MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 85/PUU-XI/2013
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN DPR SERTA AHLI/SAKSI PEMOHON DAN PEMERINTAH (IV)
JAKARTA RABU, 18 DESEMBER 2013
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 85/PUU-XI/2013 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air [Pasal 6 ayat (2), ayat (3), Pasal 7, Pasal 8 ayat (1), ayat (2), Pasal 9 ayat (1), Pasal 11 ayat (3), Pasal 29 ayat (3), Pasal 40 ayat (4), dan Pasal 49) terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2. Al Jami’yatul Washliyah 3. Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, Pengusaha, dan Karyawan (SOJUPEK), dkk. ACARA Mendengarkan Keterangan DPR serta Ahli/Saksi Pemohon dan Pemerintah (IV) Rabu, 18 Desember 2013, Pukul 11.12 – 12.55 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Hamdan Zoelva Arief Hidayat Muhammad Alim Harjono Patrialis Akbar Anwar Usman Maria Farida Indrati Ahmad Fadlil Sumadi
Mardian Wibowo
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. Din Syamsuddin B. Kuasa Hukum Pemohon: 1. Syaiful Bakhri 2. Danang C. Ahli dari Pemohon: 1. Absori 2. Suteki 3. Dea Edwin Ramedhan D. Pemerintah: 1. Mudjiaji 2. Mualimin Abdi 3. Agus Hariadi 4. Eric adityansyah 5. Dadan Krisnandar 6. Sri S. 7. Purwanto 8. Hikmad B.
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.12 WIB 1.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Sidang Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 85/PUUXI/2012, saya buka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Pemohon, hadir? Dengan Prinsipal, ya?
2.
KUASA HUKUM PEMOHON: SYAIFUL BAKHRI Prinsipalnya hadir.
3.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya. Pemerintah, Presidennya?
4.
PEMERINTAH: AGUS HARIADI Hadir, Yang Mulia.
5.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Hadir, ya. Dari DPR tidak hadir, ya? Tidak hadir, baik. Hari ini kita akan melanjutkan sidang untuk mendengarkan keterangan Ahli dari Pemohon, ya. Apakah Pemohon hari ini sudah membawa Ahli? 3 orang, ya?
6.
KUASA HUKUM PEMOHON: DANANG Sudah, Majelis Yang Mulia.
7.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Prof. Subekti … Suteki, ya? Sekalian maju ke depan, Pak Prof. Suteki, S.H., M.H., Prof. Absori, S.H., M.H., silakan maju ke depan. Dr. Dea Erwin Ramedhan, ya.
8.
HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Semuanya Ahli, ya? Dan beragama Islam semua? Silakan mengikuti kata-kata saya untuk sumpahnya. 1
“Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.” 9.
SELURUH AHLI YANG BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH: Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.
10.
HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Cukup, terima kasih.
11.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, silakan kembali ke tempat duduk. Saudara Pemohon, apakah akan memandu Ahlinya dengan pertanyaan atau akan menyerahkan kepada Ahli untuk langsung memberikan penjelasan?
12.
KUASA HUKUM PEMOHON: SYAIFUL BAKHRI Silakan Ahli untuk menyampaikan.
13.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Siapa yang pertama?
14.
KUASA HUKUM PEMOHON: SYAIFUL BAKHRI Prof. Suteki.
15.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Prof. Suteki. Silakan di podium.
16.
AHLI DARI PEMOHON: SUTEKI Assalamualaikum wr. wb. Majelis Hakim, Yang Mulia. Keterangan saya ini saya berikan judul “Inkonsistensi Undang-Undang Sumber Daya Air terhadap Nilai Keadilan Sosial dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Dalam bidang pengelolaan sumber daya air, Pancasila dapat menjadi landasan politik hukum hak menguasai negara atas sumber daya 2
air untuk diarahkan agar pengelolaan sumber daya air tidak menindas mereka yang lemah secara sosial dan ekonomis, atau penduduk miskin. Bagi penduduk miskin, terutama yang tinggal di perkotaan, air merupakan barang mewah, bahkan barang yang langka dan lebih dari sepertiga penghasilannya hanya untuk memenuhi kebutuhan terhadap air, sebagai akibat tiadanya saluran air bersih yang terjangkau di tempat tinggal mereka. Keadilan Sosial pada Sila Kelima Pancasila, memiliki makna ekonomis lebih tajam dibandingkan keadilan pada Sila Kedua yang lebih bernuansa spiritual. Pada saat merumuskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, para founding fathers telah meletakkan makna keadilan sosial itu, antara lain dengan memerincinya dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Majelis Hakim Yang Mulia, ketersediaan air yang tetap, sementara kebutuhan terhadap air semakin meningkat kuantitasnya dan kualitasnya, maka yang akan terjadi adalah kelangkaan. Nah, pada tahap kelangkaan air inilah, asas keadilan menjadi amat penting dalam pengelolaan air. Keadilan akses terhadap air bukan keadilan individual atau mikro, tetapi keadilan sosial atau makro. Keadilan untuk mendapatkan air sebagai HAM tidak dapat diserahkan kepada tiap-tiap individu berdasarkan mekanisme pasar, melainkan campur tangan pemerintah untuk menjamin pemenuhan hak atas air, minimal sangat dibutuhkan. Secara struktural, pemerintah harus berusaha untuk membentuk struktur sosial ekonomi penyediaan air, sehingga tidak jatuh di tangan perorangan atau mekanisme pasar liberal. Privatisasi air, dengan demikian akan sangat bertentangan dengan prinsip pengelolaan sumber daya air berbasis nilai keadilan sosial. Nah, apakah pengelolaan sumber daya air lebih khusus lagi adalah pengusahaan air minum di Indonesia telah diarahkan pada pencapaian agenda privatisasi air yang sekaligus hendak membuktikan bahwa politik hukum hak menguasai negara atas sumber daya air telah mengingkari nilai keadilan sosial. Memang secara tekstual dan eksplisit, Undang-Undang Sumber Daya Air tidak pernah menyebut adanya agenda privatisasi air dalam satu pasal pun. Untuk menangkis dalih Pemohon judicial review Undang-Undang Sumber Daya Air kepada Mahkamah Konstitusi, Pemerintah berdalih sebaliknya bahwa Undang-Undang Sumber Daya Air tidak bertentangan dengan semangat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, khususnya Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan tidak mempunyai agenda privatisasi air. Atas keyakinan Pemerintah seperti ini, dengan Putusan Perkara Nomor 058, 059, 060, 083/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 MK berpendapat bahwa Undang-Undang Sumber Daya Air telah cukup memberikan kewajiban kepada Pemerintah untuk menghormati, 3
melindungi, dan memenuhi hak atas air yang dalam peraturan pelaksanaannya Pemerintah harus memerhatikan pendapat MK atau pertimbangan hukum putusan tersebut. MK juga berpendapat bahwa dalil Pemohon bahwa dalam UndangUndang Sumber Daya Air terdapat pasal-pasal yang mendorong privatisasi atau swastanisasi, yaitu Pasal 9, 10, 26, 45, 46, 80 tidak dapat dibuktikan bahwa bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia. Maka, MK berpendapat bahwa Undang-Undang Sumber Daya Air mengatur hal-hal yang pokok dalam pengelolaan sumber daya air dan meskipun Undang-Undang Sumber Daya Air membuka peluang peran swasta untuk mendapatkan hak guna usaha air dan izin pengusahaan daya air, namun hal tersebut tidak akan mengakibatkan pengusahaan air akan jatuh ke tangan swasta. Berdasarkan pertimbangan dan pendapat MK tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa peraturan pelaksanaan Undang-Undang Sumber Daya Air harus membuktikan bahwa kekhawatiran Pemohon tidak akan terjadi atau dengan kata lain, peraturan pelaksanaan UndangUndang Sumber Daya Air tidak boleh ditafsirkan lain dengan Pendapat MK sebagai pertimbangan putusan. Apabila Undang-Undang a quo dalam pelaksanaannya ditafsirkan lain dari maksud sebagaimana termuat dalam pertimbangan MK, maka tidak tertutup kemungkinan dan yang sekarang ini dilakukan diajukan kembali, pengujian kembali yang disebut conditionally constitutional. Upaya untuk mengajukan pengujian kembali Undang-Undang Sumber Daya Air ke MK, menurut pendapat saya adalah sangat tepat karena salah satu kekhawatiran Pemohon terhadap adanya agenda privatisasi air telah terbukti. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum telah membuka peluang adanya penyelenggaraan air minum oleh swasta tanpa batasan pada keseluruhan tahapan kegiatan. Padahal, Putusan MK atas judicial review Undang-Undang Sumber Daya Air menyatakan bahwa negara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat atas air. MK juga berpendapat bahwa tanggung jawab penyediaan air minum diselenggarakan oleh pemerintah melalui BUMD, BUMN, bukan oleh swasta. Peran serta koperasi, badan usaha swasta, dan masyarakat hanyalah bersifat terbatas dalam hal pemerintah belum dapat menyelenggarakan sendiri dan pemerintah masih tetap memungkinkan menjalankan kewenangannya dalam pengaturan, pelaksanaan, pengurusan dalam pengelolaan sumber daya air secara keseluruhan. Dalam penyediaan air munim … minum, mohon maaf. MK menegaskan bahwa PDAM harus benar-benar diusahakan oleh pemerintah daerah sebagai pengelola sumber daya air. Baik-buruknya kinerja PDAM dalam penyediaan air minum kepada masyarakat 4
mencerminkan secara langsung baik-buruknya negara dalam melakukan kewajibannya untuk memenuhi hak asasi atas air. Hal ini dapat disimak dalam Putusan MK yang sebagaimana saya sebutkan di muka, yaitu pada halaman 492-493. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa PP pengembangan sistem pengelolaan air minum telah bertentangan dengan pertimbangan atau pendapat MK dalam amar putusannya. Pasal 64 ayat (1) PP Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum menyebutkan bahwa keterlibatan swasta dalam penyelenggaraan air minum di wilayah yang belum dilayani oleh BUMD dan BUMN, dapat dilakukan pada seluruh tahapan penyelenggaraan. Dengan demikian, tanggung jawab negara sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pada wilayah atau daerah tertentu, dapat digantikan oleh badan swasta yang berorientasi pada provit. Keterlibatan swasta ternyata juga dapat dilakukan pada daerah yang telah ada BUMN atau BUMD penyelenggara air minum, dalam hal BUMN atau BUMD tersebut tidak dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan di daerah pelayanannya. Privatisasi sebagaimana … sebagai suatu proses, telah tampak dalam pasal ini. PP Pengembangan SPAM tidak membatasi kepemilikan modal swasta, apalagi asing. Gayung ini bersambut setelah … selanjutnya telah disambut oleh Peraturan Presiden Perpres Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Terbuka dengan persyaratan, yang kemudian diperbaharui dengan Perpres Nomor 111 Tahun 2007 dan Perpres Nomor 36 Tahun 2010. Pada lampiran dua perpres itu disebutkan, “Perincian bidang-bidang usaha yang terbuka untuk investasi asing dengan kepemilikan modal yang bervariasi dari 25% sampai 95%.” Salah satu bidang usaha tersebut adalah pengusahaan air minum yang kepemilikan modalnya dapat dikuasai 95% oleh asing. Menteri Pekerjaan Umum ketika undang-undang ini di-judicial review yang pertama, menyatakan bahwa kepemilikan modal hingga mencapai 95% ini di perusahaan air minum untuk memperluas pelayanan. Karena menurutnya, saat itu 314 PDAM baru mampu menjangkau 41.000.000 jiwa dari 220.000.000 jiwa penduduk Indonesia. Benarkah persentase yang demikian? Atas dasar apa mematok 95%? Bukankah cabang produksi air minum adalah penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak? Melalui penguasaan modal sebesar 95% ini, semakin terlihat privatisasi air minum dalam perpres ini dan sekaligus membuktikan agenda privatisasi memang ada sejak secara terselubung dalam Undang-Undang Sumber Daya Air ini. Majelis Hakim yang saya hormati dan Yang Mulia. Agenda privatisasi pengelolaan sumber daya air telah semakin tampak di depan mata. Terbukti pulalah bahwa Undang-Undang Sumber Daya Air a quo dalam pelaksanaannya ditafsirkan lain dari yang dimaksud, sebagaimana
5
termuat dalam pertimbangan putusan MK atau judicial review UndangUndang Sumber Daya Air. Oleh karena itu, PP Pengembangan SPAM Permendagri Nomor 23 Tahun 2006 dan Ketentuan Perpres Nomor 77 Tahun 2007, yang tadi sudah saya sampaikan telah diperbarui dengan Perpres Nomor 111 Tahun 2007 dan Perpres Nomor 36 Tahun 2010, akan terkena conditionally constitutional warning dari MK. Bila Pemohon, dalam hal ini mengajukan judicial review kembali, pada kesempatan ini, saya kita itu adalah momen yang sangat tepat. Majelis Hakim Yang Mulia. Sebagai penjaga Konstitusi (constitution guardian), MK seharusnya, menurut pendapat Ahli, dengan … seharusnya peduli dengan nasib bangsa ini ke depan, khususnya untuk mengokohkan kedaulatan negara atas sumber daya air. Upaya ini dapat ditempuh dengan cara mengabulkan seluruhnya atau sebagian permohonan Pemohon, khususnya tentang penolakan terhadap agenda privatisasi air. Untuk selanjutnya, harus dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap isi pasal-pasal Undang-Undang Sumber Daya Air, PP Pengembangan air minum, persentase kepemilikan swasta asing pada perusahaan air minum, sebagaimana diatur dalam perpres yang terakhir, Perpres Nomor 36 Tahun 2010 agar tidak … agar hak penguasaan air jatuh … tidak jatuh ke tangan swasta, apalagi swasta asing. Kita hendaknya dapat bercermin pada pengalaman buruk privatisasi PAM Jaya DKI Jakarta. Di mana-mana, privatisasi selalu diikuti dengan kenaikan tarif yang tidak selalu diikuti dengan peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan. Tahun 2025 diprediksi akan menjadi … akan terjadi paceklik air di dunia, sebagaimana telah dinyatakan di beberapa media internasional, yang dapat memicu terjadinya perang air. Akankah kita abaikan peringatan itu? Era privatisasi semestinya tidak lagi menjadi tren di abad 21 ini, era ini lebih cocok dengan mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Pada awal tahun 1980 hingga 1990-an, dimana peran negara sangat dibatasi dan dikebiri dengan program privatisasi, deregulasi, tetapi janji-janji liberalisasi tersebut tidak pernah terbukti membawa umat pada kesejahteraan hidup. Ini abad 21, peran negara perlu diperkuat, bukan malah sebaliknya. Yang terpenting, menurut pendapat Ahli adalah pembenahan kultur reformasi, birokrasi, penanganan korupsi, profesionalitas, serta peningkatan kualitas BUMD, dan BUMN, dan Pancasila, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 haruslah tetap menjadi ideologi payung bagi pengembangan perekonomian nasional. Demikian, Majelis Hakim Yang Mulia, keterangan dari saya. Terima kasih. Wassalamualaikum wr. wb.
6
17.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Selanjutnya siapa?
18.
KUASA HUKUM PEMOHON: SYAIFUL BAKHRI Prof. Absori.
19.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Prof. Absori. Ya, silakan. Di situ juga bisa, Pak.
20.
AHLI DARI PEMOHON: ABSORI Bismillahirrahmaanirrahiim. Assalamualaikum wr. wb. Majelis Hakim Yang Mulia serta hadirin yang terhormat. Saya akan sampaikan, pertama, sebagai pendahuluan bahwa keberadaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, sebenarnya sejak semula ketika dibahas dalam rancangan undang-undang di DPR, ini banyak pihak yang mempermasalahkan, baik itu organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, maupun organisasi-organisasi yang bergerak dalam bidang lingkungan. Mereka tidak menginginkan lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004, tetapi justru mereka menginginkan agar Pemerintah dan DPR mengagendakan pembahasan Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Alam yang dianggap lebih urgen dengan semangat reformasi. Dengan adanya Undang-Undang Sumber Daya Alam, diharapkan akan diakomodasi berbagai keinginan, harapan, ide, dan pemikiran negara yang besar ini, terutama pemerintah sebagai pemegang kekuasaan untuk mempunyai kekuatan yang dominan dan masyarakat mempunyai peran yang menentukan dalam pengelolaan sumber daya alam, dalam rangka mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Beberapa pokok pikiran yang ditawarkan, intinya yang pertama bahwa perlu dipertimbangkan aspek daya dukung ekosistem dan perlindungan sumber daya alam. Karena itu, ada kehendak politik yang memihak ke sana. Kemudian, ada langkah-langkah kebijakan dalam rangka mewujudkan keadilan masyarakat dalam mengakses sumber daya alam ini. Dan yang ketiga adalah rekonstruksi, rekonsiliasi … rekonsolidasi lembaga pengelolaan sumber daya alam. Kebijakan pembangunan sumber daya alam ini, merupakan kerangka politik pembangunan hukum sesuai dengan cita hukum Pancasila, yakni bahwa Pancasila ditempatkan sebagai kerangka dasar pembangunan hukum berkaitan dengan sumber daya alam sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang meliputi aspek: bumi, air, kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam rangka mencapai 7
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ini dijabarkan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Implikasinya bahwa amanat cita hukum Pancasila ini, kebijakan pengelolaan sumber daya alam, maka harus berpegang, pertama, pada tanggung jawab negara sebagai pemegang kekuasaan sumber daya alam. Kedua, memperkuat hak-hak masyarakat sebagai pemegang kedaulatan negara yang sesungguhnya. Jadi, dua inti itulah kemudian MPR melalui Tap MPR Nomor IX Tahun 2001 mengamanatkan pada presiden terpilih waktu itu, supaya segera mengadakan pembaruan Undang-Undang Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Bahkan tidak hanya itu, MPR juga mengeluarkan Tap MPR Nomor VI Tahun 2002 tentang rekomendasi penekanan pada presiden untuk menyiapkan penyusunan peraturan perundang-undangan yang mengatur sumber daya alam. Dan bahkan dalam sidang 2003, MPR menetapkan Tap MPR Nomor V Tahun 2003, yaitu merekomendasikan beberapa saran untuk menyelesaikan berbagai macam persoalan sumber daya alam dan konflik-konflik yang ada di dalamnya. Ini menunjukkan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat waktu itu betapa menganggap sumber daya alam adalah merupakan hal yang penting dalam rangka me-back up reformasi supaya berjalan dengan baik menuju kemakmuran bangsa ini. Tapi dalam kenyataannya, Undang-Undang Sumber Daya Alam pada era pemerintah waktu itu memang tidak terpenuhi. Karena itu, pemerintah dianggap gagal dalam menjalankan amanat rakyat untuk melakukan perubahan pembaruan hukum sumber daya alam. Justru yang lahir adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolan Sumber Daya Air. Karena itu, menandakan bahwa di balik itu ada pertanyaan apa? Ini barangkali juga nanti akan diungkap oleh rekan kami berikutnya. Kemudian, saya masuk pada kerugian konstitusional yang menurut hemat kami terdapat beberapa hal yang memang dianggap merugikan dari … terutama masyarakat. Yang pertama tentang makna dari hak menguasai negara. Benar bahwa dalam Pasal 6 ayat (1) menyebut, “Sumber daya air dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Makna ini memang bersandarkan pada Pasal 33 ayat (3) itu juga memang benar, tapi tafsir yang muncul adalah sering beraneka ragam, sehingga bisa bersifat multitafsir. Karena itu, saya merujuk pada tafsir yang selama ini saya anggap sebagai tafsir yang amat mendasar, yaitu tentang … bahwa tafsir Pasal 33 itu harus sama dan sebangun dengan dasar dan tujuan perjuangan rakyat Indonesia, sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Maksudnya apa? Bahwa segala tindakan yang diambil dan ditetapkan dalam bidang sumber daya alam harus memungkinkan tercapainya. 8
1. Terbentuknya pemerintah yang sanggup melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. 2. Dapat meningkatkan kesejahteraan umum, menaikkan taraf kehidupan kecerdasan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Ini yang menurut saya tafsir yang paling kokoh dalam memahami Pasal 33 ayat (3). Karena itu, prinsip dasar yang dijadikan titik tekan dari politik sumber daya alam ke depan, termasuk air adalah sumber daya alam yang dapat mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan … untuk dalam rangka mewujudkan keadilan rakyat. Karena itu, dibutuhkan negara sebagai organisasi kekuasaan yang tertinggi, ditempatkan sebagai pemegang amanat kekuasaan yang kuat, yang memungkinkan dapat menjalankan peran pengaturan, pengendalian, dan pemanfaatan sumber daya alam, termasuk di dalamnya adalah air. Itu dari segi tafsir. Kemudian yang kedua, ada beberapa kejanggalan yang saya lihat di sini. Pertama, adalah kaitannya dengan undang-undang lain, terutama undang-undang yang menurut saya dari segi substansi, lebih mendasar. Dan ada juga pengabaian terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat. Yang pertama, Pasal 6 ayat (2). Memang betul, di situ disebutkan tentang ... bahwa penguasaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah, dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan yang lain. Nah, ayat ini, menurut saya, berpotensi dengan peraturan perundang-undangan yang lain, yang menurut saya tadi disebut dari segi substansi lebih mendasar, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Dasar … Peraturan Dasar Pokok Agraria yang mengatur juga masalah bumi, air, kekayaan alam terkandung di dalamnya, dan bahkan ruang angkasa yang disebut dengan agraria. Di sana disebutkan dalam ayat (5) … dalam Pasal 5, “Hukum agraria berlaku atas dasar bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, sosialisme Indonesia, yaitu kemakmuran bangsa Indonesia, dan peraturan perundangundangan yang lain, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang berdasarkan pada hukum agama.” Maknanya adalah bahwa hukum adat, ini harus menjadi dasar dari … atau prinsip dalam menentukan segala (suara tidak terdengar jelas) hukum yang berkaitan dengan sumber daya alam. Karena itu, saya menganggap bahwa hukum … undang-undang ini, menurut saya, mempunyai nilai-nilai yang lebih … lebih mendasar dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 yang memang lebih bercorak,
9
menurut saya, secara rasional dan positivistik yang melihat negara dalam segi … dalam konteks formal. Karena itu, menurut saya, hak ulayat ini tidak sekadar diakui dalam konteks hukum adat adalah dijadikan sebagai dasar. Sekalipun memang dalam kenyataan, banyak sekali hukum adat di Indonesia, tapi ada nilai-nilai hidup, ada makna-makna yang terkandung di dalamnya, yang memang tidak bisa dirumuskan secara positif maupun secara sistemik, tapi di dalamnya mengandung sebuah kearifan yang luar biasa dalam mengelola sumber daya air. Demikian juga, nilai-nilai filosofis yang saya lihat dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 adalah amat tinggi. Karena apa? Di samping menganggap sumber daya alam sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, juga memerhatikan unsur-unsur berdasarkan sendi hukum agama. Maknanya apa? Kalau dalam konteks Agama Islam, misalnya saya melihat, air itu terdapat banyak sekali ayat yang menyebutkan betapa air … bahwa air adalah segala sesuatu yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Allah Rabbul Alamin, dimana air adalah merupakan sumber hidup dan awal darimana kita hidup. Tidak ada kehidupan kecuali tanpa air. Karena itu, dalam Alquran banyak disebutkan tentang betapa air merupakan simbol dari keadilan dan air adalah simbol dari kehidupan, dan air adalah simbol dari kemakmuran. Ini yang menurut hemat saya, penting ditekankan nilai-nilai filosofis dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang pentingnya hukum adat tidak sekadar hukum ulayat itu diakui. Kemudian yang berikutnya, dalam Pasal 6 ayat (3), di situ disebutkan, “Hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air sebagaimana dimaksud ayat (2), tetap diakui, sepanjang kenyataannya masih ada dan tetap … dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat.” Menurut hemat kami, terdapat kejanggalan berpikir. Karena apa? Hak ulayat dan hukum adat kalau kemudian harus didelegasikan atau ditetapkan dengan peraturan daerah, ini justru akan mengurangi atau mereduksi makna dari hukum adat itu sendiri. Padahal, banyak sekali nilai-nilai hukum adat maupun hak ulayat yang tidak bisa ditetapkan dengan peraturan daerah, apalagi sumber-sumber daya alam, terutama air yang ada di daerah, yang maknanya begitu luar biasa. Karena itu, penetapan peraturan daerah sebagai legitimasi tentang hak ulayat maupun nilai-nilai lokal, menurut saya adalah kurang tepat. Ini bisa dibuktikan dengan satu disertasi yang pernah saya sebagai co-promotor dalam sebuah program doktor di Gajah Mada yang menyimpulkan bahwa hukum sumber daya air berbasis kearifan lokal, itu mampu memberikan kearifan, keberlanjutan, kesejahteraan masyarakat para petani dengan nilai-nilai lokal … kearifan lokal, sekalipun tidak ditetapkan dengan peraturan daerah.
10
Kemudian yang berikutnya. Privatisasi pengelolaan sumber daya air. Ini jelas bisa dapat dilihat dalam Pasal 9 ayat (1) tentang hak guna air yang dapat digunakan kepada perseorangan maupun badan usaha dengan izin pemerintah maupun pemerintah daerah. Ini menurut hemat kami, menunjukkan bahwa sebenarnya pasal ini adalah agak bertentangan dengan … bahkan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) yang menyebutkan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai … menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Namun, dengan adanya izin untuk perseorangan, baik badan usaha maupun perseorangan, menunjukkan bahwa pemerintah ini tidak menunjukkan bahwa pemerintah punya kekuatan yang lebih, dalam rangka menyejahterakan rakyat. Sebagai bukti bahwa sebenarnya pemerintah bisa memperkuat dalam bentuk kelembagaan, baik itu BUMN maupun BUMD di daerah. Dengan demikian, maka sebenarnya negara bisa punya peran dominan, dibandingkan pemberian izin yang diberikan kepada perorangan maupun badan usaha yang lebih bersifat legitimate …eh, legitimasi, tapi dalam pengawasan maupun dalam operasional pengelolaan perusahaan ini bersifat lemah. Ini terbukti banyak kasus tentang persoalan pengelolaan sumber daya air yang dilakukan oleh perorangan maupun oleh badan usaha, ini mengalami masalah dalam persoalan Amdal, maupun dalam masalah pengerusakan lingkungan bagi masyarakat sekitar. Kemudian, berikutnya tentang potensi konflik horizontal. Dalam Pasal 48 ayat (1) disebutkan bahwa pengusahaan sumber daya air dalam suatu wilayah sungai dilakukan dengam membangun dan/atau menggunakan saluran distribusi, hanya dapat digunakan untuk wilayah sungai lainnya, apabila masih terdapat kesedian air yang dapat melebihi keperluan penduduk wilayah sungai yang bersangkutan. Ini barangkali maksudnya bahwa ada prioritas lebih atau dengan kata lain, monopoli dari penentu kebijakan dalam mendistribusikan air, terutama mengutamakan daerah-daerah hulu. Ini ternyata, di tataran implikasi atau pelaksanaan menimbulkan banyak masalah. Sebagai contoh yang barangkali disebutkan pada Harian Kompas, hari kemarin disebutkan terjadi konflik sumber daya air antara wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat, yaitu di daerah Losari, Brebes, dan daerah Cirebon. Karena apa? Karena dibangun satu tanggul sungai dalam rangka mengalirkan sungai di wilayah Sungai Crucut menyebabkan sungai … air yang mengalir di daerah Losari, Brebes itu menjadi berkurang. Para petani yang ada di sekitar itu adalah petani tambak, petani … petani padi, ataupun peternak mengalami kerugian bahwa mereka merasa diperlakukan tidak adil karena air yang biasanya mengalir di wilayahnya, dibendung, dialirkan di wilayah lain. Dengan demikian, ini adalah potensi, konflik kalau hak mendahului ditempatkan pada daerahdaerah yang daerah hulu. 11
Kemudian, juga konflik ini terjadi di wilayah perbatasan antara Jawa Timur dan Jawa Tengah bahwa di wilayah Tawangmangu Karanganyar, terdapat sumber mata air yang dikenal dengan mata air Ondo-Ondo, sungai ini dialirkan ke wilayah Magetan. Karena wilayah Magetan memberikan kompensasi pada Pemda Jawa Tengah ataupun Karanganyar. Akibatnya, petani merasa dirugikan dan mereka kemudian berdemonstrasi untuk menuntut supaya keadilan distribusi air itu didahulukan pada mereka-mereka yang membutuhkan, tanpa harus ada dasar mendahulukan berdasarkan kompensasi. Ini menunjukkan bahwa kalau kita lihat dari segi hak asasi manusia, kaitannya bahwa setiap orang berjak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, berhak mendapat tempat tinggal, berhak untuk mendapat lingkungan hidup yang sehat dan baik, maka pasal ini berpotensi bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tentang yang mengatur masalah hak asasi manusia dalam memperoleh kehidupan yang sejahtera lahir dan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari HAM. Kemudian berikutnya, penjelasan sengketa dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 dinilai diskriminatif. Saya melihat bahwa Pasal 91 ayat (1), yang menyebutkan bahwa instansi pemerintah yang membidangi sumber daya air, bertindak, dan berkepentingan untuk kepentingan masyarakat, apabila terdapat indikasi masyarakat menderita akibat pencemaran air dan kerusakan sumber daya air memengaruhi kehidupan masyarakat, maka di sini instansi pemerintah bisa melakukan tindakan. Saya melihat bahwa peran dominan pemerintah dalam menyelesaikan sengketa ditunjukkan dalam undang-undang ini. Ini menurut saya tidak … menurut saya adalah bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 86 … Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pasal 89 dalam rangka penyelesaian sengketa lingkungan, yang di dalamnya tidak hanya pemerintah, tetapi juga melibatkan masyarakat. Lebih dari itu, Pasal 92 ayat (1), dalam penyelesaian sengketa lingkungan, di situ disebutkan tentang hak gugat lembaga organisasi yang membidangi masalah air. Saya melihat bahwa Pasal (suara tidak terdengar jelas) ayat (1) maupun ayat (2), maupun ayat (3), ini merupakan adopsi dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang sebelumnya disebut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, yang sebelumnya juga disebut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982, yang mengatur masalah lingkungan hidup. Pasal ini tidak jauh beda karena dalam Undang-Undang Lingkungan hidup ini juga bermasalah tentang legal standing. Karena apa? Yang bisa melakukan hak gugat terhadap persoalan-persoalan lingkungan maupun air adalah dibatasi hanya organisasi yang bergerak dalam bidang masalah air. Sama saja dalam lingkungan hanya organisasi yang bergerak dalam bidang masalah lingkungan. Sehingga berbagai macam stakeholder maupun lembaga12
lembaga yang punya kepentingan, baik itu ormas, baik itu elemen masyarakat yang lain, yang punya kepedulian dalam bidang air maupun bidang lingkungan, tidak punya hak atau (suara tidak terdengar jelas) dalam melakukan gugatan tentang berbagai praktik percemaran dan kerusakan lingkungan. Kalau ini terjadi, menurut hemat kami, ini amat sangat menyulitkan dan pasal-pasal ini adalah pasal-pasal yang hampir tidak pernah bisa dilaksanakan dalam sengketa lingkungan, sepanjang saya selama ini menekuni masalah bidang lingkungan. Karena pasal-pasal ini adalah memberikan persyaratan yang amat sangat rinci. Di antaranya misalnya, yang boleh menggugat adalah di samping badan hukum yang berkaitan dengan masalah air, juga badan hukum yang memang harus punya status badan hukum dan bergerak dalam sumber daya air, dan juga punya tujuan pendirian organisasi adalah untuk kepentingan air, dan juga menjalankan anggaran dasarnya. Ini amat sulit untuk dipenuhi organisasi-organisasi yang ada di daerah pedalaman maupun di daerah pedesaan. Karena itu, bagaimana mereka bisa melakukan gugatan terhadap kerugian yang terjadi akibat pencemaran dan kerusakan air kalau memang syaratnya begitu ketat. Ini bisa dibuktikan dalam hampir 20 tahun lebih Undang-Undang Lingkungan dalam persoalan hak gugat atau legal standing ini tidak bisa berjalan dengan baik karena mengalami kesulitan dalam proses beracaranya. Dengan demikian, praktik-praktik sengketa lingkungan ini adalah menurut hemat kami bersifat diskriminatif. Karena hanya membatasi orang tertentu yang bergerak dalam bidang air. Kemudian, sebagai penutup bahwa sumber daya air adalah bagian dari sumber daya alam. Ini adalah anugrah Tuhan Yang Maha Esa. Bahwa sumber daya air sebenarnya boleh digunakan, tapi adalah untuk kepentingan-kepentingan yang (suara tidak terdengar jelas) publik atau maslahat. Karena itu, menurut hemat kami karena sumber daya air sebagai anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa yang diperuntukkan untuk manusia dan makhluknya, dan sumber daya air adalah simbol dari hidup dan kehidupan, dan juga simbol dari keadilan, dan bahkan simbol dari penghukuman atau hakim bagi siapa ... bagi bekerjanya hukum atau dalam tanda petik di sini adalah “sunatullah” karena sumber daya alam tunduk pada aturan-aturan alam (natural law) atau sunatullah dan sekaligus tunduk pada ketentuan-ketentuan Allah. Karena itu, siapa pun yang mencoba diberi amanah dengan menyia-nyiakan kehendak Allah atau kehendak sunatullah ini, maka pada gilirannya juga yang muncul justru persoalan-persoalan yang (suara tidak terdengar jelas) atau merusak bukan persoalan-persoalan yang maslahat. Yang terakhir, saya sampaikan bahwa pelajaran bangsa Saba yang diberi amanah oleh Allah untuk membangun sebuah bendungan besar yang di dalamnya adalah ada air yang mengalir, sehingga 13
perkebunan, tumbuh-tumbuhan, binatang ternak bisa hidup dengan baik dan mereka dikatakan sebagai negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, yaitu negeri yang makmur berada dalam lindungan Allah dan rida Allah, tapi kemudian karena salah mengelola, salah mengurus, bahkan mereka durhaka pada hukum-hukum Allah, kemudian Allah mengazab mereka dengan menenggelamkan mereka dengan banjir yang besar dan mereka menjadi contoh negeri yang kemudian hilang dalam sejarah. Kita tidak menginginkan kondisi itu terjadi di Indonesia. Karena itu, mudah-mudahan melalui undang-undang ini justru bisa memberikan negeri ini adalah negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Itulah harapan kami. Demikian. Wassalamualaikum wr. wb. 21.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik, terima kasih Prof. Absori. Tolong teks tertulisnya bisa diserahkan kepada Mahkamah, ya. Ya, tapi beda, tidak lengkap. Ya, silakan terakhir, Dr. Dea Erwin Ramedhan.
22.
AHLI DARI PEMOHON: DEA ERWIN RAMEDHAN Assalamualaikum wr. wb. Majelis Hakim Yang Mulia, para hadirin yang terhormat. Saya tidak mempersiapkan makalah prinsip yang begitu gamblang sudah diutarakan, tapi hanya bisa memberikan keteranganketerangan berdasarkan praktik sebagai pengamat (suara tidak terdengar jelas) tentang air ... air minum dalam kemasan. Air minum dalam kemasan ini sudah berakibat gejolak-gejolak di daerah. Yang terakhir, yang kita lihat adalah di Pandarincang ... Padarincang di Banten. Dimana telah terjadi pertentangan antara masyarakat lokal dan perusahaan multinasional, dan administrasi negara. Dimana sesuatu instalasi telah dirusak dan dibakar oleh penduduk setempat. Karena administrasi negara tidak memerhatikan prosedur, dalam arti berkonsultasi dengan masyarakat setempat dan juga melakukan studi Amdal, sehingga masyarakat berprotes keras dan terjadi gejolak, ini terjadi sekitar tahun 2010-2011. Sebelumnya, diizinkan pabrik-pabrik air di sana tahun 2006, tapi tahun 2008 dengan protes dari masyarakat, bupati menghentikan … Bupati Serang menghentikan instalasi dari pabrik ini. Tapi selanjutnya karena di undang keluar negeri, Gubernur Banten dan bupati mengizinkan kembali pemasangan pabrik ini dan terjadilah gejolak itu. Nah, sekarang kita lihat bahwa sebenarnya kehendak masyarakat setempat tidak diperhatikan, tapi lebih dari itu, peraturan negara tidak dihormati. Peraturan negara tidak dihormati ini telah terjadi di Serang maupun di Klaten. Jadi, terjadi penyedotan, pengurasan air tanpa pengawasan oleh administrasi negara maupun oleh lain-lain pihak. Yang tidak diketahui berapa air yang akan diambil, berapa dalam penyedotan 14
air itu, apakah 50 meter, atau 150 meter air disedot dari tanah, tidak diketahui. Selanjutnya, peraturannya juga tidak melukiskan ... tidak melukiskan, apakah yang diambil air permukaan atau air artesian. Karena ini berakibat ... berakibat untuk lingkungan yang sangat ... sangat katakanlah gawat. Karena di Klaten sekarang, umpamanya para petani harus mengambil air dengan mesin diesel, padahal sebelumnya tidak demikian. Di Sukabumi juga terjadi serupa, bila air dulu bisa diambil di kedalaman 5 sampai 8 meter, sekarang harus lebih dari 15 meter. Jadi, inilah fakta-fakta yang melatarbelakangi kehidupan masyarakat setempat. Karena itu, masyarakat petani yang memerlukan air untuk kehidupan sehari-hari maupun untuk pertanian sendiri. Jadi, protes-protes masyarkat setempat, masyarakat lokal, bukan tanpa landasan. Karena ini adalah salah satu latar belakang kesengsaraan mereka di kemudian hari. Selain dari itu, kita juga tidak mengetahui besaran atau volume air yang diambil. Saya bisa kasih satu contoh, dimana di tahun 2000-an, air yang diambil adalah kurang-lebih 2,5 miliar liter. Selanjutnya, di tahun 2010-an air yang diambil adalah 5,6 miliar liter. Tapi yang sangat mengherankan, kenapa penghasilan perusahaan ini malah tidak meningkat? Jadi, ada pertanyaan, ada apa dengan pelaporan tentang penyedotan air ini? Kalau kita ingat air yang diambil 1 liter dibayar 7, 12, kurang diketahui, tapi tidak ... beberapa rupiahlah katakan. Tapi dijual Rp3000,00 kepada penduduk Indonesia. Jadi, untungnya lebih besar dari industri apapun. Jadi orang Indonesia sekarang membeli air, air minum dalam kemasan kepada pihak asing, paling sedikit lebih dari 60% air dalam kemasan dibeli kepada pihak asing. Jadi memberi keuntungan yang tanpa ... tanpa batas kepada pihak asing dan tidak memberi keuntungan yang berarti kepada pihak Indonesia. Nah, itu dari segi penghasilan dan dari segi pelaporan pengambilan air Indonesia ini. Kalau kita lihat sekarang dari segi perpajakan, banyak sekali yang menimbulkan pertanyaan, kenapa pajaknya begitu-begitu saja? Jadi dari segi perpajakan juga banyak pertanyaan dengan kehadiran pihak asing untuk mengelola air Indonesia. Selanjutnya lagi, hal ... beberapa hal yang tidak sesuai dengan prosedur administratif, yang tidak sesuai dengan undang-undang dan lain-lain, telah kami laporkan kepada KPK, kepada pihak kepolisian, kepada pihak perpajakan tanpa jawaban. Kenapa? Kan hal ini kan perlu diselidiki. Itulah latar belakang yang bisa saya berikan, saya cuma ingin memberikan sedikit keterangan tentang apa yang terjadi dengan masyarakat lokal. Kalau kita kembali ke masalah Padaringan di Banten, diperkirakan bahwa penyedotan air dengan 63 liter per detik akan 15
menghasilkan Rp16 miliar penghasilan per hari, dikalikan 365, bisa kita bayangkan berapa penghasilan satu perusahaan multinasional untuk mengambil air Indonesia. Bandingkan itu dengan penghasilan petani lokal, itu bisa menghasilkan per panen kurang-lebih Rp12 miliar. Nah, pengambilan air di tempat juga berarti penguasaan wilayah, penguasaan wilayah oleh pihak asing, dimana petani tidak bisa masuk di kawasannya sendiri karena sudah dibebaskan untuk kepentingan asing. Jadi itulah beberapa pertimbangan saya sebagai pengamat bisnis yang hendak saya ajukan kepada Majelis Hakim Yang Mulia dan para hadirin. Selanjutnya, saya ucapkan banyak terima kasih. 23.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Silakan kembali. Pemohon, apakah ada pertanyaan atau yang mau diminta klarifikasi kepada Ahli?
24.
KUASA HUKUM PEMOHON: SYAIFUL BAKHRI Penegasan, Yang Mulia. Dari Ahli, khususnya Prof. Suteki dan Prof. Absori. Isu yang dikemukakan soal privatisasi yang sangat mengganggu, Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Privatisasi pengelolaan air ini membawa suatu dampak yang luar biasa yang mengakibatkan penghasilan sesungguhnya rakyat Indonesia hilang dan memberikan kesempatan kepada comprador asing karena mengelola air dan bahkan lebih jauh tentang air dalam kemasan, ini dapat juga dibuktikan telah mengganggu makna sesungguhnya dari Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ini. Dengan demikian, maka pertanyaan untuk kedua Profesor ini adalah apakah memang benar makna dari Pasal 33 dan juga falsafah Pancasila ini memang telah diganggu atau bertentangan dengan undangundang tentang pengelolaan air? Ini yang pertama. Yang kedua, kepada Dr. Erwin sebagai pengamat pelaku bisnis tentang pengelolaan air, apakah memang dapat dibuktikan bahwa comprador asing yang mengelola pengelolaan air itu memang telah menghasilkan keuntungan luar biasa, yang melebihi keuntungan di sektor industri migas dan apakah juga mempunyai dampak terhadap halhal lain, yang tanda kutip hal-hal lain itu membuka kesempatan adanya korupsi di bidang pengelolaan kemasan air? Demikian, Yang Mulia. Terima kasih.
25.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, dicatat dulu. Dari yang mewakili Presiden ada yang mau ditanyakan?
16
26.
PEMERINTAH: AGUS HARIADI Cukup, Yang Mulia. Pada persidangan yang akan datang, Pemerintah juga akan menghadirkan saksi dan ahli. Terima kasih.
27.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik, ya. Silakan kepada Ahli.
28.
AHLI DARI PEMOHON: SUTEKI Terima kasih, Yang Mulia. Menjawab pertanyaan Saudara Penasihat Hukum. Saya berdasarkan pada pasal … penjelasan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, ini sebelum diamandemen. Pada penjelasan Pasal 33 itu sebutkan begini, “Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab, itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara.” Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang seorang yang berkuasa dan orang … dan rakyat yang banyak akan ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh di tangan seorang … orang seorang. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu, harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kemudian juga, tafsir yang tentang Pasal 33, yang dikemukakan oleh Bung Hatta bahwa yang dimaksud dengan dikuasai oleh negara dalam Pasal 33 ayat (2) itu, lebih ditekankan pada segi dimilikinya hak oleh negara, bukan oleh pemerintah. Untuk mengendalikan penyelenggaraan cabang-cabang produksi yang bersangkutan. Artinya, dengan dikuasainya cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak itu oleh negara, berarti negara memiliki hak untuk mengendalikan penyelenggaraan cabangcabang produksi tersebut. Nah, penyelenggaraan secara langsung, dapat juga dapat juga diserahkan pada badan-badan pelaksana BUMN dan perusahaan swasta yang bertanggung jawab kepada pemerintah yang di kerjanya dikendalikan oleh negara. Berdasarkan dua penafsiran ini, meskipun saya tahu persis bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kita sekarang tidak mengenal adanya penjelasan, tapi kita mesti juga setback ke belakang. Ini adalah sejarah hukum, bagaimana perekonomian nasional itu seharusnya dikelola. Tadi dikatakan kalau itu merugikan. Karena memang kenyataannya di lapangan, saya meneliti di PAM Jaya di DKI Jakarta ini, juga di PT Tirta Investama di Klaten. Khususnya kalau di PAM Jaya itu, 17
terutama profit oriented-nya sangat tinggi. Nah, saya bandingkan kalau perusahaan swasta itu adalah profit oriented, jadi kalau tidak ada keuntungan, pasti yang (suara tidak terdengar jelas) yang mana. Apakah misalnya, dalam hal wilayah tertentu yang memang tidak mendatangkan profit, itu tidak akan dialiri atau yang dikenal dengan cherry picking. Kemudian, rakyat yang tadi tidak teraliri oleh saluran air minum tadi, itu akan membayar lebih tinggi dibandingkan dengan kalau itu di … ada aliran air minum. Jadi, pendapatannya itu bisa … tadi saya sebutkan sebagian besar justru untuk memberi air bersih untuk kebutuhan minum dan kebutuhan sehari-hari. Kemudian di Klaten, saya meneliti di daerah Juwiring juga, itu daerah yang bisa dikatakan aliran air dari Ponggok. Tetapi, petani di sana itu, ketika saya ke sana itu, justru mengairi tanahnya itu dengan menyedot air dari tanah dengan mesin diesel. Ini kan sesuatu yang ironi. Tempat airnya melimpah, tetapi petani di sana justru menyedot air dari tanah dengan menggunakan diesel. Apa ini tidak berarti ini merugikan? Ya, jadi kembali dengan prinsip tadi, mestinya penyelenggara pengusahaan air itu adalah pemerintah. Jadi, kalau pemerintah dalam arti negara, terutama negara yang saya maksud, ini menyelenggarakan, (suara tidak terdengar jelas) saja. Jadi, memenuhi BMP saja ini sudah untung karena memang ini diberikan untuk menyelenggarakan kepentingan publik. Tapi kalau swasta, pasti yang diutamakan adalah profit oriented. Demikian, Yang Mulia. Terima kasih. 29.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya. Silakan, Prof. Absori.
30.
AHLI DARI PEMOHON: ABSORI Terima kasih. Saya berangkat dari tafsir Pasal 33 menurut pendapat Iman Sutikno dalam Politik Agraria Nasional, diterbitkan Gajah Mada University Press, dimana itu standar dalam pelajaran politik hukum agraria yang mengatur sumber daya alam, termasuk di dalamnya air. Bahwa yang pertama, prinsip dasar pengelolaan sumber daya alam itu, termasuk air, ini harus sama dan sebangun dengan dasar dan tujuan perjuangan rakyat Indonesia, sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Karena itu, implikasinya pertama, pemerintah ini harus sanggup melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan dapat menyejahterakan masyarakat, termasuk meningkatkan taraf hidup dan kecerdasan kehidupan bangsa. Ini yang menjadi obsesi dari pendiri negeri ini ketika merumuskan suatu undang-undang yang menurut saya
18
atau bahkan dalam disertasi Mahfud MD termasuk undang-undang yang dianggap baik karena bercorak promasyarakat atau kerakyatan. Prinsip dasar tersebut, harus menjadi titik tekan utama dan dalam politik sumber daya air ke depan. Karena apa? Politik sumber daya air ini harus dikuasai oleh negara, dalam arti negara harus dominan dalam rangka menjalankan amanah yang mulia itu, yaitu sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Karena itu, amanah yang mulia ini jangan sampai kemudian disia-siakan dan kemudian yang justru diambil alih oleh … dalam bentuk perizinan oleh perorangan maupun badan usaha. Kaitannya dengan perizinan yang dibolehkan, memang pemerintah boleh memberikan izin karena pemerintah punya kekuasaan, tapi izin pun harus selektif. Karena kalau menurut Pasal 2 undang-undang … Pasal 33 ayat (2) bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Maknanya adalah bahwa BUMN maupun BUMD, itu harus dominan. Karena itu, kalaupun ada bentuk pendelegasian dalam bentuk kerja sama, maka pemerintah harus dominan. Saya melihat bahwa pemberian izin selama ini, yang diberikan pada lembaga perseorangan maupun badan usaha, lebih banyak prosedural dan formal, sementara pengawasan di lapangan lemah, sehingga beberapa pengamatan maupun penelitian yang saya lakukan bahwa eksploitasi sumber daya alam begitu amat sangat tidak terkendali. Baik standar awal tentang Amdal (suara tidak terdengar jelas) lingkungan. Kemudian, disebutkan juga tadi tentang bagaimana volume air, debit air yang diambil. Kemudian air yang boleh diambil, apakah air permukaan atau air dalam yang harus disedot. Ini juga tidak terpantau dalam pengawasan. Konflik-konflik lokal yang terjadi, contoh di Cokro yang pernah saya teliti, diredam dengan cara merekrut karyawan-karyawan yang kemudian properusahaan. Sementara mereka-mereka yang tidak properusahaan, kemudian diberi semacam berbagai tawaran-tawaran yang sifatnya pragmatis. Sehingga konflik itu sementara bisa diredam, tapi saya yakin … saya yakin pada suatu saat akan juga akan meledak. Bahkan dalam beberapa waktu terakhir ini, terjadi persoalan baru dalam persoalan masalah sumber air karena perusahaan berorientasi hanya keuntungan, sehingga badan jalan yang dilalui oleh alat pengangkut air ini menimbulkan kerusakan yang amat parah. Lebih dari itu, manajemen air yang bersifatnya alami pada waktu penghujan, dimana air itu bisa di … diserap oleh pepohonan, maupun oleh tanah, dan pada waktu kemarau bisa dilepas secara perlahan-lahan, sehingga air berkelanjutan, ini tidak terjadi. Jadi durasi manajemen air yang secara alami menjadi kacau. Karena apa? Beberapa petani di wilayah Klaten dan sekitarnya pada saat kemarau mereka harus mengeluarkan banyak uang atau ekstra karena harus menyedot air bawah tanah karena air yang ada 19
mengalir di sungai, mereka sudah habis akibat pada waktu musim penghujan atau waktu tertentu diambil oleh perusahaan-perusahaan perorangan maupun swasta. Karena itu, dengan pengawasan yang lemah seperti ini, barangkali memang ada baiknya kita perlu menafsirkan kembali bagaimana tafsir Pasal 33 itu ada standar, sehingga tidak berimplikasi di tingkat bawah ketika dalam proses pelaksanaan menimbulkan persoalan yang amat sangat krusial dan kalau dibiarkan, kemudian ini akan menjadi persoalan yang amat kompleks dalam kehidupan antara kita, terutama masyarakat yang ada di pedesaan maupun pedalaman. Demikian, terima kasih. 31.
AHLI DARI PEMOHON: DEA ERWIN RAMEDHAN Nah, untuk menjawab pertanyaan yang berikutnya. Saya ingin memberi contoh tentang betapa pesatnya naiknya saham di dalam air dalam kemasan. Saya ambil contoh Aqua Danone yang menguasai kirakira 50%-60% dari pasaran nasional. Pada awalnya, satu saham Aqua Golden Mississippi berharga Rp1.000,00. Selanjutnya, pada kira-kira tahun 2010 sudah berharga Rp100.000,00-Rp200.000,00, bahkan Rp250.000,00. Jadi, harga saham naik berapa kali itu? 20-25 kali atau 250 kali, ya? Itu menggambarkan betapa pesatnya eksploitasi air dan untung yang diraih dari air. Tahun 2010, perusahaan ini melalukan delisting. Delisting kenapa? Jawaban kiranya ada dua. Atau tidak memerlukan lagi uang publik atau tidak mau melakukan … apa ya … transparansi, jadi informasi kepada publik yang semestinya. Karena Tbk wajib tiap tahun memberi laporan keuntungan. Sedikit meminta kesabaran Anda. Saya baca laporan keuntungan, ya. Jadi, ini tahun 2001 pro … produksi air adalah 2,3 miliar liter dengan laba bruto atau laba kotor Rp99 miliar. 2003 … 3 … 2002=3 miliar liter dengan keuntungan laba … laba bruto Rp134 miliar. 2003=3,1 miliar liter dengan laba broto Rp107,28 miliar. 2 … 2004=3,18 miliar liter dengan keuntungan laba bruto Rp141,95 miliar. 2005 =4,28 miliar liter, tidak ada laporan laba bruto. 2006=4,9 dengan laba bruto menarik Rp71 miliar. Tahun 2007=5,17 miliar liter dengan laba bruto Rp89,7 miliar. Dan yang sangat mengherankan, 2008 itu yang terakhir, 5,71 hampir-hampir 6 miliar liter dengan laba bruto hanya Rp95 miliar. Jadi, dengan kenaikan produksi yang begitu pesat, malahan laba brutonya menurun, ada apa? Kami pertanyakan itu kepada Direktorat Pajak, tap belum ada jawaban. Kenapa begitu? Apalagi harga dalam air kemasan tetap naik. Jadi saya sebagai warga merasa keherananlah kalau memakai kata yang elok. Jadi, latar belakangnya perlu penelitian, penyelidikan, bahkan penyidikan oleh administrasi negara. 20
32.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, dari Majelis ada? Yang Mulia Pak Patrialis ada.
33.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Para Ahli yang saya hormati. Saya ingin mencoba untuk mengembalikan informasi-informasi yang diberikan kepada persidangan ini adalah bahwa kita ingin melakukan, ingin melihat, mempersoalkan persoalan konstitusionalitas Undang-Undang Dasar Sumber Daya Air yang dianggap bertentangan dengan konstitusi atau Undang-Undang Dasar kita. Walaupun tadi juga mencontohkan beberapa kasus yang digambarkan betapa suasana yang memprihatinkan kepada bangsa dan negara kita ini, berkaitan dengan masalah pengelolaan sumber daya air ini. Tentu itu adalah bagian daripada implementasi akibat dari dugaan adanya persoalan hal yang berkaitan dengan undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Namun, kita semua memahami bahwa air ini kan merupakan salah satu kekayaan alam, ya kekayaan alam yang wajib dikuasai oleh negara, konstitusi kita mengatakan demikian, kenapa? Karena ini berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dan tentu ujung-ujungnya adalah untuk kemakmuran rakyat. Dan tidak hanya itu, tetapi juga tentu adalah untuk kelanjutan kehidupan masyarakat yang ada di negara kita ini. Kemudian, itu tentu juga ada kaitannya dengan penjelasan-penjelasan tadi berkaitan dengan persoalan perekonomian nasional. Nah, dalam hal ini, saya ingin Para Ahli mengelaborasi lebih jauh menunjukkan di dalam persidangan ini bahwa Undang-Undang Sumber Daya Alam ini sesungguhnya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, khususnya dalam beberapa prinsip yang sangat perlu dielaborasi, yaitu prinsip perekonomian nasional yang berkaitan dengan sumber daya air ini berkaitan dengan persoalan kebersamaan. Karena air ini adalah untuk bangsa, secara keseluruhan, tadi Pak Erwin juga menggambarkan betapa terjadi konflik di mana-mana, ya, ini karena merupakan bagian daripada persoalan kebersamaan. Tolong dijelaskan menurut Ahli, pelanggaran-pelanggaran apa dalam undang-undang ini yang melanggar prinsip-prinsip kebersamaan, prinsip-prinsip efisiensi berkeadilan, prinsip berkelanjutan, prinsip wawasan lingkungan, serta prinsip kemandirian, yang itu secara eksplisit dicantumkan di dalam konstitusi kita. Tolong berikan gambarangambaran kepada kami supaya kami bisa yakin bahwa betul sebetulnya Undang-Undang Sumber Daya Alam ini bertentangan dengan UndangUndang Dasar. Jadi, boleh juga diberikan kepada beberapa contoh, tapi prinsip-prinsip itu dulu yang perlu diyakinkan kepada Mahkamah ini 21
karena Mahkamah ini menguji konstitusionalitas suatu undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, silakan. 34.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, catat dulu, dikumpulkan dulu. Silakan Pak Alim.
35.
HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Terima kasih, Pak Ketua. Sederhana saja pertanyaan saya, kita harus mengakui bahwa bumi dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu adalah karunia dari yang Maha Kuasa, tidak ada seorang insinyur pun yang menciptakan air, itu ciptaan Allah SWT. Itu berarti bahwa orang yang diberi oleh Allah, oleh yang Kuasa itu rejeki itu untuk kepentingan bersama, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, bukan untuk kepentingan orang seorang, untuk kepentingan bersama. Nah, begini. Almarhum proklamator kita, Muhammad Hatta mengatakan, bagi cabang-cabang produksi yang kita belum sanggup kita meminjam dulu dari orang lain atau kita suruh negara lain masuk memberi modal, begitu. Tapi kalau kita sudah sanggup, itu kita kelola sendiri demi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Secara sederhana, setiap rumah tangga, termasuk rumah tangga saya misalnya, dan rumah tangga Ahli saya kira, dalam bentuk yang sederhana kita sudah bisa memasak sendiri air di dalam panci untuk kebutuhan kita. Apakah menurut Ahli, negara ini tidak sanggup untuk mendirikan, katakanlah pabrik pengolahan air itu atau kemasan-kemasan air itu, kok sampai harus dikasih orang asing? Kenapa, apakah negara belum sanggup untuk membikin itu? Untuk memperoleh keuntungan yang banyak demi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Saya katakan tadi secara sederhana, tiap-tiap rumah tangga kan sudah membikin sendiri, memasak di pancilah, katakan begitu, untuk mensterilkan air itu dan kemudian menjadi air minum, dan lain-lain, dan lain-lain seterusnya. Terima kasih, Pak Ketua.
36.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Pak Arief?
37.
HAKIM ANGGOTA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Yang Mulia Ketua. Untuk Para Ahli, terutama Ahli yang dari profesi hukum ini. Kita itu di sini tugasnya atau Majelis itu tugasnya adalah menguji konstitusionalitas undang-undang, pasal, atau ayat undang-undang. Tadi banyak diceritakan langsung terjun bebas dari 22
Pasal 33 atau bahkan dari Pancasila langsung kepada desainnya, praktik dalam pengelolaan air. Tapi itu bukan tugas dan kewenangan kita. Sehingga ya memang di dalam praktik implementasi, itu ditemukan banyak masalah-masalah, termasuk apa yang dicontohkan oleh Ahli yang ketiga. Tapi, itu bukan tugas Mahkamah Konstitusi untuk menilai itu. Kalau itu yang salah di PP-nya, maka itu Mahkamah Agung. Kalau di pelaksanaannya yang dilakukan oleh Kementerian PU, yaitu kepada pemerintah dan sebagainya. Nah, kita di sini itu ingin mendapat masukan, wawasan dari Para Ahli yang mendukung dalil-dalil dari Para Pemohon. Sekarang misalnya, saya tunjukkan contoh. Pemohon itu meminta menguji Pasal 6 UndangUndang a quo. Di sini disebutkan, “Sumber daya air dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Ini bertentangan enggak dengan Pasal 33? Bertentangan dengan Pancasila enggak? Kemudian lagi, Pasal 7, ini yang penting-penting saja yang saya sebutkan. Atau Pasal 7 enggak usah, yang tadi disorot oleh Pemohon, isu swastanisasi. Itu berasal dari Pasal 9 ayat (1) mengatakan, “Hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha dengan izin dari pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.” Ini bertentangan enggak dengan Pasal 33 atau bahkan lebih jauh, lebih tinggi, dengan Pancasila? Ternyata kemudian, ini diteruskan melalui PP. Nah, kemudian ini di sini ada PP yang disinggung dalam permohonan PP Nomor 16 Tahun 2005. Lho, ternyata kemungkinan terjadi itu swastanisasi itu bukan di dalam konstitusinya, tapi pintu … di dalam undang-undangnya di dalam Pasal 9 ini, tapi itu bisa menyangkut PP-nya, atau perizinan yang dilakukan oleh kementeriannya, atau bisa juga di Keppresnya. Itu yang mestinya harus kita mendapat keterangan Ahli. Tidak langsung terjun bebas dari Pancasila, dari Pasal 33, tahu-tahu praktik di lapangan kaya begitu. Padahal di sini yang dimohonkan itu pengujian banyak pasal, dari Pasal 6 tadi, Pasal 8, Pasal 9. Terus kemudian tadi, Ahli yang kedua. Berkenaan menyinggung dengan masalah lingkungan hidup. Di sini ada Pasal 26 Undang-Undang a quo, “Pendayagunaan sumber daya air ditujukan untuk memanfaatkan sumber daya air secara berkelanjutan dengan mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok kehidupan masyarakat secara adil.” Lho, ini green … apa namanya … manajemen apa tidak? Pengelolaan yang hijau tidak? Karena ternyata secara berkelanjutan mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok. Untuk siapa? Masyarakat. Bagaimana? Secara adil. Lho, ini bertentangan enggak dengan Pasal 33, khususnya ayat (4) pengelolaan air yang berkelanjutan untuk masyarakat. Tidak hanya sekarang, tapi masyarakat yang … rakyat yang ada di kemudian hari.
23
Kemudian lagi, Pasal 45, “Penguasaan sumber daya air diselenggarakan dengan memerhatikan fungsi sosial dan kelestarian lingkungan hidup.” Ini bertentangan atau tidak? Kita itu membutuhkan itu. Bukan langsung kemudian, “Lho, di lapangan kok banyak masalah-masalah?” Kalau di lapangan banyak masalah, itu belum tentu kesalahan dari pasal-pasal ini, tapi bisa di dalam implementasinya. Oleh karena itu, kalau begitu, nanti Mahkamah melihat, “Oh, undang-undangnya ternyata enggak masalah, yang masalah adalah di implementasinya.” Kan bisa begitu? Nah, ini masukan-masukan itu, makanya saya melanjutkan dari pertanyaannya Pak Patrialis tadi, lebih ke fokus kepada pasal-pasal yang dimohonkan oleh Pemohon tadi. Tapi kelihatannya belum banyak, makanya saya tegaskan. Coba, pasal-pasal ini kalau misalnya sekarang belum bisa, mungkin nanti tambahkan secara tertulis, beri masukan kepada kita. Karena saya sampai sekarang belum melihat bahwa pasalpasal ini atau secara khusus undang-undang ini yang menyangkut pasalpasal yang dimohonkan itu bertentangan atau tidak dengan UndangUndang Dasar Tahun 1945. Saya baru berkesimpulan, Pasal 33 bertentangan dengan pelaksanaan implementasi yang dicontohkan oleh Para Ahli tiga tadi, bukan undang-undangnya yang bertentangan dengan Konstitusi. Terima kasih, Yang Mulia Ketua. 38.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik. Silakan kepada Ahli.
39.
AHLI DARI PEMOHON: SUTEKI Terima kasih, Yang Mulia. Sebagaimana kita ketahui, pengujian atas Undang-Undang Sumber Daya Air ini kan bukan pertama kali, tapi ini sudah yang kedua kali. Putusan yang pertama adalah constitutional conditionally … sori, maaf, conditionally constitutional. Jadi, konstitusional, tapi bersyarat. Ketika itu memang pemerintah berhasil meyakinkan pada MK kalau apa yang tertulis di dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan seterusnya itu tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, terutama Pasal 33. Nah, tetapi mengapa dikatakan conditionally … condition? Ada syarat tertentu kalau itu dalam pelaksanaannya nanti tidak diterjemahkan lain oleh pemerintah. Nah, menurut (suara tidak terdengar jelas) undang-undang, sumber daya air ini kan dengan cara apa? Pembuatan … misalnya PP. Kita tahu persis, di dalam UndangUndang Sumber Daya Air ini menuntut 49 PP, 49 Peraturan Pemerintah
24
yang harus dilakukan. Yang saya ketahui memang ada dua PP, yaitu PP tentang Irigasi dan PP Sistem Pengelolaan Air Minum ini. Sewaktu saya waktu itu bertanya kepada pak … dan ada komentar dari Pak Jimly Asshiddiqie, khusus untuk masalah ini memang saya punya kenangan tersendiri untuk masalah Pengujian Undang-Undang Sumber Daya Air ini. Jadi, ada dua PP menurut Pak Jimly waktu itu. Satu PP menyelamatkan Undang-Undang Sumber Daya Air, satu PP ini membuktikan bahwa pemerintah menafsirkan lain bahwa ini ternyata juga mengusung privatisasi air. Sebagaimana juga kalau kita baca persis dissenting opinion yang dikemukakan oleh Pak Mukti Fajar dan Pak Maruarar, kita lihat persis di situ, ternyata betul itu ditafsirkan lain. Nah, sekarang menurut saya, dalam … maaf, dalam pemikiran saya, pengujian yang kedua ini kan tinggal membuktikan apakah pemerintah benar tidak menafsirkan lain? Nah, ternyata ini ditafsirkan lain oleh pemerintah dengan mengeluarkan PP Nomor 16 Tahun 2005, dan PP Irigasi, kemudian ada lagi Permendagri Nomor 23 Tahun 2006 kalau enggak salah, itu tentang prinsip-prinsip full cost recovery di dalam pengelolaan sumber pengelolaan air minum. Ditambah dengan misalnya ini, dengan Perpres Nomor 77 Tahun 2007 yang sebagaimana tadi sudah saya sampaikan, kemudian diubah sampai yang terakhir Nomor 36 Tahun 2010, itu semuanya itu mengarah kepada penafsiran yang lain yang sebagaimana tidak dikehendaki oleh MK ketika itu. Nah, kemudian, saya berpikir juga, apakah tidak mungkin juga kalau MK itu melakukan rule breaking untuk menguji PP dan … sori, maaf, PP SPAM (Sistem Pengelolaan Air Minum) dan … ya, maksud saya PP tadi, satu PP itu misalnya. Apa ini tidak mungkin misalnya? Karena ini sangat terkait dengan pengujian kembali ini. Kecuali tanpa ada pengujian kembali, mungkin ya, saya tahu persis kalau kewenangan di bawah undang-undang itu adalah kewenangan MK … MA maksud saya, Mahkamah Agung. Tapi, apa ini tidak mungkin? Karena ini menjadi suatu yang empiris, yang sangat melekat dengan pengujian kembali ini. Sebenarnya saya sudah memberikan keterangan yang cukup panjang-lebar dalam tulisan saya … keterangan saya yang tertulis di sini. Saya susun ada 65 halaman, saya persis juga mengoreksi. Bahwa Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 2 … Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 49 itu memang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terutama Pasal 33. Di Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang Sumber Daya Air, itu mengenalkan hak guna air yang meliputi hak guna pakai air dan hak guna usaha air. Pengenalan hak ini dapat diartikan bahwa pada suatu saat nanti, sumber daya air dapat diikat dengan hak-hak tertentu, seperti sumber daya atau benda pada umumnya. Lha, apa ini sesuai dengan Pasal 33? Tentu ini bertentangan dengan Pasal 33. Pasal 9 menyatakan bahwa hak guna air … hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha 25
dengan izin dari pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. Pasal inilah yang sering disebut-sebut sebagai pasal yang membuka pintu bagi komersialisasi air dan privatisasi air. Ini juga … maksud saya begini, ini pasal yang bertentangan dengan Pasal 33. Terutama memang makna menguasai ini sampai sekarang debatable. Tetapi, kalau tadi saya udah menyampaikan pada Majelis Yang Mulia, saya berdasarkan pada penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 sebelum diamandemen dan juga penjelasan yang saya kira monumental sekali apa yang dikatakan oleh Muhammad Hatta. Itu menghendaki bahwa cabang-cabang produksi yang penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak itu, mesti dikuasai oleh negara. Negara itu jangan direduksi hanya dengan pemerintah, tapi lebih luas dari itu. Nah dengan demikian, pasal ini juga bertentangan dengan Pasal 33. Pasal 26 ayat (1) disebutkan bahwa pendayagunaan sumber daya air dilakukan dengan mengutamakan fungsi sosial untuk mewujudkan keadilan dengan memerhatikan prinsip pemanfaatan air dengan membayar biaya jasa pengelolaan sumber daya air dengan melibatkan peran masyarakat. Ini kan ada aspek komersialisasi air juga, apakah ini juga sesuai dengan Pasal 33? Pasal 38 ayat (2) menyebutkan bahwa “Badan usaha dan perseorangan dapat melaksanakan pemanfaatan awan dengan teknologi modifikasi cuaca setelah memperoleh izin dari pemerintah.” Hal ini berarti, apabila pemerintah telah memberikan izin, hujan buatan dapat dilakukan oleh swasta. Lha, apa ini bisa dibenarkan? Persoalan yang sangat besar seperti ini, lalu kalau masih terjadi salah hujan, lalu siapa yang bertanggung jawab? Ini. Kemudian Pasal 40, menyebutkan bahwa koperasi badan usaha dan masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan pengembangan sistem air minum. Tadi saya singgung ini, terkait dengan undang-undang … PP Nomor 16 Tahun 2005, dari hulu sampai hilir dikuasai semua. Lalu peran pemerintah, dalam arti bagian dari negara di mana? Tadi ada pertanyaan dari Majelis Hakim, apa negara itu enggak sanggup untuk mengelola kayak … maaf, seperti PAM Jakarta mengelola PT Investama di Klaten? Selalu yang saya dengarkan itu mesti tidak ada duit, tidak ada uang, tidak ada uang. Uang banyak sekali. Nah, cuma di sini masalah pengelolaan yang integrated. Ini yang jadi masalah menurut saya. Jangan persoalan sumber daya air itu hanya urursan PU. Lha Menteri Lingkungan Hidup, kemudian menteri yang lain, Menteri Keuangan, apa ndak bisa? Sambung-menyambung kemudian mengurusi persoalan air yang demikian hebat seperti ini. Lha menurut saya, memang sudah terjadi salah urus untuk sistem pengeluaran air di sini. Jadi, kemudian saya lanjutkan. Pasal 45 mengatur tentang pengusahaan sumber daya air, permukaan yang meliputi satu wilayah 26
sungai hanya dapat dilakukan oleh badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah, sedangkan di luar wilayah itu dapat diusahakan oleh perorangan, badan usaha, dan/atau kerja sama antarbadan usaha setelah mendapat izin. Kewajiban pemerintah atau pemerintah daerah untuk mengatur dan menetapkan alokasi air pada sumber air untuk pengusahaan sumber air oleh badan usaha atau perorangan diatur pada Pasal 46. Pasal 47 menyebutkan bahwa kewajiban badan usaha atau perorangan untuk ikut serta melakukan kegiatan konservasi sumber daya air dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya serta mengatur agar pengusaha sumber daya air diselenggarakan untuk mendorong keikutertaan usaha kecil dan menengah. 40.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Usahakan dipersingkat.
41.
AHLI DARI PEMOHON: SUTEKI Jadi intinya, saya berpendapat bahwa pasal-pasal yang tadi saya sebutkan, itu bertentangan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Terima kasih, Yang Mulia.
42.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Silakan, Prof. Absori.
43.
AHLI DARI PEMOHON: ABSORI Ya saya menambahkan, sebenarnya memang letak persoalan yang pertama pada dasar kehendak politik dari undang-undang itu dibuat. Jadi, bagaimana itu sebenarnya kehendak politik dari pembuat undang-undang ini? Jadi mindset-nya adalah bahwa kalau kita memang menyerah … memahami betul Pasal 33 ayat (3), maka tidak bisa lain, kecuali pertama bahwa tadi betul dikatakan oleh Majelis Hakim Yang Mulia, “Bumi, air, kekayaan alam terkandung di dalamnya dan sebagainya adalah karunia Allah. Karena itu negara sebagai pemegang kekuasaan amanah harus menjaga dan sebesar-sebesarnya kemakmuran rakyat.” Itu adalah yang menjadi prinsip dasar utama. Karena itu implikasinya pada pasal-pasal berikutnya. Sepanjang kemudian di situ ada hal-hal yang janggal atau dianggap tidak logis atau dianggap bertentangan, maka ini harus dieliminir, harus dihilangkan. Contoh misalnya, yang tadi disebutkan bahwa pengalihan sumber daya alam, terutama air ini pada lembaga-lembaga perorangan maupun swasta yang mengarah … yang bercorak ke arah komersial, dari publik 27
komersial, otomatis berpotensi bahwa itu akan merugikan negara maupun rakyat. Dengan demikian, sebenarnya pasal-pasal itu harus dihilangkan dalam rangka membuat sebuah undang-undang yang baik. Karena namanya undang-undang kan, punya background politik, juga nilai-nilai filosofis. Karena itu, kalau potensi ada pasal-pasal seperti itu dan ternyata sebenarnya negara ini sanggup untuk menjalankan fungsi pengelolaan air, maka tidak perlu lagi ada semacam upaya legitimasi pada swasta yang begitu besar. Tapi, dari berbagai pasal yang kemudian sudah disampaikan oleh Profesor Suteki yang mengatakan bahwa sebenarnya di sini tampak sekali secara vulgar, bahkan kasat mata tentang privatisasi air yang diserahkan pada lembaga-lembaga swasta, dengan alasan sering mengatakan bahwa “negara tidak sanggup,” tapi menurut hemat kami, sanggup. Karena apa? Provokasi yang cenderung bertendensi pasar, masyarakat cenderung amat menjadi konsumtif pun sebenarnya tidak lepas dari desain negara, bagaimana dia menempatkan diri dalam pengelolaan air. Kalau tadi kita biasa diajari bagaimana minum air, terutama di daerah-daerah yang airnya bersih, jernih, sebelum ada industrialisasi seperti sekarang, kita tidak pernah merasa sakit karena kencing batu, dan sebagainya. Nah, sekarang dengan adanya kondisi pemasaran air yang luar biasa, maka kita dengan dalih higienis, dengan hal kebersihan dan lain sebagainya, kita ndak mau. Bahkan di daerah Cokro sendiri yang itu daerah tempat saya, orang Cokro minum air harus dari kemasan, padahal di selokannya mengalir air bersih. Ada apa? Mindset-nya adalah mindset konsumtif. Siapa yang memprovokasi? Ya, media. Siapa media? Ya, perusahaan. Kenapa perusahaan? Ya, cari untung. Kenapa cari untung? Ya, karena ada kesempatan melalui kebijakan. Karena itu, cobalah Majelis Hakim Yang Mulia, pasal-pasal yang berpotensi bahwa itu adalah melanggar Pasal 33 dalam konsep negara harus kuat bersama rakyat, itu mencoba untuk dikonstruksi ulang, sehingga supaya memang tafsirnya itu menurut saya, tidak matematis atau logis. Tidak matematis atau logis, sehingga mencarinya itu menjadi sulit, mana yang harus di-del dan mana yang harus diperbaiki. Saya yakin kalau itu dilakukan, akan ada produk hukum yang bermanfaat untuk kemaslahatan umat dan bangsa ini tentang UndangUndang Sumber Daya Air. Itu saja mungkin dari kami untuk menambahkannya. 44.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik. Pak Erwin, cukup ya? Atau masih ada?
28
45.
AHLI DARI PEMOHON: DEA ERWIN RAMEDHAN Ya, mohon izin untuk terjun lebih bebas lagi karena dalam penglihatan saya, pasal yang berkaitan dengan pengelolaan, jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena hal itu sudah terbukti di lapangan, penolakan oleh rakyat, oleh ulama, oleh mahasiswa, oleh petani, dan seterusnya, adalah cerminan dari penolakan masyarakat terhadap pelanggaran Pasal 33. Terima kasih.
46.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Pak Ketua, sedikit, Pak Ketua. Jadi, dengan komentar, pendapat yang disampaikan oleh Ahli, justru sudah semakin terungkap ya, persoalan konstitusionalitas yang dipersoalkan. Memang, kita bagaimanapun kondisinya karena memang (suara tidak terdengar jelas), konstitusinya, Mahkamah ini harus menguji suatu konstitusionalitas suatu undang-undang, memang harus kita selalu merujuk ya, selalu merujuk, jadi kita enggak boleh lari dari situ. Tapi ungkapan-ungkapan tadi bahwa pasal sekian ternyata tidak … apa … tidak cocok atau bertentangan dengan konstitusi, itu memang sudah tepat. Itu yang diinginkan sebetulnya, sedangkan contoh-contoh yang disampaikan, itu adalah satu contoh konkret akibat dari implementasi satu undang-undang yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Maksudnya begitu. Jadi, Ahli juga jangan salah paham di dalam memberikan respons terhadap apa yang diinginkan oleh Majelis. Misalnya, dalam Pasal 11. Nanti bisa juga diberikan secara tertulis, kami masih bisa. Pasal 11 ayat (3) misalnya, penyusunan pola-pola langsung Perda Air sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat dan dunia usaha seluas-luasnya. Sementara di sisi lain, kita mengatakan Pasal 33 ayat (3), Pasal 33 ayat (4), konstitusi mengatakan dikuasai oleh negara. Ini bagaimana menurut Ahli, kan begitu? Sementara, ini diserahkan kepada badan usaha seluas-luasnya, sedangkan di sisi lain, dikuasai oleh negara. Nah, maksudnya, kita memberikan … supaya Ahli membantu memberikan analisa. Seperti itu. Jadi, kalaupun nanti akan ditambahkan dengan tertulis, ya silakan, enggak apa-apa. Kalau dianggap cukup juga, kami sudah dapat memahami. Terima kasih.
47.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Kepada Para Ahli kalau memang merasa perlu ada keterangan tambahan dengan tertulis, itu enggak apa-apa, silakan. Tapi juga kalau merasa sudah cukup, juga tidak apa-apa ya. 29
Pada Pemohon, masih ada 4 ahli lagi, apa akan diajukan, tetap akan diajukan? 48.
KUASA HUKUM PEMOHON: SYAIFUL BAKHRI Diajukan pada persidangan berikutnya.
49.
KETUA: HAMDAN ZOELVA
He em. 50.
KUASA HUKUM PEMOHON: SYAIFUL BAKHRI Tetapi, mohon izin, Ketua Majelis, berkenan Prinsipal kami Prof. Din Syamsuddin akan menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan ini kurang-lebih 5 menit, diizinkan?
51.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik, ya, ya silakan enggak apa-apa.
52.
PEMOHON: DIN SYAMSUDDIN Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang dan salam sejahtera bagi kita semua, Bapak Ketua dan segenap Hakim Mahkamah Konstitusi yang kami muliakan, hadirin, hadirat yang terhormat. Kami ingin menegaskan motif dan niat Muhammadiyah yang didukung oleh sejumlah organisasi dan tokoh perorangan untuk mengajukan judicial review terhadap undang-undang ini adalah sematamata untuk pada hemat kami meluruskan cita-cita nasional, dan penerapannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena lewat kajian yang cukup panjang oleh para pakar, kami menengarai dan akan sampai kepada keyakinan ada gejala distorsi dan deviasi antara cita-cita nasional dengan realitasnya dalam kehidupan bersama ini. Ada kesenjangan antara das sollen dan das sein, maka oleh karena itu, kami melakukan yang kami sebut sebagai jihad konstitusi ini untuk mengembalikan produk hukum dan perundang-undangan, dan apalagi implementasinya kepada cita-cita kehidupan yang telah diletakkan oleh The Founding Fathers. Oleh karena itu, pada hemat kami, konstitusionalitas yang menjadi kata kunci di dalam persidangan ini dan di wacana publik adalah tidak sekedar relasi kata-kata. Karena di dalam filsafat dalam teologi, ada terobosan bahwa relasi kata-kata di dalam kemiskinan kata-kata manusia yang kemudian melahirkan multitafsir itu, sering menimbulkan pertentangan kepentingan (conflict of interest). Maka di dalam tafsir 30
kitab suci, umpamanya di semua agama, tidak sekedar tafsir, dan apalagi tafsir yang berhenti pada relasi arti kata-kata yang terbatas itu. Tapi juga tafsir yang lebih mendalam dan bahkan sekarang diajukan takwil yang lebih dalam lagi untuk sekadar memandang, memerhatikan dimensi eksoterik lahir, tetapi dimensi eksoterik batin dari kata-kata itu, gitu lho. Nah, kami datang dengan segala penghormatan dan harapan kepada Mahkamah Konstitusi, sebagai penegak, pengawal, dan pembela konstitusi ini untuk melakukan legal break through di dalam tafsir hukum untuk tidak hanya pada aspek normatifitas dan apalagi berhenti pada kata-kata yang, saya kira di antara akan berbeda pendapat, gitu. Maka konstitusionalitas di sini perlu dikembalikan kepada cita-cita nasional, terutama yang tertuang pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka ketika ada kesenjangan pada das sein, implementasi, saya kira kesalahan tidak hanya pada peraturan hukum di atasnya, di atasnya, tapi bisa kita kembalikan kepada di atas lagi, gitu. Kami berkeyakinan deviasi, distorsi, pada realitas kehidupan berbangsa yang akhirnya merugikan rakyat, dan kami datang bukti-bukti kerugian konstitusional itu tidak sekadar karena PP, tidak sekadar karena Perpres, tapi juga kami yakini juga pada undang-undang itu sendiri, gitu. Tetapi ini hanya bisa dibaca, kalau kita keluar dari kotak untuk tidak sekadar melihatnya pada normativitas, pada relasi bahasa, tetapi lebih kepada korelasi makna yang lebih dalam, yang acuan dasarnya adalah cita-cita nasional, gitu. Kami berkeyakinan persidangan ini dan akan berlanjut dan dalam suatu tataran pikiran dan hati nurani. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih. Wassalamualaikum wr. wb. 53.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, terima kasih. Tentu itu semua sebagai, akan menjadi bahan pertimbangan bagi Majelis ya. Sidang selanjutnya kita masih memberi kesempatan kepada Pemohon untuk mengajukan ahli. Setelah itu, ahli atau ada saksi dari pemerintah. Karena masih ada empat lagi dari Pemohon, ya. Sidang selanjutnya akan dilakasanakan pada hari Selasa, tanggal 7 Januari 2014, ditunda tahun depan, pukul 11.00 WIB. Sekali lagi, hari Selasa, 7 Januari 2014, pukul 11.00 WIB untuk mendengarkan keterangan ahli dari Pemohon, ya.
31
Dengan demikian, sidang hari ini selesai dan sidang saya nyatakan ditutup.
KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 12.55 WIB Jakarta, 18 Desember 2013 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d. Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
32