MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 48 DAN 62/PUU-XI/2013
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PEMERIKSA KEUANGAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN DPR, BPK, SERTA AHLI/SAKSI PEMOHON, DAN PEMERINTAH (VI)
JAKARTA RABU, 4 SEPTEMBER 2013
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 48 DAN 62/PUU-XI/2013 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara [Pasal 2 huruf g dan huruf i] dan Pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan [Pasal 9 ayat (1) huruf b, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3) huruf b, serta Pasal 11 huruf a] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON PERKARA NOMOR 48/PUU-XI/2013: 1. Arifin P. Soeria Atmadja 2. R.M. Sigid Edi Sutomo
3. Machfud Sidik
PEMOHON PERKARA NOMOR 62/PUU-XI/2013: 1. Forum Hukum Badan Usaha Milik Negara
2. Omay Komar Wiraatmadja 3. Sutrisno
ACARA Mendengarkan Keterangan DPR, BPK, serta Ahli/Saksi Pemohon, dan Pemerintah (VI) Rabu, 4 September 2013, Pukul 10.45 – 12.49 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
SUSUNAN PERSIDANGAN M. Akil Mochtar Hamdan Zoelva Ahmad Fadlil Sumadi Maria Farida Indrati Harjono Arief Hidayat Muhammad Alim Anwar Usman Patrialis Akbar
Ery Satria Pamungkas Wiwik Budi Wasito
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti Panitera Pengganti i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon Perkara Nomor 48/PUU-XI/2013: 1. Machfud Sidik 2. Tjip Ismail 3. Darminto Hartono B. Ahli dari Pemohon Perkara Nomor 48/PUU-XI/2013: 1. Marzuki Usman C. Saksi dari Pemohon Perkara Nomor 48/PUU-XI/2013: 1. Mintarjo Halim D. Pemohon Perkara Nomor 62/PUU-XI/2013: 1. Sutrisno E. Ahli dari Pemohon Perkara Nomor 62/PUU-XI/2013: 1. Nindyo Pramono F. Saksi dari Pemohon Perkara Nomor 62/PUU-XI/2013: 1. 2. 3. 4.
Erwin Nasution Gathot Harsono R. J. Lino Ignasius Jonan
G. Pemerintah: 1. 2. 3. 4. 5.
Hana S.J. Kartika Iskandar Hadiyanto Indra Surya Tavianto Nugroho
H. DPR: 1. Al Muzammil Yusuf I. BPK: 1. Hasan Bisri 2. Agus Joko Pramono
(Ketua BPK) (Anggota III) ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 10.45 WIB 1.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR Sidang dalam Perkara 62/PUU-XI/2013 dan 48/PUU-XI/2013 Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 saya nyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Pemohon 48 hadir? Hadir, Pak ya. 62?
2.
PEMOHON PERKARA NOMOR 62/PUU-XI/2013: Hadir, Yang Mulia.
3.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR Hadir, baik. Pemerintah? Hadir, ya. DPR? Alhamdulillah hadir hari ini, DPR. Kemudian kita panggil juga BPK hadir ya? hadir. Lalu ada ahli dan saksi. Baiklah, hari ini kita akan mendengar keterangan ahli dan saksi masing-masing dari perkara 48 dan 62, tetapi sebelum itu karena DPR belum memberikan keterangan DPR pada persidangan ini, demikian juga BPK atas permintaan dari Mahkamah, maka terlebih dahulu kita akan mendengar keterangan DPR. Saya persilakan Pak Al Muzammil menggunakan mimbar, Pak, silakan!
4.
DPR: AL MUZAMMIL YUSUF Bismillahhirahmaniirahim, assalammualaikum wr.wb. Keterangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atas permohonan uji meteriil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam perkara Nomor 48/PUU-XI/2013, Nomor 62/PUU-XI/2013. Kepada yang kami hormati Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia di Jakarta. Berdasarkan keputusan pimpinan DPR-RI Nomor 37/Pimpinan/II/2012-2013, tanggal 10 Desember 2012 telah menugaskan anggota komisi III DPR-RI sebanyak 13 orang yang hari ini dihadiri oleh saya, Drs. Al Muzammil Yusuf, M.Si., Nomor anggota A56, dalam hal ini baik secara bersama-sama maupun 1
sendiri-sendiri bertindak untuk dan atas nama DPR-RI yang selanjutnya disebut DPR. Sehubungan dengan permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu: 1. Perkara 48/PUU-XI/2013 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, selanjutnya disebut Undang-Undang Keuangan Negara, yang diajukan oleh Central for Strategic Studies University of Indonesia, dalam hal ini diwakili oleh pengurusnya, Prof. Dr. Arifin P. Soeria Atmadja, S.H., dan kawan-kawan. Selanjutnya disebut Pemohon. 2. Perkara 62/PUU-XI/2013 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Selanjutnya disebut Undang-Undang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, selanjutnya disebut Undang-Undang BPK, yang diajukan oleh: a. Forum Hukum Badan Usaha Milik Negara yang diwakili oleh pengurusnya, Hendra dan kawan-kawan. Selanjutnya disebut Pemohon I. b. Drs. Omay Komar Wiraatmadja, selaku warga negara Indonesia, selanjutnya disebut Pemohon II. c. Dr. Ir. Sutrisno Sastroredjo selaku warga negara Indonesia, selanjutnya disebut Pemohon III. Pemohon I, II, dan III selanjutnya secara bersama-sama disebut para Pemohon. Dengan ini DPR menyampaikan keterangan pendahuluan terhadap permohonan pengujian atas Undang-Undang Keuangan Negara dan Undang-Undang BPK terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam perkara Nomor 48/PUU-XI/2013 dan perkara Nomor 62/PUU-XI/2013 yang secara lengkap akan kami sampaikan secara tertulis melalui Panitera Mahkamah Konstitusi. Keterangan DPR-RI terhadap dalil para Pemohon sebagaimana diuraikan dalam permohonan a quo, DPR dalam penyampaian pandangannya terlebih dahulu menguraikan mengenai kedudukan hukum atau legal standing dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon. Mengenai kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan melihat apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak sebagaimana diatur oleh Pasal 51 ayat (1) undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan perkara Nomor 011/PUU-V/2007.
2
2. Pengajuan atas Undang-Undang Keuangan Negara dan UndangUndang BPK terhadap pengujian Pasal 2 huruf g dan huruf i UndangUndang Keuangan Negara dan Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) huruf b, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3) huruf b, Pasal 11 huruf a Undang-Undang BPK, DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut. 1. Bahwa dalam rangka pencapaian tujuan bernegara, dibentuk pemerintahan negara yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan, khususnya dalam penyelenggaraan sistem pengelolaan keuangan negara yang sesuai dengan amanat Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 23C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, Pasal 23 ayat (1), “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Pasal 23C, “Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang.” 2. Bahwa pada prinsipnya sebagai negara yang berkedaulatan rakyat berdasarkan hukum dan pemerintahan negara berdasarkan konstitusi, maka sistem pengelolaan keuangan negara harus sesuai dengan aturan pokok yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dalam hal ini telah tercantum dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab Kedelapan, Hal Keuangan. Sebagai instrumen kebijakan ekonomi, anggaran befungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian, serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. 3. Bahwa sebagai upaya untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Tahun 1945, Pasal 23 ayat (1), maka ditetapkanlah APBN setiap tahunnya dalam bentuk undangundang yang merupakan rencana keuangan pemerintahan negara tahunan dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan untuk mencapai tujuan bernegara. Pengelolaan keuangan negara tersebut mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban. Di samping itu, Pasal 23C UndangUndang Dasar Tahun 1945 juga mengamanatkan untuk mengatur hal-hal lain mengenai keuangan negara dengan undang-undang. 4. Bahwa untuk menjamin terjadinya pengelolaan keuangan negara yang baik, maka pengelolaan keuangan negara harus 3
dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundangundangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Untuk itu, maka berdasarkan amanat Pasal 23C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam pelaksanaannya perlu dirumuskan keuangan negara serta ruang lingkupnya. Tertuang dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 Undang-Undang Keuangan Negara. 5. Bahwa berdasarkan rumusan bunyi Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 undang-undang a quo, maka pendekatan yang digunakan dalam rumusan keuangan negara dapat dilihat dari sisi objek, subjek, proses, dan tujuan. Dari sisi objek, keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter, dan pengelolaan keuangan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara terhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subjek, keuangan negara meliputi seluruh objek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara dan/atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut di atas, mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan, dan hubungan hukum yang berkaitan dengan kepemilikan dan/atau penguasaan objek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. 6. Bahwa sebagai bagian dari prinsip akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan negara, maka pada prinsipnya penggunaan sekecil apa pun keuangan negara harus dapat dipertanggungjawabkan oleh penggunanya atau oleh siapa pun yang mendapat dana atau fasilitas yang bersumber dari keuangan negara tanpa terkecuali sebagai bentuk tanggung jawab kepada rakyat dalam kedaulatan yang sesungguhnya. Bentuk pertanggungjawaban kepada rakyat tidak lain adalah melalui mekanisme Undang-Undang APBN, baik dalam bentuk Undang-Undang Penetapan atau Perubahan APBN maupun Undang-Undang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN. 7. Bahwa APBN sebagai wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap tahun dengan undang-undang, di 4
8.
9.
10.
11.
dalamnya mencakup anggaran pendapatan negara, anggaran belanja negara, dan pembiayaan anggaran. Masing-masing anggaran tersebut pada prinsipnya saling terkait dalam mewujudkan satu APBN yang utuh. Seberapa pun anggaran yang ditentukan akan mempengaruhi terhadap jenis anggaran lainnya, sehingga harus dihitung secara benar, transparan, dan bertanggung jawab. Termasuk anggaran-anggaran yang dialokasikan kepada pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan dari kekayaan negara dan/atau dari fasilitas yang diberikan pemerintah dengan menggunakan keuangan negara. Hal ini tidak lain adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi anggaran sebagai alat akuntabilitas. Sehingga aspek pertanggungjawaban oleh penerimanya adalah satu keniscayaan. Aspek pertanggungjawaban pada akhirnya akan menjamin kepastian dan kesinambungan dari anggaran itu sendiri. Bahwa dalam memahami konteks kedudukan keuangan negara sebagai kekayaan yang dipisahkan dalam Badan Usaha Milik Negara atau milik daerah atau badan hukum yang menggunakan fasilitas pemerintah memang diperlukan kehatihatian dengan tujuan untuk menjaga kekayaan negara tidak hilang begitu saja tanpa bisa dipertanggungjawabkan atau pun negara menanggung beban kewajiban terlalu jauh. Bahwa lingkup keuangan negara yang memasukan kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara atau perusahaan daerah dan kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah sebagai bagian dari keuangan negara sudah sesuai dengan asas-asas universal yang dikenal sebagai based practices dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain akuntabilitas, profesionalitas, proporsionalitas, keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, dan pengurusan keuangan oleh badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri. Bahwa terkait dengan pengujian Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) huruf b, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3) huruf b, Pasal 11 huruf a Undang-Undang BPK, DPR berpanda … berpandangan untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara termasuk di dalamnya keuangan negara berupa kekayaan negara yang dipisahkan agar tidak menyimpang dari tujuan untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya, maka kiranya perlu dilakukan pemeriksaan berdasarkan standar pemeriksaan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri sebagaimana telah diatur pasal-pasal a quo dalam Undang-Undang BPK. Bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, DPR berpandangan tidak terdapat pertentangan antara Pasal 2 huruf 5
g dan Pasal 1 … huruf i Undang-Undang Keuangan Negara, dan Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) huruf b, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3) huruf b, Pasal 11 huruf a Undang-Undang BPK dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dengan keterangan tertulis dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia ini kami sampaikan sebagai bahan pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mengambil keputusan. Demikian, terima kasih. Assalamualaikum wr. wb. 5.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR Baik, berikutnya keterangan dari BPK hadir Pak Hasan Bisri dan Pak Agus. Siapa yang akan mewakili? Pak Hasan Bisri? Silakan, Pak.
6.
BPK: HASAN BISRI Assalamualaikum wr. wb. Keterangan BPK atas Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang kami muliakan. Para Pemohon yang kami hormati. Para Termohon dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah dan DPR yang kami hormati. Para Ahli yang kami hormati dan hadirin sekalian yang kami hormati. Perkenankanlah saya Hasan Bisri Wakil Ketua BPK didampingi oleh Agus Joko Pramono Anggota BPK, dan juga beberapa staf kami dalam hal ini bertindak untuk/dan atas nama BPK menyampaikan keterangan lisan dan tertulis yang merupakan satu kesatuan utuh yang tak terpisahkan atas Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006. Permohonan pengujian tersebut diajukan oleh Center for Strategic Studies University of Indonesia, Forum Hukum BUMN, Drs. Omay K. Wiraatmadja, dan Dr. Ir. Sutrisno Sastroredjo. Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, BPK berpendapat bahwa Para Pemohon tidak memenuhi legal standing untuk mengajukan permohonan pengajuan undang-undang kepada Mahkamah Konstitusi karena tidak ada hak konstitusional Para Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya Pasal 2 huruf g dan i Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 dan pasal-pasal dalam Undang-Undang 15 Tahun 2006. Kerugian konstitusional yang didalilkan oleh Pemohon berupa kekurangan dana penelitian daya APBN, disharmonisasi dan ketidakpastian hukum terkait dengan definisi dalam lingkup negara, dan proses peradilan pidana terhadap Para Pemohon hanya didasarkan pada
6
sumsi … asumsi subjektif yang tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan tadi. Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, BPK berpendapat bahwa persoalan tentang keuangan negara terkait erat dengan upaya untuk mencapai tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam alinea keempat pembukaan UndangUndang Dasar Tahun 1945 bahwa untuk membentuk suatu pemerintahan negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut konstitusi telah mengatur pembiayaan penyelenggara negara berupa keuangan negara mencakup APBN dan non APBN. Keuangan negara non APBN meliputi penguasaan cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dalam ... salah satunya dalam wujud BUMN, serta keuangan negara yang dikelola oleh pemerintah daerah dalam wujud APBD. Pengelola negara pengelolaan keuangan negara tidak dapat dilepaskan dari sistem penyelenggaraan pemerintah negara. Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerahdaerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota. Yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintah daerah yang diatur dengan undang-undang. Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten/kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas perbantuan. Berdasarkan amanat Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 tersebut terdapat kewenangan pemerintah pusat yang diserahkan kepada pemerintah pusat kepada pemerintah daerah berdasarkan asas otonomi dan ada kewenangan pemerintah pusat yang dilimpahkan kepada pemerintahan daerah berdasarkan asas tugas perbantuan. Termasuk di dalamnya mengelola keuangan negara yang diwujudkan dalam APBN, maaf yang diwujudkan dalam APBD. Kewenangan pengelolaan keuangan negara yang diwujudkan dalam APBN diserahkan menjadi kewenangan pemerintah daerah diwujudkan dalam bentuk APBD. Wujud pengelolaan keuangan negara diatur dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, serta bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Penugasan negara sebagai amanat Undang-Undang Dasar 1945 tersebut diwujudkan dalam ... salah satunya diwujudkan dalam pembentukan BUMN. 7
Dalam konsep Dr. Mohammad Hatta penyelenggaraan produksi menguasai hajat hidup orang banyak atau publik utilitas diselenggarakan oleh BUMN atau perusahaan negara yang dikelola oleh pemerintah. Pemikiran tersebut menjiwai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36 Tahun 2012 dalam Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang menyatakan bahwa dalam rangka mencapai tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat negara melakukan penguasaan atas sumber daya alam. Bentuk penguasaan negara peringkat pertama dan yang paling penting adalah pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak oleh negara melalui BUMN. Pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam oleh negara melalui BUMN tersebut merupakan aktifitas negara dalam melakukan pengelolaan keuangan negara. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Hamdan Zoelva Anggota PAH I MPR-RI dalam pembahasan Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945 yang mengartikan keuangan negara tidak sebatas APBN. Hamdan Zoelva menyatakan “Kemudian masalah keuangan negara atau keuangan pemerintah, keuangan negara ini lebih luas dari keuangan pemerintah.” Termasuk tadi Pak Asmawi menyampaikan bahwa kalau keuangan pemerintah harus ditambah lagi nanti badan-badan lain di luar pemerintah, ya, seperti BUMN dan lainlain sebagainya, BUMD dan mungkin ada badan-badan lain diluar juga itu. Jadi keuangan negara sebenarnya sudah mencakup segalanya, termasuk juga yayasan mungkin, dan keuangan yang berasal dari negara. Selanjutnya pemikiran Taufiequrachman Ruki Anggota PAH I MPRRI pada saat pembahasan Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945 mengatakan tentang keuangan negara, keuangan negara sebaiknya kita satukan dalam menyangkut seluruh penerimaan dan pengeluaran, baiknya menyangkut pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, BUMN, dan BUMD, maupun institusi, maupun masyarakat yang mendapat fasilitas dari negara. Juga pendapat Prof. Dr. Satrio Budiharjo Yudono sebagai Ketua BPK pada waktu itu dalam Rapat PAH I MPR yang membahas amandemen Undang-Undang Dasar 1945 mengatakan bahwa kedudukan BPK di ibukota negara dan di ibu kota provinsi memungkinkan untuk melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta kekayaan negara yang dipisahkan secara ekonomis, efisien, efektif. Salah satu kunci di sini adalah kekayaan negara yang dipisahkan, dipisahkan dari apa? Dipisahkan dari anggaran belanja negara. Dengan demikian jelaslah bahwa berdasarkan notulen pembahasan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang dimaksud dengan keuangan negara pada Pasal 23 ayat (1) bukannya hanya APBN, tetapi mencakup pula keuangan daerah. Kekayaan negara yang 8
dipisahkan pada BUMN, BUMD, serta kekayaan negara lainnya. Dengan demikian, APBN bukanlah merupakan satu-satunya wujud pengelolaan negara sebagaimana didalilkan oleh Pemohon. Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, terkait dengan keberadaan BUMN. Dalam kesempatan ini izinkanlah kami menengok sedikit tentang sejarah BUMN. Sebagaimana kita ketahui pada awalnya sebagian BUMN kita berasal dari perusahaan-perusahaan milik Pemerintah Hindia-Belanda. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun … setelah kemerdekaan Republik Indonesia maka pada tahun 1950-an, pemerintah melakukan nasionalisasi perusahaanperusahaan milik Pemerintah Hindia-Belanda itu. Nasionalisasi dimaksudkan agar negara kita mampu melaksanakan amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan bahwa cabangcabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Dalam perkembangannya kemudian, BUMN mengalami beberapa kali perubahan bentuk kelembagaan. Pada masa lalu kita mengenal bentuk perusahaan negara dan perusahaan jawatan. Sekarang sebagian besar BUMN, bentuk badan hukumnya adalah perusahaan umum dan persero. Namun demikian, meskipun BUMN sebagian sudah berbentuk persero dan perusahaan umum, namun misi BUMN tetap sebagaimana dimaksud Pasal 33 UUD Tahun 1945 yaitu menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Pendirian dan pembentukan BUMN oleh pemerintah tidak sematamata bertujuan untuk mencari keuntungan karena negara pada dasarnya tidak didirikan untuk berbisnis dan mencari keuntungan. Jadi meskipun BUMN itu sudah berbentuk persero, namun hakikatnya BUMN adalah sebagai agent of development. Kita sering menyaksikan pada saat pemerintah menghadapi kesulitan perekonomian, pemerintah akan menggunakan instrumen-instrumen yang ada, termasuk memanfaatkan BUMN untuk usaha-usaha menstabilkan perekonomian. Kita pernah menyaksikan ketika salah satu BUMN yang go public, harga sahamnya mengalami penurunan di pasar modal. Maka untuk mencegah kerugian yang lebih besar bagi para pemegang saham. Pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas BUMN yang go public itu memerintahkan kepada BUMN-BUMN lain untuk menggunakan kelebihan likuiditasnya untuk membeli saham-saham BUMN di pasar modal. Setelah harga saham BUMN itu stabil kembali, pemerintah melepas kembali saham-sahamnya ke pasar modal. Hal ini membuktikan bahwa pendirian BUMN bukan semata-mata untuk mencari keuntungan. Kita juga sering menyaksikan ketika nilai tukar rupiah sedang mengalami gangguan, mengalami ketidakstabilan. Tidak jarang pemerintah menggunakan instrumennya melalui BUMN untuk melakukan berbagai langkah agar gejala nilai tukar dapat segera dikendalikan. Misalnya 9
pemerintah memerintahkan agar BUMN melepas aset-aset valasnya ke pasar. Hari ini ada berita di koran bahwa Menteri Perdagangan memerintahkan BUMN untuk impor kedelai. Itu tidak akan mungkin apabila BUMN itu tunduk pada Undang-Undang PT saja. Dari fakta-fakta itu BPK berpendapat. Bahwa BUMN tidak sema … bahwa BUMN didirikan tidak semata-mata untuk mencari keuntungan. BUMN didirikan utamanya untuk melaksanakan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Oleh karena itu, peran BUMN sebagai agent of development dalam rangka melaksanakan kebijakan-kebijakan pemerintah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam fungsinya sebagai agent of development, sebagian BUMN juga ditugasi oleh pemerintah untuk menyediakan dan mendistribusikan barang jasa tertentu yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti listrik, telekomunikasi, BBM, gas, transporasi rakyat, obat-obatan, air bersih, dan lain-lain. Kita juga sering melihat BUMN yang mempunyai fungsi pelestarian alam dan lingkungan seperti Perum Perhutani yang tidak semata-mata ditujukan untuk mencari keuntungan dalam budi daya dan pengolahan kayu. Tapi yang lebih dominan adalah melakukan reboisasi dan pelestarian hutan. Mengingat fungsinya yang tidak semata-mata untuk mencari keuntungan, tetapi lebih luas lagi yaitu sebagai agent of development. Maka BPK berpendapat, bahwa BUMN harus tetap menjadi bagian dari kekayaan negara. BUMN harus tetap menjadi bagian dari keuangan negara. Namun, agar BUMN bisa berkembang. Maka BUMN perlu diberikan otonomi dalam pengelolaannya. Yaitu dengan mengikuti kaidah-kaidah bisnis yang sehat, termasuk mengikuti ketentuan Undang-Undang Perseroan. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN telah banyak memberikan otonomi dan keleluasaan kepada BUMN agar BUMN dapat dikelola dengan prinsip-prinsip bisnis yang sehat. Ketua dan Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan. Izinkan kami menyampaikan sedikit mengenai penyelesaian piutang macet BUMN. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa BUMN dapat menyelesaikan sendiri secara koorporasi piutang macetnya tanpa harus melalui panitia urusan piutang negara pada Kementerian Keuangan. Perlu kami ketahui bahwa … perlu kita ketahui bahwa UndangUndang BUMN tidak mengharuskan semua piutang BUMN diserahkan kepada PUPN. Pada dasarnya, penyelesaian piutang BUMN tetap menjadi tanggung jawab BUMN itu sendiri. Penyerahan piutang BUMN kepada BUMN … PUPN dimaksudkan untuk membantu BUMN menyelesaikan piutang itu. Biasanya piutang-piutang BUMN yang diserahkan kepada PUPN adalah piutang-piutang macet yang sudah sulit ditagih. Direksi BUMN yang bersangkutan sudah tidak mampu lagi menagih piutang itu karena adanya berbagai kelemahan. Pertama, ada kelemahan legal 10
dalam perjanjian kredit atau pemberian utang yang melemahkan posisi kreditur. Kedua, ada kelemahan dari sisi komersial. Misalnya, piutang itu ternyata tidak jamin dengan jaminan yang cukup dan mempunyai kekuatan hukum. Ketiga, piutang itu diberikan oleh direksi sebelumnya, kemudian macet, dan menjadi tanggung jawab direksi berikutnya yang tidak mengetahui persis bagaimana kronologi pemberian piutang itu. Oleh karena itu, Direksi BUMN sudah tidak mampu menagih piutang itu, kemudian piutang itu diserahkan kepada PUPN yang mempunyai kekuatan hukum untuk melakukan upaya paksa dalam penagihan piutang. Dengan demikian, penyerahan piutang BUMN kepada PUPN bukan dimaksudkan untuk mengurangi kebebasan BUMN, tetapi justru untuk membantu BUMN. BPK sangat menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi, BPK tidak mempersoalkan apakah piutang itu akan diselah … diselesaikan sendiri oleh BUMN atau oleh PUPN, yang penting adalah akuntabilitas penyelesaikan piutang itu dari sisi legal maupun komersial. Yang penting tidak ada moral hazard dan tidak ada pelanggaran peraturan yang menguntungkan pihak lain atau diri sendiri. Ketua dan Majelis (…) 7.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR Dipersingkat, Pak, ya! Agak dipercepat! Karena kita memeriksa saksi dan ahli lagi.
8.
BPK: HASAN BISRI Baik, Yang Mulia.
9.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR Ya.
10.
BPK: HASAN BISRI Pada kesempatan ini, Yang Mulia, sedikit kami sampaikan mengenai peristiwa krisis tahun 1999 … tahun 1997-1998. Pada saat itu, banyak perusahaan-perusahaan, terutama perbankan yang mengalami kesulitan keuangan dan selanjutnya diserahkan kepada badan pertahanan … Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Sebagaian besar bank di-take over dan selebihnya dibekukan. BPPN kemudian melakukan tindakan semacam autopsi terhadap pembukuan perusahaan-perusahaan yang dibekukan itu. Apa yang terjadi? Ternyata, perusahaan-perusahaan itu jauh sebelum krisis sudah 11
melakukan berbagai macam penyimpangan yang tidak pernah diungkapkan oleh kantor akuntan publik yang memeriksa perusahaanperusahaan itu. Apa artinya ini? Bahwa selama ini, kontrol terhadap akuntan publik yang melakukan pemeriksaan perusahaan-perusahaan publik dan perusahaan negara sangat lemah dan hampir tidak ada. Tidak ada pihak lain yang akan menilai, apakah kantor akuntan publik itu bekerja dengan baik sesuai dengan standar? Pengalaman itu kemudian mengilhami Pemerintah dan DPR. Oleh karena itu, dalam Undang-Undang BPK dan Undang-Undang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara disebutkan, “Apabila suatu unit keuangan negara … unit pengelolaan keuangan negara diperiksa oleh kantor akuntan publik berdasarkan perintah undang-undang, maka laporan pemeriksaannya harus dievaluasi oleh BPK.” Untuk memastikan bahwa kantor akuntan publik itu telah bekerja sesuai dengan standar yang harus dilakukan. Apabila diketahui bahwa kantor akuntan publik itu melanggar dari standar dan pelanggaran itu cukup serius, BPK bisa merekomendasikan untuk mencabut izin praktik akuntan yang bersangkutan. Yang Mulia yang … Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan. Selanjutnya, perkenankan kami menyampaikan persoalan sedikit tentang kerugian negara yang diungkap oleh BPK pada BUMN. Dalam melaksanakan pemeriksaan, BPK membedakan secara tegas atas kerugian BUMN yang timbul karena risiko bisnis dan kerugian BUMN yang timbul karena perbuatan melawan hukum. Jadi, para pengelola BUMN tidak perlu khawatir bahwa semuanya akan dianggap sebagai kerugian negara. Kerugian BUMN yang timbul karena adanya perbuatan melawan hukum inilah yang disebut sebagai kerugian negara. Sedangkan kerugian BUMN yang timbul karena risiko bisnis tidak disebut sebagai kerugian negara, tetapi sebagai kerugian bisnis. Sebagai contoh, kerugian yang timbul karena penurunan nilai tukar rupiah. Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Belajar dari pengalaman tersebut, kami berpendapat apabila permohonan ini akan dikabulkan oleh Majelis Yang Mulia bahwa BUMN bukan lagi bagian dari keuangan negara, dan dengan sendirinya BPK tidak mempunyai kewenangan lagi untuk melakukan pemeriksaan terhadap BUMN, dan dengan sendirinya pula BPK tidak punya kewenangan lagi untuk mengevaluasi kantor akuntan publik yang melakukan audit terhadap BUMN maka dapat dipastikan bahwa kantor-kantor akuntan publik yang melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan BUMN tidak ada lagi yang mengontrol dan tidak ada lagi yang mengevaluasi hasil pekerjaannya. Apa akibatnya? Kita bisa perkirakan bahwa berbagai manipulasi dan rekayasa yang dilakukan oleh direksi BUMN tidak akan terungkap. Akibatnya, kami khawatir krisis seperti yang terjadi di masa yang lalu akan terulang lagi, padahal hutang-hutang negara untuk 12
membiayai krisis di masa yang lalu sampai hari ini belum berhasil dilunasi. Pada kesempatan ini, kami ingin sampaikan tentang hubungan keuangan negara BUMN dan APBN. Bahwa penerimaan BUMN tidak serta-merta dicatat sebagai penerimaan APBN. Demikian pula dengan pengeluaran APBN … pengeluaran BUMN tidak serta-merta dicatat sebagai pengeluaran BUMN … pengeluaran APBN. Itulah hakikat kekayaan negara yang dipisahkan. Negara akan mencatat penerimaan sepanjang menyangkut bagian laba yang dibagi dan disetor ke kas negara. Sebaliknya negara akan mencatat sebagai pengeluaran sepanjang menyangkut pengeluaran untuk penyertaan modal pada BUMN. Pada akhir tahun, kekayaan bersih BUMN dikalikan dengan persentasi kepemilikan saham pemerintah akan dicatat sebagai aset negara dalam pelaporan keuangan pemerintah pusat. Jadi di sini jelas bahwa pengertian kekayaan negara dipisahkan bukan berarti dipisahkan dari negara, tetapi dipisahkan dari APBN. Hakikatnya, tetap milik negara. Dari di sini Pemohon nampaknya berargumentasi bahwa kalau kekayaan negara dipisahkan maka bukan lagi kekayaan negara. Oleh karena Majelis yang saya muliakan, terkait dengan kewajiban hutang BUMN yang dikhawatirkan akan membebani APBN sebagaimana didalilkan oleh Pemohon, kewajiban pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang perseroan terbatas hanya sebesar penyertaan modalnya. Demikian pula tidak ada resiko fiskal yang dikhawatirkan dalam penyertaan modal pemerintah sebagai kekayaan negara dipisahkan karena sudah ada pemisahan yang tegas antara kekayaan BUMN dan kekayaan APBN antara keuangan BUMN dan keuangan APBN, tetapi tetap merupakan bagian dari keuangan negara. Ketua dan Majelis Hakim yang saya muliakan. Rujukannya digunakan oleh Pemohon dalam pengajuan gugatannya adalah ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan ketentuan itu, Pemohon berpendapat bahwa keuangan negara adalah APBN. Semua kekayaan negara di luar APBN bukanlah keuangan negara. Apabila permohonan ini dikabulkan, kami khawatir akan membawa dampak yang sangat luas dalam sistem pengelolaan keuangan negara. Jika mengikuti pendapat Pemohon maka keuangan negara, keuangan daerah, pendapat dan belanja daerah, serta kekayaan negara, kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan dalam BUMD juga bukan bagian dari keuangan negara. Semua dana APBN yang dialokasikan ke daerah dan sudah masuk ke sistem APBD juga bukan keuangan daerah. Demikian pula lembaga yang sumber keuangannya bukan dari APBN seperti BI, Ojeka, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial bukan lagi keuangan negara. Semua 13
lembaga yang dibentuk dengan undang-undang dan dinyatakan di dalamnya bahwa kekayaannya adalah kekayaan dipisahkan seperti LPS, SKK Migas dengan sendirinya bukan lagi merupakan keuangan negara. Apabila permohonan ini dikabulkan, maka seluruh lembaga pemerintah yang dibentuk dan dalam peraturan pembentukannya dinyatakan memiliki kekayaan negara yang dipisahkan dengan sendirinya bukan lagi merupakan keuangan negara. Oleh karena itu, ada kekhawatiran besar bagi kami apabila permohonan ini dikabulkan. Maka dapat diartikan bahwa Pemohon dalil Pemohon bahwa keuangan negara hanyalah APBN dibenarkan oleh Mahkamah. Hal ini akan dikhawatirkan akan berdampak sangat luas yaitu adanya permohonan dari masyarakat agar keuangan daerah juga dikeluarkan dari keuangan negara. Pemerintah atau pemerintah daerah akan ramai-ramai membentuk BUMN dan BUMD, kemudian BUMN, BUMD itu dijadikan ajang korupsi dan manipulasi dengan berbagai tipu daya dan semuanya akan dinyatakan sebagai resiko bisnis. Aparat penegak hukum tidak bisa menjerat mereka dengan undang-undang tindak pidana korupsi karena manipulasi dan penyelewengan yang terjadi pada perusahaan private adalah tindak pidana umum. Aparat penegak hukum akan sangat kesulitan mengendus adanya penyimpangan dalam perusahaan private tanpa ada laporan dari direksi atau komisaris. Padahal yang terjadi seringkali justru direksi dan komisaris itulah yang melakukan tindakan itu. Apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia akan membenarkan dalil Pemohon bahwa keuangan negara hanyalah APBN, maka kami khawatir semua penyimpangan dan penyelewengan yang terjadi dalam pengelolaan kekayaan negara di luar APBN akan sulit dideteksi sebab semua lembaga pengawas baik internal maupun eksternal seperti BPK tidak bisa memeriksa mereka dan apabila penyelewengan itu diketahui juga tidak dapat dijerat dengan Undang-Undang Antikorupsi. Berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas menurut BPK tidak ada alasan yang tepat untuk menyatakan bahwa ketentuan pada pasal-pasal yang dimohonkan tadi inkonstitusional apalagi dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 karena itu Yang Mulia, BPK mohon agar Majelis Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk memutuskan agar permohonan pengujian pasal-pasal tadi serta undang-undang BPK untuk menyatakan permohonan Pemohon ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak diterima. Namun demikian sepenuhnya kami serahkan kepada kearifan Majelis Mahkamah Konstitusi yang kami hormati. Demikian keterangan BPK. Selanjutnya Yang Mulia mengingat perkara ini sangat strategis sebagai kelangsungan sistem pengelolaan keuangan negara, maka dengan kerendahan hati perkenankanlah BPK dalam persidangan selanjutnya dapat mengajukan ahli untuk memberikan keterangan14
keterangan yang bersifat filosofis dalam sidang-sidang yang akan datang. Demikian permohonan kami kepada Yang Mulia mudah-mudahan dapat dipertimbangkan. Atas perhatian Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi kami mengucapkan terima kasih. Wassalamualaikum wr. wb. 11.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR Karena BPK itu adalah keterangannya diminta oleh Mahkamah, maka nanti kalau pemerintah … BPK ingin mengajukan ahli melalui pemerintah saja karena kepentingan hukumnya kan sama antara pemerintah dan BPK ya. Jadi, bukan sebagai pihak terkait langsung dalam perkara ini. Baiklah, selanjutnya kita akan memeriksa atau mendengar keterangan ahli dan saksi untuk ahli Pemohon 62 Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S., ada ya silakan maju di depan, Pak. Kemudian ahli dari Nomor 48 H. Marzuki Usman saya persilakan untuk maju di depan terlebih dahulu. Maju di depan dulu, Pak mau diambil sumpahnya dulu berkasnya tinggal saja dulu. Pak Marzuki, Islam ya, Pak Nindyo Protestan. Baik, yang beragama Islam lebih dahulu agar mengikuti Hakim. Silakan Pak Fadlil.
12.
HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Untuk ahli yang beragama Islam disilakan mengikuti kata sumpahnya dimulai. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.”
13.
AHLI YANG BERAGAMA ISLAM DISUMPAH: Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.
14.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR Untuk Pak Nindyo, silakan Ibu Maria.
15
15.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Ikuti saya. “Saya berjanji sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. Semoga tuhan menolong saya.”
16.
AHLI BERAGAMA KRISTEN Saya berjanji sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. Semoga tuhan menolong saya.”
17.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Terima kasih.
18.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR Silakan duduk para ahli. Berikutnya saksi dari Pemohon 62 Erwin Nasution, Gatot Harsono, R.J. Lino, Ignasius Jonan, dan saksi dari Nomor 48 Mintarjo Halim, yang beragama Islam lebih dulu saya persilakan Pak Fadlil.
19.
HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Yang beragama Islam disilakan sumpahnya mengikuti kata-kata saya dimulai. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya.”
20.
SAKSI YANG BERAGAMA ISLAM DISUMPAH: Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya.
21.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR Kemudian, yang beragama Katolik, silakan mengikuti janji yang akan disampaikan oleh Bu Maria. Silakan!
16
22.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Ikuti saya. “Saya berjanji sebagai saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya. Semoga Tuhan menolong saya.”
23.
SAKSI YANG BERAGAMA KRISTEN DISUMPAH: Saya berjanji sebagai saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya. Semoga Tuhan menolong saya.
24.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR Silakan duduk, Para Saksi! Ini kita waktunya juga terbatas ya, sampai dengan pukul 12.30 WIB. Untuk itu, kita mendengar Ahli dulu. Kalau kemarin-kemarin, kita saksi, saksi ini para direktur BUMN semuanya, kelihatan banyak yang mengalami berbagai macam soal. Ahli yang pertama, Dr. Nindyo, saya persilakan! Mungkin bisa mengelola waktu dengan singkat dan sebaik-baiknya. Silakan!
25.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 62/PUU-XI/2013: NINDYO PRAMONO Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim Konstitusi, Kuasa Hukum Para Pemohon Yang Saya Hormati, Kuasa Hukum Termohon Yang Saya Hormati, dan Hadirin Sekalian Yang Saya Hormati, selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua. Saya adalah guru besar hukum bisnis dari Universitas Gadjah Mada yang sehari-hari adalah dosen pengajar, hukum perusahaan, hukum pasar modal, hukum perbankan, hukum investasi, dan hukum kepailitan, yang dahulu dikenal dalam lingkup hukum dagang di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Saya diminta oleh Pemohon untuk memberikan keterangan Ahli sehubungan dengan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan terhadap UndangUndang Dasar Tahun 1945, di hadapan sidang hakim Majelis Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia, izinkan saya mengutarakan rujukan saya terkait dengan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006. Apa yang dikatakan oleh konstitusi negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum di dalam Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Perubahan 17
Keempat. Pasal tersebut berbunyi, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh negara.” Ayat (3) nya menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kemudian juga, pasal yang terkait dengan asas kepastian hukum yang didambakan oleh pelaku dan/atau pelaksana dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan undang-undang terkait lainnya, seperti Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang PT, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1998 tentang Perbankan. Pasal tersebut di dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Perubahan Kedua, termaktub di dalam Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut. “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia, selanjutnya, izinkan saya mengutarakan rujukan saya tentang apa yang dikatakan oleh para pendahulu pendiri bangsa negara Republik Indonesia yang kita cintai ini dan para Ahli senior yang tidak diragukan lagi kepakaran dan kapasitasnya terkait dengan ketentuan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Muhammad Hatta, wakil presiden pertama Republik Indonesia mengatakan bahwa dari kalimat dikuasai oleh negara dalam ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan (3) tersebut, negara tidak harus secara langsung ikut mengelola atau menyelenggarakan cabang produksi, akan tetapi hal itu dapat diserahkan kepada usaha koperasi dan swasta. Tugas negara hanyalah membuat peraturan dan melakukan pengawasan guna kelancaran jalannya ekonomi, demi untuk menjamin terciptanya kesejahteraan rakyat. Menguasai tidak harus diartikan sebagai memiliki. Pendapat dari Bapak Muhammad Hatta ini juga dirujuk oleh Prof. Mubyarto dari Universitas Gadjah Mada dan Prof. Sri Edi Swasono dari Universitas Indonesia. Dari pandangan para pendahulu bangsa dan para pakar senior yang tidak diragukan lagi kepakarannya tersebut, dapat disimpulkan bahwa hak menguasai oleh negara atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dapat diselenggarakan oleh BUMN, swasta, dan koperasi. Dalam kerangka Pasal 33 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, negara bisa mendirikan BUMN yang tunduk pada ketentuan perundangundangan yang menguasai sistem hukum privat, seperti halnya koperasi dan usaha swasta lainnya. Negara dalam hal ini pemerintah, hanya sebagai kuasa usaha untuk menyelenggarakan dan/atau mengusahakan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara, dan menguasai hajat 18
hidup orang banyak yang meliputi aspek pengaturan, aspek pengendalian, dan aspek pengawasan. Hal ini juga dirujuk oleh Prof. Aminuddin Ilmar. Salah satu caranya adalah negara dalam hal ini pemerintah, dapat membentuk atau mendirikan BUMN, Perum, dan Persero, melalui pembentukan peraturan perundang-undangan dengan BUMN. Hadirnya Undang-Undang BUMN, dan BUMN itu sendiri melalui pembentukan Undang-Undang BUMN merupakan kepanjangan tangan negara, dalam hal ini pemerintah dalam menjalankan hak menguasai negara tersebut. Mekanisme hak menguasai negara tentunya tunduk pada Undang-Undang BUMN. Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia, berkaitan dengan uraian yang saya kemukakan di atas, kehadiran Undang-Undang BUMN sebagai wujud dari keinginan negara dalam hal ini pemerintah untuk mengatur, mengendalikan, dan mengawasi penyelenggaraan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, menuntut adanya kepastian hukum dalam mengusahakan kegiatan badan usaha tersebut, yang mestinya wajib diperlakukan sejajar dengan badan usaha swasta dan koperasi. Undang-Undang BUMN dan para organ BUMN baik Persero maupun perusahaan umum, dan stakeholder lainnya menghendaki dan/atau menuntut adanya kepastian hukum yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Kepastian hukum atau rechtssiherheit, mengajarkan bahwa setiap orang mengharapkan dapat diterapkannya hukum dalam hal terjadi perstiwa konkret. Bagaimana hukumnya, itulah yang harus berlaku pada dasarnya tidak boleh menyimpang. Itulah dikenal dengan adagium fiat justicia et pereat mundus, meskipun dunia ini runtuh, hukum harus ditegakkan. Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum, dirujuk oleh Sudikno Mertokusumo dalam bukunya “Mengenal Hukum”. Setiap orang yang dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, menurut hukum yang sudah menjadi communis opinio doctorum orang di sini adalah orang perorangan (naturlijk persoon) dan badan hukum (rechtspersoon). Itulah doktrin universitas, maaf … itulah doktrin universal yang tidak terbantahkan lagi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, menegaskan bahwa PT Persero sebagai salah satu bentuk BUMN di samping Perum dalam melakukan kegiatan usahanya tunduk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang PT. Dengan demikian, segala kebijakan sektoral terkait dengan aksi korporasi atau business judgement yang dilakukan oleh PT Persero dan Perum yang diwakili oleh direksinya berlaku secara equal bagi semua entitas hukum bisnis, baik PT swasta maupun PT Persero, seperti misalnya dalam soal pengaturan mengenai pengadaan barang dan jasa, penghapusan aset Perseroan, penghapusan piutang dan sebagainya. Bahwa Pasal 1 angka 1 Undang-Undang BUMN mengatakan, “BUMN 19
adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang BUMN mengatakan, “Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.” Dalam penjelasan dalam Pasal 4 ayat (1) dikatakan bahwa yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN, untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaanya, tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, namun pembinaan dan pengelolaanya didasarkan pada prinsip perusahaan yang sehat. Bahwa dalam pasal-pasal tersebut, jelas dikatakan bahwa modal BUMN berasal dari kekayaan negara yang telah dipisahkan dan dari APBN, dan selanjutnya pembinaan dan pengelolaanya tidak didasarkan pada sistem APBN, melainkan didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat, yang secara teoritis dikenal dengan Good Corporate Governance. Saat ini tidak terdapat ketidakpastian hukum, jika Undang-Undang BUMN dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, khususnya terkait dengan ketentuan Pasal 2G dan I undang-undang tersebut. Bahkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Undang-Undang Tipikor, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, dan UndangUndang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara yang sudah dilakukan judicial review dan sudah memperoleh keputusan dari Mahkamah Konstitusi. Ketidakpastian hukum ini khususnya tentang hal yang berkaitan dengan apa yang dimaksud dengan kekayaan negara yang dipisahkan dan kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Bahkan berdasarkan ketentuan Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/daerah masuk dalam pengertian keuangan negara. Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 berbunyi keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 meliputi huruf g, kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hakhak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara atau perusahaan daerah. Huruf i mengatakan kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Dari sudut pandang hukum bisnis, dengan merujuk pada teori badan hukum, kekayaan terpisah adalah ciri universal dari suatu badan 20
hukum. Badan hukum atau rechtspersoon atau legal body atau legal entity adalah subjek hukum yang dapat menyandang hak dan kewajiban seperti halnya orang pada umumnya, naturlijk persoon. Di samping ciri yang lain, adanya organisasi yang teratur, kepentingan sendiri di luar kepentingan pribadi dan tujuan tertentu dari si pendiri dan mempunyai tujuan sendiri di luar tujuan dari si pendiri. Undang-Undang BUMN dan Undang-Undang PT, memang seharusnya dipahami sebagai hukum khusus, jika dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 dan undang-undang terkait lainnya yang saya kutip di atas. Demi adanya kepastian hukum bagi badan usaha milik negara dalam mengemban amanat Pasal 33 ayat (2) dan (3) juncto Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Untuk Undang-Undang BUMN dan Undang-Undang PT, jika dihadapkan dengan Undang-Undang Keuangan Negara seharusnya berlaku asas lax posteriori derogat legi priori, demi tercapainya kepastian hukum. Namun apa yang terjadi di dalam praktik dewasa ini dalam pelaksanaan Undang-Undang BUMN, organ BUMN dalam hal ini direksi dan dewan komisaris, dan bahkan stakeholders lainnya dihadapkan pada kekhawatiran dan/atau ketidakpastian hukum dalam membuat keputusan bisnis untuk kepentingan dan tujuan persero maupun perum itu. Mereka selalu dibayangi akan timbulnya ekses negatif terkait dengan keputusan bisnis yang dijalankan. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa dalam membuat keputusan bisnis yang benar, sekalipun tidak ada satupun direksi yang mampu memastikan bahwa keuntungan yang diprediksikan akan diperoleh melalui perhitungan bisnis yang akurat, wajar, dan akuntabel, sesuai dengan undang-undang yang berlaku dengan dilandasi pada prinsip etikat baik dan kehati-hatian, keuntungan tersebut pasti akan benar-benar diperoleh. Kekhawatiran akan keraguan timbul karena setiap timbul kerugian, akan dapat diartikan kerugian itu merupakan bagian dari kerugian negara yang ujung-ujungnya akan bisa ditindak berdasarkan Undang-Undang Tipikor dan Undang-Undang Keuangan Negara bersambung dengan ke undang-undang lainnya yang terkait. Padahal bisa jadi kerugian itu timbul bukan karena kasalahannya, baik sengaja atau lalai dari organ BUMN. Namun bisa saja hal itu terjadi karena faktor opportunity profit yang tidak tercapai karena sesuatu hal di luar kemampuan dan/atau kesalahan manajemen. Direksi BUMN sebagai organ PT persero dan perum yang berdasarkan Undang-Undang BUMN ditugasi mewakili PT persero dan perum. Baik di dalam maupun di luar pengadilan sebagai entitas hukum mandiri, yang mempunyai persona standi in judicio sendiri, menuntut adanya kepastian hukum dalam menjalankan tugas dan wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang BUMN dan Undang-Undang Dasar 1945. Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia, hakikat pengibsahan kekayaan negara yang dipisahkan untuk 21
dijadikan penyertaan modal pada BUMN sebagai badan hukum private, seperti persero adalah pelepasan sama sekali dari induknya, yaitu kekayaan negara atau keuangan negara. Akibat hukum dari penyertaan tersebut adalah negara akan berstatus sebagai pemegang saham dalam persero dan pemilik modal dalam perusahaan umum, yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Negara BUMN. Kekayaan negara yang dipisahkan tersebut akan menjadi kekayaan persero dan perum. Dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah split’sen atau spliste itu berarti pembagian atau pembelahan menjadi dua. Dibagi atau dibelah itu mengandung makna yuridis bahwa antara yang satu dengan yang lain memang sudah tidak menjadi satu kesatuan. Yang satu terlepas dari yang lain. PT persero pada dasarnya adalah PT biasa, PT seperti yang dikenal dan tunduk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang PT. Hanya saja modalnya terbagi dalam ... yang terbagi dalam saham itu seluruh atau paling sedikit 51% sahamnya dimiliki oleh negara dengan tujuan utamanya mengejar keuntungan. PT Persero adalah suatu entitas suku mandiri yang mempunyai persona standi in judicio sendiri. Menurut hukum PT negara di sini berstatus sebagai pemegang saham, bukan sebagai negara lagi. Direksi dan dewan komisaris dalam PT Persero dan pengawas BUMN dalam Perum adalah organ PT Persero dan Perum yang pada hakikatnya adalah PT biasa atau perusahaan biasa, yang pada hakikatnya sama dengan badan usaha swasta yang lain. Mereka bukanlah penyelenggaraan negara, seperti yang dikenal di dalam undang-undang dan pemerintahan bersih bebas dari KKN. Mereka adalah organ BUMN yang tunduk pada domain hukum privat yang adalah hukum PT dan hukum privat terkait lainnya. Ketua dan Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Persoalannya saat ini adalah jika kekayaan negara yang dipisahkan menjadi modal Persero itu dikaitkan dengan Undang-Undang Keuangan Negara, bahkan dengan Undang-Undang Tipikor, Undang-Undang BPK, Undang-Undang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang Pertanggungjawaban Pengelolaan Keuangan Negara, Undang-Undang BUMN … Undang- Undang PUPN, orang masih dapat berpandangan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan itu masuk ke dalam bagian dari pengertian keuangan negara. Undang-Undang Keuangan Negara, misalnya masih mengkategorikan saham sebagai bagian dari kekayaan negara karena saham adalah salah satu jenis surat berharga. Konsekuensi lebih lanjut, sebagaimana disebutkan di atas terjadi ketidakpastian hukum ditinjau dari ketentuan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 seperti saya kutip di atas. Organ PT Persero dan Perum selalu dihadapkan pada ketidakpastian hukum karena setiap keputusan bisnis yang dilakukan dalam mewakili BUMN sesuai dengan Undang-Undang BUMN akan dihadapkan pada undang-undang publik lain yang mengatur berbeda terkait dengan kedudukan kekayaan terpisah yang sudah menjadi penyertaan modal dalam BUMN. Padahal 22
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengamanatkan negara dalam hal ini pemerintah dapat bertindak dalam lapangan hukum privat dengan membentuk undang-undang … dengan membentuk BUMN melalui Undang-Undang BUMN yang akan tunduk pada domain hukum privat. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 juga menjamin adanya kepastian hukum bagi seseorang, termasuk badan dihadapan hukum. Bersyukur pada hari Senin wage, tanggal 17 September 2012 telah diputuskan dalam rapat permusyawaratan hakim konstitusi di bawah Ketua Mahfud M.D adanya permohonan pengujian Undang-Undang 14 Tahun 1960 tentang PUPN. Di mana Mahkamah Konstitusi memutuskan kurang lebihnya telah menyetujui pandangan bahwa piutang BUMN bukan lagi bagian piutang negara, artinya jika piutang BUMN adalah piutang BUMN, maka hal ini menegaskan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan menjadi modal BUMN adalah kekayaan BUMN yang masuk dalam ranah hukum privat yang mekanisme pertanggungjawaban hukumnya dilakukan sesuai dengan pengelolaan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. Suatu kepastian hukum yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 telah diperoleh dengan lahirnya Keputusan Mahkamah konstitusi ini. Ketua dan Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Dari sudut pandang hukum privat, dengan keluarnya Undang-Undang BUMN ketentuan Pasal 2 huruf g Undang-Undang Keuangan Negara khusus mengenai kekayaan negara yang dipisahkan pada perusahaan negara dan perusahaan daerah. Telah juga dikritis oleh Mahkamah Agung dengan adanya fatwa Mahkamah Agung menyatakan bahwa Pasal 2 huruf g Undang-Undang Keuangan Negara tersebut sudah tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum. Juga ketidakpastian hukum kaidah tersebut bagi Undang-Undang BUMN sebenarnya dapat diselesaikan melalui pendekatan doktrin hukum yang secara teoritis merupakan salah satu sumber hukum. Jika pendekatan demikian dilakukan, yang seharusnya secara hukum mengikat adalah bahwa kekayaan negara yang dipisahkan menjadi modal awal Persero atau Perum akan berubah wujud menjadi saham atau modal. Kekayaan negara yang dipisahkan tersebut tidak lagi menjadi bagian dari keuangan negara, kekayaan negara yang dipisahkan tersebut telah berubah menjadi saham atau modal saham. Hukum saham berada dalam ranah hukum PT. Oleh sebab itu dengan berlakunya Undang-Undang BUMN yang merupakan aturan hukum khusus dan lebih baru, maka berdasarkan asas lex specialis derogat legi generali dan lex porteriori derogat legi priori, ketentuan yang berkaitan dengan saham yang dimiliki oleh negara yang dalam hal ini diwakili oleh Meneg BUMN, yaitu UndangUndang BUMN dan Undang-Undang PT, bahkan undang-undang terkait lainnya yang saya kutip di atas. Berkaitan dengan kepastian hukum, maka hal ini kalau dirujuk berlakunya asas lex specialis derogat legi generali dan lex porteriori 23
derogat legi priori, maka asas kepastian hukum sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 akan dapat dipenuhi. Begitu persero tersebut membagi dividen, maka dividen itu masuk kembali ke dalam keuangan negara dan boleh diperlakukan umum yang berkaitan dengan keuangan negara atau kekayaan negara. Jika dividen tidak disetor ke kas negara, maka itu berarti ada kerugian negara. Jika terbukti demikian, maka dapat diancam dengan UndangUndang Tipikor dan undang-undang publik lain yang terkait. Untuk lebih memahami mengenai hakikat kekayaan terpisah dari sudut pandang bisnis, persoalan kekayaan negara yang dipisahkan itu erat kaitannya dengan teori badan hukum seperti yang saya kemukakan di atas. Bahwa salah satu ciri dari badan hukum yang sudah berlaku universal adalah adanya kekayaan yang dipisahkan. PT … termasuk PT Persero adalah badan hukum, salah satu ciri badan hukum adanya kekayaan terpisah, yaitu kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pribadi si pendiri badan. Yang diartikan dipisahkan tadi sudah saya katakan di muka adalah dibelah atau dibagi menjadi dua. Satu dengan yang lain terpisah. Saya ambil contoh dalam konsep hukum PT. A mendirikan PT, kemudian Anda menyerahkan sebagian kekayaannya untuk dijadikan penyertaan pada PT yang didirikan dengan mengambil bagian modal PT, misalnya 51% dari keseluruhan modal yang terbagi dalam saham dari sudut pandang hukum PT, maka A akan berkedudukan sebagai pemegang saham dalam PT tersebut. Menurut hukum PT, A masih dapat mengatakan saham yang dimilikinya pada PT yang didirikan dengan penyertaan modal dari kekayaannya yang dipisahkan tadi adalah bagian dari kekayaanya, namun si A yang menurut hukum PT sudah berstatus sebagai pemegang sah wajib tunduk pada hukum PT dan tidak lagi tunduk pada hukum yang mengatur tentang kekayaannya sendiri semula. Si A tidak bisa lagi mengelola, mengurus modal, atau kekayaan PT yang datangnya dari kekayaannya yang dipisahkan tadi. Yang mengurus dan mengelola adalah direksi mewakili PT yang bersangkutan, direksi akan melaporkan pertanggungjawban pengelolaan dan pengurusan modal tersebut kepada Rapat Umum Pemegang Saham sebagai organ tertinggi di dalam struktur hukum PT. Baru nanti begitu ada dividen, maka dividen itu menjadi hak dari si A, demikian pula jika laporan pertanggungjawaban direksi dirasa tidak dapat diterima oleh RUPS, maka RUPS bisa menolak laporan pertanggungjawaban itu dan melakukan tuntutan hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ilustrasi ini berlaku juga bagi PT persero. Satu contoh lagi, misalnya yang dijadikan pernyertaan modal PT dari si A adalah tanah miliknya, hal ini dimungkinkan di dalam hukum PT dengan mekanisme quasi inbreng, yaitu dengan seolah-olah PT membeli tanah si A tersebut, begitu diketahui taksasi harga jualnya kemudian dari nilai jual tersebut dikonversi menjadi saham PT. Setelah itu jika tanah tersebut akan dimiliki oleh PT, maka tanah tersebut harus diubah 24
statusnya menjadi HGB yang semula tanah tersebut adalah milik si A. Namun di dalam hukum PT, tanah tersebut tidak bisa lagi menjadi hak milik dari PT namun harus diubah menjadi HGB. Begitu tanah menjadi HGB, maka tanah tersebut bukan lagi milik A dengan sertifikat atas nama si A. Si A kemudian berstatus sebagai pemegang saham dalam struktur hukum PT, kekayaan si A adalah saham yang dimiliki di dalam PT tersebut yang datang dari konversi tanah yang semula dijadikan inbreng di dalam PT tersebut. Namun apa yang terjadi sampai saat ini, ketidakpastian hukum kaidah yang berkaitan dengan kekayaan negara yang dipisahkan tersebut tidak kunjung berakhir. Antara lembaga yang satu pihak tunduk dan berada di bawah undang-undang publik seperti aparat penegak hukum, BPK masih menggunakan acuan undang-undang publik yang disebutkan di atas tadi. Sementara pihak yang tunduk dan berada di bawah undang-undang privat, undang-undang BUMN, undang-undang PT, undang-undang pasar modal, undang-undang perbankan seperti PT Persero, bahkan PT Persero, Tbk tegas mendaftarkan pada doktrin kekayaan terpisah dalam arti lepas sama sekali dari induknya semula. Dengan konsekuensi hukum bahwa aparat-aparat yang tunduk dan berada di bawah undang-undang publik tidak serta merta dapat menggunakan kaidah hukum publik untuk memasuki wilayah hukum privat. Ketua dan Anggota Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia, akhirnya dengan menunjuk pada uraian dan pembahasan sebagaimana saya kemukakan di atas, saya berpendapat bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah berdampak pada tidak adanya kepastian hukum bagi para pelaksana undang-undang BUMN dan undang-undang terkait lainnya seperti undang-undang PT, undangundang pasar modal, dan undang-undang perbankan. Khususnya pada organ BUMN dan stakeholder lainnya, hal ini sungguh sangat bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 juncto Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Undang-undang BUMN dengan perangkat pelaksananya khususnya organ PT Persero, PT Persero, Tbk., Perum dan stakeholder terkait lainnya sungguh menuntut adanya kepastian hukum yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945 agar dalam mengemban amanat Pasal 33 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dapat benar-benar diwujudkan tanpa harus dibayang-bayangi kekhawatiran dari keputusan-keputusan bisnis yang dilakukan dengan jujur, benar, dan akuntabel. Kekayaan negara yang dipisahkan menjadi modal BUMN demi asas kepastian hukum yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tidak tepat jika masih dikategorikan menjadi bagian dari keuangan negara sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tersebut. Direksi BUMN, baik direksi PT persero, PT persero Tbk, perum, dan dewan komisaris PT persero, PT persero Tbk. Dewan pengawas 25
perum adalah organ PT persero, organ perum yang sama kedudukan hukumnya seperti organ PT pada umumnya atau perusahaan swasta lainnya. Mereka bukanlah penyelenggara negara, mereka adalah organ BUMN seperti halnya organ dari PT-PT atau perusahaan swasta lainnya. Mereka mewakili BUMN, baik di dalam maupun di luar pengadilan seperti direksi-direksi pada perusahaan lainnya. Demikian pendapat hukum saya sebagai Ahli Hukum Bisnis pada kesempatan sidang di hadapan Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Akhir kata, saya ucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan dan kesabaran dari Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dan hadirin sekalian yang terhormat dalam mendengarkan paparan saya. Dengan kerendahan hati, segala kekurangannya dalam paparan ini mohon dimaafkan. Sekian dan terima kasih. 26.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR Ya, terima kasih, Profesor Nindyo. Berikutnya, Pak Marzuki Usman, saya persilakan.
27.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 48/PUU-XI/2013: MARZUKI USMAN Kesaksian ahli atas permohonan Pengujian Pasal 2 huruf g dan huruf i Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara terhadap Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Assalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera untuk kita semua. Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, para Pemohon, pihak pemerintah, pihak Dewan Perwakilan Rakyat, dan para hadirin sekalian yang berbahagia. Pertama-tama, perkenankanlah saya mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas rahmat yang dilimpahkan kepada kita semua dan terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk menyampaikan keterangan sebagai saksi ahli dalam sidang yang mulia dan terhormat ini. Saya adalah Marzuki Usman, Menteri Pariwisata pada Kabinet Presiden B.J. Habibie, dan Menteri Kehutanan pada Kabinet Presiden Abdurrahman Wahid, dan saat ini saya bertugas juga sebagai Ketua dan Komisaris PT Pembangunan Nusantara VI Persero di Jambi. Saya juga mengajar di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia bersama Profesor Dr. Ali Wardhana untuk mata pelajaran ilmu keuangan negara dan ilmu uang dan bank dari tahun 1996 sampai dengan tahun 1998. Dan sekarang juga saya masih mengajar di Universitas Jambi untuk mata pelajaran ilmu ekonomi. Di tahun 1997 saya menjabat sebagai Direktur Investasi dan Kekayaan Negara, Departemen Keuangan Republik 26
Indonesia, yang tugasnya antara lain, mengurusi kekayaan negara. Sedangkan untuk kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN, diurusi oleh direktur pembinaan BUMN. Direktur pembinaan BUMN ini dibentuk di Badan Keuangan Republik Indonesia pada tahun 1991 dan pada tahun 1998 melebur dalam Kementerian Negara BUMN. Saya pada tahun 1998 menjabat sebagai Sekretaris Kementerian BUMN. Pemohon meminta kepada saya untuk memberikan keterangan ahli sesuai dengan bidang keahlian saya berkaitan dengan uji materi atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan. Sebagaimana kita ketahui bersama, pokok permasalahan yang memerlukan pengujian adalah apakah Pasal 2 huruf g dan huruf i Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan disusul kemudian dengan Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) huruf b, dan Pasal 11 huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pasal 2 huruf g dan huruf i menyatakan bahwa keuangan negara meliputi kekayaan negara/daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain, berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak lain yang dapat dinilai dengan uang. Termasuk kekayaan negara yang dipisahkan pada perusahaan negara/daerah. I, kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Sedangkan Pasal 23 ayat (1) mengatakan … menegaskan, “APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undangundang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Mengapa kedua ketentuan perundang-undangan tersebut dianggap bertentangan? Karena Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengartikan bahwa kekayaan BUMN adalah kekayaan negara yang dipisahkan, yang berarti kekayaan BUMN masih merupakan kekayaan negara dan oleh karena itu BPK dan DPR serta perangkat negara lainnya mempunyai hak dan wewenang untuk mengawasi pengeluaran BUMN. Di lain pihak ada pendapat yang mengatakan bahwa bila kekayaan BUMN masuk dalam keuangan negara yang diwujudkan dalam APBN, tentu APBN memikul … memikul risiko yang sangat besar karena BUMN adalah lembaga bisnis yang penuh dengan risiko, bahkan bisa dipailitkan. Risiko besar tersebut dapat mengakibatkan APBN tidak dikelola secara produktif dan tidak untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Di samping itu, dengan masuknya pengeluaran BUMN ke dalam … ke dalam keuangan negara (APBN), maka pengelolaan BUMN menjadi
27
birokratis yang tidak sejalan dengan prinsip bisnis yang memerlukan keputusan dan tindakan yang tepat. Ketua dan Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi yang … Yang Mulia. Kita menyadari bahwa usaha BUMN sebagian besar adalah berbentuk perseroan terbatas yang berarti mereka harus tunduk kepada Undang-Undang Perseroan Terbatas dan/atau berbentuk Perusahaan Umum (Perum). Dengan demikian meraka adalah lembaga bisnis yang ditugaskan oleh pemerintah untuk memupuk keuntungan dan melayani masyarakat berdasarkan prinsip bisnis dan menyetorkan sebagian keuntungan itu kepada negara melalui APBN. Bila BUMN ditugaskan oleh pemerintah untuk melayani masyarakat bukan berdasarkan prinsip bisnis, maka selisih biaya bisnis dengan biaya pelayanan yang diinginkan pemerintah harus disubsidi oleh pemerintah sesuai dengan prinsip kewajiban pelayanan umum (Public Service Obligation (PSO)). Mengingat BUMN adalah merupakan lembaga bisnis, maka operasionalnya bisa memberikan keuntungan, tetapi juga bisa menimbulkan kerugian. Tidak ada bisnis yang terbebas dari kemungkinan kerugian. Bila terjadi kerugian, tentu menurut UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003 kerugian tersebut menjadi kerugian negara. Dan dengan demikian kebijakan direksi yang menimbulkan kerugian negara tersebut dapat dituntut di pengadilan dan dihukum. Tindakan yang dapat menimbulkan kerugian inilah menja … yang menjadi momok bagi setiap anggota direksi BUMN. Mereka ingin menjadi direksi bukan untuk menjadi tersangka atau terpidana. Mengapa demikian? Karena bisnis bisa saja bulan ini untung dan bulan dan … dan tahun ini rugi. Tapi bul … bulan depan atau tahun depan untung. Titiktitik kerugian akan menjadi incaran para penegak hukum, serta … seperti halnya berburu di dalam kebun binatang. Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya … yang saya muliakan. Apabila risiko bisnis berupa kerugian misalnya, bisa dibuktikan karena kekuranghati-hatian atau ada unsur kesengajaan dari direksi dalam mengambil keputusan tentu ada mekanisme pengawasan internal atau eksternal yang mengena … yang menangani hal itu. Bila terbukti ada unsur kesengajaan, tentu direksi yang bersangkutan dapat dituntut di pengadilan. Sudah barang tentu biaya pengamanan hukum terebut merupakan tanggung biaya bagi BUMN yang bersangkutan yang berarti mengurangi keuntungan dan setoran keuntungan kepada negara. Kedua ketentuan perundangan yang tampaknya bertentangan tersebut tentu tidak saja menjadi momok bagi direksi, tapi juga dapat mengurangi keberanian direksi mengambil terobosan bisnis dalam persaingan perusahaan yang semakin ketat dan bersifat global. Padahal terobosan bisnislah yang menjadi salah satu kunci utama untuk memenangkan persaingan dalam persaingan global. 28
Kita menyadari bahwa Indonesia sudah menandatangani Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN juga dengan Cina dan India beberapa tahun yang lalu. Dan pada tahun 2015, tinggal satu tahun lagi, kita juga bisa sudah menyepakati berlakunya masyarakat ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community (AEC)). Hal ini berarti pada tahun 2015 perdagangan barang, perdagangan jasa, dan investasi akan bebas bergerak tanpa hambatan antarnegara … antarnegara-negara ASEAN. Dan mulai tahun 2020 negara sedunia anggota World Tread Organization sudah sepakat untuk mempraktikan perdagangan bebas (free trade). Dengan demikian bisa kita bayangkan betapa ketatnya persaingan bisnis dalam beberapa tahun mendatang … ke … ke depan dan gejalanya sudah mulai kita rasakan sekarang. Pilihannya hanya ada dua, yaitu Indonesia mengisi dunia atau Indonesia diisi oleh dunia. Presiden Soeharto di tahun 9 … 1993 berkata, “Mau tidak mau, suka tidak suka, siap tidak siap, dunia menuju ke liberalisasi.” Di tengah persaingan ketat ini BUMN diminta untuk terus meningkatkan daya saingnya dan berlari kencang. Ironisnya, di satu sisi kita minta mereka berlari kencang, tapi di lain sisi mereka kita ikat dengan ketentuan perundang-undangan yang mem … membuat mereka gamang untuk berlari kencang. Saya menyarankan apabila nanti yang terjadi Indonesia diisi oleh dunia, maka janganlah kita menyalahkan BUMN. Kenapa? Karena para Komisaris, Direksi dan karyawan BUMN setiap saat terancam dipidanakan akibat diamanatkan oleh Pasal 2 huruf g dan huruf i Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003. Sekedar informasi saya mendapat kabar dari teman-teman saya Thailand bahwa tenaga kerja di Thailand mereka sudah belajar bahasa Indonesia. Berarti begitu masuk 1 Januari 2000 … 2015, mereka akan mengisi Indonesia. Demikian juga dengan tenaga kerja dari Filipina dan dari Laos. Izinkan saya untuk mensitir apa yang di … apa yang telah dibahas oleh Founding Fathers Amerika Serikat Alexander Hamilton, James Madison, dan John Jay di awal kemerdekaan Amerika Serikat pada penghujung abad ke-18 yang ditulis dalam buku yang berjudul The Federalist terbit tahun 2000, Modern Library Edition, New York. Buku ini memuat surat-menyurat di antara ketiga tokoh itu. Dua orang tokoh di muka menjadi first presiden Amerika Serikat dan yang menjadi John Jay ketua Supreme Court. Mereka bertanya “Apa yang kita inginkan untuk membentuk federal goverment? Mereka menjawab, “We wan’t happiness” Menurut mereka sependapat, No happiness without liberty and no liberty without self goverment, and no self goverment without constitution, and finally no constiution without morale. Jadi mereka itu ketika membuat undang-undang dimulai dengan moral yang baik the
29
utmost good faith. Yang ada dan harus dibela adalah kepentingan rakyat (trust public) dan bukan kepentingan aku. Izinkan pula saya menyampaikan pengalaman saya sebagai Ketua Fraksi Utusan Golongan pada Majelis Permusyawaratan Rakyat Periode 1999-2004. Ketika itu Presiden Abdurrahman Wahid sudah terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia yang ke empat pada hari Senin, 19 Oktober 1999. Rencananya pada hari Rabu akan dipilih wakil presiden Republik Indonesia, tetapi pada hari Selasa oleh Ketua MPR di undang ke 11 fraksi di MPR untuk rapat. Pada saat itu Ketua MPR berujar, “Saudara–Saudara ketua fraksi sengaja kita undang pada rapat ini karena ada usul dari beberapa fraksi sebagai berikut. Sebaiknya Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, “Didalam melakukan kewajibannya presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden.” Supaya usulnya diubah menjadi dalam melakukan kewajibannya dibantu oleh wakil presiden. Kalau kita setuju maka amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah kita putuskan kita buka lagi untuk mengamandemen Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 ini menjadi seperti yang diusulkan. Dan setelah itu baru kita memilih wakil presiden. Saya pada waktu itu sebagai Ketua Utusan Golongan berkata, “Bukankah amandemen Undang-Undang Dasar 1945 sudah selesai, kalau kita membuka lagi itu seharusnya dilakukan pada sidang MPR yang akan datang, atau pada sidang istimewa MPR.” Kedua, “Kalau wakil presiden kita lebih dari satu dan sama jumlah dengan jumlah fraksi yakni 11 orang apakah kita tidak malu, saya pribadi (suara tidak terdengar jelas) untuk menjadi wakil presiden karenanya sepertinya belum ada dalam sejarah dunia suatu negara yang wakil presidennya sebanyak 11 orang, akibatnya diputuskan tidak jadi. Hal seperti ini lah yang jika terjadi di dalam perumusan Pasal 2 huruf g dan huruf i Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 6 ayat (5), Pasal 9 ayat ... huruf b, dan Pasal 11 huruf a Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2005-2006 tentang BPK. Dimana yang diperjuangkan bukanlah kepentingan saya. Peristiwanya bermula ketika ... kepala BPK Bapak Prof. Dr. D.B. Sumardi di Tahun 1993. Sebagai ketua BPK beliau memerlukan tenaga akuntan, maka beliau merekrut seorang akuntan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Departemen Keuangan Republik Indonesia. Saudara akuntan ini kerjaannya sebagai auditor BUMN ke BPK, jadi Saudara akuntan ini sehari-hari kerjanya adalah mengaudit BUMN dan dibawa kerjaan ke BPK. Dan ketika beliau ini pensiun kegiatan BPK memeriksa BUMN diteruskan dan pada waktu itu Departemen Keuangan dikuasai oleh mahzab kekayaan negara yang dipisahkan (suara tidak terdengar jelas) yakni diatur oleh Kitab UndangUndang Hukup Perdata, tetapi di departemen juga ada juga pemegang mahzab kekayaan negara yang dipisahkan itu termasuk urusan negara 30
dan berjalannya waktu tokoh-tokoh pada masa pertama sudah pada pensiun, saya pensiun dan akibatnya mahzab kedua lah yang kemudian menyuarakan kehendaknya pada Undang-Undang Keuangan Negara Tahun 2003 Badan Pemeriksaan Keuangan Tahun 2006. Ketentuan Pasal 2 huruf g dan huruf i Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 bisa menimbulkan multi tafsir, bisa dikatakan bahwa kerugian satu kegiatan yang dilakukan BUMN lalu dibaca sebagai kerugian negara. Misalnya, satu kredit macet di satu bank BUMN lalu Direktur Utama banknya dipidanakan? padahal bisnis perbankan, kredit macet adalah merupakan bagian dari pada risiko bisnis yang lazim. MK dalam putusannya Nomor 77/PUU-IX/2011 tanggal 25 September 2012 yang lalu telah menyatakan bahwa piutang bukan piutang negara dan hutang BUMN bukan hutang negara, seyogyanya di sini ditegaskan juga bahwa kerugian BUMN bukan kerugian negara, disamping itu sudah ada keyakinan PBB untuk porsi swasta dan Indonesia menandatangani piaga ini. Akhirnya izinkanlah saya sebagai Ahli keuangan negara mengusulkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menegaskan dan menyatakan bahwa Pasal 2 huruf g dan huruf i Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tidak memberikan kepastian hukum dan tidak mendukung upaya penguatan kekayaan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu ketentuan pasal ini tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan dengan demikian parallel dengan usul ini, maka ketentuan Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (i) huruf b, Pasal 11 huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK juga tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan. Demikianlah pandangan kami terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 ini semoga bermanfaat adanya dan mohon maaf apabila dalam penyampaian kami terdapat hal yang kurang berkenan. Sekian, wassalamualaikum wr. wb. 28.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR Baik, silakan Pak Marzuki duduk dulu. Ini waktunya kita sudah sangat terbatas, mungkin kita akan dengar dua keterangan Saksi karena sudah disumpah. Yang pertama Saudara Erwin Nasution. Ya, dipersilakan, cepat, Pak, 5 sampai 7 menit kalau bisa.
29.
SAKSI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 62/PUU-XI/2013: ERWIN NASUTION Bismillahirrahmaanirrahiim, assalamualaikum wr. wb. salam sejahtera bagi kita semua. Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah 31
Konstitusi yang saya muliakan, Pemohon beserta kuasa hukum yang saya hormati, pihak Pemerintah yang saya hormati, hadirin sekalian yang saya hormati. Izinkanlah saya Erwin Nasution Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara IV (Persero) atau yang disingkat dengan PTPN 4. Menyampaikan keterangan sebagai saksi sesuai permintaan dari forum hukum BUMN selaku pihak Pemohon dalam Perkara Nomor 62/PUUXI/2013 tentang Uji Materi Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, selanjutnya disebut Undang-Undang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan yang selanjutnya disebut Undang-Undang BPK terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Kedudukan hukum (legal standing) forum hukum BUMN. Forum hukum BUMN adalah sebuah badan hukum yang dibentuk oleh pejabat dan/atau (…) 30.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR Saya kira itu tidak usah lagi, Pak. Sudah dijelaskan kemarin itu. Langsung poinnya saja Pak, Supaya kita menghemat waktu ya. Soal legal standing atau kedudukan hukum, itu enggak usahlah itu Hakim yang menilai.
31.
SAKSI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 62/PUU-XI/2013: ERWIN NASUTION Terima kasih, Yang Mulia.
32.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR ini.
33.
Langsung saja poinnya apa yang ingin Bapak sampaikan, biar kita
SAKSI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 62/PUU-XI/2013: ERWIN NASUTION Dalam dunia usaha adalah menjadi suatu yang jamak agar perusahaan dapat meningkatkan kinerjanya dan memberikan keuntungan yang maksimal kepada pemegang saham. Maka perusahaan harus dikelola secara profesional, efisien, dan selalu menciptakan inovasi, serta terobosan-terobosan baru, sehingga perusahaan mampu bersaing. Namun dengan melekatnya status keuangan negara pada BUMN. Manajemen PTPN 4 sering mengalami keraguan dan ketakutan dalam mengambil keputusan bisnis (business judgement). Misalnya keputusan kapan waktu yang tepat menjual produk-produknya atau membeli produk-produk lainnya karena apabila setelah dilakukan misalnya 32
penjualan CPO, tiba-tiba harga CPO itu naik dan ini mungkin dianggap merupakan kerugian. Atau sebaliknya, setelah dilakukan pembelian TBS. Tiba-tiba harga tandan buah segar tersebut turun drastis yang mungkin ini mengalami kerugian. Maka keputusan manajemen PTPN dalam menjual CPO atau membeli TBS tersebut akan dipersalahkan karena telah merugikan PTPN 4 yang pada akhirnya merugikan keuangan negara. Demikian juga dalam hal pengambilan bisnis (business judgement). Berkaitan dengan rencana ekspansi pengembangan usaha, serta dalam hal pengembangan proyek baru. Selalu dibayangi ketakutan kalau keputusan tersebut akan merugikan perusahaan. Yang pada akhirnya justru dapat dikategorikan merugikan keuangan negara sehingga dituduh melakukan korupsi sebagaimana diketahui bahwa setiap kegiatan bisnis pasti akan memiliki risiko yang besar. Atas ketakutan dan keraguan-keraguan dalam pengambilan keputusan bisnis (business judgement). Maka semua keputusan bisnis akan selalu kami konsultasikan dan meminta pendapat dari berbagai pihak. Baik pihak kejaksaan, BPKP, konsultan keuangan, dan konsultan hukum. Terkadang kami meminta pendapat lebih dari satu konsultan sebagai second opinion. Dengan sistem pengambilan keputusan seperti ini. Maka sudah dipastikan dalam pengambilan keputusan bisnis (business judgement) membutuhkan waktu yang relatif lama serta menimbulkan biaya yang cukup tinggi (high cost). Sedangkan dalam dunia usaha, agar tidak kehilangan momentum bisnis. Direksi diminta untuk mengambil keputusan bisnis (business judgement) yang cepat dan tepat. Dalam perolehan BUMN, Kementerian BUMN telah menerbitkan peraturan Menteri BUMN Nomor /01/MBU/2011 tentang Penetapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good For Government) pada Badan Usaha Milik Negara. Ketentuan ini menjadi pagar bagi direksi dalam pengelolaan BUMN haruslah memenuhi prinsip-prinsip transparansi, akuntabiliti, responsibility, independensi, dan vernes. Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Saat ini sebagai gambaran prosentase luas lahan milik BUMN Perkebunan terus mengalami penurunan sesuai dengan tabel yang ada. Kita melihat bahwa perkebunan rakyat sejak tahun 1990 sampai dengan tahun 2009 terus meningkat menjadi dari 26% menjadi 44%. Sedangkan BUMN Perkebunan, sejak tahun 1990 yang luasnya 33% turun tahun 2009 sampai dengan sekarang hanya 8%. Swasta 41% meningkat menjadi 48%. Menurunnya prosentase penguasaan lahan oleh BUMN Perkebunan ini, dikarenakan direksi BUMN Perkebunan dalam mengambil keputusan pengembangan lahan tidak secepat dan seagresif direksi perusahaan swasta lainnya. Salah satu penyebabnya adalah ketakutan dan keragu-raguan apabila keputusan pengembangan lahan tersebut
33
dapat menimbulkan kerugian keuangan negara dan pada akhirnya bermuara pada tuduhan-tuduhan lainnya. Ketentuan Pasal 2 huruf i Undang-Undang Keuangan Negara menyatakan “Keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 meliputi, kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan cara menggunakan presentasi dan pendidikan oleh pemerintah.” Ketentuan Pasal 2 huruf i Undang-Undang Keuangan Negara telah memberikan kepastian dan dapat merugikan perusahaan sebagai perusahaan mitra perusahaan inti dalam pembangunan kebun plasma. Sebagaimana diketahui bahwa Kementerian Pertanian melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Permentan, OT 140/2/207 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan mewajibkan kepada seluruh perusahaan perkebunan Indonesia untuk membangun kebun plasma. Selanjutnya, sesuai Peraturan Menteri Pertanian Nomor 33/Permentan/OT140/7/2006 tentang Pengembangan Perkebunan Melalui Program Revitalisasi Perkebunan, pola pembangunan kebun plasma melalui program revitalisasi pembiayaannya melalui kredit perbankan dan subsidi bunga dari pemerintah. Untuk membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, saat ini PTPN IV sedang dan akan membangun kebun plasma di Kabupaten Madina, Kabupaten Padang Lawas dan beberapa kabupaten di Provinsi Aceh. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 huruf i Undang-Undang Keuangan Negara, maka status kebun plasma yang dibiayai melalui program revitalisasi merupakan keuangan negara karena adanya subsidi bunga dari pemerintah. Melekatnya keuangan negara pada kebun plasma, jelas akan merugikan PTPN IV sebagai penjamin kredit (avalist). Karena apabila terjadi kredit macet, kebun plasma tidak dapat diserahkan kepada kreditur untuk membayar utang. Sehingga risiko pembangunan kebun plasma sebagai akibat tidak mampu membayar kredit menjadi tanggung jawab dan kerugian PTPN IV. Selain itu, kerja sama pembentukan perusahaan patungan industri hilir. Untuk mengurangi ketergantungan PTPN IV atas harga CPO, maka direksi mengambil kebijakan dalam pengembangan industri hilir berbahan baku CPO. Mengingat keterbatasan SDM dan pengalaman dalam bidang pelaksanaan produk, maka untuk pengembangan industri hilir, PTPN IV mengundang perusahaan swasta untuk melakukan kerja sama (joint venture). Perusahaan swasta bersedia bekerja sama dengan PTPN IV dengan syarat PTPN IV harus menjadi pemegang saham minoritas. Mereka takut kalau PTPN IV menjadi pemegang saham mayoritas, maka neraca keuangan anak perusahaan terkonsolidasi ke PTPN IV, sehingga mungkin para pemeriksa berhak melakukan pemeriksaan audit pada anak perusahaan tersebut. Nah, ini merupakan suatu kendala yang
34
kadang-kadang kita untuk joint venture selalu mengalami hambatanhambatan kita sebagai pemegang saham mayoritas. Selanjutnya, penyelesaian sengketa lahan. Permasalahan utama saat ini yang dialami oleh perusahaan perkebunan banyak perusahaan swasta maupun BUMN adalah permasalahan sengketa lahan. Status lahan HGU yang dimiliki tidak memberikan jaminan hukum, lahan dapat dikelola dan dikuasai sebagaimana mestinya tanpa ada tuntutan. Pola penyelesaian permasalahan lahan antara perusahaan swasta dengan perusahaan BUMN berbeda. Bagi perusahaan swasta, mereka akan melakukan hitungan bisnis apabila proses penyelesaian dengan pemberian kompensasi masih lebih menguntungkan daripada melalui proses pengadilan. Maka mereka akan memilih untuk penyelesaian melalui pemberian kompensasi, sehingga kebun segera dapat dikuasai dan dipanen kembali. Namun berbeda bagi Direksi Perusahaan Perkebunan BUMN, bentuk penyelesaian dengan pemberian kompensasi tidak mempunyai dasar hukum yang kuat dan berpotensi dapat menimbulkan kerugian keuangan perusahaan dan pada akhirnya dianggap merugikan keuangan negara. Sehingga direksi perusahaan atau PTPN dalam menyelesaikan permasalahan lahan tersebut selalu mengutamakan bentuk penyelesaian melalui proses pengadilan, sehingga dapat dipastikan penyelesaiaannya membutuhkan waktu yang cukup lama dan berpotensi menimbulkan kerugian bagi PTPN atau perusahaan BUMN. Karena selama proses pengadilan, kebun tetap diduduki oleh masyarakat, sehingga PTPN tidak dapat melakukan pemanenan dan tanaman akan rusak karena tidak melakukan perawatan sebagaimana mestinya. Selanjutnya, contoh tanaman ulang seperti tanaman kepala sawit atau karet yang mempunyai umur ekonomis, kita ketahui sampai dengan 25 tahun. Namun dalam kondisi tertentu, misalnya karena kondisi lahan, atau bibit, atau alam, tanaman kelapa sawit atau karet yang belum sampai usia 25 tahun sudah tidak ideal lagi dan tidak memberikan produktivitas secara maksimal dari sisi manajemen penggantian tanaman dengan tanaman baru akan lebih menguntungkan bagi perusahaan daripada mempertahankannya. Akan tetapi karena tanaman kelapa sawit atau karet tersebut masih mempunyai nilai buku yang tinggi, maka selalu direksi tidak berani mengganti tanaman kelapa sawit atau karet tersebut dengan tanaman baru karena ini merupakan kerugian daripada perusahaan dan mungkin bisa disebutkan menjadi kerugian negara. Oleh karena itu, berdasarkan uraian tersebut di atas, besar harapan saya kepada Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mewujudkan harapan saya sekaligus mewakili insan BUMN, yaitu: 1. Putusan Mahkamah Konstitusi memberikan kepastian hukum bagi BUMN.
35
2. BUMN memiliki kesetaraan (equal level of playing field) yang sama dengan perusahaan swasta lainnya. 3. Adanya pemahaman yang sama antara pengurus BUMN dengan pemerintah, BPK, dan penegak hukum. 4. Perlu harmonisasi atas peraturan perundang-undangan lain yang belum sejalan, sehingga tidak ada lagi multitafsir, khususnya Undang-Undang Keuangan Negara lembaga yang melalukan pengawasan audit terhadap BUMN, sehingga adanya kepastian hukum. 5. Terakhir kami mohonkan agar Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim Konstitusi mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya. Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan, demikianlah yang saya … dapat saya sampaikan sehubungan dengan permohonan uji materiil oleh Pemohon berdasarkan apa yang saya ketahui dan saya alami selama ini sebagai Direksi BUMN. Atas perhatian dan kesabaran Ketua, dan Para Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia, serta hadirin yang saya hormati mendengarkan pemaparan saya ini, saya sampaikan banyak terima kasih dan mohon maaf apabila ada pemaparan saya ini yang tidak berkenan. Wassalamualaikum wr. wb. 34.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR Silakan duduk, Pak Erwin. Bapak, Ibu yang saya muliakan karena waktunya sudah jam 12.30 WIB dan kita ada persidangan lagi, sehingga untuk saksi yang lain akan kita periksa pada sidang yang berikutnya. Dan saya yakin juga Bapak-Bapak ini pasti sudah lapar juga dan … dan harus salat. Ada sisa waktu untuk dilakukan dialog atau tanya-jawab. Karena dari Hakim juga akan ada yang melakukan pertanyaan, baik kepada Ahli maupun Saksi. Tapi sebelumnya saya tawarkan kepada Pemohon, ada hal yang mau ditanyakan atau cukup?
35.
PEMOHON PERKARA NOMOR 62/PUU-XI/2013: Terima kasih, Yang Mulia. Kami mohon izin, mengingat hari ini hanya ada satu saksi fakta (…)
36.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR Ya.
36
37.
PEMOHON PERKARA NOMOR 62/PUU-XI/2013: Sesuai dengan yang kami mohonkan kepada Yang Mulia kan seharusnya empat, itu mungkin kami minta izin kepada Yang Mulia Ketua dan Majelis Mahkamah Konstitusi untuk persidangan berikutnya. Dan sesuai dengan permohonan kami, ada 2 saksi fakta lagi. Nah, ini mohon izin Yang Mulia apakah pada sidang berikutnya berarti 5 saksi fakta ini bisa kami hadirkan, kami serahkan sepenuhnya mohon izin kepada Ketua dan Mahkamah Konstitusi. Terima kasih, Yang Mulia.
38.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR Ya, Saudara Pemohon Nomor (…)
39.
PEMOHON PERKARA NOMOR 62/PUU-XI/2013: 62, Yang Mulia.
40.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR 62, ya. 62 ini saksinya sudah banyak juga ya, saksi faktanya. Seluruh dirut BUMN bersaksi di Mahkamah Konstitusi tentang keluhkesahnya sebab saya lihat ini direktur-direktur semua. Saudara akan menambah berapa tadi? 4?
41.
PEMOHON PERKARA NOMOR 62/PUU-XI/2013: Menambah 2 lagi, Yang Mulia. Direktur Utama BUMN, Yang Mulia. Jadi menjadi 5, Yang Mulia.
42.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR Ya.
43.
PEMOHON PERKARA NOMOR 62/PUU-XI/2013: Terima kasih, Yang Mulia.
44.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR Kalau dari Pemohon 48?
37
45.
PEMOHON PERKARA NOMOR 48/PUU-XI/2013: TJIP ISMAIL Dari Pemohon 48 Yang Mulia bahwa sesuai dengan permohonan kami, kami akan mengajukan 1 orang saksi ahli dan 1 orang dari fakta.
46.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR Jadi 1 ahli dan tambah satu, berarti 2 fakta?
47.
PEMOHON PERKARA NOMOR 48/PUU-XI/2013: TJIP ISMAIL Ndak. Jadi kekurangannya satu lagi Pak, saksi ahli dan satu fakta sesuai permohonan kami (…)
48.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR Satu ahli dan dua fakta berarti dengan yang sekarang, begitu? Atau 3? 2 saja, kan? Oke. Baiklah, kalau begitu nanti pada sidang beriktunya insya Allah. Karena tadi ini kan kita harus mendengar keterangan DPR dan BPK sehingga seharusnya pada sidang-sidang yang lalu kan kita bisa selesaikan semua untuk pemeriksaan saksi-saksi sehingga waktunya agak terpotong. Nanti dibawa saja semua untuk pada sidang yang berikutnya, ya. Baiklah, dari meja Pemerintah akan mengajukan saksi atau ahli ndak pada sidang berikutnya?
49.
PEMERINTAH: HADIYANTO (…)
50.
Ya, Yang Mulia. Pada waktunya nanti akan mengajukan sekitar
KETUA: M. AKIL MOCHTAR Kita selesaikan Pemohon dulu, ya.
51.
PEMERINTAH: HADIYANTO Ya, Pak.
52.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR Karena nanti masih ada 1 kesempatan Pemohon, setelah itu nanti baru Pemerintah ya.
38
53.
PEMERINTAH: HADIYANTO Ya.
54.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR Baik. Dari meja Hakim akan ada hal yang ditanyakan. Pak Harjono?
55.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO Saya tanya singkat saja, sebetulnya banyak yang saya tanyakan tetapi nanti saya tidak bisa menjamin bahwa para ahli berdua ini bisa datang pada persidangan berikutnya. Harapannya bisa datang, kemungkinan masih ada pertanyaan lain. Begini, saya akan tanya pada Pak Nindyo saja, Prof. Nindyo. Macam hubungan apa sebetulnya yang timbul antara pemegang saham dari BUMN dengan pengurus atau direksi dari BUMN itu? Hubungan hukum macam apa ini? Sebentar, ya. Yang kedua adalah apakah terhadap BUMN ini juga bisa dikenai ketentuan undang-undang tentang persaingan usaha tidak sehat? Ini yang saya tanyakan pada Pak Nindyo. Sebetulnya masih banyak lagi yang menyangkut persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pendelegasian. Tapi 2 hal ini saja yang saya minta jawabannya pada saat sekarang ini. Terima kasih.
56.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR Pak Patrialis Akbar?
57.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Terima kasih, Ketua. Pertama kepada Prof. Nindyo maupun juga Pak Marzuki Usman. Tadi juga sudah kita dengar penyampaian yang disampaikan oleh … pikiran-pikiran yang disampaikan oleh BPK. Saya ingin menanyakan kira-kira dari ahli, untuk pengawasan apa yang lebih efektif yang bisa dilakukan terhadap harta kekayaan negara, apakah itu termasuk keuntungan yang sudah ditetapkan? Bentuk pengawasannya itu, ini tadi yang dikhawatirkan. Yang kedua, dari saksi fakta Saudara Erwin Nasution. Tadi ada beberapa kekhawatiran, ketakutan dalam melaksanakan perusahaan. Yang ingin saya tanyakan adalah fakta-fakta apa yang juga pernah dirasakan, apakah BUMN-BUMN ini bisa dijadikan sebagai ATM-ATM tertentu oleh oknum-oknum tertentu Saudara sehingga Saudara takut? Jadi saya ingin mendapatkan fakta itu. Terima kasih.
39
58.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR Cukup, ya. Baiklah. Ada 2 penanya … pertanyaan dari …. Silakan dijawab dari ahli dulu, ya. Silakan Pak Nindyo.
59.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 62/PUU-XI/2013: NINDYO PRAMONO Terima kasih, Yang Mulia. Saya akan menjawab pertanyaan dari Yang Mulia Hakim Konstitusi Pak Harjono. Hubungan hukum antara pemegang saham dengan pengurus BUMN. Oleh karena Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 menunjuk yang dimaksud dengan BUMN. Saya contohkan kongkrit persero tunduk pada Undang-Undang PT, sehingga di dalam PT Persero ada organ PT biasa yaitu direksi, RUPS-RUPS, dewan komisaris, dan direksi. Hanya kalau 100% sahamnya adalah pemerintah maka RUPS-nya tunggal. Di era masa lalu, saya kritisi juga sebagai turitisi kalau keputusan RUPS dalam rangka mengangkat dewan komisaris atau direksi umpamanya dengan menggunakan kop kementerian, menurut saya keliru. Yang benar adalah kementerian selaku RUPS tunggal karena strukturnya adalah struktur PT. Kemudian kalau ditanyakan hubungan hukum antara pemegang saham dengan direksi, dia tunduk pada hubungan hukum PT. Lha hubungan hukum PT Undang-Undang 40 Tahun 2007 masih menganut paham atau doktrin perjanjian. Artinya sifat hubungan hukum kalau dalam konteks struktur RUPS tunggal dengan direksi sebagai organ yang mewakili PT. Kalau sekarang teori yang dianut dalam UndangUndang PT, masing-masing organ PT adalah otonom tidak seperti pola lama dulu masih diikuti di Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995. Struktur organ pengurus PT itu RUPS, dewan komisaris, dan direksi itu adalah atasan dengan bawahan, maka di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 terminologinya definisi autentiknya RUPS adalah pemegang kekuasaan tertinggi. Kata tertinggi di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun … sori, Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007 kata tertinggi dihilangkan ini mengandung makna mengikuti paham institusional masing-masing organ PT itu sejajar, masing-masing mandat yang diberikan oleh undang-undang. Jadi, kalau ada keputusan RUPS sebenarnya kalau dilaksanakan oleh direksi dalam perhitungan mekanisme manajemen yang benar, maka keputusan root itu dipandang merugikan perseroan. Seharusnya teori baru teori modern PT direksi boleh men-challenge keputusan root, tetapi doktrin seperti ini di Indonesia belum menjadi sesuatu yang … yang dipahami secara benar.
40
60.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO Saya tanya saja ini, Pak. Kalau dari apa yang disampaikan tadi berarti hubungannya itu fidusier kontraktual?
61.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 62/PUU-XI/2013: NINDYO PRAMONO Ya, hubungan fidusier jute.
62.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO Bukan satu hubungan yang penugasan?
63.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 62/PUU-XI/2013: NINDYO PRAMONO Bukan, hubungan fidusier jute.
64.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO fidusier kontraktual. Artinya calon pengurus pun juga ada otonom untuk mengatakan saya tidak mau?
65.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 62/PUU-XI/2013: NINDYO PRAMONO Ya, ya itu yang tadi saya katakan masing-masing otonom sebenarnya begitu.
66.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO ARDIP-nya itu sebagai suatu kontrak apa yang harus dilakukan, apa yang boleh dilakukan dengan catatan itu good (suara tidak terdengar jelas) melaksanakan itu, apa begitu kira kira?
67.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 62/PUU-XI/2013: NINDYO PRAMONO Di dalam anggaran dasar PT persero atau PT pada umumnya struktur organ PT itu, itu diatur masing-masing apa yang menjadi kewenangan RUPS, apa yang menjadi kewenangan dewan komisaris, apa yang menjadi kewenangan direksi. Masing-masing kewenangan ini kalau teori modern mengatakan mandat atau wewenang dari masingmasing wewenang organ PT itu datang dari undang-undang bukan 41
wewenang dewan komisaris itu bukan mewakili RUPS atau delegate komisaris dalam teori yang lama tapi sekarang itu adalah amanat undang-undang, masing-masing adalah organ PT sebagai restruktur. 68.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO Oke, pertanyaan kedua tadi?
69.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 62/PUU-XI/2013: NINDYO PRAMONO Yang kedua kalau dikaitkan … itulah kalau tidak ditempatkan PT persero yang menurut Undang-Undang BUMN sudah tunduk pada undang-undang PT maka akan bisa menjadi masalah karena di dalam undang-undang BUMN juncto Undang-Undang PT kalau ambil contoh sekarang undang-undang BUMN umpamanya akan sekarang yang terjadi di Kementerian BUMN ada semacam pola restrukturisasi BUMN melalui pola holding. Kita Indonesia belum punya holding company x seperti negara-negara maju, tetapi pola holding ini terjadi atas asas kebebasan berkontrak ini adalah hukum privat. Jadi, ada saya ambil contoh pupuk … BUMN pupuk saya kira sudah melakukan pola hoding yang dulu Pusri Palembang sekarang menjadi perusahaan holding. Di dalam melakukan holding ini kalau ternyata nanti dalam struktur kepemilikannya … saya … Hakim Yang Mulia mohon maaf, persis persentasenya saya lupa tapi yang saya ingat kisarannya ada sekitar 75%. Kalau dalam rangka struktur holding ini kemudian menguasai pangsa pasar 75%, maka nabrak Undang-Undang Antimonopoli artinya Undang-Undang Antimonopoli bisa masuk ke dalam ranah Undang-Undang PT persero maupun PT biasa. Kalau dalam konteks BUMN ya undang-undang BUMN. Jadi, ada kaitannya, Yang Mulia. Terima kasih.
70.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR Pak Marzuki Usman saya persilakan.
71.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 48/PUU-XI/2013: MARZUKI USMAN Terima kasih. Menjawab mengenai (…)
72.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR Bentuk pengawasan yang (…)
42
73.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 48/PUU-XI/2013: MARZUKI USMAN Ya, bentuk pengawasan. Berlaku pengawasan bisnis biasa berarti ada internal audit dan ada eksternal audit. Kalau eksternal audit itu tentu dilakukan oleh akuntan publik, tetapi apabila di perusahan itu terjadi moral hazard yang berlaku pidana biasa sesuai ketentuan yang dilanggarkan, tapi juga pengawasan yang lain misalnya di bidang perbankan dia tunduk kepada Undang-Undang Perbankan. Undang Undang Perbankan itu telah dipatrikan perlindungan kepada nasabah ada pasal yang berbunyi, “Komisaris, direksi, karyawan dari pada bank yang dengan sengaja tidak mencatat atau merubah catatan perbuatan tersebut adalah kriminal diancam dengan hukuman pidana badan 15 tahun dan denda maksimal Rp15 miliar rupiah.” Saya dulu ikut merumuskan itu saya dulu mengusulkan diancam dengan hukuman mati karena orang kira kapok mati saja masih ada berani mencuri. Yang kedua dulu kita usulkan pada waktu membuat UndangUndang Perbankan, komisaris, direksi, dan karyawan bank mengetahui bahwa kriteria tidak layak untuk diberikan, maka perbuatan tersebut adalah kriminal diancam dengan hukuman dan dugaan denda, tetapi nyatanya itu tidak jadi dimuatkan karena saya tidak lagi mengurus perbankan. Jadi kembali ya. Kemudian juga proses itu adalah urusan publik tunduk pada Undang-Undang Pasar Modal di situ untuk untuk menjaga supaya jangan sampai perusahan besar urus ada namanya perlu dibentukan di samping eksternal audit juga ada internal audit dibentuk misalnya harus membentuk komite audit harus membentuk komite remunerasi, harus membentuk komite SDM dan itu diharuskan dan diwajibkan. Dengan demikian, diharapkan bahwa perusahaan-perusahaan berbisnis itu akan berbisnis dengan benar dan jujur. Dan juga satu lagi tambahannya karena kita sudah menandatangani Piagam PBB mengenai Korupsi Swasta, maka ini juga untuk menolong bahwa agar perusahaanperusahaan kita itu dilakukan secara baik seperti perusahaan-perusahaan di negara lain. Dan ini untuk Yang Mulia unsur-unsur untuk mengharuskan perusahaan-perusahaan kita, sehingga dia berfungsi seperti … bergerak seperti perusahaan-perusahaan lain di dunia. Terima kasih.
74.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR Terakhir mungkin tadi, Pak Erwin, ya. Pernah diperas atau enggak? Jujur saja ngaku, sudah, begitu.
43
75.
SAKSI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 62/PUU-XI/2013: ERWIN NASUTION Terima kasih, Majelis Yang Mulia. Sebenarnya, tidak ada istilah diperas seperti itu. Kita menjalankan fungsi-fungsi organisasi korporasi, saya pikir, kita jalankan sebagaimana aturan-aturan yang ada. Namun, mungkin ketakutan-ketakutan yang saya sebutkan tadi dan saya contohkan, adalah merupakan fakta dan realita yang ada di lapangan bahwa banyak kendala-kendala yang membuat kita tidak fleksibel di dalam membuat keputusan-keputusan karena tadi, setiap ada keputusan-keputusan yang mungkin secara bisnis itu bisa merugikan atau rugi yang kita tahu bahwa bisnis itu selalu fungsinya risiko kerugian, itu menjadi kerugian negara. Itu yang mungkin kadang-kadang menjadi kekhawatiran yang kadang-kadang ini dimanfaatkan oleh masyarakat ataupun teman-teman yang ada di sekitar kita. Ini menjadi bahan bahwa setiap aktivitas kita yang mereka anggap ini merugikan, atau rugi mungkin, ini menjadi bahan yang mungkin dia taruh atau dia buang ke mana-mana yang menjadi beban kepada kita. Ini mungkin yang kami rasakan. Contohnya tadi saya sampaikan seperti kita menebang pohon atau mengganti pohon yang sudah tidak potensial lagi, yang secara ekonomis juga tidak juga bisa menguntungkan, tetapi … namun, secara nilai buku masih ada dan nilai buku yang kita punya itu, apabila kita buang, itu menjadi kerugian kalau di dalam istilah kerugian berupa kerugian perusahaan, ini dianggap merugikan keuangan negara. Ini selalu dioper oleh teman-teman yang ada di lapangan, ke mana-mana menjadi .. ya, kita menjadi lebih repot. Mungkin itu saja, Majelis Yang Mulia. Terima kasih.
76.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR Ya, tidak transparanlah. Ada juga saksi yang transparan, “Di sini dijadikan objek ATM,” katanya karena salah mengambil kebijakan. Terang-terangan sekarang. Saksi yang terdahulu, ya. Makanya pertanyaan seperti itu tadi. Tapi baiklah, apa pun namanya, tetap itu mengganggu bisnis yang baik. Sidang ini kita tunda hari Senin, ya. Tanggal 16 September 2013, pukul 14.00 WIB. Kita mulainya siang, untuk mendengar keterangan satu saksi dan sisanya ahli … eh, maaf, satu ahli dan sisanya adalah keterangan saksi. Dan saksi yang sudah disumpah tadi, wajib hadir lagi, yang belum memberikan keterangan. Itu didengar pada minggu berikutnya. Baik. Saya ulangi sekali lagi, ditunda hari Senin, tanggal 16 September 2013, pukul 14.00 WIB.
44
Dengan demikian, sidang dinyatakan selesai dan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 12.49 WIB Jakarta, 27 Agustus 2013 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
45