STATUS ANAK LUAR NIKAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI (MK) NOMOR: 46/PUU-VIII/2010 Oleh: Dr. H. Adnan Murya, SH., MM. Aris Supomo, SH., MH. Fakultas Hukum Universitas Wiralodra Marriage essentially is a thing a switch for every human being, beccause in the view of the Islamic religion in particular is a Sunnah of the Prophet and obligations for those who are capable of it, but it is not only Islam who adjust marriage as important thing but also the other religions also admitted Thus, the life of the nation and state there must be a regulation, which set namely Law No. 1 of 1974 About the marriage that arrange the marriage is not a game made by those who do not understand the meaning of marriage, as a result of the marriage will be their offspring. The marriage is legitimate in the context of the State is the existence of a registration of marriage by a marriage registrar officials in addition according to the religion and beliefs of each bride and groom, because when it is not called marriage Sirri listed or under the hand that will have an impact on the status of his wife and child in the future. Child marriages only have a relationship of civil alone with his mother, but with the advent of the Decision Makhamah Constitution Number: 46 / PUU-VIII / 2010 it has expactance for the child from the marriage Sirri about the status to take legal action and proof in court. A. Pendahuluan Negara Indonesia berdasarkan hukum itu sekilas bunyi pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945, yang mana rakyat dan pemerintah dalam menjalankan kehidupanya harus sesuai hukum dan tidak boleh keluar dari garis-garis yang sudah ditetepkan dalam peraturan perundang-undangan. Mahmamah Agung bersama-sama Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman. Pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (MK). Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna 302
menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945. Berdasarkan pasal 24C ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) Tahun 1945 yang ditegaskan kembali dalam pasal 10 ayat 1 huruf a sampai dengan d Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut: 1) Menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar 1945; 2) Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar 1945; 3) Memutus pembubaran partai politik; 4) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Pada tauhun 2010 Mahkamah Konstitusi memutuskan putusan yaitu Nomor 46/PUU-VIII/2010, yang akan berdampak pada salah satu pasal dalam Undangundang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan mengenai status anak. latar belakang lahirnya putusan ini adalah munculnya kasus Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim yang meminta puteranya Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono agar diakui sebagai anak almarhum Moerdiono mantan Menteri Sekretaris Negara di era Presiden Soeharto. Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengadili perkara kontitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan pengujian materiil Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dasar hukum mengenai pengakuan anak ataupun mengenai status anak luar nikah bukan hanya dalam Undang-undang Perkawinan saja, akan tetapi Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt atau Burgerlijke Wet Boek) juga mengaturnya. Perkawinan sebagai peristiwa hukum tentu memiliki akibat hukum. Perkawinan di Indonesia mempunyai akibat yaitu timbulnya hubungan antara suami istri, timbulnya harta benda dalam perkawinan, dan timbulnya hubungan antara orang tua dan anak. Hubungan antara anak dan orangtua akan timbul sejak dilahirkan. Anak yang memiliki hubungan sah menurut hukum akan memiliki hak yang dilindungi. Namun jika diperlukan dalam kasus tertentu bayi dalam janin bisa dianggap subjek hukum. Berlakunya seorang manusia sebagai subjek hukum dimulai saat ia dilahirkan dan berakhir pada saat seorang meninggal dunia 1. Namun 1
A. Siti Soetami. Pengantar Tata Hukum Indonesia. PT Refika Aditama. Bandung. 2007. hlm. 21
303
“Anak yang ada dalam kandungan ibunya dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan dia anak menghendaki”. Dalam Hukum Perdata dikenal pembagian golongan untuk pihak-pihak yang berhak untuk mendapatkan waris. Dalam golongan I yang menjadi ahli warisnya adalah suami isteri pewaris dan keturunannya (anak sah dan anak luar kawin diakui). Kedudukan anak luar kawin jika diakui dianggap sebagai pewaris dengan satu pertiga dari jumlah warisan yang ada. Kedudukan dari anak luar kawin tidak pernah menjadi rumit karena hanya akan dua pilihan yaitu anak luar kawin diakui atau tidak diakui. Pengakuan akan memberikan hak untuk mendapatkan waris. Jika tidak diakui maka tidak akan berhak untuk mendapatkan harta warisan, pengaturan golongan I terdapat dalam Pasal 825a KUHPdt. B. Identifikasi Masalah 1. Bagaimana status anak luar nikah pasca Putusan MK Nomor: 46/PUUVIII/2010? 2. Bagaimana implementasi ketentuan Anak Luar Kawin dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasca keluarnya Putusan MK Nomor: 46/PUU-VIII/2010? C.
Pembahasan a. Status Anak Luar Nikah Pasca keluarnya Putusan MK Nomor: 46/PUUVIII/2010 Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menjelaskan perkawinan adalah ikatan lahir batin seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk suatu keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut R. Subekti perkawinan merupakan pertalian yang sah antara laki-laki dengan perempuan. Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianut oleh laki-laki dan perempuan yang akan menjadi suami istri. Jika sudah mengikatkan diri dalam hubungan perkawinan maka suami istri akan memiliki tanggungan dengan lahirnya anak. Anak dianggap sebagai subjek hukum karena memiliki hak dan kewajiban. Akantetapi terdapat aturan yang menganggap seorang anak tidak pernah ada jika anak meninggal ketika dalam kandungan. Dalam hal ini anak yang lahir dari hubungan luar kawin yaitu laki-laki dan perempuannya tidak terikat perkawinan. Jika diakui sesuai aturan hukum 304
adalah sah dan menjadi salah satu ahli waris menurut Pasal 280 jo Pasal 863 KUHPdt. Dalam pemahaman defenisi anak luar kawin harus jelas. Karena anak luar kawin dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu 1). Anak luar kawin, 2). Anak zina, dan 3). Anak sumbang. Harus dibedakan pengaturannya dalam Pasal 272 jo 283 KUHPdt mengatur tentang anak zina dan sumbang. Hanya anak luar kawin yang berhak mewaris sesuai Pasal 280 KUHPdt yang memiliki akan untuk menjadi ahli waris. Ketentuan hukum memberikan akibat hukum berbeda-beda atas status anak. Anak zina dan anak sumbang pada dasarnya merupakan anak luar kawin dalam arti bukan anak sah. Namun jika dibandingkan dengan Pasal 280 dengan Pasal 283 KUH Perdata. Anak luar kawin menurut Pasal 280 dengan anak zina dan anak sumbang yang dimaksud dalam Pasal 283 adalah berbeda. Berdasarkan Pasal 283 KUHPdt jo Pasal 273 KUHPdt anak zina berbeda dengan anak sumbang dalam akibat hukumnya. Anak sumbang, undang-undang dalarn keadaan tertentu memberikan perkecualian. Mereka dengan dispensasi diberikan kesempatan untuk saling menikahi sesuai Pasal 30 ayat (2) KUHPdt dapat dikui dan disahkannya anak sumbang menjadi anak sah berdasarkan Pasal 273 KUHPdt. Namun perkecualian seperti ini tidak diberikan untuk anak zina. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sesuai dengan kewenangan yang diberikan dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 24C mempunyai wewenang untuk melakukan pengujian Undang-undang (UU) terhadap Undang-undang Dasar (UUD). Amanat dari konstitusi tersebut yang salah satunya memberikan kesempatan kepada MK untuk melakukan terobosan dan perubahan atas Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor. 1 tahun 1974. Sesuai dengan prinsip erga omnes, maka putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 bersifat mengikat kepada publik dan tidak hanya pada para pihak yang berperkara di persidangan MK. Sehingga tidak mengherankan lahirnya pro dan kontra atas putusan MK yang memberikan pengakuan anak luar kawin terhadap hubungannya dengan biologisnya. b. Pengakuan Anak Luar Nikah Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor ; 46/PUUVIII/2010 telah melakukan terobosan hukum dengan memutus bahwa Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945. Karena anak luar kawin tidak memiliki
305
hubungan dengan ayahnya. Seharusnya ketentuan dari Undang-undang Perkawinan tersebut berbunyi:2 “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.” Alasan hukum yang melatar belakangi rechtfinding tersebut untuk menegaskan bahwa anak luar kawin pun berhak mendapat perlindungan hukum. Majelis hakim konstitusi mempunyai pertimbangan hukum yang mendorong adanya keharusan memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih disengketakan. Putusan MK dengan terobosan hukumnya tersebut membuka titik terang hubungan antara anak luar kawin dengan bapaknya. Hubungan darah antara anak dan ayah dalam arti biologis bis dikukuhkan berdasarkan proses hukum. Membuka kemungkinan hukum untuk subyek hukum (ayah) yang harus bertanggungjawab terhadap anak luar kawin. Subjek hukum tersebut akan bertanggungjaabsebagai bapak biologis dan bapak hukumnya melalui mekanisme hukum dengan menggunakan pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir dan/atau hukum. Bisa diambil sebuah kesimpulan bahwa untuk memberikan pengakuan terhadap anak luar kawin oleh ayah biologisnya dilakukan dengan cara; 1. Pengakuan oleh sang ayah biologis; 2. Pengesahan oleh sang ayah biologis terhadap anak luar kawin tersebut. Putusan MK menguatkan kedudukan ibu atas anak luar kawin dalam memintakan pengakuan terhadap ayah biologis darianak luar kawin. Jika terdapat kemungkinan yang terjadi bapak biologis tidak membuat pengakuan dengan suka rela anak luar kawin. Setelah adanya pengakuan oleh ayah biologisnya. Pada saat itu juga akan timbul hubungan perdata denganayah biologis dan keluarganya dengan anak luar kawin yang diakui. Adanya pengakuan akan melahirkan hubungan hukum ayah dan anak sesuai dengan
2
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
306
Pasal 280 KUHPdt yaitu “Dengan pengakuan terhadap anak di luar kawin, terlahirlah hubungan perdata antara anak itu dan bapak atau ibunya.”3 Namun selain berita untuk pengakuan anak luar kawin. Perlu menjadi perhatian bahwa dalam putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 tidak ada disebutkan mengenai akta kelahiran anak luar kawin maupun akibat hukum putusan tersebut terhadap akta kelahiran anak luar kawin. Menjawab identifikasi masalah dalam tulisan bahwa putusan MK berimplikasi status hukum dan pembuktian asal-usul anak luar kawin. Akta kelahiran yang memiliki dasar hukum yang kuat dalam pembuktian asal-usul anak hanya dapat dilakukan dengan akta kelahiran otentik yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan: “Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang authentik yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.”4 Akta kelahiran anak luar kawin hanya tercantum nama ibunya. Hal ini jelas karena pada saat pembuatan akta kelahiran anak masih sebagai anak luar kawin yang hanya diakui memiliki hubungan darah dan hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya saja. Dalam akta kelahiran anak luar kawin akan terdapat redaksi dilahirkannya seorang anak dengan nama, hari dan tanggal kelahiran, urutan kelahiran, nama ibu dan tanggal kelahiran ibu. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 55 ayat (2) huruf a Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Akantetapi perlu dicatat bahwa bahwa anak yang dilahirkan karena perzinaan atau penodaan darah (incest/sumbang) tidak boleh diakui. Hal ini diatur dalam Pasal 283 KUHPdt. Anak luar kawin adalah anak yang lahir dari hubungan tanpa ikatan perkawinan yang berarti kedua tidak terikat perkawinan. Anak sumbang adalah anak yang lahir dari hubungan sedarah sedangkan anak zina adalah anak yang lahir dari hubungan salah satu atau keduanya memiliki ikatan perkawinan lain. Dengan demikian anak luar kawin dalam arti sempit adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang kedua-duanya tidak terikat perkawinan dengan orang lain dan tidak ada larangan untuk saling menikahi. Anak luar kawin yang 3 4
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt). Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
307
demikianlah yang bisa diakui secara sah oleh ayah biologisnya Pasal 280 KUHPdt. Hubungan antara ibu dan anak terjadi dengan sendirinya karena kelahiran, kecuali apabila anak itu overspelig atau bloedsrhenning anak zinah. Ayah biologis dan anak luar kwain hanya terjadi hubungan perdata jika ada pengakuan yang diatur dalam Pasal 280 KUHPdt. Tanpa pengakuan dari ayah biologis dan/atau ibunya, pada dasarnya anak itu bukan anak siapa-siapa dan tidak mempunyai hubungan hukum dengan siapa pun. Hubungan hukum orangtua dan anak yang sah didasarkan atas adanya hubungan darah. Hubungan hukum anak luar kawin dengan ayah yang mengakuinya adalah hubungan darah. Hubungan darah dalam hal ini dipahami adalah pengakuan secara yuridis tidak hanya sekedar pengakuan biologis saja. Pengakuan terhadap anak luar kawin, dapat haruslah dilakukan dengan sukarela yaitu pengakuan yang dilakukan oleh seseorang dengan cara yang ditentukan undang-undang. Sesuai Pasal 281 KUHPdt untuk dapat mengakui seorang anak luar kawin, bapak atau ibunya dan/atau kuasanya berdasarkan kuasa otentik harus menghadap di hadapan pegawai catatan sipil untuk melakukan pengakuan terhadap anak luar kawin tersebut. Pengakuan dapat pula dilakukan pada saat perkawinan orang tuanya berlangsung yang dimuat dalam akta perkawinan sesuai Pasal 281 ayat (2) KUHPdt jo Pasal 272 KUHPdt. Dengan adanya pengakuan ini akan berakibat anak luar kawin menjadi seorang anak sah. Melalui akta otentik seperti akta notaris yang diatur dalam Pasal 281 ayat (1) KUHPdt dapat juga dilakukan untuk pengakuan anak luar kawin. Serta cara pengkauan terakhir dapat dilakukan dengan pembuatan aktaoleh pegawai catatan sipil untuk melakukan pendaftaran kelahiran catatan sipil. Pengakuan paksaan juga bisa dilakukan atas anak luar kawin. Dilakukan oleh anak yang lahir di luar perkawinan itu, dengan mengajukan gugatan terhadap bapak atau ibunya kepada Pengadilan Negeri. Supaya anak luar kawin dalam arti sempit itu diakui sebagai anak bapak atau ibunya. Berdasarkan ketentuan Pasal 287-289 KUHPdt. Dengan syarat anak luar kawin yang dapat diakui adalah anak luar kawin yang terlahir dari ibu dan bapaknya yang tidak terikat perkawinan yang sah serta tidak tergolong anak zina atau anak sumbang.
308
c. Implementasi Anak Luar Nikah Pasca keluarnya Putusan MK Nomor: 46/PUU-VIII/2010 Makhamah Konstitusi (MK) telah mengelaurkan suatu putusan yang akan adanya suatu perubahan besar dalam sistem hukum perdata pun akhirnya tak bisa dihindari. Misalnya dalam hukum waris. Berdasarkan KUHPerdata, anak luar kawin yang mendapat warisan adalah anak luar kawin yang telah diakui dan disahkan. Namun sejak adanya Putusan MK tersebut maka anak luar kawin diakui sebagai anak yang sah dan mempunyai hubungan waris dengan bapak biologisnya. Kedudukan anak luar kawin terhadap warisan ayah biologisnya juga semakin kuat. Pasca putusan MK ini, anak luar kawin merasa berhak atas warisan ayahnya. Di ke depannya tentu akan timbul banyak gugatan ke Pengadilan Agama bagi yang muslim dan Pengadilan Negeri bagi yang beragama Non-muslim dari anak luar kawin. Implementasi dengan munculnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 46/PUU-VIII/2010 tentunya sudah sangat jelas akan merubah kedudukan status anak hasil luar perkawinan yang sah, kaitanya dengan itu akan dampak pula dengan bagi waris yang didapat oleh anak tersebut. Jika berbicara soal kedudukan anak luar kawin di dalam hukum faktanya lebih rendah dibanding dengan anak sah. Bagian waris yang diterima oleh anak luar kawin lebih kecil dibandingkan dengan anak sah. Untuk dapat menjadi seorang ahli warisnya KUHPdt telah menetapkan berdasarkan Pasal 832 KUHPdt harus memiliki hubungan darah baik sah atau luar kawin. Terdapat juga kemungkinan dengan surat wasiat sebagaimana diatur dalam Pasal 874 KUHPdt. Sedangkan berdasarkan Pasal 836 KUHPdt, ahli waris harus sudah ada pada saat pewaris meninggal dunia. Dengan disimpangi oleh Pasal 2 KUHPdt yang menyebutkan bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan si anak menghendakinya. Dalam Pasal 832 KUHPdt disebutkan dengan jelas kedudukan masingmasing ahli waris harus didasari hubungan darah baik sah maupun luar kawin. Kedudukan anak pewaris sebagai ahli waris dikenal sebagai anak luar kawin yang diakui secara sah maupun tidak. KUHPdt memberikan penjelasan tentang pengertian anak sah dalam Pasal 250 KUHPdt bahwa anak sah adalah setiap anak yang dilahirkan dan/atau dibuahkan dari suatu perkawinan yang sah. Maka anak luar kawin adalah setiap anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah.
309
D. Penutup Kedudukan anak dari hasil luar perkawinan atau perkawinan sirri hanya mempunyai hubungan keperdataan saja dengan ibunya dan tidak mempunyai hubungan keperdayaan dengan ayahnya, akan tetapi pasca munculnya putusan MK Nomor: 46/PUU-VIII/2010, adanya suatu perubahan yang sangat besar dalam tatanan hukum postif baik dalam Undang-undang Perkawinan dan Kitab Undangundang Hukum Perdata (KUHPdt) yang mengatur tentang kedudukan anak hasil luar nikah. Dengan adanya putusan MK adanya titik terang terhadap status anak luar nikah disamakan dengan anak dari hasil perkawinan yang sah dan tentunya mempunyai hubungan keperdataan dan hubungan biologis dengan ayah kandungnya. Implementasi dengan dikeluarkanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 46/PUU-VIII/2010, yakni mengenai status atau kedudukan anak luar nikah yang menjadi sah dan kedudukannya sama dengan anak sah tentunya akan berdampak pula pada pembagian warisan terhadapnya, interpretasinya adalah jika anak luar nikah sudah disahkan dan disamakan kedudukannya dengan anak sah tentunya bagian dalam pembagian waris pun akan sama besarnya dengan bagian anak yang sah dan diakui undang-undang. Dan dapat pula untuk melakukan suatu perlawanan hukum/gugatan terhadap pihak-pihak lain yang akan merugikan dirinya dan menggeser kedudukanya itu.
Daftar Pustaka A. Siti Soetami. Pengantar Tata Hukum Indonesia. PT Refika Aditama. Bandung. 2007. ------------------------------------------------------------------------------------------------Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt).
310