Membangun Daya Tahan Pertanian dan Pangan melalui Pemberdayaan dan Perlindungan Sesuai UU No. 19/2013
15
MEMBANGUN DAYA TAHAN PERTANIAN DAN PANGAN MELALUI PEMBERDAYAAN DAN PERLINDUNGAN SESUAI UU NO. 19/2013 Developing Agriculture and Food Resilience through Empowerment and Protection according to Law No. 19/2013 Tahlim Sudaryanto Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jln. A. Yani No. 70, Bogor 16161 E‐mail:
[email protected] ABSTRACT Food and agriculture is prone to external shocks or disturbances such as natural disasters, climate change, price volatility and socio-political conflics. Measures implemented by government, NGOs, international organization, and other stakeholders mostly focus on responding to the impacts of the shocks. Future development efforts should use resilience as organizing framework to build capacity of people, communities, countries, and global institutions to anticipate, prepare for, cope with, and recover from shocks and not only bounce back to where they were before the shocks but become better-off. Preliminary policy framework in building resilience is discussed in both a broader perspective as well as in responding to any specific shocks. Future agenda for further research is also discussed. Keywords: shocks, resilience, anticipate, bounce back, policy ABSTRAK Pangan dan pertanian sangat rentan terhadap gangguan eksternal seperti bencana alam, perubahan iklim, volatilitas harga, dan konflik sosial-politik. Perhatian pemerintah, LSM, lembaga internasional maupun stakeholder lainnya pada umumnya lebih difokuskan pada mengatasi dampak langsung dari berbagai gangguan tersebut. Upaya-upaya pembangunan di masa datang seharusnya menggunakan paradigma daya tahan sebagai kerangka untuk mengorganisasikan berbagai upaya tersebut untuk membangun kapasitas individu, masyarakat, negara, dan institusi global untuk mengantisipasi, mempersiapkan, bertahan, dan pulih dari gangguan tersebut sehingga dapat kembali ke posisi sebelum gangguan terjadi bahkan bisa lebih baik lagi. Kerangka kebijakan pendahuluan dalam membangun daya tahan didiskusikan, baik dalam perspektif yang lebih luas maupun dalam merespons berbagai gangguan spesifik. Agenda ke depan untuk penelitian di masa mendatang juga didiskusikan. Kata kunci: gangguan, daya tahan, antisipasi, kembali ke posisi awal, kebijakan
PENDAHULUAN Pencapaian visi pembangunan pertanian sampai saat ini diwujudkan dalam strategi peningkatan produksi dan diversifikasi untuk mencapai swasembada, kemandirian, dan kedaulatan pangan; peningkatan nilai tambah dan daya saing untuk meningkatkan ekspor, substitusi impor, menyediakan bahan baku bioindustri dan bioenergi (Kementerian Pertanian 2015). Dengan strategi tersebut, ada dua masalah konseptual yang memerlukan pembahasan lebih lanjut. Pertama, strategi tersebut tidak memperhatikan aspek keberlanjutan (sustainability) sektor pertanian secara lebih mendalam. Kedua, kalaupun aspek keberlanjutan dimasukkan secara lebih konkret, sektor pertanian masih akan dihadapkan pada berbagai gangguan eksternal (external shocks, disturbances) yang berpengaruh bukan hanya terhadap produksi, tetapi juga ketersediaan sumber daya dan infrastruktur serta aspek kehidupan (livelihood) petani dan penduduk perdesaan pada umumnya. Berkaitan dengan aspek kedua, sektor pertanian (terutama pangan) dihadapkan pada gangguan eksternal yang bersumber dari a) lingkungan seperti perubahan iklim dan kondisi iklim ekstrem; b) bencana alam yang meliputi banjir, kekeringan, gempa bumi dan tsunami, serta gunung api; c) volatilitas harga komoditas di pasar internasional dan domestik; d) konflik sosial-politik (cukup menonjol di negara-negara Afrika). Menghadapi terjadinya berbagai gangguan tersebut, perhatian pemerintah, LSM, lembaga internasional, dan pemangku kepentingan lainnya, umumnya lebih fokus
Perlindungan dan Pemberdayaan Pertanian dalam Rangka Pencapaian Kemandirian Pangan Nasional dan Peningkatan Kesejahteraan Petani
16
pada bantuan kemanusiaan (humanitarian aid) atau jaring pengaman sosial untuk mengatasi dampak (jangka pendek) dari gangguan tersebut. Kurang sekali perhatian pada kebijakan dan program untuk mempersiapkan dan mengantisipasi bagaimana kalau bencana serupa terjadi lagi pada masa datang. Di sinilah urgensinya untuk membangun daya tahan (resilience) sektor pertanian dan pangan. Walaupun tidak secara eksplisit disebutkan dalam rangka membangun daya tahan pertanian, UU No. 19/2003 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani menekankan perlunya instrumen kebijakan melakukan pemberdayaan dan meningkatkan kapasitas petani (berikut kelembagaannya) untuk menjalankan usaha tani yang produktif. Di samping itu, undang-undang tersebut juga menekankan perlunya perlindungan bagi petani dari fluktuasi harga, praktik ekonomi biaya tinggi, dan gagal panen. Rumusan tersebut pada prinsipnya mengamanatkan perlunya perlindungan petani menghadapi gangguan eksternal. Makalah ini difokuskan pada pembahasan tentang satu dimensi pembangunan yang terabaikan baik oleh para akademisi, apalagi oleh praktisi pembangunan pertanian. Sistematika makalah dibagi menjadi lima bagian. Setelah pendahuluan pada bagian pertama, bagian kedua pembahasan dilanjutkan dengan tinjauan tentang tipologi petani kecil sebagai pelaku yang menjadi fokus pembangunan dan arah transformasi yang perlu ditempuh. Bagian ketiga dari makalah ini mendiskusikan berbagai gangguan eksternal, baik intensitas maupun dampaknya. Bagian keempat membahas kerangka konseptual dari daya tahan dalam konteks pembangunan pertanian. Bagian kelima mengusulkan berbagai kebijakan berdasarkan pada praktik-praktik terbaik (best practices) di berbagai negara, yang ditutup dengan kesimpulan pada bagian ketujuh. Pembahasan pada makalah ini didasarkan pada studi literatur, namun disertai juga beberapa hasil kajian empirik, khususnya untuk bagian ketiga
TIPOLOGI PETANI KECIL DAN ARAH TRANSFORMASI YANG PERLU DITEMPUH. Bab IV, pasal 12 dari UU No. 19/2013 mengatur bahwa perlindungan petani diberikan kepada petani penggarap atau pemilik-penggarap dengan luasan maksimal dua hektare untuk petani tanaman pangan1. Walaupun tidak disebut secara eksplisit, maka perlindungan tersebut diberikan secara khusus kepada petani kecil 2. Uraian pada bagian ini akan membahas lebih lanjut mengenai tipologi petani kecil dan ke mana arah transformasi petani kecil yang perlu ditempuh sebagai sasaran akhir (milestone) seperti tersirat dari amanat undang-undang di atas. Pembahasan tentang kondisi petani kecil dan prospeknya semakin intensif kembali setelah FAO menetapkan International Year of Family Farming pada tahun 2014 (FAO 2014). Secara konsepsi dan empirik, pembangunan pertanian (khususnya di negara berkembang) dicirikan oleh adanya dualisme antara keberadaan petani kecil dalam persentase yang dominan dengan perusahaan skala besar dalam persentase relatif kecil. Dualisme sendiri bukan merupakan masalah pembangunan, tetapi yang menjadi masalah adalah bahwa para petani kecil tersebut tidak mampu memperoleh pendapatan minimal untuk dapat hidup layak (OECD 2015a). Walaupun banyak variasi tentang definisi petani kecil, konsensus yang digunakan dalam literatur adalah bahwa petani kecil mereka yang mengusahakan lahan kurang dari dua hektare. Menurut Fan et al. (2013) ada 570 juta petani di dunia, 90% berupa pertanian keluarga (family farming), dan 75% di antaranya berada di Asia (60% di Tiongkok dan India). Sekitar 80% petani adalah petani kecil dengan luas lahan kurang dari dua hektare, walaupun bervariasi antarkawasan. Di Asia dan Afrika, rata-rata luas lahan sekitar 1−2 hektare, tetapi secara kontras di Amerika Utara dan Selatan rata-rata luas lahan mencapai 74−118 hektare. Perkembangan median luas lahan antarwaktu secara global menunjukkan penurunan dari 11 hektare tahun 1950 menjadi sedikit di atas lima hektare tahun 2000. Walaupun demikian, di negaranegara maju rata-rata luas lahan pada umumnya menunjukkan peningkatan (OECD 2015a). Sejalan dengan perkembangan tersebut, persentase petani kecil di negara berkembang pada umumnya terus meningkat. Misalnya di India, jumlah petani kecil meningkat dari 61,7% tahun 1960/61 menjadi
1 2
Untuk usaha tani tanaman hortikultura, perkebunan dan peternakan diatur sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Ini mungkin satu tantangan tersendiri bagi para akademisi untuk merumuskan kriteria tersebut secara konseptual. Walaupun undang-undang tidak secara eksplisit menyebutkan sasaran dari pemberdayaan petani, untuk konsistensinya, maka pemberdayaan juga diprioritaskan kepada kelompok petani yang sama.
Membangun Daya Tahan Pertanian dan Pangan melalui Pemberdayaan dan Perlindungan Sesuai UU No. 19/2013
17
80,6% tahun 2002/2003. Di Sub-Saharan Africa (SSA) jumlah petani kecil sekitar 70−85%, sedangkan di Brazil sudah relatif kecil sekitar 20,3%. Definisi tidak resmi tentang petani kecil (petani gurem) di Indonesia menggunakan batas luas lahan 0,5 hektare, khususnya untuk petani tanaman pangan (Sudaryanto et al. 2009). Dengan definisi tersebut Sensus Pertanian 2013 (BPS 2014) melaporkan jumlah pertanian keluarga sebanyak 26,1 juta (72,1%) rumah tangga (RT). Di samping itu, ada 4,2 juta unit (11,6%) perusahaan pertanian, dan 5,9 juta unit (16,3%) tipe pertanian lainnya (koperasi, lembaga keagamaan, dll.). Dari 26,1 juta petani keluarga, ada 25,8 juta petani pengelola lahan dengan rata-rata luas 0,8 hektare, dan 14,2 juta petani (55,2%) di antaranya adalah petani gurem dengan luas lahan kurang dari 0,5 hektare. Namun demikian, bila kita menggunakan definisi internasional maka 85,3% dari petani Indonesia masuk kategori petani kecil, mendekati persentase global sekitar 80%. Fan et al. (2013) dan Hazel dan Rahman (2014) menyampaikan bahwa karakteristik petani kecil tidaklah homogen. FAO (2014) membuat pengelompokan petani berdasarkan keterkaitannya dengan pasar dan kapasitasnya dalam inovasi, yaitu a) petani subsisten atau mendekati subsisten yang memproduksi komoditas pertanian terutama untuk konsumsi sendiri dan tidak ada atau kecil sekali surplus produksi untuk dijual; b) petani kecil yang sudah berorientasi pasar dan komersial, menghasilkan surplus untuk pasar, atau berpotensi untuk berorientasi pasar dan komersial bila diberikan insentif dan dukungan yang memadai; dan c) petani besar yang dikelola layaknya suatu industri, walaupun masih berupa usaha keluarga dan sebagian besar menggunakan tenaga kerja keluarga. Sebagai varian lainnya, Hazel dan Rahman (2014) membedakan petani kecil menjadi tiga kategori, yaitu 1) petani kecil komersial yang sudah terhubung baik dengan rantai nilai komoditas; 2) petani kecil dalam transisi yang telah atau akan segera memiliki kesempatan kegiatan di luar usaha tani dan akan lebih baik bila suatu saat keluar dari pertanian sama sekali; 3) petani kecil subsisten yang termarjinalkan dengan berbagai penyebab yang sulit diubah. Kelompok tersebut walaupun menjual produk pertanian dalam jumlah terbatas, tetapi pada prinsipsnya net-buyer. Memperhatikan tipologi petani kecil tersebut, maka arah transformasi yang layak ditempuh adalah dari sosok petani subsisten saat ini menjadi petani komersial yang berorientasi pasar sehingga dapat menjadi sumber penghidupan yang layak bagi para pelakunya (Fan et al. 2013). Namun, arah transformasi ini hanya bisa ditempuh bagi petani kecil yang betul-betul memiliki potensi dan tidak dibatasi oleh kendala berat seperti lahan tandus, daerah terpencil, curah hujan rendah, dll. Bagi sebagian petani yang memiliki kapasitas serta kesempatan untuk bekerja lebih baik di sektor nonpertanian harus difasilitasi untuk dapat menempuh transformasi tersebut dengan baik.
GANGGUAN EKSTERNAL (EXTERNAL SHOCKS) TERHADAP SEKTOR PERTANIAN Zseleczky dan Yosef (2015) telah membuat sintesis tentang frekuensi dan intensitas dari berbagai gangguan terhadap pertanian dan pangan di tingkat global. Mereka memasukkan lima macam gangguan eksternal yang menyebabkan deviasi pertanian dan pangan dari trend jangka panjang, yaitu bencana alam, perubahan iklim, volatilitas harga, krisis kesehatan, dan konflik sosialpolitik. Bagian ini menyajikan perkembangan kelima gangguan tersebut secara global, disertai dengan relevansinya untuk konteks Indonesia. Bencana Alam Fenomena bencana alam yang banyak menjadi perhatian dalam literatur adalah kekeringan, kebanjiran, serangan hama-penyakit, angin topan (hurricanes/cyclones), dan gempa bumi. Frekuensi dan intensitas dari berbagai kejadian bencana alam tersebut bervariasi. 1. Kekeringan Beberapa pengamatan (dan hasil citra satelit) telah mengindikasikan trend kekeringan selama 20–30 tahun di wilayah selatan Amerika Serikat dan wilayah tengah Amerika Selatan. Namun, penelitian lain tidak menemukan perubahan luas areal yang terkena dampak kekeringan selama 60 tahun lalu (Sheffield et al. 2013). Data terakhir dari laporan Intergovernmental Panel on Climate
Perlindungan dan Pemberdayaan Pertanian dalam Rangka Pencapaian Kemandirian Pangan Nasional dan Peningkatan Kesejahteraan Petani
18
Change (IPCC) menunjukkan bahwa frekuensi dan intensitas kekeringan kemungkinan besar telah meningkat di Mediterania dan Afrika Barat, namun menurun di Amerika Utara dan Australia sejak tahun 1950. Sekitar 93% dari fenomena kekeringan di Indonesia terjadi dalam masa-masa terjadi El Nino/Southern Oscillation (ENSO). Menurut Salafsky (1994), ENSO terjadi setiap siklus 3–7 tahun. Dalam periode tahun 1970–2000 telah terjadi empat kali kekeringan akibat El Nino yang kuat yang berdampak pada penurunan produksi padi secara signifikan (Naylor et al. 2001). Pada tahun 1998, kegagalan panen padi telah menyebabkan peningkatan harga biji-bijian sebesar 300%. Penurunan produksi padi di Jawa diperkirakan mencapai 4,8 juta ton selama musim kering tahun 1997–1998, atau sekitar 17% dari produksi padi di Jawa selama setahun. 2. Kebanjiran Beberapa studi yang melihat kejadian beberapa dekade ke belakang menunjukkan peningkatan precipitation and runoff yang berkontribusi terhadap terjadinya banjir. Satu studi menyimpulkan telah meningkatnya rata-rata curah hujan ekstrem secara global selama 30 tahun dan terjadinya 7% peningkatan intensitas curah hujan ekstrem setiap peningkatan suhu atmosfir global sebesar 1 °C. Peningkatan yang paling kuat terjadi di negara-negara tropis, yang juga merupakan kantong-kantong kemiskinan dunia. Penelitian-penelitian lainnya mendukung hasil tersebut, yang menyimpulkan bahwa frekuensi presipitasi ekstrem tahunan terus meningkat. 3. Serangan hama-penyakit Hama penggerek wereng coklat adalah salah satu hama yang serius merusak tanaman padi di Indonesia. Eksplosi hama penggerek wereng coklat yang meluas terjadi pada musim tanam 1974– 1975, serangan cukup berat tahun 1985–1986, dan yang terkini adalah kejadian tahun 1998 dan 2011. Pada bulan Januari 2014, Departemen Penyakit Tanaman IPB mengeluarkan perkiraan akan terjadinya serangan penggerek wereng coklat pada tahun tersebut. Kerugian diperkirakan sebesar enam juta ton gabah (empat juta ton beras) atau sekitar 12% dari total produksi setahun (walaupun dalam kenyataannya perkiraan tersebut tidak terbukti). Analisis OECD (2015) memperkirakan bahwa dengan penurunan produksi sebesar itu berdampak pada peningkatan harga beras sebesar 48% dan peningkatan jumlah penduduk yang kekurangan gizi sebesar 25% bila tidak disertai impor pangan. Namun, bila impor diperkenankan, maka peningkatan jumlah penduduk yang menderita kekurangan gizi diperkirakan hanya sebesar 16%. 4. Angin topan (hurricanes/cyclones) Walaupun peningkatan frekuensi angin topan tidak terbukti, namun ada indikasi peningkatan intensitasnya dalam beberapa dekade yang lalu. Satu studi menunjukkan bahwa terjadinya angin topan terkuat (kategori 4 dan 5) telah meningkat dua kali lipat antara tahun 1970-an dan 2010, sementara angin topan yang lebih lemah cenderung konstan. 5. Gempa bumi dan tsunami Frekuensi terjadinya gempa bumi cenderung tetap, tetapi rata-rata terjadinya gempa bumi yang fatal telah meningkat selama abad 20. Ke depan gempa bumi dengan tingkat kerusakan fatal sebesar 5.000 masih dapat diperkirakan dengan baik, tetapi dengan tingkat kerusakan 30.000 sangat sulit untuk diperkirakan. Indonesia berada pada wilayah empat lempeng tektonik yang aktif di dunia, sehingga bencana gempa bumi sering terjadi dan mengalami kejadian gempa bumi yang terkuat. Bencana gempa bumi yang terjadi di Sumatera (Aceh, Nias, tahun 2009) sebesar 7,5 skala Ritcher disertai tsunami yang menghancurkan kehidupan di sepanjang garis pantai wilayah tersebut. Bencana tersebut berdampak pada kerusakan infrastruktur, kehilangan aset, penurunan pendapatan, dan kehilangan jiwa. Diperkirakan jumlah penduduk yang terkena dampaknya sekitar 2,5 juta orang dengan nilai kerugian sebesar US$2,2 miliar. Jumlah penduduk yang kekurangan gizi diperkirakan meningkat sebesar 3% dari skenario dasar sebesar 13%.
Membangun Daya Tahan Pertanian dan Pangan melalui Pemberdayaan dan Perlindungan Sesuai UU No. 19/2013
19
Perubahan Iklim Selama tiga dekade ke belakang, suhu permukaan tercatat lebih tinggi dari dekade sebelumnya, pH air muka laut telah menurun sebesar 0,1 dari masa praindustri, tingkat emisi CO2 dan gas metan telah melewati tingkat praindustri masing-masing sebesar 40% dan 150%. Semua trend di atas diperkirakan akan terus berlanjut atau bahkan lebih parah lagi. Pada daerah yang memiliki presipitasi tinggi, suhu yang lebih panas dapat memperpanjang musim pertumbuhan tanaman, mengurangi kerusakan akibat embun, dan memperbesar permukaan akar tanaman. Di wilayah arid dan semi arid, suhu yang lebih tinggi dapat memperparah kekeringan, stress panas pada tanaman dan menurunkan hasil. Bila suhu meningkat 2,2-3,2°Celcius, produksi gandum dan jagung dunia diperkirakan turun masing-masing 14–15% dan 19–34%. Proyeksi ini didukung trend historis yang menunjukkan bahwa setiap kali terjadi suhu siang hari sebesar 30°Celcius tahun 1980–2008 menurunkan hasil jagung di Afrika sebesar 1–1,7%. Dampak perubahan iklim terhadap ketahanan pangan tergantung pada upaya mitigasi, pertumbuhan pendapatan, dan penduduk. Skenario optimis dengan pertumbuhan pendapatan tinggi dan mitigasi yang tepat diperkirakan berdampak pada penurunan anak kurang gizi di negara-negara miskin sebesar 37%. Sebaliknya, dengan skenario pesimis diperkirakan berdampak pada peningkatan anak kurang gizi di negara miskin sebesar 18% dan meningkatnya stunting parah sebesar 23–55% di Afrika dan 61% di Asia Selatan. Volatilitas Harga Dalam periode tahun 2006–2011 telah terjadi dua kali kenaikan harga-harga komoditas pertanian secara signifiikan. Harga-harga komoditas pangan di pasar internasional meningkat secara perlahan pada tahun 2006–2007 dan melonjak tajam pada awal tahun 2008. Selanjutnya, hargaharga menurun signifikan pada akhir tahun 2008, tetapi meningkat kembali pada tahun 2010 dan mencapai puncaknya (namun tidak setajam sebelumnya) pada bulan Februari 2011. Harga-harga tetap bertahan tinggi, hanya lebih rendah dari rekor harga tertinggi pada tahun 1970-an. Harga bijibijian termasuk jagung, gandum, beras di pasar internasional pada tahun 2007–2010 lebih berfluktuasi (volatile) dibanding tahun 2003–2006. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap volatilitas harga tersebut adalah penggunaan bahan pangan untuk biofuel, gangguan iklim, dan spekulasi. Mengingat faktor-faktor tersebut maka volatilitas harga diperkirakan akan terus terjadi, minimal sampai akhir dekade yang akan datang. Lonjakan harga beras di pasar internasional tidak seluruhnya ditransmisikan terhadap harga di pasar domestik karena impor beras dikendalikan pemerintah. Sebagai dampak kebijakan tersebut, harga beras di dalam negeri sekitar 37% lebih tinggi dari harga di pasar dunia. Menurut hasil simulasi OECD (2015b), bila impor dikendalikan maka lonjakan harga beras di pasar internasional tidak berpengaruh terhadap status ketahanan yang diukur dari persentase penduduk yang mengalami gizi buruk. Di pihak lain, Bank Dunia memperkirakan bahwa setiap kenaikan harga beras sebesar 10% akan berdampak pada peningkatan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 0,9 digit dan meningkatkan persentase penduduk miskin sebesar 1,3 digit. Krisis Kesehatan Terkait Keamanan Pangan dan Pertanian Transmisi patogen dari hewan ke manusia atau melalui pangan dan air yang terkontaminasi sering menjadi penyebab kesehatan terkait keamanan pangan dan pertanian. Penyakit zoonosis menyumbang sekitar 60,3% dari penyakit menular dan trend-nya terus meningkat (Jones et al. 2008). Beberapa sumber memperkirakan sekitar satu miliar kasus penyakit zoonosis endemik terjadi setiap tahun yang menyebabkan jutaan kematian (Karesh et al. 2002). Penyakit zoonosis membahayakan penduduk miskin yang terpapar terhadap hewan sakit secara langsung atau yang bertanggung jawab dalam pemeliharaan hewan ternak, kemudian jatuh sakit. Demikian juga mikotoksin yang sangat beracun dan tumbuh pada tanaman akan terus menjadi ancaman kesehatan bagi manusia dan hewan yang dipicu oleh berbagai faktor seperti kekeringan, curah hujan dan kelembaban tinggi, serta perubahan iklim. Dalam tipe gangguan ini, serangan flu burung strain H5N1 telah berdampak signifikan terhadap produksi dan konsumsi produk unggas Indonesia. Virus tersebut dapat menular dari unggas ke
Perlindungan dan Pemberdayaan Pertanian dalam Rangka Pencapaian Kemandirian Pangan Nasional dan Peningkatan Kesejahteraan Petani
20
manusia, sehingga sampai bulan Mei 2006 sekitar 37 orang yang tertular dilaporkan meninggal. Untuk menghambat penyebaran virus tersebut, sekitar 25% unggas di Jawa Tengah dan Bali harus dimusnahkan. Di antara 30 provinsi di Indonesia, 15 provinsi dilaporkan terkena secara signifikan. Penyerapan kerja dalam industri perunggasan menurun sebesar 23% dan 20% dari populasi unggas telah mati. Kerugian ekonomi diperkirakan sekitar US$171 juta (Hall et al. 2006). Kejadian serupa diperkirakan dapat terulang setiap 15 tahun (OECD 2015b). Konflik Sosial-Politik Sejak tahun 1970-an, periode tahun 2000–2009 adalah dekade dengan intensitas konflik terendah. Sekitar 90% dari konflik yang terjadi di negara-negara yang sebelumnya mengalami perang saudara. Berdasarkan sifatnya, jumlah kejadian perang telah menurun 50% dari tahun 1980 sampai dekade pertama abad ini, dan kematian yang diakibatkan pertempuran menurun sekitar 76% sejak tahun 1989, tetapi konflik yang terjadi dengan bantuan militer negara lain rata-rata dua kali lebih mematikan dibanding dengan tidak ada intervensi asing. Dengan stabilitas sosial-politik yang terjaga dengan baik, Indonesia patut bersyukur selama ini tidak mengalami masalah konflik sosial-politik yang serius. Namun, peristiwa-peristiwa yang terjadi secara lokal di beberapa daerah tetap mengganggu keberlanjutan kehidupan penduduk setempat yang memerlukan penanganan yang memadai.
KONSEPSI DAYA TAHAN (RESILIENCE) SEKTOR PERTANIAN DAN PANGAN Istilah daya tahan (resilience) pada awalnya lebih banyak digunakan dalam bidang teknik (Hoddinott 2014). Pada awal 1970 banyak peneliti mulai menerapkan konsep tersebut pada bidang ekologi, yang kemudian dalam ilmu sosial banyak dipakai pada analisis-analisis psikologi. Pemahaman dan penggunaan istilah tersebut pada bidang pembangunan, terutama terkait ketahanan pangan dan gizi, masih relatif baru (Bene et al. 2012; FAO 2013). Dari konseptualisasi pada berbagai bidang tersebut, maka dapat dimaknai: ”resilience is an ability to respond to transitory adverse events (shocks) or more persistent adverse trends (stressors or disturbances)”. Konsep tersebut dapat digunakan pada berbagai tingkatan agregasi, yaitu individu, rumah tangga, masyarakat, organisasi atau sistem, dan negara. Secara lebih konseptual, Constas et al. (2014) mendefinisikan “resilience is the capacity that ensures adverse stressors and shocks do not have long-lasting development consequences”. Konsep ini menghubungkan kegiatan bantuan kemanusiaan (humanitarian) jangka pendek dengan kegiatan pembangunan jangka panjang dan memastikan bahwa program pembangunan jangka panjang memperhatikan kerentanan (vulnerability) dalam jangka pendek (Fan et al. 2014). Sehubungan itu Fan et al. (2014) mendefinisikan “resilience is the capacity of people, communities, countries, and global institutions to anticipate, prepare for, cope with, and recover from shocks and not only bounce back to where they were before the shocks occurred but become better-off” Dengan definisi tersebut Hoddinott (2014) menyajikan ilustrasi daya tahan dalam kasus ketahanan pangan seperti terlihat pada Gambar 1–3. Pada Gambar 1 terdapat enam tipe rumah tangga (RT) dengan tingkat ketahanan pangan (diukur dengan food consumption scale, FCS, atau indikator lainnya) digambarkan dengan segi enam dan garis horizontal menunjukkan variabilitas yang bergerak ke sebelah kiri segi enam tersebut. Seperti terlihat di gambar, empat RT yaitu A, D, E dan F termasuk tahan pangan (berada di sebelah kanan garis vertikal FCS minimum), sedangkan dua RT yaitu B dan E tidak tahan (terletak sebelah kiri garis vertikal). Selain itu, lima RT yaitu A, B, C, D, dan E termasuk rentan yang dapat mengalami status tidak tahan pangan bila ada gangguan eksternal. Misalkan terjadi bencana alam (atau gangguan eksternal lainnya) yang menyebabkan posisi ketahahan pangan semua RT bergeser ke kiri dengan posisi berikutnya seperti digambarkan bentuk diamond (Gambar 2). Perbedaan jarak pergeseran tersebut menunjukkan sampai sejauh mana RT mengalami dampak bencana tersebut. Setelah terjadi bencana maka lima RT sekarang berstatus tidak tahan pangan. Mengingat setiap RT memiliki daya tahan dan melakukan respons yang berbeda, maka posisi akhir setelah bencana berlalu seperti digambarkan dengan lingkaran (Gambar 3). Dengan posisi tersebut maka RT A dan F dapat disimpulkan memiliki daya tahan, karena mampu kembali ke posisi sebelum bencana (untuk F bahkan lebih baik). RT B dan C memiliki daya tahan
Membangun Daya Tahan Pertanian dan Pangan melalui Pemberdayaan dan Perlindungan Sesuai UU No. 19/2013
21
secara parsial dalam arti mereka mampu mengarah ke posisi semula, tetapi tidak sepenuhnya. RT D memiliki daya tahan tetapi posisinya masih tetap masih berada sebelah kiri garis vertikal (rawan pangan).
Sumber: Hoddinott (2014)
Gambar 1. Status ketahanan pangan sebelum terjadi bencana
Sumber: Hoddinott (2014)
Gambar 2. Status ketahanan pangan setelah terjadi bencana
Perlindungan dan Pemberdayaan Pertanian dalam Rangka Pencapaian Kemandirian Pangan Nasional dan Peningkatan Kesejahteraan Petani
22
Tendall et al. (2015) menguraikan lebih lanjut unsur-unsur daya tahan dalam konteks ketahanan pangan dalam suatu siklus, yang meliputi 1) robustness, or the capacity towithstand the disturbance in the first place before any food security is lost; 2) redundancy, or the extent to which elements of the system are replaceable; 3) the flexibility and thus rapidity (or food system reactivity) with which the food system is able to recover any lost food security; 4) resourcefulness and adaptability, which determines just how much of the lost food security is recovered. Secara bersamasama berbagai unsur kapasitas tersebut membentuk basis the food system resilience action cycle.
Sumber: Hoddinott (2014)
Gambar 3. Status ketahanan pangan setelah pada fase pemulihan Dengan ilustrasi di atas, apakah daya tahan merupakan kebalikan dari kerentanan (vulnerability)? Kerentanan mengandung makna peluang seseorang di masa yang akan datang akan jatuh pada tingkat kesejahteraan di bawah norma tertentu. Kerentanan berkaitan dengan pertanyaan: apakah seseorang akan jatuh miskin? Sedangkan konsep daya tahan berkaitan dengan pertanyaan: apakah gangguan eksternal memiliki konsekuensi dampak negatif jangka panjang? Pertanyaan lain yang juga relevan adalah perbedaan antara keberlanjutan (sustainability) dan daya tahan (resilience). Menurut Tendall et al. (2015), keberlanjutan menunjukkan kapasitas suatu sistem untuk mencapai tujuan saat ini tanpa mengorbankan kapasitas untuk mencapai tujuan masa datang, sedangkan daya tahan menunjukkan kapasitas sistem secara dinamis untuk terus mencapai suatu tujuan walaupun ada gangguan eksternal. Dengan demikian kedua konsep bersifat komplementer. Konsep daya tahan perlu diterapkan pada konteks suatu sistem secara keseluruhan, tidak hanya pada suatu komponen saja (Tendal et al. 2015). Walaupun suatu gangguan mungkin memengaruhi secara langsung satu komponen tertentu (misalnya produksi), tetapi komponenkomponen lainnya juga akan ikut terpengaruh. Selanjutnya suatu sistem dapat dinyatakan tahan terhadap satu jenis gangguan, belum tentu tahan terhadap jenis gangguan lainnya. Berkaitan dengan pengukuran diperlukan pengukuran kondisi sebelum gangguan terjadi dan setelah gangguan menimbulkan dampaknya terhadap individu, rumah tangga atau masyarakat (Hoddinott 2014). Pengukuran tentang dampak dari gangguan dapat mengandalkan pada ketersediaan data yang selama ini dikumpulkan (ketahanan pangan, status gizi, dll.). Namun demikian, pengukuran kapasitas sebelum gangguan adalah proses yang kompleks memerlukan pembuatan skala atau indeks yang meliputi indikator-indikator pemilikan aset, kegiatan produktif, dan
Membangun Daya Tahan Pertanian dan Pangan melalui Pemberdayaan dan Perlindungan Sesuai UU No. 19/2013
23
outcome. Analisis dalam aspek ini masih pada tahap awal dan masih memerlukan berbagai penelitian lanjutan. Barrett and Heady (2014) lebih lanjut menyampaikan bahwa pengukuran daya tahan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a) dilakukan dengan frekuensi tinggi dibanding survei yang konvensional; b) dilakukan pengukuran berulang dalam jangka waktu yang panjang; c) memerlukan indikator yang cukup sensitif untuk mengukur gangguan, tingkat kesejahteraan dan strategi mengatasinya; d) dilakukan pada berbagai tingkatan mulai dari individu, keluarga, masyarakat, dan sistem. Dengan pemahaman konsepsi daya tahan seperti di atas, maka secara implisit komponen “pemberdayaan” dan “perlindungan dari UU No. 19/2013 adalah sebagian instrumen dalam rangka membangun daya tahan. Perlindungan menunjukkan beberapa instrumen kebijakan dalam rangka mengatasi dampak dari ganguan eksternal (kebijakan jangka pendek), sedangkan pemberdayaan lebih bersifat jangka panjang, untuk membangun kapasitas dari sektor pertanian dan pangan (terutama sosok petaninya). Pembahasan daya tahan yang banyak dimuat dalam literatur terutama difokuskan pada daya tahan dalam konteks ketahahan pangan. Namun demikian, secara konseptual paradigma tersebut dapat diperluas dalam rangka membangun sektor pertanian secara luas. Oleh karena itu, suatu tantangan tersendiri bagi para analisis untuk mengembangkan penerapan dari konsep tersebut pada sektor pertanian secara lebih luas.
KERANGKA KEBIJAKAN MEMBANGUN DAYA TAHAN Seperti telah disampaikan sebelumnya, daya tahan adalah konsep masih relatif baru yang memerlukan advokasi dan sosialisasi pengarusutamaan konsep tersebut dalam pembangunan pertanian. Demikian juga berbagai penelitian masih diperlukan untuk memperoleh pemahaman yang memadai tentang berbagai unsur dari konsep tersebut, sehingga kebijakan yang dirumuskan menjadi lebih baik lagi. Namun demikian, berdasarkan pengalaman berbagai stakeholder di berbagai negara dapat dipertimbangkan beberapa prinsip dan langkah kebijakan dalam rangka membangun daya tahan sektor pertanian dan pangan, seperti diuraikan berikut ini (Fan et al. 2014b). 1. Perubahan iklim Membangun daya tahan terhadap perubahan iklim melalui pengelolaan lahan berkelanjutan dan climate-smart agriculture, memerlukan langkah-langkah: a) memperluas penelitian, pengembangan dan penyuluhan untuk meningkatkan daya tahan pertanian terhadap berbagai cekaman seperti, udara panas, kekeringan, banjir, kemasaman, dan serangan hama-penyakit; b) mendorong pengembangan instrumen manajemen risiko, seperti asuransi terhadap gangguan cuaca; c) mendorong pengembangan modal sosial; dan d) mengembangan diversifikasi kegiatan usaha dan jenis tanam. 2. Bencana alam Langkah-langkah untuk meningkatkan daya tahan terhadap bencana alam mencakup: a) investasi pada metode-metode baru untuk melakukan deteksi dini tentang kemungkinan terjadinya bencana alam disertai dengan penyebaran informasi yang cepat dan luas; b) perlindungan sosial untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk yang terdampak disertai menampung aspirasi mereka untuk masa datang; c) mitigasi dampak bencana alam bagi penduduk rentan seperti wanita dan anakanak yang dampaknya bersifat antargenerasi; d) membangun kembali kegiatan ekonomi lokal, terutama pertanian dan pangan, segera setelah bencana tiba. 3. Krisis kesehatan Kegiatan-kegiatan untuk mengatasi krisis kesehatan yang dapat dipertimbangkan adalah a) membangun kapasitas pada tingkat individu dan kelompok dalam memperkuat sistem kesehatan dan meningkatkan akses terhadap pelayanan kesehatan; b) fokus pada sistem pelayanan kesehatan yang baik dan bukan pada intervensi yang spesifik; c) membangun program pertanian dan pangan yang sensitif terhadap aspek gizi (nutrition-sensitive) dan kaitkan program-program tersebut dengan program perlindungan sosial, kesehatan, air dan sanitasi, serta pendidikan.
Perlindungan dan Pemberdayaan Pertanian dalam Rangka Pencapaian Kemandirian Pangan Nasional dan Peningkatan Kesejahteraan Petani
24
Langkah-langkah untuk menangani setiap jenis gangguan secara spesifik sangat diperlukan, tetapi tidak mencukupi. Setiap jenis gangguan memengaruhi unsur-unsur lain dalam keseluruhan sistem pertanian. Oleh karena itu, diperlukan penanganan secara sistematik dan menyeluruh untuk membangun daya tahan yang mampu memperkirakan, menghindari, dan melakukan mitigasi terhadap gangguan pada keseluruhan sistem pertanian. Penyusunan Program dan Kebijakan yang Terintegrasi Mengingat daya tahan adalah konsep bersifat sistem, maka diperlukan penelitian, penyusunan program, dan kebijakan antarsektor. Penelitian perlu dilakukan lintas disiplin menggunakan data kuantitatif maupun kualitatif. Program-program di lapangan memerlukan koordinasi antarberbagai mitra, dan membantu melakukan transisi dari kegiatan yang bersifat jangka pendek dan berdiri sendiri menjadi program jangka panjang yang melibatkan berbagai proyek yang komplementer untuk mencapai satu sasaran bersama. Perbaikan dalam Rancang Bangun Program intervensi di lapangan harus didasarkan pada informasi risiko yang komprehensif, telaahan multisektor yang mencakup semua unsur yang memengaruhi sistem pertanian yang dikaji. Rancang bangun program perlu mempertimbangkan peranan wanita yang sangat rentan untuk terperangkap dalam kemiskinan dan rentan terhadap penyesuaian pola konsumsi yang berpengaruh negatif dalam jangka panjang. Aspek gizi perlu disusun secara eksplisit pada fase perencanaan program. Pengukuran Daya Tahan Perlu dirumuskan pertanyaan-pertanyaan menyangkut apa yang diukur, siapa yang diukur, frekuensi pengukuran, metode apa, dan pada skala mana pengukuran dilakukan. Pengukuran daya tahan perlu membedakan pengukuran ex-ante, bagaimana kondisi sebelum terjadi gangguan dan pengukuran ex-post setelah kejadian berlangsung, dan sampai sejauh mana individu atau masyarakat mampu kembali ke posisi sebelum terjadi gangguan. Berdasarkan pada Sumber Daya dan Pengetahuan Lokal Banyak kelompok masyarakat yang terkena dampak gangguan eksternal telah memiliki sumber daya dan pengetahuan tentang bagaimana mengatasi masalah tersebut. Praktisi dan perumus kebijakan perlu mempertimbangkan pengetahuan lokal dalam menyusun rancang bangun dan melaksanakan program intervensi. Peningkatan Kapasitas pada Berbagai Tingkatan Membangun daya tahan esensinya adalah membangun kapasitas dari semua tingkatan, mulai individu, masyarakat, organisasi, dan sistem. Sehubungan itu diperlukan kajian tentang kebutuhan peningkatan kapasitas pada berbagai tingkatan agar program yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. Peningkatan Pengetahuan Melalui Penelitian Pada saat ini dirasakan ada jarak (gap) dalam pengetahuan tentang berbagai dimensi daya tahan. Sehubungan itu diperlukan peningkatan intensitas penelitian yang difokuskan pada a) analisis untuk memperkirakan terjadinya gangguan dan dampaknya dengan lebih baik; b) studi kasus untuk memahami keberhasilan (success story) dari berbagai program intervensi mengatasi dampak gangguan untuk diperluas (scale up) di lokasi-lokasi lainnya; c) memahami peran dari komunitas lokal dalam mengantisipasi dan mengatasi dampak gangguan; d) mengidentikasi pendekatan yang lebih baik dalam membangun kapasitas pada berbagai tingkatan. UU No. 19/2013 memberikan amanat tentang perlindungan dan pemberdayaan petani dalam rangka mewujudkan kegiatan usaha tani yang produktif dan pada akhirnya dapat memberikan kesejahteraan bagi para pelakunya. Beberapa unsur dalam strategi perlindungan yang relevan untuk mengatasi dampak gangguan eksternal adalah a) ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa; b) sistem peringatan dini dan penanganan dampak perubahan iklim; dan c) asuransi pertanian. Beberapa unsur lainnya dari strategi perlindungan lebih cenderung masuk kategori lingkungan
Membangun Daya Tahan Pertanian dan Pangan melalui Pemberdayaan dan Perlindungan Sesuai UU No. 19/2013
25
pemampu (enabling environments) dalam rangka membangun daya tahan pertanian. Unsur-unsur tersebut adalah a) kepastian usaha; b) harga komoditas pertanian (untuk memberikan insentif yang memadai3; c) penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi (meningkatkan daya saing melalui pengurangan biaya administratif). Seperti diuraikan pada pasal 40 dari undang-undang tersebut: “Pemberdayaan petani dilakukan untuk memajukan dan mengembangkan pola pikir dan pola kerja petani, meningkatkan usaha tani, serta menumbuhkan dan menguatkan kelembagaan petani agar mampu mandiri dan berdaya saing tinggi.” Konsep tersebut pada prinsipnya sejalan dengan upaya dan sasaran membangun daya pertanian. Strategi pemberdayaan semuanya relevan walaupun tidak harus semuanya dilakukan oleh pemerintah. Strategi-strategi tersebut adalah a) pendidikan dan pelatihan; b) penyuluhan dan pendampingan; c) pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil pertanian; d) konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian; e) penyediaan fasilitas pembiayaan dan permodalan; e) kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi; dan f) penguatan kelembagaan petani.
KESIMPULAN DAN SARAN Sektor pertanian dan pangan dihadapkan pada berbagai gangguan eksternal (shocks, disturbances, stressor) yang meliputi bencana alam, perubahan iklim, volatilitas harga, dan konflik sosial-politik. Berbagai gangguan tersebut cenderung semakin sering frekuensinya dengan intensitas yang makin tinggi dan berdampak luas terhadap ketahanan pangan, pendapatan petani, aset dan infrastruktur, serta keberlanjutan kehidupan masyarakat perdesaan. Perhatian pemerintah, LSM, lembaga internasional maupun stakeholder lainnya pada umumnya lebih difokuskan pada mengatasi dampak langsung dari berbagai gangguan tersebut. Kurang sekali perhatian pada isu bagaimana membangun individu, masyarakat maupun sistem pertanian secara umum untuk dapat mengantisipasi, mempersiapkan dan mengatasi dampak gangguan tersebut sehingga dapat kembali ke posisi sebelum gangguan terjadi bahkan bisa lebih baik lagi. Sehubungan itu diperlukan penggunaan paradigma daya tahan (resilience) sebagai kerangka untuk mengorganisasikan berbagai upaya tersebut. Konsep tersebut berperan dalam menggabungkan upaya bantuan kemanusiaan (humanitarian aid) jangka pendek dengan membangun kapasitas sistem pertanian dalam jangka panjang. Strategi membangun daya tahan pertanian perlu dilakukan menggunakan pendekatan sistem dengan kebijakan dan program secara terintegrasi, memperhatikan sumber daya dan pengetahuan lokal. Beberapa kebijakan perlu dilakukan secara spesifik sesuai jenis gangguan yang diantisipasi atau dihadapi. Beberapa pasal dari UU No. 19/2003 sejalan dengan sasaran untuk melindungi petani dari gangguan eksternal (terutama jangka pendek) dan membangun daya tahan petani dan pertanian melalui pemberdayaan dalam jangka panjang. Untuk mempertajam kebijakan membangun daya tahan pertanian yang lebih baik diperlukan kegiatan penelitian secara sistematis yang difokuskan pada a) analisis untuk memperkirakan terjadinya gangguan dan dampaknya dengan lebih baik; b) studi kasus untuk memahami keberhasilan (success story) tentang berbagai program intervensi mengatasi dampak gangguan tersebut; c) memahami peran dari komunitas lokal dalam mengantisipasi dan mengatasi dampak gangguan; dan d) mengidentikasi pendekatan yang lebih baik dalam membangun kapasitas pada berbagai tingkatan.
DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Sensus pertanian 2013: angka tetap [Internet]. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik; [diunduh 2014 Des 23]. Tersedia dari: http:// www.bps.go.id. Barrett CB, Headey D. 2014. A proposal for measuring resilience in a risky world. In: Fan S, Pandya-Lorch R, Yosef S, editors. Resilience for food and nutrition security. Washington, DC (US): International Food Policy Research Institute (IFPRI). Available from: http://dx.doi.org/10.2499/9780896296787.
3
Beberapa instrumen spesifik tentang aspek ini seperti tarif, tempat pelabuhan, dan persyaratan administratif dapat mengundang pertanyaan karena menghambat kegiatan perdagangan yang tidak sejalan dengan ketentuan WTO.
Perlindungan dan Pemberdayaan Pertanian dalam Rangka Pencapaian Kemandirian Pangan Nasional dan Peningkatan Kesejahteraan Petani
26
Bene C, Wood R, Newsham A, Davies M. 2012. Resilience: new utopia or new tyranny? Reflection about the potentials and limits of the concept of resilience in relation to vulnerability reduction programmes. Centre for Social Protection Working Paper 6. Brighton (GB): Institute of Development Studies. Constas M, Frankenberger T, Hoddinott J. 2014. Resilience measurement principles. Food Security Information Network Technical Series 1. Rome (IT): Food and Agriculture Organization and World Food Programme. Fan S, Brzeska J, Keyzer M, Halsema A. 2013. From subsistence to profit: transforming smallholder farms. Food Policy Report. Washington, DC (US): International Food Policy Research Institute (IFPRI). Fan S, Pandya-Lorch R, Yosef S, Fritschel H, Zseleczky L. 2014. The way forward for building resilience. In: Fan S, Pandya-Lorch R, Yosef S, editors. Resilience for food and nutrition security. Washington, DC (US): International Food Policy Research Institute (IFPRI). Available from: http://dx.doi.org/10.2499/9780896296787. Fan S, Pandya-Lorch R, Yosef S, editors. 2014. Resilience for food and nutrition security. Washington, DC (US): International Food Policy Research Institute (IFPRI). Available from: http://dx.doi.org/10.2499/9780896296787. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2013. Resilient livelihoods-disaster risk reduction for food and nutrition security framework programme. Rome (IT): Food and Agriculture Organization. 93 p. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2014. International year of family farming (IYFF). Rome (IT): Food and Agriculture Organization Hall DH, Benigno C, Kalpravidth W. 2006. The impact of avian influenza on small and medium scale poultry producers in South Easth Asia (preliminary findings). Selected paper for presentation at the American Agricultural Economics Association Annual Meeting; 2006 Jul 23-26; Long Beach, California, USA. Hazell P, Rahman A, editors. 2014. New direction for smallholder agriculture. Oxford (GB): International Fund for Agricultural Development (IFAD) and Oxford University Press. Hoddinott, J. 2014. Looking at development through a resilience lens. In: Fan S, Pandya-Lorch R, Yosef S, editors. Resilience for food and nutrition security. Washington, DC (US): International Food Policy Research Institute (IFPRI). Available from: http://dx.doi.org/10.2499/9780896296787. Jones KE, Patel NG, Levy MA, Storygard A, Balik D, Gittleman GL, Daszak P. 2008. Global Trend in Infectious Diseases. Nature 451:990–994. Karesh WB, Dobson A, Lloyd-Smith JO, Lubroth J, Dixon MA, Bennett M, Aldrich S, Harrington T, Formenty P, Loh EH, Machalaba CC, Thomas MJ, Heymann DL. 2012. Ecology of zoonoses: natural and unnatural histories. Lancet 380:1936–1945. Kementerian Pertanian. 2015. Rencana strategis Kementerian Pertanian tahun 2015-2019. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian. Naylor RL, Falcon WP, Rochberg D, Wada N. 2001. Using El-Nino/Southern Oscillation climate data to predict rice production in Indonesia. Climate Change. 50:255–265. [OECD]. Organization for Economic Cooperation and Development. 2015a. Strategies for addressing agricultural dualism and facilitating structural transformation. TAD/CA/APM?WP(2014)30/REV1. Paris (FR): Trade and Agriculture Directorate, Committee for Agriculture. [OECD]. Organization for Economic Cooperation and Development. 2015b. Managing food insecurity risk: analythical framework and application to Indonesia. Paris (FR): OECD Publishing. Available from: http://dx.doi.org/10.1787/9789264233874-en. Salafsky N. 1994. Drought in the rain forest: effects of 1991 El-Nino-Southern Oscillation event on a rural economy in West Kalimantan, Indonesia. Climate Change. 27:373–396. Sheffield J, Wood E, Roderick M. 2013. Little change in global drought over the past 60 years. Natare 491:435438. Sudaryanto T, Susilowati SH, Sumaryanto. 2009. Increasing number of small farms in Indonesia: causes and consequencies. European Association of Agricultural Economist, 111th Seminar; 2009 Jun 26-27; Canterbury, UK. Tendall DM, Joerin J, Kopainsky B, Edwards P, Shreck A, Le QB, Kruetli P, Grant M, Six J. 2015. Food System Resilience: Defining the Concept. Global Food Security. 6(15):17-23. Zseleczky L, Yosef S. 2014. Are shocks becoming more frequent or intense? In: Fan S, Pandya-Lorch R, Yosef S, editors. 2014. Resilience for food and nutrition security. Washington, DC (US): International Food Policy Research Institute (IFPRI). Available from: http://dx.doi.org/10.2499/9780896296787.