MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ---------------------
RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 11/PUU-VIII/2010
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN KPU, PEMERINTAH, DPR DAN SAKSI/AHLI DARI PEMOHON (III)
JAKARTA KAMIS, 11 MARET 2010
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 11/PUU-VIII/2010 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. PEMOHON - Badan Pengawas Pemilu. ACARA Mendengarkan keterangan KPU, Pemerintah, DPR dan Saksi/Ahli dari Pemohon. (III) Kamis, 11 Maret 2010, Pukul 09.00- 11.55 WIB Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Prof. Dr. Moh Mahfud MD.,S.H. Prof. Dr. H. Achmad Sodiki, S.H Drs. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum Dr. Muhammad Alim S.H., M.Hum Dr. H.M Akil Mochtar S.H., M.H. Prof. Dr. Maria Farida Indrati S.H., M.H. Dr. Harjono S.H., M.CL. Hamdan Zoelva S.H., M.H
Cholidin Nasir, S.H.
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
1
Pihak yang Hadir: Pemohon: -
Nur Hidayat Sardini, S.Sos., M.Si Wahidah Suaib, S.Ag., M.Si SF. Agustiani Tio Fridelina Sitorus, SE Bambang Eka Cahya Widodo, S.IP., M.Si Wirdayaningsih, SH., MH Agung Bagus Gede B. I, SH., MH., MA Titi Anggraini, SH., MH. Ir. Nelson Simanjuntak.
(Tim Asistensi Bawaslu) (Tim Asistensi Bawaslu) (Tim Asistensi Bawaslu)
Kuasa Hukum Pemohon: -
Dr. Bambang Widjojanto, S.H., M.H., LL.M. Iskandar Sonhadji, S.H.
Ahli dari Pemohon -
Dr. Imanputra Sidin, S.H., M.H Hadar Nafis Gumay Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA Saksi dari Pemohon
-
Endang
Pemerintah -
Yudan Arif Fakrulloh (Staf Ahli Mendagri) Abdul Wahid (Direktur Jenderal Per-UU) Cholilah, SH., MH. (Direktur Litigasi DEPHUKAM) Mualimin Abdi (Kasubdit Penyiapan & Pendamping Sidang MK) Radita Aji (Staf Litigasi DEPHUKAM)
Pihak Terkait (KPU) -
Andi Nurpati (AnggotaKPU) Endang Sulastri (Anggota KPU) Syamsul Bahri (Anggota KPU)
2
SIDANG DIBUKA PUKUL 09.00 WIB
1.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD.,S.H.
Bismillahirahmanirrahim,
Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi untuk mendengar keterangan KPU, keterangan Pemerintah, DPR, dan Saksi/Ahli dalam Perkara Nomor 11/PUU-VIII/2010 dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X
Pemohon silakan memperkenalkan diri siapa yang hadir dan dihadirkan hari ini. 2.
KUASA HUKUM PEMOHON: DR. BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., M.H. Terima kasih, Bapak Ketua dan Hakim Anggota Mahkamah Konstitusi yang kami hormati dan kami muliakan. Pada pagi ini ada 3 (tiga) anggota Bawaslu yang sudah hadir, ada satu yang sedang dalam perjalanan, dan satu karena tugas tidak bisa hadir. Yang sudah hadir adalah Bapak Nur Hidayat Sardini, anggota sekaligus Ketua Badan Pengawas Pemilu, sebelah paling ujung, Pak Ketua, ada Ibu Wahidah Suaib, dan di tengah-tengah ini Ibu Wirdyaningsih. Terus Bawaslu juga didampingi oleh Staf dan Karyawan dari Bawaslu terutama yang berkaitan dengan Biro Hukum, dan saya sendiri Bambang Widjoyanto dan kolega saya Iskandar Sonhadji. Pada hari ini kami juga sudah menghadirkan Ahli, meminta kehadiran Ahli dan Saksi. Yang sudah hadir Saksinya adalah Ibu Endang, ini beliau sudah hadir, dan 3 (tiga) Ahli lainnya beberapa menit yang lalu kami cek masih dalam perjalanan, Insya Allah akan hadir semua. Ada satu saksi yang seyogianya juga sudah punya komitmen untuk hadir tetapi kami baru tahu Umroh yaitu Pak Andi Mattalatta, sehingga kami tidak bisa teleconference juga, Pak Ketua dari Saudi ke sini berusaha untuk menghadirkan itulah yang hadir bersama kami pada hari ini, terima kasih Pak Ketua.
3.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD.,S.H. Dari Pemerintah, silakan.
3
4.
PEMERINTAH: MENDAGRI)
YUDAN
ARIF
FAKRULLOH
(STAF
AHLI
Terima kasih, Yang Mulia, kami dari Pemerintah bertiga, sebelah kanan saya Ibu Cholilah dari Kementerian Hukum dan HAM dan saya Yudan Arif Fakrulloh dari Kementerian Dalam Negeri dan sebelah kanan saya Pak Pontjo dari Kementerian Dalam Negeri, terima kasih. 5.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD.,S .H. Pihak Terkait, silakan.
6.
PIHAK TERKAIT : ANDI NURPATI (KPU) Terima kasih dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah hadir Ibu Endang Sulastri disebelah kiri saya dan kemudian saya sendiri Andi Nurpati, nanti satu lagi Bapak Prof. Syamsul Bahri sedang dalam perjalanan kami didampingi oleh Kepala Biro Hukum dan Kepala Biro Kepegawaian dan Sumber Daya Manusia dan beberapa Staf dari Sekretariat Jenderal Komisi Pemilihan Umum pada jam yang sama di KPU berlangsung pertemuan dengan Perwakilan dari DPP Pimpinan Partai Politik tingkat Nasional dengan ketua dan anggota KPU lainnya untuk persiapan pemantapan Pemilu Kepala Daerah, terima kasih.
7.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD.,S .H. Baik, saya kira nanti sumpah diambil sesudah lengkap saja ya?, biar tidak dua kali untuk itu kita mulai dulu dari Keterangan Pemerintah sesudah itu Keterangan Pihak Terkait KPU, DPR tidak hadir untuk itu silakan dari Pemerintah atau sebelum ini saya persilakan Saudara Bambang atau Kuasa Pemohon untuk menjelaskan dulu secara singkat saja pokok-pokok permohonan yang mencakup posita dan petitum, silakan.
8.
KUASA HUKUM PEMOHON: DR. BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., M.H. Terima kasih Pak Ketua saya akan singkat saja menjelaskannya kemudian yang kedua ada permohonan Pak Ketua bahwa Ketua Bawaslu akan mengemukakan satu, dua patah kata sebelum nanti ada pernyataan dari Pemerintah yang menurut Ketua Bawaslu perlu dikemukakan untuk memperkaya (……)
9.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD.,S.H. Oke, jadi singkat silakan.
4
10.
KUASA HUKUM PEMOHON: DR. BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., M.H. Hakim Mahkamah Konstitusi yang kami hormati, sebenarnya Pasal yang hendak diuji ini adalah pasal dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dari jumlah pasal yang hendak diuji Pasal 93, Pasal 94 ayat (1), (2), Pasal 95, serta Pasal 111 ayat (2) dan ayat (3) dan Pasal 112 ayat (2) dan ayat (3).tapi kalau mau dibuat klatering mau dikategorisasi sebenarnya Pasal 93, Pasal 94 dan Pasal 95 itu berkaitan dengan rekrutmen, rekrutmen Panwaslu Provinsi, dan recruitmen Panwaslu Kabupaten/Kota terus klaster yang kedua yaitu, berkaitan dengan pembentukan dan komposisi Dewan Kehormatan dari KPU dan KPU Provinsi jadi ada dua clustering besar di situ, menurut permohonan kami yang sudah kami kemukakan kedua pasal tersebut melanggar sifat mandiri sebagai salah satu asas penting dalam penyelenggaraan Pemilu dan juga asas jujur dan adil sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 22E ayat (1) dan ayat (5) serta Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Nah apa legal standing yang kami ajukan? Sebenarnya kami mengajukan legal standing, sebagai badan hukum publik karena 22E ayat (6) itu menyatakan aturan lebih lanjut mengenai Komisi Penyelenggara Pemilihan Umum diatur oleh undang-undang. Dan di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 dijelaskan dengan sangat elaboratif, bagaimana pembentukkan yang disebut komisi penyelenggara pemilihan umum itu sebenarnya ada dua di situ yaitu KPU dan kemudian Bawaslu. Jadi tindak lanjutnya seperti itu, dan juga kami mengajukan juga anggota Bawaslu itu sebenarnya perorangan warga negara Indonesia yang pada saat ini menduduki jabatan sebagai anggota Bawaslu, jadi kami kombinasi dalam kapasitas legal standingnya. Alasannya, mohon maaf sebelum alasan kami juga merumuskan di situ mengenai fakta dan potensi kerugian. Fakta yang paling konkrit pada hari ini adalah pada tahun ini ada sekitar 244 pemilihan kepala daerah dari 244 pemilihan kepala daerah itu sebagian besar pemilihan itu adalah berkaitan dengan pemilihan kabupaten/kota, jadi ada 7 provinsi ada sekitar 180 kabupaten/kota ya kabupaten terutama. Nah kalau proses rekrutmen Bawaslu pada hari ini belum selesai karena ada berbagai masalah, maka kemudian ini bisa mempengaruhi kualitas proses demokratisasi, kualitas penyelenggaraan Pemilu. Jadi di situ kami sudah menjelaskan apa saja kerugian-kerugian yang timbul, begitu pun dengan dewan kehormatan. Selama ini rekomendasi yang diajukan Bawaslu dan atau masyarakat sebagiannya itu diverifikasi lebih dahulu oleh KPU, padahal di dalam ketentuan harusnya verifikasi itu dilakukan oleh dewan kehormatan dan ini lagi-lagi melanggar prinsipprinsip kejujuran dan keadilan karena kemudian proses seperti itu dilakukan dengan menimbulkan adanya potensi conflict of interest
5
karena itu ada sanksi yang harus diterapkan dalam rekomendasi itu dan kalau kemudian prosesnya diputus lebih dulu oleh KPU maka kemudian proses di dewan kehormatan itu menjadi hilang. Apalagi komposisi dewan kehormatan itu mayoritas terdiri dari orang KPU dan KPU Provinsi. Jadi bagaimana mungkin objektifitas bisa ditegakkan, kejujuran, keadilan akuntabilitas dan kemandirian dari dewan kehormatan itu. Jadi sebenarnya hal-hal itulah yang kami ajukan. Berdasarkan itu semua, maka kemudian kami mengajukan petitum yang bersifat alternatif. Petitum pertama itu menyatakan bahwa pasal-pasal tadi yang telah kami sebutkan itu melanggar konstitusi. Tetapi kemudian dalam alternatif keduanya dalam alternatif yang lain kami juga mengemukakan bahwa pasal-pasal ini sebenarnya bisa dikualifikasi conditionally constitutional kalau ada syarat-syarat tertentu dipenuhi di situ. Itu kami rumuskan didalam petitum. Yang juga menarik Pak Ketua, menurut kami, kami juga mengajukan permohonan provisi, sebenarnya permohon provisi diajukan karena proses itu perlu cepat sekali. Di situ ada argumen-argumen yang diajukan berkaitan dengan permohonan provisi itu dan juga kami mengajukan petitum yang berkaitan dengan tuntutan provisi. Jadi kami kira secara sederhana itu yang akan kami ajukan dan sebenarnya sebagai penutup dari saya proses ini diajukan karena ingin menyelesaikan berbagai masalah dan silang sengketa yang timbul yang sudah hampir selama setengah tahun ini tidak bisa diselesaikan. Saya sangat berharap dan kami menduga keras bahwa Mahkamah Konstitusi lagi-lagi akan mudah-mudah insya Allah nanti akan menghasilkan putusan yang bisa menyelesaikan problem ketatanegaraan di bidang penyelenggaraan Pemilu ini. Itu harapan kami Pak Ketua, terima kasih dan kami mohon waktu untuk beberapa menit pada Ketua Bawaslu. 11.
KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Ya silakan Saudara Ketua Bawaslu.
12.
PEMOHON : NUR HIDAYAT SARDINI, S.SOS., M.SI. Baik, asslamualikum wr. wb. Bapak Ketua Hakim Konstitusi dan para anggota yang saya hormati, pihak Pemerintah dan Pihak Terkait serta Ahli maupun Saksi Ahli serta anggota Bawaslu serta hadirin yang berbahagia puji syukur. Marilah kita panjatkan kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmatnya pada kita semua sehingga dipagi hari yang cerah ini kita bisa bertatap muka di sidang Majelis MK ini. Tidak banyak yang ingin saya sampaikan bahwa pengajuan uji materi yang kami lakukan ini terkait dengan tiga hal pokok pikiran, tiga hal pertama adalah pembentukan Panwaslu, yang kedua adalah
6
rekomposisi dewan kehormatan yang ideal dan pengajuan provisi. Tiga hal itu tadi kami harapkan untuk memastikan agar semua proses yang terjadi dalam pelaksanaan pengawasan maupun penanganan pelanggaran dapatlah menjadikan sifat kemandirian dari pengawas Pemilu akan semakin nampak dan nyata-nyata terlihat. Bapak, Ibu sekalian yang saya hormati, bahwa kami mengajukan ini dalam rangka juga untuk memastikan agar semua proses yang kami lakukan mendapatkan hal yang memang seharusnya terjadi. Pertama-tama adalah kami laporkan bahwa terkait dengan pembentukan Panwaslu Kami sudah banyak mengambil inisiatif ya, baik pengajuan terhadap Perppu. Jadi persoalannya ini juga terkait dengan tidak diizinkannya maupun tidak dikabulkannya pengajuan Perppu kami kepada Pemerintah dalam beberapa kesempatan. Lalu yang kedua terkait dengan pembentukan Panwaslu yang digambarkan bahwa begitu seolah-olah bermasalah. Lalu yang ketiga, terkait dengan pembentukan dewan kehormatan, semuanya kami sudah rumuskan dalam pengajuan ini, kami berharap agar kita semua bisa menerima atas apa yang nanti akan diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam sidang ini. Saya kira itu saja, terima kasih.
assalamualaikum wr wb.
13.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD.,S .H. Baik, sudah jelas disampaikan oleh Pemohon prinsipal maupun melalui kuasa hukumnya sehingga sekarang Pemerintah, dipersilakan.
14.
PEMERINTAH: MENDAGRI)
YUDAN
ARIF
FAKRULLOH
(STAF
AHLI
Terimah kasih Yang Mulia. Pada kesempatan ini kami ingin melaporkan terlebih dahulu bahwa kuasa dari Bapak Presiden sampai pagi ini belum turun. Oleh karena itu pada pagi hari ini kami ditugaskan untuk mengikuti saja terlebih dahulu persidangan dan untuk selanjutnya menyampaikan jawaban secara tertulis dalam waktu yang secepatnya. Terimah kasih Yang Mulia.
15.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD.,S.H. Ya baik, jadi begini ya? Ini kasus ini dilaksanakan sebagai speedy oleh sebab itu kesempatan menyampaikan secara lisan sudah diberikan, tidak digunakan kami tunggu saja dalam sehari dua hari ke depan untuk jawaban tertulisnya
trial ya? Jadi ini akan diputus cepat,
7
ya? Sehingga tidak perlu lagi untuk bicara di depan sidang karena barangkali pertemuan berikutnya kita akan masuk ke hal-hal penting misal termasuk permintaan apa putusan provisi, itu ditunggu saja. Jadi kita tidak putuskan hari ini. Nah, untuk itu dipersilakan KPU sebagai Pihak Terkait. 16.
PIHAK TERKAIT: SYAMSUL BAHRI (KPU) Yang Mulia, Ketua dan Wakil Ketua dan anggota Majelis Hakim yang saya muliakan serta hadirin yang saya hormati. Perkenankan dalam kesempatan yang baik ini KPU sebagai Pihak Terkait dalam Perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-VIII/2010 menyampaikan keterangan dan/atau penjelasan sehubungan dengan surat Mahkamah Konstitusi Nomor 175.11/PAN.MK/III/2010 tanggal 8 Maret 2010, perihal salinan perbaikan permohonan sebagai berikut; Satu, keterangan dan/atau penjelasan ini adalah bekenaan dengan tugas dan wewenang serta kewajiban KPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Dua, berdasarkan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 juncto Pasal 8 dan Pasal 117 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, KPU telah menerbitkan a. 38 peraturan dan 4 keputusan untuk Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD vide Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, b. 31 peraturan dan 3 keputusan untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden vide Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 c. 12 peraturan untuk Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Tiga, keberadaan KPU adalah mengacu pada konstitusi negara Republik Indonesia, Pasal 22E ayat (5) dan ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa Pemilu diselenggrakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri, yang ketentuan lebih lanjut tentang Pemilu diatur dengan undang-undang. Penjelasan dari anggota DPR yang pernah menjadi anggota Panitia Ad hoc MPR, Bapak Patrialis Akbar/Menteri Hukum dan HAM pada acara penyampaian saran/pendapat KPU tentang Rancangan UndangUndang Penyelenggara Pemilu, bahwa huruf kecil pada suatu komisi pemilihan umum adalah sama dengan makna ketentuan Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan, negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan indepedensinya diatur dengan undang-undang. Penjelasan beliau kenapa ditulis dengan huruf kecil? Karena bisa saja namanya bukan KPU misalnya lembaga pemilu atau badan pemilu, demikian juga bank sentral bisa saja namanya bakan Bank Indonesia. Empat menurut pemahaman KPU, makna Pasal 22E ayat (5) dan ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian ditindaklanjuti dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 pada ketentuan Pasal 1
8
angka 5, angka 6 dan angka 7 antara lain menyatakan bahwa penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD dan Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat. Penyelenggara Pemilu adalah KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, penyelenggara Pemilu yang bersifat Ad hoc adalah PPK, PPS, PPLN dan KPPS dan KPPSLN, vide Pasal 1 angka 8 sampai dengan angka 12 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007. Dengan demikian Bawaslu bukan sebagai penyelenggara Pemilu tetapi sebagai pengawas penyelenggaraan Pemilu, yang keberadaannya adalah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 15 UndangUndang Nomor 22 Tahun 2007 yang menyatakan Bawaslu adalah badan yang bertugas mengawasi penyelengaraan Pemilu di seluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan uraian tersebut, yang dimaksud dengan Pasal 22E ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 adalah hanya KPU sebagaimana diatur dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, dalam ini diatur mengenai penyelenggara pemilihan umum yang selanjutnya disebut komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tatap dan mandiri. Pemohon dalam halaman 7 menyatakan bahwa ada suatu fakta yang tidak terbantahkan, berkaitan dengan respon KPU atas berbagai rekomendasi yang diberikan Bawaslu beserta jajaran Panwas lainnya, berkenaan dengan dugaan pelanggaran peraturan perundang-undangan, maupun kode etik penyelenggara Pemilu yang dilakukan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Pada halaman 9 Pemohon juga menyatakan bahwa banyaknya meneruskan rekomendasi kode etik penyelenggara Pemilu oleh Bawaslu, oleh Panwaslu, maaf dan Bawaslu yang tidak ditindaklanjuti oleh KPU. Berkenaan dengan hal tersebut dapat dijelaskan bahwa ketentuan Pasal 8 ayat (1) huruf o dan ayat (2) huruf o Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 dan penjelasannya, menyatakan bahwa tugas dan kewenangan KPU dalam penyelengaraan Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden meliputi menindaklanjuti dengan segera temuan yang dilaporkan yang disampaikan oleh Bawaslu. Yang dimaksud dengan menindaklanjuti adalah mengambil langkah-langkah selanjutnya, baik menghentikan temuan dan laporan yang tidak terbukti maupun meneruskan temuan laporan yang terbukti. Dengan demikian tidak semua temuan dan laporan ataupun rekomendasi Bawaslu dengan serta merta dapat ditindaklanjuti. Enam, Pemohon pada halaman 4 menyatakan bahwa pengawasan yang dilakukan badan pengawas pemilihan umum meliputi penyelenggara Pemilu dan juga penyelenggara Pemilunya. Pernyataan Bawaslu di atas menjadi sangat tidak konsisten dengan pernyataan Bawaslu pada bagian lain yang menyatakan Bawaslu harus
9
dikualifikasikan bagian dari komisi pemilihan umum yang betugas menyelenggarakan Pemilu, khususnya menjalankan fungsi pengawasan atas penyelenggaraan Pemilu. Ketentuan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, secara tegas mengatakan bahwa tugas Bawaslu adalah mengawasi tahapan penyelenggara Pemilu, menerima laporan dugaan terhadap pelaksanaan peraturan perudang-udangan, menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU untuk ditindak lanjuti dan seterusnya. Tujuh, Pemohon pada halam 9 dan 10 menyatakan bahwa KPU sangat terlambat membentuk panitia seleksi calon anggota Bawaslu, akibat lebih lanjut dari keterlambatan dimaksud adalah tidak mungkin dilaksanakannya pengawasan secara optimal di sebagaian tahapan penyelenggaraan Pemilu. Bawaslu menafikan fakta bahwa KPU sendiri baru terbentuk dengan dilantiknya anggota KPU pada Tanggal 23 Oktober 2007. Dalam ketentuan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 menyatakan bahwa pembentukan tim seleksi calon anggota Bawaslu ditetapkan dengan Keputusan KPU dalam waktu paling lama 15 hari kerja, terhitung 3 bulan setelah terbentuknya KPU atau setara dengan 105 hari. Perlu dijelaskan bahwa KPU telah membentuk tim seleksi calon anggota Bawaslu lebih cepat dari ketentuan undangundang, dimana Keputusan KPU tentang Tim Seleksi Bawaslu ditetapkan pada tanggal 7 Desember 2007. Delapan, bahwa terdapat penilaian ketidakprofesionalan KPU, terkait penyusunan DPT. Bawaslu telah melakukan tindakan yang tidak fair karena pada tahapan penyusunan daftar pemilih sampai penempatan DPT, Bawaslu tidak pernah memberikan pengawasannya dengan menyampaikan temuan atau laporan terkait penyusunan DPT. Padahal menurut ketentuan Pasal 75 huruf d Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Jo. Pasal 48 dan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, Bawaslu berkewajiban, menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan KPU sesuai dengan tahapan Pemilu secara periodik dan/atau berdasarkan kebutuhan. Ini tentu saja termasuk pengawasan pemuktakhiran data pemilih, namun sampai hari ini KPU belum pernah menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tersebut. Bawaslu senantiasa berdalih, bahwa tidak dapat mengawasi tahapan tersebut karena belum terbentuk. Padahal Bawaslu dilantik pada tanggal 8 April 2008 dan proses sampai dengan penetapan DPT pada tanggal 30 Oktober 2008. Sembilan, dalam hal pembentukan Panwas Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Derah, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota berpedoman, pada ketentuan Pasal 93 dan Pasal 94 ayat 2 UndangUndang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum yang menyatakan bahwa, calon anggota Panwaslu Kabupaten/Kota untuk Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota,
10
diusulkan oleh KPU Kabupaten/Kota kepada Bawaslu sebanyak 6 orang, untuk selanjutnya dipilih sebanyak 3 orang sebagaimana anggota Panwaslu Kabupaten/Kota setelah melalui uji kelayakan dan kepatutan dan ditetapkan dengan Keputusan Bawaslu. Sepuluh, berkaitan dengan ketentuan tersebut di atas, dalam mengusulkan enam nama dimaksud untuk menjaga obyektivitas dan adanya standar penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, mengenai persyaratan untuk menjadi anggota Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, dan Panwaslu Kecamatan serta Panwas Pemilu Lapangan, KPU Provinsi Kabupaten/kota melaksanakan proses seleksi yang mekanismenya diatur dalam Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Pedoman Seleksi Calon Anggota Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, dan Panwaslu Kecamatan. Sebelas, Pemohon pada halaman 10 menyatakan, bahwa ada indikasi kuat KPU dengan sistematis dan sengaja memilih calon-calon yang berpihak pada kepentingannya sendiri, bukan pada kehendak kuat untuk dapat melaksanakan pengawasan secara akuntabel. Berdasarkan hal inilah, Bawaslu mengajukan uji materiil ketentuan Pasal 93 dan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Dengan sikap semacam itu Bawaslu telah menggenalisir sebuah kasus di satu kabupaten yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, untuk membatalkan ketentuan pasal yang dimaksud. Kenyataannya, Panwas Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dihasilkan melalui proses seleksi oleh KPU Provinsi, Kabupaten/Kota sebagaimana perintah Pasal 93 dan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, sama dengan proses seleksi untuk pembentukan Panwas Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Fakta menunjukkan bahwa justeru Bawaslulah yang berkepentingan untuk menetapkan kembali Panwas Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 menjadi Panwas Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bawaslu Nomor 15 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Bawaslu Nomor 11 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Uji Kelayakan Uji kepatutan Pemilihan dan Penetapan serta Pemberhentian, Penonaktifan Sementara, dan Pengenaan Sanksi Administratif kepada Anggota Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri. Dengan sikap ini, Bawaslu secara melanggar ketentuan Pasal 93 dan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 dan Surat Mahkamah Agung Nomor 142/KMA/XI/2009 pada tanggal 29 November 2009 pada Angka 6 yang menyatakan, bahwa dengan merujuk pada Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 bahwa Panwas
11
bersifat Ad hoc, maka tugas-tugasnya telah berakhir dua bulan setelah tahap perhitungan dan pengesahan Presiden selesai. Padahal sesuai dengan kesepakatan dalam Surat Edaran Bersama KPU dengan Bawaslu Nomor 06/SKB/KPU Tahun 2008 Nomor 01/SE/Bawaslu/2008 tentang PembentukanPanwaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota, bagian II angka 3 huruf c, disebutkan bahwa bagi Panwaslu DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden di tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang akan terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, dapat ditetapkan kembali menjadi Panwaslu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah oleh Bawaslu, sepanjang Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilaksanakan pada tahun 2008. Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang diselenggarakan setelah tahun 2008, mengikuti proses perekrutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 dan Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2008. Dua belas, Pemohon pada halaman 30 menyatakan, bahwa KPU telah membuat pernyataan dan tindakan sepihak berupa pembatalan Surat Edaran bersama KPU dan Banwaslu Nomor 1669/KPU/XII/2009 yang mengatur rekrutmen Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota. Berkenaan dengan pernyataan tersebut dapat dijelaskan; a. Mengingat kesulitan yang nyata dihadapi oleh Bawaslu untuk melakukan uji kepatutan dan kelayakan terhadap calon-calon anggota Panwas Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, akibat banyaknya jumlah calon dan waktu yang relatif sempit, maka KPU dan Bawaslu secara terpisah meminta pendapat hukum dari Mahkamah Agung agar para mantan anggota Panwaslu dan Pemilu Legisltif, dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang baru lalu dapat diangkat kembali menjadi Panwas Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. b. Dalam rapat konsultasi yang dilakukan pada tanggal 19 November 2009 di kantor Kementerian Dalam Negeri yang dihadiri oleh pimpinan dan perwakilan fraksi di Komisi II DPR RI, Menteri Dalam Negeri dan jajaran, Ketua dan Anggota KPU serta Ketua dan Anggota Bawaslu, disimpulkan bahwa apapun pendapat hukum Mahkamah Agung akan ditindaklanjuti oleh KPU dan Bawaslu. c. Sebagai jawaban terhadap permintaan KPU dan Bawaslu dimaksud, Mahkamah Agung dalam suratnya Nomor 142/KMA/IX/2009 tangal 23 November 2009 memberikan pendapat hukum bahwa solusi yang terbaik adalah menggunakan ketentuan peralihan yaitu Pasal 236A Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 sebagai pintu darurat yang berbunyi “dalam hal penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah berlangsung sebelum terbentuknya pengawas pemilihan oleh Bawaslu, DPRD berwenang membentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
12
d. Namun Bawaslu menolak untuk melaksanakan pendapat hukum Mahkamah Agung tersebut, sehingga demi kebersamaan dan sukses Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, KPU dan Bawaslu dengan difasilitasi Kementrian Dalam Negeri menerbitkan Surat Edaran Bersama KPU dan Bawaslu Nomor 1669/KPU/XII/2009 tanggal 9 Desember 2009 yang intinya mengatur hal-hal sebagai berikut: 1. Daerah yang kepala daerah dan wakil kepala daerahnya berakhir jabatannya pada bulan Agustus 2010, dan KPU Provinsi/Kabupatan/Kota dan belum melakukan rekrutmen calon anggota Panwas Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Bawaslu melantik Panwaslu Pemillu anggota DPR, DPD, DPRD dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009 sebagai anggota Panwas Pemilukada 2010 2. Dalam hal KPU Provinsi/Kabupaten/Kota yang pada saat berlakunya telah melakukan rekrutmen calon anggota Panwas Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan telah mengumumkan hasilnya, Bawaslu melakukan uji kelayakan dan kepatutan dan melantik calon Panwaslu terpilih sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 3. Dalam hal terdapat KPU Kabupaten/Kota yang telah mengirmkan nama-nama calon anggota Panwas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, hasil rekrutmen kepada Bawaslu, tetapi jumlahnya kurang enam nama, maka untuk melengkapinya KPU Kabupaten/Kota mengusulkan nama-nama calon anggota Panwaslu yang berasal dari Panwas Pemilu anggota DPR, DPD, dn DPRD dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009 4. Dalam hal Bawaslu menilai bahwa nama-nama calon anggota Panwaslu yang dajukan oleh KPU Provinsi/Kabupatan/Kota tidak memenuhi syarat sebagai anggota Panwaslu Kabupaten/Kota, Bawaslu mengembalikan nama-nama yang tidak memenuhi syarat tersebut kepada KPU Kabupaten/Kota dan meminta KPU provinsi/kabupaten/kota untuk melengkapinya dan mengirimkan nama-nama calon anggota Panwaslu Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009, sebagai anggota Panwas Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010. Sebagai tindaklanjut penerbitan SEB dimaksud hanya dalam jangka waktu 3 hari setelah SEB ditandatangani tanggal 12 Desember 2009 Bawaslu melakukan pelantikan terhadap sejumlah Panwas Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang berasal dari Panwaslu Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Dilanjutkan dengan pelantikan berikutnya pada tanggal 27 Desember 2009 dan 22 Januari 2010 tanpa berkoordinasi dan tanpa mekanisme verifikasi terlebih dahulu secara bersama-sama antara KPU dan Bawaslu sebagaimana halnya perumusan SEB dilakukan secara bersama-sama.
13
e. berdasarkan hasil inventarisasi awal oleh Sekretariat Jenderal KPU dari data yang diserahkan oleh Sekretaris Bawaslu telah ditemukan faktafakta sebagai berikut: 1. Sebanyak 46 Panwaslukada Kabupaten/Kota yang berasal dari Panwaslu Pemilu Presiden dan Wakil Presiden telah dilantik oleh Bawaslu dengan akhir masa jabatan kepala daerah setelah bulan Agustus 2010. 2. Sebanyak 30 Panwaslu Provinsi/Kabupaten/Kota telah dilantik. Padahal nama-nama calon Panwas sudah disampaikan oleh KPU Provinsi/Kabupaten/Kota ke Bawaslu sebelum sampai tanggal 9 Desember 2009. 3. Sebanyak 21 Panwaslu Provinsi/Kabupaten/Kota telah dilantik, dimana nama-nama calon Panwas disampaikan oleh KPU Provinsi/Kabupaten/Kota ke Bawaslu setelah tanggal 9 Desember 2009. Salah satu alasan yang disampaikan oleh Bawaslu untuk melantik Panwaslu Pemilu Presiden dan Wakil Presiden menjadi Panwas Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah ketidaklengkapan surat keterangan kesehatan, dengan tidak melampirkan rekam medik hasil pemeriksaan, dan surat tidak pernah dipidana penjara berdasarkan keputusan pengadilan. Bawaslu menyatakan berkas calon Panwas Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, usulan KPU Provinsi/Kabupaten/Kota yang dilakukan melalui proses seleksi tidak memenuhi syarat, dan meminta KPU Provinsi/Kabupaten/Kota mengusulkan Panwas Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 menjadi Panwas Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Hal ini patut dipertanyakan karena calon anggota Panwas Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang diusulkan KPU Provinsi/Kabupaten/Kota yang lain dan kemudian dilakukan uji kelayakan dan kepatutan oleh Bawaslu. Melampirkan surat keterangan kesehatan dan surat tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang sama dengan calon anggota Panwas Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang ditolak oleh Bawaslu. Dengan demikian Bawaslu memperlakukan standar ganda untuk menilai sebuah persoalan yang sama di sejumlah KPU provinsi/kabupaten kota yang berbeda. f. Menyikapi persoalan yang belarut-larut tersebut, KPU dengan difasilitasi kantor Wakil presiden maupun Kementerian Dalam Negeri tetap berupaya mencari solusi yang terbaik. Namun Bawaslu tidak pernah mengubah keputusannya yang menetapkan dan melantik Panwas Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. g. Melihat fakta-fakta tersebut di atas KPU berkesimpulan bahwa apa yang telah dilakukan Bawaslu melanggar kesepakatan. Oleh karena itu KPU memutuskan untuk mencabut SEB melalui surat ke Bawaslu tanggal 4 Februari 2010, Nomor 50/KPU/II/2010, perihal Pembatalan Surat Edaran Bersama antara Komisi Pemilhan Umum dengan Badan Pengawas Pemilihan Umum dan pengembalian kepada ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 dan/atau Fatwa Mahkamah Agung Nomor
14
142/KMA/XI/2009, tanggal 23 November 2009 yang surat KPU tersebut berisi: 1. Mencabut dan membatalkan SEB dan menyatakan SEB tidak berlaku; 2. Mengembalikan proses pembentukan Panwaslu Kepala Dgaerah dan Wakil Kepala Daerah kepada ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 dan Fatwa Mahkamah Agung Nomor 142/KMA/XI/2009 tanggal 23 November 2009. 3. Menolak semua Panwaslu Kepala Daerah dan Wakil kepala Daerah yang dilantik Bawaslu yang proses pembentukannya tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang sebagaimana disebut di atas; 4. Mendesak kepada Bawaslu untuk konsisten melaksanakan undangundan dan melakukan fit and proper test terhadap calon Panwaslu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang diajukan oleh KPU Provinsi dan atau KPU Kabupaten/Kota, serta menetapkan 3 orang sebagai calon terpilih. 5. Apabila Bawaslu tidak bisa melakukan fit and proper test karena berbagai alasan, pembentukkan Panwaslu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diserahkan kepada DPRD setempat sesuai dengan fatwa Mahkamah Agung Nomor 142/KMA/XI/2009, tanggal 23 November 2009. 13. Rekomendasi Bawaslu terkait dengan pembentuk dewan kehormatan untuk anggota KPU yang menangani bantuan IFFEST dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden ditindaklanjuti dengan melakukan klarifikasi terlebih dahulu sesuai dengan Peraturan KPU Nomor 38 Tahun 2008 tentang Tata Kerja Dewan Kehormatan KPU dan KPU Provinsi sebagai berikut: a. Bantuan diberikan untuk kegiatan penunjang bukan kegiatan pokok sehingga tidak ada kaitan dengan independent dan dengan etika; b. KPU memperoleh bantuan fasilitas, bukan dana yang ada dalam kontrol KPU sendiri sesuai dengan MOU yang dibuat antara IFFEST dengan KPU sehingga dugaan dengan adanya antara etika atau idependensi KPU merupakan dugaan yang terlalu berlebihan c. Dalam hal penggunaan IT KPU juga menggunakan tenaga ahli dari BPPT yang secara kelembagaan merupakan wujud kontrol KPU atas kegiatankegiatan penggunaan teknologi termasuk fasilitas tehnologi yang diperbantukan oleh IFFEST d. Terlebih dari itu, IFFEST adalah lembaga yang kredibilitasnya tinggi, yang sudah lama membantu KPU, sikap anti bantuan asing yang berlebihan khususnya lembaga yang kredibel seperti IFFEST jelas tidak sehat bagi keterbukaan dan kerja sama penguatan demokrasi dengan berbagai pihak kenyataan banyak juga lembaga-lembaga negara yang memperoleh bantuan teknis dari lembaga atau donor asing atas dasar pemikiran seperti itulah pleno KPU memutuskan tidak membentuk dewan kehormatan. e. Penyelidikan Komnas HAM terhadap pengelolaan pemilih tetap atau DPT hanya dikutip pernyataan yang masih menjadi perdebatan, misalnya pernyataan KPU telah terbukti secara meyakinkan melakukan
15
penghilangan hak konstitusional warga negara dalam Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD pada tanggal 9 April 2009 pada sekitar 25% hingga 40% jiwa. Kesimpulan tersebut tidak didukung oleh data by name yang akurat, atau indentitas warga negara yang jelas. Laporan tim penyelidikan pemenuhan hak sipil dan politik adalah pemilihan umum legislatif 2009 yang dilakukan oleh Komnas HAM dalam temuan lapangan maupun analisis yang dilakukan oleh tim sebanyak 27 melakukan penyelidikan di 8 provinsi yang masing-masing provinsi yang terdiri dari 3 kabupaten/kota tidak menyajikan data kuantitatif dari perkiraan 25% sampai 40% tersebut misalnya Panwaslu Kabupaten Karo mengestimasikan sekitar 10% warga yang mempunyai hak pilih tidak masuk dalam DPT, (20.000 sampai 30.000) di Lampung temuan 3 kabupaten yang tidak terdata sekitar 3000 orang. Jika dicermati, maka penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM cukup banyak yang tidak konsisten baik lokasi penyelidikan maupun fokus group diskusi untuk masing-masing wilayah penyelidikan, misalnya ada wilayah yang melibatkan KPUD atau Panwaslu sedangkan wilayah lain tidak. Di samping itu data yang disajikan masih merupakan data mentah, artinya belum dilakukan pengolahan data sehingga belum dapat memberikan informasi yang akurat demi perbaikan DPT Pemilu yang akan datang. menurut pendapat KPU hasil penyelidikan itu lebih banyak memunculkan masalah dan pernyataan-pernyataan tendensius, akibatnya kesimpulan yang diperoleh juga masih merupakan bahan diskusi karena penyelidikan tersebut tidak taat kepada kaedah-kaedah meteodologis penyelidikan yang baku. f. Pemohon mengutip pendapat Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa secara kualitatif Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 terdapat banyak kelemahan, kekurangan dan ketidaksempurnaan yang disebabkan kelemahan KPU sebagai penyelenggara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang mudah dipengaruhi oleh berbagai tekanan publik termasuk oleh peserta Pemilu sehingga terkesan kurang kompeten, kurang profesional serta kurang menjaga citra independensi dan netralitasnya. Dalam hal ini KPU berpendapat bahwa pendapat MK tersebut merupakan pertimbangan hukum dan bukan amar putusan. g. Terkait laporan panitia angket DPR-RI sebagaimana dikutip oleh Pemohon pada halaman 5, bahwa direkomendasikan kepada KPU untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas pemutakhiran data pemilih, penyusunan DPS dan penyusunan DPT pada Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2009 KPU berpendapat bahwa fraksi-fraksi mengajukan kesimpulan yang beragam terkait dengan rekomendasi pemberhentian anggota KPU selain itu KPU juga berpendapat, bahwa seyogianya KPU bertanggungjawab atas persoalan pemutakhiran data pemilih karena Bawaslu telah terbentuk sejak bulan April 2008 sementara DPT ditetapkan pada tanggal 24 November 2008. h. Bahwa KPU telah melanggar kode etik, yang dituduhkan Bawaslu tidak berdasarkan hukum, padahal KPU telah menetapkan DPT Pemilu
16
Presiden dan Wakil Presiden namun berdasarkan rekomendasi Bawaslu dibeberapa daerah dan upaya KPU agar tidak menghilangkan hak seseorang sebagai warga negara untuk dapat menggunakan hak pilihnya dan KPU tidak pernah melibatkan pasangan calon untuk turut serta dalam proses penetapan DPT setelah melewati batas waktu perbaikan daftar pemilih pengecekan DPT oleh relawan tim kampanye semata-mata hanya asas transparan kepada peserta Pemilu. Pembelaan posisi Bawaslu yang pembentukannya terlambat adalah tidak benar, sehingga tidak ada alasan pengawasan penyelenggaraan serta penyusunan dan penetapan tidak bisa dilakukan. 14.KPU akan sangat menghormati pembentukan Panwaslu Provinsi/Kabupaten/Kota dalam rangka Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang telah ditetapkan dan dilantik Bawaslu. Apabila Panwaslu Provinsi/Kabupaten/Kota yang telah ditetapkan dan dilantik tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95 UndangUndang Nomor 22 Tahun 2007. 15.Berkenaan dengan tuduhan bahwa KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota mendasarkan kepada penafsiran yang keliru terhadap Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 142/KMA/XI/2009 dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Surat Mahkamah Agung tersebut didasarkan atas surat Ketua KPU tanggal 11 November 2009 Nomor 1615/KPU/XI/2009 dan surat Ketua Bawaslu tanggal 2 Oktober 2009 Nomor 683/Bawaslu/X/2009. b. Surat Mahkamah Agung yang merupakan pendapat Mahkamah Agung pada prinsipnya dapat atau tidak dapat dilaksanakan. c. Meskipun demikian sehubungan dengan terjadinya prosesi Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 11/PUU-VIII/2010 maka pendapat Mahkamah tersebut berubah menjadi sumber hukum. Demikian keterangan dan atau penjelasan KPU dalam Perkara Nomor 11/PUU-VIII/2010 sebagai Pihak Terkait. mohon maaf wabillahitaufik walhidayah wassalamualaikum wr. wb. Jakarta 10 Maret 2010, Komisi Pemilihan Umum, Ketua Prof. Dr. Hafidz Anshari AZ, MBA. Terimakasih. 17.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD.,S.H. Baik, terima kasih Bapak. Kalau naskahnya sudah siap supaya diambil oleh PP. Baik berikutnya, pengambilan sumpah. Jadi kalau ada yang mau ditanyakan diklarifikasi ini nanti sesudah saksi dan ahli memberi keterangan saja biar sekaligus.
18.
KUASA HUKUM PEMOHON: DR. BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., M.H.
17
Pak Ketua ada ahli yang sudah datang tapi masih duduk di belakang. 19.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD.,S .H. Ya, Pak Hadar, siapa lagi?
20.
KUASA HUKUM PEMOHON: DR. BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., M.H. Pak Saldi dan Pak Irman juga sudah di luar.
21.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD.,S .H. Pak Irman sudah datang, Pak Saldi juga sudah datang. Baik, saksi dulu Bu Endang maju, diambil sumpah dulu Bu. Beragama Islam? Ya, Pak Fadlil.
22.
HAKIM ANGGOTA: DRS. AHMAD FADLIL SUMADI, S.H., M.HUM Bu Endang, tirukan sumpah yang akan saya pandukan kepada Anda.
Bismillahirahmanirrahim, Demi Allah saya bersumpah menerangkan yang sebenarnya tidak lain dari yang sebenranya.
23.
SAKSI DARI PEMOHON: ENDANG
Bismillahirahmanirrahim, demi Allah saya bersumpah menerangkan yang sebenarnya tidak lain dari yang sebenranya. 24.
akan
akan
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD.,S .H. Silakan duduk. Ahli Pak Hadar, Pak Saldi dan Pak Irman. Agamanya masih Islam semua? Pak Hamdan.
25.
HAKIM ANGGOTA: HAMDAN ZOELVA, S.H., M.H. Saudara para ahli ikuti lafal sumpah yang saya ucapkan. Bismillahirahmanirrahim, Demi Allah saya bersumpah sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya. Terima kasih.
18
26.
AHLI DARI PEMOHON: SELURUHNYA
Bismillahirohmanirrohim, demi Allah saya bersumpah sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya. 27.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD.,S .H. Silakan duduk, silakan Bu Endang maju saja ke podium dan silakan kepada Pemohon untuk dipandu untuk menerangkan apa Ibu ini, silakan.
28.
KUASA HUKUM PEMOHON: DR. BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., M.H. Terima kasih Pak Ketua. Ibu Endang, Ibu kan dulu anggota atau Ketua Panwas ya?
29.
SAKSI DARI PEMOHON: ENDANG Ketua Pak.
30.
KUASA HUKUM PEMOHON: DR. BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., M.H. Periode kapan itu?
31.
SAKSI DARI PEMOHON: ENDANG Pemilihan legislatif dan pemilihan Presiden Tahun 2009 di Kab. Purbalingga
32.
KUASA HUKUM PEMOHON: DR. BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., M.H. Oke. Dan sekarang Ibu masih menjadi anggota Panwas atau sudah selesai?
33.
SAKSI DARI PEMOHON: ENDANG Tidak lagi karena di perekrutan kemarin untuk Panwas Pilkada saya tidak lolos di dalam enam besar.
19
34.
KUASA HUKUM PEMOHON: DR. BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., M.H. Oke. Bisakah Ibu menjelaskan kepada kita semua secara sejujurnya dan selengkap-lengkapnya, kalau bisa proses itu Bu, proses namanya rekrutmen dan apa yang Ibu alami sendiri? Jadi jangan menggunakan kata pendapat supaya itu dijelaskan dan saya akan memberikan keleluasaan kepada Ibu untuk menjelaskan.
35.
SAKSI DARI PEMOHON: ENDANG Ya, terima kasih. Saya mengikuti tes administrasi, kelengkapan administrasi dan dinyatakan lulus di administrasi itu pada tanggal 31 Oktober dan untuk Kabupaten Purbalingga melaksanakan tes tertulis untuk calon Panwaskada tanggal 2 November. Nah, pada waktu itu saya mengikuti tes dengan 14 orang, dengan incumbent semuanya dari Panwas Pileg semuanya ikut dan pengumuman waktu itu tanggal 5 di tahapan itu pengumuman tanggal 5. Saya mengerjakan, kami diberikan soal sebanyak 17 soal dengan pilihan ganda. Pengumuman pada tanggal 5 itu tidak ada nama saya di dalam rangking 6 besar yang bisa mempunyai hak untuk fit and proper test oleh Bawaslu. Saya melihat ada beberapa kejanggalan yang saya alami sendiri di dalam perekrutan dari Panwas ini. Yang pertama adalah ketika pelaksanaan, waktu pealaksanaan tes tertulis anggota KPU yang melaksanakan itu memberikan amplop, katanya ini soal ini masih utuh sejumlah 14 lembar dari KPU Provinsi. Jadi masih tersegel diperlihatkan seperti itu. Tetapi dikemudian harinya ternyata soal itu di fotokopi di Purbalingga, diperbanyak di Purbalingga, itu yang pertama. Yang kedua adalah pengisian. Pengisian itu lazimnya kalau pakai silang itukan lazimnya memakai pulpen tetapi di tes kami itu kami diperbolehkan memakai pulpen dan pensil. Selanjutnya yang saya merasa ada kejanggalan, sebelum pengumuman itu, sebelum pelaksanaan tes bahkan saya sudah mendengar kabar kalau saya nanti tidak bakalan lulus, itu kabar sudah santer sekali banyak pihak yang menyatakan, bahkan saya juga waktu itu saya sudah sampaikan ke provinsi, saya bilang Pak saya tidak lulus nanti kayaknya ada kabar seperti itu. Ke Bawaslu pun waktu itu sempat ketemu sama salah satu anggota saya sampaikan. Nah, ketika pengumuman tanggal 5 itu jam 3.00 sore menanyakan karena jadwalnya tanggal 5 kan? Saya tanyakan ke anggota KPU, saya minta tolong pengumumannya sudah belum? Begitu kan? Tetapi jam 3.00 itu katanya belum ada pengumunan, nanti tunggu sebentar lagi. Terus jam setengah lima lagi saya menayakan lagi
20
dikatakan sudah ada pengumuman dan Bu Endang tidak masuk karena dirangking 8 tetapi mereka mengatakan tolong dong saya mau lihat nilai saya, oh berkasnya sudah dikirim ke Bawaslu sama sekretariat setengah jam yang lalu. Seperti itu. Jadi saya sampai hari ini, saya tidak bisa, tidak tahu saya dapat nilai berapa, saya pikir itu adalah hak saya ya? Tapi saya tidak diberitahukan. Memang saya sempat menanyakan kenapa sih secepat itu? Baru jam 3.00 saya menayakan belum pengumuman, saya setengah lima menanyakan berkas sudah dibawa ke Bawaslu? Tapi saya tidak mendapatkan jawaban apa-apa. Saya merasa, saya sangat yakin bisa mengerjakan soal-soal yang 75 itu karena soal-soal yang diberikan adalah soal-soal teknis yang kemarin memang saya melaksanakan didalam pengawasan di Pileg dan Pilpres. Seperti itu Pak. 36.
KUASA HUKUM PEMOHON: DR. BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., M.H. Ibu dimana problemnya? Kalau tadi kasih amplop sudah di fotokopi katanya, walaupun dibilang katanya rahasia tapi di-copy di Purbalingga. Terus pakai pinsil pakai pulpen
37.
SAKSI DARI PEMOHON: ENDANG Maaf, saya pikir kalau (...)
38.
KUASA HUKUM PEMOHON: DR. BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., M.H. Saya belum selesai Bu, saya belum selesai. Terus sudah dengar kabar tidak lulus gitu, apa yang menjadi problem? Misalnya saya ingin mendapat penjelasan, apakah dalam menjalankan fungsinya, Ibu itu sudah melakukan tugas yang sesuai yang undang–undang. Karena tugas yang sesuai undang–undang itu kemudian Ibu di.., tidak, apa namanya ditidak luluskan? Apakah ada bukti seperti itu? Kalau tidak ada, bagaimana menyatakan proses itu janggal dan tidak baik?
39.
SAKSI DARI PEMOHON: ENDANG Terima kasih, saya melihatnya begini Pak. Kalau memang itu di-copy-kan di situ kenapa harus disampaikan kepada kami bahwa itu yang tersegel dari provinsi. Mengapa tidak dikatakan yang sejujurnya, itu yang pertama. Saya melihat di sana juga kalau, kalau itu digandakan di kabupaten ada kemungkinan, walau tidak ada bukti atau apapun,
21
kemungkinan saja bisa bocor, bisa dikatakan seperti itu. Nah, kalau kaitanya saya merasa, saya selama menjadi Panwas di Pileg kemarin saya melaksanakan kewenangan yang diberikan oleh undang–undang sesuai dengan Pasal 78 Undang–Undang Nomor 22 Tahun 2007. Saya berusaha melaksanakan sebaik–baiknya. Memang saya merasa ketika saya menjalankan kewenangan itu dan kami bersikap kritis terhadap penyelengarakan, terhadap dalam mengawasi semua tahapan. Hal ini ditangkap lain, ditangkap lain oleh katakanlah KPU. Memang di dalam saya melaksanakan tugas kemarin ada beberapa kasus yang dipandang bahwa Panwas ini “merecokin” kinerja daripada KPU. Sama dengan daerah lain masalah DPT, kami selama Pileg dan Pilpres kemarin memberikan 33 kasus yang mana yang paling, yang paling krusial memang kasus DPT. Jadi, kami pernah merekomendasikan ke KPU, ke Bawaslu dan kami kirimkan ke KPU Provinsi bahkan sampai pemerintah daerah pun kami kasih. Kami mengkode etik kan KPU Kabupaten/Kota karena KPU memberikan.., melaksanakan tidak sesuai dengan kewenangannya. Jadi, waktu itu di Kecamatan Prebet, sama di namanya di Kecamatan Karang Jambu ada sekitar 272 orang yang tidak masuk di dalam DPT. Tetapi, pada sama KPU, pada malam hari H tanggal 8 pada jam 10 malam mereka membuat berita acara yang memberikan surat undangan yang memasukan orang yang tidak termasuk dalam DPT itu diberikan undangan, kayak gitu tanpa koordinasi kami. Saya tahu itu pada jam 11 malam, pada hari H. saya tahu pada Kasat Reskrim pada waktu itu, katanya ada rapat di sana terus kami cek. Nah, saya melihat itu tidak, tidak melanggar karena tidak sesuai dengan kewenangannya. Karena Peraturan KPU Pusat, KPU itu kan, mem-protect DPT pada tanggal 1 april. 40.
KUASA HUKUM PEMOHON: DR. BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., M.H. Ibu, Ibu cukup Bu. Nanti penjelasan itu di sidang PHPU. Ini, saya mau menjelaskan saja (...)
41.
SAKSI DARI PEMOHON: ENDANG Ya, ya.
42.
KUASA HUKUM PEMOHON: DR. BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., M.H. Saya ingin melanjutkan saja. Ada dua pertanyaan utama lagi. Ibu katakan tadi mendengar tidak lulus padahal belum ada pengumuman. Dari mana Ibu dengar, dan apa kaitanya bahwa kan ujian ada lulus dan tidak lulus itu biasa kan?
22
43.
SAKSI DARI PEMOHON: ENDANG Ya, betul.
44.
KUASA HUKUM PEMOHON: DR. BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., M.H. Terus, apa hubunganya dengan proses rekrutmen itu berjalam sesuai prosedur dan tidak sesuai prosedur? Saya belum mendapat gambaran mengenai itu.
45.
SAKSI DARI PEMOHON: ENDANG Begini Pak, saya mendapatkan itu pertama kali dari Kasat Reskrim saya. Karena kebetulan beliau adalah temen di S-2.
46.
KUASA HUKUM PEMOHON: DR. BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., M.H. Sebenarnya dari Kasat Reskim?
47.
SAKSI DARI PEMOHON: ENDANG Ya.
48.
KUASA HUKUM PEMOHON: DR. BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., M.H. Memang Kasat Reskim itu(…)
49.
SAKSI DARI PEMOHON: ENDANG Saya tidak tahu darimana beliau. Tetapi, banyak juga pihak yang seperti temen–temen dari mess karena wacana itu sudah, sudah kelihatan sekali. Karena saya dianggap terlalu kritis mungkin. Dalam pengawasan kemarin banyak hal yang kami kritisi, terutama yang dilakukan oleh penyelenggara.
50.
KUASA HUKUM PEMOHON: DR. BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., M.H. Kalau saya mengatakan itu sih rumor saja. Bagaimana Ibu mengatakan bahwa itu bukan rumor? Semua orang ngomong itu kan, bukan berarti benar.
23
51.
SAKSI DARI PEMOHON: ENDANG Betul Pak.
52.
KUASA HUKUM PEMOHON: DR. BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., M.H. Bagaimana untuk membedakan, itu sebenarnya itu rumors itu. Ibu tidak lulus kemudian ibu bikin macam–macam. Ya, rumors kan? Menyebar-nyebarkan (suara tidak jelas) kan bisa saja seperti itu kan?
53.
SAKSI DARI PEMOHON: ENDANG Ya, tetapi gini Pak. Saya sangat yakin, saya bisa mengejarkan soal–soal itu. Saya sangat yakin, karena soal–soal itu, adalah soal–soal yang kita lakukan. Soal – soal teknis.
54.
KUASA HUKUM PEMOHON: DR. BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., M.H. Itu pertanyaan terakhir saja untuk Ibu. Ibu merasa yakin dalam mendapatkan jawaban. Apakah Ibu bisa mengkonfirmasi dua hal, ya Bu ya?
55.
SAKSI DARI PEMOHON: ENDANG Ya.
56.
KUASA HUKUM PEMOHON: DR. BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., M.H. Bagaimana dengan peserta–peserta yang lain. Terus, saya juga ingin mendengar karena yang hadir, yang hadir di sini hanya Ibu seorang padahal katanya Bawaslu banyak di tempat lain.
57.
SAKSI DARI PEMOHON: ENDANG Ya.
24
58.
KUASA HUKUM PEMOHON: DR. BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., M.H. Apakah Ibu juga mendengar, dari teman–teman Panwaslu yang lain, yang sikapnya kritis kayak Ibu juga mendapat perlakuan yang sama, ini bukan kasus Ibu sendiri.
59.
SAKSI DARI PEMOHON: ENDANG Ya.
60.
KUASA HUKUM PEMOHON: DR. BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., M.H. Ibu tahu tidak? Kalau tahu di informasikan, kalau tidak jangan sok tahu begitu kan?
61.
SAKSI DARI PEMOHON: ENDANG Ya, saya yang tahu hanya teman–teman saya sekabupaten, seprovinsi. Ada di sana, di Kabupaten Semarang ada namanya Bu Ana. Dia dosen Undip di sana juga, beliau tidak lulus di dalam enam besar, kalau, sebenarnya kalau dilihat dari kapasitas beliau saya sangat yakin juga. Terus yang kedua Ibu Puspa. Dari Kabupaten Boyolali dulu juga Ketua juga, di sana beliau juga tidak lulus di enam besar walaupun kemudian di sekarang karena ada bukti gitu, memang bedanya saya tidak ada bukti Pak, saya tidak ada bukti tetapi di Boyolali itu terbukti dan KPU pun mengakui bahwa ada mark up nilai di sana.
62.
KUASA HUKUM PEMOHON: DR. BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., M.H. Apa terbuktinya yang Ibu dengar? Apa yang di Boyolali itu apa?
63.
SAKSI DARI PEMOHON: ENDANG
Mark up nilai Pak. 64.
KUASA HUKUM PEMOHON: DR. BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., M.H.
Mark up nilai.
25
65.
SAKSI DARI PEMOHON: ENDANG Iya, betul, akhirnya sekarang beliau menjabat kembali karena memang kemudian diajukan oleh KPU, seperti itu.
66.
KUASA HUKUM PEMOHON: DR. BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., M.H. Jadi ada(...)
67.
SAKSI DARI PEMOHON: ENDANG Itu banyak sekali kasus yang seperti saya, mungkin saya hanya salah satu mungkin yang di sample kan
68.
KUASA HUKUM PEMOHON: DR. BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., M.H. Tunggu-tunggu, tadi Ibu mengatakan kompetensi, kompetensi itu di apa? Di pengetahuan atau memang Ibu menjalankan sesuai tugas itu juga kan bisa kompetensi?
69.
SAKSI DARI PEMOHON: ENDANG Saya kira kalau kapasitas seperti Ibu Puspa, Ibu Ana itu kompetensi di dalam pengetahuan ataupun pengalaman. Saya sangat yakin beliau mampu untuk mengerjakan soal itu, Pak
70.
KUASA HUKUM PEMOHON: DR. BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., M.H. Dari kami cukup Pak Ketua, Terima kasih Bu Endang.
71.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD.,S .H. Saya persilakan kalau KPU atau Pemerintah mau tanya sekaligus kepada saksi ini karena sesudah ini kita akan konsentrasi kepada ahli. Ada pertanyaan Ibu Andi Nurpati?
72.
PIHAK TERKAIT: ANDI NURPATI (ANGGOTA KPU) Terima kasih.
26
Yang ingin saya tanyakan Ibu Endang, adalah tadi Ibu mengatakan bahwa Ibu yakin mampu mengerjakan soal lebih dari peserta lainnya padahal tidak masuk menjadi enam. Apakah juga Ibu yakin bahwa peserta lainnya itu Ibu lebih cerdas dari mereka misalnya begitu? Karena ini kan keyakinan bukti tadi tidak kita temukan dari yang Ibu sampaikan. Yang kedua adalah soal fotokopi, darimana Ibu mengetahui dan apakah memang terbukti fotokopi tadi di wilayah Ibu tadi beredar dan disalahgunakan. Artinya bocorlah soal itu, itu tadi yang saya tidak temukan bukti-bukti, hanya mendengar-mendengar saja Ibu sendiri tidak mampu membuktikan. 73.
SAKSI DARI PEMOHON: ENDANG Terima kasih. Memang seperti saya katakan tadi hal-hal seperti itu sangat sulit dibuktikan ya Ibu ya? Jadi saya memang dikatakan di awal jika saya punya bukti tentu saya sudah mengambil langkah, ya kayak gitu? Tetapi itu hal yang tidak bisa dibuktikan. Kalau saya tidak berprasangka apaapa, seandainya tidak disampaikan bahwa itu di tersegel dari provinsi. Kenapa sih harus disampaikan seperti itu? Itu yang masuk di logika saya, begitu loh. Yang kedua, kalau saya tidak mengaggap bahwa saya lebih cerdas dari mereka tetapi, gini saya sebelum menjadi Panwas di kabupaten saya tidak punya pengalaman apa-apa tentang kepanwasan. Saya hanya ikut di Panwas Pilbup dulu itu pun hanya ketua di kecamatan. Itu saya kemarin tes itu di rangking dua, waktu menjadi Pileg, tetapi setelah saya menjalani pengalaman yang selama satu tahun lebih saya di (...) oleh Banwas, di pintet oleh provinsi, saya kenapa menjadi apa? Kok malah bukan menjadi semakin tahu gitu. Malah menjadi tidak tahu gitu, itu yang menjadi pemikiran saya.
74.
PIHAK TERKAIT: ANDI NURPATI (ANGGOTA KPU) Ya, Terima kasih dari saya Pak, sebelum Pak Syamsul.
75.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD.,S .H. Ya , silakan.
76.
PIHAK TERKAIT: ANDI NURPATI (ANGGOTA KPU) Ada kaitanya tadi Pak Ketua. Bahwa Bawaslu kan dalam pelantikan terhadap mantan Panwas Pilpres menjadi Panwas Pemilu Kepala Daerah diangkat kembali. Saya ingin menanyakan kepada Ibu Endang sebagai Ibu yang menyerahkan dokumen persyaratan, mohon
27
ibu menjelaskan seperti apa dokumen sehat jasmani dan rohani pada saat mendaftar pada saat Pilpres dan Pilkada yang kemarin diikuti. Begitu juga pada keterangan tidak pernah dihukum dari keterangan pribadi atau pengadilan. 77.
SAKSI DARI PEMOHON: ENDANG Surat sehat itu kami dapat dari rumah sakit melalui tentu saja pemeriksaan. Kemudian rumah sakit, begitu juga keterangan tidak pernah di penjara pada pengadilan negeri setempat.
78.
PIHAK TERKAIT: ANDI NURPATI (ANGGOTA KPU) Dilampirkan dengan rekam medik?
79.
SAKSI DARI PEMOHON: ENDANG Kami lampirkan rekam mediknya.
80.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD.,S .H. Ada lagi, silakan.
81.
PIHAK TERKAIT: SYAMSUL BAHRI (ANGGOTA KPU) Terima kasih Pak Ketua. Bu Endang.
82.
SAKSI DARI PEMOHON: ENDANG Ya
83.
PIHAK TERKAIT: SYAMSUL BAHRI (ANGGOTA KPU) Di dalam proses rekrutmen, apakah ada tim seleksi?
84.
SAKSI DARI PEMOHON: ENDANG Tim seleksi dari KPU Pak.
85.
PIHAK TERKAIT: SYAMSUL BAHRI (ANGGOTA KPU) Ya
28
86.
SAKSI DARI PEMOHON: ENDANG Dari KPU dan Sekretariat.
87.
PIHAK TERKAIT: SYAMSUL BAHRI (ANGGOTA KPU) Unsurnya darimana saja?
88.
SAKSI DARI PEMOHON: ENDANG Saya tidak pernah, saya tahunya dari KPU. Karena seleksi itu kami serahkan kepada KPU terus yang menerima Sekretariat KPU dan tesnya dari KPU saja.
89.
PIHAK TERKAIT: SYAMSUL BAHRI (ANGGOTA KPU) Ya, kan memang dalam Peraturan KPU di dalam rekrutmen (...)
90.
SAKSI DARI PEMOHON: ENDANG Tidak ada unsur lain dari KPU itu sendiri.
91.
PIHAK TERKAIT: SYAMSUL BAHRI (ANGGOTA KPU) Ya, memang dia merupakan tim untuk menyeleksi.
92.
SAKSI DARI PEMOHON: ENDANG Ya
93.
PIHAK TERKAIT: SYAMSUL BAHRI (ANGGOTA KPU) Terima kasih Pak Ketua.
94.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD.,S .H. Pemerintah mau tanya juga?
95.
PEMERINTAH: MENDAGRI)
YUDAN
ARIF
FAKRULLOH
(STAF
AHLI
Dari Pemerintah sementara belum ada, Yang Mulia.
29
96.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD.,S .H. Hakim cukup, tidak ada ya? Tidak ada, oke. Kalau begitu silakan duduk.
97.
SAKSI DARI PEMOHON: ENDANG Terima kasih Pak
98.
KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD.,S .H. Jadi kita dengarkan sekaligus tiga saksi, baru nanti di apa namanya, kalau ada pertanyaan-pertanyaan. Pertama Pak Hadar, silakan Pak. Silakan Pemohon apa yang mau, yang harus diterangkan oleh Pak Hadar.
99.
AHLI DARI PEMOHON: HADAR NAFIS GUMAY
Assalamualaikum wr wb.
Majelis Hakim Yang Mulia dari Mahkamah Konstitusi, para pihak yang berperkara dalam sidang pagi ini. Adalah suatu kehormatan buat saya, berdiri di sini untuk menyampaikan pandangan, pendapat saya sesuai dengan kemampuan saya dalam bidang yang saya minati ini. Saya kira saya akan menyampaikan pandangan terkait dengan pengawas eksternal Pemilu. Jadi mohon dipahami Pemilu yang saya maksud ini adalah Pemilu yang umum dalam hal ini termasuk juga Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Tentu kita semua menginginkan suatu Pemilu yang demokratis dan pemahaman demokratis, suatu Pemilu yang demokratis itu sering kali atau populer sekali disebut dengan Pemilu yang free and fair election atau kita sering menyebutnya dengan pemilu bebas dan adil begitu. Nah, sebetulnya sudah banyak pembahasan tentang apa yang dimaksud dengan suatu free and fair election itu? Diukur melalui apa? Banyak lembaga yang sudah membahas, banyak ahli yang sudah bicara masalah ini, antara lain misalnya Interparliamentary Union atau OSC yaitu Organization for Security and Corporation. ODIHR, Office for Democratic Institution and Human Right, UN sendiri ya? Apa namanya Perserikan Bangsa-Bangsa sendiri dan banyak sekali batasan yang digunakan. Misalnya jaminan hak untuk memilih pada setiap warga, dijamin kerahasiaan dalam memilih, menjamin semua yang terhitung, suara yang terhitung itu akan dihitung dengan jujur, semua kursi, minimal dari satu kamar dari suatu parlemen itu adalah diperebutkan secara bebas, menjamin hak warga untuk dipilih dan seterusnya dan seterusnya. Antara lain juga misalnya minim pelanggran kalau toh ada
30
pelanggran ada penegakkan hukumnya. Jadi isu ini nanti saya akan coba kembangkan. Ukuran-ukuran atau indikator tadi yang digunakan untuk melihat suatu Pemilu demokratis atau Pemilu yang populer disebut free and fair election ini, tentu akhirnya adalah ukuran-ukuran yang sifatnya konposit ya? Gabungan-gabungan kesemuanya dan kita tahu bahwa yang dimaksudkan di negeri kita, Pemilu itu merupakan perwujudan kedaulatan rakyat untuk memilih pemerintahan dalam hal, ini pemimpin dan wakil rakyat melalui suatu proses pemungutan suara yang berasaskan, asas jujur, adil, langsung, umum, bebas dan rahasia. Saya kira asas ini sekaligus saya bisa simpulkan sebetulnya menunjukkan kurang lebih dari ukuran-ukuran yang saya coba sampaikan di awal tadi yang begitu banyak. Nah, untuk mencapai suatu Pemilu yang demokratis, tentu diperlukan penyelenggara yang juga siap untuk menyelengarakan Pemilu yang demokratis dan penyelengara kita itu, misalnya, haruslah mandiri, haruslah imparsial, tidak berpihak kepada para peserta Pemilu itu sendiri, bekerja secara transparan, punya kapasitas, profesional mereka, kemudian juga berintegritas, berorientasi kepada publik, kepada pemilih, kepada semua stakeholder dari pada pemilih itu sendiri. Nah, itu dari segi penyelengaranya. Tetapi kemudian juga sangat penting di dalam penyelengaraan ini, prosesnya itu dijalankan dengan integritas yang tinggi, berintegritas begitu. Nah, oleh karena itu untuk menciptakannya, pengawasan itu menjadi sangat penting di dalam Pemilu. Pengawasan itu ada ragamnya, ada berbagai macam. Misalnya saja pemantau Pemilu, itu sebetulnya suatu elemen pengawas yang ada kita kenal domestik maupun internasional, ada observation mission dari luar negeri misalnya. Kemudian juga ada pengawas dari lembaga politik seperti parlemen kita, DPR punya hak untuk mengawas juga. Walaupun dalam praktiknya kita juga tidak bisa mengandalkan sepenuhnya. Karena ini sering digunankan sebagai alat politik untuk kepentingang poltik mereka bisa mencoba mempengaruhi penyelenggara. Kemudian ada juga pengawasan bersifat formal, dibangun betul sengaja untuk melakukan pengawasan sehingga integritas dari proses penyelenggara Pemilu itu bisa berjalan atau bisa tercipta. Ini pun terbagi dua yaitu pengawas yang sifatnya melekat atau internal ada di dalam penyelenggara atau election management policy-nya atau yang bersifat yang kedua, yaitu ada di luar pengawas yang terpisah dari penyelenggara dan ini pun juga modelnya di praktik di dunia ada dua macam. Ada yang langsung terkait dalam proses penegakkan hukumnya menjadi lembaga yudisial, tetapi ada semacam yang terpisah, tetapi dia hanya melakukan fungsi tertentu. Misalnya memproses awal dari suatu hasil pengawasan atau hasil temuan pelanggaran. Nah, prinsip pengawasan itu. Beberapa hal yang penting, pertama bahwa pengawasan itu haruslah dilakukan juga oleh lembaga yang sifatnya mandiri. Karena kalau tidak maka akan terjadi kesulitan. Nah
31
misalnya saja model pengawasan yang ada di Indonesia, di negara kita dimana Bawaslu dan jajarannya ke bawah itu yang diberikan otoritas untuk mengawas. Tetapi pembentukanya itu dilakukan oleh pihak lain, bahkan pihak yang justru menjadi subjek pengawasannya yaitu KPU. Saya kira, di sini ada model upaya untuk membangun badan pengawas yang sifatnya eksternal, tetapi pembentukannya itu bisa menimbulkan persoalan, bisa mengakibatkan suatu pengawasan yang tidak efektif. Karena apa? Karena memang di dalam pembentukanya itu melibatkan lembaga yang nantinya akan diawasi. Nah pengawasan itu sebetulnya banyak sekali. Tidak hanya setiap tahapan Pemilu, termasuk Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Tetapi juga tentang administrasi dan pengelolaan Pemilu itu sendiri, itu juga menjadi umumnya menjadi subjek pengawasan. Nah di dalam penciptaan integritas proses Pemilu, sebetulnya badan pengawas Pemilu perlu mempunyai beberapa hal. Antara lain kebebasan untuk menentukan apa yang dikaji, yang diselidiki di dalam memproses pelanggaran maupun apa yang dia temukan. Kemudian ada akses informasi dan data yang luas untuk kebutuhan pengkajiannya, pengawasannya. Kemudian juga harus mempunyai kebebasan yang penuh untuk mempublikasikan temuan, kajian dan rekomendasi yang dihasilkan tanpa ada pembatasan dan intervensi politik. Nah saya kira fungsi-fungsi ini bisa saja dimiliki oleh pengawas atau Bawaslu dengan strukturnya yang model di negeri kita ini. Tetapi saya melihat persoalanya justru itu di bagian awal atau dibagian proses pembentukannya. Jadi kalau proses pembentukannya ini juga sudah menjadi persoalan, apa yang kita harapkan dari fungsi mereka, dimana diharapkan integritas dari proses Pemilu itu bisa berjalan juga tidak bisa dicapai. Saya ingin memberikan ilustrasi perkembangan tentang pengawasan internal yang selama ini cukup populer dan sangat punya otoritas yang kuat untuk bahkan menjatuhkan sanksi, itu sudah dalam upaya perubahan untuk dijadikan pengawasan eksternal. Dua negara saya ambil contoh Thailand. Election commision Thailand, itu sebetulnya punya pengawasan internal. Dia ada biro sendiri dan otoritasnya luar biasa besar, bukan hanya mengawasi pelaksanaan penyelenggara tetapi juga peserta, melakukan penyelidikan investigasi dan kemudian menjatuhkan sanksi. Ada istilah di Thailand itu jatuhkan kartu kuning misalnya, ada kartu merah misalnya, itu sampai mencabut hak dipilih dari calon di dalam Pemilu berikutnya. Dia harus menunggu Pemilu yang lain untuk bisa ikutan. Jadi luar biasa, demikian juga di Filipina (suara tidak jelas) itu punya bagian yang juga melakukan pengawasan dan penegakkan hukum sekaligus. Tetapi kita juga sudah lihat persoalan di sana, dimana ada kasus sendiri di dalam waktu skandal antara pihak “Komelek” ada telepon dengan Presiden Arroyo misalnya. Kemudian yang belakangan, terakhir dalam persiapan Pemilu dengan menggunakan counting machine,
32
elektronik, itu juga ada skandal tentang pengadaan barangnya yang terkait dari dalam. Nah jadi, persoalan ini dirasakan oleh mereka juga sebagai satu ketidakmampuan untuk bisa mengawasi diri sendiri. Nah oleh karena itu, di dua negara ini sedang siap-siap untuk melakukan perubahan dalam waktu dekat. Walupun di Filipna itu dibutuhkan perubahan konstitusi untuk ini. Jadi akan cukup berat dilakukan, tetapi keinginan atau kehendak, kebutuhan untuk perubahan ini sudah cukup besar dirasakan di sana. Alasan lain adalah, dengan adanya fungsi pengawasan sendiri di dalam oleh lembaga penyelenggara Pemilu ini, mereka menjadi target juga akibat dari putusan-putusan yang mereka buat. Jadi ada pihak yang tidak puas, ada calon yang tidak puas, itu menjadikan mereka target untuk dikejar-kejar. Kemudian mereka penuh disibukan dengan fungsi pengawasan dan penegakan hukum ini, sehingga core bisnis mereka yaitu menyelenggarakan Pemilu, itu menjadi agak tertinggal dimana mereka sebetulnya harus mempersiapkan sejak pendaftaran pemilih dan seterusnya sampai penetapan hasil. Kemudian, juga persoalan, kekurangmampuan mereka untuk mengawasi dirinya sendiri. Jadi itu terjadi persoalan. Nah, saya kira kalau di Indonesia kita sudah sepakat untuk menempatkan pengawas itu adalah yang sifatnya eksternal, maka konsekuensinya untuk kita bisa memastikan kerja pengawasan itu efektif, haruslah kita punya pengawas yang sejajar. Pengawas yang betul-betul duduk sama tinggi dengan penyelenggaranya, sehingga fungsi pengawasan akan efektif, fungsi pengecekan check and ballance itu juga akan berjalan. Kalau kita hanya mengandalkan pengawasan dari pihak lain, apalagi tadi saya sudah sebutkan dari lembaga politik misalanya, yang sering sekali dipolitisasi untuk alat politik mereka, maka memang kita butuhkan satu lembaga pengawas yang berbeda, yang satu level. Sehingga kekhawatirankhawatiran yang terjadi, yang sedang berlangsung di Thailand, yang sedang berlangsung di Filipina itu tidak akan terjadi di negeri kita. Nah, saya kira itu yang saya ingin sampaikan dan sebagai penutup. Menurut hemat saya, pengaturan-pengaturan terkait dengan yang sedang diajukan oleh Pemohon, ada dua blok kira-kira itu. Pengaturan tentang bagaimana Panwas itu dibentuk, kemudian pengaturan tentang yang terkait penegakkan hukum internal yaitu penegakkan kode etik melalui badan kehormatan, itu sebetulnya pengaturan yang secara struktural bermasalah sejak awal. Dan menurut saya ini tidak konsisten dengan konstitusi kita yang menginginkan, sebetulnya Pemilu kita itu demokratis, jujur, adil dan seterusnya. Jadi kalau kita teruskan model seperti ini pengaturannya, potensi untuk terjadinya pengawasan yang tidak efektif, kemudian akan diikuti dengan rendahnya atau sulitnya nanti akan terciptanya integritas proses Pemilu, akhirnya tidak bisa kita capai hasil Pemilu yang demokratis.
33
Saya kira itu saja yang saya ingin sampaikan, tentu saya akan sangat antusias merespon kalau ada pertanyaan dari semua yang memang punya hak untuk bertanya di ruangan ini. Terima kasih Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang terhormat. Mohon maaf kalau ada kata yang salah, mungkin satu yang saya ingin sampaikan di sini, ada teman-teman KPU, maaf saya berdiri di sini, mohon dilihat saya sebagai, apa ya, posisi profesional, gitu ya. Tidak dimaksudkan untuk membela yang satu atau menjatuhkan yang lain. Demikian, terima kasih. Wassalamu’alaikum. wr. wb. 100. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.
Wassalamu’alaikum .
Silakan duduk dulu Pak, nanti biar tiga orang dulu pertanyaanpertanyaan supaya disimpan dulu. Pak Saldi. 101. AHLI DARI PEMOHON:PROF. DR. SALDI ISRA, S.H., MPA Terima kasih Bapak Ketua Majelis Hakim yang saya muliakan. Bapak-Bapak dan Ibu Majelis Hakim yang saya muliakan. Bapak-Bapak dan Ibu dari Pemerintah, dari KPU, Bapak Ketua KPU dalam hal ini diwakili oleh tiga orang angota KPU, Bapak-Bapak dan Ibu dari Bawaslu, kawan-kawan dari Ahli, hadirin sekalian yang saya hormati. Saya diminta oleh Bawaslu sesuai dengan keahlian saya yaitu hukum tata negara untuk menjelaskan konstruksi Pasal 22E yang kemudian ditempatkan dalam fungsi konstitusi. Saya tidak akan masuk ke wilayah-wilayah praktis karena itu tidak kompetensi saya untuk menjelaskannya dan tidak semuanya masuk keahlian saya. Mungkin kalau hal-hal yang agak praktis, kawan-kwan Bawaslu bisa menjelaskan. Termasuk juga salah seorang ahli, Bapak Hadar Nafis Gumay. Bapak Ibu Majelis Hakim Konstitusi yang saya hormti,, secara klasik kalau orang bicara mengenai konstitusi, fungsi pokoknya itu ada tiga. Yang pertama, untuk menentukan lembaga-lembaga apa saja yang ada dalam sebuah negara. Lalu kemudian yang kedua, untuk menjelaskan bagaimana hubungan, kewenangan, interaksi antar lembaga-lembaga negara itu? Yang ketiga hubungan antara negara dengan warganya. Pada prinsinya secara klasik fungsi konstitusi menjelaskan yang tiga itu. Tapi dalam perkembangan teori-teori ketatanegaraan modern, fungsi-fungsi klasik itu kemudian coba dielaborasi lebih jauh, terutama berkembangnya pemikiran tumbuh kembangnya lembaga-lembaga yang ada dalam negara. Misalnya, munculnya negara-negara di luar tiga cabang kekuasaan yang secara tradisonal kita kenal, menyebabkan ada pemikiran ulang tentang tujuan
34
dari konstitusi itu. Lalu konstitusi kemudian mengadopsi perkembangan itu. Salah satu buku yang bicara tentang perluasan dari tujuan konstitusi itu, itu ditulis oleh Kars Ersusten {sic} dalam bukunya designing democracy what constitution do. Di dalam buku itu dia menyebutkan, di luar tujuan-tujuan klaik konstitusi yang ada, tujuan konstitusi yang lain, yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menciptakan, membuat kondisi awal agar kehidupan demokratis bisa berjalan dengan baik. Jadi dia mengatakan, well function and demokratic order. Dalam pengertian itu, demokratis itu dalam konsep bingkai konsep konstitusi bagaimana menata dengan baik lembaga-lembaga yang ada dalam suatu negara. Nah, biasanya, penataan itu diuraikan di dalam konstitusi dengan menyebut lembaga apa saja, lalu apa yang menjadi kewenangan lembaga itu? Kalau itu misalnya kita kaitkan dengan Pasal 22E UndangUndang Dasar RI Tahun 1945, saya mengatakan pasal ini sebetulnya memberi ruang tafsir yang agak lebih terbuka untuk adanya lembagalembaga negara. Kenapa saya katakan disediakan ruang tafsir yang lebih terbuka? Karena untuk menyebut komisi pemilihan umum, tidak hanya memulai dengan huruf kecil, tetapi juga memulai dengan kata suatu. Yang di dalam kamus besar Bahasa Indonesia, yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional, sekarang Kementerian kalau dipersamakan. Kata suatu itu dimaksudkan sebagai hal yang tidak tentu. Jadi tidak jelas, boleh ada tafsir di situ. Bunyi ini jelas berbeda misalnya dengan Pasal 24 UUD RI Tahun 1945 yang menyebut Mahkamah Agung sebagai sebuah, yang menyebut “Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah,” itu kemudian dikuatkan lagi dengan menyebut institusi atau lembaga itu dalam huruf besar. Jadi tidak ada lagi perubahan nama apa yang akan dimunculkan? Kalau kita lihatnya pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang Dasar 1945, memang ada ketidak konsistenan penyebutan antara suatu dengan sebuah. Untuk kata suatu misalnya di Pasal 23 menyangkut masalah Badan Pemeriksaan Keuangan, itu kata suatu diikuti oleh institusi yang dimulai dengan huruf besar. Saya lalu mengatakan karakter Pasal 22E ini adalah tidak menyebut secara tegas nama institusi, lalu tidak menyebut juga secara tegas berapa jumlah institusi yang harus dilahirkan? Meskipun secara umum itu kemudian menghasilkan satu institusi. Dalam teori politik hukum apabila konstitusi tidak menyebutkan secara jelas, memberi ruang untuk ada tafsir yang lebih terbuka, itu nanti dieksplisitkan oleh pembentuk undang-undang, apa sih yang ia maksud dengan kata suatu dalam konstitusi itu? Jadi itu masuk ke ranah
legal policy.
Ketika ia masuk ke ranah legal policy, dia tidak bisa begitu saja ke luar dari bingkai konstitusi yang ada. Misalnya di Pasal 22E ayat (5) itu disebutkan bahwa lembaga untuk menyelenggarakan Pemilu itu, itu
35
harus mandiri salah satunya. Konsep mandiri itu kemudian tidak boleh dikurangi oleh pembentuk undang-undang ketika ia diterjemahkan ke dalam peraturan yang lebih rendah. Kalau kemudian pembentukkan institusi yang di konstitusinya tidak disebut secara eksplisit lalu mengurangi makna yang disebut secara eksplisit dalam konstitusi terutama menyangkut asas-asas terbentuknya institusi itu, itu kemudian dapat dikatakan pembentuk undang-undang sengaja atau pun tidak, bisa dikatakan melanggar apa yang ada di konstitusi atau yang dihasilkan itu tidak sesuai dengan konstitusi. Sebagai sebuah legal policy, itu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, membentuk dua institusi yang eksplisit misalnya yang disebut dalam Pasal 1 itu adalah ada KPU, penyelenggara Pemilu, namun kemudian memunculkan institusi lain yang disebut sebagai Bawaslu atau Badan Pengawas Pemilu yang tugasnya mengawasi penyelenggara pemilihan umum itu sendiri. Meskipun menurut saya ini dipecah menjadi dua, kedua institusi ini memang tidak boleh dikurangi independensinya satu sama lain. Apalagi Bawaslu diberi kewenangan secara eksklusif oleh Undang-Undng Nomor 22 untuk mengawasi penyelenggara Pemilu itu sendiri. Secara teori sebetulnya kalau bercerita atau membahas independensi lembaga-lembaga negara, itu ada 3 kategor pokok untuk menyebut sebagai sebuah institusi itu independen. Yang pertama, independen institusi itu sendiri. Jadi ia disebut sebagai institusi yang independen. Yang kedua, independensi dari person atau orang yang mengisi institusi itu sendiri. Yang ketiga, independen dari sumber keuangan. Khusus untuk independen, orang atau person yang mengisi institusi, di dalam literatur yang berceritera tentang rekrutmen atau pengisian lembaga-lembaga negara, itu dikatakan bahwa indepedensi itu sangat ditentukan dari proses seleksi. Makanya kemudian untuk institusiinstusi yang disebut independen selalu saja melibatkan setidak-tidaknya dua institusi dalam proses pengisiannya. Nah, dalam pemahaman saya institusi yang dilibatkan itu mesti institusi yang levelnya sama, yang bisa satu sama lainnya menjalankan fungsi check and ballances itu. Dalam pengertian itu, misalnya kita ambil contoh untuk pengisian Bawaslu lalu di situ ada proses pengisian yang dilakukan oleh DPRD misalnya kepada KPU, itu dua institusi yang tidak sama levelnya untuk fungsi check and ballances. Berbeda misalnya KPU diisi atau proses rekrutmen KPU yang pada awalnya itu check and ballances-nya dijalankan oleh eksekutif, dalam hal ini Pemerintah dengan DPR. Karena apa? Dua institusi ini fungsi saling kontrol dan sling cek, satu sama lain tetapi KPU dengan DPRD misalnya tidak bisa menjalankan fungsi itu, tidak dalam fungsi check and ballances sebagaimana dalam teori-teori ketatanegaraan itu. Jadi itu independensi person ditentukan dari bagaimana ia diseleksi.
36
Poin berikutnya adalah bagaimana orang yang ada di dalam institusi itu diawasi? Kalau ia melakukan pelanggaran-pelanggaran kode etik? Dalam buku-buku literatur tata negara itu dikatakan dan disebutkan untuk penegakkan kode etik akan dibentuk badan khusus yang isinya itu diupayakan seminimal mungkin, lembaga yang nanti akan dihadapkan kemana berlakunya kode etik itu. Kalau misalnya, dewan kehormatan kita sebut diisi oleh mayoritas institusi, kemana arah penegakkan kode etik itu bisa menimbulkan conflict of interest dan juga bisa menimbulkan posisi deadlock ketika penegakkan hukum. Karena apa? Mayoritas yang ada di dewan kehormatan itu orang yang akan di bawa ke persoalan atau penegakkan hukum kode etik itu sendiri. Jadi secara teori sebetulnya itu dikatakan memang sulit menghilangkan sama sekali institusi yang akan diarahkan penegakakkan kode etik tetapi memberi porsi mayoritas itu juga tidak kalah rumitnya. Kenapa kemudian ada jalan tengah memberikan jumlah terbatas kepada institusi ke arah penegakkan kode etik itu? Agar institusi ke arah mana kode etik itu ditegakkan punya kesempatan untuk membela diri atau kepentingan institusinya dalam proses penegakkan kode etik itu. Itu sebetulnya tujuannya tetapi kalau jumlahnya menjadi mayoritas itu sulit kita berharap penegakkan hukum akan jalan. Jadi jumlah mayoritas itu akan menghasilkan “jeruk makan jeruk” saja. Bapak Ketua Majelis Hakim, Bapak-bapak Majelis Hakim dan Ibu Majelis Hakim yang saya muliakan. Itulah keterangan yang bisa saya sampaikan, terima kasih.
Billahitaufiqwalhidayah, wassalamualaikum wr.wb.
102. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD.,S .H. Baik, berikutnya Bapak Irmanputra Sidin, silakan. 103. AHLI DARI PEMOHON: DR. IRMANPUTRA SIDIN, S.H., M.H.
Assalamualaikum wr.wb.
Dan selamat pagi Yang Mulia, Bapak Ketua seluruh Hakim Konstitusi yang terhormat. Teman-teman dari Pemerintah dan BapakBapak dari KPU, Pemohon, Kuasa Hukum, Bawaslu dan seluruh hadirin yang hadir di sini. Sebelum saya memulai, saya sering mengatakan kepada temanteman yang meminta saya menjadi ahli di sini. Saya sering mengatakan bahwa di Mahkamah Konstitusi ini sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan keahlian tata negara untuk menjadi ahli di sini. Tetapi keahlian yang fokus di bidang apa yang dipersoalkan di situ. Tapi kebetulan pertama juga rindu juga kepada Mahkamah Konstitusi ini jadi saya bersedia jadi ahli di sini, dan kebetulan juga hati dan pikiran saya nyambung dengan perkara ini. Tetapi sekali lagi kita di sini bicara dengan sistem bukan mengadili teman-teman KPU di sini.
37
Saya sering berpikir bahwa esensi sebuah kelanjutan sebuah negara itu adalah sebenarnya Pemilu itu sendiri. Kalau mau melihat detak jantungnya sebuah negara masuh berlanjut berdetak, maka Pemilu itulah jawabannya. Makanya Pemilu itu menjadi sangat penting, dimana ada struktur yang mapan terbangun di situ. Sekali lagi, mohon maaf Yang Mulia Hakim Konstitusi kami tidak bermaksud menggarami lautan tetapi semata karena kapasitas menjadi ahli yang mungkin kebetulan sama yang dimiliki oleh Hakim Konstitusi, maafkan saya kalau ada katakata karakter yang mungkin kurang enak karena bawaan dari kultur biasanya. Sekali lagi ingin saya ulang bahwa ada struktur namanya Pemilu yang melekat dua di situ ketika kita masih sepakat prinsip pembatasan kekuasaan konstitusionalisme. Ketika Pemilu itu harus diselenggarakan maka di situ ada dua elemen yang melekat yang tidak bisa dipisahkan. Ada pelaksananya, kemudian dilekatkan pula secara otomatis kekuatan kontrol dari pelaksanaan Pemilu itu. Oleh UUD 1945 Pasal 22E disebutkan Pemilu berlangsung jujur dan adil, diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum. Politik hukum yang terbangun pasca Undang-Undang Dasar ini seolah-olah mengaggap bahwa suatu komisi pemilihan umum yang sebenarnya sudah diungkapkan oleh Prof. Saldi tadi, itu adalah kebutuhan primernya adalah pelaksana dari Pemilu itu sendiri. Oleh suatu komisi pemilihan umum itu ditafsirkan bahwa segalak-galaknya sebuah penyelenggara Pemilu, biarkanlah semuanya diselenggarakan oleh KPU yang alamatnya Jalan Imam Bonjol, kira-kira seperti itu. Ini yang tercipta sistem, saya hitung ini secara reformasi 1998 sistem itu tercipta sehingga setiap kita mau menyelenggarakan Pemilu maka kebutuhan primer yang dianggap oleh politik hukum yang hidup dibalik regulasi yang melahirkan penyelenggara Pemilu itu adalah pelaksananya saja, pengawasnya tidak perlu. Itu kebutuhan sekunder pengawas itu sehingga terciptalah sistem seperti itu, termasuk dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 walaupun sedikit ada perbaikan, mulai dari namanya saya lupa Panwaslu waktu zaman 1999 dan lain sebagainya. Yang namanya instrumen pengawasan itu dianggap sebagai sebuah kebutuhan sekuder, padahal dalam penyelenggaraan Pemilu antara pengawasan, ketika kita masih sepakat bahwa harus ada kontrol dari pelaksana itu maka dia sama-sama adalah kebutuhan primer. Kita asumsikan sebagai sebuah miniature KPU adalah eksekutifnya maka Panwaslu adalah yudikatifnya. Kemudian di masing-masing dua lembaga ini dilekatkan fungsi legislatif masing-masing oleh karenanya KPU dilekatkan dia namanya Peraturan KPU dan lain sebagainya. Di Bawaslu pun dilekatkan itu. Namun sekali lagi politik hukum terbangunnya sistem ini menganggap bahwa komisi pemilihan umum adalah sebuah kebutuhan primer, mungkin politik hukumnya adalah ketakutan kalau instrumen pengawasan pelaksanaan Pemilu ini menjadi kuat maka bisa jadi pihak-pihak yang berkepentingan dalam proses Pemilu ini akan merasa tidak nyaman. Sehingga dengan sistem yang seperti ini sesabarsabarnya anggota KPU maka cenderung ruang itu diciptakan untuk
38
bertindak seperti itu. Dan segarang-garangnya anggota Bawaslu maka tetap dia tidak berlaku apa-apa di situ dan konstruksinya seperti itu. Saya tidak menyalahkan teman-teman KPU ketika merespon semua ini seperti itu karena sistemnya memang menciptakan ruang untuk berlaku seperti itu. Ketika saya ditanya berapa bulan lalu, Pilkada sudah dekat, pengawas-pengawas belum terbentuk maka saya sering mengatakan kepada teman-teman semua. bahwa kalau saya ditanya sebagai paradigma konstitusi yang namanya pengawas-pengawas Pilkada itu maka penanggung jawab utamanya bukanlah pada KPU akan keberadaannya, tetapi pada Badan Pengawas Pemilu. Ibarat kita memperhadapkan potret konstitusi ini dengan rakyat maka ketika pengawas Pilkada itu tidak sempurna di daerah tidak ada maka rakyat akan pertama menagih akan pertama mendatangi Jalan Thamrin, Bawaslu itu kenapa pengawas Pilkada tidak sempurna seperti ini? Makannya tidak keliru ketika Bawaslu harus mengeluarkan Peraturan Bawaslu untuk mengaggap bahwa proses konstitusional rekrutmen tersebut untuk sampai bla..bla..bla itu dianggap sudah selesai karenanyaa harus segera dilantik. Tetapi juga saya pun bisa memahami ketika responds KPU yang ternyata juga kontra terhadap proses tersebut. Karena memang sistemnya memberi ruang seperti itu, ini bukan persoalan perilaku personal anggota KPU atau prilaku personal anggota Bawaslu, ini persoalan sistem dalam undang-undang kita. Saya berpikir ke depan bahwa ketika kita sepakat bahwa pelaksana Pemilu yang kemudian secara otomatis berdasarkan prinsip konstitusionalisme ada pembatasan dari eksekutif, maka ada miniatur yudikatif di situ yang dicipta untuk mengontrol kekuasaan pelaksana Pemilu itu yang notabene namanya komisi pemilihan umum, K besar, P, besar, U, besar. Mungkin suatu saat namanya Bawasla, Bawasli, Bawaslu atau Bawaslo terserah apa namanya. Kalau sekarang namanya adalah Bawaslu, maka ketika itu pula karena konsekuensi dari asumsi-asumsi awal politik hukum terhadap penyelenggra Pemilu ini bahwa yang primer adalah penyelenggara Pemilu, sehinga yang namanya dewan kehormatan itu dilekatkan pada lembaga KPU itu. Padahal di kepala saya dewan kehormatan itu tidak perlu ada tetapi itu terlekat secara sendiri pada institusi pengawas Pemilu itu. Ketika kita sepakat bahwa pengawasan itu tidak hanya pergi melapor, tidak hanya menurunkan spanduk, termasuk adalah proses etik di situ. Ke depan adalah Bawaslu itulah dewan kehormatan itu buat penyelenggara Pemilu termasuk peserta Pemilu sehingga kita tidak perlu menciptakan organ-organ yang seolah-olah bisa diciptakan padahal tidak pernah bisa diciptakan. Seperti apa yang disebutkan dalam permohonan ini, bukti-bukti seperti itu. Bawaslu bisa kita kreasikan bahwa selain di administratif juga di situ adalah etik, kita bisa bangun varian-variannya bagaimana, pada tingkat bagaimana tetapi semua persoalan selesai pada tingkat penguasaan Pemilu termasuk di dalamnya dua adalah administratif dan etik di situ. Dan saya kira teman-teman KPU tidak perlu langsung berpikir bahwa seolah-
39
olah Bawaslu mau ditingkatkan dinaikan pangkatnya tidak bisa seperti.., di sini kita berbicara system bahwa ada sistem yang kita mau bangun ke depan, ada system yang simetris, setara perlakuannya ke bawah sama, kekuasannya sama agar proses ketatanegaran kita bisa terus berlanjut secara normal, bukan untuk menguatkan Bawaslu atau meleamahkan KPU tapi semata-mata mengembalikan semuanya kepada proporsiproporsi konstitusional sesungguhnya. Saya kira untuk sementara itu Yang Mulia, Pak Hakim. Assalamualaikum wr.wb. 104. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD.,S .H. Baik, sudah selesai semua memberi keterangan para ahli. Nah, untuk itu mungkin dari Majelis Hakim tetapi sebelumnya saya persilakan dulu kepada Pemohon, Pemerintah dan KPU. Pemerintah cukup? Ada pertanyaan? 105. PEMERINTAH: MENDAGRI)
YUDAN
ARIF
FAKRULLOH
(STAF
AHLI
Satu Yang Mulia. 106. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD.,S .H. Oke, baik. Para ahli supaya dicatat masing-masing, dicatat sendirisendiri pertanyaan kepada siapa nanti silakan. 107. PEMERINTAH: MENDAGRI)
YUDAN
ARIF
FAKRULLOH
(STAF
AHLI
Baik terima akasih Yang Mulia, atas kesempatan yang diberikan kepada rekan-rekan para ahli Pak Saldi, Pak Irman dan Pak Hadar kami ingin menanyakan pada aspek konstitusionalitas yaitu tafsir Pasal 22E ayat (5), didalam norma ini disediakan sebuah pranata yang bersifat open legal police ada satu pranata yang bersifat open legal police yang berimplikasi pada pembentukan kelembagaan. Yang ingin kami dapatkan informasi adalah apakah tafsir frase kata suatu harus diterjemahkah lebih dari satu? Itu pertanyaan yang pertama. Kemudian pranata yang berikutnya yang ingin kami tanyakan adalah kata bersifat nasional tetap dan mandiri. Apakah frase ini juga harus dilekatkan kepada sebuah lembaga lain ketika menafsirkan bahwa penyelenggara pemilu itu hanya satu komisi atau hanya satu lembaga entah apapun namanya. Dulu pernah bernama LPU ( Lembaga Penyelenggara Pemilu) sekarang bernama KPU. Nah, Implikasi kelembagaannya adalah terkait dengan problem yang disengketakan ketika kita menafsirkan bahwa satu komisi hanya ada satu apakah kemudaian open legal police yang diberikan
40
dalam undang-undang itu keliri ketika kita gunakan tolak ukur konstitusi Pasal 22E ayat (5) ini. Saya kira demikian Yang Mulia terima kasih. 108. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD.,S .H. Dari KPU ada tanya? Bu Endang, sama-sama Endangnya ini. 109. PIHAK TERKAIT: ENDANG SULASTRI (ANGGOTA KPU) Terima kasih Yang Mulia,
Bismillahirahmanirahiim, assalamualaikum wr.wb.
Yang saya hormati para saksi ahli, semua sahabat saya. Bapak Hadar Gumay yang pertama. Bapak tadi cukup menarik memberikan komparatif tentang pengawasan Pemilu atau bahkan pengawasan lembaga-lembaga gitu. Di dalam pengamatan Bapak atau mungkin pengalaman Bapak dari komparatif itu bagaimana sebuah lembaga pengawas kemudian diawsi begitu ya? Karena dalam banyak kasus juga kita menemukan seringkali lembaga pengawas kemudian seakan-akan menjadi tidak tersentuh, menjadi super power, menjadi kebal hukum. Nah, karena memang terus terang saja menjadi satu hal yang seakan-akan memang ini tidak bisa diawasi. Padahal dalam banyak hal seringkali juga terdapat pelanggaran-pelanggaran atau mungkin tidak dilaksanakannya tugas-tugas yang seharusnya menjadi kewenangannya. Kemudian pertanyaan kedua saya kepada Bapak Hadar Gumay juga, apakah dalam studi Bapak dalam komparatif Bapak tadi. Bapak juga menemukan bahwa dalam pemilihan umum yang tidak terdapat lembaga pengawas secara formal, baik dia yang bersifat permanen maupun Ad hoc. Kemudian Pemilunya menjadi tidak demokratis? Ya, jadi, apakah dalam studi komparatif sebagai saksi ahli, sebagai ahli pemilihan umum, begitu. Bapak menemukan bahwa ada Pemilu tanpa ada lembaga pengawas yang permanent atau pun Ad hoc atau yang secara formal Pemilunya menjadi tidak lebih demokratis? Atau menjadi lebih buruk? Kemudian yang kedua, kepada Prof. Saldi Isra, mohon maaf, ini saya baru mengucapkan selamat kemarin saya tidak sempat datang pada saat pengukuhannya(…) 110. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD.,S.H. Ya, sekarang sudah pakai jenggot dan agak putih.
41
111. PIHAK TERKAIT: ENDANG SULASTRI (ANGGOTA KPU) Ya, menarik sekali tadi hampir sama dengan ditanyakan Pemerintah, sebenarnya yang saya ingin sampaikan. Bahwa, apakah yang dinamakan “suatu” itu suatu keharusan harus lebih dari satu. Bahwa kemudian yang menginterprestasikan atau menterjemahkan konstitusi itu biasanya adalah lembaga pembuat undang– undang yang diturunkan di dalam undang–undang. Nah, dalam Undang–Undang Penyelenggara Pemilu Nomor 22 Tahun 2007. Di dalam penjelasan secara tegas dinyatakan bahwa penjelasan umum dalam undang–undang ini diatur mengenai penyelenggara pemilihan umum yang dilaksanakan oleh suatu komisi pemilihan umum selanjutnya, disebut dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Artinya apakah ini, sebagaimana yang telah kita sampaikan, karena ini perlu kita pertanyakan ini kan baru pendapat KPU, ya? Apakah Pasal 22E ini artinya sewaktu itu memang “suatu” yang tidak jelas, tetapi tidak jelas dalam konteks nama lembaganya? Karena apakah ini juga kita bisa samakan? Tadi kan suatu badan.., BPK, ya? Badan Pemeriksa Keuangan. Suatu itu B, B-nya besar, ya. BPK itu P-nya juga besar. Apakah ini juga sebagaimana yang telah sampaikan oleh anggota Panitia Ad hoc MPR yang pada waktu itu disampaikan oleh Pak Patrialis Akbar sama dengan makna ketentuan Pasal 23D Undang–Undang Dasar 1945. Di situ juga ada Prof. Saldi bahwa negara memiliki suatu bank sentral yang susunan dan seterusnya itu, kemudian suatu bank sentral itu juga suatunya itu belum jelas namanya. Lalu yang kemudian disebut dalam suatu bank sentral itu adalah Bank Indonesia. Jadi, ini kemudian yang saya sampaikan. Kemudian yang ketiga, terima kasih juga atas pencerahan yang diberikan oleh Bapak Irman. Jadi, kalau saya memahami bahwa memang KPU itu sebenarnya pelaksana undang–undang, kita itu hanya tidak ingin melanggar undang- undang itu saja ketentuannya. Nah, tadi Pak Irman juga sudah menyampaikan bahwa memang KPU tidak punya jalan lain karena Undang–Undang Nomor 22 Tahun 2007 secara tegas Pasal 93, 94, 95 itu memberikan perintah kepada KPU untuk mengusulkan 6 nama. Nah, gitu kan? Mengusulkan 6 nama kepada Badan Pengawas Pemilu untuk dipilih 3 nama dan itu yang juga dilakukan oleh KPU pada saat pemilihan Panwaslu anggota DPR, Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD maupun Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Pertanyaan saya, apabila memang terjadi satu kasus atau dua, atau tiga kasus yang kemudian itu ada kelemahan terkait dengan rekrutmen yang sesuai dengan undang–undang itu. Apakah kemudian, menjadi suatu hal yang undang-undang itu harus dihapus? Karena dalam relitasnya, jangan sampai ini juga menjadi sebuah preseden bahwa ada ketentuan yang tidak mungkin pelaksanaan ada beberapa
42
kelemahan, kemudian justru pasal–pasalnya yang dihapus yang menjadikan, apa ya. Menjadi bukan jadi penyelesaian masalah, gitu. Jadi, dalam banyak hal sering kita melihat begitu ya? Ada proses rekrutmen, bahkan terus terang saja bagaimana proses rekrutmen KPU itu sendiri juga pernah menjadi bahan sorotan, ada incumbent juga yang tidak masuk dan seterusnya, saya kira itu perlu menjadi suatu hal. Saya kira itu saja, mohon tanggapan dan komentarnya. Terima kasih Majelis, Ketua Majelis Hakim, asslamualaikum wr. wb. 112. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD.,S.H. Profesor Syamsul, silakan. 113. PIHAK TERKAIT: SYAMSUL BAHRI (ANGGOTA KPU) Terima kasih Bapak Ketua. Perlu kami sampaikan terutama kaitannya dengan DK. Nampaknya agak berbeda memang dengan DK lembaga-lembaga lain. Dalam pembentukan dewan kehormatan ini biasanya dilandasi oleh kode etik dan di sinilah Bapak Ketua, bedanya dengan lembaga lain. Kode etik yang dibuat oleh KPU berdasarkan undang-undang itu disusun bersamasama KPU dan Bawaslu. Saya tertarik dengan apa yang disampaikan oleh Bapak Ketua Mahkamah Konstitusi pada saat di Padang. Ilmu hukum tata negara itu berbeda dengan hukum tata negara. Saya ingin bertanya pada saksi ahli. Lembaga mana yang memang keberhasilan penegakkan daripada etika yang didominasi oleh anggota di luar daripada lembaga itu? Lazim yang kami ketahui secara berasal dari lembaga itu juga dan, ini saya rasa kita bisa memahami karena kode etik, etika moral itu adalah merupakan kesepakatan ataupun janji, bahkan di kode etik KPU dan Bawaslu, landasan kode etik itu yang pertama adalah sumpah janji jabatan sebagai penyelenggara Pemilu, asas penyelenggara Pemilu dan peraturan perundang-undangan. Jadi kami melihat di dalam hal DK ini, memang ada unsur dikandung maksud agar supaya ada perlindungan bagi penyelenggara yang memang dia menjalankan tugas dan wewenangnya. Oleh karena itu saya ingin tanya baik yang pertama, kedua dan ketiga. Lembaga mana yang kira-kira bisa menjadi contoh bahwa anggota dewan kehormatan yang sudah memang bisa kita tiru, bisa jadi contoh bagi kita. Kami terus terang saja pada saat penyusunan ini, saya rasa kita juga mencoba-coba bersama-sama dengan Bawaslu membandingkan kode etik yang ada di MK, kode etik yang ada di KPK, kode etik yang ada di IDI, Ikatan Dokter Indonesia dan kode etik dari beberapa perguruan tinggi. Saya rasa demikian Pak Ketua, mohon maaf. Terima kasih
43
114. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD.,S .H. Bu Andi silakan,. 115. PIHAK TERKAIT: ANDI NURPATI (ANGGOTA KPU) Terima kasih. Bapak-Bapak dari saksi ahli. Pertama Pak Hadar Gumay, Bapak menjelaskan bahwa di dua Negara di Asia, Thailand dan Filipina itu memilki pengawas internal dan eksternal. Kemudian di KPU, perlu saya perlu jelaskan sedikit di sini bahwa KPU memiliki 7 biro dan 1 Inspektorat pengawasan yang juga artinya KPU memiliki pengawasan internal. Yang diawasi tidak hanya tahapan juga secara internal tetapi termasuk Sekretariat KPU dari pusat hingga ke bawah, ke tingkat yang paling bawah begitu juga dengan komisioner. Sesungguhnya ini sudah kita atur dalam Keputusan KPU bahwa ini perlu dilakukan pengawasan internal. Meskipun dalam Undang-Undang 22 ini mengatur bahwa Komisi Pemilihan Umum itu cukup perlu 7 biro saja yang dulunya 10 biro tetapi kita tetap memandang perlu adanya inspektorat atau pengawasan secara internal. Dari pengawasan internal atau inspektorat yang melakukan pengawasan di KPU sangat banyak yang kami tindaklanjuti. Hanya memang tidak banyak atau bahkan nyaris tidak terekspos apa yang telah kami tindaklanjuti dari pengawasan internal tersebut. Termaksud sampai kepada pemberhentian anggota KPU Provinsi/Kabupaten/Kota demikian juga mutasi-mutasi atau rotasi-rotasi para pejabat dan seterusnya. Nah karena itu apa yang Pak Hadar Gumay sampaikan bahwa di dua negara tersebut sesungguhnya di Indonesia khusunya di Pemilu kali ini juga kita melakukan hal yang sama bahwa ada pengawasan internal. Terkait mengenai Badan Pengawas Pemilu pada Pemilu sebelumnya disebut Pengawas Pemilu, saya adalah salah seorang mantan anggota Panwas Pemilu Legislatif dan Pilpres pada tahun 2004 juga matan Panwaslu Pemilu Kepala Daerah tahun 2005. Memang saya melihat bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 ini punya perbedaan sedikit dari pada kewenangan Bawaslu, Panwaslu saat ini dibandingkan dengan undang-undang yang lama. Nah, kalau Pak Nurhidayat waktu itu sebagai Ketua Panwaslu Provinsi Jawa Tengah, kita sama-sama memahami bahwa undangundang yang lama itu memberikan salah satu tambahan tugas kepada Panwaslu adalah menyelesaikan sangketa. Untuk Undang-Undang Nomor 22 ini hal ini tidak ada, sehingga cenderung kelihatan bahwa kewenangan Bawaslu itu hanya tempat mampirnya suatu persoalan, laporan atau temuan. Dimana setelah diproses oleh Bawaslu atau Panwaslu setempat, lalu kemudian tugasnya meneruskan sebagaimana yang dimaksud oleh Undang-Undang 22 ini. Meneruskan temuan atau
44
laporan setelah tadi melakukan pengawasan tahapan kepada instansi terkait, kalau kasus itu pidana ke polisi, kalau kasus itu administrasi ke KPU. Nah, memang fungsi-fungsi ini, memang tidak lebih dari itu saya lihat fungsi Bawaslu dan Panwaslu tadi. Nah, kalau kemudian terkait dengan hal lain memang ada diruang dewan kehormatan tadi, itu yang diberikan kewenangan tambahan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 ini, bahwa sesungguhnya seperti itu kewenangan-kewenangan dari pada Bawaslu. Pertanyaan saya adalah apakah Pak Hadar Gumay juga melihat bahwa pengawasan di.., misalnya di dua negara tersebut itu punya kelebihan dibandingkan dengan kewenangan pengawas yang ada di kita, dengan sistem undang-undang kita ini sehingga mungkin Pemilunya itu bisa disebut jauh lebih berkualitas misalnya atau jauh lebih demokratis jika dibandingkan dengan fungsi pengawas seperti yang ada di undangundang ini misalnya. Kemudian dari pengetahuan dan beberapa negara yang berdiskusi dengan kita, itu mayoritas negara-negara di dunia ini bahkan tidak punya yang namanya pengawas Pemilu ya? Termasuk negara-negara maju misalnya Amerika Serikat sendiri ketika Pemilu di sana pemilihan Presiden, saat acara khusus saya menanyakan apakah, siapa dan siapa yang melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemilu Presiden misalnya di sana? Itu penyelenggaraannya menjawab di sini tidak ada pengawas khusus yang dibentuk khusus untuk melakukan pengawasan. Yang melakukan pengawasan adalah langsung dari departemen terkait, misalnya itu kalau kasusnya pidana itu langsung ditangani kepolisian begitu. Kalau itu kaitannya misalnya penduduk itu adalah Kementerian Dalam Negeri kalau kita di sini begitu. Nah, itu yang salah satu saya temukan bahwa apakah kemudian mungkin Bu Endang menanyakan dengan kondisi Pemilu-Pemilu di negara lain seperti itu juga berbeda output-nya ada atau tidak adanya pengawas Pemilu ini. Nah, kemudian dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 ini memang pada poin umum pada penjelasan undang-undang ini bahwa dalam penyelengaraan pemilhan umum diperlukan adanya suatu pengawasan untuk menjamin agar pemilihan umum tersebut benarbenar dilaksanakan berdasarkan asas pemilihan umum dan peraturan perundang-undangan. Artinya ada suatu kebutuhan yang diperlukan di Indonesia tapi tidak disebut bahwa pengawas tersebut adalah penyelengara tetapi dalam rangka penyelengaraan pemilihan umum diperlukan pengawasan yang kemudian dibentuklah yang namanya Bawaslu dan Panwaslu di tingkat daerah. Kemudian terkait dengan pemahaman dari Pak Irman tadi. Terima kasih banyak atas persepsi, itu juga sama dengan persepsi saya bahwa sesungguhnya apa yang terjadi di KPU misalnya atau Bawaslu memang satu sisi diciptakan oleh undang-undang itu sendiri. Misalnya
45
saja perbedaan dalam rekrutmen Panwas, Bawaslu saat ini karena bersifat permanen, tetap, berbeda dengan Panwaslu sebelumnnya yang hanya bersifat Ad hoc. Pada Pemilu-Pemilu sebelumnya Panwas di daerah terutama untuk Panwas Pemilu Kepala Daerah itu dibentuk oleh DPRD setempat sesuai dengan tingkatannya. Sehingga tidak ditemukan adanya kesulitan dalam rekrutmen Panwas Pemilu Kepala Daerah karena lokal yang menyelesaikan itu. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 ini mengatur berbeda karena adanya Bawaslu yang bersifat permanen lalu kemudian diberikan fungsi tambahan karena kalau ya tugasnya diberikan fungsi tambahan tadi itu apabila ada Pemilu Kepala Daerah, Pasal 9394 {sic} tugas Bawaslu adalah melakukan uji kepatutan dan kelayakan. Inilah kemudain muara bahwa Bawaslu merasa tidak sanggup melakukan uji kepatutan dan kelayakan ini pada tahun 2010 ini Pilkadanya 244. Meskipun 244 ini tidak tahapannya bersamaan tapi itu dalam rentan waktu satu tahun, berbeda-beda. Nah, sehingga ketika pembahasan tadi yang sudah dibacakan Pak Syamsul Bahri, KPU memang di daerah telah melakukan rekrutmen sesuai dengan tahapannya. Nah, karena itu KPU meminta bahwa yang sudah melakukan rekrutmen mulai pengumuman pendaftaran dan seterusnya sampai jadi enam agar supaya Bawaslu melakukan uji kepatutan dan kelayakan sesuai dengan undang-undang. Tetapi yang terjadi misalnya diantaranya adalah Bawaslu melantik Panwas, mantan Panwas Pilpres (...) 116. KUASA HUKUM PEMOHON: DR. BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., M.H. Pak Ketua, pernyataan ini?
mohon maaf, ini pertanyaan atau pernyataan-
117. PIHAK TERKAIT: ANDI NURPATI (ANGGOTA KPU) Ya, nanti akan lari ke pertanyaan saya Pak, saya memberikan contoh ini kan karena saya memberikan perbandingan antara undangundang lama dengan undang-undang baru. Supaya nanti saya mendapatkan penjelasan dari para ahli dengan perbandingan seperti ini, misalnya ada kesulitan yang muncul karena saya memahami dari judicial rievew karena apa mengajukan judicial rievew karena merasa kesulitan dalam melakukan uji kepatutan dan uji kelayakan. Padahal itu kan fungsi yang berbeda ketika sebelumnya. Oleh Karena itu kami mempertanyakan kepada Bapak-Bapak para ahli, apakah kemudian ini harus ditinjau lagi ya, fungsi dan peran tambahan tadi? Apakah misalnya mengembalikan ke DPR lagi seperti Pemilu sebelumnya dan seterusnya.
46
Bagi KPU, terkait dengan rekrutmen ini sama yang dikatakan oleh Bu Endang tadi bahwa apa yang diperintahkan oleh undang-undang itulah yang akan kami laksanakan. Terakhir adalah pertanyaan saya, bagaimana kalau lembaga pengawas itu sendiri yang kemudian yang melakukan pelanggaran terhadap undang-undang atau mengajak melakukan pealanggaran undang-undang, kemana dan dimana dan siapa tindak lanjut tersebut dan apa sesunggunya dari output dari hasil yang saya pertanyakan terakhir tadi. Terima kasih. 118. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD.,S.H. Ya, itu menarik yang terakhir agar dijawab oleh para ahli. karena Majelis juga ingin mendengar. Kalau yang melakukan pelanggaran pengawasnya siapa dong, hukum yang memprosesnya. Nah Bapak masing-masing diberi waktu 10 menit, karena 10 menit terakhir akan diberikan kepada Pemohon untuk memberikan.., ,Majelis, masih ada yang mau bertanya? 119. KUASA HUKUM PEMOHON: DR. BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., M.H. Pak Ketua, apakah kami juga boleh bertanya Pak? Ada beberapa hal yang menurut saya penting tetapi belum dikemukan oleh ahli? 120. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD.,S .H. Mau ditanyakan sama ahli? 121. KUASA HUKUM PEMOHON: DR. BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., M.H. Ya. 122. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD.,S .H. Silahkan, singkat saja. Bapak sudah perpengalaman di sini biasanya singkat kalau bertanya. Ya silakan. 123. KUASA HUKUM PEMOHON: DR. BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., M.H. Terima kasih.
47
Ada hal yang penting, mohon dijawab ketiga ahli. Pasal 30 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, Pasal 30, terutama saya meminta kepada Pak Hadar, dan juga Pak ini. Itu dinyatakan bahwa diperlukan satu dewan kehormatan untuk melakukan verifikasi kalau kemudian ada pelanggaran sesuai dengan Pasal 29 ayat (2) huruf a, b, c, d f dan g. Di dalam Pasal 29 itu memang ada kalimat anggota KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota berhenti antar waktu karena diberhentikan dengan alasan-alasan misalnya, tidak lagi memenuhi syarat, melanggar sumpah atau jabatan. Pertanyaannya adalah, kalau kemudian KPU menjalankan fungsi seperti tadi yang dikemukakan bahwa, misalnya tadi ada contoh Pasal 8 ayat (2) huruf h menindaklanjuti dengan temuan dan laporan. Ada isu conflict of interest bagaimana mungkin independen objektivitas bisa ditegakkan kalau ada laporan, laporannya itu kemudian menggunakan Pasal 30 ini yang dikaitkan dengan Pasal 29 tadi, itu verifikasinya dilakukan oleh KPU? Padahal verifikasi itu menurut Pasal 30 harusnya dikaitkan dengan verifikasi di dalam dewan kehormatan, ini dikaitkan dengan permohonan kami Pasal 111 ayat (2) dan (3) dan 112 ayat (2) dan (3). Ini isunya adalah pelanggaran norma, soal isue conflict of interest itu yang pertama. Yang kedua, di dalam Pasal 117 dan 118, itu 117 KPU diberi kewenangan untuk membuat peraturan dan keputusan. 118 Bawaslu juga diberikan kewenangan untuk membuat peraturan dan juga keputusan. Apakah dengan kewenangan ini, itu artinya Bawaslu dan KPU itu mempunyai suatu kewenangan yang sejajar simetris seperti yang dikemukakan, dikaitkan dengan penjelasan umum alenia keempat yang menyatakan dalam penyelenggaraan pemilihan umum diperlukan adanya suatu pengawasan untuk menjamin agar pemilhan umum tersebut untuk menjamin bahwa pemilihan umum tersebut benar-benar dilaksanakan sesuai dengan prinsip dan asas, itu dalam penjelasan. Dan yang terakhir adalah, ada perbedaan rezim antara Undangundang Pemerintah Daerah yang tadi disebut 12/2008 yang menggunakan 236A dengan Undang-Undang Penyelenggara Pemilu 22/2007. Di dalam penyelenggara Pemilu kemudian yang diatur sebenarnya ada dua, lembaga Pemilu KPU dan lembaga Bawaslu. Ada kata badan dan lembaga di situ, dihubungkan dengan 22E ayat (5) dan 22E (6). Apakah kemudian legal policy-nya yang berdasarkan mandat Undang-Undang Dasar, dari 22 ayat (5) diterjemahkan ke 226, 22E ayat (6) ke dalam Undang-Undang 22 Tahun 2007, itu memang merupakan legal policy yang menyatakan bahwa penyelanggara Pemilu terdiri dari dua, penyelenggara dan pengawas. Saya pikir itu tiga pertanyaanya, terima kasih.
48
124. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Ya, Hakim Akil. 125. HAKIM ANGGOTA: DR. H.M. AKIL MOCHTAR, S.H., M.H. Ini kepada ahli ya? Kita ini kan sedang melaksanakan konsolidasi demokrasi. Walaupun kita sudah menyatakan diri sebagai negara yang demokratis tapi saya kira salah satu konsekuensi dari negara yang demokratis itu adalah penyelanggaraan Pemilu yang bebas itu tadi. Termasuk juga kredibilitas dari pada penyelenggara Pemilunya. Oleh karena itu tentu, ukuran-ukuran yang kita pakai kan tidak semata-mata kepada ukuranukuran yang terkandung di dalam aturan-aturan yang bersifat formal ini, tetapi keadaan-keadaan sosial, geografis, dan teritorial saya kira itu menjadi faktor yang harus kita pertimbangkan juga ketika kita melakukan komparatif. Kita katakanlah baru tiga kali menyelanggarakan Pemilu. Kalau sebelumnya bahkan sangat demokratis, Pemilunya tidak ada masalah gitu, hasilnya bagus semua, semua terima kan gitu, itu yang lalu. Yang benar-benar Pemilu itu baru tiga kali kan gitu. Oleh karena itu dalam tataran aturan yang mengatur tentang penyelanggaraan Pemilu yang di dalam konstitusi diatur di dalam Pasal 22E, ini memang kita perlukan satu perbaikan-perbaikan dalam proses penyelenggaraannya. Ketika muncul dispute seperti ini, salah satu dari tugas penyelenggaraan atau pelaksanaan Pemilu. Memang tidak semata-mata karena aturannya yang kurang memadai, tetapi kompetensinya juga menjadi faktor yang menentukan juga. Misalnya contoh, dalam hal Pemilukada, itu KPU menggunakan data terakhir daftar pemilih tetap itu sebagai DPS-nya, itu adalah Pemilu terakhirnya Presiden, dan itu relatif tidak ada masalah. Tetapi ketika akan menggunakan dengan, saya hanya melihat SEB-nya gitu loh sebagai implemantasi dari.., katakanlah pendapat hukum Mahkamah Agung karena mengisyaratkan harus dengan Surat Edaran Bersama itu. Ketika akan melakukan proses rekutmen Panwas Pilkada, itu dengan menggunakan hasil, maaf, dengan menggunakan Panwas yang ada sebelumnya, timbul masalah. Karena ada conflict of interest di sana, semua pihak. Termasuk juga misalnya, menyerahkan kepada DPRD itu apakah tidak kembali menggadaikan independensi, karena apa? Karena para calon kepala daerah itu didukung oleh fraksi-fraksi, partai-partai yang ada di DPRD. Sehingga dalam proses rekutmen pun juga, memunculkan conflict of interest itu. Oleh karena itu saya kira, dari beberapa pandangan yang telah disampaikan oleh para ahli tadi, saya hanya ingin merujuk Pasal 113 ini Undang-Undang 22 tentang Pembentukan Badan Kehormatan atau Dewan Kehormatan, Bawaslu, itu sangat.., Bawaslu Pak. Tadi kalau ada pelanggaran yang dilakukan oleh KPU, saya kira di Pasal 113 itu sudah
49
dijawab, bisa dilakukan di sana yang tidak melaksanakan undangundang dan segala macam itu. Yang ingin saya bandingkan itu, di dalam Pasal 111, 112 itu kan mengatur tentang pembentukan Dewan Kehormatan KPU. Di 113 itu mengatur tentang Dewan Kehormatan Bawaslu. Tetapi berbeda, di KPU itu lima orang, tiga dari dalam, dua dari luar katakanlah. Tetapi ketika di dalam, 1 orang dari KPU, dan 2 dari luar. Artinya, konsep bahwa suatu penyelenggara pemilihan umum itu kalau dilihat dari pada beban tugas dan kewenangan yang bisa diberikan sanksi berdasarkan dewan kehormatan ini kan, ini menunjukkan bahwa ini badan yang otonom sendiri-sendiri yang tingkat kesalahan, penyelenggaraan itu juga mempunyai tanggung jawab yang berbeda. Nah saya ingin komentar ahli tentang itu, bertigalah. Mulai dari Ahli Pemilu maupun Ahli Tata Negara. Terima kasih. 126. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Terakhir, Pak Hakim Muhammad Alim. 127. HAKIM ANGGOTA: DR. MUHAMMAD ALIM, S.H., M.HUM. Terima kasih Pak. Saya tujukan kepada Prof. Saldi Isra dan Irmanputra Sidin. Tadi kalau saya tidak salah, kedua ahli mengatakan bahwa untuk efektivitas suatu pengawasan antara pengawas dan yang diawasi itu harus ada suatu kesederajatan. Jangan dia merupakan subordinasi daripada yang mau diawasi. Nah, bagaimana pendapat kedua ahli mengenai tiap-tiap kementerian dia ada inspektorat, termasuk juga KPU, dia itu kan pengawasan intern. Kalau pengawasan yang baik itu, menurut yang saya tangkap dari keterangan ahli, itu mestinya sederajat. Wong ini orang di dalam sendiri, lama-lama seperti Prof Saldi tadi, “jeruk makan jeruk” nanti. Terima kasih Pak. 128. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD.,S .H. Baik, kalau begitu saya tidak jadi memberi waktu 10 menit kepada masing-masing. Jadi saya beri masing-masing 5 menit saja untuk menjawab. Saya tahu ketiganya sudah biasa berbicara pendek, apalagi dosen-dosen seperti itu saya kemarin mengatakan buku tebal begini ini, bisa dijelaskan dalam satu jam atau 10 menit. Tapi bisa dikuliahkan kalau di kampus dalam 3 semester. Nah, sekarang saya minta yang 5 menit saja untuk masing-masing. Pak Hadar dulu, Pak Irman dulu silakan.
50
129. AHLI DARI PEMOHON: DR. IRMANPUTRA SIDIN, S.H., M.H. Terima kasih Yang Mulia. Saya kira, pertama dari Bu Endang ya, mudah-mudahan saya bisa cepat ya Bu Endang ya. Ini bukan lagi persoalan implementasi, persoalan pelaksanaan. Tapi ini masuk dalam ranah sistem. Sering saya mengatakan bahwa bagaimanapun memang, sistem dihidupkan oleh sebuah perilaku yang namanya implementasi. Tetapi ketika tidak mau ketemu pada suatu titik, maka mau tidak mau sistemnya yang sedang kita persoalkan. Ketika teman-teman Bawaslu mau mengeluarkan kebijakan, sering saya katakan bahwa ini harus dikomunikasikan dan jangan formal. Mungkin perlu ini ngopi-ngopi berdua sama orang KPU ini. Karena terkadang proses ketatanegaraan jalan ketika dia masuk dalam ruang informal di situ. Tapi ternyata tidak mau ketemu juga. Nah, ketika sistem ini kita bedah, maka ia menjadi persoalan sistem. Ya, memang itu sudah menjadi persoalan sistem di situ. Kalau kita lihat memang tidak simetris bangunan ini. Inilah yang saya bilang politik hukum. Karena memang instrumen pengawasan itu dianggap sekunder oleh atmosfir pemikiran pembuatan undang-undang ini, seperti itu. Yang didahulukan adalah terselenggara dulu, pengawas belakang sajalah, seperti itu. Kemudian tentang siapa yang mengawas dan siapa yang mengawasi? Ini sama dengan jangan sampai kita kembali ke pertanyaan ketika awal menciptakan sebuah negara. Ketika orang berkumpul, kita ciptakan yang namanya eksekutif melaksanakan, legislatif, yudikatif. Kemudian orang bilang, eksekutif bertanya, siapa yang mengawasi? Ini legislatif, yang kemudian puncak pengawasannya namanya di yudikatif. Lalu eksekutif bertanya, kalau kamu yang bersalah, siapa yang akan mengawasi? Kan begitu. Toh seiring dengan itu, dengan pemikiran, semua akan ketemu nanti semua jawabannya. Apa yang dimaksud di sini? Ini bukan instrumen apa yang saya bilang tadi. Rezim Pasal 22 itu ada tiga variabel di situ, pengawas, penyelenggara namanya KPU, peserta Pemilu. Rumah besarnya namanya Pasal 22E. Ketika pengawas ini dilekatkan badan kehormatan etik, ini masih dalam rumah besar Pasal 22E, masih sama konstruksinya namanya inspektorat di kementerian itu Pak, ini kalau dalam rezim konstitusi. Ada yang di luar bedanya, namanya Komisi Yudisial, itu di luar rezim pasal kekuasaan kehakiman, dikeluarkan dia. Karena rakyat mengganggap karena internal kamu di rezim kekuasaan kehakiman namanya ada Mahkamah Agung itu, nampaknya tidak bisa kita keluarkan dia dari rezimnya. Dia internal keluarnya. Tapi ketika yang saya ngomong ini pengawas, penyelenggara peserta, ini masih dalam rumah sebenarnya. Oleh karenanya Pasal 22E UUD RI Tahun 1945 itu tidak mewariskan kepada satu pewaris tahta tunggal namanya Komisi Pemilihan Umum, K, besar P, besar U, besar yang terletak di Imam Bonjol. Kita bicara sistem di sini.
51
Saya kira untuk sementara itu Pak Hakim. Nanti dilanjutkan yang lainnya oleh Prof saldi.
Assalamualaikum wr.wb
130. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD.,S.H. Ya, silakan Pak Saldi 131. AHLI DARI PEMOHON:PROF. DR. SALDI ISRA, S.H., MPA Terima kasih. Bapak Majelis Hakim dan Ibu Hakim yang saya muliakan. Persoalan tafsir Pasal 22E saya tadi di penjelasan mengatakan ada bermacan sebetulnya, terkait dengan kalimat yang mengikuti kata suatu itu. Di konstitusi sendiri itu berbeda-beda juga. Ada konstitusi yang diikuti dengan nama institusi dengan huruf besar yang saya sebut tadi, BPK. Tapi ada yang tidak. Yang tidak itulah yang kemudian menjadi ruang legal policy untuk dirumuskan oleh pembentuk undang-undang. Nah, ketika pembentuk undang-undang bersepakat bahwa ada lembaga yang tidak satu. Prinsip dasar yang ada dalam Pasal 22E ayat (5) itu tidak boleh dihilangkan. Yang hadir kepada kedua institusi yang dibentuk. Jadi apakah dia harus satu atau dua, itu yang saya katakan pilihan politik yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Lalu pertanyaannya, apakah Bawaslu dengan KPU itu menjadi institusi? Kalau dibaca penjelasan mungkin akan dominan mengatakan bahwa hanya KPU saja. Tapi kan kemudian ada pasal-pasal yang menyebutkan secara eksplisit bahwa sebetulnya Bawaslu juga lembaga yang berdiri sendiri. Tadi Yang Mulia Bapak Hakim Akil Mochtar menyebutkan bahwa dengan adanya dua lembaga itu dan dua pengawas juga, itu sebetulnya membuktikan bahwa dua lembaga ini sama posisinya. Meskipun komposisinya bila berbeda, itu menurut saya aneh. Di luar itu sebetulnya kenapa Bawaslu bisa disebut institusi. Karena ada juga kewenangan yang diberikan undang-undang dia mengeluarkan peraturan atau regeling di sini. Jadi kalau dia menjadi sub ordinat dari KPU tidak ada kewenangan untuk mengeluarkan peraturan, tapi undang-undang memberikan kewenangan itu. Jadi kalau dilihat secara hierarki mana yang kuat penjelasan dari norma yang dijelaskan tadi, tentu norma menjadi lebih kuat. Maaf, ini ada di buku-buku yang ditulis oleh Yang Mulia Prof. Maria Farida Indrati menjelaskan tentang itu, bagaimana institusi lalu diikuti dengan kewenangan pembentukan regulasi. Terkait pertanyaan dari anggota KPU, coba tunjukan institusi mana yang orang luarnya dominan? Tadi sebetulnya Yang Mulia Bapak Hakim Akil Mochtar menyebutkan di Bawaslu itu dominan orang luarnya. Bawaslunya hanya dua, sementara ada KPU satu, orang di luar KPU Bawaslu ada dua. Itu sebetulnya sudah dominan orang di luar Bawaslu.
52
Saya memang tidak mau menjawab sampai ke level bagaimana di tingkat praktiknya. Dan bisa juga kita lihat di Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, itu dikomposisi Majelis Kehormatan Hakim lebih besar orang di luar dibandingkan orang yang ada di Mahkamah Agung. Jadi Komisi Yudisial lebih dominan dibandingkan hakim yang ada di Mahkamah Agung. Makanya sebetulnya apa yang kita perdebatkan hari ini harus diakhiri. Kita harus berpikir ke depan, kita harus menata sistem ketatanegaraan ke depan, saya kira dan saya yakin sekali dalam teori ketatanegaraan modern Mahkamah Konstitusi menjadi salah satu fokus tempat utama untuk memperbaiki praktik-praktik ketatanegaraan itu. Sebab, sulit semuanya diandalkan kepada pembentuk undang-undang karena di DPR yang ketika bertemu dengan Pemerintah, itu kan memang perhitungan kalkulasi politiknya menjadi lebih dominan. Nah, hakim sebagai salah satu institusi atau satu-satunya institusi sekarang yang dianggap sebagai wakil Tuhan di muka bumi, saya kira Hakim Konstitusi punya kesempatan memperbaiki kekisruhan ini dan itu nanti akan menjadi perbaikan untuk masa depan praktik ketatanegaraan kita. Saya, Majelis Hakim yang saya hormati, tidak mau lagi memperdebatkan hal-hal yang sangat teknis, yang sebetulnya itu bisa diselesaikan dari sikap Majelis Hakim di ruangan ini. Terima kasih, wassalamualaikum wr. wb., selamat siang. 132. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H. Bapak Hadar. 133. AHLI DARI PEMOHON: HADAR NAFIS GUMAY Terima kasih atas pertanyaannya, saya akan coba menjawab. Tentang.., sebetulnya Ibu Endang sama Ibu Andi ini mirip sama yang satu ini. Pengawas itu siapa yang mengawasi? Nanti menjadi badan yang super power dan seterusnya. Saya kira kita memang harus dalam satu poin harus berhenti, tidak harus berputar-putar. Tetapi kemudian juga kita kan tetap mempunyai pengawas-pengawas yang lain yang seperti saya sampaikan di awal tadi, itu ada elemen masyarakat. Masyarakat bisa mengadukan apa yang mereka temukan. Kemudian ada elemen penegak hukum lainnya yang juga lembaga-lembaga ini tidak lepas dari para penegak hukum ini. Dan yang terakhir, lembaga-lembaga yang menciptakan atau yang membentuk lembaga ini, lembaga pengawas, itu juga bisa melakukan pengawasan dan bahkan mencabut mereka yaitu memberhentikan. Dan di dalam lembaga pengawas ini pun kan juga dibangun sistem internal dengan dewan kehormatan. Jadi saya kira itu jawaban saya.
53
Kemudian apakah ada contoh negara lain yang dimana tidak ada lembaga pengawas yang terpisah di luar dan berhasil. Tentu banyak sekali negara-negara demokrasinya sudah sangat maju, itu mereka dibangun secara internal di dalam. Tetapi yang bicara di sini kan kemudian bukan hanya ada tidaknya lembaga dan mereka berada dimana? Tetapi justru yang banyak bicara di sini adalah kultur dari masyarakat setempat. Perjalanan demokrasi masyarakat setempat, mungkin kita perlu agak mengurut dada ya? Mungkin untuk Indonesia kita harus lebih pasang banyak kuda-kuda begitu, harus banyak pagarnya begitu. Karena memang akal-akalan di negeri ini luar biasa besarnya. Di negara yang sudah maju demokrasinya mereka tidak perlu repot-repot dan betul memang dikatakan tadi bahwa Bawaslu itu unik Indonesia, tetapi keunikan Indonesia ini ternyata juga tidak begitu efektif, karena memang sejak dibangunnya itu lemah sekali. Oleh karena itu saya kira satu segi kita penting melihat komparasi dari negara lain tetapi dari segi lain kita juga harus melihat konteks negara masingmasing, bagaimana perkembangan masyarakatnya, politiknya? Demokrasinya itu sendiri? Nah tentang apakah fungsi di Thailand ataupun Filipina itu punya fungsi yang lebih besar, jauh lebih besar dari pengawas kita atau Bawaslu kita di Indonesia? Oh besar sekali mereka. Bahkan di Filipina itu dia bisa mengambil alih kekuasaan judicial tertingginya, supreme court pada masa Pemilu bisa diambil alih oleh “komelek.” Panglima angkatan bersenjata dalam masa Pemilu bisa diambil oleh “Komelek.” Jadi luar biasa besar, tidak sebesar yang di Thailand tetapi di Thailand juga lebih besar dari Bawaslu kita. Tetapi setelah saya ceritakan tadi, pengalaman mereka besarnya itu sendiri justru membuat beban di dalam, mengawasi diri sendiri karena ada faktor konflik interest itu menjadi kesulitan, kemudian untuk mengurus hal yang paling utama di diri mereka, mereka menjadi kerepotan. Oleh karena itu gagasan untuk menguatkan, sekaligus ada tambahnya dibuat tribunal tersendiri, pengadilan tersendiri, itu lebih banyak terjadi di banyak negara dan dua negara ini sedang berusaha merubah menuju ke sana. Bahwa Ibu Andi ceritakan ada juga pengawasan internal di dalam, ya, dan saya memang mengetahui itu. Sangat disayangkan ini tidak terlalu banyak diberitakan keluar. Tetapi kalau itu berjalan baik saja, tetapi kan persoalannya sekarang bagaimana hal-hal lain yang kemudian dibawa oleh pengawas kita di luar yaitu Bawaslu? Dan ini kan diargumentasikan, ah itu kasus dan sebagainya. Tetapi kasus sekalipun itu adalah hal yang penting karena kalau ini tidak dijalankan, apalagi kalau itu diakibatkan suatu kesengajaan untuk melindungi diri misalnya, akhirnya integritas dari proses Pemilu yang sangat penting untuk terciptanya Pemilu demokratis menjadi terhambat. Kemudian, pertanyaan Mas Bambang tadi. Saya kira, saya memahaminya Pasal 30, 29 tadi ya. Memang tidak ada prosedur lain
54
seharusnya, kalau sudah ada masukan dari Bawaslu, dewan kehormatan inilah yang harus kemudian memutuskan apa jadinya. Jadi tidak seharusnya ada proses-proses sebelumnya yang bisa jadi itu menjadi proses untuk memproteksi diri, sehingga proses penegakkan hukum internal melalui dewan kehormatan ini menjadi tidak berfungsi atau terhambat. Pasal 117 dan 118 saya kira memang di sini sebetulnya bisa dilihat bahwa kedua yang satu lembaga yang satu badan. Karena samasama mempunyai fungsi untuk membuat peraturan dan mengambil keputusan, bisa dilihat ini setara mereka. Tetapi sekali lagi persoalannya kalau saja dari hal yang paling basis yang paling awal yaitu seleksinya saja sudah dimanfaatkan untuk memproteksi diri, menghambat penegakkan hukum, akhirnya tidak akan jalan, gitu ya? Saya tidak ingin mengatakan ini praktik yang umum atau ini hanya sebagai satu kasus, tetapi mekanisme yang model seperti ini itu lebih membuka ruang untuk sulitnya pengawasan itu menjadi efektif. Sehingga sekali lagi saya selalu mengulang-ulang integrity atau integritas dari proses Pemilu itu menjadi pertaruhannya dan itu menjadi hal yang penting untuk terciptanya Pemilu demokratis. Mengenai apa tadi ada dibicarakan, apakah perlu kembali pembentukan melalui DPRD Pengawas Pemilu kita? Saya kira itu jangan dipikirkan, itu mundur menurut hemat kami. Karena sekali lagi issue conflict of interest akan sangat kencang, Pak Hakim, Pak Akil maksud saya sudah menyebutkan juga bagaimana mungkin kita membiarkan lembaga yang mengawasi itu dibentuk oleh lembaga yang menjadi pesertanya. Tentu akan diatur saja, karena kita sudah mempunyai pengalaman bagaimana kemarin Panwas-Panwas yang dibentuk oleh DPRD di dalam PilkadaPilkada itu memang tenang, tetapi kejadian tidak menjalankan fungsinya itu. Jadi orang meragukan juga hasil Pilkadanya. Saya kira itu saja respon dari saya mudah-mudahan menjawab, sekali lagi saya sangat berharap kepada Majelis Hakim Yang Mulia Mahkamah Konstitusi untuk bisa menuntaskan persoalan ini karena memang sistemik, yang saya kira kita harus melihatnya jauh ke depan. Jadi kalau kemudian ini dibiarkan terus kepada pembuat undangundang bisa jadi akan ditarik ke sana kemari dan akhirnya kita akna kembali kepada persoalan membangun suatu sistem yang sebetulnya tidak akan efektif Terima kasih, wassalamualaikum wr. wb. 134. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD.,S .H. Baik, saya kira sudah lengkap. Jadi di Amerika itu tidak ada Bawaslu tapi di Filipina ada Komileg yang bisa mengambil alih panglima angkatan perang. Bayangkan kalau di sini Pak Hidayat Sardini ngambil alih panglima. Tapi baik, mari sidang ini akan diputus minggu depan, oleh
55
sebab itu kepada Pemohon, kepada Pemerintah dan kepada Pihak Terkait KPU diminta membuat kesimpulan dan diserahkan selambatlambatnya jam 16.00 sore besok, hari Jumat tanggal 12 Maret. Jadi Jumat tanggal 12 Maret jam 16.00 sore kesimpulan kalau dari Pemerintah sekaligus kesimpulan dan keterangan-keterangan yang tadi dijanjikan supaya kalau besok jam 16.00 sore tidak ada ya dianggap tidak menyerahkan dan menyerahkan sepenuhnya kepada bahan-bahan yang ada di Mahkamah Konstitusi untuk mengambil keputusan. Nanti kapan pengucapan keputusan itu akan diberi tahu Senin oleh Kepaniteraan Dengan demikian sidang dinyatakan (…) 135. PEMERINTAH: MENDAGRI)
YUDAN
ARIF
FAKRULLOH
(STAF
AHLI
Mohon izin Yang Mulia sedikit satu pertanyaan. 136. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD.,S.H. Silakan. 137. PEMERINTAH: YUDAN ARIF FAKRULLOH (STAF AHLI MENDAGRI) Kami mohon dapat diberikan putusan apakah dari Pemerintah dapat ditandatangani selain Menteri kebetulan Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM sedang berada di Australia untuk jawabannya. 138. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD.,S.H. Secara hukum mungkin tidak tepat, tapi kami anggap itu sebagai ad informandum, sebagai informasi tambahan yang tidak kami anggap sebagai keterangan resmi, kalau bukan yang didelegasikan oleh Presiden. Tapi ad informandum juga penting, Menkumham kalau ada Ad Interimnya kasihkan Ad Interimnya, silakan saja. Kalau besok di tandatangani oleh Menteri atau Ad Interimnya kami anggap sebagai keterangan resmi kalua tidak Anda boleh juga tanda tangan tapi sebagai ad informandum saja di sini (….) 139. PEMERINTAH: DR MUALIMIN ABDI (KASUBDIT PENYIAPAN DAN PENDAMPINGAN PADA SIDANG MK) Izin Yang Mulia, satu lagi. Persoalan juga kuasa presiden itu juga belum ditandatangani Yang Mulia bagaimana persoalannya?
56
140. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD.,S.H. Itulah makanya kita anggap itu ad informandum saja oleh Anda itu. Jadi itu urusan ke dalam di sana, di eksekutif. Dengan demikian sidang dinyatakan ditutup KETUK PALU 3X
SIDANG DITUTUP PUKUL 11.55 WIB
57