Tren HAM KontraS No. 02 /III-IV/2010
Reformasi Sektor Keamanan: Kopassus dan Paket Bantuan Militer Amerika Serikat
Hak Asasi: Keputusan Final MK atas UU No 1/PNPS/1965 Kejaksaan Melarang Buku!
Pemantauan Impunitas: Gugatan Litigasi kepada Letjen Sjafrie Sjamsoeddin
Nusantara: Spiral Kekerasan di Papua
Internasional: Sidang Perdana AICHR
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan The Commission for the Disappearances and Victims of Violence
02
Salam Redaksi Maret – April 2010 Isu akuntabilitas dan profesionalitas aktor-aktor keamanan di indonesia masih menjadi tren yang berkembang dan menarik perhatian publik dalam bulan Maret dan April. Wacana pemulihan perbantuan militer untuk Kopassus, terus melorotnya kinerja aparat kepolisian, pro dan kontra RUU Intelijen Negara, brutalitas Satpol PP adalah wajah politik kekerasan yang nampak mencolok dalam perjalanan agenda reformasi sektor keamanan. Belum lagi pilihan politik kebijakan negara yang masih kerap mengusung nilai-nilai diskriminasi dan mengancam hak asasi. Catatan tren ini juga mengupas perjalanan sidang gugatan litigasi atas dilantiknya letjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin sebagai Wakil Menteri Pertahanan RI mengingat dugaan keterlibatan Sjafrie dalam beberapa kasus pelanggaran HAM masa lalu. Dan tak lupa, KontraS menghadirkan catatan khusus mengenai sidang perdana ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR), berikut tantangan penegakan HAM regional di wilayah Asia Tenggara. Selamat membaca!
Dibentuk untuk menangani persoalan penculikan beberapa aktivis yang diduga berhubungan dengan kegiatan politik yang mereka lakukan. Dalam perjalanannya KontraS tidak hanya menangani masalah penculikan dan penghilangan orang secara paksa, tapi juga diminta oleh masyarakat korban untuk menangani berbagai bentuk kekerasan yang terjadi baik secara vertikal di Aceh, dan Papua maupun secara horizontal seperti di Maluku, Sambas, Sampit, dan Poso. Selanjutnya ia berkembang menjadi organisasi yang independen dan banyak berpartisipasi dalam membongkar praktik kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia sebagai akibat dari penyalahgunaan kekuasaan. KontraS diprakarsai oleh beberapa organisasi non pemerintah dan satu organisasi mahasiswa, yakni: AJI, CPSM, ELSAM, KIPP, PIP-HAM, LPHAM, YLBHI, PMII. Badan Pekerja: Abu Said Pelu, Adrian Budi Sentosa, Agus Suparman, Ali Nursyahid, Chrisbiantoro, Edwin Partogi, Guan Lie, Haris Azhar, Heri Mardiansyah, Heryati, Indria Fernida, M. Daud Bereuh, Muhammad Harits, M. Rohman, Nur’Ain, Papang Hidayat, Puri Kencana Putri, Putri Kanesia, Regina Astuti, Rintarma Asi, Sinung Karto, Sri Suparyati, Syamsul Alam Agus, Sugiarto, Usman Hamid, Vitor Da Costa, Yati Andriyani, Yuliana Erasmus. Federasi KontraS: Oslan Purba, Bustami, Neneng (Jakarta), Hendra Fadli (NAD), Diah Susilowati (Sumatera Utara), Andry Irfan Junaidi (Surabaya) Harry Maturbong (Papua), Andri Suaib (Sulawesi). Badan Pekerja KontraS dibantu oleh para relawan yang tersebar di seluruh Indonesia. Redaksi KontraS menerima kritik, saran, dan tulisan untuk berita KontraS Diterbitkan oleh: KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) Penanggung Jawab Pemimpin Redaksi Redaktur Pelaksana Editor Bahasa Penanggung jawab ilustrator
: : : : :
Usman Hamid Puri Kencana Putri Hanny Sukmawati Indria Fernida Muhammad Harits
Sidang Redaksi: Sri Suparyati, Yati Andriyani, Papang Hidayat, Syamsul Alam Agus, Haris Azhar Distribusi: Rohman
Keuangan: Nur’ain
Tren HAM KontraS
Berita Utama
Reformasi Sektor Keamanan
• Kopassus dan Paket Bantuan Militer Amerika Serikat Pemerintah Indonesia harus bisa menjamin pemberian bantuan militer dan reaktivasi program kerjasama Amerika Serikat kepada Kopassus tidak akan disalahgunakan untuk mengulangi kejahatan hak asasi manusia, seperti yang telah terjadi di masa lalu. Wacana pemulihan hubungan kerjasama militer Amerika Serikat dan Indonesia ini mulai menguat seiring rencana lawatan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama pada bulan Juli depan. Embargo terhadap Kopassus dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat sesuai dengan ketentuan undang-undang Leahy Law, yang mengatur secara jelas larangan perbantuan militer bagi satuan militer luar negeri yang terlibat dalam rangkaian kasus pelanggaran HAM.
KontraS memandang bentuk tekanan internasional ini adalah dukungan positif bagi komunitas korban pelanggaran HAM untuk mendapatkan rasa keadilan. Mengingat Kopassus selama ini masih belum mempertanggungjawabkan sejumlah kasus kejahatan HAM seperti kasus penculikan aktivis pro-demokrasi 1997/1998, kekerasan di Timor Timur pascareferendum 1999, serta penculikan dan pembunuhan Theys Hiyo Eluay di Papua tahun 2001 silam. Bahkan hingga kini Kopassus masih belum menunjukkan wajah reformasi internalnya, seperti tindak kekerasan yang masih kerap terjadi dalam berbagai operasi militer yang dilakukan Kopassus di Papua.
Sejak lama pemerintah Indonesia terus melakukan lobi dan mencari celah, khususnya di era Bush, tepatnya saat embargo militer 1996 dicabut pada tahun 2005. Tentu saja keberhasilan pemulihan kerjasama ini tidak bertumpu pada segi lobi semata, namun diperlukan totalitas diplomasi mengingat pemerintahan Amerika Serikat di bawah Obama sangat mengedepankan nilai-nilai hak asasi manusia khususnya pada bantuan luar negeri.
Tren HAM KontraS
3
Berita Utama
Foreign Ops Appropriatons Act atau yang lebih populer dikenal sebagai Leahy Law adalah sebuah aturan yang dicetuskan oleh seorang senator Amerika Serikat, Patrick J. Leahy. Aturan tersebut mengatur khusus kebijakan politik pemerintah AS atas bantuan militer yang akan diberikan kepada militer di negara lain. Aturan ini menerapkan prinsip-prinsip hak asasi manusia secara ketat. Aturan ini juga mempergunakan mekanisme vetting yang merupakan satu mekanisme pelarangan (banning and disqualifying) atau pembatasan suatu partisipasi politik dari mereka yang dianggap bertanggung jawab atas suatu kejahatan serius. Patrick J. Leahy
Pemerintah Indonesia dalam hal ini juga harus memiliki sikap yang terbuka terhadap sepak terjang Kopassus di masa lalu. Selama ini, mereka yang melanggar HAM tidak pernah mendapatkan penghukuman yang serius. Jikapun mereka diperiksa, ditetapkan menjadi tersangka dan kemudian diadili, namun pada kenyataannya tidak pernah ditahan. Mereka masih bebas beraktivitas, dan ironisnya, mereka mendapatkan promosi jabatan-jabatan strategis dalam fungsi-fungsi komando fungsional. Kongres AS secara khusus meminta pemerintah Indonesia menerapkan mekanisme vetting, sehingga pelatihan bisa diberikan kepada individu-individu Kopassus yang memiliki catatan bersih. Upaya ini bagus, namun kita tidak bisa mengandalkan mekanisme vetting semata. pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Kopassus di masa lalu adalah buah dari sistem doktrin, kebijakan dan praktik institusional. Pelanggaran ini tidak dilakukan semata-mata kesalahan personal yang dilakukan oleh tentara Kopassus.
4
Tren HAM KontraS
KontraS tetap mendorong negara untuk lebih proaktif dalam melakukan upaya-upaya pengusutan dan penuntasan kasus masa lalu, seperti: Pertama, adanya jaminan yang diberikan negara kepada mereka yang telah melakukan pelanggaran HAM agar tidak menduduki jabatan komando dan atau berada di dalam struktur kemiliteran. Kedua, mendorong negara untuk melaksanakan penuntutan atas pelanggaran HAM berat yang melibatkan militer melalui pengadilan HAM. Ketiga, mendorong negara untuk menyempurnakan sistem peradilan militer Indonesia. Keempat, meletakkan pelanggaran militer tindak pidana umum dalam yurisdiksi peradilan umum. Upaya-upaya ini kita lakukan bukan semata-mata kita ingin membatasi eksplorasi pengetahuan para prajurit Kopassus dalam bidang kemiliteran mutakhir. Namun ada keinginan bersama untuk meletakkan kembali makna hukum dan rasa keadilan dalam proses kehidupan politik dan perjuangan hak asasi Indonesia yang masih belum disadari oleh banyak pihak.
• Pro Kontra RUU Intelijen Komisi I DPR RI akan memprioritaskan pembahasan RUU Intelijen di tahun 2010. Hal ini disampaikan langsung oleh Ketua Komisi I DPR RI Kemal Aziz Stamboel (Media Indonesia, 4/3). Proses pembahasan RUU ini akan dilakukan secara tertutup dengan melibatkan Kelompok Kerja (Pokja) BIN. Namun demikian DPR berjanji akan tetap melaksanakan uji publik atas draf yang disusun untuk mendapatkan masukan. Dari hasil monitoring KontraS terhadap draf RUU Intelijen Negara yang disusun oleh Kelompok Kerja (Pokja) BIN 2010 sendiri, terdapat beberapa pokok permasalahan yang dapat diidentifikasi.
Pokok Permasalahan Draf RUU Intelijen Negara versi Pokja BIN 2010 • Belum adanya definisi yang baku mengenai hakikat dan karakter Intelijen Negara dalam koridor “keamanan nasional” dan sistem keamanan nasional. • Belum adanya penjelasan yang terang mengenai diferensiasi komunitas intelijen nasional dan ruang koordinasinya. • Belum adanya konsep “pengawasan” yang efektif dan berlapis terhadap komunitas intelijen nasional. Bahkan di dalam draf hanya disebutkan sebatas di tingkat pengawasan legislatif oleh DPR. • Belum adanya pengelaborasian yang lebih luas dan penegasan yang lebih dalam mengenai konsep “kewenangan khusus” BIN, terkait jenis kewenangan khusus, otorisasi, batasan dan pertanggungjawaban dalam pelaksanaan kewenangan khusus. • Hadirnya terminologi “rahasia intelijen,” menjadikan pentingnya untuk menspesifikasikan kembali kebutuhan akan cakupan kerahasiaan, klasifikasi tingkat kerahasiaan, otorisasi yang melakukan pengklasifikasian tingkat kerahasiaan dan produk-produk intelijen. Biro Litbang KontraS, 2010 Mengingat sistem intelijen negara yang kita miliki adalah warisan rezim otoritarian Orde Baru, mekanisme corrective measures seperti pemulihan (remedy) penting untuk dimasukkan dalam rumusan kebijakan di samping pengawasan. Hal ini penting untuk dilakukan, khususnya untuk menjamin adanya akuntabilitas, sustainabilitas, hingga dampak dari kelalaian prosedur dalam aktivitas intelijen.
Tren HAM KontraS
5
Model-model Mekanisme Koreksi Badan Intelijen Negara: - Setiap Badan Intelijen Negara harus memenuhi: 1. Prinsip independensi (independency) 2. Prinsip kegigihan (robustness) 3. Prinsip keadilan (fairness) 4. Sensitivitas keamanan Keempat kewajiban ini tertuang di berbagai hukum HAM internasional yang bersifat mengikat secara hukum (legally binding) bagi negara-negara yang telah meratifikasinya.
Pemulihan efektif (effective remedies) sebagai realisasi dari mekanisme korektif dalam perspektif instrumen HAM internasional. Kewajiban negara dalam lingkup mekanis korektif adalah: - melakukan pengungkapan kebenaran atau investigasi (duty to truth seeking) - persekusi dan penghukuman bagi pelaku yang bersalah (duty to prosecute and punish) - pemberian ganti rugi kepada korban (duty to provide reparation) Jika negara gagal untuk menyediakan mekanisme pemulihan efektif ini, maka secara langsung negara telah melanggengkan rezim impunitas (impunity regime).
Mekanisme korektif juga harus berlaku dalam konteks pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat intelijen. Negara memiliki kewajiban untuk menyediakan mekanisme penerimaan keluhan (handling complaint mechanism) dari masyarakat luas yang menjadi korban dalam operasi intelijen. Negara juga berkewajiban untuk menginvestigasi dan atau memverifikasi setiap keluhan yang dilontarkan. Bahkan di beberapa negara, mekanisme korektif tidak saja bisa menampung keluhan dari warga sipil, namun juga dari aparat intelijen untuk konteks tertentu. RUU Intelijen Negara yang sedang dirumuskan oleh DPR RI ini harus mampu menjawab berbagai pertanyaan seputar fungsi intelijen negara yang ideal. Karena itulah rumusan demokrasi, penghormatan kebebasan sipil, hukum, dan hak asasi manusia perlu terus didorong oleh kelompok kerja masyarakat sipil untuk reformasi sektor keamanan dalam merumuskan rancangan undangundang intelijen negara ke depan.
6
Tren HAM KontraS
• Menagih Janji Profesionalisme Polri Polemik korupsi di tubuh Polri pun kian tak terbendung, khususnya pasca-kesaksian Susno Duadji yang menyeret beberapa nama jenderal di tubuh kepolisian. Kesaksian Susno Duadji, jenderal bintang tiga yang sempat menjabat sebagai Kabareskrim Mabes Polri, memang mengejutkan banyak pihak. Ia secara terang menyatakan bahwa ada banyak praktik penyimpangan kewenangan yang terjadi di dalam tubuh badan investigasi Polri tersebut. Bahkan ia berani memaparkan adanya praktik mafia korupsi di tubuh kepolisian. Susno kini berhadaphadapan dengan institusi yang dulu sempat ia bela mati-matian dalam sengketa ‘Cicak versus Buaya’.
Kesaksian Susno Duadji di Depan Satgas Mafia Hukum dan Komisi III DPR: • Berdasarkan data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), uang Rp 28 miliar di rekening Gayus diduga dari hasil korupsi perpajakan. Sayang sebelum mengetahui lebih lanjut, Susno sudah diberhentikan sebagai Kepala Bareskrim. • Selanjutnya, barang bukti di beberapa rekening dipecah, yang diambil sebagai barang bukti hanya Rp 378 juta. Lalu diciptakan pemilik boneka bernama Andi Kosasih, yang menyatakan uang Rp 28 miliar itu miliknya yang idtitipkan ke Gayus untuk beli tanah. Saat itulah Susno sempat menanyakan hal itu pada Direktur II Ekonomi Jenderal (Pol) Edmond Ilyas. Edmond meminta kasus tersebut diselidik kembali. • Tanggal 26 November, blokir uang di rekening Gayus dibuka oleh Direktur II Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Bridjen (Pol) Raja Erizman, yang menggantikan Edmond. Pembukaan blokir itu mengabaikan prinsip kehatian-hatian dan mengabaikan prosedur. • Susno mendengar kabar ia dijatah Rp 5 miliar dalam kasus ini. Susno mengaku ada seorang jenderal meminta jatah 2 miliar. Sang jenderal juga meminta jatah 5 miliar dengan dalih buat dirinya. Susno mengaku tak pernah memintanya dan uang tersebut-pun tidak pernah dikirim hingga hari ini. • Gayus menangani 149 kasus perusahaan yang pajaknya besar, namun, pengambil keputusan bukan di tangan Gayus, tetapi penjabat diatasnya. Kesaksian disampaikan pada tanggal 19 Maret 2010
Polri pun nampaknya tidak gagal untuk menggunakan mekanisme akuntabilitas internal dalam menyelesaikan permasalahan ini. Susno bahkan kembali melontarkan tudingan baru ke arah Polri terkait kasus korupsi di tubuh kepolisian yang melibatkan salah seorang pegawai dinas kepajakan, Gayus Tambunan. Dua nama jenderal yaitu Brigjen (Pol) Edmond Ilyas dan Brigjen (Pol) Raja Erizman. pun ikut terseret dalam kasus penanganan perkara pajak senilai Rp 25 miliar yang dicairkan secara tidak wajar, mereka berdua bahkan akan mengancam memperkarakan Susno secara pidana dan perdata (Koran Tempo, 25/3). Secara khusus Susno Duadji bahkan meminta dukungan dari Komisi III Bidang Hukum DPR RI, tidak saja untuk kembali membeberkan permasalahan, namun secara khusus ia meminta perlindungan hukum kepada DPR.
Kami mengajukan surat permohonan perlindungan hukum ke Komisi Tiga terkait diberlakukannya Peraturan Kapolri yang belum diundangkan - Henry Yosodiningrat (Liputan 6, 29/3) Henry Yosodiningrat Foto Antara/Andika Wahyu
Belajar dari kasus Susno, kita bisa melihat bahwa mekanisme internal di tubuh Polri belum berjalan maksimal. Mekanisme internal Polri tersebut belum mampu mengelola sumber informasi yang dimiliki Susno dalam memperbaiki kinerja profesional dan akuntabilitas Polri.
Biro Litbang KontraS, 2010
Tren HAM KontraS
7
Dalam UN Code of Conducts of Law Enforcement Officials, yang diadopsi oleh Resolusi Majelis Umum PBB 34/169 tertanggal 17 Desember 1979: “setiap aparat yang mengetahui suatu “pelanggaran/penyalahgunaan kekuasaan telah terjadi atau akan terjadi, harus membawanya kepada otoritas atasannya” Ketentuan tersebut dirancang untuk menjaga mekanisme keseimbangan (check and balances) antara kebutuhan untuk memiliki aturan disiplin internal, pencegahan dan mekanisme koreksi atas bentuk pelanggaran HAM yang serius dan berbagai bentuk penyalahgunaan wewenang lainnya, seperti korupsi.
Bentuk-bentuk penyalahgunaan wewenang, rendahnya mekanisme kontrol, hingga belum tercapainya satu standar baku profesionalitas Polri adalah pekerjaan rumah Polri yang harus diselesaikan. Peran masyarakat sipil juga dibutuhkan dalam mendorong dan menggiatkan kembali ruang-ruang kontrol sipil demokratik-independen yang memiliki corak rule of law dan hak asasi manusia. Pengembangan sumber daya untuk membangun mekanisme kontrol harus ditingkatkan, baik di level internal maupun eksternal kepolisian.
• Politik Kekerasan Satpol PP Sekali lagi Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sebagai menjadi sasaran kumulasi perhatian dan amarah publik. Satpol PP sebagai salah satu aktor keamanan, dalam konteks penegakan peraturan di tingkat daerah (Perda), justru dianggap sebagian publik sebagai sumber masalah keamanan dan ketidaknyamanan, khususnya di kalangan masyarakat urban. Upaya eksekusi urusan tanah di makam Mbah Priok ternyata berubah menjadi bentrok massal dengan adanya korban jiwa dan ratusan orang terluka. Peristiwa ini hanya merupakan salah satu dari deret bilangan kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh Satpol PP dalam menjaga “ketertiban dan keindahan” kota atau memberantas “penyakit sosial dan sampah masyarakat”.
Penilaian KontraS atas Kinerja Satpol PP:
• • • •
Sistem rekruitmen yang buruk dan sembarang Pelatihan yang tidak memadai dan militeristik Minimnya mekanisme akuntabilitas ke pihak eskternal Belum digagasnya ruang ketertiban umum dalam desentralisasi pemerintahan
proyek
(Biro Litbang KontraS, 2010)
Orde Baru Agenda reformasi struktural dan institusional dalam tata kelola pemerintahan yang baik: 1. menata aktor-aktor sektor keamanan, khususnya militer dan kepolisian yang lebih tunduk kepada prinsip supremasi sipil dan bisa dikontrol secara efektif oleh institusi demokratik. 2. melakukan desentralisasi pemerintahan yang terlalu sentralistik dengan memperkuat kapasitas pemerintahan daerah problem: ketiadaan sinkronisasi antara dua agenda reformasi tersebut. Akar masalah dalam Agenda Reformasi Sektor Keamanan: sulitnya mendesentralisasi sistem pertahanan (militer) karena watak dan fungsinya memang memerlukan suatu tata yang tersentralistik Kepolisian Negara RI (Polri) tidak menjadi subjek desentralisasi, namun sebagian dari fungsi pemolisian (policing) ikut dalam arus desentralisasi, meski ditempatkan pada institusi yang lain Fungsi dan kewenangan pemerintahan daerah untuk turut serta dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, dan menegakkan hukum dan peraturan mandat serupa yang dimiliki oleh kepolisian.
8
Tren HAM KontraS
Memang salah satu faktor Satpol PP begitu dibenci publik tidak bisa dipisahkan dari suatu kebijakan pemerintahan daerah yang tidak populis seperti penggusuran perumahan ‘kumuh’, penertiban pedagang ‘kaki lima’, atau, gelandangan, pengemis, dan anak jalanan. Namun lebih dari itu seringkali kerja dari Satpol PP selalu disertai oleh tindak kekerasan yang berlebih (excessive use of force). Bila ditelisik lebih lanjut memang akar penyebab watak brutal dari Satpol PP ini ada di segala lini. Hingga saat ini postur kepolisian, sebagai instrumen penegakan hukum dan pemeliharaan ketertiban umum, masih sentralistik atau yang sering dikenal sebagai institusi vertikal. Dalam konteks ini akuntabilitas Polri belum dirancang untuk bertanggung jawab atau dikontrol oleh kepala daerah yang merupakan institusi demokratik publik (paling tidak secara normatif). Sejauh ini problem tumpang tindih kewenangan dan mandat kedua institusi ini nampaknya tidak bisa diselesaikan lewat mekanisme koordinasi mengingat absennya suatu aturan normatif soal akuntabilitas sektor keamanan di tingkat daerah.
Seorang kepala daerah tidak memiliki kontrol efektif terhadap seorang kepala kepolisian daerah terkait suatu masalah ketertiban atau penegakan hukum (Perda). Kepolisian di daerah hanya tunduk terhadap komando institusional atasannya, di mana pada rantai tertinggi adalah Kapolri yang bertanggung jawab (sendirian) terhadap hampir 400 ribu personelnya.
Minimnya kontrol efektif pemerintah daerah atas kepolisian membuat pilihan memperkuat kewenangan Satpol PP lebih mudah dan terlihat realistis dalam menjamin penegakan kebijakan yang dibuatnya, ketimbang mereorganisasi aktor-aktor sektor keamanan yang lebih rumit dan memerlukan landasan hukum yang lebih kuat.
Berbagai Kewenangan Satpol PP: • saat ini Satpol PP dapat memiliki otoritas sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dengan kewenangan untuk penyelidikan dan
membawa persoalan ke pengadilan terkait pelanggaran Perda, di mana seringkali mereka melakukan penangkapan. • fasilitas dan anggaran yang diberikan kepada institusi ini juga meningkat seiring bertambahnya jumlah personel Satpol PP. • beberapa ketentuan legal formal sebagai produk reformasi belum menyentuh mereka, padahal mereka diberikan kewenangan untuk menggunakan kekerasan. Insiden Priok berdarah merupakan momentum berharga bagi banyak pihak untuk merumuskan secara strategis fungsi dan kewenangan Satpol PP sebagai aktor sektor keamanan. Sejauh ini ada dua skenario tawaran. Pertama, membubarkan Satpol PP mengingat rekam jejaknya yang sangat bermasalah. Pilihan ini tentu harus diiringi dengan suatu strategi baru penataan aktor sektor keamanan, khususnya relasi Polri dengan agensi pemerintahan daerah. Sementara itu pendekatan kedua yang lebih moderat adalah memodifikasi Satpol PP untuk semakin ‘profesional’. Namun konsekwensi pendekatan ini pun tidak sederhana. Diperlukan evaluasi terhadap kerangka normatif yang mendasari keberadaan organisasi ini dan berlanjut pada pembenahan yang sistemik. Selaini itu perlu ada perubahan pola rekrutmen dan metode pelatihan yang harus dikontrol secara ketat dan akuntabel. Selama ini anggota Satpol PP identik dengan premanisme dan umumnya berasal dari kalangan tak terdidik sekedar untuk tidak menjadi pengangguran. Solusi kedua ini pun membutuhkan energi dan biaya yang tidak murah.
Tren HAM KontraS
9
Nusantara
Hak Asasi • Keputusan Final Mahkamah Konstitusi atas UU No 1 PNPS/1965 Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Uji Materiil UU No. 1/PNPS/1965 pada tanggal 19 April 2010 menunjukkan telah terjadinya kemunduran demokrasi di Indonesia. Putusan MK ini juga berpotensi untuk memberi ruang kepada kelompok-kelompok yang selama ini sering melakukan tindakan-tindakan anarkis dan diskriminatif kepada kelompok-kelompok minoritas keagamaan. Dari keputusan MK yang dibacakan, Mahfud MD selaku ketua hakim tim uji materiil menyatakan beberapa hal: (Mahfud MD)
1.
MK berpendapat negara harus memiliki otoritas untuk mengatur masyarakat. Jika ada konflik, maka yang bisa memberikan kewenangan paksa untuk mengatur adalah negara.
2.
Kita tak boleh terjebak dalam kegenitan bahwa kalau berani mempersoalkan UU itu lalu disebut tokoh HAM, sedang yang lainnya bukan. Itu genit yang kebablasan. (Sumber: Kompas 22 April 2010)
(Hakim Mahmud MD)
10
Tren HAM KontraS
Dari hasil pemantauan KontraS selama persidangan diselenggarakan, MK telah melakukan beberapa bentuk manipulasi fakta persidangan.
Bentuk Manipulasi Fakta Persidangan: 1.
Komnas HAM dalam fakta persidangan sesuai dengan notulensi persidangan menyatakan bahwa pasal 1 dicabut dan pasal 4 direvisi, namun dalam keputusan MK menyatakan bahwa Komnas HAM merekomendasikan UU tidak perlu dicabut dan masih dibutuhkan. Namun dalam keputusan MK, fakta tersebut mengesampingkan perbedaan level pendapat ketua Komnas HAM terkait pasal 1 dan 4. MK memandang pasal 1 dan 4 adalah sama.
2.
Muzakir dalam fakta persidangan tidak menjelaskan berat ringannya hukuman dalam konteks hukum administrasi dan hanya menjelaskan bahwa pasal 4 sebagai ultimum remedium. Namun MK dalam keputusannya.
3.
Dalam fakta persidangan, SE Mendagri 14 Maret 2006 point 2 dan 3 tentang pencatatan perkawinan penghayat kepercayaan yang diajukan sebagai bukti oleh Pemohon dan Pihak Terkait menyatakan bahwa SE itu berdasarkan UU No. 1/Pnps/1965, namun dalam putusan, MK menegasikan bukti tersebut dengan menyebutkan bahwa SE Mendagri tersebut tidak ada hubungannya dengan UU No. 1/Pnps/1965.
4.
MK mendasarkan dasar keputusannya bahwa jika UU ini dicabut maka kekerasan atas nama agama akan terjadi, padahal fakta persidangan dari Prof. Nur Syam menunjukan bahwa konflik beragama hanya 2%.
MK pun telah mengambil langkah kontroversial subyektif tanpa menggunakan fakta persidangan dan alat bukti.
Pasal 5 (2 dan 3) UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi: “Putusan harus didasarkan sekurangkurangnya 2 alat bukti dan wajib memuat fakta yang terungkap di persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan”. •
Namun dalam keputusan MK disebutkan bahwa penghayat kepercayaan pada tahun 1960-an memang “biadab” dan perlu dibina;
•
MK juga menafsirkan permintaan pemohon bahwa pemohon meminta untuk tidak ada religiusitas dan menghapuskan perayaaan keagamaan di Indonesia. Padahal pemohon tidak pernah meminta hal ini;
•
MK juga menafsirkan bahwa pemohon membandingkan dengan pendidikan agama di Amerika yang inkonstitusional, padahal Pemohon tidak pernah melakukan perbandingan antar negara;
•
MK telah menolak teori ketatanegaraan universal tentang negara hukum (rechtstaat).
Putusan Mahkamah ini, Hakim Harjono memiliki alasan berbeda (concurring opinion), dan Hakim Maria Farida Indrati memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion).
Tren HAM KontraS
11
Pendapat Hakim Maria Farida dan Hakim Harjono Dalam Putusan UU No 1/PNPS/1965 No
Nama
Pendapat/alasan
1
Hakim Maria Farida Indrati
“UU tersebut produk masa lampau. Meski berdasarkan aturan peralihan pasal 1 UUD 1945, secara formal masih berlaku namun secara substansial mempunyai kelemahan Karena adanya perubahan yang sangat mendasar atas UUD 1945 khususnya pasal HAM”. Pembentukan UU No 5/1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai UU yang merupakan perintah TAP MPRS No XIX tentang Peninjauan Kembali Produk Legislatif Negara Diluar Produk MPRS yang tidak sesuai dengan UUD 1945 dan TAP MPRS Nomor XXXIX /MPRS/1968 tentang Pelaksanaan TAP MPRS Nomor XIX. Maka pelaksanaan kedua TAP MPRS dan UU Nomor 5/1969 khususnya dalam pasal 2 dan penjelasannya, sudah berlangsung selama 40 tahun. Dengan terjadinya berbagai masalah yang seringkali menimbulkan adanya tindak sewenang-senang dalam pelaksanaan UU tersebut, dan adanya pertentangan dalam ketentuan pasal-pasal dalam UUD 1945, khususnya pasal-pasal 28E pasal 28 I dan pasal 29 UUD 1945,”
2
Hakim Harjono
“Setelah UUD 1945 diubah, maka UU tersebut tidak dapat diuji secara formal berdasarkan UUD 1945 setelah perubahan. Karena kalau hal tersebut dilakukan maka seluruh UU yang dibuat sebelum perubahan UUD 1945 akan menjadi tidak sah secara formil. Namun ini tak berlaku terhadap pengujian materiil,”
Biro Litbang KontraS 2010 (Diolah dari berbagai sumber) Dalam putusan MK, negara hukum yang diinterpretasikan oleh MK ternyata tidak sesuai dengan prinsip negara Hukum yang diamanatkan oleh UUD 1945: “[…] prinsip Negara hukum Indonesia yang tidak harus sama dengan prinsip Negara hukum dalam arti rechtsstaat maupun the rule of law. Prinsip Negara hukum Indonesia harus dilihat dengan cara pandang UUD 1945 yaitu negara hukum yang menempatkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai prinsip utama, serta nilai-nilai agama yang melandasi gerak kehidupan bangsa dan Negara, bukan negara yang memisahkan hubungan antara agama dan negara, serta tidak semata-mata berpegang pada prinsip individualism maupun prinsip komunalisme.” Dengan keputusan MK, maka sebenarnya MK telah memberikan legitimasi bagi negara Indonesia untuk melakukan tindak diskriminasi kepada penghayat kepercayaan dan kelompok minoritas keyakinan (agama dan kepercayaan) lainnya, serta melegitimasi negara Indonesia untuk menentukan pokok—pokok ajaran agama di Indonesia. Dan sebagai pilar demokrasi dan perlindungan HAM, hakim-hakim MK telah gagal menjalankan tugasnya.
1
Tren HAM KontraS
Kebebasan Berekspresi • Kekerasan dan Pelarangan Kongres ILGA dan Pelatihan HAM Waria Diskriminasi terhadap kelompok minoritas masih saja kerap terjadi. Kali ini menimpa kelompok LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender) yang tengah menyelenggarakan Regional – International Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender and Intersex Association Conference (ILGA), di Surabaya pada tanggal 26-28 Maret 2010. Konferensi tersebut dibubarkan secara paksa oleh belasan orang dari ormas Forum Umat Islam (FUI) dan Forum Madura Bersatu (Formabes).
Kronologis Pembubaran Acara ILGA No
Tanggal
Keterangan
1
11 Februari 2010
lewat rapat pertama persiapan konferensi ILGA-ASIA diputuskan mulai mengurus perizinan acara (Andre, seorang sukarelawan ditunjuk untuk mengerjakan hal ini), dengan rute Hotel Bumi Nusantara (tempat kongres diadakan) menuju ke Gedung Grahadi dan kembali ke Hotel Bumi Nusantara.
2
2 Maret 2010
Surat diserahkan ke Polres Surabaya Selatan dan diterima oleh Aiptu Mujiono
3
3 Maret 2010
Pihak Polres Surabaya Selatan (Pak Bunga) mengatakan surat ijin sudah keluar dan sudah bisa diambil
4
10 Maret 2010
Surat dikirim ke Polwiltabes Surabaya dan diterima
5
18 Maret 2010
Pihak Polwiltabes mengatakan bahwa ada beberapa kelengkapan yang kurang seperti akte notaris, daftar nama, termasuk surat rekomendasi dari Polda Jatim dan Polwil Surabaya
Tren HAM KontraS
13
6
22 Maret 2010
Andre (panitia) menyerahkan kelengkapan yang diminta
7
23 Maret 2010
Berita tentang acara ini dimuat di Harian Surya, dengan judul ”Gay dan Lesbian Kongres di Surabaya“ Di hari yang sama, Andre melengkapi kekurangan persyaratan yang diminta sebelumnya.Kasat Intel Polwil Slamet, menyerahkan surat yang isinya tidak merekomendasikan acara itu digelar di Surabaya, karena mendapat laporan dari bawahannya bahwa beberapa Ormas Islam akan menggagalkan acara itu
8
26 Maret 2010
- Kantor Gaya Nusantara diserang kelompok ormas FUI (Forum Umat Islam) dan Formabes (Forum Madura bersatu). Penyerangan sangat jelas dipersiapkan, selain membawa batu dan tongkat di tangan - Di hari yang sama penyerangan juga dilakukan di Hotel Oval. Dan untuk menghindari hal yang tak diinginkan, panitia akhirnya meminta meminta peserta keluar hotel dengan menyamar menjadi turis asing yang sedang memyaksikan pemandangan - Sebelumnya, sambil terus mengamati, sesekali kelompok orang yang berjaga-jaga di luar hotel Avol, mengancam orang-orang yang mereka duga sebagai gay atau lesbian ataupun waria (meski seringkali tamu hotel lain yang mereka ancam) dengan isyarat jari telunjuk menggesek tenggorokan seolah-olah akan menggorok atau mengacungkan tinju, namun mereka tidak membawa atribut maupun tongkat seperti yang mereka lakukan di kantor Gaya Nusantara. Biro Litbang KontraS 2010 (diolah dari berbagai sumber)
Berdasarkan informasi yang kami terima, Kongres ini merupakan pertemuan regular yang bersifat damai dan mendiskusikan hal-hal penting yang berkaitan dengan kesehatan, pemulihan psikososial serta advokasi. Namun panitia kongres sulit mendapatkan ijin dari pihak Mabes Polri, Polda Jawa Timur dan Polwiltabes Surabaya dengan alasan ketiadaan izin administrasi. Aksi pelarangan acara tidak saja berhenti pada acara ILGA, namun juga pada bentuk penyegelan kantor Gaya Nusantara sebagai salah satu pihak penyelenggara. KontraS memandang bahwa bentuk pelarangan ini merupakan pelanggaran terhadap hak atas kebebasan berekspresi yang melekat pada semua orang. Kecenderungan lain yang harus diperhatikan dari menguatnya gerakan Islam-fundamentalis ini adalah kemampuan mereka untuk mengganggu kegiatan yang dilakukan oleh lembaga negara. hal ini tampak dalam pembubaran acara Pelatihan HAM Bagi Waria yang dilakukan oleh Komnas HAM (Depok, 30 April 2010). FPI tidak aja melakukan tindak pembubaran, namun juga menciderai Zainal Abidin, Direktur Riset YLBHI yang saat itu sedang mengisi pelatihan. Seusai pembubaran tersebut, Puluhan Waria Peserta Pelatihan Hak Asasi Manusia langsung dievakuasi ke Kantor Komnas HAM.
14
Tren HAM KontraS
Pernyataan Ketua MUI Jawa Timur, K.H. Abdusshomad Buchori Pelarangan harus dilakukan karena akan memicu persoalan baru, mengingat lesbian dan gay tidak termasuk dalam bagian dari agama manapun, sehingga hal tersebut dianggap akan mengganggu dari segi etika dan moral (Antara News, 25 Maret 2010).
K.H. Abdusshomad Buchori
Hak Kebebasan Berekspresi: 1. 2. 3. 4. 5.
6.
Kebebasan berekspresi (dan beropini) merupakan salah satu kategori hak asasi manusia yang utama; Hak ini masuk dalam kategori hak asasi pertama, hak dengan dimensi sipil-politik; Kategori hak ini misalnya dapat ditemui dalam salah dokumen HAM acuan tertua, seperti French Declaration of The Rights of Man and Citizen of 1789 (art. 11); Meskipun hak berekspresi dianggap ‘tidak‘ sefundamental hak atas hidup, hak beragama dan berkeyakinan, hak bebas dari penyiksaan, dan masih dimungkinan untuk diderogasi, hak ini selalu menjadi pengawal utama hak-hak dasar manusia; Secara khusus hak atas kebebasan berekspresi ini diatur secara khusus pada Pasal 19 ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights –Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik) Pasal 2: Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya; Dalam regulasi domestik, telah diatur pada UU No 11/2005 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Sipil dan Politik, UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia serta Amandemen Konstitusi RI.
• Kebebasan Berekspresi: Kejaksaan Melarang Buku! Pelarangan buku di masa Orde Baru menciptakan trauma atas pengekangan hak kebebasan berekspresi. Kini ancaman itu hadir lagi di era kebebasan informasi dan memancing respon negatif dari masyarakat. Buktinya adalah ketika Kejaksaan Agung mengeluarkan surat edaran terhadap 5 judul buku yang dilarang beredar, melalui SK Jaksa Agung No. 141/A/JA/12/2009 pada 22 Desember 2009 silam. Judul dari kelima buku itu adalah, Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karya John Rosa; Suara Gereja bagi Umat Tertindas, Penderitaan, Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karya Cocratez Sofyan Yoman; Lekra Tak Membakar Buku, Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 19501965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan; Enam Jalan Menuju Tuhan karya Darmawan MM; dan Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karya Drs Syahrudin Ahmad. Dalih menjaga ketertiban umum acapkali digunakan secara sepihak oleh otoritas lembaga negara, tidak terkecuali Kejaksaan Agung yang memiliki kewenangan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya dapat Mengganggu Ketertiban Umum (selanjutnya disebut sebagai UU No 4/PNPS/1963), yakni suatu Peraturan Presiden yang telah ditetapkan menjadi undang-undang melalui UU No.5 Tahun 1969 Tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang, dan Pasal 30 ayat (3) huruf (c) UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung.
UU No 4/PNPS/1963 Produk masa darurat yang digunakan sebagai alat kekuasaan pemerintah dalam arahan Demokrasi Terpimpin Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Atas adanya pelarangan tersebut, Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) diwakilkan oleh I Gusti Agung Ayu Ratih dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri mengajukan permohonan pengujian materi atas UU tersebut.
Tren HAM KontraS
15
Sejarah Pelarangan Buku di Indonesia: Periode Kolonial: 1. 2. 3.
Tidak ada pelarangan buku Pemenjaraan penulis-penulis yang dianggap menentang pemerintah Belanda Menyebut tulisan-tulisan mereka sebagai bacaan liar: - Penyampai pesan dari organisasi atau aktivis pergerakan kepada rakyat - Melukiskan situasi pergerakan, eksploitasi kolonial, mendorong pembacanya untuk berpartisipasi dan bergerak bersama kaum pergerakan untuk menentang kediktatoran pemerintah kolonial.
Kategori Bacaan Liar: 1. 2. 3. 4. 5.
Produksi teks: novel, surat kabar, buku, syair, hingga teks lagu Pengarang: Semaoen (Hikajat Kadiroen), Mas Marco Kartodikromo (Student Hidjo, 1918; Sair Rempahrempah, 1918; Matahariah, 1919), Tan Malaka (Parlemen atau Soviet, 1921) Setting: beberapa kota di Hindia Belanda seperti Semarang, Surabaya, Batavia yang menjadi pusat kekuasaan, perdagangan dan industri Gagasan pergerakan dari luar juga turut mewarnai ide dalam bacaan-bacaan liar Bacaan liar hilang seiring dengan pemberontakan nasional 1926/1927 yang diikuti dengan pemberangusan organisasi dan ide-ide radikal.
Periode Kemerdekaan dan Orde Lama: 1.
2. 3.
4.
16
Militer memiliki kuasa yang besar, termasuk untuk mengontrol barang-barang cetakan: - Peraturan Kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Militer No. PKM/001/9/1956 - UU no. 74 tahun 1957 tentang Pencabutan Regeling - Op de Staatvan Oorlog En Beleg Ordonantie dan Penetapan Keadaan Bahaya Penetapan Presiden No. 4/1963 tentang Pengamanan Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum Kasus pelarangan buku: - Karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Hoakiau. Pelarangan buku ini diikuti dengan pemenjaraan Pramoedya Konsep mengganggu ketertiban umum terkait dengan semangat revolusi dan anti imperialisme,
Tren HAM KontraS
5.
dengan adanya pembakaran dan pelarangan buku-buku terbitan negara barat Kewenangan pelarangan buku selanjutnya berada di tangan Kejaksaan Agung
Periode Orde Baru: 1.
2.
3.
4.
5.
Penetapan Presiden No 4/ 1963 ditetapkan oleh pemerintah Orde Baru sebagai UU No 4/ PNPS/ 1963 melalui UU No 5/ 1969 UU ini masih menimbulkan pro dan kontra, mengingat penetapan presiden dirumuskan dalam kondisi darurat perang dan UU No 5/1969 menyatakan bahwa UU tersebut bersifat sementara dan perlu perbaikan Pasca-peristiwa 1965, pemerintah Orde Baru melakukan pelarangan ajaran-ajaran Marxisme-Leninisme/Komunisme, termasuk juga publikasinya Pemerintah Orde Baru juga melarang beredarnya barang cetakan dalam aksara China (Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 286/ KP/ XII/ 78 tentang Larangan Mengimpor, Memperdagangkan dan Mengedarkan Segala Jenis Barang Cetakan dalam Huruf/ Aksara dan Bahasa Cina) Kasus pelarangan buku: - Pelarangan Ensiklopedi Funk and Wagnalls - Pelarangan Buku Militer dan Politik karya Harold Crouch - Pelarangan Memoar Oei Tjoe Tat.
Periode Reformasi: 1. 2.
Pelarangan buku tetap berlanjut dengan diterapkannya UU No 4/PNPS/1963 Pelarangan buku dilakukan pada buku-buku yang mengandung unsur-unsur: - Subversif - Marxisme-Leninisme/komunisme - Barang cetakan yang berisi tulisan, gambar, atau lukisan yang bertentangan dengan - Pancasila dan UUD 1945 - Bertentangan dengan Garis-Garis Besar Haluan Negara (kini Rencana Pembangunan - Jangka Panjang) - Merusak kesatuan dan persatuan masyarakat, bangsa Negara Kesatuan RI - Merusak kepercayaan masyarakat terhadap kepimimpinan - Pornografi - Agama dan SARA - Merugikan dan merusak pelaksanaan program pembangunan nasional yang tengah dilaksanakan dan hasil-hasil yang telah dicapai.
3.
Terdapat 22 buku yang dilarang, 13 diantaranya adalah buku teks pelajaran sejarah SLTP-SLTA.
- menganggu ketertiban umum
(Sumber: Sejarah Pelarangan Buku – Tim ISSI 2010)
Tren HAM KontraS
17
Pemantauan Impunitas
Pemantauan Impunitas Gugatan Litigasi Wakil Menteri Pertahanan Letjen (TNI) Sjafrie Sjamsoeddin Absennya Politik Penghukuman Setelah KontraS mempertanyakan posisi jabatan politik yang kini disandang Letjen (TNI) Sjafrie Sjamsoeddin, sejumlah perwakilan korban pelanggaran HAM melayangkan gugatannya secara resmi ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada Senin, 5 April 2010. Gugatan ini diarahkan pada surat keputusan Presiden RI No 3/P/2010 tertanggal 6 Januari 2010. Keppres berisikan surat pengangkatan jabatan politik Wakil Menteri kepada Letjen (TNI) Sjafrie Sjamsoeddin, MBA (Wakil Menteri Pertahanan RI), serta beberapa nama pejabat lainnya seperti Dr Ir Lukita Dinarsyah Tuwo, MA (Wakil Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional) dan Prof Dr. Fasli Jalal Ph.d (Wakil Menteri Pendidikan Nasional).
Gugatan dengan nomor registrasi perkara: 51/G/2010 PTUN diajukan dengan beberapa alasan: 1.
Keppres tersebut melanggar UU karena karena mengangkat seseorang dengan status TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil sekaligus jabatan politik, melalui pengangkatan presiden
2.
Presiden tidak memiliki kepekaan terhadap semangat demokratisasi yang hendak dibangun dalam era reformasi yang menghendaki supremasi sipil
3.
Pengangkatan TNI aktif akan menimbulkan pertanyaan besar karena nama orang tersebut masuk ke dalam daftar nama yang patut diperiksa lewat proses penyidikan, karena dinilai bertanggungjawab atas setidaknya tiga peristiwa besar, Penculikan Aktivis Pro-Demokrasi 1997/1998, Penembakan Mahasiswa 1998, dan Kerusuhan Mei 1998
4.
pengangkatan Letjen (TNI) Sjafrie Sjamsoeddin oleh presiden secara terang telah menciderai hasil dari laporan-laporan penyelidikan Komnas HAM.
Dasar Hukum Gugatan: 1.
UU No 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
2.
UU No. 28 Tahun 1999 tentang tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
3.
UU No. 39/1999 tentang HAM
4.
UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM
5.
UU No. 3/2004 tentang Pertahanan Negara
6.
UU No. 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia
7.
UU No. 12/2005 Tentang Hak-hak Sipil Politik
“Kami semula menunggu terbitnya keputusan Presiden tentang Pengadilan HAM adhoc bagi kasus penculikan, sebagai tindak lanjut atas rekomendasi DPR 28 September 2009 lalu. Gugatan baru diajukan setelah sekian lama mempertimbangkan manfaat positif dan pengaruh negatif dari saat menunggu tersebut, sehingga baru diajukan menjelang berakhirnya masa waktu gugatan.” Usman Hamid
18
Tren HAM KontraS
Tuntutan Gugatan: 1.
Menyatakan batal atau tidak sah atau mencabut Keppres No 3/P/2010 Tertanggal 6 Januari 2010, khususnya tentang pengangkatan Letnan Jenderal (TNI) Sjafrie Sjamsoeddin, MBA sebagai Wakil Menteri Pertahanan. 2. Mewajibkan Presiden RI untuk mencabut Surat Keputusan Nomor 3/P tertanggal 6 Januari 2010 khususnya Tentang Pengangkatan Letnan Jenderal TNI Sjafrie Sjamsoeddin, M.B.A sebagai Wakil Menteri Pertahanan Penggugat adalah korban, yaitu perorangan atau kelompok yang mengalami penderitaan fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hakhak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa Penculikan Aktivis 1997/1998, sampai dengan penembakan mahasiswa dan kekerasan sosial di bulan Mei 1998. Hingga tulisan ini diturunkan tim pengacara KontraS tetap yakin menangkan gugatan kasus ini, sebagaimana yang disampaikan oleh Yati Andriyani dan Chris Biantoro dari Divisi Pemantauan Impunitas dan Pemulihan Hak-Hak Korban KontraS:
“Kami serahkan kepada majelis hakim saja keputusannya, tapi kalau melihat keterangan saksi dan saksi ahli yang kami ajukan, tampaknya posisi kami cukup kuat.” (Koran Tempo Senin, 23 Agustus 2010)
Yati Andriyani
“Fakta dipersidangan cukup banyak memberikan dukungan bagi kasus ini. Pihak tergugat, kata dia, tidak mengajukan saksi-saksi maupun saksi ahli. Artinya, mereka setuju dengan pernyataan saksi ahli yang ditawarkan Kontras. Semoga ini menjadi pertimbangan dari majelis hakim.” (Koran Tempo Senin, 23 Agustus 2010)
Chris Biantoro
Menindaklanjuti Rekomendasi DPR: Ide Pembentukan Badan Pemulihan Hak-Hak Korban dan Pembentukan Tim Pencarian 13 Orang Hilang Seolah ingin menutup buku dengan baik, Dewan Perwakilan Rakyat Periode 2004 – 2009 mengakhiri masa jabatannya dengan menyepakati hasil rekomendasi Panitia Khusus (Pansus) Kasus Penghilangan Paksa Aktivis Prodemokrasi1997/1998 pada 28 September 2009.
1. 2. 3. 4.
Merekomendasikan untuk membentuk pengadilan ad hoc hak asasi manusia. Merekomendasi pencarian 13 aktivis yang hilang Merekomendasi rehabilitasi dan kompensasi bagi keluarga korban aktivis yang hilang Merekomendasi ratifikasi Konvensi AntiPenghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan menghentikan praktek serupa di Indonesia.
Namun hingga pertengahan Mei 2010 ini juga tak kunjung satupun dari rekomendasi DPR tersebut dijalankan oleh presiden. Meskipun dalam pidatonya pada rapat koordinasi para penegak hukum di Istana Negara, 4 Mei lalu, Presiden SBY kembali berjanji untuk menegakkan keadilan. Bahkan dalam forum itu disepakati adanya ruang koordinasi lintas institusi Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung dan Polri, yang dikenal sebagai Mahkumjakpol. Kelak melalui forum tersebut ide penyelesaian kasus pelanggaran HAM mulai dirumuskan pemerintah.
Tren HAM KontraS
19
Dalam pendetilannya, tim pemerintah yang langsung dipimpin oleh dua staf khusus kepresidenan, Denny Indrayana dan Andi Arief turut mengajak serta Usman Hamid dan Ifdhal Kasim (Ketua Komnas HAM) dalam merumuskan langkah-langkah hukum penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu. Sebagaimana yang diakui Usman Hamid: “Pertemuan sudah dilakukan beberapa kali, di Istana dan di ruang Sekretaris Kabinet. Kami tepah menyusun draf keputusan presiden sesuai dengan rekomendasi DPR.”
Terdapat empat naskah draf yang rencananya akan digunakan untuk merealisasikan penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu: 1.
Draf menyangkut pembentukan satuan tugas pencarian orang hilang
2.
Draf pembentukan pengadilan HAM adhoc
3.
Draf pembentukan badan pemulihan hak-hak korban
4.
Draf ratifikasi konvensi anti-penghilangan paksa
Pada draf Kebijakan Presiden untuk Keadilan Korban Kasus HAM Masa Lalu, lebih detil lagi diatur alur skema kebijakan sebagai berikut: 1.
Wacana permintaan maaf diatur melalui konsep apologi publik atas nama negara,
2.
Akuntabilitas penegakan hukum,
3.
restorasi keadilan melalui upaya-upaya pemulihan hak-hak korban,
4.
Jaminan ketidakberulangan di masa depan
Diharapkan melalui lima perumusan draf ini persoalan eks-tahanan politik yang dituduh terlibat pada kasus 1965 juga dapat terakomodir.
“Prinsipnya, hubungan negara dan rakyat harus kembali setara. Seseorang yang akibat keterlibatannya dalam politik lalu menjadi sampah juga harus dipulihkan haknya.” (Tempo, 24 Mei 2010).
Usman Hamid
20
Tren HAM KontraS
Nusantara • Spiral Kekerasan di Papua Hingga kini masih banyak problem kemanusiaan yang belum tertuntaskan di Papua. Keengganan pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di sana, khususnya kasus Wasior dan Wamena menjadi suatu keniscayaan yang kerap hadir dalam proses advokasi pelanggaran HAM. Berkas penyelidikan Komnas HAM untuk kasus Wasior (2001-2002) dan Wamena (2003), melalui surat Nomor: 290/TUA/IX/2004 ditolak pihak Kejaksaan Agung, dengan alasan berkas tersebut belum memenuhi unsur kelengkapan dokumen penyelidikan.
Lambannya proses akuntabilitas penegakan hukum juga terjadi pada kasus pembunuhan Yawan Manase Wayeni. Kasus ini menggegerkan publik, ketika pada tanggal 13 Agustus 2009, Yawan Wayeni ditemukan mati dalam kondisi mengenaskan. Menurut laporan yang ada, diinformasikan pada tanggal tersebut dilakukan operasi penyisiran oleh Brimob Polda Papua untuk menindaklanjuti operasi gabungan dari Polres Kepulauan Yapen dan TNI Komp Rajawali dalam pencarian kelompok OPM.
1. 30 November 2004 melalui surat Nomor R-209/A/F.6/11/2004 Jaksa Agung menyatakan bahwa hasil penyelidikan Komnas HAM masih dianggap kurang lengkap. 2. 9 Desember 2004, Komnas HAM kembali mengirimkan berkas tersebut kepada Jaksa Agung, melalui surat Nomor 376/TUA/ XII/2004. 3. 28 Maret 2008, Kejaksaan Agung kembali menyerahkan berkas tersebut kepada Komnas HAM, melalui surat Nomor: R-015/A/ F.6/03/2008. Dalam pengembalian ini, Jaksa Agung menyatakan menyertakan petunjuk tehnis untuk dilengkapi, sesuai pasal 20 (3) UU No 26 Tahun 2000. 4. 5 September 2008, Komnas HAM kembali menyerahkan berkas tersebut ke Kejaksaan Agung, melalui surat No: 422/TUA/IX/2008, Komnas HAM tidak melengkapi petunjuk yang dimintakan Jaksa, dengan alasan pengembalian berkas yang dilakukan oleh Jaksa Agung tidak berdasar. Unsur kurang lengkapnya sebuah dokumen penyelidikan didasari pada penjelasan pasal 20 ayat (3) UU No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan kurang lengkap adalah belum cukup memenuhi unsur pelanggaran hak asasi manusia yang berat untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan.”. Menurut Komnas HAM, hasil penyelidikan kasus Wasior-Wamena telah cukup memenuhi unsur pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan dapat segera ditindaklanjuti ke tahap penyidikan.
Pada saat itu, korban sedang berburu kaskus dihutan Mantembu yang terdeteksi oleh Brimob Polda Papua. Karena bermaksud untuk menyelamatkan istri dan anaknya yang masih kecil, korban kembali ke gubuk, namun saat itu telah terjadi pengepungan. Saat akan mengamankan diri, korban ditembak dibagian betis sebelah kiri. Dari keterangan yang diberikan istri korban, anak dan istri Yawan diamankan di lokasi yang terpisah dari korban. Disaat bersamaan, istri korban yang juga menjadi saksi mata dari penyiksaan Yawan, menyatakan bahwa kondisi korban yang kedua tangan dan kakinya diikatkan pada sebalok kayu dipaksa untuk meneriakkan Papua Merdeka oleh para pelaku, yang diduga kuat adalah anggota Brimob Polda Papua. Bahkan dari keterangan saksi mata, seorang pelaku sempat menikam korban dengan sangkur di perut bagian tengah, mengakibatkan perut korban robek ke bagian bawah sehingga usus korban terbuai keluar. Dalam kondisi tersebut, korban dipaksa untuk di-BAP lalu diarak keliling kampung Montembu oleh anggota Brimob Polda Papua bersenjata lars panjang. Korban kemudian ditemukan tidak bernyawa di
Tren HAM KontraS
1
Nusantara
Rumah Sakit Serui. Hingga kini belum ada pertanggungjawaban hukum dari Polri atas peristiwa pembunuhan Yawan Wayeni. Baik kasus yang menimpa Yawan Manase Wayeni secara perseorangan, maupun yang terjadi dalam bentuk kolektif pada kasus Wasior dan Wamena, adalah wujud ketidakbertanggungjawaban negara untuk memberikan rasa aman kepada setiap warganya. Hal ini juga bertentangan dengan berbagai instrumen HAM internasional yang telah diratifikasi dalam produk hukum nasional Indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam kovenan internasional hak-hak sipil dan politik. Begitu pula dengan kebuntuan kesepahaman antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM untuk menindaklanjuti temuan penyelidikan pada kasus Wasior Wamena adalah langkah mundur untuk memberikan rasa keadilan bagi korban pelanggaran HAM. KontraS tetap mendorong Polri, Kejaksaan Agung dan Komnas HAM untuk mengambil langkah-langkah progresif dalam kerangka akuntabilitas penegakan hukum, demi terwujudnya pemenuhan hak-hak mereka yang menjadi korban kemanusiaan.
• Penanganan Terorisme di Aceh Dugaan adanya kelompok teroris di Aceh menjadi menguat setelah KontraS menerima pengaduan dari kuasa hukum keluarga, yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Keadilan Hak-Hak Keluarga Tersangka Teroris. Pengaduan ini berkisar pada urusan penangkapan dan pemberitaan di media massa seputar para pelaku yang tertangkap dan diduga kuat terlibat dalam aktivitas terorisme di Aceh.
Individu Terduga
Pengaduan Keluarga
Heru Bin Kaman
Ketiadaan informasi atas keberadaan suaminya terhitung sejak suaminya ditangkap oleh Densus 88 di Aceh pada sekitar awal Februari 2010, yang saat itu diberitakan oleh media massa cetak dan elektronik (Ny. Mahlizar binti Mashud).
Qomarudin bin Saimun Hadiwinarno
akhir bulan Febuari, di media massa dikatakan Qomarudin diakui sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pelatihan militer bagi teroris di Aceh dan ditetapkan sebagai Daftar Teroris di Aceh dan ditetapkan sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) (Ny Nihartini binti Hambali)
Kesimpangsiuran atas penanganan terorisme di Aceh terjadi manakala proses penangkapan dan penyebaran informasi tidak dilakukan secara profesional dan atau menggunakan prosedur tetap (Protap) yang berlaku. Sebagaimana kasus yang dialami oleh Heri bin Kaman dan Qomarudin bin Saimun Hadiwinarno. Bahkan dalam penanganan kasus untuk Qomarudin, ia ditemukan dalam kondisi yang tidak stabil, ketika tangan kirinya mengalami luka parah akibat baku tembak pada operasi pengejaran teroris. Luka itu semakin parah karena tidak pernah diobati secara medis. Atas kondisi tersebut, KontraS mendesak Mabes Polri untuk lebih mengedepankan nilai-nilai profesionalisme dalam menjalankan prosedur penangkapan, penahanan, penggunaan senjata dan hal lainnya yang berkaitan dengan penanganan kasus-kasus terorisme.
Tren HAM KontraS
Penanganan perkara tindak terorisme harus disesuaikan dengan: 1. 2.
KUHAP Jo UU No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme: - penangkapan berlaku selama 7 x 24 jam - sudah ada surat pemberitahuan tentang penanganan perkara kepada keluarga untuk keadilan administrasi warga negara, berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila Pasal 17 huruf b dan c Perkap HAM No 8 Tahun 2009: - Petugas Polri wajib menunjukkan surat penangkapan kecuali tertangkap tangan dan memberitahukan alasan penangkapan - Seseorang yang menjadi tersangka tetap harus dihormati hak asasinya sebagai orang yang tidak bersalah sebelum diputus pengadilan (sesuai dengan amanat Pasal 18 ayat 1 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM)
Mabes Polri wajib memberikan akses pertemuan antar para tersangka dengan pihak keluarga: - UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Jo UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM: “Setiap orang mempunyai hak untuk bebas bertemu dengan keluarga pada saat yang bersangkutan sedang dalam proses hukum.” - Perkap HAM No. 8 tahun 2009 pasal 23 huruf h (menjamin para tahanan berhak untuk berkomunikasi dan mendapatkan akses untuk berhubungan dengan keluarga. Jadi, proses hukum tidak boleh mengurangi, membatasi, hak asasi seseorang, apapun jenis kasus dan pidananya.)
Internasional Dalam sidang perdana ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (Komisi HAM ASEAN/AICHR) yang digelar di Jakarta pada tanggal 28 Maret – 1 April lalu, masih belum dapat merampungkan agenda pembahasan prosedur, rencana kerja lima tahunan, dan pembahasan anggaran. Sebagaimana yang diketahui, AICHR yang diresmikan pada 23 Oktober 2009 di Cha Am Thailand, menjadi satu badan pokok yang memiliki peran strategis dalam membangun komunitas ASEAN.
Sejarah Berdirinya AICHR: Deklarasi Winna & Program Aksi 1993: PBB memulai proses dialog secara global tentang masa depan HAM.
Deklarasi Bangkok (1993): (Angka 26) Penting untuk ditekankan kebutuhan untuk mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan membuat peraturan regional guna mempromosikan dan melindungi HAM di wilayah Asia. Bagian I Angka 37 – “Penting mempertimbangkan mendirikan pengatuiran regional dan sub regional untuk promosi dan perlindungan HAM di wilayah yang belum memilikinya.”
Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEN ke-26 (Juni 1993): -
Dibentuk Komunike Bersama (Joint Communique) yang menyatakan, “menyambut baik konsensus internasional yang dicapai selama konferensi Winna mengenai HAM.”
-
Dalam Komunike Bersama ini juga disebutkan bahwa ASEAN berkomitmen dan menghormati HAM dan kebebasan yang fundamental. Oleh karenanya penting bagi ASEAN untuk mempertimbangkan pendirian sebuah mekanisme HAM di tingkat regional.
Tren HAM KontraS
23
Internasional
Hasil lokakarya tahunan dalam bidang kerjasama untuk Promosi dan Perlindungan HAM se-Asia Pasific ke 14, Bali (Juli 2007): Adanya dukungan dan peran serta dari Kantor Komisi Tinggi HAM PBB (Office of High Commissioner on Human Rights).
ASEAN Summit ke 11, Kuala Lumpur (Desember 2005): -
Penting bagi ASEAN untuk memiliki Piagam ASEAN, yang di dalamnya mengafirmasi pentingnya ‘promosi demokrasi, hak dan kewajiban asasi’.
-
Konkretnya bisa dilihat dalam Piagam ASEAN (2005) Pasal 14 yang mengatakan bahwa, “ASEAN harus mendirikan Badan HAM ASEAN dan badan ini akan beroperasi, yang akan diatur melalui kerangka acuan yang selanjutnya akan ditentukan melalui pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN.”
Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN ke-41, Singapura (2008): -
Dibentuk Panitia Tingkat Tinggi (High Level Panel) yang bertugas merumuskan Kerangka Acuan (Terms of Reference) Komisi/Badan HAM ASEAN
-
Panitia terdiri dari 10 orang yang mewakili 10 negara anggota ASEAN
-
Panitia ini bertugas untuk melakukan konsultasi dengan masyarakat sipil guna mencari masukan rumusan kerangka acuan
Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN ke-42, Phuket Thailand (2009): Kerangka Acuan diterima dan disahkan
ASEAN Summit ke-15, Cha Am Thailand (Oktober 2009): -
Komisi HAM ASEAN dideklarasikan dan 10 orang komisioner (masing-masing 1 orang dari setiap negara ASEAN) ditetapkan.
-
Tujuan dibentuk AICHR adalah untuk mendorong dan melindungi HAM serta kebebasan fundamental warga ASEAN.
-
AICHR memiliki mandat studi dan mengeluarkan rekomendasi yang akan dilaporkan ke Forum Menteri Luar Negeri ASEAN
-
Forum Menteri Luar Negeri ASEAN akan mendesakkan hasil rekomendasi supaya dijalankan oleh negara pihak
Kendala yang dihadapi oleh AICHR juga termasuk pada persoalan pendanaan, khususnya untuk menjalankan program-program yang berkaitan dengan penegakan dan promosi HAM di kawasan Asia Tenggara. Dalam sidang ini, disepakati pula pembentukan satuan tugas yang akan menyusun rancangan awal kerja lima tahunan berkala AICHR.
24
Tren HAM KontraS
Agenda AICHR Pasca Sidang Perdana 28 Maret-1 April 2010: Mei 2010: AICHR akan mengadakan pertemuan informal yang khusus membahas peraturan prosedur dan rencana kerja lima tahunan.
Juni – Juli 2010: AICHR akan mengadakan pertemuan kedua di Vietnam. Diharapkan semua pembahasan peraturan internal AICHR telah selesai, untuk kemudian diserahkan dan diadopsi dalam Pertemuan Tingkat Menteri Luar Negeri ASEAN Ke-43
Juli 2010: Pertemuan Tingkat Menteri Luar Negeri ASEAN ke-43 di Vietnam.
Oktober 2010: Penyampaian laporan masing-masing komisioner AICHR, bertepatan dengan Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN.
Banyak pihak masih menyangsikan mandat AICHR, lantaran Komisi HAM ASEAN ini tidak memiliki kewenangan untuk menyelidiki kasus-kasus pelanggaran HAM, apalagi mampu menghukum para pelaku pelanggaran HAM.
“Draf awal pasca-sidang perdana AICHR akan kami selesaikan akhir bulan ini (April, red). Jadi secara praktis, Komisi HAM ASEAN baru bisa menjalankan fungsinya dan programnya setelah Juli. Indonesia tetap membangun komitmennya untuk memperkuat fungsi proteksi AICHR dalam kurun lima tahun sejak pembentukannya.” Upaya inipun mendapatkan dukungan dari Komnas HAM yang selama ini juga telah mengumpulkan bahan-bahan penyelidikan, khususnya terkait dengan Talangsari, Semanggi I dan II, Mei 1998, dan kasus orang hilang.
Rafendi Djamin
***
Tren HAM KontraS
25