MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 78/PUU-XI/2013
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA PEMERIKSAAN PENDAHULUAN (I)
JAKARTA RABU, 4 SEPTEMBER 2013
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 78/PUU-XI/2013 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana [Pasal 82 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Anwar Sadat 2. Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana ACARA Pemeriksaan Pendahuluan (I) Rabu, 4 September 2013, Pukul 13.40 – 14.18 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) Muhammad Alim 2) Arief Hidayat 3) Patrialis Akbar Saiful Anwar
(Ketua) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. Anggara Wahyu 2. Zahrial (Perkumpulan Masyarakat Hukum Pidana Indonesia) B. Kuasa Hukum Pemohon: 1. Erasmus 2. Wahyu Wagiman 3. Wahyudi Djafar
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 13.40 WIB
1.
KETUA: MUHAMMAD ALIM Sidang pemeriksaan permohonan Nomor 78/PUU-XI/2013, kami buka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Saudara Pemohon siapa yang hadir pada kesempatan kali ini, saya persilakan.
2.
KUASA HUKUM PEMOHON: WAHYUDI DJAFAR Terima kasih, Yang Mulia. Pada kesempatan persidangan kali ini yang hadir selaku Pemohon, di samping kanan ada Bapak Anggara Wahyu, terus kemudian di sebelahnya ada Bapak Zahrial selaku Prinsipal mewakili Perkumpulan Masyarakat Hukum Pidana Indonesia.
3.
KETUA: MUHAMMAD ALIM Ya.
4.
KUASA HUKUM PEMOHON: WAHYUDI DJAFAR Sebelumnya saya sendiri Wahyudi Djafar, selaku Kuasa Hukum. Kemudian di sebelah kiri saya ada Bapak Wahyu Wagiman, Kuasa Hukum dan di sebelahnya ada Bapak Erasmus, Kuasa Hukum. Terima kasih, Yang Mulia.
5.
KETUA: MUHAMMAD ALIM Erasmus, ya? Jadi tiga saja Kuasanya yang hadir, ya? Yang lain ndak sempat hadir, ndak apa-apa, beracara sendiri-sendiri atau bersamasama. Oke, Ini Saudara Pemohon, khususnya Saudara Kuasa Pemohon, ini kan Anda sudah menyampaikan kepada kita permohonan Anda secara lengkap, cobalah Saudara ringkas-ringkas saja apa yang sebenarnya Saudara kehendaki di sini? Saya persilakan.
6.
KUASA HUKUM PEMOHON: WAHYUDI DJAFAR Terima kasih, Yang Mulia. Majelis Hakim Yang Mulia, izinkanlah kami Para Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah 1
Konstitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan pengujian Pasal 82 ayat (1), huruf b, c, dan d, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Menurut kami, ketidakjelasan aturan mengenai praperadilan sebagaimana diatur dalam ketentuan a quo bertentangan dengan prinsip kepastian hukum serta jaminan dan perlindungan, di mana ... di muka hukum sebagaimana termaktub di dalam Pasal 1 ayat (3) juncto Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1), serta Pasal 28G ayat (1), Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Yang terhormat Majelis Hakim. Berlakunya ketentuan a quo telah merugikan hak konstitusional kami, khususnya Pemohon I, Anwar Sadat, warga negara Indonesia, yang juga Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Sumatera Selatan. Kerugian yang dialami oleh Pemohon saat mendampingi masyarakat Ogan Ilir, Sumatera Selatan, guna memperjuangkan kembalinya hak atas tanah yang diambil alih oleh PTPN VII Cinta Manis Ogan Ilir Sumatera Selatan. Dalam rangka pendampingan tersebut ketika berlangsung sebuah aksi massa, Pemohon I ditangkap oleh polisi dan dituduh telah melakukan perbuatan pidana, turut serta melakukan pengerusakan sebagaimana diatur dalam Pasal 170 KUHP. Menurut Pemohon I, tindakan penangkapan dan penahanan oleh kepolisian telah dilakukan secara sewenang-wenang. Oleh karena itu kemudian Pemohon I mengajukan permohonan praperadilan kepada Pengadilan Negeri Palembang. Dalam prosesnya ketika permohonan praperadilan mulai diperiksa oleh pengadilan, pihak penuntut telah membawa pokok perkara ke pengadilan untuk disidangkan, sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, permohonan praperadilan dinyatakan gugur. Akibat gugurnya permohonan tersebut, Pemohon I tidak dapat mengetahui mengenai sah atau tidaknya proses penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh kepolisian yang berdampak pada dilanggarnya hak-hak konstitusional Pemohon I. Sementara Pemohon II, Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana adalah sebuah badan hukum privat yang berbentuk perkumpulan dan dibentuk berdasarkan hukum negara Republik Indonesia, yang akta pendiriannya telah disahkan melalui Surat Kementerian Hukum dan HAM, Surat Keputusan Kementerian Hukum dan HAM Nomor AHU 239. AH. 01.06. Oleh karenanya, jelas merujuk pada ketentuan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Pemohon II memiliki legal standing dan dapat menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan ini. Berlakunya ketentuan a quo telah nyata-nyata atau setidak-tidaknya berpotensi melanggar hak konstitusional Pemohon II, baik secara langsung maupun tidak langsung. Mengapa demikian? Sebab keberadaan pasal a quo telah merugikan berbagai macam usaha-usaha yang dilakukan secara terusmenerus dalam rangka menjalankan tugas dan peranan, untuk 2
perlindungan, pemajuan, dan pemenuhan hak asasi manusia, khususnya pemenuhan kebebasan sipil dan politik di Indonesia, yang terkait dengan pembaharauan sistem peradilan pidana, yang selama ini telah dilakukan oleh Pemohon II. Tegasnya, Pemohon II memiliki hak dan kepentingan hukum untuk mewakili kepentingan masyarakat guna mengajukan permohonan ini. Demikian legal standing untuk Pemohon I dan II. Majelis Hakim yang kami muliakan, sebagaimana telah diutarakan di atas, ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf b, c, dan d undang-undang a quo. Jelas telah bertentangan dengan amanat Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Kepastian hukum merupakan salah satu pilar penting dalam tegaknya negara hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dikemukakan oleh Gustav Radbruch dalam Teori Hukum, dia mengatakan bahwa suatu negara hukum dapat diklasifikasikan ke dalam tiga prinsip umum, yaitu kemanfaatan, keadilan, dan kepastian hukum. Bahkan salah seorang pemikir teori hukum alam, Lon Fuller, mengatakan bahwa jika kepastian hukum adalah salah satu bagian utama dari moralitas hukum itu sendiri, dikatakannya sebuah peraturan hukum haruslah tunduk pada internal morality yang salah satunya ditujukkan pada saat pembentukannya harus menunjukkan kejelasan dan tidak bertentangan satu sama lain. Majelis Hakim yang kami hormati, berdasarkan keten … kepada aturan-aturan suci yang ditegaskan di dalam konstitusi kita, serta berbagai doktrin yang berkembang dalam pemikiran ilmu hukum, kami berkesimpulan bahwa frasa hakim mendengar keterangan baik … baik dari tersangka dan/atau Pemohon maupun pejabat yang berwenang dalam ketentuan Pasal 20 ... Pasal 82 ayat (1) huruf b undang-undang a quo telah menimbulkan suatu ketidakpastian hukum. Praperadilan yang kita kenal dalam sistem peradilan pidana kita mesti kita tempatkan sebagai suatu mekanisme untuk menjaga dan melindungi hak asasi manusia. Prosedur ini merupakan ruang complain, dan perlindungan martabat, serta hak asasi warga negara terhadap tindakan pejabat yang berwenang dalam melakukan suatu upaya paksa. Bila kita cermati dengan seksama frasa a quo, meski tampak jelas rumusannya tetapi rumusan a quo sesungguhnya mengandung unsur ketidakpastian hukum. Rumusan tersebut sebenarnya merupakan ketentuan yang memberikan kewenangan kepada hakim untuk mendengar keterangan baik dari Pemohon ataupun Termohon, pada saat pemeriksaan dibuka persidangan praperadilan, bukan merupakan ketentuan yang mewajibkan hakim untuk memulai pemeriksaan setelah kedua belah pihak lengkap. Sayangnya KUHAP tidak merinci hukum acara dari praperadilan, sehingga dalam praktiknya ketentuan a quo acap kali ditafsirkan sebagai ketentuan bahwa hakim pada saat memulai
3
pemeriksaan dan perhitungan selambat-lambatnya tujuh hari untuk menjatuhkan putusan harus menghadirkan kedua belah pihak. Dalam praktiknya, penafsiran ini telah mengakibatkan pejabat yang berwenang sebagai Termohon praperadilan setelah dipanggil secara patut dan layak oleh pengadilan untuk hadir dalam sidang yang dibuka pertama kali, tidak menghadiri persidangan praperadilan tanpa alasan yang cukup jelas. Lebih jauh, tidak hadirnya pejabat yang berwenang sebagai Termohon tersebut telah menyebabkan sidang praperadilan harus ditunda beberapa kali. Akibatnya, kepentingan dari Pemohon praperadilan sebagai pihak yang dikenakan upaya paksa tidak dapat dilindungi berdasarkan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Sikap pejabat yang demikian telah membuat jangka waktu pemeriksaan praperadilan secara umum melebihi tujuh hari, sebagaimana diatur secara tegas di dalam Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP dan disinyalir merupakan upaya dari pejabat yang berwenang untuk menggugurkan permohonan praperadilan, dengan menunggu ataupun mempercepat dilimpahkannya berkas perkara pokok ke pengadilan, sebagaimana diatur di dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP. Berdasarkan prinsip peradilan cepat dalam pemeriksaan sidang praperadilan, maka semestinya apabila panggilan telah dilakukan secara patut dan layak, maka apabila pejabat yang bersangkutan sebagai Termohon tidak hadir pada pemeriksaan pertama, pengadilan dapat terus memeriksa permohonan praperadilan yang diajukan oleh Pemohon praperadilan. Apabila pengadilan dapat memeriksa permohonan praperadilan tanpa kewajiban kehadiran dari Termohon yang sudah dipanggil secara patut dan layak, tentu akan menjamin prinsip negara hukum sesuai ketentuan yang ada di dalam Pasal 82 huruf c KUHAP. Ketidakjelasan aturan di dalam Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP, telah berdampak langsung atau memperkecil peluang gugurnya praperadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP. Hal ini mesti diingat praperadilan adalah lembaga yang dibentuk semata-mata untuk menjamin dan menegakkan martabat dari Pemohon yang merasa haknya telah dirampas oleh pejabat yang berwenang sebagai Termohon dalam upaya paksa. Sebagai perbandingan, Mahkamah Konstitusi yang berfungsi untuk menjamin tegaknya kepastian hukum dan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara, juga mempraktikan hal ini. Praktik persidangan yang selama ini dianut oleh Mahkamah Konstitusi telah terbukti mampu menjamin kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak konstitusional warga negara, yaitu terkait tetap dimulai, diperiksa, dan diputusnya permohonan meskipun tanpa kehadiran Termohon yang mana dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi juga merupakan pihak yang mewakili negara. 4
Majelis Hakim Yang Mulia. Masalah lain yang mengemuka dari ketidakjelasan rumusan hukum acara praperadilan di dalam KUHAP adalah tidak tegasnya ketentuan mengenai awal dimulainya perhitungan tujuh hari untuk pemeriksaan praperadilan. Sebagaimana diatur oleh ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP. Dalam praktiknya, setidaktidaknya telah berkembang empat penafsiran yang berbeda-beda mengenai sejak kapan tujuh hari itu. Pertama, perhitungan dimulai setelah perkara didaftarkan dan mendapat nomor registrasi dari pengadilan negeri. Kedua, perhitungan dimulai setelah ketua PN melakukan penunjukkan hakim tunggal praperadilan. Ketiga, perhitungan dimulai sejak hakim tunggal praperadilan membuka sidang perdana. Dan keempat, perhitungan dimulai setelah para pihak lengkap. Khusus penafsiran yang menyatakan bahwa dimulainya tujuh hari adalah pada saat para pihak lengkap dalam sidang praperadilan, telah membuka kemungkinan luas terjadinya pelanggaran terhadap prinsip pemeriksaan praperadilan secara cepat. Karena membuka kemungkinan pelanggaran prinsip tersebut juga dapat berakibat serius terhadap pelanggaran hak-hak Pemohon praperadilan. Masalahnya, model penafsiran inilah yang umumnya dianut oleh para hakim di pengadilan negeri. Pengadilan tidak berani untuk memulai sidang dan memutusnya dalam waktu tujuh hari, sidang pertama dibuka meski surat panggilan telah disampaikan secara patut dan layak. Hal inilah yang menjadi penyebab waktu pemeriksaan sidang permohonan praperadilan secara rata-rata melebihi waktu tujuh hari. Lagi-lagi memperbandingkan model persidangan di Mahkamah Konstitusi menjadi penting. Sebagai ruang yang sama untuk mempertahankan hak-hak konstitusional warga negara, Mahkamah Konstitusi akan langsung menggelar persidangan meski tanpa kehadiran pemerintah dan DPR, walaupun pemerintah dan DPR telah dipanggil secara patut dan layak. Persidangan di Mahkamah Konstitusi juga dapat menjatuhkan putusan meski para pihak yang berkepentingan dalam hal ini pemerintah dan DPR, serta pihak lain yang berkepentingan tidak hadir sejak awal dibukanya persidangan. Salah satu pertimbangan dari penafsiran waktu dimulainya tujuh hari sejak para pihak dinyatakan lengkap di dalam praktik karena adanya ketidakjelasan apakah hakim praperadilan dapat menjatuhkan putusan dalam waktu tujuh hari sejak sidang pertama dibuka, tanpa kehadiran pihak yang berwenang. Meski pejabat yang berwenang tersebut telah dipanggil secara patut dan layak. Situasi ini jelas telah merugikan hak-hak konstitusional warga negara, khususnya jika dikaitkan dengan fungsi kontrol dari praperadilan terhadap tindakan upaya paksa oleh aparat penegak hukum yang berpotensi dilakukan secara sewenang-wenang. Yang Mulia Majelis Hakim, Kusumadi Bojosuwoyo salah seorang hakim ... eh, salah seorang Akademisi Hukum Indonesia menyatakan, 5
“Dikarenakan Indonesia adalah negara hukum, maka segala kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan negara harus pula berdasarkan dan diatur oleh hukum. Penguasa bukanlah pembentuk hukum, melainkan pembentukan aturan-aturan hukum. Oleh sebab itu, hukum berlaku bukan karena ditetapkan oleh penguasa. Akan tetapi, karena hukum itu sendiri.” Hal ini membawa konsekuensi bahwa penguasa pun dapat dimintai pertanggungjawaban (...) 7.
KETUA: MUHAMMAD ALIM Saudara Pemohon, ini kan sudah ada sama kami. Jadi, inti-inti saja yang Saudara ... tiga ayat itu yang Saudara kemukakan. Kemudian apa yang Saudara minta? Oke.
8.
KUASA HUKUM PEMOHON: WAHYUDI DJAFAR Baik, Yang Mulia.
9.
KETUA: MUHAMMAD ALIM Ya.
10.
KUASA HUKUM PEMOHON: WAHYUDI DJAFAR Pemikiran-pemikiran yang menempatkan bahwa hak asasi manusia adalah bagian penting dari negara hukum sudah terangkum di dalam Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan ini sangat berkaitan erat dengan rumusan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP. Dan Indonesia terkait dengan hal ini juga sudah meratifikasi, konvensi, kovenan internasional hak asasi (suara tidak terdengar jelas) politik di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, yang secara khusus di dalam Pasal 9 mengatur tentang hak-hak setiap warga negara untuk tidak dirampas kebebasan sipil yang secara sewenang-wenang dan harus melalui suatu prosedur pengadilan. Lebih jauh, ketentuan Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengatakan bahwa hak-hak sipil warga negara tidak dapat dirampas secara sewenang-wenang tanpa melalui suatu prosedur yang diatur oleh undang-undang dan terlebih dahulu dihadapkan pada suatu sidang pengadilan. Maksud tersebut terurai secara gamblang di dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dan oleh sandaran tersebut, kemudian disusunlah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Kemudian merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-I/2011 [Sick!] tentang Pengujian Pasal 83 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Di dalam 6
pertimbangannya Mahkamah mengatakan bahwa pada dasarnya setiap tindakan upaya paksa seperti penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan adalah suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Sehingga, dengan adanya praperadilan diharapkan pemeriksaan perkara pidana dapat berjalan sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku. Nah, berdasarkan pada pertimbangan putusan tersebut dapat dipahami bahwa praperadilan merupakan mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan upaya paksa. Sehingga praperadilan haruslah mampu menjadi jembatan antara kewenangan dari penyidik atau penuntut umum dengan perlindungan hak asasi manusia warga negara. Frasa sistem praperadilan sebagai salah satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam pertimbangan putusan tersebut dikatakan secara sadar dan cermat oleh Mahkamah bahwa ada potensi pelanggaran hak asasi manusia dari upaya paksa dan untuk itulah dibutuhkan proses yang adil dan berkepastian hukum dalam proses praperadilan sebagai mekanisme kontrol. Materi yang diujikan di sidang praperadilan merupakan suatu manifestasi dari kekuasaan yudisial yang dimaksudkan untuk mengontrol, menilai, menguji, dan mempertimbangkan secara yuridis apakah dalam tindakan upaya paksa tersebut tersangka atau terdakwa oleh penyidik ataupun penuntut umum telah sesuai dengan KUHAP yang kemudian berpengaruh pada pokok perkara dan proses penegakan hukum sampai dengan tingkat pemeriksaan di pengadilan. Oleh karenanya (...) 11.
KETUA: MUHAMMAD ALIM Kira-kira petitum saja sekarang, silakan.
12.
KUASA HUKUM PEMOHON: WAHYUDI DJAFAR Baik, Yang Mulia.
13.
KETUA: MUHAMMAD ALIM Oke, kita sudah bisa membaca nanti ini nanti memberikan anu ... saran-saran, oke.
7
14.
KUASA HUKUM PEMOHON: WAHYUDI DJAFAR Praperadilan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem peradilan pidana yang terintegrasi. Sebab proses dalam praperadilan juga menganut suatu proses penegakan hukum ya dengan demi mencapai keadilan materil dan bukan hanya suatu proses administratif belaka. Oleh sebab itu, dapat dikatakan hadirnya ketentuan-ketentuan a quo sangat berpotensi dan secara faktual mengancam hak-hak konstitusional warga negara. Sebab sebagai suatu proses tersendiri, praperadilan haruslah dipandang sebagai suatu kesatuan proses penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana yang saling berkaitan dan saling melengkapi, sehingga prosesnya tidak dapat dikebiri dan harus diselesaikan sampai dengan tahapan putusan. Bersandar pada sumber argumentasi di atas, dengan kerendahan hati, kami memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk. 1. Menerima dan mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya. 2. Menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) juncto Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 selama tidak dimaknai hakim mendengarkan keterangan baik dari tersangka atau Pemohon maupun dari pejabat yang berwenang dapat dilakukan ... dapat dilakukan tanpa dihadiri oleh pejabat yang berwenang dan dapat menjatuhkan putusan tanpa kehadiran pejabat yang berwenang. 3. Menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak memiliki kekuatan hukum mengikat selama tidak dimaknai hakim mendengar keterangan, baik dari terhadap tersangka atau Pemohon maupun dari pejabat yang berwenang, dapat dilakukan tanpa dihadiri oleh pejabat yang berwenang, dan dapat menjatuhkan putusan tanpa kehadiran pejabat yang berwenang. 4. Menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) juncto Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 selama tidak dimaknai pemeriksaan selambat-lambatnya 7 hari tersebut dimulai pada hakim tunggal praperadilan membuka sidang pertama kali dengan atau tanpa kehadiran pejabat yang berwenang. 5. Menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat selama tidak dimaknai pemeriksaan selambatlambatnya tujuh hari tersebut dimulai pada saat hakim tunggal praperadilan membuka sidang pertama kali dengan atau tanpa kehadiran pejabat yang berwenang. 6. Menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 bertetangan dengan Pasal 1 ayat (3) juncto Pasal 28D 8
ayat (1) juncto Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. 7. Menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya, apabila Mahkamah berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya. Terima kasih, Yang Mulia. 15.
KETUA: MUHAMMAD ALIM Ya, terima kasih pembacaannya. Nanti dengarkan baik-baik nasihat-nasihat dari Para Yang Mulia. Saya persilakan, Prof.
16.
HAKIM ANGGOTA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Yang Mulia Ketua. Saudara Pemohon, agenda persidangan pertama ini adalah Hakim mempunyai kewajiban untuk memberitahukan pada Pemohon supaya permohonan ini disempurnakan, tapi kalau misalnya Pemohon berpendapat ini sudah sempurna ya tidak usah diubah enggak apa-apa karena ada waktu 14 hari. Maka nanti yang diperiksa oleh Majelis adalah permohonan yang ada ini, gitu. Tapi karena kewajiban, maka Majelis harus memberitahukan pada Saudara apa yang perlu disempurnakan. Yang pertama, begini. Permohonan itu harus memenuhi kaidahkaidah sebagaimana ditentukan, khususnya pada pengujian UndangUndang Pasal 5 PMK Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara PUU. Di situ ada format ... struktur dan format permohonan, coba supaya diperhatikan Pasal 5 itu ya. Kalau kita lihat permohonan Saudara, maka itu belum sesuai, ya, belum sesuai. Nanti dilihat kembali. Struktur permohonan itu terdiri dari identitas Pemohon, kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum, alasan permohonan atau posita, dan petitum. Pada bagian satu itu saya kira elaborasi itu bisa dimasukkan di posita saja, ya. Kemudian pada bagian dua, bagian tiga, kedudukan hukum dan kepentingan konstitusional Para Pemohon, kata kepentingan konstitusional lebih baik dihapus saja sehingga di situ hanya berbunyi kedudukan hukum Para Pemohon, itu ya. Kemudian ada yang berikutnya syarat formal ini kemudian yang subtansial atau materiilnya. Pada bagian dua tentang kewenangan Mahkamah, untuk menjelaskan pada poin punya legal standing apa tidak, itu ada beberapa hal yang perlu diperbaiki, khususnya di halaman 3. Halaman 3 angka 6, 7, dan 8, ya. Angka 6, 7, dan 8 itu begini … karena Saudara tidak memasukkan … ini juga nanti dimasukkan, perubahan Undang-Undang MK Nomor 8 Tahun 2001, Anda masih hanya menggunakan UndangUndang MK yang lama ya, ada Undang-Undang MK yang lama, padahal Undang-Undang MK sudah diperbaiki dengan Undang-Undang MK atau 9
ada perubahan Undang-Undang MK Nomor 8 Tahun 2001 ya … 2011, maaf, 2011, bukan 2001. Jadi nanti itu sudah … karena kalau itu dimasukkan, maka angka atau Nomor 6 di dalam permohonan Anda, Nomor 7, dan Nomor 8 itu enggak perlu lagi dicantumkan karena Pasal 50 Undang-Undang MK yang lama, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 itu sudah dicabut, sudah dihapus, gitu. Karena ketentuan yang mengatakan bahwa MK mempunyai hak menguji pada ketentuanketentuan atau pasal-pasal yang berlaku surut, itu kan sudah enggak, sudah enggak ada dengan adanya Pasal 50 sudah dihapus itu sudah enggak masalah, ya. Kemudian juga pada kedudukan hukum (legal standing) coba dinarasikan kerugian konstitusional Pemohon itu apa? karena sudah ada yurisprudensi mengenai kedudukan hukum, itu nanti ada lima poin ya, lima poin itu supaya nanti betul-betul Anda bisa mengelaborasi betul kedudukan hukum apa? Kerugian konstitusional apa yang dialami? Itu bisa lebih jelas sehingga meyakinkan pada Majelis. Kemudian yang terakhir, kerugian konstitusional itu, itu menyangkut masalah implementasi norma atau norma itu bertentangan dengan konstitusi. Itu di dalam pokok permohonan atau di dalam positanya alasan permohonannya harus jelas. Karena kalau saya membaca, bisa juga saya berpendapat bahwa ini bukan pada tataran norma itu bertentangan dengan konstitusi, tapi itu adalah implementasi norma di praktik kasus konkret, sehingga menimbulkan adanya kerugian itu. Bukan karena pasal dari KUHAP itu bertentangan dengan konstitusi, begitu ya. Ini tataran implementasi norma, begitu, ya. Jadi, tolong nanti dielaborasi betul yang bisa menunjukkan bahwa Pasal 82 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 itu tentang KUHAP itu betul-betul bertentangan dengan dasar pengujian Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang Anda sebutkan. Karena kalau kita baca betul, bisa saja kita mempunyai pandangan bukan masalah konflik norma undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, tetapi itu tatarannya adalah masalah implementasi satu undang-undang dengan kasus konkret. Saya kira itu, Pak Ketua. Terima kasih. 17.
KETUA: MUHAMMAD ALIM Terima kasih, Pak. Saya persilakan, Pak Yang Mulia.
18.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Terima kasih, Yang Mulia Bapak Ketua. Saudara Pemohon atau Kuasa Hukumnya, pertama saya mau menanyakan, ini Kuasa Hukum ini
10
bertindak untuk dan atas nama Pemohon I dan juga Pemohon II? Sekaligus atau bagaimana? Coba dijelaskan! 19.
KUASA HUKUM PEMOHON: WAHYU WAGIMAN Betul, Yang Mulia.
20.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Apa? Yang betulnya yang mana ini?
21.
KUASA HUKUM PEMOHON: WAHYU WAGIMAN Kami bertindak untuk/dan atas nama Pemohon I dan Pemohon II.
22.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Dua-duanya, ya?
23.
KUASA HUKUM PEMOHON: WAHYU WAGIMAN Betul.
24.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Kalau begitu, di dalam format tanda tangan halaman terakhir, 22 itu, itu harus dibuat posisinya sebagai Kuasa Hukum yang tanda tangan itu. Jadi, jangan lupa menamakan bahwa yang tanda tangan itu adalah Kuasa Hukum. Jadi, hormat kami, Public Interest Lawyer Indonesia, Kuasa Hukum. Jadi, kita mewakili. Terus masalah format yang saya kira sudah dijelaskan oleh Yang Mulia Pak Arief, Prof. Arief, saya kira bisa diikuti, terserah kalau mau diikuti, enggak juga enggak apa-apa. Terus ya, nanti sudah harus siapsiap ya, untuk mendukung permohonannya ini, siap-siap mempersiapkan ahli ataupun juga boleh mendatangkan saksi-saksi fakta, gitu ya. Jadi, sehingga pada saatnya sidangnya bisa berjalan dengan cepat dan enggak usah menunggu lama-lama. Saya kira itu saja, Pak.
25.
KETUA: MUHAMMAD ALIM Ya, terima kasih, Pak. Begini ya, tadi oleh Yang Mulia sudah diterangkan bahwa sebenarnya dalam permohonan itu ada 4 masalah saja. Pertama adalah identitas daripada Para Pemohon. Oke. Kemudian legal standing atau kedudukan hukum dari Para Pemohon. Nah, dalam kaitannya dengan legal standing itu atau kedudukan hukum Para 11
Pemohon itu, itu sudah ada Saudara elaborasi di dalam permohonan Saudara di halaman … sudah saya lihat di sini ada di halaman … halaman 4, halaman 4 di angka 16 itu, ada a, b, c, dan d itu. Di situ saja yang … tidak usah terlalu panjang uraiannya, tapi di situlah fokusnya, dimana yang … dimana yang dilanggar di situ. Ada kewenangan itu dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal berapa, oke sudah Anda sebutkan, Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D, dan seterusnya. Nah, kemudian … dianggap telah dirugikan. Mengapa dirugikan? Nah itu lho. Itu saja yang Saudara … tidak usah panjang-lebar. Mengapa dirugikan? Mungkin … mungkin seperti yang saya sempat baca di permohonan Anda, itu dirugikan karena kalau penyidik tidak datang ya, bisa sampai gugur nanti permohonannya, kan itu barangkali begitu. Itu yang Anda mesti elaborasi masuk, kemudian kerugian … bersifat spesifik atau aktual yang kalau itu terlaksana, kalau itu dikabulkan, ini sudah tidak akan menimbulkan lagi. Itu … itu yang … di situ saja yang di … yang di apa … yang dielaborasi ke dalam. Ada kemungkinan kalau dikabulkan, jangan … jangan terlalu mungkin ya, mohon maaf jangan terlalu banyak bercerita tentang a, b, c, d itu … di situ saja intinya. Nah, kemudian sesudah kedudukan hukum itu ada, apa yang Anda minta? Nah, itu di dalam petitum. Karena … saya mohon maaf, tidak usah terlalu banyak berteori karena yang kita perlukan itu, apakah materi daripada undang-undang yang diuji itu memang betul-betul bertentangan dan apa alasannya? Kemudian, kerugian apa yang ditimbulkan oleh berlakunya undang-undang itu terhadap Pemohon, itu lho. Itu yang perlu. Teori-teori di sini biar … mohon maaf ya, sejuta teori pada akhirnya kuncinya di sini, apakah dia bertentangan atau tidak dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Karena mohon maaf saya bacakan, ini Pasal 45 sudah jelas di situ, Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dinyatakan begini Saudara. Mahkamah masih memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar, bukan berdasarkan teori, sejuta teori. Mohon maaf itu tidak … pokoknya dia bertentangan atau tidak. Itu saja kuncinya. Nah, itu … itu yang Saudara harus elaborasi sebaik-baiknya. Jangan … jangan teori kiri-kanan. Alhamdulillah para ahli di sini, Para Hakim Konstitusi barangkali boleh dibilang sudah … sudah matanglah dengan teori itu, sudah banyak membaca teori. Jadi tidak usahlah ber … Saudara berteori. Apakah dia bertentangan atau tidak? Itu … itu … itu kuncinya. Nah, kemudian jadi ini ndak usah terlalu panjang, yang penting mengena itu lho. To the point ini, “Saya rugi karena begini, begini, begini, begini. Bertentangan dengan ini, padahal ini hak saya yang ditentukan dalam konstitusi.” Kan, gitu?
12
Nah, kemudian ini permohonan Saudara … petitum Saudara tolong diperbaiki, ya! Itu angka 1 di halaman 22, “Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya.” Ndak usah pakai menerima, mengabulkan saja! Kalau mengabulkan itu otomatis juga sudah diterima. Ya, kalau diterima belum tentu dikabulkan. Misalnya begini, saya ini kebetulan bap … Bapak ini apa pengacara apa segala, saya ini latar belakangnya pernah pengacara, saya ini Hakim. Itu kalau semua syarat-syarat banding dite … dipenuhi, itu permohonan banding diterima. Tetapi dikuatkan putusan (suara tidak terdengar jelas) berhenti, tidak dikabulkan itu anu. Jadi, dikabulkanlah yang perlu. Jadi, menerima itu tidak usah, mengabulkan. Kemudian angka 2, mohon maaf ya. Menyatakan Pasal 82 ayat (1) tambah huruf, huruf b ya? Ini bertentangan dengan tidak usah lagi disebutkan pasal-pasalnya, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Karena di dalam uraian sudah ditentukan pasal ini lho yang dia langgar, dia langgar. Ya, kan? Ndak usah lagi di … di sini, di petitum tidak usah disebutkan pasalnya. Disebutkan saja bertentangan dengan … Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Apa yang dimaksud Undang-Undang Dasar Tahun 1945 itu kan sudah disebutkan tadi di … di … di depan. Ndak usah lagi di situ Kemudian ayat … ang … angka 3, menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf b, oke sudah betul. Ini kan konstitusional bersyarat yang saya lihat ini permohonan Anda. Yaitu, dimak … selama tidak dimaknai begini, begini, begini, oke. Ayat (4) itu tolong dita … ditarulah. Jadi, Pasal 82 ayat (1) huruf c. Nah, kemudian mohon maaf ya, huruf a … apa … huruf b, huruf c, huruf d itu … itu kan apa KUHAP yang Saudara uji. Nah, pertama itu harus bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Keduanya itu, jadi huruf a-nya, huruf apa … huruf b-nya, huruf c-nya, huruf d-nya itu … itu tidak mengikat, kecuali dengan syarat tadi itu yang di … yang Saudara konstitusional bersyarat. Oke? Ya. Nah, sedikit … sedikit yang perlu saya ingatkan kepada Saudara. Itu Pasal 8 … nanti Saudara baca-baca juga, Pasal 82 ya tadi yang Saudara uji itu. Pasal 82 huruf e, di sini saya bacakan, “Putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permohonan baru.” Andai kata tadi ini gugur, kan dinya … diberikan putusan gugur. Gugur, bisa lagi diajukan itu, mohon lagi. Ini … ini sekedar memberi tahu Saudara. Itu diurut Pasal 2 … Pasal 82 huruf e ya, ayat (1) huruf e. Nanti … nanti Saudara baca-baca juga baik-baik. Artinya, ada juga jalan di situ. Ini nanti … nanti. Tapi meskipun demikian, Saudara … Saudara perhatikan baik-baik.
13
Nah kemudian, oke memerintahkan putusan ini. Lalu … sudah benar itu ex aequo et bono di bawah itu, mohon putusan yang seadiladilnya. Jadi saya ingatkan lagi, mengabulkan saja, baru beri huruf … huruf b, huruf c, huruf d. Pertama kali itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tidak usah disebutkan pasalnya, sudah disebutkan di dalam … di depan. Kemudian tidak mengikat, kecuali dimaknai begini, begini, begini, itu. Jadi, pertama bertentangan, kecuali dimaknai begini. Ber … tidak mengikat kecuali dengan … jadi ada … ada … ada tiga yang Saudara uji, ada tiga huruf, toh? Huruf b, huruf c, dan huruf d? Jadi, tiga kali itu dikatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tiga kali juga dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai begini, begini, begini. Oke? Ya. Ada pertanyaan Saudara? 26.
KUASA HUKUM PEMOHON: WAHYUDI DJAFAR Cukup, Yang Mulia.
27.
KETUA: MUHAMMAD ALIM Ya, ini kami punya kewajiban untuk memberi nasihat kepada Saudara demi kebaikan permohonan Saudara. Saudara sendiri tidak berhak … tidak berkewajiban untuk memenuhi. Bisa saja Saudara tetap pada pendiriannya dan inilah yang akan diperiksa apa adanya. Gitu, ya? Ya. Silakan, Pak. Ada lagi.
28.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Jadi tapi kalau dalam persidangan selanjutnya kalau memang ada keinginan untuk mengubah, jadi ringkasan itu betul-betul sangat tepat. Lima menit cukup karena waktu kita sidang ini kan banyak. Jadi, nanti ada pemerintah, ada DPR, tetap diberikan kesempatan lagi untuk menjelaskan. Menurut hemat kami setelah kami pelajari, lima menit itu cukup, seperti saran dari Pak Ketua tadi, ya.
29.
KETUA: MUHAMMAD ALIM Cukup, Pak? Bapak tidak lagi? Ya, bagi Saudara Pemohon khususnya Kuasanya, ini ada waktu paling lama 14 hari untuk memperbaiki permohonan ini. Kalau sudah diperbaiki, apakah 14 hari 14
atau sebelum 14 hari, Anda kirim langsung ke Kepaniteraan saja dan dari sana ditentukan sidang selanjutnya, oke. Bukti-bukti surat yang Saudara sudah ajukan andai kata masih ada lagi nanti itu akan disahkan pada persidangan berikutnya, andai kata masih ada lagi, silakan ditambah oke, dan dipersiapkan seperti kata Yang Mulia tadi barangkali ada ahli atau saksi yang akan Saudara ajukan pada persidangan-persidangan selanjutnya. Sudah cukup, ya. Dengan demikian sidang saya nyatakan selesai dan ditutup.
KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 14.18 WIB
Jakarta, 4 September 2013 Kepala Sub Bagian Risalah,
t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
15