MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 48 DAN 62/PUU-XI/2013
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PEMERIKSA KEUANGAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN AHLI DARI PEMERINTAH DAN KPK (X)
JAKARTA SELASA, 8 OKTOBER 2013
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 48 DAN 62/PUU-XI/2013 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara [Pasal 2 huruf g dan huruf i] dan Pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan [Pasal 9 ayat (1) huruf b, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3) huruf b, serta Pasal 11 huruf a] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON PERKARA NOMOR 48/PUU-XI/2013: 1. Arifin P. Soeria Atmadja
2. R.M. Sigid Edi Sutomo 3. Machfud Sidik
4. Tjip Ismail 5. Darminto Hartono
PEMOHON PERKARA NOMOR 62/PUU-XI/2013: 1. Forum Hukum Badan Usaha Milik Negara
2. Omay Komar Wiraatmadja 3. Sutrisno
ACARA Mendengarkan Keterangan Ahli dari Pemerintah dan KPK (X) Selasa, 8 Oktober 2013, Pukul 10.40 – 12.00 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
SUSUNAN PERSIDANGAN Hamdan Zoelva Ahmad Fadlil Sumadi Maria Farida Indrati Harjono Muhammad Alim Anwar Usman Patrialis Akbar Arief Hidayat
Ery Satria Pamungkas Wiwik Budi Wasito
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon Perkara Nomor 48/PUU-XI/2013: 1. Darminto Hartono 2. R.M. Sigid Edi Sutomo 3.Machfud Sidik B. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 62/PUU-XI/2013: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Binsar Jon Vic S. Lukman Nur Azis Jamil B. Omay Kumar Wiraatmaja Rahmat Bagja Sutrisno
C. Pemerintah: 1. Indra Surya 2. Tavianto Nugroho 3. Hadianto D. Ahli dari Pemerintah: 1. Saldi Isra 2. Zainal Arifin Mochtar E. Pihak Terkait (KPK): 1. Chatarina M.G.
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 10.40 WIB 1.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Sidang Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 48 dan Nomor 62/PUU-XI/2013, saya buka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Pemohon 48, siapa saja yang hadir?
2.
PEMOHON SIDIK
PERKARA
NOMOR
48/PUU-XI/2013:
MACHFUD
Baik, Yang Mulia. Yang hadir di sini Pak Machfud Sidik sebelah kami kemudian Pak Darminto Hartono, kemudian di belakang Pak Sigit (Ketua Umum). 3.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik, terima kasih. Nomor 62?
4.
PEMOHON PERKARA NOMOR 62/PUU-XI/2013: LUKMAN NUR AZIS Terima kasih, Yang Mulia. Kami dari Forum Hukum, Lukman Nur Azis, Ketua Bidang Konsultasi dan Advokasi dan Pak Binsar Jon Vic S., dan beserta para rekan-rekan pengurus di belakang kami. Kami dari Pemohon II dan Pemohon III, Bapak Omay dan Pak Sutrisno, Kuasa Hukum Rahmat Bagja, S.H., L.L.M. dan Bapak Jamil.
5.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik, terima kasih. Pemerintah?
6.
PEMERINTAH: HADIANTO Terima kasih, Yang Mulia. Dari Pemerintah, yang hadir Saudara Indra Surya Kepala Biro Hukum, Biro Bantuan Hukum, Tavianto Nugroho dari Kementerian Keuangan, dan saya sendiri Hadianto sebagai Dirjen Kekayaan Negara, serta rekan-rekan dari Kementerian Keuangan. Munkin itu Pak, Yang Mulia.
1
7.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Terima kasih. Dari DPR tidak hadir, ya. Hari ini kita melanjutkan sidang dalam kedua perkara ini untuk mendengarkan ahli dari Pemerintah. Yang hari ini hadir Prof. Saldi Isra hadir, ya, Dr. Zainal Arifin Mochtar hadir. Dan sesuai dengan hasil persidangan lalu, kami juga mengundang Pihak Terkait untuk memberikan keterangan yaitu Komisi Pemberantasan korupsi. Apakah sudah hadir?
8.
PIHAK TERKAIT: CATHARINA M.G. (KEPALA BIRO HUKUM KPK) Hadir, Yang Mulia. Namun yang mewakili adalah biro hukum, bukan pimpinan kami.
9.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Biro hukum yang mewakili ya. Tidak apa-apa keterangan tertulis nanti, ya. Baik, Prof. Saldi sama Pak Dr. Zainal silakan maju ke depan untuk diambil sumpah.
10.
HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Mau bersumpah sendiri atau dituntun? Kan sudah sering jadi ahli, ya. Oh, lupa ya? Oke. Sekedar mengingatkan saja, ikuti kata saya. Dimulai. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.”
11.
SELURUH AHLI YANG BERAGAMA ISLAM: Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.
12.
HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Cukup, terima kasih.
13.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya,
Silakan kembali ke tempat. Pihak Terkait, ada keterangan tertulis? silakan langsung saja ambil tempat di panggung untuk 2
menyampaikan. Kepala Biro Hukum, ya? Bagian hukum. Apa ini dibuat oleh pimpinan, ya? Dari pimpinan? 14.
PIHAK TERKAIT: CATHARINA M.G. (KEPALA BIRO HUKUM KPK) Dari pimpinan, yang menandatangani pimpinan.
15.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Pimpinannya tidak bisa hadir?
16.
PIHAK TERKAIT: CATHARINA M.G. (KEPALA BIRO HUKUM KPK) Tidak bisa hadir karena ada kesibukan.
17.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ada kesibukan. Baiklah. Cukup keterangan tertulis saja (suara tidak terdengar jelas)? Ya, silakan ambil … siapa yang bacakan? Pokok-pokoknya saja, ya. Silakan.
18.
PIHAK TERKAIT: CATHARINA M.G. (KEPALA BIRO HUKUM KPK) Keterangan atau tanggapan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia atas Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 di Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 62/PUU/XI/2013. Kepada Yang Terhormat, Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Yang bertanda tangan ini, Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Abraham Samad (Ketua). M. Busyro Muqoddas (Wakil Ketua), Bambang Widjojanto (Wakil Ketua), Zulkarnain (Wakil Ketua), Adnan Pandu Praja (Wakil Ketua). Dalam hal ini diwakili oleh Catharina M.G., dan kawan-kawan berdasarkan Surat Kuasa SKS Nomor 11/01/55/10/2013 Tanggal 7 Oktober 2003 sesuai dengan surat panggilan Sidang Nomor 1199.6/PAN/MK.10.2013 Tanggal 4 Oktober 2013 yang diterima oleh KPK pada hari Jumat tanggal 4 Oktober 2013. Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Komisi Pemberantasan Korupsi menyampaikan keterangan atau anggapan komisi dalam persidangan yang terhormat ini atas ujian … pengujian … atas Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 17 tentang … 17 Tahun 2013 … 2003 tentang Keuangan Negara. Untuk selanjutnya disebut Undang-Undang Keuangan Negara khusunya Pasal 2 huruf g dan huruf i dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan 3
Pemeriksa Keuangan untuk selanjutnya disebut Undang-Undang PPK khususnya Pasal 6 ayat (1) Pasal 9 ayat (1) huruf b, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3) huruf b, dan Pasal 11 huruf a terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk selanjutnya disebut Undang-Undang Dasar 1945 yang dimohonkan oleh forum BUMN dalam hal ini diwakili oleh Hambra dan kawan-kawan pemohon … sebagai Pemohon I, Drs. Omay K Wiraatmaja selaku perorangan warga negara Indonesia sebagai Pemohon II, dan Dr. Ir. Sutrisno Sastroredjo selaku perorangan warga negara Indonesia atau Pemohon III yang untuk selanjutnya disebut sebagai para Pemohon sebagaimana tersebut dalam register di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013 tanggal 1 Juli 2013. Setelah kami mempelajari dan mencermati permohonan uji materiil yang diajukan oleh para Pemohon pada pokoknya mengemukakan alasan sebagai berikut. 1. Pertentangan norma Pasal 2 huruf g dan huruf i Undang-Undang Keuangan Negara dengan norma Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 2. Pertentangan norma Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) huruf b, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3) huruf b, dan Pasal 11 huruf a UndangUndang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23E ayat (1), dan Pasal 28D Undang-Undang Dasar 1945. Untuk menanggap hal-hal tersebut, KPK akan menyampaikan keterangan atau tanggapan berdasarkan atas kompetensi KPK yang berpijak pada tugas dan kewenangannya seperti termaktub dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yaitu; a. Penanganan perkara tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan penerapan unsur yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara yang tersebut dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk selanjutnya disebut Undang-Undang TPK terkait proses pengadaan barang dan jasa oleh BUMN, penjualan aset BUMN, dan pengelolaan dana yayasan. b. Penggunaan laporan permeriksaan BPK dalam pembuktian unsur merugikan kerugian negara atau perekonomian negara dalam tindak pidana korupsi. Ada pun keterangan atau tanggapan yang akan disampaikan oleh KPK sebagai berikut. Penanganan perkara tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan penerapan unsur yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UndangUndang TPK terkait proses pengadaan barang/jasa oleh BUMN, penjualan aset BUMN, dan pengelolaan dana yayasan. Bahwa 4
berdasarkan data penanganan perkara yang dilakukan KPK sejak tahun 2004 sampai 2012 menunjukan bahwa tidak pidana korupsi yang berkaitan dengan penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang TPK tentang adanya unsur yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara lebih dari 80% dari seluruh perkara yang ditangani KPK dari jumlahnya 337 perkara. Yang mana dari 80% tersebut berkaitan dengan BUMN atau yayasan, yaitu antara lain perkara atas nama Ir. Hariadi Sadono selaku general manajer PT PLN persero Disjatim Surabaya dalam pengadaan Customer Management System pada PT PLN persero disjatim, kemudian Ir. Eddie Widiono Suwondho selaku direktur pemasaran distribusi PT PLN persero pusat dalam pengadaan outsourcing roll out customer system-Rencana Induk Sistem Informasi atau CIS-RISI pada PT PLN persero Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang, dan Burhanudin Abdullah selaku gubernur Bank Indonesia mengenai penggunaan dana yayasan pengembangan perbankan Indonesia atau YPPI. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang TPK mendominasi dalam perkara tindak pidana korupsi. Contoh penerapan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang TPK adalah perkara tindak pidana korupsi atas nama Ir. Hariadi Sadono selaku general manajer PT PLN persero disjatim Surabaya dalam pengadaan Customer Management System pada PT PLN persero disjatim yang ditangani oleh KPK. Terdakwa didakwa dengan dakwaan primer Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang TPK. kemudian subsider … dakwaan subsider Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang TPK sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) KUHPidana. Bahwa untuk membuktikan unsur kerugian keuangan negara dalam Pasal 2 dan Pasal 3 haruslah dibuktikan dahulu unsur perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan atau sarana atau kesempatan yang dilakukan oleh terdakwa Ir. Hariadi Sadono selaku general manager PT PLN Persero disjatim Surabaya. Bahwa putusan hakim atas nama terdakwa Ir. Hariadi Sadono Nomor 27/Pid.B/TPK/2009/PN.Jkt.Pst menyatakan perbuatan yang terbukti adalah perbuatan penyalahgunaan kewenangan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp175.000.674.815,34. Dengan demikian, dapat disimpulkan adanya hubungan kausalitas antara unsur melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan, dengan kerugian keuangan negara. Artinya, dua unsur tersebut terdapat hubungan sebab-akibat yaitu dalam membuktikan adanya unsur kerugian keuangan negara, harus
5
dikaitkan bahwa kerugian tersebut akibat dari perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan. Penentuan apakah perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan tersebut mengakibatkan kerugian keuangan negara serta penghitungan kerugian keuangan negara, sangatlah berpengaruh pada proses litigasi dan persidangan atas suatu perkara tindak pidana korupsi. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan tetap, Nomor 1863K/PID.SUS/2010 tanggal 6 Oktober 2010, atas nama terdakwa, Hariadi Sadono, dalam pengadaan Customer Managing System PT PLN Persero disjatim yang menyangkut pertimbangan unsur merugikan warga negara yang tersebut pada halaman 121 dan seterusnya, sebagai berikut. Bahwa mengenai unsur merugikan keuangan negara sesuai penjelasan menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dengan jelas menunjukkan bahwa yang dimaksud keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara, segala hak dan kewajiban yang timbul karena berada dalam penguasaan-penguasaan dan pertanggungjawaban badan usaha milik negara, baik di tingkat pusat maupun daerah, dan berada dalam penguasaan-penguasaan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal Pihak Ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara. Jadi, jelas bahwa kekayaan atau keuangan negara yang sudah dipisahkan pada perusahaan negara atau perusahaan daerah, tetap merupakan keuangan negara. Bahwa Putusan Mahkamah Agung tersebut memperkuat pertimbangan hukum Putusan Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Negeri Jakarta Pusat Nomor 27/Pit.B/TPK/2009/PN.JKT.PST., sepanjang mengenai pertimbangan keuangan negara pada PT PLN Persero tersebut pada halaman 219 sampai 220, sebagai berikut. Menimbang bahwa kekuasaan status pengelolaan keuangan negara digunakan untuk mencapai tujuan bernegara, sehingga setiap tahun disusun APBN dan APBD. Salah satu penggunaan dana APBN atau APBD adalah dalam bentuk penyertaan modal negara pada persero dan perum, serta perseroan terbatas lainnya yang digolongkan sebagai kekayaan negara yang dipisahkan. Menimbang bahwa BUMN adalah badan usaha yang seluruhnya atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung atau sebagian berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
6
Artinya, secara langsung maupun tidak langsung, dapat dikatakan bahwa operasionalnya, BUMN tetap menggunakan APBN. Maksud tujuan pendirian BUMN adalah untuk menyelenggarakan kemanfaatan umum, berupa penyediaan barang dan/jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi penggunaan hajat hidup orang banyak, termasuk di dalamnya adalah PT PLN Persero dan seterusnya, kami mohon dianggap dibacakan. Dari putusan tersebut di atas, jelas terlihat bahwa PT PLN Persero merupakan badan usaha milik negara yang bertindak sebagai pengelola kekayaan negara, maka tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh direksi atau pejabat atau pegawai PT PLN lainnya yang merugikan atau yang dapat merugikan PT PLN Persero, dapat dikategorikan sebagai perbuatan korupsi karena telah menimbulkan kerugian atau dapat merugikan negara yaitu kekayaan negara. Bahwa kerugian keuangan negara dihitung berdasarkan kerugian yang timbul akibat adanya perbuatan yang melawan hukum dari Terdakwa atau adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dan akibat. Dengan demikian, kerugian keuangan negara sebagai salah satu unsur tindak pidana korupsi adalah kerugian yang disebabkan oleh adanya kesengajaan untuk melakukan perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang atau sarana atau kesempatan yang dimiliki pegawai atau pejabat suatu organisasi pemerintah atau BUMN atau BUMD atau yayasan untuk memperkaya atau meng (suara tidak terdengar jelas) diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, sehingga harus dapat dibuktikan kesengajaan tersebut dalam proses pemutihan di muka persidangan perkara tindak pidana korupsi. Jika timbulnya kerugian keuangan negara yang terjadi, yang bukan disebabkan adanya kesengajaan untuk melakukan perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang, maka hal tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Misalnya risiko usaha suatu BUMN yang telah menimbulkan kerugian, di mana tidak dapat disebutkan adanya kesengajaan yang dilakukan oleh pengurus, atau direksi, atau dewan pengawas untuk melakukan perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan untuk memperkaya, atau menguntungkan diri, sendiri atau orang lain, atau korporasi, maka kerugian keuangan negara BUMN tersebut, bukan perbuatan korupsi. Dengan merujuk pada pertimbangan Hakim di atas, terlihat juga bahwa BUMN adalah badan usaha yang seluruhnya atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara, melalui penyertaan secara langsung atau sebagian berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, yang bertujuan untuk menyelenggarakan kemanfaatan umum atau publik … publik, sehingga pengawasan keuangan negara uang yang bersifat publik merupakan kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana 7
tercantum dalam Undang-Undang BPK Pasal 6 ayat (1). Pembuktian usul yang dapat merugikan keuangan negara, atau perekonomian negara sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UndangUndang TPK yang terkait dengan BUMN atau yayasan, di persidangan sering memunculkan polemik apakah keuangan negara termasuk keuangan negara yang dipisahkan, apakah keuangan negara yang dipisahkan yang dialokasikan sebagai modal BUMN atau yayasan bukan lagi keuangan atau kekayaan negara atau APBN, sebagaimana materi yang dimohonkan uji materil perkara a quo. Pengertian keuangan negara dan kerugian keuangan negara. Berbicara mengenai unsur yang dapat merugikan keuangan negara atau kerugian keuangan negara dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang TPK menyangkut dua aspek, yaitu keuangan negara dan kerugian keuangan negara. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Keuangan Negara, “Pengertian keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, segala … serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara, berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajibannya tersebut.” Pasal 2 Undang-Undang Keuangan Negara disebutkan bahwa Keuangan negara meliputi hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan, dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman, kewajiban negara untuk menyelesaikan tugas pelayanan umum, pemerintahan dan menyertakan pihak ketiga, penerimaan negara, pengeluaran negara, penerimaan daerah, pengeluaran daerah, kekayaan negara, atau kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang serta hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan, kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dan/atau kepentingan umum, kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Pasal 2 tersebut selanjutnya terperinci … diperinci, dalam penjelasannya angka 3 tentang Pengertian dan Ruang Lingkup Keuangan Negara dimana pendekatan yang digunakan dalam merumuskan keuangan negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Bidang pengelolaan keuangan negara demikian luas dapat dikemukakan, dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Dari konsepsi tersebut, Undang-Undang Keuangan Negara Indonesia merupakan keuangan negara dalam arti luas yang lebih dikenal dengan terminologi keuangan sektor publik. Cangkupan tersebut dapat dilihat dari konsiderannya yang jelas menyebutkan Pasal 33 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Undang-Undang Dasar Tahun 1945 di samping Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 23B, Pasal 23C, Pasal 23D, dan Pasal 23E. Dikaitkan pencantuman Pasal 33 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4),
8
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengandung dua pengertian mendasar sebagai berikut. Ini mengutip pendapat dari Siswo Sudjanto. Pertama. Bahwa lingkup Keuangan Negara Republik Indonesia mencakup pengelolaan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara, yang menguasai hajat hidup orang banyak, artinya berbagai kewenangan pengambilan keputusan keuangan pemerintah mencakup pula keputusan dalam bidang pengelolaan, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak, dan/atau badan usaha milik negara. Kedua. Bahwa hak negara yang dicakup dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mencakup pula hak negara yang masih bersifat potensial, sebagaiamana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 di samping hak negara yang bersifat operasional yang dituangkan dalam Pasal 23. Selanjutnya, mengenai pengertian kerugian negara dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yaitu kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata, dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai, rumusan pengertian kerugian negara dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 ini sama dengan rumusan pengertian kerugian negara sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang BPK. Keuangan negara ditinjau dari hukum pidana, khususnya UndangUndang TPK ditegaskan dalam penjelasannya, Keuangan Negara yaitu seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajibannya yang timbul karena berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawabaan pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah berada dalam penguasaan dan pengurusan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara. Dari penjelasan tersebut lihat bahwa keuangan negara mencakup seluruh kekayaan negara, berarti termasuk uang yang berharga baik yang dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan. Pengertian kerugian negara, berdasarkan perspektif hukum pidana adalah suatu perbuatan menyimpang terhadap penggunaan dan pengelolaan keuangan negara, sehingga dapat dikualifiksi sebagai perbuatan merugikan negara atau dapat merugikan keuangan negara sebagai tindak pidana korupsi. Dengan pemenuhan unsur-unsur pertama … unsur-unsur. Pertama, perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum, baik dalam pengertian formil maupun materil atau penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya. Dan kedua, para pihak ada yang diperkaya dan 9
diuntungkan baik pelaku sendiri, orang lain, atau korporasi. Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang TPK. Dalam perspekif Undang-Undang TPK bahwa timbulnya kerugian keuangan negara ada disebabkan adanya … karena adanya suatu kesengajaan untuk melakukan suatu perbuatan yang melawan hukum, melawan hukum formil dan/ atau materil, atau penyalahgunaan kewenangan atau kesempatan, atau karena yang dilakukan seseorang karena jabatan atau kedudukannya untuk memperkaya atau mungkin diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi. Jika mengacu pada pengertian kerugian keuangan negara berdasarkan perspektif hukum administrasi negara, maka pengertian di sini adalah pengertian kerugian negara yang memaknai pengertian keuangan negara, sehingga berbeda dengan kerugian negara yang terdapat dalam Undang-Undang TPK yang merupakan pengertian spesifik, yang merupakan Lex specialis derogat legi generalis sistematis. Yaitu, meskipun sama-sama bersifat khusus, tetapi yang mendominasi ada lingkup kepentingannya, dalam hal ini adalah pidana. Penerapannya harus melihat kepada lingkup permasalahannya. Jika menyangkut masalah pidana, maka yang diberlakukan adalah hukum pidana, sehingga mengesampingkan hukum perdata dan administrasi negara. Contoh penerapan pengertian pegawai negeri, walaupun diatur dalam undang-undang kepegawaian, tetapi dalam tindak pidana korupsi yang digunakan adalah pengertian pegawai negeri sebagaimana tersebut di dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Dengan memperhatikan rumusan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang TPK, kerugian negara tersebut dapat berbentuk pengeluaran suatu sumber atau kekayaan negara atau daerah dapat berupa uang atau barang yang seharusnya tidak dikeluarkan. Pengeluaran suatu sumber atau kekayaan negara atau daerah lebih besar dari seharusnya yang … seharusnya yang menurut kriteria yang berlaku, hilangnya sumber atau kekayaan negara atau daerah yang seharusnya diterima, termasuk diantaranya penerimaan dengan uang palsu, barang fiktif, kemudian penerimaan sumber atau kekayaan negara atau daerah lebih kecil atau lebih rendah dari yang seharusnya diterima, termasuk penerimaan barang rusak, kualitas tidak sesuai. Kemudian timbulnya suatu kewajiban negara atau daerah yang seharusnya tidak ada, timbulnya suatu kewajiban negara atau daerah yang lebih besar dari yang seharusnya, hilangnya suatu hak negara atau daerah yang seharusnya dimiliki atau diterima menurut aturan yang berlaku, hak negara atau daerah yang diterima lebih kecil dari yang seharusnya diterima. Maka kerugian negara yang terjadi, harusnya bersifat pasti. Pasti, artinya keuangan negara benar-benar terjadi. Misalnya sejumlah dana yang hilang dari kas, pembayaran yang telah dilaksanakan melebihi yang seharusnya, rumah dinas hancur/ hilang atau berpindah hak secara tidak sah, dan lain-lain yang sudah terjadi. Dalam perspektif penuntut umum maupun hakim, pembuktian artinya 10
kerugian keuangan negara akan didasarkan pada hal-hal yang relevan secara yuridis atau fakta-fakta yang muncul secara sah dipersidangan, antara lain perhitungan atau hasil audit dari pihak yang berkompeten, misalnya BPK, atau BPKP, atau institusi resmi yang memiliki keahlian dalam hal menentukan adanya kerugian keuangan negara. Bukti atau keterangan yang bersifat instansional akan lebih meyakinkan dibandingkan dengan yang bersifat personal. Audit investigasi diarahkan terhadap adanya praktik kecurangan atau fraud itu untuk menetapkan secara absolut apakah fraud benarbenar telah terjadi tanpa menghiraukan apakah kecurangan itu bersifat material atau tidak. Secara umum, audit administrasi dilaksanakan melalui akuntansi forensik yang para auditornya telah mengikuti pelatihan khusus di bidang investigasi fraud dan proses pengadilan, baik yang bersifat perdata maupun pidana. Penghitungan adanya kerugian keuangan negara dan modus operandi yang sering dilakukan dalam suatu tindak pidana korupsi dapat dilihat dari pelaksanaan penggunaan dan pengelolaan keuangan negara, seperti penyimpangan dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa, pelanggaran dalam batas maksimum pemberian kredit oleh bank milik BUMN, penyimpangan tukar guling atau ruislag, pemerasan pajak, manipulasi tanah, pelelangan, atau tender pro forma. Pembuktian dan penghitungan kerugian keuangan negara meliputi paling tidak 3 aspek, terdiri dari aspek hukum, aspek keuangan negara dan aspek akuntansi atau auditing. Hasil tinjauan atas ketiga sisi tersebut menunjukkan kecenderungan hasil yang sama bahwa kerugian negara adalah berkurangnya kekayaan negara atau bertambahnya kewajiban negara tanpa diimbangi prestasi yang disebabkan oleh suatu perbuatan melawan hukum. Perbedaan adalah dari sisi akuntansi tidak mengemukakan bahwa penyebab dari kerugian keuangan negara tersebut adalah perbuatan melawan hukum. Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, KPK dalam menerapkan unsur yang terdapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang TPK, terkait proses pengadaan barang atau jasa oleh BUMN, penjualan aset BUMN, dan pengelolaan dana yayasan didasarkan pada adanya hubungan kasualitas antara perbuatan dan akibat timbulnya kerugian keuangan negara yang disebabkan oleh adanya kesengajaan untuk melakukan perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang atau sarana, atau kesempatan yang dimiliki pegawai atau pejabat suatu organisasi pemerintah BUMN atau BUMD, atau yayasan untuk memperkaya atau mementingkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi serta harus dapat dibuktikan adanya kesengajaan tersebut dalam proses pembuktian di persidangan perkara Tindak Pidana Korupsi, sehingga tidak setiap kerugian bisnis yang timbul atau business loss pada BUMN atau yayasan diklasifikasikan sebagai kerugian negara atau 11
sebagai state loss. Jika timbulnya kerugian negara yang terjadi yang bukan disebabkan adanya kesengajaan untuk melakukan perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan. B. Penggunaan laporan pemeriksaan BPK dalam pebuktian unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dalam tindak pidana korupsi. Pembuktian ada suatu tindak pidana korupsi tidaklah mudah karena kompleksitas modus operasinya serta melakukan teknik yang canggih dan pada umumnya dilakukan para profesional di bidangnya. Salah satu unsur yang harus dibuktikan dalam mengungkap dan sering muncul polemik adalah unsur kerugian keuangan negara sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Selama ini pembuktian unsur kerugian keuangan negara pada umumnya disandarkan pada perhitungan ahli, yaitu seorang auditor. Namun sebelum dilakukan perhitungan kerugian keuangan negara juga memerlukan keterangan ahli di bidang keuangan negara yang menyarankan bahwa lingkup kerugian keuangan negara yang dihitung masuk dalam lingkup keuangan negara. Misalnya ahli keuangan yang ditunjuk oleh kementerian keuangan, hal ini sejalan dengan apa yang dimaksud alat bukti keterangan ahli berdasarkan Pasal angka (28) KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum berkeberatan terhadap keterangan ahli yang diajukan oleh penuntut umum, maka terdakwa atau penasihat hukum dapat pula menghadirkan ahli kerugian keuangan negara lainnya untuk meringankan diri terdakwa. Dalam praktik persidangan perkara tindak pidana korupsi terkait BUMN atau yayasan seringkali muncul perbedaan persepsi antara penuntut umum dan terdakwa atau penasihat hukum mengenai apakah keuangan BUMN atau yayasan yang menjadi objek perhitungan oleh auditor masuk dalam lingkup keuangan negara atau bukan dengan alasan bahwa keuangan negara yang telah dikelola oleh BUMN atau yayasan merupakan keuangan negara yang dipisahkan sehingga tidak lagi tunduk pada ketentuan pengelolaan APBN dan oleh karenanya BPK tidak berwenang untuk melakukan pemeriksaan atau audit terhadap BUMN atau yayasan tersebut. Berdasarkan Pasal 23E Undang-Undang Dasar Tahun 1945 juncto Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK disebutkan bahwa pihak auditor yang melaksanakan auditing untuk memeriksa pengeloaan dan tanggung jawab keuangan negara dilakukan oleh lembaga negara, yaitu BPK. Bahwa meskipun berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 23E ayat (1) BPK dibentuk untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, namun bukan berarti permintaan bantuan perhitungan keuangan negara pada lembaga selain BPK, misalnya BPKP, menjadi bertentangan dengan ketentuan Pasal 23E ayat (1) 12
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena pada prinsipnya kewenangan yang diberikan oleh Pasal 23E ayat (1) kepada BPK adalah untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, artinya pelaksanaan kewenangan tersebut lebih luas dari sekedar melakukan perhitungan kerugian keuangan negara, apalagi perhitungan kerugian keuangan negara khusus terhadap suatu perkara tertentu atas permintaan penegak hukum. Berdasarkan Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN disebutkan bahwa BPK berwenang melakukan pemeriksaan terhadap BUMN sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. Kewenangan yang diberikan pada BPK tersebut atas dasar penyertaan modal negara kepada BUMN itu bersumber dari APBN di mana setiap penyertaan modal negara yang berasal dari APBN dan setiap perubahan penyertaannya baik berupa penambahan maupun pengurangan termasuk perubahan struktur kepemilikan negara atas saham persero atau perusahaan terbatas ditetapkan dengan peraturan pemerintah vide Pasal 4 ayat (2) huruf a, ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang BUMN sehingga untuk itu diperlukan pengawasan dari BPK yang berwenang untuk melakukan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara berdasarkan Pasal 23E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Demikian keterangan tanggapan KPK yang kami bacakan dan diserahkan pada sidang hari ini, Rabu, tanggal 8 Oktober 2013. Atas nama pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Bambang Widjojanto dan Adnan Pandu Praja. Demikian yang disampaikan, Yang Mulia. Terima kasih. 19.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya nanti Saudara lengkapi tanda tangan ketua sama Pak Busyro sama Pak Zulkarnain ya. Abraham Samad, sama Busyro Muqoddas, sama Pak Zulkarnain untuk keperluan dokumen di sini ya. Diserahkan yang sudah ditanda tangan lengkap lagi ya. Bisa diserahkan nanti setelah sidang, dilengkapi dulu tanda tangannya ya.
20.
PIHAK TERKAIT: CATHARINA M.G. (KEPALA BIRO HUKUM KPK) Beberapa pimpinan ada yang sedang keluar kota.
21.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Tidak apa-apa, setelah balik dari luar kota.
13
22.
PIHAK TERKAIT: CATHARINA M.G. (KEPALA BIRO HUKUM KPK) Ya, terima kasih, Yang Mulia.
23.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Sampai tanda tangan semua ya. Baik, kita lanjut mendengarkan ahli dari pemerintah. Ini dari pemerintah siapa yang didahulukan? Pak Saldi Isra, silakan Prof. Saldi.
24.
AHLI DARI PEMERINTAH: SALDI ISRA Assalammualaikum wr.wb. Selamat pagi, salam sejahtera untuk kita semua. Mejelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan, kuasa Pemohon, wakil pemerintah, dan wakil DPR yang saya hormati, hadirin sekalian yang berbahagia, wakil dari KPK yang saya hormati juga. Dalam perkara pengujian undang-undang ini, ketentuan yang dimohonkan untuk diuji adalah norma Pasal 2 huruf g dan huruf i Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 meliputi kekayaan negara atau kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang … piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara atau perusahan daerah, kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Pemohon Perkara Nomor 48/PUU-XI/2013 beralasan ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena telah mengenyampingkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama bagi siapa pun yang mengelola keuangan dalam perusahaan negara atau perusahaan daerah, serta perusahaan yang menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Sebab ketentuan dimaksud secara langsung juga menghambat penyelenggara perusahaan negara atau perusahaan daerah, serta badan hukum yang mendapatkan fasilitas pemerintah untuk memajukan korporasi dan badan hukum untuk secara kolektif memajukan korporasi dan badan hukum lainnya untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negara. Selain itu Pemohon juga pada pokoknya mengemukakan bahwa Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, pengelolaan keuangan negara hanyalah berwujud pengelolaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan bukan pada wujud pengelolaan keuangan negara. Artinya dalam hal ini, APBN diidentikkan dengan keuangan negara. Sedangkan keuangan negara yang telah dipisahkan pada BUMN
14
atau BUMD menurut Pemohon tidak termasuk dalam definisi keuangan negara. Sejalan dengan itu, Pemohon Perkara Nomor 62 pun mengemukakan hal yang sama, hanya saja Pemohon yang terakhir ini mengajukan pengujian terhadap ketentuan Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) huruf b, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3) huruf b, Pasal 11 huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Pada intinya Pemohon mempersoalkan konstitusionalitas tugas BPK dalam memeriksa pengelolaan keuangan negara yang dilakukan terhadap BUMN atau BUMD. Pemohon mendalilkan pemeriksaan oleh BPK hanya bersifat terbatas pada pengelolaan keuangan negara yang terwujud dalam bentuk APBN. Karenanya tidak seharusnya BPK memeriksa atau mengaudit pengelolaan negara yang telah dipisahkan pada BUMN atau BUMD. Sehubungan dengan persoalan tersebut di atas yang hendak Ahli tekankan pada kesempatan ini adalah terkait dengan batasan keuangan negara. Pengelolaan keuangan negara dalam kaitannya perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial, kedudukan BUMN dan BUMD dalam perekonomian nasional berdasarkan pasal … berdasarkan UndangUndang Dasar Tahun 1945. Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan. Mengawali keterangan ini, saya ingin mengutip kembali Pasal 23 ayat (1) UndangUndang Dasar Tahun 1945 yang dijadikan batu uji dalam permohonan ini. Ketentuan tersebut menyatakan, “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Apabila rumusan norma di atas dibaca secara sepintas tanpa melihat roh yang terkandung di dalamnya, maka benar bahwa makna keuangan negara sangat sempit, keuangan negara hanya menyangkut APBN semata. Namun apabila dibaca secara lebih mendalam, makna dan maksud sesungguhnya Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tidaklah demikian. Keuangan negara yang dimaksud tidak sesederhana dan sesempit yang dipahami Pemohon, melainkan memiliki arti yang lebih luas dibandingkan itu. Harus diingat dalam ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 terdapat dua istilah yang pada dasarnya tidak dapat disamakan, yaitu anggaran dan keuangan negara. Merujuk pendapat pakar keuangan negara, keduanya merupakan hal yang berbeda. Misalnya anggaran, sebagaimana dikatakan oleh Jhon F. Due adalah suatu rencana keuangan untuk suatu periode tertentu. Dalam kaitan dengan anggaran belanja pemerintah, anggaran diartikan sebagai suatu pernyataan mengenai pengeluaran atau belanja yang diusulkan dan penerimaan untuk masa mendatang bersama dengan 15
data tentang pengeluaran dan penerimaan sebagaimana penerimaan sebenarnya untuk periode mendatang dan untuk periode yang telah lampau. Sedangkan keuangan negara sebagaimana dikemukakan oleh (suara tidak terdengar jelas) merupakan semua hak yang dapat dinilai dengan uang. Demikian pula sebagai segala sesuatu baik berupa uang mau … maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan hak-hak tersebut. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dipahami bahwa makna anggaran lebih sempit dibandingkan makna keuangan negara. Bisa diartikan anggaran merupakan bagian dari keuangan negara. Lebih spesifiknya, Muchsan mengatakan anggaran negara merupakan inti dari keuangan negara sebab anggaran negara merupakan alat penggerak untuk melaksanakan pela … melaksanakan penggunaan keuangan negara. Lebih jauh dari itu, pemaknaan yang demikian juga tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Pasal 23 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai bagian dari satu-kesatuan norma konstitusi. Pasal 23 UndangUndang Dasar Tahun 1945 tidak berdiri sendiri, ketentuan ini berhubungan bahkan senyawa dengan ketentuan lain yang berkenaan dengan perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial. Sehingga maksud keuangan negara dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 harus dipahami atau dimaknai sebagai semua keuangan yang digunakan dalam penyelenggaraan negara. Baik di tingkat pusat maupun di daerah termasuk penyelenggara pada badan-badan usaha milik negara dan daerah. Dalam konteks ini, memahami Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 juga tidak dapat dipisahkan dari ketentuan Pasal 23C Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan, "Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang.” Jika keuangan negara hanya dibatasi … hanya dipahami sebatas anggaran pendapatan dan belanja negara sebagaimana dikemukakan Pemohon. Tentunya ketentuan pasal 23C Undang-Undang Dasar Tahun 1945 akan kehilangan makna sehingga tidak diperlukan lagi. Sebab sudah pasti APBN sebagaimana diatur di dalam Pasal 23 ayat (1) ditetapkan dengan undang-undang. Sehingga untuk apa lagi dirumuskan Norma Pasal 23C Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang hanya menegaskan perlunya pengaturan dengan undang-undang terhadap hal yang berkenaan dengan keuangan negara. Tentunya ketentuan Pasal 23C Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tidaklah demikian. Melainkan juga memiliki makna terkait dengan pengaturan keuangan negara. Setidak-tidaknya memberikan makna bahwa keuangan negara tidak hanya anggaran dan pendapatan belanja negara. Tetapi juga termasuk segala hal yang terkait hak dan kewajiban
16
negara yang dapat dinilai dengan uang. Termasuk kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN dan/atau BUMD. Selain itu pula, apabila dilacak lebih jauh perdebatan atau diskusi para pengubah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada tahun 1999 sampai 2002. Akan ditemukan lebih kuat mengapa keuangan negara dipahami sebagaimana diuraikan di atas. Dalam proses pembahasan perubahan Pasal 23 Undang-Undang Dasar Tahun 1945, pembahasan tentang keuangan negara selalu masuk di dalamnya hal ikhwal tentang Badan Usaha Milik Negara atau Daerah. Dalam pembahasan perubahan ketentuan Pasal 23 mayoritas fraksi di MPR memiliki pemahaman yang sama. Bahwa keuangan negara menyangkut seluruh penerimaan dan pengeluaran, baik yang menyangkut pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, maupun institusi ataupun masyarakat yang mendapatkan fasilitas dari negara. Oleh karena itu pengawasan oleh BPK mencakup pengawasan, pemeriksaan keuangan negara pada BUMN, BUMD, dan bantuan atau pinjaman luar negeri dan dana nonbudgeter. Ini bisa dibaca dalam pengantar musyawarah fraksi dalam rapat tanggal 6 Desember 1999. Berdasarkan uraian tersebut, sekalipun keuangan negara tidak dijelaskan secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Namun secara prinsip maknanya sudah terang benderang. Di mana keuangan negara tidak dapat dipersamakan dengan anggaran negara. Sehingga berdasarkan ketentuan konstitusi, kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN pun tetap menjadi bagian dari definisi keuangan negara. Sehingga ruang lingkup keuangan negara yang diatur Pasal 2 huruf g dan huruf i Undang-Undang Keuangan Negara sudah benar adanya dan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan. Memahami keuangan negara yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 juga tidak dapat dipisahkan dari sistem perekonomian dan kesejahteraan sosial. Sebagaimana diatur dalam Pasa 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 khususnya terkait hak menguasai negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Sehubungan dengan itu, penting kiranya menjemput kembali maksud hak menguasai negara yang dikehendaki dalam proses pembahasan perubahan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Merujuk proses perubahan, pembahasan dan perubahan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Sekalipun muncul usul untuk mengubah frasa dikuasai oleh negara menjadi diurus oleh negara. Atau ditambah dengan kata diatur, namun kebanyakan kalangan di MPR cenderung mempertahankan dengan memberikan penegasan terhadap maksud frasa dikuasai oleh negara dalam pasal tersebut.
17
Dikuasai oleh negara diartikan sebagai negara mempunyai kewenangan untuk mengatur mengenai cabang-cabang produksi yang penting. Mengenai bumi, air, dirgantara, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dikuasai negara, harus ditafsirkan dalam bentuk demokrasi ekonomi. Dikuasai dalam arti negara mengatur, mengelola kekayaan alam yang ada. Sejalan dengan penegasan para pengubah Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi secara lebih jelas memberikan pengertian mengenai atas dikuasai oleh negara dalam salah satu pertimbangan hukumnya MK menyatakan sebagai berikut. Dikuasai oleh negara, mengandung pengertian bahwa rakyat secara kolektif dikonstruksikan oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan, ballad dan untuk tindakan pengurusan (bestuurdaad), pengaturan (regeling daad), pengelolaan (beheerdaad), dan pengawasan (toezicht houden daad), dan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi penguasaan atau bestuurdaad oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan vergunning, lisensi, dan konsensi. Fungsi pengaturan (regeling daad) oleh negara dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan pemerintah dan reguslasi oleh pemerintah atau eksekutif. Fungsi pengelolaan beheerdaad dilakukan melalui pendayaan kekuasaan negara atas sumber-sumber kekayaan untuk digunakan bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan dilakukan oleh negara toezicht houden daad pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksudkan benar-benar dilakukan sebesarbesarnya untuk kepentingan seluruh rakyat. Dengan demikian pengertian dikuasai oleh negara adalah lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata, bisa dilihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21, 22 Tahun 2007. Menguatkan pendapat tersebut terkait penguasaan oleh negara Mahkamah Konstitusi kembali menyatakan penguasan oleh negara dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 memilikii pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam Undang-Undang Dasar 1945, baik di bidang demokrasi politik maupun demokrasi ekonomi. Dalam paham kedaulatan rakyat itu rakyatlah yang diakui sebagai sumber pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.
18
Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut tercakup pula pengertian pemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. Bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah hukum negara pada hakikatnya adalah milik publik seluruh rakyat secara kolektif yang dimandatkan kepada negara untuk menguasainya guna dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran bersama. Karena itu Pasal 33 ayat (3) menentukan bumi dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh kekuasaan negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan tafsir yang demikian bagi negara hak menguasai yang diberikan Undang-Undang Dasar 1945 kepadanya bukanlah demi negara itu sendiri melainkan terikat pada tujuan pemberian hak, yakni untuk dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kekayaan yang dimiliki negara dikuasai negara bukan untuk negara melainkan bagi rakyat sebagai pemenggang kedaulatan atas segala sumber daya alam yang dimiliki. Jadi penguasaan negara atas sumber daya alam tidak hanya sekadar mengatur dan mengelolanya saja, melainkan dalam tujuan mencapai kemakmuran bagi rakyat, sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan kesejahteraan sosial merupakan cita yang diinginkan dan dicapai melalui penyelenggaraan perekonomian nasional melalui penguasaan kekayaan negara. Dalam kerangka berpikir tugas pemerintah untuk memajukan kesejahteraan umum, Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dipahami bukan sematamata pada bentuk melainkan terikat dengan tujuan pemberian hak menguasai negara atas sumber daya alam, yaitu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pada tingkat implementasi hak menguasai negara itu dapat berupa mengadakan kebijakan beleid, tindakan pengurusan bestuurdaad, pengaturan regelendaad, pengelolaan beheerdaad, dan pengawasan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Khusus untuk pengelolaan beheerdaad fungsi ini dilakukan melalui pendayagunaan penguasaan negara atas sumber-sumber kekayaan melalui tangantangan negara, seperti badan usaha milik negara atau daerah. Karenanya dalam konteks ini BUMN diletakkan dalam posisi sebagai perpanjangan tangan negara untuuk mengelola kekayaan yang dikuasi negara. Dengan demikian BUMN menjalankana tugas pengelolaan atas aset atau kekayaan negara, oleh karenanya yang dikelola sebagian BUMN adalah cabang-cabang produksi yang penting yang menguasai hajat hidup orang banyak. Maka tidak mungkin negara melepaskan proses pengelolaan begitu saja tanpa mengintervensinya. Jika itu dilakukan maka penguasaan negara dalam bentuk melakukan pengelolaan akan kehilangan arti dan bentuk atas alasan itulah keuangan negara disamping harus dibedakan dengan anggaran negara, juga tidak dapat dipisahkan dari peran negara dalam pengelolaan 19
kekayaan negara sebagai wujud pelaksanaan hak menguasai negara atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak. Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan. Konsep hak menguasai negara atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak sebagaimana diuraikan di atas juga (suara tidak terdengar jelas) dengan paham negara kesejahteraan yang dianut dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tegas dinyatakan salah satu tujuan negara adalah memajukan kesejahteraan umum. Mandat konstitusi tersebut menempatkan negara sebagai pihak yang memikul tanggung jawab untuk mengintervensi proses pencapaian kesejahteraan rakyat, negara dituntun bertindak aktif agar pemajuan kesejahteraan umum dapat diwujudkan. Dalam konsep negara kesejahteraan (welfare state) peran negara dimaknai sebagai kemampuan untuk mereduksi jurang pemisah antara berbagai kelompok yang saling bersaing, terutama antara kelompok yang kuat dengan yang lemah. Pada saat bersamaan negara juga dituntut untuk membedakan memberdayakan potensi sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada untuk meningkatkan kesejahteraan dalam persaingan global. Seiring dengan ini saat ini kita berada pada abad ke-21 sebagai negara hukum pada abad ini pun terus dikembangkan adalah konsep negara hukum dalam pengertian materil atau negara hukum modern. Di mana tanggung jawab negara tidak hanya sekedar pada ranah politik, melainkan juga termasuk ranah ekonomi. Dalam kerangka hukum materil, negara hukum yang demokratis juga mesti mencakupi dimensi ekonomi dalam rangka kesejahteraan rakyat. Dimensi negara hukum meteriil ini ditujukan untuk memperkecil disparitas ekonomi melalui intervensi pemerintah dalam pengelolaan dan mendistribusikan kekayaan negara. Konsep negara hukum semacam ini sudah menjadi konsep yang diidealkan oleh para pendiri negara, sebagaimana kemudian dituangkan dalam penjelasan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebelum perubahan. Dalam kaitan dengan konsep tersebut, proses penyelenggaraan perekonomian nasional, sebagaimana dimaksud Pasal 33 UndangUndang Dasar Tahun 1945 juga harus sejalan dengan penegakan dan penerapan prinsip negara hukum materiil, di mana pencapaian kesejahteraan rakyat sama-sama menjadi tujuan perwujudan kesejahteraan dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat merupakan cita-cita akhir dari negara hukum demokratis yang terus dibangun. Sehubungan dengan itu, peran dan fungsi negara tidak hanya sebatas mengatur, mengawasi, dan mengendalikan berjalannya perekonomian, pengelolaan sumber daya alam, dan perdagangan, melainkan juga berperan sebagai pelaku secara aktif. Peran tersebut 20
dimainkan negara melalui berbagai perusahaan atau badan usaha milik negara yang diberi konsensi untuk mengurus atau mengelola keuangan negara tertentu agar dapat dimanfaatkan untuk memajukan kesejahteraan umum. Dalam konteks ini, sebetulnya Badan Usaha Milik Negara tidak hanya menjalankan peran bisnis dalam rangka memajukan pembangunan, melainkan juga melaksanakan fungsi sosial untuk memajukan kesejahteraan umum. Mengaminkan berbagai pendapat ahli bahwa benar BUMN dalam … dalam sebuah negara kesejahteraan memang memegang peran strategis, yaitu sebagai agent of development dan sekaligus sebagai social function. Dalam kerangka itulah, kekayaan negara yang dipisahkan dalam BUMN dan BUMD tetap termasuk dalam konteks keuangan negara, sehingga harus dikelola dan diawasi sesuai dengan ketentuan pengelolaan keuangan negara. Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan, Kuasa Pemerintah, Kuasa DPR, Kuasa Pemohon, dan hadirin sekalian yang berbahagia. Berdasarkan uraian di atas, sangatlah tidak tepat mengatakan bahwa keuangan negara hanyalah anggaran negara yang setiap tahun ditetapkan dengan undang-undang atau APBN. Juga tidak tepat untuk menyerahkan sepenuhnya pengelolaan kekayaan alam yang dikuasai oleh negara kepada BUMN tanpa keikutsertaan negara dalam pengelolaan pengawasannya. Sebab, membiarkan ini terjadi, sama saja dengan melepaskan pengelolaan cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak kepada mekanisme pasar, di mana orientasi utamanya hanyalah untuk keuntungan, bukan pelayanan atau sosial dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selain itu, pengelolaan BUMN atau BUMD harus tetap dalam radar pengawasan atau audit BPK. Sebab inilah mekanisme yang mesti disediakan guna mengontrol pengelolaan aset-aset penting negara agar tidak disalahgunakan. Ini sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Konstitusi. Demikian, keterangan Ahli ini disampaikan. Saya sudahi dengan wabillahi taufik wal hidayah, wassalamualaikum wr. wb. 25.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Terima kasih. Keterangan tertulisnya mohon dimasukkan nanti, nanti diambil oleh Petugas. Petugas, diambil langsung untuk … ya. Silakan, Ahli yang kedua.
26.
AHLI DARI PEMERINTAH: ZAINAL ARIFIN MOCHTAR Bismillahirrahmaanirrahiim. Assalamualaikum wr. wb. Dan salam sejahtera untuk kita semua. Yang Mulia, saya akan membacakan, tetapi keterangan tertulis secara lengkap akan saya serahkan kemudian. Pengujian Undang21
Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UndangUndang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Ketua, dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Terhormat, Pihak DPR, dan Pemerintah yang saya hormati, Kuasa atau … Pemohon atau Kuasa Pemohon yang saya hormati, Pihak Terkait (KPK) yang juga saya hormati, hadirin sekalian yang saya hormati. Pada dasarnya, permohonan ini didasarkan atas dalil bahwa terjadi pelanggaran atas Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dengan adanya aturan mengenai pengertian keuangan negara yang dianut di UndangUndang Keuangan Negara dengan memasukkan kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara, dan kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah, serta Undang-Undang Badan Pemeriksa Keuangan, khususnya soal kewenangan memeriksa Badan Usaha Milik Negara (BUMN atau BUMD). Dalam kapasitas saya sebagai Ahli, dengan ini saya menyatakan bahwa yang paling inti dari permohonan ini sebenarnya berada pada model ilmu negara. Dan oleh karenanya, terdapat adanya keharusan untuk melihat dan meninjau secara mendasar dan mendetail pola relasi antara negara dalam konteks luas dengan Badan Usaha Milik Negara atau daerah, negara dengan segala kewajibannya untuk mengurus rakyatnya, serta Badan Usaha Milik Negara yang menjadi salah satu cara agar negara dapat mengurus rakyatnya. Bahwa negara dibangun dengan adanya kebutuhan untuk tetap dapat menjaminkan pelayanan serta memastikan bahwa negara dapat menjaminkan kepengurusan seluruh kekayaan negara agar dapat dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Bahwa pada saat yang sama, negara dibangun dengan konsepsi pembagian kekuasaan yang sudah semakin kompleks. Dulunya secara sederhana, negara dibangun dengan prinsip trias politica, eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Tetapi seiring dengan perkembangan kebutuhan negara dalam mengelola negara, maka lahirlah cabang keempat, atau cabang kelima, atau cabang keenam yang sering disebut sebagai … yang salah satunya sering disebut sebagai lembaga negara independent. Bahwa Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sesungguhnya menempatkan negara Indonesia menjadi negara yang bertipe kesejahteraan dengan berasaskan pada Pancasila yang tertuang dalam Alinea Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 bahwa akan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan pada kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Hal itu kemudian diejawantahkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 khususnya ayat (3) yang membangun logika bernegara dilakukan
22
penguasaan atas bumi, air, kekayaan alam yang terkandung di dalamnya tiada lain untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bahwa Mahkamah Konstitusi kemudian telah memberikan pengertian penguasaan negara yang tidak dalam konsep kepemilikan semata, tetapi dalam konsepsi yang di dalamnya mengandung pengertian bahwa negara merumuskan kebijakan, melakukan pengaturan, melakukan pengurusan, melakukan pengelolaan, dan melakukan pengawasan. Karenanya salah satu inti dari penguasaan negara itu adalah adanya kewajiban untuk melakukan pengelolaan yang benar. Dan pengelolaan ini diwujudkan melalui pengelolaan sumber pendapatan dan penerimaan negara yang benar, yang kemudian akan dibelanjakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat, seperti yang dianut pada Pasal 23 ayat (1). Lalu kemudian hadir pula konsepsi keuangan negara yang jauh lebih luas dibanding sekadar anggaran negara yang kemudian diatur dalam Pasal 23C ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Bahwa konsepsi pertanggungjawaban ini diejawantahkan lebih lanjut oleh Pasal 23E ayat (1) yang intinya mengatakan bahwa dalam hal pengelolaan dan memastikan bahwa seluruh kekayaan negara, penerimaan negara, anggaran belanja negara dilakukan secara bertanggung jawab, maka dilakukan pemeriksaan oleh badan yang bernama Badan Pemeriksa Keuangan. Bahwa oleh karenanya dalam hal ini jika dilihat secara logika struktural maksud Undang-Undang Dasar Tahun 1945 secara detail terlihat adanya relasi yang dibangun oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945 secara satu tarikan napas, yakni hubungan antara kepengurusan negara demi kemakmuran rakyat, membangun anggaran negara dan keuangan negara, serta kepengurusan negara, kesadaran untuk bertanggung jawab secara utuh dalam pengelolaan negara tersebut melalui pengawasan keuangan negara. Yang salah satunya adalah anggaran negara dalam bentuk pemeriksaan yang dilakukan oleh lembaga negara yang ditunjuk untuk itu agar tetap berada dalam koridor sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bahwa memang dalam konsepsi itu menempatkan peran negara menjadi besar, tanggung jawab negara seakan-akan menjadi sangat besar. Akan tetapi, adalah suatu hal yang keliru jika mengidentikkan bahwa peran negara yang besar dalam pengurusan negara adalah suatu hal yang klasik dan tradisional, bahkan tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Peran negara yang besar haruslah dikaitkan bukan soal sekadar semangat zaman, tetapi juga dikaitkan dengan tujuan bernegara yang dijaminkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tugas aparatur negara untuk mengupayakannya. Jika negara ingin bekerja memastikan bahwa kepengurusan negara akan rakyatnya bisa dijaminkan tercapai, maka salah satu yang bisa diupayakan memang adalah bekerja secara hulu hingga hilir di wilayah publik 23
melalui perumusan kebijakan hingga pengawasan keuangan. Hal ini menjadi konsekuensi logis dari pilihan bernegara dan tidaklah dapat dikatakan suatu hal yang ketinggalan zaman atau apkir. Bahwa hal berikutnya yang penting dikaji adalah kontrol negara pada kuasa negara yang menjadi pengurus dari seluruh … maksud saya kontrol rakyat pada kuasa negara yang menjadi pengurus dari seluruh kekayaan negara yang didaulatnya dipegang oleh rakyat. Kekuasaan negara selalu punya relasi dengan teroi kedaulatan rakyat, paling tidak ilmu negara mengajarkan seperti itu. Jika pada ilmu negara kita meyakini bahwa kedaulatan negara dipegang oleh rakyat, maka kuasa rakyat untuk mengontrol negara dengan penggunaan uang-uangnya harus ada tetap pada rakyat. Karenanya relasi antara rakyat harus tetap ada pada uang-uang tersebut, tidak bisa dibiarkan tidak ada relasi antara uang tersebut dengan rakyat. Relasi yang hanya bisa terbangun ketika negara tetap hadir dalam pengelolaan bukan sekadar pengelolaan, tetapi juga hingga pertanggungjawaban yang rakyat ikut terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Logika ini nampaknya ada dari APBN yang harus menyertakan DPR sebagai rakyat perwakilan partai, DPD sebagai rakyat perwakilan ruang, dan presiden sebagai kepala negara dalam proses legislasi menjadikan Undang-Undang APBN. Serta pun dalam pertanggungjawabannya, yakni dalam hal melakukan pengawasan dan bentuk pemeriksaan harus tetap ada peran besar rakyat melalui representasi di BPK yang keanggotaannya dipilih oleh DPR dan DPD … dengan menyertakan DPR dan DPD maksud saya. Bahwa secara diagnosis, penyakit yang dihinggapi oleh Badan Usaha Milik Negara saat ini tidaklah serta-merta dapat dialamatkan pada kekayaan negara yang dipisahkan maupun karena adanya peran serta BPK dalam pengawasannya. Penyakit BUMN dan BUMD ini lebih banyak diakibatkan oleh adanya politisasi yang tidak terhubung secara langsung dengan adanya kekayaan negara yang tidak dipisahkan dalam peran pengawasan BPK. Jika selama ini negara menginjeksikan politisi ke dalam BUMN, maka yang harus diperbaiki dan dilarang adalah agar negara tidak lagi menginjeksikan orang politik ke dalam BUMN. Tetapi harus menempatkan orang-orang di BUMN benar-benar secara ahli dengan sistem yang merit. Bahwa dalam prinsip lainnya, perlu dibangun kehati-hatian dalam pengelolaan keuangan negara. Misalnya, hingga saat ini terdapat uang rakyat yang berjumlah sekitar Rp67,7 … Rp677,3 triliun di berbagai BUMN dan ini hanya di 141 BUMN. Pemisahan uang negara ini secara mudah akan menimbulkan pertanyaan besar soal kedaulatan rakyat yang uangnya telah dipisahkan dari negara. Bukan hanya sampai di tingkat rakyat yang kehilangan kontrol, tetapi pertanyaan mendasar juga adalah bagaimana rakyat dan negara bisa memastikan bahwa uang-uang tersebut masih tetap bisa digunakan dan BUMN tersebut tetap bisa mengusahakan sebesar24
besarnya bagi kemakmuran rakyat jika pertanggungjawabannya tidak lagi dipegang oleh negara. Bahwa belum lagi kita berbicara soal potensi kerugian negara yang ada di BUMN akibat tidak patuhnya BUMN akan operasional yang seharusnya sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat. Temuan BPK misalnya mencatatkan bahwa pada tahun 2001 terdapat 154 kasus ketidakpatuhan yang 63 di antaranya mengakibatkan kerugian negara, misalnya data yang dibaca dari BPK oleh ... yang diterjemahkan oleh teman-teman dari FITRA. Bahwa dapat dibayangkan menggunakan analisis terbaik ... terbalik maksud saya, jika BPK masih berperan melakukan pengawasan, masih saja ditemukan ada banyak penyimpangan, maka apa yang akan terjadi jika kemudian BPK tidak lagi memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan ditubuh badan-badan usaha milik negara tersebut. Bahwa hal lain yang perlu dipikirkan adalah potensi implikasi ke dalam sistem lembaga negara yang ada saat ini. Paling terlihat adalah implikasi ke lembaga negara yang sudah ada, tetapi uangnya adalah titipan negara di dalamnya. Misalnya adalah lembaga penjamin simpanan, satu sisi dia disebutkan sebagai lembaga negara tetapi di lain sisi dia akan kehilangan posisi relasi dengan negara karena dianggap sebagai kekayaan negara yang dipisahkan. Hal ini sama yang akan terjadi juga di Otoritas Jasa Keuangan. Karenanya jika permohonan ini dikabulkan, maka akan berpotensi bukan saja relasi antara negara dan badan usaha, tetapi juga relasi antara negara dan lembaga negara yang diciptakan oleh negara. Bahwa hal lainnya adalah logika keliru jika ada peraturan yang tidak rapi, maka perlu dilakukan adalah dengan mengeluarkan dan memisahkan kekayaan ... keuangan ... kekayaan negara. Peraturan yang tidak rapi selama ini dan memiliki kecenderungan saling bertabrakan adalah penyakit legislasi di negeri ini, penyakit yang memang ada seiring dengan proses legislasi yang dilakukan, tetapi tidaklah serta merta dapat disimpulkan bahwa karena ketidakrapian aturan, maka harus dirapikan menuju ke arah tertentu atau menurut ke arah yang diinginkan oleh Pemohon. Politik hukum negara tetap haruslah dipertimbangkan, yakni cetak biru negara dalam kaitan dengan uang negara dan relasinya dengan negara dan rakyat sebagai pemegang kedaulatan seperti yang dikatakan di atas. Artinya, jika mau dirapikan, maka dirapikannya seharusnya menuju ke arah tidak memisahkan kekayaan negara tersebut dan bukan sebaliknya. Karena itu lebih sesuai dengan tujuan bernegara yang ingin memastikan pengelolaan keuangan negara yang menjaminkan kesejahteraan bangsa. Bahwa logika yang sama juga dapat dikatakan pada kasus-kasus korupsi yang dianggap “bukan kasus korupsi” hanya karena dikatakan 25
tidak ada niatan untuk merugikan keuangan negara. Perdebatan yang panjang tentu sangat mungkin terjadi untuk kasus-kasus ini, tetapi harus diingat ada begitu banyak kasus korupsi lainnya yang merupakan modus atau cara merampok uang rakyat melalui BUMN dan BUMD yang ada selama ini, tentu saja tidak dapat dikatakan hanya karena ada beberapa kasus korupsi yang dengan ketiadaniatan, tiba-tiba menghilangkan kemungkinan adanya praktik perampokan uang rakyat melalui alasan praktik usaha dan risiko bisnis. Bahwa pada hakikatnya negara harus tetap menjaminkan upaya meminimalisir serta kemungkinan tindakan koruptif dan salah satu caranya adalah berperan secara layak dalam pengawasan, yakni dalam bentuk pengawasan fungsional bermodel plat pemeriksaan yang ada dalam konteks bernegara saat ini, yakni dilakukan oleh BPK. Bahwa terkhusus BPK, ini merupakan lembaga negara yang menjalankan fungsi negara dalam menjalankan pemeriksaan keuangan negara, dengan konsepsi dasar negara yang telah diubah empat kali, dengan melahirkan lembaga-lembaga negara baru dengan format lebih independent, maka BPK sesungguhnya termasuk salah satu di antaranya, penguatan BPK malah diperlukan untuk semakin punya kemampuan untuk mengawasi keuangan negara yang masih sering dirampok melalui berbagai cara. Logika lainnya adalah adanya ketidakrapian dalam sistem pengawasan yang ada model redundancy antara badan pemeriksa satu dengan yang lainnya tidaklah dapat menjadi alasan bahwa tidak diperlukan lagi pemeriksaan oleh lembaga negara yang berwenang, tetapi yang dibutuhkan adalah kerapian sistem pengawasan nasional dalam rangka memastikan uang-uang yang juga milik ... uang-uang negara yang juga adalah milik rakyat tidak dengan mudah dirampok dengan berbagai kepentingan dan berbagai alasan. Demikian, semoga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Hakim Yang Mulia. Terima kasih. Wasalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera untuk kita semua. 27.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, terima kasih. Keterangan tertulis bisa diambil petugas.
28.
AHLI DARI PEMERINTAH: ZAINAL ARIFIN MOCHTAR Yang Mulia. Karena masih ada beberapa catatan, izinkan saya memberikan setelah di persidangan ini.
29.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik. Ya, nanti saja disampaikan, terima kasih. Pemerintah ada yang mau diminta klarifikasi? 26
30.
PEMERINTAH: HADIANTO Ya, terima kasih, Yang Mulia.
31.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Kita ada waktu sampai jam 12.00 WIB.
32.
PEMERINTAH: HADIANTO Pertama, sebenarnya dari BPK akan ada Ahli Prof. Edi Swasono, namun tidak pada kesempatan kali ini. Nanti kami serahkan kepada Majelis, apakah akan keterangan tertulis atau dalam sidang berikutnya. Yang kedua, apabila diperkenankan Pemerintah ingin menyampaikan keterangan tambahan Pemerintah mungkin dalam waktu kira-kira 6 menit, Yang Mulia karena keterangan tambahan ini sangat penting artinya bagi Pemerintah untuk menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan pemeriksaan ahli dan saksi fakta dari pihak Pe mohon apabila diizinkan.
33.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Keterangan tambahan saya kira sudah cukup, sudah dimasukkan secara tertulis tadi ya, sudah ada ya. Ya, sudah dimasukkan kan. Ya kami juga sudah tadi sambil baca. Selain Edi Suwasono masih ada? Ya, cukup itu saja jadi Prof. Edi saja. Baik. Kita buka seluas-luasnya nanti kalau tidak kita buka nanti ada … ada protes tidak didengar lagi. Jadi, kalau gitu kita buka lagi sidang ya untuk mendengarkan keterangan dari prof. Edi, tapi sebelumnya dari Pemohon ada yang mau bertanya tapi tidak kepada KPK ya karena komisionernya tidak datang tapi kepada ahli.
34.
PEMOHON PERKARA NOMOR 62/PUU-XI/2013: BINSAR JON VIC S. Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang sudah diungkapkan oleh saksi fakta dan keterengan ahli dari Pemohon khususnya 62, maka tentunya sebagaimana persidangan berikutnya Yang Mulia Ketua terhadap keterangan KPK dan Pemerintah kami serahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia. terima kasih, Yang Mulia Ketua dan Majelis Mahkamah Konstitusi.
27
35.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik, terima kasih. Jadi, kita masih buka lagi sidang sekali lagi untuk mendengarkan keterangan dari keterangan ahli dari Pemerintah Prof. Sri Edi Swasono, ya.
36.
PEMERINTAH: HADIANTO Yang Mulia, jadi apakah keterangan tambahan pemerintah dapat disampaikan atau?
37.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Nanti dalam kesimpulan saja sekalian ya dalam simpulan saja ya. Baik, dari Hakim cukup. Baik. Sidang perkara hari ini selesai dan sidang dilanjutkan pada hari Rabu, 16 Oktober 2013 pukul 10.30 untuk mendengarkan keterangan ahli dari Pemerintah ya Prof. Sri Edi Swasono. Ini ahlinya Pemerintah kan? Ya, dimajukan oleh Pemerintah, kan BPK tadi masuk ke pemerintah dalam sidang kita sebelumnya. Baik dengan demikian sidang hari ini selesai dan sidang saya nyatakan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 12.00 WIB Jakarta, 8 Oktober 2013 Kepala Sub Bagian Risalah,
t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
28