Peluang dan Tantangan bagi Pemilik Sumber Benih Bersertifikat (Pasca Ditetapkannya SK.707/Menhut-II/2013) Muhammad Satriadi, S.P. Pengendali Ekosistem Hutan Pertama BPTH Bali dan Nusa Tenggara
Intisari Tingginya kebutuhan akan bibit berkualitas untuk hutan tanaman dan keberhasilan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan menuntut penggunaan benih bermutu yang berasal dari sumber benih bersertifikat. Menhut kemudian mengeluarkan SK No.SK.707/Menhut-II/2013 tentang Penetapan Jenis Tanaman Hutan Yang Benihnya Wajib Diambil Dari Sumber Benih Bersertifikat. Hal ini menuntut kesiapan para pemilik sumber benih bersertifikat. Terbitnya SK Menhut ini bisa menjadi peluang bagi pemilik sumber benih untuk meningkatkan pendapatan, dan potensi pemasukan PAD bagi pemerintah daerah. Secara tidak langsung hal ini juga menjamin kelestarian tegakan yang ada di sumber benih. Tantangannya bagi para pemilik adalah untuk dapat menyiapkan suplai benih yang cukup secara kuantitas tanpa mengorbankan kualitas. Pemilik juga harus mulai tertib melaksanakan tata usaha benih sesuai aturan. Kata kunci: SK.707/Menhut-II/2013, sumber benih, benih bersertifikat
Pendahuluan Pembangunan kehutanan saat ini sudah berkembang pesat, kebutuhan terhadap kayu tidak saja dipenuhi oleh hutan alam tetapi sudah berkembang kepada hutan tanaman. Pada hutan tanaman, kepastian kualitas produk (produktivitas tinggi, seragam, dll) yang akan dihasilkan nantinya merupakan faktor penting. Hal tersebut bisa dicapai melalui teknik-teknik silvikultur yang tepat, salah satunya adalah penggunaan benih unggul. Presiden Direktur PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) Kusnan Rahmin menyatakan penggunaan benih unggul sangat penting dalam pengembangan hutan tanaman industri. Menurut dia, penggunaan bibit unggul bisa meningkatkan produktivitas sehingga memperpendek waktu panen tanaman (www.beritasatu.com, 2013). Saat ini kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan juga tidak bisa dilakukan sembarangan, dengan laju kerusakan lahan di Indonesia yang mencapai 3,5 juta Ha per tahun (www.kompas.com, 2013), keberhasilan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan sangat dituntut. Oleh karenanya, penggunaan benih unggul pada rehabilitasi hutan dan lahan mutlak diperlukan. Benih yang unggul secara genetik hanya bisa diperoleh dari pohon-pohon induk yang memiliki asal-usul yang jelas dengan fenotipa di atas rata-rata. Benih-benih dengan kriteria seperti itu bisa diperoleh pada sumber benih bersertifikat. Di dalam Permenhut No. 1
P.01/Menhut-II/2009 dijelaskan bahwa sumber Benih adalah suatu tegakan di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan yang dikelola guna memproduksi benih berkualitas. Jadi sumber benih bersertifikat adalah sumber benih yang telah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu dan sudah melalui proses sertifikasi. Di wilayah Bali dan Nusa Tenggara saja, hingga Juli 2014 sudah ada 176 lokasi sumber benih bersertifikat dengan total luas 927,05 Ha yang terdiri dari 40 jenis tanaman. Dari total luas tersebut baru sebagian saja yang sudah terkelola dengan baik sesuai standar pengelolaan sumber benih (Perdirjen P.05/V-Set/2010). Banyak faktor penyebabnya, salah satunya ialah karena belum adanya kepastian pembelian benih yang berasal dari sumber benih tersebut. Kegiatan produksi bibit untuk penanaman di dalam dan di luar kawasan pun masih banyak menggunakan benih-benih yang tidak diketahui asal-usulnya (asalan). Penyebabnya selain karena rendahnya kesadaran pentingnya penggunaan benih berkualitas, juga karena belum adanya regulasi yang mewajibkan penggunaan benih dari sumber benih untuk program-program penanaman. Sebenarnya regulasi yang mengatur tentang penggunaan benih yang berasal dari sumber benih sudah ada sejak keluarnya Permenhut No. P.01/Menhut-II/2009 tentang Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan pada tanggal 6 Januari 2009 (Pasal 19 ayat (1)), hanya saja amanat ini belum dipertegas dengan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan yang menetapkan jenis-jenis apa saja yang benihnya wajib diambil dari sumber benih (Pasal 20 ayat (2)). Baru pada tanggal 24 Oktober 2013, Menteri Kehutanan menerbitkan SK Menteri Kehutanan Nomor SK.707/Menhut-II/2013 tentang Penetapan Jenis Tanaman Hutan Yang Benihnya Wajib Diambil Dari Sumber Benih Bersertifikat. Jenis tanaman yang dimaksud yaitu Jati (Tectona grandis), Mahoni (Swietenia spp.), Sengon (Paraserianthes falcataria atau Falcataria mollucana), Gmelina (Gmelina arborea), dan Jabon (Anthocephalus spp.). “Penentuan lima jenis tanaman tersebut merupakan kesepakatan para pihak terkait perbenihan tanaman hutan pada beberapa lokakarya yang telah dilakukan, terakhir pada 12-14 Juni 2013 di Bali,” kata Dr. (HC) Zulkifli Hasan, S.E., M.M., Menhut dalam sambutannya pada Sosialisasi SK. 707/Menhut-II/2013 tentang Penetapan 5 Jenis Tanaman Hutan yang Benihnya Wajib Diambil dari Sumber Benih Bersertifikat di Ruang Auditorium Manggala Wanabakti, Jakarta (www.forda-mof.org, 2013). Dasar penetapan kelima jenis tersebut adalah kecukupan sumber benih, tingkat permintaan benih, kepastian permintaan pasar, dan kepastian penyediaan benih. SK ini memang baru mencakup pada lima jenis tersebut, namun hal ini menjadi peluang sekaligus tantangan tersendiri bagi para pemilik sumber benih untuk memaksimalkan potensi produksi dari sumber benih yang mereka miliki, khususnya kepada pemilik sumber benih lima jenis ini. Peluang Efek langsung dengan adanya SK Menhut ini adalah adanya kepastian pembelian benih dari sumber benih bersertifikat. Jika selama ini sumber benih yang ada jarang dipanen benihnya, adanya aturan ini akan mendorong kegiatan produksi bibit untuk memanfaatkan 2
benih-benih dari sumber benih tersebut. Peningkatan pembelian secara tidak langsung juga akan meningkatkan pendapatan bagi pemilik. Pemilik tegakan yang dulunya harus menunggu bertahun-tahun mendapatkan hasil dari penjualan kayu, kini sudah bisa memperoleh pendapatan tiap tahunnya dari penjualan benih. Bagi pemerintah daerah yang memiliki sumber benih, kesempatan ini menjadi peluang bagus untuk meningkatkan potensi penerimaan daerah melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dari 176 lokasi sumber benih yang ada di wilayah Bali Nusra, hampir 70% sumber benih dimiliki oleh pemerintah daerah (Dishut Provinsi/Kabupaten/Kota). Contoh yang bisa ditiru adalah Pemerintah Kabupate Sumbawa, Provinsi NTB. Di sana Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Sumbawa sudah menjadikan hasil penjualan benih dari sumber benih bersertifikat menjadi PAD yang selalu meningkat tiap tahunnya. Pada tahun 2013 saja dari target Rp 40.000.000,00 Dishutbun Kab. Sumbawa mampu memperoleh PAD dari penjualan benih sejumlah Rp 52.000.000,00. Pada tahun 2014 ini mereka ditargetkan untuk memberikan masukan PAD sebanyak Rp 50.000.000,00 (wawancara lisan, 2014). Manisnya hasil dari penjualan benih tanaman hutan ini juga mulai diikuti oleh Pemkab Lombok Tengah dan Pemprov Bali. Sisi positif lain dari adanya SK ini adalah terjaganya tegakan pohon-pohon induk dengan kualitas yang baik dari penebangan, karena pemilik tegakan tetap dapat memperoleh pendapatan tiap tahunnya dari menjual benih tanpa harus menebang pohonnya. Hal ini mendorong kelestarian tegakan yang ada. Contoh yang menarik ada pada sumber-sumber benih jenis cendana yang ada di NTT, di sini para pemilik sumber benih tidak tergiur dengan tingginya harga beli pohon cendana. Mereka masih puas dengan pendapatan dari menjual benih yang berkisar antara Rp 250.000,00 – Rp 400.00,00 per Kg-nya. Jika itu belum cukup, sebagian dari mereka bahkan memproduksi bibit cendana untuk kemudian dijual Rp 15.000,00 – Rp 30.000,00 per polibag. Hal ini juga didukung dengan adanya gerakan penanaman cendana secara masif di NTT yang membutuhkan banyak benih dan bibit. Dengan begitu tegakan cendana yang ada tetap lestari. Pada sumber benih yang berada di dalam kawasan hutan, masyarakat di sekitar hutan dapat diberdayakan untuk ikut membantu dalam pemanenan benih serta dalam pengelolaan sumber benihnya. Saat musim panen masyarakat diberdayakan untuk menjadi buruh pengunduhan dan pengumpulan benih. Di luar musim panen masyarakat bisa menjadi buruh untuk kegiatan pemeliharaan tegakan seperti pembersihan semak belukar, pemupukan, pengendalian hama penyakit, dan lain-lain. Hal ini bisa membantu tugas pengamanan hutan dengan meminimalisir potensi perusakan dan okupasi kawasan oleh masyarakat sekitar hutan. Peluang lain dari adanya SK Menhut ini adalah munculnya dorongan dari para peneliti baik itu dari pemerintah, swasta, maupun BUMN untuk membangun sumber benih baru dengan kualitas genetik yang lebih baik lagi seperti Kebun Benih Semai (KBS), Kebun Benih Klon (KBK), atau Kebun Pangkas (KP). Tantangan Tidak hanya memberikan peluang manis, SK Menhut No. SK.707/Menhut-II/2013 ini sekaligus juga memberikan tantangan kepada para pemilik sumber benih bersertifikat. Apakah 3
mereka mampu menyuplai kebutuhan benih dari pasar? Jangka waktu setahun dari tanggal ditetapkan SK tersebut, yaitu tanggal 24 Oktober 2013, dirasa cukup untuk mensosialisasikan aturan ini. Harapannya sejak tanggal 24 Oktober 2014 besok, para pemilik sumber benih bersertifikat telah mempersiapkan diri menyambut lonjakan permintaan benih kepada mereka. Lonjakan kuantitas permintaan benih yang bakalan terjadi, hendaknya tidak mengesampingkan kualitas. Penanganan (prosesing) benih tetap mengikuti kaidah produksi benih, mulai dari inventarisasi potensi produksi, pengunduhan atau pengumpulan benih, ekstraksi, sortasi, pengeringan, hingga pengemasan dan penyimpanan benih serta pengujian mutu benih. Hal ini malah merupakan tantangan bagi para pemilik sumber benih untuk meningkatkan kualitas mutu fisik dan fisiologis dari benih yang diproduksi. Jika pemilik sumber benih mampu meningkatkan mutu benih yang diproduksi sehingga sesuai dengan standar mutu benih minimal (benih bersertifikat), para pemilik bisa punya nilai tawar untuk menjual benih tersebut. Contohnya, selama ini benih sengon di wilayah Bali Nusra hanya dihargai tidak lebih dari Rp 500.000,00 per Kg-nya. Dengan dilakukan penanganan yang lebih baik, benih sengon bersertifikat mutu benih di sini mungkin bisa mencapai harga hingga Rp 1.500.000,00 per Kg-nya seperti benih sengon bersertifikat mutu benih dari Jawa. Tantangan selanjutnya adalah, apakah para pemilik sumber benih mampu meningkatkan produktivitas per hektar dari benih yang dihasilkan? Memang kebutuhan benih yang tinggi dapat dipenuhi dengan penambahan luas sumber benih bersertifikat melalui Sertifikasi Sumber Benih yang dilaksanakan oleh Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH). Namun peningkatan produktivitas per Ha dari sumber benih juga penting. Hal tersebut baru bisa dicapai jika para pemilik sumber benih mau melakukan pengelolaan sumber benih secara lebih baik. Pemilik harus mulai menerapkan teknis pengelolaan sumber benih seperti demarkasi, perlindungan dan pengamanan, penyiangan, pendangiran, pemupukan, pemeliharaan label, pengendalian hama dan penyakit, pengelolaan polinator, dan lain-lain. Kegiatan pengelolaan ini selain bertujuan meningkatkan kuantitas produksi benih per hektarnya, juga untuk meningkatkan mutu benih yang dihasilkan. Tidak hanya itu, penerapan SK Menhut ini juga menuntut para pemilik sumber benih bersertifikat untuk memperbaiki dan menertibkan tata usaha benihnya agar sesuai dengan aturan yang berlaku yaitu Lampiran 6 Permenhut No. P.01/Menhut-II/2009. Tata usaha benih ini diperlukan dalam rangka mengontrol dan menjamin bahwa benih-benih yang beredar di pasaran memang berasal dari sumber benih yang bersertifikat yang mereka miliki. Jadi tujuan utamanya adalah untuk melindungi para pemilik sumber benih juga. Pengawasan peredaran benih ini juga dibantu oleh BPTH dan petugas Pengawas Benih Tanaman Hutan di dinas Kabupaten/Kota. Kesimpulan Terbitnya Kepmenhut No. SK.707/Menhut-II/2013 memberikan peluang sekaligus tantangan bagi para pemilik sumber benih bersertifikat. Peluang untuk memberikan pendapatan yang lebih baik kepada pribadi (dari sumber benih milik perseorangan) maupun peningkatan PAD (dari sumber benih di dalam kawasan). Kelestarian tegakan juga terjaga dengan kegiatan pemanfaatan benih ini. Di sisi lain, penerapan Kepmenhut ini merupakan 4
tantangan bagi pemilik sumber benih untuk meningkatkan kuantitas serta kualitas benih yang diproduksi. Baik itu melalui perbaikan penanganan benih maupun perbaikan pengelolaan sumber benih. Selain itu untuk melindungi pemilik sumber benih dari benih-benih “illegal” yang mungkin beredar, pemilik sumber benih perlu memperbaiki tata usaha benihnya.
Daftar Pustaka 3,5
Juta Hektar Hutan Indonesia Rusak Tiap Tahun. 7 Nopember 2013. http://regional.kompas.com/read/2013/11/07/1748309/3.5.Juta.Hektar.Hutan.Indonesia .Rusak.Tiap.Tahun. Diakses tanggal 27 Agustus 2014.
BPTH Bali Nusra. 2014. Database Sumber Benih Tanaman Hutan Bio Region Bali dan Nusa Tenggara. Denpasar. Kepmenhut No. SK.707/Menhut-II/2013. Penetapan Jenis Tanaman Hutan Yang Benihnya Wajib Diambil Dari Sumber Benih Bersertifikat. Tanggal 26 Oktober 2013. Permenhut No. P.01/Menhut-II/2009. Penyelenggaraan perbenihan Tanaman Hutan. Tanggal 6 januari 2009. Menhut Dorong Penggunaan Bibit Unggul Bersertifikat. 16 Nopember 2013. http://www.beritasatu.com/kesra/150377-menhut-dorong-penggunaan-bibit-unggulbersertifikat.html. Diakses tanggal 27 Agustus 2014. Menhut Launching Benih Unggul Hasil Penelitian Badan Litbang Kehutanan yang Benihnya Wajib Diambil dari Sumber Benih Bersertifikat. 20 Nopember 2013. http://www.forda-mof.org/index.php/berita/post/1584. Diakses tanggal 27 Agustus 2014.
5