MISSIO ECCLESIAE Jurnal Institut Injil Indonesia Edisi No. 3/Th. 4/Maret/2013 Pelindung: Rektor Institut Injil Indonesia Dr. Stevri I. Lumintang, DTh, Th.D. Penasehat: Dr. Awasuning Manaransyah Dr. Gunaryo Sudarmanto Dr. Robert C. Wagey Dr. Ferdinan S. Manafe Morris Ph. Takaliuang, Th.D. Pemimpin Redaksi: Dr. Erni Takaliuang-Efruan Dewan Redaksi: Dr. Maria Hanie E. Chresty T. Tupamahu, S.Th. Alamat Redaksi: Jl. Indragiri No.5 Batu-65301 Jawa Timur Telp. (0341)591283; Fax. (0341)597974 Email:
[email protected] Website: www.i3 batu.ac.id Diterbitkan Dep. Multimedia YPPII BATU Batu – 65312 Jawa Timur
MISSIO ECCLESIAE Jurnal Institut Injil Indonesia Edisi No. 4/Th. 4/Juni/2013
TEKNOLOGI DAN TANGGUNG JAWAB ORANG KRISTEN ............. 1 Kol. Dr. Drs. Phanny Tandy Kakauhe, M.Si., M.Th. ALIRAN KEBATINAN DI PULAU JAWA DAN PENDEKATAN IMAN KRISTEN ..................................................................................................................... 2 6 Cecilia Ilona, M.Th. KEBANGKITAN TUBUH MENURUT 1 KORINTUS 15:25-58 DAN IMPLIKASI ETIS ..................................................................................................................... 3 9 Dr. Danik Astuti Lumintang, M.Pd.K. IBADAH SEBAGAI GAYA HIDUP MENURUT ROMA 12:1 DAN IMPLIKASINYA BAGI IBADAH MASA KINI ..................................................................................................................... 6 1 Jammes Junaedy Takaliuang, S.S, M.Th. GEREJA DAN TRANSFORMASI KRISTEN SUATU TINJAUAN KRITIS TERHADAP MISI GERAKAN TRANSFORMASI .................. 84 Ridwan Henry Simamora, M.Th. TEOLOGI PAULUS TENTANG KARUNIA-KARUNIA ROH DAN IMPLIKASINYA BAGI PROBLEMATIKA PNEUMATOLOGIS GEREJA MASA KINI .............................................................................. 110 Hotman Parulian Simanjuntak, M.Th. INTEGRASI TEOLOGI DAN PSIKOLOGI DALAM PELAYANAN PASTORAL KONSELING KRISTEN ..................................................... 133 Sherly Mudak, M.Th.
TOLERANSI AGAMA DAN MOTIF MISI KRISTEN ....................... 150 Dewi Magdalena Rotua, M.Th. PERAN MANUSIA ALLAH MENURUT 1 TIMOTIUS 6:11-21 ....... 167 Theophylus Doxa Ziraluo, M.Th. KAJIAN TENTANG PERATURAN DAERAH (PERDA) BERNUANSA AGAMA DAN MASA DEPAN HARMONISASI UMAT BERAGAMA DI INDONESIA ..................................................................................... 189 I Gusti Ngurah Oka, M.Th.
Sekapur Sirih Syalom, Pembaca yang budiman, segala pujian patut kita hsturksn kepada Tuhan kita Yesus
Kristus
yang
memungkinkan
Jurnal
“Missio
Ecclesiae,”
edisi
No.3/Th.4/Februari/2013 bisa mengunjungi para pembaca. Nampaknya terlalu dekat jarak terbitan edisi sebelumnya (Oktober 2012), tetapi kami memang berusaha memacu diri untuk menebus kevakuman yang pernah terjadi. Dalam edisi ketiga ini, diawali dengan pembahasan menarik yang menyoroti secara kritis terhadap perkembangan teknologi, baik secara positif maupun negatife, berlandaskan Firman Allah, serta bagaimana tanggung jawab orang Kristen. Menurut penulis artikel ini, ilmu pengetahuan dan teknologi adalah hasil karya manusia sebagai salah satu wujud amanat budaya, yang telah mempengaruhi manusi, sehingga berkecenderungan hati selalu menghasilkan yang jahat, termasuk dengan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Pokok-pokok bahasan menarik lainnya adalah menyoroti tentang kebatinan, tentang Peraturan Daerah, berdasarkan Firman Allah, dan bagaimana sikap gereja pada umumnya, serta orang Kristen pada khususnya. Beberapa penulis lain membahas tentang pokok-pokok teologis dan etika, serta, pastoral konseling. Kami berharap bahwa Jurnal “Missio Ecclesiae,” edisi kontribusi yang signifikan, sehingga pembaca diperkaya dengan pokok-pokok bahasan yang diuraikan di dalamnya, sehingga memiliki wawasan yang lebih luas dalam pelayanan. Dengan pertolongan Tuhan, kami akan berusaha untuk menjumpai para pembaca dalam edisi berikutnya. Tuhan memberkati.
Redaksi
TEKNOLOGI DAN TANGGUNG JAWAB ORANG KRISTEN PHANNY TANDY KAKAUHE
PENDAHULUAN Kemajuan dunia di segala bidang melalui ilmu pengetahuan dan teknologi sesungguhnya berakar atau bersumber pada karya Tuhan sendiri yang telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang diberikan kemampuan untuk merekreasi kreasi Tuhan. Itu sesuai dengan amanat Tuhan sendiri kepada manusia yaitu amanat kebudayaan yang tertulis dalam Kejadian 1:28. Amanat budaya ini hanya diberikan kepada manusia sebagai ciptaan Allah yang paling istimewa, karena manusia diciptakan menurut gambar atau rupa Allah. Sebagai makhluk ciptaan yang segambar dengan Penciptanya, manusia diberikan hal yang tidak diberikan kepada ciptaan yang lain. Manusia memiliki roh, kehendak dan pikiran. Sebagai makhluk yang memiliki roh, manusia dapat berhubungan atau berkomunikasi dengan Allah yang adalah Roh adanya. Sebagai makhluk bermoral, manusia diberikan kemampuan untuk mempertimbangkan dan memutuskan yang benar atau yang salah. Dan sebagai makhluk berpikir, manusia memiliki kemampuan untuk berpikir rasional sehingga menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang adalah hasil karya manusia, sebagai salah satu wujud pelaksaan amanat budaya (Kej 1:28), telah berkembang maju seiring dengan kemajuan manusia. Sayangnya, dosa telah memengaruhi sehingga kecenderungan hati manusia adalah senantiasa menghasilkan dosa, tidak terkecuali dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan manusia tidak semuanya sesuai dengan kebenaran Firman Allah. Manusia memperalat ilmu pengetahuan dan teknologi untuk melakukan berbagai kejahatan, bahkan dijadikan senjata untuk melawan Tuhan. Satu sisi, perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa manusia mengalami kemajuan peradabannya. Ilmu pengetahuan mendukung industri, sehingga masyarakat dunia berubah dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri, kemudian semakin maju menjadi masyarakat pasca-industri, dan sekarang ini menjadi
masyarakat informatika. Ilmu Pengetahuan semakin memberikan kemudahan, kenyamanan, kecepatan, dan kemakmuran kepada manusia. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi medis telah banyak memberikan kegunaannya bagi manusia. Penyakit-penyakit yang sulit disembuhkan pada masa lalu, dengan kemajuan ilmu pengetahuan medis dan teknologi medis, dapat disembuhkan, sekalipun muncul juga penyakit lain. Sayangnya, di sisi lain, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan dampak negatif kepada manusia. Di antaranya kemajuan teknologi militer menyebabkan jumlah kematian manusia sangat mudah dan dalam jumlah yang semakin banyak, lebih banyak dari pada perangperang sebelumnya. Begitu juga, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi medis, diikuti dengan kemajuan perilaku dan penyimpangan medis, seperti penyalahgunaan obat-obat. Secara khusus dengan kemajuan teknologi informatika, menyebabkan semakin bertambahnya kejahatan dan tindak amoralitas. Banyak berita kejahatan dengan menggunakan teknologi informatika, khususnya internet dengan cybersex dan pornografi yang begitu mudah diperoleh dan diakses oleh siapa pun juga. Sekelumit gambaran mengenai penyalahgunaan teknologi informatika yang penulis kemukakan di atas membuat sekelompok orang Kristen bersikap negatif terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mereka bahkan menganggap bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informatika khususnya merupakan bukti keangkuhan dan kejahatan manusia melawan Allah dan kebenaran-Nya, karena itu mereka bersikap antipati terhadapnya. Orang tua yang bersikap demikian sering berdebat dengan anak-anaknya, bahkan ada juga anak-anak yang memiliki keinginan dan bakat untuk melanjutkan studi mereka di bidang teknologi informatika, namun karena sikap orang tua mereka yang anti terhadap teknologi, maka mereka pun berakhir di bidang studi yang mereka tidak minati. Yang lain, bersikap pasif dengan teknologi informatika, karena kebingungan mereka, di mana di satu sisi, mereka memerlukan atau memakainya setiap hari dan banyak menolong, namun di sisi lain mereka terpengaruh dengan pendapat orang Kristen yang menakut-nakuti orang lain mengenai bahaya teknologi informatika. Sebagian besar orang Kristen, tidak menyikapi teknologi informatika sebagai sesuatu yang berbahaya, melainkan dianggap sebagai wujud kemajuan dan perkembangan zaman yang harus dijalani. Mereka bahkan menjadikan teknologi informatika tidak terpisahkan dengan kehidupan sehari-hari, secara khusus bagi anak muda, seperti yang nampak pada penggunaan handphone dan laptop untuk alat komunikasi dan pencari
informasi melalui internet (google). Teknologi informasi sudah menjadi suatu gaya hidup di kalangan anak-anak muda. Bahkan yang sedang terjadi sekarang ini, nampaknya ada Gereja yang menempatkan teknologi informatika sebagai pusat, seolah-olah keberhasilan ibadah mereka sangat ditentukan oleh peranan teknologi informatika. Pemakaian teknologi informatika dijadikan daya tarik tersendiri, sehingga pertambahan anggota sangat banyak dipengaruhi olehnya. Pro dan kontra masih menjadi pemandangan di kalangan Kristen. Kenyataanya, banyak gereja yang telah menggunakan kemajuan teknologi informatika sebagai alat atau instrumen dalam kegiatan-kegiatan Gereja. Di sisi lain, ada pengkhotbah yang begitu berapi-api memberikan peringatan mengenai bahaya teknologi informatika. Ketidakjelasan sikap Gereja terhadap teknologi informatika, mendorong penulis untuk mengkajinya, karena penulis mencermati bahwa di kalangan Kristen sendiri masih belum ada kejelasan sikap terhadap teknologi informatika.
PENGERTIAN TEKNOLOGI Kata teknologi berasal dari bahasa Yunani: techne yang berarti: kepandaian, keahlian, pemahaman, ataupun kelicikan, yang umumnya dipakai dalam berbagai lapangan pekerjaan. Di dalam pengertian yang sempit, pengertian teknologi hanya berkenaan dengan proses industri.15 Teknologi kadang-kadang disebut juga: ilmu pengetahuan yang dipraktekkan (applied science), yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan pendapat manusia untuk keperluan dan keinginannya. Teknologi berarti: membekali atau melengkapi kehendak manusia dengan alat-alat dan pekerjaan mesin-mesin, sebagai ganti dari pada setiap pekerjaan yang dilaksanakan oleh tangan. Bagaimana bisa membuat jumlah yang besar dalam waktu yang singkat oleh produksi kelompok besar (mass production), dan membuat barang-barang yang tidak dapat diperoleh dan dibuat oleh tangan manusia.16 Dengan teknologi (ilmu teknik) manusia dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan lebih mudah, lebih kompleks, lebih bermutu, lebih besar, dan lebih sempurna/rampung yang memusatkan perhatian pada cara menciptakan dan mewujudkan bendabenda material (yang rill) berdasarkan usaha manusia. Bnd. A.R. Hall. “Art Technology” dalam Encyclopedia Americana, Vol. 26 (New York: American Cooporation, 1972), 357 16 Bnd. T.S.G. Mulia, Encyclopedia Indonesia (Jakarta), 1324 15
Selain dari pengertian di berbagai bidang pekerjaan, istilah teknologi dipakai juga dalam berbagai bidang kesenian, yang sering dipakai dalam arti kemahiran atau kepandaian, misalnya teknik mengarang, teknik menari, teknik melukis dan sebagainya. Di bidang olahraga dan pertanian, teknik juga diartikan dengan kemahiran.17 Kegiatan teknologi adalah kegiatan mental dan fisik pada manusia (perorangan ataupun kolektif) untuk mengubah ataupun memanipulasi lingkungan (arbes). Teknologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang dipraktekkan dan merupakan jembatan penghubung antara ilmu pengetahuan dan teknik. Pada dasarnya, ilmu pengetahuan dan teknik bukanlah sama dan sebangun. Sebagai perbandingan antara teknik dengan ilmu pengetahuan, sama dengan perbandingan antara tabu dan dapat. Di dalam ilmu pengetahuan, yang primer adalah pengertian mendalam secara teori, sedangkan di dalam teknik, nilai gunanya, efisiensinyalah yang primer.18 Pengetahuan adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk menuturkan apabila seseorang mengenal tentang sesuatu. Sesuatu hal yang menjadi pengetahuannya adalah selalu terdiri atas unsur yang mengetahui dan yang diketahui serta kesadaran mengenai hal yang ingin diketahuinya. Oleh karena itu pengetahuan selalu menuntut adanya subyek yang mempunyai kesadaran untuk mengetahui tentang sesuatu obyek yang merupakan sesuatu yang dihadapinya sebagai hal yang ingin diketahuinya. Jadi bisa dikatakan bawa pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala perbuatan manusia untuk memahami sesuatu objek yang dihadapinya, atau hasil usaha manusia untuk memahami objek tertentu. Masalah terjadinya pengetahuan adalah masalah yang amat penting dalam epistemologi, sebab jawaban terhadap terjadinya pengetahuan maka seseorang akan berwarna pandangan atau paham filsafatnya. Jawaban yang paling sederhana tentang terjadinya pengetahuan ini apakah berfilsafat a priori atau a posteriori. Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau melalui pengalaman, baik pengalaman indra maupun pengalaman batin. Adapun pengetahuan a posteriori adalah pengetahuan yang terjadi karena adanya pengalaman. Dengan demikian pengetahuan ini bertumpu pada kenyataan objektif. Perbandingan lain antara teknik dengan ilmu pengetahuan adalah bahwa pada zaman dahulu, teknik diartikan sebagai pekerjaan tangan kaum terpelajar, dan ilmu pengetahuan adalah bagi sarjana yang tak kenal 17
Bnd. Ibid., 1326 Bnd. E. Lederer, “Art Technology,” dalam E.R.A. Seligman (Ed.), Encyclopedia of the Social Sciences. Vol. 13-14 (New York. 1957), 553-559 18
praktek. Akan tetapi sejak permulaan revolusi industri yang pertama (pemakaian mesin uap) di Inggris terbentuklah persekutuan antara ilmu pengetahuan dan teknik, sehingga ilmu pengetahuan dan teknik sangat saling mempengaruhi. Penemuan teknis ternyata sangat memajukan penyelidikan-penyelidikan ilmiah dan sebaliknya, berbagai teori-teori ilmiah menghasilkan penemuan teknis yang baru. Pada teknologi, aliansi (persekutuan) antara ilmu pengetahuan dan teknik berjalan bersama-sama dan berkelanjutan. Pengetahuan yang merupakan produk kegiatan berpikir, merupakan obor dan semen peradaban di mana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidup dengan lebih sempurna. Berbagai peralatan dikembangkan manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya dengan jalan menerapkan pengetahuan yang diperoleh. Proses penemuan dan penerapan itulah yang menghasilkan kapak dan batu zaman dahulu hingga teknologi jaringan komputer sebagai teknologi pada dewasa ini. Menurut seorang penulis tentang teknik, bahwa perbedaan antara dahulu dan sekarang, dilukiskannya sebagai berikut: Dahulu seribu pemecahan untuk seribu soal, sekarang satu pemecahan untuk seribu soal. 19 Pesawat terbang, radio, telpon, televisi, dan sebagainya yang distandarisasikan atau diharmonisasikan dan hasil persekutuan antara ilmu pengetahuan dan teknik, sehingga teknologi tidaklah timbul secara kebetulan saja.
SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN Pemikiran filsafat banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Namun pada dasarnya filsafat baik di Barat, India, dan Cina muncul dari yang sifatnya religious. Di Yunani dengan mitosnya, di India dengan kitabnya Weda (agama Hindu), dan di Cina dengan Confusiusnya. Di Barat mitos dapat lenyap sama sekali dan rasio yang menonjol; sedangkan di India, filsafat tidak pernah bisa lepas dengan induknya, dalam hal ini agama Hindu. Pembagian secara periodisasi Filsafat Barat adalah zaman Kuno, zaman Abad Pertengahan, zaman Modern dan Masa Kini. Aliran yang muncul dan berpengaruh terhadap pemikiran filsafat adalah Positivisme, Marxisme, Eksistensialisme, Fenomenologi, Fragmatisme, NeoKantianianisme dan Neo-Tomisme. Pembagian secara periodisasi filsafat Cina adalah Zaman Kuno, Zaman Pembauran, Zaman Neo-Konfusionisme, 19
Bnd. J. Verkuyl, Etika Kristen dan Kebudayaan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1966), 85-86
dan Zaman Modern. Tema yang pokok filsafat China adalah masalah perikemanusiaan (jen). Pembagian secara periodisasi filsafat India adalah periode Weda, Waracarita, Sutra-sutra, dan Skolastik. Dalam filsafat India yang penting adalah bagimana manusia bisa berteman dengan dunia, bukan untuk menguasai dunia. Adapun pada filsafat Islam hanya ada dua periode, yaitu periode Mutakallimin dan periode filsafat Islam. Untuk sejarah perkembangan ilmu pengetahuan di sini pembahasan mengacu ke pemikiran filsafat di Barat. Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam sejarah peradaban, karena pada waktu itu terjadi perubahan pola pikir manusia dari mite-mite menjadi yang lebih rasional. Pola pikir mite-mite adalah pola pikir masyarakat yang sangat mengandalkan mitos untuk menjelaskan fenomena alam, seperti gempa bumi dan pelangi. Gempa bumi tidak dianggap fenomena alam biasa, tetapi dewa bumi yang sedang menggoyangkan kepalanya. Namun ketika filsafat diperkenalkan, fenomena alam tersebut tidak lagi dianggap sebagai aktivitas dewa, tetapi aktivitas alam yang terjadi secara kausalitas. Perubahan pola pikir tersebut kelihatannya sederhana, tetapi implikasinya tidak sederhana, karena selama ini alam ditakuti dan dijauhi, tetapi kemudian didekati bahkan dieksploitasi. Manusia yang dulunya pasif menghadapi fenomena alam menjadi lebih proaktif dan kreatif, sehingga alam dijadikan objek penelitian dan pengkajian. Dari proses inilah ilmu berkembang dari rahim filsafat, yang akhirnya dalam bentuk teknologi. Karena itu periode perkembangan filsafat Yunani merupakan poin untuk memasuki peradaban baru umat manusia. Jadi, perkembangan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini tidak berlangsung secara mendadak, melainkan terjadi secara bertahap, evolutif. Karena untuk memahami sejarah perkembangan ilmu, mau tidak mau harus melakukan pembagian atau klasifikasi secara periodik, karena setiap periode menampilkan ciri khas tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Perkembangan pemikiran secara teoritis senantiasa mengacu kepada peradaban Yunani. Periodisasi perkembangan ilmu di sini dimulai dari peradaban Yunani dan diakhiri pada zaman kontemporer. Zaman Pra Yunani Kuno Pada masa ini manusia masih menggunakan batu sebagai peralatan. Oleh karena itu, zaman pra Yunani Kuno disebut sebagai Zaman Batu yang berkisar antara empat juta tahun sampai 20.000 tahun sebelum Masehi. Sisa
peradaban manusia yang ditemukan pada masa ini,20 antara lain: alat-alat dari batu; tulang-belulang hewan; sisa beberapa tanaman; tulang-belulang manusia purba. Antara abad ke-15 sampai 6 SM, manusia telah menemukan besi, tembaga, dan perak untuk peralatan. Abad ke-15 sebelum Masehi peralatan besi dipergunakan pertama kali di Irak, bukan di Eropa atau Tiongkok.21 Pada abad ke-6 SM di Yunani lahirlah Filsafat. Timbulnya filsafat di tempat itu disebut peristiwa ajaib (the greet miracle). Ada beberapa faktor yang sudah mendahului dan seakan-akan mempersiapkan lahirnya filsafat di Yunani. K. Bertens menyebutkan ada tiga faktor, yaitu sebagai berikut: Pada bangsa Yunani, seperti juga pada bangsa-bangsa sekitarnya, terdapat suatu mitologi yang kaya serta luas. Mitologi ini dapat dianggap sebagai perintis yang mendahului filsafat, karena mite-mite sudah merupakan percobaan untuk mengerti. Mite-mite sudah memberikan jawaban atas pertanyaan yang hidup dalam hati manusia: Dari mana dunia kita? Dari mana kejadian dalam alam? Apa sebab matahari terbit? Lalu terbenam lagi? Melalui mite-mite, manusia mencari keterangan tentang asal usul alam semesta dan tentang kejadian-kejadian yang berlangsung di dalamnya. Mite jenis pertama yang mencari keterangan tentang asal usul alam semesta sendiri biasanya disebut mite kosmogonis, sedangkan mite jenis kedua yang mencari keterangan tentang asal-usul serta sifat kejadian dalam alam semesta disebut mite kosmologis. Yang khusus pada bangsa Yunani ialah mereka mengadakan beberapa usaha untuk menyusun mite-mite yang diceritakan oleh rakyat menjadi suatu keseluruhan yang sistimatis. Dalam usaha itu sudah tampak sifat rasional bangsa Yunani. Karena dengan mencari seluruhan yang sistimatis, mereka sudah menyatakan keinginan untuk mengerti hubungan mite-mite satu sama lain dan menyingkirkan mite yang tidak cocok dengan mite lain. Kesusastraan Yunani. Kedua karya puisi Homeros yang masingmasing berjudul Ilias dan Odysea mempunyai kedudukan yang istimewa dalam kesusastraan Yunani. Syair-syair dalam karya tersebut lama sekali digunakan sebagai semacam buku pendidikan untuk rakyat Yunani. Dalam dialog yang bernama Politeia, Plato mengatakan Homeros telah mendidik seluruh Hellas. Karena puisi Homeros pun sangat digemari oleh rakyat untuk mengisi waktu terluang dan serentak juga mempunyai nilai deduktif. Pengaruh ilmu pengetahuan yang pada waktu itu terdapat di timur Kuno. 20 21
Dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat, 1996 Brouwer, (1982), 6
Orang Yunani tentu berhutang budi kepada bangsa-bangsa lain dalam menerima beberapa unsur ilmu pengetahuan dari mereka. Demikianlah ilmu ukur dan ilmu hitung sebagian berasal dari Mesir dan Babilonia, pasti ada pengaruhnya dalam perkembangan ilmu astronomi di negeri Yunani. Namun, andil bagi bangsa-bangsa lain dalam perkembangan ilmu pengetahuan Yunani tidak boleh dilebih-lebihkan. Orang Yunani telah mengolah unsur-unsur tadi atas cara yang tidak pernah disangka-sangka oleh bangsa Mesir dan Babylonia. Baru pada bangsa Yunani, ilmu pengetahuan mendapat corak yang sungguh-sungguh ilmiah. Pada abad ke-6 Sebelum Masehi mulai berkembang suatu pendekatan yang sama sekali berlainan. Sejak saat itu orang mulai mencari berbagai jawaban rasional tentang problem yang diajukan oleh alam semesta. Logos akal budi, rasio mengganti mythos. Dengan demikian filsafat dilahirkan. Pada zaman Pra Yunani Kuno, di dunia ilmu pengetahuan dicirikan berdasarkan know how yang dilandasi pengalaman empiris. Di samping itu kemampuan berhitung ditempuh dengan cara one to one correspondency atau mapping process. Contoh cara menghitung hewan yang akan masuk dan ke luar kandang dengan batu kerikil. Namun pada masa kini manusia sudah mulai memperhatikan keadaan alam semesta sebagai suatu proses alam. Dengan demikian lama-kelamaan mereka juga memperhatikan dan menemukan hal-hal berikut ini: Gugusan bintang di langit sebagai suatu kesatuan. Gugusan ini kemudian diberi nama misalnya, Ursa Minor, Ursa Mayor, Pisces, Scorpio dan lain-lain yang dikenal dengan nama zodiak. Kedudukan matahari dan bulan pada waktu terbit dan tenggelam, bergerak dalam rangka zodiak tersebut. Lambat laun dikenal pula bintangbintang bergerak di antara gugusan yang sudah dikenal tadi, sehingga ditemukan planet Mercurius, Venus, Mars, Yupiter, Saturnus, di samping matahari dan bulan. Akhirnya dapat pula dihitung waktu bulan kembali pada bentuknya yang sama antara 28-29 hari. Waktu timbul dan tenggelamnya matahari di cakrawala yang berpindah-pindah dan memerlukan kurang lebih 365 hari sebelum kembali ke kedudukan semula. Ketika matahari timbul tenggelam sebanyak 365 kali, bulan juga mengalami perubahan sebanyak 12 kali. Berdasarkan hal itu kelak ditemukan perhitungan kalender. Ditemukan pula gejala alam seperti gerhana, yang pada masa itu masih dihubungkan dengan mitologi-mitologi tertentu, sehingga menakutkan banyak orang. 22
22
Rizal Mustansyir, (1996), 33
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pada zaman ini ditandai oleh kemampuan: Know how dalam kehidupan sehari-hari yang didasarkan pada pengalaman. Pengetahuan yang berdasarkan pengalaman ini diterima sebagai fakta dengan sikap receptive mind, keterangan masih dihubungkan dengan kekuatan magis. Kemampuan menemukan abjad dan sistem bilangan alam sudah menampakkan perkembangan pemikiran manusia ke tingkat abstraksi. Kemampuan meramalkan suatu peristiwa atas dasar peristiwa-peristiwa sebelumnya yang pernah terjadi.23
Zaman Yunani Kuno Zaman Yunani Kuno dipandang sebagai zaman keemasan filsafat, karena pada masa itu orang memiliki kebebasan untuk mengungkapkan ideide atau pendapatnya. Yunani pada masa itu dianggap gudang ilmu. Bangsa Yunani pada waktu itu tidak lagi mempercayai mitologi-mitologi; bangsa Yunani tidak dapat menerima pengalaman yang didasarkan pada sikap receptive attitude (sikap menerima begitu saja), melainkan menumbuhkan sikap an inquiring attitude (suatu sikap yang senang menyelidiki sesuatu secara kritis). Sikap belakangan inilah yang menjadi cikal bakal tumbuhnya ilmu pengetahuan modern. Beberapa filsuf pada masa itu antara lain Thales, Phytagoras, Socrates, Plato, Aristoteles. Zaman kuno meliputi zaman filsafat pra-Socrates di Yunani. Tokoh-tokohnya dikenal dengan nama filsuf alam. Mereka mencari unsur induk (arche) yang dianggap sebagai asal dari segala sesuatu. Menurut Thales, arche itu air, Anaximandros arche itu yang tak terbatas (to apeiron), Anaximenes arche itu udara, Phytagoras arche itu bilangan, Heraklitos arche itu api; segala sesuatu itu mengalir terus (pantarhei). Pharmenendes mengatakan bahwa segala sesuatu itu tetap tidak bergerak.24
Zaman Keemasan Filsafat Yunani Pada waktu Athena dipimpin oleh Parikles, kegiatan politik dan filsafat dapat berkembang dengan baik. Ada segolongan kaum yang pandai berpidato (rethorika) dinamakan kaum sofis. Kegiatan mereka adalah mengajarkan pengetahuan pada kaum muda. Yang menjadi objek penyelidikannya bukan lagi alam tetapi manusia, sebagaimana yang 23 24
Ibid. Lasiyo dan Yuwono, (1985), 52.
dikatakan oleh Phythagoras, manusia adalah ukuran untuk segala-galanya. Hal ini ditentang oleh Socrates dengan mengatakan bahwa yang benar dan yang baik harus dipandang sebagai nilai-nilai yang objektif, yang dijunjung tinggi oleh semua orang. Akibat ucapannya itu Socrates dihukum mati. Hasil pemikiran Socrates dapat ditemukan pada muridnya, yaitu Plato. Plato mengatakan: realitas seluruhnya terbagi atas dua dunia yang hanya terbuka bagi panca indra, dan dunia yang hanya terbuka bagi rasio kita. Dunia yang pertama adalah dunia jasmani dan yang kedua dunia ide. Pendapat tersebut dikritik oleh Aristoteles dengan mengatakan bahwa yang ada itu adalah manusia-manusia yang konkret. Ide manusia manusia tidak terdapat dalam kenyataan. Aristoteles adalah filsuf yang realis, dan sumbangannya kepada perkembangan ilmu pengetahuan besar sekali. Sumbangan yang sampai sekarang ini masih dipakai dalam ilmu pengetahuan adalah mengenai abstraksi, yakni aktivitas rasional di mana seseorang memperoleh pengetahuan. Ia membagi menjadi tiga abstraksi, yakni abstraksi fisis (abstraksi yang ingin menangkap pengertian dengan membuang unsur-unsur individual untuk mencapai kualitas), abstraksi matematis (di mana subjek menangkap unsur kuantitatif dengan menyingkirkan unsur kualitatif), dan metafisis (di mana seseorang mengadopsi unsur-unsur yang hakiki dengan mengesampingkan unsurunsur lain).25 Teori Aristoteles yang cukup terkenal adalah tentang materi dan bentuk. Keduanya ini merupakan prinsip-prinsip metafisis, materi adalah prinsip yang tidak ditentukan, sedangkan bentuk adalah prinsip yang menentukan. Teori ini terkenal dengan sebutan Hylemorfisme. 26 CIRI-CIRI TEKNOLOGI MODERN Agar dapat menyelami makna dan masalah-masalah etis di sekitar teknik, maka mula-mula perlu sekali diketahui sejelas-jelasnya apa yang khas dari teknologi modern itu. Di bawah ini penulis mencoba untuk mencantumkan ciri-ciri itu, antara lain sebagai berikut. Gejala Produksi Massa Dalam abad-abad yang lalu penemuan pada bidang teknologi itu sangat terbatas penggunaannya, tetapi dewasa ini tingkat teknik dalam 25 26
Harry Hamersma, (1983) K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogjakarta: Kanisius. 1988), 11-16
teknologi modern sudah semakin maju. Penemuan teknis telah dijadikan hak paten dan dibuat oleh pabrik-pabrik besar dengan mesin secara besarbesaran dalam jumlah jutaan serta dijual di seluruh dunia, misalnya: industri-industri besar seperti tekstil, telpon, radio, mobil, makanan yang diawetkan, dan sebagainya. Masyarakat modern tanpa gejala produksi massa sebagai hasil dari teknologi modern agak sukar dibayangkan.
Gejala Otomatisasi Suatu ciri yang khas pada abad teknik ini ialah gejala automation atau otomatisasi/mekanisasi (membuat mesin-mesin atau pesawat-pesawat yang berjalan otomatis). Gejala ini berpengaruh besar terhadap kehidupan manusia di abad modern. Manusia sungguh tidak penyabar lagi. Manusia selalu menghendaki yang serba cepat, otomatis, supersonic dan seterusnya. Hal ini tercermin dalam segi moral, manusia ingin cepat kaya, bekerja seperti robot dan komputer. Untuk itu bila perlu ada jalan pintas, melalui: korupsi, penyelewengan, penyalahgunaan kekuasaan, dan sebagainya. Sikap demikian juga tercermin dalam kehidupan rohaniah. Ada hubungan yang sangat erat antara proses mekanisasi pada umumnya dan gejala automation ini pada khususnya. Mekanisasi ialah penggantian tenaga manusia dengan alat mesin. Otomatisasi ialah penggantian pekerjaan lainnya daripada manusia, seperti mengukur, mengatur, mengontrol, dan melayani dengan mesin atau otomatis.27 Jadi, mengotomatisasikan ialah mengemudikan atau mengontrol jalannya mesin (pesawat) dengan mesin, tidak dengan manusia, misalnya sentral-sentral atau pusat telpon otomatis, mesin-mesin hitung elektronik, pilot otomatis (autopilot), penerbangan otomatis tanpa penerbang. Teknologi dan Ilmu Pengetahuan Teknologi dan ilmu pengetahuan memiliki hubungan yang semakin erat dengan teknologi modern, keduanya saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Perbandingan teknik dan ilmu pengetahuan sama dengan perbandingan tahu dan dapat. Dapat terjadi seorang sarjana menemukan sesuatu, menyusun suatu teori tertentu, walaupun belum tercipta.
Bnd. “Art. Automation” dalam I.J. Gelb dan J.M. Weels, The Work Book Encyclopedia, Vol. I (USA: 1968), 916-919 27
Sebaliknya dapat juga terjadi bahwa orang mendapatkan sesuatu penemuan teknis tanpa mengetahui prinsip-prinsip teoritis. Ilmu pengetahuan diambil dari bahasa Inggris science, yang berasal dari bahasa Latin scientia dari bentuk kata kerja scire yang berarti mempelajari, mengetahui. Pertumbuhan selanjutnya pengertian ilmu mengalami perluasan arti sehingga menunjuk pada segenap pengetahuan sistematik, dalam bahasa Jerman wissenchaft. The Liang Gie memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistimatis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia.28 Aktivitas Ilmu Metode
Pengetahuan
Dalam bagan di atas memperlihatkan bahwa ilmu harus diusahakan dengan aktivitas manusia, aktivitas itu harus dilaksanakan dengan metode tertentu, dan akhirnya aktivitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Ilmu sebagai aktivitas ilmiah dapat berupa penelaahan (study), penyelidikan (inquiry), usaha menemukan (attempt to find) atau pencarian (search). Oleh karena itu, pencarian biasanya dilakukan berulang kali, maka dalam dunia ilmu, kini dipergunakan istilah research (penelitian) untuk aktivitas ilmiah yang paling berbobot guna menemukan pengetahuan baru. Metode ilmiah merupakan prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, tata langkah, dan cara teknis untuk memperoleh pengetahuan baru atau memperkembangkan pengetahuan yang ada. Metode yang berkaitan dengan pola prosedural meliputi pengamatan, percobaan, pengukuran, survei, deduksi, induksi, analisi, dan lain-lain. Berkaitan dengan tata langkah meliputi penentuan masalah, perumusan hipotesis (bila perlu), pengumpulan data, penurunan kesimpulan, dan pengujian hasil. Berkaitan dengan berbagai teknik meliputi: pertanyaan, 28 The Liang Gie, Konsepsi Tentang Ilmu (Yogjakarta: Yayasan Studi Ilmu dan Teknologi, 1987)
wawancara, perhitungan, pemanasan, dan lain-lain. Yang berkaitan sengan aneka alat, meliputi: timbangan, meteran, perapian, komputer, dan lain-lain. Sejak permulaan revolusi industri pertama (mesin uap) terbentuklah persekutuan antara ilmu pengetahuan dan teknik, sehingga ilmu pengetahuan dan teknik saling mempengaruhi dan semakin mempunyai hubungan erat, mempunyai ciri khas teknologi (teknik) modern dewasa ini. Penemuan-penemuan teknis sangat mempengaruhi dan menakjubkan dalam penyelidikan ilmiah, dan sebaliknya berbagai teori ilmiah menghasilkan penemuan-penemuan teknis baru.29 Kombinasi dan kerjasama antara ilmu pengetahuan dan teknik itulah yang disebut dengan teknologi. Pada teknologi jelas terlihat aliansi atau persekutuan antara ilmu pengetahuan dan teknik. Seorang insinyur modern yang terdidik secara ilmiah adalah individu yang dalam pekerjaannya membuat teknik dan ilmu pengetahuan berjalan bersama-sama. Terutama dalam bidang kimia dan fisika (Ilmu alam) dalam teknologi modern, hubungan antara teknik dan ilmu pengetahuan itu nyata dan semakin erat sekali. Ilmu pengetahuan adalah suatu disiplin yng menyelidiki secara rasional dan kenyataan, umpamanya ilmu berhitung, yaitu suatu disiplin ilmu yang menyelidiki segala yang berhubungan dengan angka-angka. Ilmu alam ialah suatu disiplin yang menyelidiki tentang alam. Teknologi pada zaman dahulu masih dalam taraf terbatas dan rendah sekali, di mana seribu pemecahan untuk seribu soal. Di zaman teknologi modern ini penemuan insidentil sebagian besar telah lampau. Kini zaman penyelidikan ilmiah sudah secara sistematis, dan usaha sistematis pula untuk menemukan pemecahan-pemecahan teknis guna mengaplikasikan atau mempraktekkan pendapat-pendapat teoritis secara menakjubkan, yang menjadi ciri teknologi modern dewasa ini. Dari aktivitas ilmiah dengan metode ilmiah yang dilakukan oleh para ilmuwan dapatlah dihimpun sekumpulan pengetahuan yang baru, atau pengetahuan yang telah ada disempurnakan, sehingga di kalangan ilmuwan maupun para filsuf pada umumnya terdapat kesepakatan bahwa ilmu adalah suatu kumpulan pengetahuan yang sistematis. Adapun menurut Bahm, definisi ilmu pengetahuan melibatkan minimal enam macam komponen, yaitu: masalah (problem), sikap (attitude), metode (method), aktivitas (activity), kesimpulan (conclution), dan pengaruh (effects).30
29
30
Bnd. Verkuyl, Etika Kristen dan..., 85. Bahm dalam Koento Wibisono, (1997).
Masalah (Problem) Ada tiga karakteristik yang harus dipenuhi untuk menunjukkan bahwa suatu masalah bersifat scientific, yaitu: communicability berarti masalah adalah untuk dikomunikasikan. The scientific attitude paling tidak memenuhi karakteristik curiosity, speculativeness, willingness to the objective. The scientific method berarti masalah harus dapat diuji (testable).
Sikap (Attitude) Karakteristik yang harus dipenuhi antara lain: 1) Curiosity, berarti adanya rasa ingin tahu tentang bagaimana sesuatu itu ada, bagaimana sifatnya, fungsinya, dan bagaimana sesuatu dihubungkan dengan sesuatu yang lain, 2) Speculativeness. Scientist harus mempunyai usaha dan hasrat untuk mencoba memecahkan masalah, melalui hipotesis-hipotesis yang diusulkan, 3) Willingness to be objective, hasrat dan usaha untuk bersikap dan bertindak objektif merupakan hal yang penting bagi seorang scientis, 4) Willingness to suspend judgement, ini berarti bahwa seorang scientist dituntut untuk bertindak bijaksana dan sabar dalam mengadakan observasi, serta bersikap bijaksana dalam menentukan kebijakan berdasarkan buktibukti yang dikumpulkan karena apa yang diketemukan masih serba tentatif.
Metode (Method) Sifat scientific method berkenaan dengan hipotesis yang kemudian diuji. Esensi science terletak pada metodenya. Science sebagai teori, merupakan sesuatu yang selalu berubah. Berkenaan dengan sifat metode scientific, para scientist tidak selalu memiliki ide yang (pasti) yang dapat ditunjukkan sebagai sesuatu yang absolut atau mutlak.
Aktivitas (Activity) Science adalah suatu lahan yang dikerjakan oleh para scientist, melalui apa yang disebut scientific research, terdiri atas dua aspek, yaitu individual dan sosial. Dari aspek individual, science adalah aktivitas yang dilakukan oleh seseorang. Adapun dari aspek sosial, science has become a vast institutional undertaking. Scientist menyuarakan kelompok orang-
orang elite, dan science merupakan a never ending journey, atau a never ending effort.
Kesimpulan (Conclusions) Science lebih sering dipahami sebagai a body of knowledge. Body dari ide-ide ini merupakan science itu sendiri. Kesimpulan merupakan pemahaman yang dicapai sebagai hasil pemecahan masalah adalah tujuan dari science, yang diakhiri dengan pembenaran dari sikap, metode, dan aktivitas. Pengaruh (Effect) Sebagaian dari apa yang dihasilkan melalui science pada gilirannya memberi berbagai pengaruh. Pertimbangannya dibatasi oleh dua penekanan, yaitu pertama, pengaruh ilmu terhadap ekologi, melalui apa yang disebut dengan applied science, dan kedua, pengaruh ilmu terhadap atau dalam masyarakat, serta membudayakan menjadi berbagai macam nilai. Teknologi dan Ekonomi Ciri yang keempat ialah hubungan yang erat antara teknologi dan ekonomi di dalam dunia modern di mana melalui peningkatan perekonomian berupa kekayaan materi harus dengan jalan yang benar, jujur dengan memuji nama-Nya terhadap teknologi yang ada.31 Penemuan teknis menyebabkan timbulnya industri-industri yang menghasilkan produksinya, sejak terdapat hubungan yang sangat erat antara perkembangan teknis dan ekonomi dunia.32 Telah nyata dengan jelas, betapa besar pengaruh teknik terhadap ekonomi di dalam masyarakat pada zaman teknologi modern ini melalui produksi industri. Hasil penemuan itu telah mempengaruhi nasib jutaan pekerja dan konsumen (pemakai). Penemuan itu juga memainkan peranan penting yang menentukan di dalam soal upah dan harga, yang merupakan bahan pertengkaran dan perebutan yang sering bersaingan. Selain itu merupakan bola yang dipermainkan antara berbagai kekuasaan politik. 31
Bnd. F.H. Sianipar, Satu Jawab (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1973), 76 Bnd. M. Sastrapratedja, “System Teknokratis; Cenderung Kepada Peningkatan Kekayaan Ekonomis serta Kekuasaan Politik,” dalam Kompas, 2 September 1980, 1, 9 32
Dengan ribuan cara teknik di dunia modern ini terjalin dalam hidup dan nasib negara-negara, bangsa-bangsa, ideologi, sistem budaya masyarakat, dan lain-lain. Kadang-kadang para cendikiawan itu sama sekali tidak tahu betapa besar pengaruh penemuan mereka pada ekonomi dunia, yang telah menjadi ciri dan mewarnai teknologi modern dewasa ini. Seringkali mereka itu adalah orang-orang yang naif, hampir tidak mengetahui pentingnya penemuan di bidang ekonomi. Pendapat-pendapat lainnya seperti Thomas Alva Edison dan Henry Ford tahu benar betapa pentingnya pendapat mereka dalam kehidupan manusia dan pentingnya peranan teknologi terhadap ekonomi dunia, sebaliknya falsafah ekonomi telah mewarnai atau mempunyai ciri khas perkembangan teknologi modern dewasa ini. Mengutip Jacques Ellul dalam bukunya yang terkenal The Technological Society, M. Sastrapratedja menyebutkan, kini teknik telah menguasai seluruh ekonomi dan kebudayaan. Teknik berkembang menurut prinsip-prinsipnya sendiri. Otonomi teknik adalah ciri khas teknologi modern. Dalam situasi ini, timbul masalah-masalah seperti moralitas yang terancam oleh pertumbuhan teknik, penindasan hak atau nilai-nilai manusiawi yang semakin diremehkan. Manusia telah dijadikan atau menjadi budak-budak teknologi akibat jiwa ekonomi yang telah mewarnai dan menguasai pikiran manusia yang terlibat dalam pengusahaan teknologi modern dewasa ini. Kuasa, kekayaan, konsentrasi kerja yang diakibatkan oleh spesialisasi keahlian yang menjadi ciri khas teknologi modern, juga menuntut adanya konsentrasi pengawasan dan control di bidang ekonomi, politik, informasi oleh kelompok-kelompok teknologi tersebut. Maka hubungan teknologi dan ekonomi dunia dewasa ini tidak dapat lagi disangkal telah mewarnai dan menguasai pengembangan ilmu dan teknologi, atau dengan kata lain telah menjadi ciri-ciri teknologi modern. Ciri-ciri dari teknologi modern cenderung terhadap perimbangan dan pertentangan yang membinasakan, mengakibatkan manusia semakin terancam bahaya, resah dan putus asa. Dalam peperangan, ilmu dan teknologi menyebabkan manusia saling meracuni, membunuh dan saling menjatuhkan. Dapat dikatakan ciri-ciri teknologi pada zaman modern ini, di samping hakekatnya yang menguntungkan umat manusia, hal itu tidak dapat disangkal, namun juga dapat membawa pengaruh yang buruk dan fatal terhadap hidup manusia, baik secara jasmani maupun rohani. Ada dua pengaruh positif yang menentukan dalam pengembangan teknologi pada media komunikasi, misalnya pada televisi masyarakat membutuhkan hiburan dan informasi, sedangkan pemerintah membutuhkan informasi
untuk mencapai hasil yang diharapkan dalam mengembangkan kehidupan bangsa. Ciri-ciri teknologi modern memuat tiga ciri filsafat sebagai dasarnya yang bersifat deskriptif, kritik atau analitik, evaluatik atau normatif, spekulatif, dan sistematik.
Menyeluruh Artinya, pemikiran yang luas karena tidak membatasi diri dan bukan hanya ditinjau dari satu sudut pandang tertentu. Pandangan kefilsafatan ingin mengetahui hubungan antara ilmu yang satu dengan ilmu-ilmu yang lain, hubungan ilmu dengan moral, seni, dan tujuan hidup.
Mendasar Artinya, pemikiran yang dalam sampai kepada hasil yang fundamental atau esensial obyek yang dipelajarinya sehingga dapat dijadikan dasar berpijak bagi segenap nilai dan keilmuan. Jadi, tidak hanya berhenti pada periferis (kulitnya) saja, tetapi tembus sampai ke dalamannya. Spekulatif Artinya hasil pemikiran yang didapat dijadikan dasar bagi pemikiran selanjutnya. Hasil pemikirannya selalu dimaksudkan sebagai dasar untuk menjelajah wilayah pengetahuan yang baru. Meskipun demikian tidak berarti hasil pemikiran kefisafatan itu meragukan, karena tidak mencapai keselesaian.
TEKNOLOGI SEBAGAI KUNCI KEMAJUAN SEBUAH NEGARA Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendukung sepenuhnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) nasional untuk kemandirian bangsa. Hal itu dikemukakan Presiden saat berpidato memperingati Hari Kebangkitan Teknologi Nasional yang dilaksanakan di Gedung Merdeka, Bandung, Jawa Barat, Kamis (30 Agustus 2012). “Saat bangsa Indonesia memperingati satu abad Kebangkitan Nasional pada 2008, kita bertekad menjadikan Indonesia sebagai negara maju. Jadi, menurut saya, sangat masuk akal pada abad ke-21 Indonesia bisa menjadi
negara maju. Untuk menuju ke sana kunci perubahannya terletak pada ilmu pengetahuan dan teknologi,” kata Presiden. Sebuah keberhasilan teknologi untuk pembangunan ekonomi akan terlihat pada arah, strategi, dan agenda yang jelas. Tidak hanya merancang teknologi, tetapi arahnya harus jelas. Agendanya harus jelas sehubungan dengan untuk apa sebuah penelitian dilakukan. Strategi pun harus diperhatikan. Jika teknologi itu bertujuan untuk kemajuan negara, maka harus dirancang untuk kepentingan negara atau dapat diartikan teknologi yang dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Di sinilah letak tantangan dari sebuah penelitian yang dilakukan, dapat atau tidak memenuhi tujuan yang esensial tersebut. Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sehubungan dengan sentuhan IPTEK bagi kemajuan Negara Indonesia adalah menekankan pada kebutuhan masyarakat yang paling banyak, yakni: pangan, energi dan lingkungan. Untuk sebuah perencanaan IPTEK, setiap negara harus jeli melihat kebutuhan masyarakatnya supaya pelaksanaan IPTEK dapat sesuai dengan sasaran dan tujuannya. Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dari sisi pangan, para ahli pangan harus bisa menjawab tantangan dalam hal mengecilkan keran import dan membangun ketahanan pangan dengan sentuhan inovasi dan teknologi. Dalam bidang pangan, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) melakukan teknik mutasi radiasi dan membuat bibit unggul tanaman pangan tahan hama, produktivitas tinggi, enak rasanya, dan tahan terhadap perubahan iklim. Dari sisi energi, Indonesia memiliki sumber daya energi yang cukup banyak, namun belum dimaksimalkan. Dari sisi lingkungan, yang terkait dengan perubahan iklim, para ahli mulai memikirkan masalah perubahan iklim. Dari segi transportasi yang diupayakan untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan atau green tech, seperti hadirnya mobil listrik. BATAN juga tengah meriset penggunaan teknologi nuklir untuk bidang diagnosis dan terapi panyakit. Kegiatan masyarakat IPTEK di negara berkembang seperti Indonesia, mewakili tiga golongan utama, yakni IPTEK untuk peningkatan produktivitas, IPTEK untuk peningkatan pelayanan umum, IPTEK untuk perlindungan masyarakat. Keseluruhan aktivitas itu, ditujukan untuk mendukung tujuh bidang fokus IPTEK, seperti kesehatan dan obat, pertahanan dan keamanan, teknologi informasi dan komunikasi, transportasi, pangan, energi, serta material maju. Kesempatan meriset IPTEK menjadi harapan masyarakat bersama untuk menjadi titik awal bagi IPTEK untuk membangun bangsa. Jika persoalan atau masalah masyarakat dapat diatasi dengan IPTEK yang tepat sasaran, maka kepastian akan kemajuan sebuah negara dapat terwujud. Seluruh lapisan mayarakat dalam
sebuah bangsa selalu mengharapkan dan menginginkan bahwa IPTEK yang difokuskan adalah IPTEK yang langsung bersentuhan dengan kebutuhan masyarakat, sehingga pada akhirnya menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi bangsanya.
TEKNOLOGI INFORMATIKA SEBAGAI TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB ORANG KRISTEN Alkitab sebagai sumber pengetahuan tentang Allah, Firman dan kehendak-Nya juga sebagai sumber etika kehidupan umat manusia di dalam mencari, meningkatkan dan mempergunakan hasil ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kesejahteraan hidup manusia. Di dalam Alkitab, manusia adalah puncak dari segala ciptaan selama enam hari oleh Allah. Manusia diciptakan segambar dengan Allah, yang diberi mandat sebagai “mandataris Allah,” untuk mengelola dan menguasai seluruh bumi dan segala yang ada di atasnya. Manusia diciptakan dengan mencurahkan roh kehidupan atau menghembuskan nafas kehidupan atau nephesy (Kej 2:7).33 Berarti manusia diciptakan secara sempurna tiada memiliki kekurangan, penuh hikmat, pengetahuan, kuasa dan tanggung jawab kebenaran dan akal budi, pengetahuan yang baik dan jahat.34 Manusia tidak pernah hidup tanpa pengetahuan. Allah itu bukanlah Allah kegelapan, kebodohan dan kepasifan, melainkan Allah Sang Pencipta, yang Mahatahu dan Mahakuasa, yang daripada-Nya manusia beroleh hikmat, kebijaksanaan, dan ilmu pengetahuan. Manusia sebagai mandataris Allah juga mempunyai tugas dan tanggung jawab yang agung dari Allah, suatu tugas yang meliputi seluruh dunia (alam semesta). Allah berfirman: “...penuhilah bumi dan taklukkanlah itu dan berkuasalah...” (Kej 1:28). Dalam tugas yang agung ini manusia diperintahkan untuk memenuhi, menundukkan, menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan untuk mengelola segala yang ada dalam alam ciptaan Tuhan ini, termasuk tugas dalam perkembangan kebudayaan manusia dan teknologi. Mandat itu lebih lanjut diuraikan lagi dalam Kejadian 2:15, “Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam Taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.” Bumi ini memang bukan milik manusia, melainkan milik Allah, dan Allah menghendaki supaya manusia, atas nama Tuhan, mengolah, 33 34
Bnd. W. Lamp, Tafsiran Kejadian (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1964), 78-86 Bnd. Ibid., 54-55, 101-105
mengusahakan, dan mengerjakan bumi ini dengan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya. Maka tugas itu telah dimulai di taman Eden. Taman Eden adalah awal daripada suatu keadaan alam. Allah telah berfirman bahwa manusia akan mengusahakan dan mengerjakan bumi yang dimulai dari Taman Eden. Terlukislah seakan-akan di dalam angan-angan manusia sepanjang sejarah atas perintah Allah untuk mengusahakan segala sesuatu, baik mencangkul, membajak, memalu, memarut, hingga pesawat radar dan mesin elektronik, bahkan juga alat-alat untuk melukis, alat-alat musik, laboratorium kimia dan lain-lain. Di dalam Alkitab sangat ditekankan, bahwa tugas itu suatu tugas yang langsung dari Allah kepada manusia. Hal itu mempunyai arti yang sangat penting bagi etika Kristen. Barangsiapa menolak bekerja dalam tugas ini, adalah orang yang melalaikan kewajiban, orang yang mogok kerja, pembolos atau desersi dari dinas pengabdian kepada Allah, hamba yang malas, karena menghindarkan diri tugas panggilannya. 35 Allah yang hidup, yang menyatakan diri dalam Alkitab, adalah Allah yang memberikan tugas dan yang menciptakan manusia dengan mata yang dapat melihat, otak yang dapat berpikir, tangan yang dapat membangun, supaya manusia atas nama Tuhan, menaklukkan dunia dan segala yang ada di dalamnya dengan batas-batas tertentu. Allah yang dikenal dalam Alkitab adalah Allah yang menjadi sumber terang dan pengetahuan. Roh Allah menyelidiki perkara Allah yang dalam, menerangi juga roh dan akal manusia serta segala yang dijanjikan oleh Allah. Allah telah memberi roh yang dari Allah kepada manusia, sebab karena roh itulah manusia dapat menyelidiki segala sesuatu, bahkan hal-hal yang tersembunyi di dalam diri Allah sendiri (1Kor 2:10). Dalam menggali ilmu pengetahuan, manusia harus terlebih dahulu meminta bimbingan Roh Kudus, dengan demikian dapat bekerja sesuai dengan kehendak Allah. Manusia memperoleh tugas utuk memeriksa, menyelidiki, dan mengelola segala sesuatu yang terjadi di dalam alam ini (Pkh 1:13), sebagai seorang musafir yang berjuang, memperhatikan, meneliti, dan meneruskan perjalanannya di atas bumi ini. Di dalam berbagai mitologi kekafiran, kerapkali digambarkan tentang dewa-dewi yang hendak mencegah supaya pengetahuan dan pengertian jangan sampai dimiliki manusia. Di antara dewa-dewi yang hendak mencegah itu kerapkali digambarkan tokoh seorang dewa yang sangat licik, bahkan lebih licik dari dewa-dewa lainnya dan membuka
35
Bnd. Verkuyl, Etika Kristen dan..., 20-21
rahasia dewa-dewa kepada manusia.36 Sehingga tidak ada usaha manusia untuk menyelidiki segala sesuatu untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Dengan cara berpikir animistis itu, banyak orang menyerah terhadap alam (naturalism, fatalism), takut mendekati, menyelidiki, menguasai, apalagi bertindak untuk berbuat sesuatu bersifat ilmiah. Lalu merelasikan diri dan berlindung di bawah kekuatan mistik dan magic. Tetapi Allah di dalam Yesus Kristus bukanlah seperti dewa-dewa itu, yang hendak meyembunyikan pengetahuan bagi manusia, bukan pula seperti kepercayaan animisme yang takut mendekati, menyelidiki, menguasai bumi, sehingga berserah terhadap kehendak alam, melainkan justru hanya Dia-lah Allah yang memberikan tugas kepada manusia untuk menyelidiki segala sesuatu dan menguasainya. Di dalam ringkasan Dasa Titah yang tercantum dalam Matius 22:37, “Kasihilah Tuhan Allahmu; dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan segenap akal budimu (bnd. Ul 6:5).” Tuhan tidak meminta kepada manusia untuk menon-aktifkan atau menyisihkan akal budinya, melainkan harus menggunakannya dengan penyerahan dan ketekunan sepenuhnya. 37 Di dalam tugas itu sangat erat hubungannya dengan hal mengenal dan mengasihi Tuhan dan sesama manusia. Di dalam bahasa Ibrani istilah itu disebut dengan yada (tahu, kenal); dan daath (pengetahuan); epistame (tahu, mengerti); theorein (nampak, melihat). Sehingga dengan tepat dalam Alkitab, segala yang berhubungan dengan tahu selalu dihubungkan dengan mengaku, percaya kepada Allah adalah khalik langit dan bumi. Dalam perkataan yada selalu tersimpul hubungan yang diketahui atau dikenal, yakni mengenal Dia dalam segala yang diciptakan-Nya dalam kasih. Itulah juga yang dimaksudkan dalam Alkitab: “Pengetahuan tanpa kasih tiada berguna (1Kor 13:2),” bahwa Allah akan mempermalukan akal orang yang berakal, yang mengumpulkan pengetahuan dan menyelidiki segala sesuatu tanpa terang kasih Allah (Pkh 1:18). Dalam penyelidikan itu, manusia seharusnya tidak hanya mengenal dan mengakui kekuasaan, kekudusan serta murka Allah, tetapi harus mengenal dan mengakui kemurahan, belas kasihan, dan anugerah Allah. 38 Segala yang diciptakan Allah adalah untuk manusia, untuk dikenal, diselidiki, dan dipahami oleh manusia dan seluruh karya dan kerajaan Allah (bnd. Mzm 2). Hal ini berarti di dalam menyelidiki alam atau dunia ini, penting bidang ilmu pengetahuan Pendidikan Agama Kristen, baik ilmu 36
Bnd. Ibid., 64 Bnd. J. Verkuyl. Etika Kristen dan..., 64-65 38 Bnd. G. Kittle. Theological Dictionary of The New Testament, Vol.1 (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1977), 689-697 37
pengetahuan yang hasilnya secara langsung dapat dimanfaatkan (applied science), selain teknologi misalnya: Biologi, Ekonomi, Kimia, Ilmu Kedokteran, maupun Ilmu Pengetahuan belum secara langsung hasilnya dapat dimanfaatkan (Indirect applied scince) seperti: Sosiologi, Filosofi, Antropologi, Etnologi dan sebagainya. Tidak dapat disangkal bahwa applied scince terutama teknologi hasilnya lebih langsung menyangkut hidup manusia, bagaimanapun tingkat peradaban manusia itu tanpa meniadakan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Walaupun manusia banyak mengalami rintangan dan hambatan, ia tetap memperjuangkan dan memajukannya sesuai dengan kebenaran yang dilihat, dipelajari dan dipraktekkan, bahkan ada yang bersedia sampai kehilangan nyawa (mis. Galileo: 1564-1642) hanya mempertahankan kebenaran ilmu pengetahuan. Ternyata semua ilmu pengetahuan yang diperolehnya telah dimanfaatkan oleh, dan untuk manusia itu sendiri. Memang pekerjaan untuk berkecimpung dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, adalah suatu pekerjaan yang berat, sungguh melelahkan dan akan sia-sia belaka apabila dilaksanakan tanpa terang yang datang dari Allah. Sehingga bukan berarti untuk menakut-nakuti manusia terhadap ilmu pengetahuan, melainkan mendorongnya dengan semangat roh dan kebenaran yang datang dari Allah. Orang Kristen tidak patut takut, melainkan hendaknya berusaha memajukan dan mendorong perkembangan ilmu dan teknologi, demikian pernah dipesankan oleh Max Scheler.39 Tuhan tidak hanya memberi tugas kepada manusia supaya menyelidiki segala yang ada dan telah dijadikan oleh Tuhan, tetapi juga tugas manusia supaya mengakui kekhususan tiaptiap lapangan, yang penuh dengan corak ragam dan variasi itu. Barangsiapa tidak memandang ilmu dan teknologi sebagai mandat, tugas dan tanggung jawab dari Allah di tengah-tengah alam ciptaan “Bengkel Tuhan” di dunia ini, maka terancamlah dia oleh suatu bahaya, yakni mempermutlak suatu bidang dan menjadi buta terhadap keanekaragaman dan kekayaan alam ciptaan Tuhan. Maka manusia dalam menyelidiki ilmu dan teknologi haruslah berpangkal pada kepercayaan Sang Khalik dengan penuh hikmat, dan mengakui kekhususan tiap-tiap bidang dari kekayaan alam ciptaan Tuhan itu. Allah memerintahkan supaya manusia bekerja, berkembang biak, memenuhi dan menguasai bumi (bnd. Kej 1:22). Selama manusia hidup, selama itulah dia terpanggil untuk berkerja, mengembangkan dan meningkatkan bakat atau talenta yang dianugerahkan Tuhan kepadanya, sesuai dengan firman, hikmat dan kebenaran Allah dalam kejujuran yang 39
Bnd. J. Verkuyl, Etika Kristen dan..., 66
datang dari Allah, yaitu untuk kebahagiaan manusia dengan cara membagikan kecerdasan kepada yang muda, dan kebutuhan kepada yang tidak berkecukupan (bnd. Ams 1:1-14). Dalam situasi perkembangan ilmu dan teknologi yang pesat dewasa ini, nampak banyak perubahan yang menonjol di kalangan masyarakat, terutama bila ditinjau dari tingkah laku manusia, di mana seharusnya orang Kristen tidak boleh berdiam diri, melainkan harus bersuara dan mengambil peran untuk menempatkan diri dalam melakukan tugas kesaksiannya. Manusia harus membuka hati kepada suara Tuhan, bukan kepada suara Iblis dengan kerakusan dan egoisme serta kebenciannya, termasuk di bidang teknologi. Karena itu dalam kemajuan teknologi dunia sekarang ini, manusia dituntut untuk belajar keras bergumul dan bersaksi, berjuang dan bekerja keras, untuk menyatakan kerajaan Allah di dunia ini. Sebagai orang Kristen di mana pun berada dan bekerja, orang Kristen wajib bertanggung jawab, mengabdi di dalam kesungguhan dan keberanian untuk menghancurkan kekuasaan Setan (bnd. 1Yoh 3:8; Kol 1:13). Akibat perkembangan dunia yang sungguh telah pesat itu, manusia juga harus memiliki keseimbangan rohani dan jasmani. Peranan orang Kristen semakin penting, untuk saling membangun maupun bekerja, guna membangun manusia seutuhnya melalui keseimbangan, keserasian, keselarasan material dan spiritual dalam memelihara perdamaian dan ketertiban dunia. Sebagaimana D.H Assegaff mengemukakan, bahwa kemajuan teknologi dan pengaruhnya terhadap dunia sekarang merupakan kenyataan yang tidak bisa dihindari dan ditolak, sehingga manusia harus turut berpatisipasi, mengarahkan, menguasai dan memanfaatkan sesuai dengan kehendak Tuhan dan kesejahteraan umat manusia. Untuk memenuhi tugas dan tanggung jawab dalam menunaikan tugas usaha pengembangan ilmu dan teknologi, baik bagi para teknokrat, maupun usahawan, buruh, pemerintah dan juga orang-orang yang turut ambil bagian dalam ilmu dan teknologi, harus selalu mengingat syarat pokok keagamaan dan kesusilaan yang dituntut oleh Tuhan dari manusia dalam mengusahakan dan mengembangkan ilmu dan teknologi itu, antara lain sebagai berikut. Sikap Taat dan Tunduk Kepada Tuhan Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan (Ams 1:7a). Dalam Alkitab terjemahan Moffat ayat yang termasyur ini, diterjemahkan: Reverence for eternal is the first thing in knowledge (Hikmat/Hormat
kepada yang kekal adalah hal yang pertama di dalam segala pengetahuan). Dalam bahasa Ibrani Choknia dan daath berarti: Ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan yang praktis. Menurut penggubah Amsal ini bahwa titik pangkal yang pertama (The first thing) pada waktu menginjak lapangan penyelidikan ilmu pengetahuan ialah irad Yahwe (hikmat yang terhikmat /hormat kepada Tuhan). Dalam Alkitab Perjanjian Baru hal itu berarti: bersembah sujud terhadap kemuliaan Allah yang hidup, yang di dalam Yesus Kristus menyatakan diri sebagai Khalik, Pendamai dan Juruselamat dunia. Irad Yahwe ialah: dengan hikmat mendengar sabda-Nya dan mengarahkan diri kepada kehendak-Nya, sesuai dengan tugas dan panggilan manusia dalam pemanfaatan, penyelidikan dan pengembangan ilmu dan teknologi, agar tidak terjerumus kepada kebinasaan yang menyesatkan, kesia-siaan, ketidak-bergunaan dan kecongkakan rohani.40 Allah bukanlah hipotesa dari segala hipotesa, Dia adalah pokok pangkal segala ilmu dan pengetahuan. Dengan cahaya yang memancar dari pada-Nya barulah manusia dapat melihat cahaya yang menerangi segala lapangan ilmu pengetahuan (bnd. Mzm 36:10). Maka hendaknya dicamkan, The first thing bukanlah kepandaian dan ketangkasan, kecakapan dan keahlian, tetapi The first thing yang pertama dan terutama ialah hormat kepada Allah, Yesus Kristus Tuhan kita.
Sikap Jujur, Adil dan Benar Jangan mengucapkan saksi dusta (Kel 20:16a), yang penting di dalam ilmu dan teknologi ialah mengucapkan atau memberi kesaksian. Seorang ilmuwan dapat mengabdikan diri kepada kebohongan, yang memutarbalikkan dan memalsukan kebenaran. Sungguh tidak benar, bahwa ilmu dan teknologi di mana kebenaran, keadilan dan kejujuran dilayani dengan sendirinya. Seorang ilmuwan harus secara jujur dan benar, bahwa dia tidak mampu memecahkan soal-soal yang terdalam daripada hidup, asal mula, tujuan dan akhir dari segala penemuan di dunia ini. Dengan sungguhsungguh Tuhan memberi tugas dan tanggung jawab kepada manusia, baik dalam pengembangan ilmu dan teknologi. Belilah kebenaran dan jangan menjualnya, demikian juga dengan hikmat, didikan dan pengertian (Ams 23:23), maka teknologi perlu dikembangkan asal nilai kejujuran, keadilan, kebenaran dan kualitas lingkungan dipertahankan.41 40 41
Bnd. G.A. Batrick, The Interpretar’s Bible, Vol. IV (New York: 1955), 784-785 Bnd. M. Sastrapratedja. Op.Cit, 1, 4
Sikap Rendah Hati dan Menyembah Pencipta Syarat keagamaan dan kesusilaan yang perlu dipertahankan dalam bidang ilmu dan teknologi ialah rendah hati, dan tidak sombong. Karena tidak ada lapangan kegiatan manusia yang lebih mudah diperalat oleh manusia dengan hybris (kesombongan) seperti pada lapangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Padahal setiap manusia yang berusaha dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi harus secara sadar dan mengakui secara jujur dan rendah hati, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat memecahkan soal-soal yang terdalam dari Allah. Dari diri sendiri, ilmu pengetahuan dan orang berusaha di lapangan itu tidak dapat menjawab pertanaan: Darimana, sebab apa dan untuk apa ilmu pengetahuan dan teknologi itu dikembangkan? Karena baik ilmu dan teknologi serta orang yang berkecimpung di lapangan tersebut, semuanya berasal dan atas kuasa Tuhan. Untuk itu para teknokrat dan yang berkecimpung di dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, wajib juga untuk tetap berdoa, meminta bimbingan dari Tuhan, agar di dalam usaha dan perjuangannya tidak mengarah kepada kesombongan dan kecongkakan hati, melainkan untuk sembah puji bagi Allah. Karena tak dapat disangkal banyak orang yang berkecimpung dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, yang berpangkal pada kepercayaan kepada Tuhan, telah membuat ruangan kerjanya atau laboratorium mereka menjadi ruangan untuk berdoa, di mana tak lupa untuk memohon pengampunan dan sembah puji kepada Tuhan. Karena itu tetaplah: Ilmu pengetahuan dan teknologi jika dimulai dengan Allah, berjalan terus dengan ketaatan kepada Allah, rendah hati, jujur, adil dan benar, ketekunan dalam doa, yang semuanya dirangkum dalam kasih. Maka tidak boleh tidak semuanya akan membawa berkat kepada manusia, dan yang berakhir pada sembah puji kepada Allah, karena hanya Dia-lah yang layak dipuji untuk selama-lamanya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bersejarah (histories) dianggap sebagai bagian kesinambungan dan terjemahan penjabaran inti Creation Dei dari dunia ini, yang sekaligus sebagai tugas dan tanggung jawab orang Kristen atau manusia dari Allah.
ALIRAN KEBATINAN DI PULAU JAWA DAN PENDEKATAN IMAN KRISTEN CECILIA ILONA
PENDAHULUAN Sejak dahulu mistik mewarnai kebudayaan dan sikap hidup orang Jawa. Antara keadaan masyarakat yang konkrit dan pandangan hidup yang bersifat magis-mistis terdapat pertautan yang jelas. Namun merupakan suatu hal yang menarik perhatian bahwa gejala mistik mulai tumbuh lagi secara pesat bertepatan dengan sejarah Republik Indonesia. Seluruh Pulau Jawa diliputi suasana mistik yang merangkum semua kelompok penduduk, dari tingkat sosial dan tingkat pendidikan yang beraneka ragam. Secara mengejutkan Phil Parshall, seorang pakar agama Islam mengatakan: “bahkan saat ini ada denominasi-denominasi Nasrani yang seluruh bentuk ibadahnya, baik sumber maupun manisfestasinya bernuansa mistik.”1 Suasana mistik ini mencapai kristalisasinya dalam macam-macam aliran kebatinan yang tersebar di mana-mana. Di antara mereka, yang mempunyai jumlah pengikut yang besar terutama di Pulau Jawa adalah Pangestu (Paguyuban Ngesti Tunggal), sedangkan Sapta Dharma (yang berarti 'tujuh kewajiban') dan Subud (Susila Budi Dharma) yang menganggap sebagai kewajiban mereka untuk menyembuhkan orang melalui praktik penyerahan secara mistik dan doa, lebih bersifat nasional, bahkan menurut Dr. S. De Jong, Subud terdapat sampai di Amerika dan Eropa.2 Lima aliran kebatinan besar yang terkenal di Pulau Jawa, yaitu: Hardapusara dari Purworejo, Susila Budi Darma (SUBUD) yang asalnya berkembang di Semarang, Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu) dari Surakarta, Paguyuban Sumarah dan Sapta dari Jogyakarta.
Hardapusara 1
Phil Parshall, Bridges to Islam: A Christian Perspective on Folk Islam (untuk kalangan sendiri), 16 2 S. De Jong, Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa (Yogjakarta: Yayasan Kanisius, 1976), 11
Hardapusara adalah yang tertua di antara kelima gerakan yang terbesar itu, yang dalam tahun 1895 didirikan oleh Kyai Kusumawicitra, seorang petani desa Kemanukan dekat Purworejo. Ia konon mendapatkan ilmu dari menerima wangsit dan ajaran-ajarannya semula yang disebut kawruh kasunyatan gaib. Para pengikutnya mula-mula adalah seorang priyayi dari Purworejo dan beberapa kota lain di daerah Bagelan. Organisasi ini dahulu pernah berkembang dan mempunyai cabangcabangnya di berbagai kota di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan juga Jakarta. Jumlah anggotanya konon sudah mencapai beberapa ribu orang. Ajaranajarannya termaktub dalam dua buah buku yang oleh para pengikutnya sudah hampir dianggap keramat, yaitu Buku Kawula Gusti dan Wigati.
Susila Budi (SUBUD) Susila Budi didirikan pada tahun 1925 di Semarang, sekarang berpusat di Jakarta. Budaya ini tidak mau disebut budaya kebatinan, melainkan menamakan dirinya “pusat latihan kejiwaan.” Anggotaanggotanya berjumlah beberapa ribu dan tersebar di berbagai kota di seluruh Indonesia dan mempunyai 87 cabang di luar negeri. Banyak dari para pengikutnya adalah orang Asia, Eropa, Australia dan Amerika. Doktrin organisasi ini dimuat dalam buku berjudul Susila Budhi Dharma; kecuali itu gerakan tersebut juga menerbitkan majalah berkala berjudul Pewarta Kejiwaan Subud.
Paguyuban Ngesti Tunggal Paguyuban Ngesti Tunggal atau lebih terkenal dengan nama Pangestu adalah sebuah budaya kebatinan lain yang luas jangkauannya. Gerakan ini didirikan oleh Soenarto, yang di antara tahun 1932 dan 1933 mengakui menerima wangsit yang oleh kedua orang pengikutnya dicatat, dan kemudian diterbitkan menjadi buku Sasangka Djati. Pangestu, didirikan di Surakarta pada bulan Mei 1949, dan anggota-anggotanya yang kini sudah berjumlah 50.000 orang tersebar di banyak kota di Jawa, terutama berasal dari kalangan priyayi. Namun banyak anggota berasal dari daerah pedesaan yang tinggal di pemukiman transmigrasi di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Majalah yang dikeluarkan organisasi itu, Dwijawara, merupakan tali pengikat bagi para anggotanya yang tersebar itu.
Paguyuban Sumarah Paguyuban Sumarah juga merupakan organisasi besar yang dimulai sebagai suatu gerakan kecil di bawah pimpinan R. Ng. Sukirno Hartono dari Yogyakarta. Ia mengaku menerima wahyu pada tahun 1935. Pada akhir tahun 1940-an gerakan tersebut mulai mundur, namun berkembang kembali tahun 1950 di Yogyakarta. Jumlah anggotanya kini sudah mencapai 115.000 orang, baik yang berasal dari golongan priyayi maupun dari kelaskelas masyarakat lain.
Sapta Darma Sapta Darma merupakan yang termuda dari kelima gerakan kebatinan yang terbesar di Jawa yang didirikan tahun 1955 oleh guru agama Hardjosaputro yang kemudian mengganti namanya menjadi Panuntun Sri Gutomo. Ia berasal dari desa Keplakan dekat Pare, Jawa Timur. Berbeda dengan keempat organisasi yang lain, Sapta Darma beranggotakan orangorang dari daerah pedesaan dan orang-orang pekerja kasar yang tinggal di kota-kota. Walaupun demikian para pemimpinnya hampir semuanya priyayi. Buku yang berisi ajarannya adalah Kitab Pewarah Sapta Darma. Walaupun budaya kebatinan ada di seluruh daerah di Pulau Jawa, namun Surakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa agaknya masih merupakan tempat di mana terdapat paling banyak organisasi kebatinan yang terpenting. Dalam tahun 1970 ada 13 organisasi kebatinan di sana; lima di antaranya dengan anggota sebanyak antara 30-70 orang, tetapi ada satu yang anggotanya sekitar 500 orang dalam tahun 1970. Sepuluh lainnya adalah organisasi-organisasi yang besar, yang berpusat di kota-kota lain seperti Jakarta, Yogjakarta, Madiun, Kediri dan sebagainya.3
ASAL MULA DAN TUJUAN KEBATINAN Kata kebatinan berasal dari kata Arab batin yang berarti: bagian dalam, dalam hati, tersembunyi dan terahasia. Kebatinan Jawa seperti yang diajarkan dan dipraktikkan oleh orang Jawa, merupakan pengolahan terhadap bahan kebatinan yang datang dari luar Jawa yaitu kekayaankekayaan rohani di dalam agama Siwa dan Buddha yang dibawa oleh
3
Jong, Salah Satu Sikap..., 10-12
bangsa India serta agama Islam yang mendapat pengikut di Pulau Jawa pada abad ke 15 Masehi. Agama Islam yang datang di Indonesia ini dibawa oleh para pedagang dari Gujarat sehingga agama itu sudah dipengaruhi oleh aliran kebatinan di India. Hanya ada dua buku Islam yang berasal dari abad ke-16 M, yaitu: Pertama, Een Javaansch Geschrift uit de 16de eeuw (sebuah kesusasteraan Jawa abad ke-16 yang membicarakan tujuan tertinggi dari kebatinan, yaitu kesatuan dengan Allah, yang juga dihubungkan dengan cara hidup etis. Diajarkan di sini bahwa ada tiga pangkat hidup keagamaan yaitu syari’a, tariqa dan haqiqa. Mengenai arti dari ketiga istilah ini akan dijelaskan dalam bagian lain dari tulisan ini. Kedua, Het Boek van Bonang (Buku Bonang) yang antara lain mengajarkan bahwa Allah adalah esa, tanpa ada yang menyamainya. Ajaran kebatinan Islam yang demikian itu dipertahankan oleh orang Jawa sampai berabad-abad lamanya. Hal ini mungkin sekali disebabkan oleh karakteristik orang Jawa yang mempunyai kesadaran kebudayaan yang besar (cultural self-consciousness), bahkan menurut Anderson, toleransi orang Jawa yang terkenal itu sebenarnya didasari oleh kebanggaan akan kesadaran kebudayaan ini, sehingga hampir segala sesuatu ditolerir, asalkan dapat dijelaskan atau disesuaikan dengan sikap hidup orang Jawa.4 Pada abad ke 19 terdapat dua buah buku pula yaitu Serat Wirid dan Serat Centini yang mengungkapkan gagasan mengenai kebatinan Jawa. Rangkuman dari pengajaran tersebut adalah: Pertama, Allah sebagai Zat yang Mutlak, di dalam keadaannya yang semula adalah kosong yaitu kosong yang sejati, yang keadaannya pasti (tidak berubah), tidak dijadikan, tak berawal dan tak berakhir. Penguraian tentang Allah ini lebih mendekati ajaran agama Buddha tentang sunyata. Kedua, Allah sebagai Zat yang Mutlak berdiam di dalam diri manusia, yaitu di bagian terdalam dari manusia, yang disebut atma, sejajar dengan atman di dalam agama Hindu. Ketiga, sebagai Zat Mutlak, segala sesuatu mengalir ke luar dari pada-Nya, jadi proses penjadian manusia dipandang sebagai emanasi dari sumbernya yaitu Zat Tuhan. Ajaran ini seperti ajaran Srti dalam agama Hindu, bahwa dari Brahma sebagai sumber, mengalir segala sesuatu. Keempat, manusia sempurna adalah manusia yang sadar akan keadaannya yang sebenarnya, manusia yang kenal akan asal-usulnya dan 4
Niels Mulder, Mysticism & Everyday Life in Contemporary Java (Singapore: University Press, 1983), 11
tujuan hidupnya, manusia yang telah mengalami kesatuan zat dengan Allah, yang dengannya ia dapat mempersatukan pada dirinya segala kuasa di dunia yang tampak dan yang tidak tampak. Hasilnya ialah bahwa manusia mendapatkan kekuatan gaib yang adikodrati (supernatural), yang dengannya ia dapat melakukan hal-hal yang melebihi orang biasa. Tak ada senjata yang dapat melukainya, ia dapat menyembuhkan orang sakit, dapat berhubungan dengan roh dan sebagainya. Segala sesuatu mungkin baginya, sebab segala sesuatu ditaklukkan kepadanya. Manusia sempurna memiliki juga sifat Allah. Penulis teringat bahwa pernah seseorang yang mempelajari kebatinan mengatakan: “segala sesuatu berpangkal pada batin. Kalau kita terus menerus di dalam batin menghendaki sesuatu secara sungguhsungguh, bahkan misalnya menghendaki kematian seseorang, maka dengan kekuatan batin kita, keinginan itu dapat terpenuhi.” Selanjutnya ajaran ini juga mengemukakan bahwa manusia sempurna sanggup pula menggulung keadaannya sendiri, dengan tujuan untuk dikembalikan kepada asalnya, yaitu pada saat ia meninggalkan dunia ini. Ia adalah Juruselamat-nya sendiri, sekalipun ia tak bisa menyelamatkan manusia lain. Kelima, jika manusia sempurna sudah kembali kepada asalnya, ia menjadi sama dengan Allah, yaitu menjadi meliputi serta menyelami segala sesuatu yang dijelmakan. Perlu diketahui bahwa para murid yang mempelajari ilmu kebatinan selalu harus mengucapkan lafal atau dalil yang pada hakekatnya adalah mantera-mantera, yang jika diucapkan dengan benar menjadi daya kekuasaan atau kuasa yang bekerja secara tersembunyi, yang bisa menghasilkan apa yang dikehendaki. Mereka juga harus menjalankan latihan pernapasan yang tidak mudah pelaksanaannya, tetapi ada instruksi mengenai cara melakukannya. Latihan pernapasan ini merupakan dasar untuk meditasi dan di dalam meditasi inilah mereka menerima kuasa-kuasa yang besar itu. Latihan pernapasan ini mengingatkan kepada ajaran agama Hindu dan Buddha, di mana latihan pernapasan juga berperanan penting.
PENGAJARAN DAN PERKEMBANGAN ALIRAN KEBATINAN Menurut Sumantri Mertodipuro, “Kebatinan adalah cara ala Indonesia mendapatkan kebahagiaan...” 5 Rakyat Indonesia yang mengalami 5
Mulder, Mysticism & Everyday Life..., 20
penindasan yang pahit pada zaman penjajahan, diberi harapan baru akan suatu hidup yang lebih baik, sesudah kemerdekaan mereka diproklamirkan pada tahun 1945. Akan tetapi yang mereka lihat justru kemerosotan moral yang mengecewakan, dan agama-agama yang ada pada waktu itu, baik Kristen, Katolik, Islam dan lain-lainnya tidak membuktikan menjadi suatu benteng kekuatan moral. Padahal bangsa Indonesia sedang mencari azas hidup yang baru sebagai landasan untuk membangun struktur kehidupan manusia Indonesia. Maka timbullah bermacam-macam aliran kebatinan yang selalu menyebut sebagai tujuannya: untuk menyumbangkan usaha bagi pembangunan negara dengan mengajukan budi luhur. Hal ini ditegaskan oleh Badan Kongres Kebatinan Indonesia yang mengemukakan sebagai azas dan tujuannya: “B.K.K.I. berazaskan KeTuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, berdasarkan pedoman: Menunaikan kewajiban, menjauhkan kepentingan diri sendiri, untuk kebahagiaan sesama (sepi ing pamrih – rame ing gawe untuk memayu hayuning bawono) dengan tujuan: Pertama, membuka jalan Kesunyatan yang menuju ke arah kesempurnaan dan kebahagiaan hidup lahir batin. Kedua, dengan rasa cinta kasih hidup damai bergotong-royong dengan segala golongan, tidak memandang Bangsa, Aliran, Agama dan/atau Kepercayaan. Ketiga, untuk kesejahteraan umat manusia, membangkitkan budi pekerti luhur dan membangunkan jiwa yang suci murni, agar supaya dengan memakai dasar kebatinan di segala lapangan tercapailah kesempurnaan.”6 B.K.K.I. juga menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang hakiki antara agama dan kebatinan. Agama menekankan upacara, sedangkan kebatinan menekankan pengalaman batin dan kesempurnaan manusia, oleh karenanya mereka menginginkan agar aliran-aliran kepercayaan/kebatinan diakui dan mendapat status seperti agama resmi, sebagaimana agama Islam dan Kristen. Para ahli kebatinan berpendapat bahwa Allah ada di hati manusia, dan hidup seharusnya merupakan doa yang tak henti-hentinya kepada yang Mahakuasa. Jadi mereka tidak merasakan adanya suatu keperluan untuk berdoa kepada Allah lima kali sehari maupun untuk berdoa di Gereja. Demikian pula mereka tidak mengerti mengapa doa-doa itu harus dikumandangkan melalui pengeras suara di mesjid-mesjid. Bagi mereka, Allah bukannya hakim yang jauh yang tak dapat didekati, justru sebaliknya 6
Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982), 9
Allah lebih dekat kepada manusia dari pada segala sesuatu yang lain, karena manusia pada hakekatnya adalah bagian dari Yang Kudus. Jadi, di sini kita dapat melihat bahwa ajaran Kebatinan itu mempunyai sifat antroposentris, segalanya berkisar pada manusia. Manusia terdiri atas bagian batiniah dan lahiriah. Bagian batiniah ialah rohnya, sukma atau pribadinya, dan bagian inilah yang mempunyai tabiat ilahi karena keluar dari pada-Nya sebagai bayangan Tuhan. Bagian lahiriah dari diri manusia ialah badannya dengan segala hawa nafsu. Badan inilah merupakan wilayah kerajaan rohnya. Itulah dunia kecil atau jagad cilik yang harus dikuasainya. Bila manusia dapat menguasai dunia kecil ini, yakni dirinya sendiri, maka dia telah menjadi seorang ksatrya pinandita, seorang raja pahlawan merangkap pendeta, seorang pujangga yang maklum akan hal-hal rahasia. Dalam dirinya telah tercapai kesatuan: seperti batinnya mempunyai asalusul ilahi, demikian pun badannya mengalami proses spiritualisasi, berkembang menjadi rohani. Manusia yang telah berkembang secara mental, dapat membebaskan diri dari mencari keuntungan sendiri dan akan bekerja dengan sepi ing pamrih, ambisi pribadi harus diatasi. Karena sikap hidupnya yang keras, tanpa mencari keuntungan, manusia itu memajukan dunia, jagad gedhe.
CARA MEMPRAKTIKKAN KEBATINAN Pertemuan kebatinan biasanya diadakan dalam kelompok yang berjumlah 5-50 peserta dengan seorang guru. Perlu diperhatikan bahwa para peserta ini terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, bahkan para pemeluk agama Islam, Kristen, Budha, dan lain-lain juga ada. Pertemuan dibuka dengan “sujud pengheningan” yaitu latihan sujud untuk memperoleh kejernihan dalam pikiran dan konsentrasi. Kemudian sang guru berbicara mengenai makna hidup sesuai dengan pandangannya. Sementara sujud, batin dapat secara intuisi merasakan kehadiran Allah. Latihan sujud ini berbeda bentuk dan isinya, tergantung pada aliran kebatinan yang dianut dan guru yang memimpin. Ada yang bersujud tersungkur sambil berkonsentrasi pada rasa, atau zikir, atau ada juga yang berdoa secara berdiam diri dan lain-lain. Pada dasarnya praktik kebatinan adalah usaha individu, yaitu menginginkan kesatuan dengan asalnya, mengharapkan akan mengalami pembukaan rahasia dari ke-ada-an dan kelepasan dari segala ikatan dunia.
Niels Mulder mengutip Koentjaraningrat yang berpendapat bahwa praktik kebatinan merupakan suatu pengunduran diri dari kesulitan hidup sehari-hari ke dalam dunia mimpi dan pengalaman-pengalaman batin serta kerinduan akan masa lampau.7 Dalam mengejar cita-cita ini, seringkali lakon dari cerita wayang menjadi petunjuk, seperti misalnya ketika Bima (salah seorang dari Pendawa-lima dalam epik Mahabarata) melakukan perjalanan yang jauh dan berbahaya untuk mendapatkan air, hal ini dipandang sebagai gambaran dari perjalanan mistik yang harus ditempuh manusia untuk membawanya pada pengertian dan wahyu dari “Hakiki Yang Tertinggi (The Highest Essence).” Perjalanan mistik ini dilaksanakan dalam 4 tingkat, bergerak dari bagian luar ke bagian dalam, yaitu: Saréngat Tarékat Hakékat
Mahrifat
: menghormati dan hidup menurut peraturan agama. : persiapan untuk bertemu Allah dalam batin yang terdalam. : konfrontasi dengan kebenaran. Doa yang teratur tidak lagi memiliki makna yang khusus sebab hidup dan tingkah laku menjadi doa yang permanen kepada Allah. : tujuan akan kesatuan yang abadi antara hamba dan tuan telah tercapai.
Untuk menempuh perjalanan mistik ini, dibutuhkan kerajinan yang besar dan paham yang kuat akan maksud dan tujuan, bahkan tidak jarang seseorang harus mengatasi aspek lahirnya dengan bertapa, seperti misalnya puasa, meditasi, pantang seks, bergadang, kumkum ( = membenamkan diri berjam-jam lamanya dalam sungai pada malam hari di tempat keramat), atau mengundurkan diri ke gunung-gunung dan gua-gua. Tapa ini, sekalipun seringkali disamakan dengan semedi, sebenarnya berbeda. Semedi ialah persiapan diri dengan cara latihan penyucian supaya menjadi peka terhadap komunikasi dengan kuasa-kuasa yang lebih tinggi. Dengan tapa dan semedi, orang dapat menembus dunia dan memperoleh kuasa dan ilham dari para penguasa yang lebih tinggi; selain itu dia juga dapat berhubungan dengan makhluk-makhluk dunia yang lebih rendah seperti jiwa para nenek moyang, para pahlawan ceritera wayang, malaikat dan Iblis, dewa-dewa dan sebagainya.8 Dapat dimengerti bahwa perjalanan mistik ini cukup berbahaya karena ada kemungkinan orang dikuasai oleh roh jahat, menjadi gila atau tersesat. Maka biasanya orang-orang tidak mau melibatkan diri dalam usia 7 8
Mulder, Mysticism & Everyday Life..., 11 Ini adalah animisme yang diintegrasikan ke dalam sistem meditasi gaya Budha
terlalu muda di mana mereka belum sanggup menguasai disiplin atas tubuh dan jiwa serta dianjurkan pula bahwa mereka menggabungkan diri pada seorang guru. Guru ini berfungsi sebagai perantara antara pengikutnya dan kuasakuasa misterius, antara roh-roh dan Allah. Segala nasihat para guru diterima sebagai ‘sabda pandita ratu’ (words of a wise king). Guru tidak pernah boleh meminta upah atas pelayanannya, dia harus mencari sendiri nafkah hidupnya, tetapi para pengikutnya boleh memberi makanan, rokok, pusaka, sekedar menunjukkan rasa hormat pada sang guru.
KEBATINAN DAN AGAMA KRISTEN Semua agama resmi di Indonesia bukanlah agama asli penduduk Indonesia, melainkan diimpor dari luar. Agama dipandang sebagai sarana yang memanusiakan masyarakat Indonesia sehingga agama merupakan bagian integral dalam pembangunan, oleh karena itu agama-agama yang diakui dengan resmi secara prinsipiil dijamin kebebasan menjalankan aktivitasnya. Bagi aliran-aliran kebatinan, mereka diawasi oleh badan yang disebut PAKEM (Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat), karena dikhawatirkan menjurus ke klenik, suatu praktik ilmu hitam. Agama Kristen merupakan agama yang relatif muda, baru memasuki Pulau Jawa pada pertengahan abad ke-19 melalui Zending dari Gereja Hervormd dan Gereformeerd serta pengiriman beberapa pastor Gereja Katolik tidak lama sesudah itu. Jadi, kebanyakan kesusasteraan Jawa belum terpengaruh oleh agama Kristen. Yang memperlihatkan pengaruh agama Kristen adalah tulisan Ranggawarsita (1803-1873), yang mengintegrasikan iman kristiani dengan alam pikiran Jawa. Menurut pandangannya agama Kristen menitikberatkan roh, budi, sebuah ilmu yang melepaskan diri dari dunia, manusia meninggalkan dunia secara sempurna. Sayangnya menurut lukisan Ranggawarsita ini agama Kristen tidak memberikan pandangan baru terhadap dunia. Kesempurnaan agama Kristen lebih menyangkut saat kematian daripada saat sebelum kematian, yaitu saat hidup di dunia ini. Semangat Kristen yang sejati tidak terungkap dalam sastra Jawa. Agama Kristen hanya dipandang sebagai suatu bentuk baru mengenai pengetahuan mistik. Tradisi Jawa yang telah berakar berabad-abad lamanya tidak begitu mudah dilepaskan dari orang Kristen-Jawa dan mereka akan memberikan
tekanan selalu pada hidup kebatinan, cara hidup dan cara berpikirnya tidak berbeda dengan orang Jawa biasa, “rila–narima–sabar.” Doa dan latihan rohani merupakan praktik kuno seperti heneng– hening. Aspek netepi kewajiban (memenuhi kewajiban), dihayati dalam agama Kristen dengan menonjolkan harus ini, harus itu. Demikian juga pendapat dari salah satu aliran kebatinan yang paling banyak pengikutnya di Jawa yaitu Pangestu (Paguyuban Ngesti Tunggal, yang berarti Perkumpulan mereka yang mencari Yang Tunggal; yaitu mencari kesatuan baik dengan golongan-golongan lain dalam masyarakat maupun kesatuan dengan Tuhan). Sikap hidup Pangestu ialah distansi (mengambil jarak) terhadap dunia sekitarnya, baik dalam aspek materiil maupun spirituil dengan rela (rila) menyerahkan segala miliknya, menerima (narima) segala sesuatu yang menimpa dirinya dan bersikap sabar dalam hidup.
PENDEKATAN IMAN KRISTEN Pertama, mistik Jawa bersifat antroposentris seperti sudah di jelaskan di depan. Manusia-lah yang merupakan pusat, titik pangkal segalagalanya. Pemikiran inilah yang menghasilkan semboyan amemayu ayuning bawono, manusia merupakan hiasan bagi alam raya. Tetapi Injil mengajarkan bahwa pusat segala-galanya bukan manusia, melainkan Kristus. Baik manusia maupun dunia tidak mempunyai arti maupun hari depan, tanpa Kristus. Kristus yang telah bangkit merupakan pusat kehidupan orang Kristen dan mengakibatkan suatu sikap hidup yang baru. Manusia menjadi lebih rendah hati. Kedua, mengenai penjadian manusia, Alkitab mengajarkan bahwa manusia bukanlah tokoh yang ada karena dirinya sendiri, melainkan makhluk yang dijadikan oleh Tuhan Allah. Manusia bukan mengalir ke luar dari Allah, hakikat manusia berlainan sekali dari pada hakikat Allah. Manusia yang dijadikan dari debu tanah terbatas hidupnya, dapat rusak. Selain itu segi batin dari manusia bukannya bertentangan dengan segi yang lahir. Lahir dan batin, badan dan jiwa, sama pentingnya. Jiwa bukanlah bagian manusia yang lebih suci dari pada tubuh. Manusia dijadikan segambar dan serupa dengan Allah, berarti bahwa manusia dipanggil untuk mencerminkan hidup ilahi dalam hidupnya sehari-hari. Jadi, ungkapan 'segambar dengan Allah' bukan berarti bahwa manusia adalah bayangan atau sinar cahaya Allah yang keluar dari Allah
dan yang akan kembali lagi kepada Allah seperti air kembali ke laut. Lagi pula Alkitab tidak menyanjung manusia dengan menjadikannya setara dengan Tuhan Allah. Hanya Yesus Kristus sebagai Anak Allah, adalah gambar Allah yang sempurna, Dialah pengejawantahan dari “Allah yang tidak kelihatan.” Ketiga, dengan pekerjaan penyelamatan-Nya, Kristus mengungkapkan keadaan Allah itu. Dari hidup Yesus Kristus kita dapat mengetahui bagaimana mulianya Allah itu dan dari hidup-Nya pula kita memperoleh teladan bagaimana menjalankan cara hidup yang sesuai dengan kehendak Allah. Sekalipun Kristus hidup dalam hati kita, Dia tetap merupakan identitas yang berbeda. Dia tidak terserap dan lenyap dalam ciptaannya, begitu pula kita tidak menjadi saleh karena kehadirannya bersama kita. Secara logis, sebagai Sang Pencipta dia sempurna tanpa Ciptaan-Nya, dan Dia tetap sempurna sesudah tindakan penciptaan-Nya. Dia mencipta ex nihilo, bukan dari Diri-Nya sendiri. Menurut S. De Jong, yang diusahakan mistik Jawa ialah kebersatuan dengan Allah, tetapi Alkitab mengajarkan bahwa yang dikehendaki Tuhan adalah kebersamaan. Kebersatuan kita dengan Allah adalah hal relasi, bukan penggabungan dua pribadi menjadi satu seperti dalam pernikahan. 9 Keempat, aliran Kebatinan mengajarkan bahwa kelepasan manusia adalah persekutuan antara jiwa sebagai inti manusia dengan Tuhan. Untuk mencapai persekutuan itu manusia harus mengenal diri sendiri terlebih dahulu. Ia harus tahu bahwa ia berasal dari Allah, kemudian ia menyadari bahwa untuk membebaskan diri dari permainan hawa nafsunya ia harus mengubah jurusan hidupnya, yaitu tidak lagi mengarahkannya ke luar tetapi ke dalam. Akunya yang rendah harus diselamkan dari bagian hidupnya yang sadar ke dalam bagian hidupnya yang tidak sadar. Di situlah ia akan bertemu dengan intisari hidupnya dan bersekutu dengan Yang Mutlak. Jadi, akan terjadi peleburan hamba dan Tuhan. Sebaliknya Alkitab mengajarkan bahwa jalan kelepasan itu tidak dapat diusahakan oleh manusia sendiri, melainkan hanya tersedia melalui diri Kristus. Manusia tinggal menerimanya dengan iman. Dengan iman bukan berarti menyelam ke daerah bawah sadar, tetapi mengarahkan mata rohani senantiasa pada Tuhan Allah. Hidup di dalam iman adalah hidup di dalam pertobatan, dari hidup membelakangi Tuhan menjadi menghadapi-Nya, dari cara hidup lama ke cara hidup baru. Hidup yang baru ini dalam Kolose 3:12-16 dijelaskan 9
De Jong, Salah Satu Sikap..., 11
sebagai: mengenakan belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan, kesabaran dan sebagainya. Jadi, menurut arti Kristiani, rila, narima dan sabar bukannya meninggalkan dunia atau menjauhi dunia melainkan percaya pada bimbingan Tuhan di tengah-tengah dunia ini, dan juga dalam kehidupan pribadi. Inilah persekutuan dengan Allah. Di dalam persekutuan dengan Allah, manusia bukannya dilarutkan dalam zat Allah, tidak terjadi peleburan hamba dan Tuhan, sebab manusia tetap manusia dan Tuhan tetap Tuhan. Perlu diingat bahaya didatangi dan dirasuki roh-roh jahat jika seseorang membuka diri terhadap dunia roh tanpa perlindungan dari Roh Kudus. Baik dalam mencari kelepasan, ketenangan ataupun makna hidup, semuanya dapat tercapai melalui Yesus Kristus karena Dia mengatakan: “Marilah kepadaKu, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Mat 11:28).
PENUTUP Aliran kebatinan yang hanya menekankan soal persekutuan batin dengan Tuhan, menjadi tantangan bagi kita, orang Kristen. Kita sebaiknya berdialog dan menunjukkan kepada mereka bahwa persekutuan dengan Tuhan ini terjadi apabila kita berada dalam Kristus, dan bahwa berbakti kepada Tuhan tidak dapat hanya ditekankan pada segi batin saja, melainkan kita harus berbakti kepada-Nya dengan seluruh keadaan manusia, dengan perbuatan, pikiran serta hati, dengan lahir dan batin sebab Tuhan berfirman: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu” (Mat 22:37). Kita juga harus menuntun mereka agar mau menggunakan Alkitab untuk mencari jawaban bagi persoalan-persoalan yang mereka hadapi, karena Kitab Suci inilah yang dapat memberi hikmat dan menuntun kepada keselamatan oleh iman kepada Yesus Kristus (2 Tim 3:15). Karena segala tulisan dalam Alkitab itu diilhamkan oleh Allah untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran, sehingga tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik (2Tim 3:16,17). Terlebih daripada itu kita harus mampu menunjukkan dari teladan kita bahwa di dalam keresahan dan tekanan sosial, Kristus-lah sumber pengharapan kita. Jadi, jangan sampai kita menjadi batu sandungan bagi mereka sehingga mereka lari ke dunia mistik.
Penulis setuju dengan John T. Seamands yang mengatakan bahwa cara hidup dan perbuatan kita harus benar-benar mencerminkan kasih Kristus. Kita harus menjadi saksi bahwa Yesus Kristus mempunyai kuasa untuk mengubah diri kita dan diri mereka juga. Kita uraikan bagaimana Yesus melayani yang sakit, yang lapar dan yang putus asa dan bukti dari kasih-Nya ketika sekalipun di kayu salib Dia masih berdoa: “Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan (Luk 23:34).”10 Yang terutama harus kita tonjolkan adalah kesucian dan kesalehan, kasih dan belas kasihan, perhatian dan pertolongan-Nya kepada yang miskin, yang di dalam keperluan, yang sakit dan yang berdosa. Pengharapan dari iman Kristen juga perlu ditekankan: damai Allah, sukacita, penghiburan, pengharapan akan kedatangan-Nya kembali dan harapan akan mewarisi kerajaan Sorga. Semoga dengan demikian mereka dapat diyakinkan betapa pentingnya mereka menerima Yesus sebagai Juruselamat menuju kehidupan kekal.
10
John T. Seamands, Tell it Well: Communicating the Gospel Across Cultures (Kansas City: Beckon Hill Press of Kansas City, 1981)
KEBANGKITAN TUBUH MENURUT I KORINTUS 15:25-58 DAN IMPLIKASI ETIS DANIK ASTUTI LUMINTANG
PENDAHULUAN Kebangkitan tubuh atau orang mati dalam 1 Korintus 15:25-58 adalah misteri yang menjadi pokok bahasan hangat di sepanjang zaman. Hal ini dinyatakan sebagai misteri, karena masih menjadi perbincangan atau pertanyaan bagi banyak orang Kristen sendiri. Tidak sedikit orang Kristen yang memiliki doktrin yang benar, pengetahuan dan pemahaman yang cukup, namun doktrin atau pengetahuan dan pemahaman yang benar tersebut tidak nampak atau tidak tercermin pada sikap yang benar. Bahkan tidak sedikit orang Kristen yang bertanya, dengan tubuh apakah orang percaya dibangkitkan. Apakah dengan tubuh yang telah rusak, tubuh yang tercerai berai karena orang tersebut waktu meninggal mengalami kecelakaan, apakah benar tubuh itu yang dibangkitkan? dan apakah orang yang sudah meninggal, pada saat tubuh dibangkitkan, mereka dapat bertemu dengan keluarganya, seorang suami dapat bertemu dan melihat istrinya dengan tubuh yang dahulu dia lihat ataukah sebaliknya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut hingga kini masih menjadi misteri bagi banyak orang, mereka belum mendapatkan jawaban yang benar. Karena itulah penulis ingin memberikan jawaban yang benar mengenai kebangkitan tubuh atau orang mati menurut surat 1Korintus 15:25-58.
MISTERI KEBANGKITAN TUBUH (15:25-58) Bagian pertama dari surat pertama Korintus 15:1-11, telah dilaporkan mengenai fakta kebangkitan Kristus yang merupakan dasar kebangkitan orang percaya. Pada bagian kedua, yaitu ayat 12-34, telah dipaparkan mengenai kebangkitan orang mati yang membahas dua hal penting yaitu, akibat yang terjadi apabila tidak ada kebangkitan Kristus (ay. 12-19), dan akibat yang dihasilkan oleh kebangkitan Kristus bagi orang percaya (ay. 20-34). Sedangkan dalam bagian ini, penulis ingin menjelaskan satu misteri dari kebangkitan tubuh, yang merupakan kontinuitas dan perkembangan tentang kebangkitan Kristus. Secara khusus
disini, Paulus ingin menjelaskan kebangkitan tubuh yang masih menjadi misteri bagi banyak orang. Pertanyaan Mengenai Kebangkitan Orang Mati (ay. 35) Pokok pembahasan bagian ini adalah tentang dua pertanyaan yang diangkat oleh Paulus. Dalam teks Yunani, Paulus memulai dengan frasa Alla erei tij. Kata erei (verb. indic. fut. act. 3 per. plur) artinya berbicara atau berkata,1 dalam bentuk future indicatif, maka kata erei berarti akan menyahut, berkata. Kata itu diikuti oleh kata tij artinya seseorang, seorang pun,2 dan diawali oleh kata penghubung kontras yaitu Alla yang berarti tetapi. Dengan demikian, maka kalimat Alla erei tij diterjemahkan: “Tetapi seseorang akan menyahut atau berkata” Kalimat ini memberikan petunjuk bahwa, Paulus bukan menjawab pertanyaan yang sudah ada di dalam jemaat Korintus, namun pertanyaan ini diangkat oleh Paulus untuk mengantisipasi pertanyaan di sekitar hal kebangkitan tubuh, yang pasti muncul, sebagai kontinuitas pengajaran Paulus tentang kebangkitan orang mati (ay. 12-34). Dalam hal ini, kemungkinan besar ada beberapa jemaat (tidak tertentu) yang masih atau telah dipengaruhi oleh ajaran Saduki dan Yunani yang akan berkata bahwa tidak ada kebangkitan orang mati. 3 Keraguan dan atau ketidakpercayaan mengenai kebangkitan dari seseorang (tidak tertentu) adalah berkisar pada pertanyaan, yaitu Bagaimanakah orang mati dibangkitkan? Dan dengan tubuh apakah mereka akan datang kembali? Jawaban Mengenai Kebangkitan Orang Mati (ay. 36-44) Sebelum Paulus memberikan suatu penjelasan mengenai dua pertanyaan yang pasti dipertanyakan oleh seseorang di Korintus, ia 1
Erei artinya reply, say; Aland Kurt, Analytical greek New Testament (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1981), 544; Horst Balz, Exegetical Dictionary of the New Testament (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1990), 347 2 Tij, someone, anyone… 1 Cor. 15:35; William F. Arndt, A Greek –English Lexicon of The New Testament and Other Early Christian Literature (Chicago: The University of Chicago Press, 1979), 819 3 Konsep Yunani: “sesudah mati, jiwa meninggalkan tubuh dan selanjutnya keberadaannya di tempat lain, tetapi bagi tubuh tidak ada harapan untuk bangkit”; Denis Green, Tafsiran Surat I Korintus (Malang: SAAT, 1992), 103; Paulus mengantisipasi jenis-jenis pertanyaan yang pasti akan diajukan oleh seseorang di Korintus; V.C. Pfitzner, Kesatuan dalam Kepelbagaian, Tafsiran atas Surat I Korintus (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 316
menyebutnya dalam ayat 36: afpwn (adj. pronom. voc. mask. sing. afpwn, on) artinya bodoh, tolol,4 dalam bentuk kata benda berarti orang bodoh. Kata ini ditempatkan pada awal kalimat dan dalam bentuk vokatif (kata seruan) dapat diterjemahkan seperti terjemahan LAI yaitu “Hai orang bodoh!” Kata bodoh ini, Paulus tujukan kepada orang-orang yang mempertanyakan kebangkitan orang mati (ay. 35), mereka disebut oleh Paulus sebagai orang bodoh.5 Kebodohan mereka ternyata adalah bertolak dari ketidakpercayaan mereka terhadap hal kebangkitan orang mati. Karena itu, untuk memberikan penjelasan kepada orang yang bodoh (tidak percaya), maka Paulus menggunakan beberapa perumpamaan (analogi) yang diambil dari pengalaman dan kenyataan alami yang ada dalam kehidupan sesehari.
Analogi Biji Menjelaskan Tubuh Kebangkitan (ay. 36-44a) Pada bagian berikutnya, dalam ayat 36 tertulis: “...su o sprireij ou zwopoleitai ean mh apoqanh. Istilah zwopoleitai (verb. indic. prest. pass. 3 pers. sing.) dalam bentuk present indicatif pasif berarti sedang dihidupkan.6 Terjemahan yang tepat dari kalimat di atas adalah “... apa yang engkau tabur tidak sedang dihidupkan terkecuali mati.” Kalimat ini menjelaskan aktivitas Allah yang memberikan kehidupan baru bagi biji tersebut. Paulus memberikan penjelasan dengan menggunakan perumpamaan tentang biji dari tumbuh-tumbuhan (ay. 37). Biji (kokkon: acc. sing. mas.) adalah biji tanpa kulit yang bisa dijadikan benih tanaman. 7 Biji yang ditaburkan orang ke tanah tersebut, tidak akan mendapatkan kehidupan yang baru, terkecuali biji tersebut mati terlebih dahulu. Karena biji yang ditanam ke dalam tanah akan mati, dan akan memperoleh kehidupan yang baru, yang lebih kaya dan lebih baik daripada sebelumnya. Lebih jelas, bahwa biji yang ditanam ke dalam tanah akan mengalami kematian terlebih dahulu, kemudian biji tersebut dihidupkan kembali oleh Allah dengan memberikannya suatu tubuh yang baru, yaitu tubuh dari tubuhnya sendiri (biji tersebut). Gambaran mengenai benih ini dipergunakan oleh Paulus untuk menunjuk pada janji kehidupan yang baru setelah kematian (bnd. Mat 13:31,32). Gambaran tentang benih yang mati 4
Wesley J. Perschbecher, Refresh Your Greek (Chicago: Moody Press, 1989), 660 Pfitzner, Ibid., 316 6 Istilah zwopoleitai berasal dari kata zwopolew artinya to make alive, give life; Perschbacher, Ibid 7 Kata kokkon: seed, grain; Perschbacher, Refresh Your.., 660 5
terlebih dahulu, kemudian hidup (bertunas) lagi dengan tubuh yang baru yaitu tubuh yang diberikan kepada benih tersebut. Analogi biji ini dipakai Paulus untuk memberikan penjelasan tentang tubuh orang mati yang kepadanya Allah memberi suatu tubuh yang baru. Tubuh yang baru ini, bukan tidak terkait dengan tubuh yang mati, ada keterkaitannya. Yang jelas, Allah yang memberikan tubuh, seperti yang dikehendaki-Nya. Berkenaan dengan analogi tubuh tumbuhan dan tubuh manusia, Green berpendapat sebagai berikut: Hidup baru, baik bagi tumbuh-tumbuhan maupun bagi manusia, tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi sesuai dengan kehendak Allah dan ketetapan karya penciptaan-Nya. Tuhanlah yang 'memberikan' tubuh kepada tiap-tiap ciptaan-Nya, mulai dari tumbuh-tumbuhan sampai kepada manusia sendiri (lih. ay. 39, dst.). 8
Jadi, jelas bahwa hanya Allah saja yang dapat memberikan kehidupan yang baru bagi semua yang diciptakan-Nya, baik tubuh tumbuhan maupun tubuh manusia. Istilah didwsin (verb. indic. prest. act. 3 pers. sing.) artinya memberi.9 Kata ini menjelaskan bahwa Allah-lah yang secara aktif berkarya dalam hal memberikan tubuh, dan karya-Nya ini belum berakhir, melainkan terus berlangsung. Dengan kata lain, karya Allah membangkitkan orang mati, dan memberi tubuh yang baru kepada mereka yang dibangkitkan, adalah belum berakhir. Paulus meneruskan perumpamaan dengan menyebutkan keanekaragaman tubuh dan bentuk-bentuk yang luas darimana suatu kehidupan di dunia ini diwujudkan. Paulus menggunakan istilah swma dalam ayat 38. Istilah ini menjelaskan mengenai tubuh secara keseluruhan dan dapat diterapkan secara luas berkenaan dengan tubuh/badan, jasmani. 10 Dalam bagian ini, Paulus menggunakan istilah lain, yaitu sarx (ay. 39) artinya daging, yaitu menjelaskan mengenai kepelbagaian daging (sarx, bahwa tidak semua daging adalah sama. Daging manusia, binatang, burung dan ikan adalah berbeda.11 Selanjutnya, Paulus menjelaskan perumpamaan lain mengenai perbedaan antara tubuh sorgawi dan tubuh duniawi. Paulus menggunakan istilah swmata (noun. nom. neut. pl.) artinya tubuh, yaitu menjelaskan mengenai keseluruhan tubuh manusia. Dimana antara tubuh sorgawi dan Green, Tafsiran Surat…, 108 Kata didwsin artinya gives; Friberg, Analytical Greek New…, 545 10 James Strongs, Strong Exhaustive Concordance of the Bible (New York: Thomas Nelson Publishers, 1979), 70 11 Ibid., 64 8 9
tubuh duniawi memiliki kemuliaannya masing-masing (ay. 40).12 Kata kemuliaan disini menjelaskan ciri khas yang berbeda dari masing-masing tubuh, yaitu tubuh sorgawi dan tubuh duniawi. Adapun perbedaan kemuliaan yang dimaksudkan disini dijelaskan lebih jelas oleh Paulus, bahwa kemuliaan matahari lain dari kemuliaan bulan, dan kemuliaan bulan lain dari kemuliaan binatang. Demikian pula kemuliaan binatang yang satu berbeda dengan kemuliaan binatang yang lainnya (ay. 41). Perbedaanperbedaan di atas adalah menerangkan mengenai kemuliaan Pencipta-Nya, yaitu Allah yang berkuasa membentuk sesuai dengan kehendak-Nya. Dalam ayat 42-44a, Paulus menjelaskan sesuatu yang bertolak belakang, yaitu mengenai kebangkitan orang mati, secara khusus mengenai tubuh kebangkitan. Tubuh untuk kehidupan dalam dunia ini disebut dengan tubuh alamiah, sedangkan tubuh untuk dunia yang akan datang disebut dengan tubuh rohaniah. Baik tubuh alamiah maupun tubuh dunia yang akan datang memiliki sifatnya sendiri-sendiri. Dalan ayat 36-38, Paulus telah menjelaskan perumpamaan mengenai biji yang ditanam orang, maka biji tersebut akan mati terlebih dahulu, kemudian Allah akan menghidupkan kembali dengan tubuh yang baru. Demikian pula dengan kebangkitan orang mati (ay. 42). Orang yang telah mati akan ditaburkan (dikuburkan) dalam kebinasaan, maka tubuh orang mati tersebut akan membusuk dan hancur, karena tubuh tersebut bersifat alamiah.13 Kemudian tubuh itu akan dibangkitkan oleh Allah dengan tubuh yang baru, yang tidak akan binasa, tubuh yang mulia, karena tubuh tersebut bersifat rohaniah. Arti dari tubuh rohani menurut Farrar ialah: “suatu tubuh yang tidak berada di bawah kekuasaan dari keinginan jasmani atau dorongan nafsu dan rasio, melainkan sepenuhnya dikontrol oleh Roh. Karena itu, tidak memiliki keinginan atau kemampuan untuk memenuhi nafsu daging.”14 Penekanan Paulus dalam teks ini ialah karya Allah yang membangkitkan tubuh alamiah menjadi tubuh rohani. Lebih 12
Kataswmata berasal dari kata dasar swma artinya the body (as a sound whole), used in a very wide application, lit. or flg. : bodily, body, slave; Ibid., 70 13 The mortal body, perishable (Gal 6:8), dishonored, humiliated because of sin (Phil 3:20,21), and weak (Mark 14:38) – a natural body like those of the animal world – and bring that body that “is sown” in death (John 12:24); W. Harold Mare, “ICorinthians” in The Expositor’s Bible Commentary. Edited by Frank E. Gaebelein The Expositor’s Bible Commentary (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1976), 290 14 The thing meant is a body which is not under the sway af corporeal desire or of intellectual and passionate impulses, but is wholly dominated by the Spirit, and therefore has no desire or capacity to fulfil the lusts of the flesh; F.W. Farrar, “I Corinthians” in The Pulpit Commentary. Vol. 19, edited by H.D.M. Spence (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1983), 491
jauh lagi, berkenaan dengan itu, Martin berpendapat bahwa: “Allah yang menciptakan semua tubuh sorgawi yang banyak jumlahnya adalah Allah yang sama. Allah yang mampu menciptakan tubuh manusia dan memberikan kepada mereka suatu kemuliaan yang jauh melampaui imajinasi manusia.”15 Dengan kata lain, tubuh orang mati ditaburkan dalam kehinaan, namun tubuh itu akan dibangkitkan oleh Allah dengan cara menciptakan tubuh rohani, yang kepadanya akan diberikan kehormatan yang tidak tertandingi di dalam dunia ini, karena ia akan menjadi bagian dari kemuliaan Kristus sendiri (Flp 3:21; Kol 3:4). Tubuh orang mati ditaburkan dalam kelemahan yang merupakan cirikhas dari semua keberadaan manusia, tetapi dibangkitkan dalam kekuatan (ay. 43). Dalam hal ini, Paulus ingin menunjukkan kepada jemaat Korintus, bahwa orang Kristen akan ikut serta dibangkitkan bersama dengan Kristus, karena Ia pun disalibkan di dalam kelemahan tetapi dibangkitkan oleh kekuatan Allah (2Kor 13:4; Rm 1:4). Lebih lanjut dalam ayat 44a, Paulus menuliskan, bahwa yang ditaburkan adalah tubuh alamiah, yang dibangkitkan adalah tubuh rohaniah. Dalam pernyataan ini, Paulus menjelaskan adanya suatu kekontrasan, yaitu antara tubuh alamiah dan tubuh rohaniah.
Perlunya Tubuh Rohaniah Dibandingkan Dengan Tubuh Jasmaniah (ay. 44b-49) Dalam ayat 44b tertulis bahwa “jika ada tubuh alamiah, maka ada tubuh rohaniah.” Maksud dari tubuh alamiah adalah tubuh yang bedosa dan tidak hormat. Sedangkan tubuh rohaniah adalah tubuh yang tidak berdosa dan yang dihormati. Pandangan ini lebih luas diungkapkan oleh Sproul bahwa, Kekontrasan antara tubuh duniawi dan tubuh yang dibangkitkan jelas. Kekontrasan itu termasuk unsur-unsur di bawah ini: Tubuh alamiah Berdosa Tidak hormat Kelemahan Alamiah
Tubuh yang dibangkitkan Tidak berdosa Mulia Kekuatan Spiritual
Berdosa, tidak hormat, dan kelemahan merupakan kualitas dengan mana kita terbiasa. Semua itu merupakan suatu bagian normal dari 15
The God who made all these vast heavenly bodies is able to recreate human bodies and to give them a glory far beyond our imagining; Alfred Martin, First Corinthians (New Jersey: Loizeaux Brothers, 1989), 138-139
pengalaman kita sehari-hari. Semua itu merupakan atribut-atribut tubuh alamiah kita. Kualitas-kualitas ini akan memberikan jalan dalam kebangkitan menuju antitesisnya. Tidak berdosa, kemuliaan, dan kekuatan merupakan sifat-sifat tubuh spiritual.16
Paulus disini telah menjelaskan mengenai perbedaan antara tubuh alamiah dan tubuh rohaniah. Keadaan tubuh alamiah sangatlah berbeda dengan tubuh rohaniah. Tubuh rohaniah adalah tubuh yang sudah dirubah dari pembatasan-pembatasan alamiahnya, yaitu tubuh yang dimuliakan, tubuh yang dibangkitkan dalam suatu dimensi baru. Sebagai fakta dari tubuh spiritual atau rohaniah adalah tubuh Tuhan Yesus yang dibangkitkan. Tubuh yang dimiliki Tuhan Yesus setelah kebangkitan-Nya adalah berbeda dengan tubuh Tuhan Yesus yang dikubur. Tubuh itu mewujudkan kesinambungan dan ketidaksinambungan. Kesinambungan dalam pengertian kesinambungan tubuh alamiah (waktu hidup sebagai manusia di dunia) dan tubuh sorgawi (tubuh yang telah diubah, yaitu tubuh kebangkitan, tubuh yang tidak dapat binasa, mulia dan bersifat rohani). Ketidaksinambungan yaitu sekalipun ada kesinambungan, namun ada juga perubahan atau perbedaan. Dalam hal ini, Paulus menekankan bahwa walaupun kita sudah mati, pasti akan mempertahankan kesinambungan dengan identitas-identitas kita yang sekarang, namun kita akan mengalami perubahan-perubahan bentuk. Sebagai contoh : Tuhan Yesus sarapan pagi bersama murid-murid-Nya, Tuhan Yesus memperlihatkan tanda-tanda penyaliban kepada Thomas (Yoh 20:27), Pintu terkunci, Yesus datang dan berdiri di tengah-tengah mereka (Yoh 20:26). Paulus dalam ayat-ayat sebelumnya telah menjelaskan adanya perbedaan mengenai tubuh, yaitu tubuh alamiah dan tubuh rohaniah (ay. 36-44a). Dalam bagian ini (ay. 44b-49), Paulus menjawab pertanyaan mengenai: “Bagaimana orang mati dibangkitkan?,” sebelum Paulus menjawab pertanyaan ini, Paulus mengawali jawabannya dengan memberikan suatu kesimpulan atas jawaban dari pertanyaan “jika ada tubuh alamiah, maka ada pula tubuh rohaniah” (ay. 44b). Dalam menjawab pertanyaan “Bagaimana orang mati dibangkitkan?” Paulus kembali memberikan suatu bukti yang kontras, yang diungkapkannya dalam ayat 45: Egeneto o prwtoj anqrwpoj Adam eij yuchn zwsan o escatoj Adam eij pneuma zwopoioun. NGSB menterjemahkan kalimat ini sebagai berikut: “Adam manusia pertama menjadi satu makhluk yang hidup, Adam yang
16
1996), 108
R.C. Sproul, Hai Maut Dimanakah Sengatmu? (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
terakhir menjadi satu roh yang menghidupkan.” 17 Berbeda dengan terjemahan LAI. Dengan mengutip dari Kitab Kejadian 2:7, Paulus menunjukkan bahwa “Tuhan Allah menciptakan manusia pertama dari debu tanah” (Adam berasal dari kata adamah dalam bahasa Ibrani artinya tanah)” dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya, maka jadilah manusia pertama, yaitu Adam menjadi makhluk yang hidup atau jiwa yang hidup. Adam dengan tubuh jasmani atau alamiahnya “yang diberi jiwa” adalah kebalikan dari Adam yang terakhir, yaitu Adam yang memberi kehidupan (zwopoioun. acc. sing. neut. pres. act. part.).18 Adam yang terakhir (zwpoioun), yang dimaksudkan oleh Paulus adalah Kristus yang memberi hidup rohani (bnd. Yoh 6:63). Kristus yang memberi hidup pada diri-Nya sendiri. Lebih lanjut ayat 46, Paulus menjelaskan bahwa yang mula-mula datang bukanlah yang rohaniah, tetapi yang alamiah; kemudian barulah datang yang rohaniah. Dalam hal ini, Paulus menyatakan bahwa manusia pertama adalah seperti Adam pertama, yaitu bersifat alamiah, namun setelah manusia menerima atau percaya Kristus secara baru maka akan diberinya suatu tubuh yang baru yaitu tubuh rohaniah. Selanjutnya Paulus memberikan penjelasan lebih rinci, bahwa manusia pertama yaitu Adam yang diciptakan Allah dari debu tanah (Kej 2:7), bersifat jasmani atau dapat rusak dan binasa. Tetapi manusia kedua adalah berasal dari sorga, dimana sebelum menjadi manusia, Dia bersifat kekal dan mulia, yang kemudian diterimanya kembali secara nyata sesudah Dia dibangkitkan dari antara orang mati (ay. 47). Hal yang sama juga diungkapkan lebih luas lagi oleh Pfitzner sebagai berikut: Seluruh manusia adalah dari debu tanah dan bersifat jasmani, seperti halnya manusia kedua berasal dari debu tanah dan bersifat jasmani. Di pihak lain, semua yang tergolong kepada Kristus sebagai manusia yang berasal dari sorga, setelah kebangkitan pada kedatangan-Nya yang kedua kali, akan berasal dari sorga; tubuh duniawi yang lama akan ditukar dengan tubuh sorgawi.19
Living being … life-giving spirit. Paul clarifies his meaning by continuiting the contrast between the first and the last Adam (21,22 note). The Greek word translated “being” (psyche) is related to the word translated “natural” in v. 44 (psychikos). The word “life-giving spirit” are most probably a reference to the Holly Spirit. …..., New Geneva Study Bible …, 1823. “The first man Adam became a living being, the last Adam became a life giving spirit.” 18 Istilahzwopoiounberasal dari kata zwopoiew artinya to make alive, give life. Attributive pert dari pneuma; Perschbacher, Refresh Your..., 661 19 Pfitzner, Kesatuan Dalam Kepelbagaian …, 321 17
Semua yang pernah hidup, mula-mula memakai rupa yang alamiah. Dengan kata lain semua keturunan Adam membawa citranya (Kej 5:3). Setelah orang percaya mengalami kebangkitan, maka orang percaya akan memakai rupa sorgawi, yaitu tubuh yang mulia, tidak binasa seperti tubuh Kristus (Flp 3:21). Bagi mereka (orang Kristen) yang memiliki hubungan dengan Kristus, yang sekarang masih hidup dalam tubuh alamiah, namun mereka sudah memiliki hidup sorgawi. Oleh karena itu pada akhirnya juga akan mengenakan rupa sorgawi atau tubuh rohaniah (ay. 48-49).
Alasan Pengubahan Tubuh Saat Kebangkitan (ay. 50-58) Paulus sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan berikutnya yang berhubungan dengan waktu kebangkitan, ia mengawali jawabannya dengan menyebutkan dua hal dalam ayat 50, yaitu: Pertama: Darah dan daging tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. Kedua: yang binasa tidak mendapat bagian dalam apa yang tidak binasa. Pernyataan Paulus ini adalah kalimat yang paralel, dimana Paulus menyatakan bahwa orang yang masih hidup, tidak akan masuk ke surga. Ungkapan “darah dan daging” diterangkan oleh ungkapan “yang binasa.” Maksudnya ialah tubuh manusia yang masih hidup adalah tubuh yang dapat binasa, tidak kekal, tidak mungkin mendapat bagian dalam kekekalan. Paulus menekankan bahwa manusia sesuai dengan sifat alamiahnya, tidak dapat menjadi bagian dari kerajaan Allah tanpa karya pembaharuan Roh yang mengubahkan. Lebih jelas lagi, Pernyataan Paulus yang kedua tadi adalah merupakan pelengkap namun ada sedikit perbedaan, yang binasa tidak mendapat bagian dalam apa yang tidak binasa (ay. 42). Yang dimaksudkan oleh Paulus disini adalah tubuh yang mati tidak mempunyai klaim yang alamiah terhadap Kerajaan Allah. Dengan kata lain bahwa tubuh jasmani (yang binasa) tidak dapat mengklaim kekekalan. Dalam ayat 51-56 Paulus mengemukakan suatu penjelasan untuk menjawab pertanyaan yang mungkin muncul. Pertanyaan tersebut adalah berhubungan dengan waktu kebangkitan. Kebangkitan ini terjadi pada waktu kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali (Parousia). Inilah yang dikatakan oleh Paulus “sesungguhnya aku menyatakan kepadamu suatu rahasia” (ay. 51a). Rahasia yang diungkapkan oleh Paulus adalah rahasia yang diterimanya dari Allah bahwa “kita tidak akan mati semuanya, tetapi kita semuanya akan diubah. Artinya bahwa, ada orang yang masih hidup, pada saat kebangkitan orang mati, yang terjadi secara simultan dengan kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali (bnd. 1Tes 4:15), maka orang
yang masih hidup pada waktu Tuhan Yesus datang yang kedua kali akan mengalami perubahan, yaitu pada saat nafiri terakhir berbunyi, mereka akan diubah dalam sekejap mata, tanpa harus mengalami kematian terlebih dahulu (ay. 51b-52). Ungkapan “dalam sekajap mata (en riph ofqalmou) merupakan ungkapan yang menjelaskan mengenai kejadian yang tidak dapat dijangkau oleh kasat mata. Karena istilah riph berarti “gerakan yang cepat, kilasan, kelap-kelip.”20 Istilah tersebut terkait dengan kata ofqalmou (mata), sehingga yang dimaksud dengan ungkapan sekejap mata ialah perubahan yang terjadi dalam waktu yang cepat sekali, seperti kedipan mata, atau kelipan cahaya. Hal ini menekankan tentang hakekat yang intensitas dari transformasi tubuh manusia pada waktu kebangkitan yang terjadi pada saat kedatangan Tuhan Yesus kedua kali (parousia).21 Perubahan sekejap yang terjadi pada orang yang masih hidup adalah terjadi pada saat kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali. Hal ini dimengerti dengan ungkapan “pada waktu bunyi nafiri yang terakhir,” yang menandai pengumuman suatu kejadian tentang kesudahan atau kejadian “yang terjadi” dalam sejarah dunia (bnd. Mat 24:31; 1Tes 4:16). Orang Kristen yang sudah mati, pada saat kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali, yaitu pada saat nafiri berbunyi, mereka akan dibangkitkan “dalam keadaan yang tidak dapat binasa,” orang Kristen yang masih hidup akan “diubah dalam sekejap mata” dan mereka bersama-sama akan berjumpa dengan Tuhan (1Tes 4:17). Pada ayat 53-57 merupakan alasan yang mendasar mengenai perubahan yang terjadi pada saat kebangkitan. Dalam ayat 53, Paulus mengulangi perlunya tubuh alamiah diubah menjadi tubuh rohaniah pada saat kebangkitan (ay. 50). Orang-orang percaya yang masih hidup dan yang sudah mati pada waktu Kristus datang kembali “Yang dapat binasa ... harus mengenakan yang tidak dapat binasa.” Yang dapat binasa berarti tubuh jasmani, pada saat kebangkitan akan mengenakan (endusasqai: to dress) citra atau bentuk yang tidak dapat mati (ay. 49). Pfitzner mengungkapkan mengenai perubahan yang besar ini secara lengkap, bahwa: Jiwa kita yang tidak dapat binasa” akan mewarisi tubuh yang tidak dapat binasa. Sebaliknya, tubuh yang dapat binasa ini harus Riphthrowing, rapid movement, e.g. of the eyes; the ‘casting’ of a glance takes an extremely short time: en riph ofqalmonin the twinkling of an eye I Cor 15; Arndt, A Greek–English Lexicon..., 736 21 Gk. en riph ofqalmou, the equivalent of the Eng. “the blink of an eye”. It is of interest that this physical phenomenen was picked up in more that one culture to express the speed with which something can happen; Gordon D. Fee, The New International Commentary On The New Testament (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1987), 801 20
mengenakan yang tidak dapat binasa, tubuh yang tidak lagi terancam oleh maut. Acuan kepada orang-orang percaya yang sudah mati dan orang-orang percaya yang masih hidup pada waktu kedatangan Kristus kembali jelas dilanjutkan dalam kata-kata ini. Meskipun yang masih hidup mempunyai tubuh yang fana, yang telah ditetapkan untuk mati, ia pun akan diubahkan untuk ikut serta di dalam kehidupan Allah; Dialah satu-satunya yang memiliki kekekalan (1Tim 6:16). “Yang fana” akan “ditelan oleh hidup (2Kor 5:4).22
Paulus menjelaskan bahwa, adanya keharusan suatu perubahan bagi umat Tuhan yang hidup maupun yang sudah mati, yaitu akan mengalami perubahan dari tubuh yang alamiah menjadi tubuh yang rohaniah. Peristiwa ini terjadi pada saat kebangkitan, yaitu saat dimana Tuhan Yesus datang kembali (ay. 53-54a). Dalam ayat 53-54a Paulus telah menggambarkan istilah-istilah yang kontras mengenai suatu perubahan di masa depan pada waktu kebangkitan yaitu pada saat kedatangan Tuhan Yesus kembali. Sedangkan dalam 54-57, paulus membahas mengenai dua teks dalam PL untuk menyimpulkan pemikiran sebelumnya, dan untuk membentuk sebuah nyanyiankemenangan yang menantang maut sebagai sebuah kuasa yang bagi orang Kristen sudah dikalahkan. Disini Paulus mengutip, pertama: Yesaya 25:8 “Ia akan meniadakan maut untuk seterusnya”. Kata-kata Paulus “maut telah ditelan dalam kemenangan (ay. 54b).” Kedua: Hozea 13:14 dalam bahasa Ibrani menyatakan: “Dimanakah penyakit samparmu, hai maut, dimanakah tenaga pembinasaanmu, hai dunia orang mati?”, Paulus dalam 1Korintus 15:55 menyatakan: “Hai maut dimanakah kemenanganmu (nikoj: victory)? Hai maut dimanakah sengatmu (kentron: sting)?” Teks PL di atas, dipakai oleh Paulus untuk menggaris bawahi hubungan antara kebangkitan dan pemberian tubuh rohaniah dengan kemenangan terakhir dari maut, artinya Tuhan Yesus akan membinasakan kematian dan alam maut, dimana kemenangan-Nya meliputi dua hal, yaitu kebangkitan orang percaya yang mati di dalam iman kepada Kristus dan perubahan orang-orang percaya yang masih hidup pada waktu kedatangan Tuhan Yesus. Dalam hal ini Paulus berkata bahwa yang dinubuatkan oleh nabi Yesaya dan nabi Hozea adalah benar dan tidak dapat ditolak lagi. Kemudian Paulus menerangkan hal itu lebih jelas dalam ayat selanjutnya, yaitu ayat 56-57. Dituliskan dalam ayat 56 “sengat maut ialah dosa dan kuasa dosa ialah Hukum Taurat.” Paulus mau menjelaskan bahwa saat ini maut masih bekerja dan 22
Pfitzner, Kesatuan Dalam Kepelbagaian …, 325-326
memiliki sengatnya, yaitu dosa yang menyerang manusia melalui pelanggaran-pelanggaran terhadap Hukum Taurat. Dalam hal ini kalau manusia percaya kepada Kristus maka dosa dihapuskan, dan akan mendapat kebebasan dari akibat dosa (maut), dimana tubuh yang binasa diubah menjadi tubuh yang tidak dapat binasa pada waktu kebangkitan. Dengan kata lain mereka akan dibangkitkan dengan tubuh yang “tidak dapat binasa... dan tidak dapat mati.” Dengan demikian “maut telah ditelan dalam kemenangan” atau maut tidak berkuasa lagi atas manusia yang dosanya telah dibereskan sehingga ia dibangkitkan untuk dapat menikmati hidup kekal. Grosheide menjelaskan hubungan antara dosa dan Hukum Taurat adalah sebagai berikut: Kuasa dosa adalah hukum Taurat: Bukan hanya kematian tetapi juga dosa digambarkan sebagai suatu kuasa yang mempertahankan dirinya sendiri. Dosa menggunakan hukum Taurat yang mengstimulasi orang yang telah jatuh dalam dosa untuk berbuat dosa (Rm 5:12, 7:7). Paulus berbicara mengenai kemenangan yang terbesar, bahwa kemenangan bukanlah pada masa kini, yaitu ketika orang diselamatkan, melainkan setelah segala sesuatu ditaklukkan sejak dosa Adam dihapuskan dan setelah setiap kuasa yang menentang Allah dilenyapkan.23
Dosa menggunakan Hukum Taurat yang mengstimulasi manusia untuk berbuat dosa, namun bagi orang yang percaya, kuasa dosa tidak menguasainya lagi, karena orang percaya telah mengalami kemenangan atas dosa dan maut melalui iman. Selanjutnya dalam ayat 57, Paulus menjelaskan bahwa oleh karya Kristus telah memuaskan apa yang menjadi tuntutan Hukum Taurat (bnd. Gal 3:13). Kuasa dosa telah dihancurkan, sehingga sekarang orang percaya dapat “bersyukur kepada Allah” Kemenangan orang percaya atas dosa dan maut telah diterima melalui iman kepada Yesus Kristus. Hal ini pun diungkapkan lebih luas oleh Pfitzner, sebagai berikut: Yesus Kristus yang oleh Injil telah mematahkan kuasa maut dan mendatangkan hidup yang tidak dapat binasa” (2Tim 1:10). Seperti dalam Roma 7:25, Paulus memisahkan diri dari kisah yang 23
The power of sin is the law : not only death but sin also is described as a power that seeks to maintain itself. Sin uses the law which stimulates fallen man to sin (cf. Rom. 5:12; 7:7f). Paul speak of the ultimate victory; that victory is not present when some men are saved, but only after everything that had assumed dominion since Adam’s sin has been abolished and after every God-opposing power has been annihilated; F.W. Grosheide, Commentary On The First Epistle To The Corinthians (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1960), 394
menyedihkan tentang perhambaan manusia untuk mengucapkan doa syukur: Syukur kepada Allah, telah memberikan kepada kita kemenangan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita. Mereka yang hidup dengan kasih karunia dan tidak lagi hidup di bawah keputusan Taurat yang menghukum, bebas dari tirani maut – termasuk rasa takut akan maut (Rm 6:14; 8:1,2; Ibr 2:14,15). Kematian fisik masih harus ditanggung, tetapi bahkan itu pun tidak dapat merampas dari kita kepasti akan kemenangan di dalam Kristus di masa datang (Rm 8:37-39). Mereka yang berada di dalam Kristus telah mati kepada dosa (dengan ikut serta di dalam kematian-Nya yang sempurna dalam baptisan); jadi, merekapun ikut serta di dalam kehidupan-Nya yang baru, kehidupan yang akan disempurnakan pada hari kebangkitan (Rm 6:1-11). Tetapi kemenangan selalu adalah milik Kristus, tak pernah milik kita – meskipun Ia dengan kasih karuniaNya memungkinkan kita ikut serta di dalam arak-arakan kemenangan bahkan sejak di dalam kehidupan ini (2Kor 2:14). 24
IMPLIKASI BIBLIOLOGIS, SOTERIOLOGIS, EKKLESIOLOGIS DAN ESKATOLOGIS DOKTRIN KEBANGKITAN ORANG MATI/TUBUH Bertolak dari penelitian teks 1Korintus 15:1-58, paling sedikit penulis menemukan 4 implikasi. Di bawah ini, akan penulis uraikan satu persatu implikasi tersebut.
Implikasi Bibliologis (1Kor 15:5,7-10) Kata bibliologis dari kata biblio yang artinya buku atau Kitab, sedangkan bibliologis yaitu berhubungan dengan penyelidikan bahasa, penyelidikan keadaan zaman tertulisnya Kitab-kitab yang membentuk Kitab Suci yang sedekat-dekatnya dengan yang asli dan tafsiran yang mencari dan menerangkan Kitab Suci.25 Kebenaran mengenai kebangkitan diawali oleh Paulus dengan mengemukakan alasan bibliologis, yang dikemukakannya pada ayat 3 dan 4, bahwa baik kematian Tuhan Yesus maupun kebangkitan-Nya adalah terjadi sesuai dengan Kitab Suci. Paulus menyatakan: “... sesuai dengan Kitab Suci, ... sesuai dengan Kitab Suci.” Dua kali Paulus menekankan 24 25
Pfitzner, Kesatuan dalam Kepelbagaian …, 327-328 R. Sudarmo, Ikhtisar Dogmatika (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986), 18
kebenaran dengan kalimat “Sesuai dengan Kitab Suci”. Inilah implikasi bibliologis dari kebangkitan Tuhan Yesus. Kebenaran Kitab Suci digenapi dengan peristiwa Kebangkitan Tuhan Yesus. Selanjutnya kebenaran Kitab Suci dan peristiwa kebangkitan Yesus diperkuat dengan kesaksian para murid mengenai penampakan Tuhan Yesus kepada mereka. Penampakkan Diri Tuhan Yesus kepada para murid merupakan salah satu ketentuan yang mendasar dimana para murid disebut Rasul. Karena para murid telah melihat Tuhan Yesus yang telah bangkit dan Rasul-Rasul inilah yang telah menulis Injil-Injil. Salah satu argumentasi Paulus mengenai kebenaran Injil, berita kebangkitan Yesus, adalah dengan penampakan Tuhan Yesus yang bangkit kepada murid-murid. Mereka kemudian disebut rasul karena alasan telah melihat Tuhan Yesus secara langsung. Paulus mengemukakan sejumlah laporan tentang penampakan Tuhan Yesus kepada murid-murid. Dalam ayat 5, 7-10: Pertama: Kristus menampakkan diri-Nya kepada Kefas atau Petrus dan kepada keduabelas murid (bukan mitos). Kedua: Kristus menampakkan diri-Nya kepada lebih dari lima ratus saudara. Ketiga: Kristus menampakkan diri-Nya kepada Yakobus, kemudian kepada semua rasul. keempat; Kristus menampakkan diri-Nya kepada Paulus sendiri, waktu penglihatan Paulus saat perjalanannya ke Damsyik, dengan maksud untuk menganiaya orang Kristen (Kis 9).26 Peristiwa inilah yang digambarkan oleh Paulus ”seperti anak yang lahir sebelum waktunya”, artinya Paulus mengungkapkan mengenai dirinya yang tidak layak, namun dilayakan oleh Tuhan Yesus yang datang menampakan Diri-Nya kepadanya.27 Kesaksian Paulus ini, diperkuat dengan pengalaman dirinya sendiri. Paulus bersaksi dalam kerendahan hatinya dan ia senantiasa merasa menyesal karena telah menganiaya jemaat Tuhan (ay. 9-10). Alasan inilah yang dianggap Paulus bahwa dirinya adalah yang terkecil (paling hina) diantara semua rasul. Namun, kuasa kebangkitan Kristus telah merubah Paulus secara total menjadi seorang yang sungguh-sungguh hidup dan
26
Green, Tafsiran Surat I..., 102 Ungkapan itu bukan menunjuk kepada saatnya Paulus bertobat, melainkan kepada tindakan menyela yang mendadak, yang dengannya ia disobek, dari menentang Tuhan menjadi murid Tuhan atau kepada perasaannya sebagai orang yang tak layak sama sekali – sama tak layak disebut rasul, sama halnya abortus dipandang sebagai dewasa. Sekalipun disini Paulus menyebut dirinya yang paling hina dari semua rasul, ia tidak bermaksud menunjukkan bahwa pelayanannya lebih rendah daripada pelayanan rasul-rasul lainnya (bnd. 2Kor 11:5; Gal 2:11), sebab sebenarnya ia bekerja lebih berkelimpahan, tapi karena ia telah menganiaya jemaat Allah (Kis 26:9 dsb. Gal 1:13) ia tak patut sama sekali disebut rasul (1Tim 1:15); Donald Guthrie, Tafsiran Alkitab Masa Kini. 3 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992), 530-531 27
melayani Tuhan. Pfitzner juga menyatakan hal yang sama. 28 Kuasa yang mengubah hidup Paulus ini, disadari olehnya sebagai karunia Allah (ay. 10). Semua laporan mengenai penampakan Tuhan Yesus kepada muridmurid, termasuk kepada Paulus memberikan kesaksian yang kuat bahwa kebangkitan Yesus adalah berita yang benar, dan historis, bukan mitos.
Implikasi Soteriologis (1Kor 15: 17-19; 21, 24-25, 27-28) Kata soteriologis dari kata dasar soter artinya selamat. Kata soteriologis adalah berkaitan dengan berkat keselamatan kepada orang berdosa dan pembaharuan yang dialaminya untuk hidup dalam persekutuan yang intim dengan Allah.29 Jadi, yang dimaksud dengan implikasi soteriologis adalah kebangkitan Kristus menjadi dasar bagi Gereja atau orang percaya diselamatkan. Dalam ayat 17, Paulus menekankan suatu akibat apabila Kristus tidak dibangkitkan. Tanpa kebangkitan Kristus maka kepercayaan mereka menjadi sia-sia, tidak berguna dan tetap hidup dalam dosa mereka. Ayat 18, Paulus menekankan, jika Kristus tidak mati, maka sebagai akibat yang berikutnya adalah jemaat Korintus yang percaya dan mati dalam Kristus mengalami kebinasaan. Lebih dalam lagi Paulus menyatakan bahwa: “Jikalau kita hanya dalam hidup ini saja berharap pada Kristus, maka kita adalah orang-orang yang paling sengsara dari segala manusia (ay. 19).” Dalam ungkapan ini, Paulus menyatakan betapa malang atau sengsaranya jemaat Korintus yang telah berharap pada Kristus dalam seluruh kehidupannya, termasuk kehidupan setelah kematian, Pernyataan Paulus ini adalah sebagai akibat jikalau Kristus tidak dibangkitkan. Dalam hal ini, jemaat Korintus berharap pada Allah yang tidak berkuasa untuk menyelamatkan, karena itulah Paulus menyatakan bahwa mereka adalah orang yang sengsara atau malang dari segala manusia. Lebih jauh dari itu, tanpa kebangkitan Kristus, maka, iman jemaat Korintus adalah iman yang kosong, karena mereka percaya kepada Injil yang tidak benar dan sia-sia. Maka orang Kristen tidak lebih dari orang-orang bukan Kristen.
28 Tuhan menangkap penganiaya besar ini dan mengubahnya menjadi seorang misionaris yang besar (Gal 1:13-16). Hal itu, kata Paulus, hanya membuktikan satu hal : karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang; Pfitzner, Kesatuan dalam Kepelbagaian..., 295 29 Louis Berkhof, Teologi Sistematika, 4: Doktrin Keselamatan (Surabaya: Momentum, 2002), 5
Kita telah mengetahui bahwa pengampunan merupakan satu kebutuhan kita yang paling mendasar, dan satu dari karunia Allah yang Agung. Menurut Alkitab pengampunan hanya mungkin bila ada darah (Mat 26:28; Rm 6:23). Dan dalam hal ini pengampunan terkait dengan perjanjian, darah merupakan adanya pengampunan dosa yang disyaratkan oleh pencurahan. Darah merupakan isi dari perjanjian. Kristus menggenapi dengan pencurahan di kayu salib bahkan mati di kayu salib. Dan kebangkitan membuktikan bahwa darah Kristus atau kematian-Nya di kayu salib adalah sebagai bukti bahwa karya pengampunan dosa itu sempurna dan berkenan kepada Allah. Karena itu Paulus dalam 1Korintus 15 menekankan mengenai pentingnya kebangkitan bagi pengampunan dosa, sebagaimana pendapat Stott sebagai berikut: Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati dan melalui membangkitkan-Nya, Allah telah memberikan jaminan kepada kita bahwa Ia mengakui kematian yang berkaitan dengan dosanya, bahwa Ia tidak mati sia-sia dan bahwa mereka yang percaya kepadaNya menerima suatu pengampunan yang penuh dan bebas. Kebangkitan mengsyahkan salib Kristus.30
Jadi, kebangkitan memiliki implikasi untuk orang Kristen dan juga untuk Kristus. Satu sisi kebangkitan memungkinkan kesatuan orang percaya dengan Kristus. Kristus sebagai kepala orang percaya dan orang percaya sebagai tubuh Kristus. Hal ini menerangkan mengenai Kristus yang hidup dalam kehidupan orang percaya. Pemaparan tersebut, dipertegas dalam ayat 2, yang mengungkapkan bahwa Kristus adalah satu-satunya jaminan keselamatan. Jadi jelaslah bahwa, Kristus telah dibangkitkan. Dia adalah sebagai perintis atau buah sulung dari kebangkitan orang mati, yang mana mengakibatkan kebangkitan bagi orang percaya pada hari kedatangan-Nya. “Kemudian tiba kesudahannya... (ay. 24).” Sesudah kedatangan Kristus dan orang percaya yang telah mati dibangkitkan, maka tibalah kesudahannya, yaitu puncak dari segala zaman. Kedatangan Kristus adalah untuk meneguhkan kedaulatan-Nya yang penuh dan secara langsung (2Tes 1:7). Sebelum Kristus meneguhkan kedaulatan-Nya, tiap kuasa yang menentangNya akan dibinasakan. Setelah semuanya dibinasakan, yaitu 30 The terrible consequences of no resurrection would be that the apostles are false witnesses, believers are unforgiven, and the Christian dead have been perished. But in fact, Paul continued, Christ was raised from the dead, and by raising him God has assured us that he approves of his-bearing death, that he had not died in vain, and that those who trust in him receive a full and free forgiveness. The resurrection validates the cross; John Stott, The Contemporary Christian (Leicester: Inter Versity Press, 1992), 82
tugas yang diberikan Allah Bapa telah dipenuhi (Mat 28:18), maka Kristus menyerahkan kedaulatan atau kerajaan-Nya kembali kepada Allah Bapa (1Kor 15:24). Kerajaan yang diserahkan Kristus kepada Allah Bapa bukanlah pemerintahan atas daerah atau wilayah tertentu secara lahiriah, melainkan yang diserahkan Kristus adalah kekuasaan penuh atas segala sesuatu termasuk manusia (bnd. Flp 2:10). Untuk itu, terlebih dahulu Dia harus membinasakan segala kekuasaan lain. 31 Karena itulah Kristus harus memegang pemerintahan sebagai Raja (ay. 25), sampai pemerintahan yang lain dibinasakan dan ditaklukkan, yaitu sebelum kesudahannya tiba. Hal ini adalah sesuai dengan janji Allah bahwa Kristus akan memperoleh kemenangan terakhir atas kuasa-kuasa yang menentang-Nya (bnd. Mzm 110:1). Jadi jelas, Paulus mau menjelaskan bahwa kuasa lain yang paling terakhir dihapuskan atau dibinasakan oleh Kristus adalah maut. Setelah itu tidak ada lagi yang harus dihapuskan, karena maut merupakan musuh paling terakhir dari kuasa-kuasa lain yang dibinasakan oleh Kristus. Dalam ayat 27-28, Paulus berbicara tentang manusia yang sempurna, yaitu Yesus Kristus. Segala sesuatu telah ditaklukkan di bawah kaki-Nya, Allah Bapa yang menyerahkan kekuasaan mutlak itu kepada Kristus. Kalau pekerjaan yang diberikan Allah Bapa kepada Kristus telah selesai, maka Kristus akan menyerahkannya kembali segala kekuasaan kepada Bapa-Nya (ay. 24). Sebagai bukti bahwa kepada-Nya Anak sendiri ditaklukkan, yaitu Anak taat kepada Bapa-Nya. Tujuannya adalah Allah Bapa menjadi semua di dalam semua (bnd. Rm 11:3).
Implikasi Ekklesiologis (1Kor 14:26-40; 16:1-4) Ekklesia merupakan kata dasar dari ekklesiologi. Kata ekklesia berasal dari dua kata: -ek dan kaleo, yang artinya memanggil keluar.32 Gereja adalah sekumpulan orang-orang yang dipanggil atau orang percaya dan Tuhan sendiri yang memanggil mereka. 33 Jadi, implikasi ekklesiologis yang dimaksudkan adalah kebangkitan Kristus menjadi sentral pemberitaan atau pengajaran dalam Gereja. Sehingga Gereja memiliki pemahaman yang benar tentang kebangkitan orang mati dan memiliki iman yang hidup serta Gereja dapat mengaplikasikanya dalam kehidupan bergereja. Ada beberapa implikasi ekklesiologis dalam 1Korintus 15, di antaranya sebagai berikut.
Guthrie, Tafsiran Alkitab Masa…, 532; Green, Tafsiran Surat I…,105 R. Soedarmo, Iktisar Dogmatika (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986), 172 33 Luois Berkhof, Teologi Sistematika 5 (Surabaya: Momentum, 2003), 7 31 32
Didaskalia (1Kor 15:1-2) Kata didaskalia berasal dari bahasa Yunani didasco yang artinya mengajar, sedangkan kata didaskalia adalah berhubungan dengan apa yang diajarkan. Kata didaskalia dapat disebut juga dengan kata doktrin (bahasa Latin).34 Jadi, yang dimaksudkan dengan implikasi bagi didaskalia Gereja adalah pengajaran atau doktrin kebangkitan Tuhan Yesus memastikkan atau menjamin pengajaran Kristen. Dengan kata lain, bahwa kebangkitan Kristus berimplikasi kepada kebenaran dan kepastian pengajaran Gereja, sehingga jemaat memiliki pemahaman, pengakuan yang benar tentang imannya dan memberikan diri dalam pengabdian kepada Kristus yang bangkit.
Komitmen dan Pengabdian (1Kor 15:3, 58) Komitmen artinya perjanjian, dan kata pengabdian berasal dari kata dasar abdi yang artinya hamba. Sedangngkan pengabdian artinya proses, perbuatan atau cara mengabdi. Jadi, yang dimaksud dengan implikasi komitmen dan pengabdian adalah doktrin kebangkitan orang mati atau tubuh membuat Gereja atau orang percaya berkomitmen atau mengambil keputusan atau perjanjian untuk menjadi hamba atau alat di tangan Tuhan. Setelah Paulus menarik perhatian jemaat Korintus kepada Injil yang telah mereka terima, ia melanjutkan pembahasannya dengan menekankan hakekat Injil itu sendiri. Dalam ayat 3, ia menyatakan tentang Injil yang telah ia terima, yaitu tradisi pengajaran Gereja.35 Bahwa inti Injil adalah adalah berpusat pada kematian Kristus. “Salib itu merupakan inti dari Injil,” menurut pernyataan Morris.36 Wilson menyatakan: “Karena dosa-dosa kita yang merupakan alasan kematian Kristus, ini berarti bahwa Ia mati sebagai orang berdosa, sebagai kurban penggantian yang oleh-Nya kita menerima pengampunan dosa-dosa.”37 Makna kematian Kristus disampaikan Paulus, dengan harapan akan menggugah kesadaran jemaat Korintus, supaya tidak cepat mengikuti injil lain, yaitu injil yang tidak menghargai kematian dan 34
www.wikipedia.com This is the kerygma, the proclamation the gospel preached by the early church; Morris, Tyndale New Testament…, 201 36 The cross is at the heart of the Gospel; Ibid. 37 Since ‘our sins’ were the only reason for Christ’s death, this means that he died for as sinners, as the substitutionary sacrifice through whom we receive the forgiveness of sins; Geoffrey B. Wilson, I Corinthian (Pennsylvania: The banner of Truth Trust, 1978), 214 35
kebangkitan Kristus. Sedangkan dalam ayat 58, Paulus menghimbau jemaat Korintus untuk berdiri teguh, jangan goyah, dan giat dalam pekerjaan Tuhan. Jadi, kebangkitan Kristus membuat orang percaya mengambil keputusan atau berjanji mengikut Kristus dan mengabdikan dirinya untuk dipakai menjadi alat-Nya dalam memberitakan Injil.
Evangelistik atau Pemberitaan Injil (1Kor 15: 57-58) Paulus dalam ayat 57 menyatakan bahwa kemenangan orang percaya atas dosa dan maut telah diterima melalui iman kepada Kristus. Oleh karena itu ayat 58 Paulus menghimbau jemaat Korintus untuk berdiri teguh, tidak goyah dan giat selalu dalam pekerjaan Tuhan. Ajakan Paulus ini dari pengalaman dan hidupnya sendiri. Ia giat melayani Tuhan, karena tahu adanya kebangkitan orang percaya. Ia sungguh-sungguh bekerja keras. Hal ini ia lakukan karena adanya pengharapan akan kebangkitan orang percaya dan ia dapat bekerja keras dalam melayani Tuhan, semata-mata hanyalah oleh kasih karunia Allah. Kebangkitan Kristus merupakan dasar kebangkitan orang percaya. Injil menyatakan bahwa setelah Kristus bangkit dari kematian, Dia memberi amanat misi kepada para murid.
Kesalehan Kristen (1Kor 15:20, 58) Paulus dalam ayat 20 ”...yang benar ialah Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati, sebagai yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal.” Kristus telah bangkit, hal ini menjelaskan mengenai suatu kejadian yang sudah berlangsung. Dengan kebangkitan Kristus ini, membuat iman jemaat diteguhkan. Jadi, dengan kebangkitan Kristus, Allah menyatakan pengampunan, dan Allah juga menjamin kehidupan bagi jemaat selanjutnya. Stott mengungkapkan bahwa: “Kebangkitan Yesus memberikan jaminan kepada kita mengenai pengampunan Allah. Kita telah mengetahui bahwa pengampunan adalah salah satu kebutuhan yang paling mendasar dan salah satu dari karunia Allah yang terbaik.” 38 Kebangkitan Kristus adalah buah sulung dari orang-orang yang telah mati, sedangkan ayat 58 menyatakan: ”karena itu ... berdirilah teguh jangan goyah...” Paulus memberikan dorongan kepada jemaat Korintus untuk senantiasa berdiri The resurrection of Jesus assures us God’s forgiveness we have already noted that forgiveness is one of our most basic need and one of God’s best gifts;” Stott, The Contemporary Christian…, 81 38
teguh tidak goyah, tentunya hal ini juga memaparkan tentang berdiri teguh dalam hidup yang saleh, hidup tidak bercacat dihadapan Tuhan. Fakta kebangkitan Kristus membuat orang percaya hidup dalam kekudusan, karena adanya pengampunan dosa dan mereka tidak akan mengalami kebinasaan pada kedatangan Tuhan Yesus kedua kali. Fakta Kebangkitan Kristus membuat orang percaya memiliki pengharapan hidup kekal.
Kesaksian dan Dorongan (1Kor 15:10-11, 58) Dalam ayat-ayat sebelumnya, Paulus telah menjelaskan mengenai Kristus yang telah mati, dikuburkan dan yang telah bangkit dari kematian. Kebangkitan Kristus adalah merupakan dasar daripada kebangkitan Kristen atau orang percaya. Tuhan Yesus menampakkan diri-Nya kepada para murid dan kepada 500 orang, selain para murid. Sedangkan penampakkan diri kepada Paulus adalah merupakan penampakan Kristus yang paling akhir dari semua urutan penampakan Kristus setelah kebangkitan-Nya. Kristus menampakkan diri-Nya kepada Paulus yaitu pada waktu perjalanan Paulus ke Damsyik. Paulus ke Damsyik dengan tujuan akan menganiaya jemaat Tuhan disana, namun di dalam perjalanan, Paulus ditangkap (bertobat) oleh Tuhan. Paulus yang sebelumnya menentang Tuhan, menjadi murid Tuhan. Karena itulah Paulus menyebut dirinya yang paling hina dari semua rasul. Maksud Paulus disini ialah ia yang telah menganiaya jemaat Tuhan (Kis 8:3; 9:1; 22:4; 26:9-11), namun Tuhan menangkapnya dan mengubahnya menjadi seorang misionaris yang besar (Gal 1:13-16). Dalam ayat 10a adalah sebagai bukti bahwa Paulus yang adalah paling hina di antara orang kudus, namun dia mendapatkan kasih karunia Allah untuk menjadi alat-Nya, memberitakan kepada orang-orang bukan Yahudi akan kekayaan Kristus yang tidak terduga (Ef 3:8). Dahulu ia adalah orang berdosa yang paling celaka, tetapi Allah menjadikannya contoh hidup yang sempurna tentang bagaimana kasih karunia itu bekerja (1Tim 1:15-16). Hal yang sama juga diungkapkan oleh Pfitzner, bahwa: “Kasih karunia tidak pernah cuma sekedar gagasan atau konsep teologis yang bagus dari Paulus; ia telah mengalami kuasa-Nya di dalam perubahan hidupnya sendiri. Jadi, ia bahkan dapat menyebut jabatannya sebagai rasul sebagai sebuah anugerah kasih karunia (Rm 1:5).”39 Jadi, disini Paulus menjelaskan bahwa oleh karena kasih karunia Allah saja, ia dapat melayani Tuhan dengan sungguh-sungguh. Paulus bersaksi: “tetapi aku telah bekerja lebih keras daripada mereka semua.” Paulus disini menjelaskan bahwa ia 39
Pfitzner, Kesatuan dalam Kepelbagaian..., 296
sama sekali tidak lebih rendah dari pada para rasul yang lain, yang suka menonjolkan diri atau menyombongkan kekuatan-kekuatan rohani mereka (2Kor 11:5, 23; 12:11). Karena kasih karunia Allah, Paulus berhasil dalam pelayanan. Bukti keberhasilan Paulus dalam pelayanan yaitu ia telah membuka daerah-daerah baru kemanapun ia pergi atau melayani. Dalam hal ini, Paulus tidak membanggakan usaha-usahanya tetapi “bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku” yang menghasilkan setiap keberhasilan. Kalimat berikutnya yaitu ayat 11 adalah sebagai kunci dari kalimat-kalimat sebelumnya “sebab itu, baik aku, maupun mereka, kami sama-sama mengajar dan kamu menjadi percaya.” Paulus atau para rasul, para misionaris lainnya, hanyalah seorang hamba, yang dengan penuh kesetiaan menunaikan tugas yang telah dipercayakan kepadanya (1Kor 3:510). Mereka sama-sama mengajarkan kebenaran yang sama, seperti apa yang orang-orang Korintus juga percaya. Dalam ayat 58 ini, Paulus memberikan suatu kesimpulan praktis dari keseluruhan ayat-ayat sebelumnya (ay.1-57), yang telah dijelaskan bahwa kepastian atau pengharapan kebangkitan orang percaya adalah didasarkan pada kebangkitan Kristus sebagai yang sulung dari kebangkitan orang percaya. Karya Kristus telah memuaskan tuntutan Hukum Taurat (bnd. Gal 3:13), dimana kuasa dosa telah Ia hancurkan, maut telah Ia kalahkan. Kesimpulan pembahasan Paulus adalah himbauan bagi seluruh jemaat Tuhan di Korintus agar berdiri teguh, jangan sampai iman mereka digoyahkan atau digeser oleh dunia, oleh iman yang merusakkan yaitu iman yang tidak benar dan giat didalam melayani Tuhan. Karena pekerjaan atau pelayanan yang sungguh di dalam Tuhan akan menghasilkan buah yaitu iman yang tidak kosong dan perbuatan-perbuatan yang baik. Pernyataan ini tidak memberikan kepada mereka pintu masuk ke dalam sorga, tetapi hanya oleh kasih karunia Allah di dalam Kristus yang memberikannya.
Implikasi Eskatologis (1Kor 15: 20, 42) Kata eskatologi dalam bahasa Yunani eshatoj yang memiliki pengertian last; the term refers to the doctrine of the last things.”40 Berkhof menyatakan bahwa eskatologi didasarkan pada ayat-ayat Alkitab yang
Sin. Ferguson, David F. Wright, “New Dictionarry of Theology,” in Lecturer in New Testament, clair BS.H. Travis (Leicester, England: Universities and Colleges Christian Felloship, 1988), 228 40
membicarakan tentang hari-hari terakhir; waktu terakhir atau jam terakhir. 41 Jadi, yang dimaksud dengan implikasi eskatologi adalah doktrin kebangkitan orang mati membuat Gereja atau orang percaya memiliki pengharapan kebangkitan pada akhir zaman atau pada saat kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali (parousia). Paulus dalam ayat 20 menyatakan: “… bahwa Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati, sebagai yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal.” John Stott menyatakan bahwa: “Kebangkitan Yesus memberikan jaminan kepada kita mengenai pengampunan Allah. Kita telah mengetahui bahwa pengampunan adalah salah satu kebutuhan yang paling mendasar dan salah satu dari karunia Allah yang terbaik.”42 Paulus dalam hal ini, menekankan bahwa Kristus benar-benar telah dibangkitkan. Ia mau menjelaskan suatu kejadian yang sudah berlalu, tetapi berakibat terus menerus. Kristus menjadi jaminan dari buah yang akan datang, yaitu jemaat-Nya. Kristus bangkit dari kematian langsung ke sorga, tidak hidup dalam dunia ini lagi. Selain itu, kebangkitan Kristus adalah dasar bagi kebangkitan orang percaya, dengan kata lain, kebangkitan Kristus adalah kebangkitan yang menyelamatkan, yang memungkinkan kebangkitan orang mati. Paulus menyatakan bahwa, orang yang telah mati akan ditaburkan (dikuburkan) dalam kebinasaan, maka tubuh orang mati tersebut akan membusuk dan hancur, karena tubuh tersebut bersifat alamiah (ay. 42).43 Kemudian tubuh itu akan dibangkitkan oleh Allah dengan tubuh yang baru, yang tidak akan binasa, tubuh yang mulia, karena tubuh tersebut bersifat rohaniah. Penekanan Paulus dalam teks ini ialah karya Allah yang membangkitkan tubuh alamiah menjadi tubuh rohani. Jadi, kebangkitan Kristus adalah menjadi dasar bagi kebangkitan orang percaya. Kristus sebagai jaminan atau buah sulung bagi orang percaya atau Gereja. Orang percaya yang telah mati pada akhir zaman akan dibangkitkan dari kematian dan tubuhnya akan diubahkan menjadi tubuh yang baru atau rohani, sedangkan yang masih hidup akan diubahkan dalam sekejap mata (tubuh kemuliaan).
IBADAH SEBAGAI GAYA HIDUP 41
Louis Berkhof, Teologi Sistematika 6: Doktrin Akhir Zaman (Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1998), 10-11 42 The resurrection of Jesus assures us God’s forgiveness we have already noted that forgiveness is one of our most basic need and one of God’s best gifts; Stott, The Contemporary Christian…, 81 43 The mortal body, perishable (Gal 6:8), dishonored, humiliated because of sin (Phil. 3:20,21), and weak (Mark 14:38) – a natural body like those of the animal world – and bring that body that “is sown” in death (John 12:24); W. Harold Mare, The Expositor’s Bible Commentary, in I Corinthians…, 290
MENURUT ROMA 12:1 DAN IMPLIKASINYA BAGI IBADAH MASA KINI JAMMES JUNAEDY TAKALIUANG
PENDAHULUAN Keunikan manusia sebagai ciptaan Allah dibandingkan dengan ciptaan yang lain, oleh karena manusia diciptakan menurut gambar rupa Allah dan puncak dari segala ciptaan. Oleh karenanya sebagai ciptaan yang unik maka manusia menyatakan Allah secara lebih menakjubkan dibandingkan dengan ciptaan lain. Tetapi hal ini tidak menunjukkan bahwa manusia memiliki kedudukan yang sama dengan Allah, manusia adalah ciptaan dan Allah adalah pencipta. Dalam tanggungjawab untuk menyatakan Allah maka manusia harus mengalami perjumpaan dengan Allah. Perjumpaan ini bukan usaha manusia belaka tetapi inisiatif Allah semata dalam memperkenalkan diri-Nya, bertemu serta menyelamatkan manusia. Inilah hakekat hidup manusia yaitu mengenal dan berjumpa dengan Allah karena tanpa hal ini manusia tidak akan pernah mengenal dirinya sendiri. John Calvin dalam Institutes of Religion menulis: “man never achieves a clear knowledge of himself unless he has first looked upon God’s face, and descends from contemplating him to scrutinize himself.”1 Sehubungan dengan hal ini Pratt menulis demikian: “ Calvin dengan baik mengamati bahwa manusia mengerti siapa dirinya hanya didalam terang Allah itu. Allah adalah sang pencipta dan manusia adalah ciptaan-Nya. Tanpa memandang diri manusia melalui terang ini, manusia tidak akan pernah menangkap apa artinya manusia.”2 Oleh karena itu pengenalan Allah adalah urat nadi atau hal yang
fundamental untuk manusia. Ferguson menulis demikian : Hal yang paling penting bagi orang percaya selama berada dalam dunia ini ialah bertumbuh dalam pengenalan akan Allah. Pengenalan akan Allah adalah pusat dari keselamatan orang percaya dan dari semua pengalaman kerohanian yang benar. Pengenalan akan Allah adalah pusat bagi semua pengertian yang benar dalam kehidupan keKristenan. Pengenalan akan Allah penting bagi pertumbuhan 1
John T. McNeill (Ed), Calvin: Institutes of Religion (Philadelphia: The Westminster Press, 1981), 37. 2 Richard L. Pratt, Dirancang bagi Kemuliaan (Surabaya: Penerbit Momentum, 2003 ), 3
orang percaya. Pengenalan akan Allah adalah merupakan hak istimewa.3
Dari kajian ini jelas bahwa pengenalan akan Allah yang dimaksud adalah di dalam Yesus Kristus karena iman Kristen memiliki keunikan dalam hal ini. Iman Kristen memiliki perbedaan yang mendasar dengan iman dalam agama-agama lain dalam hal isinya atau content. Iman Kristen menjadi kesatuan integral dengan struktur jiwa manusia dan menghasilkan nilai-nilai kekekalan dalam hidup manusia.4 Iman yang sejati memberikan kepastian dalam segala hal yang terjadi sekarang dan dalam segala hal yang akan terjadi nanti (Eskatologis). Maka keKristenan bukan hanya sebuah sistem agamawi tetapi sebuah relasi. Allah dalam iman Kristen adalah Allah yang berpribadi dan Dia menghendaki supaya diri-Nya dikenal oleh manusia serta umatnya mencari, mendekat dan bersekutu dengan Dia melalui ibadah (bnd. Kel 7:16, 8:1-9; Luk 11:10; Kis 17:27). Sproul menulis dua sebab utama mengapa kita beribadah kepada Allah yaitu: “pertama, Allah menyuruh kita beribadah sebagai suatu kewajiban yang diberikan oleh pencipta kepada ciptaan-Nya. Kedua, pada hakekatnya Allah memang patut menerima ibadah kita.” 6 Ini berarti bahwa ibadah adalah suatu tindakan memuliakan Allah. Searah dengan hal ini Grudem dalam Systematic Theology mendefinisikan ibadah sebagai berikut: Worship is the activity of glorifying God in His presence with our voices and heart. In this definition we note that worship is an act of glorifying God. Yet all aspect of our lives are supposed to glorify God, so this definition spesifies that worship is something we do especially when we come into God’s presence, when we are conscious on adoration of him in our hearts and when we praise him with our voices and speak about Him so others may hear.”7
Carson mengutip apa yang didefinisikan oleh A.P. Gibbs tentang ibadah yaitu: “ibadah adalah dikuasainya hati oleh Allah, bukan berbagai kebutuhannya atau oleh berkat-berkatnya.8 Maka ibadah adalah suatu sikap pengagungan dan rasa hormat yang terdalam bagi Allah di dalam Yesus 3
Sinclair B. Ferguson, Hati yang Dipersembahkan Kepada Allah (Surabaya: Penerbit Momentum, 2002 ), 1-3 4 Ibid., 5 6 R.C. Sproul, Menanggapi Allah dalam Ibadah: Pola Hidup Kristen (Malang: Gandum Mas, 1990), 350 7 Wayne Grudem, Systematic Theology (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1994), 1003 8 D.A. Carson, Gereja Zaman Perjanjian Baru dan Masa Kini (Malang: Gandum Mas, 1997), 127
Kristus dan hanya Allah saja yang menjadi fokus utama. Sehingga setiap ibadah selalu menyatakan Allah. Hoon menulis demikian: “Inti ibadah Kristen adalah Allah sedang bertindak untuk memberikan hidup-Nya bagi manusia dan membawa manusia mengambil bagian dalam kehidupan itu.” 9 Teolog Lutheran Peter Brunner menjelaskan ibadah dengan menggunakan istilah Jerman Gottesdiest yaitu satu kata yang mencakup baik pelayanan Allah kepada manusia maupun pelayanan manusia kepada Allah.10 Nikos A. Nissiotis seorang teolog Ortodoks menyatakan bahwa ibadah pertamatama bukanlah inisiatif manusia melainkan tindakan pendamaian Allah dalam Kristus melalui Roh-Nya.11 Selain berbicara tentang tanggapan terhadap karya agung yang telah Allah kerjakan, sedang dikerjakan, ibadah juga memberi dampak kekekalan atau makna eskatologis. Dalam hubungannya dengan hal ini Jean Jaques von Allmen seorang theolog Swiss mendefiniskan ibadah demikian: “Christian worship is an eschatological game.” Maksudnya, bahwa keunikan ibadah Kristen adalah pada makna eskatologinya. Seolah-olah apa yang dilakukan umat Kristen dalam ibadah menunjuk pada apa yang akan terjadi kelak dalam kerajan Sorga (Why 4:111, 7:9-17).12 Ibadah memiliki sifat kekekalan sehingga ibadah adalah tujuan tertinggi. Maka ibadah Kristen adalah sesuatu yang unik yang tidak terdapat dalam ibadah manapun karena semua aspek ada di dalam ibadah Kristen. Bahkan ibadah adalah tujuan dari kehidupan itu sendiri, oleh karena semua yang manusia lakukan adalah ibadah. Ini berarti bahwa kehidupan sama dengan ibadah atau ibadah harus menjadi gaya hidup. Konsep ibadah sebagai gaya hidup ini harus di implementasikan dalam ibadah Gereja masa kini. Karena pertumbuhan Gereja baik secara kualitas maupun kwantitas ditentukan oleh konsep ibadah. Bahkan praktek ibadah dalam Gereja semua didasarkan pada konsep ibadah. Jika konsep yang di implementasikan adalah keliru maka akan terjadi penyimpangan yang berakibat pada pelaku ibadah yaitu jemaat. Semua orang yang ada dalam Gereja menghendaki kehadiran Gereja ditengah dunia ini adalah menjadi berkat. Harapan dan cita-cita Gereja ini sangat mulia. Tetapi dalam kenyataan yang ditemui dilapangan beberapa Gereja tidak dapat memenuhi cita-cita dan harapan yang mulia ini. Salah satu faktor penyebab adalah kurang terimplementasinya konsep ibadah yang benar. Beberapa Gereja telah melupakan bahkan menghilangkan 9
James F.White, Pengantar Ibadah Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 7
10
Ibid. Ibid., 10. 12 Yakub B. Susabda, Mengenal dan Bergaul dengan Allah..., 254 11
unsur-unsur dasariah ibadah serta penyimpangan tujuan umat yang beribadah. John Stott menulis sebagai berikut: Bahwa kita yang menyebut diri 'injili' tidak tahu banyak bagaimana harus beribadah. Pengabaran injil atau evangelisasi adalah spesialisasi kita, bukan ibadah. Kita tampaknya hanya punya sedikit rasa tentang kebesaran dan keagungan Allah yang Mahakuasa. Kita tidak bersujud dihadapan-Nya dengan kagum dan gentar. Kecenderungan kita adalah sok jago, kurang ajar dan sombong. Kita tidak ambil pusing dalam mempersiapkan pelayanan ibadah kita. Sebagai akibatnya ibadah kita kadang-kadang berjalan begitu saja, mekanis, asal jadi dan kering. Pada kesempatan lain ibadah kita gegap gempita sampai benar-benar kehilangan kekhidmatannya. Tak heran mereka yang mencari kenyataan sejati sering mengabaikan kita.13
Alan Wolfe, seorang sarjana dan peneliti menerbitkan sebuah studi yang tajam dari kehidupan keagamaan bahwa yang tampil menyolok adalah tokoh kaum injili. Ia menuliskan sebagai berikut: Paham injili sekarang ini memamerkan sebuah keinginan yang sangat kuat untuk meniru konsep bangunan mewah dan musik populer yang membuatnya kehilangan perbedaan-perbedaan religius yang pernah dimilikinya. Kebenarannya ialah terdapat kecenderungan menguat akan adanya perbedaan tipis antara sebuah aktivitas duniawi seperti industri hiburan populer dengan upaya dari banyak mega gereja Injili untuk menarik orang sebanyak mungkin dengan ongkos berapa pun.”14
Maka George Barna menyimpulkan bahwa setiap hari Gereja justru lebih seperti dunia yang semestinya diubahkan. 15 Michael Horton seorang teolog Injili meratap setelah membaca hasil survei dari The Gallup Organization dan The Barna Group bahwa orang-orang Kristen Injili nampaknya sedikit demi sedikit hendak memeluk gaya hidup sebagai kaum hedonis, materialistik, berpusat pada diri sendiri dan berperilaku amoral dalam hal seksual seperti dunia pada umunya.16 Inikah wajah Gereja masa kini? masihkah ada ibadah yang sejati dalam Gereja? Dalam hubungannya dengan perubahan zaman dari modern ke post modern dimana orang-orang postmodern lebih suka hal-hal yang trans 13
John Stott, The Living Church (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 30 Ronald J. Sider, The Scandal of the Evangelical Conscience (Surabaya: Literatur Perkantas, 2007), 22 15 Ibid., 23 16 Ibid., 22 14
history atau transenden dan sangat mengabaikan logika, telah memberikan pengaruh dalam praktek ibadah masa kini, dimana ibadahnya lebih bersifat mistis bahkan sinkritis. Tradisi-tradisi penyembahan berhala dimasukkan dalam ibadah Kristen sehingga motivasi beribadah hanya terbatas pada tanda-tanda ajaib. Selain itu juga tanda-tanda ajaib Allah hanya dibatasi melalui media-media tertentu. Maka ibadah dengan Allah hanyalah untuk menikmati berkat-berkat Allah bukan Allah sendiri. Allah hanya menjadi sarana (tools) bukan sasaran. Jika Allah mampu melakukan tanda-tanda ajaib maka Allah hadir dan ada dalam ibadah. Jika tidak ada tanda-tanda ajaib maka Allah tidak ada dalam ibadah (functional God). Salah satu unsur ibadah Kristen adalah pesta rohani dimana dalam pesta rohani tersebut menunjuk kepada pengharapan. Itulah sebabnya Tuhan memerintah melakukan sakramen perjamuan kudus karena hal ini adalah tanda surgawi dari realita rohani di dalam kerajaan surga. Para reformator menyebut sakramen sebagai pledge atau janji Allah.17 Susabda mengutip John A Lasco tentang kebenaran dalam hubungan dengan sakramen demikian: “I hope that you all, sitting down at this Supper, have perceived by the eye of your faith that blessed time in the Kingdom of God when you sit at the table with Abraham, Isaac dan Jacob.”18 Sakramen diubah fungsikan hanya sebagai sarana utama perjumpaan dengan mujizat Allah bukan Allah sendiri. Akibatnya sakramen di kultuskan sehingga ukuran untuk melihat dan merasakan tanda-tanda ajaib hanya ada dalam sakramen. Tuhan dimasukkan dalam kotak khusus yaitu perjamuan kudus. Ini berarti membatasi Tuhan dalam karya-Nya. Dalam praktek ibadah yang lain secara khusus pelaksanaan unsur ibadah pujian, seringkali dilakukan dengan jiwa yang kosong dan kasih yang hambar, maka pujian seringkali hanya untuk kemuliaan manusia bukan Allah. Pujian harus menyentuh perasaan dan ketika perasaan tersentuh maka kepuasaan batiniah tercapai dan itulah ibadah. Apakah demikian pujian dalam ibadah? Jika pujian yang dilakukan hanya untuk mengisi kekosongan perasaan dan hasrat tertinggi adalah pencapaian kepuasaan batiniah, maka disinilah muncul subjective truth sehingga kebenaran ini bersifat relativ. Karena pengalaman kepuasaan batiniah bukan dengan landasan objective truth yaitu firman Allah. Pengabaian Firman Allah dalam ibadah Kristen berarti sama dengan sebuah pengkhianatan dalam ibadah, artinya firman hanyalah sampah. 19 Unsur lain 17
Susabda, Mengenal dan Bergaul..., 260 Ibid. 19 Hans Maris, Gerakan Karismatik dan Gereja Kita (Surabaya: Penerbit Momentum, 2008), 34. 18
yang menjadi sorotan dalam ibadah adalah masalah charismata. Dalam hal ini charismata dimunculkan dalam ibadah Kristen menjadi suatu kewajiban. Dengan kata lain, tanpa charismata karya Roh kudus belum lengkap. Apakah ukuran seseorang dalam beribadah hanya karena memiliki charismata? Pertanyaan yang muncul adalah jika semua unsur dalam ibadah sudah terpenuhi dan bahkan dilaksanakan mengapa Gereja masih belum maksimal dalam menjalankan cita-citanya yaitu Gereja yang menjadi berkat? Mengapa masih ada diskriminasi ras dalam Gereja? Mengapa masih terjadi KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) di anggota Gereja? Mengapa masih ada perceraian? Mengapa masih ada ketidak taatan seksual? Mengapa filsafat materialisme, relativisme dan egoisme berhembus kencang dalam Gereja? Serta ada banyak bentuk masalah sosial yang ada yang dalam Gereja. Semua fakta ini tidak dapat disangkali bahwa dalam tubuh Gereja masih ada banyak skandal yang terjadi. Apakah Gereja gagal beribadah? Gereja tidak pernah gagal beribadah hanya Gereja belum menerapkan ibadah secara holistik. Selama ini Gereja membatasi ibadah hanya dalam sistem ceremonial. Ini berarti menutup ruang gerak dari pemahaman ibadah. Karena itu Gereja harus terus maju dan berkembang dalam tugas dan panggilannya. Menyikapi hal ini maka pengajaran tentang ibadah sebagai gaya hidup menurut Rasul Paulus dalam Roma 12:1-2, menjadi pegangan utama dalam Gereja demi terwujudnya ibadah yang sejati dan menghadapi semua skandal yang akan mengancam Gereja.
ANALISIS EKSEGETIS ROMA 12:1 Untuk mendapatkan pengertian yang jelas tentang teologi ibadah menurut Rasul Paulus dalam Roma 12:1-2, maka dalam bab ini Penulis akan memaparkan dua pokok pembahasan: (1) Analisis konteks kitab, (2) analisis eksegetis Roma 12:1.
Analisa Konteks Kitab Dalam bagian ini penulis akan menguraikan pikiran-pikiran Paulus dalam surat Roma, menyangkut seluruh konteks dalam kitab ini yang disebut konteks dekat dan juga dari luar kitab yang disebut konteks jauh.
Konteks Dekat Rasul Paulus bukanlah pendiri jemaat Roma. Tetapi dia mempunyai keinginan untuk mengunjungi jemaat Roma. Sebagaimana beberapa surat yang ditulis, Rasul Paulus memulai dengan pendahuluan atau salam, dimana dia menjelaskan posisinya sebagai seorang Rasul Kristus (1:1-15), kemudian dia menguraikan tentang kabar baik yaitu Injil Allah yang merupakan tema utama dalam kitab ini (1:16-18), menyusul pada bagian berikut yaitu pasal 1:18-3:20, uraian tentang keberadaan manusia baik Yahudi maupun non-Yahudi sama-sama berada di bawah murka Allah. Semua manusia telah berada di bawah murka Allah dan tidak ada jalan lain selain dibenarkan oleh Allah, inilah anugerah terbesar bagi hidup manusia dari yang hina menjadi mulia dan dari tidak percaya menjadi dipercaya. Selanjutnya memasuki pasal 3:21-31, merupakan wujud pembenaran oleh iman semua yang terjadi adalah anugerah Allah. Tetapi ada semacam peralihan pada pasal 4 yaitu tentang Abraham. Van den End menggunakan istilah Midrasy tentang Abraham yang membuktikan isi pasal 3:21-31.20 Pasal 5-8 adalah merupakan perwujudan pembenaran ilahi yaitu kehidupan baru berdasarkan pembenaran oleh iman. Berkaitan dengan hal ini, Van den End mengatakan sebagai berikut: Dibenarkan oleh iman berarti bahwa orang percaya telah masuk kedalam lingkungan kasih karunia (ps. 5), menempuh kehidupan baru bersama Kristus (ps. 6), dibebaskan dari kurungan hukum taurat (ps. 7), dengan ekskurs mengenai peranan hukum taurat dalam hubungan dengan dosa dalam diri manusia) dan menjadi tempat pendiaman Roh yang olehNya mereka mampu memenuhi tuntutan hukum taurat (8).21
Perbedaan yang mencolok ialah antara pasal 7 dan 8. Pasal 7 berbicara penuh soal hukum taurat sedangkan pasal 8 berbicara soal Roh Kudus. Fakta lain yang di ungkapkan oleh Paulus bahwa kita adalah anakanak Allah (sebagai meterai Roh Kudus) maka kita juga adalah ahli warisnya dan penderitaan yang kita alami adalah jalan menuju kemuliaan. Selanjutnya pasal 9-11 merupakan hubungan antara pembenaran dengan bangsa Yahudi, pilihan atas Israel dan kegagalan Israel. 22 Selain itu juga pasal 9-11 adalah jawaban terhadap tuduhan yang diajukan kepada 20
Th. Van den End, Tafsiran Alkitab: Surat Roma (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1995), 11 21 22
Ibid. Merril C. Tenney, Survey Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 1992), 337
Paulus yaitu pemberitaan tentang Allah, dimana Paulus katakan bahwa Allah telah menolak umat-Nya dan bahwa karena itu Allah yang diberitakan Paulus adalah Allah yang tidak dapat diandalkan. Penjelasan lain dari pasal ini yaitu Paulus meletakkan asas Gereja serta kehidupannya. Akan tetapi kehidupan itu bukan hanya asas saja atau sebuah teori tetapi bisa dipraktekkan dalam hidup tiap hari, dan penjelasan tentang hal ini pada pasal 12:1-15:13 yaitu nasehat yang bersifat umum dan menyangkut problem konkrit di dalam jemaat Roma. Keseluruhan nasehat praktis pada pasal 12-15 berbicara tentang bagaimana sikap orang Kristen dalam berhubungan. Hubungan yang paling awal dilakukan adalah hubungan dengan Allah yaitu pasal 12:1-2, kemudian sesudah itu ayat 3-8 menjelaskan hubungan orang Kristen dengan dirinya sendiri secara khusus menyadari setiap karunia yang diberikan oleh Allah untuk kemuliaan Allah, bukan hanya untuk kepentingan diri sendiri. Artinya tiap-tiap anggota jemaat mempunyai tugas yang harus dilakukan untuk tubuh Kristus. Karunia yang diberikan oleh Tuhan itu untuk saling melengkapi bukan untuk saling menonjolkan diri diantara sesama anggota jemaat. Setelah menyadari hubungan dengan diri sendiri Paulus menekankan lagi hubungan dengan orang lain secara khusus tentang kasih dalam keluarga Allah (ay. 913). Pada bagian berikut tentang sikap terhadap musuh atau hubungan kita dengan musuh kita. Sikap orang percaya bukan membalas tetapi melayani jika hal ini dilakukan , maka seperti menumpukan bara api di atas kepala mereka (ay. 20). Setelah memberikan nasehat tentang bagaimana hubungan dengan Allah, diri sendiri, sesama dan bahkan musuh kita, Paulus melihat bukan hal-hal yang hanya dalam lingkup sendiri saja tetapi bergerak maju dengan melihat bagaimana hubungan kita dengan pemerintah seperti yang nampak pada pasal 13:1-7. Hal ini perlu dilakukan oleh karena pemerintah adalah wakil Allah di dunia. Ada tiga hal utama untuk menjelaskan pengertian Paulus tentang pemerintahan sebagai wakil Allah di dunia yaitu: Sebab tidak ada pemerintahan yang tidak berasal dari Allah (ay 1b). Pemerintahan ditetapkan oleh Allah (ay 1c). Konsekwensinya, barang siapa yang melawan pemerintah, melawan Allah (ay. 2a). Tekanan pemikiran Paulus yaitu pemerintahan sebagai wakil Allah ini menjelaskan kepada orang Kristen tentang ketaatan yaitu bukan rasa takut karena dorongan batin yang dalam, artinya kita harus memiliki sikap yang benar terhadap pemerintahan yaitu membantu mereka dalam melaksanakan tugas bahkan memberikan pengertian bahwa mereka sedang mengerjakan pekerjaan Allah.
Setelah menjelaskan sikap taat kepada pemerintah (ay. 1-7) dan perwujudan nilai kristiani (ay. 8-10). Paulus menutup pasal ini dengan menyajikan alasan yang telah diberikannya tentang dekatnya keselamatan yaitu kedatangan Kristus kembali (ay. 11-14). Sehingga kita harus menghindari semua gaya hidup yang tidak sopan artinya gaya hidup serta nilai-nilai yang diberikan oleh dunia ini. Dalam pasal ini dijelaskan yaitu: pesta pora, kemabukan, percabulan, hawa nafsu, perselisihan dan iri hati. Orang Kristen harus memiliki nilai Kristen yaitu kasih yang terus-menerus, karena kasih akan membawa orang percaya untuk menanti kedatangan-Nya. Rasul Paulus melanjutkan nasehatnya (ps. 14:1-15:13) dengan melihat masalah yang terjadi dalam jemaat yaitu adanya golongan orang kuat dan lemah, yang membawa kepada kebiasaan saling menghakimi, sehingga hal ini menjadi batu sandungan di antara sesama anggota jemaat (14:13). Tapi Paulus menekankan kesatuan di antara kedua golongan yang telah tercipta ini. Akhirnya pasal 15:14-16 : 27, merupakan bagian penutup yang berisi ucapan selamat untuk berbagai orang dan rumusan doxologi. 23
Konteks Jauh Dalam memahami konsep tentang ibadah yang sejati, maka tidak lepas juga dengan kitab-kitab di luar Roma atau disebut konteks jauh atau dapat dikatakan bahwa topik tentang ibadah ini dibahas juga dalam bagian surat-surat Rasul Paulus lainnya seperti Galatia dan Korintus. Akan tetapi dari segi isi surat Roma memiliki perbedaan oleh karena banyak ahli mengatakan bahwa kitab ini berisi tentang dogma yang sangat jelas sekali. Ini tidak berarti bahwa surat-surat tulisan yang lain tidak bermakna. Tetapi perbedaan yang nampak hanyalah dari sisi sistematika penulisan, penjelasan mengenai isi memiliki kesamaan, misalnya konsep tentang Roh dan Daging dalam Roma 8, dengan Galatia 5:16-26, selain itu juga konsep dibenarkan karena iman dalam Roma 3:21-31 memiliki kesejajaran dengan memiliki kesejajaran dengan Galatia 3:1-14. Mengenai ibadah yang diungkapkan dalam Roma 12:1-2, sebenarnya juga memiliki kemiripan dalam surat Korintus 3:16-17 yaitu tentang tubuh adalah Bait Allah yang perlu dijaga kekudusannya. Dalam Roma 12:1-2 diungkapkan bahwa tubuh ini adalah persembahan bagi Allah dan yang kudus. Artinya kekudusan hidup berlaku terus bagi hidup tiap-tiap hari, karena hidup ini adalah bait Allah, dimana dalam bait Allah ibadah tercipta senantiasa. Wujud dari ibadah yang sejati dalam Roma 12:1-2 adalah hidup sebagai orang 23
Van den End, Tafsiran Alkitab: Surat..., 11-12
merdeka, yaitu lepas dari kutuk dosa yang mengikat, memiliki gaya hidup yang berbeda “janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini,” serta melayani sesama dalam kasih. Wujud dari pembenaran Allah adalah munculnya kasih dan jiwa melayani hal ini diungkapkan juga oleh Paulus dalam Galatia 15:13, memiliki kemerdekaan bukan untuk melakukan dosa tetapi melakukan melayani sesama dengan dalam kasih. Dari pemikiran Paulus tentang ibadah dalam semua surat-surat tulisannya, intinya adalah ibadah merupakan tanda dari orang yang telah dibenarkan oleh Allah. Pembenaran Allah itu meliputi seluruh aspek hidup manusia (totalitas hidup) dan totalitas hidup inilah yang dipersembahkan kepada Allah sebagai ibadah, dan persembahan tubuh ini adalah kudus.
Analisa Eksegetis Teks Pada bagian ini penulis mempresentasikan pokok-pokok mengenai: nasehat atas dasar kemurahan Allah, mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup, kudus dan berkenan, serta ibadah yang sejati.
Nasehat atas dasar kemurahan Allah (ay. 1) Sebelum melihat istilah-istilah yang ada dalam bagian ini (ay. 1) maka penulis melihat juga satu istilah penting yaitu kata karena itu di mana kata ini menunjuk kepada suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan pasal sebelumnya yaitu pasal 1-11. Jadi ada kontinutias yaitu dengan penggunaan kata ou-n yang berfungsi sebagai kata penghubung. Rasul Paulus kembali memberikan nasehat-nasehat praktis, dia tidak hanya berbicara tentang teori saja yaitu pembahasan tentang doktrin-doktrin Kristen yang sudah dia katakan pada pasal sebelumnya (1-11). Pada bagian ini Paulus menjelaskan lebih rinci untuk menunjukan bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan untuk seluruh bagian kehidupan ini. Cranfield memberikan penjelasan tentang kata ou-n serta implikasinya demikian: Oun is here better understood not as a mere transition-particle, but as having its full force and indicating that what is going to be said follows from what has already been said. The implication of this “therefore” is that Christian ethics are theologically motivated or to put it in a different way that christian obedience is his response to
what God has done for him in Christ, the expression of his gratitude.24
Hegelberg menerjemahkan kata ou-n dengan karena itu dan mengatakan bahwa pemakaian kata ini menyatakan bahwa dorongan ini mempunyai dasar dalam kemurahan Allah seperti yang diuraikan dalam pasal 11:23-32, yang merupakan puncak dari seluruh diskusi teologi surat Roma.25 Jadi, dalam bagian ini ia telah memasuki bagian yang praktis. Barclay menjelaskan hal ini demikian: Di sini kita menemukan kembali pola penulisan Paulus yang selalu ia pakai apabila ia menulis surat kepada teman-temannya. Ia selalu mengakhiri surat-suratnya dengan nasehat praktis. Jalan pikirannya memang dapat menyelidiki sampai kepada hal-hal yang tidak terhingga tetapi ia tidak pernah sesat (ngambang); ia selalu mengakhiri surat-suratnya dengan menetapkan dasar dimana ia berpijak. Ia dapat menggumuli masalah-masalah theologia yang terdalam, tetapi ia selalu mengakhirinya dengan tuntutan etis yang praktis, yang berlaku bagi tiap-tiap orang.26
Uraian di atas memberikan petunjuk kepada kita tentang bagaimana kita harus hidup. Artinya bagaimana kita berpikir memberi dampak kepada bagaimana kita hidup. Pemahaman kita yang tepat tentang Allah, manusia, dosa, anugerah, dan doktrin-doktrin yang lain akan menyanggupkan kita hidup secara tepat. Pasal 12 ini dimulai dengan istilah parakale,w (kata kerja, indikatif present aktif, orang pertama tunggal).27 Kata parakale,w berasal dari dua kata para dan kale,w. Mengenai dua kata ini storng menguraikan demikian: “para; a primary prep: prop, near; I.e (with gen) from beside (lit or fig), (with dat.) at (or in) the vicinity of (object or subject), (with acc) to the proximity with local (espec, beyond or oppsed to).28 kale,w: to call (prop. Aloud but used in variety of applications, dir or other wise): bid call (forth), (whose) name (was called).29 Penggabungan kedua kata ini para (para) dan kale,w (kaleo) menjadi parakale,w (parakaleo) diterjemahkan to 24
C.E.B. Cranfield, The Epistle to the Romans (Scotland: T&T, Clark LTD, Edinburgh, 1979), 595 25 Dave Hagelberg, Tafsiran Roma: Dari Bahasa Yunani (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1998), 234 26 Barclay, Pemahaman Alkitab..., 232 27 Barbara and Friberg (ed.), Analytical Greek..., 499 28 James Strong, The New Strong’s Complete Dictionary of the Bible Words (USA: Thomas Nelson Publishers, 1996), 673-674 29 Ibid., 639
call near, i.e invite, invoke (by imploration, hortation or consolation): beseech, call for (be of good). Comfort, desire, (give), exhort (tation), intreat, pray.”30 A linguistic Key memberikan pengertian untuk parakale,w demikian: To admonish, to encourage, to exhort. To word was used in classical Greek of exhorting troops were about to go in battle. Here it a request based on apostoloc authority of Paul.31 Sehingga istilah parakale,w diterjemahkan aku menasehatkan adalah suatu kegiatan yang terjadi secara terus menerus atau berulangulang. Tetapi bukan hanya sebuah nasehat yang bersifat anjuran biasa sehingga perlu dipertimbangkan tetapi ada semacam dorongan yang kuat yang penuh kuasa, dimana kuasanya tidak bisa ditolak tetapi harus dilakukan. Hagelberg menjelaskan bahwa istilah ini (menasehatkan) menunjuk pada suatu ketaatan yang berakar dalam Injil Kristus sehingga nasehat yang dimaksudkan mempunyai wibawa yang sangat kuat. 32 Maka kedua makna dalam kata parakale,w yaitu dorongan yang begitu mendesak serta wibawa. Hal ini lebih mendasar lagi dari nasehat yang Paulus ungkapkan disini adalah dasar utama dari nasehat ini adalah pada kemurahan Allah. Sehingga nasehat yang Paulus berikan ini adalah dasar motivasi dan dorongan yang bersifat Kristiani. Diluar Kristus orang mendorong dengan ancaman terutama ancaman hukuman kekal. Yang lain lagi mendorong para pengikutnya dengan kuasa kebencian, tetapi Allah kita mendorong kita dengan kuasa kasih.33 Istilah yang berikut ini ialah kemurahan yang diterjemahkan mercy (NIV & NKJV), yang dalam bahasa Yunaninya oivktirmw/n dalam bentuk kata benda, genitiv, maskulin, jamak.34 Kata mercy disini menunjuk kepada Allah tw/ qew/| artinya mercy adalah milik Allah. Maka KJV tepat menerjemahkan God’s mercy. Istilah lain untuk kata mercy adalah eleos. Dalam LXX secara normal kata ini digunakan dari bahasa Ibrani “hased.” Leon Morris dalam Paul Dictionary menjelaskan istilah ini demikian: “Hased is chieftly used of God’s relationship with his people in which the notion of grace rather than obligation is prominent. God’s hased issues in his covenant with Israel and by it He request to abandon Israel when the nation is faithless.”35 Dalam bagian ini Paulus menggunakan istilah oivktirmw/n pada kata mercy. Istilah oivktirmw/n, berasal dari bahasa 30
Ibid., 674 Reinecker & Roger, Jr (Ed), A Linguistic Key..., 375 32 Hagelberg, Tafsiran Roma..., 235 33 Ibid. 34 Barbara and Friberg (Ed), Analytical Greek..., 499 35 Morris, “Mercy,” Paul Dictionary and His Letter..., 601 31
Ibrani Rahamim yang diambil LXX, dimana kata ini digunakan sebanyak 6 kali. Kata ini diartikan oleh Leon Morris dalam Paul Dictionary demikian: “A terms which seems to denote the feeling kinship between those born from the same womb or the maternal feeling of a mother who has given birth (rehem, womb).36 Berkenaan hal ini Cranfield menjelaskan demikian: The use of the plural oivktirmw/n would suggest a number of different manifestations of compassion; but here (as in 2 Cor 1:3; Phil 2:1) it probably reflects the influence of the LXX, which regularly respresent Hebrew plural RAHAMIM by plural of oivktirmwos. The Vulgate represent Paul’s meaning accurately by singular misericordiam. What he is appealing to as the basis of efhortation is the compassion of God revealed in God’s dealing with men through Jesus Christ.”37
Kemurahan selalu berbicara tentang relasi yaitu adanya pertalian yang akrab antara dua pribadi yaitu antara Allah dan manusia. Hal ini dipahami oleh Paulus sehingga dia mendasari nasehat pada kemurahan Allah yang semua ini tercipta oleh suatu relasi yang akrab dengan Allah. Oleh karena itu istilah mercy pada bagian ini jelas menunjuk kepada apa yang Paulus jelaskan pada pasal sebelumnya secara khusus pasal 9-11, di mana Paulus menjelaskan bahwa keselamatan tidak bergantung kepada perbuatan baik manusia tetapi anugerah Allah (9:16). Maka hal ini berarti bahwa anugerah Allah adalah karya agung Allah yang menyelamatkan manusia berdosa. Disinilah nampak kemurahan Allah bagi manusia. Thomas Van den End menuliskan: “Kemurahan Allah itu bukan hanya hiburan. Tetapi dengan menyelamatkan orang berdosa, Tuhan meneguhkan kembali hak-hak-Nya atas ciptaan-Nya itu.”38 Tanpa anugerah Allah dalam hidup manusia, maka tidak ada seorangpun yang bisa datang kepada Allah. Dalam hubungannya dengan nasehat yang didasari oleh anugerah Allah ini, Cranfield mengutip apa yang ditulis oleh Calvin demikian: “Calvin comment is apt. Paul here “teaches us,” he says, that men will never worship God with a sincere heart, or be roused to fear and obey Him with sufficient zeal, until they properly understand how much they are indebted to His mercy.”39 Maka Rasul Paulus ingin mengingatkan kepada seluruh orang percaya agar supaya mereka terus mengingat anugerah Allah yaitu karya agung penyelamatan Allah bagi manusia berdosa dan tidak 36
Ibid. Cranfield, The Epistle..., 596 38 Van den End, Tafsiran Alkitab: Surat..., 563 39 Cranfield, Ibid. 37
bermain-main dengan anugerah Allah tetapi sebaliknya semakin serius dengan Allah. Dan juga Rasul Paulus mengingatkan orang percaya bahwa perbuatan baik bukanlah jaminan untuk keselamatan kekal tetapi sematamata hanya anugerah Allah, sehingga hal ini membawa kita semakin menyadari status kita dihadapan Allah yang hanyalah ciptaan dan tidak ada ssattu alasan pun untuk menentang penciptanya. Jadi, semakin mengerti anugerah Allah membawa kita semakin mengasihi Allah dan mentaati-Nya.
Mempersembahkan Tubuh sebagai Persembahan yang Hidup, Kudus, dan Berkenan (ay. 1) Dalam bagian ini ada dua kata yang digunakan untuk persembahan yaitu to present (KJV) atau to offer (NIV) yang dalam bahasa Yunani parasth/sai, yang diterjemahkan persembahkanlah. Dan kata yang kedua Sacrifice, dalam bahasa Yunani qusi,an yang diterjemahkan persembahan. Kedua istilah ini memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Rasul Paulus memberi nasehat dan pada bagian ini dan nasehat ini dikonkritkan lagi yaitu dengan mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan. Istilah yang digunakan untuk mempersembahkan yaitu parasth/sai dalam bentuk kata kerja, infinitif, aorist aktif, 40 yaitu menyatakan suatu perbuatan yang dilakukan hanya satu kali saja. Strong menjelaskan kata ini dengan akar kata pari,sthmi dan mengalami perpanjangan menjadi paristano diterjemahkan to stand beside.41 A Linguistic Key memberi pengertian untuk istilah ini demikian: parasth/sai aor. Inf. pari,stemi, to present, a technical term to presenting a sacrifice, literally meaning “to be place beside” for any purpose.42 Istilah parasth/sai sudah digunakan pada pasal 6:13, 16, 19 dan dalam bagian ini (ps. 6) kata kerja yang digunakan adalah paristanai. Berkenaan dengan hal ini Thomas Van den End menjelaskan demikian: Pemakaian istilah paristanai dalam bagian ini (ps. 6) berkaitan dengan suasana lingkungan istana: menyediakan, mengabdikan kepada raja. Sebaliknya disini (ps. 12), istilah paristanai merupakan istilah peribadatan dari lingkungan bait Allah: mempersembahkan (kurban). Jadi gagasan dasar disini sama dengan yang terdapat dalam
40
Barbara and Friberg (ed.), Analytical..., 499 Strong, Strong’s Dictionary..., 676 42 Reinecker & Roger, A Linguistic..., 375 41
pasal 6:12-14 (penyembahan diri kepada Allah secara total), namun penjabarannya berbeda.43
Dalam hubungan dengan hal ini juga Cranfield menjelaskan istilah parasth/sai yang digunakan dalam bagian ini adalah istilah teknis dari ritual agama.44 Hal ini diungkapkan juga oleh Loen Morris demikian: “Paul’s verb 'offer' could be used of offering of various kinds (it is used, e.g., in 6:13, 16, 19), but it was a techinal term for ofering of sacrifice. Maka kata to offer adalah penjelasan pengantar untuk istilah sw,mata. Yang dipersembahkan adalah tubuh ini menjadi persembahan yang hidup, kudus dan berkenan kepada Allah. Istilah tubuh yang digunakan oleh Paulus disini sw,ma. Istilah ini memiliki beberapa makna karena istilah ini telah mengalami perkembangan yaitu digunakan oleh beberapa filsuf. Yang pertama Plato. Ia menuliskan hal ini demikian: The body is only the abode of pre-existent soul. Death frees the soul from the body. The picture of the body was also applied to the cosmos. The latter is ruled and directed by divine soul. Zeus conceals everything in himself and lets it all proceed from himself. Similarly may can be represented as a microcosm. 45
Tetapi ada yang kontras mengenai ide ini seperti yang dijelaskan oleh Aritoteles demikian: “The body is primarily that by which the soul becomes something particular. The bond between body and soul is thus indissoluble.”46 Epictetus seorang filsuf juga memberikan pengertian tentang tubuh yaitu membuat gambaran antara jiwa dan daging lebih daripada tubuh. Juga Stoa tentang ide dikotomi dari tubuh dan jiwa serta Marcus Aurelius yang mengatakan tentang tiga bagian manusia demikian: “there are three parts of which thou art composed: body, pneuma (spirit, soul) and Nous (mind, reason).” Dalam literatur Yahudi ditemukan bahwa istilah sw,ma memiliki hubungan dengan sex.47 Akan tetapi penggunaan istilah sw,ma di sini bukan atas dasar pemikiran filsafat Yunani yang cenderung merendahkan tubuh sebagai jahat, penjahat dari akal yang baik. Secara spesifik lagi dalam tulisan Paulus, istilah sw,ma yang digunakan adalah menunjuk kepada keseluruhan hidup manusia. Bultman mengatakan tentang istilah sw,ma dalam Roma 12:1 ini demikian: “Rom 12:1 clearly
43
Van den End, Tafsiran Alkitab: Surat..., 563-564 Cranfield, Epistle..., 598 45 Brown (ed.), Dictionary of New Testament..., 232 46 Ibid. 47 Ibid. 44
show that the 'soma' is not merely an outer form but the whole person.”48 Cranfield mengutip komentar Calvin tentang istilah body demikian: “by bodies, he means not only our skin and bones, but totality of which we are composed... in bidding us present our selves...). The Christian is to offer to God himself entire-himself in the whole of his concrete life.”42 Leon Morris menjelaskan istilah body di sini demikian: “The use of the term bodies interesting, for Paul surely expected Christians to offer to God not only their bodies but their whole selver.”43 Dengan demikian penggunaan istilah tubuh menyangkut totalitas hidup manusia, tidak hanyak dibatasi pada satu bagian saja. Ini berarti bahwa seluruh kemampuan dan kegiatan kita harus dipersembahkan kepada Tuhan. Penyerahan atau persembahan hidup kita bukan merupakan sesuatu yang dilakukan sekali saja dalam proses pendewasaan. Tetapi yang dimaksudkan dengan hal ini ialah hidup dalam ketaatan karena iman yang bertumbuh, dimana anggota-anggota tubuh kita harus menjadi alat-alat kebenaran, dan kita hidup dalam pembaharuan hidup.44 Tubuh yang dipersembahkan kepada Allah adalah sebagai persembahan. Istilah yang digunakan untuk persembahan di sini adalah Sacrifies (KJV, NIV), qusi,an bentuk dasar dari kata bendanya qusi,a dan didefinisikan oleh Vine: qusi,a primarly denotes the act of offering; then objectively, that which is offeres (a) of idolatrous sacrifice (Act 7:4); (b) of animal or other sacrifices, as offered under the law (Matt 9:13); 12:7; Mark 9:49; Luke 2:24; Act 7:24; ICor 10:18; Heb 5:1; 7:27). (c) of Christ, in His Sacrifice on the cross (Eph 5:2; Heb 9:23) where the plural antitypically comprehends the various forms of Levitical sacrifices in their typical character. (d) Metaphorically, (1) of the body of the beliver presented to God as a living sacrifice (Rom 12:1); (2) of faith, (Phil 2:17); (3) of material assistance rendered to servant of God (Phil 4:18); (4) of Praise (Heb 13:15); (5) of doing good to others and communicating with their needs, (Heb 13:16). (6) of spiritual sacrifices in general, offered by believers as a holy priesthood (1Pet 2:5).45
Istilah sacrifies di sini menunjukan suatu tindakan atau aktifitas yang memiliki objek atau materi. Oleh karena ibadah selalu identik dengan kurban. Hal ini sangat jelas dalam PL, bahwa untuk mengadakan 48
Brown (ed.), Dictionary of New Testament..., 234 Cranfield, The Epistle..., 598 43 Morris, The Epistle..., 433 44 Hegelberg, Tafsiran Roma..., 235 45 Vine. M.A, Expository Dictionary..., 985 42
pendamaian dengan Allah perlu adanya kurban. Tetapi konsep Paulus disini agak berbeda oleh karena bagi Paulus sendiri, Kristus adalah kurban yang mulia untuk pendamaian dengan Allah dan hal ini adalah sempurna (Ef 5:2). Dan karena Kristus telah menjadi kurban, maka bagi orang yang percaya kepada Kristus dituntut untuk memberikan persembahan yaitu melalui hidup seutuhnya, tanpa menyisihkan sebagian untuk orang lain atau diri sendiri, tetapi totalitas hidup ini dipersembahkan bagi Tuhan, atau dalam pengertian lain bukan pemberian kita yang Tuhan kehendaki tetapi Ia menghendaki kita sendiri.46 Dan persembahan yang kita berikan kepada Allah adalah suatu persembahan yang hidup. Istilah hidup yang digunakan dalam bagian ini adalah zw/san, living (NIV, KJV). Kata ini bersifat sebagai objek dari kata qusi,an dan juga memberikan penjelasan tentang kata qusi,an (sacrifices) itu sendiri, atau living adalah merupakan sifat dari qusi,an dan hal ini terus menerus terjadi. Istilah zw/san memiliki akar kata zw/. Kata ini digunakan sebanyak 23 kali secara khusus dalam kitab Roma. Istilah ini juga berhubungan dengan zoe (life). Seperti dalam agama-agama kuno yang lain, istilah zoe, digunakan pada masa kekristenan mula-mula untuk menjelaskan tentang keselamatan.47 Dictionary of Paul and His Letter menjelaskan zoe, demikian: “Zoe is used in Paul to mean something other than mere physical existence; it refers to unique quality of life which comes through faith in union with Christ.”48 Jadi, sesuatu yang hidup tidak hanya hal fisik saja tetapi lebih dari itu adalah spiritual. Douglas Moo menjelaskan istilah living demikian: “living, a theological sense,” as those who have been brought to new spiritual life.”49 Hegelberg memberikan penjelasan juga tentang persembahan yang hidup dan melihat sisi PL dan PB tentang Persembahan, demikian: Dalam ibadah PL tubuh-tubuh binatang yang hidup dimatikan untuk dipersembahkan di mezbah Allah, sedangkan dalam ibadah kita, tubuh-tubuh yang mati dipersembahkan sebagai persembahan yang hidup oleh karena kuasa Roh Allah. Bukankah kontras antara ibadah dalam Hukum Taurat dan ibadah kita dalam kasih karunia Allah mencerminkan tema surat Roma, yaitu bahwa orang yang dibenarkan karena iman akan hidup. Dalam ibadah diluar Kristus, segala macam persembahan yang mati dipersembahankan kepada Allah. Dalam 46
Van den End, Surat Roma..., 564 Balz & Schneider (ed.), Exegetical Dictionary..., 105 48 Gerald F. Hawthorne, Ralph P. Martin & Daniel G. Reid (eds.), Dictionary of Paul and His Letter (Leicester: Inter Varsity Press, 1993), 554 49 Douglas Moo, The New International Commentary on the New Testament, The Epistle of Romans (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1996), 751 47
Kristus, tubuh kita yang mati dihidupkanNya, dan itu menjadi persembahan kita. 50
Oleh karena itu istilah hidup di sini menunjukan suatu kondisi hidup yang baru, yaitu hidup yang dibaharui oleh Roh Kudus (8:11), karena tanpa pembaharuan oleh Roh Kudus, maka hidup kita mati yaitu tetap dalam dosa dan hal ini membawa kita untuk tidak dapat melakukan kehendak Allah, dalam hal ini memberikan persembahan yang hidup. Selain persembahan yang hidup, ada juga kriteria lain yang dicatat oleh Paulus dalam bagian ini yaitu kudus, holy (KJV, NIV) yang digunakan di sini adalah dari kata a`gi,an dari kata dasar a[gioj yaitu sacred (physically-pure); morally, blameless or relegious; ceremonially, consecrated: (most) holy (one thing), saint.51 Maka istilah kudus disini adalah menunjuk kepada sifat Allah yang kudus dan juga menyangkut perubahan moral dan spiritual orang percaya yang sudah dibenarkan, yang sudah dilahirkan kembali. Dikaruniai hidup baru oleh Tuhan, sebagaimana yang Paulus jelaskan dalam pasal 7-8. Istilah kudus ini juga seringkali Paulus gunakan dalam hubungan dengan pembenaran artinya seseorang dikatakan kudus karena telah mengalami pembenaran oleh Allah. Itu sebabnya istilah kudus disini merupakan bagian yang penting dalam persembahan kepada Allah, karena Dia adalah Allah yang kudus menerima persembahan yang kudus juga dari umat-Nya. Dalam pengertian lain Allah hanya menghendaki persembahan yang kudus dengan demikian persembahan itu adalah menyenangkan hati Tuhan atau berkenan kepada Allah. Antara kekudusan dan menyenangkan hati Allah merupakan satu bagian yang tidak dapat terpisahkan. Murray menjelaskan demikian: Holiness is contrasted with the defilement which characterizes the body of sin and with all sensual lust. Holiness is the fundamental character and to be well-pleasing to God the governing principle of a believer. These qualities have reference to his body as well as to his spirit and show hoe ethical character belongs up the body and to its functions. No terms could certify this fact more than “holy and well-pleasing to God”.52
Sehingga menyenangkan hati Tuhan adalah merupakan sifat dari persembahan yang kudus. Istilah eureston yang digunakan dalam bagian ini memiliki bentuk kata yang sama dengan istilah a`gi,an -hagian- (holy) yaitu 50
Hagelberg, Tafsiran Roma..., 235-236 Strong, Strong Dictionary..., 566 52 John Murray, The Epistle to the Romans (Great Britain: W & J Makay Limited, Chathan, n.d.), 112 51
kata sifat, akusatif, feminim tunggal. Hal ini berarti bahwa menyenangkan hati Tuhan menandakan persembahan kurban dan persembahan kurban disini adalah benar dan layak dimana hal ini sesuai dengan keinginan Allah dan Dia menerimanya.
Ibadah yang Sejati (ay. 1) Dalam bagian ini ada dua istilah yang akan diteliti yaitu logikh.n dan latrei,an. Yang pertama adalah kata latrei,an yaitu berasal dari akar kata latrei,a dalam bentuk kata benda, akusatif, feminim, tunggal, 53 diterjemahkan ibadah. Dalam bahasa Yunani umum istilah latrei,a ini berarti pengabdian. Akan tetapi kata ini mengalami perkembangan dan kemudian diterjemahkan ibadah. Barclay menjelaskan hal ini demikian: Kata latreia itu adalah kata benda dari kata kerjanya, latreuein. Latreuein berarti, berkerja untuk mendapat upah atau gaji. Kata itu dipakai untuk pekerja-pekerja yang bekerja bagi seseorang dan sebagai ganti tenaga dan usahanya, orang itu membayarnya. Itu merupakan pekerjaan sukarela dan bukannya perbudakan. Kemudian artinya dipakai dengan melayani; dan akhirnya mengandung arti: apa yang kepadanya seseorang mengabdikan seluruh hidupnya... akhirnya kata itu menjadi kata yang khusus mengenai orang yang mengabdikan dirinya kepada dewa-dewa. Di dalam Alkitab kata itu tak pernah berarti pelayanan pada sesama; tetapi selalu dipakai untuk pelayanan kepada Allah dan ibadah kepada Allah. 54
Istilah latreia juga digunakan dalam LXX dengan kata abad yang diterjemahkan hamba. Kemudian istilah ini digunakan dalam hubungannya dengan keagamaan. Brown menambahkan lagi penggunaan istilah ini pada LXX memiliki hubungan dengan istilah leiturgeo demikian: In LXX, Latreueo is very close to-Leitourgeo in meaning, but the latter is used exclusively for the service of the priest, while the former means the service of God by the whole people and by the individual, both outwardly in the cultus and inwardly the heart.55 Rasul Paulus mengambil istilah ini dari PL, yang sangat berhubungan dengan kaum Yahudi. Akan tetapi penggunaan istilah Latreian di sini, dimaksudkan oleh Paulus untuk membedakan antara ibadah orang Yahudi dengan ibadah orang Kristen. Berkanaan dengan hal ini Douglas Moo menjelaskan demikian: 53
Barbara & Timothy Friberg (Ed), Analitycal Greek New Testament (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1982), 499 54 Barclay, Pemahaman Alkitab..., 233-234 55 Brown (ed.), Dictionary of New Testament..., 550
Paul probably chooses the term deliberately to create a contrast between Jewish and Christian form of worship. For Christians, there is no more “cult” or “sacrifice” in any literal sense. While the Jew looked to the Jerusalem temple and it’s cult as the center of worship, the Christian looks back to the once-for –all sacrifice of Christ. Christians are all priests (1Pet 2:5; Rev 1:6; 5:10; 20:6), forming together the temple where God now reveals himself in a special way.56
Jelas bahwa ibadah yang dimaksudkan Paulus bukanlah hanya sekedar suatu upacara tertentu, pada tempat tertentu, pada waktu tertentu dan aksi tertentu tetapi ibadah berlaku dimana saja, dalam aktifitas apa saja karena ibadah itu adalah persembahan hidup ini, setiap saat kepada Allah dan ibadah yang kita lakukan kepada Allah adalah ibadah yang sejati atau masuk akal. Dan inilah istilah kedua yang digunakan untuk masuk akal yaitu logikh.n dalam bentuk kata sifat, akusatif, feminim, tunggal yang diterjemahkan oleh KJV reasonable. Istilah logikh.n dari akar kata logikos adalah istilah yang digunakan dalam filsafat Yunani. Berkenaan dengan hal ini Van den End menjelaskan secara etimologis istilah logikos demikian: Dalam bahasa Yunani, logikos merupakan istilah filsafat. Artinya secara harfiah 'sesuai akal budi.' Tetapi khususnya dalam aliran Stoa, logikos berarti: apa yang sesuai dengan kodrat alam semesta itu, yaitu sang logos yang menjiwai dan mengatur alam semesta itu. Logos ilahi itu hadir pula dalam diri manusia. Maka, jika manusia membiarkan logos itu mengendalikan kehidupan dirinya, ia hidup secara logikos, yaitu sesuai dengan logos yang menguasai alam semesta. Dalam mistik Helenistik, logikos mendapat arti 'batiniah,' ‘sesuai dengan kodrat rohani manusia’, sehingga menjadi lawan ‘lahiriah’ (yang lahiriah adalah persembahan kurban, upacaraupacara, dsb). Dalam lingkungan mistik itu terdapat istilah logike thusia, ‘persembahan budiman.’ Pengarang Yahudi Philo menerima arti itu dan mempertentangkan sikap yang logikos dengan sikap hanya mementingkan penyembahan lahiriah. 57
Istilah logikos ini tidak terdapat dalam PL, maka jelas bahwa Paulus menggunakan istilah filsafat Yunani ini tetapi memberikan pengertian yang lain. Berhubungan dengan hal ini Cranfield menjelaskan demikian: We must beware, however, of understanding ‘rational’ as though Paul were a Stoic philosopher. For Paul the true worship is rational 56 57
Moo, The Epistle..., 753-754 Van den End, Surat Roma..., 566
not in the sense of being consistent with the natural rationality of man but in the sense of being consistent with a proper understanding of the truth of God revealed in Jesus Christ.58
Jadi, istilah logikh.n di sini memiliki makna spiritual bukan dalam makna filosofis lagi, seperti yang dijelaskan John Stott demikian: Paul is clear that the presentation of our bodies is our spiritual act of worship. It is a significant Christian paradox. No worship is pleasing to God which is purely inward, abstract and mystical; it must express itself in concrete acts of service performed by our bodies.59 Oleh karena itu ibadah yang kita lakukan adalah merupakan tindakan spiritual yang masuk akal dimana adanya keterikatan antara ketiga hal ini yaitu hati, pikiran dan perbuatan, ketiga hal ini dalam tuntunan Roh Kudus serta sesuai dengan Firman Allah.
PENUTUP: IMPLIKASI Dalam bagian ini penulis akan membahas ibadah menurut Roma 12:1-2 dan implikasinya bagi ibadah masa kini, yang meliputi: implikasi teologis, etis, soteriologis, eklesiologis, dan eskatologis.
Implikasi Teologis Ibadah yang sejati bukan hanya didasarkan pada pengalaman tetapi didasarkan pada sebuah pemahaman teologis yang mendasar. Artinya ibadah harus di dasarkan pada Alkitab yang adalah Firman Allah. Maka kebenaran dari ibadah bersifat mutlak dan harus dilakukan. Jika ibadah di dasarkan kepada pengalaman pribadi, maka kebenaran dari ibadah tersebut tergantung apa kata pribadi sehingga nilai kebenarannya adalah relativ, manusia sebagai penentu kebenaran. Jika kebenaran ibadah adalah relativ, maka ibadah dapat di tolak yang berarti perlawanan terhadap Allah. Ibadah yang didasarkan pada pengalaman semakin jelas tujuannya yaitu ibadah antropocentris. Karena itu, ibadah harus dikaji secara teologis dengan melihat beberapa aspek penting yang saling berkaitan satu dengan yang lain dan berfondasi pada Alkitab. Jika hal ini dilakukan, maka dipastikan bahwa ibadah tersebut adalah ibadah yang sehat karena memberi gizi yang tepat bagi orang-orang yang melaksanakan ibadah. 58 59
Cranfield, The Epistle..., 604-605 Stott, The Message of Romans...,
Implikasi Etis Ibadah adalah sebuah penyembahan yang dilakukan oleh para penyembah. Karenanya ibadah memberi pengaruh kepada penyembah. Jika seseorang beribadah tetapi tidak menunjukkan perubahan karakter dalam hidupnya maka dia tidak memahami dan melakukan ibadah yang sebenarnya. Karena ibadah yang sejati selalu mengubah hati penyembah. Ini berarti bahwa ibadah memberi impact dalam perilaku setiap orang yang melakukan ibadah. Problematika hidup yang seringkali terjadi dalam kehidupan jemaat Kristen bukan hanya karena di dasarkan pada istilah “karena kita ini manusia lemah,” tetapi karena pemahaman ibadah yang hanya dibatasi oleh ritus, sistem ceremonial ataupun tempat tertentu. Ibadah yang sejati adalah sebuah gaya hidup. Maka semua aktifitas, kreatifitas dan hal apa saja yang dilakukan adalah ibadah, sehingga semua orang yang memiliki konsep ini akan semakin bijaksana hidup dan memiliki makna hidup yang tinggi, yaitu hidup adalah memuliakan Allah sampai selamanya.
Implikasi Soteriologis Hakekat dari Ibadah yang sejati adalah inisiatif Allah semata. Ini berarti bahwa jika seseorang mampu melakukan ibadah itu bukan karena kekuatan atau inisiatif orang tersebut tetapi pekerjaan Allah. mengapa Allah melakukan hal ini ? Karena Dia adalah Allah yang senang untuk berjumpa dengan umat-Nya. Dan wadah yang diciptakan oleh Allah ibadah. Tetapi perjumpaan dengan Allah melalui ibadah harus melalui syarat Allah. Hal ini dilakukan oleh karena manusia telah jatuh dalam dosa. Syarat mutlak dari ibadah yang sejati adalah Justification by faith. Karena tanpa pembenaran oleh Allah tidak ada seorang pun yang mampu menghampiri tahta Allah yang kudus. Karena itu ibadah Kristen adalah ibadah anugerah yaitu refleksi dari keselamatan yang telah Allah kerjakan bukan sebagai sarana untuk mencari keselamatan.
Implikasi Eklesiologi Ibadah selalu identik dengan Gereja karena tidak ada Gereja yang tidak beribadah. Selama Gereja ada berarti selama itu pula akan terus ada ibadah, bukan berarti bahwa ibadah tidak bisa dilakukan tanpa Gereja.
Konsep ibadah sangat berpengaruh dalam maju mundurnya sebuah Gereja. Jika Gereja salah bahkan tidak memahami konsep ibadah yang sejati yaitu persembahan totalis hidup manusia kepada Allah yang di dasarkan pada pembenaran oleh Allah, maka Gereja hanya akan menjadi sebuah pusat pesta dimana setiap orang yang datang bebas menumpahkan isi hatinya tanpa melihat aturan-aturan yang ada. Ibadah hanya sebuah alat pemuasaan kebutuhan emosional, sehingga tidak heran bahwa ibadah hanya boleh dilakukan di Gereja saja. Maka ibadah menjadi suatu legalisme dan rutinitas belaka. Ibadah hanya di batasi pada tata cara dan sistem ceremonial yang dilakukan pada waktu tertentu dan tempat tertentu. Bukankah ini sebuah pereduksian ibadah ? Gereja harus mengimplementasikan ibadah sebagai gaya hidup bagi semua jemaat yang datang beribadah sehingga memberi dampak bagi kehidupan sendiri, orang lain dan memuliakan Allah. Serta memberi diri kepada Allah sebagai persembahan yang hidup dan menjalani proses renewing mind sampai Tuhan datang kedua kali.
Implikasi Eskatologis Ibadah yang dilakukan adalah sebuah gambaran tentang kehidupan yang akan datang. Karena ibadah memiliki nilai eskatologis. Ketika Yesus menyelamatkan kita itu berarti bahwa kerajaan-Nya telah hadir dalam hidup kita dan kita telah berada dalam kerajaan-Nya. Maka tujuan tertinggi orang beribadah bukan untuk masuk surga tetapi memuliakan Allah. Sehingga ibadah mengadung kepastian. Karena sebuah kepastian maka ada banyak janji yang didengar dan diberikan untuk kekekalan dan itu diterima oleh banyak orang percaya dan di atas semua ini ada pengharapan yang sejati dalam Yesus Kristus. Karena itu ibadah yang dilakukan adalah sebuah refleksi jiwa tentang adanya kepastian hidup di masa yang akan bukan hanya sebuah propaganda tanpa kepastian.
GEREJA DAN TRANSFORMASI KRISTEN SUATU TINJAUAN KRITIS TERHADAP MISI GERAKAN TRANSFORMASI RIDWAN HENRY SIMAMORA
PENDAHULUAN Istilah transformasi beberapa tahun belakangan ini menjadi isu yang menarik dalam konteks kehidupan berbangsa dan Negara pada umumnya serta relasinya dalam pemikiran kehidupan Kristen atau Gereja khususnya. Transformasi menjadi tema penting yang tidak hanya dipikirkan, tetapi juga diusahakan dalam pergerakannya secara serius oleh beberapa kelompok tertentu. Pada Gereja-gereja tertentu di Indonesia istilah “transformasi” demikian marak dibicarakan dan dikhotbahkan pada mimbar-mimbar Gereja, bahkan terkesan upaya tersebut mengkristal sebagai sebuah gerakan dalam upaya mengubah masyarakat dan Negara, serta upaya yang serius untuk menjadikan transformasi sebuah tema nasional dalam berbangsa dan bernegara umumnya dan dalam konteks Gereja khususnya. Satu sisi, fenomena tersebut adalah positif, karena gerakan tersebut sebagai upaya memfasilitasi proses upaya persatuan berbagai denominasi Gereja-gereja di Indonesia, seperti yang terjadi pada helatan akbar National Prayer Conference (NPC) pada tahun 2003, walaupun pada saat itu NPC tidak langsung dapat diterima oleh seluruh Gereja-gereja di Indonesia, serta World Prayer Assembly (WPA) yang telah digelar pada bulan Mei 2012 lalu secara serentak di seluruh Indonesia. Namun pada sisi lain, ada indikasi gerakan ini bercampurbaur dengan spirit yang beraroma persaingan “perebutan kekuasaan,” suatu upaya menjadikan orang Kristen sebagai mayoritas melalui penginjilan atau dengan bahasa yang lebih tepat sebagai usaha mengkristenkan Indonesia serta mencalonkan tokoh Kristen sebagai pemimpin negara. Jika asumsi ini tepat, maka transformasi telah diartikan secara bias. Istilah transformasi dalam bahasa Kristen dan dalam konteks Indonesia bukanlah suatu istilah yang asing dan acapkali menjadi bahan pembicaraan sehari-hari atau bahkan manjadi tema-tema pada khotbah di Gereja, namun dalam pergerakannya istilah transformasi menjadi bahasa yang bias dalam pengertian dan perilakunya. Orang Kristen sebagai wakil Allah di dunia, memiliki panggilan dan tanggungjawabnya kepada Allah dan sesamanya. Hal itu menempatkan Gereja dalam suatu konteks tertentu yang meminta suatu kerangka theologis dan praksis. Pada konteks tersebut panggilan dan tanggungjawab Gereja adalah bermaksud untuk menumbuhkan dan memfasilitasi kasih Allah kepada manusia dan sebaliknya serta kepada sesamanya manusia.
Berkaitan dengan masalah yang telah dipaparkan di atas mendorong penulis untuk meneliti tentang Transformasi Kristen dalam bentuk tulisan, sebagai upaya memberi kontribusi pemikiran kritis dan dorongan praktis terhadap respons dan perilaku yang kurang tepat dalam memberi arti terhadap istilah Transformasi. Tentu materi yang akan dibahas tidak dapat disebut sebagai upaya penjelasan paling sah dan lengkap mengenai transformasi. Namun demikian, tulisan ini paling tidak merupakan suatu upaya alternatif meninjau ulang Gerakan Transformasi serta menawarkan pendekatan yang utuh dalam memaknai transformasi Kristen. Sangat mungkin bahwa penelitian tentang transformasi telah pernah dikemukakan sebelumnya secara lebih rinci.1 Menyadari luasnya cakupan tentang permasalahan dan pembahasan mengenai materi Gereja dan Transformasi, maka penulis membatasi pemaparan hanya pada beberapa bagian isu-isu yang berkembang secara umum dan perspektif Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB). Berkaitan dengan hal yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penulis berusaha menyajikan materi ini sebagai upaya untuk menyajikan pemikiran transformasi Kristen yang alkitabiah serta menempatkan transformasi pada maksud keutuhan peran Gereja/orang Kristen di dalam dunia. Tulisan ini juga bertujuan dalam kerangka pengembangan teologi sistematika penulis serta pengembangan khazanah pemikiran misi Kristen pada umumnya.
ISU-ISU DAN PERKEMBANGAN GERAKAN TRANSFORMASI (TRANSFORMATION MOVEMENT) Dalam rangka upaya untuk memahami dan mendalami gerakan transformasi yang berkembang di Indonesia, sejatinya perlu menelusuri awal kemunculan dan perkembangannya, sehingga menjadi sebuah gerakan yang mempengaruhi banyak Gereja-gereja di dunia umumnya dan di Indonesia khususnya. Pada bagian ini, penulis memaparkan hanya beberapa hal yang menjadi perhatian utama dalam mencermati gerakan transformasi tersebut.
Sejarah Gerakan Transformasi 1
Lih. beberapa ulasan mengenai transformasi dari beberapa tokoh Gereja dalam karya bersama dengan tema Transformasi Indonesia: Pemikiran dan Proses Perubahan yang Dikaitkan dengan Kesatuan Tubuh Kristus (Jakarta: Metanoia, 2003).
Pada tahun 1960-an sejalan dengan kebangunan New Age terjadi kebangunan gerakan Kharismatik. Dasawarasa 1970-an ditandai dengan pertumbuhan gerakan itu yang menembus ke lima benua dan memasuki aliran-aliran Gereja, ini disusul dasawarsa 1980-an dimana gerakan ini mulai mencari bentuk dan terjadi disorientasi dimana dari dalamnya lahir banyak aliran-aliran yang menekankan ajaran tertentu dan bahkan sering bersifat sensasional. Salah satu gerakan yang berkembang dan menjadi isu penting adalah pujian dan penyembahan yang disusul dengan Ajaran Kemakmuran (Jonggi Cho) yang merupakan evolusi dari Words of Faith (Kenneth Hagin) yang sarat dengan konsep dan menekankan positive thinking, visualisasi, dan kekuatan kata-kata doa (doa dimensi ke-empat), dan bangunnya ajaran Signs & Wonders (John Wimber). Kemudian pada tahun 1988 sebagai kelanjutan pergerakan sebelumnya, kemudian muncul sensasi tentang Akhir Zaman yang ramalannya di ulang-ulang di tahun 1992, 1994, 1998 dan 2000. Pada Dasawarsa 1990 gerakan tersebut masih menekankan ajaran kemakmuran dan pertumbuhan Gereja, dan kemudian diselingi sensasi Toronto Blessing (1994-1996). Dari tokoh-tokoh yang umumnya mendukung gerakan kemakmuran, akhir zaman, tanda & mujizat, dan Toronto Blessing, kemudian diujung milenium ketiga, lahir gerakan Doa Transformasi yang melanda seluruh dunia.2 Tokoh utama dibalik gerakan Doa Transformasi adalah Peter Wagner dan George Otis Jr. Wagner adalah orang kedua setelah Donald McGravan yang mengembangkan School of World Mission di Fuller Theological Seminary dan gerakan pertumbuhan Gereja, serta John Wimber, pendiri dari Association of Vineyard Churches and Vineyard Ministries International yang dikenal luas dengan ajaran Signs & Wonders.3 Wagner kemudian merintis gerakan Reformasi Kerasulan Baru4 2 Ulasan tentang gerakan words of faith dan signs and wonders dapat dilihat dalam Doa Transformasi Kota, www.yabina.org, diakses tgl 13 Januari 2011. 3 C. Peter Wagner adalah salah seorang pendiri the World Prayer Center (Pusat Doa Sedunia) di Colorado Springs dan Koordinator dari the United Prayer Track of the A.D. 2000 and Beyond Movement (Jalur Doa Terpadu dari Gerakan Tahun 2000 dan sesudahnya. Gerakan ini di Indonesia dikenal dengan istilah Jaringan Doa Nasional. Mentornya adalah Donald A. McGavran Profesor Pertumbuhan Gereja di Fuller Theological Seminary dan John Wimber pendiri dari Association of Vineyard Churches and Vineyard Ministries International. 4 Towns mengemukakan bahwa wagner pernah menyebut gerakan baru ini (Willow Creek Associates, Calvary Chapels, Vineyard Fellowships) “Gereja-gereja pascadenoinasi,” namun istilah ini ditolak karena beberapa orang menganggap istilah itu mengaitkan mereka dengan kegagalan-kegagalan mereka di masa silam, aatau bahkan lebih buruk, istilah itu memberi implikasi ketidakefektifan beberapa denominsi Injili,
(New Apostolic Reformation) melalui simposium nasional tentang Gereja pasca-denominasi pada tanggal 21-23 Mei 1996 dimana ia dan beberapa tokoh lainnya mengklaim diri sebagai rasul-rasul khusus pada akhir zaman ini untuk penyatuan umat Kristen di luar tembok denominasi … Mereka juga enyatakan bahwa telah muncul Gerakan Apostolik yang akan merevolusi Gereja abad ke-21. Gereja generasi akhir akan mengalami Reformasi Apostolik yang akan sama hebatnya dengan generasi awal Gerakan Apostolik.5 Dari kubu kedua tokoh tersebut lahirlah konsep pengajaran mengenai peperangan spiritual (spiritual warfare), pemetaan spiritual (spiritual mapping), dan roh-roh teritorial (teritorial spirits) yang pada intinya menekankan peran pendoa syafaat (intercessor) yang memilik kuasa dalam mengubah negara bila dilakukan bersama dengan ajaran mengenai peperangan dan pemetaan spiritual. Dalam film itu diceritakan mengenai empat kota (Cali, Almolonga, Kiambu, dan Hemet) di mana diklaim bahwa metoda baru doa itu telah berhasil mengubah kota-kota itu menjadi kota yang diberkati Tuhan.6 Gerakan Doa Transformasi dipublikasikan secara besar-besaran dengan menghadirkan kesaksian yang sarat dengan klaim-klaim subjektif dan spektakuler tanpa memperhatikan keseluruhan peristiwa yang terjadi. Di samping sarat dengan subjektifitas yang tendensius, ajaran Doa Transformasi Kota juga mengusung dan mempopulerkan “kuasa doa dan puasa serta pendoa syafaat” yang memberikan hasil yang spektakuler. Sebagai sebuah mobilisasi massa, gerakan transformasi tersebut berhasil menarik banyak minat para hamba Tuhan dan anggota Gereja.
padahal sebenarnya mereka iti efektif. Karena itulh wagner mengubah judul buku ini menjadi “Reformasi Rasuli Baru”; C. Peter Wagner (ed.), Gereja-Gereja Rasuli yang Baru. Terj. (Jakarta: YPI 'Immanuel', 2001), 7-10; Lih. jg karya C. Peter Wagner, Gempa Gereja. Terj. (Jakarta: Nafiri Gabriel, 1999), 5; Wagner meyebut perubahan terbesar dalam Gereja sejak Reformasi Gereja Protestan sedang berlangsugng saat ini. Ia menamakan fenomena ini sebagai “Reformasi Apostolik Baru.” Reformasi Apostolik Baru adalah pekerjaan Tuhan yang luar biasa di abad ke dua puluh yang mengubah Kristen Protestan di seluruh dunia … Sebenarnya, dari setiap bagian dunia ini, Gereja-gereja apostolic baru telah menciptakan segmen pertumbuhan kekristenan yang paling cepat. 5 Bill Hamon, Apostolic & Prophetic Reformation 1. Terj. (Jakarta: Metanoia, 2002), 13; Melalui symposium tersebut kelompok ini menyakini bahwa telah muncul Gerakan Apostolik yang akan merevolusi Gereja abad 21. Nabi-nabi dan rasul-rasul Gereja generasi awal meletakkan fondasi Gereja. Kini, Reformasi Apostolik zaman akhir akan memberikan sentuhan akhir pada Gereja. 6 Doa Transformasi Kota, www.yabina.org, diakses tgl 13 Januari 2012.
Perkembangan Gerakan Transformasi Dalam Konteks Indonesia Pada tahun 1980-an Gerakan Words of Faith yang dikenal dengan prosperity gospel dirintis Kenneth Hagin melanda banyak Gereja, kemudian dikembangkan oleh Benny Hinn, kemudian disusul ajaran Signs & Wonder dipimpin John Wimbers yang menekankan tanda dan mujizat, ketiga arus gerakan yang biasa dipopulerkan melalui KKR itu memberi dasar timbulnya gerakan yang lebih sensasional lagi pada medio 1990-an yaitu Toronto Blessing. Sekalipun gerakan terakhir ini dirintis salah satu Gereja Vineyard dari lingkungan Signs & Wonders, John Wimber dan mayoritas dari 600 Gereja Vineyard menolak kehadiran Toronto Blessing yang terkenal dengan label tertawa, mabuk dan berjatuhan dalam roh itu sehingga Gereja Vineyard di Toronto yang dipimpin John Arnott kemudian dikeluarkan dari persekutuan Vineyard. Gelombang Toronto Blessing melanda seluruh dunia termasuk dipopulerkan di Indonesia oleh Gerejagereja yang sudah lebih dahulu terpengaruh Words of Faith dan Signs & Wonders.7 Dari Gereja-gereja yang biasa mempopulerkan Words of Faith, Signs & Wonders, dan Toronto Blessings, kemudian juga dipopulerkan sensasi Akhir Zaman dan Pengangkatan Jemaat pada tahun 1988, 1992 kemudian 1998, dan lebih-lebih pada tahun terakhir ini dipopulerkan sensasi Pembangunan Bait Allah ke-III dan Lembu Merah. Dramatisasi sensasi Akhir Zaman memuncak pada tahun Y2K alias tahun 2000. Morris Cerullo sendiri mengatakan tak mau membuat rencana pada tahun 2000. 8 Di Indonesia, gerakan tersebut dapat diamat-amati pada jaringan pelayanan doa di kalangan Gereja-gereja (walaupun tidak mengikuti keseluruhan arus fenomena yang terjadi pada Gelombang Toronto Blessing) atau yang lebih dikenal dengan Jaringan Doa Nasional (JDN), sebagai motor penggerak berkumpulnya Gereja-gereja dalam kegiatan doa, juga ikut dimotori oleh tokoh-tokoh yang biasa mempopulerkan gerakangerakan Words of Faith, Signs & Wonders, Toronto Blessings, bahkan Akhir Zaman itu, pada awal milenium ke-III itu ikut menyebarkan gerakan Doa Transformasi sebagai penerus tangan Gerakan Transformasi yang dirintis New Prophet & Apostle antara lain oleh: Peter Wagner, George Ottis, dan Cindy Jacobs. Dalam rangka Jaringan Doa Nasional sendiri menjadi National Prayer Comittee (NPC) pada tahun 2003 di Indonesia salah satu pembicara yaitu Hammond mengemukakan bahwa, “pada masa 1997, suatu masa kairos baru di Indonesia telah mulai dan sekarang sedang berjalan dan sedang menuju suatu klimaks dan ledakan besar bagi seluruh 7 8
Herlianto, Doa Transformasi, www.sabda.org, diakses tgl 19 Januari 2012. Ibid.
bangsa Indonesia.”9 Bila gerakan-gerakan sebelumnya hanya berurusan dengan kebangunan rohani, gerakan Doa Transformasi dipengaruhi semangat transformation, mempopulerkan pembaharuan masyarakat dan negara-negara melalui penekanan Doa dengan para pendoa syafaat (intercessor) menuju pembaharuan dan kesatuan, dan dipercaya bahwa dibawah kepemimpinan tokoh-tokoh New Apostolic di atas yang memuncak pada tahun 2003, dipersiapkan trasformasi masyarakat yang penuh kemuliaan dan kemakmuran. Jargon yang diusung oleh Doa Transformasi adalah, antara lain: doa berjalan (prayer walk), menara doa (prayer tower), konser & sekolah doa, pemetaan spiritual (spiritual mapping), roh teritorial (teritorial spirit), peperangan rohani (spiritual warfare), memberkati kotakota, dan kemajuan dan kemakmuran negara.10 Film-film Transformations yang memberi penekanan kepada peperangan rohani dengan pendoa syafaatnya disebarkan secara luar biasa disertai dengan nubuatan-nubuatan yang menghipnotis mengenai kemajuan dan kemakmuran negara-negara berkat doa-doa mereka. Orang-orang Kristen di JDN percaya bahwa doa bersama umat Tuhan akan mendatangkan kuasa besar bagi terjadinya transformasi di Indonesia bahkan dalam KKR di Denpasar, Royandi Hutasoit yang merupakan salah satu tokohnya mengemukakan bahwa pada tahun 2005, 50% penduduk Indonesia akan menjadi Kristen. Cindy Jacobs malah menubuatkan Indonesia akan bertobat dan ikan-ikan dari perairan dunia akan mengalir ke perairan Indonesia dan Indonesia akan diberkati dengan berkelimpahan. Ruyandi Hutasoit salah satu tokoh gerakan Doa Trasformasi tidak tanggung-tanggung pada tahun 2001 mendirikan Partai Damai Sejahtera dan berambisi menjadi Presiden RI. Gerakan yang mengandalkan penglihatan dan nubuatan, dan bahwa mujizat Allah bisa dihasilkan melalui doa dan peran pendoa-syafaat itu meyakini bahwa Indonesia juga bisa dibangun menjadi maju dan makmur melalui gerakan ini. Partai baru itu memanfaatkan Jaringan Doa Nasional yang ada sebagai jaringan membangun partainya sehingga lolos verifikasi di 21 propinsi. 11 Sedangkan Njotorahardjo meyakini bahwa gerakan transformasi suatu bangsa dapat Jeff Hammond, “Transformasi-Kairos Bagi Indonesia,” Di dalam Transformasi Indonesia: Pemikiran dan Proses Perubahan yang dikaitkan dengan Kesatuan Tubuh Kristus (Jakarta: Metanoia, 2003), 27 10 Lih. ulasan yang lebih luas dalam karya C. Peter Wagner, Doa Peperangan: Strategi untuk Bertempur Melawan Penguasa Kegelapan. Terj. (Jakarta: Metanoia, 1994), dan karya Jonathan David, Jemaat yang Mengalami Strategi-strategi Apostolik. Terj. (Jakarta: Nafiri Gabriel, 2001) 11 Herlianto, Doa Transformasi, www.sabda.org, diakses tgl 19 Januari 2012 9
terjadi oleh dua kunci utama yaitu, kesatuan para pemimpin (unity among the leaders) dan doa kesatuan (united prayer).12 Ia tidak mengemukakan sama sekali upaya yang harus dilakukan oleh para pemimpin Gereja dalam menyejahterakan masyarakat dan bangsa.
Doktrin Gerakan Transformasi Slogan yang diusung Gerakan Transformasi sarat dengan pemikiran bahwa dunia ini akan berakhir, sehingga perlu memobilisasi potensi Gereja untuk mengkristenkan atau mengubahkan seluruh dunia melalui doa dan peperangan rohani. Usaha tersebut meliputi Negara-negara dan kota-kota serta daerah-daerah, sehingga makin menjamurnya gerakan-gerakan Doa yang dinamakan Menara Doa dan Doa Sekota. Ajaran Signs & Wonder (Wimber) yang lebih mengutamakan dan bahkan menempatkan mujizat dan tanda-tanda sebagai dasar dalam kekristenan, dengan menggunakan nama Yesus. Mereka meyakini atas nama iman bahwa keselamatan dalam penebusan Kristus belum lengkap dan harus diisi dengan bukti tanda dan mujizat, demikian juga Otis menyebut bahwa peran Tuhan Yesus di kayu salib tidak berarti kecuali manusia melalui para rasul barunya mampu memetakan dunia spiritual dan memerangi roh-roh teritorial dengan kuasa doa syafaat dan puasa manusiawi. Meyakini bahwa Iblis menguasai daerah-daerah tertentu sehingga perlu mengadakan peperangan untuk mengalahkan penguasapenguasa atau roh-roh teritorial. Dengan dilatarbelakangi pemahaman yang demikian maka muncullah konsep mengenai “doa peperangan.” Konsep mengenai Doa Berjalan atau Doa Keliling (prayer-walk) dengan menara doanya untuk menguduskan suatu kawasan, maupun doa memberkati suku-suku atau kawasan tertentu. Jelas menekankan ajaran Word Faith yang menjadikan doa sebagai suatu kekuatan spiritual seperti mantra dan bukan sebagai alat dialog dengan Tuhan dan Tuhan-lah yang mendengar yang akan memberikan jawaban-Nya.13 Wagner menggunakan narasi tentang Yesus berada di padang gurun sebagai dasar dalam melakukan doa peperangan. Ia memaparkan, bahwa setelah Yesus penuh dengan Roh Kudus pada saat pembaptisan, Roh Kudus adalah sumber kuasa Yesus, demikian pula para pengikut-Nya. Mengutip dari Yohanes 16:14, Wagner menjamin bahwa orang-orang percaya akan melakukan Niko Njotorahardjo, “Kesatuan Tubuh Kristus Menuju Transformasi Bangsa,” DalamTransformasi Indonesia (Jakarta: Metanoia, 2003), 3 13 Doa Transformasi Kota, www.yabina.org, diakses tgl 13 Januari 2012 12
perkara-perkara yang lebih besar daripada yang Yesus sendiri lakukan. Kemudian ia lebih lanjut memaparkan peristiwa-peristiwa di mana Yesus menyerang Iblis dan sekaligus pengajaran Yesus tentang perlunya penyerangan, yang kemudian diakhiri dengan contoh-contoh alkitabiah tentang penyerangan rohani. Semuanya ini dimaksudkan untuk mengatakan: Yesus menyerang, demikian pula kita!14
Transformasi Merupakan Dimensi Pertumbuhan Kuantitas Isu Gereja yang lebih menekankan pertumbuhan Gereja atau dimensi kualitatif sebagai doktrin Gereja begitu mengemuka dalam Gerakan Transformasi, dan bahkan bisa jadi merupakan isu sentral bagi banyak Gereja di Indonesia. Di Indonesia, pengertian peran Gereja yang identik dengan penginjilan dan pertumbuhan Gereja telah ditanamkan dengan begitu kuat. Penekanan arti yang kuantitatif Gereja diprakarsai, diidentifikasi serta dipertajam oleh George W. Peters, dengan merumuskan pengertian peran Gereja dalam hal misi dengan membedakan antara mission dan missions. Ia mengemukakan sebagai berikut: Misi dalam pengertian saya, merujuk pada penugasan Gereja Yesus Kristus yang bersifat biblikal sepenuhnya. Penugasan tersebut adalah dalam suatu pengertian yang bersifat menyeluruh, termasuk pelayanan-pelayanan Gereja yang ke atas, ke dalam dan ke luar. Itulah Gereja yang diutus ke dalam dunia .... Misi adalah suatu istilah yang khusus. Saya maksudkan adalah pengutusan pribadipribadi yang berwibawa melampaui batasan-batasan Gereja PB dan pengaruh Injil yang dibawanya untuk memberitakan Injil Yesus Kristus di wilayah-wilayah yang sangat miskin dan papa, untuk memenangkan petobat-petobat dari iman mereka yang lain, tanpa iman, dan beriman kepada Yesus Kristus, dan memberdayakan, melipatgandakan Gereja-gereja lokal yang akan menghasilkan buah kekristenan dalam masyarakat dan negara tersebut. 15
Paradigma Peters tersebut diakui menjadi acuan bagi pengertian misi dalam hubungannya dengan penginjilan dan pertumbuhan Gereja seperti yang dikemukakan oleh Yakob Toatmala.16 14 15
Wagner, Doa Peperangan …, 53-75 George W. Peter, A Biblicak Theology of Mission (Chicago: Moody Press,
1974), 11 16
Yakob Tomatala, Teologi Misi: Pengantar Misiologi: Suatu Dogmatika Alkitabiah Tentang Misi, Penginjilan dan Pertumbuhan Gereja (Jakarta: Institut Filsafat Theologi dan Kepemimpinan Jaffray, 2003), 20
Isu pertumbuhan Gereja, lima belas tahun terakhir ini berkembang pesat di Asia serta khususnya Indonesia. Hadirnya Gerakan Transformasi amat memengaruhi paradigma para pendeta dan para majelis Gereja-gereja, serta para aktivis Gereja di Indonesia, sehingga memiliki spirit yang kuat untuk mengembangkan Gereja secara kuantitas. Hal itu mendapat dukungan dari propaganda Gereja yang mengklaim sebagai Gereja terbesar di dunia yang berada di Korea, ditambah dengan publikasi tulisan George W. Peter dan Donal McGavran.17 Pemahaman Gerakan Transformasi juga dipengaruhi oleh School of World Mission and Institute of Church Growth dengan tokoh utamanya Donald McGavran. Pertumbuhan Gereja tidak hanya menjadi tujuan misi, tetapi lebih dari itu, usaha misi harus dijalankan dengan prinsip-prinsip pertumbuhan Gereja.18 Seminar-seminar pertumbuhan Gereja yang diprakarsai dan didanai oleh Gerakan Transformasi menjadi trend di banyak kota besar di Indonesia. Maka lahirlah Gereja-gereja lokal yang memiliki ribuan anggota dengan ditandai gedung Gereja yang besar, mewah dan eksklusif. Wagner mengemukakan bahwa selama 30 tahun ia menyandang gelar “professor pertumbuhan Gereja,” ia menyadari bahwa Gereja apostolik baru merupakan kelompok Gereja yang pertumbuhnnya paling cepat di enam benua di dunia. 19 Pengaruh para tokoh Gereja tersebut amat kuat mempengaruhi doktrin bagi gerakan misi, sehingga tendensi misi masa kini masih terlihat hanya menekankan pada satu sisi, yakni penginjilan dan pertumbuhan Gereja. Misi Gereja kemudian menjadi semacam kompetensi penuh kecemburuan antardenominasi Gereja yang melancarkan foreign mission dari Barat. Peran Gereja seperti ini akhirnya menjadi ecclesia gloriae yang melahirkan dan menumbuhkan Gereja-gereja introvert di Asia.20 Berkaitan dengan hal itu, David Fisher has pointed this out in blunt terms: “Theological reflection or, more particularly, integrative theological thinking about the church, especially the local church, is missing. Ecclesiology has been marginalized and detheologized.”21
17
Publikasi buku oleh George W. Peter, A Biblical Theology of Mission, Chicago: Moody Press, 1974; Donald A. McGavran, Contemporary Theologies of Mission (Grand Rapid, Michigan: Baker Book House, 1983). 18 J. Verkuyl, Contemporary Missiology: An Introduction (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1978), 184, 190 19 C. Peter Wagner, Gempa Gereja. Terj. (Jakarta: Nafiri Gabriel, 2000), 7-8 20 C. S. Song, Christian Mission in Reconstruction: An Asia Analysis (New York: Orbis Book, 1977), 13 21 David Fisher, The 21st Century Pastor (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1996), 76
Dengan demikian, pergeseran paradigma dan kultur Gereja dalam memahami Gereja dan Transformasi adalah lebih merupakan perumusan bahwa doktrin persepsi dikotomi. Deskripsi yang salah dalam memahami dan merumuskan doktrin Gereja dan Transformasi akan cenderung dapat mengakibatkan perilaku yang tidak tepat pula. Kesalahannya bukan terletak pada doktrin, tetapi pada cara pemahaman dan perumusan doktrin secara salah, serta terhadap natur dan tujuan doktrin. Gerakan transformasi yang berkembang di Indonesia dapat diidentikkan dengan gerakan Reformasi Apostolik Baru yang mengklaim sebagai perwujudan dari akhir masa karya Allah di dalam dunia yang akan memasuki masa akhir zaman, serta menekankan kuantitas.
PERSPEKTIF BIBLIKA TENTANG TRANSFORMASI PL dan PB, tidak hanya berisi narasi sejarah dan aspek moralitas belaka, tetapi juga sarat dengan nilai-nilai spiritual, pembaruan sosial, politik, dan ekonomi serta keagamaan. Berkaitan dengan hal itu, maka pada bagian ini penulis membahas beberapa bagian mengenai dasar-dasar transformasi sebagai wacana dan pergerakan perubahan dalam Gereja yang diharapkan dapat menjadi pijakan dalam meneliti dan mengembangkan tindakan-tindakan yang positif serta konstruktif bagi upaya Gereja dalam hal transformasi. Penelitian beranjak dari sumber Alkitab mengenai transformasi secara terbatas. Artinya tidak secara keseluruhan bagian Alkitab, melainkan beberapa bagian saja yang dikemukakan, termasuk di dalamnya fungsi mempertahankan dan mengoreksi pergerakan perubahan.
Perjanjian Lama Allah adalah pencetus dan pemrakarsa serta dinamisator transformasi yang sesungguhnya. Allah adalah awal dan yang sudah memulai (originator) transformasi sesungguhnya pada waktu ia mengadakan penciptaan dan ketika manusia jatuh dalam dosa (Kej 1-3). Ia menciptakan semuanya menjadi “sungguh amat baik” (Kej 1-2). Ia memiliki otoritas mutlak sebagai pencipta dunia dan yang mengadakan transformasi. Otoritas Allah sebagai pencipta tidak hanya berbicara mengenai teori penciptaan tetapi juga mengungkapkan tindakan Allah yang
agung terhadap alam semesta yang kompleks namun tertata dengan rapi seperti yang diungkapkan oleh Karman, yaitu: “teologi penciptaan adalah kepercayaan tentang Allah sebagai Pencipta alam semesta yang kompleks namun tertata rapi, termasuk juga sebagai penjaga kelangsungan dunia ciptaan sampai sekarang, menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan (Ibr 1:3).”22 Berkaitan dengan hal itu, Smith memaparkan bahwa Allah terus-menerus terlibat didalam kelangsungan dan pergerakan alam semesta, yang di dalamnya termasuk manusia. Di dalam kedaulatan Allah nyata karya-Nya yang adalah Tuhan atas segala ciptaan, bukan hanya sebagian. Kerajaan-Nya meliputi seluruh kehidupan. Allah menciptakan dunia sebagai suatu kesatuan; dunia jatuh ke dalam dosa secara total, dan akhirnya dunia akan diperbarui secara menyeluruh. 23 Ketika manusia jatuh dalam dosa, Allah tidak hanya berdiam diri tetapi Ia mencari dan berinisiatif untuk mengembalikan manusia pada relasi dan tempat yang sepantasnya di hadapan Allah, agar manusia menjadi manusia yang sesungguhnya sesuai dengan maksud kehendak-Nya, Allah dalam kedaulatan dan kehendak-Nya sendiri berinisiatif mencari manusia, bukan manusia yang mencari Allah (Kej 3). Kejadian pasal tiga menyatakan kebutuhan manusia akan pertolongan, tetapi sekaligus menyatakan tindakan Allah yang agung di dalam kehendak-Nya, rencanaNya dan kedaulatan-Nya serta kasih-Nya dalam melakukan transformasi. Allah memanggil manusia dan berfirman kepadanya: ”Dimanakah engkau?” Ini merupakan seruan transformasi, Allah yang memanggil manusia dari ketakutan dan ketersembunyiannya untuk kembali memiliki hubungan yang benar dan harmonis dengan Allah seperti sebelumnya. Kidner menjelaskan, bahwa hanya suara Allah yang menerobos ketersembunyian manusia, God’s first word to fallen man has all the marks of grace. It is a question, since to help him He must draw rather than drive him out of hiding. Only a voice penetrates his concealment.24 Kejatuhan manusia dalam dosa menyatakan betapa dalamnya kerusakan yang terjadi sehingga manusia membutuhkan pertolongan yang berasal dari luar dirinya sendiri. Berkaitan dengan hal itu, Sire memberi komentar bahwa manusia membutuhkan penataan ulang antara manusia dengan Allah, dengan mengatakan: “Dan demikian juga kita sebagai umat manusia! Alur 22 Yonky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 18-19 23 Gary Scott Smith, “Reformasi: Luther, Calvin, dan Kaum Anabaptis,” Dalam Membangun Wawasan Dunia Kristen. Vol 2. Terj. (Surabaya: Momentum, 2008), 260 24 Derek Kidner, “Genesis,” in Tyndale Old Testament Commentaries (Leicester: Inter-Varsity Press, 1967), 70
pergerakan dunia terbuka bagi penataan ulang oleh kedua pihak (Allah maupun manusia). Maka kita menemukannya ditata ulang secara drastis di dalam kejatuhan. Adam dan Hawa membuat suatu pilihan yang memiliki signifikansi yang luar biasa besar. Tetapi Allah membuat satu pilihan lain yang di dalam menebus umat melalui Kristus.” 25 Manusia tidak mampu menata ulang atau mereformasi dirinya sendiri, hanya oleh anugerah Allah yang nyata melalui inisiatif dan tindakan Allah, transformasi yang sesungguhnya dapat terjadi. Urgensitas transformasi ditandai dengan keadaan manusia yang berada dalam ketakutan dan keterasingan serta kebutuhan manusia untuk penataan ulang (Kej 3:9-10). Dalam konteks tersebut seruan Allah bukanlah sekedar seruan belaka, tetapi merupakan domain pergerakan transformasi dan secara signifikan merupakan seruan suara transformasi sejati, sarat dengan nilai-nilai pembaruan bagi manusia. Amos merupakan figur penggerak dan penyuara transformasi yang menolak disebut sebagai nabi, karena memiliki latarbelakang seorang awam dari tengah-tengah rakyat biasa, “peternak domba” dan “pemungut buah ara hutan” (Am 1:1; 7:14). Namun, ia diutus Allah untuk menyuarakan gerakan transformsi di Kerajaan Utara. Berkaitan dengan hal itu, Andrew Hill memberi komentar bahwa: “kemurtadan rohani, keruntuhan baik bidang moral dan sosial, serta kemerosotan politik Kerajaan Utara menyebabkan Allah mengutus Amos dari Yehuda untuk menyeberangi perbatasan dan bernubuat di Betel di kawasan Israel.” 26 Inilah yang menjadi latarbelakang dan sekaligus sebagai motivasi Amos dalam pergerakan pembaruan. Dengan pemberitaannya yang jelas dan tegas, khususnya dengan penolakannya terhadap sistem masyarakat yang menindas orang-orang lemah/kecil dengan memakai alasan-alasan rohani. Pada pasal 2, 3-6, Amos menyampaikan kecaman terhadap umat Allah yang dikasihi-Nya, mereka justru akan mengalami hukuman yang lebih berat. “Oleh karena mereka menjual orang benar karena uang … mereka menginjak-injak kepala orang lemah dan membelokkan jalan orang sengsara serta mereka merebahkan diri… di atas pakaian gadaian orang” (Am 2:6-8). Berkaitan dengan hal itu, Andrew Hill mengemukkan bahwa berita yang disampaikan Amos meliputi seruan pertobatan dan perubahan perilaku. Ia memaparkan sebagai berikut:
25
James W. Sire. The Universe Next Door: A Basic Worldview Catalog. Terj. (Surabaya: Momentum, 2005), 19 26 Andrew E. Hill & John H. Walton, Survei Perjanjian Lama. Terj. (Malang: Gandum Mas, 1996), 613
Amos menyalahkan secara khusus perbuatan-perbuatan ketidakadilan sosial dan kemunafikan rohani. Beberapa tujuan pesan ini meliputi seruan yang ditujukan pada beberapa orang untuk bertobat dari dosa pribadi, dorongan untuk kembali pada normanorma perilaku yang sesuai dengan persyaratan-persyaratan perjanjian Yahweh, dan penolakan gagasan yang meluas bahwa “hari Tuhan” hanya merupakan hari berkat secara nasional.27
Gagasan tersebut menjadi berita yang mendominasi pemberitaan Amos agar bangsanya kembali kepada nilai-nilai dan perilaku yang sesuai dengan kebenaran firman Allah. Yesaya dikenal sebagai penasihat raja yang aktif melakukan gerakan pambaruan bagi bangsanya dengan menyuarakan perubahan. Pada pasal 1-5, Yesaya menyampaikan dan menegaskan kesalahan bangsanya serta menyatakan kebutuhan akan pembaruan dengan mengatakan “Belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikan orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkan perkara janda-janda (Yes 1:17). Di tengah-tengah bangsa dan pemimpin yang memutar balikkan hukum, korupsi, menindas orang-orang yang lemah secara sosial dan ekonomi (Yes 1:21-23). Yesaya tampil dalam gelora dan semangat yang tak digentarkan oleh ancaman dari berbagai pihak. Berkaitan dengan hal itu, Christoph Barth memberi ulasan tajam mengenai gaya bahasa Yesaya dalam menyuarakan transformasi, bahwa: “Yesaya terkenal dari gaya bahasanya yang lancar, indah dan berbobot. Dia pandai menarik perhatian orang, lalu dengan tiba-tiba melabrak dengan hebatnya, meskipun sebaliknya pula pandai menghardik dan mengancam, lalu dengan tidak disangka-sangka membayangkan pengharapan baru.”28 Yesaya menyampaikan suara transformasi dengan gaya bahasa menarik, ia menyuarakan pertobatan bagi bangsanya untuk kembali pada tatanan Hukum Allah. Inilah tugas dari seorang yang diutus oleh Allah, menyampaikan kedaulatan Allah yang dapat mendatangkan pembaruan dan kelepasan. Andrew Hill memberi konklusi dengan jelas pada arah berita pembaruan Yesaya, dengan mengemukakan bahwa: “Tujuan seorang nabi adalah menyampaikan perkataan yang diberikan Allah kepadanya untuk disampaikan. Sebagian besar ucapan-ucapan ilahi dibagian pertama kitab Yesaya (1-39) berisi tuduhan dan hukuman. Pasal 40-66 lebih banyak berhubungan dengan pengampunan dan kelepasan dari Allah serta pemulihan kembali Israel. 29 27 28
Ibid., 613-614 C. Barth, Theologia Perjanjian Lama. Terj. (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1989), 56 29
Hill & Walton, Survei Perjanjian Lama …, 528
Signifikansi berita transformasi Yesaya dapat diamat-amati dalam beberapa hal yang terjadi, yaitu: Pertama, Yesaya mencela dan mengancam umat Tuhan yang sudah memperoleh segala jenis berkat tetapi mereka membalasnya dengan keangkuhan dan pemberontakan. Kedua, Yesaya memberitakan penolakan dan penghukuman tidak dalam arah membinasakan, melainkan hukuman Allah dimaksudkan untuk memperbaiki dan memurnikan (Yes 1:25). Berkaitan dengan hal itu, Chisholm memberi komentar bahwa, “Divine judgment would not bring Israel’s history to a screeching, permanent halt. As noted, judgment was merely a necessary step toward the realization of God’s ideal for the nation. Even through the smoke of judgment, one could discern a ray hope.”30 Allah bertindak dengan tegas adalah justru karena kasih-Nya yang tetap hangat (bnd. 'tanaman kegemaran-Nya,' Yes 5:7) dan senantiasa memberi pengharapan. Ketiga, Dalam perannya menyuarakan transformasi, Yesaya harus menggumuli sesuatu yang lebih dahsyat; nubuat dan nasihatnya bukan hanya diabaikan, melainkan justru “membuat hati bangsanya lebih keras” (Yes 5, 8, 22). Satu-satunya harapan adalah melalui penghukuman dan penderitaan, Namun demikian, Tuhan sendiri yang menyembuhkan umat-Nya. Keempat, pemberitaan Yesaya, dengan tekanan kepada panggilan umat orang-orang percaya untuk pembangunan masyarakat yang adil dan perdamaian, serta undangannya agar umat-Nya tetap percaya di tengah-tengah kemelut bangsa.31 Ezra dan Nehemia dapat dilihat sebagai dua nabi yang memiliki latar belakang pelayanan dengan isu-isu yang sama dalam pergerakan mereka sebagai transformator. Dalam arah yang sama Merrill mengemukakan bahwa, secara historis dan religius Ezra dan Nehemia memiliki latar belakang yang sama dalam pelayanan. Ia memberi komentar, “Moreover, as one reads both parts at one sitting he comes to appreciate their common historical and religious setting, their concern with the same issues, and their reflection of identifical point of view.”32 Ezra maupun Nehemia mendapati bahwa umat Allah mengotori diri mereka sendiri dengan mengawini bangsa-bangsa kafir yang pada akhirnya membahayakan kelangsungan Israel sebagai kesatua etnik dan kesatuan rohani. Ezra menghadapi tantangan dalam upaya pembangunan Bait Suci, serta 30 Robert B. Chisholm, Jr, “A Theology Of Isaiah,” in A Biblical Theology of The Old Testament (Chicago: Moody Press, 1991). 31 Bd. Barth, Theologia Perjanjian…, 58-59; Barth mengulas keempat signifikansi tersebut dengan lebih luas. 32 Eugene H. Merrill, “A Theology of Ezra-Nehemiah and Esther,” in A Biblical Theology of The Old Testament (Chicago: Moody Press, 1991), 189
perbaikan tembok Yerusalem pada zaman Nehemia. Dalam pembuangan di Persia, Nehemia mendengar tentang terbongkarnya tembok-tembok Yerusalem dan tentang keadaan yang menyedihkan bangsanya. “Bangunlah aku pada malam hari bersama-sama beberapa orang saja yang menyertai aku. Aku tidak memberitahukan kepada siapapun rencana yang akan kulakukan untuk Yerusalem, yang diberikan Allahku dalam hatiku…” (Neh 2:12). “Mari, kita bangun kembali tembok Yerusalem”. Ia menyuarakan pembaharuan semangat dan motivasi kebersamaan ditengah-tengah bangsanya yang mengalami kelesuan dan ketidakberdayaan (Neh 2:17-18). Berkaitan dengan hal itu, Merrill memberi komentar bahwa tindakan Nehemia dan Ezra tidak hanya bersifat struktur pisik melainkan simbol keberlangsungan dari masa lalu dan keyakinan akan masa depan. Ia mengemukakan sebagai berikut: The final expression of community restoration was the rebuilding of the physical structures of the city and nation. This was necessery not only for practical reasons of housing and community resources but also as a symbol fo continuity with the past and confidence in the future. Immediately on their return, then, the people under Zerubbabel and Jhosua commenced their building projects, in particular the Temple of the Lord (Ezr 3:8-13). Slowly the work progressed under these leaders and others, including Ezra and Nehemiah, until it was finished and stood as a monument to the faithfullness of Yahweh to His people.60
Pada pasal 9-10 di bawah pimpinan Ezra, ia melakukan gerakan transformasi rohani dan sosial. Ezra prihatin dengan kondisi bangsanya, karena ”bangsa yang kudus” telah tercemar (9:2). Reaksi Ezra sungguh mengejutkan: perasaan sedih dan berduka, berpuasa dan mencabut rambutnya. Kemudian ia berdoa dengan segenap hati mengaku dosa (9:316). Inilah teladan sikap seorang transformator yang sejati. Pembaruan rohani tersebut dideskripsikan dengan tindakan penyingkiran isteri-isteri kafir yang telah dinikahi oleh bangsa Israel, pernikahan yang bertentangan dengan kehendak Allah. Respon yanag dideskripsikan adalah rakyat bertobat dan mohon pengampunan serta merekonstruksi komitmen baru kepada Allah. Pada Nehemia pasal 8-10 menjelaskan secara dramatis transformasi yang dilakukan oleh Ezra dengan mengembalikan bangsanya kepada Kitab Suci. Ketaatan kepada Kitab Suci merupakan tema penting dalam gerakan transformasi kitab Ezra maupun Nehemia. Berkaitan dengan hal itu Howard Jr memberi komentar, bahwa ”banyak perkara dalam kitab 60
Merrill, “A Theology of Ezra-Nehemiah and Esther,” 195
Ezra dan Nehemia memberikan kesan adanya satu perhatian besar untuk melakukan segala sesuatu sesuai dengan Taurat Musa. Ketaatan yang sungguh-sungguh kepada Taurat kini merupakan manifestasi yang kelihatan dari kesetiaan bangsa ini.”61 Peristiwa dramatis tersebut dijelaskan dengan kesungguhan rakyat yang terharu sampai menangis, serta diikuti adanya pembaruan komitmen ulang dari bangsa Israel. Inilah gerakan transformasi yang menghasilkan pembaruan yang mengembalikan komitmen bangsa Israel. Dengan menarik Howard Jr memberi komentar mengenai reformasi yang di sajikan kitab Ezra dan Nehemia. Ia mengemukakan bahwa: ” Kitabkitab ini dikemas begitu ketat dengan pesan spiritual yang siap digali. Kedua kitab ini menyampaikan kekayaan rohani pada masa-masa selama umat Allah diliputi hal-hal yang tidak menyenangkan.” 62 Pada keseluruhan struktur narasi yang telas dijelaskan di atas dapat dikemukakan bahwa di dalam PL, baik Allah dan para nabi dan orang yang diutus Allah melayani bangsa dan negaranya sarat dengan nilai-nilai pergerakan transformasi.
Perjanjian Baru Tuhan Yesus dapat disebutkan sebagai pemberita dan sekaligus menjadi inti berita transformasi yang memberi dan sekaligus merupakan teladan seorang transformator yang sesungguhnya. Hal tersebut dapat diamat-amati dari narasi yang dikemukakn oleh keempat Injil. Yesus Kristus yang datang ke dunia merupakan berita perubahan yang jauh lebih radikal dari perubahan-perubahan itu sendiri. Signifikansi perubahan sejarah abad manusia diperlihatkan dengan kehadiran para malaikat yang memperlihatkan wujudnya kepada manusia untuk menyampai berita sukacita besar sebagai suara transformasi (Mat 1-2; Luk 1-2). Berita yang dicatat oleh penulis Matius menyatakan inti berita transformasi sesungguhnya yang memberi perubahan pada sejarah besar manusia, “Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka” (Mat 1:21). Dia tidak hanya menjadi inti berita transformasi, melainkan sekaligus pada diri-Nya melekat berita itu sendiri, dan menjadi pelaku transformasi. Hal ini lebih dari cukup untuk sebuah konsepsi, konfesi dan rekonstruksi transformatoris. Bagi orang-orang pengecut, munafik dan penguasa korup, serta yang tidak berkenan bagi Allah, berita tersebut pada satu sisi adalah 61
David M. Howard Jr, Kitab-Kitab Sejarah dalam Perjanjian Lama. Terj. (Malang, Gandum Mas, 2002), 380 62 Ibid., 340
api yang menimbulkan kegentaran dan ketakutan tetapi pada sisi lain, sekaligus menjadi api yang menyulut amarah yang besar (Mat 2:1-18). Kitab Injil memberikan suatu paradigma yang jelas, bahwa cara hidup, cara berpikir dan tindakan-tindakan Yesus adalah bingkai seorang transformator. Ia membersihkan Bait Allah dari konspirasi busuk para penguasa Bait Allah yang mencari keuntungan ekonomi dan monopoli atas nama agama (Mat 21:12-13; Mrk 11:15-19; Luk 19:45-48; Yoh 2:13-16). Suara pembaruan Yesus mengancam status quo yang berkembang dan yang dipertahankan oleh kebanyakan orang pada masa itu, secara khusus para imam. Ia menggoncang kehidupan yang tenang dan nyaman dari golongan Saduki, Romawi, dan Farisi. Berkaitan dengan hal itu, Kraybill menghubungkan tindakan Yesus tersebut sebagai seorang revolusioner tanpa kekerasan, dengan mengemukakan sebagai berikut. Yesus memang seorang revolusioner, ketika Ia menyerang akar permasalahannya– kejahatan yang sering mengikat niat dan pranatapranata manusia. Ia menyerukan pertobatan. Ia mengimbau untuk mengasihi. Ia mengumumkan bahwa hanya Allah yang harus disembah... Tetapi revolusi sungsang-Nya menggantikan kekuatan dengan penderitaan dan kekerasan dengan kasih yang kuat.”63
Yesus menggoncang pranata-pranata sosial dan struktur kemasyarakatan pada masa itu. Ia melayani dan ada bersama-sama dengan orang-orang yang diberi stigma oleh masyarakat umum sebagai orang yang sangat berdosa dan perlu dijatuhi hukuman (pemungut cukai, perempuan Samaria, perempuan yang berzinah). Namun dengan kasih dan kehangatanNya, Ia bergaul dan berani menerima prasangka-prasangka bahkan kebencian dari kelompok/golongan masyarakat tertentu atas sikapnya itu. Apa yang dilihat Yesus adalah lingkaran kekerasan yang menimpa para petani Galilea. Para petani yang lain tidak hanya miskin, tetapi mereka juga dieksploitasi dan ditindas tidak hanya oleh orang-orang Romawi tetapi juga oleh Herodes dan para tuan tanah yang kaya raya. Mereka menanggung beban pajak yang berat sehingga mereka terus-menerus terbelit utang. Sementara keadaan mereka semakin buruk, apa yang berkembang adalah lingkaran kekerasan. Pada konteks pergulatan sosial politik pada masa-Nya, Yesus merupakan individu yang unik dengan peran yang Ia mainkan dalam sejarah politik. Yesus sadar penuh (Him self understanding) akan hal itu. Yesus tidak memandang orang di depannya hanya sebagai seorang pengemis, atau hanya sekedar sebagai prajurit 63
Donald B. Kraybill, Kerajaan yang Sungsang. Terj. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), 45
Romawi, atau hanya sebagai orang Farisi, atau juga hanya sebagai seorang pemuda kaya. Yesus mengasihi mereka tanpa memandang label-label yang melekat pada mereka, tanpa memandang penampilan dan kesalahan mereka. Dalam kerangka reformasi-Nya, mereka adalah orang-orang yang menjadi sasaran kasih dan pertolongan Allah. Bahkan para musuh-Nya mengenali bahwa Yesus sepenuhnya tidak memihak dan bahwa Yesus tidak peduli pada derajat atau status seseorang (Mrk 12:14). 64 Berkaitan dengan hal itu, maka dapat disebutkan bahwa ide mengenai transformasi telah dimulai dari Allah sendiri; Allah adalah pencetus ide dan sekaligus pelaku transformasi yang sesungguhnya, Allah adalah Allah yang menyuarakan transformasi, dan Allah adalah Allah yang sungguh-sungguh melakukan trnasformasi bagi umat-Nya, dan Allah adalah Allah yang menjadi inti berita transformasi sekaligus memfasilitasi penaataan ulang relasi manusia dengan Allah, serta memanusiakan manusia pada maksud Allah. Hal itu nampak ketika Allah mencari manusia yang berdosa dan memanggil mereka dari ketersembunyiannya dan memfasilitasi manusia untuk menemukan tempatnya di hadapan Allah (Kej 3:1-21), serta yang menyatakan kehadiran dan karya penebusan oleh dan di dalam Kristus. Ide mengenai perubahan-perubahan ada di dalam rencana, kedaulatan dan otoritas Allah. Hanya di dalam dan melalui pengertian akan kedaulatan, otoritas, kehendak dan rencana serta kasih Allah sendiri, manusia menemukan transformasi yang sesungguhnya. Dengan demikian transformasi yang sesungguhnya tidak dimulai pada inisiatif manusia maupun lembaga-lembaga yang diciptakan oleh manusia itu sendiri, melainkan dimulai dan dinyatakan serta digerakkan oleh Allah Tritunggal. Allah yang telah memulai dan yang akan terusmenerus melakukan transformasi dan transformasi tersebut juga menyebar melalui orang-orang yang dipanggil, digerakkan dan dipakai-Nya, dan hal itu selalu berada pada otoritas-Nya. Jika paradigma di atas kita gunakan sebagai suatu pendekatan transformasi maka dapat dikemukakan bahwa transformasi yang mengemuka secara khusus adalah transformasi yang lebih mengacu pada konteks Gereja. Sebagai orang-orang percaya yang telah mengalami transformasi tersebut, Allah melalui Gereja atau orang percaya memiliki peran sebagai alat-Nya untuk memberitakan dan mewujudnyatakan pengalaman transformasi kepada sesamanya.
KEUTUHAN KONSTRUKSI GEREJA DAN TRANFORMASI 64
Albert Nolan, Jesus Today. Terj. (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 103-110
Sejatinya tidak ada dikotomi dalam hal pemahaman Gereja dengan praksis kehidupan umat Kristen. Panggilan Gereja dalam merumuskan doktrin dengan implementasi bukanlah dua ranah yang berbeda, sebab Gereja atau orang Kristen dengan panggilan perannya sebagai transformator beranjak pada keyakinan terhadap firman Tuhan sebagai acuan berpikir dan berperilaku. Pada bagian ini penulis mengadakan evaluasi serta memberi usulan yang sekiranya dapat menjadi pertimbangan dalam mengembangkan paradigma Gereja dan Transformasi, yaitu:
Evaluasi Terhadap Doktrin Gerakan Transformasi Secara teologis adalah sesuatu yang lemah dan tidak memiliki dasar biblika yang kuat (bukan berarti tidak menggunakan Alkitab) untuk memberi dukungan kepada Gerakan Transformasi yang membagi-bagi geografi dunia menjadi teritori yang dihuni kuasa kegelapan dan yang dihuni oleh Roh Tuhan, apalagi kalau hal itu bisa dipetakan oleh manusia secara visual (bandingkan dengan perumpamaan Gandum & Lalang yang dikemukan oleh Tuhan Yesus). Karena pada dasarnya dunia adalah dunia milik Allah. Hal ini tidak berarti bahwa kita menolak adanya kuasa dan pengaruh roh-roh jahat di dunia, melainkan menolak pembagian wilayah atau dunia seperti yang dikemukakan oleh Gerakan Transformasi. Nabi Yunus yang tidak mendoakan kota Niniwe, namun Niniwe diberkati karena pertobatan penduduknya sendiri oleh karena mendengar firman Tuhan. Tidak ada indikasi bahwa ia mengadakan gerakan peperangn rohani dan gerakan doa seperti yang dimaksud oleh gerakan transformasi. Sydney Page, telah melakukan penelitian yang ekstensif tentang Iblis dalam Alkitab, namun ia tidak menyinggung apa pun mengenai penyerangan Yesus terhadap Iblis di padang gurun. Sebaliknya ia menekankan bahwa kedatangan Yesus merupakan inisiatif Roh Kudus, atas kehendak Allah. Dengan demikian pencobaan dari Setan dalam peristiwa di padang gurun termasuk dalam rencana Allah dan implikasinya adalah Setan berada di bawah kendali Allah.65 Rasul Paulus mengatakan bahwa kita berperang bukan dengan darah dan daging melainkan dengan kekuatan-kekuatan di udara (Ef 6:10-12). Jika teks tersebut diindikasikan sebagai perintah untuk mengadakan peperangan rohani seperti yang dimaksud oleh gerakan transformasi, maka hal itu adalah sesuatu yang bertentangan dengan 65
Sydney Page, Power Of Evil: A Biblical Study of Satan and Demons (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1995), 91
maksud dan tujuan penulis itu sendiri. Teks tersebut tidak mengindikasikan bahwa Paulus meminta para pembacanya untuk melakukan pemetaan spiritual melainkan agar bersenjatakan seluruh perlengkapan senjata Allah (Ef 6:13-20) melawan kuasa-kuasa sijahat. Ada fakta yang menarik ketika Rasul Paulus mengunjungi kuil di Athena, ia sama sekali tak menceritakan mengenai berdoa dengan cara mengelilingi kuil tersebut (prayer-walking) atau melakukan pemetaan spiritual dan mengumpulkan pendoa syafaat, melainkan ia menginjili mereka dimana mereka berada (Kis 17:16-34). Ajaran Signs & Wonder (Wimber) yang menyebut bahwa keselamatan dalam penebusan Kristus belum lengkap dan harus diisi dengan bukti tanda dan mujizat, demikian juga Otis menyebut bahwa peran Tuhan Yesus di kayu salib tidak berarti kecuali manusia melalui para rasul barunya mampu memetakan dunia spiritual dan memerangi roh-roh teritorial dengan kuasa doa syafaat dan puasa manusiawi. Konsep mengenai doa berjalan (prayer-walk on sight with insight) dengan menara doanya untuk menguduskan suatu kawasan seperti yang dilakukan di hari Kenaikan Yesus di Jakarta beberapa waktu lalu, dan Gerakan Doa Nasional pada bulan Mei 2012 lalu, maupun doa memberkati suku-suku atau kawasan tertentu, jelas menekankan ajaran Words of Faith yang menjadikan doa lebih semacam “mantra” daripada keseriusan dalam memberitakan Injil dan menyuarakan dan mengupayakan pembaruan sosial, serta bukan sebagai alat dialog dengan Tuhan dan Tuhan yang mendengar yang akan memberikan jawaban-Nya.
Rekonstruksi Doktrin Transformasi Kita harus menghargai usaha-usaha untuk membangkitkan kerinduan yang mendalam agar terjadinya transformasi bagi masyarakat dengan melakukan berbagai cara yang telah dipaparkan sebelumnya, namun perlu di tegaskan bahwa transformasi tidak terjadi karena orang Kristen hanya sekedar menekankan sikap pragmatis yang dikemas dalam bentukbentuk gerakan doa dan “kumpul-kumpul rohani.” Berkaitan dengan hal itu Piper memaparkan bahwa: “Jika Injil Kristus yang mulia yang berpusat pada Allah tidak mempenetrasi suatu kelompok masyarakat dan melahirkan Gereja-gereja yang menyembah, memelihara iman, dan mengabarkan Injil, maka tidak ada sedikit pun harapan bagi transformasi.” 66 Yang perlu ditransformasi adalah dimulai dari Gereja atau umat Kristen (Rm 12:1-2), 66
2008), 109
John Piper, Gairah Allah Bagi Kemuliaan-Nya. Terj. (Surabaya: Momentum,
dan bukannya transformasi Indonesia dengan kekuatan doa semata (bukan menolak pentingnya doa dalam kehidupan Kristen, doa bukanlah bahasa klise yang artifisial), serta upaya memobilisasi massa untuk show force dan pengaruh kekuatan kekristenan, melainkan kebersamaan di doa sekaligus mewujudkan dalam tindakan kebersamaan mensejahterakan masyarakat. Doktrin seharusnya mengarahkan dan memotivasi Gereja dalam upaya menciptakan harmonisasi dalam kehidupan praktis umat. Doktrin harus langsung berhubungan dengan kehidupan prakatis, penderitaan manusia, pertanyaan arti hidup, ikut tersinggung terhadap penindasan, menggali dan menemukan kemungkinan-kemungkinan, serta mencari jawaban dan jalan keluar dari persoalan-persoalan hidup umat Allah khususnya dan masyarakat umumnya. Artinya antara memahami Gereja sebagai karya Allah dengan perannya sebagai agen transformasi adalah suatu keharmonisan hidup, tidak ada pertentangan pada keduanya. Berkaitan dengan hal itu, Vanhoozer mengemukakan bahwa, doktrin membantu Gereja memahami di mana Gereja telah dilemparkan dan peran apa yang harus dimainkan di sana… Doktrin yang kuat–ajaran yang berkuasa–vital bagi kehidupan Gereja, teologi itu bagi kehidupan dunia.67 Pada satu sisi, doktrin yang menguatkan peran Gereja harus dirumuskan dan berakar pada kebenaran penyataan Allah di dalam Alkitab. Namun pada sisi lain, doktrin harus langsung berhubungan dengan kehidupan prkatis, penderitaan manusia, pertanyaan arti hidup, ikut tersinggung terhadap penindasan, menggali dan menemukan kemungkinankemungkinan, serta mencari jawaban dan solusi persoalan-persoalan hidup umat Allah khususnya dan masyarakat umumnya. Perlu dipahami bersama bahwa doktrin Gereja bukanlah firman Tuhan yang tidak dapat diubah, melainkan dalam perannya di dunia Gereja perlu mempertimbangkan doktrin selaras dan mampu memotivasi kehidupan orang Kristen untuk menyatakan kasih Allah.
Keutuhan Transformasi Kristen Transformasi Kristen hendaknya dirumuskan dalam upaya membangun doktrin di dalam Kristus dengan melibatkan perubahan cara hidup, bukan hanya sebuah sistem kepercayaan atau mobilisasi massa Kristen dan bahkan bukanlah merupakan slogan-slogan yang membangkitkan fanatisme belaka. Hal ini berarti bahwa doktrin 67
Kevin J. Vanhoozer, Drama Doktrin: Suatu pendekatan Kanonik-Linguistik pada theologi Kristen. Terj. (Surabaya: Momentum, 2011), 4
transformasi merupakan motivasi penting dalam upaya menerangkan segala sesuatu yang berkaitan dengan peran Gereja menjadi berkat di dalam dunia, bagi orang-orang percaya dan yang tidak percaya seperti yang dikemukakan oleh Roeroe sdebagai berikut: Jadi pokok-pokok pikiran tentang tugas dan panggilan Gereja/jemaat itu kita ringkaskan demikian: untuk “menjadi berkat bagi segala kaum” mulai dari hal: mengolah, memelihara dan membina bumi ini agar menjadi tempat kehidupan yang layak bagi manusia dan bagi semua (bnd. Kej 2, 15), menguatkan yang lemah lesu dan menguatkan lutut yang goyah, memberikan pengharapan bagi yang takut, menyembuhkan yang sakit hingga membangkitkan yang mati.68
Berkaitan dengan hal itu, Karman mengemukakan bahwa ada kesinambungan antara Israel sebagai umat Allah dengan Gereja bahwa, “kesinambungan itu terlihat sedikitnya dari kesamaan peran keduanya di dalam dunia sebagai terang dunia dan saksi Allah yang hidup. Umat Israel menjadi terang bagi bangsa-bangsa lain (Yes 42:6) dan umat Kristen juga berperan sebagai terang dunia (Mat 5:14-16) mengikuti jejak Yesus yang adalah Terang Dunia (Yoh 8:2; bd 9:5).”69 Dimensi dogma di dalam Gereja dengan eksistensi kehidupan di dunia bukanlah merupakan dua hal yang berjalan terpisah satu sama lain, melainkan suatu keutuhan. Kedua wilayah tersebut terkait amat erat satu dengan lainnya. Berkaitan dengan hal itu, Roeroe mengemukakan bahwa bahwa di dalam PL peran orang percaya, khususnya Tua-Tua Israel mencakup aspek rohani, maupun untuk yang sering dianggap soal-soal duniawi.70 Dalam PB, penulis Injil Matius mengemukakan hal yang sama (walaupun dengan bahasa yang berbeda) ketika mencatat pernyataan Yesus 68 W.A. Roeroe, Pokok-Pokok Pikiran Tentang Gereja Untuk Perumusan Tata Gereja [Ekklesiologi Baru], (Tomohon: GMIM, 2005), 11-12 69 Yongky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 120 70 W.A. Roeroe, Peranan Para Tua-Tua dalam Naskah-Naskah Perjanjian Lama, (Tomohon: UKIT-Press dan LETAK, 2008), 18-19. Para Tua-tua melaksanakan tanggungjawab dan peranannya merangkumi bidang memimpin kehidupan bersama sebagai persekutuan dan menjaga agar hubungan-hubungan perorangan lestari; menanggulangi permasalahan-permasalahan keluarga besar, marga, suku serta pemukiman dan perkotaan, sebagai penegak hukum dan membela keadilan dalam keputusan-keputusan pengadilan dan kehakiman, mereka bertanggungjawab atas ketertiban, keamanan dan pertahanan-keamanan-kemiliteran, atas pembebasan dari penindasan, atas masalah kecukupan makanan dan minuman, masalah ibadah-persembahan dan doa syafaat, masalah politik kedalam dan keluar persekutuan umat.
yang mengecam para ahli-ahli Turat dan orang-orang Farisi, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu menelan rumah janda-janda sedang kamu mengelabui mata orang dengan doa yang panjang-panjang. Sebab itu kamu pasti akan menerima hukuman yang lebih berat (Mat 23:14). Artinya, pernyataan Yesus tidak memisahkan antara kepercayaan seseorang dengan kehidupan dalam masyarakat. Yesus menghendaki adanya kesatuan antara aspek ibadah kepada Allah dengan sikap konkret dalam kehidupan sehari-hari. Tidak ada pemisahan antara dogma sebagai formalitas di dalam Gereja dengan tindakan konkret sebagai peran Gereja di dalam dunia. Transformasi memberi tempat untuk mengklarifikasi tersendiri isi dari iman Kristen untuk memampukan Gereja dalam komunitas Kristen menjelaskan tentang apa yang dipercayai di dalam kesaksian bagi dunia (terkait di dalamnya mengenai hidup dalam kebenaran dan memperjuangkan keadilan dan usaha memperbaiki kerusakan sosial). Hal itu juga berarti bahwa transformasi menyelidiki isi dari teologi Kristen untuk tujuan kehidupan praktis agar tepat dan efektif dikomunikasikan dalam tiap-tiap keadaan sosial, bahasa, dan latarbelakang kultur. Hal inilah yang menjadi perhatian dari Gereja seperti yang dikemukakan oleh Karl Barth bahwa,“dogmatics as such does not ask what the apostles and prophets said but what we must say on the basis of the apostles and prophets.”71 Doktrin, jauh dari teori yang abstrak, sebenarnya merupakan bahan kehidupan nyata. Kehidupan nyata terletak di jalan Yesus Kristus, dan tujuan doktrin adalah membimbing kita tepat di jalan ini.72 Gereja sebagai saksi Kerajaan Allah, harus mendemonstrasikan totalitas Kerajaan tersebut. Totalitas Kerajaan Allah merupakan mandat Yesus kepada Gereja-Nya. Mandat itu adalah mandat penginjilan dan sekaligus juga mandat pelayanan sosial. Gereja hidup dalam dua dimensi: “di dalam Kristus” dan “di dalam dunia” (Yoh 15:1-6; 17:13-18). Gereja perlu menekankan ibadah dan pembangunan masyarakat, pekabaran Injil dan kepedulian sosial. Gereja perlu menyatakan kasih dan keadilan Tuhan, dimulai dari konteks Gereja sendiri serta perbuatannya bagi masyarakat tanpa maksud-maksud tersembunyi. Pelayanan Gereja dalam masyarakat adalah salah satu cara untuk menyatakan kasih Tuhan di dalam ketulusan dan kejujuran. Berkaitan dengan hal itu, Schaeffer mengemukakan bahwa, The point is that it is
71
Karl Barth, Church Dogmatics. Trans. G. W. Bromiley, second edition. (Edinburgh: T. & T. Clark, 1975), 16 72 Vanhoozer, Drama Doktrin …, 2
possible to be a Christian without showing the mark; but if we expect nonChristian to know that we are Christians, we must show the mark.73 Keutuhan transformasi seharusnya muncul bukan dari teori-teori spekulatif tetapi dari praktik-praktik inti berita firman Tuhan serta pengalaman kehidupan sehari-hari yang membentuk kehidupan dan identitas Gereja dan orang-orang Kristen secara terus-menerus, sehingga berupaya sedemikian rupa memengaruhi jemaat dan masyarakat umumnya.
KESIMPULAN Fenomena Gerakan Transformasi yang berkembang di Indonesia, satu sisi harus diberi apresiasi. Upaya yang dilakukan dalam beberapa kegiatan akbar sebagai wujud ingin mempersatukan lembaga-lembaga Gereja dan gerejawi dalam kegiatan persekutuan dan doa bersama, serta berkolaborasi antara tokoh-tokoh nasional dengan internasional telah memberi pengaruh yang cukup signifikan, dan bahkan bisa disebutkan sebagai suatu kegiatan yang fenomenal di Indonesia. Namun demikian, harus juga dicermati kemana arah transformasi yang diinginkan. Apakah sebatas hanya untuk memperlihatkan bahwa lembaga-lembaga Gereja dan Gerejawi dapat berkumpul bersama-sama, wujud dari kesatuan, atau untuk memperlihatkan bahwa Tuhan berkarya meningkatkan jumlah orang-orang Kristen? Jika bisa disebutkan dengan bahasa iman. Atau hanya sebatas suatu kegiatan Kristen rohani yang didukung oleh sebagian dari tokohtokoh Kristen internasional atau dengan bahasa “kumpul-kumpul bareng”? Atau bisa jadi kegiatan tersebut justru tidak rohani (berbagai perspektif dapat berkembang untuk terminologi istilah rohani, bahkan penyimpangannya). Kemanakah arah yang mau dibawa oleh tokoh-tokoh Kristen untuk transformasi di Indonesia? Jika tanpa merumuskan secara sistematis dan pengakuan bersama akan apa yang dilakukan di dalam Gereja serta di luar Gereja. PL dan PB mendorong manusia untuk memperbaiki dunia. Allah, hakim-hakim, para nabi, raja-raja, dan Yesus melakukan upaya yang terus menerus dalam memberitakan suara transformasi; keadilan dan kebenaran, menaati hukum, mengkritisi ketidakadilan dan ketidakbenaran, membela hak-hak orang yang miskin, lemah, yang ditindas, serta mengupayakan 73
Francis A. Schaeffer, The complete works of Francis A. Schaeffer A Christian Worldview, Volume Four: A Christian View of the Church (Westchester: Crossway Books, 1982), 184
kesejahteraan bangsa. Keberadaan dunia ini pada dasarnya tidak jahat, melainkan baik karena diciptakan Tuhan. Tentu ciptaan yang baik itu telah dinodai oleh dosa. Manusia telah memanipulasi dan merampas kebaikan dan kasih yang benar. Namun ciptaan itu masih berharga dan perlu diperbaiki di dalam penebusan Kristus. Gereja atau orang Kristen tidak berhak menolak keberadaan dunia yang merupakan ciptaan Allah di dalam Kristus (Kol 1:15-16), melainkan ikut serta memberi solusi terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi oleh dunia. Dunia adalah dunia Allah di mana Gereja hidup dan tinggal menjadi berkat. Gerakan Transformasi yang menekankan mobilisasi doa massa bisa jadi hanya mengarah kepada pencapaian kesatuan Gereja-gereja, dan upaya damai sejahtera (feel good theology) yang akan dialami secara transformatif di Indonesia. Hal itu bisa saja menjadi gerakan yang lebih mirip ambisi doa dan perilaku “nabi-nabi” yang dikritik oleh beberapa nabi dan Tuhan Yesus. Jika Gereja tidak menyuarakan kebenaran dengan mengingatkan pemerintah, para politikus, para tokoh agama, para pengusaha secara khusus pemimpin dan pengusaha Kristen yang sarat dengan prilaku KKN dan mengabaikan hukum serta tidak adanya upaya yang sistematis dari pihak Gereja untuk memperbaiki keadaan sosial, maka doa-doa orang Kristen bisa jadi hanya sebatas artifisial belaka. Artinya doa-doa yang diungkapkan dan “kumpul-kumpul bareng” tidak menjadi edukasi bagi orang-orang Kristen, dapat dilepaskan dari prilaku hidup benar, serta terlepas dari takut akan Tuhan dan mengabaikan hukum yang merupakan prasyarat kesejahteraan bangsa dan Negara. Jika di dalam Gereja dan Yayasan Kristen serta partai politik sendiri menyimpan kebusukan dan mempertontonkan perilaku ketidakadilan dan ketamakan akan kekuasaan dan harta serta tidak memperdulikan kesejahteraan orang lain, maka transformasi seperti apa yang dapat kita harapkan? Pada satu sisi gerakan transformasi yang telah dikemukakan di atas harus dihargai dalam upaya untuk kesatuan Gereja-gereja Tuhan di Indonesia, serta upaya mengembangkan spirit kerjasama antar orang-orang Kristen dalam persekutuan. Namun pada sisi lain, gerakan tersebut menyisakan persoalan-persoalan yang tidak kalah merisaukan, sebab spirit transformasi yang ditawarkan adalah dalam rangka mobilisasi masa untuk menghacurkan kuasa kegelapan bukannya upaya sistematis dalam menyuarakan pertobatan dan memberlakukan keadilan serta upaya menanggulangi kemiskinan yang merupakan salah satu isu utama di Indonesia, demi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Gereja dan umat Tuhan membutuhkan keseriusan dalam upaya transformasi di dalam Kristus, merumuskan dan mengajar-ajarkan dogma dalam ibadah dan
keharmonisannya dengan kehidupan praktis sebagai tanggungjawab dan ketaatan kepada Allah dan sesama. Hal itu berarti Gereja akan bergumul dengan isu-isu yang berkembang dan kompleks pada eranya dan mungkin sekali sebagai suatu persiapan kedepan dalam kerangka mempersiapkan yang pada umumnya disebut tanggungjawab pelayan menjadi berkat bagi bangsa-bangsa.
TEOLOGI PAULUS TENTANG KARUNIA-KARUNIA ROH DAN IMPLIKASINYA BAGI PROBLEMATIKA PNEUMATOLOGIS GEREJA MASA KINI HOTMAN PARULIAN SIMANJUNTAK
PENDAHULUAN Di sepanjang sejarah perkembangan Gereja yang merupakan sejarah perkembangan teologi hingga pada era postmodern ini, para teolog telah banyak melakukan aktivitas atau upaya menafsirkan, merumuskan, mengajarkan dan memberitakan firman Allah (berteologi).1 Meskipun aktivitas atau upaya tersebut belum menghasilkan rumusan doktrin teologi yang signifikan dan berlaku bagi semua kalangan Gereja. 2 Salah satunya adalah doktrin Pneumatologi yang kembali hangat dibicarakan dan dimonopoli oleh sekelompok Gereja tertentu, sehingga menjadi topik utama yang dibahas oleh hampir seluruh Gereja di dunia ini, termasuk Gerejagereja di Indonesia.3 Misalnya, di kalangan Gereja-gereja Injili, terdapat banyak pandangan yang bukan hanya berbeda dan bertentangan dengan bermuara pada dua kubu polarisasi, yakni kubu neo-Pentakosta dan nonPentakosta.4 Inilah isu Pneumatologis yang sangat menonjol baik yang pro dan kontra yaitu isu doktrin karunia-karunia Roh yang mengarah kepada perpecahan jemaat.5 Karunia-karunia Roh merupakan topik diskusi teologi yang diperdebatkan, antara aliran yang memiliki pandangan bahwa karuniakarunia Roh adalah tanda bukti yang menyertai babtisan Roh Kudus yang harus dimiliki oleh semua orang percaya, dengan aliran yang memiliki pandangan bahwa karunia-karunia merupakan salah satu pemberian Tuhan kepada orang percaya.6 Hal ini dimulai dari inteprestasi terhadap karunia1
Lotnatigor Sihombing, Persfektif Teologi Injili Dalam Panggilan Membangun (Batu: Sekolah Tinggi Theologia “I-3,” 1995), 4 2 Ibid. 3 Stevri I. Lumintang, Keunikan Thelogia Kristen Di Tengah Kepalsuan (Batu: Departemen Multimedia Bidang Literatur, 2009), 248-249 4 Ibid. 5 K.S. Lotourette, A History of Christianity. Chapter 2 (New York: Harper & Row, 1975), 725 6 D. Bridge & D. Phypers, Karunia-Karunia Roh Dan Jemaat (Bandung: Kalam Hidup, 1993), 27
karunia Roh dan pengalaman rohani oleh orang percaya sejak dulu hingga saat ini. Artinya perbedaan penafsiran dan pengalaman rohani terhadap karunia-karunia Roh Kudus kenyataannya tidak pernah selesai diperdebatkan dikalangan orang-orang percaya, inilah yang disebut problematika, meskipun para teolog Kristen berupaya untuk menyelesaikan masalah ini dengan cara mengkaji lebih dalam dan mendisuksikan bersama, namun dari upaya-upaya ini belum menunjukkan hasil yang signifikan bagi orang percaya sampai hari ini dan masih tetap menjadi problematika. 7 Tendesi orang Kristen memahami karunia-karunia Roh Kudus hanya sebagai karunia yang dibutuhkan untuk menolong dan melengkapi hidup orang percaya.8 Perdebatan terjadi antara aliran yang memiliki pandangan dan mengatakan bahwa karunia-karunia Roh masih dilimpahkan oleh Tuhan kepada orang percaya pada masa kini, dengan aliran yang memiliki pandangan bahwa karunia-karunia Roh telah berhenti pada zaman Rasuli, yakni ketika PB lengkap ditulis.9 Pada akhirnya banyak orang percaya dipengaruhi pandangan yang terakhir, bahwa orang percaya masa kini tidak lagi menerima karunia-karunia Roh sebagai salah satu karya Allah Tritunggal, sehingga pemahamannya terhadap semua karunia Roh menjadi lain daripada yang sebenarnya dimaksudkan dalam Akitab itu sendiri. Permasalahan berikutnya juga terjadi dalam sejarah perkembangan teologi, ditemukan adanya gerakan-gerakan rohani yang terus-menerus berkembang, yakni pelayanan karunia karunia Roh Kudus menjadi dasar atau norma untuk menilai dan mengukur kerohanian seseorang. Dengan kata lain, karunia-karunia Roh Kudus menjadi tolak ukur mengenai dipenuhinya seseorang dengan Roh Kudus, bahkan dipakai sebagai dasar keselamatan seseorang.10 Ironisnya ada Gereja yang hanya menekankan pengalaman rohani disertai dengan karunia-karunia Rohani saja dalam kehidupan kekristenannya sebagai bukti bahwa ia sungguh-sungguh rohani dan dipenuhi oleh Roh Kudus, serta memiliki kepastian keselamatan. Bahkan tidak jarang orang percaya atau jemaat menghakimi hamba Tuhan atau jemat yang tidak nampak karunia-karunia rohaninya, dengan perkataan-perkataan yang menjatuhkan iman hamba Tuhan atau jemaat,
7
H. Berkhof & L.H. Enklaar, Sejarah Gereja (Jakarta: Badan Penerbit Kristen,
1976), 34 8
Stanley M. Burgess, Kebutuhan Gereja Saat Ini (Malang: Gandum Mas, 2011),
339 9
Ibid., 28 Gorden Lindsay, Bagaimana Menerima Babtisan Roh Kudus (Jakarta: Imanuel, 1979), 24. 10
sehingga hal ini dapat memecahkan kesatuan serta persatuan sesama orang percaya.11 Rasul Paulus dalam tulisan-tulisannya secara eksplisit telah banyak memberikan way out secara theologis sebagai solusi terhadap semua permasalahan Pneumatologi yang terjadi di Gereja masa kini. Dari fakta realita problematika karunia-karunia Roh di atas, menstimulir penulis untuk mengkaji dan menganalisa lebih lanjut dan lebih dalam melalui studi theologis secara khusus tentang karunia-karunia Roh dalam konstruksi theologia Rasul Paulus, dimana dalam tulisan Paulus yang mengajarkan tentang konsep, dogma dan prinsip karunia-karunia Roh Kudus secara Alkitabiah. Oleh sebab itu, penulis bermaksud untuk mengangkat hal ini dalam sebuah jurnal “Missio Ecclesio” dengan judul: “Theologia Paulus tentang Karunia-Karunia Roh dan Implikasinya Bagi Problematika Pneumatologis di Gereja Pada Masa Kini.”
KAJIAN BIBLIKA Dalam bagian ini penulis akan menguraikan mengenai theologia Paulus secara esensial tentang pengertian karunia-Karunia Roh, maksud karunia Roh, tujuan, asal-mula, banyaknya dan tetap tidaknya karuniakarunia Roh.
Pengertian Karunia-Karunia Roh Menurut Paulus Istilah karunia dalam bahasa Yunani ca,risma (kharisma) akar katanya adalah ca,rij (kharis) yang artinya anugerah. Hubungan erat antara dua istilah ini ditekankan oleh Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma, bahwa: “Demikianlah kita mempunyai karunia (kharisma) yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita: Jika karunia itu adalah untuk bernubuat baiklah kita melakukannya sesuai dengan iman kita” (Rm.12:6). Frasa kasih karunia dalam bahasa Yunani ca,rin (kharin) adalah sikap Tuhan terhadap kita, bahwa Dia yang memberi pengampunan kepada manusia, yaitu kepada yang percaya kepada darah Tuhan Yesus. Istilah karunia juga dapat dipakai dengan arti anugerah seperti yang dijelaskan oleh Paulus (Rm 6:23, bnd. 5:15-16) bahwa: “… tetapi karunia (kharisma) Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” Paulus juga mengatakan: “Sebab Allah tidak menyesali 11
Ibid.
kasih karunia (kharisma) dan panggilanNya” (Rm 11:29). Konteks dari ayat terakhir ini tidak berbicara mengenai karunia-karunia tertentu, tetapi panggilan dan kasih karunia yang diberikan kepada bangsa Israel supaya mereka diselamatkan. Karunia merupakan hasil dari anugerah, artinya bahwa karunia tidak bisa dilihat terpisah dari perbuatan dan karya Allah. 12 Jadi, apa yang disebut dengan karunia adalah karya Allah lewat seseorang dan bukan kemampuan yang dimiliki dan dikuasai sendiri. Karunia dapat disebut juga karya ajaib dan tidak dapat dipisahkan dari pelayanan.
Maksud Karunia-Karunia Roh Rasul Paulus menuliskan suratnya kepada jemaat di Korintus mengenai maksud karunia-karunia Roh. Dalam 1Korintus 12:4-6, Paulus menjelaskan bahwa: “Ada rupa-rupa karunia tetapi satu Roh, dan ada ruparupa pelayanan tetapi satu Tuhan, dan ada berbagai-bagai perbuatan ajaib, tetapi Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam semua orang.” Dalam bagian firman Tuhan ini kita bertemu dengan karya Allah Tritunggal. Tidak ada karunia yang tidak diberikan untuk pelayanan dan tidak ada karunia yang kuasanya tidak berasal dari Allah. Paulus memakai tiga kata ucapan yang hampir sama untuk menjelaskan satu hal hal yang sama, yaitu: karunia, carisma,twn (kharismaton), pelayanan, diakoniw/n (diakonion) dan karya ajaib, evnerghma,twn (energematon).13 Paulus juga menjelaskan bahwa karunia tertentu diberikan “untuk melengkapi orangorang kudus bagi pekerjaan pelayanan” (Ef 4:12). Kalimat ini berbicara mengenai karunia-karunia yang diberikan dengan tujuan pelayanan. Masing-masing karunia dan masing-masing perbuatan yang ajaib dilakukan oleh Allah. Hal ini nampak dalam kesimpulan Paulus (1Kor 12:5), bahwa: “tetapi Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam semua orang.” Kalimat ini sangat jelas sekali mengajarkan bahwa karunia-karunia Roh bukan karya manusia, tetapi karya Allah secara terus-menerus. Dengan demikian, Allah yang bekerja dan Roh Kudus terlibat dalam pekerjaan ini, seperti yang dijelaskan oleh Paulus (1Kor 12:11) bahwa: “Tetapi semuanya ini dikerjakan oleh Roh yang satu dan yang sama, yang memberikan 12 T.G.R. Boeker, Apa Kata Alkitab Tentang Roh Kudus (Malang: Institut Injil Indonesia, 1991), 42 13 View from one angle they appar as charismata, form another as misnitrations, and from a third as energies. Maksudnya adalah, jika dilihat dari satu arah ternyata sebagai karunia, dari arah yang lain sebagai pelayanan, dan dari arah ketiga sebagai kuasa; R.C.H. Lenski, The Interpretations of 1 and 2Chorinthians (Minnesota: Augsburg, 1963), 495
karunia kepada tiap-tiap orang secara khusus, seperti yang dikehendakiNya.”14
Tujuan Karunia-Karunia Roh Dalam Roma 12:4-5 Paulus menggambarkan jemaat sebagai tubuh Kristus dan jemaat adalah anggota tubuh itu. Setelah itu barulah ia mengemukakan karunia-karunia yang berlainan dan yang dimiliki oleh orang-orang Kristen (Rm 12:6-8). Paulus dalam pembahasan yang lebih panjang lebar tentang karunia-karunia Roh dalam 1Korintus 12:27-28: “Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya. Dan Allah telah menetapkan beberapa orang dalam jemaat, pertama sebagai rasul, kedua sebagai nabi ...” Demikian juga dalam Efesus 4:1-8, Paulus menyatakan bahwa justru karena orang-orang Kristen adalah anggota-anggota satu tubuh, maka kasih karunia telah dianugerahkan kepada mereka masing-masing menurut ukuran pemberian Kristus.15 Pada ketiga bagian teks ini dijelaskan bahwa karunia-karunia Roh mempunyai dua tujuan vital dalam kehidupan jemaat. Pertama, karunia-karunia roh memperkuat persekutuan jemaat. Kehendak Allah bagi jemaat ialah, “supaya jangan terjadi perpecahan dalam tubuh, tetapi supaya angota-anggota yang berbeda itu saling memperhatikan. Karena itu jika satu anggota menderita, maka semua anggota turut menderita; jika satu anggota dihormati, maka semua anggota tubuh turut bersukacita” (1Kor 12:25-26). Berbagai karunia dibagikan di antara anggota-anggota jemaat supaya tujuan itu dapat dicapai (1Kor 12:2730). Dalam kerinduan mereka untuk memperoleh karunia-karunia Roh dan untuk menggunakan karunia-karunia itu, orang-orang Kristen “hendaknya berusaha mempergunakannya untuk membangun jemaat” (1Kor 14:12). Demikian pula dalam Efesus 4:12,16, Paulus mengemukakan bahwa karunia-karunia Kristus adalah “bagi pembangunan tubuh Kristus,” dan apabila orang-orang Kristen menggunakan karunia-karuia itu dengan benar, maka jemaat “menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih.”16 Kedua, selain menguatkan persekutuan jemaat, karunia-karunia Roh juga dimaksudkan untuk memperluas kesaksian dan pelayanan jemaat. Di 14
Ibid. Donald Bridge & David Phypers, Karunia-Karunia Roh dan Jemaat (Bandung: Penerbit Kalam Hidup, 1973), 17 16 Ibid., 18 15
dalam ayat-ayat yang memang sukar untuk dipahami, yaitu 1Korintus 14:20-25, rupanya Paulus mengemukakan bahwa manifestasi karuniakarunia Roh yang dapat dipahami, orang akan menyadarkan orang sesat akan dosanya, “sehingga ia akan sujud menyembah Allah dan mengaku, sungguh, Allah ada di tengah-tengah kamu” (1Kor 14:25). Bahkan lebih jelas dalam Efesus 4:11-12, Paulus mengatakan bahwa karunia-karunia itu untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi perkerjaan pelayanan. Yang juga penting dalam ayat ini ialah bahwa Paulus secara khusus mengakui jabatan Rasul dan pemberita Injil.17
Sifat Karunia-Karunia Roh Rasul Paulus secara mendalam membahas sifat karunia-karunia Roh dengan menggunakan beberapa kata Yunani untuk menggambarkan karunia-karunia roh, yakni: kata pneumatikoi (pneumatikoi) “perkaraperkara rohani.” Kata itu berasal dari kata pneuma (pneuma), dan pengunaan kata pneumatikoi (pneumatikoi) menunjukkan bahwa karuniakarunia itu adalah milik Roh Kudus dan digerakkan oleh Roh Kudus atau semua karunia itu “dikerjakan oleh Roh yang satu dan yang sama” (1Kor 12:11). Karunia-karunia itu bersifat supranatural, karena digerakkan Allah.18 Dalam menggambarkan karunia-karunia Roh, Paulus beralih dari kata pneumatikoi (pneumatikoi) dalam ayat 1 ke kata ca,rismata (kharismata) dalam Roma 12:4. Walaupun sering diterjemahkan menjadi karunia-karunia saja, kata kharismata sebenarnya berarti karunia-karunia yang diberikan karena kemurahan hati pemberinya. Penggunaan kata ini menekankan kenyataan bahwa karunia-karunia itu berasal dari kasih dan rahmat Allah yang melimpah-limpah. Kata ketiga yang digunakan oleh Paulus dalam 1Korintus 12:5 untuk menggambarkan karunia-karunia Roh ialah kata diakonia (diakonia) artinya pelayanan, digunakan dalam PB untuk menggambarkan jabatan dan pekerjaan seorang diaken atau pelayan dalam jemaat. Hal ini mengindikasikan bahwa karunia-karunia itu hendaknya dipergunakan bagi kepentingan bersama. Orang Kristen yang mempergunakan karunia-karunia Roh hendaknya meneladani Juruselamat dalam hal kematian-Nya di atas kayu salib.19 Paulus juga menggunakan kata energema diterjemahkan menjadi “perbuatan ajaib” untuk 17
Ibid. Bridge & Phypers, Karunia-Karunia..., 20, 21 19 Ibid., 22 18
menggambarkan karunia-karunia Roh yang berasal dari kata energeo yang dalam bentuk pasifnya berarti didorong atau digerakkan dan di dalam PB selalu dipakai untuk menyatakan suatu prinsip atau kuasa yang sedang bekerja. Hal ini menggambarkan berbagai karunia itu sebagai “berbagaibagai perbuatan ajaib.” Apabila karunia-karunia Roh dipergunakan, maka kuasa Allah sedang bekerja di dalam diri orang Kristen bagi kepentingan orang lain. Kata terakhir yang dipakai oleh Paulus untuk menggambarkan sifat karunia-karunia Roh ialah phanerosis. Kata itu berasal dari kata kerja phaneroein yang berarti menjadikan kelihatan, jelas atau diketahui. Karunia-karunia adalah “penyataan Roh.”
Asal Mula Karunia-Karunia Roh Dalam 1Korintus 12 Paulus menghubungkan asal mula dan distribusi karunia-karunia Roh dengan setiap pribadi dari Allah Tritunggal. Paulus menulis “ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh. Dan ada rupa-rupa pelayanan, tetapi satu Tuhan. Dan ada berbagai-bagai perbuatan ajaib, tetapi Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam semua orang.” Yang sangat mengesankan ialah cara setiap Pribadi dalam Allah Tritunggal dihubungkan dengan berbagai segi daripada karunia-karunia itu. Dengan demikian, karena kegiatan khusus daripada Roh Kudus ialah membagi-bagikan, maka Paulus berbicara tentang “karunia-karunia-Nya.” Karena Yesus datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani, maka Paulus berbicara tentang “rupa-rupa pelayanan-Nya.” Karena Allah Bapa adalah sumber segala kuasa, maka Paulus berbicara tentang “berbagai-bagai perbuatan ajaib-Nya.”20 Karena itu, dapat disimpulkan bahwa ada kegiatan yang maha hebat didalam penggunaan karunia-karunia Roh. Pada waktu karunia-karunia itu dipergunakan oleh seseorang anggota tubuh Kristus, maka Allah Tritunggal bekerja di dalam satu pribadi bagi kepentingan dan kebaikan orang-orang lain. Inilah asal mula atau sumber utama dari banyaknya karunia Roh.
Banyaknya Karunia-Karunia Roh Dalam 1Korintus 12:8-19 memang hanya sembilan karunia yang dikemukakan, tetapi Paulus memberikan serangkaian karunia yang lain di dalam pasal yang sama. Demikian juga dalam Roma 12 dan Efesus 4 dan 20
Bridge & Phypers, Karunia-Karunia Roh..., 24
ayat-ayat yang lainpun Paulus menyinggung beberapa karunia lain. Dalam Roma 12 tercantum karunia-karunia untuk bernubuat, untuk melayani, untuk mengajar, untuk menasehati, untuk membagi-bagkan sesuatu, untuk memberi pimpinan dan untuk menunjukkan kemurahan. Dalam 1Korintus 12 tercantum karunia-karunia untuk berkata-kata dengan hikmat, untuk berkata-kata dengan pengetahuan, karunia iman, karunia untuk menyembuhkan, untuk mengadakan mujizat, untuk bernubuat, untuk membeda-bedakan roh, untuk berkata-kata dengan bahasa Roh, untuk menafsirkan bahasa Roh, karunia untuk menjadi Rasul dan pengajar, karunia untuk melayani dan karunia untuk memimpin. Efesus 4 mengemukakan jabatan dan bukan pekerjaan, yaitu rasul-rasul, nabi-nabi, pemberita-pemberita Injil, gembala-gembala dan pengajar-pengajar. Selain itu, karunia membujang secara sukarela (1Kor 7), kemiskinan dan kesahidan secara sukarela (1Kor 13:3) adalah karunia-karunia dalam arti yang sama seperti karunia-karunia yang lain dan harus dimasukkan ke dalam golongan karunia.21 Apabila suatu jemaat atau kelompok Kristen memusatkan perhatian hanya pada beberapa karunia saja dan melupakan adanya berbagai karunia lain yang dikemukakan dalam PB, maka mereka hanya setengah-setengah dan tidak lengkap; mereka akan kehilangan berkat, baik di dalam dan di luar persekutuan.
Tetap Tidaknya Karunia-Karunia Roh Beberapa karunia Roh jelas lebih supernatural dan lebih ajaib daripada yang lainnya, dan dalam sejarah jemaat karunia-karunia itu kadang-kadang tidak dipergunakan lagi untuk jangka waktu yang lama. Paulus memang mengatakan bahwa “nubuat akan berakhir, bahasa Roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap” (1Kor 13:8), dan ayat ini sering dikutip orang untuk menekankan bahwa karunia-karunia yang dramatis hanya bersifat sementara. Tetapi kita harus memperhatikan juga konteksnya. Paulus sedang berbicara tentang masa depan, yaitu pada waktu “yang sempurna tiba; pada waktu itulah yang tidak sempurna itu akan lenyap (1Kor 13:10). Demikian juga Paulus mengatakan bahwa “Sekarang kita melihat secara samar-samar, tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang kita hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti kita akan mengenal dengan sempurna” (1Kor 13:12). Dari pernyataan ini sangat jelas bahwa Paulus sedang melihat ke masa depan pada waktu bukan saja karunia-karunia Roh yang menakjubkan, tetapi segala sesuatu 21
Bridge & Phypers, Karunia-Karunia Roh..., 25
yang mencakup kehidupan manusia sehari-hari akan lenyap pada waktu Allah menggenapkan janji-Nya dalam kemuliaan-Nya.22
Pandangan Rasul Paulus Tentang Karunia-Karunia Roh Dalam semua tulisan Rasul Paulus mengenai karunia-karunia Roh terdapat suatu hakikat yang benar untuk dapat memahami dengan benar semua karunia Roh yang diberikan Allah kepada umat-Nya, yaitu:
Karunia Sebagai Rasul Dalam tulisan Paulus, istilah rasul dipakai mengenai Epafroditus dan beberapa orang lain. Mereka disebut sebagai “utusan Gereja-gereja,” avpo,stoloi evkklhsiw/n (apostoloi ekklesion) yang juga terdapat dalam 2Korintus 8:23, dan utusan kamu, u`mw/n de. avpo,stolon (humon de apostolon) terdapat dalam Filipi 2:25. Istilah utusan dalam konteks ini sama dengan istilah rasul, avpo,stoloi (apostoloi). Dua ayat ini berbicara tentang “utusan-utusan dari jemaat-jemaat,” bukan “Rasul Kristus Yesus oleh kehendak Allah” (Ef 1:1). Dalan surat Korintus mereka yang disebut “utusan-utusan” adalah beberapa orang yang dipilih oleh jemaat-jemaat di Asia untuk mengkuti Paulus dan Titus, sewaktu mereka membawa suatu persembahan dari jemaat-jemaat yang baru beridiri kepada jemaat induk di Yerusalem (2Kor 8:19). Sebetulnya mereka diikutsertakan sebagai saksi (2Kor 8:20). Hal ini didukung argumentasi Donald Guthrie sebagai berikut: Apostolic ministry was distinguished from all other ministry; Apostolic ministry has not localized but universal; The apostles was in no sense appointed by the church, but rather were foundation to it (cf. Eph.2:20); Their task has not only to lay foundation, but also to contribute to the upbilding of the church.23
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, pelayanan kerasulan dibedakan dari pelayanan lain, wewenang para Rasul tidak hanya berpengaruh pada suatu daerah setempat tetapi bagi semua orang, para Rasul tidak diangkat oleh jemaat, malah merekalah pendiri jemaat (bnd. Ef 7:20) dan tugas mereka bukan hanya meletakkan dasar, tetapi juga berperan 22
Bridge & Phypers, Karunia-Karunia Roh..., 29, 30 Donald Guthrie, Tafsiran Aliktab Masa Kini. Jilid III (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982), 82 23
untuk menegakkan jemaat. Oleh sebab itu, para rasul adalah dasar Gereja yang terutama, karena pengajaran mereka yang ada di dalam Perjanjian Baru menjadi dasar dan patokan bagi Gereja universal dalam segala zaman.
Karunia Sebagai Nabi Dalam tulisan Paulus, dijelaskan bahwa istilah nabi mempunyai arti ganda, yaitu nabi PL (Rm 1:22; 3:21) dan nabi PB (1Kor 12:28). Dalam Efesus 3:5 artinya mungkin “nabi PB.” Hal ini nampak karena dikatakan bahwa rahasia ini “pada angkatan dahulu tidak diberitakan kepada anakanak manusia,” berarti ditutup sampai PB. Paulus di sini memakai frasa dinyatakan dalam Roh, avpekalu,fqh evn Pneu,mati (apekaluphte en Pneumati) tentang pengalaman para rasul, berarti mereka mendapat wahyu dari Allah sebagainana seorang pelihat (ro'eh). Boleh dikatakan juga bahwa, arti istilah rasul dan istilah nabi tidak terlalu berbeda. Dua-duanya adalah utusan Allah. Dalam surat Efesus para nabi dan rasul dilihat sebagai dasar jemaat (Ef 2:20) yang sewaktu-waktu disatukan, seperti yang dijelaskan Paulus dalam Efesus 3:5, di mana dalam konteks ini istilah Rasul (apostolois) memakai kata sandang tertentu, tetapi istilah nabi (prophetais) tidak memakai kata sandang tertentu, berarti dua kelompok ini disatukan oleh istilah dan, kai (kai). Menurut Robertson: sometimes groups more or less distinct are treated as one for the purpose in hand, and hence use only one article.24 Jadi, Paulus dan duabelas rasul diberi nama nabi dalam teks ini. Dalam struktur teks Efesus 2:20 bahwa frasa tw/n avposto,lwn kai. profhtw/n (ton apostolon kai propheton) sama dengan struktur teks Efesus 3:5.25 Para rasul dan para nabi adalah satu kelompok, yaitu rasul-rasul yang mempunyai karunia nabi. Sedangkan dalam surat Ef.4:11, nabi dan rasul tidak satu kelompok, tetapi Paulus berbicara mengenai dua kelompok yang berbeda, seperti penginjil, pengajar dan gembala merupakan kelompok yang terpisah.26 Meskipun demikian kesimpulan penulis adalah bahwa
24
A.T. Robertson, A Grammar of the Greek New Testament in the Light of Historical Research (Tennessee: Broadman, 1994), 787 25 E. Waaler, Exposition of the Letter to the Ephesians (Unplublished Manuscript, 1994), 51 26 tou.j me.n tou.j de. (tous men tois de) dengan arti yang kontras; bnd. Robertson, A Grammar of the…, 1152
Paulus dalam surat Efesus pasal dua dan tiga berbicara mengenai rasul dan nabi dalam arti satu kelompok, yaitu rasul yang memiliki karunia nubuat.27
Karunia Bernubuat Pembahasan tentang karunia nabi sebagai salah satu karunia tidak dapat lepas dari istilah nubuat. Paulus membahas tentang tugas seorang nabi (1Kor 14:29), profh/tai (prophetai), Paulus juga berbicara mengenai nabi yang menerima wahyu dari Tuhan. Tuhan mewahyukan sesuatu kepada sesuatu kepada mereka (1Kor 14:30) avpokalufqh/ (apokaluphte), yang kemudian mereka sampaikan (1Kor 14:31) profhteu,ein (propheteuein). Seluruh fenomena ini diberi nama propheteia (1Kor 14:22) artinya aktivitas seorang nabi. Sebenanya harus diperhatikan bahwa ada perbedaan antara istilah “menerima wahyu atau nubuat” (apokaluphte) dan istilah bernubuat (propheteuein). Istilah wahyu sering dipakai tentang pengalaman Paulus sendiri, secara khusus wahyu sebagai dasar jabatan Rasul (Rm 18:25; 1Kor 14:8; 2Kor 1:1-7; Gal 1:12, 15, 2:22; Ef 3:3). Tetapl istilah wahyu juga dapat dipakai mengenai orang Kristen secara umum (Ef 1:17; Flp 3:15) dan tentang karunia nubuat secara khusus (1Kor 14:28,30; bnd. 1Kor 14:6). Menurut Ridderboes, Prophecy is a special form of the Spirit given to through the church. For this speaking of the prophets can also be called relevation.28 Jadi, dapat dikatakan bahwa, nubuat artinya “suatu pemberian Roh kepada dan melalui jemaat.” Oleh karena itu, apa yang dikatakan para nabi dapat disebut nubuat. Meskipun karunia nubuat juga ada di dalam jemaat pertama, tetapi otoritas nubuat dalam jemaat lebih rendah daripada otoritas seorang rasul, seperti yang dijelaskan dalam 1Korintus 14:37-38. Secara positif Paulus mengarahkan supaya nubuat dipakai sesuai dengan iman dalam bahasa Yunani kata. th.n avnalogi,an th/j pi,stewj (kata ten analogian tes pisteos) Roma 12:6. Maksudnya di sini bukan iman pribadi seseorang, tetapi inti dari iman Kristen. Dengan demikian, iman yang dimaksud oleh Paulus adalah iman sesuai dengan isinya, atau secara umum doktrin Kristen. Karena nubuat yang dibuat oleh seorang rasul atau nabi mempunyai otoritas yang jauh lebih tinggi daripada nubuat yang
27
The apostles are also prophets in the New Testament sense. Graham Huston, Prophecy Now, (U.K.: Inter-Varsity, n.d.), 80 28 H. Ridderbos, Paul, An Outline of His Theology (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1990), 451
dibuat oleh seseorang yang berkarunia nubuat. Hal ini tidak terlepas dari karunia mengajar.
Karunia Mengajar Dalam surat Paulus istilah pengajar tidak berdiri sendiri, tetapi berhubungan dengan istilah penatua, presbuteroj (presbuteros), “Penatuapenatua yang baik pimpinannya patut dihormati dua kali lipat, terutama mereka yang dengan jerih payah berkhotbah dan mengajar” (1Tim 5:17). Tugas yang kedua yang dihubungkan dengan tugas penatua adalah gembala, poimenoj (poimenos). Paulus memanggil penatua-penatua dari Efesus (Kis 20:17). Kepada kelompok ini Paulus mengatakan: “karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk menggembalakan jemaat Allah” (Kis 20:28). Dalam surat Petrus juga nampak bahwa, para penatua harus menggembalakan umat Tuhan (1Ptr 5:1-4). Demikian juga para pengajar dan gembala dilihat bersama dalam surat Efesus: “maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar” (Ef 4:11). Paulus menyebutkan lima gelar, yaitu: rasul, nabi, penginjil, guru dan gembala. Setiap empat istilah pertama masing-masing didahului oleh artikel tertentu, tetapi yang terakhir tidak tou.j de.( poime,naj kai. didaska,louj (tous de poimenas kai didaskalous). Dari hal ini, maka dapat disimpukan bahwa, dua kelompok ini dekat dan dilihat sebagai kesatuan dalam konteks ini. Selanjutnya, dalam tulisan Paulus dijelaskan adanya hubungan antara seorang penilik dan seorang penatua. Dari segi tugas dua-duanya disebut tenaga yang mengajar (1Tim 3:2; Tit 1:9) dan juga sebagai orang yang menjaga jemaat (1Tim 5:17; Tit 1:9). Paulus dalam suratnya kepada Titus, memakai istilah penilik (Tit 1:7) dan penatua (Tit 1:5) tentang orangorang yang sama. Juga dalam konteks ini khotbah Paulus kepada para penatua dari Efesus sangat cocok, karena mereka disebut: “Penatua (Kis 20:17) dan Penilik (Kis 20:28) yang menggembalakan (Kis 20:28).” 29 Bahkan dalan surat pastoral Paulus kepada Timotius, terdapat istilah pengajar dilihat dalam konteks pemerintahan jemaat: “mengajar atau memerintah” (1Tim 2:12, terjemahan lama). Sepertinya para pengajar diberi kuasa untuk memerintah di dalam jemaat. Memang seorang guru
“Eph. 4:11 qualifies ‘pastors and teachers’ more as an activity than as an office, though the office of overseer can wall be aluded to (cf. Phil. 1:1).” Ridderboes, Paul, An Outline…, 455 29
selalu menggurui muridnya, tetapi kuasa ini kemungkinan besar mempunyai hubungan dengan tugas penatua yang juga memimpin jemaat. Tugas utama seorang pengajar tentunya untuk membagikan pengetahuan seperti yang dijelaskan oleh Paulus dalam 1Korintus 14:6, bahwa: “jika aku tidak menyampaikan kepadamu penyataan, avpokalu,yei: (apokaluphei) Allah atau pengetahuan, gnw,sei: (gnosei) atau nubuat, profhtei,a| (propheteia) atau pengajaran, didach (didakhe).” Dalam hal ini, berarti bahwa pengajaran sama dengan pengetahuan, seperti nubuat sama dengan penyataan. Frasa kata pengetahuan juga muncul di dalam konteks karunia-karunia (1Kor 12:8), dimana dalam konteks yang sama istilah kata hikmat, sofi,aj (sophia) juga muncul, bahkan terlihat juga dalam surat Kolose bahwa, pengajaran juga berisi kata hikmat (Kol 3:16). Dengan demikian, baik kata hikmat maupun pengetahuan adalah isi dari pengajaran. Karunia Berbahasa Lidah Paulus secara eksplisit (1Kor 14:14) menjelaskan bahwa kalau dia berdoa dengan bahasa lidah, maka: rohku, to. pneu/ma, mou (to pneuma mou) yang berdoa. Kalau roh Paulus yang berdoa, maka roh itu bukanlah Roh Kudus. Jelas sekali bahwa Paulus membedakan antara roh manusia dan Roh Kudus: “Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita bahwa kita adalah anak-anak Allah” (Rm 8:16).30 Paulus juga menekankan bahwa bahasa lidah tidak dimengerti oleh manusia, kecuali mereka diberikan karunia untuk menafsirkan bahasa lidah (bnd. 1Kor 14:28). Menurut Ridderboes bahwa: Bahasa lidah tidak ada hubungannya dengan akal, tetapi keluar dari roh manusia: “rohku yang berdoa tetapi akal budiku tidak turut berdoa” (1Kor 14:14). Dalam bahasa asli dipakai istilah a;karpo,j (akarpos) artinya tanpa buah. Yang dimaksudkan oleh Paulus ialah bahwa, akal budi tidak berbuah dalam hal berbicara dengan bahasa lidah. Dikatakan mengenai akal budi bahwa di dalam bahasa lidah akal tidak berbuah (1Kor 14:14), maka akal budi tidak terlibat di dalamnya. 31 Jadi, bahasa lidah tidak berasal dari akal budi manusia, tetapi dari roh manusia. Istilah bahasa lidah yang dibicarakan Paulus dalam surat 1Korintus 14:2 adalah doa dan pujian kepada Tuhan: “Siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, tidak berkata-kata kepada manusia, tetapi kepada Allah.” Istilah berkata-kata (lalei, lalaei) dilengkapi dengan istilah Allah dalam kasus Lenski, Interpretation of Romans …, 524 “It is said of the understanding therefore that with glossolia it is unfruitful (v. 14), that is to say, it is not involved in it;” Ridderboes, Paul, an Outline of…, 465 30 31
datif Qew (Theo) kasus datif menjelaskan bahwa, orang yang kepadanya kami berbicara.32 Hal ini berarti bahwa bahasa lidah ditujukan bukan kepada manusia melainkan kepada Allah. Istilah berdoa dengan bahasa lidah dan berdoa dengan rohku (1Kor 14:14), sama maknanya dengan “menyanyi dan memuji dengan rohku” (1Kor 14:15), “mengucapkan syukur dengan rohmu” (1Kor 14:16). Maka jelaslah dari konteks ini bahwa apa yang dilakukan adalah doa dan pujian kepada Allah. Dalam jemaat hanya dibutuhkan doa yang dapat diaminkan oleh saudara-saudara seiman: “bagaimanakah orang biasa yang hadir sebagai pendengar dapat mengatakan “amin” atas pengucapan syukurmu?” (1Kor 14:16). Hal ini disebabkan bahwa bahasa lidah selalu harus diterjemahkan, kecuali kalau orang berdoa seorang diri. Bahasa lidah juga harus membangun orang yang berbicara: “hanya boleh berkata-kata kepada dirinya sendiri dan kepada Allah“ (1Kor 14:28), “Siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, ia membangun dirinya sendiri” (1Kor 14:28). Persekutuan dengan Allah dalam bentuk ini menolong seseorang dalam kehidupannya dengan Tuhan. Dalam beberapa golongan Kristen tertentu, bahasa lidah menjadi ukuran terhadap iman dan kerohanian seseorang. Bahasa lidah menjadi tanda mutlak untuk pertobatan atau tanda berkat kedua (second blessing). Tetapi hal ini tidak sesuai dengan Alkitab. Paulus menjelaskan dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, seperti berikut: “Adakah mereka semua rasul, atau nabi, atau pengajar? Adakah mereka semua mendapat karunia untuk mengadakan mujizat, atau untuk menyembuhkan, atau untuk berkata-kata dalam bahasa roh, atau untuk menafsirkan bahasa roh?” (1Kor 12:29-30). Pada bagian ini Paulus ingin lebih menekankan bahwa meskipun masing-masing orang diberikan karunia yang berbeda, tetapi kita semua satu dalam Kristus. Sama sekali tidak ada satu ayat Firman Tuhan yang mengatakan bahwa bahasa lidah adalah tanda bagi suatu tingkatan kerohanian ataupun syarat untuk selamat. Karunia bahasa lidah adalah karunia yang terkecil. Paulus dengan tegas menolak segala pikiran bahwa satu anggota tubuh tidak berharga, karena dia tidak memiliki satu karunia tertentu (1Kor 12:12-20).
“The pers. To whom for with whom one is speaking.” Bauer, A greek English Lexicon of the Greek New Testament and Other Early Christian Literature (Chicago: University of Chicago Press, 1975), 464 32
Karunia Iman, Penyembuhan dan Karya Ajaib Dalam surat-suratnya, Paulus memiliki tiga karunia yang sering disambung dengan karya ajaib, yaitu iman, pi,stij (pistis), karunia-karunia penyembuhan, cari.smata i.amaton (kharismata iamaton) dan karya ajaib, evnergemata duna.mewn (energemata dunameon). Ketiga istilah ini akan diuraikan oleh penulis dalam pemaparan berikut ini.
Karunia Iman dan Kuasa Allah Dalam surat 1Korintus 13 dibicarakan tentang apa yang dapat disebut dengan karunia iman, pistij (pistis). Iman yang dibicarakan dalam ayat ini tidak cukup untuk seseorang selamat, meskipun ada tanda ajaibnya. Apa yang ingin disampaikan oleh rasul Paulus ialah bahwa “tanda ajaib” tidak boleh menjadi ukuran iman. Orang Kristen tidak boleh begitu terkesan oleh keberanian seorang martir atau pengorbanan atau mujizat ‘yang besar,’ agar jangan tanda semacam itu dijadikan bukti bahwa Allah yang bekerja. Sebenarnya dalam surat 1Korintus 13 “iman yang memindahkan gunung” dinyatakan tidak berguna kalau tidak disertai oleh kasih. Sebaliknya iman yang dicari dan iman yang menjadi contoh terdapat dalam ayat 13: Iman, pengharapan dan kasih. Istilah karunia iman paralel dengan istilah pengharapan yang merupakan istilah eskatologis. Hal ini dapat dihubungkan dengan masalah kekuatiran. Dalam Injil Matius jelas bahwa semua orang Kristen, tanpa terkecuali, tidak perlu kuatir tentang hari esok (Mat 6:25-34). Hal itu dibuat sebagian dari jemaat Tesalonika, dan Paulus cukup tegas menegur mereka (2Tes 3:11-12). Apa yang disampaikan oleh Yesus berlaku bagi orang-orang sederhana. Mereka tidak perlu kuatir akan hasil dari tanahnya, karena Tuhan tahu pergumulan mereka. Jadi, iman sebagai keyakinan akan kemahakuasaan Allah yang membuat mujizat tidak hanya diberikan kepada sebagian orang percaya, tetapi sebagaimana dalam Roma 4:17-20, hal yang sama juga adalah esensi dari perbedaan antara orang percaya sebagai anaknya Abraham dan orang yang tidak percaya.33
“For the faith as trust in the wonderworking omnipotence of God is not only given to some, but, as appears from Romans 4:17-20, also defines the essence of that which distinguishes every believer as a child of Abraham from unbelievers;” Ridderbos, Paul an Outline if …, 464 33
Karunia atau Hasil Anugerah Paulus mengatakan bahwa satu karunia dapat dimiliki, namun “kita mempunyai karunia yang berlainan” (Rm 12:6). Istilah mempunyai, e;contej (ekhontes) berbicara tentang sesuatu yang diberikan Allah untuk dimiliki dan dipakai. Hal yang sama nampak juga, ketika Paulus memberikan nasihat kepada Timotius: “Oleh karena itu kuperingatkanan engkau untuk mengobarkan karunia yang ada padamu oleh penumpangan tangan atasmu” (2Tim 1:7). Paulus memakai frasa o[ evstin evn soi (ho estin en soi) artinya yang ada didalam kamu, yang berarti karunia itu dilihat sebagai milik Timotius, meskipun sedang tidak (atau kurang) dipakai. Dua jalur ini dapat disatukan dalam istilah yang berhubungan dengan tiga istilah, yaitu: “karunia, pelayanan dan hasil kuasa” (1Kor 12:46). Karunia yang dimiliki diberikan untuk pelayanan dan berfungsi demi kuasa Tuhan, dan setiap orang memiliki paling tidak satu karunia (1Ptr 4:10). Kedua teks ini berbicara mengenai sesuatu yang diberi kepada setiap, e/kastoj (ekastos) orang (1Kor 12:7; 1Ptr 4:10). Jadi, karunia iman bukan merupakan kepintaran atau keahlian yang dikuasai sendiri oleh orang percaya. Karena pendapat ini dekat dengan masalah synergisme, yakni bahwa keselamatan merupakan hasil kerjasama Allah dan manusia. Oleh sebab itu, “iman bukanlah karya manusia, karena iman merupakan karya Allah di dalam dan bagi orang percaya.”
Karunia Penyembuhan dan Karunia Karya Ajaib Kedua karunia ini sebagaimana dengan semua karunia yang lain, berhubungan dengan iman. Dan dua karunia ini sifatnya sama, hanya obyeknya yang berbeda. Penyembuhan adalah salah satu macam karya ajaib. Kata penyembuhan memakai istilah i/ama (iama), dan perbuatan ajaib memakai kata e,ne.rgema (energema), kedua kata ini memakai akhiran ma (ma). Sama seperti istilah kharisma (anugerah), dua istilah ini menekankan karya Allah dalam karunia ini, yakni bahwa “penyembuhan dan mujizat merupakan hasil dari karya Allah.” Dua istilah tersebut hanya dipakai dalam pasal ini, dan tidak terdapat dalam bagian lain dari PB. Paulus sesudah mendaftarkan semua karunia, selanjutnya ia berkata: “Tetapi semua ini dikerjakan e[nergei (energei) oleh Roh yang satu dan sama yang membagikan kepada tiap-tiap orang sesuai apa yang dikehendaki-Nya.” Dari hal ini, maka nampaklah bahwa Allah yang bekerja dalam dua karunia ajaib ini. Harus ditekankan di sini bahwa masalah sakit penyakit tidak selalu terikat dengan dosa. Juga tidak mungkin untuk
mengatakan bahwa orang yang sakit kurang beriman. Hal ini tidak sesuai dengan Firman Tuhan.
Karunia Untuk Membedakan Roh Dalam 1Korintus 12:10 Paulus menjelaskan: “karunia untuk membedakan barmacam-macam roh.” Untuk menguji para roh adalah merupakan kehendak Roh Kudus: “dan yang lain menanggapi apa yang mereka katakan” (1Kor 14:28). Dalam terjemahan lama memakai kata ”dan yang lain-lain mengimbangkan kata-katanya.” Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan rasul Paulus dalau surat 1Tesalonika 5:20-21 yaitu: “Janganlah anggap rendah nubuat-nubuat. Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.” Dalam ayat ini jelas bahwa alamatnya umum, artinya bahwa semua orang Kristen diundang untuk menguji roh. Lenski menjelaskan: “Tentang ujian terhadap kata nubuat (bnd. 1Kor 14:29). Beberapa orang memiliki karunia bagi hal ini. Dasar yang harus dipakai terdapat dalam Roma 12:7, yakni analogi iman.” 34 Terutama dalam konteks pengajaran dan nubuat, bahwa roh harus dibedakan. Firman Tuhan memberikan banyak tanda yang menolong jemaat untuk membedakan Roh, yaitu pertama, kata “tanda ajaib” dan “nubuat,” meskipun dilakukan dalam nama Tuhan Yesus, tetapi tidak boleh dilihat sebagai bukti mutlak bahwa seseorang diutus oleh Allah (Mat 7:21-23; Mrk 13:22-23). Kedua, pengajaran yang sesuai dengan Firman Tuhan menjadi bukti seseorang diutus oleh Allah (Gal 1:6-8; 1Kor 14:37; 2Kor 11:4, bnd. 2Kor 11:13-14). Ketiga, setiap roh harus diuji apakah dia berasal dari Yesus. Tandanya pengakuan terhadap pribadi Yesus (2Kor 11:4; 1Yoh 2:22-23, 4:1-2). Keempat, seseorang yang sudah lahir baru, dapat berbalik dari kebenaran dan mengikuti setan (1Tim 4:1-2;35 Kol 2:18).36 Kelima, hidup seorang nabi atau seorang pengajar harus sesuai dengan pengajaranya (Tit 3:10-11; 1Tim 8:3-5, bnd. 4:2; Mat 7:15-17; 2Ptr 2:1-2). Dan keenam, kalau kita menemukan pengajar atau nabi palsu, tindakan yang diarahkan oleh “For the idea of testing prophesyings compare I Cor. 14:29. Some had a special gift for this, I Cor. 12:10. The rule to be applied is indicated in Rom. 12:7, the analogy of faith;” Lenski, Interpretation of First…, 361 35 “Tetapi Roh dengan tegas mengatakan bahwa di waktu-waktu kemudian, ada orang yang akan meninggalkan imannya (avposth,sontai, tinej th/j pi,stewj), lalu mengikuti roh-roh penyesat (terjemahan langsung dari bahasa asli). 36 “Jangan kamu biarkan orang merampas kemenangmu daripadamu” (terjemahan langsung dari bahasa asli). Kata “merampas kemenanganmu” dari kata katabrabeue,tw, artinya mengambil dari seseorang keselamatannya;” Lenski, Interpretation of First…, 361 34
Paulus jelas sekali. Lebih dulu orang tersebut dinasihati tiga kali, kemudian dia diusir dari jemaat sampai dia bertobat (Rm 16:6,17; 1Kor 5:11; 2Tes 3:6,14; Tit 3:10; 2Tim 3:5, bnd. Mat 18:15-17; Yak 5:18-20; 1Yoh 4:1,6).
Karunia-Karunia Lain Masih banyak karunia yang dapat dibahas sebenarnya. Penulis tidak memberi tempat untuk pembahasan yang begitu dalam kepada semuanya, ada beberapa yang masih belum dibahas antara lain: karunia Melayani (Rm 12:7); karunia Menasehati (Rm 12:8); karunia Memimpin (1Kor 12:28); karunia Penginjilan (Ef 4:4); karunia membagikan (Rm 12:8); karunia Menunjukkan Kemurahan (Rm 12:8). Kebanyakan karunia ini adalah karunia yang bersifat praktis, yang sebetulnya kelihatan sederhana. Sering orang tidak mau memperhatikan karunia seperti itu. Jarang ada orang yang minta kepada Tuhan supaya diberikan karunia melayani orang lain (1Kor 12:28; Rm 12:7). Kalau orang meminta karunia memimpin (1Kor 12:28) itu masih dapat dimengerti. Hal ini didasarkan kepada contoh dari Tuhan Yesus sendiri. Dia merelakan diri untuk melayani murid-murid-Nya secara jasmaniah. Melayani orang lain tidak dipuji dan tidak dilihat orang, tetapi Tuhan melihat apa yang dilakukan secara tersembunyi. Demikian juga karunia membagikan dan menunjukkan kemurahan (Rm 12:8). Karunia ini tidak tergantung kepada kekayaan dan kemiskinan seseorang. Sebetulnya bagi yang suka memberi yang menyenangkan Tuhan dan bukan apa yang diberikan. Sebab “Allah menyukai orang yang memberi dengan sukacita” (2Kor 9:7).
PENUTUP Pada bagian penutup ini menyajikan implikasi teologi Paulus tentang karunia-karunia roh bagi problematika pneumatologis di Gereja masa kini, yang meliputi: problematika pneumatologis yang terjadi di Gereja masa kini, implikasi teologi Paulus tentang karunia-karunia Roh baik secara teologis, ekklesiologis dan missiologis.
Problematika Pneumatologis Di Gereja Masa Kini Doktrin tentang Pneumatologi kembali hangat dibicarakan, bukan hanya dimonopoli oleh sekelompok Gereja tertentu, melainkan telah menjadi topik yang hangat dibahas oleh hampir seluruh Gereja di dunia ini,
termasuk Gereja-gereja di Indonesia. Menurut Lumintang, di kalangan Gereja-gereja Injili, terdapat banyak pandangan yang bukan hanya berbeda, melainkan bertentangan dengan, bermuara pada dua kutup polarisasi, yakni kutub neo Pentakosta dan kutub non-Pentakosta. Kutub neo-Pentakosta mengklaim, bahwa pemahaman dan pengalaman Pneumatologi mereka adalah: “Chirst centeredness, spirit-emppwered living, emotion finding expression, prayerfulness, joyfullness, every-heart involvement in the worship, every-member ministry in the body of Christ, missionary zeal, small group ministry, attitude toward church structures, communal living, generous giving.”37 Sedangkan kutub non Pentakosta memberikan tanggapan berupa keberatan-keberatan terhadap neo-pentakosta, dengan komentar: “elistism, sectarianism, emotionalism, anti-intelectualism, illuminism, charismania, super-supernaturalism, eudaemonism 38 (happiness), demon obsession, conformism.” Dari sekian banyaknya isu Pneumatologis yang dipermasalahkan, ada dua topik yang sangat menonjol baik yang pro maupun yang kontra yaitu isu baptisan Roh Kudus dan kepenuhan Roh Kudus. Bagi kubu non Pentakosta, isu baptisan Roh Kudus masih menjadi tanda tanya besar, sedangkan bagi kubu Neo Pentakosta dan aliran yang sejenis memiliki penafsiran dan konsep serta praktek yang berbeda berkenaan dengan baptisan Roh Kudus. Gerakan ini telah mempengaruhi banyak Gereja atau orang percaya karena tawaran yang menyentuh perasaan dan pembaharuan rohani disertai dengan adanya penemuan-penemuan baru mengenai kehadiran dan pekerjaan Roh Kudus seperti “jatuh atau rebah dalam roh, tertawa dalam roh, menangis dalam roh, tidur dalam roh dan lain-lain. Neo Pentakosta telah berusaha merumuskan arti baptisan Roh Kudus berdasarkan pengalaman orang dan mencari ayat-ayat Firman Tuhan untuk meneguhkan dan menjadikannya doktrin.39 Motivasi dari semua fenomena dan isu pneumatologis yang sedang hangat dibicarakan menjadi problematika Gereja masa kini adalah: “supaya menjadi orang rohani dengan karunia Roh Kudus, supaya masuk surga (second blessing), supaya hidup diberkati dengan berkelimpahan, supaya mengalami kesembuhan dan supaya luput dari bencana, sakit dan kerugian.”40 Lumintang juga menambahkan bahwa: Dalam penerapan ajaran ini, sebagian besar dari penganut Neo-Pentakosta mengharuskan dengan “memprogramkan” penerimaan Roh Kudus dalam suatu ibadah 37
Lumintang, Keunikan Thelogia Kristen..., 198 Ibid. 39 Ibid., 199 40 Ibid. 38
khusus dengan penumpangan tangan seorang pendeta, menjadi syarat karunia Roh Kudus, karunia bahasa lidah dianggap sebagai senjant untuk mengusir setan, serta dianggap sebagai syarat atau tanda penerimaan Roh Kudus. Oleh sebab itu, dalam upaya menyikapi problematika Pneumatologis di atas, penulis mengajak seluruh pembaca untuk “back to the Bible.”41 Alkitab adalah sumber berotoritas bagi orang percaya memahami pribadi dan karya Roh Kudus.
Implikasi Teologis Rasul Paulus menyatakan bahwa kepada setiap anggota jemaat, Allah telah memberikan karunia-karunia Roh Kudus; dimana masingmasing anggota jemaat menerima karunia Roh Kudus yang berbeda-beda, sesuai dengan kehendak-Nya. Dari segala karunia-karunia Roh Kudus yang Paulus sebutkan dalam bagian Firman Tuhan tersebut, di dalamnya tercantum juga karunia-karunia Roh Kudus yang bersifat spektakuler. Meskipun rasul Paulus tidak mengelompokkan semua karunia Roh Kudus yang bersifat spektakuler dalam satu kelompok tersendiri dan menyatakannya sebagai karunia-karunia yang hanya diberikan khusus untuk orang tertentu atau untuk para rasul. Melainkan rasul Paulus menyatakan bahwa semua karunia Roh Kudus tersebut diberikan kepada jemaat dan dibagi-bagikan kepada tiap-tiap anggota jemaat, sesuai dengan kehendak-Nya. Rasul Paulus juga menyatakan bahwa Allah sudah menetapkan beberapa orang dalam jemaat: Pertama sebagai rasul, kedua sebagai nabi, ketiga sebagai pengajar. Selanjutnya mereka yang mendapat karunia untuk mengadakan mujizat, untuk menyembuhkan, untuk melayani, untuk memimpin, dan untuk berkata-kata dalam bahasa roh. Rasul Paulus menjelaskan bahwa nubuat akan berakhir, bahasa roh akan berhenti dan pengetahuan akan lenyap. Karena pengetahuan kita tidak lengkap dan nubuat kita tidak sempurna. Tetapi maksud Paulus mengungkapkan hal tersebut, sebenarnya bukan untuk menyatakan bahwa karunia-karunia tersebut akan berakhir pada waktu berakhirnya zaman para rasul, tetapi untuk menunjukkan ketidaksempurnaannya karunia-karunia tersebut.42 Menurut Calvin: It begins, indeed, at death, for then we put off, along with the body, many infirmities; but it will not be completely 41
Lumintang, Keunikan Thelogia..., 200 G.A. Buttrick (ed), The Interpreter’s Dictionary of the Bible. Vol. A (Nashville: Abingdon Press, 1978), 189 42
manifested until the day of judgment, as we shall hear presently.43 Yang Paulus maksudkan dengan “yang sempurna” adalah berkaitan dengan kedatangan Kristus kedua kali, dimana setiap orang percaya akan melihat Dia muka dengan muka dan mengenal-Nya sebagaimana keadaan-Nya yang sebenarnya. Pada saat itu segala karunia-karunia Roh Kudus akan berakhir dan tidak dibutuhkan lagi. Sebab apa yang menjadi tujuan atau sasaran dari karunia-karunia Roh Kudus, telah menjadi suatu kenyataan dan disempurnakan di dalam persekutuan yang nyata muka dengan muka antara orang percaya atau jemaat dengan Kristus, pada waktu kedatangan-Nya kedua kali.44 Dengan demikian secara teologis karunia-karunia Roh Kudus yang Paulus sebutkan tetap berlangsung sampai saat ini.
Implikasi Ekklesiologis Alkitab memandang jemaat sebagai suatu badan yang tiap anggotanya penting untuk melaksanakan fungsi jemaat, dan yang mempunyai peranan yang penting demi kepentingan semua. Jika Gereja menyadari hakikat jemaat masa kini dan kewajiban semua orang Kristen untuk menggunakan berbagai karunia, maka jemaat-jemaat yang stagnan dapat dihidupkan kembali sementara setiap anggota berusaha memainkan peranannya dalam menguatkan persekutuan jemaat. 45 Penggunaan karuniakarunia Roh untuk menyembuhkan terhadap orang lumpuh mengakibatkan rangkaian persitiwa, yaitu meningkatkan jumlah keanggotaan orang Kristen di Yerusalem menjadi lima ribu orang dan membungkam perlawanan dari para pemimpin Yahudi. Karunia untuk membagi-bagikan dengan murah hati bertepatan dengan kuasa besar yang memungkinkan para rasul bersaksi tentang kebaktian. Penggunaan karunia berkata-kata dengan pengetahuan dalam menghadapi penipuan juga menimbulkan serangkaian peristiwa yang mencapai puncaknya dalam bertambahnya jumlah orang percaya, yang memperoleh berkat dari pelayanan jemaat.46 Penggunaan karunia-karunia roh hendaknya juga menghasilkan kesatuan yang lebih mendalam di dalam jemaat dan di antara semua kelompok Kristen. Perjanjian Baru berkali-kali menekankan bahwa inilah 43 Johanes Calvin, Calvin’s Commentaries, Vol. XX, I & II – Corinthians (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1979), 428 44 F.E. Gaebelein (Gen.ed), The Expositor’s Bible Commentary. Vol. X (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1982), 269 45 Bridge & Phypers, Karunia-Karunia Roh…, 170 46 Ibid..., 170
salah satu tujuan karunia-karunia Roh, yaitu bahwa orang-orang percaya yang memiliki karunia hendaknya bekerja dan bereaksi bersama-sama seperti halnya berbagai anggota tubuh kita (1Kor 12:12). Apabila anggotanaggota jemaat menyadari bahwa mereka saling bergantung, maka jemaat diikat menjadi kesatuan yang erat dalam persekutuan dan kasih. Apabila jemaat mengerti bahwa karunia mereka yang berbeda-beda mempunyai nilai yang sama di mata Allah, maka dengan lebih bergairah mereka bekerja sama demi kepentingan bersama. Penggunaan karunia-karunia Roh di dalam umat Kristen juga hendaknya membawa banyak orang untuk memasuki pengalaman kebaktian yang lebih mendalam. Dengan demikian jemaat-jemaat yang mengakui karunia-karunia Roh tidak perlu meniadakan bentuk-bentuk liturgi atau doa-doa tertentu yang menjadi kesukaan mereka, agar dapat menggunakan karunia karunia itu. Jemaat dapat menggunakan bentuk-bentuk kebaktian yang sudah ditetapkan maupun bentuk kebaktian yang spontan dan pertemuan mereka dapat diperkaya karenanya. Tetapi pada masa sekarang di Gereja-gereja yang tidak biasa dengan penggunaan karunia-karunia roh di dalam acara kebaktian, asalkan pertemuan semacam itu diadakan secara terbuka dan orang-orang yang menghadirinya tidak membentuk suatu kelompok suci atau menganggap diri mereka berada pada tingkat kerohanian yang lebih tinggi daripada kelompok lain, maka pertemuan itu tidak perlu menimbulkan kerugian. Dengan sendirinya kebaktian rumah tangga seperti itu hendaknya selalu diumumkan sebagai bagian dari program jemaat yang lazim dan dihadiri oleh gembala sidang. 47
Implikasi Misiologis Bagaimanapun penggunaan karunia menimbulkan minat terhadap berita Injil dan sangat memperkuat tuntunan-tuntutan Injil. Dalam 1Korintus 2:9-10 menyatakan bahwa “Tetapi seperti ada tertulis: “Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia.” Seringkali tantangan yang harus dihadapi adalah ketidakpercayaan yang militan. Seperti halnya di jemaat Korintus, masa kini juga pengikutpengikut Kristus dikelilingi oleh orang-orang bukan Kristen yang dibingungkan oleh perpecahan di antara umat Kristen dan yang tidak terkesan oleh pengakuan mereka bahwa kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati mereka (Rm 5:5). Di dalam jemaat sendiri terdapat orang-orang 47
Bridge & Phypers, Karunia-Karunia Roh…, 174
yang meniadakan unsur-unsur supranatural dari dalam Injil. Kabar baik dirumuskan sehubungan dengan perbuatan sosial. Persekutuan dengan Allah hanya sekedar ungkapan untuk menyatakan kerukunan hidup di antara manusia. Doa adalah semata-mata pembicaraan tentang kenyataan. Seolah-olah tujuan jemaat ialah supaya tidak kelihatan.74 Di banyak bagian belahan dunia dewasa ini penganiayaan besarbesaran secara teroganisir dilancarkan terhadap Gereja. Jumlah orang Kristen yang mati syahid selama abad ke-21 sama besarnya dengan jumlah para syahid yang mati selama konflik dengan kekaisaran Romawi selama tiga ratus tahun. Kekuatan-kekuatan animisme yang dinyatakan secara menonjol dan agama-gama lama yang muncul kembali diwarnai daya pesona duniawi yang sifatnya melawan. Maka pertanyaannya adalah: pada masa yang penuh tuntutan seperti sekarang ini, apakah Allah sedang menanggulangi keadaan dengan menguatkan umat-Nya akan warisan rohani yang mereka miliki? Mungkinkah kebanyakan orang Kristen tidak mempertimbangkan kesediaan Kristus yang adalah kepala Gereja untuk memberikan karunia-karunia Roh kepada orang demi penguatan, pembinaan dan perluasan umat-Nya? Jika memang demikian halnya, dan munculnya kembali karuniakarunia Roh yang sudah lama diabaikan itu merupakan bagian daripada rencana Allah dan pertimbangan semacam itu, maka jelaslah bahwa karunia-karunia Roh sangat relevan untuk masa kini. Ada keperluan yang mendesak akan adanya Gereja yang dikerahkan untuk memberitakan Injil selagi masih ada waktu dan kesempatan. Ada keperluan yang mendesak akan adanya kesaksian yang kuat untuk meyakinkan yang bimbang dan membungkam yang bersifat memusuhi. Kelompok-kelompok Kristen harus diikat bersama oleh kasih dan bekerja sama saling mempercayai, Gereja harus menggunakan segala karunia yang telah diberikan Allah kepada jemaat-Nya dengan tertib dan teratur.
74
Bridge & Phypers, Karunia-Karunia Roh…, 175
INTEGRASI TEOLOGI DAN PSIKOLOGI DALAM PELAYANAN PASTORAL KONSELING KRISTEN SHERLY MUDAK
PENDAHULUAN Dalam sejarah integrasi teologi dan psikologi, beberapa teolog Kristen menolak upaya ini. Alasan penolakan mereka antara lain: pertama, ada yang menganggap bahwa sistem nilai Kristen dan non-Kristen berbeda. Kedua, ilmu psikologi dianggap sebagai ilmu pengetahuan, sedangkan ilmu teologi dianggap sebagai filosofi sistem keagamaan. Jadi, dua bidang yang sangat berbeda ini tidak mungkin diintegrasikan. Anggapan yang lebih radikal adalah psikologi ditemukan oleh orang-orang non-Kristen bahkan anti-Tuhan, oleh karena itu, menurut psikologi tidak layak diintegrasikan dengan teologi. Asumsi lainnya adalah psikologi didasarkan pada pikiran manusia dan bertentangan dengan Alkitab. Jadi, orang Kristen cukup menyelesaikan masalah emosinya dengan berdoa dan baca Alkitab saja. Topik Integrasi Teologi dan Psikologi, mempresentasikan bagaimana membawa kebenaran Allah, dari segala bidang yang diciptakan-Nya, untuk menunjang karya-Nya atas umat manusia yang dikasihi-Nya.
PENGERTIAN ISTILAH Sebelum membahas lebih jauh, maka penulis terlebih dahulu akan menjelaskan apa yang dimaksud dengan integrasi teologi dan psikologi. Integrasi, pada Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna pengertian pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat.1 James Widodo mendefinisikan integrasi sebagai suatu sinergi antara beberapa disiplin ilmu yang berlainan tanpa menghilangkan ciri ilmu masing-masing. Beberapa disiplin ilmu yang berlainan tersebut bersifat saling melengkapi untuk 1
Departemen Pendidikan & Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 335
memberikan world view yang lebih luas sehingga dapat memberikan pemahaman yang lebih utuh dalam melihat suatu fenomena. 2 Jadi, dalam konteks konseling, integrasi diartikan sebagai pembauran antara theologia dan psikologi hingga menjadi satu kesatuan yang utuh atau bulat tanpa menghilangkan ciri ilmu masing-masing. Theologia, dari kata Yunani, yaitu theos yang berarti “Tuhan”, dan logos, berarti “kata, wejangan, ajaran.”3 Webster mengartikan kata theology sebagai, “Studi tentang doktrin-doktrin agama dan hal-hal keilahian: lebih spesifik, studi tentang Tuhan dan hubungan antara Tuhan, umat manusia, dan alam semesta.”4 Sedangkan menurut Lorens Bagus, Theologia berarti “ilmu tentang hubungan dunia ilahi (atau ideal, atau kekal tak berubah) dengan dunia fisik.”5 Jadi, istilah theologia artinya suatu pernyataan atau interpretasi kebenaran tentang Allah dan ciptaan-Nya. Psikologi, berasal dari kata psyche yang berarti pikiran dan logos yang memiliki arti ilmu yaitu ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia yang dapat diamati (observerable).5 Istilah perilaku atau tingkah laku digunakan dalam arti luas untuk memasukkan segala sesuatu yang manusia atau hewan bisa melakukannya.6 Tingkah laku ini kadangkala sifatnya terbuka atau umum, kadangkala tersembunyi, samar-samar.7 Dari pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Psikologi merupakan sebuah bidang ilmu yang mempelajari dan mengamati tingkah laku manusia yang terbuka maupun tersembunyi. Usaha untuk mengintegrasikan theologia Kristen dengan ilmu psikologi banyak mendapat kecaman atau tantangan. Orang Kristen telah bereaksi dalam berbagai cara untuk munculnya psikologi modern, namun beberapa telah menyambut dengan tangan terentang. Bagi mereka, wawasan psikologi adalah sekutu besar untuk Gereja karena membawa misinya di dunia. Lainnya menolak psikologi karena mereka melihat di 2 James Widodo, Konseling Dalam Pelayanan Geraja Masa Kini, http://www.mail.archive.com/, (diakses, 25 Spetember 2007) 3 Henry C. Thiesen, Teologi Sistematika (Malang: Gandum Mas, 2000), 2 4 Agnes (Ed), Webster’s New World, College Dictionary. Four Edition (Foster City: IDG Books Worldwide, Inc, 2000), 1651 5 Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum, 1996), 1090 6 Semua ilmu psikologi yang murni lahir dari pengamatan dan pengujian (riset empiris) atas tingkah laku manusia yang memang dapat diamati; (Yakub Susabda, Menjadi Konselor Yang Profesional (Yogyakarta: Yayasan ANDI, 2007), 10 7 Ronald E. Smith, Irwin G. Sarason, Psychology The frontier Of Behavior (New York: Harper & Row Publisher, 1986), 4
dalamnya ancaman implisit untuk Gereja dan otoritas Alkitab. 8 Hal ini mengindikasikan bahwa ada pihak yang menerima integrasi theologia dan psikologi dengan tangan terbuka, namun ada juga yang tidak menerima integrasi ini dengan anggapan bahwa keberadaan psikologi akan mengancam Gereja dan otoritas Firman Tuhan. MacArthur dan Mack mengutip pernyataan Bobgan yang menyatakan bahwa psikologi tidak lagi berbicara tentang mempelajari jiwa manusia; melainkan merupakan sekumpulan terapi dan teori yang berlainan, yang pada dasarnya bersifat manusiawi. Semua persangkaan dan sebagian besar doktrin psikologi tidak berhasil disatukan dengan kebenaran Kristen.9 Jadi, menurut MacArthur dan Mack, masuknya psikologi ke dalam ajaran Gereja telah mengaburkan garis yang membatasi pengubahan tingkah laku dengan pengudusan. Dengan tegas ditulis dalam buku Pengantar Konseling Alkitabiah bahwa “jalan menuju keutuhan adalah jalan pengudusan spiritual. Apakah kita akan berlaku dungu dengan berpaling dari Tuhan sebagai sumber air kehidupan itu, dan beralih pada hikmat dunia yang sensual dengan menggenangnya air behaviorisme?” 10 Di dalam artikel yang berjudul The Bible and Psychology-Oil and Water That Don’t Mix yang ditulis oleh G. Harry Leafe, psikologi dianggap sebagai suatu system berpikir yang jika diintegrasikan dengan Firman Allah merupakan penghinaan.11 Jay E. Adams adalah seorang konselor yang dengan sangat berapi-api menentang integrasi. Dengan sangat serius, Adams mempertanyakan legitimasi terhadap psikiatris, 12 yang merampas pekerjaan para pengkhotbah dan dalam kesibukannya mencoba untuk mengubah sikap dan nilai manusia ke dalam cara atau tingkah laku yang tidak baik.13 Menurut Adams, seperti yang dikutip oleh Gary A. Collins, “dengan mempelajari firman Allah dengan hati-hati dan mengamati bagaimana prinsip-prinsip Alkitab menggambarkan orang yang Anda nasihat ... Anda dapat memperoleh semua informasi dan pengalaman yang Anda butuhkan untuk menjadi kompeten, percaya diri konselor Kristen 8
Carter & Narramore, The Integration..., 11 John F. MacArthur, Jr., Wayne A. Meck, Pengantar Konseling Alkitabiah (Malang: Gandum Mas, 2002), 27 10 Ibid. 11 Are we to suggest that such system of thought shoul be integrated” with the Word of God? The very thought of such an idea is blasphemeous!” G. Harry Leafe, The Bible and Psychology-Oil and Water That Don’t Mix Internet (diakses 25 Sepetember 2007), 1 12 Bnd. Gary Garner, The Christian Faith and its Relevance to Counseling, Internet (diakses, 3 Agustus 2007 ), 11 13 Bnd. Collins, Christian Counseling..., 18 9
tanpa studi psikologi.”14 Jadi, dalam hal ini Adams tidak menyetujui theologia dan psikologi diintegrasikan dalam pelayanan pastoral konseling Kristen. Adams berpendapat bahwa hanya dengan prinsip-prinsip Alkitab juga kepercayaan diri konselor saja sudah cukup memadai dalam mengkonseling dan tidak perlu studi psikologi.
KEBERDOSAAN MANUSIA Gambar Allah dalam diri manusia telah diselewengkan setelah kejatuhan. Gambar Allah mengalami malfungsi, tetapi tetap ada. Hilangnya gambar Allah dalam pengertian fungsional mempresaposisikan bertahannya gambar Allah dalam pengertian struktural.15 Kejatuhan manusia dalam dosa tidak menghancurkan kemanusiaan seseorang, meskipun kemampuan manusia untuk merefleksikan kekudusan Allah telah hilang tetapi manusia tetaplah manusia. H. Bavinck dan E. Brunner menyatakan bahwa, dosa meniadakan gambar Allah dalam arti yang lebih sempit atau material, manusia masih memiliki gambar Allah dalam arti yang lebih luas atau yang formal, yaitu bahwa manusia masih memiliki akal, kehendak, atau masih memiliki humanitas/peri kemanusiaan.16 Dosa adalah faktor penghalang yang besar. Menurut Plaisier, “Dosa menempatkan diri manusia di antara ‘ada’ dan ‘menjadi.’ Dosa ialah: manusia mau ‘menjadi’ apa yang ia tidak ‘ada.’”17 Jadi, sebagai orang yang telah berdosa, manusia menjadi makhluk yang tidak sesuai dengan keasliannya yaitu sebagai gambar Allah yang sempurna. Manusia yang telah jatuh dalam dosa tetap menyandang gambar Allah, dan karenanya harus dipahami bahwa gambar Allah merupakan 14
Ibid. Gambar Allah meliputi struktur maupun fungsi karena gambar Allah mencakup keseluruhan pribadi. Manusia tidak bisa berfungsi tanpa adanya struktur tertentu. Seekor elang, misalnya, melintasi udara dengan cara terbang ini adalah salah satu fungsinya. Akan tetapi, elang takkan bisa terbang jika tidak memiliki sayap–salah satu strukturnya. Manusia juga diciptakan untuk melakukan fungsi-fungsi tertentu: menyembah Alah, mengasihi sesama, berkuasa atas alam, dan seterusnya. Tetapi semua fungsi itu takkan bisa kita lakukan jika Allah tidak mengaruniakan kapasitas-kapasitas struktural tertentu yang memampukan manusia untuk itu. Jadi, ketika memikirkan manusia sebagai gambar Allah, struktur dan fungsi sama-sama terlibat. Para theolog awal berkata bahwa gambar Allah di dalam diri manusia terutama terletak di dalam kapasitas strukturalnya (manusia memiliki rasio, moralitas, dan sebagainya); bnd. Anthony A. Hoekema, Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah (Surabaya: Momentum, 2003), 88-89 16 Bd. Harun Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2005), 204 17 Arie Jan Plaisier, Manusia Gambar Allah: Terobosan-terobosan dalam Bidang Antropologi Kristen (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2002), 79 15
aspek yang tak mungkin hilang dari manusia, bagian esensi dan eksisitensinya tidak hilang, namun gambar Allah harus dipahami sebagai keserupaan dengan Allah yang telah diselewengkan ketika manusia jatuh ke dalam dosa. Pengampunan dosa yang telah dilakukan oleh Yesus Kristus memungkinkan terjadinya rekonsiliasi antara manusia dengan Allah. Ketika Kitab Suci menyatakan bahwa kebenaran melalui iman, pandangan manusia dialihkan dari perbuatannya sendiri supaya manusia bersandar semata-mata pada kemurahan Allah (Rm 3:23-24). Dosa menyebabkan manusia terpisah dari Allah, dan akan tetap menjadi musuh Allah sampai ia dipulihkan di dalam anugerah melalui kebenaran Kristus (1Tim 1:15). Orang tersebut diterima ke dalam persekutuan dengan-Nya (1Kor 1:9), dibenarkan olehNya (Rm 5:1), yang terus-menerus dipulihkan dan diperbaharui dalam proses pengudusan (Kol 3:10). PANDANGAN PARA AHLI INTEGRASI TEOLOGI DAN PSIKOLOGI Manusia sebagai gambar Allah yang telah jatuh ke dalam dosa mengalami banyak perubahan dari berbagai segi, yang tentunya memiliki keterpecahan baik di dalam dimensi psikis maupun spiritualnya. 18 Hal inilah yang memungkinkan pengintegrasian antara teologi dan psikologi dalam menangani masalah psikhis dan rohani konseli. Karena dengan mengintegrasikan teologi dan psikologi, konseli dapat ditolong untuk memperbaiki pengertian akan keberadaan dirinya dan penerimaan diri. Psikologi melakukan observasi berupa penelitian atau pertanyaan dan memberikan data yang berkaitan dengan pemahaman teologis tentang manusia, dan teologi mengungkapkan kebenaran ilahi mengenai psikologi perkembangan manusia.19 Integrasi adalah proses dimana dua atau lebih disiplin ilmu dengan tetap mempertahankan identitas mereka sendiri sekaligus memetik manfaat dari sudut pandang masing-masing dan mengkomunikasikan kebenaran yang sama.20 Jadi, integrasi teologi dan psikologi perlu dan dapat digunakan, dimana kedua disiplin ilmu tersebut dapat mempertahankan identitasnya sambil menarik manfaat dari perspektif 18 Shinichi Tamagi, Fragmentation And Integration: A Thought On Bases For Artistic Expression; Artikel, 190-191 19 John D. Carter dan Bruce Narramore, The Integration Of Psychology and Theology (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1980), 20 20 Kirk E. Farnsworth, Whole Hearted Integration (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1985), 11
masing-masing dalam mengkomunikasikannya demi memperoleh dan memberikan suatu pandangan atau pengertian yang baru dan komprehensif. Integrasi antara teologi dan psikologi dalam pelayanan konseling Kristen adalah sangat baik yakni untuk menolong pribadi yang mengalami masalah (konseli) guna menghadapi masalah yang dihadapi. Firman Allah memiliki relevansi besar dan abadi untuk konselor atau konselinya, tetapi tidak mengklaim untuk menjadi dan juga bukan dimaksudkan untuk menjadi wahyu Allah satu-satunya dalam menolong manusia. Dalam dunia kedokteran, juga menolong umat manusia, manusia telah diizinkan untuk belajar banyak tentang ciptaan Allah melalui ilmu pengetahuan dan studi akademis. Mengapa, kemudian, psikologi ketika akan dipilih sebagai salah satu bidang yang memiliki kontribusi pada pekerjaan konselor atau dunia konseling ditolak?21 Berkenaan dengan ini, dikemukakan oleh Susabda: “Memang kita tidak perlu terlalu naïf dan percaya bahwa setiap masalah hidup manusia adalah masalah dosa (spiritual), tetapi kita harus mengakui bahwa kebutuhan manusia yang terdalam selalu bersangkut paut dengan penyelesaian masalah dosa (spiritual).” 22 Hal ini mendukung pernyataan John H. Stoll dalam artikelnya mengenai The Bible and Psychology, bahwa “psikologi dapat menyediakan alat-alat yang disediakan oleh Tuhan untuk menembus lebih efisien, dan melarutkan pertahanan yang digunakan orang untuk mengisolasi diri dari kebenaran Alkitab, dan dari sesama mereka. 23 Untuk mengetahui dan memahami masalah dosa konseli, seorang konselor perlu memahami permasalahan secara psikis yang dialami oleh konseli. Hal ini merupakan suatu keistimewaan bagi konselor-konselor Kristen. Pendekatan Pastoral Konseling mempunyai skop yang jauh lebih luas jikalau dibandingkan dengan skop pelayanan konseling dari konselorkonselor lainnya, bukan karena availabilitas dan keunikan posisi hamba Tuhan di tengah jemaatnya saja tetapi juga disebabkan oleh karena nature dari pelayanan Pastoral Konseling yang menempatkan dimensi spiritual sebagai inti dasar pendekatan setiap masalah hidup manusia.
21 Gary R. Collins, Christian counseling A Comprehensive Guide (Waco: Word Books, 1982), 19 22 Yakub B. Susabda, Pastoral Konseling. Jilid 2 (Malang: Gandum Mas, 1986), 5 23 John H. Stoll, The Bible and Psychology, http:// leaderu. Com/ offices/ stoll/ psychology.html: (diakses, 25 September 2007), no.pp.
PERBEDAAN MENDASAR ANTARA TEOLOGI DAN PSIKOLOGI Untuk lebih memudahkan memahami perbedaan yang mendasar antara teologi dan psikologi dapat dilihat dalam beberapa aspek:24
Berpusat Pada Allah Fokus teologi Kristen adalah berpusat pada Allah (God-centered), sedangkan psikologi berpusat pada manusia (man-centered). Alkitab mengajarkan tentang tujuan hidup manusia adalah untuk memuliakan Allah. Oleh karena itu, segala sesuatunya harus ditaklukkan oleh seseorang untuk mencapai tujuan tersebut. Psikologi yang didasarkan pada mancentered, mempunyai tujuan untuk mencapai kebahagiaan individual.
Natur Manusia Teologi Kristen mengajarkan bahwa natur manusia adalah berdosa. Alkitab menyatakan bahwa, “karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Rm 3:23). Lebih lanjut ditegaskan oleh Sproul bahwa, “Sebenarnya umat manusia waktu hadir di dalam dunia ini sudah dalam keadaan berdosa. Semua manusia dilihat sebagai orang berdosa oleh Allah.”25 Sedangkan psikologi mengajarkan bahwa natur manusia pada dasarnya adalah baik, atau setidaknya netral. Alasan sesungguhnya manusia bertingkah laku salah adalah karena tekanan dari luar dirinya.26 Kebanyakan pemikiran psikologis percaya bahwa pada dasarnya manusia itu baik dan melalui upayanya sendiri diri manusia dapat meningkatkan kehidupan tanpa Allah. Psikologi juga mengajarkan bahwa manusia adalah korban dari masa lalunya dan masalah itu berasal dari orang-orang dan lingkungan yang negatif mempengaruhi manusia di masa
24
Steven J. Cole, How John Calvin Led Me to Repent of Christian Psychology, http://www.freerepublic.com, (diakses, 30 Januari 2008) 25 R.C. Sproul, Kebenaran-kebenaran Dasar Iman Kristen (Malang: SAAT, 1997), 194 26 Psychology theaches that human nature is basically good, or at least neutral. The only reason that people misbehave is because of outside forces (such as society or parents) that harm them. www.svchapel. Org/ assets/ docs/ theologylessons/ christian_and_psychology.pdf, (diakses, 18 Januari 2008)
lalu.27 Dengan kata lain psikologi tidak mengakui natur manusia sebagai orang berdosa tetapi setiap masalah yang dialami oleh seseorang pada masa sekarang ini adalah akibat dari kesalahan yang dialaminya pada masa lalu. Nilai Mengenai nilai, Alkitab mengajarkan mengenai ke-absolut-an. Sutjipto Subeno menyatakan, kebenaran sejati bersumber dari Allah sendiri. Manusia bukanlah sumber kebenaran, karena manusia sendiri masih mencari kebenaran, dan manusia sendiri sadar bahwa tingkat pengetahuan kebenarannya tidaklah absolut.28 Sedangkan psikologi mengajarkan tentang relatif.29 Sesuatu yang dipandang baik oleh seseorang, belum tentu dilihat baik juga oleh orang lain. Dalam mencari kebenaran, haruslah kembali kepada Allah sendiri, yang menjadi sumber kebenaran dan diri-Nya sendiri adalah kebenaran (Yoh 14:6). Sumber Jawaban Sumber jawaban dalam ilmu psikologi adalah di dalam diri individu itu sendiri. Tugas dari seorang konselor hanyalah menolong konseli untuk menemukan jawabannya. Sedangkan orang Kristen percaya bahwa jawaban-jawaban dalam hidup ini terdapat di dalam Fiman Tuhan yang telah dinyatakan oleh Allah. Berkaitan dengan ini, Subeno menulis, Allah mewahyukan kebenaran di dalam Alkitab. Allah menyatakan kebenaranNya kepada manusia melalui firman-Nya, yaitu Alkitab. Inilah yang ditekankan dengan proklamasi: Sola Scriptura (Hanya Alkitab Saja). 30 Dengan demikian, maka seluruh kebenaran harus didasarkan pada Alkitab.
Metode Sebagaimana pengertian psikologi mengenai natur manusia di atas, maka psikologi mengajarkan bahwa kunci dari masalah pribadi yang
27 Debbie O’Hara, Christianity Versus Psychology, http://newswithviews/ Ohara/ debbie16.htm, (diakses, 29 Januari 2008) 28 Sutjipto Subeno, Presuposisi Teologi: Sistematika, Edisi: 035/I/2003. 29 Steven J. Cole, How John Calvin Led Me to Repent of Christian Psychology, http://www.freerepublic.com 30 Subeno, Ibid.
dialami oleh tiap individu terdapat pada masa lampau (past).31 Dibandingkan dengan apa yang dinyatakan di dalam Alkitab, Alkitab selalu memperhadapkan manusia dengan apa yang terjadi pada masa lampau, yaitu manusia berdosa, masa sekarang ini, sebagai manusia yang telah diselamatkan dan juga memperhadapkan manusia pada masa yang akan datang, yakni kehidupan kekal bersama Kristus di Surga.
ILMU PENGETAHUAN SEBAGAI PENYATAAN UMUM ALLAH Kedaulatan Allah yang mutlak dan wahyu-Nya yang penuh hikmat bukan saja menetapkan, tapi juga memberikan inspirasi dan menggerakkan manusia untuk menyembah-Nya. Dengan inisiatif-Nya sendiri, Allah memberikan inspirasi yang berdasarkan kedaulatan-Nya untuk menyatakan hikmat Allah kepada manusia. Wahyu umum diberikan kepada manusia dan manusia memberikan respon karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat memberi respon kepada Allah. Menurut Stephen Tong, respon terhadap wahyu umum Allah membuat manusia menemukan tiga jenis kewajiban yang harus dipenuhi yaitu transcending nature, mengatur diri sendiri, dan beribadah kepada Allah.32 Penyataan umum memiliki pengertian penyataan diri Allah (self-disclosure) melalui ciptaan-Nya kepada umat manusia di muka bumi ini sepanjang waktu dan sejarah dengan penuh kuasa dan hikmat ilahi.33 Hal ini juga nyata di dalam nyanyian Daud di dalam Mazmur 19:2, “Langit menceritakan kemuliaan Allah dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya.” Manusia dalam segala keterbatasannya tidak akan dapat menghampiri bahkan mengenal 31
Bd. www.svchapel.org/assets/docs/theologylessons/ (diakses, 29 Januari 2008) Respon terhadap wahyu umum Allah membuat manusia menemukan tiga jenis kewajiban yang harus dia penuhi.1) Kewajiban karena keberadaanku, keberadaan trancending nature, yaitu keberadaan untuk menopang alam. Jadi bukan hanya sekedar mengontrol alam dan mengatur alam saja, tapi juga memperbaiki alam...2) Respon terhadap wahyu umum Allah adalah bagaimana mengurus diri kita sendiri. Bagaimana kita mampu melimitasi dirisehingga kita bisa menjadi manusia yang bertanggung jawab, baik terhadap alam, diri sendiri, orang lain dan Allah. Mengatur diri sendiri berada di atas hal mengatur alam. 3) Karena kuasa mengatur alam dan diri sendiri inilah maka timbullah respon beribadah dan takut kepada Allah; Stephen Tong, Dosa dan Kebudayaan (Jakarta: LRII, 1997), 20 33 Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka. Sebab apa yang tidak nampak dari padaNya,yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih (Rm 1:19-20). 32
Allah pencipta yang kudus, untuk itu Allah sendiri yang berinisiatif untuk menyatakan diri-Nya kepada manusia. Satu-satunya cara untuk mengenalNya adalah melalui wahyu. Tidak ada manusia yang bisa melihat-Nya kecuali DIA sendiri menyingkapkan dan menyatakan diri-Nya kepada kita. Pengertian mengenai penyataan umum diartikan oleh Bruce Demarest and Gordon Lewis, “Wahyu Umum, dimediasi melalui alam, hati nurani, dan sejarah, secara tradisional telah dipahami sebagai saksi universal untuk keberadaan Allah dan karakter-Nya”34 Selanjutnya dinyatakan bahwa, Pengungkapan Allah nyata di alam semesta, dalam sejarah, dan hukum moral di dalam hati, dimana semua orang sepanjang waktu dan tempat mendapatkan pemahaman dasar mengenai Pencipta dan tuntutan moralnya.35 Dengan demikian, selain melalui perbuatan Allah dalam alam semesta dan sejarah, Allah menyatakan diri pula kepada manusia melalui hati nurani atau suara hati manusia seperti yang dinyatakan oleh rasul Paulus di dalam Roma 2:14-15.36
INTEGRASI TEOLOGI DAN PSIKOLOGI Setelah menguraikan mengenai ilmu pengetahuan umum sebagai penyataan umum Allah kepada manusia, maka di bawah ini penulis akan memaparkan mengenai integrasi antara teologi dan psikologi.
Perbandingan Teologi dan Psikologi yang Potensial
Menurut Meier dan Minirth, antipati orang-orang Kristen terhadap psikologi merupakan hasil kesukaran dalam mendefinisikan secara tepat di mana psikologi secara disiplin ilmu dimulai dan di mana harus berakhir.37 34
B.A. Demarest, General Revelation: Historical Views and Contemporary Issues, (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1982), 14 35 B.A. Demarest and G.R.Lewis, Integrative Theology: Knowing Ultimate Reality, the Living God. Vol. 3 (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1987), 61 36 Apabila bangsa-bangsa yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka, walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri. Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela (Rm 2:14-15), …., Alkitab (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2006) 37 Paul D. Meier, Frank B. Minirth, Pengantar Psikologi dan Konseling Kristen (Yogyakarta: ANDI, 2004), 18
Namun, melalui tabel di bawah ini dapat dilihat perbandingan yang potensial dan dapat dipakai sebagai pendekatan di antara kedua ilmu ini. Wilayah Perbandingan Yang Potensial dan Kompatibilitas Teologi Dosa
Psikologi Psikologi Abnormal
Contoh Peck 1983
Keselamatan dan Pertumbuhan Psikologi Perkembangan Rohani
Darling 1969; Benner 1988
Gereja
Psikologi Sosial
Bolt and Myers 1984; Griffin 1982
Malaikat
Parapsikologi
Koteskey 1980
Kristus dan Roh Kudus
Psikologi Konseling
McKenna 1977; Gilbert & Brock 1985
Karakter Manusia
Personaliti
Burke 1967
Hal-hal yang Muncul
Psikologi Perilaku
Bufford 1981
Sumber: Diadaptasi dari Carter dan Mohline 1976; Collins 1981; Meier dan Minirth 2004
Cakupan ilmu teologi dan psikologi yang luas membuat sulit untuk memfokuskan diri pada satu titik temu tetapi melalui tabel tersebut di atas dapat dilihat bahwa baik teologi maupun psikologi dapat diintegrasikan demi mengembangkan pelayanan konseling Kristen.
Cara Penerapan Integrasi
Carter dan Narramore menyarankan empat cara penerapan integrasi 38 untuk menghubungkan teologi Kristen dan psikologi. Adapun keempat model integrasi tersebut adalah sebagai berikut.
The Against Model
38
John D. Carter and Bruce Narramore, The Integration Of Psychology and Theology (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1978),73
Model ini merupakan posisi kekristenan melawan posisi psikologi 39 dan dibangun berdasarkan asumsi bahwa ada konflik yang tak dapat diselesaikan antara psikologi dan kekristenan.40 Yang berpihak pada posisi kekristenan melawan psikologi tidak melihat nilai psikologi sehingga mengurangi semua masalah hanya dalam arena rohani. 41 Mendukung hal ini, Benner menyatakan bahwa, pengurangan nilai rohani semacam ini membuat psikoterapi bertentangan dengan tujuan Allah. 42
The Of Model Pada bagian ini psikologi dianggap memiliki jawaban-jawaban sementara kekristenan dipandang sebagai sesuatu yang tidak penting atau bahkan merusak kehidupan yang sehat.43 Freud menekankan bahwa kekristenan bersifat patologis (penyakit).44 Menurut Minirth dan Meier, baik The Against Model maupun The Of Model sama-sama terlalu menyerdehanakan masalah dengan mengurangi segala sesuatu pada satu sudut pandang.45
The Parallels Model Pada model ini, baik teologi maupun psikologi adalah dua ilmu yang terpisah namun sejajar untuk menemukan kebenaran. 46 Menurut Benner, sifat dualistik pemisahan ini berlawanan dengan Alkitab. 47
The Integration Model Model pendekatan terakhir ini adalah psikologi berintegrasi dengan kekristenan. Menurut Carter dan Narramore, model integrasi ini berakar pada asumsi bahwa Allah adalah pencipta seluruh kebenaran.48 39
Meier dan Minirth, Pengantar Psikologi..., 12-13 Carter and Narramore, The Integration Of..., 73 41 Meier dan Minirth, Ibid., 12-13 42 D. Benner, Psychotherapy and the Spiritual Quest (Grand Rapids, Michigan: Baker, 1988), 44 43 Meier dan Minirth, Ibid., 13 44 Benner, Psychotherapy..., 47- 48 45 Meier dan Minirth, Ibid.,13 46 Carter and Narramore, The Integration Of ..., 94 47 Benner, Ibid., 41 40
Setiap model yang di atas, memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Model integrasi dari Carter dan Narramore, baik Against dan Of tidak memiliki keuntungan apa pun karena masing-masing bertahan dengan prinsipnya, dan model parallels mempunyai beberapa kekuatan dasar tapi terbatas karena keduanya bergerak pada rel masing-masing tanpa bersinggungan. Hanya model integration yang cukup lengkap karena kedua ilmu yang pada dasarnya bertolak belakang ini dapat diintegrasikan, asalkan tidak bertentangan atau sesuai dengan prinsip Alkitab karena iman Kristen bukan iman yang self-centered atau human-centered tetapi iman yang dibangun di atas dasar Alkitab dan Kristus atau Christ-centered. Cara Mengintegrasikan Iman Kristen dan Ilmu Pengetahuan Sesudah menguraikan mengenai cara penerapan integrasi, maka penulis akan memaparkan enam cara pendekatan integrasi teologi dan psikologi sesuai dengan pendapat para ahli konselor Kristen. 49
Expanded Empiricism Mengakui bahwa semua kebenaran adalah kebenaran Allah. Kebenaran dalam dunia psikologi adalah kebenaran Allah, asalkan tidak bertentangan dengan kebenaran Allah yang tertera di dalam Alkitab. Alkitab adalah kebenaran yang menyelamatkan, sedangkan kebenaran yang ditemukan di dalam dan melalui ilmu pengetahuan adalah kebenarankebenaran yang melengkapi kebutuhan orang percaya yang kontekstual. 50 Diterminism and Free Will Alkitab tidak menyembunyikam fakta mengajarkan dengan sangat jelas bahwa di satu pihak Allah adalah Allah dan yang berdaulat, mahatahu, dan berencana yang menentukan segala sesuatu, namun di pihak lain, Ia juga memberikan kebebasan kepada manusia yang terikat pada diri-Nya.51
48 Integration model is rooted in the assumption that God is the author of all truth; Carter and Narramore, Ibid., 103 49 Bnd. Yakub Susabda, Pastoral Konseling. I (Malang: Gandum Mas, 2006), 94 50 Bnd. Ibid. 51 Ibid., 95
Biblical Absolutism Alkitab menyediakan dasar/prinsip-pinsip semua kasus.52 Memang Alkitab bukanlah buku ilmu pengetahuan, karenanya ada fakta di mana dalam hal-hal tertentu Alkitab “diam.” Misalnya pemakaian shock therapy atau electro convulsive therapy, yang diberikan pada pasien schzophrenia,53 Alkitab seolah-olah tidak berbicara apa-apa, namun semua ini tidak lepas dari dasar, tujuan dan motivasi tekhnik terapi.
Modified Reductionism Bagian ini dijelaskan oleh Gary Collins sebagi suatu usaha dari para ahli kimia, dokter, bahkan psikolog yang cenderung untuk melakukan pemotongan-pemotongan, mendekati persoalan di sekitar manusia terlepas dari keutuhannya sebagai ciptaan Allah yang teristimewa (Mzm 8:5-6).
Christian Supernaturalism Allah adalah Allah yang berintervensi dalam kehidupan manusia, dan memelihara manusia sampai pada hal-hal yang detail. Oleh karena itu, sumbangan psikologi adalah sumbangan yang tidak merusak keyakinan manusia orang percaya mengenai intervensi dan pemeliharaan Tuhan.
Biblical Anthropology Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang teristimewa karena diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Namun manusia kemudian jatuh dalam dosa, sehingga hidupnya rusak total di hadapan Allah. Manusia tidak mampu berkomunikasi lagi dengan pencipta-Nya. Allah menyediakan pengharapan kepada manusia melalui pengalaman kelahiran kembali dan percaya kepada Tuhan Yesus Kristus. Jadi, ilmu psikologi yang disumbangkan dapat diterima apabila sumbangan tersebut tidak merusak prinsip-prinsip Alkitab. Untuk mencermati ilmu pengetahuan sebagai penyataan umum Allah, Larry Crabb menggambarkan di dalam sebuah diagram seperti berikut. 52 53
Stevri Lumintang, Integrasi Theologia dan Psikologi, Bahan Seminar. Susabda, Ibid., 95-6
Tuhan
Penyataan Umum
Penyataan Khusus
Alkitab
Alam
Wahyu khusus
Wahyu umum
Studi Exegetis
Kesimpulan
(Hermeneutik)
Psikologis
Kesimpulan
Penelitian Psikologi
Theologis
(Metode Ilmiah) Sintesis
Teori Konseling Kristen Diadaptasi dari Crabb, 1987
Melalui diagram di atas,54 terlihat jelas bahwa sumber utama pengetahuan adalah Tuhan saat Dia menyatakan penyataan-Nya. Dasar utama untuk memahami psikologi adalah Tuhan sendiri dan apapun yang menjadi kesimpulan akhir sebuah penelitian, baik itu studi teologis maupun psikologis harus konsisten dengan Alkitab sebagai dasar pijakan baik penyataan umum maupun penyataan khusus. Masing-masing sumber ini memiliki suatu metode data analisis tertentu. Teologi, hermeneutika dipakai untuk mempelajari Alkitab, sementara metode ilmiah dipakai untuk mempelajarai alam dan manusia. Kesimpulan yang dicapai oleh kedua 54
1987), 38
Larry Crabb, Understanding People (Michigan, Grand Rapids: Zondervan,
sumber ini berbeda karena perbedaan sumber dan metode analisis, namun pada tingkat analisis akhir akan ditemukan kesamaan, saling mengisi dan interaktif.55 Jadi, akan terjadi dan terdapat refleksi teologis dan alkitabiah atas psikologi dan refleksi psikologis atas theologia dan Alkitab. Konflikkonflik yang terjadi antara theologia dan psikologi merupakan kesalahan tafsiran alkitabiah atau kesalahan dalam penggunaan metode ilmiah, atau keduanya. Teologi maupun psikologi diturunkan dari pewahyuan Allah, penemuan-penemuan yang akurat dari masing-masing metode tidak akan berkonflik.”56 Psikologi adalah bagian dari hidup dengan Allah, suatu pengesahan bahwa Allah beserta orang percaya, dan adalah izin yang diberikan oleh Tuhan, dan realitas tergantung pada Allah saja.”57 Ilmu pengetahuan psikologi tidak bisa disingkirkan begitu saja hanya karena tidak secara spesifik tertera di dalam Alkitab, karena psikologi dapat dipergunakan untuk pelayanan pekerjaan Tuhan asalkan ilmu pengetahuan ini diletakkan seutuhnya di bawah otoritas Firman Allah. Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang juga mengandung kebenaran-kebenaran tertentu di dalamnya. Lebih lanjut dinyatakan oleh Simanjuntak bahwa kebenarankebenaran melalui ilmu pengetahuan ini disebut sebagai God’s law sedangkan kesimpulan-kesimpulan dari dari kebenaran ilmu pengetahuan itu disebut God’s truth jikalau hal itu harmonis dengan God’s law lainnya.58 Jadi jika kesimpulan-kesimpulan dari psikologi mengandung kebenaran Allah, maka dapat dan harus digunakan dalam konseling Kristen. Menurut Buttrick, keutuhan itulah yang menjadi visi kedatangan, kehidupan dan pelayanan Yesus hingga memberikan nyawa-Nya, yakni agar domba-domba-Nya mengalami kelimpahan dalam segala aspek hidup.59 Hal inilah yang memungkinkan dibangunnya dasar integrasi antara teologi dan psikologi karena psikologi didasarkan pada penyataan umum Allah yang dinyatakan kepada manusia.
55
Meier dan Minirth, Pengantar Psikologi..., 18 Ibid. 57 Kirk. E. Farnswoth, Psychology and Christianity: A Substantial Integration, JASA 27 (June 1975): 60-66 58 Julianto Simanjuntak, Konseling Gangguan Jiwa dan Okultisme (Jakarta: Gramedia, 2008), 125-126 59 George Arthur Buttrick (Ed). The Inerprester’s Dictionary Of The Bible (Nashville: Abingdon Press, 1991), 546 56
PENUTUP Teologi dan psikologi merupakan dua ilmu yang sangat berbeda sehingga tindakan untuk mengintegrasikan teologi dan psikologi bukan masalah yang mudah. Meskipun memiliki tujuan yang terbaik untuk tetap alkitabiah, namun sangatlah tidak mudah untuk mengakui konsep-konsep psikologi atau pemikiran yang berkompromi dengan isi Alkitab. Akibat yang biasa dilakukan namun berbahaya adalah kecenderungan melihat kepada ajaran Alkitab melalui kacamata psikologi sementara kebutuhan kritis adalah melihat kepada psikologi melalui pandangan atau ajaran Alkitab. Teologi (dalam hal ini teologi Kristen) atau kekristenan dan psikologi dapat diintegrasikan, asalkan psikologi berada di bawah otoritas Alkitab. Dengan berotoritaskan Alkitab, maka apabila ajaran Alkitab mengalami konflik dengan konsep atau ajaran apapun, ajaran Alkitab akan tetap diterima sebagai kebenaran karena Alkitab adalah penyataan Allah yang tidak dapat salah. Sedangkan jika konsep lain, sekalipun didukung oleh penelitian ilmiah tetapi jika tidak sesuai dengan kebenaran Alkitab, maka tidak dapat diterima sebagai kebenaran. Dengan berlandaskan kepada Allah dan penyataan-Nya kepada manusia baik itu penyataan khusus maupun penyataan umum, integrasi teologi dan psikologi sesuai dengan perspektif Alkitab yaitu melayani dan memandang manusia ciptaan Allah sebagai satu keutuhan. Dengan demikian konselor Kristen dapat menerima psikologi hanya jika aspek-aspeknya selaras dengan kebenaran Alkitab dan juga sebaliknya. Maka di dalam memformulasikan proses integrasi antara teologi dan psikologi harus diperhatikan bahwa, sangat tidak beralasan bagi orang Kristen untuk menolak semua hal tentang psikologi yang dibangun di atas dasar ilmu pengetahuan, sebaliknya tidak ada alasan untuk menolak kekristenan hanya karena berlandaskan pada Alkitab. Masalah dalam integrasi, khususnya dalam bidang theologia dan psikologi adalah bagaimana membawa kebenaran Allah, dari segala bidang yang diciptakanNya, untuk menunjang karya-Nya atas umat manusia secara utuh.
TOLERANSI AGAMA DAN MOTIF MISI KRISTEN DEWI MAGDALENA ROTUA
PENDAHULUAN Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang amat heterogen penduduknya. Kondisi tersebut sangat didukung oleh penyebaran penduduk yang beragam serta letak geografis yang didominasi oleh kepulauan. Keadaan ini membentuk kristalisasi budaya, agama, bahasa, dan etnis yang cenderung membangkitkan otonomi kedaerahan yang radikal. Pada sisi lain, bangsa Indonesia sudah terbiasa hidup dalam kemajemukan. Hal tersebut dapat diamati dengan beragamnya bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, bahasa, budaya, agama dan beribu-ribu pulau. Kemajemukan ini membuat bangsa Indonesia amat familiar dengan kepelbagaian. Kendatipun demikian kemajemukan tersebut acapkali menimbulkan friksi dan konflik antara sesama anak bangsa, baik yang kelihatan maupun yang tersembunyi. Berkaitan dengan hal itu, Victor Tanya memberi komentar dengan menegaskan bahwa konflik ini telah mengakibatkan bukan saja kehancuran fisik dan kematian dalam jumlah yang sangat besar, tetapi yang lebih berbahaya ialah telah mengancam peradaban umat manusia.1 Jika kondisi tersebut menyatakan situasi yang sesungguhnya, maka sejauh mana Gereja dan orang Krisen dapat bertoleransi dengan berbagai agama yang ada di tanah air ini? Apakah toleransi yang kita lakukan hanyalah dalam bidang sosial ataukah menyangkut berbagai isu-isu penting dalam doktrin Kristen, agar kita dapat hidup dengan harmonis dalam masyarakat majemuk ini? Bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap berbagai agama yang ada di Indonesia ini? Hal-hal tersebut merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Gereja atau orang Kristen. Permasalahan yang telah dipaparkan di atas mendorong penulis mencoba untuk meneliti tentang Toleransi Agama dan Motif Misi Kristen sebagai upaya memberi kontribusi pemikiran kritis dan dorongan praktis terhadap respons dan perilaku yang kurang tepat dalam memahami peran Gereja dalam Dunia. Tentu materi yang akan dibahas bukanlah sesuatu
1
Victor I. Tanya, Pluralisme Agama dan Problema Sosial (Jakarta: PT. Pustaka Cidesindo,1998), XIX.
yang baru, bahkan sangat mungkin bahwa penelitian tentang hal tersebut telah pernah dikemukakan sebelumnya secara lebih rinci. Menyadari luasnya cakupan tentang permasalahan dan pembahasan mengenai materi Toleransi Agama dan Motif Misi Kristen, maka penulis membatasi pemaparan pada pada beberapa bagian saja. Dalam makalah ini penulis akan memaparkan toleransi beragama dan motif misi Gereja di Indonesia. Adapun materi yang akan dipaparkan adalah, Pertama, penjelasan tentang pengertian toleransi dan agama. Selanjutnya pemaparan tentang dinamika bertoleransi di Indonesia, urgensi toleransi beragama, peran Pancasila sebagai dasar negara, keunikan pluralitas, tantangan pluralisme. Selanjutnya memaparkan mengenai motif misi Kristen serta dialog Kristen sebagai sarana dalam toleransi agama, serta bagian penutup adalah kesimpulan.
PENGERTIAN TOLERANSI DAN AGAMA Toleransi merupakan satu sikap yang sangat diperlukan ketika kita hidup di tengah-tengah masyarakat yang majemuk dan secara khusus dalam kemajemukan agama. Berkaitan dengan hal itu, Breward menyatakan bahwa toleransi dapat memperkaya agama-agama yang ada. Ia mengemukakan bahwa, “Toleransi ialah bukan hanya pengakuan suatu komunitas mengenai keberadaan agama yang pluralis, melainkan juga menyakini agama yang pluralitas dapat memperkaya satu dengan yang lain.”2 Toleransi diartikan oleh Peter Salim sebagai tenggang rasa, sikap membiarkan, sikap mentolelir.3 Webster mengemukakan toleransi sebagai berikut: a sympathy or indulgence for beliefs or practices differing from or conflicting with one’s own or the act of allowing something.4 Sedangkan J.E. Wood menjelaskan toleransi: Indulgence of belief or conduct other than one’s own.5 Dari pengertian toleransi yang telah dikemukakan di atas toleransi merupakan satu sikap menerima atau menghargai kepelbagaian. Dengan kata lain dapat digambarkan toleransi memberi kesempatan yang I.Breward, “Toleration” in New Dictionary of Theology, Sinclair B. Ferguson (ed.) (Leicester: Inter Varsity Press, 1988), 689 3 Peter Salim, The Contemporary English-Indonesian Dictionary (Jakarta: Modern English Press,1985), 2073 4 Webster, “Toleration” in Webster’s New Collegiate Dictionay (Massachusetts: Phoenix Press Inc, 1973), 1228 5 J. E. Wood , “Tolerance” in Evangelical Dictionary of Theology, Walter Elwell (ed)., (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House,1984), 1098 2
luas bagi setiap penganut agama untuk mengembangkan sikap toleransi, dalam artian perlunya sikap saling menghormati dan memahami diantara masing-masing penganut agama. Berkaitan dengan hal itu, Viktor Tanya menjelaskan bahwa sikap toleransi adalah memberlakukan agama lain dengan penuh hormat. Ia menyatakan sebagai berikut: Toleransi berarti endurance atau ketabahan, yang bukan hanya menunjuk pada sikap membiarkan orang lain hidup di sekitar kita tanpa larangan dan penganiayaan. Toleransi dalam artian seperti ini khususnya di bidang agama menunjuk pada kerelaan dan kesediaan untuk memasuki dan memberlakukan agama lain dengan penuh hormat dalam suatu dialog dengan orang lain secara terus-menerus tanpa perlu dipengaruhi oleh pendapat lain dalam dialog tersebut. 6
Arah pengertian toleransi yang diutarakan di atas pada dasarnya lebih mengacu pada suatu sikap hidup yang dilakukan oleh seseorang atau suatu komunitas dalam suatu kemajemukan. Alister McGrath mengakui hal ini dengan mengemukakan: Toleration is much more likely to result from showing respect to other religions, than from forcing them into an artificial framework.7 Dalam arah yang sama Stevri Lumintang memberi komentar bahwa, “toleransi agama tidak hanya membutuhkan keterbukaan, melainkan juga kejujuran untuk mengakui perbedaan, menampilkan perbedaan dan kelebihan yang satu daripada yang lain. Toleransi agama juga memerlukan sikap hati yang dewasa, artinya menerima atau mengakui apabila orang beragama lain lebih kaya dalam pemahaman dan pengalaman agamanya, lebih indah dan teguh keyakinan agamanya.” 8 Kendatipun demikian toleransi tidak selalu memiliki asumsi menerima dan mengadopsi secara utuh keyakinan atau agama orang lain, seperti yang diungkapkan oleh Efferin, dengan memaparkan, “Jadi dalam memahami toleransi, kita perlu membedakan antara menerima seseorang yang berbeda pandangan atau agama dengan menerima isi kepercayaannya sebagai kebenaran.” 9 Toleransi lebih merupakan suatu pemahaman dan praktek hidup yang perlu dikembangkan dan dipertahankan di tengah-tengah pluralitas bangsa Indonesia.
Tanya, Pluralisme Agama …,13 Alister McGrath, A Passion for Truth The Intellectual Coherence Of Evangelicalism (Illinois: InterVarsity Press, 1996), 240 8 Stevri Indra Lumintan, Re-Indonesianisasi Bangsa (Batu: Departemen MultiMedia YPPII, 2009), 618-619 9 Henri Efferin, “Konsultasi Teologi,” dalam Pelita Zaman (Jurnal) Vol. 16 no. 1, 2001, 89 6 7
Agama merupakan sebuah institusi yang sudah eksis dan berlangsung sejak lama, bahkan bisa disebut sama tuanya dengan manusia; ketika manusia diciptakan, manusia dapat berhubungan dengan sang Pencipta. Hubungan dengan Sang Pencipta inilah yang diyakini sebagai dasar dari agama. Pengertian dalam arah yang sama juga dikemukakan oleh W.S. Lasor : Religion may be defined as a relationship to the holy. 10 Sedangkan A.K. Rule menjelaskan agama sebagai berikut: The acknowledgement of a higher, unseen power, an attitude of reverent dependence on that power in conduct of life; and special actions,eg., rites, prayers, and acts of mercy as peculiar expressions and means of cultivation of the religious attitude.11 Dengan demikian agama tidak dapat dipisahkan dari Pribadi yang Mahakuasa atau sang Pencipta. Dalam perjalanan waktu, sejalan dengan pertambahan umat manusia, agama menjadi kian beragam. Menurut Daniel Pals dari sekian banyak agama ada satu persamaan yang tidak dapat dipungkiri yakni, “Agama dasar” atau agama manapun terdiri atas kepercayaan pada Tuhan pencipta yang menjadikan dunia dan kemudian menyerahkannya pada hukum-hukum dasarnya sendiri. Suatu kode moral yang diberikan untuk membimbing manusia, dan janji akan kehidupan setelah mati jika mereka berbuat baik dan menghindari kejahatan.12 Pendapat Daniel Pals di atas tentu berbeda dengan doktrin Kristen di mana keagamaan yang diyakini adalah kehidupan yang didapatkan karena dan berdasarkan kedaulatan dan kasih Allah di dalam Kristus, bukan atas hasil suatu kode moral dan usaha sendiri atau sebuah hasil tindakan moral saja (Yoh 3:16). Manusia menemukan kebenaran yang telah dinyatakan oleh Pencipta-Nya. Kendatipun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa agama juga memiliki peran yang penting, seperti yang dikemukakan oleh Victor Tanya bahwa agama adalah “Sebagai sistem kepercayaan dan peribadatan, agama berperan penting, dalam menciptakan tatanan kehidupan yang berkeadilan dan beradab bagi seluruh umat manusia di dunia.”13 Secara umum agama memiliki tujuan agar tidak terjadi kekacauan bagi setiap pemeluknya.
W.S. Lasor, “Religions Of The Biblical World” dalam The International Standard Bible Encyclopedia, G.W. Bromiley (ed) (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1988), 79 11 A.K. Rule Religion,Religious dalam Evangelical Dictionary of Theology, Walter Elewll (ed) (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1984), 931 12 Daniel L. Pals, Seven Theories of Religions (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2001), 11 13 Tanya. Pluralisme Agama…, xix. 10
Dengan demikian jika berbicara mengenai toleransi beragama, berarti mengulas tentang sikap hidup manusia antar umat beragama, sikap yang terbuka dan secara dewasa menerima perbedaan agama-agama lain. Sikap yang ramah kepada sesama manusia tanpa mempersoalkan apa yang menjadi kepercayaannya. Pluralitas di Indonesia telah menciptakan kesadaran masyarakat yang toleran terhadap berbagai agama dan berbagai kepercayaan yang ada. Sikap toleransi sangat diperlukan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Namun demikian, sikap toleransi beragama seperti apa yang dapat dikembangkan dan dipertahankan dalam konteks pluralitas di Indonesia menurut keyakinan kristiani.
DINAMIKA TOLERANSI BERAGAMA Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang pluralitas dan telah terbiasa hidup dalam ke pelbagaian, sehingga masyarakat telah memiliki benih saling pengertian diantara penganut agama yang berbeda. Kendatipun demikian, tidak dapat disangkali bahwa toleransi beragama melahirkan dua kelompok, yaitu: Pertama, kaum fundamentalis, yakni orang atau kelompok yang memiliki visi untuk memulihkan dan/atau mempertahankan keyakinan agama, etnis, budaya, politik dan hukum sesuai dengan ajaran yang semula. Kelompok ini cenderung bersifat ekslusif, tidak terbuka dengan sesuatu di luar kelompok mereka, apalagi dengan kelompok di luar agama Islam.14 Sikap seperti itu dapat seringkali menimbulkan ketegangan diantara penganut agama. Adalah wajar jika penganut suatu agama menganggap ajaran agamanya adalah yang paling benar atau paling baik, Namun seiring dengan itu, harus pula disadari oleh setiap pemeluk agama bahwa penerapan sikap ini secara tidak proposional justru akan menimbulkan disharmoni bahkan konflik yang merugikan semua pihak, termasuk kelompok penganut agama tersebut.15 Kedua, ialah kelompok cinta damai di dalam semua agama, melakukan hal yang berbeda bahkan bertolak belakang, dengan yang dilakukan oleh kaum fundamental. Kaum pluralis justru mengakui semua agama sampai pada tingkat menerima kebenaran dari semua agama sebagai suatu kebenaran yang saling melengkapi.16
14
Lumintang, Re-Indonesianisasi…, 502-510 Tanya, Pluralisme Agama..., xix. 16 Lumintang, Ibid…, 519 15
Setiap kelompok agama memang harus dapat menguasai diri, dan memikirkan usaha-usaha untuk mencapai toleransi dan persatuan sebagai sesama warga Negara. Konflik antar umat beragama itu dapat terjadi karena beberapa hal, seperti yang dikemukakan oleh Makmur Halim, sebagai berikut: (1) Konflik yang terjadi antar pengikut-pengikut secara individu dalam lingkup kecil atau sempit lingkungannya yang kemudian berkembang menjadi konflik antar kelompok; (2) Konflik yang terjadi antar tokoh-tokoh agama atau antar pemimpin-pemimpin agama yang berkembang menjadi konflik antar kelompok; (3) Konflik yang terjadi antar kelompok agama di negara-negara lain yang kemudian meluas ke konflik di negara sendiri; (4) Konflik yang terjadi antar kelompok agama dikarenakan adanya pihak ketiga atau pengadu domba, sehingga terjadi kemarahan satu sama lain antar kelompok agama; (5) Konflik yang terjadi oleh karena dari salah satu kelompok salah mengkomunikasikan berita, sehingga terjadi salah pengertian (miscommunication); (6) Konflik yang terjadi oleh karena propaganda atau penyiaran-penyiaran yang berbau keagamaan dan yang terlalu menonjol, dan akhirnya mengganggu dan menyinggung kelompok lain; (7) konflk yang terjadi oleh karena tidak ada pertemuan persahabatan antar kelompok umat beragama; (8) Konflik yang terjadi oleh karena terdapat konflik masa lalu atau luka lama yang belum selesai (unfinished business). Konflik ini bisa terjadi karena konflik yang terjadi dalam sejarah masa lalu; (9) Konflik yang terjadi antar kelompok agama disebabkan adanya kelompok agama yang salah dalam menggunakan atau menafsirkan ajaran-ajaran agamanya, sehingga menyerang kelompok agama lain.17
Konflik dapat terjadi karena berbagai faktor, baik yang bersifat internal, yakni dari kelompok agama itu sendiri maupun secara eksternal. Oleh sebab itu kelompok-kelompok umat beragama harus berhati-hati, dan dengan bijaksana membawa bendera agamanya masing-masing, serta menyaring informasi-informasi yang berkembang di tengah-tengah penganut agamanya masing-masing. Kesadaran bertoleransi hendaklah diupayakan dan diajar-ajarkan bagi seluruh warga Indonesia.
17
Makmur Halim, Gereja Di Tengah-Tengah Perubahan Dunia (Malang: Penerbit Gandum Mas, t.t.), 269-271
Urgensitas Toleransi Bergama Toleransi beragama merupakan hal yang amat penting dikembangkan di Negara Indonesia mengingat kepelbagaian agama yang ada di negara kita. Cooley memaparkan ada dua dasar serta dorongan dalam hal hubungan antar umat beragama yaitu:18
Dorongan-dorongan Kuat Dari Luar Satu dorongan ialah adanya hubungan-hubungan tidak sehat, yakni hubungan antar umat beragama yang tidak menunjang perdamaian, keadilan serta pembangunan suatu dunia yang aman, makmur dan lestari itu yang sangat dirindukan oleh banyak orang di mana-mana di enam benua masa kini, khususnya mereka yang menderita. Dunia modern di mana-mana menampakkan adanya roh materialisme dan konsumerisme yang tidak kenal batas bersama dengan spekulasi beserta ketergantungan yang membahayakan pada super tekhnologi, baik dalam bidang produksi maupun bidang informasi. Roh-roh kemodernan tersebut dapat mengancam sifatsifat dasar dari kemanusiaan manuia. Manusia dijadikan barang, alat atau obyek belaka demi usaha mengumpulkan kekayaan materi atau kekuasaan tanpa batas. Kemodernan yang demikian, lebih jauh akan merusak nilainilai keagamaan/rohaniah bahkan eksistensi sendiri dari agama dalam kehidupan manusia pada masa mendatang. Oleh karena itu sangat diperlukan hubungan baik serta kerjasama yang erat dan aktif dari semua umat serta golongan beragama melawan arus keduniawian tersebut dan menyalurkan kearah yang dikehendaki Tuhan Yang maha Esa.
Dorongan Dari Dalam Keagamaan Itu Sendiri Kendatipun penganut masing-masing agama cenderung memandang agamanya benar ataupun yang paling benar, namun akibat kenyataan bahwa semua agama dunia menganjurkan hubungan serasi dan baik antar umat beragama, pun sikap saling menghormati antar penganut agama-agama. Dalam Kitab suci agama Kristen terdapat ajaran-ajaran untuk berusaha membina hubungan baik dengan semua orang termasuk pemeluk agama lain. Misalnya hukum kasih (Mat 22:37-39 dan Yoh 15:12,17). Umat 18
F.L. Cooley, Panggilan Umat Kristen Dalam Hubungan Antar Umat Beragama dalam Konteks berteologi di Indonesia. Penyunting Eka Darmaputera (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), 171-172
Kristen harus berusaha memulihkan serta memperkuat hubungan baik dengan seluruh elemen umat beragama. Juga harus diusahakan oleh kedua belah pihak pembebasan dari semua ketidaktahuan (ignorance), paham serta sikap yang keliru (misunderstanding), polemik, prasangka (prejudices) serta ketakutan (fear) satu terhadap yang lain yang telah bertumbuh dan sengaja dipupuk selama masa lalu. Dan usaha tersebut dalam ukurannya bersifat monumental, raksasa, sangat berat dan memerlukan waktu yang lama.19 Dengan demikian toleransi beragama seharusnya bukan sekedar slogan semata-mata, namun menjadi suatu agenda yang amat penting untuk diperhatikan dan dikembangkan di dalam tatatan perilaku kehidupan masyrakat Indonesia yang majemuk ini.
Pancasila Sebagai Dasar Negara Indonesia Sudah menjadi konsesus bangsa Indonesia menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Itu berarti bahwa Pancasila-lah yang merupakan kaidah etika kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta menjadi paradigma perilaku warga Negara Indonesia. Artinya Pancasila adalah design for living untuk bangsa Indonesia dalam rangka bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk kita orang Kristen, Pancasila adalah norma untuk bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tetapi kita mengamalkannya di dalam ketaatan kita kepada norma agama, norma Injil yang mutlak. Itulah implikasi mengaku Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. 20 Pancasila telah memberi identitas kepada Indonesia, Pancasila merupakan ciri khas bangsa yang berbeda dibandingkan dengan masyarakat, bangsa lain. Sebagai dasar Negara, Pancasila tercantum dalam UUD 45. Bahkan dalam UUD pasal 29: 1 dijelaskan “Negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.” Walaupun demikian Negara Pancasila bukanlah negara agama dan bukan pula negara sekuler. Negara Pancasila tidak mengenal “negara agama,” maupun “agama Negara.” Tidak ada agama, paling sedikit secara konstitusional, yang mempunyai “status lebih” atau “status kurang” dibandingkan dengan yang lain. Tidak ada mayoritas maupun minoritas di dalam hak dan kewajiban. Dengan demikian, maka kenyataan kemajemukan agama diakui keabsahan eksistensinya. UUD pasal 29 : 2 19
Cooley, Panggilan Umat Kristen..., 172 Theo Kobong, “Iman Kristen dan Pancasila” dalam Teologi Perjumpaan, Phil. J. Garang & Weinata Sairin (peny.), (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, 1993), 216 20
tidak hanya (secara pasif) mengakui kenyataan kemajemukan agama, tetapi juga (secara aktif) menjamin kebebasan beragama setiap penduduk Indonesia. Pancasila menjamin kebebasan kelima agama menjalankan ajaran dan kepercayaan mereka, tanpa campur tangan pemerintah. Namun demikian, di dalam Negara Pancasila, kebebasan tidak boleh diartikan kebebasan tanpa batas. Kebebasan harus diletakkan di dalam kerangka dan batas kesatuan serta persatuan bangsa, yang menjadi salah satu sendi utama dari jiwa Pancasila itu sendiri. Karena itu, prinsip kebebasan beragama bukanlah prinsip satu-satunya. Prinsip tersebut berdampingan dan bertalian erat dengan prinsip kerukunan beragama, atau kerukunan umat beragama. 21
Keunikan Pluralitas Pluralitas dan Pluralisme merupakan dua hal yang berbeda. Pluralitas agama merupakan kepelbagaian agama namun pengertian pluralitas tidak sama dengan kemajemukan. Pluralitas mengacu pada adanya hubungan saling bergantung antar berbagai hal yang berbeda, sedang kemajemukan (diversitas) mengacu kepada tidak adanya hubungan seperti itu diantara hal-hal yang berbeda. Dengan demikian, pluralitas mengharuskan adanya dialog antar semua umat beragama. Dalam dialog itu, faktor etika sangat menentukan karena menyangkut masalah bagaimana seseorang bersikap terhadap sesamanya.22 Dalam perjalanan umat manusia, agama-agama menjadi sumber motivasi dan inspirasi yang tidak pernah kering. Satu hal yang menjadi tantangan dalam pluralitas agama ialah pemeluk agama memiliki klaimnya masing-masing mengenai kebenaran absolut yang diimani dan diamini. Hal ini tentu sangat berpotensi untuk melahirkan fanatisme terhadap agama sendiri, dan antipati terhadap orang yang memeluk agama lain. 23 Tentu saja hal ini dapat dicegah jika umat beragama dengan bijaksana bersikap toleran terhadap semua agama di Indonesia. Sikap toleran menghasilkan kerukunan umat beragama di bumi pertiwi ini.
21 Eka Darmaputera, Pergumulan Dan Peran Gereja Dalam Masyarakat Dan Negara Pancasila dalam Gerakan Oikoumene Tegar Mekar Di bumi Pancasila (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1993), 310-311. 22 Tanya, Pluralisme Agama…, 4 23 Lumintang, Re-Indonesianisasi …, 519
Tantangan Pluralisme Pluralisme seperti yang telah dikemukakan di atas justru mengakui semua agama sampai pada tingkat menerima kebenaran dari semua agama sebagai suatu kebenaran yang saling melengkapi.24 Pluralisme keagamaan pada pihak lain, adalah kepercayaan bahwa perbedaan-perbedaan antara agama-agama adalah bukan masalah kebenaran dan ketidakbenaran, tetapi tentang perbedaan persepsi terhadap satu kebenaran; ini berarti bahwa berbicara tentang kepercayaan-kepercayaan keagamaan sebagai benar atau salah tidak dapat diperkenakan.25 Dalam arah yang sama Gary Phillips memberikan tiga hal tentang terminology pluralisme, yakni: (1) the growing diversity of race, heritage, religion, and value systems within Western culture; and (2) the value of toleration for this diversity. (3) the philosophical posture which insists that tolerance must be granted to all views on the ground that none can claim to be true.26 Dalam terminologi yang satu ini perlu juga dibedakan antara pluralisme kebudayaan dan pluralisme keagamaan. Tentu saja benar bahwa kebudayaan dan agama saling berkaitan erat. Agama dari satu sudut pandang adalah aspek dari kebudayaan, tetapi kebudayaan ini bukanlah keseluruhan agama itu. Agama-agama dapat bersifat multikultural, seperti yang nyata dalam kekristenan.27 Pluralisme adalah suatu tantangan sekaligus bahaya yang sangat serius bagi kekristenan. Karena pluralisme bukanlah sekedar suatu konsep sosiologis, antrophologis, melainkan konsep filsafat agama yang bertolak bukan dari Alkitab, melainkan bertolak dari fakta kemajemukan yang diikuti oleh tuntutan toleransi, dan diilhami oleh keadaan sosialpolitik yang didukung oleh kemajemukan etnis, budaya dan agama; serta disponsori oleh semangat globalisasi dan filsafat relativisme yang mengiringinya.28 Maka itu bagi kaum pluralis, yang dibutuhkan bukanlah kristologi, soteriologi dan pneumatologi, melainkan teologi agama-agama atau teologi abu-abu (pluralisme). Para penganut pluralisme memang tidak meniadakan doktrin-doktrin Kristen, juga tidak menyatukan semua doktrin yang ada di semua agama, namun mengembangkan doktrin masing-masing agama Lumintang, Re-Indonesianisasi …, 519 Lesslie Newbigin, Injil Dalam Masyarakat Majemuk (Jakarta: BPK Gunung Mulia 1993), 20 26 Gary Phillips, “Religious Pluralism In A Postmodern World” in The Challenge of Post Modernism, David S. Dockery (ed.). (Grand Rapids, Michigan: Baker Academic, 2001), 135 27 Ibid., 19 28 Lumintang, Ibid., 521 24 25
dengan cara membuka diri terhadap pengadopsian kebenaran doktrin agama lain.29 Berkaitan dengan hal itu, Darmaputera mengemukakan bahwa “satu hal yang patut disadari dan dilakukan oleh masing-masing pemeluk agama ialah masing-masing agama berupaya sekuat-kuatnya menahan diri, bertenggang rasa, peka terhadap perasaan kelompok yang lain, dengan tanpa menghianati pokok-pokok ajaran agamanya sendiri.”30
MOTIF MISI KRISTEN Misi Kristen adalah misi yang lahir dari Allah. Allah terlebih dahulu telah melakukan misi itu sendiri dengan mengutus Yesus Kristus ke dalam dunia. Tuhan Yesus sebelum naik ke surga memandatkan para murid-Nya untuk meneruskan misi yang telah dimulai oleh-Nya; seperti yang dicatat dalam Matius 28:19-20. Untuk itu misi Kristen selayaknya memiliki motivasi yang selaras dengan maksud Allah yang mula-mula. Beberapa motif misi Kristen yang harus diperhatikan yakni:
Motif Kedaulatan Allah Kedaulatan Allah tidak meniadakan peran dan tanggungjawab manusia, tidak ada pertentangan diantaranya. Kedaulatan Allah memberi nilai bagi tanggungjawab manusia. Manusia bertanggung jawab karena telah terlebih dahulu mengalami pembaruan oleh Roh Kudus, menghidupkan dan memberdayakan manusia secara total. Buah kelahiran kembali memungkinkan manusia mengalami pertobatan, iman, pembenaran, pengudusan dan ketaatan.31 Karya Roh Kudus yang memampukan orang percaya untuk taat. Ada beberapa motif yang digerakkan oleh kedaulatan Allah, yaitu: Pertama, kedaulatan Allah dalam misi membuat orang percaya menjadi lebih agresif dalam melaksanakan misi. Atas dasar, bahwa tujuan penginjilan adalah untuk mempertobatkan pendengar kepada Kristus.32 Adalah hal yang benar ketika kita mengakui tanggungjawab kita untuk menginjili secara agresif, menginginkan Lumintang, Re-Indonesianisasi …, 522-523 Darmaputera, Pergumulan Peran Gereja…, 311 31 Anthony A. Hoekama, Save By Grace (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1994), 94 32 J.I. Packer, Evangelism and The Sovereignty of God (Surabaya: Momentum, 2003), 36 29 30
pertobatan orang yang belum percaya, dan menghendaki penyampaian berita Injil sejelas dan sekuat mungkin. Jika kita tidak peduli apakah penginjilan kita itu akan menghasilkan sedikit atau banyak petobat baru, apakah pemberitaan kita tentang Kristus mengenai sasaran atau tidak, maka ada sesuatu yang salah pada kita. Tetapi sama salahnya jika kita mengambil tangung jawab lebih dari yang Allah berikan.33 Kedaulatan Allah dalam anugerah memberikan satu-satunya pengharapan atas keberhasilan dalam penginjilan. Kedaulatan Allah dalam anugerah merupakan satu-satunya hal yang mencegah penginjilan menjadi sia-sia dan menciptakan kemungkinan atau kepastian bahwa penginjilan akan menghasilkan buah. 34 Karena buah penginjilan, yaitu pertobatan orang berdosa kepada Kristus. Pertobatan itu adalah pekerjaan Allah yang berdaulat. Efektivitas penginjilan juga bergantung kepada Injil yang berkuasa, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatan setiap orang yang percaya (Rm 1:16) melalui pekerjaan Roh Kudus. Kedua, Kedaulatan Allah dalam pelaksanaan misi dan penginjilan akan membangkitkan dan memurnikan motif-motif misi dan penginjilan. Motif-motif misi adalah berakar pada maksud dan tujuan misi. Jika Gereja mengandalkan kedaulatan Allah dalam pelaksanaan misi, maka motif misi adalah bersifat theo-sentris. Semua konsep dan praktek misi berpusat bukan pada kemampuan manusia, dan bukan demi kepentingan manusia, melainkan berpusat pada Allah dan demi kemuliaan-Nya.35
Motif Kristus (Salib) Misi Kristen di seluruh dunia adalah milik Kristus, bukan milik Gereja. Sebelum segala usaha dan aktivitas Gereja, sebelum semua persembahan berupa pelayanan dan pengabdian, Allah mengirim Anak-Nya ke dalam dunia, dan Ia datang dalam diri seorang hamba yang menderita bahkan sampai mati pada Salib. Keyakinan ini merupakan satu-satunya motif sejati dari misi Kristen serta satu-satunya standar yang dengannya semangat, metode, dan cara-cara organisasi misi Kristen harus dinilai. Adalah merupakan tugas yang mendesak bahwa firman tentang penghakiman dan belas kasih ini harus diberi kebebasan penuh untuk membersihkan dan menebus aktivitas-aktivitas Gereja sekarang ini, agar
33
Ibid., 18 Ibid., 86 35 Lumintang, Misiologia Kontemporer..., 264 34
kesombongan manusiawi kita dalam aktivitas-aktivitas kita menghalangi jalan misi Allah di dalam dunia. 36
tidak
Motif Kemuliaan Allah Misi Gereja adalah dimulai dari hati Allah yang terdalam (Missio Dei). Karena semua aktivitas misi adalah dari Allah, oleh Allah dan untuk Allah saja. Misi Gereja bukanlah milik Gereja, melainkan milik Allah. Karena itu, kepada Allah jugalah kemuliaan misi yang dilaksanakan oleh Gereja dalam dunia. Namun, pada masa kini fokus misi telah bergeser, sehingga misi dipandang sebagai milik Gereja. Kaum Pluralis menyuarakan dan mencari misi Allah di luar tradisi Kristen, yaitu di luar Alkitab. Mereka berusaha mencari misi Allah yang ada dalam kebudayaan dan agama-agama lain, melalui dialog. Dengan meninggalkan Alkitab sebagai sumber utama teologi misi. Ken Gnanakan mengungkapkan beberapa pertanyaan yang esensial mengeni misi, untuk mengevaluasi misi Gereja masa kini, diantaranya ialah: Apakah dan bagaimanakah misi yang alkitabiah? Apakah misi Allah itu? Apakah keunikan berita Injil? Apa bedanya misi Gereja masa lalu dan masa kini? 37 Jawaban atas pertanyaan ini adalah misi bersumber pada misi Allah Tritunggal di dalam dan melalui Gereja, dan hakekat Gereja itu sendiri. Kristus adalah kepala Gereja, karena itu misi Gereja (missio ecclesiae) haruslah dievaluasi oleh misi Kristus (missio Kristie). Misi Gereja bersumber dan berpusat serta bermuara pada misi Kristus. 38 Misi berpusat bukan kepada kemampuan manusia, melainkan berpusat pada Allah dan kemuliaan-Nya. Berkaitan dengan hal itu Bavinck mengatakan, bahwa Kedatangan kerajaan itu adalah berkenaan dengan Allah, dengan kebesaran-Nya, kehormatan dan anugerah-Nya. Kedatangan kerajaan Allah termasuk dengan perluasan Gereja di seluruh wilayah di dunia ini. Dan kedatangan kerajaan Allah merealisasikan diri-Nya dalam pertobatan orang-orang berdosa. Ada tiga tujuan yang terpisah, namun ada satu tujuan yang terbesar dan final, itu disingkapkan kepada kita dalam berkat, pertama: pemuliaan Allah merupakan tujuan terutama; kedua ialah penanaman Gereja; dan yang ketiga ialah pertobatan orang-orang 36 Cuplikan dari International Missionary Council (Ghana, 28 Desember 1957–7 Januari 1958), Minutes of the Assembly (London dan New York: IMC, 1958), 89 37 Ken Gnanakan, Kingdom Concern: A Biblical Exploration Toward a Theology of Mission (Banglore: Theological Book Trust, 1997), 23 38 Lumintang, Misiologia Kontemporer ..., 129
penyembahan berhala. Kemuliaan Allah diajarkan oleh Alkitab berkali-kali sebagai tujuan yang tertinggi.39 Kemuliaan Allah merupakan motif misi, baik dalam rangka membangkitkan semangat misi maupun dalam rangka memurnikan semua motif dari pemahaman dan praktek misi dari semua yang bersifat manipulasi yang tidak memahami toleransi.
Motif Misi Kristus Menjadi Model Misi Gereja Tuhan Yesus berkata: “Damai sejahtera bagimu! Seperti Bapa telah mengutus Aku, demikian Aku mengutus kamu.” Dan kemudian Ia mengembusi mereka dan berkata: “terimalah Roh Kudus” (Yoh 20:21-22). Ada tiga hal yang menjadi inti berita, yaitu: Pertama, bahwa misi Allah Bapa juga merupakan misi Allah Anak. Hal ini tentu bertentangan dengan konsep Pluralisme yang menolak Kristus sebagai pusat Kerajaan Allah, dan membedakan Kerajaan Allah Bapa dengan Kerajaan Allah Anak. Ini tentu merupakan kesalahan dan kelemahan yang fatal dari konsep theocentric kaum Pluralis dalam penafsiran Injil. Kedua, Allah Tritunggal yang mengutus Gereja ke dalam dunia ini dengan otoritas Allah sendiri (Yoh 20:21-22). Ketiga, bahwa misi Allah adalah misi Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus. Hal ini juga memberikan pola bagi Gereja, bahwa misi Allah Tritunggal merupakan model misi Gereja dalam dunia. 40 Berkaitan dengan misi Gereja tersebut Stott memberi komentar, bahwa: “Ketika Anak Allah diutus ke dalam dunia, Ia tidak tinggal jauh dari penderitaan dan kesaksian, melainkan, Ia masuk ke dalam dunia manusia melalui menjadi menusia atau berinkarnasi. Dengan Ia menjadi manusia, Ia menjadi manusia yang dapat mengalami pencobaan dan penderitaan.” Bertolak dari pengertian tersebut, Stott kemudian menjelaskan tugas Gereja menurut penjelasan Rlph Winter mengenai tiga jenis penginjilan, yaitu: “E1 (dalam kebudayaan dan bahasa kita sendiri), E-2 (mencapai orang yang bahasa dan budayanya adalah sama), dan E-3 (penginjilan lintas budaya).”41 Tugas Gereja adalah melintasi kebudayaan apapun yang ada dalam dunia dan hadir di dalamnya, sebagaimana Kristus datang dan tinggal dalam dunia. Inilah model misi inkarnatif.
39 J.H. Bavinck, An Introduction to the Science of Mission (Phillipsburg, New Jersey: Presbyterian and Reformd Publishing Co, 1960), 155-156 40 Lumintang, Misiologia Kontemporer ..., 130 41 Joh Stott, Making Christ Known: Historic Mission Document from the Lausanne Movement 1974-1989 (London: Paternoster Press, 1988), 29
Misi haruslah didasarkan pada misi inkarnasi Yesus Kristus, yaitu ketika Ia menjadi manusia, Ia datang melintasi dan tinggal dalam kebudayaan manusia. Inkarnasi Kristus merupakan suatu model bagi misi Gereja. Allah Bapa mengutus Anak-Nya ke dalam dunia, dan sekarang Yesus mengutus Gereja-Nya ke dalam dunia, dengan model pengutusan Allah Bapa atas-Nya. Berkaitan dengan hal itu, Stott menjelaskan bahwa “memang semua misi yang otentik adalah misi inkarnatif. Itu artinya masuk kedunia orang yang lain, yang berbeda, seperti Ia masuk ke dalam dunia kita. Misi yang demikian merupakan misi kontekstual yang menuntut identifikasi diri tanpa kehilangan identitas. Itu berarti masuk ke dalam dunia manusia, seperti Ia masuk ke dalam dunia kita, walaupun tanpa mengkompromikan keyakinan, nilai-nilai, dan standar kehidupan Kristen.”42 Oleh karena itu, Gereja harus kembali kepada Alkitab sebagai dasar dan sumber serta motif misi Gereja. Teologi misi apapun yang dihasilkan pada masa kini, harus mencari dan menemukan misi Allah dari kesaksian Alkitab. Misi di luar data dan pemahaman Alkitab adalah missing.43 Dengan demikian ada dua motif utama dalam pergerakan misi dan penginjilan Gereja, yaitu: Pertama adalah motif primer dan fundamental. Tujuan akhir manusia adalah memuliakan Allah. Hukum kehidupan dalam Alkitab adalah: “Lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (1Kor 10:31). Manusia memuliakan Allah dengan menaati Firman-Nya dan memenuhi kehendak-Nya yang diwahyukan. Begitu juga perintah pertama dan terutama adalah “kasihilah Tuhan, Allahmu.” Kita menunjukkan kasih kepada Bapa dan Anak yang telah begitu mengasihi kita dengan cara menaati perintah-Nya. Motif kedua yang seharusnya mendorong penginjilan kita adalah kasih kepada sesama manusia dan kerinduan untuk melihat mereka diselamatkan. Hasrat untuk memenangkan yang terhilang bagi Kristus seharusnya merupakan ekspresi alamiah dan spontan dari kasih yang mengalir dalam setiap hati orang yang telah lahir baru.44
Toleransi Agama dan Misi Dialogis Kristen Apakah toleransi bertentangan dengan amanat penginjilan? Tentu penginjilan bukanlah pengkristenan seperti yang dipraktekkan oleh sebagian orang Kristen dan seperti yang dianggap dan dituduhkan oleh 42
John Stott, The Contemporary Christian (Leicester: Inter-Varsity, 1992), 358 Lumintang, Misiologia Kontemporer ..., 129 44 Packer, Evangelism and the Soverignty..., 58-59 43
beberapa kalangan masyarakat. Pengkristenan selalu dihubungkan dengan imperialisme Barat pada masa lampau, yang sering memanipulsi pelbagai cara untuk membuat orang menjadi Kristen tanpa mengalami atau memiliki unsur pertobatan. Sedangkan penginjilan merupakan pemberitaan Injil, Kabar Baik kepada semua orang. Persoalan antara pengkristenan dan penginjilan adalah persoalan yang berkaitan dengan metode. Karena itu, tanpa merusak semangat toleransi, pastinya penginjilan dalam pendekatanpendekatan manusiawi dan tanpa memanipulasi segala cara untuk mendapatkan hasil. Penginjilan seperti itu, tentu bukan lagi penginjilan yang dimaksud oleh Alkitab. Karena penginjilan manipulatif, yang bermuatan paksaan, hipnotis, rayuan dan sebagainya, sesungguhnya bertentangan dengan hakekat Injil yang berkuasa dari Injil itu sendiri. Sehingga tidak perlu cara-cara yang tidak sehat, yang disadari atau tidak merendahkan kuasa Injil. Dan orang yang mengalami kuasa Injil, tentu tidak mungkin berdiam diri, kecuali mereka adalah kaum pluralis, yang memang tidak mengakui dan percaya kepada Injil lagi. 45 Dialog berarti komunikasi dua arah. Secara teologis dialog dapat dipahami berdasarkan Missio Dei, Allah mengutus Yesus Kristus untuk berkomunikasi dengan manusia (dialog). Inkarnasi Yesus Kristus membuktikan bahwa Allah berkomunikasi dengan dunia (manusia), namun bukan ini tujuan akhirnya, melainkan menyelamatkan manusia di dalam dan melalui karya Kristus. Dengan demikian fokus dari dialog antar umat beragama adalah memberikan kontribusi kepada masyarakat melalui Injil yang membaharui. Kerjasama akan membangun masyarakat yang berbudaya akan terfokus kepada praktik-praktik dari ajaran agama masingmasing, dan praktik ini bertemu di dalam kehidupan masyarakat secara langsung. Hasilnya adalah, bahwa dialog yang berdasarkan membawa sesuatu yang bisa dinikmati oleh masyarakat dan membalut luka-luka lama yang masih ada.
PENUTUP: KESIMPULAN Indonesia adalah negara yang kaya. Ada beribu-ribu pulau, banyak budaya dan bahasa, bahkan terdapat berbagai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan yang Mahaesa di bumi pertiwi ini. Toleransi beragama merupakan suatu agenda yang penting mengingat pluralitas agama yang ada di negara kita. Sebagai kaum Injili kita juga turut andil dalam toleransi 45
Henry Effrerin, “Konsultasi Teologi,” Pelita Zaman, Vol 16 no.1, 2001, 90
agama dengan memberikan wawasan Alkitabiah toleransi agama serta memberi wawasan kebangsaan yang berjiwa Pancasila pada jemaat. Di samping itu kita juga harus mengagendakan upaya dialog antar umat beragama. Kemajemukan agama merupakan fakta keragaman bangsa Indonesia yang harus diterima dan disyukuri sebagai bagian dari kehendak Tuhan sendiri. Pluralitas tidak perlu diperdebatkan dan dieksploitasi sebagai sarana menggugat kelompok-kelompok tertentu atau bahkan disingkirkan demi supremasi dan kepentingan politik dan agama tertentu. Sebagai pengikut Kristus kita harus proaktif dalam mengupayakan terjadinya toleransi beragama di negeri ini. Upaya dan kerja keras sangat dibutuhkan mengingat ancaman disintegrasi bangsa. Pluralitas agama disatu pihak merupakan kekayaan dan keunikan bangsa Indonesia yang tidak dapat dipungkiri. Hal ini harus disikapi dengan bijak, agar masyarakat Indonesia dapat hidup dengan damai di negeri yang tercinta ini. Hendaknya toleransi tidak sekedar menjadi suatu wacana saja tetapi harus teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Tidak dapat dipungkiri bahwa misi Kristen merupakan bukti keberadaan Kekristenan di dunia pada umumnya serta di Indonesia ini. Penginjilan yang memberi tempat pada kejujuran dan tanpa melukai atau merendahkan agama lain. Kemajemukan masyarakat di tengah-tengah pluralitas agama dan kebudayaan adalah perilaku yang harus di responi dengan sikap toleransi. Semua agama memiliki kedudukan yang sama di bumi pertiwi ini sesuai dengan dasar Negara Pancasila. Misi Kristen merupakan satu wujud keunikan iman Kristiani tanpa melupakan fakta adanya penganut agama lain, serta tanpa kehilangan identitas misi Kristen yang bersifat Misio Dei, yang turut memberi sumbangsih bagi kesejahteraan bangsa. Maka tidaklah dapat diragukan lagi misi Kristen merupakan hal yang sangat penting bagi kekristenan di masa mendatang.
PERAN MANUSIA ALLAH MENURUT I TIMOTIUS 6:11-21 THEOPHYLUS DOXA ZIRALUO
PENDAHULUAN Labberton berpendapat bahwa Gereja saat ini sedang berada dalam masalah yang besar yaitu bahwa Gereja sedang tertidur. Tidak mati atau kesulitan bernafas, tetapi sedang terlelap. Gereja di seluruh pelosok negeri bahkan di seluruh dunia telah tertidur pulas terhadap hati Allah bagi dunia yang penuh dengan ketidakadilan. Gereja atau kita lebih asyik dengan pergumulan batin sendiri, berputar-putar dengan mimpi-mimpi dan trauma yang terasa nyata bagi kita. Padahal fakta yang begitu gamblang di tengahtengah kita menunjukkan bahwa semakin punah dan sekaratnya rasa kemanusiaan, makin maraknya pelacuran anak, perbudakan yang mencengkeram, epidemi malaria; HIV/AIDS dan harga diri manusia ditelanjangi.1 Yang mengherankan bahwa para pendeta (hamba-hamba Tuhan) turut mempertahankan gaya hidup terlelap ini dengan khotbah yang menghindari teguran dan suara kenabian2 (khotbah bermental kerupuk) sehingga dapat dipastikan bahwa kualitas jemaat akan semakin merosot dikarenakan khotbah-khotbah para pendeta yang lebih ingin menyenangkan telinga jemaat. Bertitik tolak dari masalah di atas, maka sangat penting ditegaskan kembali mengenai peran manusia Allah yang tertulis di dalam 1Timotius 6:11-21. Sebelum masuk dalam bagian pembahasan, maka ada baiknya apabila terlebih dahulu dipaparkan mengenai penulis kitab 1Timotius, pribadi Timotius, alamat surat 1Timotius ditujukan dan latar belakang penulisan kitab 1Timotius.
1
Mark Labberton, Bahaya Ibadah Sejati (Surabaya: Literatur Perkantas Jawa Timur, 2011), 19, 24 2 Ibid., 24
ANALISIS LATARBELAKANG SURAT I TIMOTIUS Pada bagian ini penulis meneliti dan mempresentasikan latarbelakang teks yang meliputi: penulis surat 1Timotius, figur Timotius, dan latarbelakang surat.
Penulis Surat 1Timotius Kitab 1Timotius merupakan salah satu dari surat-surat Perjanjian Baru yang disebut dengan surat penggembalaan. Surat ini tetap relevan sampai sekarang mulai dari sejak tulisan itu ditulis.3 Tulluan berpendapat bahwa 1Timotius ini ditulis di Makedonia sekitar satu tahun setelah Paulus dibebaskan yaitu tahun 63 dengan pertimbangan bahwa Paulus terlebih dahulu melayani di Asia Kecil sebelum ke Spanyol. Kalau kita mengikuti pandangan bahwa Paulus ke Spayol terlebih dahulu, maka angka-angka tahun harus digeser satu sampai dua tahun4 yaitu tahun 645 atau tahun 65.6 Berkenaan dengan penulis Surat 1Timotius, ada pengritik-pengritik modern yang berpendapat bahwa kitab ini merupakan karya seorang pengarang yang tidak dikenal yang mengarangnya dengan nama Paulus sekitar 40 tahun setelah Paulus mati untuk menitikberatkan beberapa ajaran tertentu. Tetapi perkiraan ini tidak mempunyai alasan yang berdasarkan sejarah karena sejak dulu ketiga surat ini diterima baik sebagai buah pena Paulus yang sejati. Teori ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, sebab apabila surat-surat tersebut bukan buah karya Paulus yang sejati, melainkan hasil pemalsuan belaka, maka tidak mungkin surat tersebut dihisabkan ke dalam Alkitab dan dianggap sebagai firman Allah. 7
3
Paul Trebilco & Simon Rae, 1 Timothy (Manila: OMF Literature INC, 2006), 1 Ola Tulluan, Introduksi Perjanjian Baru (Batu: Departemen Literatur YPPII, 1999), 222 5 Henry H. Halley, Penuntun Ke Dalam Perjanjian Baru (Surabaya: Yakin, 1965), 253 6 Ola Tulluan, Introduksi Perjanjian Baru (Batu: Departemen Literatur YPPII, 1999), 222 7 Henry H. Halley, Penuntun Ke Dalam Perjanjian Baru (Surabaya: Yakin, 1965), 253 4
Pribadi Timotius Timotius berasal dari Listra (Kis 16:1). Ibunya seorang Yahudi, ayahnya Yunani. Neneknya bernama Louis dan ibunya Eunike (2Tim 1:5). 8 Ia dididik dalam adat istiadat Yahudi dan diajari Kitab Suci sejak kanakkanak.9 Bertobat karena pekabaran Injil yang disampaikan Paulus, 10 nampak dalam istilah yang digunakan, “anakku yang sah di dalam iman” (1Tim 1:2). Itu berarti Paulus-lah yang pernah melayani Timotius sehingga bertobat. Mungkin itu terjadi pada waktu Paulus melayani di tempat Timotius, yaitu di kota Listra, pada perjalanan misi yang pertama (Kis 14:6).11 Paulus menjadikan Timotius sebagai muridnya dalam perjalanannya yang kedua (Kis 16:1-3) dan sejak itu Timotius selalu menyertainya ke manapun dia pergi,12 sekitar tahun 51 (Kis 16:3). Selain itu, Berkenan di depan Allah (1Tim 1:18). Dipilih oleh para tua-tua dan Paulus (1Tim 4:14; 2Tim 1:6). Menyertai Paulus ke Troas, Filipi, Tesalonika dan Berea. Tinggal di Berea hingga dipanggil Paulus datang kepadanya di Atena (Kis 17:14-15). Lalu diutus lagi ke Tesalonika (1Tes 3:1-2). Sementara ia kembali, Paulus telah pergi ke Korintus (Kis 18:5; 1Tes 3:6). Membantu Paulus dengan menulis surat-surat Tesalonika (1Tes 1:1; 2Tes 1:1). Kemudian ia diutus Paulus dari Efesus ke Korintus (1Kor 4:17). Paulus berjumpa dengan dia di Makedonia dan kemudian ia membantu Paulus di dalam menulis surat 2Korintus (Kis 19:22; 2Kor 1:1). Mengikuti sebagian perjalanan Paulus ke Yerusalem (Kis 20:4). Kita tidak mengetahui apakah ia menyertai Paulus sepanjang perjalanan ke Yerusalem dan Roma, tetapi ia muncul di Roma dengan Paulus (Flp 1:1; 2:19-22; Kol 1:1; Flm 1). Kemudian hari ia tinggal di Efesus dan surat ini dikirimkan ke kota itu. Ia diminta datang ke Roma (2Tim 4:9). Tidak diketahui apakah ia berhasil tiba di Roma sebelum matinya Paulus. Ibrani 13:23 dikatakan bahwa ia pernah dibebaskan dari penjara. 13
Timotius adalah orang yang dapat dipercaya namun kurang bersemangat. Ia terkesan sebagai seorang yang belum dewasa meskipun ia pasti telah berusia sekurang-kurangnya tiga puluh tahun ketika Paulus menugaskan dia untuk memimpin Gereja di Efesus (1Tim 4:12), seorang 8
Halley, Penuntun Ke Dalam Perjanjian..., 253 Merril C. Tenney, Survei Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 2001), 414 10 Halley, Ibid. 11 Ola Tulluan, Introduksi Perjanjian Baru (Batu: Dep. Lit. YPPII, 1999), 223 12 Halley, Ibid. 13 Ibid. 9
penakut (2Tim 1:6,7) dan sering terganggu pencernaannya (1Tim 5:23). Surat yang memakai namanya ini dimaksudkan untuk membesarkan hati dan meneguhkan hati mereka untuk menerima tugas berat yang dilimpahkan Paulus kepadanya.14
Latarbelakang Surat 1Timotius Surat ini bersifat nasihat kepada Timotius untuk menolong Timotius dalam tugas menggembalakan jemaat di Efesus (1Tim 3:15) karena ada beberapa orang dalam jemaat itu yang mengajarkan ajaran lain dan sibuk dengan dongeng dan silsilah yang tiada putus-putusnya, yang hanya menghasilkan persoalan belaka dan bukan tertib hidup keselamatan yang diberikan Allah dalam iman (1Tim 1:4). Mereka hendak menjadi pengajar Hukum Taurat tanpa mengerti perkataan mereka sendiri (1Tim 1:7). 15 Surat ini juga bertujuan untuk menolong Timotius baik secara pribadi maupun dalam pelayanannya, agar dia sampai pada tingkat sebagaimana yang ditulis dalam 1Timotius 4:12, “jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataan, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu.” 16 Dengan kata lain, bahwa Kitab 1 Timotius merupakan petunjuk-petunjuk mengenai apa saja yang harus dilakukan dalam pelayanan terhadap jemaat Efesus. Surat 1Timotius 6:11-21 merupakan desakan Paulus kepada Timotius mengenai gaya atau cara hidup atau peran manusia Allah yang harus dilaksanakan (ay. 11-16), kemudian instruksi mengenai apa yang harus Timotius katakan kepada orang-orang percaya yang kaya (ay. 17-19) dan pada akhirnya Paulus memerintahkan kepada Timotius untuk tetap setia kepada Injil dalam berhadapan dengan guru-guru palsu yang disertai dengan doa mengenai kesatuan jemaat (ay. 20-21).
ANALISIS EKSEGETIS TEKS ITIMOTIUS 6:11-12 Kata tetapi (Yunani: de) dalam permulaan kalimat ayat 11 bukan hanya suatu partikel yang ditempatkan sesudah satu atau dua kata dalam 14
Merril C. Tenney, Survei Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 2001), 415 Tulluan, Introduksi Perjanjian..., 224 16 Ibid. 15
satu kalimat, tetapi lebih sering digunakan untuk menyatakan adanya suatu peralihan atau perubahan atau memperkenalkan sesuatu yang lain, apakah itu bersifat melawan atau menentang kalimat yang mendahuluinya, atau bisa juga bersifat menjelaskan lebih lanjut.17 Kata ini memiliki relasi (hubungan) yang erat dengan kalimat “jauhilah semuanya itu.” Kata kerja jauhilah dalam bahasa Yunani menggunakan kata pheugo (Verb 2 Singular Present Active Imperative) yang dapat diartikan to flee, to run or move hastily from danger because of fear, to escape danger or punishment, run away from.18 Bentuk present imperative merupakan suatu perintah untuk melakukan sesuatu secara terus-menerus.19 Sehingga present active imperative dapat dijelaskan bahwa pada saat seseorang diberikan perintah untuk melakukan suatu kegiatan, maka orang yang menerima perintah tersebut tidak boleh tinggal diam (pasif) melainkan harus segera melakukan apa yang diperintahkan secara terus-menerus (tanpa batasan waktu). Penulis lebih tertarik menggunakan kata larilah (NIV: flee – melarikan diri, mengambil langkah seribu) daripada kata jauhilah (TB) karena kata larilah merupakan cara tercepat bagi seseorang untuk menghindari diri dari bahaya. Yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang diberi perintah tersebut? Dalam ayat ini dituliskan “hai, engkau manusia Allah.” Siapa manusia Allah itu? Sebagaimana surat ini ditujukan oleh Rasul Paulus kepada Timotius, maka tidak perlu diragukan lagi bahwa yang dimaksud dengan manusia Allah dalam teks ini yaitu pribadi Timotius (pronoun personal, second person), anak rohani Paulus yang sah dalam iman dan yang juga adalah pemimpin jemaat di Efesus. Frasa “hai manusia Allah” merupakan seruan (manusia – anthrope – Noun Masculine Singular Vocative) yang tentunya tidak bisa dilepaskan dari peristiwa pertobatan Timotius. Melalui kalimat “manusia Allah”, Paulus hendak menyatakan bahwa sejak Timotius bertobat dan dipanggil menjadi hamba Tuhan, dia adalah milik Allah (Theo – noum masculine singular genitive). Oleh karena itu, seluruh hidup dan pelayanan Timotius harus mengungkapkan atau menyatakan kepemilikan Allah atas dirinya. Manusia Allah merupakan gelar yang paling terhormat. 20 Perdue berpendapat bahwa, this was a technical term in the Old Testament for 17 Spiros Zodhiates, The Complete Word Study Dictionary New Testament (Chattanooga: AMG Publishers, 1993), 399 18 Ibid. 19 J.W. Wenham, Bahasa Yunani Koine (Malang: SAAT, 1977), 56 20 E.M. Blaiklock, Surat-surat Penggembalaan (Malang: Gandum Mas, 1981), 60
prophet who acted in the name of God. The title was given to remind him that he had been entrusted with a divine message 21 (Ul 33:1; 1Sam 9:6; 1Raj 12:22; 13:122 - Musa, Samuel, Daud, Elia, Elisa dan yang lainnya). 23 Gelar manusia Allah ini diberikan kepada Timotius untuk membedakan dirinya dengan pengajar-pengajar palsu yang adalah manusia duniawi. 24 Kehormatan gelar manusia Allah ini terletak pada kepemilikan Allah dalam hidup Timotius sekaligus mengingatkan bahwa Timotius adalah pelayan Allah bukan pelayan manusia, dipanggil Allah bukan dipanggil manusia. Sebagai wujud nyata kepemilikan Allah atas dirinya, maka ada beberapa beberapa tindakan yang harus dilakukan Timotius yang mana tindakan tersebut nampak dalam beberapa kata kerja yang digunakan yaitu:
Jauhilah Semuanya Itu (ay. 11) Penulis tidak perlu memaparkan kembali apa pengertian yang terkandung dibalik kata “menjauhi” karena sudah dibahas di atas. Namun yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apa yang perlu dijauhi oleh manusia Allah? Jawabannya dapat kita perhatikan dari ayat-ayat sebelumnya, yaitu bersilat kata yang menyebabkan dengki, fitnah, cidera, curiga dan percekcokan serta cinta akan uang yang adalah akar dari segala kejahatan (1Tim 6:2b-10). Perdue berpendapat bahwa semua tindakan tersebut adalah karakteristik atau sifat jahat yang dimiliki oleh guru-guru palsu.25 Timotius dituntut untuk menjauhi atau menghindari hal-hal yang bersifat jahat tersebut selain bertentangan dengan kehendak Allah juga untuk menjaga reputasinya sebagai manusia Allah karena untuk itulah Timotius dipanggil. Kehendak Allah harus menyatu dalam dirinya (kehendak pribadinya harus ditenggelamkan dalam kehendak Allah – tidak berbuat sesuka hati). Hal ini senada dengan apa yang dituliskan Paulus dalam Galatia 2:20, “namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.”
Kejarlah yang Baik (ay. 11) 21
Cary M. Perdue, 1 Timothy Explained (Manila: O.M.F. Publishers, 1975), 87 R. Budiman, Surat-surat Pastoral I, II Timotius dan Titus (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984), 63 23 John R.W. Stott, The Massage of Timothy & Titus (Leicester: InterVarsity Press, 1997), 154 24 Stott, The Massage of Timothy..., 154 25 Cary M. Perdue, 1 Timothy Explained (Manila: O.M.F. Publishers, 1975), 87 22
Sesudah Timotius didesak untuk menjauhi semua hal yang jahat, maka selanjutnya Paulus memberikan komando untuk melakukan apa yang sebaliknya yaitu kejarlah keadilan, ibadah, kesetiaan, kasih, kesabaran, dan kelembutan. Kata kejarlah dalam bahasa Yunani yaitu dieoke (verb 2, singular, present, active, imperative) yang berasal dari kata dasar dioko yang secara khusus digunakan oleh tentara-tentara untuk mengejar musuh (Kel 15:9; Kej 31:23). Kata ini juga mengandung suatu desakan berusaha sekuat tenaga untuk mencapai suatu sasaran. 26 Spiros berpendapat bahwa kata ini dapat dipahami sebagai to follow after (Luk 17:23). To follow or press hard after, to pursue with earnestness and diligence in order to obtain, to go after with the desire of obtaining (Rom. 9:30-31; 12:13; 14:19; 1 Cor. 14:1). Kata ini merupakan antithesis dari kata flee (larilah; TB – jauhilah) yang menggambarkan karakter pribadi Paulus. Kata ini diulang kembali dalam 2Timotius 2:22 yang menyatakan watak orang saleh. Berdasarkan uraian di atas, maka Paulus mengatakan kepada Timotius bahwa sasaran yang harus dicapainya yaitu sasaran yang mulia dan untuk mencpai sasaran tersebut diperlukan adanya usaha sekuat tenaga bagaikan tentara-tentara yang secara intens mengejar musuh. Selain itu, Paulus berharap supaya Timotius mengikuti jejak Paulus sebagaimana yang disaksikan oleh Timotius dalam perjalanan misi Paulus. Usaha yang dilakukan dengan sekuat tenaga merupakan amunisi untuk mendukung keefektifan Timotius dalam pelayanannya. Teks mencatat bahwa ada beberapa tindakan yang baik yang harus dicapai Timotius.
Keadilan Dalam Yunani klasik, istilah dikaiosune (NIV: righteousness) berasal dari kata dike (hukuman). Dike adalah anak perempuan Dewa Zeus yang menyatakan atau membagikan pemerintahannya atas dunia. Zeus membuat perbedaan antara hukum binatang buas dengan manusia. Hukum binatang buas yaitu saling melahap atau menelan satu dengan yang lain. Tetapi bagi manusia yaitu supaya manusia membuat kehidupan menjadi mungkin (diperlakukan dengan tepat).27 Bagi Plato, dikaiosune adalah dasar struktur pemerintahan dan jiwa manusia. Adalah benar untuk menerima 26
Colin Brown, The New International Dictionary of New Testament. Vol. 2. (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1982), 805-806 27 Colin Brown, The New International Dictionary of New Testament. Vol. 2. (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1982), 353
keberadaan tingkat sosial yang berbeda-beda dan memberikan kepada seseorang sebagaimana yang pantas atau layak dia terima.28 Jadi, keadilan ini perlu dicermati dalam kerangka kehidupan sosial. Di dalam PB, kata keadilan berbicara dengan kebenaran Tuhan dan keadilan Tuhan bagi manusia berdosa. Keadilan dan kebenaran Allah secara esensial berkenaan dengan covenant (perjanjian) antara Allah dan umat-Nya yang telah dijadikan manusia baru. Baru yang dimaksud adalah Israel Baru di mana tidak ada lagi perbedaan antara orang Yahudi dan Yunani. Dengan demikian, batas pemisah harus dihapuskan.29 Kent berpendapat bahwa dikaiosune lebih mengarah kepada keadilan secara praktis (practical righteousness) dan orang-orang percaya harus menyatakannya,30 juga mengacu kepada tindakan moral sebagai integritas orang percaya.31 Mencermati penjelasan di atas, Paulus hendak mengatakan bahwa sebagai pemimpin jemaat di Efesus, Timotius tidak boleh membedabedakan status, apakah suku bangsa atau pun status sosial. Semuanya harus diperlakukan secara tepat. Paulus sangat menyadari bahwa batas-batas pemisah dapat menjadi pemicu perpecahan dalam jemaat sebagai anggota tubuh Kristus. Perbedaan yang ada di dalam jemaat harus dilebur dalam kesatuan tubuh Kristus. Covenant (perjanjian) antara Allah dengan umatNya menembus lapisan masyarakat. Tuhan tidak membeda-bedakan umatNya; semuanya masuk di dalam kategori umat perjanjian. Inilah moral Kristus dan harus juga menjadi moral Timotius.
Ibadah Dalam Alkitab NIV, kata godliness diterjemahkan kesalehan (TB: ibadah). Istilah Yunaninya eusebeian yang diterjemahkan devotion, piety toward God (Acts 3:12; 1 Tim. 2:2; 2 Ptr 1:6-7). Godliness or the whole of true religion, so named because piety toward God is the foundation and principal part of it.32 Akar kata seb memiliki pengertian to step back from 28
Ibid. Brown, The New International Dictionary..., 363 30 Homer A. Kent, JR., The Pastoral Epistles Studies in I and II Timothy and Titus (Chicago: Moody Press, 1958), 199 31 John Peter Lange, Commentary On The Holy Scriptures Galatians-Hebrews (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1976), 72 32 Spiros Zodhiates, The Complete Word Study Dictionary New Testament (Chattanooga: AMG Publishers, 1993), 685-683 29
someone or something to maintain a distance.33 Ketika eusebeia diaplikasikan dalam kehidupan Kristen, ini menunjukkan suatu kehidupan yang menerima Yesus yang ditampilkan dalam sikap atau gaya hidup. 1 Timotius 6:5 melaporkan bahwa ibadah yang bersifat menipu dilakukan juga oleh guru-guru palsu untuk mendapatkan keuntungan. Surat 1Timotius 6:3 juga melaporkan bahwa pengajar-pengajar sesat tidak memimpin kepada hidup kudus. Kekudusan hidup merupakan indikator bagi pengajaran.34 Kent berpendapat bahwa ibadah sangat dekat hubungannya dengan keadilan. Ibadah selalu berhubungan dengan kehidupan sehari-hari yang penuh dengan kasih.35 Ibadah itu sebenarnya sama artinya dengan devosi kepada Allah. Hal ini dikarenakan bahwa ibadah itu dilakukan atas dasar kasih kepada Allah. Ini merupakan hal prinsip, namun kasih kepada Allah tidak hanya dilakukan sebatas ajaran-ajaran murni yang keluar dari mulut tetapi juga kemurnia ajaran tersebut haruslah diimplementasikan dalam kehidupan sebagai orang Kristen/percaya. Ibadah itu adalah satunya kata dan perbuatan. Pada waktu Paulus mengatakan kepada Timotius kejarlah ibadah, maka ini merupakan tantangan kepada Timotius yang perlu ditanggapi secara serius bahwa ibadah itu berkenaan dengan kekudusan hidup. Timotius harus memberitakan pengajaran yang benar sebagai wujud nyata relasinya dengan Tuhan, namun di sisi yang lain Timotius harus mampu menerapkannya dalam praktis kehidupan sehari-hari, seperti: menghormati para janda yang benar-benar janda (1Tim 5:3), menghormati para tua-tua (1Tim 5:17), tidak mencari soal dan bersilat lidah, dengki, cidera, fitnah, curiga dan percekcokan (1Tim 6: 4-5) dan mencukupkan diri dengan apa yang ada (1Tim 6:8). Kesetiaan Poin yang ketiga yang harus dikejar oleh Timotius yaitu iman (NIV: faith). Dalam teks Yunaninya menggunakan istilah pistin yang berasal dari kata pistos yang diterjemahkan kepercayaan, iman, kesetiaan, agama, ajaran yang diimani, janji dan bukti.36 Iman adalah sikap di mana seseorang melepaskan andalan pada segala usahanya sendiri untuk mendapat 33
Colin Brown, The New International Dictionary of New Testament. Vol. 2 (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1982), 91 34 Spiros Zodhiates, The Complete Word Study Dictionary New Testament (Chattanooga: AMG Publishers, 1993), 683 35 Homer A. Kent, JR., The Pastoral Epistles Studies in I and II Timothy and Titus, (Chicago: Moody Press, 1958), 199 36 Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru. Jilid II (Jakarta: LAI, 2004), 641
keselamatan, apakah itu kebajikan, kebaikan susila atau apa saja, kemudian mengandalkan Kristus sepenuhnya. Iman mengimplikasikan pengakuan kita bahwa kita adalah orang berdosa dan dengan demikian tidak dapat menyelamatkan diri sendiri dari yang jahat dan melakukan yang baik. 37 Walaupun kesetiaan dan iman adalah dua kata yang berbeda, namun kedua kata ini saling bertalian satu dengan yang lain karena pada hakikatnya iman memerlukan kesetiaan. Iman tanpa kesetiaan adalah spekulasi (dusta) sedangkan kesetiaan tanpa iman adalah salah arah. Timotius dituntut untuk senantiasa bersandar kepada Tuhan. Motivasinya dalam melayani haruslah menyenangkan hati Tuhan. Tidak boleh ikutikutan dengan pengajar-pengajar palsu yang hanya bersandar pada manusia dan motivasi pelayanannya pun menyenangkan perut mereka (hanya berorientasi pada uang).
Kasih Blue perpendapat bahwa berkenaan dengan sumbernya, kasih itu berasal dari hubungan pribadi dengan Yesus Kristus (1Tim 1:14; 2Tim 1:13), yang diberikan oleh Roh Kudus (bnd. 2Tim 1:7). Natur kasih yaitu orang-orang Kristen tidak boleh hidup untuk dirinya sendiri tetapi bagi orang lain juga, karena fokus kasih tersebut adalah Gereja yang adalah komunitas orang-orang percaya.38 Brown melanjutkan, bahwa kata ini sangat dekat dengan iman, keadilan dan anugerah, yang mana semuanya merupakan poin utama dalam pribadi Allah. Kasih agape itu selalu berhubungan dengan dua hal yaitu kasih kepada Allah dan kasih kepada manusia. Kasih berdiri tegak melampaui otoritas dan kekuasaan yang dimiliki manusia. Melalui kasih ini, kemuliaan Allah secara terus-menerus dinyatakan.39 Kasih merupakan motivasi seseorang pada saat seluruh kegiatan di lakukan di dalam iman, lebih tepatnya lagi kasih menyebabkan iman bekerja.40 Pernyataan tersebut didasarkan karena adanya hubungan erat antara iman dan kasih. Kepercayaan kepada Tuhan harus direfleksikan dalam kasih kepada sesama. Oswald berpendapat bahwa, pure love does seek its own good but the good of others. Therefore lust and love are 37
L. Morris, Dictionary of Paul and His Letters (Leicester: InterVarsity Press,
1993), 285 38 B.B. Blue, Dictionary of Paul and His Letters (Leicester: InterVarsity Press, 1993), 576-577 39 Colin Brown, The New International Dictionary of New Testament. Vol. 2 (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1982), 545-546 40 Cary M. Perdue, 1 Timothy Explained (Manila: O.M.F. Publishers, 1975), 87
different. The love which has to do with lust seeks its own advantages in all things. Christian love seeks the advantages of others in itself. That which the father has he shares in turn with his children.41 Paulus sangat berharap supaya Timotius selalu menjalankan pelayanan yang dipercayakan tuhan kepadanya dalam kasih sebagaimana Tuhan adalah kasih adanya. Kesanggupan Timotius dalam melayani jemaat Efesus bergantung pada sejauhmana kasihnya kepada Tuhan. Ada indikasi bahwa segala persoalan yang terjadi di dalam jemaat kendatipun berat, jangan pernah berpikir untuk melarikan diri dari pelayanan (ini yang disebut mencari keuntunga diri sendiri). Timotius harus mengabdikan dirinya kepada jemaat yang dilayani sebagai implementasi pengabdiannya kepada Tuhan. Melarikan diri dari pelayanan sama halnya dengan menyangkal otoritas Tuhan sebagai pemilik hidup dan pemberi kesempatan untuk melayani. Hamba Tuhan yang melarikan diri dari pelayanan adalah hamba Tuhan yang jahat.
Kesabaran dan Kelembutan Istilah hupomone berasal dari kata hupo yang berarti under dan meno yang berarti remain.42 Istilah ini memiliki beberapa pengertian yaitu kesabaran, ketekunan, ketabahan, menantikan.43 Hupomone ini disejajarkan dengan berharap (1Tes 1:3) dan juga berhubungan dengan kualitas atau karakter yang tidak mengizinkan seseorang untuk menyerah kepada keadaan atau mengalah di bawah pencobaan. Secara umum, kata ini berarti bertahan secara konstan dalam iman dan tanggungjawab. Secara spesifik, hupomone (kesabaran) adalah kualitas pemikiran seseorang dalam menanggung sengsara (yang jahat) dan sabar dengan pikiran tenang (Rm 5:3,4; 15:4,5),44 is our spirit toward the enemies of the truth.45 Dengan kata lain, hupomone ini merupakan suatu jaminan supaya bertahan dalam menjalankan tugas yang sulit. Hilton C. Oswald (ed.), Luther’s Works. Volume 28 (Missouri: Concordia Publishing House, 1973), 372-373 42 Homer A. Kent, JR., The Pastoral Epistles Studies in I and II Timothy and Titus (Chicago: Moody Press, 1958), 200 43 Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru. Jilid II (Jakarta: LAI, 2004), 782 44 Spiros Zodhiates, The Complete Word Study Dictionary New Testament (Chattanooga: AMG Publishers, 1993), 1425 45 John Peter Lange, Commentary On The Holy Scriptures Galatians-Hebrews (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1976), 72. 41
Istilah prautes dapat dijelaskan bahwa marah pada saat yang tepat, ukuran yang tepat dan alasan yang tepat. Kelembutan adalah suatu kondisi di mana hati dan pikiran mendemonstrasikan kehalusan, bukan dalam kelemahan tetapi dalam kekuatan. Ini merupakan kekuatan karakter yang seimbang.46 Nicholson menambahkan sebagai berikut: Patience and meekness express the principles that are required in one who is to successfully resist the antagonism of the world. The provocations will be great but God’s gracious provision is the believer’s sufficiency (cf. II Cor. 12:9-10). Lea menambahkan, he needed gentleness in order to deal effectively with cantankerous heretics and wavering beleievers.47
Paulus menyadari bahwa tugas dan tanggungjawab Timotius bukanlah mudah, Timotius harus bersabar, bertahan, tidak mudah putus asa atau mengalah pada keadaan. Dalam menghadapi situasi pelayanan, sangat dibutuhkan ketenangan berpikir atau pikiran yang sehat dengan tujuan supaya Timotius tidak gegabah dalam bertindak (salah dalam melangkah). Walaupun dalam usia yang muda, Timotius diharapkan dapat mengendalikan emosinya. Tidak gampang untuk marah. Emosi yang meledak-ledak menandakan ketidakstabilan karakter. Kematangan hati dan pikiran diperlukan untuk menghasilkan tindakan yang tepat.
Hidup Dalam Pertandingan Iman (ay. 12-13) Dalam ayat ini ada dua kata kerja yang saling berkaitan yaitu bertandinglah dan rebutlah. Kata agonizou (verb 2 singular present middle imperative) berasal dari kata agonizomai yang berarti bertanding, berjuang, berupaya dengan sungguh-sungguh. Kata ini sering dipakai dalam bidang olah raga.48 Sedangkan kata rebutlah menggunakan bahasa Yunani yaitu epilabou (verb 2 singular aorist middle imperative). Agonizomai (contend) dan agon (contest) adalah terminologi yang berasal dari dunia atletik. Dunia atletik sangat disenangi Paulus (Flp 3:1314). Kontestannya haruslah orang-orang beriman (tes pisteos) yaitu seorang
46 Spiros Zodhiates, The Complete Word Study Dictionary New Testament (Chattanooga: AMG Publishers, 1993), 1210 47 Thomas D. Lea, Hayne P. Griffin, Jr., The New American Commentary 1, 2 Timothy Titus (Nashville; Broadman Press, 1992), 172 48 Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru. Jilid II (Jakarta: LAI, 2004), 17
yang telah menjadi Kristen.75 Kata ini digunakan dalam present tense untuk menunjukkan perjuangan atau usaha yang terus-menerus (berkelanjutan).76 Pertandingan iman disebut sebagai pertandingan yang benar (baik) karena ada pertandingan/perjuangan yang tidak baik, misalnya memperjuangkan laba keji seperti yang dilakukan oleh guru-guru palsu/sesat (1Tim 6:5). 77 Kehidupan Kristen sesungguhnya adalah pertandingan iman yang mana sangat dibutuhkan kegigihan. Kemudian Paulus melanjutkan dengan mengatakan, rebutlah kehidupan kekal. Secara literal, kata rebutlah (NIV: take hold) yaitu grab the nose. Dalam tense aorist mengindikasikan suatu tindakan yang meyakinkan/tegas.78 Ola Tulluan berpendapat bahwa penggunaan aorist menekankan suatu perbuatan yang satu kali selesai dilakukan pada masa lampau.79 Mencermati kasus dari kedua kata kerja di atas, maka hidup kekal sebenarnya telah diperoleh oleh Timotius satu kali pada masa lampau, namun kegiatan bertanding setelah memperoleh hidup kekal tersebut harus dilakukan terus-menerus selama hidup. Dalam 1Timotius 1:16 dituliskan bahwa kehidupan kekal adalah hasil dari percaya kepada Kristus. Dalam pasal 6:12 diajarkan bahwa kehidupan kekal harus dipegang teguh. Hidup kekal juga merupakan sesuatu yang diperoleh pada akhirnya. Yang menjadi penekanan di sini yaitu antara “sudah dan belum”, namun seringkali ditemukan dalam Perjanjian Baru dalam bentuk present (sekarang). Maksudnya adalah bahwa sejak seseorang menjadi percaya, dia sudah memiliki hidup yang kekal, namun penyempurnaan terakhir adalah pada masa yang akan datang yaitu kedatangan Kristus kedua kali. Paulus juga mengatakan bahwa Timtius dipanggil kepada hidup yang kekal (1Kor. 1:9; 7:17-24; 2Tes. 2:14). Allah bertindak terlebih dahulu tetapi juga dibutuhkan respon manusia. 80 Hidup kekal yang dimiliki sekarang diperoleh melalui kematian yang penuh (mati dari dosa).81 Hidup kekal tersebut nampak dalam gelar yang diserukan oleh
75
Homer A. Kent, JR., The Pastoral Epistles Studies in I and II Timothy and Titus (Chicago: Moody Press, 1958), 200-20 76 Cary M. Perdue, 1 Timothy Explained, (Manila: O.M.F. Publishers, 1975), 88. 77 R. Budiman, Surat-surat Pastoral I, II Timotius dan Titus (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984), 63-64 78 Cary M. Perdue, 1 Timothy Explained, (Manila: O.M.F. Publishers, 1975), 88 79 Ola Tulluan, Bahasa Yunani. I (Batu: Dept. Literatur YPPII, 1992), 40 80 Paul Trebilco & Simon Rae, 1 Timothy (Manila: OMF Literature INC, 2006), 184-185 81 Cary M. Perdue, 1 Timothy Explained, (Manila: O.M.F. Publishers, 1975), 88
Paulus kepada Timotius yaitu manusia Allah. Bagi seorang yang sudah memiliki hidup kekal, harta benda dunia tidaklah terlihat begitu penting. 82 Stott berpendapat bahwa dalam pertandingan iman diperlukan kesensitifan roh. Kebenaran adalah yang terutama, berharga dan sakral karena berasal dari Allah. Hidup yang kekal juga bukan hanya berkenaan dengan durasi waktu tetapi juga kualitas. Bertanding dalam kebenaran tidak boleh mengabaikan kekudusan. Demikian juga sebaliknya, kekudusan tidak boleh lepas dari kebenaran.83 Dalam ayat 12b dituliskan bahwa dalam pertandingan iman, Timotius memiliki banyak saksi. Istilah martus (TB: saksi) mengandung arti one who has information or knowledge of something, and hence one who can give information, bring to light or confirm something (Matt. 18:16; 26:65; Mark 14:63; Luke 24:48; Acts 1:22; 5:32; 7:58; 2 Cor. 13:1; 1 Tim. 5:19; Heb. 10:28). Also martus is used as a designation of those who have suffered death in consequence of confessing Christ (Rev. 17:6).84 Saksi yang pertama adalah Allah sendiri. Hal ini dikarenakan Dialah yang memberikan hidup dan hidup kekal (hidup baru; Rm 6:4; Ef 2:5) dan juga menopang Timotius dalam menggenapi rencana-Nya. Allah sendiri yang menyaksikan kehidupan kekristenan Timotius. Allah juga yang memberikan semangat kepada Timotius untuk berjalan harmonis sesuai dengan pengakuannya.85 Oleh karena itu, Timotius tidak perlu bimbang. Di hadapan Kristus Yesus yang telah mengikrarkan ikrar yang benar di muka Pontius Pilatus menyatakan akan keberanian Yesus untuk menyaksikan tentang kebenaran yang sejati dan tidak takut terhadap konsekuensi-konsekuensinya (Yoh 18:37) bahkan berani menghadapi kematian.86 Jabatan Pontius Pilatus sebagai petinggi Romawi tidak mematahkan semangat Yesus dalam bersaksi bahwa Dialah Sang Juruselamat manusia. Pengalaman Yesus dalam pelayanannya semasa di dunia dipakai sebagai teladan untuk menguatkan tekad Timotius untuk bersaksi tentang kebenaran iman di tengah-tengah perlawanan-perlawanan. Yesus tidak pernah takut untuk memberitakan kebenaran bahwa diri-Nya 82
Homer A. Kent, JR., The Pastoral Epistles Studies in I and II Timothy and Titus (Chicago: Moody Press, 1958), 201 83 John R.W. Stott, The Message of Timothy & Titus (Leicester: InterVarsity Press, 1997), 156 84 Spiros Zodhiates, The Complete Word Study Dictionary New Testament (Chattanooga: AMG Publishers, 1993), 947 85 Homer A. Kent, JR., The Pastoral Epistles Studies in I and II Timothy and Titus, (Chicago: Moody Press, 1958), 201-202 86 Cary M. Perdue, 1 Timothy Explained (Manila: O.M.F. Publishers, 1975), 64
adalah Sang Mesias/Juruselamat. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Yesus dalam Matius 10:28 yaitu, “janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka. Paulus juga berkata di dalam 2Timotius 1:7-8, “Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan… Jadi, janganlah malu bersaksi tentang Tuhan kita dan janganlah malu karena aku, seorang hukuman karena Dia, melainkan ikutlah menderita bagi Injil-Nya oleh kekuatan Allah. Ada indikasi bahwa identitas Timotius sebagai manusia Allah bergantung kepada kesaksian dan keberaniannya. Hidup Sebagai Penurut (ay. 14-16) Kata “turutilah” dalam bahasa Yunani yaitu teresai dari kata dasar tereo yang artinya pay attention to, obey, comply with (teaching, custom, legal demands)87, keep, fulfill a duty.88 Perintah yang dimaksud adalah doktrin kristiani dan kewajiban-kewajiban (2Ptr 2:21; 3:2). 89 Trebilco melanjutkan bahwa perintah dalam ayat ini berkenaan dengan instruksi yang diberikan Paulus dalam keseluruhan suratnya. Ini yang menjadi tujuan mendasar dari surat ini.90 Kata turutilah nampaknya berpadanan dengan lakukanlah. Tidak cukup hanya mendengar tetapi harus dikonkritkan dengan melakukan. Brown berpendapat bahwa pada saat melakukan, yang diharapkan adalah melakukannya tanpa cacat dan cela atau dengan kata lain, murni dalam hal moral (Ef 5:27; Yak 1:27; 2Ptr 3:14). 91 Dalam melakukan perintah tersebut maka yang ditekankan adalah ketekunan yang jelas termuat dalam kalimat lanjutan yaitu “sampai Tuhan kita Yesus Kristus menyatakan diri-Nya.” Manifestasi memang berkenaan dengan kedatangan pertama dan kedua Yesus Kristus dalam surat penggembalaan (2Tim 4:1,8; Tit 2:13; bnd. 2Tes 2:8). Namun yang dimaksud dalam hal ini yaitu berkenaan dengan kedatangan Yesus yang kedua kali. Mengenai waktu kedatangan-Nya tidak diketahui secara pasti 87
Colin Brown, The New Intenational Dictionary of New Testament. Vol. 2 (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1982), 132 88 Spiros Zodhiates, The Complete Word Study Dictionary New Testament (Chattanooga: AMG Publishers, 1993), 1380 89 Ibid., 594 90 Paul Trebilco & Simon Rae, 1 Timothy (Manila: OMF Literature INC, 2006), 186 91 David Brown, A Commentary on the Old and New Testament Volume Three (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1978), 499
(tidak dapat dihitung dengan akal manusia) karena itu adalah kedaulatan (hak prerogatif) Allah. Dukungan terhadap kalimat tersebut nampak dalam kalimat selanjutnya yang mengatakan bahwa kedatangan Kristus yang kedua adalah saat yang ditentukan oleh Penguasa satu-satunya (ay. 15). Surat 1Timotius 2:6 dan Titus 1:3 menggunakan frase “waktu yang tepat.” Sebagaimana kedatangan Kristus yang pertama adalah waktu Tuhan sendiri, demikian juga dengan kedatangan yang kedua 92 atau parusia dimana Tuhan datang sebagai Hakim atas dunia.93 Stott berpendapat bahwa kedatangan Kristus ditentukan oleh Penguasa mengandung makna bahwa Allah adalah Pribadi yang tidak terkalahkan, sumber berkat dan pengatur raja-raja. Dalam PL, Nebukadnezar dari Babilonia dijuluki “raja segala raja, tetapi Yahwehlah dikenal sebagai Tuhan di atas segala tuhan, Allah di atas segala allah. Di dalam PB, Kristus diberikan gelar kombinasi yaitu Raja segala raja dan Tuhan atas segala tuhan. Pengakuan ini diberikan sebagai perlawanan terhadap pengkultusan terhadap kaisar dan juga pemujaan terhadap Dewi Artemis. Tidak ada seorangpun yang dapat merubah otoritas Tuhan.94 Dalam ayat 16, Allah yang berdaulat dilaporkan sebagai Pribadi yang tidak takluk kepada maut. Maut yang dimaksud adalah kematian. Tidak ada satupun manusia yang dapat merubah waktu kehidupan. Manusia pada akhirnya akan mati. Berbeda halnya dengan Yesus yang pernah mati tetapi bangkit lagi pada hari ketiga. Calvin berpendapat bahwa ketidaktaklukkan Allah kepada kematian menegaskan kepada manusia bahwa hidup manusia hanyalah dipinjamkan oleh Allah. Selain itu, dinyatakan bahwa hidup ini tidaklah berarti dibandingkan dengan hidup yang akan datang bersama dengan Tuhan.95 Demikian juga dengan Timotius. Timotius diingatkan bahwa dia pada akhirnya akan mati. Allah tidak takluk pada maut karena Dia memiliki hidup dari diri-Nya sendiri dan Dialah sumber hidup. Oleh karena itu, Timotius diharapakan tidak menyianyiakan hidup yang Tuhan berikan. Allah yang berdaulat itu bersemayam dalam terang yang tidak terhampiri. Kalimat tersebut mengacu kepada tempat Allah tinggal yang 92
Paul Trebilco & Simon Rae, 1 Timothy (Manila: OMF Literature INC, 2006),
187 93 John Peter Lange, Commentary On The Holy Scriptures Galatians-Hebrews (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1976), 73 94 John R. W. Stott, The Massage of Timothy & Titus (Leicester: InterVarsity Press, 1997), 159 95 John Calvin, Commentaries on the Epistles of Paul to the Galatians and Ephesians (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1979), 167
digambarkan sebagai yang mulia. Kekudusan tempat tersebut tidak dapat dipisahkan dari kekudusan Pribadi Allah sendiri. Orang yang masuk ke dalamnya adalah orang yang sudah dikuduskan oleh Allah dan terusmenerus hidup dalam kekudusan. Tempat tinggal Allah yang kudus tidak mungkin didiami oleh manusia yang masih hidup dalam dosa (kegelapan). Itulah sebabnya, kesadaran Timotius sebagai pribadi yang sudah dikuduskan oleh Allah dan terus-menerus hidup dalam kekudusan adalah mutlak. Sebagai pemimpin jemaat, Timotius juga penting untuk mendorong jemaat Efesus sebagai pribadi-pribadi yang sudah dikuduskan untuk terusmenerus hidup di dalam kekudusan sehingga layak untuk diam di kediaman Allah yang Mahakudus. Dikuduskan dan hidup terus-menerus dalam kekudusan merupakan satu paket kehidupan orang sudah diselamatkan. Mengacu kepada kedaulatan Allah yang tidak dimiliki oleh manusia manapun di dunia ini, Paulus berkata, bagi-Nyalah hormat dan kuasa yang kekal. Amin. Trebilco berpendapat bahwa selain keunikan Allah yang nampak di dalam kedaulatan-Nya, doksologi juga disampaikan karena kerelaan Allah mau menjalin komunikasi dengan manusia.96
Memberi Peringatan Kepada Orang-Orang Kaya (ay. 17-19) Dalam ayat 17, istilah paranggelo (TB: peringatkanlah; NIV: command) berasal dari preposisi para dan kata kerja anggelo. Preposisi para mengekspresikan ide atau gagasan yang sangat dekat dengan suatu kasus. Sedangkan kata anggelo berarti menyampaikan pesan. Paranggelo memiliki makna orang yang menyampaikan suatu pesan karena ada kasus yang terjadi. Paranggelo ini biasanya mengacu kepada perintah yang diterima dari seorang atasan dan diteruskan kepada orang lain 97 atau dari seorang raja kepada rakyatnya (1Sam 15:4; 23:8). Orang-orang kaya dalam teks ini digunakan kata plousiois yang berarti benda-benda (materi), sumber kekuasaan atau pengaruh (Why 5:12). Berkenaan dengan kata plousiois ini, maka yang dimaksud dengan orangorang kaya yaitu tidak hanya kaya secara materi tetapi juga orang yang memiliki kekuasaan atau pengaruh di dalam masyarakat atau dunia kerja karena mencermati kota Efesus yang makmur sebagai kota perdagangan sehingga ada kemungkinan bahwa jemaat Efesus juga ada yang kaya. 96
Paul Trebilco & Simon Rae, 1 Timothy (Manila: OMF Literature INC, 2006),
97
Study Dictionary New Testament
188 Spiros Zodhiates, The Complete Word (Chattanooga: AMG Publishers, 1993), 1100
Inti atau tujuan dari peringatan tersebut yaitu jangan tinggi hati dan jangan berharap kepada kekayaan. Istilah hupselophronein (tinggi hati) mengandung arti terlalu bangga. 98 Nampaknya orang-orang kaya di Efesus memiliki mental atau watak yang membanggkan kekayaannya. Ini nampak dalam kasus Verb Present Active Infinitive yang digunakan yang berarti terus-menerus tinggi hati. Kemudian dilanjutkan dengan kata “berharap” menggunakan istilah helpikemai yang artinya berharap.99 Walaupun kedua kata tersebut berbeda, namun spirit yang terkandung di dalamnya bahwa kekayaan yang mereka miliki telah berurat akar (memiliki pengaruh yang kuat) dalam hidup mereka sehingga kekayaan itu menjadi suatu andalan atau hati dan pikiran pemiliknya telah melekat pada harta kekayaannya (dikuasai oleh hartanya – terikat kepada mamon). Pfeiffer berpendapat bahwa orang-orang kaya ini telah jatuh ke dalam dosa kesombongan. 100 Yang menjadi penekanan mengapa tidak boleh tinggi hati dan berharap pada kekayaan karena merupakan sesuatu yang tidak tentu. Kalimat tidak tentu ini mengandung arti tidak tetap/tidak kekal/ bersifat sementara. Ini senada dengan apa yang tertulis dalam Matius 6:20 bahwa harta kekayaan adalah benda yang dapat dirusak oleh ngengat dan karat bahkan dapat dicuri orang lain. Fee menuliskan bahwa meletakkan pengharapan dalam kekayaan yang tidak tentu adalah dicela oleh para nabi (Yer 9:23) dan melihat kekayaan sebagai sesuatu yang melebihi yang lain dapat menutup pintu kerajaan sorga sebagaimana yang dikatakan Tuhan Yesus (Mrk 10:17-27; Luk 12:15-21).101 Setelah memberikan teguran kepada orang-orang kaya yang sombong, Timotius memberikan arahan mengenai apa yang harus dilakukan dengan kekayaan yang dimiliki. Dalam ayat 18 dilaporkan bahwa orang-orang kaya tersebut haruslah berbuat baik yang diwujudnyatakan dalam suka memberi dan membagi. Berbuat baik merupakan suatu tindakan yang menguntungkan/ menyenangkan sesama. Berbuat baik merupakan hasil dari karakter yang baik. Kata ini juga berhubungan dengan kebebasan mengasihi yang diharapkan dari orang-orang kaya.102 98
Spiros Zodhiates, The Complete Word Study Dictionary New Testament (Chattanooga: AMG Publishers, 1993), 1454 99 Ibid., 570 100 Charles F. Pfeiffer and Everet F. Harrison, Tafsiran Alkitab Wycliffe (Malang: Gandum Mas, 2001), 883 101 Gordon D. Fee, 1 and 2 Timothy, Titus (San Fransico: Harper & Row, 1984), 115 102 Gerhard Kittel and Gerhard Friederich (eds), Theological Dictionary of the New Testament (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1985), 3
Suka membagi dan memberi merupakan dua kata yang sederajat. Tindakan ini menunjukkan adanya ikatan persaudaraan dalam kehidupan ke-Kristenan sebagai perwujudan iman seseorang kepada Kristus. Membagi dan memberi juga merupakan ekspresi kehidupan yang bersosialisasi. Orang-orang Kristen yang kaya memiliki tanggungjawab yang besar untuk melakukan kebajikan. Adalah tepat apabila dikatakan bahwa orang yang suka memberi dan membagi kekayaannya kepada orang lain yaitu orang yang menggunakan kekayaannya dengan bijaksana. Lea menambahkan bahwa Paulus menyarankan bahwa kekayaan yang sejati bergantung pada apa yang kita beri, bukan apa yang kita miliki.103 Orang yang melakukan kebajikan dapat disebut sebagai orang yang murah hati. Dalam Matius 5:7 dikatakan, “berbahagialah orang yang murah hatinya karena mereka akan beroleh kemurahan.” Mazmur 23:6 berkata, “kebajikan dan kebenaran akan mengikuti aku seumur hidupku.” “Dan dengan demikian mengumpulkan suatu harta sebagai dasar yang baik bagi dirinya diwaktu yang akan datang untuk mencapai hidup yang sebenarnya” mengacu kepada ucapan Yesus dalam Matius 6:20 yaitu, kumpulkanlah bagimu harta di surga. Harta yang dimaksud bukanlah harta secara materi, melainkan sebagaimana yang dikatakan oleh Stott bahwa, he used his influence in the present to secure his future, and Jesus commended him for his prudence, thought not far his dishonesty.104 Tidak juga dikatakan bahwa dengan perbuatan-perbuatan baik orang bisa memperoleh hidup kekal. Manusia diselamatkan oleh karena kasih karunia Allah bukan oleh perbuatan baik. Tetapi bagi Paulus iman bukan sekedar teoritis melainkan suatu kebenaran yang dihayati dengan sikap hidup dan didukung oleh perbuatan-perbuatannya.105 Paulus hendak mencegah orang-orang Kristen yang kaya di Efesus supaya tidak terjerumus ke dalam dosa cinta uang karena merupakan akar segala kejahatan dan potensi untuk menyimpang dari iman sangat besar (1Tim 6:10). Orang yang sudah diselamatkan harus nampak dalam perbuatan yang tidak berorientasi pada harta kekayaan di dunia ini, melainkan harta surgawi yang berkualitas dan tidak fana. Bukan berarti seseorang tidak boleh kaya, namun kekayaan yang dimiliki tidak digunakan untuk kepentingan diri sendiri tetapi juga untuk menyatakan kasih kepada sesama. 103 Thomas D. Lea, Hayne P. Griffin, Jr., The New American Commentary 1, 2 Timothy Titus (Nashville; Broadman Press, 1992), 176 104 John R. W. Stott, The Massage of Timothy & Titus (Leicester: InterVarsity Press, 1997), 162 105 R. Budiman, Surat-surat Pastoral I, II Timotius dan Titus (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984), 68
Peliharalah Apa yang Dipercayakan (ay. 20-21) Beberapa abad yang lalu pengajar-pengajar sesat yang dikenal dengan Gnostik masuk dan menyesatkan beberapa jemaat Kristen. Para pengajar Gnostik mengatakan bahwa keselamatan diperolah dengan menguasai “pengetahuan” bahwa jiwa terpisah dari dunia. Dengan demikian, Paulus memberikan dua perintah terakhir kepada Timotius. Pertama, memelihara/menjaga apa yang telah dipercayakan kepadanya. Kata deposit (paratheke) is a banking term denoting a sum deposited to the responsibility of a bank (cf. the same word in 2 Tim. 1:12, 14). This also included keeping his life pure and faithfully proclaiming the truth. Kedua, berbalilk dari perkataan omong kosong dan menghindari ajaran sesat mengenai intelektual yang baru. Ajaran Gnostik tersebut adalah ajaran yang tidak berguna (sia-sia). Paulus tidak ingin Timotius membuang waktunya untuk memikirkan ajaran tersebut (diabaikan saja). Diskusi yang dilakukan mereka adalah diskusi omong kosong mengenai dongeng-dongeng, silsilah dan asketisme. Pengajaran yang disampaikan Paulus adalah pengajaran yang sejati.106 Adapun wujud dari apa yang dipercayakan kepada Timotius yaitu Injil dan pemberitaannya serta pembinaan kepada jemaat untuk menghayati imannya kepada Yesus, baik dalam ajaran maupun dalam kelakuan. Timotius merupakan generasi penerus Paulus untuk menjaga kemurnian Injil. Ilmu teologi memang berkewajiban menerapkan Injil secara secara baru untuk tiap zaman. Tetapi sekalipun cara pengungkapannya untuk tiap zaman dapat berubah, inti kebenaran Injil harus senantiasa dijaga kemurniannya. Ajaran gnostik adalah ajaran yang tidak suci, sekalipun mereka menggunakan kata-kata yang suci, namun isinya melawan Injil. Ingatlah bahwa kekuatan Injil tidak terletak di dalam kata-kata yang indah, melainkan di dalam kuasa Roh Kudus (bnd. 1Kor 2:4,5; 4:20).107 KESIMPULAN Kendatipun Timotius masih muda dalam memimpin jemaat di Efesus, namun Paulus tidak ragu akan hal itu. Bahkan Paulus menyebut Timotius dengan sebutan “manusia Allah.” Sebutan tersebut merupakan 106
Thomas D. Lea, Hayne P. Griffin, Jr., The New American Commentary 1, 2 Timothy Titus, (Nashville; Broadman Press, 1992), 176-177 107 R. Budiman, Surat-surat Pastoral I, II Timotius dan Titus (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984), 68-69
gelar yang paling terhormat yang menyatakan akan kepemilikan Allah atas dirinya. Gelar ini diberikan Paulus untuk membedakan Timotius dari pengajar-pengajar palsu. Sebagai pribadi yang dimiliki Allah tidak bisa dilepaskan dari pertobatan Timotius sebagai hasil pelayanan Paulus. Sebagai milik Allah, Paulus memberikan rambu-rambu mengenai apa yang tidak perlu dilakukan (dihindari) dan mana yang perlu dilakukan. Bersilat kata, dengki, fitnah, curiga, percekcokan dan cinta uang harus dijauhi karena akan menghancurkan reputasi Timotius dan pelayanannya. Sebaliknya yang harus dilakukan dengan sekuat tenaga yaitu hidup dalam keadilan, ibadah, kesetiaan, kasih, kesabaran dan kelembutan. Hal-hal tersebut tidak hanya mencerminkan karakter Paulus tetapi juga merupakan kehendak Allah sendiri. Dalam memenuhi semuanya itu, Paulus berkata bahwa hidup itu bagaikan pertandingan yang menuntut ketahanan, bukan hanya fisik tetapi juga spiritual. Dalam pertandingan tersebut Paulus berkata bahwa Timotius tidak berjuang sendiri. Tuhan yang adalah Sumber hidup akan menopang dan memberikan semangat kepada Timotius untuk dapat memenangkan pertandingan. Oleh karena itu, tidak perlu bimbang dan ragu untuk menyaksikan kebenaran kendatipun konsekuensi yang dihadapi tidaklah mudah. Paulus memberikan referensi mengenai bagaimana Kristus berani mengikrarkan ikrar yang benar di hadapan Pontius Pilatus yang adalah petinggi Romawi pada waktu itu. Paulus mengarahkan pandangan Timotius bukan kepada kesulitan pelayanan yang dialami tetapi kepada kemuliaan yang sudah disediakan Allah baginya. Lakukanlah tugas panggilanmu, jangan pernah menyia-nyiakan kesempatan yang Tuhan berikan. Demikian juga dalam relasi dengan jemaat-jemaat yang kaya, jangan takut untuk berpesan kepada mereka supaya tidak sombong dan mengandalkan kekayaan mereka melainkan hidup dalam kebajikan/ kemurahan hati. Kekayaan yang dimiliki sekarang adalah bersifat sementara dimana ngengat dan karat dapat merusaknya dan pencuri dapat mencurinya. Ingatlah harta surgawi yang tidak fana. Kualitas kekayaan seseorang tidaklah bergantung pada seberapa banyak kekayaan yang dapat ditimbun (dimiliki) melainkan pada apa yang dapat dia berikan. Orang kaya yang hanya menimbun kekayaannya adalah orang kaya yang miskin. Tetapi orang kaya yang kaya adalah orang yang dengan kekayaannya dapat memperkaya orang lain (mendukung orang yang lemah dari segi finansial). Orang kaya yang demikian adalah orang kaya yang menyenangkan hati Tuhan. Pada akhirnya, Timotius dituntut untuk memelihara apa yang telah dia terima dari Paulus. Tidak perlu sibuk dengan perdebatan-perdebatan
yang sia-sia (dalam hal ini pengajaran gnostik) atau omong kosong yang mengatasnamakan kebenaran sejati namun isinya penuh dengan racun.
KAJIAN TENTANG PERATURAN DAERAH (PERDA) BERNUANSA AGAMA DAN MASA DEPAN HARMONISASI UMAT BERAGAMA DI INDONESIA I GUSTI NGURAH OKA
PENDAHULUAN Keputusan politik pemerintah Indonesia dalam memberlakukan Otonomi Daerah (Otda) yang dimulai sejak tahun 2001 telah memungkinkan lahirnya produk-produk hukum lokal dengan nuansa syariah Islam. Sebagian kalangan mengkhawatirkan munculnya Peraturan Daerah, seperti tentang kewajiban mengenakan busana Muslim atau kewajiban membaca Al-Qur'an, berpotensi membunuh keberagaman dan bersifat diskriminatif. Namun beberapa penguasa daerah mengaku Perdaperda itu mampu menekan angka kejahatan dan meningkatkan moralitas Keinginan tersebut semakin kuat ketika secara yuridis formal melalui undang-undang nomor 44 tahun 1999 dan undang-undang nomor 18 tahun 2001, pemerintah memperkenankan pelaksanaan syari’at Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Sikap ini kemudian dibalas dengan Raperda berdasarkan Injil di Kabupaten Manokwari, Papua Barat. Di antara pasal-pasal yang kontroversial adalah Pasal 26 yang mengatur bahwa “pemerintah dapat memasang simbol agama di tempat umum dan perkantoran.” Pasal 30 melarang “pembangunan rumah ibadah agama lain jika sudah ada Gereja.” Juga larangan penggunaan jilbab dan mengumandangkan azan keras-keras.
POKOK PERMASALAHAN Perda-perda bernuansa agama secara de facto telah diberlakukan di 58 kabupaten/kota. Jika isi dari Perda-perda tersebut kita cermati, maka dapat memunculkan benih-benih perpecahan bangsa yang menjadi ancaman bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pendekatan Perda-perda tersebut lebih bernuansa sektarian, tidak mengedepankan pendekatan kebangsaan. Selain itu setiap Perda yang dibuat harus sesuai dengan undang-undang di atasnya, yaitu harus bersifat Bhineka Tunggal Ika, tidak memisah-misahkan agama, suku, ras, dan gender. Di samping itu
beberapa kebijakan yang tidak bisa diatur oleh peraturan daerah, mengenai keamanan, tentang fiskal atau keuangan, tentang pelabuhan, dan tentang agama yang merupakan wewenang pemerintah pusat. Namun Perda-perda itu justru mengatur hal-hal tersebut, misalnya soal agama. Perda syariat menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat luas, para alim ulama, dan para pejabat pemerintah (eksekutif, legislatif, yudikatif). Perda ini menimbulkan keresahan dan kegelisahan di kalangan masyarakat luas, khususnya pada kelompok masyarakat minoritas dan kelompok yang rentan terhadap dampak dari penerapan Perda tersebut seperti golongan masyarakat miskin. Adanya golongan pro-kontra mengindikasikan penyusunan Perda syariat belum melibatkan publik seluas-luasnya. Sebagian orang menilai para pembuat Perda cenderung bersikap arogan dan elitis (tertutup). Pemerintah daerah semestinya berfungsi sebagai fasilitator dalam pelayanan publik sehingga kepentingan publik harus lebih diutamakan. Pemda dan DPRD dalam membuat Perda seharusnya mendengarkan sebanyak mungkin aspirasi dan pendapat serta keinginan masyarakat. Dengan melibatkan partisipasi publik ini, Perda-perda yang disusun ketika disahkan tidak mengundang reaksi atau penolakan dari elemen masyarakat. Di sini diperlukan kepekaan dalam mengakomodir aspirasi rakyat, sehingga pada saat Perda diberlakukan tidak mendapat reaksi yang tajam dari masyarakat. Beberapa pokok permasalahan Perda syariat yang diterapkan di berbagai daerah, di antaranya sebagai berikut.
Segi Tertib Hukum di Indonesia Perda syariat tidak sesuai dengan UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Karena dari segi penjaringan aspirasi tidak utuh. Proses penjaringan mengandung “manipulasi” karena mendatangkan orang luar untuk membawa aspirasi yang kemudian diklaim sebagai aspirasi masyarakat. UU No. 10 secara jelas menyebutkan hirarki peraturan berdasar UU itu. Perda jelas ada di bawah UU No.32/2004, yang mengatakan bahwa masalah keagamaan adalah masalah pusat. Jika masalah keagamaan diatur dalam Perda, berarti bisa diintepretasikan kewenangan pusat diambil alih oleh daerah. Segi Legal Drafting Perda ini bersumber dari hukum Islam. Karena tidak ada dalam Undang-Undang Dasar (UUD) atau Undang-undang (UU) yang
menyebutkan Al-Quran dan Hadits menjadi pertimbangan Perda. Dengan demikian Perda melecehkan Al-Quran dan Hadits, karena sesungguhnya Perda ada di hirarki peraturan paling bawah menurut UU No. 10/2004. Apalagi, Perda sejenis hanya menyalin dari daerah lain dan hanya diganti judulnya. Segi Moral-Politis Pembuatan Perda syariat terkesan hanya untuk menarik simpati masyarakat menjelang pilkada. Karena dari segi substansi, jelas tidak signifikan di dalam masyarakat Indonesia yang kenyataannya beragam, tidak prioritas dan sangat prosedural. Seperti Propinsi Kalimantan Selatan yang membuat Perda Jumat Khusu’, Raperda Larangan Mandi di Sungai dan Perda Ramadhan, lain halnya jika Perda ditujukan untuk memberantas korupsi pejabat yang tentu lebih bernuansa syariat, menyeluruh dan mendesak.
Segi Stabilitas Keamanan Perda syariat jika tidak disosialisasikan secara transparan dapat memperuncing perbedaan pandangan atau persepsi masyarakat, khususnya pada kelompok pro-kontra serta menimbulkan kecurigaan di antara dua kelompok tersebut dengan berbagai tuduhan motif yang melatarbelakangi.
Segi Rasa Keadilan Masyarakat Perda syariat bila dalam implementasinya tidak mengakomodir suara-suara dari kelompok yang merasa dirugikan atau mencari solusi secara komprehensif, maka dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak negatif dan merugikan kehidupan dan penghidupan kelompok-kelompok tertentu, seperti: kaum perempuan, para pelajar, pegawai atau karyawan, serta kelompok-kelompok yang rentan secara ekonomis.
PENGERTIAN PERDA BERNUANSA AGAMA Secara umum Perda bernuansa agama dapat dipahami dalam beberapa pengertian sebagai berikut.
Pertama, peraturan daerah yang diberlakukan khusus untuk agama tertentu saja, misalnya untuk umat Islam, Kristen, Hindu, Buddha, atau Kong Hu Chu. Kedua, peraturan daerah yang bersifat eksklusif yang merupakan peraturan yang cenderung kepada aturan salah satu agama saja. Ketiga, segala Perda yang berkaitan dengan ajaran agama. Misalkan agama Islam melarang pelacuran maka segala Perda yang melarang pelacuran adalah Perda syariat. Karena agama Kristen mengajarkan monogami tulen, maka setiap Perda yang menyuruh pegawai negeri untuk hanya mempunyai satu istri saja adalah Perda bernuansa syariat Kristen. Keempat, segala Peraturan Daerah yang disepakati antar ulama (Islam) dan umara dengan DPRD setempat yang menjurus kepada mayoritas, bukan partai. Kelima, segala Peraturan Daerah yang diajukan oleh partai berasaskan Pancasila (seperti Golkar) tetapi mayoritasnya muslim Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa Perda bernuansa agama adalah Peraturan Daerah yang isinya cenderung memberlakukan aturan-aturan yang berasal dari ajaran salah satu agama tertentu. PERDA BENUANSA AGAMA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM NASIONAL Ratifikasi Perda bernuansa agama di sejumlah daerah menjadi sorotan publik karena tidak menyentuh masalah yang substansial, tapi lebih bersifat simbolistik. Perda ini dianggap bertentangan dengan sistem Hukum Nasional. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), sudah diatur peraturan mengenai pelacuran, minuman keras dan perjudian, sehingga Perda bernuansa agama dipandang hanya pengulangan yang tidak perlu dari KUHP. Di tingkat nasional, argumen yang sering dikemukakan para pembela syariat adalah bahwa hukum nasional kita merupakan warisan penjajah sehingga perlu diganti dengan hukum yang lebih berakar pada nilai-nilai Islami. Tidak dipungkiri bahwa KUHP kita adalah warisan kolonial Belanda, dan banyak titik lemah dalam hukum nasional kita, termasuk KUHP-nya. Maka sejak tahun 1980-an dibentuk badan untuk melakukan revisi KUHP tersebut. Namun peraturan undang-undang yang berlaku adalah selama hukum yang baru belum jadi dan belum diberlakukan, maka peraturan yang lama tetap berlaku secara sah.
Perlu dipahami bahwa konstitusi, hukum nasional, maupun Perda tidak boleh didasarkan pada nilai-nilai komunal yang tunggal. Hukum seharusnya dibangun di atas semua sendi kemajemukan bangsa yang mengedepankan nilai keadilan sosial. Jika proses lahirnya Perda syariat sesuai dengan koridor dan prosedural demokrasi di Indonesia karena diputuskan oleh Lembaga Perwakilan Rakyat, namun dalam UUD’ 45 bahkan setelah diamandemen, telah menegaskan bahwa Pembukaan UUD’ 45, di mana Pancasila termaktub di dalamnya tidak akan dirubah. Artinya, seharusnya proses demokrasi yang berlangsung di tingkat DPRD harus juga taat dengan asas dan konstitusi Indonesia. Tetapi, dalam konteks kelahiran Perda syariat, nampaknya hal ini diabaikan. Adalah tugas negara untuk meluruskan kekeliruan ini, sesuai dengan amandemen UUD’ 45 pasal 24a, soal MA melakukan judicial review terhadap perundangan di bawah UU. Atau, juga sesuai UU No 32/2004 mengenai pemerintah daerah, pasal 145, Departemen Dalam Negeri juga punya kewenangan menguji Perda (executive review). Bunyi pasal itu adalah: “Pemerintah (DEPDAGRI) dapat membatalkan Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundangan yang lebih tinggi.” Nampaknya, kehadiran Perda syariat, pada satu sisi merefleksikan kegagalan pemerintah dalam mengimplementasi hukum di Indonesia. Kegagalan ini berdampak pada sisi lain, di mana kemudian banyak orang merasa berhak untuk membuat atau mencari aturan alternatif karena menunjuk ketidakmampuan hukum dalam mengatasi banyak persoalan. Meskipun sebenarnya, kegagalan lebih pada aparat pelaksananya, bukannya pada hukum itu sendiri. Karena itu, Perda syariat lebih banyak merefleksikan kegagalan negara dalam penegakkan hukum.
MAYORITAS MASYARAKAT INDONESIA MASIH MENGIDEALKAN PANCASILA Mayoritas masyarakat Indonesia lebih memilih penerapan hukum nasional dibandingkan aturan hukum yang mengacu pada suatu ajaran agama tertentu. Sebagai contoh, mayoritas masyarakat Islam sendiri lebih memilih penerapan hukum nasional dibanding aturan hukum lain, seperti peraturan daerah (Perda) bernuansa syariat Islam. 1 Contohnya survei yang
1
Paparan 'Respon Publik Atas Perda Bernuansa Syariat Islam' di Jakarta, oleh Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA.
dilakukan oleh LSI (Lembaga Survei Indonesia) 2 di 33 provinsi pada tanggal 28 Juli s.d. 3 Agustus 2006, mencatat 66,7% responden lebih mengidealkan Pancasila daripada sistem ideologi ketatanegaraan lain (Demokrasi Barat atau Negara Islam Timur Tengah). Pasalnya, Pancasila terbukti berhasil menjadi ideologi di tengah keberagaman yang ada, baik dari sisi adat, agama, suku, dan sebagainya. Dalam paparannya, dari 700 orang sebagai sampel survei, 64,3% responden menyatakan hukum nasional sebaiknya tetap diterapkan di Indonesia karena menjamin adanya keberagaman. Hal ini diperkuat oleh temuan di mana responden yang beragama Islam sendiri (61,7%) lebih memilih hukum nasional. Mayoritas muslim Indonesia sejak lama lebih berorientasi pada keberagaman dan kebangsaan. Dalam tiga kali pemilu bebas (1955, 1999, 2004), partai yang menang adalah yang berbasis kebangsaan. Apalagi dua ormas Islam besar, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), sejak awal telah menyatakan Pancasila sebagai dasar Negara. Mayoritas responden sebanyak 61,4% menyatakan kekhawatirannya bahwa Perda yang bernuansa syariat agama dapat mendorong perpecahan. Dan terdapat 59,7% responden yang beragama Islam juga menyatakan kekhawatiran yang sama. Hasil survei ini memperkuat dugaan bahwa mayoritas muslim Indonesia memang moderat, berbeda dengan mayoritas muslim di Timur Tengah. Negara ini selalu dipimpin oleh presiden yang memiliki komitmen yang kuat dengan keberagaman, yang disimbolkan oleh Pancasila. Mayoritas Muslim Indonesia lebih memilih bersikap moderat lebih disebabkan oleh penetrasi panjang dan masif atas asas tunggal Pancasila di masa orde baru. Selain itu, pemihakan oleh Muhamadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) berpihak pada Pancasila. Tokoh intelektual Islam seperti Abdurrachman Wahid (alm.) dan Nurcholis Madjid (alm.) yang moderat juga mendukungnya. Responden lebih memilih penegakkan hukum yang ada dibanding membuat Perda berdasarkan syariat Islam. Aturan hukum yang diatur oleh KUHP juga sudah mengatur soal anti kemaksiatan. 61,4% responden justru sangat khawatir jika Perda bernuansa syariat diberlakukan.
ARGUMEN PRO – KONTRA TERHADAP PERDA SYARIAH
2
Suara Merdeka Cybernews, 24 Agustus 2006 dengan topik : Masyarakat pilih hukum Nasional.
Bagi pihak yang menolak diberlakukannya Perda syariah memiliki sejumlah argumentasi berikut. Perda Syariah Dapat Menggeser Ideologi Pancasila Perda-perda bernuansa agama dianggap sebagai bentuk gerilya lain dari kelompok Islam fundamental yang ingin menegakkan syariat Islam di Indonesia. Setelah gagal mengubah Dasar Negara dari Pancasila versi Pembukaan UUD tanggal 18 Agustus 1945 ke Pancasila versi Piagam Jakarta, kalangan gerakan Islam Politik berjuang membuat Perda-perda syariat. Mengancam Integrasi Bangsa Peraturan Daerah bernuansa primordial keagamaan dapat mengancam pluralitas masyarakat Indonesia, meresahkan dan dapat mengancam integrasi bangsa.
Bertentangan Dengan Konstitusi Negara Meskipun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, namun bangunan hukum di Indonesia adalah negara Pancasila. Jika Perda syariat diterapkan akan bertentangan dengan konstitusi negara. Karena dalam negara Pancasila tidak bisa memuat ketentuan atau menjadikan hukum agama menjadi hukum negara yang diangkat melalui Perda. 3 Tidak Bisa Menjawab Persoalan Substansi Bangsa Ada realitas sosial di balik pemberlakukan Perda syariat Islam di berbagai daerah. Ternyata Perda syariat tidak dapat menjawab berbagai persoalan substansial bangsa tentang kemiskinan, kerusakan lingkungan, dan korupsi yang merajalela. Hal ini disebabkan karena Perda tersebut cenderung menghukum para pelaku kejahatan kelas teri (orang-orang kecil) seperti perjudian, pencurian, dan perzinahan. Perda syariat tidak punya taring menghadapi pelaku korupsi kelas kakap, pembalak hutan, penjahat HAM yang justru memiliki kedekatan politik dengan para tokoh organisasi
3
Pendapat Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Bivitri Susanti dan Staf Ahli Mahkamah Konstitusi (MK) Refly Harun.
pendukung Perda syariat. Pemberlakuan syariat Islam di Aceh, misalnya, hanya mampu menghukum pencuri, penjudi dan penzinah kelas kecil. Kebenaran Moral Dipegang Hanya Oleh Kelompok Tertentu Perda syariat juga memiliki dimensi pembalikan terhadap nilai moralitas yang hakiki, karena menyerahkan kebenaran moral kepada para pemegang tafsir kebenaran agama yang dimiliki oleh para ulama yang dekat dengan kekuasaan.
Masyarakat Mengalami Tekanan Politik Perda syariat secara realitas, seperti tampak dan dirasakan masyarakat Aceh, hanya melahirkan ketertekanan politik kepada masyarakat bawah yang seolah-olah diatur dengan moralitas abstrak. Sementara para pejabat dan ulama menjadi pemegang kebenaran moral syariat agama.
Tidak Memberdayakan Masyarakat Perda syariat boleh jadi bisa menurunkan angka kejahatan dan penyakit masyarakat, namun tidak menurunkan kejahatan politik para elite politik dan birokrasi. Justru dari pengalaman negara-negara yang mempraktikkan syariat Islam secara ortodoks, tingkat ekonomi, kesetaraan hak rakyat, dan prestasi IPTEK-nya sangat rendah. Afghanistan, Somalia, dan Sudan barangkali bisa menjadi bukti keterpurukan negara yang menjalankan syariat Islam. Bisa dibandingkan dengan China, Vietnam, Bolivia, dan Libia yang menjalankan sistem sosialis dan sosialis-Islam ternyata lebih maju dan berkembang. Demikian juga Malaysia yang menjalankan asas Islam yang moderat pertumbuhan ekonominya jauh lebih maju. Bertentangan Dengan Birokrasi Modern Perda berbasis syariat tidak memiliki paradigma birokrasi modern. Birokrasi pemerintahan yang modern seharusnya lebih berfungsi sebagai katalis yang tidak perlu mengatur bidang-bidang yang seharusnya dapat dikerjakan sendiri oleh masyarakat. Birokrasi seharusnya memberdayakan masyarakat agar tidak tergantung sepenuhnya kepada pemerintah, bukan sebaliknya mempersulit masyarakat dengan atural detail.
Sementara pihak lain yang setuju adanya beragumentasi sebagai berikut.
Perda
Syariah
Perda Syariah Bukanlah Gerakan Islamisasi Telah banyak undang-undang yang diambil dari hukum Islam, misalnya: undang-undang perkawinan, undang-undang mengenai zakat, undang-undang tentang bank syariah, dan sebagainya. Namun demikian tidak bisa dikatakan telah terjadi Islamisasi di Indonesia.
Mencegah kerusakan moral dalam masyarakat Masyarakat seharusnya tidak perlu mengkhawatirkan akan terjadinya desintegrasi bangsa, karena Rancangan Undang-Undang Anti Pelacuran dan Perjudian (RUU APP) telah mengakomodasi seni tradisional dan budaya daerah. RUU APP justru diperlukan untuk melindungi bangsa ini, terutama generasi muda, dari berbagai kerusakan moral akibat pengaruh pornografi dan pornoaksi yang kini merebak di mana-mana. Adanya Perda tersebut bisa menjadi media sosial untuk memberantas berbagai penyakit masyarakat seperti kemaksiatan, perjudian, yang umumnya dilakukan oleh masyarakat kecil.
Agama Lain Juga Melawan Hal yang Sama Materi yang diatur mengenai minuman keras, kemaksiatan dan pelacuran yang coba diatasi melalui Perda syariat juga adalah sesuatu yang sama harus dilawan oleh agama-agama non-Muslim lainnya.
Kelahirannya Prosedural dan Demokratis Proses dilahirkannya Perda syariat berlangsung secara prosedural dan demokratis, dan bersesuaian dengan mekanisme kerja DPRD Kabupaten dan kota.
PENDEKATAN SOSIOLOGIS HARMONISASI UMAT BERAGAMA Pendekatan sosiologis diperlukan dalam upaya menciptakan harmonisasi antar umat beragama di Indonesia. Beberapa pendekatan sosiologis yang dapat dilakukan seperti di bawah ini. Tri-Kerukunan Umat Beragama Frasa “kerukunan hidup” bagi umat beragama mencakup hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan diri sendiri, hubungan dengan sesama manusia dan hubungan dengan lingkungan alam sekitar. Secara garis besar terdapat dua macam hubungan sosial keagamaan yaitu hubungan intern umat beragama dan hubungan antar umat beragama. Perilaku menyangkut hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan diri sendiri serta hubungan dengan alam sekitar dinamakan sebagai “hubungan non-sosial.” Bagi umat beragama yang sungguh-sungguh dalam keberagamannya, seluruh hubungan dimaksud bersifat utuh terpadu (integrated), mengacu kepada ajaran agama yang dianut. Konsep Tri-Kerukunan umat beragama pernah dirumuskan dan ditetapkan pada masa pemerintahan Orde Baru dengan melibatkan semua tokoh agama. Keberhasilan Orde baru dalam menciptakan kerukunan umat beragama tidak bisa dilepaskan dari kebijakan politis penguasa saat itu, yakni terciptanya stabilitas Nasional demi berlangsungnya proses pembangunan nasional yang lebih menekankan pendekatan keamanan (security approach). Orde baru mengembangkan konsep Tri-Kerukunan yang mencakup Kerukunan intern umat beragama, Kerukunan antar umat beragama, dan Kerukunan antar umat beragama dengan Pemerintah. Apabila dicermati lebih dalam konsep “Kerukunan antara umat beragama dengan Pemerintah” mengandung penyimpangan logis, sebab Pemerintah mengandung konsep yang tumpang tindih dengan “umat beragama.” Penerapan konsep ini pada masa yang lalu juga bermasalah, karena memposisikan Pemerintah sebagai “pembina” umat beragama, dan umat beragama sebagai “yang dibina.” Maka terjadilah pola pembinaan kerukunan hidup umat beragama yang bersifat top-down (dari atas ke bawah), yang hasilnya kurang mencapai harapan. Penjelasan tentang ruang lingkup di atas adalah sesuai dengan definisi yang dikemukakan oleh Departemen Agama RI sebagai berikut: “Kerukunan hidup Umat Beragama, berarti perihal hidup rukun yaitu hidup dalam suasana baik dan damai, tidak bertengkar; bersatu hati dan
bersepakat antar umat yang berbeda-beda agamanya; atau antara umat dalam satu agama.”4 Namun agar terhindar dari masalah “pencampuran agama” (sinkretisme) yang melanggar ajaran agama yang diyakini suci dan absolut oleh masing-masing pemeluknya, maka perlu ditegaskan bahwa konsep kerukunan dimaksud tidak menyangkut aspek iman (kepercayaan) dan ibadah (ritual), yang diatur secara khusus dalam masing-masing agama, melainkan menyangkut aspek hubungan sosial-kemanusiaan. Jadi tidak boleh terjadi kesepakatan untuk mencampurkan iman dan mencampurkan ibadah, di antara satu agama dengan agama lainnya. Beberapa faktor pemicu yang dapat menimbulkan konflik antar agama yang patut diwaspadai adalah: menghakimi agama lain dalam derajad keabsahan teologis di bawah agamanya sendiri; konsep kebenaran dan kebaikan yang berakar dari ideologi politik atau wahyu Tuhan dipakai sebagai alasan pembenaran atas penindasan kemanusiaan; klaim kebenaran (truth claim) dan watak misioner setiap agama. Karena itu perlu pengkajian ulang terhadap konsep kerukunan antar umat beragama yang selama ini diterapkan pemerintah. Ia tidak lagi hanya sebagai bungkus formal dari kenyataan pluralitas agama di Indonesia, tetapi harus menjadi motivator bagi terbentuknya kesadaran beragama dan berteologi di Indonesia. 5 Tujuannya adalah agar umat beragama memperoleh pemahaman dan wawasan yang luas dan cerah tentang kerukunan hidup umat beragama sehingga tumbuh dan berkembang penghayatan dan penyikapan yang positif untuk hidup rukun sesama umat beragama. Selanjutnya diharapkan muncul dan berkembang pula kegiatan dan kerjasama konkrit dalam rangka kerukunan hidup umat beragama.
Dialog Antaragama Secara resmi semangat dialog kerukunan beragama dirintis oleh Menteri Agama RI, yaitu H.A. Mukti Ali yang menjabat menteri pada tahun 1971-1978. Sebagai seorang pakar yang mempelajari Perbandingan Agama di Pakistan, Mukti Ali mencanangkan dialog sebagai bagian kebijakannya pada tahun 1972. Rintisan ini tidaklah mudah karena banyak yang menolak, tetapi tidak dapat disangkal bahwa usaha Menteri Agama kala itu disambut tokoh-tokoh agama dan sudah meletakkan dasar yang 4
Lih. Kompilasi Peraturan Perundang-undangan Kerukunan hidup Umat Beragama, Departemen Agama RI, Edisi Keenam (Jakarta, 1997/1998), 6 5 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), 175
baik bagi usaha kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Namun usaha itu agak tidak mulus di bawah penggantinya Alamsyah Ratu Prawiranegara. Usaha itu agak terganggu dengan dikeluarkannya dua Keputusan Menteri Agama: Kepmenag no.70/1978 tentang “Pedoman Penyiaran Agama” dan Kepmenag no. 78/1978 tentang “Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia.” Kedua Kepmenag yang agak membatasi agama Kristen ini kemudian diperbaharui dalam: Kepmenag & Mendagri no.1/ 1979 tentang “Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri.” Sekalipun demikian dua tahun kemudian diterbitkan Kepmenag no.35/1980 tentang '”Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama,” dan sejak itu berbagai pertemuan antar umat beragama diadakan lebih sering. H.A. Mukti Ali menyebut “Dialog antar-umat beragama adalah pertemuan hati dan pikiran antara pelbagai macam agama merupakan komunikasi antara dua atau lebih orang yang beragama dalam tingkatan agamis. Dialog merupakan jalan bersama menuju ke arah kebenaran.” Mukti Ali menyebut bahwa ada beberapa bentuk dialog yang bisa ditempuh, sebagai berikut. Pertama, Dialog Kehidupan, yang ditunjukkan melalui kehidupan keseharian yang bisa dilihat oleh pemeluk agama lain. Kedua, Dialog Kerja Sosial, melalui kerjasama dalam berbagai program kerja/aksi sosial demi kesejahteraan rakyat banyak. Ketiga, Dialog Antar-Monastik, melalui komunikasi pengamalan agama, saling berkunjung atau belajar di asrama sekolah agama yang lain. Keempat, Dialog untuk Doa Bersama, melalui pertemuan doa bersama di mana masing-masing pemeluk agama berdoa sesuai keyakinan masing-masing. Kelima, Dialog Diskusi Teologis, melalui pertemuan/seminar antar para tokoh agama membicarakan beberapa aspek dari agama masingmasing. Dialog antar umat beragama sangat diperlukan dalam konteks Indonesia yang bersifat plural untuk meminimalisir konflik agama-agama maupun antar pemeluk seagama. Dalam dialog antar agama, maka ada kebebasan hak setiap orang untuk mengamalkan keyakinannya dan menyampaikannya kepada orang lain. Dialog antar agama adalah pertemuan hati dan pikiran antar pemeluk berbagai agama yang bertujuan mencapai kebenaran dan kerjasama dalam masalah-masalah yang dihadapi bersama. Menurut Ignas Kleden, dialog antar agama tampaknya hanya bisa dimulai dengan adanya keterbukaan suatu agama terhadap agama lainnya. Keterbukaan ini bisa dilihat dari beberapa sisi. Pertama, segi-segi mana
dari suatu agama yang memungkinkannya terbuka terhadap agama yang lain, pada tingkat mana keterbukaan itu dapat ditolelir, dan juga dalam modus yang bagaimana keterbukaan itu dapat dilaksanakan. Kedua, bagaimana agama menjadi jalan dan sebab seseorang atau sekelompok orang terbuka kepada kelompok orang yang beragama lain. 6 Wawasan inklusif adalah suatu pola pikir berciri non-diskriminatif, yang memberikan kerangka di dalam mana semua kelompok dalam masyarakat tanpa memandang suku, agama, dan golongan dapat hidup bersama, bekerja bersama untuk membangun masa depan bersama yang lebih baik, dengan tetap berpijak pada visi teologis yang diyakini setiap orang. Dengan demikian pemikiran inklusif adalah pemikiran yang mengakomodasi, memberi tempat, menghargai kelompok lain dan sebab itu jauh dari sikap yang meniadakan kelompok lain atau sikap membenarkan. Pengembangan sikap inklusif sama sekali tidak berarti dan tidak boleh memperlemah iman dan atau mengingkari nilai eksklusif dan spesifik yang ada dalam setiap agama. Pengembangan sikap inklusif di kalangan umat Kristen perlu dilakukan secara terarah, berkesinambungan dan mencakup seluruh lapisan umat. Dalam konteks ini problem dan kendala yang amat jelas dihadapi adalah: keragaman denominasi, keragaman latar belakang pendidikan, persepsi teologis yang tidak sama, pola pembinaan umat beragama yang belum merata, dan persepsi tentang kerukunan.
Kerjasama Antar Lembaga Agama Pada tanggal 22-24 Agustus 2006, para tokoh agama se-Indonesia berkumpul pada Kongres I Pemuka Agama yang diprakarsai oleh Departemen Agama guna mendiskusikan berbagai persoalan umat beragama. Kongres dibuka oleh Menko Kesra saat itu, Aburizal Bakri, di Hotel Acacia, Jakarta, dan diikuti 225 orang pemuka agama seluruh Indonesia, terdiri dari: Utusan Provinsi, masing-masing 6 orang berupa wakil dari majelis-majelis Agama tingkat pusat dan propinsi (MUI, PGI, KWI, PHDI, WALUBI, MATAKIN) atau Ormas Keagamaan dan Kepala Kanwil Agama setempat. Tiga Agenda Kongres yang bertema “Membangun Kerjasama, Mengatasi Berbagai Problema, Meningkatkan Kontribusi umat Bagi Kemajuan Bangsa,” antara lain membahas 3 agenda: Pertama, merancang keberagaman umat ke depan supaya beragama secara dewasa; Kedua, Pancasila sebagai etika bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; 6
Kahmad, Sosiologi Agama..., 178
Ketiga, merumuskan aksi bersama umat beragama menghadapi tantangan global dan tantangan internal bangsa. Keinginan untuk menyelenggarakan kongres ini didasarkan pada pemikiran, bahwa umat beragama dewasa ini tengah dihadapkan pada berbagai persoalan yang menyangkut isu-isu global yang turut mempengaruhi sikap dan prilaku keberagamaan masyarakat di tingkat lokal. Pengaruh tersebut pada tingkat tertentu dapat dilihat sebagai problem kultural dan sosial, persoalan hak asasi manusia (HAM), harmonisasi sosial, demokrasi beragama dan tidak kalah pentingnya adalah persoalanpersoalan yang menyangkut absolutisme dan relativisme pada tingkat kesadaran teologis umat beragama yang sedikitnya turut mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah dalam melakukan pelayanan terhadap para penganut agama-agama. Para tokoh berbagai agama yang tergabung dalam Kongres I ini menyerukan pentingnya revitalisasi peran ideologi Pancasila dalam membina kerukunan hidup bermasyarakat karena berbagai konflik suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA) yang terjadi selama ini ditengarai sebagai dampak dari merosotnya penghayatan nilai-nilai Pancasila dalam masyarakat. Saat menyampaikan sambutan pada penutupan kongres, Menteri Agama saat itu, Maftuh Basyuni menegaskan kembali posisi Pancasila sebagai dasar negara. “Pancasila harus menjadi acuan dari seluruh sistem hukum dan sistem politik negara.” Kongres ini menghasilkan tiga rekomendasi, yaitu: Pertama, negara diminta menjamin kebebasan beribadah dan mendorong peningkatan penghayatan serta pengamalan nilai agama yang dianut oleh masing-masing pemeluknya. Kedua, perlu ada rencana aksi sebagai tindak lanjut kongres tokoh agama. Ketiga, memberdayakan forum kerukunan umat beragama (FKUB) dalam meningkatkan kesejahteraan dan kerukunan umat beragama. Kerjasama antar lembaga-lembaga keagamaan sangat diperlukan dalam konteks saling menghargai dan saling melengkapi, demi kemajuan bersama. Ada banyak kegiatan yang sebenarnya dapat dilakukan bersama antara lembaga-lembaga keagamaan demi meningkatkan suasana kehidupan keagamaan yang kondusif bagi pembinaan kerukunan intern dan antarumat beragama di Indonesia, antara lain: Melakukan forum dialog dan temu ilmiah, Membuka sekretariat bersama antar umat beragama di seluruh propinsi, Melakukan silaturahmi/safari kerukunan umat beragama baik nasional maupun di tingkat daerah/regional, Membentuk forum komunikasi kerukunan antar umat beragama di tingkat propinsi, kabupaten/kota dan kecamatan, Melanjutkan pembentukan jaringan komunikasi kerukunan antar umat beragama dan meningkatkan peran jaringan kerjasama antar
umat beragama, Melakukan rekonsiliasi tokoh-tokoh agama di daerah pasca konflik, Menyediakan data kerukunan umat beragama, Pembinaan umat beragama di daerah pasca konflik, Sosialisasi wawasan multikultural bagi umat beragama, Pengembangan wawasan multikultural bagi guru-guru agama, Meningkatkan potensi kerukunan hidup umat beragama melalui pemanfaatan budaya setempat dan partisipasi masyarakat, Mendorong tumbuh kembangnya wadah-wadah kerukunan sebagai penggerak pembangunan, Melakukan silaturahmi antara pemuda agama dan cendekiawan agama serta tokoh agama, Menyelenggarakan lomba kegiatan keagamaan bernuansa kerukunan di daerah potensi konflik, Meningkatkan kualitas tenaga penyuluh kerukunan umat beragama.
MASA DEPAN HARMONISASI UMAT BERAGAMA DI INDONESIA Masyarakat majemuk (plural) dapat dipahami sebagai masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok dan strata sosial, ekonomi, suku, bahasa, budaya dan agama. Di dalam masyarakat plural, setiap orang dapat bergabung dengan kelompok yang ada, tanpa adanya rintangan-rintangan yang sistemik yang mengakibatkan terhalangnya hak untuk berkelompok atau bergabung dengan kelompok tertentu. Pluralitas baru bermakna positif bila ada interaksi dan relasi saling percaya antara sesama (social-trust). Hal itu merupakan prasyarat untuk terciptanya masyarakat yang beradab dan bermartabat, yaitu masyarakat yang memiliki moral, akhlak, etika, budi luhur, santun, sabar dan arif, menghormati hak asasi, menghormati diri sendiri dan orang lain, bangsa sendiri dan bangsa lain, suku dan kelompok sendiri dan suku serta kelompok lain. Dengan begitu upaya untuk mencapai kualitas hidup yang optimal untuk menjadi lebih sejahtera, berkeadilan dan berkemakmuran, niscaya akan membawa masyarakat itu dapat duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Untuk maksud tersebut diperlukan infra struktur harmonisasi sosial dalam kehidupan bersama. Menghormati pluralitas harus sejalan dengan menghormati peradaban dan martabat. Tidak ada artinya pluralitas kalau yang dipertahankan adalah budaya primitif, keterbelakangan dan hanya asal berbeda dengan alasan kemurnian penghormatan budaya lokal atau hak asasi manusia tanpa mempertimbangkan hak manusia lainnya dalam sistem kehidupan bersama beradab dan bermartabat.
Diperlukan pula kesadaran mendalam ke arah revitalisasi dan reaktualisasi pemberdayaan agama sebagai standard moral bagi umat beragama, bukan sekedar simbol identitas tanpa makna substansial. Di sisi lain, dunia saat ini tengah membangun peradaban multikulturalis yang menerima realitas pluralitas agama dan budaya sebagai kesadaran global untuk menghadapi problematika universal yang tidak bisa ditanggulangi secara komunal parsial. Konstruksi ini meniscayakan harmonisasi, sinergisitas, dan integralitas antar umat beragama. Elit agama harus mentransformasikan paradigma ini kepada masing-masing komunitasnya, serta tidak dinodai semangat penyebaran agama yang agresif dan ekspansif. Para tokoh nasional khususnya tokoh agama dituntut mampu memberi jalan keluar bagi persoalan umat beragama. Semua upaya itu akan berarti jika para elit politik maupun elit agama memberi contoh sikap hidup yang harmonis. Keteladanan para pemimpin akan memberi pengaruh yang berarti bagi masyarakat di tingkat akar rumput. Sebab, konflik yang selama ini terjadi di antara warga daerah sebagiannya lebih banyak dipicu oleh perilaku elit di tingkat pusat. Mereka yang menjadi korban hanyalah tumbal dari provokasi elit. Untuk masa depan harmonisasi umat beragama di Indonesia perlu dikembangkan pemahaman pluralisme bangsa sebagai upaya untuk membangun tidak saja kesadaran normatif teologis, tetapi juga kesadaran sosial, di mana kita hidup di tengah masyarakat yang plural dari segi agama, budaya, etnis, dan berbagai keragaman sosial lainnya. Karena itu, pluralisme bukanlah konsep teologis semata, melainkan juga konsep sosiologis. Franz Magnis Suseno memberikan catatan yang patut dikaji oleh masyarakat agama-agama, bahwa tantangan agama-agama di masa mendatang adalah merebaknya konflik, baik antar-umat agama maupun inter-umat agama itu sendiri. Di sinilah arti penting pluralisme sebagai jembatan untuk meminimalisasi dan mengakhiri konflik tersebut. Maka, kita perlu mengubah kerangka berpikir (mindset) yang masih keliru. Kita perlu belajar untuk duduk bersama, saling mendengar dan bertukar pikiran, baik dengan sesama muslim maupun non-muslim. Upaya untuk mencairkan kebekuan wacana pluralisme juga bisa dipercepat dengan jalan mengintensifkan pendidikan pluralisme dan multikulturalisme di sekolah-sekolah. Lembaga pendidikan adalah media yang paling tepat untuk mereparasi mindset seseorang. Untuk itu, diperlukan adanya upaya-upaya untuk mengubah paradigma pendidikan yang eksklusif menuju paradigma pendidikan agama yang toleran dan inklusif. Model pengajaran agama yang hanya menekankan kebenaran agamanya sendiri mau tidak mau harus ‘dibongkar ulang.’ Sebab cara
pemahaman teologi yang ekslusif dan intoleran pada gilirannya akan dapat merusak harmonisasi agama-agama dan menghilangkan sikap untuk saling menghargai kebenaran dari agama lain. Pluralisme adalah simbol bagi suksesnya kehidupan masyarakat majemuk. Menganggap agama yang satu lebih baik dari agama lain adalah ofensif, berpandangan sempit. Saat ini masih belum banyak dijumpai bukubuku agama mengenai pluralisme. Penulisan ulang buku agama dan memasukkannya dalam kurikulum berbasis pluralisme harus sering dilakukan. Untuk selanjutnya, dapat dipakai buku ajar dan menjadi panduan guru-guru. Untuk menghadapi realitas dunia yang plural ini, umat beragama dituntut untuk mampu menempatkan diri dan memahami konteks pluralisme yang dilandasi semangat saling menghormati dan menghargai keberadaan umat beragama lain. Karena itu, ada beberapa pengertian pluralisme yang perlu dipahami oleh masing-masing umat beragama. Pertama, pluralisme tidak semata-mata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun, yang dimaksud adalah “keterlibatan aktif” terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja untuk mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebinekaan. Kedua, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut. Pluralisme bukan hanya beragam atau majemuk, pluralisme lebih dari sekadar majemuk atau beragam dengan ikatan aktif kepada kemajemukan tadi. Pluralisme lebih dari sekadar toleransi dengan usaha yang aktif untuk memahami orang lain. Meskipun toleransi sudah pasti merupakan sebuah langkah ke depan dari ketidaktoleransian, toleransi tidak mengharuskan kita untuk mengetahui segala hal tentang orang lain. Toleransi dapat menciptakan iklim untuk menahan diri, tetapi tidak untuk memahami. Toleransi saja tidak banyak menjembatani jurang stereotip dan kekhawatiran yang bisa jadi justru mendominasi gambaran bersama mengenai orang lain. Sebuah dasar yang terlalu rapuh untuk sebuah masyarakat yang kompleks secara religius. Pluralisme harus berkembang melebihi toleransi untuk mencapai pemahaman yang konstruktif. Namun, tidak sekadar berhenti pada wacana pentingnya pluralisme dan multikulturalisme, tetapi lebih diwujudkan pada tataran praksis melalui jalur pendidikan dan pelatihan-pelatihan bersama dengan melibatkan
berbagai komunitas lintas agama dan etnis untuk saling mengenal, memahami, dan membangun sikap saling menghargai berdasarkan pengakuan atas persamaan, kesetaraan, dan keadilan.
PENUTUP Kehadiran Perda syariat, pada satu sisi merefleksikan kegagalan pemerintah dalam mengimplementasi hukum di Indonesia. Kegagalan ini berdampak pada sisi lain, di mana kemudian banyak orang merasa berhak untuk membuat atau mencari aturan alternatif karena menunjuk ketidakmampuan hukum dalam mengatasi berbagai persoalan. Untuk itu saat ini perlu dikaji ulang konsep kerukunan antar umat beragama tidak hanya sebagai bungkus formal semata, tetapi menjadi pemicu dan pemacu terbentuknya kesadaran beragama dan berteologi di Indonesia. Tujuannya agar umat beragama memperoleh pemahaman dan wawasan yang luas dan cerah tentang kerukunan hidup umat beragama sehingga tumbuh dan berkembang penghayatan dan penyikapan yang positif untuk hidup rukun sesama umat beragama.