:
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
CV Ganda.
Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Jonkers, J.E. (1987). Buku pedoman hukum pidana Hindia Belanda. Jakarta: PT Bina Aksara.
Sahetapy, J.E. (2002). Kejahatan korporasi. Bandung: Refika Aditama.
Kelsen, H. (2006). General theory of law & state. New York: Russel & Russel. LaFave, W.R. (2003). Principle of criminal law (Second edition). New York: West A Thomson
London:
Muladi & Priyatno, D. (2010). Pertanggungjawaban
Fletcher, G.P. (2000). Rethinking criminal law. New
without order (Third edition). New York: Hill
theory.
Revisi. Jakarta: Rineka Cipta.
London: Thomson Sweet and Maxwell.
York: Oxford University Press.
Legal
Moeljatno. (2008). Asas-asas hukum pidana. Edisi
Company. Dobson, P. (2008). Criminal law (Eight edition).
(1999).
Macmillan.
Cohen, M.L., & Olson, K.C. (1992). Legal research. New
T.I.
Saleh,
R.
(1980).
Perbuatan
pidana
&
pertanggungjawaban pidana: Dua pengertian dasar dalam hukum pidana. Jakarta: Aksara Baru.
Reuters Bussines. Laufer, W.S. (2006). Corporate bodies & guilty
170 |
Samaha, J. (2014). Criminal law (11th edition).
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 155 - 171
United States-Minesota: Wadsworth Cengage
Sutherland,
E.H.,
&
Cressey,
D.R.
(1955).
Criminology (Sixth edition). New York: JB
Learning.
Lippincott Company. Satria, H. (2016, Juni). Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana sumber daya alam. Jurnal Mimbar Hukum, 28(2), 288-300.
White, R. (2011). Transnational enviromental crime: Toward an eco-global criminology. London dan New York: Routledge Taylor and Francis
Schaffmeister, D., Keijzer, N., & Sutorius, E.P.H. (1995). Hukum Pidana. Sahetapy, J.E. (Ed).
Group.
Yogyakarta: Liberty. Shofie, Y (2011). Tanggung jawab pidana korporasi dalam hukum perlindungan konsumen di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Sholehuddin, M. (2004). Sistem sanksi dalam hukum pidana: Ide dasar double track system & implementasinya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Simpson, S.S., & David Weisburd. (2009). The Criminology of White-Collar Crime, New York: Springer Science and Business Media. Simpson, S.S. (2005). Corporate crime, law, and social control. New York: Cambridge University Press. Sjahdeini, S.R. (2006). Pertanggungjawaban pidana korporasi. Jakarta: Grafiti Pers. Sjawie, H.F. (2013). Direksi perseroan terbatas serta pertanggungjawaban pidana korporasi. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Smith, J.C., & Hogan, B. (1998). Criminal law (Fourth edition). London: Butterworths. Stone, J.R. (2005). Dictionary of Latin quotations: The illiterati’s guide to Latin maxims, mottoes, proverbs, & sayings. New York: Routledge Taylor and Francis Group. Supriyadi.
(2015).
Reformulasi
kewenangan
mengadili tindak pidana umum oleh militer di Indonesia. Disertasi. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada. Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria)
| 171
PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG TANPA DAKWAAN TINDAK PIDANA ASAL Kajian Putusan Nomor 57/PID.SUS/2014/PN.SLR
PROVING MONEY LAUNDERING CRIME WITHOUT ACCUSATION OF PREDICATE CRIME An Analysis of Court Decision Number 57/PID.SUS/2014/PN.SLR Halif Fakultas Hukum Universitas Jember Jl. Kalimantan 37 Kampus Bumi Tegalboto, Jember 68121 E-mail:
[email protected] Naskah diterima: 16 Februari 2017; revisi: 14 Agustus 2017; disetujui 14 Agustus 2017 ABSTRAK
ABSTRACT
Dalam surat dakwaan Putusan Nomor 57/PID.SUS/2014/ PN.SLR, penuntut umum mendakwa dengan pasal tindak pidana pencucian uang tanpa bersamaan dengan pasal tindak pidana asal, sebagaimana diatur secara limitatif dalam Pasal 2 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Hal yang demikian berdampak kepada hakim dalam membuktikan unsur tindak pidana pencucian uang yang diketahui atau patut diduga hasil dari tindak pidana asal. Permasalahan yang menarik untuk dianalisis adalah 1) mengapa penentuan bentuk dakwaan menjadi penting dalam tindak pidana pencucian uang?; dan 2) bagaimanakah hakim membuktikan unsur tindak pidana pencucian uang jika tindak pidana asal tidak didakwakan? Untuk menganalisis permasalahan tersebut digunakanlah metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Penentuan bentuk dakwaan dalam tindak pidana pencucian uang menjadi dasar bagi hakim untuk menentukan sistem pembuktian dalam membuktikan unsur. Dengan pembuktian yang tepat hakim dapat membuktikan unsur tindak pidana pencucian uang. Oleh karena itu, penyusunan surat dakwaan yang tepat dalam tindak pidana pencucian uang menjadi hal yang sangat penting.
In the accusation of Court Decision Number 57/PID. SUS/2014/PN.SLR, the prosecutor filed the accusation with the article of money laundering crime without referring to the article on the predicate crime, as regulated in Article 2 of Law on Money Laundering Crime. Such matters affect the judges in proving the elements of money laundering crime known or reasonably suspected to be the result of a predicate crime. Issues of interest to review in the analysis are: 1) why does determining the form of the accusation play important role in the money laundering crime? and 2) how does the judge prove the element of money laundering crime if the predicate crime is not accused? To analyse these problems, the juridical-normative method with legislative and conceptual approaches was used in this analysis. The accusation form determination in money laundering crime becomes the basis for the judge to determine the proof system in proving the element. With the precise proof the judge can prove the element of money laundering crime. It is therefore vey important to precisely write the accusation letter in the money laundering crime. However in proving the money laundering crime the predicate crime should be proved first. Keywords: money laundering, accusation, proof.
Kata kunci: pencucian uang, dakwaan, pembuktian. Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang Tanpa Dakwaan Tindak Pidana Asal (Halif )
| 173
I.
PENDAHULUAN
Pemberatasan Tindak Pidana Pencucian Uang, seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana A. Latar Belakang perdagangan narkoba atau tindak pidana lain Tindak pidana pencucian uang merupakan yang diancam pidana penjara empat tahun atau proses penyembunyian atau penyamaran harta lebih. kekayaan yang dihasilkan dari tindak pidana Kedua, tindak pidana pencucian uang, tindak asal, seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana ini merupakan tindakan atau perbuatan pidana perdagangan narkoba atau tindak pidana menyamarkan atau menyembunyikan harta perdagangan orang, baik melalui sistem keuangan kekayaan hasil tindak pidana asal dengan tujuan maupun melalui sistem non- keuangan, sehingga agar asal usul harta kekayaan tidak diketahui, harta kekayaan tersebut seolah-olah menjadi sah. sehingga harta kekayaan yang sebenarnya hasil Sebagaimana kesimpulan yang dirumuskan dari tindak pidana (ilegal) menjadi seolah-olah Sjahdeini (2007: 5) dari beberapa pendapat harta kekayaan yang sah. tentang pengertian pencucian uang, bahwa pencucian uang adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang yang dihasilkan dari tindak pidana yang tujuannya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul dari penegak hukum dengan cara memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system) sehingga nantinya menjadi uang yang halal.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa antara tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal memiliki hubungan yang erat. Bagaimana mungkin akan terjadi tindak pidana pencucian uang jika tidak didahului oleh tindak pidana asal terlebih dahulu, sementara objek tindak pidana pencucian uang adalah harta kekayaan yang dihasilkan dari tindak pidana asal. Artinya, tindak pidana pencucian uang tidak akan Dari pengertian tersebut nampak bahwa terjadi jikalau tidak didahului oleh tindak pidana pencucian uang mengandung dua tindak pidana, asal. sebagaimana rumusan pencucian uang di negaraHubungan tersebut ternyata menimbulkan negara ASEAN, yang merumuskan tindak pidana permasalahan dalam penegakan hukum, baik pencucian uang dengan tindak pidana asal pada tingkat penyidikan, penuntutan atau pada (predicate offence), meskipun jenis tindak pidana saat pembuktian di sidang pengadilan. Pada asal yang dirumuskan berbeda-beda (Arief, 2013: tingkat penyidikan, penyidik berada pada dua 144-146). pilihan, melakukan penyidikan secara bersamaan Pertama, tindak pidana asal (predicate antara tindak pidana pencucian uang dan offence), tindak pidana ini merupakan tindak tindak pidana asal atau hanya menyidik tindak pidana yang menjadi sumber asal dari harta haram pidana pencucian uang. Demikian juga dalam (dirty money) atau hasil tindak pidana (criminal penyusunan surat dakwaan, penuntut umum proceeds) yang kemudian dicuci (Arief, 2013: berada pada dua pilihan, mendakwa secara 144). Jenis tindak pidana asal secara limitatif bersamaan antara tindak pidana asal dan tindak diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang pidana pencucian uang atau hanya mendakwa Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan tindak pidana pencucian uang.
174 |
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 173 - 192
Hal demikian juga dihadapi oleh hakim pada saat membuktikan unsur tindak pidana, hakim berada pada dua pilihan, membuktikan tindak pidana asal terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan membuktikan tindak pidana pencucian uang, jika keduanya didakwakan secara bersamaan, atau hanya membuktikan tindak pidana pencucian uang saja, karena tindak pidana asal tidak didakwakan. Berkenaan dengan permasalahan di atas, terdapat satu putusan yang menarik untuk dikaji dan dianalisis, putusan tersebut adalah Putusan Nomor 57/Pid.Sus/2014/PN.Slr. Terdakwa dalam putusan ini adalah R (48 tahun), seorang pedagang pupuk dari Kabupaten Selayar. Perdagangan pupuk yang dilakukan R merupakan hasil penyelundupan dari Malaysia yang dibawa melalui kapal menuju Flores, Nusa Tenggara Timur untuk dijual. Hasil dari penjualan pupuk tersebut ditransfer melalui rekening pinjaman kepada orang lain atas nama AR dengan Nomor Rekening 0257-01-006306603 Bank BRI Selayar. Transfer tersebut dilakukan dua kali, yaitu: pertama, pada tanggal 2 Januari 2014 sebesar Rp54.000.000,- Kedua, pada tanggal 3 Januari 2014 sebesar Rp75.000.000,- Jadi jumlah keseluruhan uang yang ditransfer teman R ke rekening AR berjumlah Rp129.000.000,-
dakwaan subsider Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, hakim mempertimbangkan bahwa unsur Pasal 4 telah terpenuhi dan terbukti dengan pertimbangan bahwa terdakwa yang meminjam rekening AR dan menyuruh temannya untuk mentransfer uang yang diduga harta hasil tindak pidana penyelundupan pupuk ke rekening BRI milik AR. Hal menarik untuk dianalisis dari uraian di atas, mengenai penentuan bentuk surat dakwaan dalam tindak pidana pencucian uang dan pembuktian unsur tindak pidana pencucian. Penuntut umum menyusun surat dakwaannya dengan bentuk subsider, primer Pasal 3 UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010, sedangkan subsider Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Antara tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal memiliki hubungan yang erat, meskipun keduanya berdiri sendiri-sendiri. Sementara terhadap pembuktian unsur tindak pidana pencucian uang, hakim membuktikannya tanpa terlebih dahulu membuktikan tindak pidana asalnya. Bahkan hakim menyatakan terdakwa terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang “meskipun tindak pidana asalnya tidak dibuktikan terlebih dahulu.”
Berdasarkan apa yang dilakukan R, B. Rumusan Masalah penuntut umum mendakwanya dengan bentuk Setelah meyimak latar belakang di atas surat dakwaan subsider, primer Pasal 3 Undang- dapat dirumuskan beberapa permasalahan Undang Nomor 8 Tahun 2010, subsider Pasal 4 sebagai berikut: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. 1. Mengapa penentuan bentuk surat dakwaan Hakim mempertimbangkan bahwa dakwaan terhadap tindak pidana pencucian uang primer Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun dalam Putusan Nomor 57/PID.SUS/2014/ 2010 tidak terbukti dengan pertimbangannya PN.SLR menjadi penting? bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa tidak tergolong sebagai perbuatan aktif, sementara Pasal 2. Bagaimanakah hakim membuktikan unsur tindak pidana pencucian uang dalam 3 diperuntukkan bagi pelaku aktif. Sedangkan
Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang Tanpa Dakwaan Tindak Pidana Asal (Halif )
| 175
Putusan Nomor 57/PID.SUS/2014/PN.SLR jika tindak pidana asal tidak didakwakan? C.
Tujuan dan Kegunaan
Setiap penelitian pasti memiliki tujuan sebagai suatu sasaran yang ingin dicapai, adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui dan menganalisa penentuan bentuk surat dakwaan terhadap tindak pidana pencucian uang dalam Putusan Nomor 57/PID.SUS/2014/PN.SLR menjadi penting.
menceritakan bahwa istilah money laundering awalnya dari tempat usaha pencucian pakaian secara otomatis di AS yang disebut dengan laundromats. Usaha yang berkedok pencucian pakaian otomatis ini dipilih oleh para mafia untuk menyamarkan uang hasil tindak pidana yang dilakukannya menjadi seolah-olah uang yang sah (Darwin, 2012: 12). Namun, menurut Robinson cerita yang demikian hanyalah cerita bohong, menurutnya pencucian uang bukanlah yang seperti disebutkan di atas akan tetapi penempatan uang hasil kejahatan melalui sirkulasi transaksi yang akhirnya uang hasil kejahatan tersebut seolah-olah menjadi uang yang sah (Sjahdeini, 2007: 6).
2. Mengetahui dan menganalisa hakim dalam membuktikan unsur tindak pidana Menurut Willing pengertian pencucian pencucian uang dalam Putusan Nomor 57/ PID.SUS/2014/PN.SLR jika tindak pidana uang adalah proses penyembunyian keberadaan, sumber tindak sah, atau aplikasi pendapatan tidak asal tidak didakwakan. sah, sehingga pendapatan itu menjadi nampak sah. Selain tujuan tentunya penelitian ini Demikian juga menurut Fraser, pencucian uang memiliki kegunaan atau manfaat, adapun adalah sebuah proses yang sungguh sederhana kegunaan dari penelitian ini adalah: di mana uang kotor diproses atau dicuci melalui sumber yang sah atau bersih sehingga orang dapat 1. Secara teoritis, penelitian ini dapat memberi menikmati keuntungan tidak halal itu dengan sumbangsih pemikiran tentang karakteristik aman (Harmadi, 2011: 26). tindak pidana pencucian uang, serta hubungannya dengan tindak pidana asal. Menurut Bucy mendefinisikan pencucian 2. Secara praktis, penelitian ini dapat dijadikan acuan oleh penegak hukum, baik pada tingkat penyidikan, penuntutan maupun pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana pencucian uang. D.
Tinjauan Pustaka
uang adalah perahasiaan dari keberadaan, sumber yang tidak sah tentang dana gelap sedemikian rupa sehingga dana tersebut akan tampak sah jika ditemukan. Tidak berbeda dengan pendapat Chaikin yang mendefinisikan pencucian uang sebagai suatu proses dengan mana satu penyembunyian atau penyamaran sumber, disposisi, pergerakan, atau uang kepemilikan untuk alasan apapun juga (Harmadi, 2011: 26).
Istilah tindak pidana pencucian uang Proses penyamaran atau penyembunyian berasal dari terjemahan money laundering, dalam atas uang hasil tindak pidana tersebut dapat bahasa Indonesia diartikan pencucian uang. Steel dilakukan melalui tiga tahapan (Uly & Tanya, 2009:
176 |
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 173 - 192
13-17), yaitu: 1) placemen, yakni kegiatan untuk menempatkan uang hasil tindak pidana ke sistem keuangan atau non-sistem keuangan; 2) layering, yakni kegiatan pelapisan dengan mentransfer uang hasil tindak pidana yang telah diletakkan di sistem keuangan (bank) lalu ditransfer ke sistem keuangan yang lain (bank), baik di lingkup dalam negeri maupun di luar negeri; dan 3) integration, yakni kegiatan penyatuan uang hasil tindak pidana yang telah diproses dalam sistem keuangan ditarik dan dimasukkan ke perusahaan yang sah.
pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.” Berdasarkan pasal ini dapat disimpulkan bahwa perkara tindak pidana pencucian uang
dapat dilakukan penyidikan juga penuntutan bahkan dilakukan proses persidangan meskipun tindak pidana asal dari tindak pidana pencucian uang tidak dibuktikan terlebih dahulu. Dengan kata lain, tindak pidana pencucian uang dapat dilakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan secara mandiri Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tanpa bersamaan dengan tindak pidana asal. Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pasal 75 Undang-Undang Nomor 8 Tahun Pidana Pencucian Uang mempertegas pengertian 2010 menyatakan: “Dalam hal penyidikan tindak pidana pencucian uang secara yuridis, pada menemukan bukti permulaan yang cukup Pasal 1 angka (1) dinyatakan bahwa: “Pencucian terjadinya tindak pidana pencucian uang dan uang adalah segala perbuatan yang memenuhi tindak pidana asal, penyidik menggabungkan unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan penyidikan tindak pidana asal dengan ketentuan dalam undang-undang ini,” yakni Pasal penyidikan tindak pidana pencucian uang dan 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 memberitahukannya kepada PPATK.” Pasal ini Tahun 2010. memberi peluang kepada tindak pidana pencucian Menurut Husein pada saat sosialisasi uang dan tindak pidana asal dilakukan penyidikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 di secara bersamaan, dengan syarat apabila telah Fakultas Hukum Universitas Jember tahun 2011 ada bukti permulaan yang cukup terhadap tindak menyatakan bahwa Pasal 3 merupakan delik pidana asal. Pasal tersebut juga berimplikasi pada aktif, sedangkan Pasal 5 merupakan delik pasif. penyusunan bentuk surat dakwaan oleh penuntut Penentuan yang demikian dapat memudahkan umum, berpijak pada pasal tersebut, bentuk penegak hukum dalam membuktikan perbuatan surat dakwaan yang disusun penuntut umum tindak pidana pencucian uang. Sedangkan Pasal 4 berbentuk kumulatif, yakni mendakwa secara merupakan delik baru untuk menjerat pelaku yang bersama antara tindak pidana asal dan tindak menyembunyikan asal usul, sumber dan lainya, pidana pencucian uang. tetapi pelaku bukanlah pelaku tindak pidana asal Dua pasal di atas seolah-olah bersifat (Husein, 2011). kontradiktif, Pasal 69 memperkenankan untuk Dalam konteks pidana materiil, Undang- dilakukan penyidikan, bahkan penuntutan apalagi Undang Nomor 8 Tahun 2010 sepintas bersifat pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak kontradiktif, Pasal 69 menyatakan: “Untuk pidana pencucian uang meskipun tidak dibuktikan dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Sedangkan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak Pasal 75 juga memperkenankan dilakukan
Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang Tanpa Dakwaan Tindak Pidana Asal (Halif )
| 177
penyidikan secara bersamaan antara tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal, dengan syarat penyidik telah menemukan bukti permulaan yang cukup terhadap tindak pidana asal. Harus dipahami bahwa keberadaan Pasal 69 tidak bisa berdiri sendiri, harus disandingkan dengan Pasal 77 dan Pasal 78 (pembalikan beban pembuktian). Perumus Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 beranggapan bahwa pada akhirnya tindak pidana pencucian uang tetap didasari oleh adanya tindak pidana asal, maka pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77: “untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.” Terdakwa tindak pidana pencucian uang wajib membuktikan harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana alias tindak pidana asal. Selain itu, Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 berfungsi sebagai perampasan aset dengan cara keperdataan (civil forfectur) (Utomo, 2013: 62) yang dikhususkan terhadap tindak pidana illicit enrichment, yakni pejabat negara yang memiliki harta kekayaan melebihi dari profil pekerjaan dan penghasilannya, sehingga harta kekayaan yang lebih tersebut diduga hasil dari tindak pidana. Namun sangat disayangkan tindak pidana tersebut belum diberlakukan di Indonesia, sehingga Pasal 69 tidak berfungsi (Atmasasmita, 2013: 24). II.
METODE
Metode dalam suatu penelitian menjadi hal yang mutlak harus ada, sebagaimana yang disampaikan oleh Soekanto (2010:6) “metodologi merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada di dalam penelitian dan pengembangan ilmu
178 |
pengetahuan.” Demikian juga yang disampaikan Ibrahim (2006: 26), terdapat dua hal yang sangat penting sebelum melakukan penelitian ilmiah, pertama, menguasai dasar-dasar ilmu pengetahuan yang akan ditelitinya, dan kedua, menguasai metodologi disiplin ilmu pengetahuan yang akan diteliti. Penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian terhadap Putusan Nomor 57/PID. SUS/2014/PN.SLR yang penulis peroleh dari Direktori Putusan Mahkamah Agung. Putusan ini diidentifikasi masalah hukum yang terkandung di dalamnya lalu dilakukan penalaran hukum dan menganalisanya untuk dipecahkan melalui kaidah-kaidah hukum yang berlaku dan relevan dengan permasalahan hukum yang ingin dipecahkan, sehingga luaran dari hasil analisisnya berbentuk preskripsi. Tipe penelitian yang demikian menurut Marzuki (2016: 60) disebut dengan penelitian yuridis normatif. Untuk menganalisis permasalahan hukum yang ada dalam Putusan Nomor 57/PID. SUS/2014/PN.SLR, penulis menggunakan dua pendekatan, pertama, pendekatan perundangundangan (statute approach), pendekatan ini dilakukan dengan cara menelaah undangundang dan regulasi yang berhubungan dengan permasalahan hukum yang penulis angkat. Kedua, pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan yang menggunakan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum yang membentuk pengertian ilmu hukum, konsepkonsep hukum dan asas-asas hukum. Untuk menganalisis rumusan masalah yang menjadi objek penelitian dibutuhkan bahan hukum, baik yang bersifat bahan hukum primer maupun yang bersifat bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 173 - 192
autoritatif yakni memiliki otoritas. Sedangkan bahan hukum primer terdiri dari perundangundangan, risalah pembuatan perundangundangan dan putusan hakim (Marzuki, 2016: 181).
putusan atas perkara tindak pidana. Akan tetapi sebelum sampai pada proses pelimpahan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, penuntut umum terlebih dulu mempelajari berkas hasil penyidikan, apakah telah lengkap atau belum. Jika telah dinyatakan lengkap, penuntut umum mempersiapkan surat dakwaan dan surat pelimpahan perkara kepada pengadilan. Artinya, sebelum suatu perkara pidana dilimpahkan dan diperiksa di pengadilan, tugas pokok penuntut umum adalah mempersiapkan surat dakwaan. Pada hakikatnya fungsi surat dakwaan adalah sebagai dasar bagi hakim dalam memeriksa dan memutus. Harahap (2010: 389) mengatakan bahwa surat dakwaan sebagai landasan dan
Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah KUHAP, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, dan Putusan Nomor 57/PID. SUS/2014/PN.SLR. Sedangkan bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, seperti buku-buku teks, jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan (Marzuki, 2016: 181). Bahan hukum sekunder dari penelitian ini terdiri dari buku-buku hukum, jurnal yang ada titik tolak pemeriksaan terdakwa dalam sidang hubungan dengan rumusan masalah. pengadilan.
Hamzah (2010: 167) juga menyatakan: bahwa surat dakwaan merupakan dasar penting A. Urgensi Penentuan Bentuk Surat hukum acara pidana karena berdasarkan hal Dakwaan terhadap Tindak Pidana yang dimuat dalam surat dakwaan, hakim akan Pencucian Uang dalam Putusan Nomor memeriksa. Hal yang sama diungkapkan oleh 57/PID.SUS/2014/PN.SLR Muhammad (2007: 83), setiap penuntut umum Penuntut umum memiliki kewenangan melimpahkan perkara ke pengadilan selalu mutlak dalam merumuskan surat dakwaan disertai dengan surat dakwaan sebagai dasar sebagai tindak lanjut dari proses penyidikan untuk pemeriksaan yang dilakukan oleh hakim di dilimpahkan ke pengadilan agar diperiksa dan pengadilan. diputus. Pasal 140 KUHAP menyatakan: “Dalam Penyusunan surat dakwaan dalam perkara hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil tindak pidana pencucian uang tidaklah mudah. penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam Karena tindak pidana pencucian uang memiliki waktu secepatnya membuat surat dakwaan.” karakteristik yang berbeda dengan tindak pidana III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Menurut Harahap (2010: 386), pasal di atas merupakan bagian dari kegiatan penuntutan, kegiatan tersebut terdiri dari tahapan proses pemeriksaan atas suatu tindak pidana yang dimulai dari tahapan pemeriksaan penyidikan ke tingkat proses pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan oleh hakim guna mengambil
lain, tindak pidana ini terdiri dari dua tindak pidana, pertama, tindak pidana asal secara limitatif disebutkan dalam Pasal 2 UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010, dari tindak pidana asal inilah harta kekayaan yang tidak sah dihasilkan. Kedua, tindak pidana pencucian uang, yakni tindak pidana yang menyembunyikan atau menyamarkan harta kekayaan yang dihasilkan
Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang Tanpa Dakwaan Tindak Pidana Asal (Halif )
| 179
oleh tindak pidana asal agar seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,-”
Sedangkan subsider Pasal 4 UndangDua tindak pidana tersebut memiliki hubungan yang erat, sehingga “seolah-olah” Undang Nomor 8 Tahun 2010, yaitu: tidak akan terjadi tindak pidana pencucian uang “Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, jikalau tidak didahului oleh tindak pidana asal peruntukan, pengalihan hak-hak, atau terlebih dahulu. Hal tersebut berdampak pada kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut penyusunan surat dakwaan, apakah antara tindak diduganya merupakan hasil tindak pidana pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 didakwa secara bersamaan atau hanya tindak ayat (1) dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara pidana pencucian uang yang didakwakan tanpa paling lama 20 tahun dan denda paling tindak pidana asal. banyak Rp5.000.000.000,-” Harus diingat bahwa penentuan atau Jikalau merujuk pada ketentuan hukum penyusunan surat dakwaan dalam tindak pidana acara yang diatur dalam Undang-Undang pencucian uang memiliki konsekuensi kepada Nomor 8 Tahun 2010, penuntut umum diberi hakim untuk menentukan sistem pembuktian kewenangan yang bebas, mendakwa pelaku yang telah diatur secara khusus dalam Undangtindak pidana pencucian uang dengan hanya Undang Nomor 8 Tahun 2010. Jika dakwaan mendakwa tindak pidana pencucian uang atau yang disusun menggabungkan antara tindak mendakwa bersamaan dengan tindak pidana asal, pidana pencucian uang dan tindak pidana asal, sebagaimana diatur dalam Pasal 69 dan Pasal 75 maka pembuktiannya menggunakan sistem Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. pembuktian yang diatur dalam KUHAP, namun jika dakwaan yang disusun hanya Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun mendakwa tindak pidana pencucian uang, maka 2010 menyatakan bahwa: “Untuk dilakukan pembuktiannya menerapkan sistem pembalikan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang beban pembuktian. Pada Putusan Nomor 57/PID. pengadilan terhadap tindak pidana pencucian SUS/2014/PN.SLR penuntut umum menyusun uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu surat dakwaan berbentuk subsider, primer Pasal tindak pidana asalnya.” Pasal ini menyatakan 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, yaitu: bahwa proses penyidikan, penuntutan bahkan “Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling 180 |
pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Artinya, penyidik diperkenankan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana pencucian uang meskipun tidak dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya, demikian juga penuntut umum dan hakim dalam melakukan penuntutan dan pememeriksa di sidang pengadilan.
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 173 - 192
Jika merujuk pada Pasal 75 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yang menyatakan: “Dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal, penyidik menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan tindak pidana pencucian uang dan memberitahukannya kepada PPATK.” Penyidik dapat melakukan penyidikan secara bersamaan antara tindak pidana asal dengan tindak pidana pencucian uang, demikian pula penuntut umum, juga dapat menyusun surat dakwaan secara bersamaan (kumulasi) antara tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang.
Nomor 8 Tahun 2010, penulis), melainkan pada pemahaman dan persepsi para ahli hukum pidana dan praktisi hukum terhadap filosofi, visi, misi, dan karakter tindak pidana pencucian uang.”
Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 sebenarnya mengatur tentang perampasan aset dengan cara keperdataan (civil forfeiture/in rem). Menurut Atmasasmita (2013: 23), hakikat pasal tersebut adalah untuk merampas aset hasil tindak pidana asal (yang dicuci) melalui keperdataan (civil forfeiture/in rem), selama ini perampasan aset yang selalu digunakan adalah in personam/criminal forfeiture, perampasan aset setelah adanya putusan hakim dalam perkara Tidak menjadi persoalan jikalau penuntut pidana. Karena ketentuan tersebut menegaskan umum dalam menyusun surat dakwaan dalam bahwa sasaran Undang-Undang Nomor 8 Tahun Putusan Nomor 57/PID.SUS/2014/PN.SLR 2010 adalah bukan pada perbuatan (kesalahan) hanya mendakwa pasal tindak pidana pencucian terdakwa, melainkan pada harta kekayaan yang uang tanpa menyertakan tindak pidana asal, diduga berasal dari atau terkait dengan tindak sebagaimana diatur dalam Pasal 69 Undang- pidana asal. Undang Nomor 8 Tahun 2010. Namun demikian, Model perampasan seperti ini hakim harus menerapkan Pasal 77, artinya hakim menitikberatkan pada “benda” (thing), di mana dapat menerapkan pembalikan beban pembuktian. benda dalam konteks ini merupakan fiksi hukum Mengapa demikian karena eksistensi Pasal 69 yang menegaskan bahwa, benda tersebut (harta memiliki korelasi dengan Pasal 77. hasil tindak pidana asal) dianggap sebagai Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun “subjek hukum” yang memiliki kesadaran atau 2010 harus dipahami secara konprehensif oleh niat, layaknya seperti seorang manusia sehingga para penegak hukum, khususnya hakim, agar patut dipertanggungjawabkan status hukumnya penerapannya benar-benar sesuai dengan rasio (Atmasasmita, 2010: 59). legis pada saat pasal tersebut dirumuskan. Model perampasan aset yang demikian, Sebagaimana kritik yang disampaikan sebagaimana yang dianut dalam Pasal 69 Atmasasmita (2013: 7) terhadap penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 didasari hukum tindak pidana pencucian uang: oleh pandangan yang mengatakan “tidak “Merujuk kelemahan-kelemahan dalam seseorangpun berhak memiliki kekayaan yang penanganan perkara tindak pidana pencucian uang sehingga harus terjadi tidak patut dimilikinya.” Pandangan ini tercermin perubahan kedua kali, menurut pendapat dari beberapa istilah, crime shouldn’t pay; unjust saya, bukanlah perubahan undang-undang enrichment atau illicit enrichment; no one benifit yang menjadi masalah dalam pembentukan undang-undang ini (Undang-Undang from his own wrongdoing. Teori yang melandasi
Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang Tanpa Dakwaan Tindak Pidana Asal (Halif )
| 181
pandangan ini disebut rational choice theory (Atmasasmita, 2010: 58). Sehingga original intent antara tindak pidana asal dengan tindak pidana pencucian uang memiliki perbedaan. Original intent pada tindak pidana asal masih bertumpu pada segi perbuatan dan pembuatnya (daad-dader strafrecht). Sedangkan objek tindak pidana pencucian uang adalah harta kekayaan yang diduga berasal atau diperoleh dari tindak pidana asal. Perbedaan objek kedua tindak pidana tersebut berdampak terhadap pembuktian secara normatif, yaitu pembuktian atas tindak pidana asal adalah perbuatan dan kesalahan pelaku tindak pidana asal, sedangkan pembuktian atas tindak pidana pencucian uang adalah pada perolehan kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana. Dengan demikian, tindak pidana pencucian uang yang didakwakan secara mandiri tanpa bersamaan dengan tindak pidana asalnya lebih kepada perampasan aset (harta kekayaan yang dicuci) sarana keperdataan (civil forfeiture) dengan didukung oleh pembalikan beban pembuktian. Di samping itu, tindak pidana pencucian uang yang didakwa secara mandiri tanpa bersamaan dengan tindak pidana asalnya tidak membuktikan perbuatan dan kesalahan pelaku tindak pidana pencucian uang.
Hakim menerapkan sistem pembuktian sebagaimana yang diatur dalam KUHAP, padahal penerapan pembuktian sebagaimana diatur dalam KUHAP apabila penuntut umum mendakwa terdakwa dengan pasal tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal (kumulatif). Jikalau hakim menerapkan sistem pembuktiannya dengan menggunakan sistem pembuktian sebagaimana diatur dalam KUHAP, maka penuntut umum dalam mendakwa terdakwa pelaku tindak pidana pencucian uang dalam Putusan Nomor 57/PID.SUS/2014/PN.SLR dengan bentuk surat dakwaan kumulatif, dakwaan pertama terdakwa didakwa dengan tindak pidana penyelundupan, karena terdakwa telah diduga melakukan tindak pidana penyelundupan pupuk matahari dari negara Malaysia ke Indonesia. Sedangkan dakwaan kedua, terdakwa didakwa dengan pasal tindak pidana pencucian uang baik Pasal 3 atau Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.
Hakikatnya tindak pidana pencucian uang tidak berdiri sendiri sebagaimana tindak pidana lainnya, melainkan tindak pidana ini berhubungan dengan tindak pidana lainnya (tindak pidana asal/predicative offence), sehingga tepat jika dinyatakan bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan condition sine qua non (berhubungan) dengan tindak pidana asal sebagaimana telah Sangat disayangkan, hakim dalam Putusan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 57/PID.SUS/2014/PN.SLR tidak Nomor 8 Tahun 2010 (Atmasasmita, 2013: 7). menerapkan pembalikan beban pembuktian Demikian juga yang disampaikan oleh sebagaimana diatur dalam Pasal 77 UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010, meskipun Garnasih, tindak pidana pencucian uang merupakan pembalikan beban pembuktian tersebut hanya kejahatan yang mempunyai karakteristik berbeda untuk merampas aset hasil tindak pidana melalui dengan jenis kejahatan pada umumnya, terutama keperdataan, dan pembalikan beban pembuktian bahwa tindak pidana ini bukan merupakan tindak tersebut tidak membuktikan kesalahan R sebagai pidana tunggal tetapi kejahatan ganda. Namun demikian antara tindak pidana asal dan tindak terdakwa. pidana pencucian uang merupakan kejahatan yang 182 |
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 173 - 192
berdiri sendiri (Garnasih, 2013: 4). Artinya tindak pidana pencucian uang memiliki karakter khusus, bahwa tindak pidana ini sangat berhubungan dengan tindak pidana asal, meskipun tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asalnya berdiri sendiri-sendiri.
Implikasi hubungan tindak pidana asal dengan tindak pidana pencucian uang terhadap penyusunan surat dakwaan, sebagaimana disampaikan oleh Garnasih, bahwa tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asalnya harus disusun dakwaan dalam bentuk kumulatif, karena tujuan pelaku memproses tindak pidana Hubungan antara tindak pidana pencucian pencucian uang adalah untuk menyembunyikan uang dengan tindak pidana asalnya tidak memiliki atau menyamarkan hasil dari predicate offence satu kehendak jahat atau mens rea yang sama, (tindak pidana asal) agar tidak diketahui asal karena kehendak melakukan tindak pidana asal usulnya untuk selanjutnya dapat digunakan, yang diwujudkan dalam perbuatannya berbeda jadi bukan untuk tujuan menyembunyikan dengan kehendak untuk melakukan tindak pidana saja tapi merubah performance atau asal usul pencucian uang yang diatur dalam Pasal 3, Pasal hasil kejahatan untuk tujuan selanjutnya dan 4, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun menghilangkan hubungan langsung dengan 2010. tindak pidana asalnya. Menurut Atmasasmita (2013: 7), dengan alasan tersebut tindak pidana pencucian uang tidak termasuk tindak pidana berlanjut (vogezette handeling), karena tidak memiliki niat jahat yang sama. Namun kedua tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana yang berbarengan (concursus realis), yakni dua tindak pidana yang berdiri sendiri dan ada hubungannya satu sama yang lain. Dari sisi hukum pidana formil, adanya tindak pidana dalam bentuk concursus (berbarengan) menuntut penuntut umum dalam menyusun surat dakwaannya berbentuk kumulasi, sebagai konsekuensi dari berbarengan tindak pidana tersebut sebagai aspek pemidanaan.
Dengan demikian jelas bahwa berbagai kejahatan keuangan (interprise crimes) hampir pasti akan dilakukan pencucian uang atau paling tidak harus sesegera mungkin dilakukan pencucian uang untuk menyembunyikan harta hasil tindak pidana asal itu agar terhindar dari penuntutan petugas (Garnasih, 2013: 4). Dalam praktik, sebagaimana yang ditulis oleh Sapardjaja (2013: 5-6), bahwa akhir-akhir ini perkara tindak pidana pencucian uang banyak masuk ke pengadilan. Dakwaan tindak pidana pencucian uang menjadi dakwaan kumulasi kedua di samping dakwaan terhadap tindak pidana asalnya. Beberapa contoh perkara yang telah diputus oleh pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung antara lain:
Pelanggaran atas pengajuan dakwaan bentuk kumulatif dalam perkara yang mengandung concursus (berbarengan) tindak pidana, dengan sendirinya merupakan cara yang 1. Putusan Nomor 507 K/PID.SUS/2009 tidak tepat dalam menjatuhkan hukuman. Karena yang berhubungan dengan Putusan Nomor setiap bentuk peristiwa pidana yang mengandung 498 K/PID.SUS/2009 dan Nomor 499 K/ concursus (berbarengan) tindak pidana, sudah PID.SUS/2009, dakwaan tindak pidana ditentukan cara atau sistem pemidanaannya pencucian uang sebagai dakwaan kumulatif (Harahap, 2010: 409). kedua terbukti dengan mudah karena tindak
Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang Tanpa Dakwaan Tindak Pidana Asal (Halif )
| 183
B. Pembuktian Unsur Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Putusan Nomor 57/PID.SUS/2014/PN.SLR jika Tindak 2. Putusan Nomor 248 K/PID.SUS/2011 Pidana Asal Tidak Didakwakan yang berhubungan dengan Nomor 2486 K/ Perumusan tindak pidana dalam suatu PID.SUS/2011 dan Nomor 2480 K/PID. SUS/2011 adalah perkara di mana para undang-undang, terkadang dirumuskan dengan terdakwa penerima hasil tindak pidana menguraikan unsur-unsur dan elemen dari tindak pembobolan Bank Permata Bandung pidana, terkadang pula hanya dirumuskan dengan yang dilakukan oleh orang lain tetapi para menyebutkan kualifikasi tindak pidananya terdakwa tersebut mengetahui bahwa harta saja. Moeljatno (2009: 71) mengatakan, bahwa kekayaan berupa keuntungan 10% berasal rumusan perbuatan beserta sanksinya yang dari transfer fiktif yang diketahuinya dijumpai dalam aturan pidana dimaksudkan untuk menunjukkan perbuatan-perbuatan berasal dari tindak pidana penipuan; mana yang dilarang dan pantang dilakukan. 3. Putusan Nomor 1607 K/PID. SUS/2012 Pada umumnya maksud tersebut dapat dicapai berasal dari tindak pidana pemalsuan/ dengan menentukan beberapa elemen, unsur pencatatan palsu atas rekening para nasabah atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari yang kemudian ditarik dan ditempatkan larangan tersebut. Sehingga dapat dibedakan dari dalam rekening terdakwa sendiri, pacarnya, perbuatan-perbuatan lain yang tidak dilarang. adiknya, padahal uang tersebut bukan Perbedaan dari istilah unsur, elemen dan kekayaannya sendiri yang dibelanjakan dalam bentuk mobil mewah dan properti kualifikasi yang menjadi rumusan dari tindak lainnya. Jaksa penuntut umum berhasil pidana. Menurut Hiariej perbedaan antara unsur melakukan pembuktian bahwa penarikan dan elemen terletak pada keluasan cangkupan uang yang ditempatkan dalam rekening antara elemen dengan unsur. Elemen dalam pribadi terdakwa dan pihak lainnya suatu tindak pidana adalah unsur-unsur yang sebanyak 117 kali, dan berhasil menelusuri terdapat dalam suatu tindak pidana, unsur tersebut baik tertulis maupun tidak tertulis dalam aset yang berasal dari tindak pidana asal. rumusan tindak pidana. Sedangkan unsur adalah Berdasarkan uraian di atas, penentuan bestandeel yakni unsur tindak pidana yang secara bentuk surat dakwaan dan pasal yang didakwakan expressiv verbis tertuang dalam suatu rumusan menjadi hal yang penting dalam perkara tindak tindak pidana (Hiariej, 2014: 97). pidana pencucian uang. Bentuk surat dakwaan Para ahli hukum pidana membagi unsur dan pasal yang didakwakan terhadap perkara tindak pidana pencucian uang berdampak tindak pidana tersebut menjadi dua, pertama, pada kecermatan hakim dalam memilih sistem unsur objektif, yakni unsur tindak pidana yang pembuktian. Ketepatan dalam menentukan berada di luar diri pelaku tindak pidana. Unsur bentuk surat dakwaan dan pasal yang didakwakan objektif terdiri dari: 1) perbuatan dan akibat; 2) hal menjadi hal yang penting dalam perkara tindak ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan; 3) keadaan tambahan yang memberatkan pidana; pidana pencucian uang. pidana asalnya, yaitu penggelapan sebagai dakwaan kesatu dapat dibuktikan;
184 |
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 173 - 192
dan 4) sifat melawan hukum (Moejatno, 2009: 69). Kedua, unsur subjektif, yakni unsur tindak pidana yang berada dalam diri pelaku tindak pidana. unsur subjektif ini terdiri dari kesengajaan atau kealpaan (dolus atau culpa) dan degradasinya. Hiariej (2014:97) melanjutkan pendapatnya, perumusan tindak pidana dengan menguraikan unsur-unsur ataupun kualifikasi memiliki fungsi, yaitu: 1) rumusan delik sebagai pengejawantahan dari asas legalitas; dan 2) rumusan tindak pidana berfungsi sebagai unjuk bukti dalam konteks hukum acara pidana. Dengan adanya rumusan tindak pidana dalam bentuk unsur-unsur maupun kualifikasi tindak pidana menjadi hal yang harus dibuktikan dalam persidangan untuk menentukan apakah pelaku dari tindak pidana telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang telah dilakukan antau tidak. Hal ini nantinya menjadikan dasar bagi hakim dalam menentukan putusannya.
Unsur setiap orang menurut pertimbangan hakim telah terbukti. Sedangkan unsur “yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) menurut hakim tidak terbukti.
Hakim mempertimbangkan bahwa proses transfer harta kekayaan yang diduga dari hasil tindak pidana penyelundupan dilakukan oleh rekan terdakwa di Maumere ke rekening BRI atas nama AR total sebesar Rp129.000.000,- Hal ini menandakan bahwa kegiatan pentransferan ini bukan merupakan sikap aktif dari terdakwa R, namun dari saksi AR yang diminta tolong oleh terdakwa. Jadi transfer tersebut tidak dilakukan oleh terdakwa tetapi dilakukan oleh rekan dan tanpa terdakwa. Sehingga hakim Putusan Nomor 57/PID.SUS/2014/PN.SLR mempertimbangkan bahwa unsur ini tidak dengan terdakwa R didakwa oleh penuntut umum terbukti. Karena satu unsur dinyatakan tidak dengan dakwaan primer Pasal 3 Undang-Undang terbukti maka unsur berikutnya tidak dibuktikan Nomor 8 Tahun 2010 dan dakwaan sekunder oleh hakim, sehingga disimpulkan oleh hakim Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. bahwa tindak pidana pencucian uang sebagaimana Karena dakwaan primer Pasal 3 dibuktikan diatur dalam Pasal 3 tidak terbukti. oleh hakim dengan menguraikan unsur-unsur Pasal 3 dan membuktikan satu-persatu unsurBentuk surat dakwaan yang disusun unsur tersebut. Unsur-unsur Pasal 3 dirumuskan oleh penuntut umum berbentuk surat dakwaan oleh hakim sebagai berikut: 1) setiap orang; 2) subsider, maka hakim memiliki kewenangan yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, untuk membuktikan dakwaan subsider sebagai membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, dakwaan pengganti dari dakwaan primer yang menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah tidak terbukti tersebut. Hakim mengulas dan bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat membuktikan unsur-unsur Pasal 4 Undangberharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan Undang Nomor 8 Tahun 2010 sebagai dakwaan yang diketahuinya atau patut diduganya hasil subsider sebagai berikut: tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1. Unsur setiap orang; 2 ayat (1); dan 3) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan. 2. Unsur menyembunyikan atau menyamarkan Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang Tanpa Dakwaan Tindak Pidana Asal (Halif )
| 185
asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya; 3.
dilakukan dua kali. Setelah uang tersebut diserahkan kepada terdakwa oleh saksi, maka saksi meninggalkan terdakwa tanpa meminta dan memperoleh imbalan dari terdakwa.
Unsur patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud Uang yang ditransfer dari teman terdakwa dalam Pasal 2 ayat (1). di Flores/Maumere kepada melalui rekening saksi AR diduga merupakan uang hasil dari Unsur “setiap orang” menurut hakim telah penjualan pupuk cap Matahari yang dilakukan terbukti. Sedangkan unsur “menyembunyikan oleh terdakwa di Flores/Maumere Nusa atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, Tenggara Timur. Dari fakta-fakta tersebut, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau hakim mempertimbangkan bahwa unsur kepemilikan yang sebenarnya atas harta “menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, kekayaan yang diketahuinya” berdasarkan fakta sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, dan keadaan yang terungkap di persidangan yang atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta satu dengan yang lain saling bersesuaian antara kekayaan yang diketahuinya” telah terbukti. keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa (Putusan Nomor 57/PID.SUS/2014//PN.SLR): Unsur “patut diduganya merupakan hasil •
Bahwa pada tanggal 3 Januari 2014 saksi AR melakukan transaksi penarikan uang di Bank BRI, pertama sebesar Rp54.000.000,dan kedua, sebesar Rp75.000.000,-;
•
Bahwa sebelum penarikan uang itu terjadi, saksi AR bertemu dengan terdakwa R di pelabuhan Rauf Rahman Benteng Selayar, lalu terdakwa menanyakan kepada saksi AR memiliki nomor rekening bank karena akan ada orang yang mau mentransfer uang kepada terdakwa dan saksi memberikan nomor rekening BRI-nya kepada terdakwa;
•
186 |
Bahwa setelah terdakwa mendapat kabar dari rekannya di Maumere uangnya telah ditransfer, terdakwa menyuruh saksi AR untuk mengecek kebenaran adanya transfer uang tersebut. Ternyata, transfer uang dari rekan terdakwa memang ada dan saksi mengambil uang tersebut dan menyerahkan kepada terdakwa dan penarikan itu
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) menurut pembuktian dan pertimbangan hakim telah terbukti. Bahwa harta kekayaan yang ditransfer oleh rekan terdakwa di Flores/Maumere merupakan hasil tindak pidana di bidang kelautan dan perikanan. Karena terdakwa telah mengakui beberapa kali pernah ke Batam sebagaimana tiket pesawat Lion Air pada tanggal 06 Februari 2012 bersama P, M, S, dan A via Ujung Pandang transit Jakarta menuju Batam. Serta dalam Berita Acara Penyidik yang telah diakui oleh terdakwa, bahwa terdakwa melakukan transaksi memesan barang yang patut diduga adalah pupuk cap Matahari dari Malaysia. Sebelum menganalisa pembuktian yang dilakukan hakim terhadap “unsur diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), di mana tindak pidana asalnya, yakni tindak pidana penyelundupan pupuk atau tindak pidana di bidang kelautan dan perikanan tidak didakwakan dan tidak dibuktikan, terdapat beberapa hal yang sangat penting untuk dianalisa. Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 173 - 192
Pertama, mengenai penguraian unsur Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Hakim dalam menguraikan unsur-unsur Pasal 3 dan Pasal 4 tersebut kurang begitu sesuai dengan prinsip unsur-unsur tindak pidana, hakim dalam menguraikan unsur yang didakwakan terlalu bersifat umum sehingga pembuktiannya kurang begitu detail. Seharusnya uraian unsur Pasal 3 adalah sebagai berikut: 1. 2.
Kedua, tipologi yang dilakukan oleh terdakwa dan tipologi yang dilakukan oleh rekan terdakwa di Flores/Maumere Nusa Tenggara Timur yang mentransfer uang milik terdakwa melalui rekening saksi AR merupakan tahapan yang berbeda dalam tahapan tindak pidana pencucian uang. Tahapan-tahapan tindak pidana pencucian uang sebagai berikut:
1. Tahapan placament (penempatan), yaitu Unsur setiap orang; menempatkan harta hasil kejahatan ke dalam sistem keuangan, seperti menempatkan Menempatkan, mentransfer, mengalihkan, harta hasil korupsi ke rekening bank atas membelanjakan, membayarkan, nama istri atau anaknya; menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan 2. Tahapan layering (pelapisan), yakni dengan mata uang atau surat berharga atau menyamarkan dan menyembunyikan perbuatan lain (bersifat alternatif); asal usul harta hasil kejahatan melalui
3.
Unsur harta kekayaan;
4.
Unsur diketahuinya atau patut diduganya hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1); dan
5.
Unsur dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan.
Sedangkan ulasan unsur Pasal 4 UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010 adalah sebagai berikut: 1.
Unsur setiap orang;
2.
Unsur menyembunyikan atau menyamarkan
transaksi keuangan dari satu bank ke bank yang lain, bahkan dari bank satu negara ke bank negara lain sampai para penegak hukum tidak dapat mendeteksi harta hasil kejahatan tersebut; 3. Tahapan integration (penyatuan), yakni menghimpun kembali harta hasil kejahatan yang disamarkan atau disembunyikan melalui tahapan placement (penempatan) dan layering (pelapisan) ke sistem keuangan yang sah atau legal, seperti dijadikan modal perusahaan-perusahaan yang legal dan hasilnya seolah-olah telah menjadi harta yang sah.
asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya; 3. 4.
Tiga tahapan tersebut telah diadopsi oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dalam Pasal 3 untuk placement (penempatan), Pasal 4 Unsur harta kekayaan; untuk layering (pelapisan), dan Pasal 5 untuk Unsur diketahuinya atau patut diduganya integration (penyatuan). Jika dianalisa dengan merupakan hasil tindak pidana sebagaimana tipologi tahapan tersebut maka tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh terdakwa dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). adalah tahapan placement (penempatan),
Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang Tanpa Dakwaan Tindak Pidana Asal (Halif )
| 187
terdakwa sebagai pelaku aktif, artinya terdakwa Hakim dalam membuktikan Pasal 4 melakukan tindak pidana asal, yakni tindak khususnya unsur “diketahuinya atau patut pidana penyelundupan pupuk atau tindak pidana diduganya merupakan hasil tindak pidana di bidang kelautan dan perikanan. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)” dalam Putusan Nomor 57/PID.SUS/2014/ Harta kekayaan yang dihasilkan dari salah PN.SLR menyatakan telah terbukti meskipun satu tindak pidana asal tersebut terdakwa tempatkan tindak pidana asalnya tidak dibuktikan terlebih atau menitipkan atau perbuatan lain melalui teman dahulu, hakim meyakinkan bahwa unsur tersebut terdakwa di Flores/Maumere. Perlu diperhatikan telah terbukti hanya berdasarkan pernyataan perbuatan yang menjadi unsur pada Pasal 3 tidak terdakwa dalam BAP, bahwa terdakwa diduga hanya mentransfer tapi juga menempatkan atau pernah melakukan perjalanan ke Batam dan menitipkan bahkan perbuatan-perbuatan lain dilanjutkan ke Malaysia, dari kegiatan tersebut yang tujuannya ingin menyembunyikan atau terdakwa diduga menyelundupkan pupuk cap menyamarkan. Jadi menurut penulis terdakwa Matahari dari Malaysia ke Indonesia. Harta lebih memenuhi unsur-unsur Pasal 3. kekayaan hasil dari tindak pidana tersebut yang Sementara perbuatan yang dilakukan oleh dicuci oleh terdakwa. rekan terdakwa dan saksi AR merupakan tahapan layering (pelapisan) sebagaimana diatur dalam Pasal 4, perbuatan yang dilakukan rekan terdakwa ingin menyembunyikan atau menyamarkan asal usul kepemilikan harta tersebut dari pemilik aslinya. Jika penegak hukum sungguh-sungguh mau menegakkan hukum, maka rekan terdakwa dan saksi AR dapat dimintai pertanggungjawaban pidana terhadap dugaan tindak pidana pencucian uang yang dilakukannya. Jadi rekan terdakwa dan saksi AR dapat diancam dengan Pasal 4. Namun demikian harus dibuktikan unsur “diketahui atau patut menduganya” bahwa harta yang ditransfer oleh rekan terdakwa kepada saksi AR berasal dari tindak pidana penyelundupan atau tindak pidana di bidang perikanan dan kelautan.
Menurut Garnasih rumusan pada delik tindak pidana pencucian uang yakni Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 menimbulkan karakteristik yang berbeda dengan tindak pidana yang lain, bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan follow up crime, sedangkan hasil kejahatan yang diproses pencucian uang disebut sebagai core crimes atau predicate offence atau disebut sebagai unlawful activity. Jika dilihat dari kronologi perbuatan maka tidak mungkin terjadi tindak pidana pencucian uang tanpa terjadi predicate offence (no money laundering without core crime) terlebih dahulu (Garnasih, 2013: 6).
Tindak pidana asal (predicate offence) di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 disebutkan secara limitatif dalam Pasal 2 yaitu Selain dua permasalahan di atas, terdiri dari 26 jenis tindak pidana dan ditambah permasalahan utama yang harus dianalisis “semua tindak pidana yang ancaman pidananya penulis, yakni apakah pembuktian unsur empat tahun ke atas. Predicate offence (tindak “diketahuinya atau patut diduganya merupakan pidana asal) menurut Arief adalah “delik-delik hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam yang menjadi sumber dari uang haram (dirty Pasal 2 ayat (1)” dapat dibuktikan jikalau tindak money) atau hasil kejahatan (criminal proceeds) pidana asalnya tidak dibuktikan terlebih dahulu. yang kemudian dicuci.” Beberapa negara ASEAN 188 |
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 173 - 192
dalam merumuskan tindak pidana pencucian uang juga merumuskan tindak pidana asal (predicate offence) (Arief, 2013: 127-145), arti umumnya di negara-negara ASEAN mengakui bahwa tindak pidana pencucian uang selalu didahului oleh tindak pidana asalnya. Garnasih melanjutkan pendapatnya di atas, perlu dipahami bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan kejahatan lanjutan (follow up crime) yang terjadinya sangat tergantung pada adanya tindak pidana asal, meskipun antara keduanya masing-masing dikualifikasikan sebagai tindak pidana yang berdiri-sendiri, oleh karena itu, dalam memeriksa tindak pidana tersebut sebaiknya bersamaan (antara tindak pidana asal dengan tindak pidana pencucian uang) dan dibuat dalam satu bentuk dakwaan dengan bentuk surat dakwaan kumulatif. Pemahaman ini akan berimplikasi langsung pada pembuktian yaitu bahwa masing-masing tindak pidana baik tindak pidana asal maupun tindak pidana pencucian uang harus dibuktikan sebagai konsekuensi dari bentuk dakwaan kumulatif (Garnasih, 2013: 6). Bentuk surat dakwaan kumulatif terhadap tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang dapat mempermudah hakim dalam membuktikan unsur “harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.” Hakim terlebih dahulu membuktikan unsur-unsur tindak pidana asal dan kemudian dengan mudah membuktikan bahwa harta kekayaan hasil dari tindak pidana asal benarbenar dia cuci melalui perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 maupun Pasal 4, di samping itu pelaku telah dianggap mengetahui atau
patut menduganya bahwa harta kekayaan yang dicuci telah berasal dari tindak pidana asal pada dakwaan kumulatif pertama tersebut. Hakim sangat kesulitan untuk membuktikan unsur “harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010,” jika tindak pidana asalnya tidak didakwa dan tidak dibuktikan terlebih dahulu. Kecuali pada tindak pidana illicit enrichment yakni suatu instrumen hukum yang mngkriminalisasi pejabat publik yang memiliki kekayaan dan/atau peningkatan kekayaan dalam jumlah tidak wajar (tidak sesuai dengan sumber pemasukannya) tanpa mampu membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh secara legal/sah (bukan dari tindak pidana) (Yusuf, 2013: 85). Menurut Atmasasmita tindak pidana sebagaimana disebut sebagai illicit enrichment belum diatur di Indonesia. Dengan demikian Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tidak dapat diterapkan, penyidik penuntut umum dan hakim tidak dapat melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tanpa dibuktikan tindak pidana asalnya terlebih dahulu karena tindak pidana asal yang tidak dibuktikan terlebih dahulu adalah tindak pidana illicit enrichment dan di Indonesia belum dinyatakan sebagai tindak pidana. Dengan demikian membuktikan unsur “harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010” terhadap terdakwa R tidak dapat dibuktikan kecuali tindak pidana asalnya didakwakan bersamaan dengan tindak pidana pencucian uang dan dibuktikan oleh hakim.
Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang Tanpa Dakwaan Tindak Pidana Asal (Halif )
| 189
Sapardjaja sebagai hakim agung menyatakan kesulitan dalam membuktikan unsur tindak pidana pencucian uang khususnya unsur “harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010” jika tidak didakwa bersamaan dengan tindak pidana asalnya (dakwaan kumulatif). Jika penuntut umum mendakwa secara bersamaan antara tindak pidana asal dengan tindak pidana pencucian uang hakim dengan mudah memperoleh keyakinan untuk memutus terdakwa bersalah, karena selain unsur tindak pidana pencucian uang terbukti, juga tindak pidana asalnya sangat jelas. Dengan alat bukti dan barang bukti yang cukup yang diajukan oleh penuntut umum, masalah beban pembuktian terbalik hampir tidak diperlukan lagi. Pembuktian tindak pidana pencucian uang sangatlah sulit jika dihubungkan dengan illicit enrichment, penuntut umum hanya mendakwa tindak pidana pencucian uang tanpa tindak pidana asalnya. Hakim sangat sulit membuktikan tindak pidana pencucian uang meskipun diberi wewenang untuk menerapkan pembalikan beban pembuktian.
dari tindak pidana asal (predicate offence) yang secara limitatif telah dicantumkan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Tindak
pidana
penadahan
merupakan
tindak pidana yang berdiri dan merupakan tindak pidana selesai (voltooid delicten). Namun dalam tindak pidana penadahan, unsur “memperoleh dan seterusnya” harus dilakukan dengan sengaja sedangkan pelaku sendiri tidak perlu mengetahui asal usul benda tersebut diperoleh dari tindak pidana asal. Dengan demikian, secara teoritik hukum pidana, tindak pidana asal dalam tindak pidana pencucian uang harus dibuktikan. Namun dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 pembentuk undang-undang telah meniadakan kewajiban membuktikan tindak pidana asal sebagaimana diatur dalam Pasal 69.
Berdasarkan beberapa pendapat dari ahli hukum pidana dapat disimpulkan bahwa tindak pidana pencucian uang memiliki hubungan yang sangat erat dengan tindak pidana asal, bahkan tidak akan terjadi tindak pidana pencucian uang jikalau tidak didahului oleh tindak pidana asal. Di samping itu pembuktian tindak pidana pencucian uang tanpa dibuktikan terlebih dahulu sangatlah kesulitan meskipun hakim diberi kewenangan Sapardjaja (2013: 7) melanjutkan untuk menerapkan pembalikan beban pembuktian pendapatnya dengan menegaskan bahwa kecuali terhadap tindak pidana illicit enrichment, pembalikan beban pembuktian yang digunakan namun sangat disayangkan karena tindak pidana jikalau tindak pidana pencucian uang tidak tersebut belum diatur di Indonesia. didakwa bersamaan dengan tindak pidana asalnya Dengan demikian pembuktian terhadap merupakan masalah yang sangat pelik yang tindak pidana pencucian uang baik pada Pasal 3 harus mendapat kajian akademik. Demikian juga maupun Pasal 4 yang dilakukan terdakwa R dalam menurut Atmasasmita, dalam memahami tindak Putusan Nomor 57/PID.SUS/2014/PN.SLR tidak pidana pencucian uang perumus Undang-Undang terbukti karena unsur “harta kekayaan yang Nomor 8 Tahun 2010 telah menyamakan tindak diketahui atau patut diduganya berasal dari tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 penadahan Pasal 480 KUHP. Padahal tindak ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010” pidana pencucian uang merupakan derivatif
190 |
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 173 - 192
tidak terbukti. Kenapa demikian, karena penuntut umum tidak mendakwakan pasal tindak pidana asal dari tindak pidana pencucian uang yang dilakukan terdakwa sehingga hakim tidak bisa membuktikan bahwa harta kekayaan yang dicuci melalui transfer yang dilakukan teman terdakwa kepada rekening saksi AR tidak dibuktikan bahwa hasil dari tindak pidana penyelundupan pupuk cap Matahari dari Malaysia ke Indonesia atau tindak pidana di bidang kelautan dan perikanan.
V.
SARAN
Berdasarkan uraian dalam pembahasan dan kesimpulan di atas dapat dirumuskan saran-saran sebagai berikut: 1.
Hakim dalam membuktikan perkara tindak pidana pencucian uang harus menyesuaikan dengan surat dakwaan yang disusun oleh penuntut umum.
2. Sedangkan hakim dalam membuktikan tindak pidana pencucian uang hendaknya IV. KESIMPULAN membuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya, sehingga harta kekayaan Berdasarkan ulasan dalam pembahasan yang menjadi objek pencucian uang benardi atas dapat dirumuskan beberapa kesimpulan benar berasal dari tindak pidana asal sebagai berikut: sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) 1. Bahwa penyusunan surat dakwaan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. tindak pidana pencucian uang penting untuk ditentukan pasal yang didakwakan, baik pasal tindak pidana pencucian uang bersamaan dengan pasal tindak pidana asal DAFTAR ACUAN maupun hanya pasal tindak pidana saja. Karena hal tersebut berdampak pada bentuk Arief, B.N. (2013). Kapita selekta hukum pidana. pembuktian pembuktian yang dilakukan Bandung: Citra Aditya Bakti. oleh hakim terhadap unsur tindak pidana Atmasasmita, R. (2010). Globalisasi & kejahatan pencucian uang. bisnis. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
2. Bahwa pembuktian unsur tindak pidana pencucian uang, khususnya unsur “harta ______________. (2013, September 10). Analisis hukum UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang kekayaan yang diketahui atau patut Pencegahan & Pemberantasan Tindak Pidana diduganya berasal dari tindak pidana Pencucian Uang. Makalah Seminar Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat tentang Kajian Tindak Pidana Pencucian Uang (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010” dari Teori Hukum Pidana & Praktik. Surakarta. tidak dapat dibuktikan jikalau tindak pidana asalnya tidak dibuktikan terlebih dahulu, Darwin, P. (2012). Money laundering. Tanpa kota penerbit: Sinar Ilmu. tindak pidana asal tidak akan dibuktikan oleh hakim jikalau tindak pidana asalnya Garnasih, Y. (2013, September 10). Tindak pidana tidak didakwakan secara bersamaan dengan pencucian uang dalam teori & praktik. Makalah tindak pidana pencucian uang. Seminar Nasional tentang Kajian Tindak Pidana Pencucian Uang dari Teori Hukum Pidana & Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang Tanpa Dakwaan Tindak Pidana Asal (Halif )
| 191
Praktik. Surakarta. Hamzah, A. (2010). Hukum acara pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Harahap, Y. (2010). Pembahasan permasalahan & penerapan KUHP. Jakarta: Sinar Grafika.
Utomo, P. (2013). Memahami asset recovery &
gatekeeper.
Jakarta:
Indonesia
Legal
Roundtable. Yusuf, M. (2013). Merampas aset korupsi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Harmadi. (2011). Kejahatan pencucian uang. Malang: Setara Press. Hiariej, E.O.S. (2014). Prinsip-prinsip hukum pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka. Husein, Y. (2011, Februari 18). Peran PPATK Dalam Mencegah & Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang Berdasarkan UU No. 8 Tahun 2010. Makalah. disampaikan di Fakultas Hukum Universitas Jember. Ibrahim, J. (2006). Teori & metodologi penelitian hukum normatif. Malang: Bayumidia. Marzuki, P.M. (2016). Penelitian hukum. Jakarta: Prenadamedia Group. Moeljatno. (2009). Asas-asas hukum pidana. Jakarta: Rineka Cipta. Muhammad, R. (2007). Hukum acara pidana kontemporer. Bandung: Citra Aditya Bakti. Sapardjaja, K.E. (2013, September 10). Beban pembuktian terbalik dalam praktik. Makalah Seminar Nasional tentang Kajian Tindak Pidana Pencucian Uang dari Teori Hukum Pidana & Praktik. Surakarta. Sjahdeini, S.R. (2007). Seluk-beluk tindak pidana pencucian uang & pembiayaan terorisme. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Soekanto, S. (2010). Pengantar penelitian hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Uly, J. & Tanya, B.L. (2009). Money laundering. Surabaya: Laros.
192 |
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 173 - 192
KEBIJAKAN MODERASI PIDANA MATI Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007
THE MODERATION POLICY OF CAPITAL PUNISHMENT An Analysis of Constitutional Court’s Decision Number 2-3/PUU-V/2007 Mei Susanto & Ajie Ramdan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Jl. Dipati Ukur No. 35, Bandung 40135 E-mail:
[email protected];
[email protected] Naskah diterima: 13 Maret 2017; revisi: 14 Agustus 2017; disetujui 14 Agustus 2017 ABSTRAK Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 selain menjadi dasar konstitusionalitas pidana mati, juga memberikan jalan tengah (moderasi) terhadap perdebatan antara kelompok yang ingin mempertahankan (retensionis) dan yang ingin menghapus (abolisionis) pidana mati. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana kebijakan moderasi pidana mati dalam putusan a quo dikaitkan dengan teori pemidanaan dan hak asasi manusia dan bagaimana kebijakan moderasi pidana mati dalam RKUHP tahun 2015 dikaitkan dengan putusan a quo. Penelitian ini merupakan penelitian doktrinal, dengan menggunakan bahan hukum primer dan sekunder, berupa peraturan perundang-undangan, literatur, dan hasil-hasil penelitian yang relevan dengan objek penelitian. Penelitian menyimpulkan, pertama, putusan a quo yang memuat kebijakan moderasi pidana mati telah sesuai dengan teori pemidanaan khususnya teori integratif dan teori hak asasi manusia di Indonesia di mana hak hidup tetap dibatasi oleh kewajiban asasi yang diatur dengan undang-undang. Kedua, model kebijakan moderasi pidana mati dalam RKUHP tahun 2015 beberapa di antaranya telah mengakomodasi amanat putusan a quo, seperti penentuan pidana mati di luar pidana pokok, penundaan pidana mati, kemungkinan pengubahan pidana mati menjadi pidana seumur hidup atau penjara paling lama 20 tahun. Selain itu masih menimbulkan persoalan berkaitan dengan lembaga yang memberikan pengubahan pidana mati, persoalan grasi,
lamanya penundaan pelaksanaan pidana mati, dan jenis pidana apa saja yang dapat diancamkan pidana mati. Kata kunci: kebijakan, KUHP, moderasi, pidana mati.
ABSTRACT Constitutional Court’s Decision Number 2-3/ PUU-V/2007, in addition to being the basis of the constitutionality of capital punishment, also provides a moderate way of arguing between retentionist groups and those wishing to abolish the death penalty (abolitionist). The problem in this research is how the moderation policy of capital punishment in aquo decision is associated with the theory of punishment and human rights and how the moderation policy of capital punishment in the draft Criminal Code of 2015 (RKUHP) is related with the aquo decision. This study is doctrinal, using primary and secondary legal materials, in the form of legislation, literature and research results that are relevant to the object of analysis. This study concludes, firstly, the aquo decision containing the moderation policy of capital punishment has been in accordance with the theory of punishment, specificallyy the integrative theory and the theory of human rights in Indonesia, in which the right to life remains limited by the fundamental obligations set forth in the law. Secondly, some of the modes of moderation model of capital punishment in RKUHP of 2015 have accommodated the mandate of aquo decision, such as the determination
Kebijakan Moderasi Pidana Mati (Mei Susanto & Ajie Ramdan)
| 193
of capital punishment outside the main punishment, postponement of capital punishment, the possibility of converting capital punishment to life imprisonment or imprisonment of 20 years. In addition, it still raises issues regarding the institutions that provide for conversion of
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perdebatan mengenai pidana mati dalam sistem hukum Indonesia selalu menarik untuk dikaji. Apalagi terdapat kelompok yang saling bertentangan yaitu yang tetap mempertahankan pidana mati dan kelompok yang ingin
capital punishment, pardon matters, length of delay in the execution of capital punishment, and any types of crime punishable by capital punishment. Keywords: policy, criminal code, moderation, capital punishment.
berpendapat bahwa ke depan, dalam rangka pembaruan hukum pidana nasional dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pidana mati, maka perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati dalam sistem peradilan pidana di Indonesia hendaklah memperhatikan dengan sungguh-sungguh hal-hal berikut: a.
pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif;
menghapuskan pidana mati saling memberikan argumentasinya terhadap eksistensi pidana mati b. pidana mati dapat dijatuhkan dengan tersebut. Salah satu puncak dari perdebatan masa percobaan selama sepuluh tahun tersebut adalah dengan adanya pengujian yang apabila terpidana berkelakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 Narkotika pada tahun 2007 di Mahkamah tahun; Konstitusi, yang kemudian diputus dalam c. pidana mati tidak dapat dijatuhkan Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 yang intinya terhadap anak-anak yang belum pidana mati konstitusional dalam sistem hukum dewasa; Indonesia. Dengan demikian, pidana mati tetap d. eksekusi pidana mati terhadap dipertahankan dalam sistem hukum Indonesia. perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai Selain memberikan dasar konstitusionalitas perempuan hamil tersebut melahirkan pidana mati, Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 dan terpidana yang sakit jiwa tersebut juga memberikan semacam petunjuk (guideline), sembuh.” yang mengarahkan agar pidana mati diupayakan Pertimbangan tersebut menunjukkan bahwa untuk dimoderasikan. Hal tersebut dapat dilihat dari salah satu pertimbangan dalam putusan pidana mati haruslah dimoderasikan dalam artian mengambil jalan tengah terhadap persoalan tersebut, yang menyatakan: “Menimbang pula bahwa dengan pidana mati, yang secara ekstrem di satu sisi ingin memperhatikan sifat irrevocable pidana mempertahankannya (kelompok retensionisme) mati, terlepas dari pendapat mahkamah dan di sisi yang lain ingin menghapuskannya perihal tidak bertentangannya pidana mati dengan UUD NRI 1945 bagi kejahatan- (kelompok abolisionisme). kejahatan tertentu dalam Undang-Undang Kebijakan jalan tengah tersebut terutama Narkotika yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, mahkamah terlihat dari poin a dan b yaitu pidana mati bukan
194 |
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 193 - 215
lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif serta pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan penjara seumur hidup atau selama 20 tahun.
C.
Tujuan dan Kegunaan
Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis Putusan Nomor 2-3/PUUV/2007 yang tidak hanya menjadi dasar konstitusionalitas pidana mati di Indonesia namun juga memerintahkan adanya kebijakan moderasi pidana mati. Kebijakan tersebut dianalisis dengan Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian menggunakan teori tujuan pemidanaan dan hak ini hendak menganalisis pertimbangan asasi manusia sehingga akan dapat diperoleh Mahkamah Konstitusi yang memberikan perintah gambaran ketepatan dalam moderasi pidana mati. memoderasikan pidana mati dapat dibenarkan Kebijakan moderasi pidana mati tersebut dari aspek teoritis khususnya tujuan pemidanaan akan dikontekskan dengan RKUHP yang dan perkembangan hak asasi manusia. diajukan pemerintah ke DPR. Lebih lanjut tulisan Mengingat putusan tersebut juga menjadi dasar ini diharapkan memiliki kegunaan, yaitu: 1) pembentukan peraturan perundang-undangan sumbangsih pemikiran berkaitan dengan pidana khususnya berkaitan dengan pidana mati, maka mati dan hak asasi manusia; dan 2) akan dapat dengan adanya Rancangan Undang-Undang memberikan masukan terhadap konstitusionalitas tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana moderasi pidana mati serta penerapannya (RKUHP) yang diajukan pemerintah kepada dalam RKUHP yang sedang dibahas DPR dan DPR pada pertengahan tahun 2015, di mana pemerintah. telah mengakomodir upaya untuk melakukan moderasi pidana mati. Karena itu, tulisan ini juga akan melihat apakah konsep moderasi pidana D. Tinjauan Pustaka mati dalam RKUHP tersebut sudah tepat dan Tulisan ini akan menggunakan dua teori, sesuai dengan arahan dalam Putusan Nomor 2-3/ yaitu teori pemidanaan dan teori hak asasi PUU-V/2007 tersebut. manusia (HAM), di mana keduanya memiliki B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam tulisan ini adalah: 1. Bagaimana kebijakan moderasi pidana mati dalam Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 dikaitkan dengan teori pemidanaan dan hak asasi manusia? 2. Bagaimana kebijakan moderasi pidana mati dalam RKUHP tahun 2015 dikaitkan dengan Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007?
kaitan yang sangat erat dalam persoalan pidana mati. Walau bagaimanapun juga pidana mati dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku akan selalu berkaitan dengan tujuan pemidanaan yang hendak dicapai dalam membentuk peraturan perundang-undangan tersebut. Sementara teori HAM hampir selalu mengiringi perdebatan pidana mati, dengan pertanyaan apakah pidana mati melanggar prinsip-prinsip HAM atau tidak. Dalam teori pidana, setidaknya terdapat empat teori yang dapat dipergunakan, yaitu teori
Kebijakan Moderasi Pidana Mati (Mei Susanto & Ajie Ramdan)
| 195
absolut, teori tujuan, teori perbaikan, dan teori gabungan atau integratif. Pertama adalah teori absolut. Ciri khas dari teori ini adalah keyakinan mutlak akan keniscayaan pidana, sekalipun pemidanaan sebenarnya tidak berguna, bahkan bilapun membuat keadaan pelaku kejahatan menjadi lebih buruk. Negara yang berdaulat jelas tidak memiliki tugas mendidik. Kejahatan adalah peristiwa yang berdiri sendiri, ada kesalahan yang harus dipertanggungjawabkan, dengan cara ini persoalan dituntaskan. Kesalahan (dosa) hanya dapat ditebus dengan menjalani penderitaan (Lamintang, 1988: 22-29). Menurut Muladi & Arief yang dikutip Priyanto (2006: 24), dalam teori absolut ini, pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatumest). Menurut teori absolut ini setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar-menawar. Seseorang mendapat pidana oleh karena melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dengan dijatuhkannya pidana, tidak peduli apakah masyarakat mungkin akan dirugikan. Kedua, teori tujuan atau doeltheorieen. Teori ini berusaha mencari dasar pembenaran dari suatu pidana itu semata-mata pada satu tujuan tertentu, di mana tujuan tersebut dapat berupa: a) tujuan untuk memulihkan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan; b) tujuan untuk mencegah agar orang lain tidak melakukan kejahatan (Priyanto, 2006: 24). Teori-teori yang berusaha mencari dasar pembenaran dari suatu pidana semata-mata pada satu tujuan tertentu seperti dimaksudkan di atas, selanjutnya masih dapat dibagi menjadi dua macam teori, yakni: a) teori-teori pencegahan
196 |
umum atau algemene preventive theorieen, yang ingin mencapai tujuan dari pidana yaitu semata-mata dengan membuat jera setiap orang agar mereka itu tidak melakukan kejahatankejahatan; dan b) teori-teori pencegahan khusus atau bijzondere preventive theorieen, yang ingin mencapai tujuan dari pidana itu dengan membuat jera, dengan memperbaiki dan dengan membuat penjahatnya itu sendiri menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan lagi. Dalam teori ini, tujuan pemidanaan bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Jadi dasar pembenaran pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est (karena orang membuat kejahatan) melainkan ne peccatum (supaya orang jangan melakukan kejahatan). Berkaitan dengan teori pemidanaan ini, Van Bemmelen telah berpikir lebih maju, yakni dengan tidak melihat pidana itu semata-mata sebagai pemidanaan saja, melainkan telah mengaitkan lembaga-lembaga pidana atau pemidanaan itu dengan tujuan yang ingin dicapai. Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu: a) untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri; b) untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatankejahatan; dan c) untuk membuat penjahatpenjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi (Van Bemmelen dalam Lamintang, 1988: 22). Ketiga, khusus. Teori
teori perbaikan/prevensi perbaikan murni (zuivere
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 193 - 215
verbeteringstheorieen) yang bersifat preventif khusus yang dahulu banyak dianut, ternyata juga sempit dalam penetapan tujuan dan sama tidak terarah dalam kemanfaatannya. Hukum pidana tidak perlu setiap saat dan niscaya ditujukan pada upaya memperbaiki (perilaku ataupun sikap) semua delinkuen, terutama bila menyangkut mereka yang hanya bersalah melakukan tindak pidana ringan.
dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Keempat, teori gabungan atau juga dikenal dengan teori integratif (Priyanto, 2006: 26-27). Menurut Priyanto, penulis yang pertama kali mengajukan teori gabungan ini ialah Pellegrino Rossi (1787—1848). Sekalipun Rossi tetap menganggap pembalasan sebagai asas dari pidana dan bahwa beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, namun dia berpendirian bahwa pidana mempunyai berbagai pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general (Rossi dalam Priyanto, 2006: 26-27).
Teori HAM berangkat dari konsepsi dasar HAM di mana setiap orang/manusia sejak lahir memiliki hak utama yang melekat dan suci, yaitu hak hidup dari Tuhan dan hak-hak lainnya demi pemenuhan kebutuhan lahir batinnya, maka tidak ada kelompok/golongan/kekuatan apapun/manapun dan juga orang per orang yang berhak dan mampu mencabutnya. Hanya dengan landasan/dasar hukum dan konstitusional, adil dan benar lewat proses legal, pencabutan, baik untuk sementara maupun seterusnya, dapat dibenarkan (Effendi, 2005: 76).
Teori ini mengatakan bahwa pemidanaan menjadi sangat kompleks sebagai akibat dari usaha untuk lebih memperhatikan faktor-faktor yang menyangkut hak asasi manusia, serta menjadikan pidana bersifat operasional dan fungsional. Untuk ini diperlukan pendekatan multidimensional yang bersifat mendasar terhadap dampak pemidanaan, Hukum pidana tidak mungkin memperbaiki baik yang menyangkut dampak yang bersifat semua delinkuen, terutama karena tidak semua individual maupun dampak yang bersifat sosial. cocok dan dapat diperbaiki dengan obat (hukum Pendekatan semacam ini mengakibatkan pidana) yang sama. Lagipula, jika perbaikan adanya keharusan untuk memilih teori integratif dapat dilaksanakan dengan menjatuhkan tindakan tentang tujuan pemidanaan yang dapat (maatregel), maka pengenaan penderitaan melalui mempengaruhi fungsinya dalam rangka mengatasi pidana dalam pandangan di atas akan kehilangan kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh landasan pembenarannya (Remmelink, 2003: tindak pidana (individual and social damages). 609-610).
Muladi (1984) dalam disertasinya yang berjudul “Lembaga Pidana Bersyarat sebagai Faktor yang Mempengaruhi Proses Hukum Pidana yang Berperikemanusiaan” memperkenalkan teori tujuan pemidanaan yang integratif (kemanusiaan dalam sistem Pancasila) yang tepat untuk diterapkan di Indonesia karena mendasarkannya pada nilai-nilai yang dianut
Menurut Budiardjo (1977: 120), HAM adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan Setiardja (1993: 73) mengemukakan bahwa HAM berarti hakhak yang melekat pada manusia berdasarkan kodratnya, jadi hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia.
Kebijakan Moderasi Pidana Mati (Mei Susanto & Ajie Ramdan)
| 197
Hook (1987: 19) mengemukakan bahwa HAM adalah tuntutan yang secara moral bisa dibenarkan, agar seluruh manusia dapat menikmati dan melaksanakan kebebasan dasar mereka yang dipandang perlu untuk mencapai harkat kemanusiaan. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 disebutkan bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
atau “penghindaran keekstreman” (KBBI, 2017). Dengan demikian, dalam tulisan ini yang dimaksud dengan moderasi pidana mati adalah upaya untuk mengambil jalan tengah terhadap persoalan pidana mati, yang secara ekstrem di satu sisi ingin mempertahankannya (kelompok retensionisme) dan di sisi lain ingin menghapuskannya (kelompok abolisionisme). II.
METODE
Sesuai dengan permasalahan yang diteliti, tulisan ini merupakan penelitian hukum (legal research). Istanto (2007: 29) mengatakan penelitian hukum adalah penelitian yang Affandi (2013: 22) mengatakan bahwa diterapkan atau diberlakukan khusus pada ilmu HAM adalah hak-hak manusia yang penting dan hukum. Sejalan dengan Istanto, Marzuki (2005: mendasar sebagai pemberian Tuhan pada saat 35) mengatakan penelitian hukum adalah suatu kelahiran yang diperlukan untuk menjaga harkat proses untuk menemukan aturan hukum, prinsipdan martabat kemanusiaan. Dan menganggap prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum bahwa tidak semua hak adalah HAM, tetapi HAM guna menjawab isu-isu hukum yang dihadapi. adalah salah satu jenis hak. HAM merupakan hak Berangkat dari pemahaman tersebut, maka yang penting dan mendasar, karena tidak semua hak bersifat penting dan mendasar sehingga tidak tulisan ini termasuk ke dalam penelitian hukum guna mencari jawaban persoalan moderasi dapat dikategorikan sebagai HAM. pidana mati, melalui aturan hukum, prinsip Muladi (2002: 56-57) menyatakan bahwa hukum maupun doktrin hukum terutama yang HAM adalah hak yang melekat (inherent) secara mencuat dalam Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 alamiah pada diri manusia sejak manusia lahir dan serta dalam RKUHP tahun 2015. Oleh karena itu, tanpa hak tersebut manusia tidak dapat tumbuh tulisan ini termasuk ke dalam penelitian hukum dan berkembang sebagai manusia yang utuh. dengan pendekatan doktrinal yang condong Demikian pentingnya keberadaan HAM, tanpa bersifat kualitatif berdasarkan data sekunder HAM manusia tidak dapat mengembangkan (Supranto, 2003: 2). bakat-bakat dan memenuhi kebutuhanJenis penelitian yang digunakan dalam kebutuhannya. tulisan ini adalah penelitian pustaka (library Selain dasar teoritik tersebut, perlu research). Library research berarti penelitian juga menjelaskan apa yang dimaksud dengan yang menggunakan dokumen tertulis sebagai “moderasi” dalam tulisan ini. Dalam Kamus data, dan sumber data yang digunakan dalam Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah moderasi penelitian ini mencakup bahan hukum primer mengandung arti “pengurangan kekerasan” dan bahan hukum sekunder. 198 |
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 193 - 215
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat atau yang membuat orang taat hukum, meliputi produk hukum yang menjadi bahan kajian dan produk hukum sebagai alat kritiknya. Bahan hukum sekunder meliputi penjelasan bahan hukum primer berupa doktrin para ahli yang ditemukan dalam buku, jurnal, dan dalam website. Cohen mengatakan dalam penelitian hukum (legal research) terdapat beberapa pendekatan yang digunakan, yaitu statute approach, conceptual approach, analitycal approach, comparative approach, hystorical approach, philosophical approach, dan case approach (dalam Marzuki, 2005: 93). Merujuk pada pendekatan-pendekatan tersebut, penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan filosofis (philosophical approach). Pendekatan perundang-undangan (statute research), digunakan untuk meneliti, mendalami, dan menelaah berbagai peraturan perundangundangan yang berbicara mengenai pidana mati. Ibrahim (2006) menyatakan bahwa statute research diperlukan untuk meneliti berbagai aturan hukum yang fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. Untuk itu, karena fokus dan tema sentral tulisan ini adalah mengenai moderasi pidana mati, maka akan diteliti dan dievaluasi berbagai aturan mengenai hal tersebut seperti RKUHP, KUHP, termasuk juga Putusan Nomor 2-3/PUU-V-2007.
(philosophical approach) digunakan untuk melihat konsep kebijakan moderasi pidana mati dari aspek filosofi dan ideologi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam Pancasila. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Kebijakan Moderasi Pidana Mati dalam Putusan Nomor 2-3/ PUU-V/2007 Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 adalah putusan yang menguji konstitusionalitas pidana mati dalam sistem hukum Indonesia yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Walaupun yang diuji hanya terhadap satu undang-undang saja, putusan ini memberikan dampak yang besar terhadap konstitusionalitas pidana mati yang terdapat di dalam berbagai undang-undang lainnya. Tercatat ada sekitar 12 undang-undang lain yang mengatur mengenai pidana mati, yaitu: 1.
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana);
2.
KUHPM (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer);
3. Undang-Undang Nomor tentang Senjata Api; 4.
Pendekatan konseptual (conceptual approach) digunakan untuk mendalami kebijakan moderasi pidana mati yang sesuai dengan politik hukum pemidanaan nasional dan 5. konsep hak asasi manusia. Pendekatan filosofis
Kebijakan Moderasi Pidana Mati (Mei Susanto & Ajie Ramdan)
12/Drt/1951
Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1959 tentang Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dalam Hal Memperberat Ancaman Hukuman terhadap Tindak Pidana yang Membahayakan Pelaksanaan Perlengkapan Sandang Pangan; Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perppu) Nomor 21 Tahun 1959
| 199
tentang Memperberat Ancaman Hukuman terhadap Tindak Pidana Ekonomi;
Indonesia, Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 ini dapat dianggap sebagai salah satu putusan dari Mahkamah Konstitusi yang sangat penting, 6. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 bahkan dianggap sebagai landmark decision tentang Perubahan dan Penambahan karena persoalan konstitusionalitas pidana Beberapa Pasal dalam KUHP Bertalian mati dalam sistem hukum Indonesia akan dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan selalu mengacu kepada putusan ini. Selain itu, Perundang-Undangan Pidana Kejahatan sebagaimana telah disebutkan di awal, putusan ini Penerbangan dan Kejahatan terhadap juga penting yang memberikan petunjuk perlunya Sarana/Prasarana Penerbangan; kebijakan moderasi pidana mati dalam sistem 7. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 hukum Indonesia di masa yang akan datang. tentang Pemberantasan Tindak Pidana Mengingat putusan ini menguji suatu Korupsi; kebijakan yang sifatnya sensitif dan ideologis, 8. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 maka majelis hakim cukup berhati-hati dalam mengambil keputusan. Bahkan untuk sampai pada tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia; pertimbangan yang bersifat rekomendasi yaitu 9. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 pidana mati konstitusional dalam sistem hukum tentang Pemberantasan Tindak Pidana Indonesia dan di masa yang akan datang harus Terorisme; dimoderasikan, majelis hakim butuh bekerja keras 10. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dalam melakukan penafsiran terhadap pasal-pasal terkait dengan berbagai macam konsep dalam hal tentang Narkotika; pemidanaan, hak asasi manusia, konstitusi, dan 11. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 prinsip-prinsip internasional. tentang Perubahan Atas Undang-Undang Apalagi, sebagaimana disebutkan oleh Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Lindsay & Santosa (2008: 2-3), sistem hukum Anak; dan Indonesia sangatlah kompleks, tidak hanya 12. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 menerapkan sistem hukum Eropa Kontinental tentang Penetapan Peraturan Pemerintah (Civil Law System) yang merupakan warisan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 sistem hukum kolonial Belanda, namun juga Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua secara campuran mengombinasikan penerapan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun hukum adat (traditional customary law) dan juga 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi hukum Islam (Syariah). Undang-Undang. Selain tiga sistem hukum tersebut, standar Banyaknya undang-undang yang terkait hukum internasional juga sering kali dipergunakan serta sensitifnya isu pidana mati dalam sistem sebagai acuan dalam sistem hukum Indonesia, hukum Indonesia yang tidak hanya berbicara khususnya ketika berkaitan dengan persoalan hak soal hukum semata, melainkan juga berkaitan asasi manusia (Zerial, 2008: 219). Karena itulah, dengan ideologi dan pandangan hidup masyarakat Zerial mendeskripsikan sistem hukum Indonesia
200 |
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 193 - 215
sebagai produk yang menarik karena adanya keragaman pengaruh “The Indonesian legal system is a fascinating product of a diversity of influences” (Zerial, 2008: 219).
waktu hampir 10 bulan untuk dapat mengambil putusan.
Sistem hukum yang sinkretis dalam rangka penyesuaian dan mencapai keseimbangan ini kemudian didukung dengan adanya Pancasila yang memuat prinsip-prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi perwakilan, dan keadilan sosial. Kelima prinsip ini dibuat untuk membentuk karakter nasional terhadap masyarakat yang heterogen. Pada masa Soeharto, Pancasila ditempatkan sebagai sumber hukum yang tertinggi, namun pada masa reformasi, Pancasila dimasukkan ke dalam UUD NRI 1945 sebagai bagian yang tidak terpisahkan ketika menafsirkan konstitusi (Zerial, 2008: 219).
Konstitusi memutus 29 perkara, jangka waktu yang paling cepat adalah kurang dari satu bulan sejumlah satu perkara, sedangkan jangka waktu yang paling lama adalah 10 bulan sejumlah tiga perkara salah satunya adalah Putusan Nomor 2-3/ PUU-V/2007. Jangka waktu pemeriksaan sampai diputus yang bervariasi tersebut, bergantung pada kompleksitas substansi perkara (MKRI, 2008: 19-20). Dengan demikian, kompleksitas persoalan konstitusionalitas pidana mati membuat Mahkamah Konstitusi membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengambil putusan. Bahkan kompleksitas tersebut dapat dilihat dari jumlah halaman putusan sebanyak 471 halaman.
Mengingat sistem hukum Indonesia yang kompleks tersebut, maka apabila dicermati dalam Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 tersebut, kehati-hatian dan kedalaman pemikiran mengenai konstitusionalitas pidana mati sampai pada rekomendasi pidana mati harus dimoderasikan, dapat dilihat dari teknis putusan, berupa teknis waktu dan jumlah halaman, banyaknya pertimbangan yang diminta, sampai dengan adanya perbedaan pendapat dari para hakim.
Berdasarkan Laporan 6 Tahun Mahkamah Konstitusi, pada tahun 2007 Mahkamah
Kedua, berkaitan dengan banyaknya pertimbangan yang diminta. Hal ini dapat terlihat dari 23 orang ahli yang dihadirkan dalam persidangan (empat orang di antaranya merupakan ahli dari luar negeri, sementara 19 orang adalah ahli dalam negeri). Bahkan, pihak pemerintah yang biasanya hanya diwakili sendiri, juga melibatkan lembaga-lembaga lainnya, yaitu Badan Narkotika Nasional, Kejaksaan Agung, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Pertama, berkaitan dengan teknis putusan (Komnas HAM). Selain itu juga ada keterangan yaitu berupa waktu lamanya putusan dan jumlah DPR. Dengan demikian ada sekitar 28 pihak baik halaman. Putusan ini menggabungkan dua personal maupun kelembagaan yang dimintai permohonan yang sama yaitu perkara Nomor 2/ pendapatnya berkaitan dengan persoalan pidana PUU-V/2007 yang didaftarkan pada 16 Januari mati. 2007 dan perkara Nomor 3/PUU-V/2007 yang didaftarkan pada 30 Januari 2007, yang kemudian Ketiga, perbedaan pendapat dari para diputuskan pada rapat permusyawaratan hakim hakim atau dissenting opinion. Dapat dilihat, pada 23 Oktober 2007 dan diucapkan pada sidang dari 9 hakim konstitusi, 5 orang hakim pleno terbuka untuk umum pada 30 Oktober menyatakan pidana mati adalah konstitusional 2007. Ini artinya, majelis hakim membutuhkan dalam sistem hukum Indonesia, namun 4 orang
Kebijakan Moderasi Pidana Mati (Mei Susanto & Ajie Ramdan)
| 201
hakim menyatakan pendapat yang berbeda alias pidana mati inkonstitusional dalam sistem hukum Indonesia. Perbandingan 5:4 dalam pengambilan keputusan tersebut menunjukkan bahwa persoalan konstitusionalitas pidana mati tidaklah diambil secara bulat oleh seluruh hakim konstitusi, bahkan jumlahnya sangat tipis antara mayoritas hakim yang menyatakan pidana mati konstitusional dengan minoritas hakim yang menyatakan inkonstitusional.
rights. Karenanya, dengan adanya dua pasal dalam UUD NRI 1945 ini menjadi alasan yang sangat logis untuk dapat menguji ketentuan dalam sebuah undang-undang yang masih mengatur ancaman pidana mati. Walau demikian, dalam membaca UUD NRI 1945 khususnya berkaitan dengan pasal-pasal mengenai hak asasi manusia, tidak dapat dilepaskan dari ketentuan Pasal 28J yang menyebutkan:
Apabila dicermati secara substantif, memang memutuskan persoalan pidana mati konstitusional tidaklah mudah. Apalagi, gelombang reformasi tahun 1998 yang mengakhiri rezim otoriter Soeharto telah mengantarkan kepada penghormatan yang tinggi terhadap kedudukan hak asasi manusia dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dengan dimasukkannya poin-poin jaminan hak asasi manusia dalam Perubahan UUD NRI 1945. Khusus persoalan pidana mati, sangat erat kaitannya dengan hak hidup yang dijamin dalam Pasal 28A dan Pasal 28I UUD NRI 1945.
ayat (1): “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. ayat (2): “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis” (garis miring penulis).
Formulasi ketentuan dalam Pasal 28J Pasal 28A: “Setiap orang berhak untuk UUD NRI 1945 inilah yang sering kali luput hidup serta berhak mempertahankan hidup dalam membaca pasal-pasal jaminan hak dan kehidupannya.” asasi manusia. Mengingat perdebatan dan Pasal 28I ayat (1): “Hak untuk hidup, hak kedalaman pertimbangan dalam persoalan untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak konstitusionalitas pidana mati dalam Putusan untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui Nomor 2-3/PUU-V/2007, menarik untuk sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang mencermati analisis yang dibuat oleh Zerial berlaku surut adalah hak asasi manusia dalam Australian International Law Journal yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan yang berjudul “Decision No. 2-3/PUU-V/2007 apa pun” (garis miring penulis). [2007] (Indonesian Constitutional Court).”
Dua pasal tersebut menunjukkan adanya jaminan hak hidup bagi setiap orang yang berada dalam wilayah hukum Indonesia. Bahkan hak hidup tersebut merupakan “hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun” atau yang dikenal dengan non derogable 202 |
Pasal 28J
Analisis tersebut juga telah diulas oleh Faiz (2015) dalam rubrik Khazanah Majalah Konstitusi No. 96 – Februari 2015 dengan judul “Pendekatan MK Terhadap Konstitusionalitas Hukuman Mati.” Dalam artikel tersebut Zerial
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 193 - 215
menyebutkan ada tiga isu penting yang termuat di dalam Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 yaitu: 1. Keseimbangan Individu
Masyarakat
terhadap
Menurut Zerial, keseimbangan antara HAM individu dengan kesejahteraan masyarakat merupakan isu yang sering menjadi karakteristik perdebatan tentang HAM di Asia. Isu inilah yang dinilai oleh Zerial sebagai isu utama yang diambil oleh mayoritas hakim. Perspektif ini memperhadapkan antara hak untuk hidup dari mereka yang dijatuhi hukuman dengan hak-hak para korban sebagai individu ataupun hak dari ‘masyarakat sebagai korban’ (society as victims). Mengutip pendapat Eldridge (2002), Zerial mengatakan bahwa sistem perlindungan HAM di Indonesia sangat dipengaruhi oleh isu-isu tentang kemiskinan, budaya, agama, stabilitas, dan ketertiban nasional. Pentingnya isu-isu tersebut nampak terlihat pada pertimbangan hukum putusan mengenai apakah negara dapat menjatuhkan hukuman mati kepada individu, khususnya dalam konteks kejahatan narkotika (dalam Faiz, 2015: 65-66).
juga mempertimbangkan bahwa hukuman pidana yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan juga harus dilihat sebagai upaya untuk mengembalikan harmoni sosial yang terganggu akibat dari kejahatan itu (dalam Faiz, 2015: 66). Menurut Zerial, pendekatan ini terefleksi dari pendapat ahli Didik Purwo Laksono yang menyimpulkan seolah-olah secara gramatikal (tata bahasa) ancaman pidana mati dalam Undang-Undang Narkotika bertentangan dengan Pasal 28A dan 28I ayat (1) UUD NRI 1945. Namun, menurut Laksono, kalau ditinjau dari segi politik hukumnya, landasan filosofis, landasan sosiologis, maksud dan tujuan pembentuk undang-undang, Pasal 28A dan Pasal 28I UUD NRI 1945 tidak dimaksudkan untuk melindungi pelaku tindak pidana yang telah membahayakan hak hidup negara, masyarakat, dan individu yang menjadi korban tindak pidana narkotika (Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007: 389).
Zerial juga menyebutkan keseimbangan antara masyarakat dan individu juga terlihat dari penekanan terhadap akibat serius dari tindak pidana narkotika. Hal tersebut dikemukakan Zerial dengan melihat pendapat ahli Arief Amrullah yang menjelaskan tindak pidana narkotika sebagai tindak pidana (kejahatan) Zerial juga berpendapat bahwa perhatian terhadap pembangunan dan kesejahteraan Mahkamah Konstitusi terhadap kesejahteraan sosial (crimes against social development and masyarakat Indonesia dapat dilihat ketika prosperty) (Zerial, 2008: 222). Mahkamah Konstitusi membantah dalil para Hal tersebut menurut Amrullah dikarenakan pemohon, yang mengatakan tujuan utama tindak pidana narkotika merupakan bagian dari dari hukuman pidana adalah rehabilitasi, kejahatan terorganisasi dengan ruang lingkup dengan argumentasi bahwa setiap kejahatan dan dimensi yang luas, sehingga kegiatannya merupakan serangan terhadap harmoni sosial mengandung ciri sebagai organized crime, white masyarakat (social harmony of society) yang collar crime, corporate crime, dan transnational menimbulkan luka (wound) atau sakit (illness) crime. Bahkan dengan kemajuan teknologi di masyarakat. Selain itu, Mahkamah Konstitusi informasi, kejahatan narkotika dapat menjadi
Kebijakan Moderasi Pidana Mati (Mei Susanto & Ajie Ramdan)
| 203
salah satu bentuk dari cyber crime (Putusan oleh Mahkamah Konstitusi. Zerial memahami bahwa agama memiliki tempat penting dalam Nomor 2-3/PUU-V/2007: 390). hukum dan masyarakat Indonesia. Dengan adanya Badan Narkotika Nasional berpendapat Pancasila maka tidak dapat dipisahkan antara tidak jauh berbeda, dengan menyebutkan bahwa penafsiran hukum dan konstitusi dari perspektif secara filosofis pidana mati bertujuan untuk agama. Walaupun hukum Islam memiliki kepentingan prevensi umum, agar orang lain tidak pengaruh besar dalam hukum Indonesia, namun ikut melakukan kejahatan. Di samping itu, seorang Islam tidak menjadi agama negara ataupun dihukum mati berdasarkan hukum yang berlaku, konstitusi negara. Penyebabnya, ajaran agamabukan karena membalas dendam kepada si agama lainnya juga memberikan pengaruh terhukum, akan tetapi supaya orang lain tidak ikut terhadap hukum Indonesia (dalam Faiz, 2015: melakukan kejahatan yang sama dan meresahkan 66). “Islam is not the the state religion nor is it masyarakat yang dapat mengganggu keseimbangan the constitution of the state’ and other religions masyarakat. Hal ini apabila dikaitkan dengan nilaiBuddhism, Hinduism and Christianity - have an nilai hukum adat, keseimbangan masyarakat itu influence on Indonesian law” (Zerial, 2008: 222). harus dijaga jangan sampai rusak (Putusan Nomor Pandangan Zerial tersebut ditarik dari 2-3/PUU-V/2007: 203). pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi Menurut Zerial, keterangan Badan yang menegaskan bahwa posisi bangsa Indonesia Narkotika Nasional dalam persidangan terhadap hak asasi manusia, khususnya hak memberikan bukti-bukti akibat pelaku pengedar untuk hidup, diambil dari ajaran agama, nilai narkotika dengan dampak dari ketergantungan moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa. dan pengaruh narkotika telah menghilangkan Mahkamah Konstitusi juga mengakui bahwa hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar beragama, hak untuk tidak diperbudak, dan hak di dunia, Indonesia merujuk secara khusus pada untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum Deklarasi Kairo tentang Hak-Hak Asasi Manusia (Zerial, 2008: 22). Bagi Zerial, pembahasan dalam Islam yang dalam Pasal 8 huruf (a) yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi menyatakan: “Kehidupan adalah berkah Tuhan terhadap isu-isu terkait HAM dan hukuman dan hak untuk hidup dijamin bagi setiap umat mati menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi manusia. Adalah tugas dari individu, masyarakat, mempercayai HAM haruslah dibatasi, setidaknya dan negara-negara untuk melindungi hak-hak ini untuk sebagian, sepanjang pembatasan dari setiap pelanggaran apa pun, dan dilarang tersebut dapat melayani kebutuhan masyarakat untuk mencabut kehidupan kecuali berdasarkan sebagaimana terkonseptualisasi di dalam budaya syariat” (dalam Faiz, 2015: 66). dan sejarah Indonesia (dalam Faiz, 2015: 66). Berdasarkan pengamatan Zerial, beberapa ahli yang diperdengarkan dalam persidanganpun 2. Peran dan Pengaruh Agama mengemukakan kesucian hidup manusia yang Dalam putusan tersebut, Zerial juga merupakan identitas keyakinan Islam (Zerial, menyimpulkan adanya pengaruh dari ajaran 2008: 222). Menurut Zerial, baik Mahkamah agama dalam pertimbangan hukum yang diambil Konstitusi maupun para ahli mencoba untuk 204 |
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 193 - 215
‘mendamaikan’ pertentangan antara kesucian hidup dengan pidana (hukuman) mati. Salah satu caranya dengan mempertimbangkan adanya prasyarat proses peradilan yang adil. Metode lainnya yaitu dengan memindahkan tanggung jawab dari negara sebagai eksekutor kepada pelaku kejahatan dengan penekanan bahwa hukuman mati lebih merupakan hasil dari keputusan yang dibuat dari seorang individu, bukan dari kebijakan negara (dalam Faiz, 2015: 66). Analisis Zerial ini didasarkan pada pendapat Mahmud Mulyadi, yang didasarkan pada argumentasi bahwa hidup mati seseorang memang telah ditentukan oleh Tuhan, tetapi cara untuk hidup dan cara untuk matinya ditentukan oleh orang tersebut karena Tuhan telah memberikan pilihan-pilihan dan acuan-acuan dalam menjalani kehidupan ini. Oleh karena itu, ketika seseorang dijatuhi pidana mati oleh negara atas kejahatan yang diatur dalam Undang-Undang Narkotika, tidak berarti bahwa negara yang menentukan hidup matinya seseorang, melainkan bahwa orang tersebut telah menentukan sendiri secara sadar cara untuk matinya (Zerial, 2008: 222 dan Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007: 394). Pembahasan yang juga menarik perhatian Zerial dalam konteks agama datang dari dissenting opinion yang disampaikan oleh Hakim Roestandi mengenai hubungan antara negara hukum (state law) dan hukum Islam (Shariah law). Hakim Roestandi mengakui fakta bahwa hukum Islam membolehkan adanya hukuman mati. Namun demikian, dia menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara norma agama yang bersifat internal terkait dengan motivasi dan niat, dengan norma hukum yang bersifat eksternal terkait dengan pelaksanaan secara lahiriyah.
Secara khusus, Hakim Roestandi juga mengatakan bahwa masyarakat Indonesia sangat pluralistik dan telah membuat kesepakatan nasional di dalam Pancasila dan UUD NRI 1945 sebagai hukum tertinggi. Dengan demikian, seharusnya tidak ada kontradiksi antara hukum Islam yang membolehkan hukuman mati dengan hukum sekuler yang melarangnya (dalam Faiz, 2015: 66). Dalam hukum pidana Islam, hukuman tidak hanya berfungsi sebagai pembalasan, tetapi juga memiliki fungsi pencegahan (umum dan khusus) serta perbaikan. Dalam kenyataannya juga sangat melindungi masyarakat dari tindakan jahat serta pelanggaran hukum (fungsi perlindungan) (Santoso, 2016: 150). 3.
Hukum Internasional Menurut
Zerial,
perspektif mengenai HAM internasional memiliki peran kunci dalam pembuatan Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007. Seluruh hakim konstitusi yang terlibat dalam memutus perkara tersebut sepakat untuk menggunakan pendekatan melalui instrumen internasional guna memperkaya cakrawala dalam menafsirkan UUD NRI 1945. Mahkamah Konstitusi juga mempertimbangkan bahwa walaupun penafsiran konstitusi merupakan isu utama dalam perkara ini, namun Mahkamah Konstitusi perlu menegaskan posisinya apakah hukuman mati bertentangan dengan kewajiban Indonesia dalam hukum internasional (dalam Faiz, 2015: 66). Dalam pembahasannya, Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa hak untuk hidup tidaklah mutlak sebagaimana tertuang di sejumlah instrumen hukum internasional, di antaranya: International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR); Protocol Additional I to the
Kebijakan Moderasi Pidana Mati (Mei Susanto & Ajie Ramdan)
| 205
1949 Conventions and Relating to the Protection of Victims of International Armed Conflict; Protocol Additional II to the 1949 Conventions and Relating to the Protection of Victims of NonInternational Armed Conflict; Rome Statute of International Criminal Court; Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (European Convention on Human Rights); American Convention on Human Rights; Protocol No. 6 to the Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms Concerning the Abolition of the Death Penalty.
Mahkamah Konstitusi menilai bahwa hukum yang berlaku pada saat itu di tingkat nasional adalah Undang-Undang Narkotika dan untuk tingkat internasional adalah Konvensi Narkotika dan Psikotropika yang telah diratifikasi oleh Indonesia tahun 1997 (dalam Faiz, 2015: 67). Dalam konteks ini, Mahkamah Konstitusi merujuk pada Pasal 3 ayat (5) dan ayat (6) serta Pasal 24 Konvensi tersebut yang memuat ketentuan bagi negara pihak untuk dapat memaksimalkan efektivitas penegakan hukum terkait tindak pidana narkotika dan psikotropika, termasuk dengan menerapkan langkah-langkah lebih keras yang dalam hal ini menurut Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi juga menyimpulkan termasuk dengan ancaman pidana mati. bahwa instrumen internasional tersebut memuat Mahkamah Konstitusi juga merujuk pada ketentuan tentang hukuman mati dengan batasanbatasan tertentu, sehingga tidak dapat dikatakan Pembukaan Konvensi untuk menyatakan bahwa bahwa penghapusan hukuman mati telah menjadi pada faktanya kejahatan narkotika merupakan norma hukum yang diterima secara universal kejahatan yang sangat serius (particularly oleh masyarakat internasional (dalam Faiz, 2015: serious) dengan menyandingkan antara kejahatan 66). Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah narkotika dengan genosida (genocide crime) Konstitusi memosisikan diri untuk menilai dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes apakah penjatuhan hukuman mati merupakan against humanity). Sebab, menurut Mahkamah pelanggaran bagi negara Indonesia terhadap Konstitusi, ketiga jenis kejahatan tersebut secara instrumen hukum internasional, khususnya negatif dapat memengaruhi “economic, cultural, ICCPR. Walaupun mengakui bahwa semangat and political foundation of society and cause a dari ICCPR adalah untuk menghapuskan danger of incalculable gravity” (dalam Faiz, hukuman mati, namun Mahkamah Konstitusi 2015: 67). berpendapat Pasal 6 ayat (2) ICCPR menyediakan Mahkamah Konstitusi berpendapat ruang bagi penjatuhan hukuman mati khusus bahwa keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi terhadap kejahatan-kejahatan yang paling serius Narkotika dan Psikotropika, yang memberikan (the most serious crimes). mandat untuk mengambil langkah nasional Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi menilai secara keras dalam memberantas kejahatan apakah kejahatan narkotika yang dapat dihukum narkotika, memiliki kedudukan lebih tinggi dengan pidana mati merupakan jenis kejahatan berdasarkan Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah paling serius. Menurut Mahkamah Konstitusi, Internasional apabila dibandingkan dengan frasa “kejahatan yang paling serius” harus dibaca Komisi HAM PBB yang berpendapat bahwa juga dengan frasa “sesuai dengan hukum yang kejahatan terhadap obat-obatan terlarang tidak berlaku pada saat kejahatan itu dilakukan.” termasuk dalam kejahatan yang paling serius. 206 |
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 193 - 215
Terhadap argumentasi ini, Zerial berpendapat bahwa kesimpulan Mahkamah Konstitusi cukup bermasalah untuk beberapa alasan. Mahkamah Konstitusi dinilainya telah mengabaikan pendapat dari Komisi HAM PBB yang termuat di dalam General Comment 6 yang diadopsi pada 1982 dan beberapa laporan negara anggota, di mana penafsiran secara langsung terhadap “most serious crimes” merujuk pada ICCPR dan HAM, sedangkan Konvensi Narkotika dan Psikotropika merujuk pada konteks keseriusan kejahatan narkotika secara umum (dalam Faiz, 2015: 67).
Moderasi pidana mati dalam sistem hukum Indonesia di masa yang akan datang sebagaimana disebutkan dalam Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 tersebut juga dapat dilihat dari beberapa ahli yang diundang dalam persidangan sesuai dengan kapasitasnya sebagai penyusun RKUHP baru sebagai pengganti KUHP lama warisan Kolonial Belanda. Terdapat tiga orang ahli, yaitu Nyoman Serikat Putrajaya, Muzdzakir dan Mardjono Reksodiputro. Salah satu pendapat menarik diungkapkan Mudzakkir yang menyatakan: “... tim perumus mencoba mengelaborasi dari yang ketat terhadap pidana mati kepada pidana mati yang bersifat lunak dengan prinsip tidak menghapuskan pidana mati tetapi bagaimana pidana mati itu tetap juga menjadi bagian di dalamnya, sehingga unsur keadilan (justice) dalam kehidupan masyarakat tetap...”.
Tiga isu penting yang telah dibahas oleh Zerial tersebut semakin menunjukkan kedalaman pembahasan dan pertimbangan yang dilakukan oleh para hakim konstitusi dalam memutus perkara konstitusionalitas pidana mati. Yang paling menarik menurut penulis adalah bagaimana mayoritas hakim mengkonstruksikan pidana mati tetap konstitusional, walaupun Pasal Dalam persidangan, ketiga ahli tersebut 28I UUD NRI 1945 menyebut hak hidup sebagai pada intinya menyebutkan bahwa dalam RKUHP hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi baru yang telah disusun telah terjadi kesepakatan dalam bentuk apapun. bersama bahwa untuk menjembatani tuntutan Sebagaimana telah disebutkan, mayoritas penghapusan pidana mati di satu sisi dan hakim berpendirian Pasal 28I UUD NRI 1945 mempertahankan pidana mati di sisi lain, maka tersebut harus dibaca secara satu kesatuan kebijakan pidana mati berbentuk: 1) pidana dengan Pasal 28J UUD NRI 1945 di mana mati dikeluarkan dari pidana pokok dan selalu pelaksanaan hak asasi manusia harus tunduk diancamkan selalu alternatif; 2) hanya tindak pula dengan kewajiban asasi manusia yang diatur pidana tertentu saja yang dapat diancamkan dengan undang-undang. Apalagi, nyata-nyata dengan pidana mati; 3) adanya penundaan ketentuan internasional yang mengatur perihal pelaksanaan pidana mati; dan 4) kemungkinan yang samapun masih memberikan pengecualian diubahnya pidana mati menjadi pidana seumur pembolehan pidana mati khususnya kepada hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun. tindak pidana serius. Pengecualian inilah yang Dengan demikian, para hakim konstitusi kemudian menjadi salah satu titik kulminasi yang juga mempertimbangkan pendapat-pendapat membuat pidana mati ke depannya seharusnya yang bersifat ke depan (futuristik), mengingat dimoderasikan dalam arti tetap dipertahankan sebagaimana telah disebutkan persoalan pidana namun hanya untuk tindak pidana tertentu saja. mati tidak hanya berkaitan dengan Undang-
Kebijakan Moderasi Pidana Mati (Mei Susanto & Ajie Ramdan)
| 207
Undang Narkotika yang sedang diuji, melainkan tindak pidana (individual and social damages) juga berkaitan dengan banyak undang-undang (Priyanto, 2006: 27). lainnya. Hal tersebut sebagaimana telah diulas Menurut Arief (2005: 293) dilihat dari dapat dilihat dari bagaimana cara para hakim tujuan pemidanaan, pidana mati pada hakikatnya konstitusi mengambil keputusan dengan bukan sarana utama/pokok untuk mengatur, mempertimbangkan beragam macam pendapat menertibkan, dan memperbaiki individu/ dan masukan, baik yang sifatnya filosofis, yuridis, masyarakat. Pidana mati hanya merupakan sosiologis, bahkan termasuk pertimbangan dari sarana terakhir/perkecualian. Hal ini dapat perspektif internasional. Dengan menggunakan diidentikkan dengan amputasi/operasi di bidang teori integratif ini, persoalan konstitusionalitas kedokteran, yang pada hakikatnya juga bukan pidana mati dan pidana mati di masa yang sarana/obat utama, tetapi hanya merupakan upaya akan datang harus dimoderasikan menemui perkecualian sebagai sarana/obat terakhir. Dengan landasannya. melihat berbagai macam analisis berkaitan dengan kehati-hatian dan kedalaman Putusan B. Analisis Kebijakan Moderasi Pidana Nomor 2-3/PUU-V/2007, maka dapat dikatakan Mati dalam RKUHP Tahun 2015 persoalan konstitusionalitas pidana mati sampai Sebagaimana sempat disinggung, saat dengan perlunya kebijakan moderasi pidana mati ke depan telah sesuai dengan teori integratif ini Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum yang dikemukakan oleh Muladi, tepatnya teori Pidana (RKUHP) telah diajukan pemerintah tujuan pemidanaan yang integratif berdasarkan ke DPR pada pertengahan 2015 sebagai upaya mengganti KUHP warisan Kolonial Belanda. kemanusiaan dalam Sistem Pancasila. Salah satu muatan dalam RKUHP tersebut Teori ini sebagaimana telah disebutkan, adalah mengenai pidana mati. Berdasarkan menjelaskan persoalan pidana dalam konteks uraian mengenai analisis Putusan Nomor 2-3/ kekinian sangat kompleks sebagai akibat dari PUU-V/2007, persoalan pidana mati haruslah usaha untuk lebih memperhatikan faktor-faktor dimoderasikan sebagai upaya menengahi yang menyangkut hak asasi manusia, serta tuntutan antara dipertahankannya pidana mati menjadikan pidana bersifat operasional dan dan dihapuskannya pidana mati dalam sistem fungsional. Untuk itu diperlukan pendekatan hukum Indonesia. multidimensional yang bersifat mendasar Apabila dilihat dari RKUHP yang saat terhadap dampak pemidanaan, baik yang menyangkut dampak yang bersifat individual ini sedang dibahas di DPR, model kebijakan moderasi pidana mati antara lain berbentuk: maupun dampak yang bersifat sosial. 1) penempatan pidana mati secara tersendiri di Pendekatan semacam ini mengakibatkan luar pidana pokok yang umum; 2) berkaitan adanya keharusan untuk memilih teori integratif dengan pelaksanaan pidana mati yang tentang tujuan pemidanaan yang dapat dapat dilaksanakan setelah permohonan mempengaruhi fungsinya dalam rangka mengatasi grasi bagi terpidana ditolak oleh presiden; kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh 3) pelaksanaan pidana mati dapat ditunda 208 |
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 193 - 215
dengan masa percobaan selama sepuluh tahun; 4) perubahan pidana mati menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun dengan keputusan menteri sebagai konsekuensi penundaan pelaksanaan pidana mati dengan masa percobaan selama sepuluh tahun pada poin 3; dan 5) perubahan pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati dilaksanakan selama sepuluh tahun bukan karena terpidana melarikan diri.
PUU-V/2007 yang berpendapat agar di masa mendatang dalam rangka pembaharuan hukum pidana nasional, beberapa hal harus sungguhsungguh menjadi perhatian, yaitu: 1) pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif; 2) pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun; 3) pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa; dan 4) eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil Konsep moderasi pidana mati tersebut dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan telah menimbulkan pro kontra di tengah sampai perempuan hamil tersebut melahirkan masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh. dari beberapa pernyataan misalnya yang mendukung Supriyadi Widodo, anggota Selanjutnya akan dianalisis moderasi Aliansi Nasional Reformasi KUHP, yang menilai pidana mati dalam RKUHP terhadap Putusan moderasi hukuman mati sebagai langkah maju Nomor 2-3/PUU-V/2007, yaitu: Pertama, (Widodo, 2016). Sementara itu yang menolak penempatan pidana mati secara tersendiri di luar walaupun tidak tegas misalnya Nasir Djamil, pidana pokok yang umum. Hal tersebut dapat anggota DPR, yang menilai pasal-pasal yang dilihat dari Pasal 66 RKUHP yang menyebutkan memoderasi pidana mati perlu diperdalam dan jenis pidana pokok terdiri atas: a) pidana penjara; diperdebatkan lagi mengingat ini dapat dikatakan b) pidana tutupan; c) pidana pengawasan; d) sebagai penyelundupan hukum (Djamil, 2016). pidana denda; dan d) pidana kerja sosial. Hakim Agung Topane Gayus Lumbuun pun mengingatkan pengambil kebijakan agar memperjelas pengertian kelakuan baik bagi terpidana mati, untuk menjamin kepastian hukum dan prinsip prudensial (Lumbuun, 2016). Perdebatan tersebut tentu sangat wajar, mengingat persoalan pidana mati mengandung dimensi politik dan ideologi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Pidana mati sendiri dimasukkan ke dalam pasal terpisah yaitu Pasal 67 RKUHP yang menyebutkan: “Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.” Dalam penjelasan Pasal 67 RKUHP sendiri, disebutkan mengapa pidana mati dicantumkan dalam pasal tersendiri, tidak lain untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus. Lebih lanjut menurut penjelasan tersebut dikatakan Untuk dapat melihat ketepatan terhadap “jika dibandingkan dengan jenis pidana yang kebijakan moderasi pidana mati dalam RKUHP lain, pidana mati merupakan jenis pidana tersebut, maka perlu untuk mengingatkan salah yang paling berat. Oleh karena itu, harus satu pertimbangan dalam Putusan Nomor 2-3/ selalu diancamkan secara alternatif dengan Kebijakan Moderasi Pidana Mati (Mei Susanto & Ajie Ramdan)
| 209
jenis pidana lainnya yakni pidana penjara dengan pelaksanaan pidana mati yang dapat seumur hidup atau pidana penjara paling dilaksanakan setelah grasi ditolak presiden lama 20 tahun.” tidak terdapat dalam pertimbangan Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007. Dalam UndangPenempatan pidana mati secara khusus Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, dan tersendiri tersebut adalah tepat sesuai Pasal 13 menyebutkan: “Bagi terpidana mati, dengan pertimbangan dalam Putusan Nomor kuasa hukum atau keluarga terpidana yang 2-3/PUU-V/2007. Dalam pembahasan RKUHP mengajukan permohonan grasi, pidana mati tidak di DPR, rumusan sementara yang telah disepakati dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden berupa: Pasal 65A “Pidana terdiri atas: a) Pidana tentang penolakan permohonan grasi diterima pokok; b) Pidana tambahan; dan c) Pidana yang oleh terpidana.” bersifat khusus untuk tindak pidana tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.” Adapun Pengaturan dalam Undang-Undang Grasi Pasal 69A yaitu: “Pidana yang bersifat khusus tersebut sebenarnya tidak menegaskan bahwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65A huruf eksekusi pidana mati dapat dilaksanakan setelah c adalah pidana mati yang selalu diancamkan grasi ditolak presiden, melainkan pengaturan secara alternatif” (DPR, 2016). yang sifatnya administratif di mana terpidana mati yang mengajukan grasi tidak dieksekusi jika Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana. Walau demikian, apabila menggunakan pendekatan kebijakan, maka pengaturan eksekusi pidana mati hanya dapat dilakukan ketika ada penolakan grasi dari presiden, merupakan kebijakan yang dapat dibenarkan, dengan pertimbangan telah melalui proses hukum yang benar, dan memberikan kesempatan bagi terpidana untuk mengakui dan Penjelasan Pasal 90 RKUHP menyatakan permohonan maaf kepada presiden menyebutkan: “... mengingat beratnya selaku kepala negara. pidana mati dan tidak mungkin dapat Kebijakan ini adalah open legal policy diperbaiki lagi apabila ada kekeliruan, yang tidak diatur secara tegas dalam konstitusi. maka pelaksanaannya baru dapat dilakukan Walau demikian, masih menimbulkan persoalan setelah presiden menolak permohonan grasi terutama ketika terpidana mati tidak berkehendak orang yang bersangkutan. Berkaitan dengan mengajukan grasi ke presiden. Padahal nyatapidana mati, Indonesia sudah mengikuti nyata misalnya pidana dilakukan secara konvensi Safeguards Quaranteeing keji dan kejam disertai tidak adanya alasan Protection on the Rights of those Facing the yang meringankan bagi terpidana, bahkan Death Penalty Economic and Social Council terpidana tidak menunjukkan rasa menyesal. Resolution 1984/50, adopted 25 May Karenanya klausul pelaksanaan pidana mati 1984.” Apabila dilihat, ketentuan berkaitan dapat dilaksanakan setelah grasi ditolak oleh Kedua, berkaitan dengan pelaksanaan pidana mati yang dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak oleh presiden. Hal tersebut disebutkan dalam Pasal 90 ayat (1) RKUHP. Ketentuan ini sendiri sebagai konsekuensi Pasal 89 RKUHP yang menyebut pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.
210 |
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 193 - 215
presiden tetap harus memberikan klausul yang mengecualikannya. Dalam pembahasan di DPR, rumusan sementara yang disepakati masih berupa: “Pidana mati dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak oleh presiden” yang terdapat dalam Pasal 100 ayat (1) (DPR, 2016).
yang artinya bersifat kumulatif bukan alternatif (pilihan). Seharusnya prasyarat untuk memberikan penundaan pelaksanaan pidana mati perlu memperhatikan pertimbangan yang lebih objektif lagi. Dalam pembahasan di DPR sendiri, rumusan sementara yang disepakati terdapat dalam Pasal 101 ayat (1) yang menyebutkan: “Dalam hal grasi ditolak maka pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama sepuluh tahun, jika: a) terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; b) reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar; dan c) ada alasan yang meringankan” (DPR, 2016).
Ketiga, pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama sepuluh tahun. Hal tersebut terdapat dalam Pasal 91 RKUHP, yang menyebutkan beberapa prasyarat penundaan masa pelaksanaan pidana mati, yaitu jika: a) reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar; b) terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; c) kedudukan terpidana Keempat, perubahan pidana mati menjadi dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu pidana seumur hidup atau pidana penjara paling penting; dan d) ada alasan yang meringankan. lama 20 tahun dengan keputusan menteri sebagai Beberapa prasyarat tersebut masih konsekuensi penundaan pelaksanaan pidana mati menimbulkan pertanyaan mengenai ukuran dengan masa percobaan selama sepuluh tahun objektif dan subjektif. Jika dilihat, ketentuan tersebut di mana terpidana menunjukkan sikap penundaan pelaksanaan pidana mati dengan dan perbuatan yang terpuji. Hal ini diatur dalam masa percobaan selama sepuluh tahun tersebut Pasal 91 ayat (2). sudah sesuai dengan Putusan Nomor 2-3/ Kebijakan semacam ini sebenarnya tepat PUU-V/2007, walau demikian putusan tersebut dan logis sebagai implikasi dari penundaan tidak memberikan prasyarat dalam hal penundaan pelaksanaan pidana mati, serta sesuai dengan masa pelaksanaan pidana mati. pertimbangan dalam Putusan Nomor 2-3/ Pengaturan prasyarat penundaan masa PUU-V/2007. Walau demikian, apabila dilihat pelaksanaan pidana mati dalam RKUHP tersebut dari teori hukum tata negara, khususnya berkaitan patut dipertanyakan, apalagi ukurannya yang dengan pejabat yang memberikan keputusan, maka tidak jelas dan sangat subjektif. Misalnya ini menimbulkan masalah. Walau bagaimanapun, berkaitan dengan “reaksi masyarakat terhadap putusan mengenai seseorang dijatuhkan pidana terpidana tidak terlalu besar” menimbulkan mati dikeluarkan oleh hakim atas nama negara, persoalan mengingat reaksi masyarakat sangatlah karena itu pengubahan status putusan tersebut beragam dan dalam kondisi kekinian sangat hanya dapat dilakukan oleh pejabat atas nama mungkin ada setting khusus dalam memberikan negara juga, bukan oleh menteri yang sifatnya reaksi terhadap terpidana mati. Apalagi prasyarat administratif. Dengan demikian, yang tepat tersebut menggunakan kata penghubung “dan,” adalah Keputusan Presiden selaku kepala negara.
Kebijakan Moderasi Pidana Mati (Mei Susanto & Ajie Ramdan)
| 211
Dalam pembahasan di DPR sendiri, rumusan sementara yang telah disepakati terdapat dalam Pasal 101 ayat (2) yaitu: “Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji maka pidana mati dapat diubah menjadi seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun dengan Keputusan Presiden” (DPR, 2016). Walaupun dari aspek kelembagaan tepat, namun apabila dicermati, klausul ini masih menyisakan persoalan yang sifatnya politis, mengingat perubahan pidana mati tersebut sebagai akibat penundaan eksekusi setelah grasi ditolak oleh presiden dengan jangka waktu sepuluh tahun. Itu artinya, penolakan grasi oleh presiden dapat diubah oleh Keputusan Presiden setelah sepuluh tahun, di mana dalam ketatanegaraan Indonesia, presiden masa jabatannya maksimal dua kali lima tahun, sehingga Keputusan Presiden yang mengubah pidana mati tersebut dapat dikatakan menggugurkan penolakan grasi oleh presiden sebelumnya. Dalam hal ini, dapat terjadi penurunan wibawa penolakan grasi oleh presiden sebelumnya, bahkan dalam hal tertentu sangat dimungkinkan untuk melakukan kampanye-kampanye tertentu dengan dasar akan memberikan perubahan pidana mati sebagai perbedaan sikap terhadap terpidana mati. Kelima, perubahan pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati dilaksanakan selama sepuluh tahun bukan karena terpidana melarikan diri. Hal ini diatur dalam Pasal 92. Ketentuan ini telah dibahas di poin empat sebelumnya.
yang diatur dalam Pasal 102 ayat (1): “Dalam hal syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) tidak dipenuhi, pidana mati dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung; ayat (2): “Apabila pidana mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan selama sepuluh tahun bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden.” Ketentuan ini kembali menimbulkan persoalan karena proses pelaksanaan pidana mati dapat diulur-ulur, dan apabila tidak dilaksanakan juga selama sepuluh tahun, maka dimungkinkan kembali perubahan pidana mati. Berdasarkan analisis yang telah dikemukakan, maka moderasi pidana mati dalam RKUHP yang diajukan pemerintah ke DPR pada pertengahan 2015 maupun hasil pembahasan sementara di DPR (sampai dengan awal tahun 2017), menunjukkan telah memuat beberapa prinsip yang diamanatkan Putusan Nomor 2-3/ PUU-V/2007. Walau demikian, model yang dimunculkan masih menimbulkan berbagai macam persoalan, khususnya berkaitan ukuran objektivitas dan konsistensi dalam mengubah pidana mati menjadi pidana seumur hidup ataupun penjara maksimal 20 tahun, serta proses penundaan pelaksanaan yang cukup lama. Selain itu, amanat putusan tersebut yang menyatakan pidana mati hanya dapat diterapkan pada jenis tindak pidana yang paling serius (the most serious crime), belum dirumuskan secara tepat. Hal tersebut setidaknya terlihat dari belum disepakatinya tindak pidana apa saja yang termasuk the most serious crime yang dapat diancamkan dengan pidana mati.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Menariknya, dalam pembahasan di DPR, menelisik ada 26 pasal yang memuat ancaman muncul ketentuan hasil kesepakatan sementara 212 |
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 193 - 215
pidana mati, yaitu: Pasal 222 berkaitan Makar terhadap Presiden dan Wakil Presiden; Pasal 223 berkaitan Makar terhadap NKRI; Pasal 235 ayat (2) berkaitan dengan Pengkhianatan terhadap Negara dan Pembocoran Rahasia Negara; Pasal 244 ayat (3) berkaitan dengan Sabotase dan Tindak Pidana pada Waktu Perang; Pasal 249 berkaitan Terorisme; Pasal 253 berkaitan dengan Terorisme dengan Menggunakan Bahan Kimia; Pasal 256 berkaitan dengan Pendanaan Untuk Terorisme; Pasal 258 berkaitan dengan Penggerakan, Pemberian Bantuan, dan Kemudahan Untuk Terorisme; Pasal 261 ayat (2) berkaitan dengan Perluasan Tindak Pidana Terorisme; Pasal 267 ayat (2) berkaitan dengn Makar terhadap Kepala Negara Sahabat; Pasal 400 ayat (1) berkaitan dengan Genosida; Pasal 400 ayat (2) berkaitan dengan Percobaan Genodisa; Pasal 401 ayat (1) berkaitan dengan Tindak Pidana terhadap Kemanusiaan; Pasal 401 ayat (2) berkaitan dengan Percobaan Tindak Pidana terhadap Kemanusiaan; Pasal 402 berkaitan dengan Tindak Pidana dalam Masa Perang atau Konflik Bersenjata; Pasal 209 ayat (2); Pasal 510 ayat (2); Pasal 512 ayat (2); Pasal 514 ayat (2), Pasal 515 ayat (2); Pasal 517 ayat (2) berkaitan dengan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika; Pasal 526 tentang Tindak Pidana Penyalahgunaan Psikotropika; Pasal 584 tentang Pembunuhan Berencana; Pasal 609 ayat (5) berkaitan dengan Tindak Pidana Pemerasan dan Pengancaman; Pasal 687 ayat (2) berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi; dan Pasal 755 ayat (2) berkaitan dengan Perbuatan yang Membahayakan Keselamatan Penerbangan (Eddyono et.al., 2015: 38-39).
kejahatan atau lebih dikarenakan melihat tingkat keseriusan kejahatan (gravity of the crimes). Di samping itu, juga terlihat tidak adanya konsistensi dalam menentukan kategori penetapan ancaman hukuman mati (Eddyono et.al., 2015: 39). Penilaian ICJR tersebut ada benarnya, apalagi jika digunakan pendekatan ketentuan hukum internasional dalam ICCPR yang hanya membolehkan pidana mati hanya untuk the most serious crime. Karena itu, seharusnya pemerintah dan DPR menentukan dulu dari aspek politik hukum, tindak pidana apa saja yang dalam konteks Indonesia dikategorikan sebagai the most serious crime, sehingga memiliki indikator yang jelas, dapat berasal dari sumber hukum internasional atau menentukan sendiri indikator sesuai dengan kedaulatan hukum Indonesia. IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan, maka dapat disimpulkan, pertama, Putusan Nomor 2-3/ PUU-V/2007 yang memuat kebijakan moderasi pidana mati telah sesuai dengan teori pemidanaan khususnya teori integratif dikarenakan sistem hukum Indonesia merupakan campuran berbagai macam sistem hukum, yaitu sistem hukum Belanda, sistem hukum adat, dan sistem hukum Islam, sehingga menentukan suatu kebijakan hukum tidak dapat lepas dari beragam sistem hukum tersebut, termasuk juga pengaruh dari ketentuan internasional. Kebijakan moderasi pidana mati merupakan upaya jalan tengah untuk mengintegrasikan berbagai macam sistem hukum yang berpengaruh terhadap sistem hukum Menurut Eddyono dan kawan-kawan, Indonesia. ancaman pidana mati terhadap beberapa tindak Kedua, kebijakan moderasi pidana mati pidana di RKUHP tersebut tidak jelas indikator yang terdapat dalam RKUHP yang saat ini penetapannya, apakah berdasarkan dampak dibahas di DPR beberapa di antaranya telah Kebijakan Moderasi Pidana Mati (Mei Susanto & Ajie Ramdan)
| 213
mengakomodir amanat Putusan Nomor 2-3/ Eddyono, S.W. et.al. (2015). Hukuman mati dalam RKUHP, jalan tengah yang meragukan. PUU-V/2007, seperti penentuan pidana mati Jakarta: ICJR. di luar pidana pokok, penundaan pidana mati, kemungkinan pengubahan pidana mati menjadi Effendi, A.M. (2005). Perkembangan dimensi hak pidana seumur hidup atau penjara paling lama 20 asasi manusia (HAM) & proses dinamika tahun. penyusunan hukum hak asasi manusia. Bogor: Kebijakan moderasi tersebut masih menimbulkan persoalan berkaitan dengan lembaga yang memberikan pengubahan pidana mati, persoalan grasi, dan lamanya penundaan pelaksanaan pidana mati. Namun demikian, Dalam RKUHP belum ada kesepakatan yang jelas mengenai tindak pidana apa saja yang memiliki indikator tertentu sehingga dapat dijatuhkan pidana mati. Hal inilah yang tidak sesuai dengan rekomendasi Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 yang menyebut pidana mati hanya berlaku untuk kejahatan paling serius saja.
Ghalia Indonesia. Eldridge, P. (2002). Human rights in post-Suharto Indonesia. The Brown Journal of World Affairs, IX(1), 127-139. Faiz, P.M. (2015, Februari). Pendekatan MK terhadap konstitusionalitas
hukuman
mati.
Kolom
Khazanah pada Majalah Konstitusi, No. 96. Hook, S. (1987). Hak asasi manusia dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Ibrahim, J. (2006). Teori & metodologi penelitian hukum normatif. Malang: Bayumedia. Istanto, F.S. (2007). Penelitian hukum. Yogyakarta: CV. Ganda. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring.
DAFTAR ACUAN
(2017). Diakses dari http://kbbi.kemdikbud. Affandi, H. (2013). Hak asasi manusia, pemerintahan yang baik, & demokrasi di Indonesia. Bandung:
Lamintang,
CV. Kancana Salakadomas. Arief, B.N. (2005). Pembaharuan hukum pidana dalam
perspektif
go.id/entri/moderasi.
kajian
perbandingan.
P.AF.
(1988).
Hukum
penitensier
Indonesia. Bandung: Armico. Lindsay, T., & Santosa, M.A. (2008). The trajectory of law reform in Indonesia: A short overview of
Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
legal systems & change in Indonesia. Lindsay, Budiardjo, M. (1977). Dasar-dasar ilmu politik. Jakarta: PT. Gramedia. Djamil,
N.
mati
(2016).
T. (Ed). Indonesia Law & society (2nd ed). NSW: Federation Press.
Moderasi
dipertanyakan.
hukuman
Diakses
dari
Lumbuun, mati
T.G.
(2016).
Moderasi
dipertanyakan.
hukuman
Diakses
dari
http://mediaindonesia.com/news
http://mediaindonesia.com/news
read/36738/moderasi-hukuman-mati
read/36738/moderasi-hukuman-mati-
dipertanyakan/2016-03-28#.
dipertanyakan/2016-03-28#.
Dewan
Perwakilan
Rakyat
(DPR).
(2016).
Mahkamah Konstitusi RI (MKRI). (2008). Enam
Pembahasan Buku I RKUHP. 214 |
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 193 - 215
tahun mengawal konstitusi & demokrasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Marzuki, P.M. (2005). Penelitian hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Muladi. (1984). Lembaga pidana bersyarat sebagai faktor yang mempengaruhi proses hukum pidana yang berperikemanusiaan. Bandung: Disertasi Univrsitas Padjadjaran. ______. (2002). Demokratisasi, hak asasi manusia, & reformasi hukum di Indonesia. Jakarta: The Habibie Center. Priyanto, D. (2006). Sistem pelaksanaan pidana penjara
di
Indonesia.
Bandung:
Refika
Aditama. Remmelink, J. (2003). Hukum pidana, komentar atas pasal-pasal terpenting dari kitab undangundang hukum pidana Belanda & padanannya dalam kitab undang-undang hukum pidana Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka. Santoso, T. (2016). Asas-asas hukum pidana Islam. Jakarta: Rajawali Pers. Supranto, J. (2003). Metode penelitian hukum & statistik. Cet. I. Jakarta: Penerbit Rinek Cipta. Setiardja, A.G. (1993). Hak-hak asasi manusia berdasarkan ideologi Pancasila. Yogyakarta: Kanisius. Widodo, S. (2016). Hukuman mati dapat diubah menjadi hukuman seumur hidup. Diakses dari https://beritagar.id/artikel/berita/hukumanmati-dapat-diubah-menjadi-hukuman-seumurhidup. Zerial, N. (2008). Decision No. 2-3/PUU-VI/2007 [2007] (Indonesian Constitutional Court). Australian International Law Journal, 14, 217226.
Kebijakan Moderasi Pidana Mati (Mei Susanto & Ajie Ramdan)
| 215
PERKEMBANGAN KEWENANGAN PEMBATALAN PERATURAN DAERAH DAN PERATURAN KEPALA DAERAH Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Nomor 56/PUU-XIV/2016
DEVELOPMENT OF REGULATORY AUTHORITY ANNULMENT OF LOCAL REGULATIONS AND REGIONAL HEAD REGULATIONS An Analysis of Constitutional Court Decision Number 137/PUU-XIII/2015 and Number 56/PUU-XIV/2016 Eka NAM Sihombing Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Jl. Kapten Muchtar Basri No. 3, Medan 20238 E-mail:
[email protected] Naskah diterima: 28 April 2017; revisi: 15 Agustus 2017; disetujui 15 Agustus 2017 ABSTRAK Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 menyatakan Pasal 251 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terkait dengan kewenangan pembatalan peraturan daerah kabupaten/kota tidak lagi bisa dibatalkan Menteri Dalam Negeri atau gubernur. Melengkapi putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016 menyatakan pemerintah pusat juga tidak lagi memiliki kewenangan untuk melakukan pembatalan peraturan daerah provinsi. Putusan tersebut tidak serta merta menyelesaikan persoalan terkait dengan kewenangan pembatalan peraturan daerah, hal ini dikarenakan putusan Mahkamah Konstitusi hanya berlaku bagi peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota. Rumusan masalah yang akan diurai dalam tulisan ini adalah bagaimana kewenangan pembatalan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah oleh Menteri dan gubernur pasca Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Nomor 56/PUUXIV/2016. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam negara dengan bentuk kesatuan memang sudah sepatutnya pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi diberikan kewenangan
untuk melakukan pengawasan terhadap regulasi yang lahir di daerah. Implementasi dari pengawasan tersebut dapat dilakukan dengan melakukan pembinaan kepada daerah melalui penguatan executive preview atau pengujian terhadap suatu norma hukum sebelum sah mengikat secara umum, hal ini sejalan dengan ruh ketentuan Pasal 24A UUD NRI 1945. Kata kunci: pembatalan, peraturan daerah, peraturan kepala daerah.
ABSTRACT Constitutional Court Decision Number137/PUUXIII/2015 stated in Article 251 of Law Number 23 of 2014 on Local Government related to the issue if regulatory authority annulment of local and leaders regulations can no longer be withdrawn by the Minister of Home Affairs or Governor. Completing the decision, the Constitutional Court through Decision Number 56/ PUU-XIV/2016 stated that the Central Government also no longer has the authority to annul the Provincial Regulation. The Constitutional Court Decision does not necessarily solve the problems related to the authority annulment of the local regulations. This is because
Perkembangan Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah (Eka NAM Sihombing)
| 217
the Constitutional Court Decision only applies to the Provincial Regulation and District/City Regulation. The formulation of the problems elaborated through this analysis is how the Authority Annulment of Regional Regulation by the Minister and the Governor after the issuance of Court Decision Number 137/PUUXIII/2015 and Constitutional Court Decision Number 56/PUU-XIV/2016. This analysis makes use of the legal juridical normative research method. The results show that in a state of unity it is appropriate that higher levels
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Ketentuan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, secara eksplisit memberikan kewenangan bagi Menteri Dalam Negeri dan gubernur secara berjenjang untuk membatalkan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan. Pembatalan suatu peraturan daerah merupakan kewenangan pemerintah dalam kaitannya melaksanakan proses pengawasan kepada daerah (Budiputra, 2015: 4). Pengawasan terhadap peraturan daerah maupun peraturan kepala daerah ini lahir dari kewenangan pengawasan pemerintah pusat terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia khususnya mengenai peraturan yang dibuat daerah. Namun dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada tanggal 5 April 2017, melalui Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 menyatakan Pasal 251 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terkait dengan kewenangan pembatalan peraturan daerah 218 |
of government are given the authority to supervise the regulations set in the regions. The supervision can be implemented by conducting such a guidance to the region through the strengthening of executive preview or legal norm review before it is legally binding in general. This is in line with the spirit of Article 24A of the 1945 Constituition of the Republic of Indonesia. Keywords: annulment, local regulation, regional head regulation.
kabupaten/kota tidak lagi bisa dibatalkan Menteri Dalam Negeri atau gubernur. Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya menyatakan bahwa frase “peraturan daerah kabupaten/kota dan” dalam ketentuan Pasal 251 ayat (2) dan (4), frase “peraturan daerah kabupaten/kota dan/atau” dalam Pasal 251 ayat (3), dan frase “penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan daerah kabupaten/kota dan” Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan Mahkamah Konsttusi ini tidak bulat, karena diwarnai dengan pendapat berbeda (dissenting opinion) dari empat hakim konstitusi yang menolak mencabut kewenangan Menteri Dalam Negeri dalam membatalkan peraturan daerah. Alasannya, dalam otonomi daerah, tanggung jawab penyelenggaraan pemerintah berakhir di presiden. Selanjutnya, melengkapi Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 56/PUUXIV/2016 menyatakan pemerintah pusat tidak lagi memiliki kewenangan untuk melakukan pembatalan peraturan daerah provinsi.
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 217 - 234
Putusan tersebut tidak serta merta menyelesaikan persoalan terkait dengan kewenangan pemerintah dalam produk hukum daerah, hal ini dikarenakan putusan Mahkamah Konstitusi hanya berlaku bagi peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota, sedangkan peraturan kepala daerah (peraturan gubernur dan peraturan bupati/wali kota), gubernur maupun Menteri Dalam Negeri masih berwenang membatalkannya. Mahkamah Konstitusi berpendapat dalam pertimbangannya bahwa:
B.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut, yaitu: bagaimana kewenangan pembatalan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah pasca Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Nomor 56/PUU-XIV/2016? C.
Tujuan dan Kegunaan
Tulisan ini bertujuan untuk menelusuri konstitusionalitas kewenangan pembatalan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah oleh Menteri dan gubernur pasca Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Nomor 56/PUUXIV/2016. Lebih lanjut, tulisan ini diharapkan memiliki kegunaan sebagai berikut:
“...oleh karena peraturan kepala daerah merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, akan tetapi oleh karena dibentuk oleh kepala daerah sebagai satuan bestuur yang lebih tinggi memiliki kewenangan untuk membatalkan peraturan kepala daerah. Pembatalan dan mekanisme pengajuan 1. keberatan pembatalan peraturan kepala daerah dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah merupakan bagian dari mekanisme pengajuan keberatan pembatalan peraturan kepala daerah dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah merupakan bagian dari mekanisme pengawasan dari presiden 2. atau menteri dan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau dengan kata lain sebagai suatu bentuk pengawasan, bukan pengujian peraturan perundang-undangan dalam lingkungan bestuur yang lebih tinggi terhadap satuan bestuur yang lebih rendah.”
Problematika kewenangan pembatalan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah pasca putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas menarik untuk dikupas lebih dalam, terutama apabila dikaitkan dengan aspek konstitusionalitas kewenangan pembatalan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang berdasarkan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945 diberikan kepada Mahkamah Agung.
Rumusan Masalah
Secara teoritis hasil penelitian ini adalah untuk memberikan pengembangan ilmu hukum khususnya yang terkait dengan kewenangan pembatalan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Secara praktis, hasil penelitian ini juga akan berguna bagi kalangan praktisi, baik itu DPRD, pemerintah daerah maupun bagi siapa saja yang menaruh minat dalam bidang ini.
D.
Tinjauan Pustaka
1.
Teori Jenjang Norma
Kelsen mengemukakan bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal teori jenjang hukum (stufentheorie). Dalam teori tersebut Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan) dalam arti suatu norma yang lebih tinggi berlaku,
Perkembangan Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah (Eka NAM Sihombing)
| 219
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu norma dasar (grundnorm). “The grundnorm is not constitution, it is simply the presuppotion, demanded by theory, that this constitution ought to be obeyed” (Dias, 1985: 365).
berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar antara lain (Farida, 2010: 41): a.
Staatsfundamentalnorm fundamental negara);
(norma
b. Staatsgrundgesetz (aturan dasar/aturan Norma dasar merupakan norma tertinggi pokok negara); dalam suatu sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, c. Formell gesetz (undang-undang ”formal”); tetapi norma dasar itu ditetapkan terlebih dahulu d. Verordnung & Autonome satzung (aturan oleh masyarakat sebagai norma dasar yang pelaksana/aturan otonom). merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga suatu norma dasar Menurut Nawiasky, isi itu dikatakan pre-supposed (Farida, 2010: 41). staatsfundamentalnorm ialah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi Menurut Kelsen suatu norma hukum itu atau undang-undang dasar dari suatu selalu bersumber dan berdasar pada norma yang negara (staatsverfassung), termasuk norma di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu pengubahannya. Hakikat hukum suatu staatsjuga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi fundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya norma yang lebih rendah daripadanya. Dalam suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Ia hal tata susunan/hierarki sistem norma, norma ada terlebih dulu sebelum adanya konstitusi yang tertinggi (norma dasar) itu menjadi tempat atau undang-undang dasar (Farida, 2010: 41). bergantungnya norma-norma di bawahnya, Selanjutnya Nawiasky mengatakan norma sehingga apabila norma dasar itu berubah akan tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma menjadi rusaklah sistem norma yang ada di dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya bawahnya (Farida, 2010: 41). tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan Nawiasky mengembangkan teori Kelsen staatsfundamentalnorm atau norma fundamental tentang jenjang norma dalam kaitannya dengan negara. Grundnorm mempunyai kecenderungan norma hukum suatu negara yang menyatakan untuk tidak berubah atau bersifat tetap, sedangkan suatu norma hukum dari negara manapun selalu di dalam suatu negara norma fundamental negara berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang. Norma itu dapat berubah sewaktu-waktu karena adanya yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pemberontakan, kudeta, dan sebagainya (Farida, pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih 2010: 41). tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada suatu Indonesia sebagai negara hukum yang norma yang tertinggi yang disebut norma dasar. menganut ajaran negara berkonstitusi seperti Sebagai murid Kelsen, teori yang dikembangkan negara-negara modern lainnya, memiliki Nawiasky selain norma itu berlapis-lapis dan
220 |
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 217 - 234
konstitusi tertulis yang disebut UUD NRI 1945. UUD NRI 1945 ini ditempatkan sebagai fundamental law sehingga menjadi hukum dasar atau sumber pembuatan hukum-hukum yang lainnya dan sebagai higher law UUD NRI 1945 merupakan hukum tertinggi dalam tata urutan perundang-undangan Republik Indonesia (Manan, 1993: 41-42). Secara kontekstual dalam sistem hierarki peraturan perundang-undangan dikenal dengan tiga asas mendasar. Adapun tiga asas sebagaimana dimaksud antara lain asas lex superior de rogat lex inferior, lex specialist derogat lex generalis, lex posterior de rogat lex priori (Hamidi et.al., 2012: 19).
undangan yang dibentuk dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun yang setara. Dalam hal ini, UUD NRI 1945 dijadikan sebagai hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan.
a. Asas lex superior de rogat lex inferior, peraturan yang lebih tinggi akan mengesampingkan peraturan yang lebih rendah apabila mengatur substansi yang sama dan bertentangan.
Berlakunya prinsip otonomi dalam negara Indonesia yang membagi kewenangan antara pusat dan daerah diharapkan segala urusan baik yang bersifat wajib ataupun pilihan dapat dilaksanakan sesuai dengan kewenangan masingmasing yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kewenangan daerah dalam pelaksanaan otonomi ini telah diisyaratkan oleh UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah di dalam penjelasan umum disebutkan bahwa daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai otonomi, berwenang mengatur dan mengurus daerahnya sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan hukum nasional dan kepentingan umum.
UUD NRI 1945 sebagai hukum dasar peraturan perundang-undangan mengatur tentang kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusannya, dalam Pasal 18 ayat (2) UUD NRI 1945 disebutkan bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (Asshiddiqie, 2009: 58). Lebih lanjut Berdasarkan studi ilmu hukum tiga asas Pasal 18 ayat (6) menegaskan pemerintahan sebagaimana dimaksud merupakan pilar penting daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan dalam memahami konstruksi hukum perundang- peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan undangan di Indonesia secara detail dapat otonomi dan tugas pembantuan (Asshiddiqie, dijelaskan bahwa (Hamidi et.al., 2012: 19): 2009: 58).
b. Asas lex specialist derogat lex generalis, peraturan yang lebih khusus akan mengesampingkan peraturan yang umum apabila mengatur substansi yang sama dan bertentangan. c. Asas lex posterior de rogat lex priori, peraturan yang baru akan mengesampingkan peraturan yang lama.
Dengan demikian, dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan sistem hierarki peraturan Dalam rangka memberikan ruang yang perundang-undangan, sehingga tercipta keharmonisan antara peraturan perundang- lebih luas kepada daerah untuk mengatur dan
Perkembangan Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah (Eka NAM Sihombing)
| 221
mengurus kehidupan warganya maka pemerintah pusat dalam membentuk kebijakan harus memperhatikan kearifan lokal dan sebaliknya daerah ketika membentuk kebijakan daerah baik dalam bentuk peraturan daerah maupun kebijakan lainnya hendaknya juga memperhatikan kepentingan nasional. Dengan demikian akan tercipta keseimbangan antara kepentingan nasional yang sinergis dan tetap memperhatikan kondisi, kekhasan, dan kearifan lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan (Penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014). Daerah melaksanakan otonomi daerah yang berasal dari kewenangan presiden yang memegang kekuasaan pemerintahan.
menguji terhadap peraturan perundang-undangan khususnya undang-undang dan peraturan lain di bawah undang-undang, sebaliknya judicial review berarti peninjauan terhadap peraturan perundang-undangan oleh lembaga pengadilan (Sinamo, 2016: 157). Sehingga pada dasarnya menurut Fatmawati (2005: 5) kedua istilah tersebut mengandung arti yang sama, yaitu kewenangan untuk menguji atau meninjau.
Perbedaannya adalah dalam istilah judicial review sudah secara spesifik ditentukan bahwa kewenangan tersebut dimiliki oleh pelaksana lembaga pengadilan (Fatmawati, 2005: 5). Huda (2009: 115) menyatakan istilah “hak menguji” berbeda dengan “judicial review.” Kalau kita Mengingat tanggung jawab akhir berbicara mengenai hak menguji, orientasinya penyelenggaraan pemerintahan ada di tangan ialah ke Kontinental Eropa (Belanda), presiden, maka konsekuensi logisnya kewenangan sedangkan judicial review orientasinya ialah ke untuk membatalkan peraturan daerah ada di tangan Amerika Serikat. Walau tujuannya sama, dalam presiden. Adalah tidak efisien apabila presiden perkembangan selanjutnya apa yang dilaksanakan yang langsung membatalkan peraturan daerah. oleh negara-negara Eropa yang menganut sistem Presiden melimpahkan kewenangan pembatalan civil law berbeda dengan negara-negara yang peraturan daerah provinsi kepada Menteri menganut sistem common law (Huda, 2009: 115). sebagai pembantu presiden yang bertanggung Dalam sejarah konstitusi dan peraturan jawab atas otonomi daerah. Sedangkan untuk perundang-undangan kita, pemikiran mengenai pembatalan peraturan daerah kabupaten/kota, pengujian ini pernah dilontarkan oleh Mohammad presiden melimpahkan kewenangannya kepada Yamin pada saat pembahasan rancangan gubernur selaku wakil pemerintah pusat di daerah undang-undang dasar di Badan Penyelidik (Penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia 2014). (BPUPKI). Mohamad Yamin melontarkan pemikiran mengenai perlunya suatu lembaga 2. Perkembangan Kewenangan Pengujian yang melakukan pengujian konstitusionalitas Peraturan Perundang-undangan undang-undang sekaligus mengusulkan agar Dalam konteks ilmu perundang-undangan masuk dalam rumusan rancangan undangtelah dikenal istilah hak menguji (toetsingrecht) undang dasar yang tengah disusun (Natabaya, dan juga dikenal istilah Judicial Review (Sinamo, 2008: 185-186). 2016: 157). Jika diartikan secara etimologis dan terminologis, toetsingrecht berarti hak
222 |
Mohammad Yamin membicarakan tentang alat perlengkapan negara Indonesia yang
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 217 - 234
disebutnya dengan enam kekuasaan (the six powers of the Republic of Indonesia), khusus tentang Balai Agung dan Mahkamah Tinggi mengatakan (Rauta, 2016: 85): Mahkamah inilah yang setinggi-tingginya sehingga dalam membanding undang-undang, maka Balai Agung inilah yang akan memutus apakah sejalan dengan hukum adat, syariah, dan UndangUndang Dasar. Namun gagasan Mohammad Yamin tersebut ditolak oleh Soepomo dengan alasan lembaga ini tidak sesuai dengan sistem berpikir undang-undang dasar yang saat itu disusun atas dasar prinsip supremasi parlemen dengan menempatkan MPR sebagai Lembaga Negara Tertinggi (Natabaya, 2008: 185-186). Soepomo menambahkan argumentasi bahwa kondisi dari negara Indonesia diawal kemerdekaan yang belum memiliki sarjana hukum yang banyak dan memiliki pengalaman dalam judicial review, sehingga keputusannya saat itu Mahkamah Agung tidak diberikan kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar (Farida, tt: 1.7). Dengan perkataan lain kewenangan menguji undangundang terhadap undang-undang dasar maupun peraturan perundang-undangan lainnya terhadap undang-undang tidak dicantumkan dalam UUD NRI 1945 sebelum perubahan.Lebih lanjut Farida menyatakan bahwa sesuatu yang menarik untuk menjadi sejarah dalam ketatanegaraan yang pernah ada di Indonesia adalah pada saat konstitusi RIS berlaku, pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar sempat dikenal, walaupun dengan batasan hanya pada pengujian terhadap undang-undang negara bagian kepada konstitusi sebagaimana diatur pada Pasal 156, Pasal 157, dan Pasal 158 Konstitusi RIS.
terhadap undang-undang juga tidak diatur dan dianut dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dalam kurun 1970-1998 pengujian peraturan perundang-undangan dalam perspektif pembagian kekuasaan yang dianut oleh UUD NRI 1945, tidak mengenal pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar, tetapi pengujian peraturan di bawah undang-undang. Hal ini didasarkan pada perolehan kekuasaan di masing-masing lembaga negara yang menurut UUD NRI 1945 diberikan atas dasar delegasi kewenangan dari MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat (Hoesein, 2009: 304). Kekuasaan negara yang timbul (sebelum Amandemen UUD Tahun 1945:sic) pada dasarnya bermuara pada MPR, dan MPR selanjutnya membagi-bagi kekuasaan tersebut kepada lembaga negara untuk dilaksanakan dalam rangka menjalankan amanat UUD NRI 1945 (Hoesein, 2009: 304). Lebih lanjut Hoesein (2009: 304305) menyatakan bahwa kewenangan yang timbul dan dilekatkan pada lembaga negara, pada hakikatnya kewenangan-kewenangan yang secara eksplisit diserahkan kepada badan atau lembaga negara yang bersangkutan, seperti kewenangan di bidang kehakiman diserahkan kepada lembaga Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di bawahnya.
Hoesein (2009: 305) menyatakan pengujian peraturan perundang-undangan memiliki posisi, tugas, dan fungsi yang sangat penting dalam perspektif ketatanegaraan Indonesia pasca perubahan UUD NRI 1945. Dalam hubungan ini pengujian peraturan perundang-undangan merupakan kontrol normatif terhadap segala bentuk produk hukum sesuai dengan tingkatan atau hierarki normatifnya, sehingga dominasi mayoritas dapat dihindari dan rasa keadilan serta Setelah berlakunya kembali UUD NRI 1945 kebenaran dapat ditegakkan oleh lembaga yang melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, pengujian berwibawa (Hoesein, 2009: 305). Perkembangan Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah (Eka NAM Sihombing)
| 223
Seiring dengan dilakukannya perubahan terhadap UUD NRI 1945 pada tahun 1999 sampai dengan 2002. Kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan, oleh UUD NRI 1945 diberikan kepada lembaga Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap undangundang dasar dan Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. 3. Pengujian terhadap Peraturan Perundang-Undangan di Bawah Undang-Undang Sebagai sebuah sistem peraturan perundang-undangan, Soebechi (2012: 180) menyatakan bahwa kesatuan tatanan hukum seharusnya tidak ada pertentangan antara norma hukum satu sama lainnya. Dalam praktiknya, tidak dapat dipungkiri bahwa pertentangan antara norma hukum sering terjadi. Menurut Kelsen, tidak ada jaminan absolut bahwa norma yang lebih sesuai dengan norma yang lebih tinggi. Hal tersebut dapat terjadi karena organ hukum yang berwenang membuat norma hukum menciptakan norma-norma yang bertentangan (Soebechi, 2012: 180).
perundang-undangan tersebut diundangkan adalah dengan melakukan seluruh rangkaian proses pembentukan peraturan perundangundangan yang berpedoman pada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik maupun asas materi muatan peraturan perundang-undangan. Sedangkan upaya yang dapat dilakukan setelah peraturan perundangundangan tersebut diberlakukan adalah melalui permohonan pengujian peraturan perundangundangan kepada lembaga kehakiman. Sekalipun pengujian terhadap peraturan perundang-undangan sebenarnya tidak masuk dalam definisi pembentukan peraturan perundangundangan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, namun mengingat adanya kebutuhan hukum, masukan, keresahan, dan keberatan sebagian besar pemangku kepentingan terkait dengan pembatalan dan/atau pencabutan peraturan perundang-undangan di bawah UU, terutama peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota yang dibatalkan dan atau dicabut dengan perpres atau permendagri, maka substansi mengenai uji materi peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 (Yani, 2013: 74-75). Lebih lanjut Yani (2013) menyatakan bahwa substansi uji materiil atas peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dapat disebut sebagai terobosan hukum, sebab pengujian peraturan perundangundangan terintegrasi dalam sistem pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Antara satu norma hukum dengan norma hukum lainnya bahwa dimungkinkan terjadi ketidaksamaan (ketidakharmonisan:sic), dalam hal ini Kelsen menyebutnya dengan terjadinya konflik antar norma hukum dari berbagai tingkatan (Soebechi, 2012: 180). Untuk menghindari terjadinya konflik antar norma hukum (disharmoni antar norma hukum) dalam hal ini peraturan perundang-undangan, dapat dilakukan sebelum atau sesudah peraturan perundang-undangan tersebut diundangkan. Ketentuan tentang uji materiil atas Upaya yang dilakukan sebelum peraturan peraturan perundang-undangan di bawah undang224 |
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 217 - 234
undang paling tidak menjawab kebutuhan untuk Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 menyelesaikan masalah uji materiil secara benar Tahun 2011 menyebutkan bahwa: berdasarkan konstitusi, serta harapan agar ke “Jenis peraturan perundang-undangan depan hal-hal yang dianggap bertentangan atau selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang tidak sesuai dengan kebijakan regulasi yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan diatur dalam peraturan perundang-undangan di Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah bawah undang-undang hanya dapat dicabut dan/ Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan atau dibatalkan oleh Mahkamah Agung (Yani, Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, 2013: 74-75). Ketentuan tersebut berdasarkan Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk amanat Pasal 24A UUD NRI 1945 yang secara dengan undang-undang atau pemerintah tegas menentukan bahwa pengujian peraturan atas perintah Undang-Undang, Dewan perundang-undangan di bawah undang-undang Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat merupakan kewenangan Mahkamah Agung, Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Wali yaitu lembaga yudikatif bukan eksekutif (Yani, kota, Kepala Desa atau yang setingkat.” 2013: 74-75). Penjabaran lebih lanjut mengenai Berdasarkan kewenangan yang diberikan kewenangan pengujian oleh Mahkamah oleh ketentuan Pasal 24A UUD NRI 1945, Agung diatur dalam Pasal 20 ayat (2) huruf Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan b Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 pemerintah, peraturan presiden, peraturan daerah tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan yang secara hierarki berada di bawah undang- perundang-undangan di bawah undang-undang undang (Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor terhadap undang-undang (Ketentuan ini 12 Tahun 2011) dan peraturan perundang- mengatur mengenai hak uji Mahkamah Agung undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 terhadap peraturan perundang-undangan yang ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, lebih rendah dari undang-undang. yang masing-masing berbunyi sebagai berikut: Hak uji dapat dilakukan baik terhadap “Jenis dan hierarki peraturan perundangmateri muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undangan terdiri atas: dari peraturan perundang-undangan yang a. Undang-Undang Dasar Negara bertentangan dengan peraturan perundangRepublik Indonesia Tahun 1945; undangan yang lebih tinggi maupun terhadap b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan pembentukan peraturan perundang-undangan). Rakyat; Instrumen yang dijadikan batu uji dalam c. U n d a n g - U n d a n g / P e r a t u r a n pengujian peraturan perundang-undangan di Pemerintah Pengganti; bawah undang-undang adalah undang-undang d. Peraturan Pemerintah; dan peraturan perundang-undangan yang lebih e. Peraturan Presiden; tinggi dari peraturan perundang-undangan yang diuji. f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.”
Perkembangan Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah (Eka NAM Sihombing)
| 225
II.
METODE
prinsip otonomi dalam negara Indonesia yang membagi kewenangan antara pusat dan daerah diharapkan segala urusan baik yang bersifat wajib ataupun pilihan dapat dilaksanakan sesuai dengan kewenangan masing-masing yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode penelitian hukum yuridis normatif. Penelitian hukum normatif yaitu pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep asas-asas hukum, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, Kewenangan daerah dalam pelaksanaan perjanjian serta. otonomi ini telah diisyaratkan oleh UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Mengambil istilah Dworkin, penelitian Pemerintahan Daerah. Dalam penjelasan umum semacam ini juga disebut dengan istilah penelitian disebutkan bahwa daerah sebagai satu kesatuan doktrinal (doctrinal research) yaitu penelitian masyarakat hukum yang mempunyai otonomi yang menganalisis hukum, baik yang tertulis di berwenang mengatur dan mengurus daerahnya dalam buku (law as it is written in the book). sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakatnya Dalam penelitian ini bahan kepustakaan dan studi sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan dokumen dijadikan sebagai bahan utama. hukum nasional dan kepentingan umum. Adapun sifat penelitian yang dipergunakan dalam tulisan ini adalah preskriptif, berpegang pada karakteristik ilmu hukum sebagai ilmu terapan, preskripsi yang diberikan di dalam kegiatan penelitian hukum harus dapat dan mungkin untuk diterapkan (Marzuki, 2011: 251). Oleh karena itu yang dihasilkan oleh penelitian hukum, sekalipun bukan asas hukum yang baru atau teori baru, paling tidak argumentasi baru (Marzuki, 2011: 251).
Dalam rangka memberikan ruang yang lebih luas kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kehidupan warganya maka pemerintah pusat dalam membentuk kebijakan harus memperhatikan kearifan lokal dan sebaliknya daerah ketika membentuk kebijakan daerah baik dalam bentuk peraturan daerah maupun kebijakan lainnya hendaknya juga memperhatikan kepentingan nasional. Dengan demikian akan tercipta keseimbangan antara kepentingan nasional yang sinergis dan tetap III. HASIL DAN PEMBAHASAN memperhatikan kondisi, kekhasan, dan kearifan A. Kewenangan Pembatalan Peraturan lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah secara keseluruhan. Pasca Putusan Nomor 137/PUUUrusan pemerintahan dibagi atas tiga antara XIII/2015 dan Nomor 56/PUU-XIV/2016 Ketentuan Pasal 18 ayat (2) UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Berlakunya 226 |
lain: urusan pemerintahan absolut, konkuren, dan umum. Urusan pemerintahan yang konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat, daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan konkuren ini dibagi antara lain yang bersifat wajib dan
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 217 - 234
pilihan untuk dilaksanakan oleh pemerintahan daerah dalam bentuk peraturan daerah. Situasi ini membuat peraturan daerah makin mempunyai kedudukan yang strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara atau dengan kata lain peran peraturan daerah dalam melaksanakan urusan pemerintahan menjadi sangat besar.
Selain mempunyai kedudukan strategis dan berbagai fungsi, peraturan daerah juga mempunyai materi muatan tersendiri. Menurut Soehino, materi yang dapat diatur dalam peraturan daerah meliputi: 1.
Materi-materi atau hal-hal yang memberi beban kepada penduduk, misalnya pajak daerah dan retribusi daerah;
Kedudukan yang strategis dari peraturan daerah dalam menjalankan urusan pemerintahan 2. Materi-materi atau hal-hal yang dapat menjadi baik jika pembentukan peraturan mengurangi kebebasan penduduk, daerah tersebut dilakukan dengan baik dan misalnya mengadakan larangan-larangan menjadi bumerang jika dilakukan dengan tidak dan kewajiban-kewajiban yang biasanya baik (Pakpahan, 2010: 5). Selain mempunyai disertai dengan ancaman atau sanksi kedudukan yang strategis, peraturan daerah pidana; juga mempunyai berbagai fungsi yaitu (DJPP Kemenkum dan HAM RI, 2011: 9): 3. Materi-materi atau hal-hal yang membatasi hak-hak penduduk, misalnya penetapan 1. Sebagai instrumen kebijakan untuk garis sepadan; melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan sebagaimana diamanatkan 4. Materi-materi atau hal-hal yang telah dalam UUD NRI 1945 dan Undangditentukan dalam peraturan perundangUndang tentang Pemerintahan Daerah; undangan yang sederajat dan tingkatannya 2. Merupakan peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam fungsi ini, peraturan daerah tunduk pada ketentuan hierarki peraturan perundang-undangan. Dengan demikian peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; 3. Sebagai
penampung kekhususan dan keragaman daerah, namun dalam pengaturannya tetap dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD NRI 1945;
lebih tinggi, harus diatur dengan peraturan daerah (Soehino, 1997: 8). Secara normatif, materi muatan peraturan daerah dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa materi muatan peraturan daerah provinsi maupun peraturan daerah kabupaten/kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Selanjutnya Sihombing & Marwan (2017: 137) menguraikan bahwa:
4. Sebagai alat pembangunan dalam “Materi muatan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan daerah. penyelenggaraan otonomi daerah dan
Perkembangan Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah (Eka NAM Sihombing)
| 227
tugas pembantuan mengandung makna bahwa pembentukan peraturan daerah harus didasarkan pada pembagian urusan antara pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan perundang-undangan lainnya. Berkaitan dengan materi muatan dalam rangka menampung kondisi khusus daerah, mengandung makna bahwa peraturan daerah sebagai peraturan yang mengabstraksi nilai-nilai masyarakat di daerah yang berisi materi muatan nilai-nilai yang diidentifikasi sebagai kondisi khusus daerah. Berkaitan dengan penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi bermakna bahwa secara yuridis pembentukan peraturan daerah bersumber kepada peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Dengan kata lain pembentukan peraturan daerah harus berdasarkan pendelegasian dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.”
dimaksud pada ayat (3) peraturan daerah dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Materi muatan peraturan kepala daerah berdasarkan ketentuan Pasal 246 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 adalah materi untuk melaksanakan peraturan daerah atau atas kuasa peraturan perundang-undangan. Kewenangan pemerintah daerah dalam menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain (termasuk peraturan kepala daerah) telah diakui secara konstitusional. Akan tetapi, Sabarno (2007: 197) menyatakan bahwa pembentukan peraturan daerah tidak dapat bersandarkan pada kewenangannya sendiri, karena daerah berada pada kuasa lingkungan hukum publik nasional. Dalam pembentukannya telah ditetapkan Dalam ketentuan Pasal 236 Undang- serangkaian asas meliputi kejelasan tujuan, Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, Pemerintahan Daerah menentukan bahwa materi kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dapat muatan peraturan daerah adalah sebagai berikut: dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan serta keterbukaan. Di samping 1. Untuk menyelenggarakan otonomi daerah itu juga, tidak boleh bertentangan dengan dan tugas pembantuan, daerah membentuk peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. peraturan daerah. Semua parameter tersebut tentunya bertujuan agar konsep otonomi daerah berjalan pada jalur yang telah ditetapkan, semakin mendekatkan pelayanan pemerintah daerah 3. Peraturan daerah sebagaimana dimaksud kepada masyarakat dan yang terpenting tidak pada ayat (1) memuat materi muatan: mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk menjamin agar peraturan a. Penyelenggaraan otonomi daerah daerah maupun peraturan kepala daerah tetap dan tugas pembantuan; dan dalam kerangka sistem hukum nasional maka b. Penjabaran lebih lanjut ketentuan dimungkinkan untuk melakukan pembatalan peraturan perundang-undangan yang peraturan dimaksud, apabila bertentangan dengan parameter yang telah ditentukan dalam peraturan lebih tinggi. perundang-undangan. 4. Selain materi muatan sebagaimana 2.
228 |
Peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala daerah.
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 217 - 234
Pengaturan mengenai pembatalan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah dapat ditemui dalam rumusan ketentuan Bab IX Bagian Ketiga Pasal 249-252 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa peraturan daerah maupun peraturan kepala daerah dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan. Apabila peraturan daerah maupun peraturan kepala daerah bertentangan dengan ketentuan dimaksud, maka gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dapat membatalkan peraturan daerah atau peraturan kepala daerah kabupaten/kota, dan Menteri Dalam Negeri dapat membatalkan peraturan daerah atau peraturan kepala daerah provinsi.
peraturan daerah provinsi dan peraturan gubernur yang anggotanya terdiri atas komponen lingkup Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian terkait sesuai kebutuhan. Demikian pula halnya dengan peraturan daerah kabupaten/kota dan peraturan kepala daerah setelah ditetapkan dalam jangka waktu tujuh hari setelah ditetapkan harus disampaikan kepada gubernur, sekretaris daerah atas nama gubernur membentuk tim pembatalan peraturan daerah kabupaten/kota dan peraturan bupati/wali kota yang keanggotaannya terdiri atas komponen lingkup perangkat daerah dan instansi terkait sesuai kebutuhan.
Penggunaan istilah tim pembatalan peraturan daerah maupun peraturan kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Permendagri Peraturan daerah atau peraturan kepala Nomor 80 Tahun 2015 menurut penulis tidaklah daerah kabupaten/kota yang bertentangan dengan tepat, mengingat tugas dari tim pembatalan adalah ketentuan peraturan perundang-undangan yang untuk melakukan kajian terhadap peraturan lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau daerah maupun peraturan kepala daerah yang kesusilaan tidak dibatalkan oleh gubernur, maka tidak semuanya berujung pada pembatalan. Menteri membatalkan peraturan daerah atau Hasil kajian tim pembatalan peraturan peraturan kepala daerah kabupaten/kota tersebut. daerah atau peraturan kepala daerah dapat Adapun pembatalan peraturan daerah provinsi berupa pernyataan tidak bertentangan dengan dan peraturan gubernur ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih keputusan Menteri dan pembatalan peraturan tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan daerah kabupaten/kota dan peraturan bupati/ dan dapat pula berupa pernyataan bertentangan wali kota ditetapkan dengan keputusan gubernur peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sebagai wakil pemerintah pusat. kepentingan umum, dan/atau kesusilaan. Selanjutnya dalam ketentuan Bab XI Permendagri Nomor 80 Tahun 2015 ini Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 juga mengatur mengenai instrumen pembatalan Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum peraturan daerah dan peraturan kepala daerah Daerah disebutkan bahwa dalam hal peraturan melalui Keputusan Gubernur atau Keputusan daerah provinsi atau peraturan gubernur setelah Menteri. Pembatalan peraturan daerah dan ditetapkan, dalam jangka waktu tujuh hari setelah peraturn kepala daerah melalui instrumen ditetapkan harus disampaikan kepada Menteri. Keputusan Gubernur atau Keputusan Menteri Direktur Jenderal Otonomi Daerah atas nama patut dianggap bertentangan dengan rezim Menteri Dalam Negeri membentuk tim pembatalan peraturan perundang-undangan yang ada di
Perkembangan Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah (Eka NAM Sihombing)
| 229
Indonesia, hal ini sejalan dengan Huda (2008) menyatakan karena peraturan daerah itu termasuk kategori peraturan yang hierarkinya berada di bawah undang-undang, maka dapat timbul penafsiran bahwa pemerintah pusat sudah seharusnya tidak diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menilai dan mencabut peraturan daerah sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Pemerintahan Daerah. B. Pembatalan Peraturan Daerah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Telah diuraikan terdahulu, bahwa dalam Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 menyatakan bahwa frase “peraturan daerah kabupaten/ kota dan” dalam ketentuan Pasal 251 ayat (2) dan (4), frase “peraturan daerah kabupaten/ kota dan/atau” dalam Pasal 251 ayat (3), dan frase “penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan daerah kabupaten/kota dan” Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian baik Menteri Dalam Negeri maupun gubernur tidak lagi berwenang membatalkan peraturan daerah kabupaten/kota.
pembatalan peraturan daerah baik peraturan daerah provinsi maupun peraturan daerah kabupaten/kota yang diatur di dalam Pasal 251 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016 ini sekaligus melengkapi Putusan Nomor 137/PUUXIII/2015, sehingga pemerintah pusat tidak lagi memiliki kewenangan untuk melakukan pembatalan peraturan daerah baik peraturan daerah provinsi maupun peraturan daerah kabupaten/kota. Sekilas, putusan ini telah mengembalikan ruh kewenangan pembatalan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang kepada Mahkamah Agung sebagaimana dicantumkan secara eksplisit dalam ketentuan Pasal 24A UUD NRI 1945. Akan tetapi apabila ditelaah secara mendalam, maka putusan ini justru tidak sepenuhnya mengembalikan kewenangan pembatalan peraturan perundangundangan di bawah undang-undang kepada Mahkamah Agung.
Hal ini dikarenakan putusan Mahkamah Konstitusi hanya berlaku terhadap peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/ kota, sedangkan terhadap peraturan kepala daerah (peraturan gubernur serta peraturan bupati/ wali kota) masih tetap dapat dibatalkan oleh Pembatalan peraturan daerah harus Menteri Dalam Negeri maupun gubernur secara dilakukan melalui mekanisme judicial review di berjenjang. Dan bahkan antara pertimbangan Mahkamah Agung. Setelah Putusan Nomor 137/ dengan putusan dapat dikatakan inkonsisten. PUU-XIII/2015, Mahkamah Konstitusi pada Dalam pertimbangan Putusan Nomor 137/PUUtanggal 14 Juni 2017 juga mengeluarkan Putusan XIII/2015 dinyatakan: Nomor 56/PUU-XIV/2016 tentang Pengujian “… bahwa pembatalan peraturan daerah kabupaten/kota melalui keputusan gubernur atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251 tentang Pemerintahan Daerah. Para pemohon ayat (4) Undang-Undang Pemerintah dalam perkara ini kembali mempermasalahkan Daerah, menurut Mahkamah Konstitusi tidak sesuai dengan rezim peraturan konstitusionalitas dari ketentuan mengenai perundang-undangan yang dianut. Pasal 7 230 |
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 217 - 234
ayat (1) dan Pasal 8 ayat (2) tidak mengenal keputusan gubernur sebagai salah satu jenis hierarki peraturan perundangundangan maupun Keputusan Menteri sebagai peraturan perundang-undangan. Dengan demikian kedudukan keputusan gubernur bukanlah bagian dari rezim peraturan perundang-undangan, sehingga tidak dapat dijadikan produk hukum untuk membatalkan peraturan daerah kabupaten/kota. Dengan kata lain, menurut Mahkamah Konstitusi terjadi kekeliruan di mana peraturan daerah kabupaten/kota sebagai produk hukum yang berbentuk pengaturan (regeling) dapat dibatalkan dengan keputusan gubernur sebagai bentuk produk hukum yang berbentuk keputusan (beschikking) ...”
“… bahwa oleh karena peraturan kepala daerah merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 8 ayat (2) UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011, akan tetapi oleh karena dibentuk hanya oleh kepala daerah sebagai satuan bestuur dalam rangka mengimplementasikan peraturan daerah dan urusan pemerintahan wajib sebagaimana ditentukan dalam UndangUndang Pemerintah Daerah, sehingga dalam Negara Kesatuan pemerintah pusat sebagai satuan bestuur yang lebih tinggi memiliki kewenangan untuk membatalkan peraturan kepala daerah. Pembatalan dan mekanisme pengajuan keberatan pembatalan peraturan kepala daerah dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah merupakan bagian dari mekanisme pengawasan dari presiden atau menteri dan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau dengan kata lain sebagai suatu bentuk pengawasan, bukan pengujian peraturan perundangundangan dalam lingkungan bestuur oleh satuan bestuur yang lebih tinggi terhadap satuan bestuur yang lebih rendah ...”
Lebih lanjut dalam Putusan Nomor 56/ PUU-XIV/2016 dengan mendasarkan pada pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 yang menyatakan bahwa pembatalan peraturan daerah kabupaten/kota
melalui executive review adalah bertentangan dengan UUD NRI 1945. Oleh karena dalam Pasal 251 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur mengenai pembatalan peraturan daerah provinsi juga melalui executive review maka pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 berlaku pula pada Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016, sehingga Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 251 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sepanjang frasa “peraturan daerah provinsi dan” bertentangan dengan UUD NRI 1945. Mahkamah Konsitusi dalam putusannya, tidak menyatakan bahwa frase “… dan peraturan gubernur …” dan frase “… peraturan bupati/ wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat” dalam ketentuan Pasal 251 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tidak memiliki kekuatan mengikat. Selain itu Mahkamah Konstitusi seharusnya juga memutus bahwa frase “… dan peraturan gubernur” dan “… dan peraturan bupati/wali kota” sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 251 ayat (1) dan (2), serta frase “penyelenggara pemerintahan daerah provinsi tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan daerah provinsi dan peraturan gubernur” dan frase “penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan daerah kabupaten/kota dan peraturan bupati/ wali kota” sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan (8) Undang-Undang Pemerintah Daerah bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Perkembangan Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah (Eka NAM Sihombing)
| 231
Peraturan bupati/wali kota merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang memuat norma hukum mengikat secara umum dan ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, selain itu secara hierarki kedudukan peraturan bupati/wali kota berada di bawah undang-undang sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang berbunyi:
“Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan UndangUndang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/ Kota, Bupati/Wali kota, Kepala Desa atau yang setingkat.”
Mengingat proses pembentukan suatu produk hukum daerah membutuhkan waktu, biaya, dan tenaga yang tidak sedikit. Sehingga jauh lebih efektif dan efisien apabila pengujian dilakukan oleh pemerintah pada saat sebelum produk hukum daerah tersebut diundangkan. Hal ini sejalan dengan ruh ketentuan Pasal 24A UUD NRI 1945 yang sama sekali tidak memberikan delegasi kewenangan pengujian terhadap peraturan daerah maupun peraturan kepala daerah kepada lembaga eksekutif. IV. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pasca Putusan Nomor 137/ PUU-XIII/2015 dan Nomor 56/PUU-XIV/2016, Menteri Dalam Negeri maupun gubernur tidak lagi berwenang membatalkan peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota. Putusan ini tidak serta merta menyelesaikan permasalahan konstitusionalitas kewenangan pengujian terhadap produk hukum daerah yang notabene secara hierarki berada di bawah Sehingga, sudah seharusnya pembatalan undang-undang. Hal ini dikarenakan Menteri peraturan gubernur maupun peraturan bupati/ Dalam Negeri masih tetap dapat membatalkan wali kota dilakukan melalui mekanisme judicial peraturan gubernur serta gubernur masih dapat membatalkan peraturan bupati/wali kota. review di Mahkamah Agung. Dalam negara dengan bentuk kesatuan memang sudah sepatutnya pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap regulasi (termasuk peraturan daerah dan peraturan kepala daerah) yang lahir di daerah. Implementasi dari pengawasan tersebut dapat dilakukan dengan melakukan pembinaan kepada daerah melalui penguatan executive preview atau pengujian terhadap suatu norma hukum sebelum sah mengikat secara umum.
232 |
Putusan ini sekilas mengembalikan ruh kewenangan pengujian kepada Mahkamah Agung sebagaimana diamanahkan oleh Pasal 24A UUD NRI 1945, akan tetapi apabila dicermati justru putusan ini tidak benar-benar mendudukkan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang hanya kepada Mahkamah Agung. Seharusnya Mahkamah Konstitusi, menyatakan peraturan kepala daerah tidak lagi dapat dibatalkan oleh pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi,
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 217 - 234
hal ini dikarenakan peraturan kepala daerah merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang mengikat secara umum dan hierarkinya berada di bawah undang-undang, sehingga untuk mengajukan pembatalannya harus melalui proses judicial review di Mahkamah Agung. Adapun pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi masih dapat diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap regulasi (termasuk peraturan daerah dan peraturan kepala daerah) yang lahir di daerah melalui penguatan executive preview atau pengujian terhadap suatu norma hukum sebelum sah mengikat secara umum dengan melibatkan instansi vertikal yang tugas dan fungsinya berkaitan dengan peraturan perundang-undangan (dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM). Hal ini sejalan dengan ruh ketentuan Pasal 24A UUD NRI 1945 yang sama sekali tidak memberikan delegasi kewenangan pengujian terhadap peraturan daerah maupun peraturan kepala daerah kepada lembaga eksekutif.
daerah. Edisi Kelima. Jakarta: Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkum dan HAM. Farida, M. (2010). Ilmu perundang-undangan: Jenis, fungsi, & materi muatan. Yogyakarta: Kanisius. ________. (tt). Modul I: Pengujian peraturan perundang-undangan. Diakses dari http:// repository.ut.ac.id/4116/1/HKUM4404-M1. pdf Fatmawati. (2005). Hak menguji (Toetsingrecht) yang dimiliki hakim dalam sistem hukum Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Hamidi, J. et.al. (2012). Teori & hukum perancangan perda. Cetakan Pertama. Malang: Universitas Brawijaya Press (UB Press). Hoesein, Z.A. (2009). Judicial review di Mahkamah Agung RI. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Huda, N. (2008, Juni). Problematika yuridis di seputar pembatalan perda. Jurnal Konstitusi, 5(1), 4562. _______. (2009). Hukum pemerintahan daerah. Bandung: Nusa Media.
DAFTAR ACUAN Asshiddiqie, J. (2009). Komentar atas UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sinar Grafika. Budiputra, I.G.E. (2015). Dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan presiden & peraturan Menteri Dalam Negeri. Tesis. Bali: PPS Univeritas Udayana. Dias, R.W.M. (1985), Jurisprudence. Fifth Edition. London: Butterworths. Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM RI [DJPP Kemenkum dan HAM RI]. (2011). Panduan
Manan, B. (1993). Beberapa masalah hukum tata negara Indonesia. Bandung: Alumni. Marzuki, P.M. (2011). Penelitian hukum, Jakarta: Prenadamedia Group. Natabaya,
H.A.S.
(2008).
Sistem
peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press. Pakpahan, R.H. (2010). Pengujian peraturan daerah oleh lembaga eksekutif & yudikatif. Tesis. Universitas Sumatera Utara. Rauta, U. (2016). Konstitusionalitas pengujian peraturan
daerah.
Yogyakarta:
Genta
Publishing.
praktis memahami perancangan peraturan Perkembangan Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah (Eka NAM Sihombing)
| 233
Sabarno, H. (2007). Memandu otonomi daerah menjaga kesatuan bangsa. Cet. I. Jakarta: Sinar Grafika. Sihombing, E.N.A.M., & Marwan, A. (2017). Ilmu perundang-undangan. Medan: Pustaka Prima. Sinamo, N. (2016). Ilmu perundang-undangan. Jakarta: Jala Permata Aksara. Soebechi, I. (2012). Judicial review peraturan daerah pajak & retribusi daerah. Jakarta: Sinar Grafika. Soehino. (1997). Hukum tata negara, penyusunan & penetapan peraturan daerah. Yogyakarta: Liberty. Yani, A. (2013). Pembentukan peraturan perundangundangan yang responsif (Anotasi terhadap UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Cetakan I. Jakarta: Konstitusi Press.
234 |
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 217 - 234
INDEKS A absolute competence XIII, 115, 116, 235 accusation XIV, 173, 235 additional charges XIV, 156, 235 annulment XV, 217, 218, 235 arbitrase V, IX, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 235, 239 arbitration tribunal XIII, 115, 116, 235
moderation XV, 193, 194, 235 money laundering XIV, 173, 176, 188, 235
P
hak beragama dan berkeyakinan V, X, 135, 150, 152, 235
pembatalan V, XI, XII, 217, 218, 219, 222, 224, 228, 229, 230, 231, 232, 233, 235 pembuktian XI, 164, 168, 173, 174, 175, 178, 180, 181, 182, 184, 186, 188, 189, 190, 191, 192, 235 pencucian uang V, XI, 173, 174, 175, 176, 179, 180, 181, 191 pengadilan III, IX, X, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 144, 146, 149, 152, 153, 154, 162, 167, 169, 174, 176, 177, 178, 179, 180, 183, 189, 222, 226, 235, 243, 244 peraturan daerah V, XI, XII, 217, 218, 219, 221, 222, 224, 225, 226, 227, 228, 229, 230, 231, 232, 233, 234, 235 peraturan kepala daerah XI, XII, 217, 218, 219, 228, 229, 230, 231, 232, 233, 235 pertanggungjawaban pidana V, X, 155, 158, 159, 160, 162, 167, 170, 171, 188, 235 pidana mati XI, 193, 195, 199, 201, 202, 206, 207, 208, 211, 212, 214 pidana tambahan X, 155, 157, 158, 163, 165, 169, 235 policy XV, 137, 161, 193, 194, 210, 235 proof XIV, 173 putusan pengadilan III, IX, X, 116, 124, 126, 127, 135, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 144, 152, 153, 154, 226, 235, 244
K
R
kebijakan XI, 137, 138, 153, 156, 161, 166, 167, 193, 195, 199, 200, 205, 207, 208, 209, 210, 213, 222, 225, 226, 227, 235, 244 kelompok minoritas IX, X, 135, 138, 139, 141, 151, 152, 235 kompetensi absolut V, IX, 115, 118, 119, 126, 132, 133, 235 korporasi V, X, 130, 155, 156, 158, 159, 160, 161, 162, 163, 164, 167, 168, 170, 171, 235 KUHP XI, 143, 144, 148, 151, 152, 157, 159, 163, 164, 168, 190, 192, 193, 199, 200, 207, 208, 209, 235
regional head regulation XV, 218
C capital punishment XV, 194 corporate XIV, 155, 156, 159, 160, 161, 170, 203, 235 court decision XIV, 136, 235 court of law XIII, 116 criminal code XV, 194, 235 criminal liability XIV, 155, 156, 170, 235
D dakwaan X, XI, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 163, 164, 173, 174, 175, 176, 177, 179, 180, 181, 182, 183, 184, 185, 189, 190, 191, 235
E environment XIV, 156
H
L lingkungan hidup X, 155, 156, 158, 162, 163, 165, 166, 167, 168, 169, 235 local regulation XV, 218, 235
M minority XIII, XIV, 135, 136, 153, 235 moderasi XI, 193
T the right to freedom of religion and belief XIV, 136
p-ISSN 1978-6506 e-ISSN 2579-4868
Vol. 10 No. 2 Agustus 2017 Hal. 115 - 234
UCAPAN TERIMA KASIH KEPADA MITRA BESTARI
S
egenap pengelola Jurnal Yudisial menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas sumbangsih Mitra Bestari yang telah melakukan review terhadap naskah Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017. Semoga bantuan mereka mendapatkan balasan dari Allah SWT.
1.
Dr. Shidarta, S.H., M.Hum.
2.
Dr. Anthon F. Susanto, S.H., M.Hum.
3.
Dr. Yeni Widowaty, S.H., M.Hum.
4.
Dr. Niken Savitri, S.H., M.CL.
5.
Hermansyah, S.H., M.Hum
6.
Prof. Dr. H. Yuliandri, S.H., M.H.
7.
Prof. Dr. Ronald Z. Titahelu, S.H., M.S.
8.
Dr. Widodo Dwi Putro, S.H., M.H.
9.
Dr. H. Mukti Fajar Nur Dewata, S.H., M.Hum.
BIODATA PENULIS Cut Memi, lahir di Kota Payakumbuh Sumatera Barat tanggal 24 April 1958. Menamatkan pendidikan S1 pada Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang Sumatera Barat dan lulus pada tahun 1982. Setelah menamatkan pendidikan S1, penulis bekerja di Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman, dan pada tahun 1987 mengikuti pendidikan Wetgevingsleer di Belanda (Netherland). Sejak tahun 1990 sampai sekarang menjadi dosen tetap di Universitas Tarumanagara, dengan mata kuliah yang diampu yaitu Hukum Perdata Internasional dan Ilmu Perundang-undangan. Pendidikan S2 penulis lalui di Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Tarumanagara dan lulus pada tahun 2001. Saat ini penulis sedang menyelesaikan penulisan disertasi pada Program Pasca Sarjana S3 Ilmu Hukum di Universitas Katholik Parahyangan, dengan mengambil spesialisasi di bidang arbitrase. Endra Wijaya adalah dosen pada Fakultas Hukum Universitas Pancasila (FHUP), Jakarta. Pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pengurus Pusat Kajian Ilmu Hukum FHUP (2008-2012), dan pernah pula menjadi peneliti di Yayasan Lentera Hukum Indonesia (2012-2016). Lulusan S1 FHUP Program Kekhususan Transnasional, dan S2 Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Konsentrasi Hukum dan Kehidupan Kenegaraan. Meminati isu perlindungan hak minoritas. Beberapa karya tulis yang pernah dipublikasikan, baik yang ditulis sendiri maupun bersama-sama penulis lain, antara lain: “Menggugat Diskriminasi atas Nama Agama: Konsep Keadilan dalam Islam, Perlindungan terhadap Kaum Minoritas, dan Negara Hukum Pancasila” (Digest Epistema, Vol. 4, 2013); “Pancasila dalam Putusan Mahkamah Konstitusi: Kajian terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara yang Berkaitan dengan Perlindungan Hak Kelompok Marjinal (Jakarta: Epistema Institute dan Yayasan Tifa, 2014); “Partai Politik dan Problem Keadilan bagi Mazhab Minoritas di Indonesia (Sebuah Kajian Awal)” (Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 11, No. 3, 2014); “Problem Pengesahan Bendera Aceh dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pemetaan Permasalahan)” (Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3, No. 1, 2016); dan “Efektivitas Pengaturan Masalah Kerukunan Umat Beragama dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia” (Jurnal Pandecta, Vol. 11, No. 2, 2016). Hariman Satria, lahir di Muna 4 Oktober 1985. Memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Universitas Haluoleo tahun 2007. Lex Legibus Magister (LL.M) diperoleh dari Fakultas Hukum Universita Gadjah Mada (UGM) pada tahun 2011. Sejak 2015 terdaftar sebagai mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum UGM. Pada saat ini berkarya sebagai tenaga pengajar di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari (UMK). Mengampu mata kuliah: Hukum Pidana, Hukum Pidana Khusus, Hukum Pidana Internasional, Hukum Pidana Ekonomi, Hukum Acara Pidana, Hukum dan HAM, dan Pendidikan Anti Korupsi. Dalam bidang penelitian, banyak melakukan riset antara lain: Deradikalisasi Terorisme (Kajian Terhadap Peran Pesantren dan Lembaga Pemasyarakatan) pada tahun 2012; Riset bersama ICW tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah: Mewujudkan Birokrasi Anti Korupsi
pada tahun 2013; dan Kajian bersama KPK, Eksaminasi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Gorontalo dan Kendari) tahun 2014. Sampai dengan saat ini telah menulis puluhan karya ilmiah dan artikel telah dimuat pada majalah ilmiah dan berbagai media cetak, di antaranya Republika, Koran Sindo, Geotimes, dan Majalah Integrito KPK. Pernah menulis di beberapa jurnal seperti Jurnal Konstitusi, Jurnal Integritas KPK, Jurnal Mimbar Hukum UGM, dan Jurnal Legitime Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari. Buku yang pernah ditulis adalah “Penerbitan SKPP oleh Kejaksaan dalam Proses Peradilan Pidana” (2012); dan “Anatomi Hukum Pidana Khusus” (2014). Halif, lahir di Pamekasan Madura, 5 Juli 1979. Menyelesaikan pendidikan S1 Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (2004), sementara pendidikan S2 Ilmu Hukum penulis selesaikan di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang (2007). Saat ini penulis tercatat sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Jember pada Jurusan/Bagian Pidana. Mata kuliah yang diampu di antaranya adalah hukum pidana, hukum acara pidana dan tindak pidana pencucian uang. Penulis menjabat sebagai Ketua Biro Pelayanan dan Bantuan Hukum (BPBH) Fakultas Hukum Universitas Jember. Di samping itu, penulis aktif menulis di beberapa jurnal di antaranya: “Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Melalui Undang-Undang Pencucian Uang” (Jurnal Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Jember); “Pembuktian Terbalik Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang” (Jurnal Fainess and Justice Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jember); dan beberapa jurnal lainnya. Mei Susanto adalah dosen pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung. Menamatkan S1 pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (2010), dan S2 pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2013). Aktif dalam melakukan penelitian khususnya dalam bidang hukum tata negara dan hukum pidana. Beberapa karya tulis yang pernah dipublikasikan anatara lain: “Hak Budget Parlemen di Indonesia” (Jakarta: Sinar Grafika, 2013); “Eksistensi Hak Budget DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia” (Jurnal PJIH, 2016); “Perkembangan Pemaknaan Hak Prerogatif Presiden” (Jurnal Yudisial, 2016); “Hak Budget DPR dalam Pengelolaan Keuangan Negara” (Jurnal Rechtsvinding, 2016); book chapter dengan judul “Pelembagaan Oposisi dalam Badan Perwakilan Rakyat Indonesia” (2016); dan beberapa opini di media cetak. Selain itu terlibat aktif dalam berbagai penelitian misalnya mengenai perubahan Undang-Undang Pos, Raperda Kota Bandung, Raperda Provinsi Jawa Barat, dan lain-lain. Ajie Ramdan adalah dosen pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung. Menamatkan S1 pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (2010), dan S2 pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2014). Aktif dalam melakukan penelitian khususnya dalam bidang hukum tata negara dan hukum pidana. Beberapa karya tulis yang pernah dipublikasikan anatara lain: “Bantuan Hukum sebagai Kewajiban Negara untuk Memenuhi Hak Konstitusional Fakir Miskin” (Jurnal Konstitusi, 2014); “The Influence of the Constitutional Court Decision Against Combating Money Laundering in the Context of Criminal Law Reform” (Jurnal Internasional Constitutional Review, 2015); “Gagasan Pemikiran Muhammad Yamin Pemberian Kewenangan Judicial Review Kepada Lembaga Yudikatif” (Prosiding Nasional, Pusat Studi Tokoh Hukum & UNISBA, 2015); “Syarat Pemberian Grasi dalam
Perspektif Hukum Konstitusi dan Hukum Pidana” (Penelitian Mahkamah Konstitusi, 2016); dan opini di Majalah Konstitusi. Eka NAM Sihombing, lahir di Medan tanggal 11 November 1979. Pendidikan S1 Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (2003), kemudian melanjutkan pendidikan S2 pada Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi Ilmu Hukum (2008), Mahasiswa Program S3 Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (2015-sekarang), Pendidikan lain yang pernah diikuti adalah Diklat Legal Drafter di Medan (2007), Diklat Penyusun dan Perancang Peraturan Perundang-undangan di Jakarta (2009), Diklat Penguatan Perancang Peraturan Perundang-Undangan di Jakarta (2013), dan Diklat ToT Perancang Peraturan Perundang-Undangan di Jakarta (2015). Pada saat ini menjabat sebagai Kasubbid Fasilitasi Pembentukan Produk Hukum Daerah/ Perancang Peraturan Perundang-undangan Madya pada Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara, Ketua Majelis Pengawas Notaris Daerah Kota Sibolga dan Kabupaten Tapanuli Tengah (2014-2017). Mengajar di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Medan (2008-sekarang). Menulis Buku “Ilmu Perundang-Undangan” bersama Ali Marwan yang diterbitkan oleh Pustaka Prima (2017) dan aktif menulis di berbagai artikel atau jurnal. Dapat dihubungi melalui e-mail:
[email protected].
PEDOMAN PENULISAN 1.
Naskah merupakan hasil penelitian putusan hakim atas suatu kasus konkret yang memiliki aktualitas dan kompleksitas permasalahan hukum, baik dari pengadilan di Indonesia maupun luar negeri dan merupakan artikel asli (belum pernah dipublikasikan).
2.
Naskah yang masuk akan melalui tiga tahap penilaian yang dilakukan oleh tim penyunting dan mitra bestari. Rapat Redaksi akan menentukan diterbitkan atau tidaknya naskah dalam Jurnal Yudisial. Setiap penulis yang naskahnya diterbitkan dalam Jurnal Yudisial berhak mendapat honorarium dan beberapa eksemplar bukti cetak edisi jurnal tersebut.
3.
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris baku. Apabila ada kutipan langsung yang dipandang perlu untuk tetap ditulis dalam bahasa lain di luar bahasa Indonesia atau Inggris, maka kutipan tersebut dapat tetap dipertahankan dalam bahasa aslinya dengan dilengkapi terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.
4.
Pengiriman naskah disertai biodata penulis dalam bentuk narasi dengan panjang 150 s.d. 250 kata.
5.
Naskah ditulis di atas kertas ukuran A4 sepanjang 20 s.d. 25 halaman (sekitar 6.000 kata), dengan margin halaman, kiri 3 cm, atas 2 cm, kanan 2 cm, bawah 2 cm, dan jarak antar-spasi 1,5. Ditulis menggunakan huruf Times New Roman 12. Semua halaman naskah diberi nomor urut pada margin kanan bawah. 6.
Sistematika penulisan naskah sebagai berikut:
a.
Judul dan anak judul dalam bahasa Indonesia.
b.
Judul dan anak judul dalam bahasa Inggris.
c.
Nama penulis.
d.
Nama lembaga/instansi.
e.
Alamat lembaga/instansi.
f.
Akun e-mail penulis.
g.
Abstrak (5% dari keseluruhan naskah) ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sebanyak 150 s.d. 200 kata, disertai kata kunci (3 s.d. 5 kata). Isi abstrak meliputi unsurunsur: 1) latar belakang masalah, 2) rumusan masalah, 3) metode, dan 4) kesimpulan.
h.
Pendahuluan (35%), memuat isu hukum yang dianggap menarik sebagai latar belakang dari putusan hakim yang akan dijadikan objek kajian dalam tulisan ini, yang kemudian
diikuti dengan paparan duduk perkara, pertimbangan hukum yang selektif dan problematis, identifikasi permasalahan, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, dan tinjauan pustaka terkait konsep-konsep hukum yang relevan. Sistematika pendahuluan ini terdiri dari: 1)
Latar Belakang (5%);
2)
Rumusan Masalah (5%);
3)
Tujuan dan Kegunaan (5%); dan
4)
Tinjauan Pustaka (20%).
i.
Metode (15%), memuat penjelasan tentang pilihan metode yang digunakan untuk keperluan penelitian terhadap putusan hakim. Secara umum metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus (case study), yang objek putusannya sengaja dipilih secara purposif. Walaupun demikian, penulis dapat saja memperdalam analisisnya dengan melakukan pengayaan data, dengan menggunakan dokumen lain di luar putusan hakim tersebut dan/atau data primer di luar dokumen (contoh: wawancara dan/atau observasi). Apabila penulis melakukan pengayaan data di luar putusan hakim, harus dijelaskan cakupan/besaran sumber data, teknik pengumpulan data, prosedur pengumpulan data, dan metode analisis data.
j.
Hasil dan Pembahasan (40%), memuat lebih detail temuan-temuan problematis yang berhasil diidentifikasi oleh penulis terkait duduk perkara dan pertimbangan-pertimbangan hakim di dalam putusan tersebut, serta analisis yang dilakukan untuk menjawab rumusan masalah. Dalam pembahasan, tinjauan pustaka harus digunakan untuk mempertajam analisis. Pembahasan harus dikemas secara runtut, logis, dan terfokus, yang di dalamnya terkandung pandangan orisinal dari penulisnya. Bagian pembahasan ini harus mencakup porsi terbesar dari keseluruhan substansi tulisan.
k.
Kesimpulan (5%), mencakup penyampaian singkat dalam bentuk kalimat utuh atau dalam bentuk butir-butir jawaban rumusan masalah secara berurutan.
7.
l.
Saran (jika perlu), berisi rekomendasi akademik, tindak lanjut nyata, atau implikasi kebijakan atas kesimpulan yang diperoleh. Isi dari saran harus sejalan dengan pembahasan.
m.
Daftar Acuan, merupakan publikasi yang digunakan sebagai referensi yang digunakan dalam penulisan tersebut. Acuan paling sedikit berjumlah lima belas, tidak termasuk peraturan perundang-undangan, peraturan kebijakan, dan/atau putusan pengadilan, dan acuan primer paling sedikit 80% dari total acuan.
Penulisan kutipan menggunakan model body note atau side note. Kutipan tersebut harus ditunjukkan dalam daftar acuan.
Contoh:
Satu penulis: (Grassian, 2009: 45); Menurut Grassian (2009: 45), “..........”
Dua penulis: (Abelson & Friquegnon, 2010: 50-52).
Lebih dari dua penulis: (Tanya, Parera, & Lena, 2015).
Lebih dari tiga penulis: (Hotstede et al., 1990: 23).
Terbitan lembaga tertentu: (Cornell University Library, 2009: 10).
8.
Penulisan daftar acuan menggunakan aturan dari Harvard-American Psycological Association (APA).
Contoh: a.
B uku
Grassian, V. (2009). Moral reasoning: Ethical theory and some contemporary moral problems. New Jersey, NJ: Prentice-Hall. Tanya, B.L., Parera, T.Y., & Lena, S.F. (2015). Pancasila bingkai hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing. Komisi Pemberantasan Korupsi. (2009). Laporan tahunan 2009: Perjuangan melawan korupsi tak pernah berhenti. Jakarta: KPK. b.
Jurnal
Melani. (2014, Agustus). Disparitas putusan terkait penafsiran Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Yudisial, 7 (2), 103-116. c.
Majalah/Surat Kabar
Marzuki, S. (2014, November-Desember). Pengadilan yang fair untuk keadilan. Majalah Komisi Yudisial, 11-15. d.
Internet
Cornell University Library. (2009). Introduction to research. Diakses dari http://www.library. cornell.edu/resrch/intro. 9.
Naskah diunggah melalui http://jurnal.komisiyudisial.go.id dan dikirim tembusan ke alamat e-mail:
[email protected].
Alamat redaksi:
Pusat Analisis dan Layanan Informasi, Gd. Komisi Yudisial Lt. 3, Jl. Kramat Raya No. 57
Jakarta Pusat 10450, Fax. (021) 3906189. Narahubung (contact persons): •
Ikhsan (085299618833);
•
Arnis (08121368480); atau
•
Yuni (085220055969).