TINJAUAN YURIDIS PERGANTIAN ANTARWAKTU PEJABAT BADAN PEMERIKSAAN KEUANGAN (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013)
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh: Ahmad Holil NIM: 109048000042 KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1435 H/2014 M
ii
iii
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I (SI) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang penulis gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika suatu saat terbukti karya ini bukan hasil karya asli saya, maka saya bersedia menerima sanksi yang berada di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 9 Januari 2014
Ahmad Holil 109048000042
iv
ABSTRAK AHMAD HOLIL NIM 109048000042, TINJAUAN YURIDIS PERGANTIAN ANTARWAKTU PEJABAT BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (Putusan Mahkamah konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013). Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Klembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1434 H/2014 M. Xi + 85 halaman + 4 halaman daftar pustaka. Penelitian ini dilakukan untuk mencari dasar ketentuan dikabulkan untuk seluruhnya dari kasus pada perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 yang diajukan oleh seorang anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diangkat sebagai anggota pengganti antarwaktu, dan menjabat kurang dari 5 (lima) tahun. Bertentangan dengan Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang BPK. Menurut pemohon pada ketentuan Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan adanya ketentuan pada pasal tersebut pemohon merasa telah dirugikan hak konstitusionalnya sebagai bagian dari warga negara Indonesia yang dilindungi oleh UUD NRI 1945. Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif dengan analisis data kualitatif. Penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan doktrin (doctrinal approach). Selanjutnya sumber data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain bahan hukum primer yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 dan risalah sidangnya, serta peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Hasil dari penelitian ini adalah, bahwa Mahkam Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) bertentangan dengan UUD NRI 1945 demikian dengan Pasal 22 ayat (5) juga dianggap tidak memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat menurut keputusan Mahkamah Konstitusi walaupun tidak diajukan pengujiannya oleh pemohon. Menurut Hakim Mahkamah Konstitusi pokok dari permohonan pemohon adalah mengenai masa jabatan annggota pengganti antarwaktu yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan anggota yang digantikannya, walaupun proses pemilihan antara anggota BPK pengganti antarwaktu dan bukan adalah sama. Kata Kunci : Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Pengganti antarwaktu, Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang BPK, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembimbing
: Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH., MH.
Daftar Pustaka :
Tahun 1977 s.d Tahun 2012
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat, nikmat serta anugrah-Nya penulis dapat menyelesaikan skrispi ini. Sholawat serta salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Setulus hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih teramat jauh dari kata sempurna. Namun demikian, skripsi ini merupakan hasil usaha dan upaya maksimal dari penulis. Tidak sedikit hambatan, cobaan dan kesulitan yang ditemui. Banyak hal yang belum dapat penulis hadirkan dalam skripsi ini kerena keterbatasan pengetahuan dan waktu. Namun patut disyukuri kerena banyak pengalaman didapat dalam penulisan skripsi ini. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang teramat dalam dan tak terhingga kepada: 1. Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, S.H., M.H., M.A. selaku Dekan fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Terima kasih kepada Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A. selaku ketua program studi ilmu hukum serta Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. selaku sekretaris program studi Ilmu Hukum atas segala petunjuk dalam penyusunan skripsi ini.
vi
3.
Terima kasih kepada Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH., MH. Yang telah bersedia menjadi pembimbing penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran dan ketelitian memberikan masukan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan
4. Terima kasih kepada segenap dosen serta staf karyawan fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Terima kasih kepada Abdurauf, Lc. Selaku dosen pembimbing akademik, yang telah membimbing dan mengarahkan, baik dalam perkuliahan maupun dalam hal akademik lainnya. 6. Terima kasih kepada Nur Rohim Yunus, L.L.M yang bersedia meluangkan waktu dan memberikan masukan serta saran untuk penulis. 7. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua, ayahanda KH. Nahrawi dan ibunda Hj. Bahriyah, yang selalu berusaha dan berdoa memberikan yang terbaik untuk penulis, semoga Allah SWT senantiasa memberikan nikmat iman, islam, dan sehat kepada keduanya. 8. Terima kasih kepada kakak-kakak saya. H. Abdul Kholik, Musyarofah, Abdul Azis Azzamzami, Siti Humairo, adik penulis Saiful Maki, kakak-kakak ipar penulis teh Mimi, a’ Ajay, teh Dinar, ka Muiz, sepupu-sepupu penulis Rara, Ica, Dimi, Diaz, dan Ibas, serta keluarga besar yang selalu memberikan do’a, semangat, dan dukungan yang tak terhingga untuk kesuksesan penulis. 9. Terima kasih kepada sahabat Ilmu Hukum 2009, terutama Jajang Indra Fadila, S.H. yang telah bersedia mambantu penulis dalam pengerjaan skripsi ini,
vii
Roma Rizky Elhadi, Rivianta Putra, serta sahabat-sahabat yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis. 10. Sahabat-sahabat satu kosan dan teman bermain penulis Dawam Rahmat, Ihsan Habibi, Gufron Mahfud, Qidsy Cikal, Ilham Sinyo, Iqbal Muharram, serta sahabat-sahabat yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan segenap para akademisi dan masyarakat pada umumnya.
Jakarta, Desember 2013
Ahmad Holil
viii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.............................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING...........................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI.................................................
iii
ABSTRAK.............................................................................................
iv
KATA PENGANTAR.................................................................................
v
DAFTAR ISI..........................................................................................
viii
DATA LAMPIRAN..............................................................................
xi
BAB
BAB
I
II
PENDAHULUAN..............................................................
1
A. Latar Belakang....................................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusa Masalah....................................
7
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan.............................................
9
D. Metode Penelitian ...............................................................
10
E. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu...................................
14
F. Sistematika Penulisan..........................................................
16
PENGAWASAN
KEUANGAN
NEGARA
DAN
KONSTITUSIONAL.......................................................
HAK 18
A. Teori Pengawasan ............................................................
18
1. Pengertian Pengawasan...............................................
18
2. Urgensi Pengawasan....................................................
20
B. Sistem Pengawasan Keuangan Negara................................
ix
22
1.
2.
Pengertian
III
Urgensi
Pengawasan
Keuangan
Negara..........................................................................
22
Sejarah Pengawasan.....................................................
23
C. Mahkamah
BAB
Dan
Konstitusi
dan
Pengujian
Undang-
Undang.................................................................................
30
1. Sejarah Pembentukan MK.............................................
30
2. Kedudukan, Kewenangan Dan Kewajiban MK.........
32
3. Hukum Acara MK.........................................................
35
PENGGANTIAN
ANTARWAKTU
ANGGOTA
PEMERIKSA KEUANGAN (BPK)............................
38
A. BPK ................................................................................
38
1. Sejarah BPK................................................................ 2. Dasar
hukum,
Tugas,
Kedudukan
Dan
BADAN
39 Kewenangan
BPK..........................................................................
43
3. Keanggotaan BPK.....................................................
46
B. Pemberhentian Anggota Badan Pemeriksaan Keuangan.... C. Penggantian
Antarwaktu
Anggota
Badan
Keuangan.............................................................................
x
50 Pemeriksa 52
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN..........................................................
56
A. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 Tentang Pengangkatan Pergantian Antarwaktu.................................
56
B. Analisis dan Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 Tentang Pengangkatan Pergantian Antarwaktu Anggota BPK.......................................................................
62
C. Akibat Hukum Puutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUUXI/2013 Tentang Pengangkatan Pergantian Antarwaktu Anggota
BAB V
BPK.....................................................................................
74
PENUTUP............................................................................
78
A. Kesimpulan ........................................................................
78
B. Saran...................................................................................
79
DAFTAR PUSTAKA............................................................................. LAMPIRAN
xi
81
DATA LAMPIRAN
A. Putusan
Mahkamah
Konstitusi
Nomor
13/PUU-XI/2013
Tentang
Pengangkatan Pergantian Antarwaktu Anggota Badan Pemeriksa Keuangan B. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan
xii
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah Berbicara mengenai keuangan negara tentu akan langsung berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Meskipun sebenarnya, keuangan negara tidak hanya mengenai APBN saja akan tetapi semua hal yang dapat dinilai dengan uang, baik berupa barang maupun materi yang dimiliki serta dikuasai oleh negara. Secara nyata bahwa APBN yang digunakan untuk keperluan rumah tangga negara ditopang oleh bagian-bagian dari pada keuangan negara, seperti pajak, laba BUMN/BUMD serta sektor lainnya. Untuk menjaga efektifitas dan efisiensi dari pengelolaan keuangan negara yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun pihak lainnya, maka perlu dibentuk badan pemeriksa dari luar pemerintahan. Meskipun dalam internal pelaksanaan pengelolaan keuangan negara terdapat juga pengawasan tersendiri. Hal ini di Indonesia telah dibentuk suatu badan yang membidangi pemeriksaan dan pengawasan pada sektor keuangan negara yang bernama Badan Pemeriksa keuangan (BPK). BPK diposisikan sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk memeriksa dalam bentuk audit keuangan dari pada lembaga negara ataupun pihak lain yang melakukan pengelolaan keuangan negara. Hal tersebut ditujukan supaya tidak terjadi penyimpangan dalam hal pengelolaan keuangan negara oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Aspek keuangan negara dan tanggung jawab
1
2
pengelolaannya berkaitan erat pula dengan persoalan kewenangan lembaga negara yang ditentukan dalam undang-undang UUD 1945.1 Keuangan negara merupakan salah satu unsur pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan sebuah negara dan mempunyai manfaat yang sangat penting guna mewujudkan tujuan negara. Untuk mewujudkan tujuan itu, pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara memerlukan suatu lembaga pemeriksaan yang bebas, mandiri, dan propesional untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN.2 Badan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas pengawasan keuangan tersebut haruslah bersifat kebal terhadap pengaruh dari luar, baik dari Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif. Kekuasaan
eksaminatif
menurut
UUD
1945,
dilakukan
oleh
Badan
Pemeriksaan Keuangan (BPK). Badan ini diatur dalam pasal 23E, 23F, dan 23G UUD 1945 pasca-amandemen. Sebelum dilakukan perubahan UUD 1945, kelembagaan BPK diatur dalam pasal 23 ayat (5) berada dalam Bab VIII tentang hal keuangan.3 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia memiliki wewenang untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
1
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2008), h. 808. cetakan kedua. 2
Titik Wulandari Tutik, Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen 1945 (Jakarta: Kencana, 2010), h. 230. 3
h. 153.
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia (edisi revisi), (Jakarta : Rajawali Pers, 2012)
3
negara. Menurut UUD 1945, BPK merupakan lembaga yang bebas dan mandiri4 serta dipercaya untuk dapat mewujudkan clean and good governance dengan tugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan Negara. Tujuannya yaitu mewujudkan BPK sebagai lembaga pemeriksa keuangan negara yang independen dan profesional, mewujudkan BPK sebagai pusat regulator di bidang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara, dan mendorong terwujudnya tata kelola yang baik atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga negara yang independen mempunyai tugas untuk memeriksa pengelolaan keuangan negara. Pada hakikatnya, negara adalah suatu lembaga politik. Dalam kedudukannya yang demikian, negara tunduk pada tatanan hukum publik. Negara berusaha memberikan jaminan kesejahteraan pada rakyat. Karena itu, dengan tugas yang dimiliki oleh lembaga BPK dalam hal pengelolaan keuangan negara yang diharapkan dapat terciptanya pemerintahan yang baik. Dalam hal ini peran BPK sebagai lembaga negara yang bebas dan mandiri dituntut dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan undang-undang
4
Republik Indonesia, Pasal 23E, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Amandemen Ketiga.
4
yang berlaku untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas. Terkaitan dengan tugasnya tersebut BPK dapat memeriksa apa saja yang termasuk dalam harta kekayaan milik negara demi menghindari terjadinya pelanggaran dalam sektor keuangan negara khususnya korupsi. BPK diberi kewenangan oleh UUD 1945 untuk memeriksa keuangan negara dan bertanggungjawab atas pengelolaan keuangan negara.5 Hal selanjutnya yang dihadapi BPK sebagai sebuah lembaga yang mandiri adalah kedudukan serta fungsi BPK itu sendiri dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pemeriksaan keuangan itu sendiri sebenarnya merupakan bagian yang juga tidak terpisahkan dari fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintah secara umum. Kontrol atau pengawasan yang dilakukan badan yang berwenang pada sektor keuangan khususnya BPK haruslah dilakukan secara simultan dan menyeluruh sejak dari tahap rule making sampai tahap rule enforcing.6 Kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berada dalam ranah kekuasaan legislatif, atau sekurang-kurangnya berhimpitan dengan fungsi pengawasan yang dijalankan oleh DPR. Oleh karena itu, laporan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK harus dilaporkan kepada DPR untuk ditindaklanjuti sebagaimana mestinya.7
5
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Demokrasi , (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007), h. 821. Cetakan kedua. 6
Jimly Assihiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara, (Jakarta : Sinar Grafika, 2012), h. 138. Cetakan kedua. 7
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, (Jakarta: Kerjasama Antara Mahkamah Konstitusi RI dengan Pusat Studi HTN FH UI, 2004), hlm 37.
5
Di era reformasi sekarang ini, Badan Pemeriksa Keuangan telah mendapatkan dukungan konstitusional dari MPR RI dalam Sidang Tahunan pada Tahun 2002 yang memperkuat kedudukan BPK RI sebagai lembaga pemeriksa eksternal di bidang Keuangan Negara, yaitu dengan dikeluarkannya TAP MPR No.VI/MPR/2002 yang antara lain menegaskan kembali kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai satusatunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan negara dan peranannya perlu lebih dimantapkan sebagai lembaga yang independen dan profesional.8 Dalam sistem keanggotaan BPK sesuai dengan pasal 22 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan, apabila ada anggota BPK memundurkan diri atau diberhentikan sesuai dengan ketentuan yang dimaksud pada Pasal 18 atau Pasal 19 maka diadakan “pengangkatan pergantian antarwaktu anggota BPK” sesuai dengan syarat-syarat dan tata cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 dan Pasal 14 dan diresmikan oleh presiden. Dengan adanya Pasal 22 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa keuangan tersebut maka Drs. Bahrullah Akbar, BSc., S.E., MBA. selaku anggota Badan Pemeriksa Keuangan, sebagai pemohon yang mempunyai kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK untuk melakukan pengujian Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) UndangUndang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK yang telah merugikan hak konstitusional pemohon sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.
8
diakses dari www.bpk.go.id pada tanggal 16 Oktober 2013.
6
Bahwa dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa “pengangkatan pergantian antarwaktu”, yang menjadi permasalahan adalah sistem pergantian anggota BPK dimana ketika terjadi proses pergantian antarwaktu, maka untuk menentukan pengganti anggota BPK yang berhenti dan/atau diberhentikan adalah dengan menggunakan sistem seleksi, bukan otomatis menjabat bagi anggota yang sebelumnya mendapat suara terbanyak selanjutnya. Selain itu, masa jabatan anggota BPK pengganti adalah melanjutkan masa jabatan anggota BPK yang digantikan olehnya. Apabila melihat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011 tanggal 18 Oktober 2011 yang menyatakan Pasal 34 undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa pimpinan Komisi Tindak Pidana Korupsi baik pimpinan yang diangkat secara bersamaan maupun pimpinan pengganti yang diangkat untuk menggantikan pimpinan yajng berhenti dalam masa jabatannya memegang jabatan selama 4 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Padahal dalam Pasal 5 ayat 1 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK telah jelas disebutkan bahwa masa jabatan anggota BPK adalah 5 (lima) tahun, namun untuk anggota BPK pengganti antarwaktu masa jabatannya adalah melanjutkan sisa masa jabatan anggota BPK yang digantikannya. Bila masa jabatan anggota BPK pengganti antarwaktu tidak mencapai 5 tahun, jelas bahwa Pasal 22 ayat 4 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK bertentangan dengan
7
Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, dan Pasal 22 ayat 4 tersebut tidak memiliki kekuatan hukum tetap. Berdasarkan latar belakang dari permasalahan yang telah dipaparkan oleh penulis diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam skripsi dengan judul: “TINJAUAN YURIDIS PENGANGKATAN PENGGANTIAN ANTARWAKTU PEJABAT BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013)”. B.
Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Berdasarkan ha-hal yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah, dan agar penelitian lebih akurat dan terarah sehingga tidak menimbulkan masalah baru serta pelebaran secara meluas, maka dapat disusun pembatasan masalah guna memudahkan penyusunan skripsi ini maka penulis hanya membahas masalah yang terdapat pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 terhadap pengangkatan penggantian antarwaktu anggota BPK. Dalam hal uji materiil pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) tidak sesuai dan/atau bertentangan dengan Pasal 23F ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Rumusan masalah Rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah ketentuan yang terdapat pada Pasal 5 ayat (1) undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengatur dan menentukan bahwa masa
8
jabatan anggota BPK adalah 5 (lima) tahun. Namun pada prakteknya ada anggota BPK yang secara resmi diangkat namun tidak untuk menjabat selama 5 tahun. Rumusan masalah ini penulis rincikan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: a. Apa alasan konstitusional pengajuan uji materiil terhadap Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan ? b. Bagaimana
pertimbangan
hukum
Mahkamah
Konstitusi
dalam
memutuskan perkara Nomor 13/PUU-XI/2013 tentang pengangkatan penggantian antarwaktu anggota BPK? c. Bagaimana implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUUXI/2013 tentang pengangkatan penggantian antarwaktu anggota BPK terhadap hak individu sebagai warga negara?. C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui alasan konstitusional pengajuan uji materiil terhadap Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. 2. Untuk mengetahui landasan hukum pertimbangan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 tentang pengangkatan penggantian antarwaktu anggota BPK .
9
3. Untuk mengetahui implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 tentang pengangkatan penggantian antarwaktu anggota BPK. Sedangkan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah : 1. Manfaat praktis bagi penulis, pembaca, serta masyarakat
untuk
mengetahui apa saja yang menjadi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 tentang pengangkatan penggantian antarwaktu anggota BPK. 2. Dapat memberikan gambaran umum pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 tentang pengangkatan penggantian antarwaktu anggota BPK. 3. Dapat memberikan pengetahuan tentang implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 tentang pengangkatan penggantian antarwaktu anggota BPK. 4. Dapat memberikan ruang inspirasi bagi para penulis-penulis selanjutnya dalam mencari pokok permasalahan baru dalam bidang kelembagaan negara khususnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). D.
Metode penelitian Metode merupakan strategi utama dalam mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk menjawab persoalan yang dihadapi. Pada dasarnya sesuatu yang dicari dalam penelitian ini tidak lain adalah “pengetahuan” atau lebih tepatnya
10
“pengetahuan yang benar”, dimana pengetahuan yang benar ini nantinya dapat dipakai untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu.9 Jenis penelitian hukum yang dilakukan adalah penelitian yuridis normatif Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma.10 Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas,norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (agama). 1. Jenis penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah jenis yang berbentuk studi deskriptif analisis, yakni dengan cara penulisan yang menggambarkan permasalahan yang didasarkan pada data-data yang ada, lalu dianalisa lebih lanjut kemudian diambil kesimpulan. Metode ini bertujuan untuk menggambarkan sifat yang timbul karena sesuatu yang tengah berlangsung atau sudah terjadi pada saat riset dilakukan dengan memeriksa sebab-sebab dari gejala tertentu.11
9
Bambang Sunggono, Metode Peneitian Hukum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h..27-28. Cetakan pertama. 10
Fahmi M. Ahmadi. Jaenal Arifin, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Lembaga PenelitianUIN Syarif Hidayatullah, 2010), h. 31. 11
Husein Umar, Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis, (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 1996), h. 22.
11
Sedangkan pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang berusaha mengkombinasikan pendekatan normatif dan empiris.12 Dengan penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif, penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan serta norma-norma yang hidup dan berkembang di masyarakat. Adapun jenis data yang digunakan dalam penulisan ini adalah jenis data kualitatif, sehingga metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif merupakan penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Sementara metode penulisan yang digunakan adalah deskriftif analisis yakni dengan cara penulisan yang menggambarkan permasalahan yang didasari pada data-data yang ada, lalu dianalisa lebih lanjut untuk kemudian diambil kesimpulan. Untuk menunjang penelitian ini maka diperlukan sumber data yang berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan. Sumber data dapat diperoleh dari bahan yang tersedia, dengan pengelompokan sebagai berikut : a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoratif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer
12
Moleong J. Lexy, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT. Remaja Roda Karya, 2004), h. 28. Cetakan kedua puluh.
12
adalah terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan an putusan-putusan hakim.13 Bahan hukum primer yang digunakan penulis adalah Putusan Mahkamah Konstutisi Nomor 13/PUU-XI/2013, UU RI No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, peraturan BPK RI No. 1 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Peraturan BPK RI No. 2 Tahun 2007 tentang Kode Etik Badan Pemeriksaan Keuangan RI. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UndangUndang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah berupa semua bentuk publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, kegunaan bahan hukum sekunder adalah memberikan peneliti semacam “petunjuk” ke arah mana peneliti melangkah dalam penelitiannya.14 Bahan hukum sekunder yang digunakan oleh penulis disini adalah buku-buku yang membahas tentang hal-hal yang terkait dengan pembahasan penulis, antara lain, buku yang berkenaan dengan pembahasan mengenai Hukum Tata Negara, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, keuangan negara, dan buku-buku hukum
13
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana, 2005), h. 141. Cetakan
keempat. 14
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum......., h. 155.
13
lainnya, termasuk skripsi, tesis, dan disertasi tentang Hukum Tata Negara, jurnal ataupun materi-materi mengenai hukum yang berkenaan dengan proses penelitian ini. c. Bahan Tersier Bahan tersier merupakan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensilopedia, artikel, koran, majalah, situs, internet, jurnal, politik, dan pemerintahan serta makalah yang berkaitan. 2. Pendekatan penelitian Pendekatan penelitian yang diambil penulis adalah pendekatan perundangundangan (Statute Approach) dan pendekatan doktrinal (Doctrinal approach), karena penelitian yang penulis lakukan menggunakan metode yuridis normatif. Dalam hal pendekatan perundang-undangan (statute approach), dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.15 penelitian ini menjadikan peraturan perundang-undangan sebagai pokok kajian, yaitu peraturan yang berkaitan dengan kewenangan BPK sebagai lembaga independen dan keanggotaan BPK. Sementara itu dengan pendekatan doktrinal (doctrinal Approach), bahwa putusan dan ketentuan yang muncul setelah putusan Nomor 13/PUU-XI/2013 dalam sidang Mahkamah konstitusi yang berkaitan dengan ketentuan Pasal 22 ayat
15
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum..............., h. 93.
14
(1) dan ayat (4) mengenai pengangkatan pergantian antarwaktu dan masa jabatan anggota penggatian antarwaktu. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumentasi. Studi dokumentasi dilakukan dengan mengumpulkan bahan hukum yang telah disebutkan dalam sumber data yang terdiri dari 3 (tiga) jenis sumber data. 4. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis normatif kualitatif. Yaitu dengan menganalisis ketentuan dalam perundang-undangan serta buku-buku terkait secara komprehensip. Adapun mengenai teknik penulisan skripsi ini, mengacu pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum” yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidyatullah Jakarta, Tahun 2012.16 E.
Tinjauan (review) Kajian Terdahulu Dalam menjaga keaslian judul yang penulis ajukan perlu kiranya penulis lampirkan juga beberapa rujukan yang menjadi bahan pertimbangan. Antara lain : Skripsi dengan judul “Penggantian Antarwaktu (PAW) anggota DPR dan Implikasinya Dalam Konsep Perwakilan Rakyat” karya Rida Farida mahasiswa Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara Fakultas Syariah Dan Hukum
16
TIM Penyusun FSH, Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM), 2012.
15
angkatan 2008 yang membahasi tentang Pergantian Antarwaktu (PAW) dimana bisa menjadi pembanding dengan skripsi yang diangkat oleh penulis yang membahas Pengangkatan Pergantian Antarwaktu anggota BPK namun dengan tinjauan yurudis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013. Skripsi berjudul “Badan Pemeriksa Keuangan Dalam Ketatanegaraan Islam” yang disusun oleh saudari Rini Wulandari (konsentrasi Siyasah Syari’iyyah program studi Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum Uin Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2008). Membahas tentang kewenangan BPK dalam ketatanegaraan Indonesia dan membandingkannya dengan kewenangan Wilayah Mazhalim dalam pemerintahan Islam, dan apa yang menjadi persamaan dan pebedaan diantara keduanya. (wilayah mazhalim dalam ketatanegaraan islam adalah lembaga yang berwenang memeriksa perkara yang terkait dengan pemeriksaan terhadap harta milik negara). Buku berjudul “Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia” karangan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.17 pembahasan dalam buku ini adalah mengenai hukum Keuangan Negara pada salah satu babnya, yaitu: Pengertian tentang keuangan negara serta peran-peran lembaga negara khususnya BPK, kewenangan BPK dalam memeriksa keuangan negara, pembahasan lembaga atau badan usaha milik pemerintah
yang berkaitan
dengan
keuangan
negara,
dimana
didalamnya
berhubungan dengan kewenangan BPK.
17
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Demorasi , (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007), h. 807-888. Cetakan kedua.
16
Selanjutnya buku berjudul “Hukum Tata Negara Indonesia’ karangan Ni’matul Huda, S.H., M.Hum.18 menyinggung tentang cikal bakal pembentukan BPK dalam sejarah konstitusional Indonesia, Struktur kelembagaan BPK, dan Perluasan kewenangan BPK dalam kewenangan, fungsi, dan tugasnya. Selanjutnya Buku berjudul “Hukum Keuangan Negara” karangan Dr. Muhammad Djafar Saidi, S.H., M.H.19 membahas tentang pengelolaan keuangan negara, termasuk pemeriksaan keuangan negara, jenis pemeriksaan keuangan negara, tanggung jawab pemeriksaan keuangan negara, tanggung jawab pemeriksaaan, hingga tindak lanjut hasil pemerikasaan keuangan negara apabila ditemui pelanggaran. Buku dengan judul “Perkembangan dan Konsolidasi lembaga Negara” karangan Prof. Jimly Asshiddiqie,S.H. membahas tentang cikal bakal pembentukan BPK, konsepsi Badan Pemeriksaan Keuangan, fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintahan, pengertian uang dan keuangan negara itu menurut pasal 23 UUD 1945 yang tidak terbatas pada pengertian APBN.20 F.
Sistematika Penulisan Untuk menyajikan skripsi ini secara sistematis, maka penulis menyusun sistematika penulisan skripsi ini kedalam lima bab dengan susunan sebagai berikut : 18
Ni’matul Huda, Hukum Tata NegaraIndonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005) h. 205-209, cetakan pertama. 19
Muhammada Djafar saidi, Hukum Keuangan Negara, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h. cetakan pertama. 20
Jimly Assihiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara, (Jakarta : Sinar Grafika, 2012), h. 136 -145, cetakan kedua.
17
BAB pertama penulis membahas Pendahuluan yang terdiri dari (a) latar belakang masalah, (b) pembatasan dan perumusan masalah, (c) tujuan dan manfaat penelitian, (d) metode penelitian, (e) tinjauan (review) terdahulu, (f) metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB kedua penulis memberikan bahasan tentang Pengawasan Keuangan Negara (a) Sistem Pengawasan keuangan Negara dan Hak Konstitusional, (b) Badan Pemeriksa keuangan, (c) Mahkamah Konstitusi. BAB ketiga penulis membahas tentang Pengangkatan Penggantian Antarwaktu Anggota BPK. Isinya berupa (a) Sejarah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) (b) Kedudukan Dan Kewenangan BPK (c) Keanggotaan BPK, (d) Pemberhentian Anggota BPK, (e) Pergantian Antarwaktu Anggota BPK. BAB keempat ini penulis memberikan tema “Analisis, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 yang terdiri dari dua pembahasan (a) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 Tentang Pengangkatan Penggantian Antarwaktu Anggota BPK, dan (b) Analisis Dan Implikasi Putusan Putusan mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 Tentang Pengangkatan Penggantian Antarwaktu Anggota BPK Terhadap Hak Individu sebagai Warga Negara, (c) Akkibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 Tentang Pengangkatan Pergantian Antarwaktu Anggota BPK. BAB kelima penulis memberikan penutup yang berisikan kesimpulan dan saran, serta pada bagian akhir dilengkapi dengan daftar pustaka.
BAB II PENGAWASAN KEUANGAN NEGARA DAN HAK KONSTITUSIONAL A.
Teori Pengawasan 1. Pengertian Pengawasan Pengawasan berasal dari kata “awas”, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai Penilikan dan penjagaan, dalam kontek kata “mengawasi” memiliki arti melihat dan memperhatikan.1 Pengawasan adalah kegiatan yang dilakukan lembaga tinggi
terhadap kinerja
lembaga-lembaga
yang ada
dibawahnya, tujuannya adalah untuk melakukan kegiatan-kegiatan preventif, pengkoreksian, dan pelaporan kepada lembaga lainnya. Sebagai bahan perbandingan diambil beberapa pendapat dari para pengarang buku yang membahas atau menyinggung mengenai pengawasan, antara lain : Menurut Prayudi Pengawasan adalah suatu proses untuk menetapkan pekerjaan apa yang di jalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan atau diperhatikan.2 Artinya apa yang telah direncanakan masih memerlukan sebuah sistem yang akan memandu rencana tersebut agar tercapai. Menurut Saiful Anwar, pengawasan atau kontrol terhadap tindakan aparatur pemerintah diperlukan agar pelaksanaan tugas yang telah ditetapkan dan
1
Departemen Pendidikan Nasional ,Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 104. 2
Prayudi, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1981), h. 80.
18
19
dijalankan
dapat
mencapai
tujuan
dan
terhindar
dari
penyimpangan-
penyimpangan.3 Dengan kata lain menurut Saiful pengawasan adalah sebuah tindakan pencegahan yang perlu dilaksanakan agar tidak terjadi hal-hal diluar dari apa yang telah ditetapkan. Menurut M. Manullang mengatakan bahwa Pengawasan adalah suatu proses untuk menetapkan suatu pekerjaan apa yang sudah dilaksanakan, menilainya dan mengoreksi bila perlu dengan maksud supaya pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana semula.4 Pengawasan yang dimaksud Manullang berfungsi sebagai sebuah tolak ukur keberhasilan sebuah rencana kerja khususnya pemerintah. Dilain pihak menurut Sarwoto yang dikutip oleh Sujamto memberikan batasan bahwa Pengawasan adalah kegiatan manager atau orang yang mengatur dan bertanggung jawab dengan mengusahakan agar pekerjaan-pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan atau hasil yang dikehendaki.5 Sama halnya dengan pendapat sebelumnya bahwa pengawasan berfungsi lebih kepada tindakan preventif yang diambil agar dapat mencapai hasil yang maksimal. Istilah pengawasan dalam bahasa Inggris disebut controlling, yang oleh Dale dikatakan bahwa “the modern concept of control provides a historical record of 3
Saiful Anwar dan Marzuki Lubis, Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, (Medan : Glora Madani Press, 2004), h.127. 4
M. Manullang, Dasar-Dasar Manajemen, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1995), h.18, cetakan keempat belas. 5
Sujanto, Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986), h. 13, cetakan kedua.
20
what has happened and provides date the enabel the executive to take corrective steps”,6 maksudnya adalah mengawasi tidak semerta-merta hanya kegiatan mengawasi dan melaporkan hasil dari mengawasi, namun juga mengandung arti memperbaiki dan meluruskan sehingga apa yang telah direncanakan dapat dicapai. 2. Urgensi Pengawasan Pengawasan adalah aktivitas yang mengusahakan agar pekerjaan- pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan dan atau hasil yang dikehendaki.7 Ada beberapa aspek-aspek penting yang perlu diawasi oleh rakyat dengan legislasi-legislasi rakyat yang ada di pemerintahan. Lembaga pemerintahan mempunyai kewenangan untuk mengontrol 3 aspek yaitu, kontrol atas pemerintahan (control of executive), kontrol atas pengeluaran (control of expenditure), dan kontrol atas pemungutan pajak (control of taxation).8 Dalam arti lain pengawasan merupakan proses dalam memastikan bahwa segala program sesuai dengan apa yangtelah direncanakan. Pengawasan sangat diperlukan untuk menjaga agar pelaksanaan kegiatan pemerintah berjalan sesuai dengan perencanaan dan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
6
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII, 2004), h. 185-186, cetakan ketiga. 7
Heidjrachman Ranupandojo, Tanya Jawab Manajemen (Yogyakarta : AMP YKPN, 2000),
h. 109. 8
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta : Bhuana Ilmu Populer, 2007), h. 162-163, cetakan kedua.
21
Aspek pengawasan berkaitan erat dengan persoalan kewenangan lembaga negara yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar. Lembaga-lembaga negara yang berkaitan dengan persoalan keuangan negara ini misalnya, adalah Badan Pemeriksa Keuangan. Serta lembaga negara yang mengelola keuangan negara dalam bentuk APBN ataupun APBD perlu diketahui terlebih dahulu tentang keuangan negara secara mendasar. Pandangan dan pemahaman Hans Kelsen mengenai the concept of the stateorgan dalam bukunya General Theory of Law and State, menguraikan bahwa “Whoever fulfills a fanction determined by the legal order is an organ”.9 Siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata-hukum (legal order) adalah suatu organ. Dikatakan pula oleh Hans Kelsen bahwa, “An organ , in this sense, is an individual fulfilling a specific function”. Kualitas individu itu sebagai organ negara ditentukan oleh fungsinya. Individu tersebut dapat disebut sebagai organ negara, karena ia menjalankan fungsi yang menciptakan hukum (law–creating function) atau fungsi yang menerapkan hukum (law applying function).10
9
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russell& Russell, 1961), h.
192. 10
Ibid, h. 194.
22
B.
Sistem Pengawasan Keuangan Negara 1. Pengertian dan Urgensi Pengawasan Keuangan Negara Pengawasan keuangan negara adalah pengawasan yang dilakukan pada sektor-sektor pemerintahan yang memakai uang atau anggaran dari negara. Pengawasan keuangan negara pada dasarnya dilakukan untuk memantau kemana saja uang negara mengalir dan untuk tujuan apa uang negara tesebut digunakan. Sistem pengawasan keuangan negara dilakukan oleh lembaga tinggi negara atau lembaga turunan dari lembaga yang sudah ada. Tujuan diadakannya lembaga– lembaga negara atau alat-alat kelengkapan negara adalah selain untuk menjalankan fungsi negara, juga untuk menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual. Jadi, meskipun dalam praktiknya tipe lembaga-lembaga negara yang dibentuk berbeda, secara konsep lembaga-lembaga tersebut harus bekerja dan memiliki relasi membentuk suatu kesatuan untuk merealisasikan secara praktis fungsi negara dan secara ideologis mewujudakan tujuan negara jangka panjang. Salah satu tehnik pengawasan yang lazim dilaksanakan adalah pemeriksaan, yaitu kegiatan untuk menilai apakah hasil pelaksanaan yang sebenarnya telah sesuai dengan yang seharusnya dan untuk mengidentifikasi penyimpangan atau hambatan yang ditemukan.11 Pengawasan pada sektor keuangan meliputi segala bentuk anggaran yang telah direncanakan pada setiap kementrian. Pentingnya sebuah pengawasan adalah
11
Bohari, Pengawasan keuangan negara, (jakarta : rajawali 1992), h. 4, cetakan pertama.
23
untuk menjaga dan mengkawal agar anggaran yang telah disahkan oleh pemerintah menjadi tepat sasaran dan untuk memantau ada tidaknya pelanggaran yang terjadi pada setiap APBN dan APBD. Kegiatan pemeriksaan dan pengawasan mempunyai kedudukan yang strategis dan menentukan terciptanya transparansi dan akuntabilitas di bidang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara. Sampai saat ini usaha perbaikan hal tersebut masih terus berlanjut dan memberikan hasil yang cukup baik bila dibandingkan dengan kondisi sebelum reformasi. 2. Sejarah Pengawasan Sejarah awal mula pengawasan telah lama tersirah pada zaman kuno, walaupun tidak dijelaskan secara rinci dan tegas. Plato atau dengan nama lain Aristocles adalah seorang filsuf Yunani klasik yang tidak diketahui waktu dan tempat kelahirannya secara pasti.12 Plato berpendapat bahwa luas negara itu harus diukur atau disesuaikan dengan dapat atau tidaknya, mampu atau tidak nyasebuah negara memelihara kesatuan di dalam negara itu sendiri.13 Artinya peran sebuah organ pengawasan mutlak sangat diperlukan untuk memandu sebuah negara dalam hal mencapai cita-citanya. Teori controlling yang dipupolerkan oleh Plato berhasil dipetakan dan dirumuskan oleh Hans Kelsen menjadi sebuah norma hukum, dimana keberadaan
12
Pudja Pramana KA, Ilmu Negara, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2009), h. 37, cetakan pertama.
13
Soehino, Ilmu Negara, (yogyakarta : Liberty, 2004), h. 17, cetakan keenam.
24
sebuah norma sesunggungnya adalah bentuk lain dari pengawasan yang bersifat preventif. Sistem baru yang kemudian diberlakukan sebagai sebuah sistem hukum, yakni, menafsirkan tindakan yang menerapkan sistem baru sebagai sebuah tindakan-tindakan yang sah, dan fakta-fakta material yang melanggarnya sebagai tindakan tidak sah.14 Plato mengakui kenyataan-kenyataan yang harus dihadapi oleh negara, sehingga ia menerima negara dalam bentuknya sebagai second best dengan menekankan pentingnya hukum yang bersifat membatasi.15 Membatasi yang memiliki tujuan menutup ruang untuk melakukan pelanggaran dan kesalahan, adalah
pengawasan
secara
tidak
langsung
agar
sebuah
negara
dapat
memaksimalkan peran dan fungsinya. Algemene Rekenkamer
adalah sebuah implementasi
daripada teori
pengawasan terhadap keuangan negara, yang semula didirikan oleh pemerintah Belanda hanya untuk melakukan pengurusan dan pembukuan keuangan negara. Kemudian dengan berlakunya Indische Comptabiliteit Wet (ICW). Sebelum berlakunya pasal 23 ayat (5) UUD NRI 1945 maka yang diberlakukan adalah perundang-undangan pemerintah Hindia-Belanda yang memiliki sejarah tersendiri, Algemene Rekenkamer Belanda semula didirikan oleh Gubernur Deandeles pada tahun 1808 dan diberi nama “General Rekenkamer” 14
Hans Kelsen, Pengantar Teori Hukum, (Bandung : Nusa Media, 2008), h. 99, cetakan
pertama. 15
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Dan Konstitualisme Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), h. 7, cetakan kedua.
25
yang mengikuti sistem pemerintahan Prancis yang menguasai Belanda pada waktu itu.16 Sejak tahun 1867 diambil alih dari kodifikasi peraturan keuangan Napoleon yang berlaku dinegeri belanda maka dilakukanlah Comptabiliteit Wet atau ICW, dengan berlakunya ICW maka penetapan anggaran belanja negara tidak lagi ditetapkan oleh raja.17 Dalam hal pengawasan fungsional, pemerintah Republik Indonesia sejak tahun 1950 sampai dengan 1963 belum memiliki unit organisasi khusus yang bertugas melakukan pengawasan anggaran negara. Pada periode ini pengawasan anggaran negara dilakukan oleh Inspektur Keuangan dan Inspektur Thesauri Jendral yang tugas pokoknya bukan bidang pengawasan. Inspektur Keuangan dan Inspektur Thesauri Jendral bukan bawahan langsung dari Menteri Keuangan. Ruang lingkup pengawasan terhadap anggaran dalam periode ini terbatas kepada kegiatan pemegangan kas, sehingga aktivitas terbatas hanya kepada pemeriksaan kas.18 Pada tahun 1963 keluar putusan Presiden No. 29 tahun 1969 tentang Pengawasan Keuangan Negara. Dalam keputusan ini dikatakan bahwa yang dimaksud dengan pengawasan keuangan negara ialah pengawasan umum terhadap
16
Bohari, Pengawasan keuangan...................., h. 9.
17
Ibid, h. 10.
18
Ibid, h. 11.
26
pelaksanaan daripada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pembangunan, Anggaran Kredit dan Anggaran Devisa.19 Pada tahun 1975 dengan Keppres No. 40 tahun 1975 ditentukan bahwa lembaga Inspektorat Jendral harus ada pada setiap Departemen. Inspektorat Jendral bertanggung jawab kepada menteri yang bersangkutan.20 Sistem pengawasan keuangan negara secara umum dilaksanakan oleh dua unsur yaitu unsur internal dan unsur eksternal. Unsur internal dilaksanakan oleh bagian dalam lingkup pemerintahan itu sendiri, sementara unsur eksternal dilaksanakan oleh legislatif, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). a. Pengawasan Internal Pengawasan oleh intern pemerintah atau disebut dengan pengawasan internal merupakan bagian dari organisasi pemerintah, melaporkan hasil pemeriksaannya kepada pimpinan pemerintah (tertinggi) di pusat maupun didaerah, dan tidak melakukan pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara. Pengawasan internal ini dilakukan oleh pihak yang masih termasuk dalam fungsi organisasi atau bagian dari organisasi pemerintah. Pelaporan pengawasan yang dilakukan oleh pengawas interen ini dilaporkan kepada pimpinan tertinggi yaitu pemerintah baik pusat maupun daerah. Pada dasarnya 19
Ibid, h. 13.
20
Ibid, h. 15.
27
pengawasan intern harus dilakukan oleh pucuk pimpinan sendiri. Setiap pimpinan unit dalam organisasi pada dasarnya berkewajiban membantu pucuk pimpinan mengadakan pengawasan sesuai dengan bidang tugasnya masingmasing.21 Dalam pengawasan internal pemerintah ini dilakukan oleh tiga lembaga, sebagai berikut: a. BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) Tugas dan fungsi utama dari BPKP adalah melakukan koordinasi atas seluruh pengawasan interen pemerintah. Serta menjalankan tugas pada pengembangan fungsi preventif (pencegahan). b. Inspektorat Jenderal Departemen/Unit Pengawasan Lembaga Dalam kedudukannya tugas dari Inspektorat Jenderal Departemen adalah membantu menteri dalam menyelenggarakan pengawasan umum atas segala aspek pelaksanaan tugas pokok menteri. c. Bawasda (Badan Pengawas Daerah) untuk daerah tingkat Provinsi dan Kabupaten Tugas dan fungsinya antara lain Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan, urusan perekonomian, urusan kesejahteraan sosial, urusan keuangan dan aset, dan Melaksanakan kegiatan ketatausahaan. b. Pengawasan Eksternal Pengawasan eksternal merupakan pengawasan yang berada di luar organisasi pemerintah, lingkup pekerjaan tidak tergantung pemerintah dan pemeriksaannya mencakup juga pertanggungjawaban keuangan negara oleh pemerintah serta hasilnya dapat digunakan sebagai dasar publik (DPR, DPRD, dan Masyarakat) dalam pengambilan keputusan.
21
Viktor M. Situmorang dan Jusuf Juhir, Aspek Hukum Pengawasan Melekat Dalam Lingkungan Aparatur Pemerintah, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994), h. 20, cetakan kedua.
28
Pengawasan ekstern dilakukan oleh aparat dari luar organisasi itu sendiri, seperti halnya pengawasan di bidang keuangan oleh BPK sepanjang meliputi seluruh aparatur negara dan direktorat jenderal pengawasan keuangan negara terhadap departemen dan instansi pemerintah lain.22 Wirjono Prodjodikoro23 menyamakan pengertian keuangan negara dengan anggran negara (state budget). Ada dua pengertian yang berbeda dikaitkan dengan perkataaan keuangan negara, yaitu : a. Uang negara dalam arti ekonomis, yaitu dana dan kekayaan milik negara; b. Uang negara dalam arti teknis, yaitu uang masuk dan keluar sebagaimana yang tergambar dalam perhitungan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Kedua pengertian ini harus dibedakan, dan tidak boleh dicampuradukkan sehingga menimbulkan kerancuan dalam memahami konsep-konsep yang terkait dengan pengertian keuangan negara.24 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Pasal 1 butir 7 juga merumuskan definisi keuangan negara itu dalam pengertian luas, dengan menyatakan: “keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik
22
Ibid., h. 27.
23
Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Tata Negara di Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1977), h. 109, cetakan ketiga. 24
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia (Pasca Reformasi), (Jakarat: Buana Ilmu Populer, 2007), h. 811, cetakan kedua.
29
berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.25 Upaya BPK bersama pemerintah dalam melaksanakan reformasi keuangan negara telah dilakukan secara serius dan telah berhasil melaksanakan perbaikan kebijakan dan kerangka hukum. Sistem pengawasan dan pemeriksaan merupakan bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara yang berperan untuk memastikan bahwa keuangan negara telah dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai dengan mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karena itulah sudah selayaknya keuangan negara yang diakumulasi dari rakyat harus dikelola dan didistribusikan kembali demi kesejahteraan rakyat. APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.26 Dengan adanya suatu badan yang bertanggungjawab dalam hal pemeriksaan dan pengawasan keuangan negara diharapkan mampu mengawasi kinerja keuangan sehingga dapat terciptanya sistem keuangan negara yang transparansi dan akuntabilitas. Selanjutnya akan dijelaskan mengenai BPK lebih jauh dalam pembahasan selanjutnya. 25
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksaan
Keuangan. 26
Republik Indonesia, Pasal 23, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
30
C.
Mahkamah Konstitusi dan Pengujian Undang-Undang 1. Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi Lembar awal sejarah praktik pengujian undang-undang (judicial riview) bermula di Mahkamah Agung (MA) (Supreme Court) Amerika Serikat saat dipimpin oleh John Marshall dalam kasus Marbury vs Madison (1803). Kendati saat itu konstitusi Amerika Serikat tidak mengatur pemberian kewenangan untuk melakukan jidicial review kepada MA, tetapi dengan manafsirkan sumpah jabatan yang
mengharuskan
menganggap
MA
untuk
senantiasa
berwenang
untuk
menegakkan menyatakan
konstitusi, suatu
Marshall
undang-undang
bertentangan dengan konstitusi.27 Dalam jangka waktu era reformasi, terjadi beberapa perubahan mendasar pada sistem ketatanegaraan Indonesia. Amandemen UUD NRI 1945 telah merubah sistem kelembagaan negara indonesia dari Supremasi MPR kepada Supremasi Konstitusi. Kedudukan lembaga negara menjadi sejajar dan sederajat di bawah naungan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi ditetapkan oleh MPR dalam perubahan ketiga UUD 1945 sebagai pelaku kekuasaan kehakiman bersama Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan 27
Jurnal Mahkamah Konstitusi, Profil Mahkamah Konstitusi, edisi Oktober 2010, (Jakarta: MK, 2010), h. 2, cetakan pertama.
31
keadilan. Untuk menjawab kebutuhan dan beberapa persoalan hukum di negeri ini tercermin dalam kewenangan dan kewajiban yang dimilikinya.28 Kemudian untuk merinci dan menindaklanjuti amanat konstitusi tersebut, pemerintah bersama DPR membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Mahkamah Konstitusi. Setelah dilakukan pembahasan beberapa waktu lamanya, akhirnya RUU tersebut disepakati bersama oleh pemerintah bersama DPR dan disahkan dalam sidang Paripurna DPR pada 13 Agustus 2003. Tanggal 13 Agustus inilah yang kemudian disepekati para hakim konstitusi menjadi hari lahir Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.29 Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjamin konstitusi sebagai asas hukum tertinggi dapat ditegakkan dan ditegaskan sebagaimana mestinya. Pada prinsipnya pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan implementasi dari amnademen UUD NRI 1945 yang terjadi selama era reformasi berlangsung, namun disamping itu pembentukan Mahkamah konstitusi juga bertujuan untuk memberikan pengawasan dan penafsiran terhadap UUD NRI 1945 yang memang belum ada lembaga yudikatif yang memiliki kewenangan tersebut. Secara konstitusional, keberadaan Mahkamah Konstitusi pada era reformasi diatur di dalam UUD NRI 1945, yakni Pasal 24 ayat (2) yang berbunyi “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
28
Ibid, h. 5.
29
Jurnal, Profil Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Sekretaris Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), h. 4, cetakan pertama.
32
berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Atas dasar Pasal tersebut, maka dibuatlah undang-undang organik sebagai turunan dari UUD RI 1945, yakni Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian dibentuklah Mahkamah Konstitusi, yang merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan tugas dan wewenang di bidang kekuasaan kehakiman. 30 2. Kedudukan, Kewenangan dan Kewajiban Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi (MK) adalah lembaga kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung yang khusus menangani peradilan ketatanegaraan atau peradilan politik. Mahkamah Konstitusi berwenang menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar31 memutus sengketa antarlembaga negara yang kewenangannya diatur dalam UUD 194532 memutus sengketa hasil pemilu33 dan memutus pembubaran partai politik.34 30
Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 196, cetakan pertama. 31
Republik Indonesia, Pasal 1 ayat (3) huruf a, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. 32
Republik Indonesia, Pasal 1 ayat (3) huruf b, ibid.
33
Republik Indonesia, Pasal 1 ayat (3) huruf c, ibid.
34
Republik Indonesia, Pasal 1 ayat (3) huruf d, ibid.
33
Sedangkan kewajiban MK adalah memutus pendapat atau dakwaan DPR bahwa Presiden/Wakil Presiden telah melanggar hal-hal tertentu di dalam UUD RI 1945 atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden.35 Kedudukan MK berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi yaitu, MK merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka mempunyai peranan penting dalam menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan kewenangan dan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam UUD NRI 1945. Mahkamah konstitusi berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia. Susunan MK berdasarkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang MK yaitu, MK mempunyai 9 orang hakim anggota konstitusi yang ditetapkan dengan keputusan presiden. Susunan anggota MK terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan 7 orang hakim anggota konstitusi.36 Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi untuk masa jabatan selama 2 tahun 6 bulan terhitung sejak tanggal pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua MK. Sebelum Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi terpilih, di adakan rapat untuk memilih Ketua dan Wakil Ketua MK dan rapat dipimpin
35
Republik Indonesia, Pasal 1 ayat (3) huruf e, ibid.
36
Republik Indonesia, Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), ibid.
34
oleh hakim konstitusi yang paling tua usianya di antara para hakim anggota konstitusi.37 Sejak dikeluarnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 kewenangan MK ditambah satu lagi yakni memeriksa dan memutus sengketa hasil pemilihan daerah (pilkada) yang sebelumnya merupakan kewenangan dari MA. Pengalihan wewenang peradilan sengketa hasil pilkada ini merupakan konsekuensi dari ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2006 tentang penyelenggaraan pemilu yang menempatkan pilkada ke dalam rezim pemilihan umum.38 Dalam melakukan fungsi peradilan di keempat kewenangannya, Mahkamah Konstitusi adalah satu-satunya lembaga tinggi negara yang diperbolehkan melakukan penafsiran Undang-Undang terhadap UUD NRI 1945, bahkan pengujian materiil tersebut adalah simbol peran Mahkamah Konstitusi dalam melindungi Hak Asasi Manusia (HAM). Sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat
final.
Berdasarkan
kewenangannya
untuk
menguji
konstitusionalitas, MK melalui putusannya dapat menyatakan bahwa materi rumusan suatu undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum karena bertentangan dengan UUD 1945. 37
38
Republik Indonesia, Pasal 4 ayat (3) dan ayat (4), ibid.
Mahfud MD, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 273, cetakan pertama.
35
Begitupun terhadap suatu undang-undang, MK dapat membatalkan keberlakuannya karena tidak sesuai dan tidak didasarkan kepada UUD 1945. Dengan demikian, undang-undang yang dihasilkan oleh legislatif yaitu DPR dan Presiden diimbangi dengan adanya pengujian formal dan materiil oleh MK sebagai cabang lembaga yudisial.39 Sebagaimana diterangkan diatas nampak penggambaran “sosok” MK sebagai sebuah lembaga yang mempunyai peran sebagai penjaga Konstitusi dasar Indonesia yaitu Pancasila dan UUD 1945. Dengan keberadaan MK ditengahtengah lembaga yudikatif yang telah ada diharapkan mampu menjadi pelengkap dan saling melengkapi diantara lembaga kekuasaan kehakiman yang telah ada terlebih dahulu. 3. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Penjelasan umum Undang-undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dapat dilaksanakan dengan rasa tanggung jawab sesuai dengan kehendak dan cita-cita dari demokrasi itu sendiri.40
39
Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi : Memahami Keberadaannya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006), h.31, cetakan pertama. 40
Abdul Mukti Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), h. 127, cetakan pertama.
36
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga yang menjalankan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, mengacu kepada undang-undang pokok kekuasaan kehakiman, hukum acara MK memiliki landasan yang tersirat dalam asas-asas hukum yang melandasinya. Sebagai sebuah gambaran kewenangan dan batasan yang harus dipenuhi terhadap pelaksanaannya, asas hukum acara di MK dipandang sebagai dasar-dasar umum dan petunjuk bagi hukum yag berlaku.41 Hukum acara MK terbagi dalam dua jenis pertama, hukum acara yang bersifat umum, dan hukum acara yang bersifat khusus. Hukum acara yang bersifat umum berlaku untuk semua kewenangan MK, sedangkan hukum acara yang bersifat khusus hanya berlaku untuk masing-masing perkara yang menjadi kewenangan MK. Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi peradilan, maka tata cara dan prosedur pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam ketentuan hukum acara, yaitu hukum acara Mahkamah Konstutisi.42 Keberadaan hukum acara sebagai hukum formil mempunyai status kedudukan penting dan strategis dalam upaya menegakkan hukum materiil di dalam lembaga peradilan. Sebagai hukum formil, hukum acara di MK berfungsi untuk menegakkan, mempertahankan, dan menjamin bahwasannya hukum materiil Mahkamah Konstitusi ditaati dalam lingkungan peradilan Mahkamah Konstitusi. 41
Sudikno Metrokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2002), h. 5, cetakan ketiga. 42
Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), h. 31.
37
Hukum acara Mahkamah Konstitusi disusun secara sederhana dan tidak memisahkan secara khusus masing-masing perkara yang menjadi kewenangan MK karena tidak ada perbedaan prinsip dari masing-masing perkara, kecuali para pihak yang berperkara. oleh karena itu tidak ada perbedaan secara prinsip, maka ketentuan yang berbeda cukup dikecualikan, misalnya dalam soal perkara perselisihan tentang hasil pemilu dan impeachment. Untuk proses beracara di MK selain digunakan hukum acara yang mengandung sengketa (contentious procesrecht), juga digunakan acara nonsengketa yang bersifat volunter.43 Beberapa asas hukum acara MK yang penting, diantaranya adalah,44 Asas Indepedensi/Noninterfentif, Asas Praduga Rechtmatige, Asas Sidang Terbuka Untuk Umum, Asas Hakim Majelis, Asas Objektivitas, Asas Keaktifan Hakim Konstitusi (Dominus Litis), Asas Pembuktian Bebas, Asas Putusan Berkekuatan Hukum Tetap dan Bersifat Final, Asas Putusan Mengikat Secara “Erga Omnes”, Asas Sosialisasi dan Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan.
43
Fickar Hadjar A., dkk.., Pokok-Pokok Pemikiran dan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: KRHN dan Kemitraan, 2003), h. 30. 44
Fatkhurohman dkk., Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), h. 93-96.
BAB III PERGANTIAN ANTARWAKTU ANGGOTA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (BPK) A.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) BPK merupakan salah satu lembaga pengawasan eksternal dan sebagai suatu lembaga negara yang memiliki posisi sangat tinggi berdasarkan amanat UUD 1945. Lembaga tinggi negara adalah lembaga yang menjalankan kekuasaan negara yang bersifat primer dan keberadaan lembaga tersebut ditetapkan secara tegas oleh UUD NRI 1945. Tugas BPK adalah melakukan pemberantasan KKN, memelihara transparansi dan akuntabilitas seluruh aspek keungan negara, untuk memeriksa semua asal-usul dan besarnya penerimaan negara dari manapun sumbernya. Tugas utama Badan Pengawas Keuangan Negara (BPK) adalah memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara serta menyerahkan semua hasil pemeriksaan tersebut kepada lembaga perwakilan untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan keuangan negara sebagai hal utama dalam demokrasi ekonomi dan politik yang sesungguhnya. Sejak amandemen UUD 1945, Undang-Undang Keuangan negara (2003-2004) dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, menunjukkan bahwa BPK pun telah melaksanakan praktek-praktek transparansi dan akuntabilitas, upaya ini
38
39
dimaksudkan untuk membangun sistem pemerintahan yang baik dan bersih, serta mewujudkan tata kelola/tata pemerintahan yang baik (good governance).1 Pada ayat (1) Proses memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan oleh satu Badan Pemeriksaan Keuangan yang bebas dan mandiri, kemudian pada ayat (2) hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya, dan pada ayat (3) hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lemabaga perwakilan/atau badan sesuai dengan undang-undang.2 1. Sejarah Badan Pemeriksa Keuangan Cikal bakal pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berasal dari Algemene Rekenkamer pada zaman Hindia Belanda.3 Algemene Rekenkamer inilah yang dulunya menjadi contoh ketika ide BPK diadopsi ke dalam rumusan UUD 1945. Algemene Rekenkamer yang dibentuk sebagai salah satu lembaga konstitusional yang bersifat independen di Belanda ini dapat melakukan hal-hal yang menjadi kewenangannya.4
1
Ade Armando, Mengenal Lebih Dekat BPK (Sebuah Panduan Populer), (Jakarta: Biro Humas Dan Luar Negeri Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, 2010), h. 19. 2
Republik Indonesia, Pasal 23E ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3 Kusuma A.B., Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Badang Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), h.75, cetakan ketujuh. 4 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2008), cetakan kedua, h. 856.
40
Para perumus UUD 1945 menyadari betul bahwa pemeriksaan, pengelolaan, dan tanggung jawab pemerintah tentang keuangan negara merupakan kewajiban yang berat, sehingga perlu dibentuk suatu Badan dan Pemeriksaan Keuangan Negara yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah.5 Secara historis, sejak berlakunya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 hingga 10 Desember 1945 BPK belum terbentuk, karena situasi politik yang belum mengizinkan untuk memikirkan masalah badan tersebut. Setelah pada tanggal 10 Desember 1945 menteri keuangan mendirikan dictum bahwa BPK akan dibentuk oleh pemerintah pada tanggal 1 Januari 1946 sebagai keharusan dalam UUD 1945, sehingga mulai dipersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pembentukan BPK. Akhirnya pada tanggal 1 Januari 1947 berdasarkan Penetapan Pemerintah 1946 No. 11/OEM yang dikeluarkan pada tanggal 28 Desember 1946, Presiden RI menetapkan berdirinya BPK yang berkedudukan sementara di kota Magelang. 6 Saat dibentuk BPK hanya mempunyai 9 orang pegawai dan sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan pertama adalah R. Soerasno. Menyebut nama Raden Soerasno, sama artinya berbicara dengan sejarah awal mula berdirinya BPK tahun 1947. Sebagai ketua BPK pertama, Soerasno lekat dengan dinamika perjuangan mempertahankan kemerdekaan.7 5 Tititk Wulandari Tutik, Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen 1945, (Jakarta : Kencana, 2010), h. 230. 6
Titik Wulandari Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia................., h. 231.
7 Warta BPK, Bulan Edisi 2 – Vol. III Februari 2013, R. Soerasno, Ketua BPK pertama “Ini Bensinmu, Ini Bensinku”, h. 76.
41
Untuk memulai tugasnya, Badan Pemeriksa Keuangan dengan surat tertanggal 12 April 1947 No. 94-1 telah mengumumkan kepada semua instansi di Wilayah Republik Indonesia mengenai tugas dan kewajibannya dalam memeriksa tanggung jawab tentang Keuangan Negara, untuk sementara masih menggunakan peraturan perundang-undangan yang dulu berlaku bagi pelaksanaan tugas Algemene Rekenkamer (Badan Pemeriksa Keuangan Hindia Belanda), yaitu ICW (Indische Comptabiliteswet) dan IAR (Instructie en Verdere Bepalingen Voor de Algemene Rekenkamer).8 Dalam Penetapan Pemerintah No.6/1948 tanggal 6 Nopember 1948 tempat kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan dipindahkan dari Magelang ke Yogyakarta. Negara Republik Indonesia yang yang kala itu beribukota di Yogyakarta untuk sementara, tetap mempunyai Badan Pemeriksa Keuangan sesuai pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945. Ketuanya diwakili oleh R. Kasirman yang diangkat berdasarkan SK Presiden RI tanggal 31 Januari 1950 No.13/A/1950 terhitung mulai 1 Agustus 1949.9 Dengan kembalinya bentuk Negara menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950, maka Dewan Pengawas Keuangan RIS yang berada di Bogor sejak tanggal 1 Oktober 1950 digabung dengan Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan UUDS 1950 dan berkedudukan di Bogor
8
Titik Wulandari Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Kencana, 2010), h.231. 9
Ibid., h. 231.
42
menempati bekas kantor Dewan Pengawas Keuangan RIS. Personalia Dewan Pengawas Keuangan RIS diambil dari unsur Badan Pemeriksa Keuangan di Yogyakarta dan dari Algemene Rekenkamer di Bogor.10 Dalam amanat-amanat Presiden yaitu Deklarasi Ekonomi dan Ambeg Parama Arta, dan di dalam Ketetapan MPRS No. 11/MPRS/1960 serta resolusi MPRS No. 1/Res/MPRS/1963 telah dikemukakan keinginan-keinginan untuk menyempurnakan Badan Pemeriksa Keuangan, sehingga dapat menjadi alat kontrol yang efektif. Untuk mencapai tujuan itu, maka pada tanggal 12 Oktober 1963, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang No. 7 Tahun 1963 (LN No. 195 Tahun 1963) yang kemudian diganti dengan Undang-Undang (PERPU) No. 6 Tahun 1964 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Gaya Baru.11 Akhirnya oleh MPRS dengan Ketetapan No.X/MPRS/1966 Kedudukan BPK RI dikembalikan pada posisi dan fungsi semula sebagai Lembaga Tinggi Negara. Sehingga Undang-Undang yang mendasari tugas BPK perlu diubah, dan akhirnya terealisasikan pada Tahun 1973 dengan UU No. 5 Tahun 1973 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam era Reformasi sekarang ini, Badan Pemeriksa Keuangan telah mendapatkan dukungan konstitusional dari MPR RI dalam Sidang Tahunan Tahun 2002 yang memperkuat kedudukan BPK RI sebagai lembaga pemeriksa eksternal 10
Ibid., h. 232.
11
Ibid., h. 234.
43
di bidang Keuangan Negara, yaitu dengan dikeluarkannya TAP MPR No.VI/MPR/2002 yang antara lain menegaskan kembali kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan negara dan peranannya perlu lebih dimantapkan sebagai lembaga yang independen dan profesional. Untuk lebih memantapkan tugas BPK RI, ketentuan yang mengatur BPK RI dalam UUD Tahun 1945 telah diamandemen. Sebelum amandemen BPK RI hanya diatur dalam satu ayat (pasal 23 ayat 5) kemudian dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 dikembangkan menjadi satu bab tersendiri (Bab VIII A) dengan tiga pasal (23E, 23F, dan 23G) dan tujuh ayat.12 2. Dasar Hukum, Tugas, Kedudukan dan Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Dasar hukum bedirinya BPK sebagai Lembaga Tinggi Negara adalah adanya amanat dari UUD NRI 1945 Pasal 23E ayat (1), (2) dan (3). Bahwa untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara maka dibentuklah badan pemeriksa keuangan yang bersifat bebas dan mandiri. Ketentuan lebih lanjut mengenai BPK diatur dengan undang-undang13. Sebagai undnag-undang penunjang BPK adalah sebagai berikut :
12
13
www.bpk.co.id , diakses pada 23 September 2013.
Republik Indonesia, Pasal 23G ayat (2), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
44
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 Badan Pemeriksa Keuangan 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Perbendaharaan Negara 4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Keuangan Negara14
tentang tentang tentang tentang
Untuk memahami konsep BPK secara tepat, maka kita perlu memahami ideide asli yang pada asal mula dirumuskannya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ketika disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Dalam rangka pemeriksaan keuangan negara, hal pertama yang perlu kita ketahui adalah apa yang dimaksud dengan pemeriksaan, dan hal kedua adalah apa yang dimaksud dengan keuangan negara. Pemeriksaan adalah terjemahan dari kata auditing yang memang lazim dalam sistem administrasi dan manajemen keuangan modern. Di zaman modern, tidak ada pengelolaan keuangan yang dapat dibebaskan dari keharusan auditing sebagai jaminan bahwa pengelolaan keuangan itu memang sesuai dengan normanorma dan aturan yang berlaku.15 Uang adalah alat tukar yang bernilai ekonomi dan juga politik. Uang dapat menjadi sumber kekuatan dan kekuasaan yang riil, yang berarti jika tidak diimbangi oleh keyakinan akan nilai-nilai moral, etika, dan agama, disamping
14
Diakses dari www.bpk.go.id pada tanggal 15 januari 2014.
15 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Dan konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 137, cetakan kedua.
45
dapat membawa kebaikan , uang juga dapat menjerumuskan orang kepada prilaku yang melawan hukum.16 Indepedensi untuk lembaga pemeriksa keuangan sangat penting, karena dalam menjalankan tugas dan wewenangnya tidak dapat diintervensi oleh pihak lain yang mempunyai kepentingan langsung maupun tidak langsung, sehingga mempengaruhi objektifitas pemeriksaan.17 Secara yuridis pemberian fungsi pemeriksaan BPK untuk memeriksa pengelolaan keuangan ncgara melalui Pasal 23E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 194518, justru melemahkan kedudukannya sebagai lembaga negara. Dalam kedudukannya yang semakin kuat dan kewenangan yang makin besar itu, fungsi BPK pada pokoknya terdiri atas tiga bidang, yaitu fungsi operatif, fungsi yustisi, dan fungsi advisiory.19 1. Fungsi operatif berupa pemeriksaan, pengawasan dan penyelidikan atas penguasaan, pengurusan dan pengelolaan kekayaan. 2. Fungsi yudikatif berupa kewenangan menurut perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi terhadap bendaharawan dan pegawai negeri bukan bendahara yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang menimbulkan kerugian keuangan negara dan kekayaan negara. 3. Fungsi advisiory, yaitu memberikan pertimbangan kepada pemerintah mengenai perurusan dan pengelolaan keuangan negara.20 16
Ibid., h. 137.
17
Ibid, h. 138.
18
Pasal 23E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945
19 Jimly Assihiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara, (Jakarta : Sinar Grafika, 2012), h. 144, cetakan kedua. 20 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Konstitusi Pers, 2006), h. 144, cetakan kedua.
46
Keberadaan BPK sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan Negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia telah dipertegas dalam Ketetapan MPR RI, yaitu, TAP MPR No. X/MPR/2001 dan TAP MPR No. VI/MPR/2002. Jelas sekali bahwa Badan Pemeriksa Keuangan itu mempunyai kedudukan tidak di atas pemerintah, tetapi juga tidak di bawah pengaruh pemerintah, melainkan diluar pemerintah dan bersifat otonom atau independen.21 3. Keanggotaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Setelah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, maka ketentuan mengenai kedudukan, tugas, kewajiban, dan kewenangan BPK mengalami perubahan yang sangat mendasar. Dalam UndangUndang baru ini, diatur mengenai kedudukan dan keanggotaan, tugas dan wewenang, pemilihan dan pemberhentian, hak keuangan/administratif dan protokoler, tindakan kepolisian, kekebalan dan larangan bagi pemeriksa, kode etik, kebebasan, kemandirian, dan akuntabilitas, pelaksanaan BPK, anggaran, ketentuan pidana, ketentuan peralihan dan penutup.22
21 Jimly Assihiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara, (Jakarta : Sinar Grafika, 2012), h. 140, cetakan kedua. 22 Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007), h. 852, cetakan kedua.
47
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara23 dalam hal menjalankan tugas dan wewenangnya yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah, akan tetapi tidak berdiri di atas pemerintah. Artinya, bahwa eksistensi BPK bukan bersifat formalitas semata, tetapi merupakan lembaga yang diharapkan berfungsi sebagaimana dimaksud oleh UDD NRI 1945. BPK mempunyai 9 (sembilan) orang anggota, yang keanggotaannya diresmikan dengan Keputusan Presiden.24 Badan Pemeriksa Keuangan berbentuk dewan yang terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota dan lima orang anggota. Pimpinan BPK dipilih dari dan oleh anggota. Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan mempertimbangkan DPD dan diresmikan oleh presiden untuk masa jabatan 5 tahun dan setelahnya dapat dipilih kembali untuk satu masa jabatan.25 Meurut ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, BPK merupakan satu lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, dan memiliki perwakilan di setiap provinsi. pembentukan perwakilan BPK ditetapkan
23
Republik Indonesia, Pasal 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan. 24 Ade Armando, Mengenal Lebih Dekat BPK : Sebuah Panduan Populer, (Jakarta: Biro Humas Dan Luar Negeri Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia), h. 110. 25 Titik Triwulan Tutik, kontruksi Hukum Tata Negara Indonnesia Pasca-Amandemen 1945, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 235.
48
dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara yang keanggotaannya diresmikan dengan keputusan Presiden.26 Keanggotaan BPK tersusun atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil merangkap anggota, dan tujuh orang anggota. Keputusan presiden diterbitkan paling lambat diputuskan 30 hari sejak anggota BPK terpilih diajukan oleh DPR.27 Setiap anggota memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya. BPK memberitahukan kepada DPR dengan tembusan kepada Presiden tentang akan berakhirnya masa jabatan anggota BPK paling lambat enam bulan sebelum berakhirnya masa jabatan anggota terebut.28 Untuk dapat dipilih menjadi anggota BPK, calon harus memeuhi syarat-syarat,29 sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
8. 9.
26
Warga negara Indonesia Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa Berdomisili di Indonesia Memiliki integritas moral dan kejujuran Setia kepada NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Berpendidikan paling rendah S1 atau yang setara Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman lima tahun atau lebih Sehat jasmani dan rohani Paling rendah berusia 35 tahun
Republik Indonesia, Pasal 3 ayat (1), (2), dan (3), UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan Negara. 27
Republik Indonesia, Pasal 4 ayat (1), (2), dan (3). Ibid.
28
Republik Indonesia, Pasal 5 ayat (1) dan (2). Ibid.
29
Republik Indonesia, Pasal 13. Ibid.
49
10. Paling singkat telah 2 tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelolaan keuangan 11. Tidak dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD yang disampaikan secara tertulis dengan memuat semua nama calon secara lengkap, dan diserahkan kepada DPR dalam jangka waktu paling lama satu bulan terhitung sejak tanggal diterimanya surat permintaan pertimbangan dari pimpinan DPR. Calon anggota BPK diumumkan oleh DPR kepada publik untuk memperoleh masukan dari masyarakat. DPR memulai proses pemilihan anggota BPK terhitung sejak tanggal diterimanya surat pemberitahuan dari BPK dan harus menyelesaikan pemilihan anggota yang baru paling lama satu bulan sebelum berakhirnya masa anggota yang lama. Ketentuan mengenai tata cara pemilihan anggota BPK ini diatur dalam peraturan tata tertib DPR.30 Pimpinan BPK yang terdiri atas seorang ketua dan seorang wakil ketua dipilih dari dan oleh anggota BPK. Ketentuan yang lebih rinci mengenai tata cara pemilihan pimpinan ini dan juga mengenai pembagian tugas dan wewenang ketua, wakil ketua, dan anggota diatur lebih lanjut dengan peraturan BPK.31 Anggota,
30
Republik Indonesia, Pasal 14 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5). Ibid.
31
Republik Indonesia, Pasal 15 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5). Ibid.
50
ketua, dan wakil ketua BPK mengucapkan sumpah atau janji jabatan menurut agamanya dengan dipandu oleh Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Agung.32 Keanggotaan BPK saat ini terdiri dari 9 orang anggota yang terdiri dari Ketua dan Wakil ketua yang merangkap anggota dan 5 anggota lainnya disebut anggota I sampai anggota V yang kesetiap anggota mempunyai bidangnya masingmasing. B.
Pemberhentian Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya, undang-undang memberikan kebebasan dan kemandirian kepada Badan Pemeriksa Keuangan. Kebebasan tersebut meliputi kebebasan untuk menyusun perencanaan dan kebebasan untuk melaksanakan dan melaporkan hasil pemeriksaan, sedangkan kemandirian mencakup ketersediaan sumber daya manusia, anggaran, dan sarana pendukung lainnya yang memadai. Dalam Peraturan BPK Nomor 2 Tahun 2011 tentang Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan dijelaskan mengenai seputar ketentuan-ketentuan tentang keanggotaan BPK, pemeriksa BPK dan pelaksana BPK dalm struktur keanggotaan BPK secara luasnya. Kode Etik bertujuan untuk memberikan pedoman yang wajib ditaati oleh Anggota BPK, Pemeriksa, dan Pelaksana BPK Lainnya untuk mewujudkan BPK yang berintegritas, independen, dan profesional demi kepentingan negara.33
32
Republik Indonesia, Pasal 16 ayat (1), (2), dan (3), Ibid.
33
Republik Indonesia, Pasal 2, peraturan BPK Nomor 2 tahun 2011.
51
Dalam rangka mencapai keberhasilan dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya, BPK memerlukan nilai-nilai dasar yang meliputi Integritas, Independensi, dan Profesionalisme sebagai Kode Etik BPK yang berlaku bagi Anggota BPK, Pemeriksa, dan Pelaksana BPK Lainnya. Ketua, Wakil Ketua, dan/atau anggota BPK dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat dari keanggotaan BPK.34 Pemberhentian dengan hormat dilakukan dengan putusan Presiden atas usulan BPK karena alasan:35 1. 2. 3. 4. 5.
Meninggal dunia Mengundurkan diri atas permintaan sendiri Telah berusia 67 tahun Telah berakhir masa jabatannya, atau Sakit jasmani atau rohani secara terus menerus atau berhalangan tetap yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Ketua, Wakil Ketua, dan/atau anggota BPK diberhentikan tidak dengan hormat dari keanggotaan BPK atas usulan BPK ataui DPR karena:36 1. Dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yanng diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih 2. Melanggar kode etik BPK 3. Tidak melaksanakan tugas dan kewajibannya selama satu bulan berturutturut tanpa alasan yang sah 4. Melanggar sumpah atau janji jabatan 5. Melanggar larangan yang dimaksud pada Pasal 28 Undang-Undang tentang Badan Pemeriksaan Keuangan, atau 6. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota BPK seperti dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, huruf c, dan huruf e undang-undang tentang BPK. 34
Republik Indonesia, Pasal 17, Undang-Undang tentang Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 15 Tahun
35
Pasal 18, ibid.
36
Pasal 19, ibid.
2006.
52
Ketua, Wakil Ketua, dan/atau anggota BPK diberhentikan sementara dari jabatannya oleh BPK melalui Rapat Pleno jika ditetapkan sebagi tersangka dalam tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Ketua, Wakil Ketua, dan/atau anggota BPK yang terbukti tidak melakukan tindak pidana yang dipersangkakan, berhak mendapatkan rehabilitasi dan diangkat kembali menjadi Ketua, Wakil Ketua, dan/atau anggota BPK. Pemberhentian tidak dengan hormat, dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Kode Etik BPK. Pemberhentian Ketua, Wakil Ketua, dan/atau anggota BPK diresmikan dengan keputusan Presiden atas usulan BPK atau DPR.37 C.
Pergantian Antarwaktu Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memiliki kedudukan sebagai lembaga tinggi negara sesuai dengan yang telah diamanatkan oleh UUD RI 1945. BPK memiliki indepedensi yang tak terlepas dari pemantauan lembaga Legislatif, kewenangan Penggantian Antarwaktu atau PAW, yang pada awal mulanya diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1966 tentang kedudukan Majelis Permusyawaratan Sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong menjelang pemilihan umum pada masa Orde Baru. Peniadaan Pergantian Antarwaktu adalah sebagai akibat diambilnya langkah untuk penguatan parlemen pada masa Orde Baru. Namun kemudian hal ini pun
37
Pasal 20 ayat (1), dan (2), serta Pasal 21 ayat (1), dan (2), ibid.
53
menjadi polemik, dimana sejumlah anggota DPR yang berbuat tidak pantas dan menyalahi undang-undang, misalnya pindah partai politik, melakukan perbuatan amoral, dan melakukan pelanggaran kode etik tidak mendapat sanksi tegas. Pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR diasosiasikan sebagai recall. Secara Etimologis, kata recall berasal dari bahasa inggris dan mengandung beberapa pengertian. Setidaknya menurut peter Salim (dalam The Contemparary EnglishIndonesia)38, yakni mengingat, memanggil kembali, menarik kembali atau membatalkan. Penggantian Antarwaktu (PAW) diartikan sebagai proses penarikan kembali atau penggantian kembali anggota DPR oleh induk organisasinya yang tentu saja partai politik.39 Kata Recall terdiri dari dua kata yaitu “re” yang artinya kembali, dan “call” yang artinya panggil atau memanggil. Jika kata ini disatukan maka kata “recall” ini akan berarti dipanggil atau memanggil kembali. Kata recall ini merupakan suatu istilah yang ditemukan dalam kamus ilmu politik yang digunakan untuk menerangkan suatu peristiwa penarikan seoran atau atau beberapa orang wakil yang duduk dilembaga perwakilan (melalui proses pemilu), oleh rakyat pemilihnya40. Dalam
38
Di akses dari www.negarahukum.com pada tanggal 27 Oktober 2013.
39
BN. Marbun, Kamus Hukum Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), h. 417, cetakan
pertama. 40 Haris Munandar, Pembangunan Politik, Situasi Global dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Gramedia, 1994), h. 128.
54
kamus Black Law edisi ke 8, kata recall diartikan “removal of public official from office by popular.41 Pergantian antarwaktu (PAW) atau recall adalah istilah pinjaman yang belum ada di Indonesia. Pengertian recall yang kita pahami saat ini di Indonesia berbeda dengan pengertian recall yang telah ada dipemahaman para pakar di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat sendiri istilah recall, lengkapnya Recall Election digunakan untuk menyatakan hak rakyat pemilih (konstituen) untuk melengserkan wakil rakyat sebelum masa jabatannya berakhir.42 Bila disamakan Pergantian Antarwaktu (PAW) yang berlaku di BPK dan yang terjadi di parlemen Indonesia adalah pergantian anggota yang mengundurkan diri atau memanag diberhentikan karena satu hal menurut undang-undang yang berlaku dan digantikan oleh anggota yang memenuhi syarat. namun di parlemen ataa di tingkat DPR RI adalah diartikan sebagai proses penarikan kembali anggota lembaga perwakilan rakyat untuk diberhentikan dan digantikan dengan anggota lainnya sebelum berakhir masa jabatan anggota yang ditarik tersebut.43 Pergantian Antarwaktu pada awalnya dimulai pada lembaga tinggi negara yaitu MPR dan DPR RI yang keanggotaannya di dapat melalui proses pemilihan umum, namun setelah era Orde Baru berakhir dan memasuki era Reformasi pergantian
41
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, (USA : Thomson Business, 2004), h. 1295.
42
Ananda B. Kusuma, Jurnal Konstitusi Volume 3 Nomor 4 Tentang Recall, (Jakarta: MK RI, 2006), h.
43
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 318.
156.
55
antarwaktu diadopsi oleh lembaga-lembaga tinggi negara seperti KPK, BPK dan lembaga-lembaga negara lainnya. Pergantian antarwaktu anggota BPK di tuangkan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan pada Pasal 22, dengan memperhatikan tata cara dan syarat-syarat seperti dimaksud pada Pasal 13 dan Pasal 14 dan diresmikan oleh keputusan Presiden.44
44
Republik Indonesia, Pasal 22 ayat (1), Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK.
BAB IV ANALISA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13/PUU-XI/2013 TENTANG UJI MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 A.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 Tentang Pengangkatan Pergantian Antarwaktu 1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon Untuk dapat bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian suatu UndangUndang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. perorangan warga negara Indonesia, termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara.1 Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu: a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK; b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.
1
Republik Indonesia, Pasal 51 ayat (1), Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
56
57
Tertanggal 8 januari 2013 pemohon yang bernama Drs. Bahrullah Akbar, BSc., S.E., MBA. yang memiliki status pekerjaan sebagai anggota aktif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), mengajukan permohonan untuk pengujian Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Permohonan yang diterima di kepaniteraan MK pada tanggal 8 Januari 2013 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 35/PAN-MK/2013, dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada tanggal 22 Januari 2013 dengan Nomor 13/PUU-XI/2013, yang telah diperbaiki dan diterima di kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 Februari 2013. Kedudukan hukum (legal standing) pemohon adalah sebagai perorangan warga negara Indonesia berdasarkan kartu tanda penduduk, saat ini status pemohon adalah sebagai Anggota BPK pengganti berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 62/P Tahun 2011 tanggal 29 Oktober 20112, sehingga pemohon memenuhi syarat kualifikasi sebagai pemohon yang mempunyai kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf a Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, untuk melakukan pengujian terhadap Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) UU tentang BPK yang dianggap telah merugikan hak konstitusional pemohon sebagaimana yang telah dijaminkan oleh UUD RI 1945.
2
Putusan Mahkamah konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, h. 4.
58
2. Alasan-Alasan Permohonan Pemohon memohon kepada MK untuk melakukan pengujian undang-undang (judicial review) pada Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Isi dari Pasal 22 ayat (1) adalah “Apabila anggota BPK diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 atau Pasal 19 diadakan pengangkatan pergantian antarwaktu Anggota BPK sesuai dengan syarat-syarat dan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 dan diresmikan oleh presiden”. Dan isi dari ayat (4) adalah “Anggota BPK pengganti melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang digantinya”.3 Menurut keterangan dari pemohon bahwa dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa “pengangkatan pergantian antarwaktu” dan ayat (4) UndangUndang BPK memuat norma hukum yang tidak jelas, bias dan menimbulkan multi tafsir, karena menurut pemohon frasa tersebut menimbulkan ketidakjelasan dan perlakuan diskriminatif. Derivasi norma-norma
tata aturan hukum dari norma dasar ditemukan
dengan menunjukkan bahwa norma partikular telah dibuat sesuai dengan norma dasar.4 namun yang kemudian terjadi adalah pembentukan norma-norma atau
3
Republik Indonesia, Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2), Undang-Undang BPK Nomor 15 Tahun
2006 4
Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta: Konpress, 2012), h. 90, cetakan kedua.
59
undang-undang baru ada saja yang tidak sesuai dengan norma dasar atau UndangUndang Dasar. Ketentuan tentang penuangan Pancasila ke dalam peraturan perundagundangan dan instrumen pengaasannya melalui judicial review di Indonesia pada saat ini sudah cukup diatur dalam berbagai instrumen konstitusi dan hukum.5 Menurut pemohon Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 23F ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh presiden”. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Dengan adanya pemberlakuan Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) UndangUndang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan tersebut, pemohon sebagi pemangku jabatan Anggota BPK pengganti antarwaktu yang terpilih telah secara nyata merasa dirugikan hak konstitusinya dengan diberlakukannya Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa “pengangkatan pergantian antarwaktu” dan ayat (4), karena tidak dapat menjabat sebagai Anggota BPK selama 5 (lima) tahun dan hanya melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK
5
Mahfud MD, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 64, cetakan pertama.
60
yang digantikannya, sehingga dengan kata lain masa jabatan pemohon sebagai Anggota BPK kurang dari 5 (lima) tahun yaitu tidak mencapai 3 (tiga) tahun. Di samping itu, penggunaan frasa “pengangkatan penggantian antarwaktu” bertentangan dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang BPK yang menentukan: “Anggota
BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan
pertimbangan DPD”. Penggunaan frasa “pengangkatan” dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang BPK bertentangan dengan tata cara pengisian jabatan Anggota BPK yakni dengan cara dipilih sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang BPK, juncto Pasal 23F ayat (1) UUD 1945. Penggunaan kalimat yang berbeda dalam tata cara pengisian jabatan Anggota BPK sebagaimana telah dikemukakan di atas memiliki ketidakjelasan rumusan.6 Menurut pemohon norma yang terkandung dalam Pasal 22 ayat (1) UndangUndang BPK sepanjang frasa “pengangkatan pergantian antarwaktu” yang selanjutmya menentukan masa jabatan Anggota BPK pengganti antarwaktu yang melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang digantikannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4). Pengaturan mengenai masa jabatan Anggota BPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang BPK yang berbunyi: “Masa jabatan Anggota BPK selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih
6
Putusan Mahkamah konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, h. 18.
61
kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya”.7 Dengan begitu ketentuan tertulis dan sudah baku mengenai masa jabatan anggota BPK adalah 5 (lima) tahun, terlepas bahwa ia adalah anggota BPK pengganti atau bukan. Bahwa dengan adanya pemberlakuan norma Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa “pengangkatan pergantian antarwaktu” dan ayat (4) Undang-Undang BPK pada akhirnya menimbulkan pembedaan dalam pemangkuan masa jabatan Anggota BPK. Di mana sekarang ini terdapat 8 (delapan) orang Anggota BPK menjabat selama 5 (lima) tahun, dan 1 (satu) orang Anggota BPK menjabat dibawah 5 (lima) tahun yakni Pemohon. Oleh karena itu, norma Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa “pengangkatan pergantian antarwaktu” dan ayat (4) Undang-Undang BPK dianggap telah merugikan hak konstitusional Pemohon, dan oleh karenanya diajukan pengujian terhadap norma tersebut agar dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, karena bertentangan dengan UUD 1945.
B.
Analisis dan Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 Tentang Pengangkatan Pergantian Antarwaktu Anggota BPK 1. Pokok Permohonan
7
Putusan Mahkamah konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, h. 7.
62
Seperti yang telah diuraikan dipembahasan sebelumnya, bahwa yang menjadi pokok permohonan adalah sepanjang frasa “pengangkatan pergantian antarwaktu...” pada Pasal 22 ayat (1), menurut pemohon frasa tersebut tidak memiliki ketetapan dan kepastian hukum yang menimbulkan keambiguan dan multitafsir. Kemudian pada ayat (4) Pasal 22 tentang masa jabatan anggota BPK pengganti antarwaktu yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan dari anggota yang digantikan, menurut pemohon pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 5 ayat (1) dimana dijelaskan dalam pasal tersebut, bahwa masa jabatan anggota BPK adalah 5 (lima) tahun dan selanjutnya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Sejak terpilihnya pemohon sebagai anggota pengganti antarwaktu BPK, terdapat diskriminasi yang jelas dimana 8 (delapan) anggota BPK memangku jabatan 5 (lima) tahun sedangkan anggota pengganti antarwaktu yaitu pemohon memangku jabatan kurang dari 5 (lima) tahun, UUD NRI 1945 menjamin bahwa Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.8 Namun dalam keterangan sidang yang dibacakan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelfa bahwa pokok permohonan pemohon secara garis besar adalah mengenai masa jabatan anggota BPK pengganti antarwaktu yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan angota yang digantikannya. 2. Keterangan Ahli 8
Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
63
Dalam persidangan tertanggal 21 Maret 2013 dengan agenda sidang mendengarkan keterangan pemerintah, DPR, dan saksi/ahli dari pemohon serta pemerintah. Pemohon mengajukan 3 ahli sebagai berikut : a. Yusril Ihza Mahendra9 Menurutnya norma-norma tersebut sudah sangat jelas dan tidak dapat ditafsirkan lagi. akan tetapi yang menjadi persoalan adalah adanya norma dalam Undang-Undang BPK yang menentukan cara pengisian jabatan anggota BPK dengan cara lain yakni sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dengan menggunakan frasa pengangkatan pergantian antarwaktu. Penggunaan frasa demikian menjadi tidak tepat karena memiliki ketidakjelasan rumusan yang pada akhirnya berimplikasi kepada ketidakjelasan tujuan dan adanya ketidakpastian hukum Menurut Yusril Norma Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang BPK yang kemudian melahirkan norma turunan yakni ayat (4) pada pasal a quo yang menentukan bahwa masa jabatan anggota BPK pengganti hanya melanjutkan sisa masa jabatan anggota BPK yang digantikannya. Padahal syarat dan tata cara pengisian jabatan anggota BPK berlaku secara imperatif sebagaimana diatur dalam Pasal 13 dan Pasal 14 UndangUndang BPK, akan tetapi norma ayat (4) dalam pasal a quo UndangUndang BPK mengecualikan lain terhadap masa jabatan anggota BPK pengganti dengan memegang masa jabatan di bawah 5 tahun. 9
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013, h. 28.
64
Masih menurut pendapat Yusril, bahwa Mahkamah Konstitusi juga perlu menetapkan masa jabatan Pemohon sebagai Anggota BPK selama 5 tahun, terhitung sejak tanggal Pemohon dilantik sebagai Anggota BPK. Hal itu didasarkan pada yurisprudensi tetap Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 5/PUU-IX/ 2011 yang telah mengukuhkan masa jabatan Busyro Muqoddas sebagai Pimpinan KPK dengan masa jabatan pimpinan KPK lainnya yakni selama 4 tahun, walaupun Busyro Muqoddas dipilih oleh DPR tidak bersamaan dengan pimpinan KPK lainnya. b. Saldi Isra10 Selanjutnya keterangan dari Saldi Isra bahwa Pemohon merupakan anggota yang terpilih karena salah seorang anggota BPK sebelumnya berhalangan tetap, sehingga tidak dapat menghabiskan masa jabatan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006, karena alasan itu, Tengku Muhammad Nurlif telah pula diberhentikan dengan hormat. Pemohon tidak serta-merta menggantikan yang bersangkutan sebagai Anggota BPK karena adanya ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang Undang Nomor 15 Tahun 2006 yang mengharuskan adanya pemenuhan syarat-syarat yang diperlukan, dan proses pun diulang dari tahap awal sebagaimana yang diikuti Pemohon dalam proses sebelumnya. yaitu mulai dari tahap awal, layaknya calon untuk mengisi posisi anggota BPK 10
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013, h. 30.
65
baru atau bukan pengganti antar waktu. Dalam hal ini calon anggota BPK pengganti antar waktu dipilih dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Karenanya Pasal 22 ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 yang menyatakan anggota pengganti hanya melanjutkan sisa masa jabatan anggota BPK yang digantikan kehilangan basis konstitusionalnya untuk terus dipertahankan atau inkonstitusional. c. Dwi Andayani11 Dwi Andayani berpendapat bahwa BPK sebagai lembaga yang mandiri, kapasitas dari anggotanya adalah sebagai pejabat pembuat kebijakan, maka pengisian jabatan untuk para anggotanya adalah harus bersifat elected official, yaitu dengan cara dipilih dan bukannya diangkat baik untuk pengisian jabatan dari awal sepenuhnya 5 tahun maupun jabatan sebagai PAW. Menurutnya Dalam kaitan hal berlakunya kaidah hukum itu, yaitu dilihat secara sosiologis yang intinya adalah efektivitas kaidah hukum di dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini dikenal 2 teori, yaitu pertama teori kekuasaan yang pada pokoknya menyatakan bahwa kaidah hukum itu dipaksakan berlakunya oleh penguasa, diterima atau tidak oleh warga masyarakat. Kedua, teori pengakuan yang menyatakan bahwa berlakunya kaidah hukum itu didasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh masyarakat, kaidah hukum itu agar sah berlaku harus memenuhi syarat 11
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013, h. 37.
66
formal maupun syarat materil pembuatannya, serta keabsahan pada waktu diberlakukan kepada masyarakat, agar memperoleh legitimasi. Bahwa Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang BPK dapat dikatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 23F yang menyatakan bahwa anggota BPK dipilih, frasa “dipilih oleh DPR dengan memperhatikan DPD dan diresmikan oleh Presiden”. Jadi bahwa Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah mengatur memerintahkan bahwa untuk menjadi anggota BPK itu harus melalui mekanisme pemilihan dan bukan dengan cara pengangkatan (PAW) sebagaimana diatur dalam UndangUndang BPK Pasal 22 ayat (1) tersebut; Sebagai lembaga negara yang mandiri independen, maka pengisian jabatan dilakukan secara pemilihan (election), bukan pengangkatan, sehingga Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Badan Pemeriksa Keuangan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Demikian juga kalau dilihat dari staat organen yang ada lainnya dalam struktur organisasi negara Indonesia, cara pengisian jabatan di dalam lembaga BPK harus diselaraskan pula dengan cara pengisian jabatan pada lembaga negara atau staat organen yang lain. 3. Pertimbangan Hakim Menurut pertimbangan majelis hakim Mahkamah konstitusi tentang perkara Nomor 13/PUU-XI/2013 yang dibacakan pada tanggal 10 September 2013, bahwa
67
isu utama pengujian konstitusionalitas dalam permohonan Nomor 13/PUUXI/201312 ini adalah mengenai masa jabatan anggota BPK pengganti yang hanya melanjutkan masa jabatan anggota BPK yang digantikannya yang menurut Pemohon bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Mahkamah konstitusi, isu pengujian konstitusionalitas yang dimohonkan
Pemohon
memiliki
kesamaan
substansi
dengan
pengujian
konstitusionalitas masa jabatan anggota Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pengganti yang telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 5/PUU-IX/2011, bertanggal 20 Juni 2011 dan masa jabatan Hakim Konstitusi pengganti yang telah diputus Mahkamah dalam Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011, bertanggal 18 Oktober 2011. Kedua Putusan yang telah diputus diatas tersebut menegaskan bahwa, norma Undang-Undang yang menentukan bahwa masa jabatan Hakim Konstitusi pengganti yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan Hakim Konstitusi yang digantikannya maupun masa jabatan anggota Pimpinan KPK pengganti yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan anggota Pimpinan KPK yang digantikannya adalah norma yang bertentangan dengan konstitusi. Lembaga-lembaga yang bersifat mandiri dan independen atau biasa dikenal dengan istilah state auxiliary organs atau state auxiliary institutions yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai lembaga negara bantu dan merupakan lembaga 12
Putusan Mahkamah konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, h. 67.
68
negara yang bersifat sebagai penunjang13 tersebut, pada umumnya dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya tidak dapat dipengaruhi oleh institusi atau lembaga lainnya. Masa jabatan anggotanya tidak terkait dengan hasil pemilihan umum. Berbeda dengan Presiden, DPR, DPD, DPRD serta Kepala Daerah yang merupakan lembaga yang merepresentasikan kekuatan partai politik dan pejabatnya dipilih melalui pemilihan umum yang diselenggarakan sekali dalam lima tahun. Menurut Mahkamah Konstitusi, lembaga yang bersifat mandiri dan independen tersebut harus dinihilkan dari pengaruh institusi atau lembaga politik lainnya, sehingga dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya dapat dilaksanakan secara maksimal. Sejalan dengan latar belakang pemikiran tersebut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, bertanggal 18 Oktober 2011, mengenai masa jabatan Hakim Konstitusi. Mahkamah Konstitusi Menimbang bahwa baik syarat maupun mekanisme pengisian jabatan anggota BPK pengganti maupun Anggota BPK bukan pengganti adalah sama dan tidak ada perbedaan. Oleh karena syarat dan mekanisme pengisian jabatan antara Anggota BPK pengganti maupun Anggota BPK bukan pengganti adalah sama, maka tidak adil jika keduanya melaksanakan masa jabatan yang berbeda.14
13
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 7-8. 14 Putusan Mahkamah konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, h. 76.
69
Sebagaimana pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011, tanggal 20 Juni 2011 dan Nomor 49/PUUIX/2011, tanggal 18 Oktober 2011, sebagaimana dikutip di atas, dilihat dari asas keadilan dalam penyelenggaraan negara yaitu keadilan bagi masyarakat dan asas kemanfaatan maka pengangkatan anggota pengganti yang menduduki masa jabatan sisa adalah sesuatu yang dirasakan tidak adil dan melanggar asas kemanfaatan. Ditinjau dari asas kemanfaatan dan asas kepastian sebagai tujuan hukum, masa jabatan anggota pengganti yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang digantikannya adalah bertentangan dengan asas kemanfaatan karena proses seleksi dan pengisian anggota pengganti yang sama dengan proses seleksi dan pengisian Anggota BPK yang bukan pengganti memerlukan waktu, pikiran, dan tenaga serta biaya yang cukup banyak, baik yang harus dikeluarkan oleh negara maupun yang ditanggung oleh calon anggota.15 Seperti halnya proses seleksi yang dialami oleh Pemohon sebagai Anggota BPK pengganti, harus melalui proses yang panjang dan rumit, yaitu melalui proses penjaringan calon, pengumuman di media masa, seleksi terhadap calon Anggota BPK di DPR dengan pertimbangan DPD, sampai dengan penetapan dan peresmian oleh Presiden. Dengan adanya proses seleksi yang panjang dan rumit, padahal
15
Putusan Mahkamah konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, h. 76-77.
70
hanya untuk mengisi dan melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang digantikan adalah tidak adil. Proses pengisian penggantian antarwaktu yang dilakukan pada penggantian Anggota DPR, Anggota DPD, Anggota DPRD maupun Presiden dan Wakil Presiden tidak bisa disamakan dengan ketentuan penggantian Anggota BPK, karena BPK adalah lembaga negara mandiri yang anggotanya tidak dipilih melalui pemilihan umum yang dilaksanakan 5 (lima) tahun sekali. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah Konstitusi ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang BPK sepanjang frasa “penggantian antarwaktu”, harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Selain daripada itu bahwa keberadaan Pasal 22 ayat (4) UU BPK yang mengatur tentang sisa masa jabatan Anggota BPK pengganti yang melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang digantikannya, akan menimbulkan pertentangan internal (contradictio in terminis) dengan Pasal 5 ayat (1) UU BPK yang menyatakan, “Anggota BPK memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan”. Oleh karena frasa “penggantian antarwaktu” dalam Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 22 ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka Pasal 22 ayat (5) yang menyatakan, Penggantian Anggota BPK antarwaktu tidak dilakukan apabila sisa masa jabatan anggota yang akan diganti kurang dari 6 (enam) bulan dari masa jabatan sebagaimana dimaksud
71
dalam Pasal 5 ayat (1), harus pula dinilai dan dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi walaupun tidak dimohonkan pengujian oleh Pemohon.16 Menurut Mahkamah Konstitusi ketentuan Pasal 22 ayat (5) Undang-Undang BPK merupakan ketentuan lebih lanjut dari norma yang terkandung dalam Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) UU BPK, sehingga Pasal 22 ayat (5) UU BPK harus pula dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.17 Putusan Mahkamah Konstitusi berlaku sejak ditetapkan (prospektif), namun demi asas kemanfaatan yang merupakan asas dan tujuan universal hukum maka untuk kasus-kasus tertentu putusan Mahkamah dapat diberlakukan surut (retroaktif). Penghentian ketidakpastian hukum dan kerugian konstitusional itu harus menjangkau secara retroaktif sejak ditetapkannya penafsiran yang tidak tepat tersebut, ketika mulai timbul ketidakpastian hukum dan kerugian konstitusional seperti terlihat dalam perkara a quo. Terkait dengan jabatan Anggota BPK pengganti, maka putusan ini berlaku bagi Anggota BPK pengganti yang sudah diangkat dan sekarang menduduki jabatan sebagai Anggota BPK, sehingga berhak
16
Putusan Mahkamah konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, h. 78. 17
Konstitusi.
Republik Indonesia, Pasal 47, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
72
menduduki masa jabatan penuh yaitu selama 5 (lima) tahun sejak diresmikan pengangkatannya sebagai Anggota BPK dengan keputusan Presiden. 4. Analisis Penulis Dalam pembahasan di atas terdapat anggota BPK yang tidak rela jabatannya tidak mencapai lima tahun, seperti anggota lainnya dalam posisi sebagai anggota BPK pengganti antarwaktu. Target dari gugatan tersebut agar Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Dalilnya, adalah bahwa hak konstitusional pemohon telah dilanggar dengan keberadaan pasal tersebut, sehingga pemohon sebagai anggota BPK tidak bisa menjabat selama 5 tahun sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang BPK. Berbanding terbalik dengan pendapat Lili Asdjudireja18 tentang pergantian antarwaktu, bahwa Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK bukan merupakan pelanggaran terhadap hak konstitusi warga negara Indonesia sebagaimana dalam Pasal 28 UUD NRI 1945. Tidak ada kepentingan umum yang dilanggar dalam pasal itu. Walaupun dipaksakan, ada hak asasi yang dilanggar, tentu hanya bagian dari hasrat penggugat yang ingin mempertahankan jabatannya. Perlu diingat pula, bahwa dalam melaksanakan hak konstitusional individu, seperti tertuang dalam UUD NRI 1945 Pasal 28, pada ayat penutupnya, yaitu Pasal 28J ayat 2, ditegaskan: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan 18
Di akses dari www.tempo.com pada tanggal 27 Oktober 2013.
73
undang-undang”.
Hukum
bukan
pada
tempatnya
untuk
mengakomodasi
kepentingan privat semata, melainkan demi kepentingan umum dan kepentingan negara. Dalam putusan MK Nomor 13/PUU-XI/2013 ada penguatan kedudukan anggota pengganti antarwaktu anggota BPK yang mendapat keadilan hak konstitusional pribadi pada masa jabatan sebagai anggota BPK. Dalam kontek Islam dan pemikiran-pemikiran teologi muslim yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah,19 direkomendasikan adanya penguatan kedudukan dalam aktifitas pemerintahan. Firman Allah SWT di dalam alquran surat Al-Imran ayat 41, yang berbunyi sebagai berikut :
Artinya : “Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar, dan kepada Allahlah kembali segala urusan” (QS. Al-Imron: ayat 41). Dapat disimpulkan bahwa dengan adanya penyamaan masa jabatan anggota BPK pengganti antarwaktu dan anggota yang bukan pengganti antarwaktu adalah penguatan kedudukan mereka dalam lembaga BPK. Diharapkan dengan adanya putusan MK Nomor 13/PUU-XI/2013 anggota pengganti antarwaktu dapat bekerja
19
Muhammad Tahir Azhary, Beberapa Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, Dan Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 529, cetakan pertama.
74
secara maksimal di lembaganya dengan cara memberikan kinerja yang seadiladilnya tanpa merasa adanya diskriminasi masa jabatan. Sistem ketatanegaraan di bawah ikatan Piagam Madinah juga menerapkan kesejahteraan yang mengacu pada dua kepentingan, yaitu kesejahteraan materiil dan kesejahteraan spiritual. Selain itu juga dikenal sistem pembagian tugas (kekuasaan) dengan menempatkan orang-orang yang memenuhi syarat.20 Bentuk keindahan dalam Islam adalah adanya penyamaan hak pada setiap manusia agar dapat hidup berdampingan untuk dapat saling menghormati hak satu sama lainnya. Hal tersebut tercermin dalam setiap hadist-hadist nabi Muhammad SAW dimana kebanyakan dari hadist-hadist tersebut terucap setelah adanya pengaduan dari para umatnya yang mengadu langsung kepada nabi. C.
Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 Tentang Pengangkatan Pergantian Antarwaktu Anggota BPK Putusan hakim lazimnya disebut vonis melahirkan norma hukum baru, yang sebelumnya tidak ada. Dengan putusan hakim, subjek hukum baik orang maupun badan hukum yang sebelumnya tidak berhak menjadi memiliki hak, demikian juga sebaliknya yang tadinya memiliki hak menjadi tidak memiliki hak.21 Dengan adanya putusan Nomor 13/PUU-XI/2013 maka berakibat langsung terhadap pasal yang diujikan, pasal 22 ayat (1), dan ayat (4) menjadi tidak berlaku
20
Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 212, cetakan kedua. 21
Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi....., h.233.
75
dan semestinya harus dilakukan revisi agar putusan dan masukan yang telah diberikan oleh Mahkamah konstitusi dapat dimaksimal oleh DPR selaku pemerintah. Kemudian masa jabatan anggota pengganti yang setelah putusan Mahkamah Konstitusi menjadi sama yaitu 5 (lima) tahun dan tidak melanjutkan masa jabatan sisa dari anggota yag digantikannya. Demi merepresentasikan hak yang dijaminkan oleh UUD NRI 1945 terhadap hak konstitusional seseorang yang merasa dirugikan dengan adanya UU tertentu dan dianggap bertentangan dengan UUD NRI 1945. Sepanjang frasa “pengangkatan pergantian antarwaktu” yang memiliki keambiguan dan tidak memiliki kekuatan hukum tetap, karena tidak menjelaskan tentang tata cara pemilihan anggota pengganti antarwaktu, apakah dilakukan dengan cara pemilihan seperti yang dilakukan dalam pemilihan anggota pada anggotaanggota yang bukan diangkat dari pergantian antarwaktu, atau diipilih langsung tanpa pertimbangan DPR dan pertimbangan DPD. Keberadaan Pasal 22 ayat (1), ayat (4) dan ayat (5) dianggap tidak memberikan hak konstitusional bagi anggota pengganti, karena memberikan sikap diskriminasi bagi anggota pengganti antarwaktu dalam hal masa jabatan, sehingga gambaran yang ada adalah anggota pengganti antarwaktu tidak memiliki hak yang sama dengan anggota yang diangkat bukan melalui penggantian antarwaktu. Dengan putusan Mahkmah Konstitusi bahwa Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2), maka Pasal 22 ayat (5) Undang-Undang BPK yang menyatakan, “Penggantian Anggota BPK antarwaktu tidak dilakukan apabila sisa masa jabatan anggota yang akan diganti kurang dari 6 (enam) bulan dari masa jabatan sebagaimana dimaksud
76
dalam Pasal 5 ayat (1)”, harus pula dinilai dan dipertimbangkan oleh Mahkamah walaupun tidak dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon. Menurut Mahkamah Konstitusi ketentuan Pasal 22 ayat (5) UU BPK merupakan ketentuan lebih lanjut dari norma yang terkandung dalam Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 22 ayat (4) UU BPK sehingga Pasal 22 ayat (5) UU BPK harus pula dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat agar didapatnya keadilan hukum. Demikian pula dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUUXI/2013 berakibat pada proses baku pada calon-calon anggota pengganti antarwaktu dimana dilakukan kembali proses pemilihan seperti pada anggota yang bukan pengganti antarwaktu. Peradilan Konstitusi melalui putusannya juga dapat meminta kepada parlemen dalam hal ini DPR untuk melakukan perbaikan terhadap undang-undang (legislative revision) yang dianggap bermasalah,22 artinya bahwa efek langsung dari putusan Nomor 13/PUU-XI/2013 adalah DPR mempunyai kewajiban yang dibebankan karena putusan tersebut yaitu merevisi pasal yang telah disengketakan agar adanya kejelasan hukum dan kekuatan hukum.
22
Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi (Suatu Studi Tentang Adjudikasi Konstitusional Sebagai Mekanisme Pengelesaian Sengketa Normatif), (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), h.268, cetakan pertama.
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan Dari hasil penelitian dan analisis yang dilakukan, penulis dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut: 1. Alasan konstitusional pengajuan uji materiil terhadap Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan,Pasal tersebut dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 23F ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh presiden”. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang samadalam pemerintahan”. Dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
77
78
2. Dasar pertimbangan Mahhkamah Konstitusi dalam memutus perkara Nomor 13/PUU-XI/2013 adalah bahwa isu pengujian konstitusionalitas yang dimohonkan Pemohon memiliki kesamaan substansi dengan pengujian konstitusionalitas masa jabatan anggota Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pengganti yang telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 5/PUU-IX/2011, bertanggal 20 Juni 2011 dan masa jabatan Hakim Konstitusi pengganti yang telah diputus Mahkamah dalam Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011, bertanggal 18 Oktober 2011. Kedua Putusan tersebut menegaskan, norma Undang-Undang yang menentukan bahwa masa jabatan. 3. Implikasi putusan Mahkmaah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 memang lebih menjamin hak warga negara yang hak konstitusinya telah dijamin oleh UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Berakibat kepada berkurangnya masa jabatan anggota pengganti antarwaktu namun proses pemilihan anggota pengganti dilakukan sama dengan anggota yang bukan pengganti. Pada pasal tersebut tidak disebutkan dan dijelaskan mengenai proses pengangkatan anggota pengganti antarwaktu. B.
Saran Dari hasil penelitian ini, penulisi dapat memberikan saran atau masukan yang antara lain sebagai berikut: 1. Memasukan kurikulum pengetahuan pada sekolah tingkat Tsanawiyah, Aliyyah, SMP, SMA dan perguruan tinggi, bahwa anggota BPK memiliki masa jabatan 5 tahun.
79
2. Melakukan sosialisasi lewat media-media informasi dan media dakwah seperti khutbah jum’at, kuliah subuh dan kultum mengenai masa jabatan anggota BPK, bahwa anggota BPK mempunyai masa jabatan 5 tahun. 3. Diadakan Proses pemilihan yang sederhana dan cepat diharapkan mampu memberikan pengertian termasuk mengenai masa jabatan anggota pengganti antarwaktu
yang hanya
melanjutkan sisa
masa jabatan anggota
yang
digantikannya. 4. perbaikan mekanisme aturan yang diamanatkan Pasal 22 undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK yang membatasi masa bakti dalam sistem pengangkatan antarwaktu merupakan bagian dari pembatasan pelaksanaan kebebasan, seperti diamanatkan UUD 1945. Apalagi, pejabat yang menerima jabatan dengan mekanisme antarwaktu itu sudah mengetahui dan menyadari sejak sebelum diangkat.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU: Al-Qur’an Ahmadi, Fahmi M. Jaenal Arifin.Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Lembaga PenelitianUIN Syarif Hidayatullah, 2010. Aripin, Jaenal. Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, cet. I. Jakarta: Kencana, 2008. Asshiddiqie, Jimly dan Ali Safa’at.Teori Hans Kelsen Tentang Hukum.cet.II Jakarta: Konpress, 2012. Asshiddiqie, Jimly. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2008, cetakan kedua. _______________.Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Demokrasi. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007. _______________.Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara.Jakarta : Sinar Grafika, 2012, cetakan kedua. _______________.Konstiusi dan Konstituslisme Indonesia.Jakarta: Kerjasama antara Mahkamah Konstitusi RI dengan Pusat Studi HTN FH UI, 2004. ______________. Konstitusi Dan Konstitualisme Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2011.
A.B, Kusuma. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Badang Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004. Anwar, Saiful dan Marzuki Lubis. Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Medan : Glora Madani Press, 2004. Armando, Ade. Mengenal Lebih Dekat BPK : Sebuah Panduan Populer, Jakarta: Biro Humas Dan Luar Negeri Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.
80
81
Azhary, Muhammad Tahir.Beberapa Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, Dan Hukum Islam, Jakarta: Kencana, 2012. Bohari, Pengawasan keuangan negara, jakarta : rajawali 1992. Daulay,
Ikhsan Rosyada Parluhutan.Mahkamah Konstitusi : Memahami Keberadaannya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006.
Fadjar, Abdul Mukti.Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Cet. I, Jakarta: Konstitusi Press, 2006. Fatkhurohman dkk., Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004. Garner, Bryan A. Black’s Law Dictionary, USA : Thomson Business, 2004. Hadjar A, Fickar., dkk.., Pokok-Pokok Pemikiran dan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Jakarta: KRHN dan Kemitraan, 2003. Huda, Ni’matul.Hukum Tata NegaraIndonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005. ___________.Hukum Tata Negara Indonesia (edisi revisi), Jakarta : Rajawali pers, 2012. KA Pramana, Pudja. Ilmu Negara, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2009. Kelsen, Hans. Pengantar Teori Hukum, Bandung : Nusa Media, 2008. Kusuma, Ananda B. Jurnal Konstitusi Volume 3 Nomor 4 Tentang Recall, Jakarta: MK RI, 2006. Lexy, Moleong J. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja Roda Karya, 2004. Manan, Bagir.Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII, 2004. Manullang, M. Dasar-Dasar Manajemen, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1995. Marbun, BN. Kamus Hukum Indonesi,Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006.
82
MD, Mahfud.Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, Jakarta: Rajawali Pers, 2009. MD, Mahfud.Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2009. Metrokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2002. Munandar, Haris. Pembangunan Politik, Situasi Global dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Gramedia, 1994. Prodjodikoro, Wirjono. Azas-Azas Hukum Tatanegara di Indonesia, Jakarta: Dian Rakyat, 1977. Ranupandojo, Heidjrachman. Tanya Jawab Manajemen, Yogyakarta : AMP YKPN, 2000. Soehino, Ilmu Negara, yogyakarta : Liberty, 2004. Saidi, Muhammada Djafar. Hukum Keuangan Negara, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2008. Sujanto, Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986. Sunggono, Bambang. Metode Peneitian Hukum, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997. Sutiyoso, Bambang. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006. Syahuri, Taufiqurrohman. Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Jakarta: Kencana, 2011. Syahrizal, Ahmad. Peradilan Konstitusi (Suatu Studi Tentang Adjudikasi Konstitusional Sebagai Mekanisme Pengelesaian Sengketa Normatif), Jakarta: Pradnya Paramita, 2006. Tim penyusun FSH, Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta : Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM), 2012.
83
Tim Perumus, Pokok-Pokok Pikiran dan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Jakarta: KRHN, 2004. Tutik, Titik Wulandari.Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta: Kencana, 2010. Viktor M. Situmorang dan Jusuf Juhir, Aspek Hukum Pengawasan Melekat Dalam Lingkungan Aparatur Pemerintah,Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994. INTERNET: www.bpk.go.id www.negarahukum.com www.tempo.com JURNAL/ARTIKEL : Profil Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cet. I, Jakarta: Sekretaris Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010. Warta BPK, Bulan Edisi 2 – Vol. III Februari 2013, R. Soerasno, Ketua BPK pertama “Ini Bensinmu, Ini Bensinku”.
UNDANG-UNDANG: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 2 tahun 2011. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
PUTUSAN Nomor 13/PUU-XI/2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1]
Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh: [1.2]
Nama
: Drs. Bahrullah Akbar, BSc., S.E., MBA.
Pekerjaan : Anggota Badan Pemeriksa Keuangan Alamat
: Jalan Malaka II Gang 8 Nomor 2 RT 005/006, Kelurahan Malaka Sari, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur
Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 3 Desember 2012 memberi kuasa kepada Drs. Arman Remy, MS., S.H., M.H., M.M., Nurlan HN., S.H., Irlan Superi, S.H., Siti Nur Intihani, S.H., M.H., Damrah Mamang, S.H., Advokat dan Konsultan Hukum pada Kantor Hukum “Law Office Arman – Nurlan & Associates” beralamat kantor di Perum Pesona Anggrek Harapan Blok A5 Nomor 38 Bekasi, bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa; Selanjutnya disebut sebagai -------------------------------------------------------- Pemohon; [1.3]
Membaca permohonan Pemohon; Mendengar keterangan Pemohon; Mendengar dan membaca keterangan tertulis Pemerintah; Mendengar dan membaca keterangan tertulis Dewan Perwakilan
Rakyat; Memeriksa bukti-bukti surat/tertulis Pemohon; Mendengar keterangan saksi dan ahli Pemohon; Membaca kesimpulan Pemohon.
2 2. DUDUK PERKARA [2.1]
Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan dengan
surat permohonan bertanggal 8 Januari 2013, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 8 Januari 2013 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 35/PAN.MK/2013, dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada tanggal 22 Januari 2013 dengan Nomor 13/PUU-XI/2013, yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 Februari 2013, yang pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut: I. KEWENANGAN MAHKAMAH 1. Bahwa Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan: “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi“; 2. Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar,
memutus
kewenangannya
sengketa diberikan
kewenangan oleh
lembaga
Undang-Undang
negara
Dasar,
yang
memutus
pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”; 3. Bahwa Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan
Perundang-undangan
yang
dimuat
dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234 (selanjutnya disebut UU PPP) yang menyatakan secara hierarkis, kedudukan UUD 1945 adalah lebih tinggi dari Undang-Undang. Oleh karena itu, setiap ketentuan Undang-Undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Jika terdapat ketentuan dalam Undang-Undang yang bertentangan dengan UUD 1945, maka ketentuan tersebut dapat dimohonkan untuk diuji melalui mekanisme pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi; 4. Bahwa UU PPP telah meletakkan landasan arah, tujuan dan asas yang
3 jelas, sehingga setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik antara lain asas keadilan, asas kesamaan dalam hukum dan pemerintahan, asas ketertiban dan kepastian hukum dan/atau
asas
keseimbangan, keserasian dan keselarasan (vide Pasal 5 dan Pasal 6); 5. Bahwa Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK) menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”; 6. Bahwa dengan demikian, Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan isi dari suatu Undang-Undang, baik secara keseluruhan maupun materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari Undang-Undang yang bertentangan dengan UUD 1945 dapat dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga berwenang memberikan penafsiran terhadap norma-norma hukum yang terkandung dalam muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari Undang-Undang agar berkesesuaian dengan UUD 1945; 7. Bahwa berdasarkan hal-hal sebagaimana telah diuraikan di atas, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus permohonan pengujian Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) UU BPK terhadap Pasal 23F ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON 1. Bahwa sesuai ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK, Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu: a). perorangan warga negara Indonesia; b). kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
4 c). badan hukum publik dan privat; d). lembaga negara; Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945; 2. Bahwa sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 006/PUU-III/2005
tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 telah menentukan bahwa ada 5 (lima) syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK, yaitu: a). adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; b). hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dianggap telah dirugikan
oleh
berlakunya
Undang-Undang
yang
dimohonkan
pengujian; c). kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d). adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; e). adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional tersebut tidak akan terjadi lagi; 3. Bahwa Pemohon adalah sebagai Perorangan warga negara Indonesia berdasarkan kartu tanda penduduk (bukti P-3) saat ini berstatus sebagai Anggota BPK Pengganti berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 62/P Tahun 2011 tanggal 29 Oktober 2011 (bukti P-4), sehingga memenuhi kualifikasi sebagai Pemohon yang mempunyai kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK untuk melakukan pengujian Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) UU BPK yang telah merugikan hak konstitusional Pemohon sebagaimana dijamin oleh UUD 1945; 4. Bahwa dalam kaitannya dengan hak dan kewenangan konstitusional Pemohon untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan
5 kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan telah dirugikan dengan berlakunya Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa “pengangkatan penggantian antarwaktu” dan ayat (4) UU BPK. Adapun selengkapnya bunyi Pasal 22 UU BPK adalah sebagai berikut: (1)
Apabila Anggota BPK diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 atau Pasal 19 diadakan pengangkatan penggantian antarwaktu Anggota BPK sesuai dengan syarat-syarat dan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 dan diresmikan dengan Keputusan Presiden.
(2)
Pengangkatan Anggota BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal pemberhentian Anggota BPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 atau Pasal 19.
(3)
Sebelum memangku jabatannya, Anggota BPK yang diangkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang pengucapannya dipandu oleh Ketua/Wakil Ketua BPK dengan bunyi sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4).
(4)
Anggota BPK pengganti melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang digantikannya.
(5)
Penggantian Anggota BPK antarwaktu tidak dilakukan apabila sisa masa jabatan anggota yang akan diganti kurang dari 6 (enam) bulan dari masa jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
5. Bahwa dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa “pengangkatan penggantian antarwaktu” dan ayat (4) UU BPK memuat norma hukum yang tidak jelas, bias, dan menimbulkan multi tafsir, karena menimbulkan ketidakjelasan, perlakuan yang tidak adil, perlakuan yang berbeda di hadapan hukum, dan perlakuan diskriminatif. Padahal dalam membentuk suatu peraturan perundang-undangan, in casu UU BPK seharusnya mendasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang meliputi kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan (vide Pasal 5 UU PPP). Adanya pembedaan,
6 perlakuan yang tidak adil, perlakuan yang berbeda di hadapan hukum, dan perlakuan diskriminatif terhadap pemangku jabatan Anggota BPK tentunya akan berimplikasi negatif terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan BPK secara kelembagaan. BPK sebagai organ atau lembaga negara yang dibentuk oleh konstitusi dalam menjalankan tugas dan kewenangannya mempunyai karakteristik kepemimpinan yang sama dengan organ atau lembaga yang dibentuk oleh konstitusi lainnya (MPR, DPR, DPD, MA, MK, dan KY) yakni bersifat kolektif dan kolegial; 6. Bahwa beberapa pasal dalam UUD 1945 menjamin hak konstitusional Pemohon yang menjadi batu uji dalam permohonan ini adalah sebagai berikut: - Pasal 23F ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden”; - Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”; - Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”; - Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”; - Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”; 7. Bahwa pemberlakuan norma yang mengatur tentang pengangkatan pergantian antarwaktu Anggota BPK dan melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang digantikannya sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) UU BPK menurut hemat Pemohon tidak sesuai
7 dan/atau bertentangan dengan Pasal 23F ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, karena
melanggar
prinsip-prinsip
negara
hukum
yang
demokratis
sebagaimana terkandung dalam konstitusi yaitu prinsip kepastian hukum yang adil, prinsip persamaan dan keadilan, prinsip kemanfaatan hukum, serta
prinsip
kepentingan
umum.
Sehingga,
Pemohon
sebagai
perseorangan warga negara Indonesia yang memangku jabatan Anggota BPK yang dipilih nyata-nyata telah dirugikan hak konstitusionalnya dengan diberlakukannya Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa “pengangkatan penggantian antarwaktu” dan ayat (4), karena tidak dapat menjabat sebagai Anggota BPK selama 5 (lima) tahun dan hanya melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang digantikannya (Tengku Muhammad Nurlif) sampai dengan tahun 2014. Dengan kata lain masa jabatan Pemohon sebagai Anggota BPK tidak mencapai 3 (tiga) tahun; 8. Bahwa norma yang terkadung dalam Pasal 22 ayat (1) UU BPK sepanjang frasa
“pengangkatan
penggantian
antarwaktu”
yang
kemudian
menentukan masa jabatan Anggota BPK pengganti melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang digantikannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) UU BPK mereduksi pengaturan mengenai masa jabatan Anggota BPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) UU BPK yang berbunyi: “Masa jabatan Anggota BPK selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya”; 9. Bahwa pemberlakuan norma Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa “pengangkatan penggantian antarwaktu” dan ayat (4) UU BPK pada akhirnya menimbulkan pembedaan dalam pemangkuan masa jabatan Anggota BPK. Di mana sekarang ini terdapat 8 (delapan) orang Anggota BPK menjabat selama 5 (lima) tahun, dan 1 (satu) orang Anggota BPK menjabat dibawah 5 (lima) tahun yakni Pemohon. Oleh karena itu, norma Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa “pengangkatan penggantian antarwaktu” dan ayat (4) UU BPK telah merugikan hak konstitusional Pemohon, dan oleh karenanya diajukan pengujian terhadap norma tersebut agar dinyatakan
tidak
mempunyai
kekuatan
hukum
mengikat,
karena
bertentangan dengan UUD 1945; 10. Bahwa berdasarkan argumentasi sebagaimana telah diuraikan dalam
8 angka 1 (satu) sampai dengan angka 9 (sembilan) di atas, maka Pemohon berkesimpulan, Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan ini, berdasarkan 5 (lima) alasan, yakni: (a) Pemohon adalah perorangan warga negara Republik Indonesia; (b) Sebagai warga negara, Pemohon mempunyai hak konstitusional sebagai konsekuensi dianutnya paham negara hukum (rechtsstaat) yang normanya telah diatur dan diberikan oleh UUD 1945, yakni hak untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 23F ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945; (c) Hak konstitusional Pemohon tersebut, nyata-nyata secara aktual dan spesifik telah dirugikan dengan berlakunya norma Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa “pengangkatan penggantian antarwaktu” dan ayat (4) UU BPK yang telah memberlakukan secara berbeda mengenai status Pemohon sebagai Anggota BPK pengganti antarwaktu yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang digantikannya; (d) Kerugian konstitusional tersebut nyata-nyata terjadi berdasarkan sebabakibat
(causal
verband),
yakni
hak-hak
konstitusional
Pemohon
diperlakukan secara diskriminatif dan tidak adil dengan diberlakukannya Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa “pengangkatan penggantian antarwaktu” dan ayat (4) UU BPK yang dikaitkan dengan Pasal 23F ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945; (e) Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang diharapkan akan mengabulkan petitum permohonan ini, maka kerugian konstitusional Pemohon dimaksud, diharapkan tidak akan atau tidak lagi terjadi, karena Pemohon dapat menjabat sebagai Anggota BPK selama 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) UU BPK; III. ALASAN-ALASAN PERMOHONAN 1. Bahwa
sesuai tuntutan
reformasi yang menghendaki terwujudnya
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) menuju tata pemerintahan yang baik, mengharuskan adanya perubahan yang signifikan terhadap peraturan perundangundangan dan penataan terhadap lembaga-lembaga negara di Negara
9 Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu perubahan yang mendasar adalah dengan dirubahnya UUD 1945, khususnya perubahan ketiga UUD 1945 pada tahun 2011 mengenai BPK sebagaimana diatur dalam BAB VIIIA mulai dari Pasal 23E, Pasal 23F, dan Pasal 23G yang telah meletakkan kedudukan yang kuat, bebas dan mandiri terhadap kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai organ/lembaga negara yang dibentuk oleh konstitusi (UUD 1945) untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara. Di mana keuangan negara merupakan salah satu unsur pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dan mempunyai manfaat yang sangat penting guna mewujudkan tujuan negara untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, memerlukan lembaga pemeriksa yang bebas, mandiri, dan profesional untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (konsideran huruf a dan huruf b UU tentang BPK); 2. Bahwa untuk mewujudkan BPK yang bebas dan mandiri sebagaimana diamanatkan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, pembentuk konstitusi memberikan atribusi kepada pembuat Undang-Undang untuk mengatur lebih lanjut mengenai BPK dalam bentuk Undang-Undang sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 23G ayat (2) UUD 1945. Sebagai akibat perubahan UUD 1945, Undang-Undang organik yang mengatur tentang BPK juga harus dilakukan perubahan sesuai dengan amanat UUD 1945. Semula undang-undang organik tentang BPK diatur dengan Undangundang Nomor 5 Tahun 1973, kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006. Kedua Undang-Undang organik yang mengatur tentang BPK terdapat perbedaan yang sangat substansial, terutama berkenaan dengan kedudukan, tugas dan wewenang, keanggotaan (pemilihan
dan
pemberhentian),
hak
keuangan/administratif
dan
protokoler, tindakan kepolisian, kekebalan serta larangan, kode etik, kebebasan, kemandirian, dan akuntabilitas, pelaksana BPK, anggaran, serta ketentuan pidana; 3. Bahwa dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK telah menegaskan
betapa
penting
dan
strategisnya
kedudukan
dan
10 kewenangan konstitusional BPK yang merupakan penjabaran dari Pasal 23E UUD 1945 yaitu memiliki tugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, BUMN, Badan Layanan Umum, BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara [vide Pasal 6 ayat (1) UU BPK]. Hasil pemeriksaan BPK tersebut oleh Pasal 23E ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 diserahkan
kepada
DPR,
DPD,
dan
DPRD
sesuai
dengan
kewenangannya. Di mana hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan Undang-Undang; 4. Bahwa demi terwujudnya kehendak sebagaimana dikemukakan di atas, operasionalisasi pelaksanaan tugas dan kewenangan kelembagaan BPK dilaksanakan oleh 9 (sembilan) orang anggota dengan susunan Badan Pemeriksa Keuangan terdiri atas seorang Ketua merangkap Anggota, seorang Wakil Ketua merangkap Anggota, dan 7 (tujuh) orang Anggota [vide Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UU BPK]. Kesemua pemangku jabatan Anggota BPK memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan [vide Pasal 5 ayat (1) UU BPK]. Sebagai lembaga negara yang bebas dan mandiri sudah barang tentu harus diisi oleh Anggota BPK yang profesional, berintegritas, dan akuntabel. Untuk mewujudkan hal tersebut telah ditentukan syarat-syarat untuk dipilih sebagai Anggota BPK dan tata cara pemilihan Anggota BPK yang diatur dalam Pasal 13 dan Pasal 14 UU BPK sebagaimana diamanatkan Pasal 23F UUD 1945. Adapun bunyi Pasal 13 dan Pasal 14 UU BPK adalah sebagai berikut: - Pasal 13 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 berbunyi: “Untuk dapat dipilih sebagai Anggota BPK, calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. warga negara Indonesia; b. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. berdomisili di Indonesia; d. memiliki integritas moral dan kejujuran; e. Setia
terhadap
Negara
Kesatuan
Republik
ndonesia
yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
11 Indonesia Tahun 1945; f. berpendidikan paling rendah S-1 atau setara; g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun atau lebih; h. sehat jasmani dan rohani; i. paling rendah berusia 35 (tiga puluh lima) tahun; j. paling singkat telah 2 (dua) tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat dilingkungan pengelola keuangan negara; dan k. tidak dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap”; - Pasal 14 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 berbunyi: (1) anggota
BPK
dipilih
oleh
DPR
dengan
memperhatikan
pertimbangan DPD; (2) pertimbangan
DPD
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
disampaikan secara tertulis yang memuat semua nama calon secara lengkap, dan diserahkan kepada DPR dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya surat permintaan pertimbangan dari pimpinan DPR; (3) calon anggota BPK diumumkan oleh DPR kepada publik untuk memperoleh masukan dari masyarakat; (4) DPR memulai proses pemilihan Anggota BPK terhitung sejak tanggal diterimanya surat pemberitahuan dari BPK sebagaimana dimakdsud dalam Pasal 5 ayat (2) dan harus menyelesaikan pemilihan Anggota BPK yang baru paling lama 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Anggota BPK yang lama; (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Anggota BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR; 5. Bahwa Pemohon sebelum memangku jabatan sebagai Anggota BPK pengganti, Pemohon selama ini bekerja/berkarir di BPK dan Kementerian Dalam Negeri selama kurang lebih 28 (dua puluh delapan) tahun dengan rincian sebagai berikut:
12 No
Tahun
Pekerjaan/Jabatan
1.
1985 – 2004
Auditor dan Widyaiswara di BPK
2.
2004 – 2007
Staf Khusus di Direktorat Jenderal Keuangan Daerah, Kementerian Dalam Negeri
3.
2007 – 2011
Staf Ahli Bidang Ekonomi dan Keuangan Kabupaten Lingga (Eselon IIB)
4.
2011 – Sekarang LEKTOR KEPALA di Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Kementerian Dalam Negeri
5.
2011 - Sekarang
Anggota BPK
6. Bahwa Pemohon sebelum diresmikan sebagai Anggota BPK pengganti pada 29 Oktober 2011, pernah beberapa kali mengikuti seleksi Anggota BPK. Pertama kalinya Pemohon ikut seleksi sebagai peserta pemilihan Anggota BPK masa jabatan 2004-2009 berdasarkan ketentuan Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 tentang BPK (bukti P-5). Kemudian pada tahun 2009, Pemohon mengikuti proses seleksi calon Anggota BPK dengan masa jabatan 5 (lima) tahun berdasarkan ketentuan Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK dengan hasil sebagai berikut: No
Nama Calon
Perolehan Suara
1.
Hasan Bisri
44
2.
Hadi Poernomo
43
3.
Gunawan Sidauruk*
32
4.
Rizal Djalil
32
5.
Moermahasi Soerja Djajanegara
30
6.
Taufiequrachman Ruki
27
7.
Dharma Bhakti*
26
8.
Tengku Muhammad Nurlif
22
9.
Ali Masykur Musa
20
10. Achmad Sanusi*
14
11. Bahrullah Akbar
13
* Tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 13 huruf j UU BPK
13 7. Bahwa terdapat 3 (tiga) orang calon anggota BPK terpilih yang memenuhi syarat berdasarkan Pasal 13 huruf j Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, maka posisi Pemohon yang semula menempati peringkat ke-11 menjadi peringkat ke-8. Konfigurasi calon Anggota BPK delapan besar yang memenuhi syarat setelah dipilih oleh DPR sebagaimana diuraikan di atas adalah sebagai berikut: No
Nama Calon
Perolehan Suara
1.
Hasan Bisri
44
2.
Hadi Poernomo
43
3.
Rizal Djalil
32
4.
Moermahasi Soerja Djajanegara
30
5.
Taufiequrachman Ruki
27
6.
Tengku Muhammad Nurlif
22
7.
Ali Masykur Musa
20
8.
Bahrullah Akbar
13
8. Bahwa pada tahun 2010, salah seorang pemangku jabatan Anggota BPK Tengku Muhammad Nurlif mengundurkan diri sebagai Anggota BPK, dan kemudian yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat sebagai Anggota BPK berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 19/P Tahun 2011 tanggal 6 April 2011. Maka terdapat kekosongan 1 (satu) pemangku jabatan Anggota BPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UU BPK yang menyatakan bahwa Anggota BPK berjumlah 9 (sembilan) orang. Oleh karena itu BPK melalui suratnya Nomor 42/S/I/04/2011 tertanggal 19 April 2011 yang ditujukan kepada DPR, meminta agar DPR mengadakan seleksi untuk mencari pengganti Tengku Muhammad Nurlif yang telah diberhentikan dengan hormat. Dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 22 ayat (1) UU BPK untuk melengkapi jumlah 9 (sembilan) orang Anggota BPK, akan tetapi masa jabatan Anggota BPK pengganti tersebut hanya melanjutkan masa jabatan Anggota BPK yang digantikannya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 ayat (4) UU BPK; 9. Bahwa selanjutnya DPR membuka pengumuman ke publik untuk melaksanakan seleksi pengangkatan penggantian antarwaktu 1 (satu) posisi lowong pemangku jabatan Anggota BPK dan Pemohon kembali mengikuti proses seleksi calon Anggota BPK pengganti antar waktu
14 tersebut. Proses seleksi terhadap 16 (enam belas) calon Anggota BPK pengganti
dilaksanakan
pada
tanggal
26
September
201dan
27
September 2011 oleh DPR, pada tanggal 3 Oktober 2011, DPR mengadakan rapat internal untuk mengambil keputusan dan hasilnya Pemohon mendapatkan 39 suara dari 47 suara melalui pemungutan suara di DPR sehingga Pemohon terpilih sebagai Anggota BPK menggantikan Tengku Muhammad Nurlif sesuai ketentuan yang terdapat dalam Pasal 22 ayat (1) UU BPK, selanjutnya ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 62/P Tahun 2011 tanggal 29 Oktober 2011 yang secara resmi mengukuhkan Pemohon sebagai Anggota BPK; 10. Bahwa setelah dilantik sebagai Anggota BPK pada tanggal 10 November 2011, Pemohon diberikan tugas dan kewenangan sebagai Anggota VII. Di mana tugas dan kewenangan Anggota VII (vide Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1 Tahun 2010) meliputi pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara bidang kekayaan negara yang dipisahkan dengan entitas pemeriksaan, yaitu : Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Negara dan anak perusahaan, badan pelaksana pengendalian usaha migas (termasuk kontraktor production sharing/KPS pertambangan), badan pembina proyek asahan dan otorita pengembangan proyek asahan serta lembaga terkait di lingkungan entitas tersebut (bukti P-6); 11. Bahwa sebagai Anggota BPK pengganti yang dipilih dengan istilah “pengangkatan penggantian antarwaktu” berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) UU BPK, tetapi pada hakikatnya sama dengan proses seleksi dan pemilihan Anggota BPK yang Pemohon alami pada tahun 2009 untuk masa jabatan 2009-2014 yang mendasarkan pada syarat dan tata cara yang sama-sama diatur menurut ketentuan Pasal 13 dan Pasal 14 UU BPK.
Jika
menggunakan
pemahaman
mengenai
mekanisme
“pengangkatan penggantian antarwaktu” untuk mengisi posisi lowong keanggotaan lembaga legislatif (DPR, DPD, dan DPRD). Calon yang memperoleh suara terbanyak berikutnya dalam Daftar Calon Tetap (DCT) pada partai politik/calon perseorangan dari daerah pemilihan yang sama dan masih memenuhi syarat, maka calon tersebut ditetapkan untuk mengisi jabatan lowong keanggotaan DPR, DPD, dan DPRD, tanpa
15 mengikuti seleksi kembali melalui pemilihan umum. Berkaitan dengan Pemohon yang merupakan Anggota BPK pengganti, syarat dan tata cara untuk ditetapkan sebagai Anggota BPK pengganti sama dengan syarat dan tata cara pemilihan Anggota BPK yang memiliki masa jabatan 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) UU BPK dengan mendasarkan ketentuan Pasal 13 dan Pasal 14 UU BPK; 12. Bahwa sebagai Anggota BPK yang dipilih dengan “pengangkatan penggantian antarwaktu” sebagaimana dipraktikkan dalam pengangkatan penggantian antarwaktu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Semestinya cukup menetapkan calon Anggota BPK yang memperoleh suara terbanyak berikutnya yang masih memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 UU BPK, yakni Pemohon yang memperoleh suara terbanyak ke8, dan tidak perlu lagi melakukan pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UU BPK yang didalamnya menggunakan syarat dan tata cara sebagaimana diatur dalam Pasal 13 dan Pasal 14 UU BPK; 13. Bahwa Pasal 22 ayat (1) UU BPK yang menentukan mengenai pengisian jabatan Anggota BPK yang lowong, dan kemudian Pasal 22 ayat (4) UU BPK menentukan pemangkuan masa jabatan Anggota BPK pengganti sebagaimana dimaksud Pasal 22 ayat (1) UU BPK hanya melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang digantikannya. Pemohon yang dipilih DPR sebagai Anggota BPK menggantikan Tengku Muhammad Nurlif hanya melanjutkan sisa masa jabatan Tengku Muhammad Nurlif sampai dengan tahun 2014 bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan 6 (enam) Anggota BPK lainnya. Dalam Keputusan Presiden Nomor 62/P Tahun 2011 tanggal 29 Oktober 2011 tidak secara tegas menetapkan masa jabatan Pemohon sebagai Anggota BPK sampai tahun berapa?. (vide Keputusan Presiden Nomor 62/P Tahun 2011); 14. Bahwa Pemohon sejak diresmikan sebagai Anggota BPK melalui pengangkatan penggantian antarwaktu menurut ketentuan Pasal 22 ayat (1) tidak mencapai 3 (tiga) tahun berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (4) UU BPK. Sementara masa jabatan Anggota BPK lainnya yang dipilih berdasarkan ketentuan Pasal 13 dan 14 UU BPK menjabat selama 5 (lima) tahun, padahal tidak ada perbedaan yang substansial antara tata cara “pengangkatan penggantian antarwaktu” dan tata cara “pemilihan”
16 Anggota BPK sama-sama mengacu pada Pasal 13 dan Pasal 14 UU BPK. Maka dalam hal ini Pemohon mendapatkan perlakuan yang berbeda dalam masa jabatan pemangkuan jabatan Anggota BPK. Perlakuan yang berbeda tersebut bila dikaitkan dengan prinsip-prinsip yang ada dalam suatu negara hukum yang demokratis nyata-nyata jelas bertentangan, khususnya dengan prinsip kepastian hukum yang adil, prinsip persamaan dan keadilan, prinsip kemanfaatan hukum, serta prinsip kepentingan umum; 15. Bahwa konsep penggantian antarwaktu (PAW) hanya dikenal dalam penggantian jabatan publik dalam cabang kekuasaan legislatif (DPR, DPD, dan DPRD). Bahwa sumber pengisian jabatan cabang kekuasaan legislatif tersebut adalah melalui pemilihan umum (Pemilu) secara langsung oleh rakyat dengan jangka waktu tertentu (fix term). Dalam hal terjadi kekosongan jabatan anggota legislatif sebelum berakhirnya masa jabatan pemangku jabatan anggota legislatif tersebut, maka pengisian jabatan lowong tersebut tidak memungkinkan untuk dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilu. Karena Pemilu sebagaimana di atur dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 hanya dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali. Mekanisme yang memungkinkan untuk mengisi jabatan yang kosong dengan penggantian antarwaktu (PAW). Konsep PAW ini sejalan dengan kedudukan lembaga legislatif sebagai lembaga politik. Dalam hal terjadinya kekosongan pemangku jabatan Anggota DPR dan/atau DPRD sebelum habis masa jabatannya, maka pengisian jabatan lowong tersebut diiisi melalui mekanisme PAW. Pemangkuan jabatan yang kosong, diisi atau digantikan oleh calon anggota DPR dan/atau DPRD
yang
memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama. Dalam hal calon anggota DPR dan/atau DPRD yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR dan/atau DPRD, anggota DPR dan/atau DPRD digantikan oleh calon anggota DPR dan/atau DPRD yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama [vide Pasal 217 ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 336 ayat (1) dan ayat (2), juncto Pasal
17 387 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut UU MD3]; 16. Bahwa dalam hal penggantian Anggota DPD yang berhenti sebelum habis masa jabatannya, digantikan oleh calon anggota DPD yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara calon anggota DPD dari provinsi yang sama. Dalam hal calon anggota DPD yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara calon anggota DPD meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPD, anggota DPD pengganti tersebut digantikan oleh calon anggota DPD yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya [vide Pasal 286 ayat (1) dan ayat (2) UU MD3]; 17. Bahwa BPK sebagai lembaga negara yang bebas dan mandiri untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara mempunyai perbedaan yang sangat mendasar dengan lembaga legislatif (DPR, DPD, dan DPRD) sebagai lembaga politik yang mekanisme pengisian jabatannya dilakukan secara serempak melalui pemilu yang dilaksanakan selama 5 (lima) tahun sekali. Oleh karena itu,untuk memenuhi asas kepastian hukum yang adil sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, maka menurut Pemohon masa jabatan Anggota BPK pengganti tidak dimaksudkan untuk memenuhi sisa masa jabatan anggota yang digantikannya. Pengisian pemangkuan jabatan Anggota BPK pengganti dimaksudkan untuk memenuhi susunan dan keanggotaan BPK sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 5 ayat (1) UU BPK. Dengan demikian, masa jabatan Anggota BPK pengganti diperlakukan sama menurut Pasal 5 ayat (1) UU BPK, sehingga pengisian pemangku jabatan Anggota BPK dengan istilah apapun tetap sesuai dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945; 18. Bahwa dalam rumusan Pasal 22 ayat (1) yang menggunakan frasa “pengangkatan
penggantian
antarwaktu”
yang
menjadi
dasar
18 pengangkatan Pemohon sebagai Anggota BPK pengganti mengandung kelemahan sistem kaidah. Di mana norma Pasal 22 ayat (1) mengandung pertentangan dengan norma Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) UU BPK sebagai norma yang bersifat imperatif (keharusan) dalam menentukan komposisi keanggotaan
dan
masa
jabatan
Anggota
BPK.
Di
samping
itu,
penggunaan frasa “pengangkatan penggantian antarwaktu” bertentangan dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU BPK yang menentukan: “Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD”. Penggunaan frasa “pengangkatan” dalam Pasal 22 ayat (1) UU BPK bertentangan dengan tata cara pengisian jabatan Anggota BPK yakni dengan cara dipilih sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UU BPK, juncto Pasal 23F ayat (1) UUD 1945. Penggunaan kalimat yang berbeda dalam
tata
cara
pengisian
jabatan
Anggota
BPK
sebagaimana
dikemukakan di atas memiliki ketidakjelasan rumusan. Oleh karenanya, frasa
“pengangkatan” dalam
pasal
a
quo
harus
dibatalkan dan
dikembalikan ke frasa “pemilihan” sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 14 ayat (1) UU BPK, juncto Pasal 23F ayat (1) UUD 1945. Hal ini sesuai dengan pembahasan di Badan Pekerja MPR mengenai rumusan Pasal 23F ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 dengan pertimbangan agar keberadaan BPK bebas dari pengaruh pemerintah, maka Anggota BPK dipilih
oleh
DPR
agar
sebagai
core
dengan
DPD
memberikan
pertimbangan (Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 Latar Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan 1999-2002 Buku VII Keuangan, Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi 2008, halaman 296); 19. Bahwa isi norma Pasal 22 ayat (4) UU BPK tidak memiliki kepastian hukum dan mengandung ambiguitas yang akhirnya berakibat memberi ketidakpastian masa jabatan Anggota BPK. Hal demikian menurut Pemohon merugikan hak-hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum yang secara khusus dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Norma ayat (4) pasal a quo mengandung unsur diskriminatif perlakuan kesempatan yang sama dalam masa jabatan anggota BPK yang diangkat secara bersamaan dengan anggota BPK yang dianggkat sebagai anggota pengganti BPK. Dengan demikian ayat (4) Pasal a quo UU BPK
19 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945; 20. Bahwa norma Pasal 22 ayat (4) UU BPK yang berbunyi: “Anggota BPK pengganti
melanjutkan
sisa
masa
jabatan
Anggota
BPK
yang
digantikannya” menimbulkan ketidakadilan bagi seseorang yang terpilih sebagai Anggota BPK, karena hanya melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang digantikannya. Apabila ayat (4) Pasal tersebut diterapkan akan bertentangan dengan Pasal 5 ayat (1) UU BPK yang secara tegas dan jelas menyatakan: “Masa jabatan Anggota BPK selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya”. Pengisian jabatan Anggota BPK, baik melalui tata cara “Pengangkatan Penggantian Antarwaktu” yang mengacu pada Pasal 22 ayat (1) UU BPK maupun dengan tata cara “pemilihan” yang mengacu pada Pasal 13 dan Pasal 14 UU BPK tidak mempunyai perbedaan substansial. Dengan demikian, selain telah terjadinya pertentangan internal (contradictio in terminis) norma yang mengatur pemangkuan masa jabatan Anggota BPK menurut UU BPK, juga bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, dan oleh karenanya Pasal 22 ayat (4) UU BPK harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 21. Bahwa BPK sebagai lembaga negara independen yang dibentuk oleh UUD 1945 diberi tugas dan wewenang untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara. Untuk melakukan tugas dan wewenang tersebut, BPK dituntut bekerja secara profesional, independen, dan berkesinambungan. Dengan adanya Anggota BPK yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang digantikannya tidak akan menjamin kesinambungan kinerja BPK dalam melakukan tugas dan wewenangnya menurut UUD 1945 serta menimbulkan ketidakadilan bagi Anggota BPK yang menggantikannya. Selain itu, jabatan Anggota BPK berbeda dengan jabatan negara yang lainnya karena adanya faktor konsistensi dan kesinambungan, terkait baik dengan proses maupun hasil audit yang dihasilkan. Jika dihubungkan dengan penilaian konsistensi dari audit yang dihasilkan, maka masa jabatan 5 (lima) tahun sebagai Anggota BPK pun, sebenarnya masih dianggap kurang. Dengan adanya Anggota
20 BPK yang menggantikan yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang digantikannya, maka masa jabatan Anggota BPK menjadi kurang dari 5 (lima) tahun; 22. Bahwa yang menjadi pertimbangan untuk masa jabatan Anggota BPK adalah adanya jaminan konsistensi dan kesinambungan dalam proses dan hasil audit BPK yang sangat terpengaruh oleh lamanya masa jabatan Anggota BPK. Oleh sebab itu, akan lebih proporsional dan menjamin kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum apabila masa jabatan Anggota BPK yang menggantikan tetap 5 (lima) tahun. Dengan demikian, pembatasan dan pembedaan perlakuan hukum mengenai masa jabatan Anggota BPK tidak beralasan menurut hukum; 23. Bahwa mengenai masa jabatan pengganti pada beberapa lembaga negara, Mahkamah Konstitusi telah memutusnya dengan menyatakan norma yang mengatur hal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, karena bertentangan dengan UUD 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah sebagai berikut: a. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011 tanggal 20 Juni 2011 (bukti P-7) mengenai tafsir masa jabatan Pimpinan KPK Pengganti dengan pertimbangan hukum dan amar putusannya sebagai berikut: - Pertimbangan Hukum pada bagian Pendapat Mahkamah halaman 73-76: [3.22]
Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (2) UU KPK, mekanisme pemilihan anggota pengganti Pimpinan KPK yang berhenti dalam masa jabatan dilakukan sama dengan mekanisme pemilihan dan pengangkatan anggota pimpinan yang diangkat secara bersamaan pada awal periode. Proses seleksi ini memakan waktu yang lama dan biaya yang cukup tinggi karena paling tidak melibatkan pembentukan panitia seleksi, proses pendaftaran yang dilakukan secara terbuka dan transparan dengan melibatkan proses publikasi di media, dan setelah ditetapkan nama calon-calon tesebut, proses seleksi dilanjutkan pada pengumuman kepada masyarakat untuk mendapatkan tanggapan yang seterusnya diserahkan di DPR untuk dilakukan seleksi kembali oleh DPR melalui mekanisme fit and proper test. Proses seleksi yang ketat dan panjang tersebut dipandang perlu, mengingat begitu pentingnya jabatan Pimpinan KPK, terutama apabila dikaitkan dengan urgensi agenda pemberantasan korupsi di Indonesia;
21 [3.23]
[3.24]
Menimbang bahwa proses pemilihan dan seleksi Pimpinan KPK pengganti yang demikian apabila dilihat dari asas keadilan dalam pelaksanaan pemerintahan yaitu keadilan bagi masyarakat maka pengangkatan anggota pengganti yang menduduki masa jabatan sisa hanya satu tahun adalah sesuatu yang dirasakan tidak adil bagi masyarakat, karena negara harus mengeluarkan biaya yang sangat besar serta para penyelenggara negara yang melakukan proses seleksi menghabiskan waktu yang cukup panjang hanya untuk memilih seorang anggota pengganti yang menduduki sisa masa jabatan satu tahun. Menurut Mahkamah, keadilan masyarakat adalah sumber nilai konstitusi tertinggi yang harus menjadi dasar penilaian Mahkamah, karena keadilan konstitusi tidak lain dari keadilan bagi constituent yaitu keadilan bagi rakyat yang membentuk dan menyepakati konstitusi. Keadilan masyarakat ini menjadi sangat penting dalam menegakkan prinsip-prinsip konstitusi untuk menghindari penyelenggaraan negara yang bersifat elitis dan melanggar prinsip-prinsip demokrasi yang dianut oleh UUD 1945 khususnya demokrasi partisipatoris. Menurut Mahkamah, penafsiran demikian juga, menimbulkan ketidakadilan bagi seseorang yang terpilih sebagai anggota pengganti yang berjuang serta menghabiskan banyak tenaga, waktu, dan biaya untuk lulus seleksi dan terpilih menjadi anggota Pimpinan KPK pengganti. Anggota pengganti yang terpilih yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan anggota yang digantikan mendapat perlakuan yang berbeda dengan anggota pimpinan yang terpilih secara bersamaan pada awal periode yang menjalankan masa jabatan penuh empat tahun, padahal anggota pengganti menjalani segala proses seleksi dan syarat-syarat yang sama, sehingga melanggar prinsip perlakuan yang sama terhadap setiap warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan [vide Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945]; Menimbang bahwa menurut Mahkamah, jika anggota Pimpinan KPK pengganti hanya menduduki masa jabatan sisa dari anggota pimpinan yang digantikannya, hal itu melanggar prinsip kemanfaatan yang menjadi tujuan hukum. Hukum lahir dan diadakan untuk mencapai kemanfaatan setinggi-tingginya. Proses seleksi seorang Pimpinan KPK pengganti menurut Pasal 33 ayat (2) UU KPK hanya menduduki masa jabatan sisa, mengeluarkan biaya yang relatif sama besarnya dengan proses seleksi lima orang Pimpinan KPK. Hal itu, benar-benar merupakan sebuah pemborosan yang tidak perlu dan tidak wajar. Menurut Mahkamah, sekiranya dimaknai bahwa Pimpinan pengganti itu adalah hanya menggantikan dan menyelesaikan masa jabatan sisa dari pimpinan yang digantikan maka mekanisme penggantian tersebut tidak harus melalui proses seleksi yang panjang dan rumit dengan biaya yang besar seperti dalam seleksi lima anggota pimpinan yang diangkat secara bersamaan. Pimpinan pengganti, dalam hal ada pimpinan yang berhenti dalam masa jabatannya, cukup
22
[3.25]
diambil dari calon Pimpinan KPK yang ikut dalam seleksi sebelumnya yang menempati urutan tertinggi berikutnya, seperti penggantian antarwaktu anggota DPR atau anggota DPD yang menurut Pasal 217 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR dan DPRD (Lembaran Negara Republilk Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043) yang menyatakan, ”Masa jabatan anggota DPR pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPR yang digantikan” dan Pasal 286 ayat (3) yang menyatakan, ”Masa jabatan anggota DPD pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPD yang digantikannya”. Hal itu, lebih memenuhi prinsip efisiensi, dan prinsip kewajaran. Oleh karena berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (2) UU KPK yang mengharuskan pengisian pimpinan pengganti dilakukan melalui proses seleksi yang sama dengan proses seleksi lima orang anggota KPK yang diangkat secara bersamaan, menurut Mahkamah, penggantian Pimpinan KPK pengganti tersebut tidak sama dengan penggantian antarwaktu anggota DPR dan DPD. Penggantian antarwaktu anggota DPR dan DPD, tidak melalui proses seleksi yang baru dan sudah ditegaskan dalam Undang-Undang hanya melanjutkan masa jabatan sisa dari anggota yang digantikannya. UU KPK menegaskan bahwa Pimpinan KPK pengganti dilakukan melalui proses seleksi yang baru dan tidak ditentukan bahwa pimpinan pengganti hanya melanjutkan sisa masa jabatan pimpinan yang digantikannya. Menurut Mahkamah, hal itu menunjukkan bahwa masa jabatan Pimpinan KPK pengganti tidak dapat ditafsirkan sama dengan penggantian antarwaktu bagi anggota DPR dan DPD. Dengan demikian masa jabatan pimpinan KPK yang ditentukan dalam Pasal 34 UU KPK tidak dapat ditafsirkan lain, kecuali empat tahun, baik bagi pimpinan yang diangkat secara bersamaan sejak awal maupun bagi pimpinan pengganti. Mempersempit makna Pasal 34 UU KPK dengan tidak memberlakukan bagi Pimpinan KPK pengganti untuk menjabat selama empat tahun adalah melanggar prinsip kepastian hukum yang dijamin konstitusi; Menimbang bahwa selain itu, menurut Mahkamah, KPK adalah lembaga negara independen yang diberi tugas dan wewenang khusus antara lain melaksanakan sebagian fungsi yang terkait dengan kekuasaan kehakiman untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan serta melakukan supervisi atas penanganan perkara-perkara korupsi yang dilakukan oleh institusi negara yang lain. Untuk mencapai maksud dan tujuan pembentukan KPK sebagai lembaga negara yang khusus memberantas korupsi, maka dalam melaksanakan tugas dan kewenangan secara efektif, KPK dituntut untuk bekerja secara profesional, independen, dan berkesinambungan. Menurut Mahkamah, KPK tidak akan maksimal melaksanakan tugas dan wewenangnya secara profesional dan berkesinambungan tanpa kesinambungan pimpinan KPK. Untuk menjamin
23 kesinambungan tugas-tugas Pimpinan KPK, agar pimpinan tidak secara bersama-sama mulai dari awal lagi, maka penggantian Pimpinan KPK tidak selayaknya diganti serentak. Oleh sebab itu, akan menjadi lebih proporsional dan menjamin kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum apabila terjadi penggantian antarwaktu di antara Pimpinan KPK diangkat untuk satu periode masa jabatan empat tahun [vide Pasal 28D ayat (1) UUD 1945]; - Amar Putusan pada halaman 78: ▪
Menyatakan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baik pimpinan yang diangkat secara bersamaan maupun pimpinan pengganti yang diangkat untuk menggantikan pimpinan yang berhenti dalam masa jabatannya memegang jabatan selama 4 (empat) tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan; ▪ Menyatakan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baik pimpinan yang diangkat secara bersamaan maupun pimpinan pengganti yang diangkat untuk menggantikan pimpinan yang berhenti dalam masa jabatanya memegang jabatan selama 4 (empat) tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan; b. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011 tanggal 18 Oktober 2011 yang salah satunya membatalkan ketentuan dalam Pasal 26 ayat (5) UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi: “Hakim Konstitusi yang menggantikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melanjutkan sisa jabatan Hakim Konstitusi yang digantikannya”. Adapun pertimbangan hukum dan amar putusan perkara tersebut sebagai berikut: - Pertimbangan Hukum pada bagian Pokok Permohonan halaman 70-71: “5. Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 26 ayat (5) UU 8/2011 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Mahkamah memberikan pertimbangan sebagai berikut: Bahwa Pasal 26 ayat (5) UU 8/2011 menyatakan “Hakim konstitusi
24 yang menggantikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melanjutkan sisa jabatan hakim konstitusi yang digantikannya.” Norma Pasal 26 ayat (5) UU 8/2011 menimbulkan ketidakadilan bagi seseorang yang terpilih sebagai hakim konstitusi karena hanya melanjutkan sisa masa jabatan hakim konstitusi yang digantikannya. Apabila pasal tersebut diterapkan akan bertentangan dengan Pasal 22 UU MK (UU 24/2003) yang secara tegas dan jelas menyatakan “Masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya”, sehingga terjadi pertentangan internal (contradictio in terminis). Menurut Mahkamah, penggantian hakim konstitusi tidak sama dengan penggantian antarwaktu anggota DPR dan DPD. Penggantian antarwaktu anggota DPR dan DPD, tidak melalui proses seleksi yang baru dan sudah ditegaskan dalam Undang-Undang hanya melanjutkan masa jabatan sisa dari anggota yang digantikannya. Adapun calon hakim konstitusi melalui proses seleksi oleh masing-masing lembaga yang mengajukannya. Dengan demikian, menurut Mahkamah, masa jabatan hakim konstitusi yang ditentukan dalam Pasal 22 UU MK tidak dapat ditafsirkan lain kecuali lima tahun, baik yang diangkat secara bersamaan maupun bagi hakim konstitusi yang menggantikan hakim konstitusi yang berhenti sebelum masa jabatannya berakhir. Mempersempit makna Pasal 22 UU MK dengan tidak memberlakukannya bagi hakim konstitusi pengganti untuk menjabat selama lima tahun adalah melanggar prinsip kepastian hukum yang adil yang dijamin konstitusi; Bahwa Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara independen yang oleh UUD 1945 diberi tugas dan wewenang sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman. Untuk melakukan tugas dan wewenang tersebut, Mahkamah dituntut bekerja secara profesional, independen, dan berkesinambungan. Dengan adanya hakim konstitusi yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan hakim konstitusi yang digantikannya tidak akan menjamin kesinambungan kinerja Mahkamah dalam melakukan tugas dan wewenangnya serta menimbulkan ketidakadilan bagi hakim konstitusi yang mengganti. Selain itu, jabatan hakim konstitusi berbeda dengan jabatan negara yang lainnya karena adanya faktor konsistensi dan kesinambungan, terkait baik dengan proses maupun putusan-putusan yang dihasilkan. Jika dihubungkan dengan penilaian konsistensi dari putusan yang dihasilkan maka masa jabatan lima tahun sebagai hakim konstitusi pun, sebenarnya masih dianggap kurang. Dengan adanya hakim yang menggantikan yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan hakim konstitusi yang digantikannya maka masa jabatan hakim konstitusi menjadi kurang dari lima tahun. Dengan demikian, yang menjadi pertimbangan untuk masa jabatan hakim konstitusi adalah adanya jaminan konsistensi dan kesinambungan dalam proses dan putusan-putusan Mahkamah yang sangat terpengaruh oleh lamanya masa jabatan hakim konstitusi, terkait dengan pendapat hukum dan kemandirian hakim. Oleh sebab itu, akan lebih proporsional dan menjamin kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum apabila masa jabatan hakim konstitusi yang menggantikan tetap lima tahun. Dengan demikian, menurut
25 Mahkamah, dalil para Pemohon a quo beralasan menurut hukum; - Amar Putusan pada halaman 80 : 3. Pasal 4 ayat (4f), ayat (4g), dan ayat (4h), Pasal 10, Pasal 15 ayat (2) huruf h sepanjang frasa “dan/atau pernah menjadi pejabat negara”, Pasal 26 ayat (5), Pasal 27A ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e, ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 50A, Pasal 59 ayat (2), dan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 24. Bahwa mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, dan dikaitkan dengan norma yang mengatur masa jabatan Anggota BPK pengganti sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (4) UU BPK, menurut Pemohon adalah sangat tepat dan bijaksana, jika Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi bercermin pada putusan tersebut dalam memutuskan
permohonan
Pemohon,
karena
Putusan
Mahkamah
Konstitusi tersebut substansinya sama dengan Permohonan yang Pemohon ajukan yaitu mengenai masa jabatan pengganti pemangku jabatan pada lembaga-lembaga negara, termasuk didalamnya mengenai masa jabatan Anggota BPK pengganti yang bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945; 25. Bahwa meskipun Mahkamah Konstitusi menurut Pasal 47 UU MK, putusan MK berlaku sejak ditetapkan (prospektif), namun demi asas kemanfaatan yang yang merupakan asas dan tujuan universal hukum, maka untuk kasus-kasus tertentu Mahkamah dapat memberlakukan putusannya secara surut (retroaktif). Hal ini sudah menjadi yurisprudensi yang tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110-111-112-113/PUUVII/2009 tertanggal 7 Agustus 2009 yang menjadi landasan penetapan Anggota DPR Periode 2009-2004 terutama berkaitan dengan penetapan Anggota DPR berdasar penghitungan tahap III yang semula telah ditetapkan secara salah oleh KPU dan juga Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011 tertanggal 20 Juni 2011 yang mengukuhkan posisi Pimpinan KPK Pengganti Busyro Muqoddas tetap menjabat selama 4 (empat) tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan (vide Putusan Nomor 5/PUU-IX/2011 halaman 76-78);
26 26. Bahwa apabila permohonan Pemohon dikabulkan, maka Pemohon tidak akan menjabat selama kurang lebih 3 (tiga) tahun, melainkan menjabat sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU BPK yakni selama 5 (lima) tahun, terhitung sejak diresmikannya Pemohon sebagai Anggota BPK tanggal 29 Oktober 2011 sampai dengan tahun 2016 dengan berpedoman pada yurisprudensi Mahkamah Konstitusi Nomor 110-111-112-113/PUUVII/2009 tertanggal 7 Agustus 2009 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011 tertanggal 20 Juni 2011 yang memberlakukan putusannya secara surut (retroaktif); IV. PETITUM Bahwa berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, Pemohon dengan ini memohon agar kiranya Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berkenan memutuskan hal-hal sebagai berikut: 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan muatan norma yang terdapat dalam Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa “pengangkatan penggantian antarwaktu” dan Pasal 22 ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 4654) bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945; 3. Menyatakan muatan norma yang terdapat dalam Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa “pengangkatan penggantian antarwaktu” dan Pasal 22 ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 4654) tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat; 4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara sebagaimana mestinya. Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
27 [2.2]
Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, Pemohon telah
mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-8, sebagai berikut: 1
Bukti P-1
Fotokopi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
2
Bukti P-2
Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
3
Bukti P-3
Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Pemohon
4
Bukti P-4
Fotokopi Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 62/P Tahun 2011 tanggal 29 Oktober 2011
5
Bukti P-5
Fotokopi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
6
Bukti P-6
Fotokopi Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1 Tahun 2010 tentang Pembagian Tugas dan Wewenang Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan
7
Bukti P-7
Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011
8
Bukti P-8
Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011
Selain itu, Pemohon juga mengajukan seorang saksi yang bernama Achsanul Qosasi dan tiga orang ahli yaitu Yusril Ihza Mahendra, Saldi Isra, Dwi Andayani yang telah didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 21 Maret 2013, yang menerangkan sebagai berikut: SAKSI PEMOHON Achsanul Qosasi
Saksi yang melaksanakan langsung proses pemilihan atau pengangkatan anggota BPK Bahrullah menggantikan Nurlif;
Pada saat itu dari 17 anggota terpilihlah Bahrullah Akbar. Menurut saksi Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang a quo masih beranggapan tidak bertentangan dengan UUD 1945;
Saksi menjalankan hal tersebut sesuai dengan amanat yang diberikan kepada Komisi XI dan pada waktu itu memang terlintas sedikit diskusi mengenai masa jabatan anggota BPK adalah 5 tahun, sehingga saksi beranggapan adalah bukan domain Komisi XI dan sampai saat ini, saksi berkeyakinan di Komisi XI
28 bahwa Undang-Undang BPK tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. AHLI PEMOHON 1. Yusril Ihza Mahendra
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 sebagai Undang-Undang organik yang menyebarkan lebih lanjut pelakasanaan tugas konstitusional dari Badan Pemeriksa Keuangan mengatur beberapa hal sebagai berikut: yakni menentukan bahwa anggota Badan Pemeriksa Keuangan berjumlah 9 orang dengan susunan terdiri atas satu orang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan 7 orang anggota;
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang BPK menegaskan lebih lanjut ketentuan Pasal 23F ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang mengharuskan semua pemangku jabatan anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan oleh Presiden. Ada pun masa jabatan anggota BPK sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang BPK adalah 5 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan;
Norma-norma tersebut menurut pendapat ahli sudah sangat jelas bersifat imperatif dan tidak dapat ditafsirkan lain, akan tetapi yang menjadi persoalan adalah adanya norma dalam Undang-Undang BPK yang menentukan cara pengisian jabatan anggota BPK dengan cara lain yakni sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dengan menggunakan frasa pengangkatan pergantian antarwaktu. Penggunaan frasa demikian menjadi tidak tepat karena memiliki ketidakjelasan rumusan yang pada akhirnya
berimplikasi
kepada
ketidakjelasan
tujuan
dan
adanya
ketidakpastian hukum. Sehingga norma tersebut bila dikaitkan dengan norma yang mengatur tentang mekanisme pengisian jabatan anggota BPK dalam Undang-Undang BPK itu sendiri mengalami adanya konflik atau pertentangan norma sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UndangUndang BPK;
Penggunaan frasa pengangkatan pergantian antar waktu juga bertentangan dengan Pasal 23F ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Menurut pendapat ahli sebenarnya ketentuan a quo dimaksudkan untuk mengisi dalam hal terjadinya kekosongan atau kekurangan dari komposisi keanggotaan BPK
29 yang berjumlah 9 orang tadi. Oleh karena itu menurut pendapat ahli, norma tersebut memang harus ada tetapi dengan tidak mencantumkan frasa pengangkatan pergantian antarwaktu dan norma Pasal 22 ayat (1) UndangUndang BPK seharusnya berbunyi, “Apabila anggota BPK diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 19 diadakan pergantian anggota BPK sesuai dengan syarat-syarat dan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 dan diresmikan dengan keputusan presiden.” Tanpa adanya kata-kata istilah pergantian atau pengangkatan antarwaktu;
Norma Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang BPK selanjutnya melahirkan norma turunan yakni ayat (4) pada pasal a quo yang menentukan bahwa masa jabatan anggota BPK pengganti hanya melanjutkan sisa masa jabatan anggota BPK yang digantikannya. Pembedaan masa jabatan anggota BPK senyata-nyatanya menurut pendapat ahli bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 28D ayat (1) yang menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Padahal syarat dan tata cara pengisian jabatan anggota BPK berlaku secara imperatif sebagaimana diatur dalam Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang BPK, akan tetapi norma ayat (4) dalam pasal a quo Undang-Undang BPK mengecualikan lain terhadap masa jabatan anggota BPK pengganti dengan memegang masa jabatan di bawah 5 tahun karena mendasarkannya pada ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang BPK;
Kalau konsep pergantian antarwaktu sebagaimana dipraktikan dalam pengisian jabatan lowong pada lembaga negara yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum kemudian diadopsi dalam pengisian jabatan kosong atau lowong pada keanggotaan BPK nampaknya tidak tepat. Hal itu dikarenakan Undang-Undang Dasar 1945 telah menentukan dengan jelas bahwa pemilihan umum dilaksanakan setiap 5 tahun sekali dengan masa jabatan yang berakhir serempak. Di sisi lain, pemangkuan jabatan keanggotaan BPK merupakan jabatan profesional dan sangat berbeda dengan jabatan politik, seperti jabatan lembaga DPR, DPD, dan Presiden;
30
Sebagai jabatan profesional, diperlukan adanya jaminan konsistensi dan kesinambungan pelaksanaan tugas dan kewenangan BPK sebagai auditor keuangan negara. Praktik pemilihan kesembilan Anggota BPK yang ada sekarang ini, dengan mendasarkan pada ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006, tidak dilakukan secara serentak dan memegang masa jabatan selama 5 tahun, kecuali Pemohon yang memegang masa jabatan kurang dari 5 tahun karena dipilih berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1), melalui pengangkatan penggantian antarwaktu;
Dengan diberlakukannya norma Pasal 22 ayat (1), adanya frasa pengangkatan penggantian antarwaktu, dan ayat (4) Undang-Undang BPK, secara nyata selain bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, juga melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Tetapi secara spesifik dan aktual, telah merugikan hak konstitusional Pemohon yang telah ditetapkan sebagai Anggota BPK pengganti antar waktu dengan masa jabatan kurang dari 5 tahun. Maka seyogianyalah, Mahkamah Konstitusi selain menyatakan norma a quo dalam Undang-Undang BPK bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Menurut pendapat ahli, perlu juga Mahkamah Konstitusi menetapkan masa jabatan Pemohon sebagai Anggota BPK selama 5 tahun, terhitung sejak tanggal Pemohon dilantik sebagai Anggota BPK. Hal itu didasarkan pada yurisprudensi tetap Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 5/PUUIX/2011 yang telah mengukuhkan masa jabatan Busyro Muqoddas sebagai Pimpinan KPK dengan masa jabatan pimpinan KPK lainnya yakni selama 4 tahun, walaupun Busyro Muqoddas dipilih oleh DPR tidak bersamaan dengan pimpinan KPK lainnya.
2. Saldi Isra
Dalam
permohonan
ini,
Pemohon
mengajukan
pengujian
atas
konstitusionalitas Pasal Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 22 ayat (4) UndangUndang Nomor 5 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, dalam hal ini, ketentuan Pasal 22 ayat (1) menyatakan, “Apabila Anggota BPK diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 19, diadakan pengangkatan penggantian antarwaktu Anggota BPK sesuai
31 dengan syarat dan tata cara sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 dan Pasal 14, dan diresmikan dengan keputusan presiden”;
Pasal 22 ayat (4) yang menyatakan, “Anggota BPK pengganti, melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang digantikan.” Sebagai norma yang dianggap oleh Pemohon bertentangan dengan Pasal 23F ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 28I ayat (2) UndangUndang Dasar 1945. Pada intinya, Pemohon mempersoalkan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006, sepanjang frasa pengangkatan penggantian antar warktu dan Pasal 22 ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 karena dianggap merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai Anggota Badan Pemeriksa Keuangan, seperti diuraikan dalam permohonan kepada Mahkamah Konstitusi;
Pemohon merupakan anggota yang terpilih karena salah seorang anggota BPK sebelumnya berhalangan tetap, sehingga tidak dapat menghabiskan masa jabatan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006, karena alasan itu, Tengku Muhammad Nurlif telah pula diberhentikan dengan hormat. Sebagaimana diuraikan lebih lanjut dalam permohonan, sebelum terpilih di DPR sebagai Anggota BPK yang menggantikan TM. Nurlif, mengikuti beberapa proses seleksi. Ketika proses sebelumnya terpilih menjadi anggota pengganti, sesuai dengan ketentuan yang ada, Pemohon berhasil meraih dukungan suara pada nomor urutan 8 dari 7 calon yang dibutuhkan. Namun, sampai TM. Nurlif berhalangan tetap, Pemohon tidak serta-merta menggantikan yang bersangkutan sebagai Anggota BPK karena adanya ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 yang mengharuskan adanya pemenuhan syarat-syarat yang diperlukan, dan proses pun diulang dari tahap awal sebagaimana yang diikuti Pemohon dalam proses sebelumnya. Karena adanya ketentuan itu, guna mengisi kekosongan kursi Anggota BPK yang ditinggalkan oleh TM. Nurlif, Pemohon harus bersaing dari awal dengan 16 calon yang lainnya karena proses keterpilihan Pemohon persis sama dengan 8 anggota yang lain, ketentuan Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa pengangkatan penggantian antarwaktu dan Pasal 22 ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 dirasakan amat merugikan hak konstitusional Pemohon yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan, yaitu sekitar 2,5 tahun dari yang
32 ditinggalkan Tengku Nurlif. Sementara itu, 8 anggota BPK yang lain, yang juga dipilih dengan proses yang sama memiliki masa jabatan 5 tahun;
Dalam beberapa Undang-Undang tentang lembaga atau komisi negara memang dikenal cara atau mekanisme untuk mengisi kekosongan sisa masa jabatan yang ditinggalkan oleh anggota lembaga negara atau komisioner komisi negara yang dikenal dengan mekanisme penggantian antarwaktu, misalnya dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, secara eksplisit mengatur masalah penggantian
antarwaktu, sama dengan banyak lembaga negara atau
komisi negara yang lain, pada umumnya penggantian antarwaktu terjadi karena salah seorang atau beberapa orang anggota lembaga negara atau komisi negara tersebut berhenti dan tidak dapat melanjutkan sisa masa jabatan;
Penyebab utamanya mereka meninggal dunia, mengundurkan diri, dan diberhentikan karena adanya kemungkinan tidak dapat melanjutkan sisa masa jabatan, biasanya Undang-Undang menyediakan bagaimana cara melakukan penggantian antarwaktu untuk mengisi kekosongan masa jabatan tersebut, misalnya dalam Pasal 217 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 dinyatakan ayat (1), “Anggota DPR yang berhenti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada Pasal 214 ayat (1), Pasal 215 ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPR yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama”. Lalu, ayat (2)-nya menyatakan, “Kalau yang peringkat berikutnya tidak memenuhi syarat, maka akan ditunjuk peringkat berikutnya.” Dalam ayat (3)-nya, ”Masa jabatan anggota DPR, penggantian antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPR yang digantikannya.”;
Ketentuan yang sama dapat juga ditemui di dalam Pasal 286 UndangUndang Nomor 27 Tahun
2009
yang mengatur soal bagaimana
penggantian antarwaktu dan masa sisa, masa jabatan anggota DPD karena penggantian antarwaktu. Selain anggota lembaga negara seperti DPR dan DPD tersebut, Undang-Undang juga mengatur mekanisme pemberhentian dan penggantian antarwaktu kekosongan anggota komisi negara, misalnya komisioner KPU. Terkait dengan hal ini Pasal 27 ayat (5) Undang-Undang
33 Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu menyatakan, “Penggantian antar KPU, anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota yang berhenti sebagaimana dimaksud pada saat itu dilakukan pada ketentuan. a. Anggota KPU yang digantikan oleh anggota KPU yang urutan peringkat berikutnya dari hasil pemilihan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Kalau provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan hasil yang dilakukan oleh KPU pusat ataupun KPU di tingkat provinsi. Berdasarkan mekanisme penggantian antarwaktu anggota DPR, DPD, KPU tersebut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 menyediakan proses penggantian secara tegas. Pertama,
penggantinya
guna
mengisi
jabatan
yang
kosong
yang
ditinggalkan itu berasal dari calon nomor urut berikutnya pada proses pemilihan sebelumnya. Dalam hal ini, bagi anggota DPR dan DPD pengganti pasal dari calon yang lain, suara terbanyak berikutnya pada partai politik peraih kursi di daerah pemilihan yang sama atau calon peraih suara terbanyak berikutnya pada provinsi yang sama bagi anggota DPD. Begitu pula dengan hubungan komisioner KPU, pengganti berasal dari calon peringkat berikutnya sesuai dengan hasil fit and proper test di DPR. Kedua, dalam hal calon yang berada pada peringkat berikutnya tidak lagi memenuhi syarat atau berhalangan tetap, maka pengganti antarwaktu adalah peringkat berikutnya lagi. Ketiga, pengganti antarwaktu tidak lagi mengikuti proses pemilihan atau seleksi sejak dari tahap awal, namun hanya didasarkan kepada proses yang dilakukan sebelumnya;
Sebagai sebuah lembaga negara, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 juga memperkenalkan proses untuk kemungkinan dilakukan penggantian antar waktu anggota BPK. Dalam hal ini Pasal 22 ayat (1) menyatakan, sebagaimana disebut pada awal ini. Berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tersebut terkait dengan keterpenuhan syarat anggota pengganti tidak merupakan soal yang perlu diperdebatkan, bagaimana pun sangat masuk akal apabila pengganti yang mengisi posisi atau jabatan lowong yang ditinggalkan, tetap harus memenuhi syarat sebagaimana anggota BPK yang lain. Namun, apabila dibandingkan dengan proses penggantian antarwaktu anggota DPR, DPD, KPU Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006, menganut tata cara dan
34 proses penggantian antarwaktu yang berbeda. Kalau pada penggantian antar waktu, anggota DPR, DPD, dan anggota KPU pengganti diambil berdasarkan hasil proses yang dijalani sebelumnya, namun penggantian antarwaktu bagi anggota BPK, dilakukan dengan proses yang berbeda, yaitu mulai dari tahap awal, layaknya calon untuk mengisi posisi anggota BPK baru atau bukan pengganti antar waktu. Dalam hal ini calon BPK pengganti antar waktu dipilih dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Setelah itu calon anggota BPK pengganti antar waktu diumumkan oleh DPR kepada publik untuk memperoleh masukan masyarakat, berikutnya DPR memulai proses pemilihan anggota BPK pengganti antarwaktu terhitung sejak tanggal diterimanya surat pemberitahuan dari BPK. Dengan pola pengisian pengganti antarwaktu yang dilakukan sama seperti proses anggota BPK baru, penggantian antar waktu BPK dapat dinilai sama dengan proses penggantian antar waktu pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Hakim Konstitusi;
Terkait dengan hal tersebut, Pasal 32 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menyatakan dalam hal terjadi kekosongan pimpinan KPK, Presiden mengajukan calon anggota pengganti kepada DPR, prosedur pengajuan calon pengganti dan pemilihan calon anggota yang bersangkutan
dilaksanakan
sesuai
dengan
ketentuan
sebagaimana
dimaksud pada Pasal 29 dan Pasal 30. Karena ketentuan dalam Pasal 29 dan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tersebut calon pengganti memulai proses yang sama dengan calon baru. Dalam batasbatas tertentu potensi
kerugian konstitusional yang didalilkan Pemohon
sama dengan persoalan posisi pimpinan KPK Muhammad Busyro Muqoddas yang juga menggantikan kekosongan jabatan yang ditinggalkan Antasari Azhar. Ketika kasus masa jabatan Busyro dinilai melalui judicial review, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa posisi Busyro hanya melanjutkan sisa masa jabatan lowong yang ditinggalkan Antasari adalah inkonstitusional;
Berdasarkan
Putusan
Nomor
5/PUU-XI/2011,
Mahkamah
Konstitusi
menyatakan bahwa proses pemilihan dan seleksi pimpinan KPK pengganti yang demikian, sesuai dengan Pasal 29 dan Pasal 30 apabila dilihat dari asas keadilan dalam melaksanakan pemerintahan, yaitu keadilan bagi
35 masyarakat maka pengangkatan anggota penggantian antar pengganti yang menduduki masa jabatan adalah sesuatu yang dirasakan tidak adil oleh masyarakat. Karena pertimbangan itu pula lebih jauh Mahkamah Konstitusi menambahkan jika anggota pimpinan KPK pengganti hanya menduduki masa jabatan sisa dari anggota pimpinan yang digantikannya, hal itu melanggar prinsip kemanfaatan yang menjadi tujuan daripada hukum. Jika hanya dimaksudkan untuk mengisi dan/atau menghabiskan sisa masa waktu yang ada, Mahkamah Konstitusi selanjutnya menyatakan sekiranya dimaknai bahwa pimpinan pengganti adalah hanya menggantikan dan menyelesaikan masa jabatan dari sisa pimpinan yang digantikan, maka mekanisme penggantian nanti antar waktu tersebut tidak harus melalui proses seleksi yang panjang dan rumit dengan biaya yang besar. Seperti dalam seleksi lima pimpinan yang diangkat secara bersamaan, pimpinan pengganti dalam hal ada pimpinan yang berhenti pada masa jabatannya cukup diambil dari calon pimpinan KPK yang ikut dalam seleksi sebelumnya yang diambil urutan tertinggi berikutnya. Tidak hanya dalam kasus KPK, dalam hal ini Busyro Muqoddas, masalah yang sama juga pernah terjadi dengan Hakim Konstitusi dalam soal ini Pasal 25, Pasal 26 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 menyatakan Hakim Konstitusi yang menggantikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melanjutkan sisa jabatan Hakim Konstitusi yang digantikannya. Dengan menggunakan argumentasi yang nyaris sebangun dengan kasus KPK, dalam Putusan Nomor 49/PUU-XI/2009, Mahkamah Konstitusi menyatakan norma Pasal 26 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 menimbulkan ketidakadilan bagi seseorang terpilih sebagai Hakim Konstitusi karena hanya melanjutkan sisa masa jabatan Hakim Konstitusi yang digantikan;
Apabila pasal tersebut diterapkan akan bertentangan dengan Pasal 22 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang secara tegas menyatakan masa jabatan Hakim Konstitusi selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Merujuk pada fakta empiris tersebut, fakta yuridis tersebut sangat jelas bahwa frasa penggantian antarwaktu anggota BPK sebagaimana termaktub dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 kehilangan makna yuridis untuk terus dipertahankan. Karenanya Pasal 22 ayat (4) Undang-Undang Nomor
36 15 Tahun 2006 yang menyatakan anggota pengganti hanya melanjutkan sisa masa jabatan anggota BPK yang digantikan kehilangan basis konstitusionalnya untuk terus dipertahankan alias inkonstitusional. Paling tidak ada tiga alasan mendasar untuk sampai pada kesimpulan tersebut, pertama Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2006 mengandung contradicsio interminis pada salah satu sisi Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 menyatakan masa jabatan anggota BPK adalah 5 tahun. Namun di sisi lain dengan anggota pengganti yang dipersyaratkan untuk memulai proses seleksi sebagaimana yang dilakukan untuk calon bukan pengganti, anggota pengganti hanya melanjutkan sisa masa jabatan yang digantikannya. Kedua, mempertahankan cara pandang dalam UndangUndang Nomor 15 Tahun 2006 jelas akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan akan menimbulkan ketidakadilan bagi anggota yang terpilih melalui
jalur
pengganti.
Tidak
hanya
bagi
anggota
bersangkutan
ketidakpastian juga akan merembes pada lembaga negara atau komisi negara terkait. Ketiga, Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusan terkait dengan proses penggantian antarwaktu yang dilakukan sama dan sebangun dengan anggota yang bukan pengganti antarwaktu hanya posisi melanjutkan masa jabatan tersisa adalah pengaturan yang inkonstitusional;
Selain tentang fakta yuridis tersebut, dalam teori ketatanegaraan lembaga seperti BPK adalah lembaga yang terpisah dari eksekutif dan legislatif, apabila proses pengisian pimpinan eksekutif tertinggi dan anggota legislatif terikat dengan jadwal proses pengisian yang bersifat tetap, maka lembaga seperti BPK dapat saja di desain dengan proses pengisian yang berbeda. Seperti halnya dengan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang independen sangat mungkin melakukan proses pengisian anggota BPK secara berjenjang dan tidak serentak atau satu paket. Sebagaimana pernah pula ahli kemukakan dalam keterangan ahli pada kasus Busyro Muqoddas. Pada periode pertama anggota diangkat serentak, namun kemudian bisa di desain sebagiannya menyelesaikan jabatan lebih awal. Di banyak negara, pengisian bergantinya
lembaga-lembaga dan
tidak
independen
serentak
pula
diusahakan diisi
kembali
tidak demi
serentak alasan
kesinambungan. Dengan pola seperti ini, akan ada selalu kesinambungan karena ketika ada sebagian anggota baru yang masuk, sebagian anggota
37 yang lama masih bertahan atau masih ada. Dalam konteks ini, penggantian antarwaktu yang terjadi di BPK bisa menjadi pintu masuk untuk menggunakan pola pergantian secara tidak serentak yang dimulai secara alamiah;
Dalam praktik ketatanegaraan kita, pola pergantian tidak serentak ini dapat dikatakan melanjutkan pengalaman yang sudah terbangun di Mahkamah Konstitusi. Sejauh yang kita ketahui, proses pengisian berjenjang sudah melembaga di Mahkamah Konstitusi dan sejak perjalanan Hakim Konstitusi generasi kedua karena pengalaman itu, sampai saat ini hakim konstitusi tidak lagi diisi secara serentak, begitu pula dengan KPK. Pengalaman pengisian Busyro Muqoddas akan menjadi titik awal memulai pola pergantian berjenjang atau tidak serentak. Karena pengalaman tersebut, kasus yang terjadi pada Pemohon dapat pula dijadikan titik awal adanya pengisian anggota BPK yang tidak serentak. Caranya, Mahkamah Konstitusi memutus bahwa Pemohon bukan melanjutkan sisa masa jabatan, tetapi menjalankan 5 tahun masa jabatan sebagai anggota BPK sebagaimana anggota BPK yang lain;
Bukankah jalan ke arah ini telah dibangun oleh MahkamahKonstitusi ketika merumuskan masa jabatan Busyro Muqoddas dan ketika memutus masa jabatan Hakim Konstitusi karena pergantian dalam masa jabatan atau batas usia maksimal yang terlewati.
3. Dwi Andayani Terkait dengan Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Badan Pemeriksa Keuangan yang sedang dimohonkan pengujiannya ini, maka Ahli langsung menyoroti dari kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan yang mandiri atau bebas dalam struktur organisasi negara Indonesia; Dalam Pasal 6 Undang-Undang BPK, dinyatakan bahwa BPK mempunyai tugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab Pemerintah. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Umum Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara yang hasilnya kemudian
diserahkan
kepada
DPR.
Untuk
menjaga
objektivitas
pemeriksaannya tersebut, BPK diberi garansi independensinya dari pengaruh kekuasaan manapun. Objektivitas pemeriksaan ini merupakan bagian penting
38 dalam rangka optimalisasi pemeriksaan keuangan negara, mengingat BPK sebagai lembaga yang mandiri tadi atau menurut teori digolongkan sebagai staat organen. Kalau di Indonesia itu lembaga tinggi negara yang bebas dari pengaruh lembaga negara manapun, maka ahli berpendapat atau mengutip pendapat dari sarjana Arthur Maass dalam bukunya Area and Power: A Theory of Local Government yang menyatakan adanya dua macam pembagian kekuasaan dalam negara, yaitu secara vertikal dan secara horizontal. Pembagian kekuasaan negara secara horizontal itu menghasilkan lembaga-lembaga negara yang dinamakan capital division of power atau CDP, yaitu staat organen dalam ranah hukum administrasi negara. Sedangkan pembagian kekuasaan negara secara vertikal menghasilkan lembaga-lembaga pemerintahan yang disebut areal division of power atau ADP, biasa disebut regering organen; Dalam capital division of power, setiap lembaga negara mempunyai kedudukan hukum yang sederajat, tidak saling membawahkan satu sama yang lain. Dalam jabatan CDP ini, yaitu termasuk dalam BPK dalam hal ini di Indonesia, dapat diisi oleh pejabat nonkarir, dapat digolongkan jabatan publik yang lazimnya pengisian jabatannya dilakukan secara pemilihan elected bukan adopted. Jadi, ahli berpendapat bahwa Badan Pemeriksa Keuangan sebagai lembaga yang mandiri, kapasitas dari anggotanya adalah sebagai pejabat pembuat kebijakan, maka pengisian jabatan untuk para anggotanya adalah harus bersifat elected official, yaitu dengan cara dipilih dan bukannya diangkat baik untuk pengisian jabatan dari awal sepenuhnya 5 tahun maupun jabatan sebagai PAW. Jadi tidak sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang BPK yang sedang dimintakan pengujiannya kepada Mahkamah
Konstitusi
sekarang
ini,
yaitu
dilakukan
dengan
cara
pengangkatan, dalam frasa pengangkatan; Jadi bahwa menurut ahli apabila Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang BPK dilihat dari teori ilmu hukum, maka ahli berpandangan bahwa ada tiga hal yang menjadikan kaidah hukum itu dapat dinyatakan berlaku, yaitu: 1. berlakunya kaidah hukum itu secara yuridis. 2. secara sosiologis. 3. berlakunya kaidah hukum itu secara filosofis.
39
Dalam kaitan hal berlakunya kaidah hukum itu, yaitu dilihat secara sosiologis yang intinya adalah efektivitas kaidah hukum di dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini dikenal 2 teori, yaitu pertama teori kekuasaan yang pada pokoknya menyatakan bahwa kaidah hukum itu dipaksakan berlakunya oleh penguasa, diterima atau tidak oleh warga masyarakat. Namun dalam hal ini, pemilik kekuasaan atau pemerintah jangan hanya memikirkan kepemilikan akan kewenangannya saja, hendaknya memikirkan pula keabsahan dari kewenangan yang dimilikinya itu. Artinya, keadilan dan kepastian hukum yang adil bagi masyarakat pencari keadilan. Kedua, teori pengakuan yang menyatakan bahwa berlakunya kaidah hukum itu didasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh masyarakat, kaidah hukum itu agar sah berlaku harus memenuhi syarat formal maupun syarat materil pembuatannya, serta keabsahan pada waktu diberlakukan kepada masyarakat, jadi memperoleh legitimasi;
Menurut ahli mengutip juga pendapat Prof. Sudikno bahwa pembentukan Undang-Undang dilihat dari kacamata sosiologis, maka masyarakat membutuhkan tatanan yang teratur dan ajeg dan membutuhkan stabilitas karena stabilitas menjamin ketertiban tatanan dalam masyarakat dan menjamin
kepastian
hukum.
Dalam
membentuk
Undang-Undang,
pembentuk Undang-Undang harus memperhatikan hal tersebut. Sebaliknya, tidak boleh dilupakan bahwa hukum merupakan perlindungan kepentingan manusia. Adapun kepentingan manusia itu selalu berkembang, dinamis baik jenis maupun jumlahnya;
Dengan demikian, hukum harus dinamis pula agar dapat mengikuti perkembangan kepentingan manusia, agar kepentingan manusia yang terus berkembang itu selalu terlindungi. Dalam usahanya untuk melindungi kepentingan manusia dan masyarakat dalam bentuk peraturan perundangundangan dalam memilih kepentingan mana yang harus didahulukan, serta sanksi
yang
akan
diterapkan
dengan
mencegah
adanya
konflik
kepentingan, dan akhirnya dalam merumuskan dalam bentuk peraturan hukum atau Undang-Undang yang bersifat sederhana, jelas, dan seberapa dapat berlaku untuk kurung waktu yang lama dan jangan sampai terjadi konflik dengan Undang-Undang yang telah ada;
40
Dalam hal ini pemerintah harus meninjau ulang Undang-Undang BPK, khususnya Pasal 22 ayat (1) yang sedang dilakukan judicial review karena dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bahwa Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang BPK dapat dikatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 23F yang menyatakan bahwa anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih, frasa dipilih oleh DPR dengan memperhatikan DPD dan diresmikan oleh Presiden. Jadi bahwa Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah mengatur memerintahkan bahwa untuk menjadi anggota BPK itu harus melalui mekanisme pemilihan dan bukan dengan cara pengangkatan (PAW) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang BPK Pasal 22 ayat (1) tersebut;
Sebagai lembaga negara yang mandiri independen, maka pengisian jabatan dilakukan secara pemilihan (election), bukan pengangkatan, sehingga Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Badan Pemeriksa Keuangan bertentangan dengan Pasal 23F ayat (1), Pasal 27 ayat (1), 28D ayat (1), 28D ayat (3), 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Demikian juga kalau dilihat dari staat organen yang ada lainnya dalam struktur organisasi negara Indonesia, yaitu cara pengisian jabatannya juga dalam BPK itu harus diselaraskan pula dengan cara pengisian jabatan pada lembaga negara atau staat organen lainlainnya.
[2.3]
Menimbang bahwa terhadap permohonan
Pemohon, Pemerintah
memberikan keterangan dalam persidangan tanggal 21 Maret 2013 dan telah menyerahkan keterangan tertulis yang diterima di persidangan Mahakmah pada tanggal 9 Juli 2013 pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
Pada dasarnya Pemerintah dengan memperhatikan dua Putusan Mahkamah Konstitusi yang terkait dengan perkara yang hampir mirip, yaitu Putusan tentang Pengujian Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Putusan tentang Pengujian Undang-Undang Mahkamah Konstitusi itu sendiri, yang pada intinya bahwa putusan tersebut adalah dalam rangka untuk memperoleh keadilan dan kesamaan kedudukan yang dilakukan oleh Pemohon dalam hal untuk pengisian jabatan tertentu;
41
Pemerintah sepenuhnya menghargai dan menghormati Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, oleh karena itu pertanyaannya adalah apakah permohonan kali ini memiliki kesamaan, memiliki kesepadanan dengan permohonan yang disampaikan atau permohonan yang diperoleh putusan oleh Mahkamah Konstitusi itu sendiri;
Pemerintah pada prinsipnya mendukung, menghormati Putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu pada intinya Pemerintah menyatakan bahwa sebetulnya Undang-Undang tentang Badan Pemeriksa Keuangan adalah terkait dengan masalah
tatanan
implementasi
yang
memang
sepenuhnya
menjadi
kewenangan pembentuk Undang-Undang, dalam hal ini Presiden bersama DPR untuk mengaturnya, apakah terhadap anggota BPK itu penggantian antarwaktunya, apakah mengantikan sisa masa jabatan atau sesuai dengan jabatan yang diembannya. Oleh karena itu, sekali lagi Pemerintah memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Pemohon atas permohonan pengujian ini.
Namun
demikian,
Pemerintah
menyerahkan
sepenuhnya
kepada
Mahkamah untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya dan putusan yang tepat apakah yang dimohonkan oleh Pemohon sama dengan permohonanpermohonan yang terdahulu. [2.4]
Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan
Rakyat memberikan keterangan dalam persidangan pada tanggal 21 Maret 2013, dan telah menyerahkan keterangang tertulis yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 3 April
2013, pada pokoknya menerangkan sebagai
berikut: 1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon Terhadap dalil-dalil Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Permohonan a quo, DPR dalam penyampaian pandangannya terlebih dahulu menguraikan mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon. Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Pemohon sebagai pihak telah diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disingkat UU Mahkamah Konstitusi), yang menyatakan bahwa “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia;
42 b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara.” Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal 51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa “yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Ketentuan
Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 saja yang termasuk “hak konstitusional”. Oleh karena itu, menurut UU Mahkamah Konstitusi, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD Negara
Republik
Indonesia
Tahun
1945,
maka
terlebih
dahulu
harus
menjelaskan dan membuktikan: a. kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; b. hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam “Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang. Mengenai parameter kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut: a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
43 c. bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam perkara pengujian Undang-Undang a quo, maka Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak Pemohon. Mengenai kedudukan hukum Pemohon, DPR berpandangan bahwa Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji. Terhadap kedudukan hukum (legal standing) tersebut, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak sebagaimana yang diatur oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007 2. Pengujian atas UU BPK Terhadap permohonan pengujian Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) UU BPK, DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut: a. Bahwa perubahan Ketiga UUD 1945 sebagaimana diatur dalam Bab VIII A mulai dari Pasal 23E, Pasal 23F, dan Pasal 23G merupakan salah satu reformasi atas ketentuan Pasal 23 ayat (5) tentang Badan Pemeriksa Keuangan, telah memperkokoh keberadaan dan kedudukan BPK yaitu sebagai satu lembaga negara yang bebas dan mandiri. Kedudukan BPK sebagai lembaga negara pemeriksa keuangan negara perlu dimantapkan disertai dengan memperkuat peran dan kinerjanya. Kemandirian dan
44 kebebasan
dari
ketergantungan
kepada
Pemerintah
dalam
hal
kelembagaan, pemeriksaan, dan pelaporan sangat diperlukan oleh BPK agar dapat melaksanakan tugas yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b. Bahwa guna menjamin peningkatan peran dan kinerja Badan Pemeriksa Keuangan sebagai lembaga yang bebas dan mandiri serta memiliki profesionalisme, selain pemilihan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dilakukan
oleh
Dewan
Perwakilan
Rakyat
dengan
memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden, juga didukung oleh kemandirian pemeriksaan dan pelaporan. Sejalan dengan perubahan penyelenggaraan pemerintahan negara di pusat dan daerah, maka terjadi peningkatan pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan Negara.
Badan Pemeriksa Keuangan sebagai satu
lembaga negara pemeriksa keuangan negara memiliki perwakilan di setiap provinsi. Dengan meningkatnya ruang lingkup pekerjaan, maka jumlah Anggota Badan Pemeriksa Keuangan ditetapkan menjadi 9 (sembilan) orang. c. Terkait dalil Pemohon bahwa Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa “pengangkatan penggantian antarwaktu” UU BPK bertentangan dengan Pasal 23F UUD 1945 DPR menjelaskan bahwa dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang a quo harus
dibaca
secara
keseluruhan
yakni:
“Apabila
Anggota
BPK
diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 atau Pasal 19 diadakan pengangkatan penggantian antarwaktu Anggota BPK sesuai dengan syarat-syarat dan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 dan diresmikan dengan Keputusan Presiden” sehingga dengan demikian proses pengangkatan pengganti antarwaktu dilaksanakan sesuai dengan tata cara pemilihan seperti disebutkan dalam Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang a quo dan tidak bertentangan dengan Pasal 23F UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. d. Terkait dalil Pemohon bahwa Pasal 22 ayat (4) UU BPK Bertentangan Dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 DPR menjleaskan sebagai berikut:
45 1) Bahwa menurut Pemohon Pasal 22 ayat (4) Undang-Undang a quo tidak memiliki kepastian hukum dan mengandung ambiguitas yang akhirnya berakibat memberi ketidakpastian masa jabatan Anggota BPK. Norma Pasal 22 ayat (4) Undang-Undang a quo mengandung unsur diskriminatif perlakuan kesempatan yang sama dalam masa jabatan Anggota BPK yang diangkat secara bersamaan dengan Anggota BPK yang diangkat sebagai Anggota pengganti BPK. 2) Bahwa menurut Pemohon norma Pasal 22 ayat (4) Undang-Undang a quo menimbulkan ketidakadilan bagi seseorang yang terpilih sebagai Anggota BPK, karena hanya melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang digantikannya dan apabila diterapkan akan bertentangan dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang a quo yang menyatakan: “Anggota BPK memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan”. 3) Bahwa terhadap pendapat Pemohon tersebut DPR berpendapat yang dimaksud dengan konsep “penggantian antarwaktu” dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang a quo adalah penggantian yang didasarkan adanya pemberhentian dengan hormat ataupun dengan tidak hormat terhadap Anggota BPK sehingga masa jabatan Anggota BPK yang terpilih untuk menggantikan sifatnya hanya untuk mengisi kevakuman jabatan Anggota BPK yang berhenti tersebut. Penggantian antarwaktu ini diperlukan karena hubungan kerja antara 9 (sembilan) orang Anggota BPK bersifat kolegial (kemitraan) dan keputusan yang diambil harus secara bersama-sama (kolektif), sehingga pemilihan Anggota antarwaktu ini dapat memberi kepastian hukum sampai dengan masa jabatan Anggota BPK yang baru. 4) Bahwa DPR telah mengeluarkan Keputusan Nomor 17/DPR RI/ I/20112012 tanggal 11 Oktober 2011 yang memberikan persetujuan terhadap Bahrullah Akbar sebagai Calon Pengganti Antar Waktu Anggota BPK RI menggantikan Drs. T. Muhammad Nurlif yang telah diberhentikan dengan hormat sebagaimana ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 19/P Tahun 2011, tanggal 6 April 2011. Keputusan DPR tersebut menindaklanjuti surat Ketua BPK Nomor 42/S/I/04/2011 tanggal 19 April 2011 perihal Penggantian Antar Waktu Anggota BPK, dan Keputusan
46 Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Nomor 57/DPD RI/IV/2010-2011 tanggal 15 Agustus 2011 tentang Pertimbangan DPD Dalam Pemilihan Calon Anggota BPK. 5) Bahwa dalam proses pengangkatan penggantian antarwaktu, DPR telah melaksanakan proses pemilihan sesuai dengan tata cara pemilihan Anggota BPK sebagaimana tercantum dalam Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang a quo yang kemudian diresmikan dengan Keputusan Presiden Nomor 62/P Tahun 2011, yang menetapkan Drs. Bahrullah Akbar, Bsc, SE, MBA sebagai Anggota Badan Pemeriksaan Keuangan. Bahwa Pemohon telah memperoleh kesempatan dan menjalani proses yang sama serta sesuai dengan ketentuan Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang a quo dan telah terwujud adanya kepastian hukum (rechtszekerheid) terhadap masa jabatan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan. 6) Bahwa ketentuan Pasal 22 ayat (4) Undang-Undang a quo dalam implementasinya tidak menimbulkan keraguan, kerancuan, kerugian maupun dalam posisi yang tidak dapat dilaksanakan terhadap proses dan hasil audit BPK, serta tidak mengandung unsur diskriminatif sebagaimana tercermin dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang telah memberikan definisi mengenai diskriminasi sebagai berikut: “”Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekomomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik. yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi. hukum, sosial, budaya. dan aspek kehidupan lainnya””. 7) Bahwa mengenai masa jabatan pengganti dapat dilihat juga pada ketentuan Pasal 217 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menyatakan: ” Masa jabatan anggota DPR pengganti antarwaktu
47 melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPR yang digantikannya.” Bahwa masa jabatan Anggota pengganti BPK yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan anggota BPK yang digantikan, tidaklah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena mengisi kevakuman jabatan Anggota BPK yang kosong sehingga memberikan kepastian hukum. Demikian keterangan DPR diampaikan untuk menjadi bahan pertimbangan bagi Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, memutus, dan mengadili perkara a quo dan dapat memberikan putusan sebagai berikut: 1. Menerima keterangan DPR secara keseluruhan; 2. Menyatakan Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa “pengangkatan penggantian antarwaktu” dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan tidak bertentangan dengan Pasal 23F ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 28I ayat (2) Undang-UNDANG Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Menyatakan Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa “pengangkatan penggantian antarwaktu” dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat. [2.5]
Menimbang bahwa Pemohon telah menyampaikan kesimpulan tertulis
yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 27 Maret 2013 yang pada pokoknya tetap pada pendiriannya; [2.6]
Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini,
segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini; 3. PERTIMBANGAN HUKUM [3.1]
Menimbang bahwa isu hukum utama permohonan Pemohon adalah
mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 22 ayat (1) yang menyatakan, “Apabila Anggota BPK diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 atau Pasal 19 diadakan pengangkatan penggantian antarwaktu Anggota BPK sesuai
48 dengan syarat-syarat dan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 dan diresmikan dengan Keputusan Presiden” sepanjang frasa “pengangkatan penggantian antarwaktu” dan Pasal 22 ayat (4) yang menyatakan, “Anggota BPK pengganti melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang digantikannya“ Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 4654, selanjutnya disebut UU BPK) terhadap Pasal 23F ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia
Tahun
1945
(selanjutnya
disebut
UUD
1945)
yang
menyatakan: Pasal 23F ayat (1): “Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden” Pasal 27 ayat (1): “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3): “(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” “(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan” Pasal 28I ayat (2): “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. [3.2]
Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal berikut: a. kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo; b. kedudukan hukum (legal standing) Pemohon;
49 Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Kewenangan Mahkamah [3.3]
Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; [3.4]
Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon mengenai
pengujian materiil Undang-Undang terhadap UUD 1945 maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo; Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon [3.5]
Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK, yang dapat
bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian suatu Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia, termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara;
50 Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu: a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK; b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; [3.6]
Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-
III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu: a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.7]
Menimbang bahwa
Pemohon adalah
perorangan warga negara
Indonesia yang saat ini berstatus sebagai Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Pengganti berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 62/P Tahun 2011 tanggal 29 Oktober 2011; Bahwa Pemohon beranggapan telah dirugikan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan dengan berlakunya Pasal 22 ayat (1)
51 sepanjang frasa “pengangkatan penggantian antarwaktu” dan Pasal 22 ayat (4) UU BPK. Menurut Pemohon, kedua pasal a quo telah merugikan hak-hak konstitusional Pemohon yang dijamin oleh UUD 1945 khususnya Pasal 23F ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, karena memuat norma hukum yang tidak jelas, bias, menimbulkan multi tafsir, menimbulkan ketidakjelasan, perlakuan yang tidak adil, perlakuan yang berbeda di hadapan hukum, dan perlakuan diskriminatif. Dengan berlakunya dua pasal a quo, Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang memangku jabatan Anggota BPK dirugikan hak konstitusionalnya untuk menduduki masa jabatan Anggota BPK selama 5 (lima) tahun karena hanya melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang digantikannya sampai dengan tahun 2014 yaitu dua setengah tahun; Menurut Pemohon norma yang terkandung dalam Pasal 22 ayat (1) UU BPK sepanjang frasa “pengangkatan penggantian antarwaktu” yang kemudian menentukan masa jabatan anggota BPK pengganti hanya melanjutkan sisa masa jabatan anggota BPK yang digantikannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) UU BPK, telah mereduksi ketentuan masa jabatan Anggota BPK yang menduduki masa jabatan 5 tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) UU BPK yang menyatakan bahwa masa jabatan Anggota BPK selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Berlakunya norma Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa “pengangkatan penggantian antarwaktu” dan ayat (4) UU BPK, telah menimbulkan pembedaan masa jabatan pada anggota BPK. Dengan adanya ketentuan tersebut, sekarang ini terdapat 8 (delapan) orang anggota BPK menjabat selama 5 (lima) tahun, dan 1 (satu) orang Anggota BPK menjabat kurang dari 5 (lima) tahun yakni Pemohon. Oleh karena itu, menurut Pemohon kedua pasal a quo telah merugikan hak konstitusional Pemohon. [3.8]
Menimbang bahwa berdasarkan dalil-dalil Pemohon tersebut, menurut
Mahkamah, Pemohon memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) sehingga Pemohon dapat mengajukan permohonan a quo; [3.9]
Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili
permohonan a quo serta Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)
52 untuk mengajukan permohonan a quo maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan; Pokok Permohonan [3.10]
Menimbang bahwa Pemohon pada pokoknya memohon pengujian
konstitusionalitas Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa “pengangkatan penggantian antarwaktu” dan Pasal 22 ayat (4) UU BPK terhadap UUD 1945, dengan alasanalasan, pada pokoknya sebagai berikut: Pemohon adalah Anggota BPK pengganti antarwaktu yang menurut ketentuan Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 22 ayat (4) UU BPK memiliki masa jabatan kurang dari 3 (tiga) tahun, sedangkan masa jabatan Anggota BPK lainnya yang dipilih berdasarkan ketentuan Pasal 13 dan Pasal 14 UU BPK menjabat selama 5 (lima) tahun. Tidak ada perbedaan yang substansial antara tata cara pengangkatan anggota BPK penggantian antarwaktu dan tata cara pemilihan Anggota BPK yang bukan penggantian antarwaktu, keduanya sama-sama mengacu pada Pasal 13 dan Pasal 14 UU BPK. Hal tersebut telah menyebabkan Pemohon mendapatkan perlakuan yang berbeda dalam masa jabatan sebagai Anggota BPK. Perlakuan yang berbeda tersebut bila dikaitkan dengan prinsip-prinsip yang ada dalam suatu negara hukum yang demokratis nyata-nyata jelas bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang adil, prinsip persamaan dan keadilan, prinsip kemanfaatan hukum, serta prinsip kepentingan umum; Menurut Pemohon, norma Pasal 22 ayat (4) UU BPK menimbulkan ketidakadilan bagi seseorang yang terpilih sebagai Anggota BPK yang menggantikan Anggota BPK yang berhenti sebelum berakhir masa jabatannya, karena hanya melanjutkan sisa masa jabatan anggota BPK yang digantikannya. Apabila Pasal 22 ayat (4) tersebut diterapkan akan bertentangan dengan ketentuan yang lain dalam UU BPK yaitu Pasal 5 ayat (1) UU BPK yang secara tegas dan jelas menyatakan bahwa masa jabatan Anggota BPK selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Padahal menurut Pemohon, pengisian jabatan Anggota BPK, baik melalui tata cara “pengangkatan penggantian antarwaktu” yang mengacu pada Pasal 22 ayat (1) UU BPK maupun dengan tata cara “pemilihan” yang mengacu pada Pasal 13 dan Pasal 14 UU BPK tidak mempunyai perbedaan substansial.
53 Dengan demikian, selain telah terjadinya pertentangan internal (contradictio in terminis) norma yang mengatur pemangkuan masa jabatan anggota BPK, juga bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945; Selain itu, menurut Pemohon rumusan Pasal 22 ayat (1) UU BPK yang menggunakan frasa “pengangkatan penggantian antarwaktu” yang menjadi dasar pengangkatan Pemohon sebagai anggota BPK pengganti mengandung kelemahan sistem kaidah, yaitu norma Pasal 22 ayat (1) mengandung pertentangan dengan norma Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) UU BPK sebagai norma yang bersifat imperatif (keharusan) dalam menentukan komposisi keanggotaan
dan
masa
jabatan
Anggota
BPK.
Penggunaan
frasa
“pengangkatan penggantian antarwaktu” bertentangan dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU BPK yang menentukan: “Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD”. Penggunaan frasa “pengangkatan” dalam Pasal 22 ayat (1) UU BPK bertentangan dengan tata cara pengisian jabatan anggota BPK yakni dengan cara dipilih sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UU BPK, juncto Pasal 23F ayat (1) UUD 1945. Oleh karenanya, frasa “pengangkatan” dalam pasal a quo harus dibatalkan dan dikembalikan ke frasa “pemilihan” sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 14 ayat (1) UU BPK juncto Pasal 23F ayat (1) UUD 1945; BPK sebagai lembaga negara independen yang dibentuk oleh UUD 1945 diberi tugas dan wewenang untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara. Untuk melakukan tugas dan wewenang tersebut, BPK dituntut bekerja secara profesional, independen, dan berkesinambungan. Hal yang sama dinyatakan kembali dalam UU BPK yang menegaskan bahwa BPK memiliki tugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, BUMN, Badan Layanan Umum, BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara [vide Pasal 6 ayat (1) UU BPK]. Hasil pemeriksaan BPK tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 23E ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya dan ditindaklanjuti sesuai kewenangannya. Dengan adanya anggota BPK yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang digantikannya tidak akan menjamin kesinambungan kinerja
54 BPK dalam melakukan tugas dan wewenangnya menurut UUD 1945 serta menimbulkan ketidakadilan bagi anggota BPK yang menggantikannya. Selain itu, jabatan anggota BPK berbeda dengan beberapa jabatan negara yang lainnya karena adanya faktor konsistensi dan kesinambungan, terkait baik dengan proses maupun hasil audit yang dihasilkan. Jika dihubungkan dengan penilaian konsistensi dari audit yang dihasilkan, maka masa jabatan 5 (lima) tahun sebagai anggota BPK pun, sebenarnya masih dianggap kurang. Dengan adanya anggota BPK yang melanjutkan sisa masa jabatan anggota BPK yang digantikannya, maka masa jabatan anggota BPK menjadi kurang dari 5 (lima) tahun. Oleh sebab itu, akan lebih proporsional dan menjamin kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum apabila masa jabatan Anggota BPK yang menggantikan tetap 5 (lima) tahun. Apabila permohonan Pemohon dikabulkan, maka Pemohon tidak akan menjabat selama kurang dari 3 (tiga) tahun, melainkan menjabat sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU BPK yakni selama 5 (lima) tahun, terhitung sejak diresmikannya Pemohon sebagai anggota BPK tanggal 29 Oktober 2011 sampai dengan tahun 2016 dengan berpedoman pada yurisprudensi Mahkamah Konstitusi Nomor 110111-112-113/PUU-VII/2009 tertanggal 7 Agustus 2009 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011 tertanggal 20 Juni 2011 yang memberlakukan putusannya secara surut (retroaktif). [3.11] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat atau tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-8 serta saksi Achsanul Qosasi dan ahli yaitu Yusril Ihza Mahendra, Saldi Isra, Dwi Andayani yang telah didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 21 Maret 2013, yang menerangkan sebagai berikut: Saksi Achsanul Qosasi Saksi yang melaksanakan langsung proses pemilihan atau pengangkatan anggota BPK Bahrullah menggantikan Nurlif; Pada saat itu dari 17 calon anggota terpilihlah Bahrullah Akbar. Saksi masih beranggapan bahwa Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang a quo masih tidak bertentangan dengan Undang-Undang;
55 Saksi menjalankan hal tersebut sesuai dengan amanat yang diberikan kepada Komisi XI dan pada waktu ada diskusi mengenai masa jabatan anggota BPK adalah 5 tahun, sehingga saksi beranggapan hal tersebut adalah bukan domain Komisi XI. Sampai saat ini, saksi berkeyakinan di Komisi XI bahwa UndangUndang BPK tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Ahli Yusril Ihza Mahendra Pasal 4 ayat (1) UU BPK menegaskan lebih lanjut ketentuan Pasal 23F ayat (1) UUD 1945 yang mengharuskan semua pemangku jabatan anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan oleh Presiden. Ada pun masa jabatan anggota BPK sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU BPK adalah 5 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan; Norma-norma tersebut menurut pendapat ahli sudah sangat jelas bersifat imperatif dan tidak dapat ditafsirkan lain, akan tetapi yang menjadi persoalan adalah adanya norma dalam UU BPK yang menentukan cara pengisian jabatan anggota BPK dengan cara lain yakni sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dengan menggunakan frasa pengangkatan pergantian antarwaktu. Penggunaan frasa demikian menjadi tidak tepat karena memiliki ketidakjelasan rumusan yang pada akhirnya berimplikasi kepada ketidakjelasan tujuan dan adanya ketidakpastian hukum, sehingga norma tersebut bila dikaitkan dengan norma yang mengatur tentang mekanisme pengisian jabatan anggota BPK dalam UU BPK itu sendiri mengalami adanya konflik atau pertentangan norma sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UU BPK; Penggunaan frasa pengangkatan penggantian antar waktu juga bertentangan dengan Pasal 23F ayat (1) UUD 1945. Menurut pendapat ahli sebenarnya ketentuan a quo dimaksudkan untuk mengisi dalam hal terjadinya kekosongan atau kekurangan dari komposisi keanggotaan BPK yang berjumlah 9 orang. Oleh karena itu menurut pendapat ahli, norma tersebut memang harus ada, tetapi dengan tidak mencantumkan frasa pengangkatan penggantian antarwaktu dan norma Pasal 22 ayat (1) UU BPK seharusnya berbunyi, “Apabila anggota BPK diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 19 diadakan pergantian anggota BPK sesuai dengan syarat-syarat dan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 dan diresmikan dengan
56 keputusan presiden.” Tanpa adanya kata-kata istilah penggantian atau pengangkatan antarwaktu; Norma Pasal 22 ayat (1) UU BPK selanjutnya melahirkan norma turunan yakni ayat (4) pada pasal a quo yang menentukan bahwa masa jabatan anggota BPK pengganti hanya melanjutkan sisa masa jabatan anggota BPK yang digantikannya. Pembedaan masa jabatan anggota BPK senyata-nyatanya menurut pendapat ahli bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 28D ayat (1) yang menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Padahal syarat dan tata cara pengisian jabatan anggota BPK berlaku secara imperatif sebagaimana diatur dalam Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang BPK, akan tetapi norma ayat (4) dalam pasal UU BPK mengecualikan lain terhadap masa jabatan anggota BPK pengganti dengan memegang masa jabatan di bawah 5 tahun karena mendasarkannya pada ketentuan Pasal 22 ayat (1) UU BPK; Kalau konsep penggantian antarwaktu sebagaimana dipraktikan dalam pengisian jabatan lowong pada lembaga negara yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum kemudian diadopsi dalam pengisian jabatan kosong atau lowong pada keanggotaan BPK nampaknya tidak tepat. Hal itu dikarenakan UUD 1945 telah menentukan dengan jelas bahwa pemilihan umum dilaksanakan setiap 5 tahun sekali dengan masa jabatan yang berakhir serempak. Di sisi lain, pemangkuan jabatan keanggotaan BPK merupakan jabatan profesional dan sangat berbeda dengan jabatan politik, seperti jabatan lembaga DPR, DPD, dan Presiden; Sebagai jabatan profesional, diperlukan adanya jaminan konsistensi dan kesinambungan pelaksanaan tugas dan kewenangan BPK sebagai auditor keuangan negara. Praktik pemilihan kesembilan Anggota BPK yang ada sekarang ini, dengan mendasarkan pada ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006, tidak dilakukan secara serentak dan memegang masa jabatan selama 5 tahun, kecuali Pemohon yang memegang masa jabatan kurang dari 5 tahun karena dipilih berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1), melalui pengangkatan penggantian antarwaktu; Dengan diberlakukannya norma Pasal 22 ayat (1), adanya frasa pengangkatan penggantian antarwaktu, dan ayat (4) UU BPK, secara nyata selain
57 bertentangan
dengan
UUD
Tahun
1945,
juga
melanggar
asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Tetapi secara spesifik dan aktual, telah merugikan hak konstitusional Pemohon yang telah ditetapkan sebagai Anggota BPK pengganti antarwaktu dengan masa jabatan kurang dari 5 tahun; Menurut pendapat ahli, perlu juga Mahkamah Konstitusi menetapkan masa jabatan Pemohon sebagai Anggota BPK selama 5 tahun, terhitung sejak tanggal Pemohon dilantik sebagai Anggota BPK. Hal itu didasarkan pada yurisprudensi tetap Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 5/PUU-IX/2011 yang telah mengukuhkan masa jabatan Busyro Muqoddas sebagai Pimpinan KPK dengan masa jabatan pimpinan KPK lainnya yakni selama 4 tahun, walaupun Busyro Muqoddas dipilih oleh DPR tidak bersamaan dengan pimpinan KPK lainnya. Ahli Saldi Isra Pemohon merupakan anggota yang terpilih karena salah seorang anggota BPK sebelumnya berhalangan tetap, sehingga tidak dapat menghabiskan masa jabatan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006, karena alasan itu, Tengku Muhammad Nurlif telah pula diberhentikan dengan hormat. Sebagaimana diuraikan lebih lanjut dalam permohonan, sebelum terpilih di DPR sebagai Anggota BPK yang menggantikan TM. Nurlif, mengikuti beberapa proses seleksi. Ketika proses sebelumnya terpilih menjadi anggota pengganti, sesuai dengan ketentuan yang ada, Pemohon berhasil meraih dukungan suara pada nomor urutan 8 dari 7 calon yang dibutuhkan. Namun, sampai TM. Nurlif berhalangan tetap, Pemohon tidak serta-merta menggantikan yang bersangkutan sebagai Anggota BPK karena adanya ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 yang mengharuskan adanya pemenuhan syarat-syarat yang diperlukan, dan proses pun diulang dari tahap awal sebagaimana yang diikuti Pemohon dalam proses sebelumnya. Karena adanya ketentuan itu, guna mengisi kekosongan kursi Anggota BPK yang ditinggalkan oleh TM. Nurlif, Pemohon harus bersaing dari awal dengan 16 calon yang lainnya karena proses keterpilihan Pemohon persis sama dengan 8 anggota yang lain, ketentuan Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa pengangkatan penggantian antarwaktu dan Pasal 22 ayat (4) Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2006 dirasakan amat merugikan hak konstitusional Pemohon yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan, yaitu sekitar 2,5 tahun dari yang ditinggalkan
58 Tengku Nurlif. Sementara itu, 8 anggota BPK yang lain, yang juga dipilih dengan proses yang sama memiliki masa jabatan 5 tahun; Dalam beberapa Undang-Undang tentang lembaga atau komisi negara memang dikenal cara atau mekanisme untuk mengisi kekosongan sisa masa jabatan yang ditinggalkan oleh anggota lembaga negara atau komisioner komisi negara yang dikenal dengan mekanisme penggantian antarwaktu, misalnya dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, secara eksplisit mengatur masalah penggantian
antarwaktu, sama dengan
banyak lembaga negara atau komisi negara yang lain, pada umumnya penggantian antarwaktu terjadi karena salah seorang atau beberapa orang anggota lembaga negara atau komisi negara tersebut berhenti dan tidak dapat melanjutkan sisa masa jabatan; Sebagai sebuah lembaga negara Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 juga memperkenalkan proses untuk kemungkinan dilakukan penggantian antar waktu anggota BPK. Dalam hal ini Pasal 22 ayat (1) menyatakan, sebagaimana disebut pada awal ini. Berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) UndangUndang Nomor 15 Tahun 2006 tersebut terkait dengan keterpenuhan syarat anggota pengganti tidak merupakan soal yang perlu diperdebatkan, bagaimana pun sangat masuk akal apabila pengganti yang mengisi posisi atau jabatan lowong yang ditinggalkan, tetap harus memenuhi syarat sebagaimana anggota BPK yang lain. Namun, apabila dibandingkan dengan proses penggantian antarwaktu anggota DPR, DPD, KPU Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006, menganut tata cara dan proses penggantian antarwaktu yang berbeda. Kalau pada penggantian antar waktu, anggota DPR, DPD, dan anggota KPU pengganti diambil berdasarkan hasil proses yang dijalani sebelumnya, namun penggantian antarwaktu bagi anggota BPK, dilakukan dengan proses yang berbeda, yaitu mulai dari tahap awal, layaknya calon untuk mengisi posisi anggota BPK baru atau bukan pengganti antarwaktu. Dalam hal ini calon BPK pengganti antar waktu dipilih dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Setelah itu calon anggota BPK pengganti antarwaktu diumumkan oleh DPR kepada publik untuk memperoleh masukkan masyarakat, berikutnya DPR memulai proses pemilihan anggota BPK pengganti antarwaktu terhitung sejak tanggal diterimanya surat pemberitahuan dari BPK. Dengan pola pengisian pengganti antarwaktu yang dilakukan sama seperti proses anggota BPK baru,
59 penggantian antarwaktu BPK dapat dinilai sama dengan proses penggantian antarwaktu pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Hakim Konstitusi; Terkait dengan hal ini Pasal 32 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menyatakan dalam hal terjadi kekosongan pimpinan KPK, presiden mengajukan calon anggota pengganti kepada DPR, prosedur pengajuan calon pengganti dan pemilihan calon anggota yang bersangkutan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 30. Karena ketentuan dalam Pasal 29 dan Pasal 30 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tersebut calon pengganti memulai proses yang sama dengan calon baru. Dalam batas-batas tertentu potensi
kerugian konstitusional yang
didalilkan Pemohon sama dengan persoalan posisi pimpinan KPK Muhammad Busyro Muqoddas yang juga menggantikan kekosongan jabatan yang ditinggalkan Antasari Azhar. Ketika kasus masa jabatan Busyro dinilai melalui judicial review, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa posisi Busyro hanya melanjutkan sisa masa jabatan lowong yang ditinggalkan Antasari Azhar adalah inkonstitusional. Berdasarkan
Putusan
Nomor
5/PUU-XI/2011,
Mahkamah
Konstitusi
menyatakan bahwa proses pemilihan dan seleksi pimpinan KPK pengganti yang demikian, sesuai dengan Pasal 29 dan Pasal 30 apabila dilihat dari asas keadilan dalam melaksanakan pemerintahan, yaitu keadilan bagi masyarakat maka pengangkatan anggota pengganti antarwaktu yang menduduki masa jabatan adalah sesuatu yang dirasakan tidak adil oleh masyarakat. Karena pertimbangan itu pula lebih jauh Mahkamah Konstitusi menambahkan jika anggota pimpinan KPK pengganti hanya menduduki masa jabatan sisa dari anggota pimpinan yang digantikannya, hal itu melanggar prinsip kemanfaatan yang menjadi tujuan daripada hukum. Jika hanya dimaksudkan untuk mengisi dan/atau menghabiskan sisa masa waktu yang ada, Mahkamah Konstitusi selanjutnya menyatakan sekiranya dimaknai bahwa pimpinan pengganti adalah hanya menggantikan dan menyelesaikan masa jabatan dari sisa pimpinan yang digantikan,maka mekanisme penggantian nanti antarwaktu tersebut tidak harus melalui proses seleksi yang panjang dan rumit dengan biaya yang besar. Seperti dalam seleksi lima pimpinan yang diangkat secara bersamaan, pimpinan pengganti dalam hal ada pimpinan yang berhenti pada masa jabatannya cukup diambil dari calon pimpinan KPK yang ikut dalam seleksi sebelumnya yang
60 diambil urutan tertinggi berikutnya. Tidak hanya dalam kasus KPK, dalam hal ini Busyro Muqoddas, masalah yang sama juga pernah terjadi dengan Hakim Konstitusi dalam soal ini Pasal 25, Pasal 26 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 menyatakan Hakim Konstitusi yang menggantikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melanjutkan sisa jabatan Hakim Konstitusi yang digantikannya. Dengan menggunakan argumentasi yang nyaris sebangun dengan kasus KPK, dalam Putusan Nomor 49/PUU-XI/2009, Mahkamah Konstitusi menyatakan norma Pasal 26 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 menimbulkan ketidakadilan bagi seseorang terpilih sebagai Hakim Konstitusi karena hanya melanjutkan sisa masa jabatan Hakim Konstitusi yang digantikan; Apabila pasal tersebut diterapkan akan bertentangan dengan Pasal 22 UndangUndang Mahkamah Konstitusi yang secara tegas menyatakan masa jabatan Hakim Konstitusi selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Merujuk pada fakta empiris tersebut, fakta yuridis tersebut sangat jelas bahwa frasa penggantian antarwaktu anggota BPK sebagaimana termaktub dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 kehilangan makna yuridis untuk terus dipertahankan. Karenanya Pasal 22 ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 yang menyatakan anggota pengganti hanya melanjutkan sisa masa jabatan anggota BPK yang digantikan kehilangan basis konstitusionalnya untuk terus dipertahankan alias inkonstitusional. Paling tidak ada tiga alasan mendasar untuk sampai pada kesimpulan tersebut, pertama Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2006 mengandung kontradiksio interminis pada salah satu sisi Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 menyatakan masa jabatan anggota BPK adalah 5 tahun. Namun di sisi lain dengan anggota pengganti yang dipersyaratkan untuk memulai proses seleksi sebagaimana yang dilakukan untuk calon bukan pengganti, anggota pengganti hanya melanjutkan sisa masa jabatan yang digantikannya. Kedua, mempertahankan cara pandang dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 jelas akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan akan menimbulkan ketidakadilan bagi anggota yang terpilih melalui jalur pengganti. Tidak hanya bagi anggota bersangkutan ketidakpastian juga akan merembet pada lembaga negara atau komisi negara terkait. Ketiga, Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusan terkait
dengan proses
61 penggantian antarwaktu yang dilakukan sama dan sebangun dengan anggota yang bukan pengganti antarwaktu hanya posisi melanjutkan masa jabatan tersisa adalah pengaturan yang inkonstitusional; Selain tentang fakta yuridis tersebut, dalam teori ketatanegaraan lembaga seperti BPK adalah lembaga yang terpisah dari eksekutif dan legislatif, apabila proses pengisian pimpinan eksekutif tertinggi dan anggota legislatif terikat dengan jadwal proses pengisian yang bersifat tetap, maka lembaga seperti BPK dapat saja di desain dengan proses pengisian yang berbeda. Seperti halnya dengan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang independen sangat mungkin melakukan proses pengisian anggota BPK secara berjenjang dan tidak serentak atau satu paket. Sebagaimana pernah pula ahli kemukakan dalam keterangan ahli pada kasus Busyro Muqoddas. Pada periode pertama anggota diangkat
serentak,
namun
kemudian
dapat
di
desain
sebagiannya
menyelesaikan jabatan lebih awal. Di banyak negara, pengisian lembagalembaga independen diusahakan tidak serentak bergantinya dan tidak serentak pula diisi kembali demi alasan kesinambungan. Dengan pola seperti ini, akan ada selalu kesinambungan karena ketika ada sebagian anggota baru yang masuk, sebagian anggota yang lama masih bertahan atau masih ada. Dalam konteks ini, penggantian antarwaktu yang terjadi di BPK bisa menjadi pintu masuk untuk menggunakan pola pergantian secara tidak serentak yang dimulai secara alamiah; Dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia, pola pergantian tidak serentak ini dapat dikatakan melanjutkan pengalaman yang sudah terbangun di Mahkamah Konstitusi. Sejauh yang kita ketahui, proses pengisian berjenjang sudah melembaga di Mahkamah Konstitusi dan sejak perjalanan hakim konstitusi generasi kedua karena pengalaman itu, sampai saat ini hakim konstitusi tidak lagi diisi secara serentak, begitu pula dengan KPK. Pengalaman pengisian Busyro Muqoddas akan menjadi titik awal memulai pola pergantian berjenjang atau tidak serentak. Karena pengalaman tersebut, kasus yang terjadi pada Pemohon dapat pula dijadikan titik awal adanya pengisian anggota BPK yang tidak serentak. Caranya, Mahkamah Konstitusi memutus bahwa Pemohon bukan melanjutkan sisa masa jabatan, tetapi menjalankan 5 tahun masa jabatan sebagai anggota BPK sebagaimana anggota BPK yang lain;
62 Bukankah jalan ke arah ini telah dibangun oleh Mahkamah Konstitusi ketika merumuskan masa jabatan Busyro Muqoddas dan ketika memutus masa jabatan Hakim Konstitusi karena pergantian dalam masa jabatan atau batas usia maksimal yang terlewati. Ahli Dwi Andayani Dalam Pasal 6 UU BPK, dinyatakan bahwa BPK mempunyai tugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab Pemerintah. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Umum Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara yang hasilnya kemudian diserahkan kepada DPR. Untuk menjaga objektivitas pemeriksaannya tersebut, BPK diberi garansi independensinya dari pengaruh kekuasaan manapun. Objektivitas pemeriksaan ini merupakan bagian penting dalam rangka optimalisasi pemeriksaan keuangan negara, mengingat BPK sebagai lembaga yang mandiri tadi atau menurut teori digolongkan sebagai staat organen. Kalau di Indonesia itu lembaga tinggi negara yang bebas dari pengaruh lembaga negara manapun, maka ahli berpendapat atau mengutip pendapat dari sarjana Arthur Maass dalam bukunya Area and Power: A Theory of Local Government yang menyatakan adanya dua macam pembagian kekuasaan dalam negara, yaitu secara vertikal dan secara horizontal. Pembagian kekuasaan negara secara horizontal itu menghasilkan lembaga-lembaga negara yang dinamakan capital division of power atau CDP, yaitu staat organen dalam ranah hukum administrasi negara. Sedangkan pembagian kekuasaan negara secara vertikal menghasilkan lembaga-lembaga pemerintahan yang disebut areal division of power atau ADP, biasa disebut regering organen; Dalam capital division of power, setiap lembaga negara mempunyai kedudukan hukum yang sederajat, tidak saling membawahkan satu sama yang lain. Dalam jabatan CDP ini, yaitu termasuk dalam BPK dalam hal ini di Indonesia, dapat diisi oleh pejabat nonkarir, dapat digolongkan jabatan publik yang lazimnya pengisian jabatannya dilakukan secara pemilihan elected bukan adopted. Jadi, ahli berpendapat bahwa Badan Pemeriksa Keuangan sebagai lembaga yang mandiri, kapasitas dari anggotanya adalah sebagai pejabat pembuat kebijakan, maka pengisian jabatan untuk para anggotanya adalah harus bersifat elected official, yaitu dengan cara dipilih dan bukannya diangkat baik untuk pengisian
63 jabatan dari awal sepenuhnya 5 tahun maupun jabatan sebagai PAW. Jadi tidak sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UU BPK yang sedang dimintakan pengujiannya kepada Mahkamah Konstitusi sekarang ini, yaitu dilakukan dengan cara pengangkatan, dalam frasa pengangkatan. Jadi bahwa menurut ahli apabila Pasal 22 ayat (1) UU BPK dilihat dari teori ilmu hukum, maka ahli berpandangan bahwa ada tiga hal yang menjadikan kaidah hukum itu dapat dinyatakan berlaku, yaitu: 1. Berlakunya kaidah hukum itu secara yuridis. 2. Secara sosiologis. 3. Berlakunya kaidah hukum itu secara filosofis. Dalam kaitan hal berlakunya kaidah hukum itu, yaitu dilihat secara sosiologis yang intinya adalah efektivitas kaidah hukum di dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini dikenal 2 teori, yaitu pertama teori kekuasaan yang pada pokoknya menyatakan bahwa kaidah hukum itu dipaksakan berlakunya oleh penguasa, diterima atau tidak oleh warga masyarakat. Namun dalam hal ini, pemilik kekuasaan atau pemerintah jangan hanya memikirkan kepemilikan akan kewenangannya saja, hendaknya memikirkan pula keabsahan dari kewenangan yang dimilikinya itu. Artinya, keadilan dan kepastian hukum yang adil bagi masyarakat pencari keadilan. Kedua, teori pengakuan yang menyatakan bahwa berlakunya kaidah hukum itu didasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh masyarakat, kaidah hukum itu agar sah berlaku harus memenuhi syarat formal maupun
syarat
materil
pembuatannya,
serta
keabsahan
pada
waktu
diberlakukan kepada masyarakat, jadi memperoleh legitimasi; Menurut ahli mengutip juga pendapat Prof. Sudikno bahwa pembentukan Undang-Undang
dilihat
dari
kacamata
sosiologis,
maka
masyarakat
membutuhkan tatanan yang teratur dan ajeg dan membutuhkan stabilitas karena stabilitas menjamin ketertiban tatanan dalam masyarakat dan menjamin kepastian hukum. Dalam membentuk undang-undang, pembentuk UndangUndang harus memperhatikan hal ini. Sebaliknya, tidak boleh dilupakan bahwa hukum merupakan perlindungan kepentingan manusia. Adapun kepentingan manusia itu selalu berkembang, dinamis baik jenis maupun jumlahnya; Dengan
demikian
hukum
harus
dinamis
pula
agar
dapat
mengikuti
perkembangan kepentingan manusia, agar kepentingan manusia yang terus berkembang itu
selalu
terlindungi.
Dalam
usahanya
untuk melindungi
64 kepentingan manusia dan masyarakat dalam bentuk peraturan perundangundangan dalam memilih kepentingan mana yang harus didahulukan, serta sanksi yang akan diterapkan dengan mencegah adanya konflik kepentingan, dan akhirnya dalam merumuskan dalam bentuk peraturan hukum atau UndangUndang yang bersifat sederhana, jelas, dan seberapa dapat berlaku untuk kurung waktu yang lama dan jangan sampai terjadi konflik dengan UndangUndang yang telah ada; Dalam hal ini pemerintah harus meninjau ulang UU BPK, khususnya Pasal 22 ayat (1) yang sedang dilakukan judicial review karena dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945; Bahwa Pasal 22 ayat (1) UU BPK dapat dikatakan bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 23F yang menyatakan bahwa anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih, frasa dipilih oleh DPR dengan memperhatikan DPD dan diresmikan oleh presiden. Jadi bahwa UUD 1945 sudah mengatur memerintahkan bahwa untuk menjadi anggota BPK itu harus melalui mekanisme pemilihan dan bukan dengan cara pengangkatan (PAW) sebagaimana diatur dalam UU BPK Pasal 22 ayat (1) tersebut; Sebagai lembaga negara yang mandiri independen, maka pengisian jabatan dilakukan secara pemilihan (election), bukan pengangkatan, sehingga Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) UU BPK bertentangan dengan Pasal 23F ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Demikian juga kalau dilihat dari staat organen yang ada lainnya dalam struktur organisasi negara Indonesia, yaitu cara pengisian jabatannya juga dalam BPK itu harus diselaraskan pula dengan cara pengisian jabatan pada lembaga negara atau staat organen lain-lainnya. [3.12]
Menimbang
terhadap
permohonan
Pemohon,
Pemerintah
telah
memberikan keterangan lisan pada tanggal 21 Maret 2013 dan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 9 Juli 2013, yang selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: Pada dasarnya Pemerintah dengan memperhatikan dua Putusan Mahkamah Konstitusi yang terkait dengan perkara yang hampir mirip, yaitu Putusan tentang Pengujian Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Putusan tentang Pengujian Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya
65 adalah dalam rangka untuk memperoleh keadilan dan kesamaan kedudukan hal untuk pengisian jabatan tertentu. Pemerintah sepenuhnya menghargai dan menghormati Putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut, oleh karena
itu
pertanyaannya adalah apakah permohonan kali ini memiliki kesamaan, memiliki kesepadanan dengan permohonan yang disampaikan atau permohonan yang diperoleh putusan oleh Mahkamah Konstitusi itu sendiri; Pemerintah pada prinsipnya mendukung dan menghormati Putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Pemerintah menyatakan bahwa sebetulnya UndangUndang tentang Badan Pemeriksa Keuangan adalah terkait dengan masalah tatanan implementasi yang memang sepenuhnya menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang, dalam hal ini Presiden bersama DPR untuk mengaturnya, apakah terhadap anggota BPK itu penggantian antarwaktunya, apakah mengantikan sisa masa jabatan atau sesuai dengan jabatan yang diembannya. Oleh karena itu, sekali lagi Pemerintah memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Pemohon atas permohonan pengujian ini. Namun demikian semuanya, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Mahkamah Konstitusi untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya dan putusan yang tepat apakah yang dimohonkan oleh Pemohon sama dengan permohonanpermohonan yang terdahulu. [3.13]
Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan
Rakyat menyampaikan keterangan lisan dalam persidangan pada tanggal 21 Maret 2013, yang pada pokoknya sebagai berikut: Konsep “penggantian antarwaktu” dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang a quo adalah penggantian yang didasarkan adanya pemberhentian dengan hormat ataupun dengan tidak hormat terhadap Anggota BPK sehingga masa jabatan Anggota BPK yang terpilih untuk menggantikan sifatnya hanya untuk mengisi kevakuman jabatan Anggota BPK yang berhenti tersebut. Penggantian antarwaktu ini diperlukan karena hubungan kerja antara 9 (sembilan) orang Anggota BPK bersifat kolegial (kemitraan) dan keputusan yang diambil harus secara bersama-sama (kolektif), sehingga pemilihan Anggota antarwaktu ini dapat memberi kepastian hukum sampai dengan masa jabatan Anggota BPK yang baru; DPR telah mengeluarkan Keputusan Nomor 17/DPR RI/I/2011-2012 tanggal 11 Oktober 2011 yang memberikan persetujuan terhadap Bahrullah Akbar sebagai
66 Calon Pengganti Antar Waktu Anggota BPK RI menggantikan Drs. T. Muhammad Nurlif yang telah diberhentikan dengan hormat sebagaimana ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 19/P Tahun 2011, tanggal 6 April 2011. Keputusan DPR tersebut menindaklanjuti surat Ketua BPK RI Nomor 42/S/I/04/2011 tanggal 19 April 2011 perihal Penggantian Antar Waktu Anggota BPK, dan Keputusan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Nomor 57/DPD RI/IV/2010-2011 tanggal 15 Agustus 2011 tentang Pertimbangan DPD RI Dalam Pemilihan Calon Anggota BPK RI; Bahwa dalam proses pengangkatan penggantian antarwaktu, DPR telah melaksanakan proses pemilihan sesuai dengan tata cara pemilihan Anggota BPK sebagaimana tercantum dalam Pasal 13 dan Pasal 14 UU a quo yang kemudian diresmikan dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 62/P Tahun 2011, yang menetapkan Drs. Bahrullah Akbar, Bsc, SE, MBA sebagai Anggota Badan Pemeriksaan Keuangan. Bahwa Pemohon telah memperoleh kesempatan dan menjalani proses yang sama serta sesuai dengan ketentuan Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang a quo dan telah terwujud adanya kepastian hukum (rechtszekerheid) terhadap masa jabatan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan; Bahwa
ketentuan
Pasal
22
ayat
(4)
Undang-Undang
a
quo
dalam
implementasinya tidak menimbulkan keraguan, kerancuan, kerugian maupun dalam posisi yang tidak dapat dilaksanakan terhadap proses dan hasil audit BPK, serta tidak mengandung unsur diskriminatif sebagaimana tercermin dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang telah memberikan definisi mengenai diskriminasi sebagai berikut : “”Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekomomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik. yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi. hukum, sosial, budaya. dan aspek kehidupan lainnya””. Bahwa mengenai masa jabatan pengganti dapat dilihat juga pada ketentuan Pasal 217 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
67 Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menyatakan: ” Masa jabatan anggota DPR pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPR yang digantikannya.” Bahwa masa jabatan Anggota pengganti BPK yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan anggota BPK yang digantikan, tidaklah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 karena mengisi kevakuman jabatan Anggota BPK yang kosong sehingga memberikan kepastian hukum. Pendapat Mahkamah [3.14]
Menimbang bahwa isu konstitusional dalam permohonan a quo adalah
1. Apakah frasa “pengangkatan penggantian antarwaktu” dalam Pasal 22 ayat (1) UU BPK bertentangan dengan UUD 1945? 2. Apakah masa jabatan anggota Badan Pemeriksa Keuangan pengganti dalam Pasal 22 ayat (4) UU BPK yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang digantikannya bertentangan dengan UUD 1945? [3.15]
Menimbang bahwa dari kedua isu tersebut, isu utama pengujian
konstitusionalitas dalam permohonan ini adalah mengenai masa jabatan anggota BPK pengganti yang hanya melanjutkan masa jabatan anggota BPK yang digantikannya yang didalilkan oleh Pemohon bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Mahkamah, isu pengujian konstitusionalitas yang dimohonkan Pemohon memiliki kesamaan substansi dengan pengujian konstitusionalitas masa jabatan anggota Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pengganti yang telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 5/PUU-IX/2011, bertanggal 20 Juni 2011 dan masa jabatan Hakim Konstitusi pengganti yang telah diputus Mahkamah dalam Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011, bertanggal 18 Oktober 2011. Kedua Putusan tersebut menegaskan, norma Undang-Undang yang menentukan bahwa masa jabatan Hakim Konstitusi pengganti yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan Hakim Konstitusi yang digantikannya maupun masa jabatan anggota Pimpinan KPK pengganti yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan anggota Pimpinan KPK yang digantikannya adalah norma yang bertentangan dengan konstitusi.
Oleh
karena
adanya
kesamaan
substansi
tersebut,
sebelum
mempertimbangkan dan menilai dalil-dalil permohonan Pemohon, Mahkamah
68 terlebih dahulu merujuk dan mengutip kembali beberapa pertimbangan dalam kedua putusan tersebut, sebagai berikut: 1. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011, bertanggal 20 Juni 2011 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250), Mahkamah menegaskan bahwa masa jabatan anggota pimpinan KPK pengganti, yang hanya melanjutkan masa jabatan anggota pimpinan yang digantikannya bertentangan dengan prinsip keadilan dan prinsip kemanfaatan yang dijamin oleh konstitusi. Dalam putusan tersebut Mahkamah, antara lain, mempertimbangkan: “Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (2) UU KPK, mekanisme pemilihan anggota pengganti Pimpinan KPK yang berhenti dalam masa jabatan dilakukan sama dengan mekanisme pemilihan dan pengangkatan anggota pimpinan yang diangkat secara bersamaan pada awal periode. Proses seleksi ini memakan waktu yang lama dan biaya yang cukup tinggi karena paling tidak melibatkan pembentukan panitia seleksi, proses pendaftaran yang dilakukan secara terbuka dan transparan dengan melibatkan proses publikasi di media, dan setelah ditetapkan nama calon-calon tesebut, proses seleksi dilanjutkan pada pengumuman kepada masyarakat untuk mendapatkan tanggapan yang seterusnya diserahkan di DPR untuk dilakukan seleksi kembali oleh DPR melalui mekanisme fit and proper test. Proses seleksi yang ketat dan panjang tersebut dipandang perlu, mengingat begitu pentingnya jabatan Pimpinan KPK, terutama apabila dikaitkan dengan urgensi agenda pemberantasan korupsi di Indonesia”; “Menimbang bahwa proses pemilihan dan seleksi Pimpinan KPK
pengganti
yang demikian apabila dilihat dari asas keadilan dalam pelaksanaan pemerintahan yaitu keadilan bagi masyarakat maka pengangkatan anggota pengganti yang menduduki masa jabatan sisa hanya satu tahun adalah sesuatu yang dirasakan tidak adil bagi masyarakat, karena negara harus mengeluarkan biaya yang sangat besar serta para penyelenggara negara yang melakukan proses seleksi menghabiskan waktu yang cukup panjang hanya untuk memilih seorang anggota pengganti yang menduduki sisa masa jabatan satu tahun. Menurut Mahkamah, keadilan masyarakat adalah sumber nilai konstitusi tertinggi yang
harus menjadi dasar penilaian Mahkamah, karena keadilan
69 konstitusi tidak lain dari keadilan bagi constituent yaitu keadilan bagi rakyat yang membentuk dan menyepakati konstitusi. Keadilan masyarakat ini menjadi sangat penting dalam menegakkan prinsip-prinsip konstitusi untuk menghindari penyelenggaraan negara yang bersifat elitis dan melanggar prinsip-prinsip demokrasi yang dianut oleh UUD 1945 khususnya demokrasi partisipatoris. Menurut Mahkamah, penafsiran demikian juga, menimbulkan ketidakadilan bagi seseorang yang terpilih sebagai anggota pengganti yang berjuang serta menghabiskan banyak tenaga, waktu, dan biaya untuk lulus seleksi dan terpilih menjadi anggota Pimpinan KPK pengganti. Anggota pengganti yang terpilih yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan anggota yang digantikan mendapat perlakuan yang berbeda dengan anggota pimpinan yang terpilih secara bersamaan pada awal periode yang menjalankan masa jabatan penuh empat tahun, padahal anggota pengganti menjalani segala proses seleksi dan syaratsyarat yang sama, sehingga melanggar prinsip perlakuan yang sama terhadap setiap warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan [vide Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945]; “Menimbang bahwa menurut Mahkamah, jika anggota Pimpinan KPK pengganti hanya menduduki masa jabatan sisa dari anggota pimpinan yang digantikannya, hal itu melanggar prinsip kemanfaatan yang menjadi tujuan hukum. Hukum lahir dan diadakan untuk mencapai kemanfaatan setinggi-tingginya. Proses
seleksi
seorang Pimpinan KPK pengganti menurut Pasal 33 ayat (2) UU KPK hanya menduduki masa jabatan sisa, mengeluarkan biaya yang relatif sama besarnya dengan proses seleksi lima orang Pimpinan KPK. Hal itu, benar-benar merupakan sebuah pemborosan yang tidak perlu dan tidak wajar. Menurut Mahkamah, sekiranya dimaknai bahwa Pimpinan pengganti itu adalah hanya menggantikan dan menyelesaikan masa jabatan sisa dari pimpinan yang
digantikan maka
mekanisme penggantian tersebut tidak harus melalui proses seleksi yang panjang dan rumit dengan biaya yang besar seperti dalam seleksi lima anggota pimpinan yang diangkat secara bersamaan. Pimpinan pengganti, dalam hal ada pimpinan yang berhenti dalam masa jabatannya, cukup diambil dari calon Pimpinan KPK yang ikut dalam seleksi sebelumnya yang menempati urutan tertinggi berikutnya, seperti penggantian antarwaktu anggota DPR atau anggota DPD yang menurut Pasal 217 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR dan DPRD (Lembaran Negara Republilk Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan
70 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043) yang menyatakan, ”Masa jabatan anggota DPR pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPR yang digantikan” dan Pasal 286 ayat (3) yang menyatakan, ”Masa jabatan anggota DPD pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPD yang digantikannya”. Hal itu, lebih memenuhi prinsip efisiensi, dan prinsip kewajaran. Oleh karena berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (2) UU KPK yang mengharuskan pengisian pimpinan pengganti dilakukan melalui proses seleksi yang sama dengan proses seleksi lima orang anggota KPK yang diangkat secara bersamaan, menurut Mahkamah, penggantian Pimpinan KPK pengganti tersebut tidak sama dengan penggantian antarwaktu anggota DPR dan DPD. Penggantian antarwaktu anggota DPR dan DPD, tidak melalui proses seleksi yang baru dan sudah ditegaskan dalam Undang-Undang hanya melanjutkan masa jabatan sisa dari anggota yang digantikannya. UU KPK menegaskan bahwa Pimpinan KPK pengganti dilakukan melalui proses seleksi yang baru dan tidak ditentukan bahwa pimpinan pengganti hanya melanjutkan sisa masa jabatan pimpinan yang digantikannya. Menurut Mahkamah, hal itu menunjukkan bahwa masa jabatan Pimpinan KPK pengganti tidak dapat ditafsirkan sama dengan penggantian antarwaktu bagi anggota DPR dan DPD. Dengan demikian masa jabatan pimpinan KPK yang ditentukan dalam Pasal 34 UU KPK tidak dapat ditafsirkan lain, kecuali empat tahun, baik bagi pimpinan yang diangkat secara bersamaan sejak awal maupun bagi pimpinan pengganti. Mempersempit makna Pasal 34 UU KPK dengan tidak memberlakukan bagi Pimpinan KPK pengganti untuk menjabat selama empat tahun adalah melanggar prinsip kepastian hukum yang dijamin konstitusi”; Pada bagian lain dari putusan tersebut Mahkamah juga mempertimbangkan sebagai berikut: “Untuk mencapai maksud dan tujuan pembentukan KPK sebagai lembaga negara yang khusus memberantas korupsi, maka dalam melaksanakan tugas dan kewenangan secara efektif, KPK dituntut untuk bekerja secara profesional, independen, dan berkesinambungan. Menurut Mahkamah, KPK tidak akan maksimal melaksanakan tugas dan wewenangnya secara profesional dan berkesinambungan tanpa kesinambungan pimpinan KPK. Untuk menjamin kesinambungan tugas-tugas Pimpinan KPK, agar pimpinan tidak secara bersama-sama mulai dari awal lagi, maka penggantian Pimpinan KPK tidak
71 selayaknya diganti serentak. Oleh sebab itu, akan menjadi lebih proporsional dan menjamin kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum apabila terjadi penggantian antarwaktu di antara Pimpinan KPK diangkat untuk satu periode masa jabatan empat tahun [vide Pasal 28D ayat (1) UUD 1945];” 2. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, bertanggal 18 Oktober 2011, mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah juga menegaskan bahwa norma yang menyatakan bahwa hakim konstitusi pengganti yaitu hakim konstitusi yang menggantikan hakim konstitusi yang berhenti sebelum berakhir 5 (lima) tahun masa jabatannya hanya melanjutkan masa jabatan sisa hakim konstitusi yang digantikannya adalah bertentangan dengan prinsip keadilan dan kepastian hukum yang dikehendaki oleh konstitusi. Dalam putusan tersebut, antara lain, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: “Bahwa Pasal 26 ayat (5) UU 8/2011 menyatakan “Hakim konstitusi yang menggantikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melanjutkan sisa jabatan hakim konstitusi yang digantikannya.” Norma Pasal 26 ayat (5) UU 8/2011 menimbulkan ketidakadilan bagi seseorang yang terpilih sebagai hakim konstitusi karena hanya melanjutkan sisa masa jabatan hakim konstitusi yang digantikannya. Apabila pasal tersebut diterapkan akan bertentangan dengan Pasal 22 UU MK (UU 24/2003) yang secara tegas dan jelas menyatakan “Masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya”, sehingga terjadi pertentangan internal (contradictio in terminis). Menurut Mahkamah, penggantian hakim konstitusi tidak sama dengan penggantian antarwaktu anggota DPR dan DPD. Penggantian antarwaktu anggota DPR dan DPD, tidak melalui proses seleksi yang baru dan sudah ditegaskan dalam UndangUndang hanya melanjutkan masa jabatan sisa dari anggota yang digantikannya. Adapun calon hakim konstitusi melalui proses seleksi oleh masing-masing lembaga yang mengajukannya. Dengan demikian, menurut Mahkamah, masa jabatan hakim konstitusi yang ditentukan dalam Pasal 22 UU MK tidak dapat ditafsirkan lain kecuali lima tahun, baik yang diangkat secara bersamaan maupun bagi hakim konstitusi yang menggantikan hakim konstitusi yang berhenti sebelum masa jabatannya berakhir. Mempersempit makna Pasal 22 UU MK dengan tidak
72 memberlakukannya bagi hakim konstitusi pengganti untuk menjabat selama lima tahun adalah melanggar prinsip kepastian hukum yang adil yang dijamin konstitusi; Bahwa Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara independen yang oleh UUD 1945 diberi tugas dan wewenang sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman. Untuk melakukan tugas dan wewenang tersebut, Mahkamah dituntut bekerja secara profesional, independen, dan berkesinambungan. Dengan adanya hakim konstitusi yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan hakim konstitusi yang digantikannya tidak akan menjamin kesinambungan kinerja Mahkamah dalam melakukan tugas dan wewenangnya serta menimbulkan ketidakadilan bagi hakim konstitusi yang mengganti. Selain itu, jabatan hakim konstitusi berbeda dengan jabatan
negara
yang
lainnya
karena
adanya
faktor
konsistensi
dan
kesinambungan, terkait baik dengan proses maupun putusan-putusan yang dihasilkan. Jika dihubungkan dengan penilaian konsistensi dari putusan yang dihasilkan maka masa jabatan lima tahun sebagai hakim konstitusi pun, sebenarnya masih dianggap kurang. Dengan adanya hakim yang menggantikan yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan hakim konstitusi yang digantikannya maka masa jabatan hakim konstitusi menjadi kurang dari lima tahun. Dengan demikian, yang menjadi pertimbangan untuk masa jabatan hakim konstitusi adalah adanya
jaminan
konsistensi
dan
kesinambungan
dalam
proses
dan
putusanputusan Mahkamah yang sangat terpengaruh oleh lamanya masa jabatan hakim konstitusi, terkait dengan pendapat hukum dan kemandirian hakim. Oleh sebab itu, akan lebih proporsional dan menjamin kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum apabila masa jabatan hakim konstitusi yang menggantikan tetap lima tahun. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon a quo beralasan menurut hukum”; Pada bagian lain dari putusan tersebut, Mahkamah juga mempertimbangkan bahwa: “Bahwa Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara independen yang oleh UUD 1945 diberi tugas dan wewenang sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman. Untuk melakukan tugas dan wewenang tersebut, Mahkamah dituntut bekerja secara profesional, independen, dan berkesinambungan. Dengan adanya hakim konstitusi yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan hakim konstitusi yang digantikannya tidak akan menjamin kesinambungan kinerja
Mahkamah
dalam
melakukan
tugas
dan
wewenangnya
serta
73 menimbulkan ketidakadilan bagi hakim konstitusi yang mengganti. Selain itu, jabatan hakim konstitusi berbeda dengan jabatan negara yang lainnya karena adanya faktor konsistensi dan kesinambungan, terkait baik dengan proses maupun putusan-putusan yang dihasilkan. Jika dihubungkan dengan penilaian konsistensi dari putusan yang dihasilkan maka masa jabatan lima tahun sebagai hakim konstitusi pun, sebenarnya masih dianggap kurang. Dengan demikian, yang menjadi pertimbangan untuk masa jabatan hakim konstitusi adalah adanya jaminan konsistensi dan kesinambungan dalam proses dan putusan-putusan Mahkamah yang sangat terpengaruh oleh lamanya masa jabatan hakim konstitusi, terkait dengan pendapat hukum dan kemandirian hakim.” [3.16]
Menimbang bahwa Badan Pemeriksa Keuangan, berdasarkan ketentuan
Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 adalah salah satu organ negara yang dibentuk oleh konstitusi sebagai badan yang bebas dan mandiri untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Hasil pemeriksaan keuangan negara yang dilakukan oleh BPK diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan ditindaklanjuti oleh masing-masing lembaga perwakilan dan/atau oleh badan sesuai dengan UndangUndang [vide Pasal 23E ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945]. Anggota BPK dipilih oleh Dewan
Perwakilan
Rakyat
dengan
memperhatikan
pertimbangan
Dewan
Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden [vide Pasal 23F ayat (1) UUD 1945]. Berdasarkan ketentuan tersebut, kedudukan BPK sangat strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan negara yaitu untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. BPK adalah lembaga negara yang bebas dan mandiri seperti halnya kedudukan Mahkamah Agung serta Mahkamah Konstitusi yang oleh UUD 1945 disebut sebagai kekuasaan yang merdeka, yaitu tidak terafiliasi atau tidak dapat dipengaruhi oleh lembaga negara yang lain atau pun kekuatan partai politik dan perseorangan manapun; [3.17]
Menimbang bahwa dalam UUD 1945 terdapat lembaga lainnya yang
disebut bersifat mandiri, seperti Komisi Yudisial. Demikian pula dalam tingkat Undang-Undang dikenal beberapa lembaga yang disebut bersifat mandiri dan independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Nasional Hak Asasi
74 Manusia, Ombudsman, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Lembaga-lembaga yang bersifat mandiri dan independen
tersebut,
pada
umumnya
dalam
menjalankan
fungsi
dan
kewenangannya tidak dapat dipengaruhi oleh institusi atau lembaga lainnya. Masa jabatan anggotanya tidak terkait dengan hasil pemilihan umum. Berbeda dengan Presiden, DPR, DPD, DPRD serta Kepala Daerah yang merupakan lembaga yang merepresentasikan kekuatan partai politik dan pejabatnya dipilih melalui pemilihan umum yang diselenggarakan sekali dalam lima tahun. Menurut Mahkamah, lembaga yang bersifat mandiri dan independen tersebut harus dinihilkan dari pengaruh institusi atau lembaga politik lainnya, sehingga dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya dapat dilaksanakan secara maksimal. Sejalan dengan latar belakang pemikiran tersebut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, bertanggal 18 Oktober 2011, mengenai masa jabatan Hakim Konstitusi, Mahkamah telah mempertimbangkan, antara lain: “Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara independen yang oleh UUD 1945 diberi tugas dan wewenang sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman. Untuk melakukan tugas dan wewenang tersebut, Mahkamah dituntut bekerja secara profesional, independen, dan berkesinambungan. Dengan adanya hakim konstitusi yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan hakim konstitusi yang digantikannya tidak akan menjamin kesinambungan kinerja Mahkamah dalam melakukan tugas dan wewenangnya serta menimbulkan ketidakadilan bagi hakim konstitusi yang mengganti. Selain itu, jabatan hakim konstitusi berbeda dengan jabatan
negara
yang
lainnya
karena
adanya
faktor
konsistensi
dan
kesinambungan, terkait baik dengan proses maupun putusan-putusan yang dihasilkan”. Demikian juga dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011, bertanggal 20 Juni 2011, mengenai masa jabatan anggota Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah telah mempertimbangkan, antara lain: “Untuk mencapai maksud dan tujuan pembentukan KPK sebagai lembaga negara yang khusus memberantas korupsi, maka dalam melaksanakan tugas dan kewenangan secara efektif, KPK dituntut untuk bekerja secara profesional, independen, dan berkesinambungan. Menurut Mahkamah, KPK tidak akan maksimal melaksanakan tugas dan wewenangnya secara profesional dan berkesinambungan tanpa kesinambungan pimpinan KPK. Untuk menjamin
75 kesinambungan tugas-tugas Pimpinan KPK, agar pimpinan tidak secara bersamasama mulai dari awal lagi, maka penggantian Pimpinan KPK tidak selayaknya diganti serentak. Oleh sebab itu, akan menjadi lebih proporsional dan menjamin kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum apabila terjadi penggantian antarwaktu di antara Pimpinan KPK diangkat untuk satu periode masa jabatan empat tahun”. Menurut Mahkamah, demikian juga halnya dengan BPK, sebagai lembaga negara yang mandiri yang dibentuk konstitusi, haruslah mendapatkan jaminan konstitusional dalam menjalankan tugas dan kewenangannya secara efektif, independen dan berkesinambungan. Anggota BPK tidak harus berhenti secara bersamaan dalam satu waktu, karena hal itu tidak menjamin efektivitas dan kesinambungan pelaksanaan tugas dan wewenang BPK secara baik. Dengan demikian jika seorang Anggota BPK yang berhenti sebelum berakhir periode jabatannya 5 (lima) tahun harus diganti oleh Anggota BPK yang menduduki masa jabatan untuk 5 (lima) tahun pula, dan tidak hanya melanjutkan masa jabatan anggota yang digantikannya. Seperti halnya Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi dan Pimpinan KPK yang tidak mengenal penggantian anggota antar waktu, sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Mahkamah pada putusan tersebut di atas. Dengan ketentuan seperti itu, pada akhirnya BPK dapat bekerja secara berkesinambungan dengan penggantian anggota secara bergilir; [3.18]
Menimbang bahwa baik syarat maupun mekanisme pengisian jabatan
anggota BPK pengganti maupun Anggota BPK bukan pengganti adalah sama dan tidak ada perbedaan. Dalam Pasal 22 ayat (1) UU BPK, calon Anggota BPK pengganti harus memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 13 dan Pasal 14 UU BPK. Pasal 13 UU BPK menyatakan, “Untuk dapat dipilih sebagai Anggota BPK, calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. warga negara Indonesia; b. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. berdomisili di Indonesia; d. memiliki integritas moral dan kejujuran; e. setia terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; f. berpendidikan paling rendah S 1 atau yang setara; g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun
76 atau lebih; h. sehat jasmani dan rohani; i. paling rendah berusia 35 (tiga puluh lima) tahun; j. paling singkat telah 2 (dua) tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelola keuangan negara; dan k. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap”. Pasal 14 UU BPK menyatakan, “(1) Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD; (2) Pertimbangan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis yang memuat semua nama calon secara lengkap, dan diserahkan kepada DPR dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya surat permintaan pertimbangan dari Pimpinan DPR; (3) Calon Anggota BPK diumumkan oleh DPR kepada publik untuk memperoleh masukan dari masyarakat; (4) DPR memulai proses pemilihan Anggota BPK terhitung sejak tanggal diterimanya surat pemberitahuan dari BPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan harus menyelesaikan pemilihan anggota BPK yang baru, paling lama 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Anggota BPK yang lama; (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan anggota BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR.” Menurut Mahkamah oleh karena syarat dan mekanisme pengisian jabatan antara Anggota BPK pengganti maupun Anggota BPK bukan pengganti adalah sama, maka tidak adil jika keduanya melaksanakan masa jabatan yang berbeda. Sebagaimana pendapat Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Nomor 5/PUU-IX/2011, tanggal 20 Juni 2011 dan Nomor 49/PUU-IX/2011, tanggal 18 Oktober 2011, sebagaimana dikutip di atas, dilihat dari asas keadilan dalam penyelenggaraan negara yaitu keadilan bagi masyarakat dan asas kemanfaatan maka pengangkatan anggota pengganti yang menduduki masa jabatan sisa adalah sesuatu yang dirasakan tidak adil dan melanggar asas kemanfaatan. Anggota pengganti yang terpilih yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan anggota yang digantikan mendapat perlakuan yang berbeda dengan anggota yang terpilih secara bersamaan pada awal periode yang menjalankan masa jabatan secara penuh, padahal anggota pengganti menjalani segala proses seleksi dan syarat-syarat yang sama, sehingga melanggar prinsip perlakuan yang sama terhadap setiap warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan. Ditinjau dari asas kemanfaatan dan asas kepastian sebagai tujuan hukum, masa jabatan
77 anggota pengganti yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang digantikannya adalah bertentangan dengan asas kemanfaatan karena proses seleksi dan pengisian anggota pengganti yang sama dengan proses seleksi dan pengisian Anggota BPK yang bukan pengganti memerlukan waktu, pikiran, dan tenaga serta biaya yang cukup banyak, baik yang harus dikeluarkan oleh negara maupun yang ditanggung oleh calon anggota. Seperti halnya proses seleksi yang dialami oleh Pemohon sebagai Anggota BPK pengganti, harus melalui proses yang panjang dan rumit, yaitu melalui proses penjaringan calon, pengumuman di media masa, seleksi terhadap calon Anggota BPK di DPR dengan pertimbangan DPD, sampai dengan penetapan dan peresmian oleh Presiden. Dengan adanya proses seleksi yang panjang dan rumit, padahal hanya untuk mengisi dan melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang digantikan adalah tidak adil. Proses pengisian penggantian antarwaktu yang dilakukan pada penggantian Anggota DPR, Anggota DPD, Anggota DPRD maupun Presiden dan Wakil Presiden tidak bisa disamakan dengan ketentuan penggantian Anggota BPK, karena BPK adalah lembaga negara mandiri yang anggotanya tidak dipilih melalui pemilihan umum yang dilaksanakan 5 (lima) tahun sekali. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah ketentuan Pasal 22 ayat (1) UU BPK sepanjang frasa “penggantian antarwaktu”, harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945; [3.19]
Menimbang bahwa selain itu, menurut Mahkamah, keberadaan Pasal 22
ayat (4) UU BPK yang mengatur tentang sisa masa jabatan Anggota BPK pengganti yang melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang digantikannya, akan menimbulkan pertentangan internal (contradictio in terminis) dengan Pasal 5 ayat (1) UU BPK yang menyatakan, “Anggota BPK memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan”. Pertentangan tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang justru bertentangan dengan prinsip konstitusi yang menjamin perlindungan atas hak untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu untuk memberi jaminan kepastian hukum yang adil, ketentuan Pasal 22 ayat (4) UU BPK adalah bertentangan UUD 1945 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga masa jabatan anggota BPK baik anggota yang diangkat secara bersamaan maupun anggota pengganti yang dipilih
78 untuk menggantikan anggota yang berhenti dalam masa jabatannya mengemban jabatan selama satu masa jabatan penuh yaitu 5 (lima) tahun; [3.20]
Menimbang bahwa oleh karena frasa “penggantian antarwaktu” dalam
Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 22 ayat (4) UU BPK dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka Pasal 22 ayat (5) UU BPK yang menyatakan, “Penggantian Anggota BPK antarwaktu tidak dilakukan apabila sisa masa jabatan anggota yang akan diganti kurang dari 6 (enam) bulan dari masa jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)”, harus pula dinilai dan dipertimbangkan oleh Mahkamah walaupun tidak dimohonkan pengujian oleh Pemohon. Menurut Mahkamah ketentuan Pasal 22 ayat (5) UU BPK merupakan ketentuan lebih lanjut dari norma yang terkandung dalam Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 22 ayat (4) UU BPK sehingga Pasal 22 ayat (5) UU BPK harus pula dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; [3.21]
Menimbang bahwa meskipun menurut Pasal 47 UU MK, putusan
Mahkamah berlaku sejak ditetapkan (prospektif), namun demi asas kemanfaatan yang merupakan asas dan tujuan universal hukum maka untuk kasus-kasus tertentu putusan Mahkamah dapat diberlakukan surut (retroaktif) sebagaimana yang tertuang dalam Putusan Mahkamah Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009, tanggal 7 Agustus 2009 yang menjadi landasan penetapan anggota-anggota DPR periode 2009-2014 terutama berkaitan dengan penetapan anggota DPR berdasar perhitungan Tahap III yang semula telah ditetapkan secara tidak tepat oleh KPU dan Putusan Mahkamah Nomor 5/PUU-IX/2011, tanggal 20 Juni 2011 yang menjadi landasan penetapan pimpinan pengganti KPK. Alasan yang mendasari penetapan retroaktif secara khusus tersebut, antara lain adalah ”telah” dan ”terus” berlangsungnya satu penerapan isi Undang-Undang berdasar penafsiran yang tidak
tepat
sehingga
menimbulkan
ketidakpastian
hukum
dan
kerugian
konstitusional dan karenanya harus dihentikan. Penghentian ketidakpastian hukum dan kerugian konstitusional itu harus menjangkau secara retroaktif sejak ditetapkannya penafsiran yang tidak tepat tersebut, saat mana mulai timbul ketidakpastian hukum dan kerugian konstitusional seperti terlihat dalam perkara a quo. Oleh karena itu, untuk menghindari ketidakpastian hukum sebagai akibat dari putusan ini, terkait dengan jabatan Anggota BPK pengganti, maka putusan ini
79 berlaku bagi Anggota BPK pengganti yang sudah diangkat dan sekarang menduduki jabatan sebagai Anggota BPK, sehingga berhak menduduki masa jabatan penuh yaitu selama 5 (lima) tahun sejak diresmikan pengangkatannya sebagai Anggota BPK dengan keputusan Presiden; [3.22]
Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum yang
diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat dalil permohonan Pemohon beralasan menurut hukum; 4. KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1]
Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;
[4.2]
Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;
[4.3]
Permohonan Pemohon beralasan menurut hukum; Berdasarkan
Undang-Undang
Dasar
Negara
Republik
Indonesia
Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076); 5. AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan: 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; 1.1. Menyatakan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa
Keuangan
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik
80 Indonesia Nomor 4654) sepanjang frasa “penggantian antarwaktu” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 1.2. Menyatakan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa
Keuangan
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654) sepanjang frasa “penggantian antarwaktu” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 1.3. Menyatakan Pasal 22 ayat (4) dan Pasal 22 ayat (5) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654) bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 1.4. Menyatakan Pasal 22 ayat (4) dan Pasal 22 ayat (5) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 2. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu M. Akil Mochtar, selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Harjono, Hamdan Zoelva, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Maria Farida Indrati, dan Arief Hidayat, masingmasing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal delapan, bulan Juli, tahun dua ribu tiga belas, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal sepuluh, bulan September, tahun dua ribu tiga belas, selesai diucapkan pukul 14.23 WIB, oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu M. Akil Mochtar, selaku Ketua merangkap Anggota, Hamdan Zoelva, Harjono, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Maria Farida Indrati, Arief Hidayat, dan Patrialis Akbar, masing-masing sebagai
81 Anggota, dengan didampingi oleh Hani Adhani sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh Pemohon atau kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.
KETUA,
ttd. M. Akil Mochtar ANGGOTA-ANGGOTA, ttd.
ttd.
tdHamdan Zoelva
Harjono
ttd.
ttd.
Muhammad Alim
Anwar Usman
ttd.
ttd.
Ahmad Fadlil Sumadi
Arief Hidayat
ttd.
ttd.
Maria Farida Indrati
Patrialis Akbar
PANITERA PENGGANTI, ttd. Hani Adhani
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa keuangan negara merupakan salah satu unsur pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dan mempunyai manfaat yang sangat penting guna mewujudkan tujuan negara untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa untuk tercapainya tujuan negara sebagaimana dimaksud pada huruf a, pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara memerlukan suatu lembaga pemeriksa yang bebas, mandiri, dan profesional untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme; a. bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan sudah tidak sesuai dengan perkembangan sistem ketatanegaraan, baik pada pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Badan Pemeriksa Keuangan; Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23E, Pasal 23F, dan Pasal 23G Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006
1
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA M E M U T U S K A N: Menetapkan :
UNDANG-UNDANG KEUANGAN
TENTANG
BADAN
PEMERIKSA
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Badan Pemeriksa Keuangan, yang selanjutnya disingkat BPK, adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Dewan Perwakilan Rakyat, yang selanjutnya disingkat DPR, adalah Dewan
Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Dewan Perwakilan Daerah, yang selanjutnya disingkat DPD, adalah Dewan
Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 4. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 5. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati/Walikota, dan perangkat daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 6. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya disingkat DPRD, adalah
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 7. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. 8. Pengelolaan Keuangan Negara adalah keseluruhan kegiatan pejabat pengelola
keuangan negara sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban. 9. Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang
dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006
2
pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. 10. Pemeriksa adalah orang yang melaksanakan tugas pemeriksaan pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan negara untuk dan atas nama BPK. 11. Tanggung Jawab Keuangan Negara adalah kewajiban Pemerintah dan
lembaga negara lainnya untuk melaksanakan pengelolaan keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, dan transparan dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. 12. Bendahara adalah setiap orang atau badan yang diberi tugas untuk dan atas
nama negara/daerah, menerima, menyimpan, dan membayar/menyerahkan, uang atau surat berharga atau barang-barang negara/daerah. 13. Standar
Pemeriksaan adalah patokan untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang meliputi standar umum, standar pelaksanaan pemeriksaan, dan standar pelaporan yang wajib dipedomani oleh BPK dan/atau pemeriksa.
14. Hasil Pemeriksaan adalah hasil akhir dari proses penilaian kebenaran,
kepatuhan, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan data/informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan Standar Pemeriksaan,yang dituangkan dalam laporan hasil pemeriksaan sebagai keputusan BPK. 15. Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang,
yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. 16. Ganti Kerugian adalah sejumlah uang atau barang yang dapat dinilai dengan
uang yang harus dikembalikan kepada negara/daerah oleh seseorang atau badan yang telah melakukan perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. 17. Peraturan BPK adalah aturan hukum yang dikeluarkan oleh BPK yang
mengikat secara umum dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
BAB II KEDUDUKAN DAN KEANGGOTAAN Bagian Kesatu Kedudukan Pasal 2 BPK merupakan satu lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006
3
Pasal 3 (1) BPK berkedudukan di Ibukota negara. (2) BPK memiliki perwakilan di setiap provinsi. (3) Pembentukan perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan BPK dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara. Bagian Kedua Keanggotaan Pasal 4 (1) BPK mempunyai 9 (sembilan) orang anggota, yang keanggotaannya diresmikan dengan Keputusan Presiden. (2) Susunan BPK terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota. (3) Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak anggota BPK terpilih diajukan oleh DPR. Pasal 5 (1) Anggota BPK memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. (2) BPK memberitahukan kepada DPR dengan tembusan kepada Presiden tentang akan berakhirnya masa jabatan anggota BPK paling lambat 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan anggota tersebut.
BAB III TUGAS DAN WEWENANG Bagian Kesatu Tugas Pasal 6 (1)
BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.
(2) Pelaksanaan pemeriksaan BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan berdasarkan undang-undang tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. (3)
Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006
4
(4) Dalam hal pemeriksaan dilaksanakan oleh akuntan publik berdasarkan ketentuan undang-undang, laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan. (5)
Dalam melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPK melakukan pembahasan atas temuan pemeriksaan dengan objek yang diperiksa sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan negara.
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan BPK.
BPK
Pasal 7 (1)
BPK menyerahkan hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya.
(2)
DPR, DPD, dan DPRD menindaklanjuti hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan Peraturan Tata Tertib masing-masing lembaga perwakilan.
(3) Penyerahan hasil pemeriksaan BPK kepada DPRD dilakukan oleh Anggota BPK atau pejabat yang ditunjuk. (4) Tata cara penyerahan hasil pemeriksaan BPK kepada DPR, DPD, dan DPRD diatur bersama oleh BPK dengan masing-masing lembaga perwakilan sesuai dengan kewenangannya. (5) Hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang telah diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD dinyatakan terbuka untuk umum. Pasal 8 (1)
Untuk keperluan tindak lanjut hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), BPK menyerahkan pula hasil pemeriksaan secara tertulis kepada Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2)
Tindak lanjut hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis oleh Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota kepada BPK.
(3) Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan paling lama 1 (satu) bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut. (4) Laporan BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006
5
(5)
BPK memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan hasilnya diberitahukan secara tertulis kepada DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemerintah.
Bagian Kedua Wewenang Pasal 9 (1) Dalam melaksanakan tugasnya, BPK berwenang: a. menentukan objek pemeriksaan, merencanakan dan melaksanakan pemeriksaan, menentukan waktu dan metode pemeriksaan serta menyusun dan menyajikan laporan pemeriksaan; b. meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan oleh setiap orang, unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara; c. melakukan pemeriksaan di tempat penyimpanan uang dan barang milik negara, di tempat pelaksanaan kegiatan, pembukuan dan tata usaha keuangan negara, serta pemeriksaan terhadap perhitungan-perhitungan, surat-surat, bukti-bukti, rekening koran, pertanggungjawaban, dan daftar lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara; d. menetapkan jenis dokumen, data, serta informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang wajib disampaikan kepada BPK; e. menetapkan standar pemeriksaan keuangan negara setelah konsultasi dengan Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah yang wajib digunakan dalam pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara; f. menetapkan kode etik pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara; g. menggunakan tenaga ahli dan/atau tenaga pemeriksa di luar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK; h. membina jabatan fungsional Pemeriksa; i. memberi pertimbangan atas Standar Akuntansi Pemerintahan; dan j. memberi pertimbangan atas rancangan sistem pengendalian intern Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah sebelum ditetapkan oleh Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah. (2) Dokumen, data, serta informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang diminta oleh BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d hanya dipergunakan untuk pemeriksaan.
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006
6
Pasal 10 (1)
BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
(2)
Penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.
(3)
Untuk menjamin pelaksanaan pembayaran ganti kerugian, BPK berwenang memantau: a. penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat lain; b. pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah kepada bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara yang telah ditetapkan oleh BPK; dan c. pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(4)
Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberitahukan secara tertulis kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya. Pasal 11
BPK dapat memberikan: a. pendapat kepada DPR, DPD, DPRD, Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah, Lembaga Negara Lain, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, dan lembaga atau badan lain, yang diperlukan karena sifat pekerjaannya; b. pertimbangan atas penyelesaian kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah; dan/atau c. keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah. Pasal 12 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, dan Pasal 11 diatur dengan Peraturan BPK.
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006
7
BAB IV PEMILIHAN DAN PEMBERHENTIAN Bagian Kesatu Pemilihan Anggota Pasal 13 Untuk dapat dipilih sebagai Anggota BPK, calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. warga negara Indonesia; b. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. berdomisili di Indonesia; d. memiliki integritas moral dan kejujuran; e. setia terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; f. berpendidikan paling rendah S1 atau yang setara; g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun atau lebih; h. sehat jasmani dan rohani; i. paling rendah berusia 35 (tiga puluh lima) tahun; j. paling singkat telah 2 (dua) tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelola keuangan negara; dan k. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pasal 14 (1) Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD . (2) Pertimbangan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis yang memuat semua nama calon secara lengkap, dan diserahkan kepada DPR dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya surat permintaan pertimbangan dari Pimpinan DPR. (3) Calon anggota BPK diumumkan oleh DPR kepada publik untuk memperoleh masukan dari masyarakat. (4) DPR memulai proses pemilihan anggota BPK terhitung sejak tanggal diterimanya surat pemberitahuan dari BPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan harus menyelesaikan pemilihan anggota BPK yang baru, paling lama 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Anggota BPK yang lama. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan anggota BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR.
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006
8
Bagian Kedua Pemilihan Pimpinan Pasal 15 (1) Pimpinan BPK terdiri atas seorang ketua dan seorang wakil ketua. (2) Ketua dan Wakil Ketua BPK dipilih dari dan oleh Anggota BPK dalam sidang Anggota BPK dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diresmikannya keanggotaan BPK oleh Presiden. (3) Sidang Anggota BPK untuk pemilihan pimpinan BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipimpin oleh Anggota BPK tertua. (4) Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan secara musyawarah untuk mencapai mufakat, dan apabila mufakat tidak dicapai, pemilihan dilakukan dengan cara pemungutan suara. (5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Ketua dan Wakil Ketua serta pembagian tugas dan wewenang Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota BPK diatur dengan peraturan BPK. Pasal 16
(1)
Anggota BPK sebelum memangku jabatannya wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung.
(2)
Ketua dan Wakil Ketua BPK terpilih wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung.
(3)
Apabila Ketua Mahkamah Agung berhalangan, sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dipandu oleh Wakil Ketua Mahkamah Agung.
(4)
Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berbunyi sebagai berikut: ”Demi Allah Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk menjadi Anggota (Ketua/Wakil Ketua) BPK langsung atau tidak langsung dengan rupa atau dalih apapun tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapapun juga. Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak akan menerima langsung ataupun tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian. Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya akan memenuhi kewajiban Anggota (Ketua/Wakil Ketua) BPK dengan sebaikbaiknya dan dengan penuh rasa tanggung jawab berdasarkan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan lain yang berkenaan dengan tugas dan kewajiban tersebut. Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya akan setia terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006
9
Bagian Ketiga Pemberhentian Pasal 17 Ketua, Wakil Ketua, dan/atau Anggota BPK dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat dari keanggotaan BPK. Pasal 18 Ketua, Wakil Ketua, dan/atau Anggota BPK diberhentikan dengan hormat dari jabatannya dengan keputusan Presiden atas usul BPK karena : a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada Ketua atau Wakil Ketua BPK; c. telah berusia 67 (enam puluh tujuh) tahun; d. telah berakhir masa jabatannya; atau e. sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus atau berhalangan tetap yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. Pasal 19 Ketua, Wakil Ketua, dan/atau Anggota BPK diberhentikan tidak dengan hormat dari keanggotaannya atas usul BPK atau DPR karena: a. dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; b. melanggar kode etik BPK; c. tidak melaksanakan tugas dan kewajibannya selama 1 (satu) bulan berturutturut tanpa alasan yang sah; d. melanggar sumpah atau janji jabatan; e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; atau f. tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota BPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, huruf c, dan huruf e. Pasal 20 (1) Ketua, Wakil Ketua, dan/atau Anggota BPK diberhentikan sementara dari jabatannya oleh BPK melalui Rapat Pleno apabila ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. (2) Ketua, Wakil Ketua, dan/atau Anggota BPK yang terbukti tidak melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berhak mendapatkan rehabilitasi dan diangkat kembali menjadi Ketua, Wakil Ketua, atau Anggota BPK.
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006
10
Pasal 21 (1) Pemberhentian tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, atau huruf f dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Kode Etik BPK. (2) Pemberhentian Ketua, Wakil Ketua, dan/atau Anggota BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diresmikan dengan Keputusan Presiden atas usul BPK atau DPR.
(1)
(2)
(3)
(4) (5)
Pasal 22 Apabila Anggota BPK diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 atau Pasal 19 diadakan pengangkatan penggantian antarwaktu Anggota BPK sesuai dengan syarat-syarat dan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 dan diresmikan dengan Keputusan Presiden. Pengangkatan Anggota BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal pemberhentian Anggota BPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 atau Pasal 19. Sebelum memangku jabatannya, Anggota BPK yang diangkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang pengucapannya dipandu oleh Ketua/Wakil Ketua BPK dengan bunyi sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4). Anggota BPK pengganti melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang digantikannya. Penggantian Anggota BPK antarwaktu tidak dilakukan apabila sisa masa jabatan anggota yang akan diganti kurang dari 6 (enam) bulan dari masa jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1). BAB V HAK KEUANGAN/ADMINISTRATIF DAN PROTOKOLER, TINDAKAN KEPOLISIAN, KEKEBALAN, SERTA LARANGAN Bagian Kesatu Hak Keuangan/Administratif dan Protokoler Pasal 23
Hak keuangan/administratif dan kedudukan protokoler Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota BPK diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua Tindakan Kepolisian Pasal 24
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006
11
Tindakan kepolisian terhadap Anggota BPK guna pemeriksaan suatu perkara dilakukan dengan perintah Jaksa Agung setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis Presiden. Pasal 25 (1) Anggota BPK dapat dikenakan tindakan kepolisian tanpa menunggu perintah Jaksa Agung atau persetujuan tertulis Presiden, apabila : a. tertangkap tangan melakukan suatu tindak pidana; atau b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati. (1) Tindakan kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam waktu 1 X 24 (satu kali dua puluh empat) jam harus dilaporkan kepada Jaksa Agung yang berkewajiban untuk memberitahukan penahanan tersebut kepada Presiden, DPR, dan BPK. Bagian Ketiga Kekebalan Pasal 26 (1) Anggota BPK tidak dapat dituntut di muka pengadilan karena menjalankan tugas, kewajiban, dan wewenangnya menurut undang-undang ini. (2) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, anggota BPK, Pemeriksa, dan pihak lain yang bekerja untuk dan atas nama BPK diberikan perlindungan hukum dan jaminan keamanan oleh instansi yang berwenang. Pasal 27 Dalam hal terjadi gugatan pihak lain dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya, BPK berhak atas bantuan hukum dengan biaya negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Bagian Keempat Larangan Pasal 28 Anggota BPK dilarang : a. memperlambat atau tidak melaporkan hasil pemeriksaan yang mengandung unsur pidana kepada instansi yang berwenang; b. mempergunakan keterangan, bahan, data, informasi, atau dokumen lainnya yang diperolehnya pada waktu melaksanakan tugas yang melampaui batas kewenangannya kecuali untuk kepentingan penyidikan yang terkait dengan dugaan adanya tindak pidana; c. secara langsung maupun tidak langsung menjadi pemilik seluruh, sebagian, atau penjamin badan usaha yang melakukan usaha dengan tujuan untuk mendapatkan laba atau keuntungan atas beban keuangan negara; d. merangkap jabatan dalam lingkungan lembaga negara yang lain, dan badanbadan lain yang mengelola keuangan negara, swasta nasional/asing; dan/atau
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006
12
e. menjadi anggota partai politik.
BAB VI KODE ETIK, KEBEBASAN, KEMANDIRIAN, DAN AKUNTABILITAS Bagian Kesatu Kode Etik Pasal 29 (1)
BPK wajib menyusun kode etik yang berisi norma-norma yang harus dipatuhi oleh setiap anggota BPK dan Pemeriksa selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas BPK.
(2)
Kode etik sebagaimana dimaksud penegakan kode etik dan jenis sanksi.
pada ayat (1) memuat mekanisme
Pasal 30 (1) Untuk menegakkan kode etik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dibentuk Majelis Kehormatan Kode Etik BPK yang keanggotaannya terdiri dari Anggota BPK serta unsur profesi dan akademisi. (2) Majelis Kehormatan Kode Etik dibentuk paling lambat 6 (enam) bulan sejak undang-undang ini berlaku. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai keanggotaan, tugas, wewenang, dan tata cara persidangan Majelis Kehormatan Kode Etik BPK diatur dengan Peraturan BPK.
Bagian Kedua Kebebasan dan Kemandirian Pasal 31 (1) BPK dan/atau Pemeriksa menjalankan tugas pemeriksaan secara bebas dan mandiri. (2) BPK berkewajiban menyusun standar pemeriksaan keuangan negara. (3) Dalam rangka menjaga kebebasan dan kemandirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPK dan/atau Pemeriksa berkewajiban: a. menjalankan pemeriksaan sesuai dengan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara; b. mematuhi kode etik pemeriksa; dan c. melaksanakan sistem pengendalian mutu.
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006
13
(4) Standar pemeriksaan keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut: a. Pemeriksa tidak mempunyai hubungan pertalian darah ke atas, ke bawah, atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan jajaran pimpinan objek pemeriksaan; b. Pemeriksa tidak mempunyai kepentingan keuangan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan objek pemeriksaan; c. Pemeriksa tidak pernah bekerja atau memberikan jasa kepada objek pemeriksaan dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir; d. Pemeriksa tidak mempunyai pemeriksaan; dan
hubungan
kerja
sama
dengan
objek
e. Pemeriksa tidak terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan objek pemeriksaan, seperti memberikan asistensi, jasa konsultansi, pengembangan sistem, menyusun dan/atau mereview laporan keuangan objek pemeriksaan. Bagian Ketiga Akuntabilitas Pasal 32 (1) Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan tahunan BPK dilakukan oleh akuntan publik. (2) Akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk oleh DPR atas usul BPK dan Menteri Keuangan, yang masing-masing mengusulkan 3 (tiga) nama akuntan publik. (3) Akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam 2 (dua) tahun terakhir tidak melakukan tugas untuk dan atas nama BPK atau memberikan jasa kepada BPK. (4) Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan kepada DPR dengan salinan kepada Pemerintah untuk penyusunan laporan keuangan Pemerintah Pusat. Pasal 33 (1) Untuk menjamin mutu pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara oleh BPK sesuai dengan standar, sistem pengendalian mutu BPK ditelaah oleh badan pemeriksa keuangan negara lain yang menjadi anggota organisasi pemeriksa keuangan sedunia . (2) Badan pemeriksa keuangan negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk oleh BPK setelah mendapat pertimbangan DPR.
BAB VII PELAKSANA BPK
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006
14
Pasal 34 (1) BPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dibantu oleh Pelaksana BPK, yang terdiri atas Sekretariat Jenderal, unit pelaksana tugas pemeriksaan, unit pelaksana tugas penunjang, perwakilan, Pemeriksa, dan pejabat lain yang ditetapkan oleh BPK sesuai dengan kebutuhan. (2) Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jabatan fungsional. (3) Dalam melaksanakan tugas pemeriksaan, BPK menggunakan Pemeriksa yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil atau yang bukan Pegawai Negeri Sipil . (4) Ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja Pelaksana BPK serta jabatan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh BPK setelah berkonsultasi dengan Pemerintah.
BAB VIII ANGGARAN Pasal 35 (1) Anggaran BPK dibebankan pada bagian anggaran tersendiri dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. (2) Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh BPK kepada DPR untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN. (3) Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan pada Menteri Keuangan sebagai bahan penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang APBN.
BAB IX KETENTUAN PIDANA Pasal 36 (1) Anggota BPK yang memperlambat atau tidak melaporkan hasil pemeriksaan yang mengandung unsur pidana kepada instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Anggota BPK yang mempergunakan keterangan, bahan, data, informasi dan/ atau dokumen lainnya yang diperolehnya pada waktu melaksanakan tugas BPK dengan melampaui batas wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006
15
BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 37 (1) Ketua, Wakil Ketua, dan/atau Anggota BPK yang ada pada saat UndangUndang ini diundangkan tetap melaksanakan tugas dan wewenangnya sampai dengan masa jabatannya berakhir. (2) Untuk memenuhi kekurangan jumlah keanggotaan BPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dilakukan pemilihan Anggota BPK paling lambat dalam waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. (3) Pembentukan Perwakilan BPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dilakukan secara bertahap dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini diundangkan.
BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 38 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1973 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3010) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 39 Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Pasal 40 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan UndangUndang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 30 Oktober 2006 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006
16
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 Oktober 2006 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd HAMID AWALUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 85
Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Perekonomian dan Industri, ttd M. Sapta Murti, SH, MA, MKn
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006
17
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengalami perubahan yang mendasar diantaranya Pasal 23 ayat (5) mengenai kedudukan dan tugas Badan Pemeriksa Keuangan. Para Pembentuk Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menyadari bahwa pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab Pemerintah tentang keuangan negara merupakan kewajiban yang berat, sehingga perlu dibentuk suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah. Tuntutan reformasi telah menghendaki terwujudnya penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) menuju tata pemerintahan yang baik, mengharuskan perubahan peraturan perundang-undangan dan kelembagaan negara. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan salah satu reformasi atas ketentuan Pasal 23 ayat (5) tentang Badan Pemeriksa Keuangan telah memperkokoh keberadaan dan kedudukan BPK yaitu sebagai satu lembaga negara yang bebas dan mandiri. Kedudukan BPK sebagai lembaga negara pemeriksa keuangan negara perlu dimantapkan disertai dengan memperkuat peran dan kinerjanya. Kemandirian dan kebebasan dari ketergantungan kepada Pemerintah dalam hal kelembagaan, pemeriksaan, dan pelaporan sangat diperlukan oleh BPK agar dapat melaksanakan tugas yang diamanatkan oleh Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penyelenggaraan pemerintahan negara di pusat dan di daerah telah mengalami perubahan antara lain penyelenggaraan otonomi daerah yang disertai penyerahan sebagian besar urusan Pemerintah Pusat kepada Daerah. Selain itu sebagai pelaksanaan Pasal 23C, Pasal 23E, Pasal 23F, dan Pasal 23G Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah ditetapkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang menggantikan sebagian besar ketentuan-ketentuan Undang-Undang Perbendaharaan Indonesia (Indische Comptabiliteitswet/ICW Stbl. 1925 No. 448) dan Instructie en Verdere Bepalingen voor de Algemene Rekenkamer (IAR Stbl. 1933 No. 320). Berdasarkan perubahan-perubahan konstitusi, penyelenggaraan pemerintahan di pusat dan daerah, peraturan perundang-undangan dan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, ketentuan dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan tidak memadai lagi, sehingga perlu dicabut. 1. Pencabutan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 diharapkan mampu
mengakomodasikan dan mendukung perubahan-perubahan meliputi kedudukan, tugas, kewajiban, dan kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan dan menggantikan ketentuan-ketentuan dalam Indische Comptabiliteitswet (ICW), Instructie en verdere bepalingen voor de
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006
18
Algemene Rekenkamer (IAR) Stbl. 1933 No. 320, dan peraturan perundang-undangan lainnya. 2. Untuk
menjamin mutu pemeriksaan sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan negara, sistem pengendalian mutu BPK ditelaah oleh badan pemeriksa keuangan negara lain yang menjadi anggota organisasi badan pemeriksa keuangan sedunia yang ditunjuk oleh BPK atas pertimbangan DPR.
3. Guna menjamin peningkatan peran dan kinerja Badan Pemeriksa
Keuangan sebagai lembaga yang bebas dan mandiri serta memiliki profesionalisme, selain pemilihan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden, juga didukung oleh kemandirian pemeriksaan dan pelaporan. 4. Sejalan dengan perubahan penyelenggaraan pemerintahan negara di
pusat dan daerah, maka terjadi peningkatan pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara. Badan Pemeriksa Keuangan sebagai satu lembaga negara pemeriksa keuangan negara memiliki perwakilan di setiap provinsi. Dengan meningkatnya ruang lingkup pekerjaan, maka jumlah Anggota Badan Pemeriksa Keuangan ditetapkan menjadi 9 (sembilan) orang. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Cukup Jelas Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”keuangan negara” meliputi semua unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur tentang keuangan negara. Yang dimaksud dengan ”lembaga atau badan lain” antara lain: badan hukum milik negara, yayasan yang mendapat fasilitas negara, komisi-komisi yang dibentuk dengan undang-undang, dan badan swasta yang menerima dan/atau mengelola uang negara. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006
19
Ayat (4) Penyampaian laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat ini diperlukan agar BPK dapat melakukan evaluasi pelaksanaan pemeriksaan yang dilakukan oleh akuntan publik. Hasil pemeriksaan akuntan publik dan evaluasi tersebut selanjutnya disampaikan oleh BPK kepada lembaga perwakilan, sehingga dapat ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangannya. Ayat (5) Pembahasan diperlukan untuk mengkonfirmasi dan mengklarifikasi temuan pemeriksaan BPK dengan objek yang diperiksa. Hasil pemeriksaan BPK atas laporan keuangan digunakan oleh pemerintah untuk melakukan koreksi dan penyesuaian yang diperlukan sehingga laporan keuangan yang telah diperiksa (audited financial statement) memuat koreksi itu sebelum disampaikan kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya. Ayat (6) Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan BPK berkaitan dengan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, mempunyai kekuatan hukum yang mengikat pihak-pihak yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenang BPK. Pasal 7 Ayat (1) Hasil pemeriksaan BPK meliputi hasil pemeriksaan atas laporan keuangan, hasil pemeriksaan kinerja, hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu dan ikhtisar pemeriksaan semester. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006
20
Ayat (5) Hasil pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaan dimuat dalam ikhtisar hasil pemeriksaan semester. Pasal 9 Ayat (1) Huruf a Kewenangan dimaksud merupakan perwujudan lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Huruf b Permintaan keterangan dan/atau dokumen dimaksud meliputi semua bidang yang berkaitan dengan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas Huruf f Kode etik memuat pedoman tentang sikap, tingkah laku, dan perbuatan dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai pemeriksa keuangan negara guna menjaga mutu pemeriksaan, citra, dan martabat BPK. Kode etik ini berlaku bagi Anggota BPK, pemeriksa keuangan negara, dan pihak lain yang bekerja untuk dan atas nama BPK. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Yang dimaksud dengan ”Standar Akuntansi Pemerintahan” adalah pedoman dan ukuran tentang pencatatan dan pelaporan berkaitan dengan transaksi keuangan yang disusun oleh suatu komite yang berwenang menurut undang-undang. Huruf j Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 10 Ayat (1)
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006
21
Yang dimaksud ”pengelola” termasuk pegawai perusahaan negara/daerah dan lembaga atau badan lain. Yang dimaksud dengan “Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah” adalah perusahaan negara/daerah yang sebagian besar atau seluruh modalnya dimiliki oleh negara/daerah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan ”pejabat lain” adalah pejabat negara dan pejabat penyelenggara pemerintahan yang tidak berstatus sebagai pejabat negara. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Penyelesaian ganti kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum pihak ketiga dilaksanakan melalui proses peradilan. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 11 Huruf a Pendapat yang diberikan BPK termasuk perbaikan di bidang pendapatan, pengeluaran, pinjaman, privatisasi, likuidasi, merger, akuisisi, penyertaan modal pemerintah, penjaminan pemerintah, dan bidang lain yang berkaitan dengan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas.
Pasal 14 Ayat (1) Dalam memilih anggota BPK, DPR mempertimbangkan kesesuaian dan keseimbangan antara keahlian dan komposisi pembidangan tugas BPK. Ayat (2) Cukup Jelas.
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006
22
Ayat (3) Yang dimaksud dengan ”diumumkan” adalah diumumkan pada media massa nasional dalam tenggang waktu yang cukup untuk menerima masukan dari masyarakat. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Cukup Jelas Ayat (2) Cukup Jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan ”tertua” adalah ditentukan berdasarkan usia. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Huruf b Untuk pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Anggota BPK segera diproses dan dilaporkan ke DPR dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan. Pasal 20 Cukup jelas.
Pasal 21 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”Majelis Kehormatan Kode Etik BPK” adalah Majelis Kehormatan Kode Etik BPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1).
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006
23
Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Yang dimaksud dengan “tindakan kepolisian” adalah pemanggilan sehubungan dengan tindak pidana, meminta keterangan tentang tindak pidana, penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup Jelas Pasal 33 Cukup Jelas Pasal 34 Ayat (1) Guna mendukung prinsip bebas dan mandiri serta efektivitas pelaksanaan tugas dan wewenangnya, maka organisasi dan tata kerja Pelaksana BPK serta jabatan fungsional ditetapkan oleh BPK setelah berkonsultasi dengan Pemerintah. Ayat (2)
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006
24
Jabatan fungsional pemeriksa terdiri atas beberapa jenjang jabatan dan kepangkatan yang memiliki batas usia pensiun yang berbeda. Ayat (3) Rekruitmen Pemeriksa diatur oleh BPK. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 35 Ayat (1) Guna mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan wewenangnya kepada BPK perlu disediakan anggaran yang mencukupi sesuai dengan kemampuan keuangan negara. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 4654
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006
25