Tren HAM KontraS No. 04 /VII-VIII/2010
Reformasi Sektor Keamanan: Kerjasama Militer AS dan Kopassus HAK atas Jaminan Kebebasan Beragama
Internasional: Hukuman Gantung Warga Aceh di Malaysia
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan The Commission for the Disappearances and Victims of Violence
04
Salam Redaksi Juli –Agustus 2010 Isu akuntabilitas sektor keamanan kembali naik daun. Setelah dikejutkan dengan wacana hak pilih TNI, kini kita kembali dikejutkan dengan wacana pemulihan kerjasama militer AS dan Kopassus. Wacana ini nampaknya meminggirkan realita bahwa akuntabilitas kasus-kasus pelanggaran HAM masih belum tuntas diselesaikan Kopassus. Hal mencolok lainnya dalam isu sektor keamanan adalah pergantian kepemimpinan Polri. KontraS secara khusus menghadirkan prasyarat mutlak yang harus terpenuhi untuk memilih Kapolri baru. Potensinya minimnya penghargaan HAM juga terlihat pada kasus kekerasan horizontal yang marak dilakukan organisasi-organisasi Islam radikal akhir-akhir ini. Negara juga masih abai pada perlindungan pembela HAM, khususnya yang menimpa pada kasus Tama Satrya Langkun, aktivis anti-korupsi ICW. Negara juga belum memberikan perhatian khusus pada kondisi tahanan politik (tapol) di Maluku dan Papua. Sebagai catatan terakhir, KontraS mengedepankan wacana pemberlakuan hukuman mati untuk warga Aceh yang berdomisili di Malaysia. selamat membaca! Editor
Dibentuk untuk menangani persoalan penculikan beberapa aktivis yang diduga berhubungan dengan kegiatan politik yang mereka lakukan. Dalam perjalanannya KontraS tidak hanya menangani masalah penculikan dan penghilangan orang secara paksa, tapi juga diminta oleh masyarakat korban untuk menangani berbagai bentuk kekerasan yang terjadi baik secara vertikal di Aceh, dan Papua maupun secara horizontal seperti di Maluku, Sambas, Sampit, dan Poso. Selanjutnya ia berkembang menjadi organisasi yang independen dan banyak berpartisipasi dalam membongkar praktik kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia sebagai akibat dari penyalahgunaan kekuasaan. KontraS diprakarsai oleh beberapa organisasi non pemerintah dan satu organisasi mahasiswa, yakni: AJI, CPSM, ELSAM, KIPP, PIP-HAM, LPHAM, YLBHI, PMII. Badan Pekerja: Abu Said Pelu, Adrian Budi Sentosa, Agus Suparman, Ali Nursyahid, Chrisbiantoro, Edwin Partogi, Guan Lie, Haris Azhar, Heri Mardiansyah, Heryati, Indria Fernida, M. Daud Bereuh, Muhammad Harits, M. Rohman, Nur’Ain, Papang Hidayat, Puri Kencana Putri, Putri Kanesia, Regina Astuti, Rintarma Asi, Sinung Karto, Sri Suparyati, Syamsul Alam Agus, Sugiarto, Usman Hamid, Vitor Da Costa, Yati Andriyani, Yuliana Erasmus. Federasi KontraS: Oslan Purba, Bustami, Neneng (Jakarta), Hendra Fadli (NAD), Diah Susilowati (Sumatera Utara), Andry Irfan Junaidi (Surabaya) Harry Maturbong (Papua), Andri Suaib (Sulawesi). Badan Pekerja KontraS dibantu oleh para relawan yang tersebar di seluruh Indonesia. Redaksi KontraS menerima kritik, saran, dan tulisan untuk berita KontraS Diterbitkan oleh: KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) Penanggung Jawab Pemimpin Redaksi Redaktur Pelaksana Editor Bahasa Penanggung jawab ilustrator
: : : : :
Haris Azhar Puri Kencana Putri Hanny Sukmawati Indria Fernida Muhammad Harits
Sidang Redaksi: Sri Suparyati, Yati Andriyani, Papang Hidayat, Syamsul Alam Agus Distribusi: Rohman
Keuangan: Nur’ain
Tren HAM KontraS
Berita Utama
Reformasi Sektor Keamanan Kerjasama Militer AS dan Kopassus Entah barometer apa yang digunakan sehingga pemerintah AS bersedia memulihkan kembali kerjasama militer dengan Kopassus. Pemulihan ini mengabaikan sejumlah fakta penting tentang kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, yang kini juga masih diabaikan pemerintah Indonesia. Kabar ini menjadi kemenangan simbolik bagi mereka yang berlindung di balik tabir impunitas. Sebaliknya, menjadi kabar duka bagi kelompok pegiat hak asasi manusia atas kebijakan pemerintah Barrack Obama yang belum menunjukkan prestasi siginifikan terhadap isu HAM global seperti yang dijanjikan sebelumnya. Pencabutan embargo adalah bukti bahwa agenda keadilan dan pemenuhan hak-hak korban belum dijadikan prioritas dari agenda penegakan hukum negara. Padahal, konsepsi keadilan transisional dan mekanisme akuntabilitas telah menemukan bentuk definitif yang berlaku secara universal.
Agenda Penegakan Akuntabilitas HAM Indonesia No
Agenda
Keterangan
1
Rekomendasi DPR RI kepada Presiden untuk segera membentuk tim pencari orang hilang
Belum ditindak lanjuti pemerintah
2
Digelarnya Pengadilan HAM adhoc untuk kasus penghilangan paksa
Belum ditindak lanjuti pemerintah
Pemulihan hak-hak korban pelanggaran HAM masa lalu: rehabilitasi dan kompensasi kepada keluarga korban orang hilang
Belum ditindak lanjuti pemerintah
Meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik Penghilangan Paksa di Indonesia.
Belum ditindak lanjuti pemerintah
Penuntasan sejumlah kasus pelanggaran HAM berat masa lalu; Tragedi 1965/1966, Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II 1998/1999, Tragedi Mei 1998, Wasior dan Wamena.
Berkas penyelidikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu seperti kasus Trisakti, Semanggi I dan II, Mei 1998, Wasior dan Wamena hingga kini masih berada di Kejaksaan Agung dan belum ditindaklanjuti pada tahap penyidikan.
Revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer
Belum ditindaklanjuti mengingat agenda revisi UU No 31/1997 tidak masuk Prolegnas 2010
Penuntasan kasus pembunuhan Munir
Peninjauan Kembali (PK) masih belum dilakukan oleh Kejaksaan Agung.
3
4
5
6
7
Dokumentasi KontraS
Tren HAM KontraS
Berita Utama
Meski Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso menegaskan bahwa persoalan pelanggaran HAM oleh Kopassus sudah selesai, namun pernyataan tersebut tidak bisa dijadikan patokan pemerintah AS untuk memulihkan kerjasama. TNI harus menjalani mekanisme akuntabilitas institusional, termasuk di dalamnya mekanisme vetting kepada para personel Kopassus yang diduga terlibat dalam kasus kekerasan politik masa lalu. Selama ini para pelaku yang berasal dari institusi keamanan tidak pernah menjalani mekanisme pemeriksaan. Bahkan untuk menetapkan mereka sebagai tersangka, kemudian diadili dan ditahan melalui satu mekanisme hukum, mustahil dilakukan. Jikapun ada yang divonis bersalah oleh majelis hakim, para pelaku masih bebas berkeliaran. Mereka bahkan leluasa mendapatkan promosi jabatan-jabatan strategis di kesatuannya, hingga menempati posisi resmi baik di tubuh kemiliteran maupun di jabatan publik lainnya. KontraS berkeberatan atas dibukanya kembali kerjasama militer ini. Hingga sekarang konsepsi akuntabilitas mengalami inflasi. Semata-mata hanya retorika dan argumen bahwa tidak ada lagi pelanggaran HAM yang serius. Hal tersebut sama sekali bukan alat indikator untuk mengukur akuntabilitas HAM. hal lain yang patut dikhawatirkan dengan adanya perjanjian baru ini adalah kemungkinan terhambatnya agenda perlindungan dan penegakan HAM, termasuk di dalamnya revisi sistem peradilan militer, ratifikasi Statuta Roma dan Konvensi Perlindungan Orang dari Penghilangan Paksa, termasuk agenda penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat melalui prosedur UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang sampai sekarang terhenti di tangan Kejaksaan Agung.
Tren HAM KontraS
Syarat-Syarat Calon Kapolri Sejak terbongkarnya praktik penyimpangan besar-besaran di dalam tubuh institusi Polri, agenda suksesi Trunojoyo I semakin menjadi perhatian besar publik. Perbaikan di dalam tubuh institusi keamanan ini terus menerus dinantikan. Buktinya publik masih berharap Kapolri kelak harus memiliki rekam jejak yang bersih dari praktik korupsi, pelanggaran HAM, juga memiliki inisiatif-insiatif baru untuk melakukan penegakan masalah hukum dan keamanan yang kian kompleks. Harapan publik akan berbenturan dengan kenyataan pragmatis. Untuk mengubah sebuah institusi yang memiliki tingkat disiplin dan kultur kerja yang berurat berakar dari warisan rezim Orde Baru bukanlah pekerjaan mudah. Ada sekitar 400.000 personel Polri yang harus dikelola. Problema konvensional di atas mungkin tidak akan tuntas dalam satu dua kepengurusan Kapolri ke depan. Hal yang amat mungkin dilakukan adalah Kapolri baru kelak harus mengupayakan langkah-langkah korektif secara bertahap. Secara khusus KontraS membuat kriteria dasar yang harus dipenuhi oleh calon Kapolri. Kriteria ini akan mengukur dimensi kepemimpinan yang dibutuhkan berdasarkan universalitas watak peran dan fungsi dari institusi tersebut.
Tren HAM KontraS
5
Empat Nilai Dasar Calon Kapolri No 1
Nilai Dasar Integritas
Keterangan Kapolri mendatang tidak hanya harus memiliki integritas personal yang baik, namun juga modal dan kemauan untuk menjaga integritas institusinya. Aspek integritas personal mencakup: rekam jejak yang bersih dari korupsi, pelanggaran HAM, kepribadian jujur dan berwibawadan teladan bagi 400 ribu personelnya. Aspek integritas institusional mencakup: sikap dan kemampuan untuk menga institusi Polri yang bersih, menegakkan supremasi hukum, adil, netral dari politik, imparsial, responsif terhadap kepentingan publik dan mampu berdiri di atas semua kepentingan kelompok.
2
Akuntabilitas
Diterapkan pada kasus-kasus korupsi dan kasus-kasus kekerasan yang menyangkut penyalahgunaan kekuasaan aparat. Calon Kapolri harus berani mendisplinkan, menghukum tegas, dan melakukan demosi terhadap bawahannya yang terbukti melanggar kode etik, disiplin, hukum, dan HAM
3
Legitimasi
Legitimasi diterapkan berdasarkan standar normatif yang berlaku. Ruang legitimasi diterapkan pada aspek internal maupun eksternal. Perkap soal kode etik dan profesionalisme atau Perkap tentang implementasi standar HAM juga bisa jadi pertimbangan soal figur Kapolri yang ideal. PerkapPerkap tersebut adalah formalisasi komitmen Polri baik kepada internal institusi maupun publik.
4
Membangun Kepercayaan
Agenda membangun kepercayaan dilakukan lintas sektor, mulai dari internal, lembaga negara lain, dan publik. Kepercayaan dari semua pihak akan memiliki banyak manfaat dalam memperbaiki citra Polri. Hal ini penting dilakukan untuk memperkuat grand strategy 2005-2025, meski capaian tahap awal trust building (2005-2009) masih jauh dari harapan.
Dokumentasi KontraS Jika empat kriteria di atas dilakukan, kita akan jauh lebih mudah menemukan figur Kapolri masa depan yang memiliki visi perubahan yang selaras dengan agenda supremasi sipil, demokrasi, dan hak asasi manusia.
Tren HAM KontraS
HAK atas Jaminan Kebebasan Beragama Ancaman Kekerasan Horizontal Praktik ancaman kekerasan yang menimpa kelompok-kelompok minoritas keagamaan semakin gencar dilakukan ormas-ormas Islam garis keras. Di tahun 2010 praktik kekerasan kembali menimpa kelompok minoritas Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan Jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) terus meningkat. Kasus-kasus ini menambah deret kasus kekerasan horizontal di Indonesia. Pada tahun 2008 terdapat 17 tindakan pelanggaran. Pada tahun 2009 terdapat 18 tindakan pelanggaran yang menyasar pada jemaat Kristiani dalam berbagai bentuk. Di tahun 2010, antara bulan Januari sampai Juli terdapat 28 kasus pelanggaran. Bahkan dalam catatan Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) ada 16 kasus pelanggaran beribadah, termasuk di dalamnya penutupan gereja dan lembaga-lembaga kristiani lainnya. Kelompok-kelompok kekerasan ini kerap mengatasnamakan Islam, gerakan anti-komunisme, dan sentimen kedaerahan. Aksi-aksinya terjadi di banyak daerah di Indonesia.
Kronologis kekerasan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Manis Lor Kuningan, Jawa Barat: 23 Juli 2010 Bupati Kuningan H. Aang Hamid Suganda menerbitkan Surat Perintah Penyegelan Masjid Ahmadiyah Nomor 4512/2065/Satpol PP tentang penyegelan 8 (delapan) tempat ibadah warga Ahmadiyah di Manis Lor
26 Juli 2010 Kapolres dan Kasatpol PP Kuningan datang dengan maksud melakukan penyegelan, namun dihalangi. Setelah kurang lebih sejam bernegosiasi, pemkab Kuningan dan Polres Kuningan sepakat untuk mengadakan dialog dalam waktu secepatnya.
27 Juli 2010 Sekelompok orang yang menamakan dirinya pasukan Silaturahmi Umat Manusia telah bersiap-siap untuk melakukan penutupan paksa terhadap mesjidmesjid Ahmadiyah, namun berhasil dicegah aparat keamanan.
28 Juli 2010 Penyegelan secara serempak dilakukan aparat Polres Kuningan dan Satpol PP. Tercatat 1 masjid dan 8 musholla berhasil disegel mereka. Warga Ahamdiyah Manis Lor tidak tinggal diam. Mereka melakukan perlawanan dengan melempari batu ke arah aparat Polres Kuningan dan Satpol PP. Sebagian dari mereka bahkan mulai membuka palang segel masjid dan sebagian musholla.
Tren HAM KontraS
7
29 Juli 2010 Sekitar 300 orang dari organisasi massa islam se-kabupaten Kuningan, Ciamis dan Indramayu berkumpul di Mesjid Darul Hada, Desa Manislor. Mereka mengecam keberadaan Ahmadiyah di desa tersebut. Di tempat yang lain, 200 warga Ahmadiyah Manis Lor berjaga-jaga di depan Masjid An-Nur. Tidak berapa lama ratusan orang dari ormas Islam mendatangi Masjid An-Nur. Bentrok tak terhindarkan dan massa pendukung ormas mulai melempari masjid dengan batu. Kapolres Kuningan mulai mengambil jalur mediasi antar dua kubu yang berseteru. Polisi meminta agar balok-balok yang digunakan sebagai alat pertahanan warga Ahmadiyah diserahkan. Polisi juga meminta agar warga Ahmadiyah segera meninggalkan lokasi masjid dan kemudian mereka menyegel permanen TKP. Tidak ada perlawanan dari warga Ahmadiyah. Mereka dengan sukarela menyerahkan balok-balok dan meninggalkan TKP. Meski demikian, massa ormas Islam tetap bertahan dan berjaga-jaga di sekitar lokasi.
30 Juli 2010 Jemaat Ahmadiyah masih tetap bertahan di wilayah perumahan dan pusat ibadah Ahmadiyah Manis Lor. Bahkan ibadah Sholat Jumat dipersiapkan di depan masjid An-Nur yang telah disegel. Aparat Polres Kuningan dan Brimob Polda Jabar tetap berjaga-jaga di sekitar lokasi kejadian.
Kronologis Penolakan Pendirian Gereja Jemaat HKBP Mustikajaya, Bekasi Timur: 20 Juni 2010 Pemerintah Kota Bekasi Jawa Barat menyegel rumah yang dialihfungsikan sebagai gereja di Jalan Puyuh Raya, Mustikajaya Bekasi. Pengalihfungsian rumah menjadi tempat ibadah telah melanggar 4 (empat) aturan hukum: 1. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Bagi Kepentingan Umum 2. Peraturan Daerah (Perda) Nomor 61 Tahun 1999 tentang Pendirian Rumah Ibadah 3. Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung Nomor 8 dan Nomor 9. Tahun 2006 4. Peraturan Wali Kota Bekasi Nomor 16 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pendirian Rumah Ibadat di Kota Bekasi Bab IV Pasal 8 ayat 3 huruf b dan c Dalam negosiasi Pemkot Bekasi dengan Jemaat HKBP, Pemkot menawarkan lokasi pengganti di sekitar Mustikajaya yakni di Kampung Kelapa Dua Kelurahan Padurenan, Kompleks Ajenad; Kompleks Kodim 2; dan Tiajimalela. Namun jemaat tetap menolak melakukan relokasi rumab peribadatan. Setelah tiga kali teguran dilayangkan, penyegelan gereja HKBP Mustikajaya dilakukan dan disaksikan ratusan jemaat dan masyarakat sekitar. Kegiatan penyegelan juga melibatkan dua kompi anggota Kepolisian Resor Metropolitan Bekasi bersenjata lengkap.
27 Juni 2010 Meski telah disegel, Jemaat HKBP tetap melakukan ibadah Minggu di lokasi kejadian. Mereka beralasan bahwa kegiatan tersebut dilakukan di halaman rumah.
Tren HAM KontraS
5 Juli 2010 Beberapa tokoh agama dan masyarakat mendatangi kantor Wali Kota Bekasi. Kedatangan mereka dimediatori Lurah dan Camat Mustikajaya. Dalam pertemuan itu disepakati: 1. Jika rumah tersebut masih dijadikan tempat ibadat maka warga berhak untuk membongkarnya, dengan syarat tidak terjerat hukum. Di mana pembongkaran dilakukan legal di hadapan hukum 2. Pemkot meminta waktu untuk mengambil keputusan sampai tanggal 9 Juli 2010. hasil keputusan akan diberitahukan kepada seluruh tokoh agama dan masyarakat setempat.
8 Juli 2010 Rapat antara Asisten Daerah (Ada II) dengan perwakilan HKBP Mustikajaya yang dihadiri Kesbang Polinmas, Humas Pemkot, Kementerian Agama, Posda BIN, Lurah dan Camat Mustikajaya, MUI, Pasi Intel Dim Bekasi memutuskan bahwa penambahan penyegelan HKBP Mustikajaya dengan Pasal 243, apalabila segel dirusak dan rumah dipergunakan kembali sebagai tempat ibadah maka akan dikenakan sanksi hukum pidana. Selanjutnya hasil rapat memutuskan untuk merencanakan pemindahan lokasi ibadat Jemaat HKBP di Kampung Ciketing, Mustikajaya.
10 Juli 2010 Lokasi kejadian Mustikajaya mulai dibersihkan, tak lama Jemaat HKBP datang untuk membantu dengan pengamanan aparat kepolisian. Situasi memanas ketika warga setempat menolak pendirian gereja dan mulai memasang 3 spanduk penolakan pendirian gereja. Namun pembersihan tempat yang akan dijadikan kebaktian tetap dilakukan dengan pengawalan polisi.
11 Juli 2010 Jemaat HBKP melakukan kebaktian pertama kali di Kampung Ciketing dengan pengawalan dan pengamanan ketat aparat kepolisian dan TNI. Ibadat itu dilakukan berdasarkan surat Sekda yang sebenarnya tidak memiliki kekuatan hukum dan harus mendapatkan persetujuan warga setempat dengan sepengetahuan Lurah dan Camat setempat. Warga yang berang dan tidak setuju wilayah Ciketing dijadikan tempat kebaktian dan ketiadaan izin menolak kehadiran Jemaat HKBP. Mereka meluapkan emosi dengan cara membunyikan benda-benda kaleng.
18 Juli 2010 Kali kedua Jemaat HKBP melakukan ibadat dengan dijaga ketat aparat kepolisian. Warga semakin kesal karena penolakan mereka tidak diindahkan. Warga mulai turun ke sekitar lokasi sebagai wujud penolakan atas ibadat tersebut. Jumlah warga yang menolak semakin banyak mengingat warga satu Kecamatan Mustikajaya dari empat Kelurahan telah sepakat untuk menolak rencana pendirian Gereja HKBP. Aksi ini berhasil dikontrol aparat, dan berhasil menempuh jalur negosiasi. Negosiasi yang melibatkan FUIM (perwakilan warga), Kapolres, Kapolsek, Lurah, Camat, Asda II berjalan tertib. Perwakilan Kementerian Agama Bekasi akhirnya menandatangani surat pernyataan yang menjamin tidak akan ada lagi kebaktian di wilayah Ciketing. Namun demikian, Pendeta HKBP tetap tidak mau menandatanganinya.
Tren HAM KontraS
9
1 Agustus 2010 50 personel Polres Bekasi dan dalam jumlah yang hampir sama aparat Satpol PP mulai bergerak ke arah Ciketing. Dalam Ibadat hari itu beberapa anggota Polwan mulai membujuk beberapa ibu Jemaat HKBP untuk meninggalkan lokasi karena situasi dikhawatirkan akan memanas. Kurang lebih 1 peleton personel Polres Bekasi membuat barikade pembatas antara lokasi ibadah dengan tempat berkumpulnya massa. Kondisi Ciketing mulai memanas ketika jumlah massa yang menolak kian bertambah. Mereka mengancam dan melarang orang Kristen beribadah di wilayah mayoritas Muslim. Massa semakin beringas, mereka mulai memukul dan menendang-nendang barikade. Aksi saling dorong antara massa dengan aparat keamanan. Massa berhasil menyerang jemaat yang sedang beribadah, sehingga sebagian jemaat berjatuhan. Mereka kemudian dipukuli dan dinjak-injak. Pengamanan mulai melemah. Massa kemudian mendatangi Pendeta Luspida Simanjuntak dan memaksa agar ibadat segera dihentikan. Massa juga memaksa Pendeta Luspida untuk menunjukkan KTP. Ketika ibadah selesai, massa kembali melakukan penyerangan kepada para jemaat. Mereka mendorong, memukuli, dan menendangi para jemaat yang sebagian besar ibu-ibu. Ironisnya aparat keamanan tidak mampu menghentikan kekerasan, padahal jumlah aparat di lapangan jauh lebih besar ketimbang para penyerang.
Dari dua kronologis peristiwa kekerasan di atas, kita bisa mengukur seberapa jauh negara bertanggung jawab untuk melindungi rasa aman kepada setiap warga negaranya. Khususnya pada konteks jaminan kebebasan untuk menjalankan ibadah, agama dan keyakinan. Negara memiliki kewajiban pokok untuk melindungi (to protect), memenuhi (to fulfill), dan menghormati (to respect) hak asasi warga negaranya; di mana jaminan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di atur di dalamnya. Namun kini kondisinya negara cenderung mengabaikan adanya praktik kekerasan atas kelompok-kelompok minoritas keagamaan tersebut. Bahkan negara melalui pemerintah-pemerintah daerah terus menerus memelihara praktik diskriminasi melalui perangkat peraturan perundang-undangan diskriminatif.
Pernyataan Kapolri, Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri “Sepanjang 2007-2010 terdapat 107 tindak kekerasan yang dilakukan oleh FPI, FBR, dan Barisan Muda Betawi.” “Pembekuan organisasi massa (ormas) yang telah berulangkali melakukan tindak kekerasan perlu dilakukan. Dan lembaga Kepolisian tidak akan ragu-ragu lagi untuk menindak tegas ormas yang melakukan tindak kekerasan.” (Pernyataan dikutip langsung dari Rapat Gabungan Kapolri dan DPR RI, 30 Agustus 2010)
10
Tren HAM KontraS
Nusantara
Jaminan Hak Berkumpul dan Berorganisasi Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR)
Keterangan
Pasal 21 dan 22
Adanya jaminan atas Hak Berkumpul dan Berorganisasi. Termasuk menjamin ormas-ormas keagamaan untuk berkumpul dan berorganisasi. Hak ini hanya dapat dijalankan jika dilakukan dengan damai dan kelompok tersebut tidak melakukan pembatasan terhak hak berkumpul dan berorganisasi kelompok yang lainnya.
Pasal 20
Jika sebuah ormas ditujukan untuk melakukan usaha-usaha kebencian berdasarkan suku bangsa, ras atau keagamaan tertentu yang berupa hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan, maka ia harus dilarang secara hukum.
Pengecualian Pasal 21 dan 22
Melakukan pembatasan terhadap jaminan hak berkumpul dan berorganisasi, yakni hanya jika dilakukan secara hukum, bila dipandang perlu dalam suatu masyarakat yang demokratis untuk kepentingan keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan atau moral masyarakat atau demi melindungi hak asasi orang lain. Dokumentasi KontraS
Tren HAM KontraS
11
Hak Asasi Manusia Kekerasan Aktivis ICW Tama Satrya Langkun: Negara Abai Pada Perlindungan Pembela HAM Belum tuntas polisi mengusut kasus penyerangan bom Molotov di kantor Tempo pada 6 Juli silam; aktivis anti-korupsi Tama Satrya Langkun dianiaya orang-orang tak dikenal. Kejadian ini terjadi pada 8 Juli 2010. Akibat penyerangan itu Tama menderita 29 jahitan di kepala. Kedua peristiwa ini erat hubungannya dengan pengusutan rekening gendut di tubuh kepolisian. ICW, tempat Tama bekerja telah lama melakukan investigasi mendalam atas dugaan keberadaan rekening gendut. Bahkan, hsil investigasi itu telah dilaporkan kepada Satgas Pemberantasan Mafia. Bahkan hasil investigasi itu diperdalam oleh Tempo. KontraS percaya kedua kasus ini bukanlah kasus kriminal biasa. Bahkan hingga kini Polda Metro Jaya belum berhasil mengusut tuntas pelaku di balik aksi penyerangan itu. Kekhawatiran yang muncul dari praktik kejahatan ini adalah meningkatnya kecenderungan ancaman kekerasan terhadap masyarakat sipil. Mereka yang bergerak di isu hak asasi manusia, demokrasi, pemberdayaan petani, kaum miskin kota,
Apa yang menimpa Tama dan Tempo bukanlah tindak kriminal biasa. Ada upaya sistematis untuk menyerang target. Brutalitas kekerasan semacam ini menjadi ancaman nyata bagi para pegiat anti-korupsi, HAM, kelompok petani dan lingkungan, bahkan jurnalis. Kondisi ini adalah hasil pemanfaatan dari kelompokkelompok kepentingan yang tidak bertanggung jawab, yang leluasa menggunakan jalur destruktif untuk membungkam kelompok masyarakat sipil.
12
Tren HAM KontraS
17 Juni 2010: ICW bersama Koalisi Masyarakat untuk Reformasi Polri melaporkan perwira tinggi polisi berinisial “BG” ke Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan MafIa Hukum atas dugaan kepemilikan jumlah kekayaan yang tidak wajar dan tidak dilaporkan secara benar ke KPK. Hasil dari pertemuan itu, Satgas berkomitmen untuk menyelidiki laporan. Tama Satrya Langkun adalah salah satu perwakilan ICW sebagai pelapor.
Tren HAM KontraS
13 1
30 Juni 2010: Tama Satrya Langkun mengahadiri acara Talk Show di TVone yang membahas “Sold Out” Majalah Tempo edisi Rekening Gendut Perwira Tinggi Polri yang terbit pada tanggal 28 Juni 2010. Bersama Tama, juga hadir Wahyu Muryadim Pimred majalah Tempo sebagai narasumber.
14 2
Tren HAM KontraS
1 Juli 2010: ICW kembali mendatangi KPK. Mereka ditemui M. Jasin dan Bibit Samad Rianto terkait rekening mencurigakan milik perwira tinggi Polri yang telah dilaporkan sebelumnya. Tama Satrya Langkun ikut dalam pertemuan dan memberi pernyataan bahwa “Polisi tidak melakukan pemeriksaan terkait kasus tersebut”.
Tren HAM KontraS
15 3
16 4
Tren HAM KontraS
3 Juli 2010: Tama Satrya Langkun menerima telepon dari seseorang bernama Roni. Penelpon mengaku sebagai wartawan Kompas, dalam pembicaraan telepon, Roni meminta Tama bekerjasama melakukan investigasi kasus pajak. Terkait dengan maksud Roni, Tama mengundang bertemu di kantor ICW. Namun ditolak. Malahan Roni terus menanyakan di mana dan ke mana Tama akan pergi.
Tren HAM KontraS
17 5
18 6
Tren HAM KontraS
Tren HAM KontraS
19 7
7 Juli 2010: Pukul 17.00 WIB, Tama Satrya Langkun, La Ode Muhammar KhadafI, Fahmi, dan Tia pergi ke Mal Kalibata dan pulang pukul 20.00 WIB. Mereka menggunakan taksi saat berangkat maupun pulang. Dalam perjalanan pulang Tama menerima telepon seseorang dari Polda Metro Jaya. Demikian juga setelah tiba di kantor ICW.
20 8
Tren HAM KontraS
8 Juli 2010 01.00 WIB Tama Satrya Langkun bersama kawannya KhadafI keluar dari kantor ICW untuk nonton bareng bersama kawan-kawannya semi fInal Piala Dunia 2010 di Loca Cafe, Jl Benda Kemang Selatan. Sebelumnya, OffIce Boy ICW telah memperingatkan Tama untuk tidak keluar dari ICW. Tama keluar membawa sepeda motor Yamaha Vixion F 6905 LJ.
Tren HAM KontraS
21 9
22 10
Tren HAM KontraS
Tren HAM KontraS
23 11
24 12
Tren HAM KontraS
Tren HAM KontraS
25 13
26 14
Tren HAM KontraS
Tren HAM KontraS
27 15
Akibat pemukulan: Total jahitan berjumlah 29 jahitan di kepala. 3 buah luka sayatan lebar, 1 luka di bagian depan, 2 luka di bagian belakang. Bagian depan mendapatkan 12 jahitan. 18 jahitan di bagian belakang.
28 16
Tren HAM KontraS
Dihimpun dari berbagai sumber
Kekerasan yang masih marak dialami para pembela HAM adalah wujud dari ketidakmampuan negara untuk menjamin rasa aman warga negaranya. Ancaman kriminalisasi, serangan fisik dan psikis, dan pencemaran nama baik adalah masalah-masalah spesifik yang membutuhkan penanganan spesifik pula. Penanganan yang spesifik dibutuhkan agar para pembela HAM tidak dikriminalkan semena-mena karena aktivitas mereka mengadvokasi masyarakat. Kita tidak saja harus melindungi fisik dan psikis para pembela HAM, namun juga gagasan yang dimiliki mereka untuk memajukan nilai-nilai HAM.
Deklarasi PBB tentang Pembela Hak Asasi Manusia Pasal 6 Paragraf b: Setiap orang memiliki hak, secara individu dan dalam hubungannya dengan orang lain bebas untuk menerbitkan, menyampaikan atau menyebarkan pandangan, informasi dan pengetahuan tentang hak asasi manusia dan kebebasan fundamental.
Pasal 12 Paragraf 2: Kewajiban negara yang harus melakukan semua tindakan yang diperlukan untuk menjamin perlindungan oleh otoritas berwenang secara individu dan dalam hubungannya dengan orang lain, terhadap segala kekerasan, ancaman, pembelasan diskriminasi de facto atau de jure, tekanan atau tindakan sewenang-wenang lainnya sebagai konsekuensi dari hak-haknya sebagaimana dimaksud dalam deklarasi ini.
Upaya untuk tetap melindungi aktivitas beresiko ini harus ditempuh dengan berbagai cara. Salahsatunya adalah mengupayakan menghadirkan mekanisme legal yang sifatnya mengikat secara hukum. Dalam hal ini adalah merencanakan produk hukum (Rancangan Undang-Undang) Pembela HAM. RUU ini telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010. Dimensi perlindungan harus mencakup aspek proyeksi dan efektivitas kerja. Khusus untuk efektivitas kerja adalah dengan memfasilitasi semua aktivitas pembela HAM, terutama yang berkaitan dengan pembelaan HAM dan pembelaan kebijakan publik. Seperti membuka ruang informasi dan partisipasi yang seluas-luasnya. Mengingat pembela HAM bukan berorientasi pada individu melainkan pada bobot aktivitas dan kontinuitas pembelaan hak asasi manusia tanpa memilah milih nilai hak asasi manusia, selain itu kita juga harus mendukung inisiatif Komnas HAM yang tengah mempersiapkan desk khusus untuk pembela HAM.
Ridha Saleh (Komisioner Komnas HAM) “Desk khusus ini tidak dimaksudkan untuk melembagakan pembela HAM menjadi satu profesi, namun desk ini dibentuk secara kontekstual karena ancaman terhadap pembela HAM sangat spesifik”
Tren HAM KontraS
29
Nusantara
Kondisi Tahanan Politik di Masa Reformasi Hingga kini masih banyak tahanan politik (tapol) yang dipenjara karena tuduhan tindakan makar kepada negara. Tuduhan ini dilayangkan meski sebagian dari mereka menyampaikan aspirasinya secara damai. Penyampaian aspirasi secara damai juga bagian dari hak kebebasan berekspresi yang harus bisa dijamin oleh negara. Selain tuduhan makar hak-hak para tapol juga tercerabut. Mereka acap mendapatkan perlakuan tidak manusiawi sejak proses penangkapan dan penahanan. Para tapol ditahan khususnya di tiga wilayah utama yakni Jawa, Maluku dan Papua.
0
Tren HAM KontraS
Beberapa Profil Tahanan Politik Indonesia 2010 No
Nama
Tuduhan
Vonis
Keterangan
1
Irwan bin Ilyas
Makar
Dalam perkara UndangUndang Darurat No.12 Thn.1951 Pasal 1 Ayat (1) dengan hukuman Pidana Penjara Seumur Hidup
Hingga kini tapol masih ditahan di LP Cipinang
2
Johan Teterisa
Telah melakukan aktivitas makar dengan melakukan tarian Cakalele di depan Presiden SBY sebagai aksi protes pada 29 Juni 2007 di Stadion Merdeka Ambon (Pasal 106 dan 110 KUHP)
Vonis 15 tahun penjara
Hingga kini tapol masih ditahan di LP Lowokwaru, Malang Jawa Timur.
3
R e i m o n d Tuapattinaya
Polisi menangkap Reimond pada 25 April 2004, setelah Reimond mengibarkan bendera RMS pada perayaan RMS ke 54. Pengadilan Negeri Ambon menghukum 2 tahun kurungan dan dibebaskan pada 25 Desember 2005. Setelah itu Reimond ditangkap lagi dengan tuduhan serupa pada Juni 2007
Vonis 7 tahun penjara
Hingga kini tapol masih ditahan di LP Kediri Jawa Timur
4
Ruben Saiya
Ruben Saiya adalah salah satu dari para penari Cakalele yang melakukan protes di depan Presiden SBY 29 Juni 2007 (Pasal 106 dan 110 KUHP)
Vonis 20 tahun penjara
Hingga kini tapol ditahan di LP Kembang Kuning, Nusa Kambangan Jawa Tengah
5
Ferdinand Waas
Ditangkap bersamaan dengan para penari Cakalele di Stadion Merdeka Ambon, 29 Juni 2007. Anggota Densus 88 Anti Teror Mabes Polri memukulnya pada saat pemeriksaan dengan stik bilyar, potongan kayu dan besi
Vonis 10 tahun penjara
Hingga kini tapol masih ditahan di LP Ambon
Tren HAM KontraS
31
6
Filep Karma
Polisi menangkap Karma pada 1 Desember 2004 di tengah perayaan Hari Kemerdekaan Papua dari Belanda. Saat itu para pemrotes berusaha menaikkan bendera Bintang Kejora.
Pengadilan Abepura pada 27 Okrober 2005 memvonis Karma selama 15 tahun penjara.
Hingga kini tapol masih ditahan di LP Abepura, Papua.
Polisi pada 3 Desember 2008 menangkap Karma atas tuduhan mengorganisasi aksi protes atas penembakan yang dialami saudaranya Opinius Tabuni
Karma divonis 3 tahun penjara dengan menggunakan Pasal 160 KUHP.
Hingga kini tapol masih ditahan di LP Abepura, Papua.
Polisi menangkap Pakage pada 16 Maret 2006 atas tuduhan menyerang dan menusuk seorang anggota polisi hingga mati, pada peristiwa aksi demonstrasi penolakan PT Freeport di dekat Universitas Cenderawasih
Pengadilan Abepura menjatuhkan vonis 15 tahun penjara berdasarkan Pasal 214 KUHP
Hingga kini tapol masih ditahan di LP Abepura, Papua.
T a d e u s Weripang dan Simon Tuturop
Keduanya adalah sahabat karib sejak tahun 1980an ketika mereka mengibarkan Bendera Bintang Kejora. Mereka ditahan kembali pada 19 Juli 2008 dengan kasus serupa.
Pengadilan memvonis keduanya selama 4 tahun penjara berdasarkan Pasal 106 dan 110 KUHP
Hingga kini mereka masih ditahan di LP Fakfak, Papua Barat.
Roni Iba
Polisi menangkap dan menahan Iba dan 35 orang lainnya dengan tuduhan mengibarkan Bendera Bintang Kejora di luar kantor Pemerintah Kabupaten Bintuni pada 1 Januari 2009.
Pengadilan Negeri Manokwari menjatuhi vonis 3 tahun penjara berdasarkan Pasal 106 dan 110 KUHP
Hingga kini tapol masih ditahan di LP Manokwari
B u c h t a r Tabuni
Ferdinand Pakage
Ruben
Selama masa penahanan aparat polisi, tentara, dan sipir penjara kerap datang dan melakukan penyiksaan kepada Karma
Dokumentasi KontraS
32
Tren HAM KontraS
Selama penahanan ia kerap mendapatkan penyiksaan sehingga mengganggu saluran kencingnya
Selama masa penahanan korban kerap mendapatkan penyiksaan, hingga mengakibatkan mata kanannya rusak.
Dari tabel di atas kita bisa mengetahui vonis putusan pengadilan kerap kali menjatuhkan masa kurungan yang lama, setelah para tahanan politik melalui bentuk persidangan yang tidak adil dan di bawah tekanan. Dugaan kuat adanya praktik penangkapan sewenang-wenang dan berbagai tindak pelanggaran HAM lainnya juga harus jadikan catatan dalam kebijakan penanganan kasus-kasus bernuansa “politik” ini. Kondisi ini juga membuktikan bahwa pemerintah Indonesia belum memiliki konsep yang jelas dalam mengelola isu-isu sensitif, seperti isu kemerdekaan daerah yang diusung baik oleh kelompok-kelompok separatis bersenjata maupun kelompok-kelompok pro-dialog. Termasuk aksi-aksi damai seperti pengibaran bendera.
Penjaminan Hak Kebebasan Berekspresi dalam Konstitusi dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil Politik Pasal 28 UUD 1945 Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 28 (f) UUD 1945 Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Pasal 19 ayat 2 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil Politik Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.
Pasal 19 ayat 3 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil Politik Pelaksanaan hak-hak yang diicantumkan dalam ayat 2 pasal ini menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus. Oleh karenanya dapat dikenai pembatasan tertentu, tetapi hal ini hanya dapat dilakukan seesuai dengan hukum dan sepanjang diperlukan untuk: a) Menghormati hak atau nama baik orang lain; b) Melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum.
Tren HAM KontraS
33
Internasional
Hukuman Gantung Warga Aceh di Malaysia Pasang surut dan dinamika hubungan diplomatik RI - Malaysia kian memanas beberapa bulan ini, tak lepas dari persoalan HAM. Kita tidak lagi berdebat pada ruang-ruang perbatasan wilayah dan aksi klaim kebudayaan tentu saja. Persoalan HAM ini menyentuh pada urusan hak atas hidup, ketika pemerintah Malaysia menjatuhkan vonis hukuman mati kepada beberapa WNI yang bekerja di sana. Tentu kita masih ingat kasus TKW Kunarsih yang tewas akibat disiksa majikannya Chen Pei Ee pada 1 Juli silam. Sang majikan divonis bebas oleh pengadilan Kuala Lumpur. Aksi penangkapan dan penahanan tiga petugas pengawas kelautan Dinas Kementerian Kelautan dan Perikanan Bintan Riau oleh otoritas Malaysia menjadi preseden penting yang harus dicatat juga. Bersamaan dengan preseden penolakan hak-hak para buruh migran pada standarisasi gaji PRT migran Indonesia, publik dikejutkan dengan putusan Mahkamah Agung Malaysia yang menjatuhkan hukuman mati pada Bustaman dan Tarmizi. Keduanya adalah WNI asal Aceh yang mengungsi ke Malaysia pasca-tsunami 2004. Selama bertahun-tahun keduanya menghabiskan masa tahanan di Kajang dan Penjara Pokok Sena Kedah Malaysia. Vonis Mahkamah Agung adalah kekuatan hukum tetap. Vonis ini dijatuhkan karena kedua tahanan telah melanggar Pasal 302 penal code pada 18 Agustus 2010. Presiden SBY dan seluruh jajaran kementerian terkait harus segera melakukan diplomasi HAM ke Kerajaan Malaysia. Diplomasi HAM ini penting mengingat Indonesia memiliki kewajiban penghormatan HAM bagi setiap orang, termasuk warga negaranya. Sebagaimana yang sudah dijamin di dalam Konstitusi Indonesia, seperti Jaminan Hak hidup. Kewajiban promosi HAM ini juga harus dijadikan standar hubungan diplomasi ke depannya agar semua bentuk hubungan, kerjasama atau penyelesaian sengketa (hukum) juga terus mengarusutamakan HAM. Bahkan sampai di tingkat ASEAN, yang sudah hampir setahun memiliki Komisi HAM dan sedang menyusun Deklarasi HAM ASEAN. Dalam konteks hukuman mati seperti yang saat ini sedang dihadapi Bustaman dan Tarmizi, maka sudah menjadi kewajiban Pemerintah Indonesia untuk segera melakukan diplomasi politik. Termasuk juga melakukan pembelaan terhadap ratusan WNI yang terancam hukuman mati di Malaysia, yang nasibnya belum jelas, menyangkut pula pertanyaan mendasar apakah memang mereka benar layak divonis hukuman mati.
Tren HAM KontraS