MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 96/PUU-XI/2013
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN PIHAK TERKAIT (VI)
JAKARTA RABU, 26 FEBRUARI 2014
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 96/PUU-XI/2013 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan [Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) ACARA Mendengarkan Keterangan Pihak Terkait (VI) Rabu, 26 Februari 2014, Pukul 11.28 – 12.15 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) Arief Hidayat 2) Anwar Usman 3) Ahmad Fadlil Sumadi 4) Maria Farida Indrati 5) Muhammad Alim 6) Patrialis Akbar Achmad Edi Subiyanto
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
ii
Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. Gustav Evert Matulesi B. Kuasa Hukum Pemohon: 1. Ibrahim Sumantri C. Pemerintah: 1. Agus Hariadi 2. Budijono 3. Liana Sari 4. Tri Rahmanto 5. Umar Kasim 6. Rima Pratiwi 7. Heri Setiawan 8. Emma A. 9. Guntur S. 10. Kalvin S. 11. Arjuna D. Kuasa Hukum Pihak Terkait: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Ahmad Biky Johanes Gea Muhammad Isnur Rambo Cronika Abu M. Dina Ardiyanti
E. Ahli dari Pihak Terkait: 1. M. Hadi Shubhan
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.28 WIB 1.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, kita mulai. Sidang dalam Perkara Nomor 96/PUU-XI/2013 dengan ini saya nyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Pemohon,
2.
yang hadir, saya persilakan.
KUASA HUKUM PEMOHON: IBRAHIM SUMANTRI Baik, Yang Mulia. Saya Ibrahim Sumantri Kuasa Hukum dari Pemohon.
3.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, baik. Pemerintah, hadir?
4.
KUASA HUKUM PEMOHON: IBRAHIM SUMANTRI Satu lagi dari (…)
5.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, dari Prinsipal ya?
6.
PEMOHON: GUSTAV EVERT MATULESI Saya Gustav Evert Matulesi dari APINDO.
7.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Dari Prinsipal, kan?
8.
PEMOHON: GUSTAV EVERT MATULESI Ya, Pak.
9.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, baik. Pemerintah?
1
10.
PEMERINTAH: AGUS HARIADI Hadir, Yang Mulia.
11.
KETUA: ARIEF HIDAYAT DPR tidak hadir. Kemudian, Pihak Terkait?
12.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: MUHAMMAD ISNUR Hadir, Yang Mulia.
13.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya. Pada hari ini sesuai dengan agenda rapat yang lalu, itu mendengarkan Pihak Terkait ya. Kemudian, ternyata Pihak Terkait pada kesempatan ini juga menghadirkan Ahli, ya?
14.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: MUHAMMAD ISNUR Benar, Yang Mulia.
15.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya. Berarti, pada hari ini agenda kita ada dua, yang pertama adalah keterangan dari Pihak Terkait dan Ahli dari Pihak Terkait ya. Saya persilakan dari Pihak Terkait dulu untuk … tapi sebelumnya, saya persilakan untuk memperkenalkan ya, tadi belum.
16.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: MUHAMMAD ISNUR Terima kasih, Yang Mulia. Kami akan memperkenalkan kami, saya Muhammad Isnur Kuasa Hukum dari Prinsipal. Sebelah kanan saya Ahmad Biky Kuasa Hukum juga. Kemudian Johanes Gea, sebelah kanannya, Kuasa Hukum juga. Dan Ibu Dina Ardiyanti Kuasa Hukum juga.
17.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya.
18.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: MUHAMMAD ISNUR Sebelah kiri saya, Pak Jamson Frans Gultom, Beliau Prinsipal Pihak Terkait Pemohon[sic!]. 2
19.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya.
20.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: MUHAMMAD ISNUR Yang sebelah kanan, Ahli.
21.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ahli.
22.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: MUHAMMAD ISNUR Dr. Hadi Shubhan.
23.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Dr. Hadi Shubhan, S.H., M.H., C.N., ya?
24.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: MUHAMMAD ISNUR Betul, Yang Mulia.
25.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Dosen Fakultas Hukum UNAIR, ya?
26.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: MUHAMMAD ISNUR Ya.
27.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, baik. Silakan.
28.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: MUHAMMAD ISNUR Kepada Yang Terhormat Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan seluruh Hakim Konstitusi. Perkenankan kami para Advokat, Pengacara Publik, dan/atau (suara tidak terdengar jelas) hukum yang tergabung dalam Tim Advokasi Buruh untuk Keadilan, selaku Kuasa Hukum Pihak Terkait berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 10 Desember 2013, yang mana kami bertindak untuk dan atas
3
nama Para Pihak Terkait, yang di atasnya lengkap dan telah kami sampaikan secara tertulis dalam keterangan ini. Terkait dengan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, diajukan oleh Sofjan Wanandi sebagai Ketua Umum APINDO dan Suryadi Sasmita sebagai Sekretaris APINDO, dalam hal ini diwakili oleh Kuasa Hukumnya. Kemudian dengan ini, kami Pihak Terkait menyampaikan keterangan kami terhadap Permohonan Pengujian Undang-Undang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Perkara Nomor 96/PUU-XI/2013. Namun sebelumnya, kami mohon izin untuk tidak membacakan keterangan ini secara utuh, melainkan secara beberapa poin utama yang akan kami sampaikan. Namun hal ini merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam keterangan yang kami sampaikan secara tertulis di depan Majelis. Adapun poin-poin utama yang kami hendak sampaikan adalah sebagai berikut. Sejak Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan lahir, begitu banyak permohonan uji materiil terhadap undang-undang ini, baik yang diajukan oleh pihak pengusaha maupun serikat pekerja. Perlindungan terhadap … kepada pekerja atau buruh yang diberikan oleh negara dalam undang-undang ini memang terkesan belum maksimal bagi pihak pekerja, terlihat dari banyak materi yang masih diujikan oleh pihak pekerja atau buruh kepada Mahkamah Konstitusi. Keberadaan peran negara menjadi karakteristik dari hukum perburuhan. Hakikat hukum perburuhan tidak bisa dibandingkan dengan hukum … dengan hubungan antara pembeli dengan penjual barang yang baik secara yuridis maupun sosiologis adalah merdeka, bebas, atau melakukan atau tidak melakukan jual-beli atau tukar-menukar barang tersebut. Dalam hubungan antara buruh dengan majikan, soalnya sangat berlainan. Yuridis buruh adalah memang bebas karena prinsip negara kita adalah tidak seorang pun boleh diperbudak, diperulur, atau diperhamba karena segala perbuatan tersebut dilarang. Namun demikian, secara sosiologis buruh adalah tidak bebas, sebagai orang yang tidak mempunyai bekal hidup lain daripada negaranya itu, ia terpaksa untuk bekerja pada orang lain dan majikan inilah yang pada dasarnya menentukan syarat-syarat itu. Secara sederhana, kondisi demikian dapat dimaknai bahwa tidak adanya kesejajaran dan keseimbangan antara buruh dan majikannya. Oleh karena itu, diperlukan peran negara berdasarkan kewenangan yang dimiliki untuk melindungi dan memastikan hak buruh, tidak dinegasikan oleh majikan atau pengusaha. Penerapan batas upah minimum, pembuatan standar keselamatan dan kesehatan kerja, hingga pengaturan menge … mengenai status 4
buruh, yang mana saja dijadikan pekerja dengan asas kontrak, pekerja dengan status tidak tentu, tetap, borongan dengan alih daya, hingga kondisi serta-merta atas pekerja buruh tersebut dapat langsung menjadi pekerja atau buruh dengan (suara tidak terdengar jelas) tertentu, tetap karena pelanggaran yang dilakukan oleh majikan atau pengusaha adalah manifestasi nyata dari hukum perbuatan itu sendiri. Inilah yang mendasari dimuatnya Pasal 27 ayat (2) UndangUndang Dasar Tahun 1945 mengenai pekerjaan dan penghidupan yang layak tersebut, yang terkait amat erat dengan Pasal 28 mengenai hak untuk berorganisasi dan berkumpul. Keduanya dimuat di dalam Bab X Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang bertajuk “Warga Negara dan Penduduk”. Keduanya sekaligus menjadi jaminan konstitusional bagi warga negara umumnya dan buruh khususnya untuk mendapatkan hak konstitusional, penghidupan yang layak yang dapat diperolehnya dari pekerjaan dan kebebasan untuk berorganisasi guna menaikkan (suara tidak terdengar jelas). Yang Mulia, kami berpendapat bahwa pertama, permohonan Pemohon kabur (obscuur libel) dan menyesatkan. Bahwa apa yang dijadikan dasar dari permohonan Pemohon tidak jelas karena mendalilkan dua permasalahan yang berbeda, namun digabungkan dalam satu permohonan, sehingga menjadikan permohonan Pemohon kabur. Di satu sisi, Pemohon mendalilkan bahwa hak konstitusional Pemohon maupun anggota Pemohon dianggap telah dirugikan dengan adanya Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dikarenakan adanya frasa demi hukum dalam pasal-pasal tersebut. Tapi di sisi lain, Pemohon menghubungkan kerugian konstitusional yang disebabkan oleh pasal tersebut dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) dengan implementasi di lapangan tentang penerapan norma tersebut yang dijalankan oleh Lembaga Pengawasan Ketenagakerjaan yang diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 20/MEN/X/2004 tentang SyaratSyarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, dan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor SE 4/MEN/VIII/2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain. Pada halaman 43 perbaikan permohonan, Pemohon sangat jelas terlihat bahwa yang dipermasalahkan Pemohon adalah Nota Pemeriksaan yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan mengakibatkan kerugian konstitusional bagi Pemohon. Namun di lain pihak, dalam permohonannya, Pemohon kembali mendalilkan bahwa frasa demi hukum dalam pasal a quo menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga 5
Pemohon mengalami kerugian konstitusional. Nota pemeriksaan yang diatur dalam Undang-Undang Pengawasan Perburuhan hal yang berbeda dengan frasa demi hukum dalam pasal a quo. Dengan demikian, yang dijadikan dasar permohonan penggugat sangatlah kabur dan menyesatkan karena tidak jelas undang-undang mana yang akan diuji oleh Pemohon terhadap Undang-Undang Dasar, apakah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UndangUndang Dasar atau Undang-Undang Pengawasan Perburuhan terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945? Yang Mulia, kami berpendapat yang kedua, Mahkamah tidak berwenang memeriksa permohonan Pemohon, sebab permohonan tersebut memasuki wilayah implementasi norma undang-undang, bukan terkait konstitusional norma dari undang-undang. Dalam butir 18 halaman 29 dalam perbaikan permohonan didalilkan mengenai jenis pekerjaan yang dibuatkan PKWT seringkali diputuskan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan tanpa memerhatikan keterangan dari pihak pengusaha. Dan terhadap perbedaan pendapat mengenai jenis pekerjaan atau (suara tidak terdengar jelas) atau tidak … keputusan Pasal a quo tidak dibuktikan melalui lembaga peradilan, melainkan dengan diterbitkannya nota pemeriksaan dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan secara subjektif. Kemudian pada butir 27 halaman 31, Pemohon mendalilkan bahwa nota pemeriksaan yang dikeluarkan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan bukan merupakan suatu surat yang bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum mengikat, yang oleh karenanya bukan merupakan objek sengketa Peradilan Tata Usaha Negara. Akan tetapi, secara faktual nota pemeriksaan tersebut menjadi surat sakti bagi pekerja atau buruh untuk menilai terpenuhi atau tidaknya Ketentuan Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kutipan kedua dalil Pemohon tersebut sudah cukup membuktikan bahwa permohonan Pemohon sudah merasuki ranah implementasi, lebih lanjut Pemohon mempersoalkan tindakan pekerja atau buruh yang melakukan kegiatan aksi demonstrasi ketika mengetahui telah adanya nota pemeriksaan. Bahwa tidak ada satu pun peraturan perundangundangan yang melarang warga Negara Indonesia untuk melakukan aksi demonstrasi atau menyampaikan pendapat di muka umum, justru hal tersebut merupakan hak yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Dengan demikian, selain obscuur libel atau kabur dan menyesatkan, permohonan Pemohon juga memasuki ranah implementasi dari satu norma yang bukan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengujinya. 6
Kemudian dalam pokok perkara. Bahwa secara harfiah demi hukum memiliki maksud untuk terciptanya suatu keadilan yang merupakan tujuan terciptanya hukum. Berangkat dari hal ini, maka istilah demi hukum yang digunakan dalam berbagai ranah hukum, baik hukum perikatan ataupun yang sering dituangkan dalam satu perjanjian maupun hukum publik yang berbentuk peraturan perundang-undangan. Dalam beberapa peraturan perundang-undangan selain frasa demi hukum, juga ada frasa batal demi hukum jika dikaitkan dengan pengertian frasa batal demi hukum, frasa batal demi hukum merupakan frasa khas bidang hukum yang bermakna, tidak berlaku, tidak sah menurut hukum. Dalam pengertian umum, kata batal sudah berarti tidak berlaku, tidak sah. Jadi walaupun kata batal sesungguhnya sudah cukup menjelaskan bahwa sesuatu yang menjadi tidak berlaku atau tidak sah, rupanya frasa demi hukum lebih memberikan kekuatan, sebab tidak berlaku atau tidak sahnya sesuatunya tersebut dibenarkan atau dikuatkan menurut hukum. Bukan hanya tidak berlaku menurut pertimbangan subjektif seseorang, atau menurut kesusilaan, atau kepatutan. Batal demi hukum berarti bahwa sesuatu menjadi tidak berlaku atau tidak sah karena berdasarkan hukum, memang begitulah adanya. Dengan demikian, batal demi hukum menunjukkan bahwa tidak berlaku atau tidak sahnya menjadi suatu tersebut terjadi seketika, spontan, otomatis, atau dengan sendirinya sepanjang persyaratan atau keadaan yang membuat batal demi hukum itu terpenuhi. Bahwa dengan suatu perjanjian yang batal demi hukum tadi dianggap tidak mempunyai kekuatan oleh Prof. Subekti ditafsirkan secara gramatikal perjanjian tersebut dari semula tidak pernah dilahirkan. Menurut Prof. Subekti, apabila perjanjian batal demi hukum, artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian. Dan dengan demikian, tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang membuat perjanjian semacam itu, yakni melahirkan perikatan hukum telah gagal. Jadi tidak ada dasar untuk saling menuntut di muka hakim. Hal ini sejalan dengan pernyataan Elly Erawati dan Herlien Budiono yang menjelaskan mengenai perbedaan antara batal demi hukum akibat dilanggarnya secara objektif, syarat objektif, dan pembatalan jika syarat subjektif tidak dipenuhi, sebagaimana syarat diatur dalam Pasal 13 ayat (20) KUH Perdata tidak terpenuhi. Adapun penjelasannya, yaitu salah satu pembeda antara batal demi hukum dengan pembatalan, dilihat dari ada-tidaknya (suara tidak terdengar jelas) di muka pengadilan untuk membatalkan perikatan. Pembatalkan perjanjian harus ada tuntutan, sedangkan batal demi hukum tidak harus ada tuntutan. Dengan demikian, apabila surat perjanjian batal demi hukum secara otomatis batal dan tidak perlu dimintakan pembatalan di muka pengadilan atau hakim. 7
Bahwa apabila suatu perjanjian kerja bertentangan dengan ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal 65 ayat (2) dan (3), Pasal 66 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan Pasal 52 ayat (3) dapat dikatakan perjanjian kerja tersebut batal demi hukum dan dianggap tidak pernah terjadi suatu perjanjian. Tetapi hal tersebut tidak serta-merta menyatakan perjanjian kerja antara buruh dan pengusaha menjadi tidak pernah ada yang memiliki konsekuensi buruh menjadi tidak memiliki pekerjaan. Hal tersebut di-cover dengan ketentuan dalam Pasal UndangUndang Ketenagakerjaan sendiri yang melalui frasa demi hukum dalam pasal a quo. Oleh karenanya, perjanjian kerja yang dianggap batal demi hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 52 ayat (3) menjadi dianggap tidak pernah ada. Dan untuk terciptanya suatu keadilan yang merupakan tujuan terciptanya hukum, maka demi hukum berubah statusnya menjadi sebagaimana disebut dalam pasal a quo. Ketentuan yang menyatakan adanya perubahan status sebagaimana tersebutkan dalam Pasal a quo, memiliki sejarah yang sangat mulia. Berdasarkan keterangan Bapak Indra Munaswar sebagai salah satu Tim Perumusan Undang-Undang Ketenagakerjaan dari pihak pekerja, ditegaskan bahwa dibentuknya ketentuan sebagaimana yang dimaksud adalah dengan semangat implementasi hak asasi manusia, sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 yang berbunyi sebagai berukut. “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Hak atas hidup yang layak hanya dapat dicapai melalui suatu pekerjaan yang bersifat tetap, tidak terpenggal-penggal dan terus-menerus. Harus dihindari pekerjaan yang sifatnya tidak tetap, yaitu dalam hal ini Pekerja Perjanjian Waktu Tertentu (PKWT). Dan khususnya perjanjian kerja outsourcing dianggap jika diatur sedemikian rupa, akan rentan mencederai hak asasi kaum pekerja/buruh karena sifat pekerjaan yang tidak tetap. Berdasarkan undang-undang di atas, apabila terjadi prasyarat yang ditentukan undang-undang dilanggar, maka untuk terciptanya keadilan dan kepastian hukum, maka demi hukum terjadi perubahan status, sebagaimana disebutkan dalam pasal a quo. Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim Konstitusi. Nota Pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi tidak memiliki hubungan dengan frasa demi hukum dalam pasal a quo. Pengawasan ketenagakerjaan adalah suatu institusi dalam penyelenggaraan undangundang dan peraturan-peraturan perburuhan. Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2001 tentang Pengawasan Perburuhan disebutkan bahwa pengawasan perburuhan berfungsi untuk mengawasi tentang berlakunya undang-undang dan peraturan-peraturan perburuhan, ketenagakerjaan, dan dengan jalan memberi penerangan 8
kepada buruh, serikat buruh, dan majikan jikalau perlu. Dengan mengusut hal-hal yang dikenakan hukuman oleh Undang-Undang peraturan yang berlaku. Berdasarkan struktur ketenagaan, pengawas ketenagakerjaan merupakan instansi dalam Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang merupakan bawahan presiden/eksekutif dalam melaksanakan pemerintahan. Berdasarkan peraturan di atas, dengan tegas secara hukum kedudukan pengawas ketenagakerjaan adalah instansi yang kegiatannya di bidang eksekutif, yaitu menjalankan pemerintahan, bukan mengadili atau yudikatif, sebagaimana disebutkan dan dijelaskan oleh Pemohon dalam permohonannya. Nota pemeriksaan yang dikeluarkan oleh pengawas ketenagakerjaan berisi hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan terhadap perusahaan terkait pelanggaranpelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha atau perusahaan yang diperiksa terhadap peraturan perundang-undangan dalam bidang ketenagakerjaan. Oleh karena itu, nota tersebut sifatnya berupa pembinaan terhadap pihak perusahaan, maka dengan adanya nota tersebut, justru menimbulkan kepastian hukum bagi pengusaha maupun pekerja dan tidak ada pelanggaran asas praduga tak bersalah terhadap Pemohon. Oleh karena itu, sangat jelas bahwa dari Pemohon yang menyatakan bahwa keluarnya nota pengawasan dari Disnaker, secara otomatis berlaku tanpa memberikan kesempatan kepada pihak pengusaha untuk melakukan pembelaan dan pembuktian adalah tidak berdasar. Yang Mulia, nota pemeriksaan yang menimbulkan aksi dan demonstrasi massa bukan terjadi karena inkonstitusionalitas pasal a quo. Demonstrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Itu kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran. Demonstrasi merupakan sebuah media dan sarana penyampaian gagasan atau ide yang dianggap benar dan berupaya mempublikasikannya dalam bentuk pengerahan massa. Demonstrasi juga merupakan sebuah sarana atau alat, sangat terkait dengan tujuan yang digunakannya sarana atau alat tersebut dan cara penggunaannya. Berdasarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang disahkan dan diproklamirkan oleh Resolusi Majelis Umum 217 A (II) tanggal 10 Desember Tahun 1948 Pasal 19 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan untuk mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat-pendapat dengan tidak mendapatkan gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan cara apa pun, juga dengan tidak memandang batas-batas. 9
Bahwa unjuk rasa dan demonstrasi merupakan hak asasi setiap manusia yang dilindungi oleh Konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan yang tidak ada kaitannya dengan frasa demi hukum yang dinyatakan Pemohon dalam permohonannya. Menurut kami, sekalipun frasa demi hukum dalam pasal yang diajukan Pemohon dihapuskan ataupun ditafsirkan secara conditionally constitutional oleh Mahkamah, selama pengusaha dan pemilik modal dianggap bersikap tidak adil dan merugikan kaum pekerja, selama itu juga buruh dan pekerja dilindungi hak asasinya untuk menyampaikan pendapat, baik itu melalui untuk rasa atau pun demonstrasi. Maka terkait dengan aksi dan demonstrasi yang dilakukan oleh pekerja atau buruh yang di (suara tidak terdengar jelas) oleh Pemohon, Pihak Terkait menganggap hal tersebut tidak ada hubungan dengan frasa demi hukum dan data pemeriksaan yang dipermasalahkan oleh Pemohon. Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim. Perselisihan atas pekerja yang demi hukum (suara tidak terdengar jelas) berubah harus melalui proses peradilan hubungan industrial bertentangan dengan prinsip Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Hubungan Industrial yang mengedepankan proses musyawarah. Hubungan industrial pada dasarnya adalah proses terbinanya komunikasi, konsultasi, musyawarah, serta berunding ditopang oleh kemampuan dan komitmen yang tinggi dari semua elemen yang ada dalam perusahaan. Undang-Undang Ketenagakerjaan telah mengatur prinsip-prinsip dasar yang perlu kita kembangkan dalam bidang hubungan industrial. Arahannya adalah untuk menciptakan sistem dan kelembagaan yang ideal, sehingga tercipta kondisi keja yang produktif, harmonis, dinamis, dan berkeadilan. Dalam Undang-Undang Pengadilan Hubungan Industrial, setiap perselisihan hubungan industrial pada awalnya diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat oleh para pihak yang berselisih. Dalam hal perundingan oleh para pihak yang berselisih gagal bahwa salah satu pihak atau kedua belah pihak menyatakan (suara tidak terdengar jelas)-nya pada instansi yang bertanggung jawab pada bidang ketenagakerjaan setempat. Berdasarkan sejarah pembentukan dan semangat dari UndangUndang PPHI dan Undang-Undang Ketenagakerjaan, perkara hubungan industrial bukanlah perkara yang diutamakan penyelesaiannya melalui jalur pengadilan, melainkan mendahulukan proses musyawarah dwipartit atau tripartit. Oleh karena itu, Pihak Terkait berpendapat bahwa dalil Pemohon yang menyatakan bahwa mengenai perselisihan atas pekerja yang demi hukum berubah harus melalui proses peradilan perselisihan hubungan industrial tidak berdasarkan hukum karena telah bertentangan dengan prinsip musyawarah, mufakat, sebagaimana yang terkandung dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan maupun Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Pasal-pasal yang diujikan Pemohon 10
seyogiayanya telah memberikan kepastian hukum bagi Pemohon dan Pihak Terkait. Yang Mulia, jika nota pemeriksaan tidak dilaksanakan dalam batas waktu yang ditetapkan perusahaan tetap tidak melaksanakan kewajibannya, maka salah satu pihak dapat mengajukan penyelesaiannya melalui Pengadilan Hubungan Industrial, sebagaimana yang diatur dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor SE.04/MEN/VII/2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain. Olah karena itu, Yang Mulia, jelas bahwa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Pengawas Ketenagakerjaan, dan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja tidak bersifat multitafsir dan tidak ada peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan materinya. Melainkan menyatakan secara jelas dan pasti bahwa nota pemeriksaan yang (suara tidak terdengar jelas) pengawas ketenagakerjaan tidak bersifat mengadili dan pengusaha dapat melakukan pembelaan di tahap berikutnya apabila salah satu pihak mengajukan gugatan. Oleh karena itu, frasa demi hukum yang dipermasalahkan oleh Pemohon memiliki bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Pihak Terkait sebelumnya, frasa demi hukum dan batal demi hukum merupakan frasa yang ditemukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan sudah menjadi istilah umum dalam hukum Indonesia. Dan frasa demi hukum memberikan pengertian bahwa berdasarkan hukum, memang begitulah adanya. Yang Mulia, dikabulkannya permohonan oleh … a quo oleh Mahkamah Konstitusi, justru berpotensi terlanggarnya hak konstitusional buruh atau pekerja. Hak atas pekerjaan merupakan hak asasi … salah satu hak asasi manusia karena aktivitasnya bekerja sangat berkaitan erat dengan hak atas hidup. Bahkan hak hidup yang layak … hak atas hidup yang layak hanya dapat dicapai melalui suatu pekerjaan yang bersifat tetap, tidak terpenggal-penggal, dan terus-menerus, tanpa adanya … tanpa adanya kepastian hukum. Harus dihindari pekerjaan yang sifatnya tidak tetap, dalam hal ini pekerjaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Dan khususnya perjanjian kerja outsourcing dianggap jika tidak diatur sedemikian rupa, akan rentan mencederai hak asasi manusia, dalam hal ini kaum pekerja atau buruh karena sifat pekerjaannya yang tidak tetap. Pengaturan sebagaimana disebutkan pasal-pasal yang diujikan oleh Pemohon memiliki semangat pemenuhan hak asasi manusia dan konstitusional pekerja atau buruh. Jika tidak diatur sedemikian rupa, 11
maka implikasi pengaturan mengenai PKWT dan outsourcing tersebut akan rentan mencederai hak asasi dan konstitusional buruh sebagai manusia. Hak atas pekerjaan dan penghidupan layak dilindungi dalam pengaturan tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Jika permohonan a quo dikabulkan, tentu saja mengancam terlaksananya dan terpenuhinya hak-hak konstitusional buruh sebagaimana yang disebutkan di atas, yaitu: 1. Ditafsirkannya frasa demi hukum dalam pasal a quo dengan dimaknai perubahan status pekerja berubah setelah adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap dan pengadilan akan berakibat perubahannya makna batal demi hukum menjadi dapat dibatalkan. Implikasinya, selama tidak ada putusan pengadilan, maka perjanjian kerja yang bertentangan dengan undang-undang tersebut dilegitimasi dan dianggap sah. 2. Dengan diperlukannya putusan pengadilan lebih dahulu, akan berpotensi terlanggarnya keadilan bagi kaum pekerja dan buruh. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Apabila permohonan a quo dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi akan berdampak masa kerja pekerja sebagai pekerja tetap dihitung semenjak adanya putusan hakim, bukan dari waktu terjadinya pelanggaran undang-undang oleh pengusaha. Oleh karena itu, jelas dengan dikabulkannya permohonan oleh Mahkamah akan berakibat terlanggarnya hak Konstitusi Pihak Terkait karena tidak adanya jaminan hukum terhadap hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, sebagaimana disebut dalam konstitusi. Yang Mulia Ketua dan Anggota Hakim Mahkamah Konstitusi, kami dalam permohonan kami, satu, dalam eksepsi, menyatakan tidak diterima permohonan Pemohon mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UndangUndang Dasar 1945 yang dimohonkan oleh para Pemohon dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) yang diwakili oleh Sofjan Wanandi dan Suryadi Sasmita selaku Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal yang menguji Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), Pasal 66 ayat (4) UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Dikarenakan permohonan yang diajukan oleh Pemohon merupakan ranah implementasi dari satu norma, yang mana Mahkamah tidak berwenang untuk memeriksa. Yang Mulia, kami juga memohon dalam pokok perkara. Satu, menolak permohonan Pemohon Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 tentang dimohonkannya oleh Para Pemohon dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) yang diwakili oleh 12
Sofjan Wanandi dan Suryadi Sasmita selaku Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal yang menguji Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), Pasal 65 ayat (8), Pasal 66 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Yang kedua, kami mohonkan kepada Yang Mulia agar menyatakan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 59 ayat (7) (…) 29.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Tidak bertentangan, ya?
30.
KUASA HUKUM DARI PIHAK TERKAIT: MUHAMMAD ISNUR Tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
31.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Yang terakhir sekarang?
32.
KUASA HUKUM DARI PIHAK TERKAIT: MUHAMMAD ISNUR Demikian jawaban kami atau keterangan kami sebagai Pemohon dalam pengujian, kami ucapkan terima kasih atas perhatian dan kesempatannya. Terima kasih, Yang Mulia.
33.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. Silakan kembali ke tempat. Sekarang langsung kita minta Ahli untuk maju ke depan dulu, untuk disumpah. Ya, baik. Silakan. Mohon Yang Mulia Pak Ahmad Fadlil untuk menyumpah Ahli.
34.
HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Disilakan Saudara Ahli untuk mengikuti kata sumpahnya. Dimulai. ”Bismiillahirrahmaanirrahiim.”
35.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Tangannya ke bawah. Maaf.
13
36.
HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI ”Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.”
37.
AHLI YANG BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH: ”Bismiillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.”
38.
HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Cukup, terima kasih.
39.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih. Saudara Ahli Dr. M. Hadi Shubhan, S.H., M.H., C.N. Saya persilakan untuk bisa memberikan keterangan Ahli di podium. Waktunya maksimal 15 menit, ya, pokok-pokoknya saja disampaikan.
40.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: M. HADI SHUBHAN Assalamualaikum wr. wb. Yang Mulia Majelis Hakim, terima kasih atas kesempatan yang diperkenankan kepada kami. Saya akan menyampaikan tentang kajian yang saya beri judul dan sekaligus kesimpulan adalah Frasa Demi Hukum dalam Pasal 59 ayat (7), 65 ayat (8), 66 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 adalah Konstitusional dan Tidak Perlu Dimaknai Harus dengan Penetapan Pengadilan. Sesuai dengan kapasitas saya, saya adalah Ahli sebagai seorang Dosen Tridarma Perguruan Tinggi Pengajaran Penelitian dan Pengabdian. Saya akan cerita tridarma pengabdian saya, saya pernah menjadi Ketua Unit Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Saya didatangi seorang buruh membawa Putusan Mahkamah Agung yang sudah incraht yang berisi bahwa pengusaha harus membayar pesangon Rp20.000.000,00, ya. Terus saya bilang, ”Oke, bagus itu. Kenapa?” ”Saya datang ke perusahaan, kemudian perusahaan bilang, saya akan hanya bayar Rp20.000.000,00 kamu ... eh, maaf, saya hanya akan bayar Rp10.000.000,00. Kamu mau apa?” Kemudian buruhnya menghadap saya itu dan saya jawab tanpa pikir panjang, ”Terima Rp10.000.000,00!” Padahal itu harusnya sebagai seorang dosen tidak memberikan seperti itu karena putusan pengadilan harusnya bisa dieksekusi. Tetapi kalau dengan uang Rp20.000.000,00, harus minta eksekusi, biayanya berapa? Belum setelah itu harus dilelang 14
biayanya berapa. Bisa jadi biayanya Rp50.000.000,00, sedangkan yang dia dapat adalah Rp20.000.000,00. Karena itu, tidak semua perselisihan buruh sama pengusaha itu harus melalui putusan pengadilan, itu banyak. Kemudian yang kedua, saya akan membahas isu, apa ratio legis daripada demi hukum di dalam Pasal 59 ayat (7), 65 ayat (8), 66 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan. Kemudian yang kedua, apakah frasa demi hukum tersebut itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar jika tidak dimaknai harus dengan putusan pengadilan. Konstruksi pemikiran saya, saya akan jelaskan. Pertama adalah tentang hakikat hubungan kerja, yang kedua adalah filosofi perlindungan buruh, yang ketiga adalah hakikat hukum perburuhan, yang keempat adalah fungsi frasa demi hukum, dan yang kelima adalah kesimpulan. Apa yang dimaksud dengan hubungan kerja? Hubungan kerja adalah hubungan pekerja dengan pengusaha dalam suatu proses produksi sesuai dengan perjanjian kerja yang mempunyai unsur 3, namanya unsur, maka harus ada ketiga semuanya, yaitu pekerjaan, perintah, dan upah. Jadi dengan demikian, unsur hubungan kerja adalah ada pekerjaan, ada perintah, dan ada upah. Kalau salah satu tidak ada, berarti bukan hubungan kerja. Karena itu, hubungan kerja pasti ada tiga hal ini dan akan saya jelaskan tentang hanya unsur yang kedua adalah unsur perintah. Unsur perintah ini adalah petunjuk atau kehendak yang dimaui oleh pengusaha, yang dalam hal ini pemberi kerja untuk dikerjakan si pekerja. Perintah ini bisa tertulis, bisa lisan dan harus bermanfaat bagi pemberi kerja. Kemudian, dari unsur perintah inilah, lahir ada yang memerintah, ada yang disebut pengusaha atau majikan, dan ada yang diperintah, atau pekerja, atau buruh. Jadi dengan demikian, lahirnya hubungan kerja sejak lahir, itu terjadi ”cacat posisi” dimana pasti posisinya lebih rendah daripada pengusaha. Pasti. Itu diharuskan begitu menurut konsepnya. Karena itu, perlu hukum yang ngganjel kalau bahasa Surabayanya, supaya buruh dengan pengusaha itu equal. Padahal keharusan di muka hukum adalah equal. Karena itu, hukum perburuhan adalah hukum yang memberikan proteksi kepada buruh agar equal kepada pengusaha. Bagaimana pengusaha harus juga dilindungi, diproteksi dalam hukum perburuhan, itu salah kamar. Pengusaha tidak perlu dilindungi terhadap buruh di dalam hukum perburuhan. Karena itu, 90% norma yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah semuanya memberikan proteksi kepada buruh. Buruh tidak harus diproteksi ... eh, maaf ... pengusaha tidak harus diproteksi terhadap ... pengusaha harus diproteksi terhadap penguasa. Misalnya, di dalam Undang-Undang Penanaman Modal. Misalnya di dalam undang-undang tentang yang mengatur perizinan. Pengusaha harus diproteksi dari penguasa. Perizinan harus baik. Infrastruktur harus baik. Perpajakan 15
harus baik, dan lain sebagainya, tidak ada (suara tidak terdengar jelas). Itu harus dilindungi terhadap penguasa. Kalau pengusaha dilindungi terhadap buruh, maka itu terbalik. Di dalam hukum perbu ... karena itu, tadi sudah cacat kondisi dari sejak lahir, maka hukum perburuhan pasti mengandung tiga aspek dan ini menurut saya adalah urutan prioritas perlindungan. Yang pertama adalah aspek hukum administrasi negara. Yang kedua adalah aspek pidana dan yang ketiga adalah aspek perdata. Aspek hukum administrasi negara ini melahirkan ada namanya pegawai pengawas ketenagakerjaan, ya. Supaya apa fungsinya? Adalah memastikan dijalankannya norma-norma hukum perburuhan. Karena ini sebagai pengawas ketenagakerjaan, lingkupnya ada di dalam hukum administrasi. Dan sanksi yang diberikan adalah sanksi administrasi. Dan yang dilakukan tindakan pengawas adalah rechtmatigheid, atau ada asas namanya presumtio justea causa, tindakan yang dilakukan mereka adalah benar demi hukum, kecuali dicabut atau nanti dibatalkan oleh putusan pengadilan. Nah, terus yang berikutnya adalah apa makna demi hukum di dalam pasal-pasal perkara a quo yang dimohonkan pengujian? Demi hukum di sini adalah ditujukan kepada hakikat daripada sebuah hubungan kerja, dalam hal ini adalah perjanjian kerja dan dalam konstruksi outsourcing. Akibat hukum ini supaya bahwa kalau ada pelanggaran itu sejak semula, maka pelanggaran tersebut dianggap diberi sanksi oleh undang-undang karena itu demi hukum. Ini kenapa ceritanya? Ceritanya karena di dalam hubungan kerja, itu kan ada dua, PKWT dan PKWTT. PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) ada yang disebut dengan pekerja kontrak dan PKWTT atau yang disebut dengan pekerja tetap. Seharusnya, di dalam UndangUndang Nomor 13 hanya mengatur satu hubungan kerja adalah pekerja tetap atau PKWTT. Lho, kan ada PKWT-nya, atau pekerja kontrak? Ada, tetapi itu adalah sebagai pengecualian karena pengecualian pasti harus sedikit. Apa yang boleh dikecualikan pekerja itu dikontrak? Apabila pekerjaan itu sementara atau sekali selesai, kemudian maksimal tiga tahun. Atau pekerjaan itu musiman. Atau pekerjaan itu produk-produk cobaan. Kalau di luar empat pekerjaan itu, tidak boleh dikontrak. Dan di dalam pekerjaan ini, empat ini, jarang sekali terjadi. Contoh pekerjaan musiman itu hanya ada beberapa saja yang terkait dengan iklim, misalnya di daerah-daerah ada pabrik gula yang dimana musim gilingnya itu hanya enam bulan, setelah itu, enam bulan itu, tidak giling. Bagaimana mungkin kalau dia pekerja tetap? Enam bulan enggak bekerja kok, pengusaha suruh membayar? Karena itu rasionya adalah karena musiman, boleh dikontrak. Demikian juga yang lainnya, pekerjaan yang maksimal tiga tahun. Seorang pemborong yang mau memborong bangunan Hambalang, 16
misalnya, tiga tahun selesai. Kalau selesai, ya sudah. Kan, enggak ada pekerjaan lagi, gitu, dan lain sebagainya. Karena itu, hanya pekerjaan ini yang boleh dikontrak, tetapi fakta di lapangan justru terbalik, 90% pekerja dikontrak, 10% yang tetap, begitu. Karena itu, apabila dilanggar ini, maka demi hukum itu, buruh menjadi hubungan kerjanya adalah pegawai tetap karena memang Undang-Undang Nomor 13 itu sejatinya hanya menganut satu hubungan kerja, pekerja tetap. Boleh empat ini dikontrak. Nah, undang-undang menentukan bahwa kalau di luar empat ini dikontrak, maka demi hukum menjadi pegawai tetap. It’s clear. Very clear. Itu enggak perlu dimaknai dengan suatu putusan pengadilan, seperti tadi yang saya ungkapkan. Memang, kalau dengan putusan pengadilan, itu ada maslahatnya karena itu sebuah sengketa. Tetapi apabila dibawa ke pengadilan, maka itu ada mudaratnya bagi buruh. Karakteristik perselisihan peruburuhan kecil dibawa ke pengadilan, selesainya bisa 5 tahun. Jadi, kalau itu dilakukan, maka ada mudarat untuk buruh, di samping juga ada maslahat untuk pengusaha. Apabila ada benturan antara sesuatu yang membawa maslahat dengan sesuatu yang membawa mudarat, maka yang didahulukan adalah menghindari kemudaratan. Dalam Usul Fiqih ada asas namanya darul mafasid muqaddam 'ala jalbil mashalih, menghindari kemaslahatan itu harus didahulukan daripada membawa suatu kemaslahatan. Putusan pengadilan membawa mudarat, karena itu harus dihindari karena itu pasal ini sudah clear dan sudah tepat. Kemudian dalam hubungan outsourcing juga demikian. Pada prinsipnya, pekerja itu harus pekerja utama dari perusahaan itu, boleh di-outsourcing-kan perusahaan lain apabila pekerjaan itu adalah pekerjaan penunjang. Sedikit sekali pekerjaan penunjang itu, taruhlah ini MK adalah sebuah perusahaan … tarulah misalnya, ini saya analogikan. Maka yang namanya pekerjaan penunjang itu hanya misalnya cleaning service, penyediaan catering, 90% itu juga pasti pekerja utama karena itu harus tidak boleh di-outsourcing, boleh outsourcing yang penunjang. Karena itu, apabila dilanggar penunjang juga, maka harus demi hukum itu menjadi hubungan kerja dengan pekerja dengan pemberi kerja, demikian. Jadi, kesimpulannya adalah pasal demi hukum itu adalah melindungi buruh ya, apabila terjadi pelanggaran terhadap norma status buruh di dalam pekerja kontrak atau PKWT atau di dalam outsourcing. Dan karenanya, tidak memerlukan suatu putusan pengadilan. Demikian, Yang Mulia, sekian. Nuun wal qolami wamaa yasthuruun wassalamualaikum wr. wb.
17
41.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, waalaikumsalam. Terima kasih, Pak Shubhan. Baik, kita lanjutkan dari Pemohon, ada yang diklarifikasi kepada Pihak Terkait? Cukup? Ada satu ada, silakan.
42.
PEMOHON: GUSTAV EVERT MATULESI Ini ditujukkan kepada Ahli.
43.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Oh, Ahli? Ya, silakan.
44.
PEMOHON: GUSTAV EVERT MATULESI Ya. Saudara Ahli, apakah ukuran yang disengketakan ini adalah lembaga dan lembaga, pemberi dan yang ini … apa … yang melakukan. Di mana ada keadilan, kalau tiba-tiba nota dari Disnaker menyatakan bahwa pemberi pekerjaan itu adalah pekerjaan terus-menerus, sedangkan segi pekerjaannya adalah job order atau penunjang, siapa yang berhak untuk menilai? Kalau sudah terjadi perselisihan, maka otomatis tidak mungkin … apa namanya … eksekutif atau Disnaker untuk menentukan. Harus ke pengadilan. Apakah Disnaker adalah merupakan ahli untuk mengukur itu terus-menerus atau penunjang? Di sinilah keberatan dari Para Pemohon, untuk mau menerima nota daripada Disnaker.
45.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, cukup. Silakan, langsung saja Ahli.
46.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: M. HADI SHUBHAN Terima kasih, Yang Mulia. Seperti yang tadi saya paparkan bahwa di dalam hukum perburuhan ada tiga bidang karena memang karakter buruh tadi sudah saya paparkan demikian. Pertama adalah bidang hukum adminsitrasi negara, yang kedua adalah bidang hukum pidana, dan ketiga adalah bidang hukum perdata. Ketiga bidangnya ini bukan berurutan atau bukan kemudian harus urut satu-satu, ketiganya bisa paralel begitu. Pengusaha yang dibayar misalnya di bawah upah minimum, itu melanggar pidana, Pasal 90 ayat (1) juncto Pasal 185, 186, 187, saya kurang ingat persis, Pasal 185 mungkin, maka bisa dilaporkan ke PPNS, ke Polri, bisa juga langsung digugat ke PHI, bisa juga nota pengawasan 18
turun, “Eh, kamu itu kurang bayar upahmu! Upah Jakarta Rp2.200.000,00, kok kamu bayar Rp2.000.000,00?” Nota pengawasan bisa langsung. Sebagai pengusaha sudah merasa, “Saya sudah membayar upah minimum.” Mau mengugat juga silakan, tetapi tidak menghalangi bahwa itu adalah nota pengawasan karena memang fungsi pengawai pengawas ketenagakerjaan adalah mengawasi norma hubungan kerja. Pasal 90 ayat (1), tegas menyatakan, “Pengusaha dilarang membayar upah minimum.” Jelas kalau upah minimum Jakarta, Rp2.200.000,00, dia mau membayar Rp1.500.000,00 enggak usah pengadilan untuk menentukan apakah ini melanggar apa tidak, langsung melapor. Karena apa? karena kalau kemudian semuanya harus digeret dengan PHI tersebut, maka tadi, enggak akan membawa manfaat kepada buruh, bahkan akan membawa mudarat. Di samping dari pengalaman satu itu, banyak putusan PHI yang memerintahkan untuk mempekerjakan kembali. Juga kalau enggak dilaksanakan pengusaha, enggak bisa dieksekusi, mirip dengan putusan PTUN, yang ketika memerintahkan pejabat untuk mencabut SK atau menerbitkan SK kemudian tidak ditindaklanjuti, juga useless. Demikan juga di PHI, banyak putusan-putusan yang menyuruh mempekerjakan kembali. Taruhlah nanti putusan pengadilan mengatakan bahwa ini adalah hubungan kerja tetap atau tetap dipekerjakan terus, tetapi pengusaha juga enggak mau, juga tidak bisa berdaya. Memang luar biasa problem hukum di negara kita. Bagaimana mungkin ada warga negara, ada pejabat negara yang tidak patuh pada putusan pengadilan, tetapi itu potret di negara kita. Pernah ada suatu cerita Hakim Agung Perancis datang ke ... studi banding ke Hakim Agung di Indonesia. Salah satu hakim di Indonesia tanya, “Bapak, kalau di negeri Bapak, putusan pengadilan tidak dijalankan pejabat, itu dalam kaitan PTUN ini, bagaimana, Pak?” “Maksud pertanyaan Anda coba ulangi.” Sampai tiga kali enggak paham, itu Hakim Agung Perancis. Sampai akhirnya, “Apa ada seorang pejabat atau seorang warga tidak menjalankan putusan pengadilan?” Belum tahu Hakim Agung itu berada di Indonesia. Ini potret buram yang ada di negara kita. Kalau segala sesuatunya harus disingkirkan ... eh, digeret ke pengadilan, maka itu kalau hubungannya equal, dalam hubungan perdata oke, saya memberi pinjaman, dia enggak mau meminjam, maka yang menentukan bahwa dia harus membayar utang itu harus pengadilan, betul. Karena antara pengutang dengan debitur itu equal, ya. Ada namanya kebebasan berkontrak, kalau di sini tidak bebas. Sudah sejak lahir sudah cacat posisi, negara harus berperan besar di dalam melindungi ini. Pengusaha dilindungi di mana? Tadi sudah saya sampaikan, dari kesewenang-wenangan penguasa, dari 19
ketidakberdayaan penguasa memberikan infrastruktur melayani perizinan, melayani perpajakan, itu harus dilindungi pengusaha, saya setuju dan saya akan ikut juga membantu untuk supaya pengusaha dilindungi dari penguasa, bukan dari buruh. Terima kasih. 47.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, cukup. Sekarang Pemerintah ada atau sudah cukup?
48.
PEMERINTAH: AGUS HARIADI Cukup, Yang Mulia.
49.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Cukup, ya. Dari Pihak Terkait kepada Ahlinya ada, enggak? Cukup? Cukup. Dari meja Hakim? Cukup. Ya, jadi dari meja Hakim juga sudah ada, kita anggap semuanya clear. Tapi, perlu saya sampaikan pada para pihak. Kita juga baru saja menerima satu permohonan untuk menguji undang-undang ini dari sisi yang lain, yang diajukan oleh para pekerja juga. Ya, mestinya bisa kita gabungkan dari ... di sini, di forum ini, tapi karena sudah hampir selesai di forum ini, maka nanti akan kita … apa ... periksa yang berikutnya sendiri ... tersendiri, ya, itu saja. Nanti kita lihat nanti. Mungkin nanti ganti APINDO yang bisa menjadi ... kita undang menjadi Pihak Terkait di sini mungkin, ya. Jadi ... apa, ada lagi?
50.
KUASA HUKUM DARI PIHAK TERKAIT: MUHAMMAD ISNUR Yang Mulia.
51.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Silakan.
52.
KUASA HUKUM DARI PIHAK TERKAIT: MUHAMMAD ISNUR Kami sebenarnya merasa sangat penting menghadirkan ... dulu ada namanya Pak Indra Munaswar yang tadi kami sebut, beliau sebagai bagian dari tim penyusun waktu di DPR. Kami hendak mengundang satu kali kesempatan lagi untuk mengundang Pak Indra Munaswar sebagai saksi fakta yang waktu menyusun kenapa ada kata-kata demi hukum dan apa tujuan, dan lain-lainnya ketika perdebatan di DPR. Kami ingin menghadirkan beliau.
20
53.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Coba nanti kita lihat dulu. Pemohon sudah selesai kan, ya? Enggak ada ahli lagi. Pemerintah juga sudah enggak ada, ya, cukup, ya?
54.
PEMERINTAH: Cukup, cukup.
55.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Masih ada saksi, ya? Saksi mau menjelaskan dari Pihak Terkait?
56.
KUASA HUKUM DARI PIHAK TERKAIT: AHMAD BIKY Ya, kita akan menghadirkan satu saksi fakta. Saksi fakta itu adalah dari Serikat Pekerja yang terlibat pada saat perumusan UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 ini dibuat.
57.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik.
58.
KUASA HUKUM DARI PIHAK TERKAIT: AHMAD BIKY itu.
59.
Jadi dia akan menjelaskan apa sih maksud makna demi hukum
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik.
60.
KUASA HUKUM DARI PIHAK TERKAIT: AHMAD BIKY Relasinya seperti apa. Jadi fakta Perundang-Undangan Nomor 13 Tahun 2003.
61.
pembuatan
Peraturan
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, tapi fix, ya? Pasti, ya?
62.
KUASA HUKUM DARI PIHAK TERKAIT: AHMAD BIKY Ya.
21
63.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Nanti mundur-mundur, nanti kita anu ... jadi pasti nama saksi?
64.
KUASA HUKUM DARI PIHAK TERKAIT: AHMAD BIKY Nama saksinya Pak Indra Munaswar.
65.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, nanti di ... secara tertulis, kemudian ya CV-nya juga nanti harus dimasukkan kepada Panitera, ya. Dan ini yang terakhir saya kira karena sudah selesai semua, tinggal kita menunggu dari Pihak Terkait untuk menghadirkan saksi pada persidangan berikutnya. Ya baik, kalau begitu, persidangan kita lanjutkan pada hari Kamis, 13 Maret 2014, waktunya pukul 11.00 WIB. Acara kita persidangan yang terakhir mendengarkan saksi dari Pihak Terkait, ya. Masih ada yang akan mau disampaikan? Kalau tidak ada, saya kira sidang siang hari ini kita selesaikan dan sidang dengan ini saya nyatakan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 12.15 WIB Jakarta, 26 Februari 2014 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
22