PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIK PESETA DIDIK SEKOLAH MENENGAH ATAS MELALUI PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING BERBASIS OPEN-ENDED PROBLEM (Penelitian terhadap Peserta Didik Kelas XI IPS SMA Negeri 1 Ciawi Tahun Pelajaran 2013/2014)
Sri Murni e-mail:
[email protected]
Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Siliwangi Jl. Siliwangi No. 24 Kota Tasikmalaya
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik peserta didik melalui penggunaan model pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended Problem dan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap penggunaan model pembelajaran tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Populasi dalam penelitian ini peserta didik kelas XI SMA Negeri 1 Ciawi tahun pelajaran 2012/2013 dengan jumlah peserta didik 289 orang. Dua kelas dipilih sebagai sampel, kelas eksperimen menggunakan model Problem Solving berbasis Open-Ended Problem dan kelas kontrol menggunakan model pembelajaran langsung. Kelas XI IPS-4 terpilih sebagai kelas eksperimen dan kelas XI IPS-5 sebagai kelas kontrol. Instrumen yang digunakan berupa tes kemampuan pemecahan masalah matematik dan skala sikap model Likers. Berdasarkan hasil penelitian, pengolahan data, analisis data, dan pengujian hipotesis, maka ditemukan adanya peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik peserta didik melalui penggunaan model pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended Problem, dan peserta didik bersikap positif terhadap penggunaan model pembelajaran tersebut. Kata kunci: Problem Solving berbasis Open-Ended Problem, pemecahan masalah matematik, peningkatan.
ABSTRACT The aim of this research is to know the increase of the learner’s mathematical problem solving through the learning model of Problem Solving based on Open-Ended Problem, and to know the learner’s attitude towards the use of learning model. The method used in this research is an a experimental method. This research is conducted at the social sciences eleventh grade of SMA Negeri 1 Ciawi, year 2012/2013. The population of this research is the eleventh class SMA Negeri 1 Ciawi in academic year 2013/2014 the number 289 students. Two classes chosen as samples, the experimental class using learning model of problem solving based on open-ended problem and the control class using direct instruction model. The eleventh grade IPS-4 selected as an experimental class and eleventh grade IPS-5 as an control class. The instrument used in this research is test of the students of mathematical problem-solving ability and the attitude scale of Likert model. Based on the research, processing of the data, analysis of the data and hypothesis testing show that there is an increasing in the students’ mathematical problem-solving skills through the use of learning model Problem Solving based on Open-Ended Problem and the learners' positive attitudes towards the use of that learning model. Keywords: Problem Solving based on Open-Ended Problem, the solving of mathematical problems, increasing.
Paradigma pembelajaran sering mengalami krisis sebagai akibat kecenderungan seseorang menggunakan cara yang sama pada suatu sistem yang telah berubah dan menginginkan hasil yang berbeda. Penerapan paradigma pembelajaran yang telah mengalami penyalahgunaan fungsi cenderung menimbulkan kesenjangan dengan tujuan pembelajaran yang diharapkan. Menurut Sudiarta, I Gst. Putu (2005:2) “Tidak dapat dipungkiri adanya kenyataan bahwa pembelajaran matematika di sekolah sangat teoretik dan mekanistik, proses pembelajaran biasanya dimulai dengan penjelasan konsep disertai contoh, dilanjutkan dengan mengerjakan latihan soal-soal matematika”. Lebih lanjut Sudiarta, I Gst. Putu (2005:3) menyebutkan “Pendekatan pembelajaran ini didominasi oleh penyajian masalah matematika dalam bentuk tertutup (closed problem atau highly structured problem), yaitu permasalahan matematika yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga hanya memiliki satu jawaban yang benar dengan satu cara pemecahannya”. Proses pembelajaran seperti ini mengakibatkan pembelajaran belum berlangsung pada pembelajaran bermakana sehingga peserta didik tidak terbiasa untuk belajar secara mandiri, peserta didik cenderung pasif karena peserta didik hanya menerima apa yang disampaikan oleh guru dan melakukan apa yang diminta oleh guru. Kegiatan pembelajaran yang dirancang juga belum menekankan keterampilan peserta didik untuk dapat memecahkan suatu masalah sehingga peserta didik belum mampu mengungkapkan ide-idenya, baik secara lisan maupun tulis, karena dalam kegiatan pembelajaran lebih banyak dibahas masalah (soal-soal) yang sifatnya rutin atau masalah-masalah tertutup (close problems) yang hanya mempunyai satu jawaban yang benar atau soal-soal yang sudah jelas langkah penyelesaiannya. Pemecahan masalah merupakan salah satu kompetensi yang harus dimilki peserta didik sekaligus merupakan tujuan pembelajaran matematika yang esensial, karena dalam kehidupan sehari-hari tidak terlepas dari suatu permasalahan dengan banyak pilihan jawaban yang dalam pemecahannya memerlukan analisis yang tepat sehingga mendapat jawaban yang tepat dan tidak menimbulkan masalah yang baru. Berdasarkan kondisi tersebut, peneliti menganggap perlu adanya model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik peserta didik, agar peserta didik mampu berperan aktif dalam proses pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik peserta didik adalah model pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended Problem.
Dari permasalahan tersebut maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik peserta didik melalui model pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended Problem dan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap penggunaan model pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended Problem. Hamalik (1995) ”Poblem solving adalah suatu proses mental dan intelektual dalam menemukan masalah dan memecahkannya berdasarkan data serta informasi yang akurat, sehingga dapat diambil kesimpulan yang tepat dan cermat”. Menurut Shigeru Shimada (Anonim, 2010)”Open-ended problem adalah masalah-masalah yang diformulasikan mempunyai lebih dari satu jawaban yang benar atau masalah-masalah yang belum komplit”. Model pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended Problem diartikan sebagai model pembelajaran yang memuat masalah-masalah dengan formulasi jawaban benar lebih dari satu atau masalah-masalah yang belum komplit dimana pemecahannya menggunakan berbagai cara dan strategi berdasarkan data dan informasi yang akurat, sehingga dapat diambil kesimpulan yang tepat serta cermat. Langkah-langkah pembelajaran Problem Solving dalam penelitian ini meliputi: orientasi peserta didik kepada masalah, mengorganisasikan peserta didik untuk belajar, membimbing penyelidikan individual maupun kelompok, mengembangkan dan menyajikan hasil karya, menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Teori yang mendukung model pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended Problem, adalah Paham Kognitivisme, Paham Kontruktivisme, teori Piaget, teori Vygotsky, teori Bruner, teori Polya, dan teori Ausubel. Model pembelajaran langsung adalah model pembelajaran yang menekankan pada penguasaan konsep atau perubahan prilaku dengan mengutamakan pendekatan deduktif. Pembelajaran langsung biasa dilakukan dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari dimana guru lebih banyak dilibatkan dari pada peserta didik. Nur, Muhammad (Widdiharto, Rachmadi, 2004:33) menyebutkan “Pembelajaran langsung khusus dirancang untuk mengembangkan belajar peserta didik tentang pengetahuan prosedural dan pengetahuan deklaratif, yang dapat diajarkan dengan pola selangkah demi selangkah”. Pembelajaran langsung dalam penelitian ini dilaksanakan dengan fase menyampaikan tujuan dan mempersiapkan peserta didik, mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan, membimbing pelatihan, mengecek
pemahaman dan memberikan umpan balik, memberikan latihan dan penerapan konsep. Teori yang mendukung pembelajaran langsung adalah teori behaviorisme dan teori belajar sosial. Kemampuan pemecahan masalah matematik adalah kemampuan peserta didik dalam memecahkan masalah atau menyelesaikan soal-soal matematika dengan menggunakan langkahlangkah pemecahan masalah yaitu: memahami masalah, merencanakan penyelesaian, melakukan perhitungan, dan memeriksa kembali hasil yang diperoleh. Sikap peserta didik terhadap penggunaan model pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended Problem adalah perasaan suka atau tidak suka peserta didik terhadap matematika dan sikap peserta didik terhadap proses pembelajaran yang digunakan. Komponen sikap yang diteliti adalah afektif, kognitif dan konatif. Afektif adalah perasaan pada penerapan model pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended Problem, kognitif adalah kepercayaan pada penerapan model pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended Problem, dan konatif adalah dorongan bertindak saat penerapan model pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended Problem. Hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian tentang “Implementasi Model Pembelajaran Creative Problem Solving dengan Menggunakan Alat Peraga” oleh Nuryadi (2009) terhadap peningkatkan prestasi belajar matematika pokok bahasan bangun ruang pada peserta didik kelas VII SMP Negeri 2 Godean. Hasil penelitian menunjukan bahwa penerapan model pembelajaran Creative Problem Solving dengan menggunakan alat peraga berpengaruh lebih baik terhadap prestasi belajar matematik peserta didik. Selain itu berdasarkan hasil angket, sikap peserta didik terhadap model pembelajaran Creative Problem Solving dengan menggunakan alat peraga adalah positif. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh peserta didik kelas XI IPS SMA Negeri 1 Ciawi tahun pelajaran 2013/2014. Terpilih kelas XI IPS-4 sebagai kelas eksperimen dan kelas XI IPS-5 sebagai kelas kontrol. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes kemampuan pemecahan masalah matematik peserta didik dan menyebarkan angket sikap terhadap model pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended Problem. Teknik analisis data dalam penelitian ini untuk tes kemampuan pemecahan masalah matematik adalah statistik deskriptif, uji persyaratan analisis yang mencakup uji normalitas dan
uji homogenitas serta uji hipotesis. Analisis data untuk sikap peserta didik terhadap penggunaan model pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended Problem hanya dideskripsikan. Menurut AR, Erman S, (2003:188) “penggolongan kelompok peserta didik yang memiliki sikap negatif dan sikap positif dilakukan dengan membandingkan rerata skor subjek dengan rerata skor jawaban netral.” Setelah data angket terkumpul dan diolah, responden digolongkan ke dalam memiliki sikap positif atau bersikap positif jika ≥ 3 dan responden memiliki sikap negatif jika < 3. Skor 40 35 30 25 20
Pretes
15
Postes
10 5
0 1
3
5
7
9
11 13 15 17 19 21 23 25
Diagram 1 Data Skor Pretest dan Posttest Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Peserta Didik Kelas Eksperimen Berdasarkan diagram tersebut, nilai pretest kelas eksperimen menunjukan ketercapaian Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) sebesar 75 (skor 30) tercapai sebesar 0%, yaitu tidak ada peserta didik yang mencapai KKM dan 26 orang peserta didik (100%) masih dibawah KKM. Sedangkan nilai posttest kelas eksperimen menunjukkan bahwa sebesar 57,69%, yaitu sebanyak 15 orang peserta didik mencapai KKM dan 11 orang peserta didik 42,31% masih dibawah KKM. Data hasil penelitian pada kelas eksperimen, menghasilkan data nilai normal gain yang disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Daftar Distribusi Frekuensi Normal Gain Kelas Eksperimen Gain Frekuensi Klasifikasi f ternormalisasi Relatif (%) 2 G < 0,5 Rendah 7,69 0,5 ≤ G ≤ 0,7 34,62 Sedang 9 G > 0,7 57,69 Tinggi 15 100 ∑ 26 Dari tabel terlihat bahwa klasifikasi gain terbanyak terdapat pada klasifikasi tinggi dengan frekuensi relatif 57,69% atau sebanyak 15 orang peserta didik. Untuk klasifikasi gain terendah sebesar 7,69% atau sebanyak 2 orang peserta didik. Sedangkan untuk klasifikasi gain sedang sebesar 34,62% atau sebanyak 9 orang peserta didik. Berdasarkan Tabel 1 disajikan diagram 2. 15
16
14 12 9
10
G < 0,5
8
0,5 ≤ G ≤ 0,7
6 4
G > 0,7
2
2 0 Batas Kelas
Diagram 2 Histogram dan Poligon Frekuensi Data Normal Gain Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Peserta Didik Kelas Eksperimen Rata-rata pretest kelas eksperimen sebesar 5,39 dan rata-rata posttest kelas eksperimen sebesar 28,92, sedangkan rata-rata normal gain yang diperoleh di kelas eksperimen yaitu 0,69. Nilai normal gain pada kelas eksperimen paling banyak terdapat pada klasifikasi tinggi, sehingga diperoleh modus data normal gain kelas eksperimen yaitu 0,73. Median data normal gain kelas eksperimen terdapat pada klasifikasi tinggi, sehingga diperoleh median data normal gain kelas eksperimen sebesar 0,71.
Skor 40 35 30 25 20
Pretes
15
Postes
10 5 0 1
3
5
7
9
11 13 15 17 19 21 23 25 27
Diagram 3 Data Skor Pretest dan Posttest Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Peserta Didik Kelas Kontrol Berdasarkan diagram tersebut, nilai pretest kelas kontrol menunjukan ketercapaian Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) sebesar 75 (skor 30) tercapai sebesar 0%, yaitu tidak ada peserta didik yang mencapai KKM dan 28 orang peserta didik (100%) masih dibawah KKM. Sedangkan nilai posttest kelas kontrol menunjukkan bahwa sebesar 17,86%, yaitu sebanyak 5 orang peserta didik mencapai KKM dan 23 orang peserta didik 82,14% masih dibawah KKM. Data hasil penelitian pada kelas kontrol, menghasilkan data nilai normal gain yang disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Daftar Distribusi Frekuensi Normal Gain Kelas kontrol Gain Frekuensi Klasifikasi f ternormalisasi Relatif (%) 14 G < 0,5 Rendah 50 0,5 ≤ G ≤ 0,7 32,14 Sedang 9 G > 0,7 17,86 Tinggi 5 100 ∑ 28 Dari tabel terlihat bahwa klasifikasi gain terbanyak terdapat pada klasifikasi rendah dengan frekuensi relatif 50% atau sebanyak 14 orang peserta didik. Untuk klasifikasi gain tertinggi sebesar 17,86% atau sebanyak 5 orang peserta didik. Sedangkan untuk klasifikasi gain sedang sebesar 32,14% atau sebanyak 9 orang peserta didik. Berdasarkan Tabel 2 disajikan diagram 4 sebagai berikut:
16
14
14 12 10
9
G < 0,5
8 5
6
0,5 ≤ G ≤ 0,7 G > 0,7
4 2
0 Batas Kelas
Diagram 4.4 Histogram dan Poligon Frekuensi Data Normal Gain Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Peserta Didik Kelas Kontrol Rata-rata pretest kelas kontrol sebesar 4,54 dan rata-rata posttest kelas kontrol sebesar 22,71, sedangkan rata-rata normal gain yang diperoleh di kelas eksperimen yaitu 0,52. Nilai normal gain pada kelas kontrol paling banyak terdapat pada klasifikasi rendah, sehingga diperoleh modus data normal gain kelas kontrol yaitu 0,42. Median data normal gain kelas kontrol terdapat pada klasifikasi rendah, sehingga diperoleh median data normal gain kelas kontrol sebesar 0,50. Berdasarkan hasil pengujian normalitas pada kelas ekperimen dengan taraf signifikan = 2 2 0,01 ternyata hitung = 7,10 < kritis = 11,3 maka H0 diterima dan H1 ditolak. Artinya sampel
berasal dari populasi berdistribusi normal. Sedangkan hasil pengujian normalitas pada kelas 2 2 kontrol dengan taraf signifikan = 0,01 ternyata hitung = 4,73 < kritis = 11,3 maka H0 diterima
dan H1 ditolak. Artinya sampel berasal dari populasi berdistribusi normal. Berdasarkan hasil pengujian homogenitas varians ternyata Fhitung = 1,89 < F0,01(27/25) = 2,58, maka H0 diterima dan H1 ditolak, artinya kedua varians homogen. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis pada α = 1% diperoleh t hitung = 4,42 dan t 0,01(62) = 2,40. Ternyata t hitung > t kritis , yaitu 4,42 > 2,40, maka H0 ditolak dan H1 diterima, artinya terdapat peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik melalui model pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended Problem. Berdasarkan hasil analisis sikap peserta didik terhadap penggunaan model pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended Problem rata-rata skor keseluruhan 3,79 lebih dari rata-rata skor netral 3 yang berarti bahwa sikap peserta didik terhadap penggunaan model pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended Problem menunjukkan positif.
Selama penelitian, peneliti menggunakan dua kelas sebagai kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kelas eksperimen menggunakan model pembelajaran Problem Solving berbasis OpenEnded Problem, sedangkan kelas kontrol menggunakan pembelajaran langsung. Pada kelas eksperimen, peserta didik diberi pretest sebelum pembelajaran dilaksanakan, kemudian diberi posttest setelah pembelajaran selesai dilaksanakan. Pembelajaran yang dilaksanakan pada kelas eksperimen yaitu pembelajaran dengn menggunakan model pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended Problem. Adapun langkah-langkah pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended dalam penelitian ini meliputi: orientasi peserta didik kepada masalah, mengorganisasikan peserta didik untuk belajar, membimbing penyelidikan individual maupun kelompok, mengembangkan dan menyajikan hasil karya, menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Pada fase orientasi peserta didik kepada masalah, peneliti sebagai guru memfasilitasi peserta didik untuk mengingat kembali materi yang telah dipelajari sebelumnya untuk dapat membangun konsep materi yang akan dipelajari. Menjelaskan peralatan yang dibutuhkan, memotivasi peserta didik terlibat pada aktivitas pemecahan masalah. Guru juga mencoba menjelaskan fungsi materi dalam kehidupan sehari-hari. Setelah itu, guru menyampaikan tujuan yang hendak dicapai pada pembelajaran yang akan dilaksanakan pada materi peluang, kemudian guru mengaitkan pengetahuan peserta didik dengan materi yang dipelajari. Pada fase pengorganisasian peserta didik untuk belajar, guru menghadapkan peserta didik pada suatu permasalahan, setiap kelompok diberikan bahan ajar berupa permasalahan atau situasi yang dikaitkan dengan dunia nyata atau situasi yang direkayasa yang ada kaitannya dengan materi peluang, kemudian guru mengarahkan peserta didik untuk memahami masalah. Guru membantu peserta didik mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut. Melalui masalah yang diberikan, peserta didik diberikan kesempatan menemukan dan membangun sendiri pemahamannya tentang materi peluang dengan arahan dari guru sebagai fasilitator. Pada fase membimbing penyelidikan individual maupun kelompok, guru membantu peserta didik dengan menggunakan teknik scaffolding artinya memberikan bantuan kepada peserta didik secukupnya hanya pada saat mengalami kesulitan, kemudian mendorong peserta didik untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, sehingga dalam diskusinya peserta didik dapat memecahkan masalah yang diberikan. Hal ini sejalan dengan teori Vygotsky tentang
pentingnya Scaffolding, menurut Trianto (2009:39) “penafsiran terkini terhadap ide-ide Vygotsky adalah peserta didik seharusnya diberikan tugas-tugas kompleks, sulit, dan realistik dan kemudian diberikan bantuan secukupnya untuk menyelesaikan tugas-tugas itu”. Pada tahap ini peserta didik melakukan penyelidikan untuk mengumpulkan informasi-informasi yang sesuai dalam memecahkan masalah. Pada fase mengembangkan dan menyajikan hasil diskusi, guru meminta perwakilan kelompok peserta didik untuk menyajikan hasil diskusinya. Setelah diskusi kelompok dianggap cukup, beberapa kelompok dipilih secara acak untuk menyajikan hasil diskusi bahan ajar, sedangkan kelompok yang tidak menyajikan ke depan mencermati dan memberikan tanggapan terhadap apa yang disajikan, kemudian guru memberikan kesempatan kepada kelompok lain yang memiliki strategi yang berbeda untuk mempresentasikannya. Pada tahapan ini, guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan meluruskan konsep apabila peserta didik mengalami kekeliruan. Setelah peserta didik diperkirakan memahami konsep, kemudian guru membagikan LKPD yang berisi masalah-masalah untuk didiskusikan sebagai tahapan mengaplikasikan konsep yang baru saja dipahami. Pada tahapan ini, terjadi proses diskusi aktif dalam kelas, sehingga suasana belajar tidak membosankan. Pada fase menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah, guru membantu peserta didik untuk melakukan refleksi secara bersamaan terhadap proses pemecahan masalah yang digunakan. Guru memberikan arahan dan penjelasan mengenai proses pemecahan yang digunakan, supaya tidak terjadi kesalahan konsep. Dalam pelaksanaan model pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended Problem di sekolah, masih terdapat kendala yang dihadapi oleh peneliti yaitu sulit mencari problem atau masalah yang relevan, ketidakmampuan peneliti dalam pengelolaan kelompok mengakibatkan banyak waktu yang terbuang. Selain itu, kendala lainnya adalah alokasi waktu yang memerlukan waktu yang cukup dalam proses penyelidikan, sehingga banyak waktu yang tersita untuk proses tersebut. Peneliti sadari masih banyak kelemahan dari pelaksanaan model pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended Problem diantaranya kelemahan pertama peserta didik mengalami kebingungan ketika harus mengisi bahan ajar yang peneliti bagikan pada setiap kelompok, peserta didik bertanya kepada peneliti bagaimana mengisi bahan ajar tersebut. Setelah peneliti memberi penjelasan barulah peserta didik memahaminya. Kelemahan kedua terlihat dari tingkat ketelitian peserta didik, karena dalam mengerjakan soal pada bahan ajar peserta didik kurang
teliti sehingga mengalami kesalahan dalam proses perhitungan. Kelemahan ketiga peserta didik belum terbiasa diberikan soal dalam bentuk open-ended, sehingga peserta didik masih canggung dan kurang percaya diri untuk mengerjakan soal-soal open-ended. Kelemahan keempat sebagian peserta didik masih ada yang belum menguasai materi operasi hitung pecahan campuran. Seperti halnya peserta didik kelas eksperimen, peserta didik kelas kontrol diberi pretest pada awal pembelajaran dan posttest pada akhir pembelajaran dengan menggunakan soal yang sama. Akan tetapi, pembelajaran yang digunakan pada kelas kontrol menggunakan model pembelajaran langsung. Ada lima fase pada model pembelajaran langsung, yaitu fase menyampaikan tujuan dan mempersiapkan peserta didik, fase mendemonstrasikan keterampilan dan pengetahuan, fase pelatihan terbimbing, fase umpan balik, serta fase latihan dan aplikasi. Soal-soal yang diberikan baik di kelas eksperimen maupun di kelas control sama. Posttest diberikan kepada kedua kelas setelah kompetensi dasar yang diteliti selesai diajarkan baik yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended Problem maupun model pembelajaran langsung, berupa tes kemampuan pemecahan masalah matematik peserta didik. Selain itu, setelah tes akhir peserta didik pada kelas eksperimen, diberikan angket untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap penggunaan model pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended Problem. Data yang diperoleh dalam hasil penelitian untuk menganalisis peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik peserta didik yang terjadi baik di kelas eksperimen maupun kelas kontrol diperoleh dari hasil pretest dan posttest kemampuan pemecahan masalah matematik peserta didik. Data yang diolah yaitu gain yang merupakan selisih antara pretest dengan posttest kemampuan pemecahan masalah matematik peserta didik. Nilai Posttest kelas eksperimen menunjukkan ketercapaian Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) sebesar 75 (skor 30) tercapai sebesar 57,69%, yaitu sebanyak 15 orang peserta didik mencapai KKM dan 11 orang peserta didik 42,31% masih dibawah KKM. Sedangkan untuk kelas kontrol, sebesar 17,86% peserta didik mampu mencapai KKM yaitu sebanyak 5 orang peserta didik dan sebesar 82,14% peserta didik belum mencapai KKM yaitu sebanyak 23 orang. Untuk peserta didik yang nilainya masih dibawah KKM diberi tugas tambahan sebagai pengganti nilai yang kurang. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik peserta didik kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended Problem menunjukan adanya peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik peserta didik. Hal
itu terlihat dari data gain ternormalisasi yang didapat ternyata rata-rata normal gain kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended Problem lebih baik dengan rata-rata normal gain 0,69 dibandingkan kelas kontrol dengan ratarata normal gain 0,52. Hasil perolehan data serta hasil pengujian hipotesis menunjukan bahwa terdapat peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik peserta didik melalui model pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended Problem. Hal ini terjadi karena dalam proses model pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended Problem lebih menekankan pada peran aktif pesrta didik untuk menemukan pengetahuan dan membangun pemahamannya sendiri, sehiga kemampuan berpikir tingkat tinggi peserta didik dapat berkembang secara optimal. Hal ini sejalan dengan pendapat Trianto (2009:92), “pengajaran berdasarkan masalah merupakan pendekatan yang efektif untuk pengajaran proses berfikir tingkat tinggi”. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Bruner (Trianto, 2009:38) “belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberi hasil yang paling baik”. Berbeda dengan model pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended Problem, pembelajaran langsung berpusat pada guru (teacher centered), sehingga peserta didik pasif dan hanya mendapatkan pengetahuan dari guru tanpa berusaha menemukan sendiri, akibatnya proses belajar menjadi tidak bermakna. Sedangkan model pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended Problem justru menekankan kepada keaktifan peserta didik, sehingga belajar menjadi terasa bermakna. Sikap peserta didik terhadap penggunaan model pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended Problem adalah kecenderungan peserta didik dalam berpikir, merasakan suka atau tidak suka dan bertingkah laku pada penerapan pembelajaran berbasis masalah. Sikap peserta didik pada penerapan model pembelajaran yang dilaksanakan mencakup suasana dan kegiatankegiatan yang berlangsung dalam pembelajaran. Pada penelitian ini, komponen sikap hanya diteliti pada kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended Problem. Komponen sikap yang diteliti yaitu: afektif, kognitif dan konatif. Indikator kognitif adalah kepercayaan terhadap penggunaan model pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended Problem, indikator afektif adalah kepekaan perasaan terhadap penggunan model pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended Problem, indikator konatif adalah dorongan bertindak terhadap penggunaan model pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended Problem.
Berdasarkan respon peserta didik dapat diketahui bahwa sikap peserta didik terhadap penggunaan model pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended Problem menunjukan sikap positif dengan rata-rata skor keseluruhan 3,79 lebih dari rata-rata skor netral 3. Hal ini terjadi karena model pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended Problem merupakan pembelajaran yang menekankan pada keaktifan peserta didik untuk menemukan pengetahuan dan memecahkan masalah secara mandiri serta dapat mengaitkan suatu konsep dengan konsep lainnya, sehingga belajar tidak membosankan dan benar-benar bermakna. Berdasarkan hasil penelitian, pengolahan data dan pengujian hipotesis yang telah dikemukakan, dapat diperoleh kesimpulan bahwa terdapat peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik peserta didik melalui penggunaan model pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended Problem dan peserta didik bersikap positif terhadap penggunaan model pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended Problem. Berdasarkan simpulan hasil penelitian sebagaimana yang telah dikemukakan, maka peneliti menyarankan: Kepada pendidik dan calon pendidik hendaknya selalu berimprovisasi menggunakan pembelajaran yang inovatif yang dapat memberikan pengalaman belajar bermakna bagi peserta didik dan dapat mendorong peserta didik aktif dalam proses belajar mengajar, salah satunya dengan menggunakan model pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended Problem. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat mengungkap lebih dalam lagi efektivitas model pembelajaran Problem Solving berbasis Open-Ended Problem dalam pembelajaran matematika dengan bahasan yang lebih luas dan sesuai dengan karakteristik materi pelajaran. Dalam memberikan materi pelajaran dan soal-soal latihan, hendaknya mengaitkan konsep yang dipelajari dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, dan memberikan contoh penyelesaian yang sistematis sehingga peserta didik menjadi terbiasa. Salah satunya dengan memberikan penyelesaian masalah menurut langkah Polya.
DAFTAR PUSTAKA AR, Erman S. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung : JICA. Nuryadi. (2009). Implementasi Model Pembelajaran Creative Problem Solving dengan Menggunakan Alat Peraga Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Pokok Bahasan Bangun Ruang Pada Siswa Kelas VII SMP N 2 Godean, [On-line]. Tersedia: http://nuryadi.mercubuana-yogya.ac.id/author/webdosen/implementasi-model-
pembelajaran-cretive-problem-solving-dengan-menggunakan-alat-peraga-untukmeningkatkan-prestasi-belajar-matematika-pokok-bahasan-bangun-ruang-pada-siswakelas-viii-smpn-2godean.html [5 Februari 2013] Sudiarta, I Gst. Putu. (2005). Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Berorientasi Pemecahan Masalah Kontekstual Open-Ended. [On-line]. Tersedia: http://www.igustiputusudiarta.org/pengembangan-model-pembelajaran-matematikaberorientasi-pemecahan-masalah-kontekstual-open-ended.pdf Trianto. (2011). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.