MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA TERORISME (Analisis Putusan MA No. 168 PK/PID.SUS/2013)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh : FANNY FAJRIAH NIM : 1110043200028
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H / 2015 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan kebutuhan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukanlah hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Juli 2015 M
Fanny Fajriah NIM : 1110043200033
ii
ABSTRAK FANNY FAJRIAH. NIM 1110043200033. MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA TERORISME (ANALISIS PUTUSAN MA NO. 168 PK/PID.SUS/2013). Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, konsentrasi Perbandingan Hukum, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436H/2015 Maraknya kasus terorisme mau tidak mau membuat kita menyoroti para penegak hukum dalam menangani kasus terorisme itu sendiri. Tindakan para tersangka terorisme memang tidak dapat dibenarkan dalam segi hukum baik segi apapun. Tapi bukan berarti para penegak hukum dapat bertindak sewenangwenang terhadap para tersangka terorisme. Maka penegakan hukum yang tepat sangat diperlukan untuk menyelesaikan kasus terorisme. Dalam penegakannya sering kali aparat penegak hukum, khususnya Detasemen Khusus atau Densus 88 Antiteror melakukan tindakan represif yang membahayakan HAM seseorang. Tindakan Densus 88 ini disinyalir karena mekanisme prosedural yang diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme terlalu longgar, sehingga memberikan peluang terjadinya tindakan represif oleh aparat penegak hukum. Menurut Packer, ia membagi sistem peradilan pidana kedalam dua model, yaitu: Crime control model dan due process model. Dalam Undang-Undang No 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dapat dilihat bahwa kecenderungan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme lebih kepada sistem Crime Control Model, di mana para penegak hukum diberikan kewenangan yang lebih luas serta mekanisme prosedural yang lebih longgar dalam menangani kasus terorisme. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kecenderungan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme. Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif, artinya permasalahan yang ada diteliti berdasarkan peraturan perundang-undangan dan literatur-literatur yang ada kaitanya dengan permasalahan. Kata Kunci
: Model Penegakan Hukum dalam Tindak Pidana Terorime
Pembimbing : Fahmi Muhammad Ahmadi, S. Ag, M.Si. dan Muhammad Ainul Syamu SH., MH Daftar Pustaka: Tahun 1996 sampai Tahun 2012
iii
KATA PENGANTAR
س ِم ه ّللاِ ال َّر ْح َم ِن ال َّر ِح ْي ِم ْ ِب Segala puji dan syukur, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan tuafik dan hidayahNYA, ridho dan ‘inayahNYA kepada penulis, sehingga bisa menyelesaikan penulisan skripsi yang insyallah dengan keridhoanNYA memberi manfaat kepada penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Amin. Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah sampaikan kepada junjungan alam, uswatun hasalan, Nabi besar Muhammad SAW, yang dengan wasilah ilmuilmunya lewat para pengikutnya, kemudian sampai kepada penulis, memberi peranan penting bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Tiada untaian kata yang pantas untuk disenandungkan, selain rasa syukur yang tiada terhingga yang menunjukan betapa Allah telah memberikan rasa kasih dan sayang-NYA kepada penulis dengan memberikan kekuatan fisik, psikis, dan ilmu pengetahuan untuk dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Model Penegakan Hukum Dalam Tindak Pidana Terorisme (Analisis Putusan MA No. 168 PK/PID.SUS/2013). Penulis sangat menyadari selesainya penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan beberapa pihak, baik berupa semangat, tukar pikir maupun berupa financial, sehingga penulisan ini selesai. Adapun penulis, tidak dapat melukiskan dengan untaian kata-kata, ungkapan yang pantas penulis haturkan kepada mereka. Penulis hanya bisa mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat: 1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga menjadi pimpinan yang memberikan teladan dan integritas yang lebih baik. 2.
Dr. Khamami Zada, MA Ketua Prodi Perbandingan Hukum PMH periode 2014-2015, yang telah memberikan pelayanan,kepada penulis. Ibu Siti Hanna, MA Sekertaris Prodi yang sudah membantu yang sudah membantu menyelesaikan penilaian penulis dari awal hingga akhir.
3.
Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi M.Si pimpinan prodi dan sebagai dosen pembimbing dan Bapak Muhammad Ainul Syamsu, SH.MH, yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya disela-sela kesibukannya untuk memberikan bimbingan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini. iv
4.
Pimpinan beserta seluruh staf perpustakaan UIN Syarifhidayatullah Jakarta yang telah memberikan bantuan-bantuan dan pelayanan dalam upaya memenuhi kebutuhan yang berkenaan dengan iteratur untuk penyusunan skripsi ini.
5.
Kedua orang tua tercinta, yang telah mendidik, mengasuh dan membimbing dengan kasih sayang dan senantiasa tak pernah henti melantunkan doa.
6.
Fika Hastia Rany dan Nurwinda Sari yang terus memberikan semangat, keceriaan, pertemanan dan persaudaraan yang luar biasa dari mulai menginjakan kaki di UIN Syarifhidayatullah Jakarta sampai akhirnya skripsi ini selesai.
7.
Rahmi Fitri dan Ramdhani yang sudah merelakan waktunya untuk direpotkan dalam proses penyusunan skripsi ini.
8.
Kepada sahabt PH 2010 Aidz, Wiwin, Ilyas, Tedi, Laka, Muzi, Bambang, Ridwan, Sandi, Ade, Rianzani, Apri, Dayat, Lusi, Rani, Sofa, Fajrin, Bagas, Amel, Ipul, Anjo, Ucup, Fathur, Fathin, Rudi, Berli serta temn-temanku semua yang menjadi guru, teman diskusi, seperjuangan dalam penulisan skripsi, semoga persahabatan ini selalu dalam RidhoNYA dan apa yang dicita-citakan akan tercapai. Amin
Jakarta, Juni 2015
Penulis
v
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN ...........................................................................
I
LEMBAR PERNYATAAN ...........................................................................
II
ABSTRAK ......................................................................................................
III
KATA PENGANTAR ....................................................................................
IV
DAFTAR ISI ...................................................................................................
VI
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..........................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................................
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...............................................
7
D. Review (Kajian) Studi Terdahulu ...........................................
8
E. Metode Penelitian....................................................................
9
F. Sistematika Penulisan ..............................................................
11
LANDASAN TEORI ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH, DUE PROCES MODEL, CRIME CONTROL MODEL, PROSES DAN PROSEDUR
BAB III
A. Asas Praduga Tidak Bersalah dalam KUHAP ........................
13
B. Asas Praduga Tidak Bersalah dalam Islam .............................
20
C. Definisi Proses dan Prosedur...................................................
22
D. Due Process Model dan Crime Control Model .......................
24
1. Due Process Model............................................................
24
2. Crime Control Model ........................................................
27
MODEL PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA TERORISME DALAM UNDANG-UNDANG NO. 15 TAHUN 2003 A. Model Penegakan Hukum dalam Tahap Penyelidikan dan Penyidikan ........................................................................
vi
30
B. Model Penegakan Hukum dalam Tahap Penuntutan ..............
47
C. Model Penegakan Hukum dalam Tahap Pemeriksaan Pengadilan49
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TENTANG PERKARA PIDANA TERORISME A. Dakwaan Perkara Tindak Pidana Terorisme (Putusan MA
BAB V
No. 168 PK/PID.SUS/2013)....................................................
56
B. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perkara .................
60
C. Analisis Hukum Positif ...........................................................
66
D. Analisis Hukum Islam ............................................................
68
PENUTUP A. Kesimpulan..............................................................................
71
B. Saran ........................................................................................
75
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
76
vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Beberapa tahun belakangan ini tindak pidana terorisme di Indonesia semakin menjamur dan telah mengusik ketentraman bangsa dengan serangkaian pengeboman yang terjadi sejak malam Natal tahun 2000 secara berturut-turut di beberapa wilayah. Terorisme dalam skala nasional tersebut hanya terhenti oleh keberhasilan 8 (delapan) tahun operasi intelejen antiteror Negara RI, yang tuntas dilaksanakan pada tahun 2008 secara gemilang oleh Satgas Anti Teror Polri dengan Densus 88 nya di berbagai daerah. 1 Perang melawan terorisme adalah perang melawan kejahatan, karena itu logikanya termasuk menegakan hukum. Dalam peraktik, menggunakan hukum untuk mengukuhkan kepentingan, terkait dengan budaya penguasa yang memerintah. Semakin halus budaya yang dianut penguasa, tapi semakin totaliter, hukum biasanya diagung-agungkan. Namun, tidak untuk ditegakan, melainkan hanya digunakan, sehingga berkembang berbagai bentuk diskriminasi.2 Maraknya kasus terorisme mau tidak mau membuat kita menyoroti para penegak hukum dalam menangani kasus terorisme itu sendiri. Tindakan para tersangka terorisme memang tidak dapat dibenarkan dalam segi hukum baik 1
A.M Hendropriyono, Terorisme – Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, cet. Pertama 2009), h. 16. 2
Tb. Rony Rahman Nitibaskara, Tegakan Hukum Gunakan Hukum, (Jakarta: Kompas, 2007), h. x.
1
2
segi apapun. Tapi bukan berarti para penegak hukum dapat bertindak sewenang-wenang terhadap para tersangka terorisme. Maka penegakan hukum yang tepat sangat diperlukan untuk menyelesaikan kasus terorisme. Antara prilaku menegakan hukum dengan menggunakan hukum sulit dibedakan. Kebetulan, keduanya memang saling melengkapi. Menegakan hukum tanpa menggunakan hukum dapat melahirkan tindakan sewenangwenang. Sebaliknya, bila menggunakan hukum tanpa berniat menegakan hukum, dapat menimbulkan ketidakadilan, bahkan dapat membawa keadaan seperti tanpa hukum.3 Tindak pidana terorisme memang merupakan tindak pidana khusus yang telah memiliki Undang-Undang sendiri yang diatur dalam UndangUndang No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Namun pada dasasarnya hukum acara yang berlaku dalam penanganan tindak pidana terorisme tetap berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kecuali ditentukan lain dalam UU pemberantasan tindak pidana terorisme.4 Dalam penegakannya sering kali aparat penegak hukum, khususnya Detasemen Khusus atau Densus 88 Antiteror melakukan tindakan represif yang membahayakan HAM seseorang. Dalam operasi, banyak dilakukan kekerasan bahkan penembakan mati kepada orang yang disangka atau bahkan baru diduga melakukan tindak pidana terorisme. Mabes Polri melansir bahwa
3
4
h. 153.
Tb. Rony Rahman Nitibaskara, Tegakan Hukum Gunakan Hukum, h. XI. Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, (Yogyakarta: Graha Ilmu, cet. Pertama 2012),
3
hingga september 2010 tercatat 44 tersangka terorisme ditembak mati. Tindakan Densus 88 ini disinyalir karena mekanisme prosedural yang diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme terlalu longgar, sehingga memberikan peluang terjadinya tindakan represif oleh aparat penegak hukum.5 Penegakan hukum sendiri menurut Prof. Jimly Asshiddiqie dalam tulisannya yang berjudul Penegakan Hukum memiliki arti jika dilihat dari sudut subjektif secara sempit penegakan hukum itu diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Masih menurut Prof Jimly Asshiddiqie dengan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.6 Sekalipun secara normatif sudah diatur, namun di dalam pelaksanannya, hak-hak tersangka ini seringkali dilanggar oleh penyidik. Diantaranya masih sering di dengar berita tentang penggunaan kekerasaan oleh oknum penyidik untuk mendapatkan pengakuan tersangka. Tindakan tersebut bertentangan 5
6
Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, h. 8. www.jimly.com
4
dengan ketentuan pasal 52 KUHAP yang mengatakan bahwa dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan peradilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.7 Padahal Indonesia sendiri secara landasan yuridis menegaskan bahwa Negara
Indonesia
berdasarkan
hukum
dan
bukan
berdasarkan
kekuasaan.Salah satu prinsip utama Negara hukum sendiri adalah adanya perlindungan Negara terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Kedudukan tersangka dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, berdasarkan KUHAP, secara legal mendapatkan pengakuan hak-haknya sebagaimana dimuat dalam Pasal 50 sampai Pasal 68 KUHAP. Ketentuan hak-hak ini tidak ditemukan pada hukum pidana lama (HIR).8 KUHAP juga telah mengangkat dan menetapkan tersangka atau terdakwa dalam kedudukan yang berderajat, sebagai makhluk Tuhan yang memiliki harkat dan derajat kemanusian yang utuh. Sudah seharusnya hukum ditegakan namun dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap tersangka atau terdakwa tindak pidana terorisme tidak boleh mengabaikan Hak Asasi yang melekat pada diri tersangka. Hak Asasi Manusia yang tidak boleh diabaikan dalam KUHAP, salah satunya adalah asas praduga tidak bersalah (presumption of inocent). Dimana setiap orang harus diaggap tidak bersalah sebagai hak asasi yang melekat pada diri setiap tersangka atau terdakwa. Hak
7
Prija Djatmika, Slekta Kapita Penegakan Hukum, (Jakarta: Prestasi Pustaka, cet. Pertama 2006), h. 83. 8
Prija Djatmika, Slekta Kapita Penegakan Hukum, , h. 84.
5
asasi inilah yang menjadi salah satu prinsip dalam penegakan hukum yang diamanatkan KUHAP.9 Penggunaan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dalam hukum pidana karenanya merupakan konsep pemikiran untuk mendesain dan mengimplementasikan hukum dengan pangkal tolak anggapan, seperti yang dikemukakan Friedmann, bahwa “pengadilanlah tempat memisahkan orang bersalah dari yang tidak bersalah” Sebelum pengadilan menyatakan demikian, seluruh proses (pengurangan dan pembatasan kebebasan asasi) dan prosedur (perlindungan kebebasan asasi) dalam hukum pidana didedikasikan untuk “mengambil jarak sejauh mungkin dengan anggapan bahwa seseorang telah bersalah kecuali dapat dibuktikan sebaliknya” (presumption of guilty).10 Dengan asas praduga tidak bersalah yang dianut KUHAP, memberi pedoman kepada aparat penegak hukum untuk mempergunakan prinsip akusatur dimana kedudukan tersangka dalam setiap tingkat pemeriksaan sebagai subjek bukan sebagai objek dalam pemeriksaan. Objek dari pemeriksaan adalah kesalahan atau tindak pidana. Itu artinya tersangka tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang. Ketika membicarakan Asas praduga tidak bersalah maka akan sangat erat berkaitan dengan Due Process of Law. Menurut Packer, ia membagi sistem peradilan pidana kedalam dua model,
9
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan) (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Kesebelas 2009), h. 1. 10
Chairul Huda, 2010. “Makna Asas Praduga Tak Bersalah dan Pemakainnya dalam Praktek Pers”, Jurnal Dewan Pers Edisi No. 2, h. 34.
6
yaitu: Crime control model dan due process model.11 Meskipun di Indonesia telah memiliki banyak regulasi tentang kedudukan dan perlindungan hak-hak terhadap tersangka, tapi tidak bisa kita pungkiri banyak pelanggaran dan penyalahgunaan wewenang masih kerap dilakukan oleh aparat dalam menegakan hukum terhadap tindak pidana terorisme. Banyaknya pelanggaran dalam penegakan hukum terhadap tersangka terorisme di Indonesia menimbul ketertarikan penulis untuk mengkaji tentang kecenderungan para penegak hukum dalam menangani kasus terorisme.Maka penulis tertarik untuk menuliskannya menjadi sebuah skripsi dengan judul “MODEL
PENEGAKAN
HUKUM
DALAM
TINDAK PIDANA
TERORISME (Analisis Putusan MA No. 168 PK/PID.SUS/2013)”
B. PEMBATASAN DAN RUMUSAN MASALAH 1.
Pembatasan Masalah Dalam penelitian ini, penulis memberikan batasan masalah hanya pada model penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme pada setiap proses pemeriksaan dalam Undang-undang No 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pembatasann ini dilakukan untuk lebih fokus dan mempermudah penulis dalam penelitian ini, juga untuk menghindari perluasan pembahasan yang tidak ada sangkut pautnya dengan masalah yang akan diteliti.
11
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet. Kedua 2010), h. 11.
7
2.
Perumusan Masalah Agar penelitian ini berjalan dengan sistematis, maka perlu dibuat perumusan masalah sebagai berikut: a.
Bagaimana model penegakan hukum dalam tindak pidana terorisme?
b.
Bagaimana penerapan asas praduga tidak bersalah terhadap tersangka kasus tindak pidana terorisme?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Berdasarkan penjabaran dalam latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan dan manfaat penelitian ini adalah: 1.
Tujuan Penelitian a.
Untuk mengetahui model penegakan hukum dalam tindak pidana terorisme.
b.
Untuk mengetahui penerapan asas praduga tidak bersalah terhadap tersangka tindak pidana terorisme.
2.
Manfaat Penelitian a.
Manfaat Teoritis Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi, kontribusi pemikiran dalam menambah wawasan pengetahuan untuk menjawab permasalahan-permasalahan dan menjadi acuan literatur
seputar
model
penegakan
hukum
dalam
pidana
terorisme.Sehingga skripsi ini dapat memperkaya pembendaharaan dan menjadi kajian ilmiah bagi para perbandingan hukum maupun
8
praktisi hukum dalam perkembangan hukum di Indonesia. b. Manfaat Praktis Manfaat penelitian ini secara praktis atau dalam praktiknya akan dapat digunakan sebagai acuan mengenai kecenderungan penegak hukum dalam menerapkan hak tersangka atau terdakwa tindak pidana terorisme. c.
Manfaat Akademis Penelitian ini merupakan syarat untuk meraih gelar Sarjana Syariah dalam progam studi Perbandingan Hukum di Universitas Islam Negri.
D. Review (kajian) Studi Terdahulu Penulis membaca hasil penelitian yang kiranya berkaitan dengan judul dan tema yang penulis angkat untuk dijadikan penelitian. Dari beberapa hasil penelitian yang telah penulis baca maka ada beberapa yang penulis anggap bisa dijadikan review (kajian) antara lain: 1.
Dalam skripsi yang berjudul “Hak dan Kewajiban Pelaku Tindak Pidana” yang ditulis oleh Faizah program studi Jinayah Syasah tahun 2007.
2.
Buku Perlindungan HakTersangka, Terdakwa dan Korban Tindak Pidana Terorisme dalam Sistem Peradilan Pidana yang ditulis oleh Soeharto. Dari studi terdahulu yang telah penulis baca, tulisan tersebut membahas
masalah hak tersangka tindak pidana. Tetapi penulis mempunyai judul dan isi
9
yang jelas berbeda dengan studi review yang telah dibaca oleh penulis sebelumnya. Penulis mencoba meneliti bagaimana model penegak hukum dalam tindak pidana terorisme.
E. Metode Penelitian 1.
Jenis Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan normatif, artinya permasalahan yang ada diteliti berdasarkan peraturan perundang-undangan dan literatur-literatur yang ada kaitannya dengan permasalahan.12 Penelitian hukum normatif sendiri mencakup:13
2.
a.
Penelitian terhadap asas-asas hukum
b.
Penelitian terhadap sistematika hukum
c.
Penelitian terhadap sinkronisasi hukum
d.
Penelitian sejarah hukum
e.
Penelitian perbandingan hukum
Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini dibagi menjadi beberapa bahan hukum yang terdiri dari: a.
Data Primer Data
primer
adalah
bahan-bahan
hukum
yang
12
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h. 43. 13
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2008), h. 51.
10
mengikat.14Bahan hukum yang digunakan adalah undang-undang yang diterapkan atau berlaku di Indonesia yang berkaitan dengan masalah yang penulis kaji. b.
Data Sekunder Data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yaitu berupa literatur-literatur.
c.
Data Tersier Data tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier yang digunakan adalah:
3.
Kamus hukum
Kamus Bahasa Indonesia
Metode Pengumpulan Data Penulisan ini dilakukan dengan studi pustaka yaitu dengan cara membaca buku-buku dan mempelajari literatur-literatur yang selanjutnya diolah dan dirumusankan secara sistematis sesuai dengan masing-masing pokok bahasannya.
4.
Metode Pengolahan dan Analisis Data Analisis data dalam penulisan skripsi ini menggunakanmetode analisis kualitatif, dalam hal ini mengkaji secara mendalam bahan hukum yang ada kemudian digabungkan dengan bahan hukum yang lain, lalu 14
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2008), h,52.
11
dipadukan. 5.
Metode Penulisan Adapun metode penulisan skripsi ini berdasarkan pada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan bertujuan agar penulisan ini dapat terarah dan sistematis, sehingga dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi menjadi 5 (lima) bab yaitu sebagai berikut: Bab Pertama : pendahuluan, dalam bab ini penulis membagi menjadi 6 (enam) sub bab, yaitu: latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi review, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab Kedua
: tinjauan pustaka tentang due process model, crime
control model dan Asas praduga tidak bersalah, yang di dalamnya terdiri dari pengertian asas praduga tidak bersalah, menurut islam, pengertian asas praduga tidak bersalah menurut KUHAP, proses dan prosedur. Bab ketiga: kecenderungan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme dalam UU terorisme, yang terdiri dari: kecenderungan penegakan hukum dalam tahappenyelidikan dan penyidikan, kecenderungan penegakan hukum dalam tahap penuntutan, kecenderungan penegak hukum dalam tahap pemeriksaan pengadilan.
12
Bab
keempat:
analisis
putusan
Mahkamah
Agung
tentang
kecenderungan penegakan hukum terhadap peaku tindak pidana terorisme. Bab kelima: kesimpulan dan saran.
BAB II LANDASAN TEORI ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH, DUE PROCESS MODEL, CRIME CONTROL MODEL, PROSES DAN PROSEDUR
A. Asas Praduga tidak bersalah dalam KUHAP Mengenai asas praduga tidak bersalah, dalam deklarasi European Convention on Human Right mengatakan bahwa: “Setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana harus dianggap tidak bersalah, sampai terbukti bersalah menurut hukum”. Artinya Asas praduga tidak bersalah memberikan petunjuk untuk memperlakukan tersangka atau terdakwa sebelum dan selama persidangan, dengan menghormati mereka dengan cara menganggap mereka tidak bersalah sebelum ada putusan hukum tetap yang menganggap mereka bersalah.1 Ketika membicarakan praduga tidak bersalah maka tidak bisa dipungkiri akan berkaitan dengan praduga bersalah. Banyak presepsi yang keliru mengenai dua hal tersebut. Menurut Herbert L Packer, terjadi kesalahan ketika, kita berpikir bahwa praduga bersalah merupakan kebalikan dari praduga tidak bersalah. Sebenarnya praduga tidak bersalah tidak berlawanan dan tidak relevan dengan praduga bersalah, karena keduanya merupakan dua konsep yang berbeda. Perbedaan itu bisa dilihat dari contoh, ketika ada kasus pembunuhan, di mana si pembunuh telah melakukan 1
Andrew Ashworth Q.C., Human Rights, Serious Crimeand Criminal Procedure, (The Hamlyn Trust , 2002), h. 26.
13
14
penembakan dan disaksikan beberapa saksi mata dan saksi mengatakan bahwa dialah seorang pembunuh, maka itu merupakan praduga bersalah. Sedangkan praduga tidak bersalah berlaku pada setiap tahap pemeriksaan yang diwujudkan dalam perlidungan hak. Artinya sebelum sampai telah terjadi putusan bersalah oleh pengadilan, tersangka harus diberlakukan berdasakan asas praduga tidak bersalah untuk alasan apapun.2 Praduga tidak bersalah merupakan petunjuk bagi pejabat atau penegak hukum, bagaimana mereka melanjutkan proses selanjutnya, bukan
hasil
prediksi atau perkiraan semata. Namun praduga bersalah, bersumber dar hasil prediksi. Kemudian praduga tidak bersalah memberi petunjuk bagi penegak hukum
yang berwenang agar menghapus praduga bersalah dalam
memperlakukan tersangka. Harus diingat adalah ketika praduga bersalah bersifat deskriptif dan factual, maka praduga tidak bersalah bersifat normative dan hukum.3 Friedmann mengemukakan, bahwa pengadilanlah tempat memisahkan orang bersalah dengan orang yang tidak bersalah. Artinya, sebelum pengadilan menyatakan bersalah, tidak boleh menganggap seseorang bersalah, kecuali telah dibuktikan sebaliknya. Friedmann juga mengatakan bahwa asas praduga tidak bersalah yang menjadi bagian dari due process of law sudah melembaga dalam proses peradilan dan kini telah melembaga pula
2
Herbert Packer, The Limits of Criminal Sanction, hlm. 161.
3
Herbert Packer, The Limits of Criminal Sanction, hlm. 161.
15
dalam kehidupan sosial.4 Asas pokok yang menjadi payung perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa adalah asas “praduga tidak bersalah”. Asas praduga tidak bersalah merupakan asas yang menghendaki agar setiap orang yang terlibat dalam perkara pidana harus dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahan itu. Asas ini harus dipatuhi oleh penegak hukum baik dalam proses penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan di pengadilan. Jaminan atas hak ini terdapat dalam pasal 8 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.5 Asas praduga tidak bersalah dijumpai dalam penjelasan umum KUHAP butir 3 huruf c. Dengan dicantumkan praduga tidak bersalah dalam KUHAP, dapat disimpulkan pembuat undang-undang telah menetapkannya sebagai asas hukum yang melandasi KUHAP dan penegakan hukum. Asas praduga tidak bersalah ditinjau dari segi teknis yuridis ataupun segi teknis penyidikan dinamakan “prinsip akuisatur”. Prinsip akusatur menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan sebagai subjek pemeriksaan, bukan sebagai objek pemeriksaan, dimana tersangka atau terdakwa diperlakukan sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat. 4
Chairul Huda, 2010. “Makna Asas Praduga Tak Bersalah dan Pemakainnya dalam Praktek Pers”, Jurnal Dewan Pers Edisi No. 2, h. 34. 5
h. 45.
Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, (Yogyakarta: Graha Ilmu, cet. Pertama 2012),
16
Sementara yang menjadi objek pemeriksaan adalah kesalahan atau tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa.6 Dalam sejarahnya, asas praduga tidak bersalah lahir pada abad XI, yang awalnya menjadi persyaratan utama penyelenggaraan criminal justice system dalam common law, yang bersumber pada ideologi individualistik-liberalistik. Sebagai implementasi dari proses pidana yang dilakukan penegak hukum ditandai dengan sejumlah instrument yang bertujuan untuk memastikan subjek pemeriksaan memperoleh hak-haknya, sehingga tetap menjaga hak seseorang untuk dianggap tidak bersalah sampai pengadilan membuktikan sebaliknya. Menurut Mien Rukmini, tujuan dari proses pengadilan sendiri adalah untuk melindungi orang yang tidak bersalah dari vonis putusan yang tidak adil.7
Dengan asas praduga tidak bersalah yang dianut KUHAP, memberi pedoman kepada aparat penegak hukum untuk mempergunakan prinsip akusatur dalam setiap pemeriksaan. Aparat penegak hukum menjauhkan diri dari
cara-cara
pemeriksaan
tersangka/terdakwa
dalam
yang
“inkuisitur”
pemeriksaan
sebagai
yang objek
menempatkan yang
dapat
diperlakukan dengan sewenang-wenang.8 Hukum acara pidana dapat berpengaruh terhadap perlindungan HAM dalam penegakan hukum pidana, terutama terhadap tersangka/terdakwa. Oleh 6
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan) (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Kesebelas 2009), h. 40. 7
Chairul Huda, 2010. “Makna Asas Praduga Tak Bersalah dan Pemakainnya dalam Praktek Pers”, Jurnal Dewan Pers Edisi No. 2, h. 35. 8
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan) (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Kesebelas 2009), h. 41.
17
karena itu, hukum acara pidana harus mencerminkan perlindungan terhadap HAM
tersangka/terdakwa.
Ide
perlindungan
terhadap
HAM
tersangka/terdakwa merupakan sumbangan dari pemikiran HAM yang terdapat dalam The International Bill of Human Rights.9 Perlindungan HAM tersangka/terdakwa mengenai asas praduga tidak bersalah juga diatur dalam Pasal 18 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dalam pasal tersebut dijelaskan Hak untuk dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan10. Lahirnya UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang berlaku mulai tanggal 31 Desember 1981 memberikan nuansa yang berbeda terhadap hukum acara pidana di Indonesia. Keberadaan KUHAP telah mengangkat dan menempatkan tersangka/terdakwa dalam kedudukan sebagai makhluk Tuhan yang memiliki harkat derajat kemanusiaan yang utuh. Tersangka/terdakwa harus diperlakukan dengan nilai-nilai luhur kemanusian.Pada prinsipnya hukum harus ditegakan, namun tidak boleh dengan mengabaikan hak asasi yang melekat pada tersangka/terdakwa. Hak-hak asasi utama yang diatur dalam KUHAP terhadap pribadi tersangka/terdakwa, antara lain:11 a) Persamaan hak dan kedudukan serta kewajiban di hadapan hukum. b) Harus diangap tidak bersalah sebelum dinyatakn oleh keputusan
9
Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, (Yogyakarta: Graha Ilmu, cet. Pertama 2012),
h. 45. 10
Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, h. 49.
11
Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, h. 49.
18
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. c) Penangkapan atau penahan didasarkan atas nukti permulaan yang cukup. d) Hak menyiapkan pembelaan sejak dini. Dalam pasal 11 (1) the Universal Declaration of Human Rights of 1948 dijelaskan bahwa setiap orang yang dituduh dengan suatu tindak pidana memiliki hak untuk dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum dalam peradilan yang terbuka dimana dia memiliki semua jaminan yang diperlukan untuk pembelaannya. 12 Ketika membicarakan asas praduga tidak bersalah untuk menjamin hak tersangaka akan berkaitan erat dengan sistem pembuktian dalam kasus kejahatan. Prinsip umum tentang pembuktian dinyatakan dalam hukum Inggris dan diadopsi dalam hukum Hak Asasi Manusia Eropa: “Penuntut umum harus menanggung beban pembuktian bahwa terdakwa bersalah dan pembuktian kesalahan dengan standar tanpa keraguan.” Artinya terdakwa memiliki hak untuk meletakan beban pembuktian pada penuntut umum .13 Dalam putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat, menegaskan bahwa: “Pemerintah tidak bisa menghukum kesalahan warganya dari tindak pidana tanpa meyakinkan temuan fakta yang tepat ke dalam kesalahannya.” Maka dapat dikatakan bahwa telah menempatkan praduga tidak bersalah dalam konteks sebagai harapan warga negara tentang bagaimana Negara 12
Topo Santoso, Menggas Hukum Pidana Islam – Penerapan Syariat Islam Dalam Konteks Moderenitas (Bandung: Asy Syamamil dan Grafika, cet kedua 2001), h. 95. 13
Andrew Ashworth Q.C., Human Rights, Serious Crimeand Criminal Procedure, (The Hamlyn Trust , 2002), h. 27.
19
harus memperlakukan setiap warganya. 14 Mahkamah Agung Amerika Serikat juga mengatakan “Hukuman yang tidak sengaja untuk orang yang tidak bersalah adalah kejahatan lebih besar daripada pembebasan yang tidak disengaja pada orang yang bersalah.” Meskipun sistem peradilan pidana harus menghapuskan kesalahan dari keduanya. Dibutuhkan upaya yang lebih besar untuk menghindari dari ketidakadilan, terutama untuk menghindari hukuman yang salah bagi warga Negara yang tidak bersalah.15 Banyak
perdebatan
yang
muncul
mengenai
tanggung
jawab
pembuktian. Ada yang mendukung dari sistem di mana menggabungkan praduga bersalah dibebankan kepada setiap orang yang melakukan pelanggaran, di mana membutuhkan tersangka untuk membuktikan kesalahanya. Beberapa yang lainnya berpendapat, seharusnya hanya jaksa atau penutut umum yang dibebani pembuktian kesalahan dengan standar tanpa keraguan.Dan ada juga yang menerima kebijkan pembuktian tanpa keraguan dibebankan kepada penuntut umum, tetapi beban pembuktian juga dapat dialihkan pada terdakwa dalam beberapa jenis kasus.Pendapat tersebut didukung oleh anggota parlemen dan hakim. Bertahun-tahun hukum pidana telah mengatur pembuktian terbalik. Contohnya di mana menempatkan terdakwa dibebani pembuktian pada saat pembelaan.16
14
Andrew Ashworth Q.C., Human Rights, Serious Crimeand Criminal Procedure, h. 28.
15
Andrew Ashworth Q.C., Human Rights, Serious Crimeand Criminal Procedure, h. 28.
16
Andrew Ashworth Q.C., Human Rights, Serious Crimeand Criminal Procedure, h. 32.
20
B. Asas Praduga Tidak Bersalah dalam Islam Dalam hukum Islam, asas praduga tidak bersalah merupakan konskeunsi yang tidak dapat dihindari dari asas legalitas. Menurut asas praduga tidak bersalah, semua perbuatan (kecuali ibadah khusus) dianggap boleh kecuali dinyatakan sebaliknya oleh suatu nash hukum. Selanjutnya, setiap orang dianggap tidak bersalah untuk suatu perbuatan jahat kecuali dibuktikan kesalahannya pada suatu kejahatan tanpa ada keraguan, jika suatu keraguan yang beralasan muncul, seorang tertuduh harus dibebaskan. Konsep terhadap asas praduga tidak bersalah telah diletakan dalam hukum islam jauh sebelum dikenal dalam hukum-hukum pidana positif.17 Empat belas abad yang lalu Nabi Muhammad bersabda:18
: ﻗاﻞ رﺴﻮﻞهللا ﺻﻠﻰهللاعﻠﻴﻪ ﻮﺴﻠﻢ: وعﻦ عائشة رضي هللا عﻧﻬاﻗاﻠﺖ , ﻔﺨﻟﻮﺍﺴﺒﻴﻟﻪ. ﻔا ﻥﻜاﻥ ﻟﻪ ﻤﺨرج,ﺍﺩﺮﻮﻮﺍﺍﻠﺤﺩﻮﺩعﻦﺍﻠﻣﺴﻠﻣﻴﻦ ﻣاﺍﺴﺗﻂﻌﺗﻢ ﻓﺈﻦﺍﻻﻣاﻢﺇﻦ ﻴﺨﻄﺊ ﻓي ﻟﻌﻔﻮخىﺮﻣﻦ ﺍﻥ ىﺨﻄﺊ ﻓيﺍﻠﻌﻘﻮﺒة ﻘاﻞﻮﻗﺪرﻮﻯعﻦﻏﻴرﻮﺍﺤﺪﻣﻦ.ﻮﺍﻨﻪﻮﻗﻑﺻﺢ.ﻮﺬﮐرﺍﻨﻪﻘﺪرﻮﻯﻤﻮﻗﻮﻔا.(رﻮﺍﻩﺍﻠﺘرﻤﺬﻯ )ﺍﻠﺼﺤاﺒة رضيهللاعﻧﻬﻡﺍﻨﻬﻡﻗاﻠﻮﺍﻤﺜﻞ ﺬﺍﻠﻚ Dan dari Aisyah ra, ia berkata Rasulullah bersabda, “Tolaklah hukuman terhadap kaum muslimin selama kamu bisa. Maka jika ada jalan keluar, lepaskanlah dia, sebab seorang imam itu jika keliru dalam memberikan ampunan adalah lebih baik daripada keliru memberikan hukuman.” (HR Tirmidzi. Disebutkan juga, bahwa hadist itu diriwayatkan secara mauquf, sedang kemauqufannya itulah yang lebih sah.Tirmidzi juga berkata, hadist ini diriwayatkan bukan hanya dari seorang sahabat dan semuanya mengatakan seperti itu). Berkaitan erat dengan asas praduga tidak bersalah adalah batalnya hukum karena adanya keraguan. Dalam hadist yang lain dijelaskan bahwa 17
Topo Santoso, Menggasa Hukum Pidana Islam – Penerapan Syariat Islam Dalam Konteks Moderenitas (Bandung: Asy Syamamil dan Grafika, cet kedua 2001), h. 120. 18
Mu’ammal Hamidy, Imron Am, Umar Fanany, Terjemahan Najlul Authar Jilid 6 Himpunan Hadist-hadist Hukum (Surabaya: PT Bina Ilmu, cet keempat 2005), h. 2600.
21
“Hindarkan hudud dalam keadaan ragu, lebih baik salah dalam membebaskan daripada salah dalam menghukum.”19 Contoh sederhana yang begitu nampak dari pelaksanaan asas praduga tidak bersalah adalah dalam perkara tuduhan zina. Seseorang yang dituduh zina oleh orang lain tidak dianggap ia telah berzina, kecuali apabila si penuduh berhasil membuktikannya dengan bukti yang meyakinkan. Bukti yang harus dihadirkan adalah berupa kesaksian empat orang, tidak kurang. Bilamana si penuduh tidak bisa membuktikannya, maka ia akan diberikan sanksi karena telah menuduh orang lain melakukan perbuatan zina, sedangkan ia tidak bisa membuktikannya. 20 Allah berfirman dalam surat An-nuur ayat 4: Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamannya.Mereka itulah orang-orang yang fasik. Dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum islam meletakan asas praduga tidak bersalah sebagai landasan dari aturan-aturan pidana substantive dan prosedural. Sebagai konsekuensi yang tidak terpisah, keraguan yang belum dapat dihilangkan harus menjadi keuntungan terdakwa, bukan merugikannya.
19
Topo Santoso, Menggasa Hukum Pidana Islam – Penerapan Syariat Islam Dalam Konteks Moderenitas (Bandung: Asy Syamamil dan Grafika, cet kedua 2001), h. 121. 20
Asadulloh Al Faruq, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam (Jakarta: Ghalia Indonesa, cet. Pertama 2009), h. 9.
22
Dengan demikian keraguan itu dapat menjadi dasar bagi putusan bebas dan tidak dapat menjadi dasar bagi terbuktinya kejahatan, karena penghukuman harus didasarkan pada ketegasan dan keyakinan.21
C. Proses dan Prosedur Menurut Prof. Roeslan Saleh dalam bukunya yang berjudul Dari Lembaran Keputusan Hukum Pidana, mengatakan bahwa proses adalah di mana kejadian yang menyebabkan kebebasan individual menjadi hilang atau dapat dikatakan bahwa proses merupakan pembatasan kebebasan sesorang untuk sementara waktu. Sedangkan prosedur sendiri memiliki arti dari beberapa asas yang dilahirkan untuk menghalangi kecendrungan yang bersifat membatasi kebebasan. Artinya, dalam proses ada fungsi dan faktor yang cendrung untuk tidak memberikan kebebasan pada tersangka, sedangkan dalam prosedur terdapat fungsi dan faktor yang ditujukan untuk melindungi kebebasan tersangka.22 Proses pidana menurut Harbet L Packer adalah istilah yang singkat tapi lengkap yang berdiri dari semua kompleks aktivitas yang beroperasi untuk membawa hukum substantive kepada orang yang diduga melakukan kejahatan. Mahkamah Agung Amerika Serikat telah memasukan aturan dari proses pidana. Sebenarnya kita akan dihadapkan paradoks yang menarik dari proses pidana ini, di mana semakin banyak kita belajar tentang proses pidana, 21
Topo Santoso, Menggasa Hukum Pidana Islam – Penerapan Syariat Islam Dalam Konteks Moderenitas (Bandung: Asy Syamamil dan Grafika, cet kedua 2001), h. 129. 22
149.
Roeslan Saleh, Dari Lembaran Keputusan Hukum Pidana (Jakarta: Sinar Grafika), h.
23
kita semakin diperintahkan bagaimana seharusnya bertindak (prosedur) dan semakin terlihat jurang pemisah diantara keduanya. 23 Pada mulanya prosedur dan proses itu terpisah. Di mana proses dalam suasana ketidakbebasan, sedangkan prosedur dalam suasana bebas. Proses pada dasarnya ditentukan secara sepihak oleh kebutuhan-kebutuhan yang bersifat fungsional dari sistem ketertiban atau sistem kekuasaan, sehingga seseorang kehilangan haknya. Dalam masa modern antara proses dan prosedur sudah tidak lagi terpisah, melainkan mempunyai dasar yang sama. Seberapa jauh prosedur benar-benar ada pada kenyataan yang berlaku, sangat ditentukan oleh keadaan kebebasan sebagai nilai yang telah dilembagakan. Sedangkan saat yang menentukan jalannya proses adalah kesan yang nyata dari prosedur.24 Ketika membicarakan proses dan prosedur maka mau tidak mau akan berhubungan dengan asas praduga tidak bersalah. Di mana seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa asas praduga tidak bersalah merupakan hak tersangka untuk dianggap tidak bersalah sampai ada putusan tetap yang menyatakan ia telah bersalah. Asas praduga tidak bersalah harus diterapkan dalam setiap tingkat proses pemeriksaan. Baik dari tahap penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penahanan, penggeledahan dan sampai dengan persidangan. KUHAP sendiri telah memberikan perisai kepada tersangka atau
154.
23
Herbert Packer, The Limits of Criminal Sanction, hlm. 150.
24
Roeslan Saleh, Dari Lembaran Keputusan Hukum Pidana (Jakarta: Sinar Grafika), h.
24
terdakwa berupa seperangkat hak-hak kemanusian yang wajib dihormati dan dilindungi aparat penegak hukum.Dengan perisai yang sudah diakui hukum, secara teoritis sejak awal tahap pemeriksaan, tersangka atau terdakwa sudah mempunyai posisi yang setaraf dengan pejabat pemeriksa dalam kedudukan hukum dan berhak menuntut perlakuan yang telah digariskan KUHAP. 25 Proses dan prosedur berkaitan dengan asas praduga tidak bersalah. Ketika asas praduga tidak bersalah lebih menitikberatkan pada apa yang dinamakan sebagai proses maka akan menghasilkan Crime Control Model, di mana yang lebih diutamakan adalah bagaimana penegak hukum menjalankan proses bukan mementingkan hak tersangka atau prosedur dari proses tersebut. Tapi jika sebaliknya, ketika lebih menitikberatkan pada sebuah prosedur, maka yang akan dihasilkan adalah Due Process Model, artinya lebih menitikberatkan pada hak-hak tersangka atau terdakwa.
D. Due Process Model dan Crime Control Model Menurut Herbert Packer dalam bukunya yang berjudul The Limits of Criminal Sanction membagi penyelenggaraan peradilan pidana kedalam dua model, yaitu Crime Control Model dan Due Process.26 Untuk pembahasan lebih lanjut akan diuraikan sebagai berikut: 1.
Due Process Model Prinsip yang banyak ditonjolkan dalam proses peradilan yang adil 25
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan) (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Kesebelas 2009), h. 41. 26
Ansorie Sabuan, Syarifuddin Pettanasse, dan Ruben Achmad, Hukum Acara Pidana (Bandung: Angkasa Bandung, cet. Pertama. 1990), h. 5.
25
dan layak (due process) selalu mengacu pada perlakuan-perlakuan pentingnya proses pemeriksaan dilaksanakan melalui aturan formal yang memberikan jaminan terhadap hak setiap individu. 27 Jika Crime Control, menyerupai proses menerka-nerka, Due Process Model lebih menyerupai pada chek and rechek. Masing-masing tahap dirancang untuk membuat chek and recheck sebelum terdakwa dibawa pada proses selanjutnya yang lebih panjang. Ideologi dari model ini bukanlah merupakan kebalikan dari apa yang mendasari Crime Control Model. Ideologi Due Process lebih terkesan pada struktur formal hukum dari pada Crime Control. Due Process berlawanan dengan Crime Control Model dalam ranah tersendiri mengenai hal dalam keandalan atau keahlian dalam proses pencarian fakta. Sedangkan Crime Control Model sangat bergantung pada kemampuan investigasi dan penuntutan pejabat yang berwenang.Sementara Due Process menolak dasar pemikiran tersebut dan mengganti informal kepada formal, nonadjudikatif menjadi Adjudikatif.28 Due process model merupakan tipe negative model, artinya selalu menekankan pembatasan pada kekuasaan formal.29 Proses pemeriksaan perkara pidana yang dilandasi oleh Due Process Model merupakan
27
Anthon F. Susanto, Wajah Peradilan Kita – Konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, (Bandung: PT Refika Aditama, cet. Pertama 2004), h. 127. 28
29
Herbert Packer, The Limits of Criminal Sanction, hlm. 163.
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet. Kedua 2010), h. 11.
26
bentuk birokrasi administrasi, yang di Indonesia diharapkan dapat diwujudkan melalui aturan dan dikenal sebagai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Model yang ditawarkan adalah prosedur ketat, manusiawi, yang didukung oleh sikap penegak hukum untuk menghormati hak warga masyarakat.30 Dalam due process model muncul suatu nilai baru yang sebelumnya kurang diperhatikan, yaitu konsep perlindungan hak-hak individual dan pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan peradilan pidana, jadi dalam model ini proses kriminal harus dapat dikendalikan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan sifat otoriter. Di dalam model ini berlakulah apa yang dinamakan Presemption of innoncence.31 Due process dalam melaksanakan tindakan penegak hukum, bersumber dari cita-cita Negara hukum yang menjunjung tinggi supermasi hukum, yang menegaskan bahwa kita diperintah oleh hukum dan bukan oleh orang.Esensi dari konsep due process, setiap penegakan dan penerapan hukum pidana harus sesuai dengan persyaratan konstitusional serta harus menaati hukum. Oleh karena itu due process tidak membolehkan adanya pelanggaran terhadap sesuatu bagian ketentuan hukum dalih guna menegakan bagian hukum yang lain. 32 30
Anthon F. Susanto, Wajah Peradilan Kita – Konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, (Bandung: PT Refika Aditama, cet. Pertama 2004), h. 3. 31
Ansorie Sabuan, Syarifuddin Pettanasse, dan Ruben Achmad, Hukum Acara Pidana (Bandung: Angkasa Bandung, cet. Pertama. 1990), h. 6. 32
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan) (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Kesebelas 2009), h. 95.
27
2.
Crime Control model Crime
Control
Model
didasarkan
atas
anggapan
bahwa
penyelenggaraan peradilan pidana adalah semata-mata untuk menindas perilaku kriminal (criminal conduct), dan ini merupakan tujuan utama proses peradilan. Sebab dalam hal ini yang diutamakan adalah ketertiban umum dan efesiensi.33 Sistem nilai yang menggaris bawahi Crime Control Model berdasarkan rencana penekanan tindak pidana adalah fungsi yang jauh lebih penting yang harus dilakukan oleh proses pidana. Proses pidana sendiri sebenarnya adalah penjamin kebebasan sosial. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka disyaratkan yang menjadi perhatian utama adalah efisiensi di mana proses pidana beroperasi melindungi tersangka, menentukan bersalah, menggunakan tiindakan hukum yang tepat kepada orang yang dihukum karena kejahatan. Efisiensi yang dimaksud adalah kemampuan sistem untuk menangkap, berusaha dan menghukum pelaku kriminal yang diketahui sebagai pelanggaran. Dan yang melandasi model ini adalah kecepatan dan ketuntasan.34 Dalam model ini fakta dapat dibangun lebih cepat melalui intorgasi di kantor polisi dari pada melalui proses formal pemeriksaan dan pemeriksaan silang di pengadilan. Itu artinya proses di luar hukum jauh lebih disukai atau yang lebih sering digunakan pada model ini.
33
Ansorie Sabuan, Syarifuddin Pettanasse, dan Ruben Achmad, Hukum Acara Pidana (Bandung: Angkasa Bandung, cet. Pertama. 1990), h. 5. 34
Herbert Packer, The Limits of Criminal Sanction, h. 158.
28
Proses pidana dalam Crime Control Model dipandang sebagai proses penyaringan, di mana setiap investigasi tahap pra penangkapan, penangkapan, pasca penangkapan dalam penyelidikan, pemohonan, hukuman, dan tindakan yang melibatkan operasi yang sesuai dengan peraturan dan keberhasilannya diukur dari kecendrungan.35 Perbedaan antara Due Process Model dan Crime Control Model dapat dilihat dari tabel di bawah:36 Tabel 1: Perbedaan Crime Control Model dan Due Process Model Crime Control
Due Process Model
Model Karakteristik 1. Represif
values
Karakteristik
Mekanisme 1. Preventif 2. Presumption of innocence
3. Informal fact –
3. Formal –
finding
adjudicative
4. Factual guilt
4. Legal Guilt
5.Efisiensi
5.Efektivitas
Affirmative model
Tipologi
Negative model
Keterangan:
Alternative model : selalu menekankan pada eksistensi dan Negative model
pengunaan kekuasaan pada setiap sudut proses peradilan. : selalu menekankan pembatasan pada kekuasaan formal.
Due process model dan Crime control model juga memiliki 35
36
Herbert Packer, The Limits of Criminal Sanction, h. 159.
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet. Kedua 2010), h. 9.
29
asumsi yang sama yang dijadikan landasan dalam operasionalnya. Asumsi tersebut antara lain:37 1) Pendekatan suatu tindakan sebagai tindak pidana harus lebih dahulu ditetapkan jauh sebelum proses indentifikasi dan kontak dengan tersangka tersangka pelaku kejahatan atau “ex post facto law” atau asas undang-undang tidak berlaku surut. 2) Diakui kewenangan yang terbatas pada aparatur penegak hukum untuk melakukan tindakan penyidikan dan penangkapan terhadap seorang tersangka pelaku kejahatan. 3) Seorang pelaku kejahatan adalah subjek hukum yang harus dilindungi dan berhak atas peradilan yang jujur dan tidak memihak.
37
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet. Kedua 2010), h. 8.
BAB III MODEL PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT UNDANG-UNDANG TERORISME
A. Model Penegakan Hukum dalam Tahap Penyelidikan dan Penyidikan Penyelidikan
dan
penyidikan
tidak
dapat
dipisahkan
karena
penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum. 1 Di bawah ini akan dijelaskan proses dari penyelidikan dan penyidikan secara lebih rinci: 1.
Penyelidikan Pengertian penyelidikan dijelaskan dalam Pasal 1 butir 5 KUHAP “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan/penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang.” Jadi, menurut ketentuan Pasal 1 angka 5 KUHAP, penyelidikan adalah tindakan atas nama hukum 1
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan) (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Kesebelas 2009), h. 101.
30
31
untuk melakukan penelitian, apakah perkara dimaksud benar-benar merupakan peristiwa pelanggaran tindak pidana atau bukan pelanggaran tindak pidana. Sangat jelas bahwa Pasal angka 5 KUHAP memberikan tugas kepada aparatur Negara di bidang penegakan hukum untuk melakukan upaya ketika ada peristiwa melalui laporan, pengaduan atau karena diketahui sendiri oleh aparat penegak hukum karena kewajibannya. Upaya itu adalah upaya untuk mengidentifikasi apakah peristiwa itu memenuhi syarat dan masuk dalam kategori atau bukan merupakan tindak pidana.2 Pengertian penyelidikan menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana adalah serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Maka dapat dikatakan penyelidikan adalah penentuan suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana atau tidak. 3 Berdasarkan Pasal 4 KUHAP, ditentukan penyelidik adalah setiap pejabat polisi Negara Republik Indonesia (POLRI). 4 Penyelidikan dalam kasus terorisme berarti serangkaian tindakan mencari dan menemukan sesuatu keadaan atau peristiwa yang 2
Hartono, Penyelidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif (Jakarta: Sinar Grafika, cet. Pertama 2010), h. 19. 3
Soeharto dan Joenaedi Efendi, Panduan Praktis Bila Anda Menghadapi Perkara Pidana - Mulai Proses Penyelidikan Sampai Persidangan (Jakarta: Prestasi Pustaka, cet. Pertama 2010), h. 68. 4
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan) (Jakarta: Sinar Grafika, cet. Ketiga 2011), h. 8.
32
berhubungan dengan terorisme atau yang diduga sebagai aksi terorisme, pencarian dan usaha menemukan peristiwa yang diduga sebagai terorisme, dilakukan untuk menentukan penyelidik, apakah terhadap peristiwa tersebut dapat dilakukan penyelidikan.5 Dalam tahap penyelidikan, para penegak hukum mengikuti tata cara yang berlaku. Adapun tata cara penyelidikan, antara lain:6 a.
Penyelidik dalam melakukan penyelidikan wajib menunjukan tanda pengenal (Pasal 105). Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindakan pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan. Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, penyelidik wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam
rangka
penyelidikan.
Terhadap
tindakan
tersebut,
penyelidik wajib membuat berita acara dan melaporkannya kepada penyidik daerah hukum (Pasal 120 ayat (1), (2), (3) KUHAP). b.
Penyelidik dikordinasi, diawasi dan diberi petunjuk oleh penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia (Pasal 106 KUHAP). Sebelum KUHAP berlaku, terhadap pengertian penyelidikan,
dipergunakan perkataan opspornig atau orderzoek, dan dalam 5
Abdul Wahid, Sunardi, dan Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme Prespektif Agama, HAM dan Hukum (Bandung: PT Rafika Aditama, cet. Pertama 2004), h. 104. 6
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana - Dalam Terori dan Praktek, (Bogor: Ghalia Indonesia, cet. Kedua 2010), h. 26.
33
peristilahan Inggris disebut investigation. Akan tetapi, pada masa HIR pengertian pengusutan atau penyidikan selalu dipergunakan secara kacau.Tidak jelas batas fungsi pengusutan (opspornig) dengan penyidikan. Sehingga menimbulkan ketidaktegasan pengertian dan tindakan. Jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan harus lebih dahulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan.7 Salah satu ketentuan khusus dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam masalah penyelidikan adalah keterlibatan lembaga non-judicial, yakni penggunaan laporan intelejen dalam memperoleh bukti permulaan yang cukup untuk dijadikan dasar menetapkan seseorang menjadi tersangka, sehingga dapat dilakukan penangkapan, penyadapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Dalam penjelasan Pasal 26 ayat (1) disebutkan bahwa laporan intelijen di sini dapat diperoleh dari Departeman Dalam Negri, Departemen Luar Negri, Departemen Pertahanan, Departemen Kehakiman dan HAM, Departemen Keuangan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, TNI, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Badan Intelijen Negara, atau 7
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan) (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Kesebelas 2009), h. 102.
34
instansi lain yang terkait. Jika dilihat rumusan Pasal 26 ayat (4), maka laporan intelijen didudukan sebagai bukti pokok. Artinya, laporan intelijen dapat menjadi bukti untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup tanpa dibutuhkan bukti lainnya, sehingga dapat menjadi dasar untuk dilakukan penyidikan.8 Pasal 26 ayat (1), berbunyi: “untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelejen.” Yang menjadi masalah adalah rumusan pada kata-kata “penyidikan bisa menggunakan laporan intelejen” akan menimbulkan pertanyaan, apakah hanya dengan laporan intelejen saja sudah bisa dikualifikasikan sebagai bukti permulaan yang cukup atau laporan intelejen tersebut hanya merupakan tambahan saja dalam kualifikasi bukti permulaan yang cukup? Sedengkan hal tersebut tidak ada penjelasaanya. Jika hanya menggunakan laporan intelejen saja sebagai bukti pemulaan, maka penyidik akan dengan mudah melanggar hak pembelaan diri dari orang yang disidik atau tersangka.9 Ketidakjelasan definisi dan standar dari laporan intelijen akan mendatangkan masalah serius. Belum lagi seperti apa yang dikatakan pada pasal 26 ayat (3) yang berbunyi: “Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.” Itu artinya pemeriksaan 8
Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, (Yogyakarta: Graha Ilmu, cet. Pertama 2012),
h. 154. 9
Mardenis, Pemberantasan Terorisme – Politik Internasiona, Politik Hukum Nasional Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Perasa, cet. Kedua 2013), h. 160.
35
intelijen dilakukan secara tertutup oleh Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Negri. Ketika pemeriksaan dilakukan tertutup maka bagaimana cara hakim dalam menimbang sebuah laporan bisa dinyatakan sebagai bukti permulaan yang cukup tanpa kehadiran orang yang diduga atau kuasa hukum dari yang diduga. Hal tersebut dapat menyebabkan hakim akan mudah dimanipulasi oleh pihak intelijen yang menggunakan laporan sepihak.10 Yusril Ihza Mahendra berpendapat bahwa tidak semua laporan intelejen dapat diajukan sebagai bukti permulaan, dan hanya laporan intelijen yang bersifat faktual dan disampaikan secara kelembagaan yang dapat diajukan sebagai bukti permulaan.Jadi, laporan intelijen yang dapat diajukan sebagai bukti permulaan harus disampaikan secara kelembagaan dan berupa fakta intelijen, bukan merupakan analisis atau perkiraan intelijen. Tapi sangat disayangkan karena pendapat tersebut tidak dinyatakan dengan tegas dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mengenai jenis laporan intelijen yang dapat diajukan sebagai bukti permulaan, padahal tidak semua laporan intelijen berupa fakta, namun bisa juga berupa bentuk analisis atau perkiraan intelijen.11 Dalam Pasal 7 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang dijadikan unsur pidananya adalah niat yang dirumuskan 10
Mardenis, Pemberantasan Terorisme – Politik Internasiona, Politik Hukum Nasional Indonesia, , h.166. 11
h. 155.
Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, (Yogyakarta: Graha Ilmu, cet. Pertama 2012),
36
“bermaksud”. Dengan kata “bermaksud maka akan mendatangkan kekuasaan yang berlebihan kepada pihak intelejen, selain itu rumusan kata “bermaksud” dalam Pasal 7, tidak membutuhkan bukti materil, sehingga aparat polisi, intel atau TNI bisa saja menangkap seseorang atau menyadap, mengintai orang atau menuduh seseorang sebagai teroris tanpa seorang itu berbuat sesuatu. Dengan kata lain, rumusan “bermaksud” hanya cukup dengan keyakinan subjektif seseorang penyelidik atau penyidik dalam menentukan unsur ini.12 Penyalahgunaan dan kesalahan dalam pemeriksaan laporan intelijen dapat berdampak kepada terlanggarnya HAM seseorang karena hasil pemeriksaannya akan digunakan oleh aparat untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. HAM seseorang yang dilanggar akibat penyalahgunaan dan kesalahan dalam pemeriksaan laporan intelijen adalah pertama hak atas kebebasan dan keamanan pribadi, sehingga tidak seorangpun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Kedua hak untuk tidak secara sewenang-wenang
dicampuri
masalah-masalah
pribadinya,
keluarganya, rumah atau hubungan surat-menyuratnya, atau secara tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya. 13 Dilihat dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa model penegakan hukum dalam proses penyelidikan terhadap pelaku tindak pidana terorisme lebih cenderung menggunakan sistem Crime Control 12
Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, h., 160.
13
Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, h. 156.
37
Model, di mana penegak hukum diberikan wewenang yang lebih luas dan lebih longgar dalam memperoleh bukti permulaan. Hal itu terbukti dari penggunaan laporan intelijen yang bisa digunakan sebagai bukti permulaan. 2.
Penyidikan Pasal 1 butir 1 dan 2, merumuskan pengertian penyidikan yang menyatakan, penyidik adalah pejabat Polri atau pegawai negri tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Sedangkan penyidikan berarti, serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti itu membuat dan menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidannya. 14 Dalam ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan penyidikan adalah setiap tindakan penyidik untuk mencari bukti-bukti yang dapat meyakinkan atau untuk mendukung keyakinan bahwa perbuatan pidana atau perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana itu benar-benar telah terjadi.15 Dapat dikatakan tugas utama dari penyidik yang dijelaskan pada
14
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan) (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Kesebelas 2009), h. 109. 15
Hartono, Penyelidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif (Jakarta: Sinar Grafika, cet. Pertama 2010), h. 32.
38
Pasal 1 butir 2 adalah mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti-bukti tersebut membuat terang tindak pidana yang terjadi, serta menemukan tersangka.16 Dalam menjalankan tugas utamanya, penyidik telah diberikan kewenangan sebagaimana diatur dalam pasal 75 KUHAP. Dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP, berbunyi:17 Penyidik adalah: a.
Pejabat polisi Negara Repiblik Indonesia
b.
Pejabat pegawai negri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Mengenai proses penyidikan dalam kasus terorisme, pemeriksaan
dapat dilakukan kapan saja, termasuk di malam hari. Misalnya dalam kasus Hamid Razzaq, terdakwa kasus bom Makasar yang mengaku mendapatkan tekanan secara fisik dan psikis dalam pemeriksaan tingkat penyidikan.Ia merasa tersiksa dengan karena diperiksa pada jam 01.00 hingga waktu subuh padahal ia menderita penyakit jantung yang tidak tahan terhadap udara dingin. Meskipun Pasal 57 KUHAP menjamin tersangka/terdakwa untuk menghubungi penasehat hukumnya, namun pemeriksaan yang tidak dibatasi waktunya dapat menyulitkan
16
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan) (Jakarta: Sinar Grafika, cet. Ketiga 2011), h. 10. 17
Hartono, Penyelidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif (Jakarta: Sinar Grafika, cet. Pertama 2010), h. 34.
39
komunikasi dengan penasehat hukumnya. 18 Ketika membicarakan ketentuan khusus proses penyidikan dalam Undang-undnag Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme maka akan sangat berkaitan erat dengan penyelidikan yang menggunakan laporan intelijen. Bukti permulaan yang menggunakan laporan intelejen akan berkaitan pada proses selanjutnya seperti penyidikan, penangkapan dan penahanan. Maka kembali pada laporan intelijen, dapat dikatakan bahwa dalam proses penyidikan aparatur Negara lebih condong pada sistem Crime Control Model. Itu artinya penegak hukum telah diberikan kekuasaan yang lebih longgar dalam melakukan proses pidana terorisme. 3.
Penangkapan Pada Pasal 1 butir 20 dijelaskan bahwa penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa penegakan sementara waktu kebebasn tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta cara yang diatur dalam undang-undang ini. Penangkapan tidak lain daripada pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka/terdakwa, guna kepentingan penyidikan atau penuntutan.19 Sah atau tidaknya suatu penangkapan, diatur dalam Pasal 16 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa untuk melakukan penangkan harus 18
Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, (Yogyakarta: Graha Ilmu, cet. Pertama 2012),
h. 160. 19
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan) (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Kesebelas 2009), h. 157.
40
disertai dengan surat perintah penangkapan, adapun bunyi pasal itu adalah “Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan.” 20 Batas penangkapan telah ditentukan dalam Pasal 19 ayat (1) KUHAP, di mana penangkapan tidak boleh lebih dari satu hari. Dalam Pasal tersebut mengatakan bahwa: penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 KUHAP, dapat dilakukan untuk paling lama satu hari.21 Jika penangkapan lewat dari satu hari maka telah terjadi pelanggaran hukum dan dengan sendirinya penangkapan dianggap tidak sah.Konsekuensinya, tersangka harus dibebaskan demi hukum.Atau jika batas waktu itu dilanggar, tersangka, penasihat hukum atau keluarganya dapat meminta pemeriksaan kepada Praperadilan tentang sah tidaknya penangkapan dan sekaligus dapat menuntut ganti rugi.22 Dalam Pasal 28 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme masalah lamanya penangkapan telah diatur sendiri, di mana penyidik dapat melakukan penangkapan berdasarkan bukti permulaan yang cukup paling lama 7 x 24 jam.23 Hal tersebut jelas berbeda dengan aturan KUHAP yang mengatur mengenai batas waktu penangkapan.
20
Hartono, Penyelidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif (Jakarta: Sinar Grafika, cet. Pertama 2010), h. 84. 21
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan) (Jakarta: Sinar Grafika, cet. Ketiga 2011), h. 113. 22
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan) (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Kesebelas 2009), h. 160. 23
h. 157.
Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, (Yogyakarta: Graha Ilmu, cet. Pertama 2012),
41
Ketentuan khusus dari jangka waktu penangkapan tersebut, seharunya diiringi dengan pengaturan khusus tentang perlindungan hak tersangka agar menghindari kesewenangan para penegak hukum, tapi dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sama sekali tidak mengatur secara khusus mengenai hak tersangka. Pasal
28
Undang-undang
No.
15
tahun
2003
Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sendiri berbunyi: “Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) untuk paling lama 7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam.” Dari bunyi pasal di atas dapat dikatakan bahwa model penegakan hukum dalam proses penangkapan lebih pada menggunakan Crime Control Model, karena melihat ketentuan khusus yang diberikan kepada penegak hukum mengenai jangka waktu penangkapan yang jauh lebih panjang, dibandingkan dengan ketentuan yang telah diatur KUHAP. Selain mengenai jangka waktu penangkapan, yang membedakan antara KUHAP dan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme adalah rumusan mengenai kata dalam Pasal 28 “setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme” artinya setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana dapat ditangkap. Rumusan mengenai setiap orang yang diduga keras bisa saja menyebabkan kesewenangan penegak hukum dalam melakukan
42
penangkapan, karena tidak ada kejelasan yang tegas dalam pasal tersebut. Sementara rumusan dalam Pasal 1 butir 20 KUHAP, yang dapat ditangkap adalah tersangka atau terdakwa apabila sudah ada bukti permulaan yang cukup. 4.
Penahanan Masalah penahanan dijelaskan dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP, bahwa penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undangundang.24 Menurut Pasal 21 ayat (1) KUHAP, ada 3 alasan yang merupakan perlunya penahanan, yaitu:25 a.
Kekhawatiran melarikan diri
b.
Merusak atau menghilangkan barang bukti
c.
Mengulangi tindak pidana Tata cara penahanan merujuk pada ketentuan Pasal 21 ayat (2)
dan ayat (3) KUHAP, dijelaskan bahwa saat penahanan harus disertai dengan perintah surat penahanan atau penetapan, dimana dalam surat peritah penahanan harus memuat identitas tersangka, menyebut alasan penahanan, memuat uraian singkat tentang kejahatan yang disangkakan atau didakwakan, menyebutkan dimana ia akan ditahan. Dan saat 24
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan) (Jakarta: Sinar Grafika, cet. Ketiga 2011), h. 117. 25
h. 117.
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan),
43
penahanan harus menyerahkan tembusan penahanan kepada keluarga tersangka atau terdakwa.26 Mengenai batas waktu penahanan telah dijelaskan dalam KUHAP, dimana Penyidik paling lama dapat menahan seseorang selama 60 hari, Penuntut umum mempunyai wewenang melakuka penahanan atas diri tersangka/terdakwa atas alasan untuk kepentingan penuntutan, terbatas tidak boleh lebih 50 hari, Hakim pengadilan negri juga memiliki wewenang untuk memerintahkan penahanan untuk kepentingan
pemeriksaan
dalam
persidangan
pengadilan.
Dan
wewenang itu tidak boleh lebih dari 90 hari, Hakim pengadilan tinggi memiliki kewenangan untuk melakukan penahanan selama 90 hari, dan Mahkamah agung berwenang melakukan penahan selama 110 hari.27 Sama seperti proses penangkapan, proses penahanan juga telah diatur secara khusus dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dalam Pasal 25 ayat (2) menyatakan bahwa: “Untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi wewenang untuk melakukan penahanan terhadap tersangka paling lama 6 (enam) bulan.” Dapat ditarik kesimpulan dari uraian di atas bahwa dalam proses penahanan dalam kasus terorisme penegak hukum lebih condong menggunakan sistem Crime Control Model. Hal itu dapat dilihat 26
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan) (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Kesebelas 2009), h. 169. 27
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), h. 43.
44
dengan diaturnya ketentutan khusus dalam proses penahan bahwa penegak hukum dalam mengatasi masalah tindak pidana terorisme diberikan kewenangan khusus atau dapat dikatakan memiliki ketentuan yang lebih longgar dalam menjalankan proses penahanan. Hal itu terbukti dari kententuan jangka waktu penahanan yang jauh lebih panjang yang diatur dalam Undang-undang Tindak Pidana Terorisme, dimana tersangka dapat ditahan paling lama 6 (enam) bulan. 5.
Penggeledahan Ditinjau dari segi hukum dan undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 17 KUHAP, penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan. Sedangkan penggeledahan badan diatur dalam Pasal 1 butir 18, yang mengatakan penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya, kemudian untuk disita.28 Pada saat penangkapan tersangka, penyidik hanya berhak menggeledah badan tersangka dan barang yang dibawa tersangka setelah ada dugaan keras bahwa dengan alasasan yang cukup untuk melakukan penggeledahan dan menyita benda yang dapat disita. Hal tersebut diatur dalam Pasal 37 KUHAP. Sedangkan untuk menjaga dan
28
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), h. 248.
45
melindungi hak asasi seseorang saat penggeledahan harus dengan izin ketua Pengadilan Negri setempat untuk kepentingan penyidikan.Hal yang demikian diatur dalam pasal 33 KUHAP. Penggeledahan dapat dilakukan tanpa menggunakan surat izin dari Ketua Pengadilan ketika dalam keadaan yang perlu dan mendesak. Penggeledahan sangat berkaiatan dengan masalah Hak Asasi Manusia, meskipun penggeledahan dibenarkan oleh undang-undang tetapi penggeledahan harus meminimalisir akibat yang ditimbulkan kepada
seseorang
dan
keluarganya.
Maka
ketika
melakukan
penggeledahan sangat diharapkan dilakukan pada siang hari bukan pada malam hari kecuali dalam keadaan mendesak. Adapun alasan penggeledahan dilakukan di siang hari agar menghindari tekanan terhadap anak-anak, karena pada siang hari anak-anak kemungkinan besar sedang bersekolah dan tidak ada di rumah. Itu artinya sistem yang digunakan dalam proses penggeledahan adalah Due Process Model. Karena dalam proses penggeledahan tidak ada ketentuan khusus yang mengatur hal tersebut. Seperti yang dijelaskan dalam Pasal 25 ayat (1) jika tidak ditentukan dalam Undangundang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme maka proses tersebut harus dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku. Dan penegak hukum harus tunduk pada aturan KUHAP. 6.
Penyitaan Penjelasan mengenai penyitaan tercantum dalam Pasal 1 butir 16 KUHAP, dimana menyebutkan bahwa penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah
46
penguasaanya benda bergerak atau tidak bergerak, benda berwujud atau tidak berwejud untuk kepentingan pembukitian penyidikan, penuntutan atau peradilan.29 Penyitaan hanya boleh dilakukan oleh penyidik. Sekalipun pada proses pengadilan membutuhkan penyitaan suatu barang yang dianggap perlu, maka hakim meminta penuntut umum agar memerintahkan penyidik
untuk
melakukan
penyitaan.
Sama
halnya
dengan
penggeledahan, penyitaan pun harus dengan surat izin dari ketua Pengadilan Negri untuk dilakukannya penyitaan. Yang membedakan penyitaan dan penggeledahan adalah ketika penggeledahan dilakukan untuk
tahap
penahanan,
penyidikan sementara
selanjutnya
penyitaan
seperti
dilakukan
penengkapan untuk
dan
pembuktian
penyidikan, tuntutan atau peradialan. Dalam pasal 39 KUHAP telah digariskan ketentuan hukum tentang apa saja yang dapat disita. Tidak semua benda dapat menjadi objek penyitan. Dalam pasal tersebut telah dijelaskan bahwa hanya benda-benda yang ada hubunganya dengan tindak pidana yang dapat disita.Artinya jika suatu benda yang tidak ada kaitan dan tidak ada hubunganya dengan tindak pidana menjadi objek penyitaan maka penyitaan tersebut tidak sesuai dengan hukum.
29
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), h.264.
47
Adapun benda-benda yang dapat disita berdasarkan pasal 39 KUHAP, yaitu:30 a.
Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana.
b.
Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya.
c.
Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan.
d.
Benda yang khusus dibuat atau diperuntukan melakukan tindak pidana.
e.
Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Sama seperti proses penggeledahan, dalam proses penyitan juga
tidak ada ketentuan khusus yang mengatur hal tersebut. Itu artinya sistem yang digunakan dalam proses penyitaan sama dengan sistem yang digunakan dalam proses penggeledahan, yaitu lebih cenderung pada Due Process Model. B. Model Penegakan Hukum dalam Tahap Penuntutan Masalah penuntutan telah diatur dalam KUHAP dalam Pasal 1 butir 7 dimana berbunyi “Penuntutan adalah tindakan Penuntut Umam untuk melimpahkan berkas perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut acara yang diatur dalam undang-undang ini dengan 30
Ansorie Sabuan, Syarifuddin Pettanasse, dan Ruben Achmad, Hukum Acara Pidana (Bandung: Angkasa Bandung, cet. Pertama. 1990), hlm. 102.
48
permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang pengadilan”.31 Dari rumusan Pasal 1 butir 7 secara singkat proses penuntutan dan tuntutan pidana adalah pelimpahan perkara yang disertai dengan surat dakwaan, pemeriksaan di sidang pengadilan, tuntutan pidana, dan putusan Hakim.32 Penuntut Umum setiap melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri harus selalu disertai dengan surat dakwaan. Sebelum melimpakan perkara pidana, Penuntut Umum menentukan apakah suatu perkara sudah layak dilimpahkan ke Pengadilan Negeri atau belum. Jika sudah layak maka berkas perkara bisa dilimpahkan ke Pengadilan Negeri, Namun jika belum layak dilimpahkan ke Pengadilan Negeri maka Penuntut Umum harus membuat SP3, memberi tahu tersangka, dan jika ditahan segera bebaskan. Adapun alasan suatu perkara belum layak untuk dilimpahkan ke Pengadilan Negeri karena disebabkan oleh kurangnya bukti, suatu perkara bukan tindak pidana dan karena asas oportunitas. Wewenang penuntut umum selain melakukan penuntutan, juga berwenang melaksanakan putusan Hakim yang berkekuatan tetap.Penentut umum juga memiliki wewenang untuk melakukan penahan. Dimana tujuan penahanan oleh Pentut Umum sendiri telah diatur dalam Pasal 25 ayat (2), yaitu untuk kepentingan penuntutan yang meliputi untuk mempersiapkan
31
Soeharto dan Joenaedi Efendi, Panduan Praktis Bila Anda Menghadapi Perkara Pidana - Mulai Proses Penyelidikan Sampai Persidangan (Jakarta: Prestasi Pustaka, cet. Pertama 2010), h. 96. 32
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan , h. 68.
49
surat dakwaan.33Akan tetapi dalam melakukan penahanan demi kepentingan penuntutan, Penuntut Umum harus tetap berada dalam koridor hukum dan harus memenuhi syarat-syarat penahanan berdasarkan undang-undang. Dalam proses penuntutan tidak diatur secara khusus dalam Undangundang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Artinya aturan proses penuntutan sama dengan aturan yang berlaku dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Hal itu dapat dilihat dalam Pasal 25 ayat (1) yang mengatakan “penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme, dilakukan brdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.” 34 Dengan demikian dalam proses penuntutan lebih cenderung pada penggunaan sistem Due Process Model. Alasan lebih cenderung pada Due Process Model adalah karena proses penuntutan dalam kasus terorisme tidak diatur secara khusus dan mengikuti pedoman yang diatur dalam KUHAP.
C. Model Penegakan Hukum dalam Tahap Pemeriksaan Pengadilan Pemeriksaan di pengadilan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk menentukan apakah dugaan bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana
33
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan) (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Kesebelas 2009), h. 380. 34
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
50
dapat di pidana atau tidak. 35 Mengenai pemeriksaan di sidang pengadilan, umumnya perkara tindak pidana yang ancaman hukumannya 5 tahun ke atas, dan masalah pembuktiannya memerlukan ketelitian biasanya diperiksa dengan acara biasa. Sedang perkara yang ancaman hukumannya ringan serta pembuktian tindak pidananya dinilai mudah, diperiksa dengan cara singkat. Atas perbedan
pemeriksaan tersebut, kita mengenal tiga jenis acara
pemeriksaan perkara pada sidang
Pengadilan Negeri, yaitu pemeriksaan
biasa, pemeriksaan singkat dan pemeriksaan cepat.36 Ada beberapa tahap pemeriksaan di sidang pengadilan, yaitu: pemeriksaan identitas terdakwa yang diatur dalam Pasal 155 KUHAP, memperingatkan terdakwa untuk memperhatikan dan memberikan nasehat, pembacaan surat dakwaan, menanyakan apakah terdakwa mengerti dengan isi dakwaan, hak untuk memberikan eksepsi atau keberatan.37 Dalam pemeriksaan persidangan ada prinsip-prinsip yang harus ditegakan. Prinsip-perinsip tersebut antara lain: 1.
Pemeriksaan Terbuka untuk Umum Semua persidangan pengadilan terbuka untuk umum, di mana saat majelis membuka sidang harus menyatakan “sidang dibuka untuk 35
Ansorie Sabuan, SH., Syarifuddin Pettanasse, SH., dan Ruben Achmad. SH., Hukum Acara Pidana (Bandung: Angkasa Bandung, cet. Pertama. 1990), h. 76. 36
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan sidang pengadilan, banding, kasasi, dan peninjauan kemabali) (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Kesebelas 2009), h. 109. 37
Drs. Soeharto, S.H., M.Hum. dan Joenaedi Efendi, S.H.I., M.H., Panduan Praktis Bila Anda Menghadapi Perkara Pidana - Mulai Proses Penyelidikan Sampai Persidangan (Jakarta: Prestasi Pustaka, cet. Pertama 2010), h. 108.
51
umum”, artinya pengadilan dapat dihadiri oleh khalayak umum di mana setiap proses pemeriksaan persidangan dapat dipantau oleh masyarakat umum. Ada kalanya persidangan tidak dilakukan secara terbuka untuk umum, dalam pemeriksaan persidangan sendiri ada pengecualian di mana dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP dijelaskan bahwa ada pengecualian dalam pemeriksaan perkara kesusialan atau perkara yang terdakwanya merupakan anak-anak.38 Jika dilihat dari uraian tersebut artinya pemeriksaan persidangan seharusnya terbuka untuk umum, tapi adakalanya pemeriksaan pengadilan tidak dapat saksikan oleh masyarakat umum pada kasuskasus tertentu, seperti kasus kesusilaan dan kasus dimana terdakwanya merupakan anak-anak. Hadirnya Terdakwa dalam Persidangan
2.
Hukum tidak membenarkan proses peradilan in absentia dalam acara pemeriksaan biasa dan pemeriksaan singkat. Tanpa hadirnya terdakwa dalam persidangan, pemeriksaan tidak dapat dilakukan. Maka dalam Pasal 154 KUHAP mengatur cara menghadirkan terdakwa ke persidangan.39 3.
Ketua Sidang Memimpin Pemeriksaan Mengenai ketua sidang memimpin pemeriksaan diatur dalam
38
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan sidang pengadilan, banding, kasasi, dan peninjauan kemabali) (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Kesebelas 2009), h. 110. 39
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), h. 111.
52
Pasal 217 KUHAP yang menegaskan hakim ketua sidang bertindak memimpin jalannya pemeriksaan persidangan dan memelihara tata tertib persidangan. Kedudukan ketua sidang sebagai pimpinan sidang, menempatkanya sebagai orang yang berwenang menentukan jalannya permisakan terdakwa. Semua Tanya jawab harus melaluinya. Semua keterangan dan jawban harus ditujukan kepadanya. Namun mesikpun ketua sidang bertindak sebagai pimpinan persidangan bukan berarti ketua sidang mengabaikan hak terdakwa.40 4.
Pemeriksaan Secara Langsung dengan Lisan Dalam Pasal 153 ayat (2) huruf a KUHAP, menegaskan ketua sidang di dalam memimpin pemeriksaan sidang pengadilan, dilakukan secara langsung dan lisan, kecuali bagi mereka yang bisu dan tuli, bagi mereka yang tuli dan bisu dapat menggunakan pertanyaan dan jawaban dengan cara tertulis. Tujuan dari pemeriksaan sidang dilakukan secara lain agar memperoleh kebenaran hakiki, karena selain mendengar dan meneliti kesaksian terdakwa dan saksi, namun cara dan sikap memberikan keterangan, dapat menentukan isi dan nilai keterangan.41
5.
Wajib Menjaga Pemeriksaan Secara Bebas Pemeriksaan dalam persidangan baik pemeriksaan terhadap terdakwa atau saksi harus dilakukan dengan bebas. Berdasarkan Pasal 153 ayat (2) huruf b KUHAP dijelaskan pemeriksaan terhadap terdakwa 40
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), h. 113. 41
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), h. 113.
53
atau saksi dilakukan dengan bebas.42 Jika dilihat dari pasal di atas maksud dari dilakukan dengan bebas adalah terdakwa atau saksi harus diperiksa di persidangan tanpa tekanan atau paksaan sehingga terdakwa atau saksi tidak dapat memberikan keterangan dengan bebas. Selain itu Yahya Harap mengatakan bahwa terdakwa atau saksi tidak boleh diajukan dengan pertanyaan yang menjerat.Maksud dari pertanyaan yang menjerat adalah pertanyaan yang agresif dan licik yang dikeluarkan Hakim sehingga terdakwa kehilangan keseimbangan dan konsetrasi untuk memahami pertanyaan yang diajukan sehingga menyebabkan terdakwa seolah-olah telah mengakui perbuatannya. 6.
Pemeriksaan Lebih Dulu mendengar Keteragan Saksi Menganai prinsip ini sesuai dengan makna yang tersirat dalam Pasal 160 ayat (1) huruf b KUHAP yang menegaskan: “pertama-tama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi”. Pada tersebut dihubungkan dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang menempatkan alat bukti keterangan saksi sebagai urutan pertama. Sedang keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir.43 Mengenai pemeriksaan di pengadilan telah diatur secara khusus dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Hal tersebut dapat dilihat dari Pasal 35 ayat (1) Undang-undang 42
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), h. 114. 43
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), h. 116.
54
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang berbunyi “dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.” 44 Dari Pasal tersebut jelas sangat berbeda dengan aturan yang ada dalam KUHAP, di mana seperti yang dijelaskan di atas bahwa salah satu prinsip yang harus ditegakan dalam proses pemeriksaan pengadilan adalah terdakwa harus hadir dalam persidangan.
Dalam
KUHAP
dijelaskan
bahwa
hukum
tidak
membenarkan pemeriksaan pengadilan dilakukan apabila terdakwa tidak hadir dalam persidangan.Artinya pemeriksaan tidak dapat dilakukan apabila terdakwa tidak hadir dan itu jelas berbeda dengan aturan dalam Pasal 35 UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Selain itu dalam tindak pidana terorisme penggunaan alat bukti berbeda dengan aturan dalam KUHAP. Dalam Pasal 27 huruf b dan c Undang-undang Tindak Pidana Terorisme disebutkan “alat bukti pemeriksaan pidana terorisme meliputi alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu dan data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang
44
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
55
terekam secara elektronik.”45Sementara dalam KUHAP, mengenai alat bukti diatur dalam Pasal 184, yaitu: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Mengenai alat bukti maka akan berkaitan dengan laporan intelijen. Dari bunyi Pasal 27 huruf b di atas yang menatakan bahwa alat bukti bisa berupa informasi yang diucapakan dapat merujuk pada laporan intelijen dapat digunakan sebagai bukti di pengadilan.Hal tersebut jelas tidak sejalan dengan aturan KUHAP, dimana dalam KUHAP tidak diperbolehkannya menggunakan laporan intelijen sebagai alat bukti.Maka dapat ditarik kesimpulan jika dilihat dari hal, dapat diperiksa dan diputusnya perkara tindak pidana terorisme meskipun terdakwa tidak hadir, dapat dilihat mengenai alat bukti dan penggunaan laporan intelijen. Bahwa dalam proses pemeriksaan pengadilan penegak hukum cenderung pada penggunaan sistem Crime Control Model.Dimana dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme alat bukti laporan intelijen dan rekaman dapat digunakan, sementara dalam KUHAP alat bukti berupa laporan intelijen dan rekaman tidak diperbolehkan. Maka dapat dikatakan di mana Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memberikan kewenang yang lebih pada aparat penegak hukum dalam menangani masalah terorisme.
45
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
56
BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TENTANG PERKARA PIDANA TERORISME
A. Dakwaan Perkara Tindak Pidana Terorisme (Putusan MA No. 168 PK/PID.SUS/2013 Kasus yang diambil sebagai bahan penelitian adalah kasus perkara tindak pidana terorisme yang diputuskan oleh Mahkamah Agung dengan Nomor: 168 PK/PID.SUS/2013. Dengan identitas terdakwa adalah Yudi Zulfahri alias Barro bin M. Daud Basa’a, lahir di Banda Aceh, umur 27 tahun/13 Juli 1983, jenis kelamin laki-laki, kewarganegaraan Indonesia, bertempat tinggal di Jalan Krueng Kalo No.85 Perumnas Lambbheu Ketapang Aceh Besar. Berdasarkan surat dakwaan Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, bahwa terdakwa didakwa: Pertama: Di mana si terdakwa Yudi Zulfahri alias Barro bin M. Daud Basa’a pada sekitar tahun 2009 sampai tahun 2010 bertempat di kecamatan kota Jantho, kabupaten Aceh Besar, Propinsi Aceh. Berdasarkan Pasal 85 KUHAP dan
sesuai
surat
keputusan
125/KMA/SK/VI/2010,
terdakwa
ketua
Mahkamah
didakwa
Agung
merencanakan
RI
No:
dan/atau
menggerakan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme, dengan sengaja menggunakan kekerasan dan ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas
57
atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan dan kehancuran objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas public atau fasilitas internasional. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut Pasal 14 jo. Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang. Kedua: Terdakwa
didakwa
melakukan
melakukan
pemufakatan
jahat
percobaan atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme, dengan sengaja menggunakan kekerasan dan ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan dan kehancuran objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas public atau fasilitas internasional. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut Pasal 15 jo. Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.
58
Ketiga: Terdakwa didakwa secara melawan hukum memasukan ke Indonesia, , membuat, menerima, mencoba, memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai dalam persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyimpan, mempergunakan atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau suatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dab diancam pidana menurut Pasal 15 jo. Pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerinta Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang. Keempat: Terdakwa didakwa dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan
terhadap
pelaku
tindak
pidana
terorisme
dengan
menyembunyikan informasi tindak pidana terorisme.Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut Pasal 13 huruf c UndangUndang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerinta Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang. Kelima: Terdakwa didakwa telah melakukan dengan tanpa hak memasukan ke
59
Indonesia, , membuat, menerima, mencoba, memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai dalam persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyimpan, mempergunakan atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau suatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme.Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut Pasal 1 ayat (1) UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Berdasarkan putusan hakim/jaksa dari Kejaksaan Negri Jakarta Barat menyatakan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana “pemufakatan jahat percobaan atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme, dengan sengaja menggunakan kekerasan dan ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan dan kehancuran objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas public atau fasilitas internasional. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut Pasal 15 jo. Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang. Dan putusan itu diperkuat dengan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta.
60
B. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perkara Pada tanggal 18 Januari 2013 terdakwa mengajukan surat permohonan peninjauan kembali yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negri Jakarta Barat pada tanggal 30 Januari 2013. Di mana terpidana dan kuasa hukumnya memohon agar putusan Pengadilan Tinggi tersebut dapat ditinjau kembali. Adapun membaca surat permohonan peninjauan kembali adalah: Menimbang, bahwa putusan Pengadilan Tinggi tersebut telah diberitahukan kepada pemohon peninjauan kembali pada tanggal 6 Mei 2011 dengan demikian putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh pemohon peninjauan kembali adalah sebagai berikut Keberatan Pertama Pemohon merasa keberatan atas putusan Pengadilan Negri Jakarta Barat 1870/Pid.B/2010/PN.JKT.BAR tanggal 6 Januari 2011 yang dikuatkan dengan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No.117/Pid/2011/PT.DKI yang menyatakan bahwa pemohon dinyatakan bersalah melakukan pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana teroris. Karena menurut pemohon sama sekali tidak pernah ada niat dan tujuan untuk melakukan permufakatan jahat melakukan tindak pidana teroris ketika mengikuti pelatihan militer di pegunungan Jalin Jantho, Aceh Besar pada bulan Januari 2010. Menurut pemoon tujuan ia melakukan pelatihan hanya untuk melakukan persiapan untuk berangkat membantu saudara-saudara muslim di Gaza. Pemohon juga menyatakan beberapa fakta yang terungkap di dalam persidangan Pengadilan
61
Negri Jakarta Barat yang menjadi bukti bahwa pemohon dan peserta pelatihan militer tidak berniat melakukan tindakan teror di Indonesia, namun hal itu tidak digubris di dalam putusan. Fakta-fakta tersebut adalah: 1) Saat ditangkap pemohon sama sekali tidak melawan, padahal pada saat itu petugas kepolisian tidak menondongkan senjata. Seandainya jika pemohon ingin melakukan tindakan teror di Indonesia, seharusnya atau bisa saja pemohon melakukan perlawanan saat ditangkap. Namun pemohon mersa bahwa pemohon bukanlah penjahat sehingga pemohon tidak berniat melakukan perlawanan. 2) Ketika para peserta pelatihan militer yang berjumlam dua puluh orang hendak turun dari pegunungan untuk kemabali ke daerah masingmasing dan mereka bertemu dengan lima orang aparat kepolisan. Jika memang mereka benar-benar ingin melakukan teror, mereka tidak akan melepaskan aparat atau akan melakukan penawanan terhadapa aparat kepolisian, tapi kenyataanya mereka tidak melakukan penawanan itu. 3) Saat penangkapan 10 orang peserta pelatihan di wilayah Leupeng, Aceh Besar yang berada di dalam mobol L-300 menigiktat semua senjata mereka dan memasukannya ke dalam karung. Tujuan mereka mengikat dan memasukan senjata mereka adalah karena mereka ingin kembali ke daerah masing-masing. Jika seandainya mereka benar-benar ingin melakukan teror aksi teror mana mungkin mereka memasukan senjata ke dalam karung, seharusnya mereka melakukan perlawanan. Dalam penangkapan sendiri mereka pun tidak melakukan perlawanan, kecuali
62
dua orang yang ternyata memang DPO dan Residivis. Mengenai kontak senjata di Lamkabeu, di mana dalam persidangan terungkap bahwa alasan sebenarnya ada kontak senjata karena para peserta pelatihan mendapat serangan penembakan secara mendadak dan sporadis oleh aparat kepolisian, sehingga ada beberapa peserta pelatihayang tertembak. Kontak senjata yang dilakukan para peserta pelatihan semata-mata hanya untuk mencari celah menyelamatkan diri dari tembakan aparat kepolisian. Sementara terdakwa sendiri pada saat kejadian tersebut sudah berada di ruang tahanan Polda Aceh. 4) Beberapa peserta pelatihan militer di pegunungan Jalin Jantho, Aceh Besar pada bulan Januari 2010 yang berasal dari Aceh, seperti saudara Abu Rimba menyerahkan diri sambil membawa senjata api. Dan ad juga peserta pelatihan militer yang tidak melarikan diri seperti saudara Agam Fitriady, saudara Ali Azhari, saudara Surya, dan saudara Muchsin. Jika memang tujuannya khendak melakukan teror maka tidak mungkin mereka menyerahkan diri atau tidak berupaya melarikan diri padahal pelatihan militer tersebut sudah diketahui dan digerebek, serta sudah banyak peserta pelatihan yang ditangkap oleh pihak kepoisian. Dengan demikian dengan fakta persidangan, pengadilan Negri Jakarta Barat dan Pengadilan Tinggi Jakarta telah keliru menerapkan pasal dan Undang-undang dalam mengadili pemohon dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Terorisme.Seharusnya Majelis Hajim Pengadilan Jakarta Barat dan Pengadilan Tinggi Jakarta
63
menjerat pemohon dengan Pasal 1 Ayat 1 UU Darurat RI No. 12 Tahun 1951, karena pemohon memang tidak pernah berniat untuk melakukan teror pada siapapun. Keberatan Kedua Vonis pemohon dirasa terlalu berat jika dibandingkan dengan terdakwaterdakwa lain dalam kasus yang sama yang juda disidang di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, yaitu: 1.
Saudara Abu Tholut yang divonis 8 tahun penjara, padahal ia adalah penanggung jawab utama dalam program pelatihan militer di Aceh dan posisinya di atas Dulmatin. Namun Pengadilan Negri Jakarta Barat memvonis pemohon 9 tahun penjara, sementara Abu Tholut 8 tahun penjara.
2.
Saudara Waristo alias Tongji, divonis 5,5 tahun penjara, padahal ia adalah tangan kanan Dulmatin, meskipun ia belum sempat sampai Aceh, tapi seluruh persiapan pelatihan militer tidak terlepas dari andilnya. Namun pengadilan Negri Jakarta Barat memvonis pemohon 9 tahun penjara, sementara saudara Waristo alias Tongji hanya 5,5 tahun penjara.
3.
Saudara Imam Rasyidi, divonis 5 tahun penjara, padahal ia adalah orang kepercayaan Dulmatin, bahkan ia adalah ornag pertama yang dikirim ke Aceh untuk melakukan persiapan pelatihan Militer. Pemohon sendiri dkirim ke Aceh oleh Dulmatin untuk membantu saudara Imam Rasyidi melakukan persiapan. Jika dilihat dari kegiatan
64
yang dilakukan pemohon, mmaka peran pemohon dalam pelatihan militer sama dengan saudara Imam Rasyidi. Namun Pengadilan Negri Jakarta barat menjatuhkan vonis 9 tahun penjara pada pemohon, sementara Imam Rasyidi dijatuhi Vinis 5 tahun penjara. Saudara Sibghatullah alias Mus’ab divonis 3 tahun penjara, padahal ia
4.
adalah orang kepercayaan Dulmatin, bahkan dia adalah orang pertama yang datang ke Aceh dan memberikan motivasi kepada kami untuk melakukan jihad. Ia juga lah yang mengajak Dulmatin ke Aceh dan mengenalkan kepada kami sebagai Hamzah. Namun Pengadilan Jakarta Barat memvonis pemohon 9 tahun penjara sementara saudara Sibghatullah divonis 3 tahun penjara. Dengan demikian, ada sebuah ketidakadilan atas vonis 9 tahun yang pemohon terima sari Pengadilan Negri Jakarta Barat yang kemudian dikuatkan dengan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta. Kemudian Mahkamah Agung berpendapat mengenai alasan-alasan yang diajukan pemohon, bahwa:
Alasan Peninjauan Kembali Pemohon tidak dapat dibenarkan, karena alasan yang diajukan adalah a quo bukan merupakan alasan Peninjauan Kembali sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 263 ayat (2) huruf a, b, serta c KUHAP. Alasan pemohon sifatnya pengulangan dari apa yang sudah dikemukakan dalam persidangan Judex Facti, dan sebagian alasan pemohon cenderung sebagai alasan kasasi.
Pemohon Peninjauan Kembali tidak mengajukan bukti-bukti baru
65
(novum), tidak ada pertentangan dalam putusan Hakim menhenai perkara a quo dan lagi pula dalam putusan PN. Jakarta Barat Nomor 1807/Pid.B/2010/PN.JKT.BAR tanggal 06 Januari 2011 juncto Putusan PT. Jakarta Nomor 117/Pid/2011/PT.DKI tanggal 04 April 2011 tidak ternyata adanya kekhilafan Hakim atau sesuatu keliruan yang nyata, maka putusan Judex Facti/PT.Jakarta tersebut tetap berlaku dan dipertahankan.
Bahwa oleh karena itu tidak termasuk dalam salah satu alasan Peninjauan Kembali sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2) huruf a, b dan c KUHAP maka Peninjauan Kembali harus ditolak. Menimbang dengan demikian berdasarkan Pasal 266 Ayat (2) huruf a
KUHAP permohonan Peninjauan Kembali harus ditolak dan putusan yang dimohonkan Peninjauan Kembali dinyatakan tetap berlaku. Menimbang, bahwa oleh karena permohonan Peninjauan Kembali ditolak, maka biaya perkara dalam pemeriksaan Peninjauan Kembali dibebankan kepada Pemohon Peninjauan Kembali. Memperhatikan Pasal 15 jo, Pasal 7 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, Undnag-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agun sebgaimana yang telah diubah dan ditambah dengan
66
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan, Hakim menolak permohonan Peninjauan kembali dari Yudi Zulfahri alias Barro bin M Daud Bas’a. menetapkan bahwa putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut tetap berlaku. Membebankan pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali ini sebesar Rp 2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah).
C. Analisis Hukum Positif Berdasarkan putusan Mahkamah Agung No. 168/PK/PID.SUS/2013 penulis melihat kecenderungan penegakan hukum tindak pidana terorisme menggunakan sistemDue Process Model.Hal tersebut dikarenakan alasan hakim menolak Peninjauan Kembali sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam KUHAP.Hakim memutuskan Peninjauan Kembali yang telah diajukan oleh terdakwa tidak memenuhi alasan yang diatur dalam Pasal 263 ayat (2) huruf a, b, dan c KUHAP. Adapun permintaan atau alasan peninjauan kembali berdasarkan Pasal 263 ayat (2) huruf a, b, dan c KUHAP, yaitu:46 a.
Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang berlangsung, hasilnya akan akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
46
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, h.339.
67
b.
Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain.
c.
Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan atau sesuatu kekeliruan yang nyata. Hakim berpendapat alasan-alasan yang diajukan oleh pemohon dalam
Peninjauan Kembali tidak termasuk dalam salah satu alasan Peninjauan Kembali pada Pasal 263 Ayat (2) yang telah disebutkan di atas.Di mana pasal tersebut merupakan alasan pokok yang menjadi dasar Peninjauan Kembali.Adapun alasan yang diajukan pemohon dalam Peninjauan Kembali, menurut hakim tidak mengajukan keadaan baru atau novum, tidak adanya pertentangan
dalam
putusan
hakim
dan
tidak
adanya
kekhilafan
hakim.Artinya alasan yang diajukan pemohon tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 263 ayat (2) huruf a, b, dan c KUHAP. Dengan alasan yang demikian Hakim memutuskan menolak Peninjauan Kembali yang diajukan pemohon. Adapun keputusan hakim menolak Peninjauan Kembali yang diajukan terdakwa sesuai dengan Pasal 266 ayat (2) huruf a yang berbunyi “Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan Peninjauan Kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku ketentuan sebagai berikut: a.
Apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung menolak permintaan Peninjauan Kembali dengan
68
menetapkan bahwa putusan yang dimintakan Peninjauan Kembali itu tetap berlaku. Hal
tersebutlah
yang
membuat
penulis
berpendapat
bahwa
kecenderungan yang digunakan lebih pada Due Process Model, karena tindakan hakim menolak Peninjauan Kembali terdakwa sesuai dengan apa yang telah diatur dalam KUHAP. Di mana hakim telah menjalankan sesuai dengan prosedur yang diatur dalam KUHAP. Hakim menolak Peninjauan Kembali terdakwa dikarenakan alasan yang ajukan terdakwa tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 263 ayat (2) huruf a, b dan c KUHAP, itu telah sesuai dengan apa yang diatur dalam KUHAP. Sehingga penulis berkesimpulan bahwa kecenderungan penegakan hukum dalam putusan Mahkamah Agung No. 168/PK/PID.SUS/2013 lebih pada Due Process Model.
D. Analisis Hukum Islam Sesungguhnya ketika suatu kasus telah layak ditetapkan hukum dan jika hakim memberikan makna pasti, tidak ada keraguan di dalamnya, maka hakim wajib menetapkan hukum langsung dengan tanpa menunda.Maksud dari memberikan makna pasti adalah bukan sebatas zhan atau kemungkinan. Jika hakim menunda, maka ia berdosa, bahkan berhak untuk dipecat, karena dampak yang muncul akibat penundaan hukum tentang kemudharatan bagi manusia, menghilangkan kemaslahatan dan melenyapkan hak mereka.47 Ketika terdapat kemungkinan kesalahan hakim dalam hukumnya, maka 47
Samir Aliyah, Sistem Pemerintahan Peradilan & Adat Dalam Islam, (Jakarta: Khalifa, cet. Pertama 2004), h. 469.
69
Qadhi Al-Qudhat (hakimnya para hakim) atau orang yang menggantikannya boleh meninjau kembali keputusan hakim, lalu membatalkan apa yang perlu dibatalkan, meluruskan apa yang harus diluruskan, dan membenarkan apa yang perlu dibenarkan. Imam Ali bin Abi Thalib pernah dilapori satu masalah di Yaman, maka dia berkata, “Aku putuskan di antara kalian. Jika kalian ridha maka ia sebagai keputusan. Jika tidak, maka aku tahan sebagian kalian dari sebagian yang lain sehingga kalian mendatangi Rasulullah agar beliau memutuskan di antara kalian.” Lalu ketika Imam Ali memutuskan kepada mereka, maka mereka menolak untuk menerimanya.Kemudian mereka mendatangi Rasulullah pada musim haji seraya menyampaikan kepadanya persengketaan mereka dan bagaimana keputusan Ali di dalamnya, yang menurut mereka hukum itu tidak benar.Setelah Rasulullah mendengar perkataan mereka, maka beliau membenarkan keputusan Ali dan berkata, “Ia (hukum) adalah seperti apa yang dia (Ali) putuskan di antara kalian.”48 Dalam kasus tersebut terdapat dalil bahwa penilaian cacat dalam suatu hukum telah dikenal dalam syariat islam dan diletakannya dalam kehidupan aktual. Sebab, apa yang terjadi sama seperti peninjauan kembali hukum di pengadilan yang lebih tinggi pada tingkat yang di bawahnya. Kemudian kasus hukum yang telah ditinjau kembali dan ditetapkan untuknya dibatalkan, diluruskan atau dibenarkan.49 Selain itu yang termasuk dalam kategori peninjauan kembali hukum dalam sistem islam adalah riwayat yang disebutkan Waki’ dalam kitabnya Akhbar Al-Qudhat, Bahwa hakim Ubaidillah bin Hasan memutuskan kepada 48
Samir Aliyah, Sistem Pemerintahan Peradilan & Adat Dalam Islam, h. 478.
49
Samir Aliyah, Sistem Pemerintahan Peradilan & Adat Dalam Islam. h. 478
70
Abdul Hamid Maula bin Qusyair dalam suatu masalah di mana dia keras dalam pembicaraan lalu dia mengadukan hal ini kepada Amirul Mukminin. Maka Amirul Mukminin menulis surat kepada gubernur Basrah untuk mengumpulkan fuqaha’ untuknya, agar mereka meninjau hukum tersebut. Jika hukum itu benar, maka ia akan meneruskan perjalanan. Lalu mereka meninjaunya dan mereka melihatnya benar. Ini adalah sebagai penguatan dan pembenaran terhadap hukum yang ditinjau kembali di depan pengadilan yang lebih tinggi oleh beberapa hakim.50 Itu artinya dalam fiqih islam telah terdapat landasan tentang cara peninjauan kembali hukum yang beragam bentuknya, seperti penyanggahan, pembatalan dan pengulangan peradilan. Meskipun sebelum itu, para fuqaha belum mengenal bentuk yang mendetai mengenai peninjauan kembali seperti sekarang ini, tapi kaidah-kaidah fiqih islam tidak menafikannya, akan tetapi justru sesuai dengannya. Kemudian jika dilihat alasan hakim menolak permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan terdakwa, sudah sangat tepat dan adil.Hakim menolak permohonan Peninjauan Kembali terdakwa dengan pertimbangan bahwa alasan yang diajukan pemohon salah satunya tidak adanya kekhilafan hakim.Seperti yang sudah disebutkan pada bab sebelumnya, bahwa batalnya hukum karena adanya keraguan. Sementara hakim dalam memutus perkara tersebut tidak dengan keraguan.Artinya putusan yang dijatuhkan pada terdakwa tetap berlaku atau putusan itu benar, karena Peninjauan Kembali yang diajukan terdakwa ditolak.
50
Samir Aliyah, Sistem Pemerintahan Peradilan & Adat Dalam Islam, h. 479.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1.
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya mengenai model penegak hukum dalam tindak pidana terorisme, maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa secara garis besar kecenderungan penegak hukum dalam kasus tindak pidana terorisme lebih condong pada penggunaan sistem Crime Control Model. Hal tersebut dilihat dari banyaknya proses hukum yang menggunakan sisitem Crime Control Model yang diatur Undang-Undang No 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme. Adapun kecenderungan penegak hukum pada setiap proses pemeriksaan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: a.
Dalam proses penyelidikan kecenderungan penegak hukum lebih menggunakan sistem Crime Control Model. Hal itu dilihat dari penggunaan laporan intelejen yang digunakan sebagai bukti permulaan.
b.
Dalam proses penyidikan berkaitan erat dengan penggunaan laporan intelejen maka kecendrungan penegakan hukum dalam proses penyidikan adalah Crime Control Model.
c.
Melihat lamannya batas penangkapan yang diatur dalam UndangUndang No 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme maka kecondongan penegak hukum lebih pada Crime
71
72
Control Model. Dimana lamanya penangkapan 7x24 jam, hal tersebut berbeda dengan pasal 19 ayat (1) KUHAP yang mengatur lamanya penangkapan hanya satu hari. d.
Kecenderungan penegak hukum dalam proses penahanan lebih cenderung pada sistem Crime Control Model. Hal itu dilihat juga dari lamanya batas penahanan yang berbeda dari aturan KUHAP. Karena dalam KUHAP batas waktu penahanan adalah 60 hari, sementara dalam Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang No.15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme batas penahanan selama enam bulan.
e.
Dalam proses penggeledahan hal ini berbeda dari proses hukum yang lain karena dalam proses penggeledahan penegak hukum cenderung pada penggunaan sistem Due Process Model. Karena mengenai proses penggeledahan tidak diatur secara khusus dalam UndangUndang No 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Sehingga aturan pada proses penggeledahan mengikuti Pasal 33 KUHAP, di mana penggeledahan harus dengan izin ketua Pengadilan Negeri.
f.
Dalam proses penyitaan kecenderungan penegak hukum lebih menggunakan Due Process Model. Karena aturan dalam proses penyitaan sesuai dengan aturan yang ada di Pasal 39 KUHAP, mengenai ketentuan benda apa saja yang dapat disita dalam penyitaan. Dalam pasal tersebut telah dijelaskan hanya benda-benda
73
yang ada hubungannya dengan tindak pidana. g.
Dalam poses penuntutan penegak hukum menggunakan sistem Due Process Model, karena dalam proses penuntutan tindak pidana terorisme tidak berbeda dengan aturan KUHAP. Hal itu dapat dilihat dari Pasal 25 ayat (1) Undang-undang No 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme “penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.” Dan dalam Undang-undang No 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak diatur secara khusus mengenai penuntutan artinya mengenai penuntutan sama seperti yang diatur dalam Pasal 1 butir 7 KUHAP.
h.
Dalam proses pemeriksaan pengadilan penegak hukum cenderung menggunakan sistem Crime Control Model. Hal itu dilihat dari pasal 35 ayat (1) Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang berbunyi “dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.” Hal itu berbeda dengan aturan KUHAP. Dimana dalam KUHAP sendiri terdakwa harus hadir dalam persidangan dan KUHAP tidak membenarkan pemeriksaan pengadilan dilakukan apabila terdakwa tidak ada di persidangan.
74
i.
Dalam
analisis
putusan
Mahkamah
Agung
No.
168
PK/PID.SUS/2013, proses hukum lebih pada pada penggunaan sistem Due Process Model. Itu dapat dilihat dari putusan hakim, di mana hakim berpendapat bahwa alasan Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan karena alasanan yang diajukan bukan merupakan alasan Peninjuan Kembali sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (2) huruf a, b dan c KUHAP. 2.
Jika dilihat dari uraian dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan asas praduga tidak bersalah dalam kasus terorisme telah diterapkan. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya prosedur dari setiap proses pemeriksaan yang menerapkan asas praduga tidak bersalah. Seperti dalam penangkapan, penahanan, penyitaan dan penggeledahan harus dilakukan dengan surat perintah dan diberitahukan atau diperlihatkan kepada tersangka atau terdakwa. Artinya asas praduga tidak bersalah masih digunakan dalam kasus tindak pidana terorisme, tapi yang membedakan adalah pada beberapa proses pemeriksaan porsi dari asas praduga tidak bersalah berbeda. Sewaktu-waktu asas praduga tidak bersalah lebih menitik beratkan pada proses yang menghasilkan Crime Control Model dan pada proses yang lain asas praduga tidak bersalah lebih menitik beratkan pada prosedur sehingga menghasilkan Due Process Model.
75
B. Saran Melihat laporan intelijen yang digunakan sebagai bukti permulaan yang cukup, maka sangat dibutuhkan aturan mengenai perlindungan Hak Asasi tersangka atau terdakwa. Jika dilihat dari aturan mengenai hak tersangka dalam Undang-undang No 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sangat disayangkan karena dalam undang-undang tersebut hanya mengatur hak tersangka pada pasal 19 yang menyatakan bahwa tersangka/terdakwa di bawah umur 18 tahun tidak bisa dihukum mati. Padahal jika dilihat dari waktu penangkapan dan penahananya yang lebih lama
dibandingkan
dengan
aturan
KUHAP,
seharusnya
mengenai
perlindungan hak asasi tersangka atau terdakwa harus lebih diatur dengan jelas. Selain itu prosedur tetap yang jelas dan terukur dalam penggunaan kekerasan dan senjata api oleh penegak hukum sangat penting, karena tanpa ada prosedur tetap yang jelas maka akan adanya tindakan kesewenangan penegak hukum dan akan melanggar hak asasi para tersangka tindak pidana terorisme. Tindakan yang dilakukan penegak hukum dalam penangkapan yang disertai penembakan secara mendadak tanpa ada peringatan terlebih dahulu dan penembakan itu dilakukan pada saat tersangka tidak melakukan perlawanan telah melanggar hak tersangka atau terdawa. Prosedur yang tetap sangat diperlukan dalam setiap proses pemeriksaan, agar para penegak hukum tidak melakukan tindakan sewenang-wenang dalam proses hukum dan melanggar hak-hak tersangka atau terdakwa.
76
DAFTAR PUSTAKA
Al-quranul Karim Al Faruq, Asdulloh. Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009. Aliyah,
Samir.Sistem Pemerintahan Jakarta:khalifa 2004.
Peradilan
&
Adat
dalam
Islam,
Asworth, Andrew, Human Rights, Serious Crime and Criminal Procedure.The Hamlyn Trust, 2002. Atmasamita, Romli. Sistem Peradilan Kontemporer, Jakarta: kencana Prenada Media Group 2010. Djatmika, Prija. Selekta Kapita Penegakan Hukum, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006. Hamidy, Mu’amal, dkk. Terjemahan Naujul Authar Jilid 6, Surabaya: Bina Ilmu, 2005. Harahap, Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan (penyidikan dan penuntutan), Jakarta: Sinar Graika, 2009.
KUHAP
_______, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Hartono.Penyelidikan dan Penegakan Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Hendropriyono, A.M. Terorisme – Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2009. Makaro, Muhammad Taufiki dan Suharsil.Hukum Acara Pidana – Dalam Teori dan Praktek, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010. Mardenis.Pemberantasan Terorisme – Politik Internasional, Politik Hukum Nasional Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Perasa, 2013. Marpaung, Laden.Proses Penegakan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan), Jakarta: Sinar Grafika, 2011. Nitibaskara, Rony Rahma. Tegakan Hukum Gunakan Hukum, Jakarta: Kompas, 2007.
77
Packer, Herbert. The Limits of Criminal Sanction. Sabuan, Ansorie, dkk. Hukum Acara Pidana, Bandung: Angkasa Bandung, 1990. Saleh, Roeslan. Dari Lembaran Keputusan Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Santoso, Topo. Menggagas Hukum Pidana Islam – Penerapan Syariat Islam Dalam Konteks Modernitas, Bandnung: Asy Syamamil san Grafika, 2001. Soeharto dan Efendi, Joenaedi.Panduan Praktis Bila Anda Menghadapi Perkara Pidana – Mulai Proses Penyelidikan Sampai persidangan, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2010. Soekanto, Soerjono. Pengantar Ilmu Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia, 2008. Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja GRafindo Persada, 1996. Susanto, Anthon, F. Wajah Peradilan Kita – Konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, Bandung: Refika Aditama, 2004. Wahid, Abdul, dkk. Kejahatan Terorisme Prespektif Agama, HAM dan Hukum, Bandung: Refika Aditama, 2004. Waluyo, Bambang. Hukum dan Pemidanaan, Jakarta. Wibowo, Ari. Hukum Pidana Terorisme, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012. Jurnal: Huda, Chairul. Makna Asas Praduga tidak Bersalah dan Pemkaiannya dalam Praktek Pers, Jurnal Dewan Pers Edisi No. 2, 2010. Internet: www.jimly.com Undang-Undang: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi UndangUndang. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.