MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ---------------------
RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 20/PUU-VIII/2010 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4/PNPS/1963 TENTANG PENGAMANAN TERHADAP BARANG-BARANG CETAKAN YANG ISINYA DAPAT MENGGANGGU KETERTIBAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 ACARA PEMERIKSAAN PENDAHULUAN (I)
JAKARTA KAMIS, 15 APRIL 2010
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 20/PUU-VIII/2010 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. PEMOHON -
I Gusti Agung Ayu Ratih (Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI)) Rhoma Dwi Aria Yuliantri ACARA Pemeriksaan Pendahuluan (I) Kamis, 15 April 2010, Pukul 15.00 – 15.38 WIB Ruang Sidang Panel Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3)
Muhammad Alim, S.H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H. Hamdan Zoelva.
Alfius Ngatrin.
(Ketua) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
1
Pihak yang Hadir: Kuasa Hukum Pemohon: -
Taufik Basari Nursyahbani Katjasungkana Nurkholis Hidayat
2
SIDANG DIBUKA PUKUL 15.00 WIB.
1.
KETUA : MUHAMMAD ALIM.
Bismillahirrohmanirrohim, sidang Pemeriksaan Perkara Nomor
20/PUU-VIII/2010 kami buka dan kami nyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X
Para Pemohon, kami persilakan terlebih dahulu kepada para Pemohon untuk memperkenalkan atau menyebutkan siapa-siapa yang hadir dan kemudian sesudah itu dilanjutkan dengan menyampaikan pokok-pokok daripada permohonan serta termasuk petitum yang diminta. Kami persilakan. 2.
KUASA HUKUM PEMOHON: NURSYAHBANI KATJASUNGKANA Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang kami hormati, perkenankan kami untuk tetap terlebih dahulu untuk memperkenalkan para Pemohon yang hadir pada sidang kali ini. Kami juga bersama dengan wakil dari Pemohon dan para advokatnya. Prinsipal datang dan para advokat yang hari ini hadir dalam persidangan ini saya sendiri Nursyahbani Katjasungkana. Kemudian ada di sebelah kiri kami Taufik Basari, kemudian di sebelah kiri lagi Nurkholis Hidayat dan kemudian rekan kami yang lain duduk di belakang. Tidak seluruhnya hadir, karena ini ada hampir 20 lebih orang dan kemudian prinsipal dari Institut Sejarah Sosial Indonesia yaitu salah satu Pemohon. Nah, kami akan meminta Saudara Nurkholis untuk menjelaskan pokok-pokok dari ringkasan permohonan kami tentang pengujian Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya dapat Mengganggu Ketertiban Umum yang kami mohonkan pembatalannya pada Mahkamah Konstitusi. Saya persilakan, dan karena sedikit panjang maka pembacaan ringkasan permohonan ini juga akan dibacakan oleh rekan kami Taufik Basari.
3.
KETUA : MUHAMMAD ALIM. Mungkin begini, kan ini persoalannya legal standing-nya apa? Kemudian yang mau diuji itu soal apa? Kemudian apa yang diminta, kira-kira meskipun panjang ini pun tapi bisa diringkas.
3
Kami persilakan. 4.
KUASA HUKUM PEMOHON: NURSYAHBANI KATJASUNGKANA Hanya 3 halaman pendek saja kok dari yang panjang sekali itu kami ringkaskan menjadi 3 halaman, tapi supaya …., baik silakan.
5.
KETUA : MUHAMMAD ALIM. Silakan.
6.
KUASA HUKUM PEMOHON: TAUFIK BASARI Baik, terima kasih Majelis Hakim Panel Yang Mulia. Kami akan sampaikan poin-poin dari permohonan kami. Yang pertama, yang kami uji adalah Undang-Undang Nomor 4 PNPS Tahun 1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum. Adapun para Pemohon ada dua orang, Pemohon pertama adalah Institut Sejarah Sosial Indonesia sebagaimana yang dimaksud di dalam Pasal 51 ayat (1) huruf c Pemohon ini adalah badan hukum yang berbentuk yayasan. Nah kebetulan Pemohon ini adalah penerbit dari buku yang berjudul “dalih pembunuhan masal gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto” yang dilarang oleh Kejaksaan Agung berdasarkan SK Jaksa Agung Nomor 139/A/JA/12 Tahun 2009 tertanggal 22 Desember 2009. Buku ini adalah karya Jhon Roosa. Pemohon yang kedua adalah Ibu Dwi Rhoma Aria Yuliantri, perseorangan warga negara Indonesia sebagaimana di dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a, Beliau ini adalah penulis. Dalam hal ini Beliau bersama-sama dengan Muhidin M. Dahlan menulis buku berjudul Lekra Membakar Buku, Suara Senyap Lembar kebudayaan, Harian Rakyat 1950-1965. Buku ini juga dilarang oleh Jaksa Agung melalui SK Jaksa Agung Nomor 141/A/JA/12/2009 tertanggal 22 Desember 2009. Adapun alasanalasan permohonan ada beberapa poin. Poin pertama, kami melihat bahwa dengan merujuk di undangundang yang kami jadikan obyek, yaitu Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963, Kejaksaan Agung telah melarang sekurang-kurangnya 22 buku sejak tahun 2006. Kalau kita lihat dari reformasi 1998 sampai 2005, Kejaksaan Agung tidak pernah melarang buku. Tapi justru, berselang 2 tahun dari terbitnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan yang padahal mengubah (rekaman suara terputus) Kejaksaan terhadap barang cetakan dari pengamanan menjadi pengawasan, maka Kejaksaan Agung mulai melarang buku lagi. Antara tahun 2006 sampai 2009, Kejaksaan Agung telah melarang sedikitnya 22 buku dan sebagian besar buku akademik.
4
Poin kedua, adalah Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan. Kalau dilihat dari sejarahnya, maka Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 ini awalnya diterbitkan oleh Presiden Soekarno sebagai Penetapan Presiden pada bulan April 1963 di masa demokrasi terpimpin. Saat tidak ada rule of law. Penetapan Presiden ini awalnya diterbitkan ketika Undang-Undang Keadaan Bahaya diakhiri. Kewenangan membatasi pers dialihkan dari penguasa perang ke Kejaksaan Agung. Kami berpendapat bahwa Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1963 ini dirancang agar Pemerintah dapat menyensor terbitan. Terutama terbitan asing yang tidak sejalan dengan yang dinamakan revolusi Indonesia. Bahwa Presiden Soekarno telah mendefinisikan hal ini di dalam manifesto politik 17 Agustus 1959 yang dijadikan Garis-Garis Besar daripada Haluan Negara dan ditetapkan MPR tahun 1960. Yang berikutnya, Penetapan Presiden Nomor 4/1963 ini diubah menjadi Undang-Undang pada Tahun 1969 oleh Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 5/1969 tentang Pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang. Yang juga tidak dapat berfungsi sepenuhnya sebagai berdasarkan rule of law dan masih menganggap diri beroperasi dalam keadaan darurat. Dengan demikian, kita melihat dipertahankannya Penetapan Presiden ini menjadi Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 pada tahun 1969 mencerminkan bahwa keadaan darurat masih berlanjut sampai akhir 60-an dimana tidak ada rule of law. Yang berikutnya, poin ketiga, sebagian dari Undang-Undang Nomor 4/1963 ini kenyataannya sudah dicabut oleh Undang-Undang Nomor 40/1999 Tentang Pers. Undang-Undang Nomor 40/1999 membatalkan penerapan Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 terhadap penerbitan pers. Pasal 20-nya menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 4/PNPS tentang Pengamanan terhadap Barang Cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum. Pasal 2 ayat (3),
“…sepanjang menyangkut ketentuan mengenai buletin-buletin suratsurat kabar harian, majalah-majalah dan penerbitan-penerbitan berkala dinyatakan tidak berlaku.”
Point keempat, dalam alasan-alsan permohonan kami adalah Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 bertentangan dengan undangundang yang sudah disahkan dalam periode reformasi untuk Kejaksaan Agung, yakni Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI, maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan RI dinyatakan tidak berlaku lagi. Padahal di dalam undangundang yang lama, Pasal 30 ayat (3) huruf c Undang-Undang 16/2004 memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk melakukan pengawasan terhadap barang cetakan. Ini mengubah undang-undang yang lama. Undang-undang yang lama istilahnya memakai pengamanan
5
sebagaimana tercantum di dalam Pasal 27 ayat (3) huruf c UndangUndang Nomor 5/1991. Dari perubahan istilah ini, sudah kita lihat ada semangat reformasi di situ, dimana pengamanan itu tentu berbeda dengan pengawasan. Tapi ternyata diinterpretasikan lain dianggap masih memiliki fungsi untuk melakukan pengamanan yang diartikan untuk melarang. Poin kelima, kebijakan karangan buku mengingkari cita-cita bersama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan amanat mukaddimah Undang-Undang Dasar 1945. Bagi kami, buku merupakan sarana pengembangan pengetahuan dan sumber daya bagi pencerdasan bangsa. Buku-buku yang dilarang oleh Kejaksaan Agung justru memberikan informasi baru tentang topik-topik yang peka dan kontroversial dalam masyarakat dan membantu masyarakat memahami persoalan dari berbagai segi termasuk dari perspektif yang jarang dikenal oleh masyarakat selama ini. Peningkatan pemahaman publik mendorong peningkatan dalam kualitas perdebatan publik dan kehidupan berdemokrasi secara umum. Poin keenam, pelarangan buku mengikis nilai-nilai kemajemukan, toleransi, dan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta bertentangan dengan amanat Mukadimah UUD 1945 tentang Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Kebijakan pelarangan buku sebagaimana prerogatif aparat Pemerintah adalah indicator sebuah negara otoriter yang bertentangan dengan amanat UUD 1945 tentang Kepemimpinan Yang Hikmat dan Kebijaksaaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan. Kebijakan pelarangan buku merupakan salah satu simbol otorisme demokrasi terpimpin orde baru dan orde baru dan keberadaannya pada era reformasi saat ini adalah sisa-sisa rezim lama yang perlu ditiadakan. Beredarnya buku-buku yang mengajukan perspektif dan fakta yang berbeda-beda adalah bagian dari kemajemukan dari masyarakat yang perlu dipelihara. Pemerintah seharusnya justru melindungi bagi penulis atau penerbit untuk menghasilkan dan menyebarluaskan hasil karya yang beranekaragam. Selanjutnya alasan yang ketujuh, yang terakhir. Pembatasan harus sejalan dengan rule of law. Di dalam Pasal 19 ayat (2) Covenan Internasional dan Politik yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat, hak ini termasuk kebebasan untuk mencari menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembahasan pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya. Nah pembatasan terhadap hak ini hanya dapat dilakukan apabila dengan prinsip prinsip rule of law dan prinsip “Sirakusa” yang secara tegas membatasi pembatasan dan tidak boleh sampai menghancurkan hak itu sendiri. Selanjutnya akan dilanjutkan oleh rekan saya.
6
7.
KUASA HUKUM PEMOHON : NURKHOLIS HIDAYAT Ketua Majelis Yang Mulia. Ada tiga batu uji yang akan kami ajukan terkait dalam UUD 1945. Pertama bahwa Undang-Undang Nomor 4 PNPS Tahun 1963 ini bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, bahwa Indonesia adalah negara hukum, rule of law. Yang kedua, bertentangan dengan Pasal 28, yang ketiga adalah Pasal 28E ayat (3). Jadi hanya 3 saja batu uji yang kami ajukan sebagai bahan untuk uji materiil terhadap UndangUndang PNPS Tahun 1963. Jadi kami hendak merenvoy dalam petitum nomor 2 yang di sini masih tercantum Pasal 1 ayat (3), Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28I ayat (4). Jadi yang Pasal 28I ayat (4) ini dicoret dan ditambahkan di sini Pasal 28 saja. Jadi dalam petitum pertama kami meminta menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian undang-undang para Pemohon, yang kedua menyatakan Undang-Undang Nomor 4 PNPS Tahun 1963 tentang Pengamanan terhadap Barang Cetakan Yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), lalu Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, begitu perbaikannya Majelis. Dan ketiganya menyatakan Undang-Undang PNPS Tahun 1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-Barang Cetakan Yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum, tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya. Atau jika Majelis Hakim berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya. Demikian Majelis tiga batu uji yang kami ajukan untuk uji materi Undang-Undang PNPS Tahun 1963.
8.
KETUA : MUHAMMAD ALIM. Cukup? Begini Saudara Pemohon, mengenai pasal-pasal UUD yang akan menjadi batu uji, nanti kalau diperbaiki sekalian diubah itu kan ada kesempatan itu. Cuma yang mau saya sampaikan kepada Saudara, sehubungan dengan petitum biasanya kalau menghendaki ini dikabulkan agar dimuat dalam berita negara supaya diketahui umum, itu biasa ada permintaan itu. Tapi itu terserah kepada Saudara. Kemudian informasi kepada Pemohon, Saudara-dan Saudari Pemohon karena ada perempuan, ini ada juga Pemohon yang menguji pasal dan undang-undang yang sama tetapi yang satu itu dia kaitkan juga dengan Undang-Undang Pokok Kejaksaan yang baru. Barangkali jalan pikirannya jika ini dibatalkan tapi ini masih tetap hidup kan masih bisa menggunakan senjata itu untuk memberedel misalnya dan lain-lain. Tetapi terserah kepada Saudara Pemohon, jadi dia menguji juga pasal dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 yang memberi kewenangan kepada Kejaksaan kan ada pasal tertentu, sehingga kalau ini ibaratnya dikabulkan dinyatakan bertentangan tapi masih ada senjata lain yang
7
masih bisa dia pergunakan, yang satu itu menguji itu terserah sepenuhnya kepada Saudara, silakan Pak. 9.
HAKIM ANGGOTA: HAMDAN ZOELVA Ya Saudara para Pemohon. Memang di Pasal 30 ayat (3) c Undang-Undang Nomor 14 Tahun.., tentang Kejaksaan, Undang-Undang 16 ya 2004 tentang Kejaksaan. Di sana jaksa diberikan kewenangan untuk ikut serta mengawasi dan seterusnya. Ini dalam kaitan dengan permohonan ini, kalau itu tetap ada, apa menurut Saudara seperti tadi yang disampaikan oleh Ketua, apakah itu tidak bisa dijadikan oleh kejaksaan untuk juga melakukan tindakan sensor terhadap buku-buku? Tolong ini menjadi perhatian Saudara untuk dikaji karena permohonan di sini hanya berkaitan dengan Undang-Undang PNPS. Kemudian yang kedua, kalau saya membaca uraian permohonan ini adalah paling banyak menyangkut konteks sosial politik lahirnya undang-undang ini dengan konteks sosial politik yang ada sekarang yang sudah sangat berbeda dan sangat berubah, apakah dengan demikian Saudara mengajukan pengujian ini, pengujian formil atau pengujian materiil? Ini miliki implikasi yang berbeda. Terutama nanti misalnya legal standing dan juga mengenai banyak hal yang lain. Memang dalam penguraian ini sudah ada mencantumkan atau menguraikan tentang kondisi-kondisi materiil dari situasi-situasi yang berbeda di dua zaman itu, sehingga mengakibatkan ini harus dilakukan perubahan. Jadi saya mungkin perlu ada penegasan betul bahwa ini apakah pengujian formil atau pengujian materiil karena dalam petitum juga ini langsung kepada undang-undangnya yang minta bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Saya kira itu saja dari saya, terima kasih.
10.
HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Saya akan menyampaikan sedikit saja melanjutkan apa yang sudah disampaikan oleh Yang Mulia Hakim Hamdan. Kalau saya mencermati permohonan ini, sebenarnya sudah bagus begitu, tapi kalau kita kaitkan dengan kategorisasi pengujian, baru ada masalah. Masalahnya itu terletak..., apa namanya, konsistensi dari petitum terhadap alasan-alasan. Alasan-alasannya semuanya formal. Pengertian pengujian formal kan tidak hanya pembentukannya sebenarnya. Pernah MK memutuskan itu bahkan dari pemberlakuannya juga masih dalam kategori formal. Terutama undang-undang tentang Papua dulu itu Undang-Undang Irian Jaya Barat itu yang saya kira semua tahu semua begitu. Kemudian dari argumentasi yang ada kemudian dikaitkan dengan petitum itu lebih mengarah kepada bentuk pengujian formal bukan pengujian materiil begitu ya. Karena yang diminta itu..., yang dianggap bertentangan yang diminta MK untuk memutuskan bahwa ini
8
bertentangan itu, undang-undangnya meskipun bukan pembentukannya begitu. Tapi kok itu seluruhnya begitu ya. Tapi argumentasinya, argumentasi pembentukan. Ini dibentuk dalam konstelasi politik demokrasi terpimpin, dalam suasana revolusi, dan seterusnya begitu ya. Lalu dikaitkan dengan konstelasi politik sekarang yang jauh berbeda dengan keadaan ketika undang-undang ini dibuat sehingga..., lah ini mulai terjebak lagi kita, masuk ke dalam materinya sudah tidak relevan. Kalau materinya sudah tidak relevan itu mestinya kan, itu pengujian materiil tapi argumentasinya pembentukannya begitu. Oleh karena itu, ini supaya di pertimbangkan ulang, supaya ada apa namanya..., sikap yang distinc begitu ya, ini yang mana yang mau dipilih ini formal atau materiil? Itu terkait dengan soal yang lain lagi sebenarnya. Selama ini ada perkembangan tentang legal standing untuk pengujian formal dan pengujian materiil itu berbeda atau sama? Kalau pasal itu merugikan saya, itu legal standing untuk pengujian materiil, tapi kalau undang-undang itu dibentuk tidak secara formal, tidak dibentuk sesuai dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang Dasar misalnya itu, siapa yang dirugikan? Atau apa kerugiannya? Apa hak-hak konstitusional dia terkait dengan pembentukan Undang-Undang yang tidak benar? Ini saya kira Saudara, baik Kuasanya maupun Pemohon Prinsipalnya saya kira perlu lebih cermat lagi terkait dengan soal legal standing. Jadi kalau tadi Pak Hamdan cerita tentang konsistensi antara argumentasi dan petitumnya yang hendak distinc begitu, Sekarang juga terkait dengan legal standing, legal standing-nya harus distinc. Apa? Itu berangkat tentunya dari Pasal 51. Sebab tentang legal standing itu sebagian besar diatur Pasal 51 sejak ayat (1) sampai dengan ayat (3nya. Saya kira itu Pak Ketua karena Pemohon ini sudah senior semua, jadi nasihatnya tidak usah banyak-banyak. 11.
KETUA : MUHAMMAD ALIM. Ya saya silakan kepada Saudara.
12.
KUASA HUKUM PEMOHON: TAUFIK BASARI Baik, terima kasih Majelis Hakim Yang Mulia. Memang ada beberapa pertanyaan dari Majelis yang akan kami jelaskan. Sisanya juga jadi masukan bagi kami. Yang pertama di soal ketentuan Pasal 30 ayat (3) huruf C Undang-Undang 16 Tahun 2004. Di dalam permohonan kami, kami memang sudah tunjukkan standing point kami terhadap pasal tersebut, yakni kami melihat justru pasal tersebut di dalam UndangUndang Kejaksaan yang baru menunjukkan adanya perubahan paradigma dimana kejaksaan yang dulunya diberikan kewenangan untuk melakukan pengamanan, kemudian dengan era reformasi ini dibuat sedemikian rupa jadi hanya pengawasan.
9
Nah, masalahnya adalah pengawasan tersebut diinterpretasikan merujuk kepada PNPS yang sedang kami uji ini. Oleh karena itu, kami menganggap bahwa jika rujukan dari pelarangan buku yang utamanya PNPS ini hilang, maka tafsir terhadap pengawasan pun tidak lagi seperti apa yang dilakukan oleh kejaksaan selama ini. Jadi justru di situ. Namun demikian kami akan mempertimbangkan juga kaitannya begitu. Apakah mungkin…, kami tadi sempat terpikir juga apakah mungkin juga memohonkan semacam kondisional konstitusional terhadap Pasal 30 ayat (3) huruf C agar pengawasan itu diartikan sebagaimana dalil-dalil kami bahwa itu tidak lagi untuk melarang. Melainkan mengawasi pertama itu. Nah yang kedua, masih terkait Pasal 30 huruf C, kami melihat…, kami mengaku bahwa memang dalam hal-hal tertentu ada hak-hak yang dapat dibatasi. Oleh karena itulah bentuk dari pembatasan yang harus sesuai dengan syracuse principle, menurut kami sudah dimuat dari norma asli dari pengawasan itu. Jadi pembatasan hak dalam bentuk pengawasan, tapi tidak sampai pelarangan karena dengan pelarangan dia akan menghancurkan hak-hak itu sendiri. Oleh karena itulah argumentasi yang kami himpun seperti ini. Oleh karenanya mengapa kemudian kita hanya menguji Undang-Undang Nomor 4 PNPS Tahun 1963. Tapi kemudian tadi kita terbuka juga beberapa pemikiran untuk mempertimbangkan juga saransaran dari Majelis. Nah yang kedua, di soal pengujian formil dan pengujian materiil. Memang harus kami akui bahwa alur logika yang kami bangun adalah kita ambil titik…, satu titik waktu tempo yakni amandemen UndangUndang Dasar 1945 dimana seharusnya kemudian ada sebuah tindak lanjut dalam bentuk penyesuaian undang-undang yang punya semangatsemangat lama yang tidak sesuai dengan amandemen ini harusnya di sesuaikan dengan amandemen. Itu memang alur logikanya begitu. Itu yang pertama. Tapi yang kedua, kita memang lebih ke arah materiilnya karena pada kenyataannya, norma di dalam Undang-Undang Nomor 4 PNPS 1963 itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana kemudian Para Pemohon ini mengalami kerugiaannya karena norma itu dipergunakan untuk melarang hak dari Para Pemohon. Tapi kita juga masih akan pertimbangkan saran-saran Majelis memang selama ini yang kita pahami, jika itu uji formil maka melulu hanya pada bagaimana proses pembentukkan di DPR. Nah, ini mungkin juga masukan bagi kami, bagi hal yang baru bahwa ada kemungkinan juga uji formil itu tidak terpaku pada proses pembentukan di DPR. Barangkali itu, mohon sekiranya ada penjelasan lagi apakah kesimpulan saya ini benar atau salah. Tapi yang saya tangkap berarti begitu. Jika pun memang ini pun bisa selain materiil juga formil, maka tidak hanya di soal DPR. Karena kalau di DPR tidak mungkin kita menguji proses yang tahun lalu, kalau menurut kami begitu. Agak sulit pembuktiannya, kalau kita ujinya
10
bagaimana proses pembentukannya di Tahun 1963 atau ketika dijadikan undang-undang lagi di Tahun 69. Tapi barangkali saja, kalau kita sudah pelajari lagi dengan hal-hal yang baru kita dapatkan dari Majelis Panel ini, mungkin bisa kami pertimbangkan. Mungkin ada tambahan dari rekan saya. Silakan. 13.
KUASA HUKUM PEMOHON : NURKHOLIS HIDAYAT Jadi kami tegaskan bahwa permohonan ini uji materiil, bukan uji formil, itu yang pertama. Bahwa juga tadi juga diceritakan bahwa ini undang-undangnya tidak pasal per pasal. Jadi kalau kita lihat di sini sudah disampaikan bahwa inti dari undang-undang ini sebenarnya ada dalam Pasal 1, dalam Undang-Undang Nomor 4 PNPS/1963 ini yang memberikan kewenangan pada Menteri, Jaksa Negara untuk melakukan pelarangan. Tapi keseluruhan yang lain adalah bagaimana turunan dari Pasal 1 ini, sehingga kami berketetapan untuk keseluruhan dari undangundang ini bermasalah secara norma, seperti itu. Itu yang ingin kami tegaskan terkait dengan permohonan ini. Berikutnya yang terakhir terkait dengan legal standing bahwa dari tadi tiga batu uji, pertama tentang negara hukum, dan kebebasan berpendapat, 28 dan 28E ayat (3) nanti dijelaskan lebih afdolnya lah bersama Pemohon lagi isi, bagaimana kerugian konstitusional tersebut. Tapi bahwa yang kami cantumkan pointer alasan 1 sampai 5 tadi tidak saja berbicara tentang konteks politik hukum masa lalu dan konteks politik hukum saat ini. Tapi kita juga menyoroti bagaimana tatanan hukum yang ada pada saat lampau, pada saat keluarnya UndangUndang PNPS ini dengan tatanan hukum saat ini juga yang sudah sangat berubah. Makanya dalam konteks tatanan hukum ini kita menguji pasal ini dalam konteks rule of law atau Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Berikutnya Ibu Agung Ayu saya mohon untuk (...)
14.
PEMOHON : I GUSTI AGUNG AYU RATIH Selamat siang Majelis Hakim yang terhormat. Saya mohon maaf kalau bahasa yang saya gunakan bukan bahasa hukum. Tetapi saya mencoba menjelaskan apa yang bisa dianggap kerugian konstitusional bagi institut yang saya pimpin. Secara khusus sebenarnya adalah hak bebas berpendapat, jadi kami melakukan pekerjaan kami selama ini dengan tujuan untuk menyampaikan pendapat kami tentang suatu masalah dan menjalankan amanat Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadi ketika buku itu dilarang, hasil pekerjaan yang kami langsungkan kurang lebih 10-15 tahun, itu hilang begitu saja, karena tidak dapat dinikmati oleh masyarakat Indonesia secara umum. Yang paling pokok sebenarnya di sana dan hasil pekerjaan selama 10 tahun
11
itu bisa saja dihitung secara materil/moneter tetapi juga secara umum tidak bisa begitu, karena itu hasil pekerjaan pikiran dan sebagainya. Jadi bagi kami ada semacam ketidakpastian. Apakah hasil-hasil penelitian kami pada selanjutnya akan dilarang juga, karena kami tidak mengerjakannya selama 1-2 hari tetapi bertahun-tahun. Jadi saya anggap yang paling pokok adalah hak kebebasan berpendApat yang tercantum daLam Pasal 28E Undang-undang Dasar 1945. Sekian, terima kasih. 15.
KUASA HUKUM PEMOHON : NURKHOLIS HIDAYAT Bapak Majelis. Tadi selain kebebasan berpendapat yang itu masuk dalam content Pasal 28, tentu bahwa ini tidak sejalan atau incompatible dengan negara demokrasi saat ini yang itu tidak kita temukan pada saat-sat lampau. Jadi Pasal 1 ayat (3) tetap itu juga adalah bagian dan isi selama ini bekerja untuk mempromosikan demokratisasi di negeri ini lewat berbagai penerbitan dan ketika ada undang-undang ini yang mengancam proses demokrasi secara langsung merupakan hambatan terhadap hak konstitusional dari isi maupun individu seperti Ibu Rhoma, Pemohon Kedua dari pengujian ini. Satu lagi yang ingin saya tambahkan bahwa meskipun tadi dalam pengujian hanya batang tubuh dari Undang-Undang Dasar 1945 yang ini kita sebutkan, tapi judul besar dari ini juga tekait menyangkut preambule dari Undang-Undang Dasar 1945 bahwa tujuan negara ini adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan karena itu adalah itu alasan yang paling pertama bahwa Undang-Undang PNPS Nomor 4 Tahun 1963 berpotensi dan kebalikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Terima kasih.
16.
KETUA : MUHAMMAD ALIM. Baiklah segala saran yang disampaikan itu dipertimbangkan karena sesungguhnya pada akhirnya Anda yang menentukan apakah mau menerima nasihat itu atau tidak? Jadi terserah sepenuhnya kepada para Pemohon. Kemudian waktu yang disediakan untuk perbaikan permohonan termasuk mengubah batu uji dan lain-lain itu tadi itu menurut aturan selama-lamanya 14 hari, ya kalau pakai istilahnya Pak Jusuf Kalla, makin cepat makin baik, kita speedy justice sesegera masuk yang mungkin ditentukan lagi Panitera kapan dipanggil untuk sidang lagi. Kalau sudah tidak ada saya nyatakan sudah selesai dan masih ada lagi?
12
17.
KUASA HUKUM PEMOHON: TAUFIK BASARI Satu pertanyaan Yang Mulia. Sepengetahuan kami ada dua atau lebih saya kurang tahu tapi ada dua uji yang hampir sama, apakah akan digabung atau akan dipisah?
18.
KETUA : MUHAMMAD ALIM. Nanti akan dibicarakan dalam Panel. Karena yang satu sudah berjalan lebih dulu dan sudah tahap pemeriksaan kemarin dan sudah ada jawaban dari Pemerintah dan bahkan ada pembuktian melalui saksi kemarin. Oke Anda kalau mau tahu informasi tentang itu bisa menanyakan di Kepaniteraan seberapa jauh perkara ini siapa Pemohonnya dan lainlain Anda bisa menanyakan itu kami terbuka untuk umum. Baiklah terima kasih sidang saya nyatakan ditutup.
KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 15.38 WIB
Jakarta, 16 April 2010 Kepala Biro Administrasi Perkaran dan Persidangan
Kasianur Sidauruk
13