MEDIA EVEN
day#06
(07/09/2013)
01
Tajuk Wayang dan Pendidikan Politik
02
Layar Utama Menggugat Wayang, A Wake Up Call For Us! - Refleksi Seminar Wayang Internasional 4 September 2013
04 Sambutan Pagelaran Wayang Penutupan WWPC 2013, oleh Bambang Asmoro (Pepadi Pusat) Performance 04 “Pemberontakan Brojo Dento” by Ki Hadi Sutikno (Yogyakarta, Indonesia) 07
Tolstoy’s “Holstomer, The Story of The Hourse” by The Brest Puppet Theatre (Belarus)
08 “The Room” by Puppet Theatre Nebo (Slovenia)
Wayang dan Pendidikan Politik
tajuk
T
ontontan dan tuntunan, demikian fungsi seni pewayangan bagi masyarakat. Karakter tokoh; sinden, pengendang dan perawit, filosofi elemen pertunjukan, hingga dalang dan teknik monolog yang memiliki konten ajakan. Seluruhnya menjadi satu, berdiri sebagai penghiburan sekaligus pencerahan. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara, wayang menjadi media untuk memberikan nilai-nilai kebajikan dan kebijakan bagi masyarakat penonton. Apa yang disuguhkan Ki Ardi Purboantono di pelataran Monumen Nasional (7/9) menjadi salah satu contoh betapa pertunjukan wayang yang disaksikan begitu banyak penonton warga Jakarta dimuati konten-konten bagaimana bersikap sebagai warga negara dan bagaimana memahami dan menjalani agama sebagai perilaku. Sebagian besar penonton menyambut dengan tawa dan angguk-angguk tanda setuju. Politik seharusnya bukan kekuasaan. Politik adalah hak dan kewajiban dalam sebuah komunitas; dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Wayang telah memainkan fungsinya, memberikan pendidikan tentang hak dan kewajiban bagi setiap orang. Tinggal manusia sang pelaku, apakah akan melaksanakannya. (pejede |
[email protected])
Jakarta, Sept 02-08
01 media event #06
layar utama
W
ayang World Puppet Carnival (WWPC) telah memasuki sesi penghujungnya. Bagi Indonesia, ajang perdana yang mempertemukan berbagai pelaku seni pertunjukan boneka ini jelas menyisakan berbagai pertanyaan, bukan hanya selaku penyelenggara yang memfasilitasi berbagai kebutuhan teknis event, tapi juga sebagai pemilik sah salah satu seni pertunjukan boneka yang sudah diakui sebagai warisan kekayaan Dunia, Wayang. Apa makna tersebut bagi sang pemilik?
Menggugat Wayang
“A Wake Up Call For Us!” Refleksi Seminar Wayang Internasional 4 September 2013
Sebuah pertunjukan niscaya tidak bisa melepaskan diri dari pelbagai kritik, keduanya merupakan jalan alam yang selalu mensyaratkan terjadinya kontradiksi. Justru dari kontradiksi itulah lahir sebuah proses pembaharuan dan kemudian membaur dalam konteks jaman. Begitu pula dengan Wayang, sebagai budaya asali Nusantara Wayang tak bisa lepas dari berbagai pertentangan. Baik sebagai sebuah pertunjukan, pun sebagai sebuah karya berisi nilai, serta dampaknya bagi khalayak. Namun, ancaman terbesar niscaya selalu datang dari dalam. Produk kesenian yang sudah mentradisi ini belakangan mengalami gempuran dari kelompok garis keras berjubah keagamaan. Wayang yang dalam sejarahnya berhasil menjadi medium paling sukses dalam menyiarkan ajaran Islam, justru dianggap bertentangan dengan Agama yang bisa lestari di Nusantara lewat siasat kebudayaan Sunan Kalijaga yang melegenda. Sejarah mencatat, internalisasi nilai-nilai Keislaman melalui pertunjukan Wayang lah yang berhasil menggiring kesadaran masyarakat memeluk Islam sebagai agamanya.
Jakarta, Sept 02-08
02 media event #06
layar utama Pada sesi seminar tentang Wayang di Gedung Pewayangan Kautaman, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), 4 September lalu, fenomena ini tak lepas dari pembahasan. Hashim Djojohadikusumo, Ketua Yayasan Arsari Djojohadikusumo, menyampaikan kekhawatiran tersebut, “Wayang sesungguhnya sedang menghadapi ancaman adanya gerakan-gerakan ekstrim fundamentalis.” Beliau kemudian bercerita tentang salah satu tragedi Kebudayaan yang sedikit sekali terangkat, penghancuran Patung Wayang di Purwakarta pada 2011 oleh kelompok intoleran berjubah keagamaan. Alasan penghancuran karena pembangunan patung tersebut dianggap sebagai pemberhalaan alias musyrik. “Ini adalah peringatan, a wake up call for all of us!” seru Hashim dengan lantang. Tindakan tersebut jelas tidak bisa dipandang remeh mengingat Wayang sendiri merupakan salah satu yang melandasi dasardasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia sejalan dengan (atas) Para narasumber dan beberapa peserta cita-cita bersama pendirian bangsa yang ditahbiskan menjadi Seminar Internasional dasar Negara ini, Pancasila. Dengan demikian, penistaan terhadap WWPC 2013; (kiri-kanan) Hashim Djojohadikusumo Wayang secara tidak langsung merupakan penistaan terhadap dan Ekotjipto. dasar Negara Pancasila, karena kesamaan nilai yang termaktub di dalamnya. Hal ini juga ditegaskan oleh Ketua Umum Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi), Ekotjipto. “Kalau generasi kita berangkat dari budaya dan berangkat dari Pancasila, sangat memprihatinkan karena Pancasila merupakan asli dari budaya tradisi,” tegasnya. Tak perlu dijelaskan lagi kiranya sebagai dasar Negara, Pancasila merupakan alat pemersatu sebuah entitas bernama Indonesia. Berbagai upaya perongrongan dasar Negara sudah terjadi sejak bangsa ini berdiri, mulai dari yang halus, sampai yang sarkas seperti diungkapkan Hashim di atas. Saat ini, Wayang—yang notabene diakui sebagai produk kebudayaan dengan sumbangsih besar terhadap penerapan nilai-nilai Pancasila— menghadapi ancaman dari dalam yang ironisnya kurang mendapat porsi perhatian besar dari anak Bangsa. Akankah penyangkalan terhadap pondasi dasar kita berdiri saat ini dibiarkan terus terjadi? (Marthin Sinaga | marthin.
[email protected])
Jakarta, Sept 02-08
03 media event #06
M
alam terakhir pementasan Wayang di Monumen Nasional dalam ajang Wayang World Puppet Carnival (WWPC) seyogyanya dibuka oleh Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (PEPADI) Ekotjipto selaku Ketua Penyelenggara. Dikarenakan beberapa aktivitas yang harus dirampungkan, Bambang Asmoro mewakili PEPADI memberi sambutan. Dalam sambutannya, Bambang yang juga berprofesi sebagai Dalang ini menyampaikan terimakasih atas partisipasi penonton.
layar utama
“Terima Kasih untuk Para Penonton” Bambang Asmoro (Pepadi Pusat) Sebagai penggagas utama WWPC, PEPADI bekerjasama dengan Yayasan Arsari Djojohadikusumo (YAD) dan pihak pendukung lainnya, merasa antusiasme menonton Wayang merupakan bentuk dukungan yang sangat penting yang turut menjaga keberlangsungan dan kelestarian Wayang, budaya Adiluhung yang harus terus dipertahankan. WWPC sendiri merupakan ajang level internasional yang baru pertama kali diadakan dan Indonesia terpilih sebagai tuan rumahnya. Semua itu tidak bisa dilepaskan dari Indonesia sebagai home of Wayang. Karena itu pula, Bambang mengajak hadirin sekalian untuk mendukung salah satu keinginan untuk mendorong 7 September sebagai Hari Wayang Nasional. Tanggal tersebut mengacu pada hari di mana Wayang ditetapkan sebagai warisan kekayaan dunia oleh UNESCO. “Sudah selayaknya kita meneruskan kebanggaan ini sebagai pemilik tradisi yang mendunia,” ujar Bambang dalam kata sambutannya. Tak ayal penonton pun bertepuk tangan sebagai bentuk dukungan terhadap Wayang. (Marthin Sinaga |
[email protected])
Jakarta, Sept 02-08
04 media event #06
perfor mance
“Pemberontakan Brojo Dento”
Ki Hadi Sutikno
(Yogyakarta, Indonesia) Monumen Nasional, 7/9, 20wib
K
i Hadi Sutikno merupakan penampil asal Jogja yg dpt giliran di hari terakhir WWPC. Kursi yang disediakan sudah penuh terisi, namun tidak menyurutkan langkah yang lain merapat ke panggung. Ke dua sisi pun, padat sudah. Hal ini seakan menggarisbawahi keistimewaan Wayang. Ki Hadi memulai pertunjukan dengan lembut. Brojodento yang menjadi tokoh utama memulai pertunjukan. Brojodento adalah salah satu tokoh yang ruhnya bersemayam dalam diri Gatot Kaca. Di sela pertunjukannya, Ki Hadi Sutikno menyelipkan percakapan tentang WWPC. Wayang memang memiliki suatu adegan khas yang cukup dikenal khalayak luas. Apalagi kalau bukan adegan Goro-goro yang kondang itu. Adegan yang menampilkan Punakawan ini memang kerap menjadi adegan yang paling dinanti penonton. Ibarat ice breaker, Goro-goro memberikan sedikit ruang canda di tengah alur cerita yang sarat makna, tanpa meninggalkan kedalaman nilai yang hendak disampaikan. Dalam adegan tersebut, Punakawan menyatakan kebanggaannya terhadap acara yang kali perdana diadakan ini seiring dengan kian diakuinya Wayang sebagai World Masterpiece Herritage oleh UNESCO. Selipan Ki Hadi tersebut seakan memberi penegasan kepada penonton betapa berartinya Wayang bagi kita orang Indonesia. (Marthin Sinaga |
[email protected])
Jakarta, Sept 02-08
05 media event #06
perfor mance
Tolstoy’s
“Holstomer The Story of the Horse”
The Brest Puppet Theatre (Belarus)
Teater Kautaman, Gedung Pewayangan, 7/9, 20wib
Jakarta, Sept 02-08
06 media event #06
C
ahaya merah menerangi redup-redup sebuah setting kandang kuda. Musik bernada cepat berderap, menyaingi boneka kepala kuda yang menyimbolkan sebuah proses pengejaran. Seorang pemain tak berkepala sibuk memecut sang kuda, berusaha mengejar pasangannya yang lari bersama lelaki lain. Lampu sorot sesekali menyeruak, bersamaan dengan efek smoke yang memberikan gambaran dramatik. Pengejaran yang merubah hidup sang kuda juara, Holstomer, yang tak pernah lagi menjadi kuda yang dulu pernah dikenal banyak orang.
perfor mance
Mengangkat karya pengarang besar Rusia, Leo Tolstoy, “Holstomer, The Story of the Horse” The Brest Puppet Theatre tampil di depan penonton Teater Kautaman, Gedung Pewayangan TMII (7/9). Teater asal Belarusia ini menyuguhkan sebuah panggung tunggal ber-setting kandang kuda yang difungsikan untuk seluruh pengadeganan. Dua pintu kandang direbahkan dan digunakan menjadi latar pertunjukan boneka; lengkap dengan pencahayaan ekstrem yang acap kali membangun dramatisasi adegan. Di beberapa adegan, sebuah plat memunculkan bayangan tentang pikiran Holstomer, sang tokoh kuda. Holstomer merupakan salah satu literatur Rusia besar yang tak pernah selesai ditulis Tolstoy selama lebih dari 20 tahun (1863-1886). Kisah ini mengangkat kehidupan seekor kuda pacu yang memiliki kekurangan dalam fisik kulitnya; mengalami masa jaya sebagai kuda jawara pacuan dan kemudian masa suram karena cinta sang pemiliknya dikhianati pacarnya. Akibat putus cinta, sang pemilik yang merupakan anggota pasukan menjual Holstomer. Kemudian sang
Jakarta, Sept 02-08
foto: pejede |
[email protected]
07 media event #06
foto: pejede |
[email protected]
perfor mance
kuda terus berganti-ganti pemilik dan menua dalam kesendiriannya. Holstomer mempertanyakan konsep kepemilikan—dimana seluruh setting manusia sang pemilik diciptakan tak berkepala; kesetiaan dan kejujuran dalam hidup; dan nilai-nilai moralitas yang dipertanyakan saat ia di gerbang surga. Akhir cerita, penjaga pintu surga mengajak sang kuda untuk masuk ke alam surga, setelah seluruh catatan kehidupannya di evaluasi. Tokoh sang kuda berjalan perlahan, memasuki gerbang surga, menoleh sebentar ke arah penonton, kemudian masuk dan lampu meredup.
Sebagai sebuah pertunjukan boneka yang dicampur dengan aspek teatrikal, The Brest Puppet Theatre sukses mengangkat kisah besar ini dalam panggung yang sederhana. Kekuatan vokal para pemain, kisah tragis yang kuat, interpretasi penokohan boneka dan properti yang tak terlalu rumit, serta dramatisasi musik dan pencahayaan, membuat penonton memberikan standing aplaus tak henti-henti. Bagi saya pribadi, pertunjukan ini mampu mengolaborasi seluruh aspek, yang dibungkus dengan persepsi saya sendiri tentang sejarah panjang negara Belarus dalam tarik-menarik negara besar Eropa seperti Rusia dan Jerman. Maka tak heran, World Puppet Carnival 2012 di Khazakstan menobatkan The Brest Puppet Theatre sebagai pemenang. (pejede |
[email protected])
Jakarta, Sept 02-08
08 media event #06
perfor mance
Puppet Theatre Nebo Museum Nasional, 7/9, 13wib
“The
Room” A
(Slovenia)
nimo pengunjung Monumen Nasional tak seperti biasanya Sabtu Siang itu. Kebetulan, 7 September merupakan hari terakhir dari rangkaian ajang Wayang World Puppet Carnival (WWPC)
Jakarta, Sept 02-08
09 media event #06
perfor mance di Museum Nasional (Musnas). Meski pementasan baru dibuka pukul 13.00, penonton sudah mulai mengantri di pintu masuk Studio 5 Musnas, tempat digelarnya pertunjukan “The Room” yang dibawakan oleh Puppet Theatre Nebo, kontestan asal Kranj, Slovenia. Begitu pintu studio terbuka, pengunjung segera berebut ambil posisi untuk menikmati pertunjukan. Di dalam ruangan terdapat proyektor beserta LCD di sebelah kanan panggung, sementara di tengah panggung terdapat panggung kecil untuk pertunjukkan. Mengingat pertunjukan kali ini akan menampilkan sembilan karakter yang dimainkan dengan dua tangan dan sepuluh jari, saya mengira proyektor nanti akan menampilkan gambar yang lebih besar dari pertunjukan. Dugaan saya ternyata salah. Proyektor dan LCD hanya digunakan untuk pembuka pertunjukan. Berdurasi sekitar satu jam, pertunjukan ini berkisah tentang impian, cita-cita, dan hubungan seorang perempuan muda. Tanpa menggunakan sepatah kata pun, pertunjukan ini awalnya sempat membuat para penonton mengernyitkan dahi, meraba-raba cerita yang disampaikan melalui gerakan jemari sang Dalang. Namun kekuatan pesan tentang kesendirian, masa kanakkanak, persahabatan, cinta, dan asa ini lambat laun mampu mengusik emosi hingga penonton pun menikmati pertunjukan. Permainan Jemari sang Dalang pada akhirnya mampu memaksa penonton untuk tertawa dan memberi tepuk tangan meriah begitu pertunjukan usai. (Varonica Indrianingrum |
[email protected])
Jakarta, Sept 02-08
10 media event #06
more news & info http://www.wayangcarnival.com
follow us @wayangcarnival
11
media event #06 present by www.kotakpandora.com